DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
DONI SAHAT TUA MANALU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014 Doni Sahat Tua Manalu NRP. H351120071
RINGKASAN DONI SAHAT TUA MANALU. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI TINAPRILLA. Kebijakan sektor pertanian secara umum dapat memberikan dampak sektoral, baik yang dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Secara lebih khusus kebijakan pertanian dalam hal perdagangan hasil pertanian akan mengubah struktur insentif pelaku usahatani. Policy Analysis Matrix (PAM) memberikan kerangka dan alat analisis dampak kebijakan secara sederhana dan terukur, di sini diterapkan pada dampaknya terhadap perubahan daya saing usahatani kentang di Banjarnegara, sebagai satuan sample. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeksripsikan gambaran umum lokasi penelitian sedangkan metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis daya saing kentang dan dampak kebijakan pemerintah yaitu analisis Policy Analysis Matrix. Hasil analisis yang diperoleh adalah usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memiliki daya saing dengan nilai PCR sebesar 0,852 dan DRC sebesar 0,981 masing-masing lebih kecil dari satu serta menguntungkan secara finansial dan ekonomi sehingga usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara memiliki daya saing dan layak untuk dijalankan. Kebijakan pemerintah terhadap output serta terhadap input sudah mendukung peningkatan daya saing usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada analisis sensitivitas, digunakan empat asumsi skenario yaitu terjadi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen diperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Skenario peningkatan harga obat-obatan sebesar 10 persen, memperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Skenario penurunan harga kentang yang dijual ke pasar sebesar 50 persen diperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak berdaya saing dan tidak layak untuk dijalankan. Skenario peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen dan obat-obatan 10 persen, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah masih memiliki keunggulan kompetitif akan tetapi sudah tidak memiliki keunggulan komparatif. Kata Kunci : Daya Saing, Kentang, PAM
SUMMARY DONI SAHAT TUA MANALU. Competitiveness and Impact of Government Policy on Commodity Potatoes in Banjarnegara District, Central Java. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA. Agricultural policy in any country causes intended and unintended impact on related sectors. Essentially, introduction of new commodity policy changes incentive structure to participating farmers of the sector. Policy analysis matrix (PAM) provides a framework and tools of analysis regarding the impact of policy change in simple but quantitative measure. This PAM analysis concerned mainly on the potato sector at sample area, Banjarnegara. The aim of this study was to analyze the impact of policies on the competitiveness of potatoes in Banjarnegara district, Central Java. Location of the research conducted in Banjarnegara district, the analysis method that used in this study are qualitative and quantitative analysis. Qualitative method is used to study the location decribe general description while quantitative method is used to analyze the competitiveness of the potato and the impact of government policies that analyzes the Policy Analysis Matrix. The analysis showed on the potato farm commodity Banjarnegara district, Central Java competitive with PCR values of 0.852 and 0.981 for the DRC each smaller than one as well as financially and economically profitable to farm potatoes in Banjarnegara commodity competitiveness and eligible to run. Government policy on output and the input support increased competitiveness of farm commodities potatoes in Banjarnegara district, Central Java. In the sensitivity analysis, which used four scenarios assuming an increase in the price of fertilizer by 15 percent obtained the result that farming in the potatoes Banjarnegara district, Central Java still provide benefit financially and economically and is still eligible to run. Scenario increase in pesticide prices by 10 percent, obtaining results that potato farming in Banjarnegara district, Central Java still provide benefit financially and economically feasible. Scenario reduction in prices of potatoes by 50 percent obtained the result that farming in the potatoes Banjarnegara district, Central Java is not competitive and is not eligible to run. Scenario increase in fertilizer prices by 15 percent and 10 percent medicine, farming potatoes in Banjarnegara district, Central Java will still have a competitive advantage but it does not have a comparative advantage. Keywords: Competitiveness, Potatoes, Policy Analysis Matrix (PAM)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
DONI SAHAT TUA MANALU
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Magister Sains Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Dosen Penguji Ujian Tesis Luar Komisi
: Dr Ir Anna Fariyanti, MSi
Penguji Program Studi
: Dr Amzul Rifin, SP MA
Judul Tesis : Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Nama
: Doni Sahat Tua Manalu
NIM
: H351120071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Suharno, M.Adev
Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc Agr
Tanggal Ujian: 07 Mei 2014
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno M.Adev dan Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla MM selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Ir Anna Faryanti, MSi dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA selaku dosen penguji pada saat pelaksanaan ujian tesis yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis. Demikian juga kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Kaprodi Program Studi Magister Sains Agribisnis atas dukungan dan arahan yang diberikan kepada penulis sejak memulai studi di Program Studi Magister Sains Agribisnis hingga penyelasaian studi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Petani responden, Bapak Kepala Desa Bakal dan Kepala Desa Batur, Bapak Sukamto, SP dari penyuluh di Kecamatan Batur, Para pedagang kentang dan pemilik toko pertanian di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang telah bersedia sebagai responden pada penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Almarhum Ayahanda tercinta Bapak B. Manalu dan Ibunda tercinta Thioland Boru Sinambela serta seluruh keluarga besar Opung Eko Manalu atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Doni Sahat Tua Manalu
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Teori Daya Saing Metode Daya saing Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analisis Matrix Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Studi Empiris Kentang (Solanum tuberosum L.) 3. KERANGKA PENELITIAN Kerangka Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional 4. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Responden Metode Analisis Data 5. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Karakteristik Petani Responden Kepemilikan Lahan Keragaan Usahatani Lembaga Pemasaran Keuntungan Usahatani Kebijakan Input pada Usahatani Kentang Kebijakan Output pada Usahatani Kentang 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Analisis Sensitivitas Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 7. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
Vi Vi Vi 1 1 5 8 8 9 9 9 12 14 15 16 18 18 31 33 33 34 34 35 43 43 46 48 48 50 51 53 54 54 54 59 65 69 69 70 70 74 80
DAFTAR TABEL
1. Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2008-2011 2 Volume, Nilai, dan Neraca Ekspor-Impor Kentang Segar di Indonesia Tahun 2004-2012 3. Tipe Alternatif Kebijakan Pemerintah 4. Policy Analisys Matrix 5. Tabulasi Matrix Analisis Kebijakan 6. Luas Wilayah Kecamatan Batur menurut Desa dan Presentase 7 Kepadatan Penduduk setiap Desa di Kecamatan Batur 8. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Batur 9. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Kentang di Kecamatan 11. Sebaran Petani Responden Menurut Lembaga Pemasaran 12 Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 13. Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara 14. Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 15. Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 16 17. 18. 19.
Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk sebesar 15 persen (Rp/Ha) Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Obat-obatan sebesar 10 persen (Rp/Ha) Tabulasi PAM Skenario Harga Kentang Turun sebesar 50 persen (Rp/Ha) Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk Sebesar 15 Persen dan Kenaikan Harga Obat-obatan Sebesar 10 Persen (Rp/Ha)
1 6 23 29 36 44 45 45 47
48 50 55 56 60 66
66 67 68 69
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Persentase Produksi Sayuran Potensi Menurut Provinsi Tahun 2011 Kondisi Produksi Kubis, Kentang, Tomat, Bawang Merah, dan Cabai Besar dari Tahun 2006 hingga Tahun 2011 di Indonesia Perkembangan Produksi Kentang di Jawa Tengah Tahun 2009-2011 Aliran Perdagangan Internasional Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor Pajak dan Subsidi pada Input Tradable Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable Kerangka Pemikiran Operasional Peta Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah
2 3 3 20 25 27 28 33 43
DAFTAR LAMPIRAN
1. Analisis Keuntungan Usahatani dan Persentase Komponen Biaya Usahatani Kentang 74 di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 2. Alokasi Biaya Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Kentang 75 3. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate, Tahun 76 2013 4. Perhitungan Harga Bayangan Output 76 5. Budget Privat dan Sosial Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 77
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dan beriklim tropis, memiliki potensi alam yang mendukung pertumbuhan berbagai macam tanaman dan salah satunya adalah hortikultura. Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional atas produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat. Pembangunan hortikultura bertujuan untuk mendorong berkembangnya agribisnis hortikultura yang mampu menghasilkan produk hortikultura yang berdaya saing, mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan pelaku usaha di bidang hortikultura, memperkuat perekonomian wilayah serta mendukung pertumbuhan pendapatan nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012). Oleh sebab itu diperlukan pembangunan hortikultura yang mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien supaya mampu memenuhi permintaan domestik dan jika memungkinkan dapat mengekspor ke luar negeri. Indikator ekonomi makro berupa Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui peranan dan kontribusi hortikultura terhadap pendapatan nasional. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2008-2011 Nilai PDB (Milyar Rupiah) 2008 % 2009 % 2010 % 2011 % 1 Buah-buahan 47 060 55.97 48 437 54.83 45 482 52.54 46 736 52.60 2 Sayuran 28 205 33.55 30 506 34.54 31 244 36.09 33 137 37.30 3 Tanaman Hias 4 960 5.90 5 494 6.22 6 174 7.13 5 984 6.73 4 Biofarmaka 3 853 4.58 3 897 4.41 3 665 4.24 2 995 3.37 Hortikultura 84 078 2.47 88 334 -1.01 86 565 1.30 88 851 Sumber : Ditjen Hortikultura (2012) Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2008 sampai tahun 2009 nilai kontribusi sub sektor hortikultura terhadap PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 2.47 persen. Namun pada tahun 2010, nilai PDB hortikultura mengalami penurunan sebesar 1.01 persen. Penurunan PDB hortikultura pada tahun 2010 disebabkan oleh penurunan jumlah produksi dan harga berlaku dari komoditas buah-buahan dan tanaman biofarmaka. Kemudian pada tahun 2011, nilai PDB hortikultura mengalami peningkatan kembali sebesar 1.30 persen. BPS (2012) mencatat bahwa pada sub sektor hortikultura perkembangan PDB selama kurun waktu 2008-2011, diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif meningkat di sub sektor tersebut. Pada tahun 2009 tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 2.95 juta orang, sementara tahun 2010 penyerapan tenaga kerja naik sebesar 3.00 juta orang dan tahun 2011 menjadi 3.32 juta orang. Pada tahun 2012 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan sebesar 3.10 juta orang. Proporsi rata-rata kontribusi subsektor hortikultura dalam penyerapan tenaga kerja selama kurun waktu tahun 2009 – 2012 sebesar 8.25 persen dari keseluruhan pekerja di sektor pertanian. Melihat kontribusinya dalam PDB dan No
Komoditas
2
penyerapan tenaga kerja yang terjadi di sub sektor hortikultura membuat pentingnya sub sektor ini dibangun. Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan mempunyai beberapa peranan strategis, yaitu : (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral, (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja serta kesempatan berusaha, (3) bahan baku agroindustri, (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, (5) pasar bagi sektor non pertanian, khususnya industri hulu (Rahmawati, 2006). Menurut Rahmawati (2006), meskipun komoditas hortikultura mempunyai beberapa peran strategis akan tetapi masih terdapat permasalahan yang dihadapi, secara umum adalah belum mampunya memenuhi kuantitas, kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar. Hal tersebut berkaitan dengan faktor-faktor berikut : (1) pola kepemilikan lahan yang sempit dan tersebar; (2) rendahnya penguasaan teknologi mulai dari pembibitan, sistem usahatani, panen dan pasca panen; (3) harga berfluktuasi ; (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal; dan (5) kurangnya informasi bagi pengusaha swasta (investor) tentang kelayakan finansial dan ekonomi usahatani sayuran. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sayuran dan buah-buahan yang potensial. Berdasarkan data BPS tahun 2012, menunjukkan bahwa beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi untuk memproduksi kentang seperti terdapat pada Gambar 1 yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan wilayah lain.
Gambar 1. Persentase Produksi Sayuran Potensi Menurut Provinsi di Indonesia pada Tahun 2011 Sumber BPS, 2012 Gambar 1 menunjukkan bahwa provinsi penghasil kentang pada tahun 2011 secara berturut-turut adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Keempat Provinsi tersebut menyumbang sebesar 26.21 persen, 23.04 persen, 12.88 persen dan 8.95 persen. Total produksi yang dihasilkan keempat provinsi tersebut yaitu : 71.07 persen dan provinsi lainnya sebesar 28.93 persen. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa provinsi Jawa Tengah adalah salah satu sentra produksi kentang di Indonesia. Data nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa produksi kentang dari tahun 2006 sampai 2008 berfluktuasi dan cenderung mengalami penurunan, meskipun pada tahun 2009 terjadi peningkatan produksi akan tetapi pada tahun 2010
3
kembali mengalami penurunan. Kondisi produksi kubis, kentang, tomat, bawang merah, dan cabai besar dari tahun 2006 hingga tahun 2011 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 yang memperlihatkan pola serta data tentang kenaikan dan penurunan produksi setiap tahunnya.
Gambar 2. Kondisi Produksi Kubis, Kentang, Tomat, Bawang Merah, dan Cabai Besar dari Tahun 2006 hingga Tahun 2011 di Indonesia Sumber BPS, 2012 Penurunan produksi yang sangat drastis pada tahun 2010 dikarenakan adanya impor kentang dari negara China dan Bangladesh. Adanya impor kentang tersebut menimbulkan persaingan dengan kentang lokal. Harga kentang impor ternyata lebih rendah jika dibandingkan dengan harga kentang lokal, hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan permintaan kentang lokal, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kentang lokal tidak mampu bersaing dengan kentang impor. Ketidakmampuan kentang lokal dalam bersaing perlu diketahui penyebabnya, oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendukung khususnya di sentra produksi kentang agar dapat menggambarkan kondisi daya saing kentang lokal. Di Indonesia, Provinsi Jawa Tengah adalah Provinsi terbesar yang memproduksi kentang dan beberapa daerah di Jawa Tengah yang memproduksi kentang dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perkembangan Produksi Kentang di Jawa Tengah Tahun 2009-2011 Sumber BPS, 2012 Gambar 3 menunjukkan bahwa Banjarnegara adalah daerah yang memproduksi kentang paling tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya
4
yang ada di Jawa Tengah. Menurunnya produksi kentang di Banjarnegara sejak tahun 2009 hingga tahun 2011 diakibatkan terjadinya beberapa permasalahan yang ada, terutama dari sisi kebijakan pemerintah, adanya issue penting sehubungan dengan adanya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan penetapan tarif impor nol persen sehingga tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mengalami penurunan. Kondisi di atas tidak terlepas dari sudah sejauh mana penerapan sistem agribisnis yang terdapat pada komoditas kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara. Kualitas dan kontinuitas benih kentang yang masih kurang (hulu), Penurunan harga kentang segar (hilir) yang berakibat pada penurunan produksi kentang yang terdapat di subsistem usahatani (onfarm) serta adanya kebijakan pemerintah yang mengatur perdagangan kentang yang terdapat di subsistem penunjang (supporting system) dalam sistem agribisnis. Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara pandang baru untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat meningkatkan daya saing adalah dengan penerapan konsep pengembangan sistem agribisnis karena apabila sistem agribisnis yang terdiri dari subsistem sarana produksi (Hulu), subsistem usahatani (onfarm), subsistem pengolahan dan pemasaran (Hilir) serta subsistem penunjang (supporting system) dikendalikan dengan tepat dan terintegrasi dengan baik maka hal tersebut akan dapat meningkatkan daya saing suatu komoditas. Daya saing suatu komoditas dapat dilihat dengan mengetahui bahwa setiap tempat atau wilayah mempunyai keunggulan tertentu karena kekhasan wilayahnya, oleh karena itu komoditas sayuran yang dikembangkan merupakan komoditas spesifik yang sesuai dengan kekhasan wilayah tersebut sehingga diharapkan komoditas sayuran tersebut mampu bersaing baik di pasar regional, nasional maupun internasional karena memiliki keunggulan komparatif yang berasal dari kelimpahan dan kekhasan wilayahnya tersebut. Mekanisme pasar akan mendorong suatu daerah untuk bergerak ke arah sektor dimana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, akan tetapi mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur perekonomian daerah ke arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif tersebut (Tarigan, 2004). Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu komoditas tertentu tidak dapat menjamin terjadinya keunggulan kompetitif. Demikian halnya dengan kondisi yang terjadi pada pasar kentang, setiap kebijakan yang ada akan dapat mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif seperti dengan adanya perkembangan pasar komoditas sayuran yang semakin kompetitif dan diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas baik multilateral melalui WTO (World Trade Organization) maupun regional dan bilateral melalui FTA (Free Trade Agreement). Tanaman kentang pada dasarnya dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi (1,500 – 3,000 m dpl) dan pada awalnya kentang tumbuh di negara yang memiliki suhu dingin. Kemudian seiring berjalannya waktu kentang tersebar ke negara yang beriklim tropis dan subtropis dan ternyata dapat tumbuh serta
5
beradaptasi dengan baik akan tetapi harus ditanam pada daerah yang bersuhu dingin atau sejuk, suhu udara ideal untuk tanaman kentang adalah 150-180 celcius. Keunggulan kompetitif dan komparatif kentang yang terdapat di Indonesia khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah dipengaruhi oleh beberapa permasalahan lain yang juga masih terjadi yaitu (1) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi input dan output belum berpihak kepada petani, (2) menurunnya produksi kentang yang berindikasi kepada menurunnya pendapatan petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, (3) kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulai sejak tanam hingga panen serta pasca panen, (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal. Pada akhirnya setiap permasalahan yang ada pada sektor agribisnis kentang akan mempengaruhi daya saing komoditas kentang dan dengan adanya beberapa permasalahan tersebut maka orientasi sistem produksi komoditas kentang tersebut harus dikembangkan ke arah peningkatan daya saing. Sehubungan dengan itu, usahatani komoditas kentang harus lebih diarahkan pada penerapan teknologi tepat guna serta efisien dalam pemanfaatan sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Kondisi aktual yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara serta beberapa kebijakan yang telah dijelsakan di atas akan mempengaruhi pendapatan usahatani kentang baik dari sisi biaya input, output dan transportasi lalu pada akhirnya akan berdampak pada daya saing kentang di Indonesia secara khusus di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain itu, adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas akan mendorong para produsen kentang dalam negeri untuk dapat meningkatkan daya saing agar mampu bersaing dengan kentang dari negara lain Oleh karena itu penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang sangat penting untuk dilakukan.
Perumusan Masalah Dari sisi kebijakan pemerintah, terdapat issue penting yang mempengaruhi daya saing yaitu diberlakukannnya perjanjian perdagangan bebas melalui ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement) pada awal tahun 2010, hal ini adalah implementasi kebijakan liberalisasi pasar pertanian yang dihasilkan dari perjanjian perdagangan bebas baik multilateral melalui WTO maupun regional dan bilateral melalui FTA (Free Trade Agreement) tersebut sehingga beberapa komoditas dari China masuk ke Indonesia tanpa dikenakan tarif masuk nol persen. Komoditas yang masuk dalam kategori nol persen tersebut diatur dalam skema Early Harvest Program (EHP) (Lemhannas, 2012). Terdapat 530 pos tarif lainnya yang resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan RI No. 355/KMK.01/2004 21 Juli 2004 tentang penetapan tarif bea masuk dalam skema EHP. Adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas akan mendorong para produsen kentang dalam negeri untuk dapat meningkatkan daya saing agar mampu bersaing dengan kentang dari negara lain sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani, kondisi ini juga didukung pemerintah pusat dengan diberlakukannya penghentian sementara keran impor 13 jenis produk hortikultura, salah satunya komoditas kentang mulai bulan Januari sampai Juni 2013. Adanya
6
Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan pajak impor 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan serta Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan. Akibat langsung yang terjadi karena adanya kebijakan pemerintah pada tahun 2010 tentang penetapan tarif impor kentang sebesar nol persen adalah volume impor kentang terus meningkat. Ketersediaan kentang Indonesia yang masih di bawah 5 kg/kapita/tahun, membuat Indonesia mengalami penurunan khususnya dari sisi ekspor kentang segar. Tabel 2 menunjukkan bahwa volume ekspor kentang di Indonesia tahun 2004 hingga 2012 (triwulan 1) mengalami penurunan yang cukup besar hingga 15,022 ton sehingga nilai ekspornya menurun hingga 2,971,000 US$, sedangkan volume impor kentang mengalami peningkatan yang tinggi sebesar 7,528 ton dalam 8 tahun terakhir sehingga nilai impor kentang segar mencapai peningkatan hingga 5,506,000 US$. Penurunan juga terlihat pada neraca volume sebesar -9,275 ton di tahun 2012 (triwulan 1). Di tahun yang sama, neraca nilai kentang segar menjadi 6,146,000 US$ sementara di tahun sebelumnya mencapai penurunan terbesar yaitu -43,833,000 US$ hal ini dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Volume, Nilai, dan Neraca Ekspor-Impor Kentang Segar di Indonesia Tahun 2004-2012 Tahun Keterangan Volume Ekspor (ton) Volume Impor (ton) Nilai Ekspor (000 US$) Nilai Impor (000 US$) Neraca Volume (ton) Neraca Nilai (000 US$)
2010
2011
2012 (Tw.1)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
16 422
13 644
85 922
9 652
7 958
6 320
6 771
5 117
1 400
3 148
5 031
4 211
5 559
5 345
11 727
24 204
78 419
10 676
3 547
3 526
5 917
2 855
2 340
2 160
2 426
2 579
576
1 217
2 248
1 959
2 686
2 880
6 689
14 591
46 412
6 723
13 274
8 612
81 712
4 093
2 612
-5 407
-17 433
-73 301
-9 275
2 330
1 278
3 959
169
-540
-4 529
-12 165
-43 833
-6 146
Sumber : BPS, 2012 Kebijakan (intervensi) pemerintah dengan melakukan impor kentang sebenarnya telah dilakukan secara sistematis dan terencana oleh pemerintah, akan tetapi hadirnya tindakan (kebijakan/intervensi) pemerintah mungkin saja mengakibatkan terjadinya distorsi (penyimpangan) pasar dan distorsi tersebut dapat membawa keuntungan atau kerugian bagi pelaku pasar tertentu baik konsumen maupun produsen, tergantung tujuan intervensi yang dilakukan. Kebijakan impor kentang yaitu penetapan tarif impor sebesar nol persen yang telah dilakukan pada tahun 2010 semula bertujuan untuk melindungi konsumen yang ada di dalam negeri, akan tetapi disisi lain justru dapat merugikan para petani (produsen) kentang di Indonesia dan khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sebagai salah satu pusat produksi kentang di Indonesia.
7
Kondisi di pasar sebelum terjadinya peningkatan impor kentang adalah harga jual kentang lokal di daerah Banjarnegara rata-rata Rp5,000 – Rp6,000 per kg, setelah meningkatnya jumlah impor kentang yang masuk ke Indonesia maka harga kentang mengalami penurun sehingga harga rata-rata menjadi Rp3,000 – Rp4,000 per kg. Sementara harga rata-rata kentang impor yang dijual di pasar hanya Rp2,500 – Rp3,500 per kg (Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara, 2012). Hal ini menunjukkan kompetisi yang kuat antara produk kentang lokal dengan impor, sehingga perlu upaya yang dilakukan agar dapat meningkatkan daya saing kentang lokal. Untuk membatasi impor kentang yang masuk ke dalam negeri pemerintah melalui kementerian perdagangan dan kementerian pertanian telah mengeluarkan kebijakan mengenai impor produk hortikultura, diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Kedua beleid tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Dari kebijakan tersebut diharapkan ada pengelolaan impor kentang yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri, akan tetapi penerapan kebijakan tersebut perlu dievaluasi karena belum terlihat bagaimana dampaknya terhadap daya saing komoditas kentang di dalam negeri. Selain itu, posisi daya saing usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dipengaruhi oleh kebijakan lain yang berdampak pada input dan output usahatani kentang seperti Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang kenaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 87/Permentan/SR.130/12/2011 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2012, Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan1. Kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp3,000 pada tahun 2013 yang tertuang dalam Pengumuman Nomor 07 PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu2. Melalui penjelasan mengenai kondisi agribisnis kentang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan usahatani yang terjadi di Banjarnegara adalah (1) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi input dan output belum berpihak kepada petani, (2) menurunnya produksi kentang yang berdampak pada menurunnya pendapatan petani di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, (3) kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulai sejak tanam hingga panen serta pasca panen, (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal. Setiap permasalahan yang ada pada agribisnis kentang akan mempengaruhi supply petani sebagai respon terhadap kebijakan dan dinamika pasar yang ada sehingga dapat dilihat kinerja industri kentang, ukuran kinerja dalam hal ini dapat
8
dilihat melalui keuntungan finansial dan ekonomi usahatani serta daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana respon sisi supply (petani) terhadap kebijakan dan dinamika pasar yang menyertai, sebagaimana digambarkan dalam rumusan masalah di atas? 2. Bagaimana kinerja industri kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah? Ukuran kinerja dalam hal ini dapat dilihat melalui keuntungan finansial dan ekonomi usahatani serta daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. 2. Menganalisis daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti, sarana dalam peningkatan kompetensi diri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta permasalahan yang terjadi pada daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. 2. Bagi pelaku agribisnis, penelitian ini dapat menambah referensi mengenai daya saing komoditas kentang dan pengambilan keputusan pengembangan usaha. 3. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil analisis dampak kebijakan pemerintah diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan dan mengimplementasikan instrumen– instrument kebijakan yang lebih efektif dan efisien bagi pengembangan agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
1
2
Suwarta. 2012. Peraturan pajak: 32 Peraturan Menteri Keuangan. ttp://www.wartapajak.com/index.php. Ariyanti, Fiki dan Eko, Pebriyanto. 2013. Premium Rp 6.500, Solar Rp 5.500 Mulai Sabtu Pukul 00.00. http://bisnis.liputan6.com/read/619242.
9
Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian dari studi mengenai “Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah” ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. 2. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. 3. Analisis dilakukan pada tingkat usahatani di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.
2 TINJAUAN PUSTAKA Teori Daya Saing Pada dasarnya cakupan daya saing tidak hanya pada suatu negara, melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam untuk meningkatkan daya saing memberikan banyak manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan aktivitas pertanian dan perdagangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif rendah dari biaya imbangan sosialnya dan dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia. Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efisien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efisien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan komparatif yang dipopulerkan oleh David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut untuk
10
memproduksi dua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut kecil. Dari komoditas ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson (2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu : (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien. Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya. Keunggulan kompetitif suatu komoditas adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter (1991), ada empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure, and rivalry). Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat factor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah (goverment). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut porter’s diamond theory. 1. Kondisi faktor (factor condition) Sumberdaya yang dimiliki suatu bangsa merupakan suatu faktor produksi yang sangat penting untuk bersaing. Faktor sumberdaya terdiri dari lima kelompok : (1) sumberdaya manusia terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, tingkat upah yang berlaku juga etika kerja. kesemuanya ini sangat berpengaruh pada daya saing nasional. (2) sumberdaya fisik atau alam yang mencakup biaya, aksebilitas, mutu dan ukuran. Selain itu juga ketersediaan air, mineral, energi serta sumberdaya pertanian, perikanan termasuk kelautan, perkebunan, perhutanan serta sumberdaya lainnya, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis, dan lain-lain. (3) sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Sumberdaya ini terdiri dari ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis, pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Sama halnya dengan ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, serta sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. (4) sumberdaya modal yang terdiri dari
11
jumlah dan biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksetabilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan. Selain itu juga diperlukan peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat dan kondisi moneter dan fiskal. (5) sumberdaya infrastruktur terdiri dari ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing. Seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, serta sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain. Kelima kelompok sumberdaya tersebut sangat mempengaruhi daya saing nasional. 2. Kondisi Permintaan (demand condition) Kondisi permintaan sangat mempengaruhi penentuan daya saing, terutama mutu permintaan. Mutu permintaan merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan untuk bersaing secara global. Mutu persaingan memberikan tantangan bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya dengan memberikan tanggapan terhadap persaingan yang terjadi. Ketika kondisi permintaan konsumsi dalam ekonomi lebih banyak akan menjadi tekanan terbesar bagi perusahaan untuk bergerak secara konstan bersaing melalui inovasi produk dan peningkatan kualitas. 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung (related and supporting industry) Keberadaan industri terkait dan pendukung (related and supporting industry) mempengaruhi daya saing secara global. Diantaranya adalah industri hulu yang mampu memasok input bagi industri utama dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Sama halnya dengan industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki daya saing global maka akan dapat menarik industri hulu untuk memiliki daya saing pula. 4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (firm strategy, structure, and rivalry) Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal merupakan penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan daya saing. Perusahaan yang teruji dalam persaingan yang ketat akan memenangkan persaingan dibandingkan perusahaan yang berada dalam kondisi persaingan yang rendah. Struktur perusahaan maupun struktur industri menentukan daya saing dengan cara melakukan perbaikan dan inovasi. Hal ini jika dikembangkan dalam situasi persaingan akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan oleh perusahaan. 5. Peran Pemerintah (goverment) Peranan pemerintah sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap upaya peningkatan daya saing global, tetapi berpengaruh terhadap faktor-faktor penentu daya saingnya. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar perusahaan dan industri senantiasa meningkatkan daya saingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat daya saing global melalui kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing industri, tetapi pemerintah tidak dapat menciptakan keunggulan bersaing secara langsung. Peran pemerintah dalam upaya peningkatan daya saing adalah memfasilitasi lingkungan industri yang mampu memperbaiki kondisi faktor daya saing sehingga bisa dimanfaatkan secara aktif dan efisien.
12
6. Peran Kesempatan (chance event) Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah namun mempengaruhi tingkat daya saing. Beberapa hal yang dianggap keberuntungan merupakan peran kesempatan, seperti adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang. Selain itu juga terjadinya peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan bagi peningkatan daya saing. Sudaryanto dan simatupang (1993) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat di definisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing serta memperoleh laba setidaknya sesuai dengan biaya ongkos penggunaannya (opportunity cost) sumberdaya. Selanjutnya Sudaryanto dan Simatupang (1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi komoditas pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi pada konsumen. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang yang lebih murah dari pesaing) akan tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif, sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudian perijinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.
Metode Daya Saing Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitianpenelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA), Berlian porter, dan Policy Analysis Matrix (PAM). Beberapa metode ini dapat digunakan sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
13
Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual, (Karim dan Ismail, 2007). Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan daya saing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal (Sembiring, 2009). Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pentingnya penetapan komoditas daerah dalam meningkatkan daya saing seperti daerah Brebes Jawa Tengah yang memiliki potensi tanaman bawang merah (Purmiyanti, 2002). Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas, Berlian Porter (Porter’s diamond) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara, berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan dikompetisikan dengan berbagai perjuangan dan keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar. Suatu komoditas mungkin saja dinyatakan berdaya saing dengan analisis deskriptif kualitatif atau kuantitatif, akan tetapi jika dianalisis dengan metode Berlian Porter ternyata tidak berdaya saing, seperti penelitian yang dilakukan oleh Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori Berlian Porter untuk menganalisis daya saing komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk analisis deskriptif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan Metode Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi belum memiliki daya saing yang optimal karena masih terdapat kendala dalam tiap komponen daya saing yang diteliti. Oleh karena itu manfaat penggunaan metode berlian porter dalam menilai daya saing sebuah komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas karena analisis yang dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehensif. Selain metode Revealed Comparative Adventage (RCA) dan metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing, terdapat juga metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat, keuntungan sosial atau ekonomi, dan analisis daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Pendekatan untuk meningkatkan daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut.
14
Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011, Kasimin dan Suyanti 2012). Dari beberapa metode yang telah dijelaskan di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan jika digunakan dalam suatu penelitian tertentu. Oleh karena itu perlu diperhatikan dengan baik tujuan penelitian yang akan dilakukan sebelum menentukan metode analisis daya saing yang ada agar pemilihan metode yang ditetapkan sesuai.
Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analisis Matrix (PAM) Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat, maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, Isu kedua ialah dampak investasi publik, Isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. (Pearson S,C dan S. Bahri 2005). Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yakni apakah petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya keuntungan privat (private profitability). Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (sosial profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisien. Investasi publik yang berhasil (misal investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan dan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan pertanian dalam ketiga isu tersebut. Penelitian tentang daya saing bukanlah yang pertama kali dilakukan, banyak penelitian terdahulu yang menggunakan metode PAM. Dalam analisis yang
15
dilakukan pada dasarnya adalah mampu melihat ketiga tujuan utama yang telah dijelaskan di atas. Feryanto (2010) yang melakukan penelitian dengan menggunakan metode PAM, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya daya saing pada umumnya terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam. Hasil yang sama dikemukakan oleh Dewanata (2011) yang melakukan penelitian tentang Analisis daya saing dan kebijakan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut Jawa Barat. Oleh karena itu faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, faktor pemerintah dan faktor semi terkendali perlu di perhatikan agar komoditas yang diusakan dapat memiliki daya saing. Sebuah komoditas mungkin saja dapat berdaya saing secara komparatif dan kompetitif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas belimbing dewa di kota depok memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Namun penelitian Oguntade (2009) mengenai pengolahan komoditas padi di Nigeria hanya memiliki keunggulan kompetitif, karena memiliki keuntungan privat yang lebih besar dari nol, yakni 9.445 dan didukung dengan nilai PCR yang kurang dari satu, yakni 0.78. Namun pengolahan padi ini tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilai keuntungan sosial yang dimiliki bernilai negatif, -26.256 dengan DRC mencapai 4.88 sehingga tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terjadi karena bermula dari masalah yang terjadi yakni pasar-pasar sekunder kekurangan infrastruktur dan tidak sistematisnya pemasaran yang dilakukan. Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada daya saing dengan menggunakan metode PAM adalah ditemukannya sebuah komoditas yang dapat berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara akan tetapi tidak dapat berdaya saing di pasar internasional. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Najarzadeh R et al (2011) yang menyatakan bahwa komoditas yang berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara belum tentu memiliki daya saing dalam pasar internasional.
Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Penelitian yang dilakukan oleh Rum (2010) menunjukkan bahwa pendapatan finansial usahatani memberikan keuntungan kepada petani karena adanya dampak proteksi pemerintah terhadap input tradeble dari indikator EPC, mempunyai arti bahwa secara umum petani diuntungkan dengan adanya intervensi pemerintah dan kebijakan yang ada juga membuat komoditas yang diusahakan memiliki daya saing. Penelitian lain mengenai kebijakan pemerintah juga telah dilakukan oleh Rooyen, et al. (2001) yang menyatakan bahwa terjadi keunggulan
16
kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian Sabaoni, et al. (2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya saing di sebuah negara. Hal yang berbeda diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Rasmikayati dan Nurasiyah (2004), Kasimin (2012) menyatakan bahwa secara umum usahatani kentang di Provinsi Jawa Barat dan di Provinsi Aceh tidak mendapat proteksi dari kebijakan pemerintah serta telah terjadi transfer harga dari produsen ke konsumen, dimana transfer tersebut lebih besar terjadi pada sistem usahatani kentang di Provinsi Aceh dibanding di Provinsi Jawa Barat akan tetapi dalam kondisi tersebut kentang di Provinsi Jawa Barat dan di Provinsi Aceh memiliki daya saing. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Rooyen (2001) dan Kirsten menyatakan bahwa kebijakan pemerintah mempengaruhi pasar input untuk produksi kentang di Afrika Selatan dan menghambat industri kentang sehinga dengan adanya kebijakan pemerintah maka pasar kentang di Afrika selatan tidak memiliki keunggulan komparatif. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Joubert et al. (2010) yang menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika selatan menghasilkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap kegiatan produksi kentang justru menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan. Pranoto (2011) menganalisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix), hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung layak untuk diusahakan. Adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.89. Berdasarkan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif sehingga tidak efisien lagi untuk diproduksi di dalam negeri. Penelitian terdahulu yang menggunakan PAM memberikan gambaran yang jelas bahwa metode analisis ini digunakan pada komoditas yang dapat melihat kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun internasional dalam menganalisis daya saing suatu komoditas.
Studi Empiris Kentang (Solanum tuberosum L.) Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman pangan di dunia dan yang paling produktif serta banyak ditanam di dunia. Secara global, kentang menempati urutan keempat tanaman pangan paling penting setelah jagung, gandum dan beras. Ini menghasilkan sekitar dua kali lebih banyak kalori per hektar jika dibandingkan dengan beras atau gandum. Karena kentang memiliki
17
adaptasi yang luas, sehingga dapat ditanam di kedua lingkungan tropis dan subtropis dan ketinggian dari permukaan laut hingga 4.000 m (Singh et al. 2012) Kentang merupakan tanaman penting dari dunia dan ditanam di sekitar 18,3 juta hektar dengan produksi 295 juta ton. Hasil rata-rata dunia adalah 50,5 kg/tahun. Kentang menyumbang sekitar 1,23 persen terhadap produksi bruto dari kegiatan pertanian dan sekutu di India. Singh et al (2012), Manhokwe et al. (2010). Petani kentang di pulau Jawa memiliki produktivitas rata-rata 10-25 ton/ha. Besarnya produktivitas ini tergantung dari lokasi budidaya. Varietas kentang yang banyak ditanam petani yaitu Granola. Sementara itu, varietas lain seperti Atlantic, Cipanas, Agriya, Herta, Aquila, Ritek, Lamping, Kennebec, Grata, dan Marita, tidak banyak ditanam petani. Permasalahan yang dihadapi para petani kentang di Indonesia diantaranya: penyakit pada tanaman kentang, harga pupuk dan pestisida yang tinggi, perubahan iklim yang tidak menentu, kesulitan transportasi, dan kesulitan mendapatkan tambahan modal kerja. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi sebagian besar para pedagang kentang adalah kesulitan mendapatkan kentang yang berkualitas baik seperti kentang dari Dieng, harga beli yang tinggi, ulah pedagang besar yang mempermainkan harga, serta kentang yang membusuk (Andarawati, 2011). Penelitian Sunaryono (2007) menyatakan bahwa usaha (bisnis) komoditas kentang baik di dalam maupun di luar negeri masih memiliki potensi yang baik sehingga perlu penanganan yang serius agar kentang lokal memiliki daya saing, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan usaha (bisnis) komoditas kentang adalah (1) Peluang pasar dan permintaan konsumen, (2) Lahan dan kondisi agroklimat, (3) Tingkat keuntungan, dan (4) Ketersedian bibit dan modal. Andrawati (2011) menyatakan bahwa terjadi penurunan produktivitas kentang di Kecamatan Batur, Jawa Tengah. Hal ini di duga karena ketersediaan dan penggunaan benih kentang yang kurang berkualitas di daerah tersebut, dari hasil Stochastic Frontier diperoleh bahwa varibel yang bernilai positif dan berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang yakni benih dan pupuk organik. Sedangkan berdasarkan model inefisiensi teknis pengalaman usahatani, pendidikan formal, dan luas lahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh negatif dan faktor umur merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Meskipun demikian, penelitian Novianto (2012) menyatakan bahwa pengusahaan kentang di Kecamatan Kejajar di provinsi yang sama dengan penelitian Andrawati (2011) yaitu Jawa Tengah menyatakan bahwa dengan sistem usahatani kentang yang ada ternyata usahatani kentang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Daya saing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas suatu komoditas, hal ini tidak terlepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal tersebut maka penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah khususnya pada komoditas kentang penting untuk dilakukan karena di Indonesia khususnya kebijakan pemerintah masih sangat dibutuhkan para petani (produsen) maupun konsumen domestik serta mengingat bahwa komoditas pertanian memiliki karakteristik yang unik dan memiliki peran yang sangat penting bagi perekonomian nasional. Sebagian besar peneliti yang menganalisis daya saing suatu komoditas dengan mengakomodasi kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun international
18
adalah menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan PAM untuk menganalisis daya saing dan kebijakan pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
3 KERANGKA PENELITIAN Kerangka Teoritis Teori Perdagangan Internasional Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) dalam produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Adapun berbagai macam teori perdagangan internasional diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Merkantilisme Eksposisi pemikiran merkantilisme pertama kali ditulis oleh Antinio Serra pada tahun 1613, selanjutnya paham-paham ini dikembangkan oleh Sin James Steuart, Thomas Mun, Gerald de Malynes, dan Dudley Giggs. Merkantilisme belum mengenal konsep keunggulan komparatif sebagai penentu pola perdagangan, dan karenanya juga mempengaruhi struktur produksi dan distribusi pendapatan. Pada teori merkantilisme menyebutkan bahwa, negara berupaya sekuat mungkin untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor.negara dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan menjadi sangat dominan. 2. Adam Smith Adam Smith mengajukan teori keuntungan absolut yang menyatakan bahwa keuntungan absolut merupakan basis perdaganga internasional. Setelah teori-teori tersebut, timbul teori-teori perdagangan yang menekankan bahwa keunggulan komparatif merupakan basis perdagangan internasional, yaitu terdiri dari The Ricardian Model, Mercantilsm, Adam Smith’s Theory, dan Ricardo’s Theory dikategorikan sebagai The Classical Model of International Trade, sedangkan The Heckscher-Ohlin model merupakan The Modern Theory of International Trade. 3. Teori Ricardian Teori ini menyatakan bahwa keunggulan komparatif timbul karena adanya perbedaan teknologi antar negara. Hal ini berarti bahwa berlangsungnya perdagangan internasional merupakan akibat adanya perbedaan produktivitas antar negara.
19
4. Teori Heckscher-Ohlin (Modern Theori of Comparative Advantage) Dengan mengabaikan perbedaan teknologi, di pihak lain Heckscher-Ohlin model (the H-O model) menekankan bahwa keunggulan komparatif ditentukan oleh perbedaan relatif kekayaan faktor produksi dan penggunaan faktor tersebut secara relatif intensif dalam kegiatan produksi barang ekspor. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga kegiatan produksi tersebut menguntungkan pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional (Simanjuntak 1992). Menurut Kadariah et al (1978), efisien tidaknya produksi suatu komoditas yang bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border price). Daya saing identik dengan masalah produktivitas, yakni dengan melihat tingkat ouput yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktivitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter, 1991). Konsep daya saing dalam perdagangan internasional sangat terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu komoditas tersebut secara efisien dibanding negara lain. Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan mengekspor sejumlah barang, jasa, dan faktor produksi untuk ditukarkan dengan impor barang, jasa, dan faktor produksi lain yang hanya dapat diproduksi dengan cara yang kurang efisien atau tidak diproduksi sama sekali. Dengan demikian akan berkembang hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan menjadi penting. Secara lebih jelas aliran perdagangan internasional terdapat pada Gambar 4.
20
P
P3 P2 P1
P
P A” B*
E
B
A*
A
Sb A’
S
Sa
Ekspor
Da 0
P
E*
B’ D
X
E’ Impor
X
Db X
0 0 Pasar Dunia Pasar Negara A Pasar Negara B AA A Gambar 4. Aliran Perdagangan Internasional
Sumber: Salvator 1997 Keterangan: P2 :Harga keseimbangan di pasar dunia P3 :Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 :Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da :Permintaan domestik negara A Sa :Penawaran domestik negara A D :Permintaan di pasar dunia S :Penawaran di pasar dunia Sb :Permintaan domestik negara B Db :Penawaran domestik negara B
Daya saing atas suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan bersaing negaranegara mencakup tersedianya sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi daya saing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi. Atribut yang merupakan faktor-faktor keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor sumberdaya (resources factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Daya saing didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mempertahankan keuntungan dan menjaga pangsa pasar secara berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya (Porter 1990). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif rendah dari biaya imbangan sosialnya dan dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk
21
membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia. Konsep daya saing berasal dari konsep keunggulan komparatif yang pertama kali dikenal dengan model Ricardo. Hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting untuk menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Salah satu kelemahan teori Ricardo adalah kenapa tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi, kenapa output persatuan input tenaga kerja dianggap konstan. Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya dalam hal ini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Salvatore (1997) menyatakan bahwa keunggulan komparatif masih dapat dilakukan sekalipun suatu negara mengalami kerugian memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan dengan negara lain. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang besar. Dinamisnya keunggulan komparatif yang berarti suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya antara lain ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Oleh karena itu konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur daya saing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Konsep Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada keadaan perekonomian yang tidak berada dalam keadaan distorsi, namun hal ini sulit ditemukan dalam dunia nyata. Keunggulan kompetitif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat
22
secara keseluruhan (Kadariah et al. 1978). Komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif dikatakan juga memiliki efisiensi secara finansial. Suatu komoditas mungkin saja mempunyai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif, hal ini menunjukkan bahwa komoditas tersebut sangat menguntungkan untuk diproduksi. Di samping itu, ada juga komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif sehingga dapat diperkirakan ada distorsi pasar yang tidak menguntungkan produksi komoditas tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan deregulasi terhadap faktor-faktor yang dapat menghambat produksi komoditas tersebut. Konsep Efisiensi Menurut Lau dan Yotopaulus (1971) dalam Kurniawan (2011) konsep efisiensi pada dasarnya mencakup tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga) serta efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan petani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan dosis atau syarat yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal. Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi yaitu pendekatan dari sisi penggunaan input dan pendekatan dari sisi output yang dihasilkan (Farrel, 1957 dalam Coelli et al.,2005). Pearson S,C dan S. Bahri (2005) menyatakan bahwa efisiensi dapat diukur dengan tingkat keuntungan sosial (sosial profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisien. Investasi publik yang berhasil (misal investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Konsep Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan pemerintah terdapat pada Tabel 3.
23
Tabel 3. Tipe Alternatif Kebijakan Pemerintah Instrumen
Dampak pada Produsen Kebijakan Subsidi Kebijakan Subsidi Subsidi pada produsen 1. Tidak merubah harga 1. Pada barang-barang 2. Merubah harga pasar substitusi impor (S+PI; pasar dalam negeri S-PI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE; S-PE) Kebijakan Perdagangan Hambatan pada barang (Merubah harga pasar impor (TPI) dalam negeri) Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CE CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor TPI : Hambatan Barang Impor
Dampak pada Konsumen Subsidi Pada Konsumen 1. Pada barang-barang substitusi impor (S+CI; S-CI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S-CE) Hambatan pada barang ekspor (TPE)
Tabel 3 menunjukkan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama : tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan. Kedua : kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen, dan ketiga : tipe komoditas yang berupa komoditas dapat di impor atau dapat di ekspor. 1. Tipe Instrumen Dalam kebijakan tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah, apabila dibayar dari pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan apabila dibayar untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada ekspor atau impor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang di impor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang di impor dan meningkatkan harga domestik di atas harga internasional.
24
Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang di ekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek. Pertama, yang berimplikasi pada anggaran pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan. a. Implikasi pada Anggaran Pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah. b. Tipe Alternatif Kebijakan Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang substitusi impor (SI) yaitu : a. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) b. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) c. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) d. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) e. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) f. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) g. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) h. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen membuat harga yang diterima menjadi lebih tinggi bagi produsen dan lebih rendah bagi konsumen. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan tanpa ada kebijakan subsidi positif sedangkan penerapan subsidi negatif (pajak) membuat harga yang diterima produsen lebih rendah dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Kondisi ini bagi produsen dan konsumen menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi sebelum subsidi negatif (pajak) diterapkan. Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan perdagangan pada barang impor dan hambatan perdagangan pada barang ekspor. Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan. c. Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). 2. Kelompok Penerima Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer diantara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan sebaliknya ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian.
25
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang. Maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain. 3. Tipe Komoditas Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang di ekspor digunakan harga FOB (free on board) yaitu harga di pelabuhan ekspor dan untuk barang yang dapat di impor digunakan harga CIF (cost, insurance, freight) atau harga pelabuhan impor. Kebijakan harga yang ditetapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif dan kuota. Kebijakan Pemerintah pada Harga Output Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient On Output/NPCO). Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor terdapat pada Gambar 5.
Gambar 5 Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor Sumber : Monke dan Pearson 1989
26
Keterangan : Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor S + CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor Gambar 5(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Harga yang diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pp – Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) atau PpABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi sebesar CAB. Gambar 5(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH. Gambar 5(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwAPd. Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2-Q1), sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH. Gambar 5(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw x (Q2 –Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA.
27
Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable (input impor) dan input non tradable (input domestik). Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan di konsumsi di dalam negeri. 1. Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pajak dan Subsidi pada Input Tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S – II = Pajak untuk input impor S + II = Subsidi untuk input impor Gambar 6. menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pada Gambar 6a, adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama. output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplay bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CA Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2BC Q1. Gambar 6b menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke kanan bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input. 2. Kebijakan Input Non Tradable Pada input non tradable kebijakan pemerintah meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable. Ilustrasi mengenai kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 7.
28
Gambar 7. Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : S – N = Pajak untuk Barang Non Tradable S + N = Subsidi untuk Barang Non Tradable Pada Gambar 7a terlihat dengan adanya pajak (PC - PP) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif (Gambar 7b), adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2 karena harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi PC. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. Policy Analysis Matrix (PAM) Menurut Monke dan Pearson (1989), PAM (Policy Analysis Matrix) adalah alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas yaitu aktivitas usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Asumsi yang digunakan dalam penelitian PAM adalah komoditas yang ditelti merupakan barang tradable serta biaya input komoditas tersebut bisa dibagi ke dalam biaya faktor domestik dan biaya input tradable. PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi atau daya saing dalam keunggulan komparatif. Istilah ekonomi mengacu pada peneimaan dan biaya berdasarkan harga efisien dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Tabel PAM selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
29
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benarbenar terjadi setelah adanya kebijakan. 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. 3. Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat dipasarkan ke dalam input faktor domestik dan input tradable. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan (Eksternalitas=0). Selain itu analisis metode PAM juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya : 1. Analisis PAM adalah perhitungan yang dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan output dapat beragam. 2. Analisis dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, berbagai tipe usahatani dan teknologi. Menurut Morrison dan Balcombe (2002), PAM juga memiliki beberapa kelemahan sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikator-indikator PAM, yaitu: 1. PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier. 2. Keakuratan data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Hal ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik. Tabel 4 Policy Analysis Matrix (PAM) Uraian
Penerimaan Output
Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan
A E I
Keterangan: A : Penerimaan Privat B : Biaya input Tradable Privat C : Biaya input non tradable Privat D : Keuntungan Privat E : Penerimaan Sosial F : Biaya input tradable Sosial
Biaya Input Non Tradable Tradable B C F G J K G : Biaya Input non tradable Sosial H : Keuntungan Sosial I : Transfer Output J : Transfer input Tradable K : Transfer Faktor L : Laba Bersih
Keuntungan D H L
30
Harga Bayangan (Social Opportunity Cost) Harga bayangan adalah harga yang akan menghasilkan alokasi sumberdaya terbaik sehingga akan memberikan pendapatan nasional tertinggi (Pearson et al. 2005). Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar akan sangat sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (Gittinger 1986). Alasan penggunaan harga bayangan adalah: 1. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya. 2. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut. Penentuan harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis ekonomi karena tidak mencerminkan biaya imbangan sosial (opportunity cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan sama dengan biaya pasar jika berada pada pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, untuk memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial diperlukan penyesuaian. Penyesuaian menggunakan acuan seperti yang dilakukan Gittinger (1986). Penelitian terhadap pengusahaan komoditas menggunakan CIF (Cost Insurance and Freight) jika output dan input merupakan barang impor. Sedangkan penggunaaan FOB (Free on Board) jika output dan input merupakan barang ekspor. Kelebihan model PAM adalah selain diperoleh koefisien DRC (Domestic Resource Cost) sebagai indikator keunggulan komparatif. Analisis ini juga dapat menghasilkan beberapa indikator lain yang terkait dengan variabel daya saing, seperti PCR (Private Cost Ratio) untuk menilai keunggulan kompetitif, NPCO (Nominal Protection Coefficient on tradable Output), NPCI (Nominal Protection Coefficient on tradable Input), EPC (Effective Protection Coefficient), PC (Profitability Coeffisient), dan SRP (Subsidy Ratio to Producers). Untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tersebut, setiap unit biaya (input), output. dan keuntungan dikelompokkan ke dalam harga pasar (privat) dan harga sosial. Teori Sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan alat analisis yang digunakan secara sistematis untuk melihat dan menguji perubahan dari suatu kelayakan ekonomi bila ada kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang telah dibuat terhadap daya saing kentang. Menurut Kadariah dan Grey (1978), analisis sensitivitas dilakukan dengan beberapa cara: (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahanperubahan tersebut, dan (2) menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur penting yang berperan dalam menentukan hasil akhir dan mengubah suatu faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah : 1. Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada saat tertentu.
31
2. Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. Analisis sensitivitas dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Analisis ini dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode sebelumnya yaitu Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya tingkat harga yang berlaku untuk input dan output sangat bervariatif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas penting untuk dilakukan.
Kerangka Pemikiran Operasional Berdasarkan data BPS 2012, salah satu komoditas hortikultura yang termasuk dalam komoditas unggulan adalah kentang, oleh karena itu kentang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia memiliki potensi dalam pengembangan komoditas kentang khususnya di daerah Banjarnegara Jawa Tengah. Meskipun potensi kentang cukup baik di daerah Banjarnegara akan tetapi terjadinya persaingan antara kentang lokal dan kentang impor memberikan gambaran bahwa komoditas kentang domestik harus mampu bersaing di pasar. Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa prospek dalam pengembangan agribisnis kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara sangat memungkinkan untuk dilakukan. Meskipun dalam proses pengembangan tersebut masih mengalami masalah atau kendala dalam usahataninya seperti (1) adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, (2) menurunnya produksi kentang yang berindikasi kepada penurunan pendapatan petani, (3) belum adanya jaminan atas kualitas dan kuantitas benih kentang di Banjarnegara, (4) kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulai sejak tanam hingga panen serta pasca panen, (5) lemahnya permodalan petani, sementara itu budidaya sayuran tergolong padat modal. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu (1) menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, (2) menganalisis daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Maka dibutuhkan evaluasi kebijakan yang ada pada sektor agribisnis diantaranya : dari sisi kebijakan ada issue penting sehubungan adanya ACFTA sehingga ditetapkan tarif nol persen untuk impor kentang, penerapan inovasi teknologi, kebijakan di bagian input, pembiayaan agribisnis serta infrastruktur yang digunakan pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Hadirnya tindakan (kebijakan/intervensi) pemerintah mungkin saja mengakibatkan terjadinya distorsi (penyimpangan) pasar dan distorsi tersebut dapat membawa keuntungan atau kerugian bagi pelaku pasar tertentu baik konsumen maupun produsen tergantung tujuan intervensi yang dilakukan, seperti telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
32
Penelitian ini akan menganalisis daya saing komoditas kentang dan dampak kebijakan pemerintah di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah dengan menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Salah satu pendekatan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan dalam sektor agribisnis adalah dengan menganalisis perbedaan antara harga-harga input, baik domestik (non tradable) maupun asing (tradable) dan penerimaan secara finansial dan ekonomi dengan menganalisis perbedaan harga-harga finansial dan ekonomi, maka dapat diketahui tingkat daya saing suatu komoditas serta dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas agribisnis tersebut. Analisis daya saing agribisnis kentang dalam penelitian ini dilihat dari faktor input dan output. Faktor input meliputi : saprodi (benih, pupuk, pestisida), alsintan, tenaga kerja, lahan, dan faktor output meliputi harga kentang segar baik yang digunakan sebagai benih pada musim tanam berikutnya maupun kentang segar yang dijual ke pasar. Analisis dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat melalu sistem perdagangan, kebijakan moneter, adanya subsidi/pajak, investasi publik, research and development. Apabila dengan kebijakan yang ada mampu memberikan keunggulan kompetitif terhadap komoditas yang di analisis, maka kebijakan tersebut dapat dipertahankan. Namun sebaliknya, dengan adanya kebijakan tersebut ternyata menghambat atau mengurangi nilai kompetitif maka kebijakan tersebut perlu dikaji ulang. Kelebihan dari alat analisis PAM ini selain digunakan untuk menganalisis daya saing baik dari segi keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif, dapat juga digunakan melihat bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara. Metode PAM digunakan untuk menganalisis daya saing sekaligus digunakan untuk menganalisis penerapan kebijakan pemerintah pada harga input, kebijakan pada harga output, dan kebijakan harga input-output. Kebijakan harga input dianalisis berdasarkan nilai transfer (input transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (nominal protection coefficient on input atau NPCI), tingkat proteksi input nominal (nominal protection rate on input atau NPRI), dan transfer faktor (factor transfer atau FT). Setelah dianalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah, kemudian akan dilakukan analisis sensitivitas dengan skenario berdasarkan fenomena kebijakan pemerintah baik kebijakan yang sudah pernah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi sehingga dapat diketahui dengan kondisi kebijakan tersebut bagaimana keadaan daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kemudian, setelah diperoleh kesimpulan dari hasil penelitian selanjutnya akan diberikan saran terhadap implikasi kebijakan yang dapat menjadi perhatian bagi stakeholder agribisnis kentang. Secara lengkap kerangka penelitian operasional analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dapat diihat pada Gambar 8. di bawah ini :
33
Kondisi Umum 1. Potensi kentang di Kabupaten Banjarnegara 2. Persaingan kentang lokal dengan kentang impor
1. 2. 3. 4.
Kebijakan Pemerintah -
Perdagangan Moneter Subsidi/Pajak Investasi Publik Research and Development
Kendala Usahatani Kentang Kebijakan Pemerintah Menurunnya produksi kentang Infrastruktur dan Teknologi Lemahnya permodalan petani
Daya Saing Komoditas Kentang Input : - Saprodi :Benih, Pupuk, Pestisida - Alsintan - Tenaga Kerja - Lahan Output : Kentang Segar
3. Analisis Sensitivitas
PAM - Daya Saing 1. Keunggulan Komparatif : a. Keuntungan Sosial b. Rasio Sumber Daya Domestik (DRC) 2. Keunggulan Kompetitif : a. Keuntungan Privat b. Rasio Biaya Privat (PCR) - Dampak Kebijakan 1. Kebijakan Output TO, NPCO 2. Kebijakan Input IT, NPCI, TF 3. Kebijakan Input‐Output EPC, TB, PC, SRP
Implikasi Kebijakan
Keterangan : Garis Faktor yang Menghubungkan Garis Analisis yang digunakan Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Banjarnegera. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan salah satu daerah sentra produksi kentang di Jawa Tengah. Menurut data BPS (2012) beberapa sentra produksi kentang di Jawa Tengah adalah Banjarnegara dengan luas lahan 7,339 ha Wonosobo dengan luas lahan 3,156 ha, Brebes dengan luas lahan 3,182 ha, Batang dengan luas lahan 1,274 ha, Pemalang dengan luas lahan 745 ha. Selanjutnya dipilih Kecamatan
34
Batur karena memiliki luas lahan usahatani kentang terbesar di Kabupaten Banjarnegara. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September-November 2013.
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi, wawancara dan pemberian kuisioner dengan beberapa pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan beberapa nara sumber seperti petani, lembaga pemasaran, pedagang input pertanian, stakeholder, pakar ahli di bidang kentang. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian antara lain Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banjarnegara, Badan Pusat Statistik dan lembaga-lembaga terkait (stakeholder) dalam bidang komoditas kentang, Penyuluh pertanian Kecamatan Batur, Pemilik Kios Pertanian yang ada di Kecamatan Batur yang dapat membantu penyediaan data yang akan digunakan pada penelitian ini.
Metode Pengambilan Responden Penentuan responden (petani contoh) dipilih secara purposive dengan kriteria responden yang dipilih berdasarkan pekerjaan utama yaitu petani yang pekerjaan utamanya adalah berusahatani kentang dan kesediaan petani untuk dijadikan sebagai responden. Kemudian untuk Desa yang dipilih terdiri dari dua Desa yaitu Desa Batur dan Desa Bakal karena merupakan pusat produksi kentang terbesar di Kecamatan Batur. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 petani dengan komposisi masing-masing 20 petani di setiap Desa. Untuk penentuan responden terhadap lembaga pemasaran, pedagang input pertanian, stakeholder, pakar ahli di bidang kentang terkait penelitian ditentukan secara purposive dengan pertimbangan karena pihak tersebut dianggap paling mengetahui informasi yang diharapkan sehingga dapat membantu peneliti dalam memperoleh dan menggali informasi dari objek yang dibutuhkan. Pelabuhan impor yang dijadikan acuan dalam penentuan harga perbatasan adalah pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta karena sebagian besar penerimaan kentang impor yang di kirim ke Banjarnegara berasal dari pelabuhan tersebut. Penentuan jumlah sampel dan teknik pengambilan data dalam penelitian ini berdasarkan pada Pearson et al. (2005) bahwa data yang diambil untuk PAM bisa dari contoh yang tidak terlampau besar, baik dari segi petani, pedagang, pelaku usaha, maupun pengolahan, karena data yang dimasukkan dalam PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang diestimasi melalui model ekonometrik dengan jumlah contoh yang valid secara statistik. Peneliti dirangsang untuk mengumpulkan lebih banyak informasi baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibanding jumlah petani yang diwawancara.
35
Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum lokasi penelitian, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis daya saing kentang dan dampak kebijakan pemerintah yaitu analisis Policy Analysis Matrix. 1. Policy Analysis Matrix Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah penentuan input dan output usahatani kentang. Tahap kedua adalah pengidentifikasian input ke dalam komponen input tradable yaitu input yang diperdagangkan di pasar internasional baik di ekspor maupun di impor dan identifikasi input non tradable yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkan secara internasional. Tahap ketiga yaitu penentuan harga privat dan harga bayangan input serta output, kemudian tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan tabel PAM. Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Tahapan penyusunan Tabel PAM adalah sebagai berikut : 1. Penentuan input dan output usahatani kentang. 2. Metode pengalokasian komponen biaya domestik dan asing. penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya input tradable dan non tradable. 3. Penentuan harga bayangan input dan output. Harga bayangan yang sebenarnya akan terjadi dalam perekonomian jika pasar dalam keadaan persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan (Gittinger. 1986). a. Harga bayangan output, harga barang output yang diimpor ketika barang diterima di pelabuhan kemudian dikonversi ke dalam nilai rupiah bayangan dan ditambah dengan biaya tataniaga. b. Harga bayangan input, sama dengan harga finansialnya. Penentuan harga bayangan dengan mengeluarkan distorsi akibat kebijakan pemerintah atau akibat kegagalan pasar. Dalam penelitian ini untuk menentukan harga sosial komoditas yang diperdagangkan didekati dengan harga batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini diekspor digunakan harga FOB (free on board) dan untuk komoditas yang diimpor digunakan harga CIF (cost insurance freight). Untuk harga FOB, karena merupakan harga batas di pelabuhan ekspor perlu dikurangi biaya transport dan handling dari pedagang besar ke pelabuhan. Sementara itu untuk harga CIF karena merupakan harga batas di pelabuhan impor, maka perlu ditambah biaya transport dan handling dari pelabuhan ke lokasi penelitian. 4. Tabulasi dan analisis indikator matrix kebijakan. Adapun Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM ini adalah : 1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang didalamnya terdapat kebijakan pemerintah (distorsi pasar). 2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia (internasional).
36
3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan faktor asing (tradable) dan faktor domestik (non tradable). 4. Eksternalitas dianggap sama dengan nol. Secara lengkap Tabulasi Matrix Analisis Kebijakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Tabulasi Matrix Analisis Kebijakan Pendapatan Uraian
Biaya Input tradable B F J
Input non tradable C G K
Harga Privat A Harga Sosial E Efek Divergensi I Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : 1. Keuntungan Privat (D) = A – (B + C) 2. Keuntungan Sosial (H) = E – (F + G) 3. Transfer Output (I) = A – E 4. Transfer Input Tradable (J) = B – F 5. Transfer Input Non Tradable (K) = C – G 6. Transfer Bersih (L) = I – (K + J) 7. Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A – B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) = G/(E – F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H
Keuntungan
D H L
Penjelasan : 1. Penentuan Input dan Output Usahatani Kentang Input yang digunakan adalah pupuk, pestisida alami dan kimia, bibit, peralatan, mesin, tenaga kerja, media tanam. Sedangkan output yang dihasilkan adalah kentang segar. 2. Metode Alokasi Komponen Biaya Asing dan Domestik Menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat dua pendekatan mengalokasikan biaya domestik dan asing yaitu pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach). Pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang sumbernya dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya asing. Sementara pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, pendekatan total lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi, sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau pasar domestik. Biaya produksi adalah
37
seluruh biaya yang dikeluarkan secara tunai maupun yang diperhitungkan untuk menghasilkan komoditas akhir yang siap dipasarkan atau dikonsumsi. Biaya domestik dapat didefinisikan sebagai nilai input yang digunakan dalam suatu proses produksi. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable) didasarkan atas jenis input, penentuan biaya input tradable dan non tradable dalam biaya total input. 3. Metode Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger 1982). Kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut : a. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumberdaya tersebut dipakai untuk kegiatan lain. b. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut. 3.1. Harga Bayangan Output Pendekatan untuk harga bayangan output kentang ditentukan berdasarkan harga CIF karena merupakan harga batas di pelabuhan impor, maka perlu ditambah biaya transport dan handling dari pelabuhan Tanjung Priok ke lokasi penelitian. Dengan harga CIF yang dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah dengan biaya-biaya transportasi, bongkar muat, pemasaran, pengepakan, dan sortasi. Namun, harus dilakukan perhitungan harga bayangan nilai tukar sebagai berikut.
Dimana. SER : Nilai Tukar Bayangan (Rp.US$) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor konversi Standar Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
Dimana. SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Menurut data BPS (2012), Indonesia saat ini lebih banyak mengimpor kentang daripada mengekspor kentang, sehingga peningkatan produksi kentang lebih diarahkan untuk substitusi impor. Jadi, dalam penelitian ini harga kentang yang digunakan harga perbatasan CIF. Harga CIF kentang sebesar US$ 0.59 per
38
kg, dalam mata uang domestik menjadi Rp6,356.27 per kg. Selanjutnya dari harga CIF kentang tersebut dilakukan penyesuaian dengan penambahan terhadap biaya distribusi dan handling sampai ketingkat petani. Jadi harga bayangan kentang di tingkat petani sebesar Rp6,711.27 per kg. Pehitngan harga bayangan kentang dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.2. Harga Bayangan Input Pada prinsipnya dalam menentukan harga sosial atau bayangan input dan peralatan yang termasuk komoditas tradable, tidak berbeda dengan menentukan harga sosial output, jika inputnya adalah komoditas impor maka menggunakan harga CIF karena merupakan harga batas di pelabuhan impor, maka perlu ditambah biaya transport dan handling dari pelabuhan ke lokasi penelitian. Jika komoditasnya adalah ekspor maka harga sosial ditentukan berdasarkan harga border price yaitu FOB, sedangkan untuk input non tradable digunakan harga pasar domestik. Harga Bayangan Lahan Penentuan harga bayangan lahan dapat didekati melalui: (1) pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai tanah yang hilang karena proyek, dan (4) tidak dimasukkan dalam perhitungan sehingga keuntungan yang didapat petani merupakan return to management and land. Penelitian ini menggunaka harga bayangan lahan akan dipakai seperti yang diusulkan Gittinger (2008), yakni dengan nilai sewanya. Perhitungan harga bayangan lahan menggunakan nilai sewa lahan per ha yang berlaku di daerah penelitian. Rata-rata nilai sewa lahan sebesar Rp1,500,000 per ha. Harga Bayangan Benih Harga bayangan benih yang digunakan pada penelitian ini sama dengan harga Privatnya, karena berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani bahwa sebesar 100 persen petani responden menggunakan benih kentang dari hasil panen tanaman kentang sebelumnya dan diproduksi di dalam negeri. Informasi lain juga diperoleh bahwa pada waktu penelitian dilakukan tidak ada impor kentang dari negara lain yang masuk ke Indonesia. Rata-rata harga benih kentang yang berlaku di daerah penelitian sebesar Rp7,582.50 seperti terdapat pada Lampiran 5. Harga Bayangan Pupuk Terdapat beberapa pupuk yang digunakan pada penelitian ini dan harga bayangan yang berlaku pada setiap jenis pupuk dihitung sebagai berikut : Harga pupuk Urea, SP36, ZA menggunakan harga perbatasan dengan nilai Free On Board (FOB) pupuk Urea, SP36, ZA sebesar US$0.44, US$0.23, US$0.35 per kilo gram. FOB digunakan karena Urea, SP36, ZA merupakan komoditas ekspor, kemudian dihitung nilai tukar bayangan pada tahun 2013 sebesar Rp10,706.83, sehingga diperoleh FOB Indonesia dalam mata uang domestik berturut-turut Rp4,759.04, Rp2,410.17, Rp3,796.79 kemudian dihitung harga transportasi dan handling eksportir masing-masing sebesar Rp71.23, ditambahkan dengan harga paritas ekspor pedagang besar dengan harga Rp4.687,81, Rp2,338.94, Rp3,725.56 serta harga distribusi dan handling tingkat petani Rp890.31, Rp662.01, Rp2.200
39
maka diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani untuk pupuk Urea Rp3,797.50, pupuk Sp-36 Rp1,676.93 dan pupuk ZA Rp1,525.56. Untuk harga bayangan pupuk kandang, pupuk cap sarang burung, pupuk petroganik didasarkan pada harga privatnya yaitu masing-masing sebesar Rp500 per kg dan Rp3,500 per kg serta Rp800 per kg. Harga Bayangan Pestisida (obat-obatan) dan Tenaga Kerja Harga bayangan pestisida (obat-obatan) didasarkan pada harga privatnya, kemudian dihitung rasio kenaikan harga pestisida (obat-obatan) dari harga eceran dan ditambah dengan biaya distribusi ke lokasi penelitian. Jadi, harga bayangan pestisida di lokasi penelitian adalah untuk obat-obatan jenis fungisida Rp65,000 per liter, insektisida Rp45,000 per liter, herbisida Rp40,000 per liter. Selanjutnya harga bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan upah privat ditingkat petani. Menurut Pearson et al. (2005), peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Ketentuan upah minimum tidak berlaku di sektor pertanian. Kisaran upah tenaga kerja ditingkat petani yaitu Rp32,500-Rp33,750 per ha disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pada saat melakukan produksi kentang. Harga Bayangan Peralatan Peralatan yang digunakan petani adalah cangkul, sabit, tugal, mulsa, ajir, bambu kecil, mesin semprot (sprayer). Harga bayangan peralatan didasarkan pada penyusutannya yaitu cangkul Rp14,000 per ha, sabit Rp7,000 per ha, tugal Rp6,222 per ha, mulsa Rp34,375 per ha, ajir Rp53 per ha, bambu kecil Rp50 per ha, mesin semprot (sprayer) Rp29,166.67 per ha. Harga Bayangan Pengangkutan dan BBM Biaya pengangkutan hasil panen kentang segar dari ladang ke gudang (pemukiman warga) disesuaikan dengan harga privat ditingkat petani karena tidak ada distorsi pasar. Biaya pengangkutan kentang sebesar Rp100 per Kg. Selanjutnya harga bayangan BBM didasarkan pada harga privatnya, kemudian dihitung rasio kenaikan harga BBM dari harga eceran tertinggi dan ditambah dengan biaya distribusi ke lokasi penelitian. Jadi harga bayangan BBM di lokasi penelitian adalah Rp9,700 per liter. Harga Bayangan Nilai Tukar Perhitungan SER tahun 2013 berdasarkan data BPS, dimana total nilai ekspor Indonesia (Xt) pada tahun 2013 adalah sebesar Rp1,496,454.38 milyar, nilai impor Indonesia (Mt) Rp1,560,234.79 milyar, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) Rp18,899 milyar, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) sebesar Rp 23,535 milyar. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2013 adalah sebesar Rp10,690.62 per US Dollar. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai faktor konversi standar pada tahun 2013 adalah sebesar 0.9984 sehingga diperoleh nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) sebesar Rp10,706.83 per US Dollar. Perhitungan nilai tukar bayangan disajikan pada Lampiran 3.
40
4. Analisis Indikator Matrix Kebijakan A. Analisis keuntungan 1. Keuntungan Privat (D) = A – B – C Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan dan dihitung dengan menggunakan harga pasar. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara finansial komoditas tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah. 2. Keuntungan sosial (H) = E – F – G Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktivitas pengusahaan komoditas tersebut menguntungkan secara ekonomi. B. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif 1. Rasio Biaya Privat (PCR) =
C A-B
Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya input tradable privat. Jika nilai PCR lebih kecil dari satu berarti aktifitas pengusahaan komoditas tersebut efisien secara finansial atau memiliki keunggulan kompetitif pada kondisi terdapat intervensi pemerintah, berlaku sebaliknya jika nilai PCR lebih besar dari satu. 2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) =
G E-F
Apabila nilai Domestik Resousce Cost lebih kecil dari satu, maka kegiatan pengusahaan suatu komoditas dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan pemerintah atau memiliki keunggulan komparatif. Demikian sebaliknya apabila hasil perhitungan DRC lebih besar dari satu. C. Analisis Dampak Kebijakan 1. Kebijakan output a. Transfer Output (I) = A – E Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai transfer output positif mencerminkan besarnya transfer dari masyarakat ke produsen karena masyarakat membeli output dengan harga di atas harga yang seharusnya. Sedangkan nilai transfer output negatif menunjukkan bahwa kebijakan yang berlaku mengakibatkan harga output yang diterima produsen lebih rendah dari harga seharusnya. b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) =
A E
Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dan penerimaan berdasarkan harga sosial. Apabila nilai NPCO lebih besar dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan harga output di pasar lokal lebih tinggi dibandingkan harga di pasar dunia.
41
2. Kebijakan Input a. Transfer Input (J) = B – F Transfer input merupakan selisih antara biaya berdasarkan harga finansial dan biaya berdasarkan harga sosial. Nilai transfer input menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada input tradable. Nilai transfer input positif mencerminkan bahwa produsen harus membayar inputnya lebih mahal. Apabila nilai transfer input negatif berarti bahwa produsen tidak perlu membayar secara penuh korbanan sosial yang seharusnya dibayarkan. b. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) =
B F
Koefisien proteksi input nominal merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga finansial dan biaya input tradable berdasarkan harga sosial. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi dari pemerintah terhadap produsen input sehingga sektor yang menggunakan input tersebut terpaksa dirugikan dengan tingginya biaya produksi. c. Transfer Faktor (K) = C – G Transfer faktor merupakan indikator yang digunakan untuk menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input non tradable. Apabila transfer faktor bernilai positif berarti terdapat kebijakan pemerintah yang sifatnya melindungi produsen input domestik. Nilai transfer faktor diperoleh dari selisih antara biaya input non tradable privat dengan biaya input non tradable sosial. 3. Kebijakan Input-Output a. Transfer Bersih = D – H Transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benarbenar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. b. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) =
A-B E-F
Nilai EPC menggambarkan arah kebijakan pemerintah apakah bersifat melindungi atau justru menghambat kegiatan pengusahaan suatu komoditas. c. Koefisien Keuntungan =
D H
Apabila nilai koefisien keuntungan lebih besar dari satu, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya apabila nilai koefisien keuntungan lebih kecil dari satu, berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah. d. Rasio Subsidi bagi Podusen (SRP) =
L A-B
Nilai SRP yang lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan.
42
Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Metode PAM memilah input yang digunakan dalam proses produksi menjadi input yang dapat diperdagangkan di pasar internasional atau input tradable dan input domestik /tidak diperdagangkan di pasar internasional. Alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing menurut Pearson et al (2005) ada dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan total (total approach) dan pendekatan langsung (direct approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang di lakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendekatan langsung mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable). Alokasi biaya komponen dan asing pada sistem komoditas kentang (Lampiran 2) menunjukkan bahwa yang termasuk ke dalam 100% input domestik adalah BBM, pupuk kandang, pupuk cap sarang burung, pupuk petroganik, benih kentang, tenaga kerja, cangkul, sabit, tugal, mulsa, ajir, bambu kecil, mesin semprot, sewa lahan, bunga modal. Selanjutnya, 100% input komponen asing adalah herbisida. Herbisida diproduksi oleh perusahaan asing yang bekerja di Indonesia (hampir sebagian besar komponennya impor). Pupuk Phonska, pupuk SP-36 dan pupuk urea, pupuk ZA, Fungisida, Insektisida dimasukkan ke dalam komponen domestik 64% dan 36% asing. Hal ini karena hampir sebagian besar komponennya dari domestik. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari perubahan harga baik peningkatan maupun penurunan input produksi maupun output yang dihasilkan serta pengaruhnya terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Simulasi kebijakan dilakukan berdasarkan perubahan harga-harga input, dan jumlah output yang berpengaruh terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode Policy Analysis Matrix yang hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya harga tersebut sangat variatif, skenario pada analisis sensitivitas ditetapkan berdasarkan fenomena kebijakan pemerintah dan fenomena yang terjadi di lapang, sehingga skenario analisis sensitivitas usahatani kentang tersebut dapat memperoleh bentuk kebijakan yang efektif. Pemerintah memberikan subsidi pupuk dalam upaya membantu petani dalam memproduksi kentang. Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan harga jual pupuk yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian. Harga HET pupuk periode 2005-2009 meningkat sekitar 15 persen (Indrayani, 2011), harga obat-obatan yang setiap tahun meningkat rata-rata
43
sebesar 10 persen sedangkan kebijakan output berupa tarif impor kentang sebesar nol persen pada tahun 2010 menyebabkan harga kentang turun sampai 50 persen karena bersaing dengan harga kentang impor yang rendah. Analisis sensitivitas usahatani kentang dibuat dalam bentuk simulasi, selanjutnya akan dilakukan analisis sensitivitas untuk memperoleh bentuk kebijakan yang efektif. Dalam penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan dengan empat skenario berdasarakan fenomena yang sudah pernah terjadi, sedang terjadi maupun yang akan terjadi. Adapun skenario yang beberapa skenario tersebut, yaitu: (1) analisis sensitivitas harga pupuk naik 15 persen, (2) analisis sensitivitas harga obat-obatan naik 10 persen, (3) analisis sensitivitas harga kentang turun 50 persen, (4) analisis sensitivitas kombinasi harga pupuk naik 15 persen dengan harga obat-obatan naik sebesar 10 persen.
5
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Banjarnegara termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah 106.971,01 Ha. Pusat pemerintahan Kabupaten Banjarnegara berada di Kecamatan Banjarnegara. Secara geografis Kabupaten Banjarnegara terletak diantara 7°12’ – 7°31’ Lintang Selatan dan diantara 109°20’10” – 109° 45’50” Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Banjarnegara sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas (Gambar 9).
Gambar 9. Peta Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sebanyak 885.216 jiwa yang terdiri dari 442.391 jiwa penduduk laki-laki dan 442.825 jiwa penduduk perempuan. Jumlah rumah tangga di Kabupaten Banjarnegara sebanyak 216.356 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 828 jiwa per kilo meter persegi. Ketinggian wilayah Kabupaten Banjarnegara antara 44 m.dpl sampai 2.800 m.dpl dengan wilayah tertinggi adalah Kecamatan Batur yang terkenal melalui dataran tinggi Diengnya memiliki ketinggian wilayah 1.633 m.dpl. Tingkat kemiringan di
44
wilayah Kabupaten Banjarnegara mulai dari landai dengan tingkat kemiringan 0 – 15 persen sampai curam dengan tingkat kemiringan lebih besar dari 40 persen, dimana daerah topografi datar sampai agak curam umumnya terdapat di daerah dataran rendah sedangkan daerah topografi curam terdapat pada dataran tinggi. Kecamatan Batur merupakan bagian dari wilayah administrasi di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, atau terletak di bagian ujung utara diantara 7.28° - 7.31° Lintang Selatan dan 2.40° - 3.47° Bujur Timur. Secara geografis, Kecamatan Batur berada di daerah dataran tinggi atau pegunungan Tabel 6. Luas Wilayah Kecamatan Batur menurut Desa dan Presentasenya No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa/Kelurahan Batur Sumberejo Pekasiran Kepakisan Karang tengah Bakal Dieng Kulon Pasurenan
Luas (Ha) 1 212.142 792.932 719.217 562.882 488.811 484.850 337.846 154.420
Persentase (%) 25.70 16.81 15.25 11.17 10.36 10.28 7.16 3.27
Jumlah 4 717.100 100,00 dengan 1,663 meter di atas Tahun permukaan Sumberketinggian : BPS Kabupaten Banjarnegara 2012 laut sehingga memiliki iklim yang cukup dingin dengan suhu rata-rata mencapai 15° Celcius. Wilayah yang banyak digunakan untuk pertanaman kentang ini terhitung cukup jauh dengan Ibu kota Kabupaten Banjarnegara hingga berjarak sekitar 42 kilo meter. Adapun batas-batas wilayah yang mengelilingi Kecamatan Batur adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Batang, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, berbatasan dengan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pejawaran, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara (2012) menyebutkan bahwa Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara memiliki luas wilayah 47.17 kilo meter persegi yang terbagi menjadi delapan Desa, yakni Desa Batur, Sumber Rejo, Pasurenan, Bakal, Dieng Kulon, Karang Tengah, Kepakisan dan Pekasiran. Data luas wilayah Kecamatan Batur selangkapnya tersaji dalam Tabel 6. Penduduk di Kecamatan Batur berjumlah 38,361 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 19,502 jiwa dan perempuan 19,359 jiwa. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Desa Batur dengan jumlah 10,901 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Desa Pasurenan sebanyak 2,715 jiwa. Diamati dari kepadatan penduduk, per kilometer persegi mencapai angka kepadatan rata-rata sebesar 824 jiwa. Data kepadatan penduduk selengkapnya tersaji pada Tabel 7.
45 Tabel 7. Kepadatan Penduduk setiap Desa di Kecamatan Batur No Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk Luas Kepadatan (Jiwa) (km²) Penduduk/km² 1. Batur 10 901 12.12 889 2. Sumberejo 5 552 7.93 700 3. Pekasiran 5 078 7.19 706 4. Karangtengah 4 686 4.89 958 5. Bakal 3 868 4.85 798 6. Dieng Kulon 3 265 3.38 966 7. Kepakisan 2 796 5.27 531 8. Pasurenan 2 715 1.54 1,763 Jumlah 38 861 47.17 7,311 Sumber : BPS Kabupaten Banjarnegara Tahun 2012 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Batur bervariasi baik dari jenis maupun jumlahnya namun sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani khususnya petani kentang. Penduduk di Kecamatan Batur sebanyak 13,449 jiwa (47.74 persen) bermata pencaharian sebagai petani, sebesar 5,635 jiwa (20 persen) sebagai buruh tani. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Batur, Banjarnegara No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Desa/Kelurahan Jumlah (jiwa) Petani 13 449 Buruh Tani 5 635 Pedagang 3 054 Buruh Industri 2 727 Buruh Bangunan 843 Angkutan 658 PNS 479 Jasa Sosial 476 TNI/POLRI 258 Pensiunan 241 Pengusaha 23 Lain-lain 326 Jumlah 28 169 Sumber : BPS Kabupaten Banjarnegara Tahun 2012
Persentase (%) 47.74 20.00 10.84 9.68 2.99 2.35 1.70 1.67 0.95 0.85 0.08 1.15 100.00
Dari Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa persentase tertinggi mata pencaharian penduduk di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara adalah sebagai petani dan buruh tani yang berjumlah total untuk kedua bidang tersebut sebesar 67.74 persen. Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya (sebagian besar) penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Meskipun demikian penduduk di Kecamatan Batur, Banjarnegara ada juga yang berprofesi sebagai pedagang, buruh industri, buruh bangunan, angkutan, PNS, jasa sosial, TNI/Polri, pensiunan, pengusaha serta profesi lainnya. Dari data ini terlihat jelas bagaimana peranan pertanian sangat penting dan menjadi prioritas utama bagi masyarakat karena menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat.
46
Karakteristik Petani Responden Petani yang dijadikan sebagai responden merupakan petani yang pekerjaan utamanya berusahatani kentang. Petani pada umumnya berusahatani kentang dua sampai tiga kali dalam setahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, diperoleh data dan informasi untuk menggambarkan karakteristik petani. Beberapa karekteristik yang menggambarkan petani responden antara lain : usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah anggota keluarga atau tanggungan petani, komoditas pertanian yang diusahakan, pengalaman berusahatani kentang, penguasaan atas lahan, pola penggunaan lahan pertanian. Karakteristik responden berdasarkan umur (Tabel 9) menyatakan bahwa sebesar 100 persen petani tergolong usia produktif (25-57 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan umur, petani dapat mengelola usahataninya dengan baik. Berdasarkan pendidikan petani responden yaitu 48 persen berpendidikan SD, 33 persen berpendidikan SMP, 10 persen berpendidikan SMA, 10 persen berpendidikan Sarjana. Meskipun ada petani responden yang sudah berpendidikan sarjana, akan tetapi dari persentase keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pendidikan petani responden masih tergolong rendah karena sebesar 48 persen masih berpendidikan SD dan 33 persen berpendidikan SMP. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan akan mempengaruhi teknik usahatani seperti penggunaan teknologi dan hal lain yang berpengaruh terhadap kegiatan usahatani. Petani cenderung tidak berminat untuk mengikuti kelompok tani, karena menganggap bahwa tidak ada manfaat jika ikut dalam kelompok tani dan jarang mendapat bantuan. Pada umumnya, kelompok tani tidak aktif dan sebagian besar kelompok tani digunakan hanya untuk saluran menerima bantuan dari pemerintah. Namun setelah bantuan tersebut turun, ternyata hanya orang tertentu yang memperoleh manfaat sementara ada juga anggota kelompok tani yang tidak memperolehnya sama sekali. Peran kelompok tani sebagai salah satu bentuk kelembagaan tani sesungguhnya sangat dibutuhkan fungsinya oleh masyarakat tani di daerah penelitian, karena melalui kelompok tani tersebut para petani dapat membangun kekuatan yang lebih besar. Kekuatan akan terbentuk diberbagai aspek seperti posisi tawar petani, kekuatan permodalan, kepastian pasar dan kekuatan lainnya. Oleh karena itu sebaiknya kelembagaan tani baik berupa kelompok tani maupun bentuk lainnya sebaiknya dibentuk di daerah penelitian karena dapat membantu petani dalam banyak hal sehingga petani dapat meningkatkan pendapatannya dan juga bermanfaat bagi kesejahteraan petani. Berdasarkan pengalaman berusahatani kentang, sebagian besar petani responden telah lama berprofesi sebagai petani kentang karena merupakan usaha turun temurun di daerah tersebut. Petani yang telah memiliki pengalaman berusahatani kentang lebih dari 10 tahun sebesar 62 persen. Oleh sebab itu, penerapan sistem usahatani yang turun temurun tersebut yang banyak digunakan oleh petani. Karakteristik petani kentang yang lain yang termasuk dalam penelitian ini adalah keanggotaannya dalam kelompok tani sebesar 37.50 persen, yang tidak ikut kelompok tani sebesar 62.50 persen untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada Tabel 9.
47 Tabel 9.Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah No Karakteristik Responden Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1. Berdasarkan Umur (tahun) a. 20-30 9 23.50 b. 31-40 13 32.50 c. 41-50 12 30.00 d. 51-60 6 15.00 2. Berdasarkan Pendidikan a. SD (1-6 tahun) 19 47.50 b. SMP (7-9) 13 32.50 c. SMA/SMK (10-12) 4 10.00 d. Sarjana (>12 tahun) 4 10.00 3. Berdasarkan Pengalaman (tahun) a. 1-5 6 15.00 b. 6-10 9 22.50 c. 11-15 8 20.00 d. 16-20 9 22.50 e. 21-25 2 5.00 f. >25 6 15.00 4. Berdasarkan Keanggotaannya dalam Kelompok Tani a. Anggota 15 37.50 b. Bukan Anggota 25 62.50 Menurut informasi yang diperoleh saat penelitian bahwa kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang bermain di pasar kentang di daerah Banjarnegara khususnya pihak yang berperan sebagai tengkulak. Beberapa hal yang dapat dimanfaatkan tengkulak dari kondisi yang ada adalah dengan memberikan pinjaman/kredit maupun menyediakan input pertanian bagi petani yang membutuhkan permodalan kemudian setelah petani memiliki pinjaman kepada pedagang pengumpul (tengkulak) maka biasanya petani akan menjual hasil panen kentangnya kepada tengkulak tersebut dan hal ini akan memperngaruhi harga yang berlaku. Biasanya harga yang ditetapkan oleh tengkulak kepada petani yang memiliki hutang bisa saja lebih rendah jika dibandingkan harga yang ditetapkan oleh tengkulak kepada petani yang tidak meminjam uang. Petani yang memiliki hutang kepada tengkulak terkadang merasa bahwa hal tersebut wajar untuk dilakukan tengkulak karena petani sudah dibantu dari segi permodalan, tanpa disadari bahwa hal tersebut sebenarnya sudah menyebabkan menurunnya pendapatan petani. Dalam hal ini, apabila ada kelembagaan tani yang kuat dan perannya berfungsi dengan baik maka akan dapat menggantikan fungsi tengkulak tersebut, sehingga dapat membantu petani dalam meningkatkan pendapatannya dan kelembagaan tani tersebut juga akan menjadi besar dan hasilnya dapat dinikmati bersama oleh para petani yang menajadi naggota kelembagaan tani tersebut.
48
Kepemilikan Lahan Sebagian besar kepemilikan lahan di daerah penelitian adalah lahan milik sendiri sebesar 88.37 persen, sewa 10.40 persen sedangkan lahan bagi hasil sebesar 1.23 persen. Rata-rata harga sewa lahan di daerah penelitian sebesar Rp1,500,000 per musim tanam atau sekitar Rp4,500,000-Rp5,000.000 per hektar per tahun. Pada umumnya sistem bagi hasil di daerah penelitian adalah petani menyediakan lahan dan tenaga kerja, sementara input lain seperti benih, pupuk dan pestisida berasal dari petani mitra sedangkan hasil usahatani kentang dibagi dua oleh petani dan pemilik. Luas garapan petani responden di lokasi penelitian sebagian besar masih skala kecil dan pada umumnya untuk musim tanam 1 dan 2 luasanya sama, seperti tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Kentang di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara No Luas Lahan Jumlah Responden Persentase (%) 1. a. 0.25 – 2.00 27.00 67.50 b. 2.10 – 4.00 9.00 22.50 c. 4.10 – 6.00 13.00 2.50 d. 6.10 – 20.00 12.00 7.50 40.00 100.00 Total 23.81 Rata-rata 0.25 Minimum 20.00 Maksimum Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase tertinggi kepemilikan lahan di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara adalah pada lahan 0.25-2.00 hektar yaitu sebesar 67.50 persen, kemudian diurutan kedua adalah kepemilikan dengan luas lahan 2.10-4.00 hektar sebesar 22.50 persen. luas lahan yang dimiliki petani tersebut sifatnya adalah warisan yang diterima dari orang tuanya. Kondisi kepemilikan lahan pertanian yang relatif kecil dengan luas 0.252.00 hektar sebesar 67.50 persen tersebut dapat menyebabkan posisi tawar petani yang lemah, karena jika tiba saat panen kentang jika produksi yang dihasilkan hanya sedikit maka ini dapat menyebabkan ketidak sesuai volume yang diinginkan pasar dan juga ketidak kontinuan produk kentang yang dijual ke pasar. Akibatnya para pemain yang ada di pasar akan memanfaatkan kondisi tersebut untuk berperan menjadi pengumpul yang dapat mengumpulkan dari setiap petani yang memilik lahan kecil tersebut dan menghubungkannya kepada pasar yang pada umumnya terdapat di luar Banjarnegara, Jawa Tengah.
Keragaan Usahatani Komoditas kentang merupakan komoditas unggulan di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, budidaya kentang sudah dilakukan sejak dahulu secara turun temurun di wilayah tersebut. Selain berusahatani kentang, petani contoh juga berusahatani kubis, wortel, cabai sebagai tumpang sari maupun tanaman rotasi dan pada umumnya kentang sebagai tanaman utama yang ditanam.
49
Penanaman kentang pada umumnya terdiri dari 3 musim tanam dalam satu tahun yaitu musim tanam I antara Januari-Februari dan musim tanam II antara Mei-Juni dan musim tanam III antara September – November. Pola tanam yang umum dilakukan oleh petani responden adalah kentang-kentang-kubis/wortel, sehingga dalam waktu satu tahun idealnya dioptimalkan dua kali penanaman kentang hanya saja petani masih cenderung menggunakan pola tanam kentangkentang-kentang karena merasa bahwa lebih menguntungkan menanam kentang dibandingkan jika menanam komoditas lain. Sistem rotasi (pergiliran) tanaman sebenarnya sangat dianjurkan untuk dilakukan karena dapat memperkecil risiko serangan hama yang berlebihan, untuk mengembalikan unsur hara tanah. Musim tanam yang digunakan sebagai data dalam penelitian ini adalah musim tanam II. Pada umumnya usahatani di daerah penelitian dibiayai oleh modal sendiri dan untuk pestisida biasanya dipinjam terlebih dahulu dari pedagang saprotan saat musim tanam tiba kemudian dibayar setelah panen. Selain itu ada juga yang meminjam modal kerja dari pedagang pengumpul Desa dan meminjam dari teman atau keluarga, biasanya akan langsung dibayar setelah panen. Tahapan usahatani kentang di lokasi penelitian pada umumnya dilakukan sebagai berikut : 1. Pengolahan tanah merupakan salah satu kegiatan awal dalam budidaya kentang, beberapa tahapan yang dilakukan untuk pengolahan tanah adalah tanah dibajak (di cangkul) untuk membalik posisi tanah. Setelah itu diberi pupuk dasar yaitu pupuk kandang (CM) yang diberikan dengan cara mencampurkan pada tanah dengan kedalaman 20 cm sekaligus dilakukan saat pembuatan guludan yang disesuaikan dengan kondisi tanah agar memperoleh sinar matahari secara optimal. 2. Penanaman dilakukan pada umumnya seminggu setelah tahap persiapan lahan. Langkah-langkah penanaman tersebut sebagai berikut : lubang tanam disiapkan menggunakan tugal dengan kedalaman seukuran bibit atau kira-kira 7,5 – 10 cm. Kemudian benih kentang ditanam, benih yang ditanam harus sudah tumbuh tunasnya sekitar 1 – 2 cm. Benih ditanam dengan posisi tunas yang tumbuhnya paling baik menghadap ke atas, setelah itu ditimbun lagi dengan tanah setebal 5 – 6 cm. Jarak tanam ideal sesuai anjuran yaitu jarak antar barisan 70 – 80 cm dan jarak dalam barisan 30 cm, akan tetapi ada juga petani yang melakukan jarak antar barisan 30 cm dan jarak dalam barisan 30 cm. 3. Pemeliharaan dilakukan agar pertumbuhan benih yang telah ditanam tetap baik sehingga perlu dilakukan pemeliharaan dengan rutin selama masa pertumbuhannya hingga panen. Produksi yang tinggi akan sulit dicapai apabila tanaman kurang terpelihara dengan baik, oleh karena itu pemeliharaan tanaman harus dilakukan seintensif mungkin. Pemeliharaan pada tanaman kentang meliputi kegiatan pemupukan, penyiangan, pembumbunan, pemangkasan bunga, penyemprotan dan pengairan/penyiraman. 4. Pemanenan dilakukan pada umur 90 – 160 hari setelah tanam (HST). Untuk memperoleh hasil yang optimal, penentuan panen hendaknya berdasar pada umur tanaman. Selain itu, waktu pemanenan (pagi, siang, sore) hendaknya diperhatikan karena berpengaruh terhadap kualitas umbi yang dipanen. Pada umumnya pemanenan dilakukan pada saat cuaca yang cerah di pagi hari atau di sore hari. Tidak disarankan melakukan pemanenan disaat hujan, karena
50
umbi kentang akan mudah busuk. Pemanenan yang dilakukan pada siang hari juga kurang baik, karena pada siang hari proses fotosintesa masih berlangsung. 5. Pasca panen, kegiatan pasca panen dalam hal pengolahan kentang pada umumnya tidak dilakukan karena petani langsung menjual kentang segar di lahan atau di rumah petani. Kegiatan pasca panen biasanya hanya sebatas melakukan grading dari hasil panen kentang segar maupun melakukan sortasi untuk keperluan pemilihan benih kentang yang akan digunakan untuk musim tanam berikutnya maupun untuk dijual kepada petani lain. Petani di Kecamatan Batur, baik di Desa Batur maupun Desa Buntu pada umumnya menjual kentang segar ke pedagang pengumpul Desa. Harga rata-rata kentang yang berlaku pada saat musim tanam I dan musim tanam II tidak jauh berbeda rata-rata berkisar antara Rp7,500 – Rp8,500.
Lembaga Pemasaran Mayoritas responden menjual hasil panen kentang melalui pedagang pengumpul Desa yaitu sebanyak 38 petani atau 95 persen, selain itu 2 petani responden menjual hasil panen kentang kepada pedagang besar dalam hal ini pedagang besar yang dimaksud adalah pedagang yang akan membawa kentang ke pasar dan pedagang tersebut biasanya akan menampung kentang dari pedagang pengumpul Desa. Hasil penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar petani lebih memilih menjual kentangnya melalui pedagang pengumpul Desa dibandingkan menjual sendiri ke pedagang besar. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan (petani cenderung tidak mau repot mencari penjual) dan menghindari biaya transportasi, karena pada umumnya pedagang pengumpul Desa akan berkeliling mencari kentang di masyarakat. Tabel 11. Sebaran Responden Menurut Lembaga Pemasaran No 1. 2.
Pemasaran Jumlah Petani Persentase (%) Pedagang Pengumpul Desa 38.00 95.00 Pedagang Besar 2.00 5.00 Jumlah 40.00 100.00 Selain itu ada juga responden yang mengatakan bahwa keputusannya untuk menjual hasil panen kentang ke pedagang pengumpul Desa adalah karena sudah memiliki hutang dan berjanji akan menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul Desa tersebut. Hal ini sebenarnya dapat berakibat pada posisi tawar petani yang semakin rendah karena sudah ada hal yang membuat petani menjadi tidak bebas dalam menentukan kesepakatan harga disebabkan adanya hutang tersebut. Pedagang pengumpul Desa juga merupakan petani yang memiliki modal lebih besar dibanding dengan petani lain. Harga jual kentang biasanya lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul/pedagang besar, namun petani juga dapat dengan mudah mengetahui perkembangan informasi harga di pasar melalui informasi dari sesama petani lainnya. Sistem pembayaran yang biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul kepada petani adalah dengan sistem bayar
51
langsung (Cash On Delivery) atau tidak langsung (membayar setelah pulang dari pasar). Selanjutnya pedagang pengumpul Desa akan menjual kentang tersebut ke pedagang besar yang ada di tingkat Kecamatan. Pedagang besar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang besar yang biasanya berada di tingkat Kecamatan dimana skala jual/belinya sudah lebih besar jika dibandingkan dengan pedagang pengumpul Desa. Kemudian pedagang besar nantinya akan membawa kentang tersebut ke pasar, pasar yang dituju bisa saja bermacam-macam seperti pasar tradisional, pasar swalayan, Industri pengolahan baik yang ada di daerah Banjarnegara maupun di luar wilayah Banjarnegara seperti pasar induk Kramat jati, Jakarta, pasar Cibitung dan beberapa pasar lain yang ada di Jakarta, Bogor, Semarang dan sekitarnya, Surabaya, serta pasar lainnya yang masih berada di Pulau Jawa dan bahkan di luar Pulau Jawa seperti penjualan kentang ke Sumatera, Kalimantan, dan pulau lainnya yang sudah biasa dilakukan oleh pedagang besar hingga pernah sampai melakukan kegiatan ekspor ke luar negeri pada tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 setelah adanya penetapan tarif impor kentang sebesar nol persen menyebabkan pengusahaan kentang yang ada di Banjarnegara, Jawa Tengah menjadi terhambat dan para stakeholders terkait sempat mengalami putus asa karena kentang yang di hasilkan dari usahatani di Banjarnegara tidak laku terjual karena harga kentang impor yang jauh lebih murah. Kemudian kondisi pasar mulai stabil kembali saat diberlakukannya tarif impor kentang serta adanya Permentan No.3/2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura, dalam hal ini Kementan mengeluarkan rekomendasi kuantitas (kuota) impor dan dialokasi kepada importir terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat sesuai Permendag No.30/2013. Permendag No.30/2012 tentang lisensi impor (IT) produk hortikultura serta tahun 2013 dikeluarkannya kebijakan penutupan keran impor produk hortikultura (termasuk kentang) dengan menutup pintu pelabuhan untuk produk tersebut dengan harapan melalui adanya kebijakan ini maka dapat menolong produsen/petani hortikultura di dalam negeri dalam meningkatkan daya saing produk lokal serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Keuntungan Usahatani Keuntungan atas biaya tunai usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp10,828,853.18 per ha (Lampiran 1) dan keuntungan petani atas biaya total sebesar Rp5,015,478.73 per ha (penerimaan dikurangi dengan biaya total produksi). Berdasarkan perhitungan tersebut, jika keuntungan yang ada dibagi per bulan dengan waktu produksi selama empat bulan, maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp1,253,870 per ha per bulan. Keuntungan usahatani kentang yang diperoleh petani tergolong kecil dan menyebabkan petani sulit mengembangkan usahatani kentang yang dikelolanya selama ini. Hal ini dikarenakan petani perlu modal untuk menanam kentang pada musim tanam berikutnya. Oleh sebab itu petani masih cenderung mengandalkan/bergantung pada peminjaman modal baik pestisida dari pedagang saprodi maupun modal kerja berupa uang dari tengkulak di lokasi penelitian.
52
Berdasarkan struktur biaya (Lampiran 1) maka dapat diketahui bahwa alokasi biaya dalam usahatani kentang yang paling besar persentasenya yaitu benih kentang sebesar 51,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang sangat memerlukan benih kentang yang unggul dan memiliki produktivitas yang tinggi agar petani dapat meningkatkan pendapatannya, karena di daerah Banjarnegara ketersediaan benih kentang yang berkualitas masih sulit dan kecenderungan benih yang tersedia harganya mahal, sehingga 100 persen petani responden masih menggunakan benih kentang dari hasil panen sebelumnya dan hal tersebut sangat mempengaruhi rendahnya produktivitas tanaman kentang serta berdampak pada pendapatan petani kentang tersebut. Komponen biaya produksi yang terbesar kedua adalah modal kerja yaitu sebesar 10.38 persen, yang ketiga adalah biaya fungisida sebesar 8.82 persen hal ini menunjukkan bahwa penggunaan fungisida pada usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara cukup tinggi dan kondisi ini menggambarkan besarnya serangan populasi fungi yang ada di lokasi pertanaman kentang demikian juga halnya dengan biaya insektisida yang tergolong tinggi sebesar 3.14 persen yang dapat juga menggambarkan besarnya serangan populasi insekta di lokasi pertanaman kentang maka diharapkan ada penanganan yang baik untuk menghadapi masalah tersebut seperti melakukan penanaman bergilir yaitu menerapkan pola tanam yang tidak hanya menanam kentang saja sepanjang tahun akan tetapi dapat dirotasi dengan tanaman lain sehingga dapat mengatasi serangan fungi maupun insekta yang mengancam pertumbuhan tanaman kentang serta dapat mempengaruhi penurunan produksi kentang. Kemudian penggunaan tenaga kerja luar keluarga sebesar 6.49 persen dan tenaga kerja dalam keluarga sebesar 2.78 persen menunjukkan bahwa usahatani kentang masih sarat tenaga kerja (labor intensive). Komponen biaya sewa lahan sebesar 5.19 persen juga menggambarkan biaya yang harus dipersiapkan oleh petani jika harus menyewa lahan cukup tinggi dan akan mempengaruhi pendapatan petani tersebut, serta komponen biaya pupuk organik (CM) sebesar 4.95 persen menggambarkan bahwa penggunaan pupuk organik yang sangat tinggi dibandingkan dengan pupuk lainnya seperti pupuk ponska sebesar 2.64 persen dan diikuti besar komponen biaya pupuk yang lain (Pupuk petroganik, SP36, Urea, ZA, Pupuk cap sarang burung) berkisar antara 0.06-1.1 persen. Selain itu, besar komponen biaya angkut kentang sebesar 1.45 persen disebabkan jarak lahan kentang dengan gudang (tempat pemukiman masyarakat) relatif jauh dan sebagian besar berbukit-bukit sehingga pada umumnya pengangkutan hasil panen kentang dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia. Dari struktur biaya tersebut dapat disimpulkan bahwa usahatani kentang di Banjarnegara meskipun menguntungkan pada analisis usahataninya, namun perlu perbaikan yang serius agar dapat meningkatkan pendapatan petani di waktu yang akan datang, karena usahatani kentang yang selama ini ada masih mengarah kepada sistem usahatani yang memerlukan padat modal dan padat karya hal ini dapat disebabkan oleh cara bercocok tanam kentang di daerah Kabupaten Banjarnegara masih menggunakan teknik usahatani tradisional yang turun temurun diwariskan dari nenek moyang para petani dan penggunaan teknologi yang diterapkan dalam usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara masih sangat rendah, oleh karena itu perlu adanya perbaikan agar usahatani tersebut
53
dapat lebih menguntungkan lagi sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Kebijakan Input pada Usahatani Kentang Kebijakan input yang sudah diterapkan oleh Pemerintah Pusat terkait dengan usahatani kentang di Indonesia yaitu kebijakan bea masuk produk bahan baku impor sebesar 5 persen. Kebijakan pertama yang mempengaruhi input adalah Pemerintah memberikan subsidi pupuk dalam upaya membantu petani dalam memproduksi kentang, kemudian pada tanggal 22 Desember 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.241/PMK.011/2010 yang menjadi dasar kebijakan kenaikan bea masuk atas impor barang. PMK No.241/PMK.011/2010 merupakan perubahan keempat dari PMK Nomor 110/2006 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Perubahan ini terjadi dalam rangka melaksanakan program harmonisasi tarif bea masuk Indonesia tahun 2005-2010 sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004 tentang program harmonisasi tarif bea masuk 2005-2010 untuk produk-produk pertanian, perikanan, pertambangan, farmasi, keramik, dan besi baja. Selanjutnya, peraturan yang juga sudah diterapkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenani Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk, dan obat-obatan. Oleh karena itu, input produksi kentang yaitu pupuk anorganik, obatobatan (pestisida) yang berasal dari impor terkena kebijakan pajak bea masuk sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen. Dampak dari kebijakan ini adalah terjadinya peningkatan harga pupuk anorganik dan obat-obatan yang akan meningkatkan biaya produksi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang akhirnya akan mengurangi keuntungan yang diperoleh petani. Kebijakan lain yang juga berdampak pada input kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Sejak tanggal 22 Juni 2013, harga bensin jenis premium sebesar Rp6,500 per liter. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor 07.PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu. Besarnya subsidi BBM jenis premium yang dilakukan Pemerintah sejak dikeluarkannya peraturan tersebut adalah Rp3,000 per liter. Subsidi BBM memang tidak berdampak secara langsung terhadap produksi kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Namun, subsidi BBM akan memperkecil biaya pembelian bahan bakar pada aktivitas usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegar seperti biaya transportasi untuk membeli input, sehingga biaya input aktual (privat) yang dikeluarkan petani kentang menjadi lebih kecil dan pada akhirnya dapat membantu meningkatkan pendapatan petani.
54
Kebijakan Output pada Usahatani Kentang Kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap output kentang adalah adanya Permentan No.3/2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura, dalam hal ini Kementan mengeluarkan rekomendasi kuantitas (kuota) impor dan dialokasi kepada importir terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat sesuai Permendag No.30/2013. Permendag No.30/2012 tentang lisensi impor (IT) produk hortikultura serta tahun 2013 dikeluarkannya kebijakan penutupan keran impor produk hortikultura (termasuk kentang) dengan menutup pintu pelabuhan untuk produk tersebut dengan harapan melalui adanya kebijakan ini maka dapat menolong produsen/petani hortikultura di dalam negeri dalam meningkatkan daya saing produk kentang lokal serta mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk menjadikan produk kentang lokal menjadi produk substitusi impor. Kebijakan lain terkait dengan output usahatani kentang adalah subsidi BBM yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Subsidi BBM akan mengurangi biaya pembelian bahan bakar dalam pemasaran output sehingga harga output bisa lebih tinggi jika dibandingkan tidak ada subsidi BBM.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Salah satu ciri suatu produk memiliki daya saing yang tinggi jika produk tersebut diproduksi secara efisien. Produksi yang efisien dapat terjadi jika produksi menghasilkan produk yang optimal sehingga menyebabkan biaya produksi menurun dan keuntungan akan semakin meningkat. Pengukuran daya saing usahatani kentang menggunakan Tabel PAM. Daya saing dilihat dari keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif dan dampak kebijakan harga input dan output yang mempengaruhi daya saing usahatani kentang. Analisis PAM dimulai dengan analisa usahatani yaitu data penerimaan, biaya produksi dan biaya tataniaga. Analisis usahatani digunakan untuk melihat efisiensi produksi. Selanjutnya harga pada analisis usahatani dipisah berdasarkan harga privat dan harga sosial selama umur produksi tanaman kentang. Masingmasing data tersebut dihitung berdasarkan harga privat dan harga sosial (bayangan). Selain itu, masing-masing biaya produksi pada harga privat dan sosial dibagi ke dalam biaya input tradable dan faktor domestik. Proporsi biaya input terhadap biaya input total usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan standar convertion factor shadow price exchange rate pada Lampiran 3 dan perhitungan harga bayangan output pada Lampiran 4. Setelah perhitungan dilakukan, maka disusunlah tabel PAM yang terdapat pada Tabel 12. Data penerimaan, biaya dan keuntungan pada tabel tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai-nilai yang menjadi indikator daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
55 Tabel 12 Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Kentang di Kabupaten Banjar negara, Jawa Tengah (Rp/Ha) Biaya Uraian Penerimaan Keuntungan Faktor Input Tradable Domestik Privat 33 930 658.84 1 669 649.89 27 476 981.22 4 784 027.72 Sosial 28 902 843.02 982 751.16 27 387 680.26 532 411.59 Dampak Kebijakan 5 027 815.81 686 898.72 89 300.96 4 251 616,13 Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa dampak kebijakan yang dihasilkan bernilai positif untuk penerimaan dan keuntungan, demikian juga halnya dengan dampak kebijakan input tradable bernilai positif dan faktor domestik bernilai positif. Input tradable bernilai positif, hal ini terjadi karena harga privat pada input tradable yang lebih tinggi dari harga sosial dari input tradable. Harga beberapa input sosial yang diperoleh yaitu pupuk Urea, SP36, ZA diperoleh dengan menggunakan harga perbatasan dengan nilai Free On Board (FOB) pupuk Urea, SP36, ZA sebesar US$0.44, US$0.23, US$0.35 per kilo gram. FOB digunakan karena Urea, SP36, ZA merupakan komoditas ekspor, kemudian dihitung nilai tukar bayangan pada tahun 2013 sebesar Rp10,706.83, sehingga diperoleh FOB Indonesia dalam mata uang domestik berturut-turut Rp4,759.04, Rp2,410.17, Rp3,796.79 kemudian dihitung harga transportasi dan handling eksportir masing-masing sebesar Rp71.23, ditambahkan dengan harga paritas ekspor pedagang besar dengan harga Rp4.687,81, Rp2,338.94, Rp3,725.56 serta harga distribusi dan handling tingkat petani Rp890.31, Rp662.01, Rp2.200 maka diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani untuk pupuk Urea Rp3,797.50, pupuk Sp-36 Rp1,676.93 dan pupuk ZA Rp1,525.56, masing-masing harga pupuk ini menggambarkan bahwa harga pupuk yang ada ditingkat petani (harga private) adalah harga hasil subsidi dari pemerintah sehingga harganya tidak terlalu tinggi seperti pada harga sosial. Untuk pupuk Phonska memiliki harga bayangan yaitu Rp2,961 dengan perbedaan rasio antara subsidi dan non subsidi yaitu 2-5 kali dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Dikarenakan Phonska lebih banyak digunakan untuk produksi di domestik dibandingkan untuk diekspor dan hanya diproduksi oleh satu perusahaan yaitu PT Petrokimia Gresik. Harga Rp2,961 diperoleh dari 2.2 dikalikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk Pupuk Phonska yaitu Rp2,300 per kg sehingga diperoleh harga bayangan pupuk Phonska di tingkat Desa sebesar Rp5,060 kemudian dikurangi biaya distribusi sebesar Rp2,100 per kg. Maka diperoleh harga bayangan ditingkat petani sebesar Rp2,961. Berdasarkan Tabel 12 juga dapat dilihat bahwa usahatani kentang di Banjarnegara, Jawa Tengah menguntungkan tanpa adanya kebijakan apapun dengan jumlah keuntungan Rp4,784,027.726. Harga privat kentang Rp8,280 sedangkan harga sosialnya sebesar Rp6,711, penyebabnya tidak ada kebijakan khusus yang memproteksi harga output kentang domestik. Kebijakan yang ada selama ini adalah subsidi pupuk dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium yang akan mengurangi biaya transportasi pemasaran output tetapi tidak berpengaruh langsung untuk memproteksi harga output kentang domestik, sementara jika kebijakan penetapan tarif impor kentang menjadi nol persen dilakukan pada kondisi ini maka akan menyebabkan daya saing kentang domestik
56
semakin rendah dibanding dengan kentang impor yang harganya lebih murah. Oleh karena itu, kebijakan terhadap output yang ada selama ini ada yaitu subsidi BBM sebenarnya sudah berpihak kepada petani, namun kebijakan tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan petani dalam jumlah yang besar. Kebijakan penutupan pintu impor bagi komoditas kentang di beberapa pelabuhan yang diterapkan pada tahun 2013 sebenarnya sangat baik dalam mendukung kentang nasional untuk dikonsumsi dalam negeri dan melakukan ekspor jika ada permintaan dari negara lain, karena jika kentang dari luar negeri (negara pengimpor kentang) tetap dapat masuk ke Indonesia dengan bebas maka harga kentang domestik dikhawatirkan masih belum mampu bersaing dengan harga kentang impor. Oleh sebab itu kebijakan penutupan pintu impor bagi komoditas kentang di beberapa pelabuhan sudah berpihak kepada petani kentang domestik, secara khusus petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain kebijakan yang sudah ada, Pemerintah perlu membuat kebijakan baru terkait proteksi output kentang lokal guna meningkatkan daya saingnya sebagai komoditas dengan substitusi impor. Selanjutnya, hasil dari Tabel PAM yang telah diperoleh digunakan untuk melihat tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitif. Analisis keunggulan komparatif dapat diukur dengan indikator Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) dan Keuntungan Sosial (KS). Nilai dari indikator keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara Uraian Keunggulan Kompetitif Keuntungan Privat Rasio Biaya Privat (PCR) Keunggulan Komparatif Keuntungan sosial Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
Satuan
Nilai
Rp/ha
4 784 027.726 0.852
Rp/ha
532 411.595 0.981
Analisis keunggulan kompetitif usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dan Keuntungan Privat (KP). Nilai PCR dan KP dalam analisis keunggulan kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat keuntungan usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara secara finansial (privat). Adapun nilai PCR usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara adalah sebesar 0.852, artinya usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara memiliki keunggulan kompetitif (PCR<1). Nilai PCR sebesar 0.852 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara sebesar satu satuan pada harga privat, maka diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0.852. Berdasarkan nilai PCR tersebut, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara dapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif. Selain itu, dapat diartikan juga bahwa usahatani kentang di Kabupaten
57
Banjarnegara dapat membayar faktor domestiknya. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimalkan nilai tambah output (Rooyen IM, J.F et al (2001), Pranoto (2011) dan Najarzadeh R et al (2011)). Menurut Pranoto (2011) dan Najarzadeh R (2011), peningkatan nilai tambah output dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output. Menurut Pranoto (2011), peningkatan nilai tambah output dapat dilakukan dengan penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output. Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kapaj et al. (2010) yang mengatakan bahwa nilai PCR<1 mengindikasikan bahwa produsen memiliki keuntungan finasial (privat) positif atau memiliki keunggulan kompetitif. Semakin kecil nilai PCR, maka semakin tinggi keunggulan kompetitifnya. Dengan demikian, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara menunjukkan penggunaan sumberdaya yang efisien secara finansial sehingga memiliki keunggulan kompetitif. Hal ini juga dapat menggambarkan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara mampu bersaing dengan komoditas sejenis ketika ada impor. Berdasarkan hasil analisis PAM, dapat diketahui bahwa nilai keuntungan privat yang diperoleh selama umur produksi dari usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara bernilai positif yaitu sebesar Rp4,784,027.726 per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial, yaitu pada kondisi adanya kebijakan dari pemerintah terhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Nilai DRC usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara yang dihasilkan oleh analisis PAM adalah 0.982. Artinya, jika usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara diproduksi di dalam negeri (Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah) hanya membutuhkan biaya sebesar 0.982 satu satuan, sehingga terjadi penghematan biaya sebesar 0.18 satu satuan. Artinya, memproduksi Kentang di dalam negeri akan menjadi lebih murah dibandingkan jika mengimpor dari negara lain sehingga kentang yang diproduksi di Kabupaten Banjarnegara berdayasaing karena memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara menunjukkan penggunaan sumberdaya yang tergolong efisien secara ekonomi (sosial) sehingga memiliki keunggulan komparatif (berdaya saing) dan hal ini menunjukkan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara masih mampu bersaing dengan produk impor. Karena kondisi saat ini menggambarkan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah hanya memberikan penghematan biaya hanya sebesar 0.18 satu satuan jika dibanding mengimpor kentang dari negara lain. Nilai DRC dan PCR dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novianto (2012) di Desa Dieng Kecamatan Kejajar, Jawa Tengah yang menunjukkan bahwa nilai DRC dan PCR kentang lebih kecil dari satu sehingga dapat diartikan bahwa komoditas kentang tersebut berdaya saing (memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif). Hasil DRC yang diperoleh dari penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Najazadeh et al. (2011), Ugochukwu dan Ezedinma (2011), dan Basavaraj et al. (2013) yang mengatakan bahwa nilai DRC<1 mengindikasikan suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif. Semakin
58
kecil nilai DRC, maka semakin tinggi keunggulan komparatif komoditas tersebut. Oleh karena itu, dikarenakan nilai PCR dan DRC yang diperoleh dari hasil penelitian mendekati satu dan sebenarnya nilai ini sudah cukup besar (daya saingnya rendah) maka hal ini menunjukkan bahwa nilai keunggulan komparatif kentang di Indonesia perlu ditingkatkan daya saingnya. Indikator keunggulan komparatif lainnya adalah nilai keuntungan sosial (KS) yang diperoleh dari sistem komoditas yang diteliti. Berdasarkan hasil analisis PAM dapat diketahui bahwa penerimaan dari usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara secara ekonomi bernilai positif yaitu Rp532,411.595 per hektar. Hal ini mengindikasikan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara masih menguntungkan secara ekonomi sehingga layak diusahakan. Jika dibandingkan dengan nilai DRC, nilai PCR yang dihasilkan ternyata lebih rendah. Maka, dapat disimpulkan bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara memiliki keunggulan kompetitif yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan keunggulan komparatifnya, namun masih tetap berdaya saing. Artinya, kebijakan terkait input-output yaitu pajak bea masuk atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) sebesar 5 persen, PPN 10 persen, dan subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter terhadap usahatani kentang yang sudah diterapkan selama ini sudah membantu usahatani kentang memiliki keunggulan secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih baik. Perbandingan selanjutnya yang dapat disimpulkan adalah nilai keuntungan privat yang lebih besar dibandingkan keuntungan sosialnya. Hal ini berarti pengusahaan usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara lebih menguntungkan saat dengan adanya kebijakan dari pemerintah terhadap input yang dikeluarkan dan output yang dihasilkan. Dampak kebijakan dari keuntungan menunjukkan angka positif sebesar Rp4,251,616.131 per hektar. Artinya, penerapan kebijakan pemerintah terhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara masih dalam batasan yang mendukung yaitu pajak bea masuk atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) sebesar 5 persen, PPN 10 persen, dan subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter, penutupan pintu pelabuhan untuk impor kentang pada tahun 2013 membuat petani kentang memperoleh keuntungan sebesar Rp4,251,616.131 per hektar. Jika dianalisis lebih lanjut sebenarnya nilai ini masih tergolong kecil, karena dalam luasan lahan 1 ha (satu hektar) yang memerlukan sistem usahatani yang padat modal dan padat karya dalam berusahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara maka usahatni tersebut masih sangat bergantung pada penggunaan tenaga kerja yang banyak dan memerlukan modal yang besar, sementara itu faktor cuaca juga dapat memberikan risiko besar terhadap produksi kentang karena adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman kentang. Harga kentang juga dapat berubah karena pengaruh hari besar seperti lebaran, natal, tahun baru dan hari besar lainnya karena biasanya pada hari besar konsumsi kentang meningkat sehingga permintaan akan kentang juga meningkat dan hal tersebut berpengaruh pada harga yang meningkat. Oleh karena itu, kebijakan terkait komoditas kentang yang sudah diterapkan selama ini masih perlu diperbaiki agar dapat meningkatkan pendapatan petani. Beberapa perbaikan yang perlu dilakukan adalah dengan menggunakan benih kentang berkualiatas dengan produktivitas tinggi dan ini juga menjadi tugas
59
pihak terkait untuk dapat mewujudkannya seperti litbang pertanian yang ada di Kabupaten Banjarnegara agar dapat melakukan kajian untuk memperoleh benih kentang yang berkualitas dengan produktivitas tinggi, menerapkan teknologi yang tepat guna dalam usahatani kentang dan membangun atau memperbaiki infrastruktur usahantani seperti irigasi, jalan raya yang dapat membantu petani dalam meningkatkan pendapatan usahataninya. Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida sesuai dosis anjuran perlu diterapkan oleh setiap petani, aktif dalam kelompok tani dan mengikuti pelatihan serta pembinaan usahatani karena melalui kegiatan ini petani akan memperoleh pengetahuan yang baik dalam usahatani kentang dan diharapakan dapat meningkatkan keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Keseluruhan dari kondisi kebijakan yang sudah dijelaskan di atas menggambarkan bahwa, kebijakan pemerintah setelah tahun 2010 lebih berpihak kepada petani, seperti kebijakan penutupan pintu impor secara khusus bagi produk kentang pada tahun 2013 sangat membantu petani kentang di Kabupaten Banjarnegara dalam menjalankan usahataninya. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku yang terdapat pada sektor tersebut. Kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dapat menentukan keberhasilan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan negara. Kebijakan dapat mempengaruhi keuntungan maupun produktivitas suatu kegiatan ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pemerintah diduga mampu mempengaruhi kondisi daya saing suatu komoditas. Kebijakan pemerintah yang bisa diperhitungkan dalam analisis PAM terhadap daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah merupakan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat (Nasional) seperti penerapan pajak impor bahan baku pertanian sebesar 5 persen dan PPN input produksi sebesar 10 persen yang berpengaruh pada harga input produksi yaitu subsidi pupuk dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium yang akan memperkecil biaya transportasi pembelian input produksi dan pemasaran output usahatani kentang. Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari analisis matrix PAM melalui beberapa indikator. Indikator-indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah terdiri dari dampak kebijakan terhadap output (Transfer Output dan Kebijakan Proteksi Output Nominal), dampak kebijakan terhadap input (Transfer Input, Transfer Faktor, dan Koefisien Proteksi Input Nominal), dan dampak kebijakan terhadap input-output (Koefisien Proteksi Efektif, Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen) terdapat pada Tabel 14.
60 Tabel 14 Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Kentang di kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Indikator Satuan Nilai Dampak Kebijakan Terhadap Output Transfer Output (TO) Rp/ha 5 027 816 Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 1.174 Dampak Kebijakan Terhadap Input Transfer Input (TI) Rp/ha 686 898.728 Transfer Faktor (TF) Rp/ha 47 060.958 Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1.699 Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 1.155 Transfer Bersih (TB) Rp/ha 4 251 616.131 Keofisien Keuntungan (PC) 8.986 Rasio Subsidi Produsen (SRP) 0.147 Dampak Kebijakan terhadap Output Sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang langsung mengenai harga output kentang, kebijakan yang ada adalah larangan impor kentang yang diterapkan pada tahun 2013 dan juga adanya kebijakan subsidi BBM yang nantinya akan mempengaruhi biaya tataniaga dari distribusi output Kentang. Kebijakan lainnya adalah subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter premium akan memperkecil biaya transportasi tataniaga kentang. Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari dua indikator yaitu transfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Nilai transfer output (TO) yang dihasilkan pada pengusahaan kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah sebesar Rp5,027,816 per hektar. Artinya harga output kentang di pasar domestik lebih mahal dari harga internasionalnya. Hal ini dapat terlihat dari harga output pada struktur harga privat yang lebih rendah dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp8,280 per Kg (harga privat) dan Rp6,711 per Kg (harga sosial). Pranoto (2011) menyatakan bahwa nilai TO negatif dapat diinterprestasikan bahwa harga produk ditingkat petani atau domestik lebih rendah dari harga di pasar internasional. Karena nilai TO pada penelitian ini bernilai positif, berarti harga jual kentang domestik lebih mahal dari harga di pasar internasional. Artinya meskipun ada kebijakan Pemerintah yang melindungi output kentang akan tetapi belum dapat membuat kentang domestik menjadi lebih rendah dari harga kentang impor. Sementara itu, kebijakan yang sudah ada selama ini yaitu subsidi Pupuk dan BBM ternyata belum mampu memberikan dampak yang besar bagi petani. Berdasarkan nilai TO yang positif (TO>0) tersebut, maka yang terjadi adalah konsumen tidak menerima insentif dari produsen (petani) kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah karena konsumen membeli kentang domestik dengan harga yang mahal sehingga konsumen dirugikan dan dalam hal ini petani (produsen) kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memperoleh keuntungan. Hal ini menggambarkan bahwa dengan harga kentang yang mahal tersebut maka sangat besar peluang konsumen akan beralih pada kentang impor (jika terjadi impor) yang harganya relatif lebih murah dan jika hal ini terjadi maka dampaknya produsen dirugikan. Oleh karena itu, kebijakan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium yang berdampak pada biaya pemasaran output kentang serta penutupan pintu impor kentang di pelabuhan pada tahun
61
2013 sudah berpihak pada petani (produsen) kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dan hal yang perlu dievaluasi adalah penggunaan input oleh petani kentang agar lebih efisien sehingga harga di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi dengan penggunaan biaya produksi yang lebih rendah. Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio antara penerimaan yang dihitung berdasarkan harga bayangan, NPCO merupakan indikasi dari Transfer Output (TO), dimana NPCO menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1) menunjukkan bahwa harga domestik lebih rendah dari harga dunia. Analisis dampak kebijakan terhadap output juga dapat dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Nilai NPCO adalah nilai rasio antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai NPCO usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara sebesar 1,174 (NPCO>1), artinya harga domestik untuk output kentang lebih tinggi dari harga output internasionalnya karena nilai yang lebih besar dari satu menunjukkan adanya proteksi pemerintah. Hasil analisis memang menunjukkan bahwa harga kentang pada Rp8,280 per Kg (harga privat) dan Rp6,711 per Kg (harga sosial), oleh karena itu kebijakan proteksi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini kebijakan penutupan pintu pelabuhan impor kentang agar tidak terjadi persaingan antara kentang domestik dengan kentang impor sudah berpihak pada petani. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Novianto (2012) yang menunjukkan nilai NPCO < 1 karena asumsi yang digunakan adalah harga kentang di domestik masih lebih rendah dari harga dunia di Desa Dieng, Kecamatan Kejajar. Menurut Novianto (2012) dan Ugochukwu dan Ezedinma (2011), pengurangan penerimaan petani akibat tidak adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi output bisa disebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga. Dari hasil observasi dan wawancara dengan responden pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa harga jual kentang di Kabupaten Banjarnegara memang lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul dibandingkan oleh petani, sehingga posisi petani dalam penentuan harga kentang menjadi lemah. Petani cenderung tidak mau repot untuk mencari pasar sehingga menjual ke pedagang pengumpul yang dikenal dan juga terdapat petani yang sudah memiliki hutang terlebih dahulu kepada pedagang pengumpul (tengkulak) di awal musim tanam sehingga berpengaruh kepada harga hasil produksi kentang yang dijual tersebut biasanya lebih murah karena dalam hal ini petani kecenderungan tidak memiliki posisi tawar. Untuk mengatasi kurangnya permodalan petani, maka sebaiknya digerakkan kelembagaan tani (kelompok tani, koperasi dan sebagainya) untuk dapat membantu petani dalam memperkuat permodalan mereka melalui aktivitas kelembagaan petani yang ada serta membantu petani untuk dapat meningkatkan pengetahuan mengenai informasi dan perkembangan mengenai teknologi yang terkait dengan usahatani maupun industri kentang agar melalui hal ini terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalam meningkatkan keuntungan usahataninya. Dalam penelitian ini nilai NPCO>1, hal ini berarti bahwa terjadi penambahan penerimaan petani akibat adanya kebijakan pemerintah yang melindungi output. Kebijakan terkait output kentang yang ada saat ini adalah subsidi BBM dan penutupan pintu impor kentang di pelabuhan. Oleh karena itu,
62
kebijakan pemerintah untuk memproteksi output kentang demi melindungi produsen dalam negeri yang ada saat ini sudah berpihak kepada petani kentang, akan tetapi masih diperlukan kebijakan lain yang dapat memberikan jaminan harga output (harga stabil/tidak berfluktuatif) dari hasil produksi kentang yang ada di dalam negeri secara khusus di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah serta memberikan jaminan kepastian pasar. Dalam hal ini, tentunya diharapkan kerjasama dari setiap pihak yang terkait agar hasil produksi kentang yang ada di daerah Banjarnegara tersebut dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi sehingga petani (produsen) kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memperoleh keuntungan yang layak dan di sisi lain, konsumen juga mengalami keuntungan dengan harga kentang yang relatif lebih murah sehingga dalam hal ini apabila kentang impor masuk ke Indonesia maka tidak akan menjadi masalah bagi kentang domestik dengan kata lain kentang domestik khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mampu bersaing dengan kentang impor dari negara lain. Secara keseluruhan, analisis dampak kebijakan pemerintah yaitu Kebijakan proteksi impor melalui penutupan pintu pelabuhan impor kentang, subsidi pupuk dan BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium terhadap output kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut memang memberikan insentif bagi petani (produsen) kentang, akan tetapi belum mampu membuat daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah lebih baik dari kentang impor karena terbukti dari harga kentang domestik yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga kentang impor. Dalam hal ini jelas menggambarkan apabila diberlakukan tarif impor kentang sebesar nol persen seperti pada tahun 2010, maka sangat mempengaruhi kondisi kentang domestik yang dampaknya merugikan petani (produsen) sehingga perlu diterapkan kebijakan proteksi impor baik melalui kuota (menutup pintu impor ketika produksi dalam negeri tercukupi dengan jumlah permintaannya) serta penetapan tarif terhadap kentang impor yang masuk ke Indonesia. Dampak Kebijakan terhadap Input Kebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku untuk harga output, namun berlakuk pula untuk harga input dari usahatani kentang yang dijalankan. Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap input seperti subsidi atau pajak dan hambatan perdagangan terhadap input pertanian bertujuan agar produsen dapat menggunakan sumberdaya secara optimal. Pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan harga input lebih tinggi dan biaya produksi meningkat sehingga mengurangi pendapatan petani. Kebijakan terkait pajak yang diterapkan pada input produksi kentang (pupuk anorganik dan obat-obatan) adalah pajak impor 5 persen dan PPN 10 persen, sedangkan kebijakan subsidi adalah pemerintah memberikan subsidi pupuk dalam upaya membantu petani dalam memproduksi kentang, subsidi pupuk dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter premium akan mengurangi biaya transportasi pada penyediaan input serta subsidi pupuk (Urea, Ponska, ZA). Besarnya dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah ditunjukkan oleh nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Berdasarkan hasil analisis, nilai TI yang diperoleh adalah positif atau lebih besar
63
dari nol yaitu sebesar Rp686,898.72 per hektar. Hal ini berarti harga sosial input asing lebih rendah, akibatnya produsen tidak perlu membayar input lebih mahal. Harga sosial untuk pestisida (obat-obatan) seperti harga Fungisida sebesar Rp65,000 lebih rendah dibanding harga private sebesar Rp87,000, demikian juga dengan harga sosial Insektisida sebesar Rp85,525 lebih rendah dibanding harga private sebesar Rp45,000 serta harga sosial Insektisida sebesar Rp55,225 lebih rendah dibanding harga private sebesar Rp40,000. Sementara itu, harga BBM jenis premium pada budget privat sebesar Rp7,500 per liter lebih rendah dari harga pada budget sosial yaitu Rp9,700 per liter. Oleh karena itu, kebijakan terhadap input usahatani kentang yaitu bea masuk 5 persen atas bahan baku input tradable (pupuk anorganik dan obat-obatan), PPN 10 persen, dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter premium untuk biaya transportasi input secara umum dapat menjadikan keuntungan yang diterima petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan input dan oleh karena itu kebijakan tersebut berpihak kepada petani (produsen). Selain input tradable, input lain yang digunakan dalam proses produksi adalah input domestik (faktor domestik). Harga atas input tersebut ditentukan oleh mekanisme pasar lokal atau di dalam negeri. Transfer Faktor (TF) merupakan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi tersebut. TF merupakan selisih antara biaya input domestik yang dihitung pada harga privat dengan biaya input produksi pada harga bayangan (sosial), kebijakan pemerintah pada input domestik yang dilakukan dalam bentuk subsidi dan pajak. Berdasarkan hasil analisis, nilai Transfer Faktor (TF) menunjukkan besarnya subsidi BBM terhadap input non tradable (faktor domestik) usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah bernilai positif, yaitu sebesar Rp47,060.958 per hektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat implisit subsidi positif pada input non tradable (faktor domestik) dari Pemerintah yaitu subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium dan juga subsidi pupuk (Urea, Ponska, ZA), maka kebijakan tersebut efektif untuk tetap dilaksanakan. Untuk menunjukkan tingkat proteksi atau kebijakan yang dibebankan pemerintah pada input tradable apabila dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah, dapat dilihat dari besarnya nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable privat dengan biaya input tradable sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPCI usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah bernilai lebih besar dari satu yaitu sebesar 1.699. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input asing (tradable), yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi karena petani membeli input tradable lebih mahal dari harga dunia akibat adanya pajak impor sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen pada input tradable (obat-obatan) Novianto (2012) dan Pranoto (2011). Dampak Kebijakan terhadap Input dan Output Analisis kebijakan pemerintah terhadap input-ouput adalah analisis gabungan antara kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan gabungan tersebut dapat dilihat melalui indikator Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Keofisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Nilai EPC merupakan rasio antara selisih penerimaan dan biaya
64
input tradable pada harga privat (aktual) dengan selisih penerimaan dan biaya input tradable pada harga sosial (bayangan). Nilai EPC tersebut menggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter serta penutupan pintu pelabuhan untuk kentang impor dalam melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai EPC usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah lebih besar dari satu atau sebesar 1,155. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output yang berlaku sudah efektif melindungi petani usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah karena petani membayar harga input tradable sudah relatif sesuai dengan harga jual output kentang. Berbeda dengan Novianto (2012) menyatakan bahwa kondisi kentang di Desa Dieng memiliki nilai EPC<1 karena kebijakan subsidi BBM dan penutupan pintu pelabuhan untuk kentang impor pada penelitian itu belum diterapkan. Indikator lain yang menunjukkan adanya dukungan (proteksi) dari pemerintah terhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah Transfer Bersih (TB). TB merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima petani (privat) dengan keuntungan bersih sosial (pada kondisi pasar bersaing sempurna). Hasil analisis menunjukkan nilai TB di lokasi penelitian bernilai lebih dari nol atau bernilai positif sebesar Rp4,251,616.131 per hektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input-output usahatani kentang di Kaabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah atau dengan kata lain kebijakan tersebut berpihak kepada petani. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter sudah efektif diterapkan. Nilai koefisien keuntungan (PC) juga menunjukkan adanya proteksi atau dukungan dari pemerintah terhadap petani atau pelaku usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. PC merupakan rasio atau perbandingan antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai PC dapat menjadi indikator yang menunjukkan dampak insentif dari semua kebijakan output, kebijakan input asing dan input domestik (net policy transfer). Nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu sebesar 8,986. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih besar jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan. artinya, petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memperoleh keuntungan yang lebih tinggi pada saat ada kebijakan dibandingkan pada saat tidak ada kebijakan. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter sudah efektif untuk dijalankan. Berikutnya, rasio subsidi bagi produsen (SRP) adalah rasio antara TB dengan penerimaan berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai SRP menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat memungkinkan membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi usahatani kentang. Hasil analisis menunjukkan nilai
65
SRP di lokasi penelitian adalah 0,147 yang berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini yaitu pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium menyebabkan petani atau pelaku usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mengeluarkan biaya lebih rendah dari biaya sosialnya untuk berproduksi. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3 000 per liter sudah efektif untuk diterapkan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output yang ada selama ini yaitu pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen atas input produksi seperti pupuk organik dan obat-obatan serta subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premiun sudah melindungi petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah secara efektif. Hal ini terlihat dari hasil analisis yang dilakukan dengan adanya kebijakan penutupan keran impor di beberapa pelabuhan yang dilakukan sejak tahun 2013, surplus petani serta keuntungan yang diperoleh menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Kondisi tersebut dapat menguntungkan bagi pengembangan daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter sudah efektif untuk meningkatkan daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.. Analisis Sensitivitas Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Analisis sensitivitas dilakukan untuk mereduksi kelemahan matrix analisis kebijakan (PAM) yang bersifat statis yaitu hanya memberlakukan satu tingkat harga dimana pada kenyataannya harga dapat bervariasi atau berfluktuatif. Analisis sensitivitas ini juga digunakan pada penelitian Kapaj et al. (2010). Kapaj et al. (2010) menggunakan skenario peningkatan dan penurunan harga output dan luas lahan. Simulasi skenario pada analisis sensitivitas ini diperlukan untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi yang dinamis. Pada penelitian ini digunakan empat skenario analisis sensitivitas, keempat skenario tersebut adalah jika terjadi peningkatan harga pupuk sampai 15 persen, skenario peningkatan harga obat-obatan sebesar 10 persen, skenario harga kentang turun sampai 50 persen serta kombinasi antara peningkatan harga pupuk sampai 15 persen dan harga kentang turun sampai 50 persen. Keempat skenario tersebut bersifat cateris paribus, yaitu jika terjadi perubahan pada satu variabel, maka variabel lainnya dianggap tetap. Adanya perubahan terhadap harga input dan jumlah produksi tersebut menyebabkan perubahan tingkat keuntungan dan efisiensi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap daya saing usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Perubahan indikator daya saing (DRC, PCR) dan dampak kebijakan pemerintah (NPCO, NPCI, EPC, PC, SRP) terhadap usahatani
66
kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah atas skenario yang diterapkan dalam analisis sensitivitas terdapat pada Tabel 15. Tabel 15 Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7
Indikator
Kondisi Normal
PCR DRC NPCO NPCI EPC PC SRP
0,852 0,981 1,174 1,699 1,155 8,986 0,147
1 0.856 0.987 1.174 1.734 1.154 13.114 0.148
Skenario 2 3 0.862 1.430 0.990 1.575 1.174 1.137 1.677 1.699 1.155 1.105 15.398 0.826 0.143 0.095
4 1.643 0.996 1.174 8.424 0.891 -154.994 -0.555
Dampak Peningkatan Harga Pupuk 15 Persen Analisis pertama yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah bila terjadi peningkatan harga Pupuk (SP36, Urea, ZA) yang merupakan input tradable sebesar 15 persen. Asumsi penggunaan nilai 15 persen berdasarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan harga jual pupuk yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian. Harga HET pupuk periode 2005-2009 meningkat sekitar 16 persen (Indrayani, 2011). Hasil tabulasi PAM pada saat terjadi kenaikan harga pupuk terdapat pada Tabel 16. Tabel 16 Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk Sebesar 15 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian Penerimaan Keuntungan Input Faktor Tradable Domestik 33 930 658.84 1 719 823.28 27 566 178.35 4 644 657.20 Privat Sosial 28 902 843.02 991 662.84 27 557 002.09 354 178.09 Dampak Kebijakan 5 027 815.81 728 160.43 9 176 262.00 4 290 479.11 Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya meskipun nilai DRC dan PCR-nya lebih besar dari kondisi normal. DRC dan PCR pada skenario ini masih bernilai kurang dari satu yaitu 0.989 dan 0.856 (Tabel 13). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai keuntungan privat dan sosial yang masih bernilai positif meskipun nilainya lebih rendah dari kondisi normal. Maka, bila terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Indrayani (2011) yang menemukan bahwa peningkatan harga input produksi, seperti pupuk 15 persen dapat menurunkan keuntungan yang diperoleh
67
petani terhadap komoditas tersebut namun masih layak diusahakan. Demikian juga yang diutarakan oleh Puspitasari (2011) yang juga menggunakan skenario peningkatan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen pada komoditas Belimbing Dewa. Menurut Puspitasari (2011), peningkatan harga pupuk anorganik sebesar 10 persen akan menurunkan keuntungan yang diterima petani namun masih layak diusahakan. Jadi, pada harga finansial, setiap kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen, maka keuntungan yang diperoleh dalam pengusahaan komoditas kentang di lokasi penelitian berubah (menurun) menjadi Rp4,644,657.20 per hektar dengan asumsi faktor lain tetap (cateris paribus). Analisis di atas dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen dapat menurunkan tingkat daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dampak Kenaikan Harga Obat-obatan (Pestisida) sebesar 10 Persen Analisis kedua yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah bila terjadi kenaikan harga obat-obatan (pestisida) sampai 10 persen. Asumsi penggunaan nilai 10 persen berdasarkan harga berdasarkan rata-rata peningkatan harga Obat-obatan (Fungisida, Insektisida, Herbisida) setiap tahun yang dirasakan petani Kentang di daerah Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dapat dilihat seperti hasil tabulasi PAM pada pada Tabel 17. Tabel 17 Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Obat-obatan sampai 10% (Rp/Ha) Biaya Uraian Penerimaan Keuntungan Input Faktor Domestik Tradable 33 930 658.845 1 803 165.961 27 698 143.784 4 429 349.101 Privat Sosial 28 902 843.028 1 075 085.168 27 540 096.265 287 661.595 Dampak Kebijakan 5 027 815.817 728 080.793 158 047.518 4 141 687.506 Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dengan penetapan skenario ini diperoleh bahwa komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan kompetitif akan tetapi secara komparatif sudah tidak berdaya saing, meskipun nilai PCR yang diperoleh lebih besar dari kondisi normal akan tetapi PCR dan DRC-nya masih bernilai kurang dari satu yaitu 0.056 dan 0.990 (Tabel 15) artinya dengan adanya kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen maka komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memiliki daya saing secara kompetitif dan komparatif. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai keuntungan privat dan keuntungan sosialnya yang bernilai positif. Maka, bila terjadi kenaikan harga obat-obatan pada usahatani kentang sebesar 10 persen, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memberikan keuntungan secara finansial dan ekonomi sehingga dalam kondisi ini usahatani kentang masih layak untuk dijalankan.
68
Hasil analisis sensitivitas pada skenario ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) yang menemukan bahwa peningkatan harga input produksi, seperti obat-obatan 10 persen dapat menurunkan keuntungan yang diperoleh petani terhadap komoditas yang dikelola namun masih layak diusahakan secara finansial dan ekonomi. Pada harga finansial, setiap kenaikan harga obatobatan sebesar 10 persen, maka keuntungan yang diperoleh dalam usahatani di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah berubah (menurun) menjadi Rp4,429,349.101 per hektar dengan asumsi faktor lain tetap (cateris paribus). Demikian juga pada harga sosial maka keuntungan yang diperoleh berubah menjadi (menurun) Rp287,661.595. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan harga obat-obatan sebesar 10 persen dapat menurunkan tingkat daya saing usahatani di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Dampak Harga Kentang Turun sebesar 50 Persen Analisis ketiga yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif bila terjadi penurunan harga kentang sebesar 50 persen. Tabel 18 menunjukkan tabulasi PAM saat terjadi skenario penurunan harga 50 persen. Tabel 18 Tabulasi PAM Skenario Penurunan Harga Kentang sebesar 50 persen (Rp/Ha) Biaya Uraian Penerimaan Keuntungan Faktor Input Tradable Domestik Privat 20 888 584.45 9 001 243.76 40 510 925.87 -28 623 585.18 Sosial 18 374 676.54 1 084 327.35 27 715 697.76 -10 425 348.57 Dampak Kebijakan 2 513 907.90 7 916 916.41 12 795 228.11 -18 198 236.61 Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah tidak memiliki daya saing baik dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitifnya ditunjukkan dengan nilai DRC dan PCR lebih besar dari 1 (Tabel 14) serta keuntungan privat dan sosial, keuntungan dari dampak kebijakan yang terjadi lebih kecil dari kondisi normal dan bernilai negatif. Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi penurunan harga kentang sebesar 50 persen (seperti yang terjadi pada tahun 2010) maka hal ini menunjukkan bahwa kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak berdaya saing baik kompetitif maupun komparatif sehingga tidak layak untuk dijalankan. Dampak Kenaikan Harga Pupuk 15 Persen dan Kenaikan Harga Obatobatan 10 Persen Analisis keempat yang dilakukan adalah menguji kepekaan keuntungan privat dan ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif adalah kombinasi ketika terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen bersamaan dengan kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen. Hasil analisis dapat dilihat pada tabulasi PAM saat terjadi skenario kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen dan kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen pada Tabel 19.
69 Tabel 19 Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk Sebesar 15 Persen dan Kenaikan Harga Obat-obatan sebesar 10 Persen (Rp/Ha) Biaya Uraian Privat Sosial Dampak Kebijakan
Penerimaan
Input Faktor Domestik Tradable 20 888 584.451 1 669 649.896 27 476 981.224 18 374 676.542 982 751.168 27 387 680.265 2 513 907.908
686 898.728
89 300.958
Keuntungan -8 258 046.668 -9 995 754.891 1 737 708.223
Hasil yang diperoleh dengan penetapan skenario ini adalah usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak memiliki keunggulan kompetitif ditunjukkan dengan nilai PCR lebih besar dari 1 (Tabel 15), meskipun nilai PCR<1 yaitu sebesar 0.996 akan tetapi keuntungan privat dan sosialnya lebih kecil dari kondisi normal dan bernilai negatif sehingga dapat disimpulkan, apabila terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen dan kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen maka usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak layak untuk dijalankan. Oguntade (2011) menyatakan bahwa apabila terjadi peningkatan harga input maka diperlukan adanya perbaikan infrastruktur dan sistem pemasaran yang baik agar dapat membantu petani mengefisienkan biaya yang akan digunakan dalam memproduksi suatu komoditas sehingga usahatani yang dijalankan tetap memberikan keuntungan bagi petani. Dapat disimpulkan bahwa jika terjadi kenaikan harga pupuk sebesar 15 persen dan kenaikan harga obat-obatan sebesar 10 persen maka akan mengakibatkan komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak berdaya saing baik kompetitif maupun komparatif sehingga tidak layak untuk dijalankan.
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menguntungkan secara finansial dan ekonomi dengan keuntungan finansial sebesar Rp4,784,027.72 dan keuntungan ekonomi sebesar Rp532,411.59. 2. Usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif karena efisien secara produksi dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu yaitu PCR sebesar 0.852 dan DRC sebesar 0.981. 3. Kebijakan pemerintah terhadap input serta output yang terjadi saat ini sudah mendukung peningkatan daya saing usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 4. Skenario kebijakan yang dilakukan pada analisis sensitivitas memperlihatkan bahwa kenaikan dan penurunan harga input maupun output yang
70
mempengaruhi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah sensitif dan sangat mempengaruhi daya saing komoditas kentang.
Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang diperoleh maka dapat dirumuskan beberapa saran implikasi kebijakan, yaitu : 1. Petani harus menggunakan benih kentang yang memiliki produktivitas tinggi, menggunakan pupuk dan pestisida sesuai dosis anjuran, aktif dalam kelompok tani dan mengikuti pelatihan serta pembinaan usahatani agar dapat meningkatkan keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. 2. Pemerintah tetap memproteksi impor kentang yang masuk ke Indonesia, dengan menutup pintu pelabuhan untuk impor kentang maupun dalam menerapkan sistem kuota dan tarif agar dapat meningkatkan daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif secara khusus sebagai produk substitusi impor. 3. Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus untuk melindungi petani dalam hal menjaga kestabilan harga output kentang (subsidi harga output) dan juga menjaga kestabilan harga input. 4. Bagi pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya diharapkan dapat menganalisis efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Penelitian efisiensi dibutuhkan untuk mengetahui faktor-faktor produksi usahatani yang belum efisien dalam rangka peningkatkan daya saing kentang.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Banjarnegara. Jawa Tengah : Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan. Jakarta : Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan Impor). Jakarta : Badan Pusat Statistik. [Ditjenhorti] Direktorat Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian. 2012. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku tahun 2006-2010. Jakarta (ID). [diunduh 2013 November 10]. Tersedia pada: http://Ditjenhorti.deptan.go.id. Andrawati, Arini Ungki. 2011. Efisiensi Teknis Usahatani Kentang dan Faktor yang Mempengaruhi di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Coelli, T, D.S.P. Rao, C.J. O′Donnell and G.E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis. Second Edition. New York (US): Springer.
71
Dewanata, O.P. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut (Studi Kasus Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara. 2012. Data primer potensi wilayah dan Agro Ekosistem. Banjarnegara: Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara. Fadillah, Achmad. 2011. Analisis Daya saing Komoditas Unggulan Perikanan Tangkap Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Feryanto. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. Jakarta (ID). UI-Press dan John Hopkins. Indrayani, Ida. 2011. Analisis Produksi dan Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Joubert, C.J, Phahlane, N.H, Jooste, A, Dempers, C, Kotze, L. 2010. Comparative advantage of potato production in seven regions of South Africa [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 10(13). Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/96432/2/177.pdf. Kadariah LK. dan Gray C. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kapaj AM, Kapaj I, Halbrendt CC, Totojani O. 2010. Assesing the Comparative Advantage of Albanian Olive Oil Production. International Food Agribusiness Management Review. International Food Agribusiness Management Association (IAMA) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30];13(1). Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/items. Karim IE, Ismail IS. 2007. Potential for agricultural trade in COMESA region: a comparative study of Sudan, Egypt and Kenya [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30];2 (10), Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/items-byauthor?author=karim/handle/36948. Kasimin, Suyanti. 2012. Daya Saing Agribisnis Kentang di aceh Pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; siap terbit. Tersedia pada :http://bappeda.acehprov.go.id/v2/file/journal/V5N2_ Suryati.pdf. Krugman, P. R. and M. Obstfeld 2004. Ekonomi Internasional. Jakarta (ID): PT Indeks Kelompok Gramedia. Kurniawan, AY. 2011. Analisis Daya Saing Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30];1 (02). Tersedia pada: http://www.google.com/.ipb.ac.id%2 Findex.php%2Fforumpasca.bmk. Lemhannas. 2012. Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 10]. Tersedia pada : http://www.lenhamnas.go.id/portal/images/stories/humas/jurnal/jurnal_ international.pdf.
72
Manhokwe, Parawira W, Tekere M, 2009. An evaluation of a mesophilic reactor or treating wastewater from a Zimbabwean potato-processing plant. [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 3 (4):091-096. Tersedia pada : http://www.academicjournals.org/journal/AJEST/articlefulltext.../701189. Morrison J. and K. Balcombe. 2002. Policy Analysis Matrices: Beyond Simple Sensitivity Analysis. Journal of International Development [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 14 (4): 459-471. Tersedia pada: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jid.887/abstract. Muthoni J, D.O. Nyamongo. 2009. A review of constraints to ware Irish potatoes production in Kenya [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 10]; 1(7):098-102. Tersedia di http://www.academicjournals.org/article/article1379686338_ Muthoni%20and%20Nyamongo.pdf. Monke AE, Pearson SR. 1989. Policy Analysis Matrix for Agricultural Develop ment. New York (US) : Cornell University Press. Najarzadeh R, Rezag M, Saghaian, Reed, Aghaie. 2011. The impact of Trade Liberalization on Persian Rug : A Policy Analysis Matrix Spproach. Journal of Food Distribution Research Kenya [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 10];42(1). Tersedia pada :http://www.//ageconsearch.umn.edu/ bitstream/139335/2/Najarzadeh_42_1.pdf. Novianto, J. 2012. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Komoditas Kentang di Kabupaten, Wonosobo. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Oguntade, Adegboyega. 2011. Assessment of Protection and Comparatif Advantage In Rice Processing in Nigeria.Jurnal Departement of Agricultural and Extension, Federal University of Technology, Akure, Nigeria [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 10];11(2). Tersedia pada :http://www.//ageconsearch.umn.edu/bitstream/139335/2/ Oguntade.pdf. Pearson S, Carl G, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor. Porter, M.E. 1991. Strategi Bersaing. Terjemahan. Jakarta (ID): Erlangga. Pranoto SY. 2011. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Paper) di Provinsi Bangka Belitung [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purmiyanti, Sri. 2002. Analisis Produksi dan Daya Saing Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Puspitasari, Eka. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Belimbing Dewa di Kota Depok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmawati, Yunita. 2006. Perbandingan Pendapatan dan Keuntungan Usaha Tani Kentang dengan menggunakan Varietas Granola dan Varietas Atlantik [Skripsi]. Padang (ID). Universitas Andalas. Rasmikayati E, Iis Nurasiyah. 2004. The Competitiveness and Efficiency of Potato Farming In Pangalengan, [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 10]; siap terbit. tersedia pada :http://www.stanford.edu/RI/indonesia/research/ potatoes.pdf. Rooyen IM, J.F. Kirsten, C.J. Van Rooyen. 2001. The Competitiveness of the South African and Australian Flower Industries: an Application of Three Methodologies. Paper presented at the 45th Annual Conference of the
73
Australian Agricultural and Resource Economics Society, January 23 to 25, 2001, Adelaide, South Australia [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 18-20. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/143498. Rum M. 2010. Analisis Usahatani dan Evaluasi Kebijakan Pemerintah terkait Komoditas Cabai Besar di Kabupaten Malang dengan Menggunakan Policy Analisis Matix (PAM) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 7(2). Tersedia pada: http://www.pustakakti.com/halaman_r.php?page=. Sabaouhi M, Ghanbari A, Rastegaripour, Tavassoli A, Smaeilia Y. 2011. Economic evaluation and Applications of the Policy Analysis Matrix of sole and intercropping of leguminous and cereals Case study: Shirvan city-Iran. African Journal of Biotechnology [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 10(78). Tersedia pada: http://www.ajol.info/index.php/ajb/ article /view/98521. Saragih, Bungaran. 2010. Suara dari Bogor : Membangun Opini Sistem Agribisnis. Bogor (ID): IPB Press Salvatore D. 1994. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Ke-5. Prentice Hall. Jakarta (ID): Erlangga. Sembiring, Elianor. 2009. Kajian Peluang Bisnis Bagi Sepuluh Komoditas Unggulan di Sumatera Utara. Media Litbang Provinsi Sumatera Utara. [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 6(4). Tersedia pada: http://issuu.com/balitbang/docs/inovasi_12_2009. Simanjuntak B.S. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Singh, R.K. Agnihotri, S. Bhadauria, Rashmi Vamil, R. Sharma. 2011. Comparative study of potato cultivation through micropropagation and conventional farming method [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 11(48). Tersedia pada: scholar.google.co.in/citations?user=cKK9YCsAAAAJ. Sudaryanto, T. P.Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Sunaryono, H Hendro.2007. Petunjuk Praktis Budidaya Kentang. Jakarta (ID): Agromedia. Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Ugochukwu AI, Ezedinma CI. 2011. Intensification of Rice Production Systems In South Eastern Nigeria : A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal of Agricultural Management & Development [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 89-100. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/143498. Zulkarnain, Z. 2007. Analisis Daya Saing Buah Pisang (Musa Paradisiaca L) di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
74
Lampiran 1 Analisis Keuntungan Usahatani dan Persentase Komponen Biaya Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Uraian Nilai Rata-rata (Rp/Ha) Persentase (%) 33 930 658.85 A. Penerimaan B. Biaya B1. Biaya Tunai Pupuk Ponska 764 225.76 2.64 Pupuk SP-36 69 300.00 0.24 Pupuk Urea 67 680.00 0.23 Pupuk ZA 27 931.03 0.10 Fungisida 2 549 100.00 8.82 Insektisida 906 565.00 3.14 Herbisida 91 121.25 0.32 Pupuk kandang (CM) 1 431 660.90 4.95 Pupuk Cap Sarang Burung 17 801.72 0.06 Petroganik 320 000.00 1.11 Benih Kentang 14 850 420.00 51.36 Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) 1 876 000.00 6.49 BBM 130 000.00 0.45 B2. Biaya Tidak Langsung Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) 804 000.00 2.78 Penyusutan Cangkul 14 000.00 0.05 Penyusutan Sabit 7 000.00 0.02 Penyusutan Tugal 6 222.00 0.02 Penyusutan Mulsa 34 375.00 0.12 Penyusutan Ajir 53.00 0.00 Penyusutan Bambu Kecil 50.00 0.00 Penyusutan Mesin Semprot/Sprayer 29 166.67 0.10 Pengangkutan Hasil Panen 418 507.79 1.45 Modal Kerja 3 000 000.00 10.38 Sewa Lahan (ha) 1 500 000.00 5.19 Total Biaya Tunai (B1) 23 101 805.67 Total Biaya (B1+B2) 28 915 180.12 Keuntungan Atas Biaya Tunai (A-B1) 10 828 853.18 Keuntungan Atas Total Biaya (AB1+B2) 5 015 478.73 R/C Biaya Tunai 1.47 R/C Biaya Total 1.17
75
Lampiran 2. Alokasi Biaya Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Kentang No Sektor Jenis Biaya Domestik (%) Asing (%) 1 Industri pupuk dan pestisida Pupuk Ponska 64 36 64 36 2 Industri pupuk dan pestisida Pupuk SP-36 64 36 3 Industri pupuk dan pestisida Pupuk Urea 64 36 4 Industri pupuk dan pestisida Pupuk ZA 64 36 5 Industri pupuk dan pestisida Fungisida 64 36 6 Industri pupuk dan pestisida Insektisida 7 8 9
10
Industri pupuk dan pestisida Energi dan Sumberdaya Mineral
Herbisida BBM
0 100
100 0
Sektor yang tidak jelas batasannya
Pupuk kandang (CM)
100
0
Industri pupuk dan pestisida
Pupuk Cap Sarang Burung
100
0
100 0 Industri pupuk dan pestisida Petroganik 100 0 NA Benih Kentang* Upah dan gaji 100 0 Tenaga Kerja 100 0 Industri barang dari logam Cangkul Industri mesin, alat-alat dan 100 0 15 perlengkapan listrik Sabit 16 Sektor yang tidak jelas Tugal 100 0 batasannya 17 Industri barang karet dan Mulsa 100 0 plastik 18 Sektor yang tidak jelas Ajir 100 0 batasannya 19 Sektor yang tidak jelas Bambu Kecil 100 0 batasannya 20 Industri mesin, alat-alat dan Mesin Semprot 100 0 perlengkapan listrik 21 Real estate dan jasa Sewa Lahan 100 0 perusahaan 100 0 22 Lembaga Keuangan Bunga Modal Sumber: input-output Indonesia (2008) Keterangan : * data primer 2013 menyebutkan bahwa petani menggunakan benih hasil panen sebelumnya. NA = data tidak tersedia 11 12 13 14
76
Lampiran 3. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate, Tahun 2013 Uraian
Nilai (Rp Milyar)
Total Nilai Ekspor (Xt)1 Total Nilai Impor (Mt)
1 496 454.38
1
Penerimaan Pajak Ekspor (TXt)
1 560 234.79 2
18 899.00
Penerimaan Pajak Impor (TMt)2
23 535.00 3
Nilai Tukar Rupiah /US$ (OER) 10 690.62 Xt + Mt 3 056 689.17 Xt –TXt 1 477 555.38 Mt + TMt 1 583 769.79 SCFt 0.9984 SER (Rp/US $) 10 706.830 Sumber: 1. Badan Pusat Statistik, 2013 2. Indikator Ekonomi, Badan Pusat Statistik, 2013 3. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia, Bank Indonesia, 2013
Lampiran 4. Perhitungan Harga Bayangan Output No Uraian 1
Satuan
Harga/Nilai
$/Kg
0.59
1
CIF Indonesia
2 3 4 5
Nilai Tukar2 Premium Nilai Tukar Nilai Tukar Ekuilibrium CIF Indonesia dalam Mata Uang Domestik
Rp/$ % Rp/$ Rp/Kg
10 706.83 0.00 10 706.83 6 356.27
6
Biaya Distribusi dari pelabuhan ke pedagang besar3
Rp/Kg
100.00
7 Biaya Distribusi dari pedagang besar ke petani4 Rp/Kg 8 Harga Paritas Impor di Tingkat Petani Rp/Kg Sumber: 1. Badan Pusat Statistik, 2013 2. Nilai Tukar Valuta Asing di Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2013 3. Perusahaan Ekspedisi 4. Pedagang di Batur
255.00 6 711.27
62
Lampiran 5. Budget Privat dan Sosial Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Privat Jenis Input-Output Satuan Jumlah Harga Domestik Asing Pupuk (Kg/ha) Pupuk Ponska Kg 332.27 2 300.00 489 104.49 5 121.27 Pupuk SP-36 Kg 33.00 2 100.00 44 352.00 24 948.00 Pupuk Urea Kg 33.84 2 000.00 43 315.20 24 364.80 Pupuk ZA Kg 19.40 1 440.00 17 875.86 10 055.17 Pestisida Fungisida Liter 29.30 87 000.00 1 631 424.00 17 676.00 Insektisida Liter 10.60 85 525.00 580 201.60 26 363.40 Herbisida Liter 1.65 55 225.00 91 121.25 Pupuk kandang (CM) Kg 2 863.32 500.00 1 431 660.90 Pupuk Cap Sarang Kg 5.09 3 500.00 17 801.72 Burung Petroganik Kg 400.00 800.00 320 000.00 Benih Kentang Kg 2 054.00 7 230.00 14 850 420.00 Hari/Ha Tenaga Kerja Persiapan Lahan HOK 8.00 35 000.00 280 000.00 Penanaman HOK 20.00 32 500.00 650 000.00 Penyulaman/Pembersihan HOK 4.00 32 500.00 130 000.00 gulma/Matun Penyiraman HOK 8.00 33 750.00 270 000.00 -
Harga
Sosial Domestik
Asing
2 960.50 1 407.09 3 797.50 1 525.56
934 506.89 44 112.27 122 082.00 28 111.03
49 184.57 2 321.70 6 425.37 1 479.53
65 000.00 45 000.00 40 000.00 500.00 3 500.00
1 218 880.00 305 280.00 1 431 660.90 17 801.72
685 620.00 171 720.00 66 000.00 -
800.00 7 230.00
320 000.00 14 850 420.00
-
35 000.00 32 500.00 32 500.00
280 000.00 650 000.00 130 000.00
-
33 750.00
270 000.00
-
77
77
63 78 78
Lampiran 5. Budget Privat dan Sosial Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Lanjutan) Privat Harga Jenis Input Satuan Jumlah Harga Domestik Asing Penyemprotan 270 000.00 Pestisida HOK 8.00 33 750.00 33 750.00 Panen
HOK
25.00
33 750.00
Pasca Panen Peralatan (Unit/ha)
HOK
7.00
33 750.00
Penyusutan Cangkul
Unit
3.00
14 000.00
Penyusutan Sabit
Unit
2.00
7 000.00
Penyusutan Tugal
Unit
8.00
6 222.00
Penyusutan Mulsa
Unit
1.00
34 375.00
Penyusutan Ajir Penyusutan Bambu Kecil Penyusutan Mesin Semprot/Sprayer
Unit
1 000.00
53.00
Unit
2 000.00
50.00
Unit
1.00
29 166.67
Pengangkutan Hasil Panen
Kg
4 185.08
100.00
Modal Kerja
Rp
1.00
3 000 000.00
BBM
Liter
20.00
6 500.00
Sewa Lahan (ha)
Ha
1.00
1 500 000.00
843 750.00 236 250.00
42 000.00 14 000.00 49 776.00 34 375.00 53 000.00 100 000.00 29 166.67 418 507.79 3 000 000.00 130 000.00 1 500 000.00
Sosial Domestik
Asing
270 000.00
-
-
33 750.00
843 750.00
-
-
33 750.00
236 250.00
-
-
14 000.00
42 000.00
-
-
7 000.00
14 000.00
-
-
6 222.00
49 776.00
-
-
34 375.00
34 375.00
-
-
53.00
53 000.00
-
-
50.00
100 000.00
-
-
29 166.67
29 166.67
-
-
100.00
418 507.79
-
-
3 000 000.00
3 000 000.00
-
-
9 700.00
194 000.00
-
-
1 500 000.00
1 500 000.00
-
64
Lampiran 5. Budget Privat dan Sosial Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Lanjutan) Privat Jenis Input Satuan Jumlah Harga Domestik Asing
Harga
Kentang segar dijadikan benih
Kg/ha
1 034.82
7 582.50
7 846 510.06
7 582.50
Kentang segar dijual ke pasar
Kg/ha
3 150.26
8 280.00 26 084 148.79
6 711.27
4 185.08
15 862.50 33 930 658.85
14 266.50
13 083.54
3 580 086.67 27 646 631.12
Total Pendapatan Total Biaya (tidak termasuk lahan) Keuntungan (tidak termasuk lahan) Keuntungan (termasuk lahan)
Sosial Domestik
Asing
Rp/ha
Rp/ha 6 284 027.73
2 118 320.80
4 784 027 73
618 320.80
Rp/ha
79
65
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tapian Nauli, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 03 Oktober 1986. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak B. Manalu (Alm) dan Ibunda Thioland Boru Sinambela. Pendidikan Sarjana di tempuh di Program Studi Agribisnis Penyelenggaraan Khusus, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Lulus pada tahun 2011. Penulis menjadi Tim Pengajar Mata kuliah Tataniaga Benih dan Manajemen Industri Benih di Program Diploma Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2009 sampai sekarang. Pada tahun 2012, penulis diterima di Magister Sains Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Program Pascasarjana IPB dengan sponsor Beasiswa Unggulan Dikti 2012. Kemudian sejak tahun 2013 sampai sekarang menjadi Pengajar di Politeknik Agroindustri Yayasan Pendidikan Sang Hyang Seri, Sukamandi, Subang. Jawa Barat.
80