BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah Peradilan Agama adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau untuk penyelesaian perselisihan untuk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum menurut peraturan-peraturan dalam agama. Peradilan Agama merupakan sebutan resmi bagi salah satu lingkungan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengdilan dalam linkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Perdilan Tata Usaha Negara”. Dalam penjelasan psal 10 ayat (1) ini menyatakan bahwa Peradilan Agama merupakaan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merumuskan pengertian peradilan agama dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.”. Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud daalam undang-undang ini dilaksanakan oleh peradilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding yang berpuncak pada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau terakhir sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan penegasan kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia yang telah ada dan diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelum berllakunya undaang-undang ini. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,
1
Peradilan Agama mempunyai fungsi dan peran dalam penegakan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini memberikan penegasan mengenaai lengkup kewenangan Peradilan Agama dalam mengadili perkara sengketa bidang tertentu dan bagi oraang tertentu pula. Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 ini maka tercapailah keseragaman kekeuasaan Pengadilan dalam lingkungan Perdilan Agama di Indonesia. Keseragaman kewenangan tersebut dirumuskaan dalam pasal 49 yaitu menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam meliputi: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiatdan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan sadaqah.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan atas penjelasan dari bab-bab tersebut diatas, maka dapat ditarik pokok permasalahannya adalah : 1. Bagaimanakah kekuasaan pengadilan dilingkungan Peradilan Agama? 2. Apa sajakah yang menjadi produk hukum dari badan Peradilan Agama? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dari paper yang saya buat adalah 1. Untuk memenuhi tugas perorangan dari mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama, 2. Untuk lebih mengetahui apakah kekuasaan dan produk hukum dari badan Peradilan Agama. 1.4 Metode Penulisan Pada penulisan paper kali ini, saya mengangkat tentang kekuasaan dan produk hukum dari badan Peradilan Agama . Di dalam paper kali ini saya menggunakan data sekunder, artinya data yang diperoleh secara tidak langsung dari tempat penelitian tetapi diperoleh dari literatur-literatur yang ada yang berhubungan dengan Peradilan Agama. 2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 KEKUASAAN BADAN PERADILAN AGAMA A. Kewenangan Relatif Yang dimaksud dengan kekuasaan reletif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar pengadilan agama dalam lingkungan peradilan Agama misalnya antar pengadilan agama Bandung dengan Pengadilan. Pada dasarnya setiap permohonan atau gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi : a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah kediaman tergugat b. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman tergugat c. Jika tergugat tidak dikenal maka gugatan diajukan kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat. d. Apabila obyek perkara adalah benda bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat. e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan kepada yang domisilinya dipilih. B. Kewenangan Absolut Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan, kekuasaan pengadilan dilingkungan peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu dikalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang berama islam. Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 45 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989.
3
Pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama dibidang : a. Perkawinan, meliputi : -
Ijin beristri lebih dari seorang
-
Ijin melangsungkan perkawinan yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.
-
Dispensasi kawin
-
Pencegahan perkawinan
-
Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
-
Pembatalan perkawinan
-
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri
-
Perceraian karena tolak dan gugatan perceraian
-
Penyelesaian harta bersama
-
Penguasaan anak
-
Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak dapat memenuhi
-
Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
-
Putusan tentang pencabutan kekuasana orang tua
-
Perwalian
-
Penetapan asal usul anak
-
Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.
b. Warisan, wasiat dan Hibah c. Wakaf dan shadaqah C. Pilihan Hukum dalam Perkara Warisan Dalam perkaran warisan para pihak dapat memilih hukum mana yang digunakan dalam penyelesaian perkara warisan tersebut, apakah akan memakai hukum adat, hukum islam atau hukum barat (BW). Para pihak dapat memilih hukum adat atau hukum Barat yang menjadi wewenang pengadilan negeri atau memilih 4
hukum islam yang menjadi wewenang pengadilan agama. Apabila terdapat sengketa mengadili antara pengadilan agama dan pengadilan negeri karena ada pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan agama dan pihak tergugat dalam perkara itu ganti menggugat ke pengadilan negeri atas perkara warisan dan pihak yang sama, maka harus diselesaikan terlebih dahulu ke mahkamah agung sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara itu maka pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa perkara itu. D. Kewenangan Peradilan Agama tidak meliputi Sengketa Hak Milik Penyelesaian terhadap objek perkara yang tidak menjadi sengketa hak milik atau sengketa kependapatan lain yang dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek perkara yang tidak menjadi sengketa hak milik atau sengketa keperdataan lain. Sengketa hak milik adalah sengketa yang meliputi sengketa dengan pihak ketiga. Sengketa yang hak milik tidak meliputi sengketa para pihak yang berpekara tetapi meliputi pihak ketiga. 2.2 PRODUK HUKUM BADAN PERADILAN AGAMA a. Penetapan Salah satu produk Pengadilan Agam dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara adalah penetapan. Penetapan adalah keputusan atas perkara permohonan. Penetapan bertujuan untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Amar putusan dalam penetapan bersifat declaratori yaitu menetapkan atau menerangkan saja. penetapan mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. b. Putusan Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa. Putusan mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan eksekusi. Putusan harus diucapkan di dalam persidagan yang terbuka untuk umum (Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989). Dengan adanya putusan yang diucapkan oleh Majelis hakim berarti telah mengakhiri suatu perkara atau sengketa 5
para pihak karena ditetapkan hukumnya siapa yang benar dan siapa yang tidak benar. Ada dua macam putusan sebagai berikut : 1. Putusan sela, yaitu putusan yang diucapkan sebelum putusan akhir. Misalnya putusan terhadap tuntutan provisionil 2. Putusan akhir, yaitu putusan yang diucapkan atau dijatuhkan untuk mengakhiri suatu sengketa Menurut sifatnya putusan dapat berupa sebagaimana berikut Putusan declaratoir, Putusa declaratoir adalah putusan yang menyatakan atau menerankan keadaan atau status hukum. Misalnya pernyataan adanya hubungan suami istri dalam perkara perceraian yang perkawinannya tidak tercatat pada pegawai Pencatat Nikah setempat 1. Putusan constituif, Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya putusan perceraian, semua terikat dalam perkawinan menjadi perkawinanntya putus karena perceraian. 2. Putusan condemnatoir, putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris. Isi putusan dapat berupa: 1. Gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankeljik verlaard atau N.O.), bila a. gugatan kabur atau tidak jelas (obscur libel); b. gugatan tidak berdasar hukum/melawan hak; c. gugatan prematur/belum saatnya; d. gugatan ne bis in idem; e. gugata error in persona; f. gugatan telah lampau waktu/kadaluwarsa; g. pengadilan tidak berwenang 2. Gugatan dikabulkan Gugatan dikabulkan apabila penggugat dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan dalil-dalil gugatannya. Gugatan dapat dikabulkan untuk sebagian dan dapat dikabulkan seluruhnya. 3. Gugatan ditolak Gugatan ditolak apabila penggugat tidak dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan dalil-dalil gugatannya 6
4. Gugatan digugurkan Gugatan digugurkan apabila dalam persidangan penggugat tidak hadir setelah dipanggil secara resmi dan patut maka perkara gugatan digugurkan. 5. Gugatan dibatalkan Gugatan dibatalkan apabila banjar biaya perkara telah habis dan penggugat telah ditegur supaya membayar biaya panjar perkara apabila dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan tidak ditindahkan maka dibuat penetapan perkara gugatan dibatalkan dengan membebankan biaya perkara kepada penggugat. c. Isi Putusan Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama harus memuat hal-hal sebagai berikut (Harahap, 1993 : 350-353). a. Kepala Putusan Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi “Putusan”, kalimat “Bismilahirrah-manisrahim”, dan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa”. b. Nama Pengadilan dan jenis perkara Pengadilan agama mana yang memeriksa perkara misalnya “pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara gugat cerai pada pengadilan tingkat pertama”. c.
Identitas para pihak Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai penggugat atau tergugat.
d. Duduk perkara Memuat tentang : -
Uraian lengkap isi gugatan;
-
Uraian lengkap isi gugatan ;
-
Peryataan sidang dihadiri para pihak;
-
Pernyataan upaya perdamaian;
-
Uraian jawaban tergugat; 7
e.
-
Uraian replik;
-
Uraian duplik;
-
Uraian kesimpulan para pihak;
-
Pembuktian para pihak. Pertimbangan hukum Berisi penilaian hakim tentang segala sesuatu, peristiwa, dan alat bukti yang diajukan, alasan-alasan hukum yang menjadi dasar, pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis yang bersangkutan dengan perkara yang diperiksa.
f. Amar Putusan Amar putusan didahului dengan kata “MENGADILI” kemudian diikuti petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak diterima. g. Penutup Memuat
kapan
putusan
dijatuhkan
dan
dibacakan
dalam
persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa, panitera yang membantu, kehadiran para pihak dalam pembacaan putusan. Putusan ditandatangi oleh majelis hakim dan panitera yang ikut sidang dan pada akhir putusan dimuat perincian biaya perkara. d. Produk Peradilan Agama dalam Pembinaan Hukum Nasional Peradilan Agama dalam menangani perkara-perkara tertentu dan khusus bagi orang-orang tertentu yaitu orang-orang yang beragama islam besar pengaruhnya dalam pembinaan hukum nasional. Peradilan agama mempunyai kewenangan dalam perkara perkawinan, warisan, hibah, wasiat, wakaf, dan shalaqah yang sebelumnya kewenangan peradilan Agama sangat terbatas dalam menangani perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama merupakan penegasan, bahwa Peradilan agama adalah sejajar dengan peradilan lainnya dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam proses pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia Peradilan Agama yang memeriksa perkara menghasilkan produk Peradilan Agama yang disebut Penetapan” dan “Putusan”. Penetapan adalah keputusan atas perkara permohonan. Penetapan bertujuan 8
untuk menetapkan suatu keadaan atau suatu status tertentu bagi diri pemohon. Amar putusan dalam penetapan bersifat declaratoir yaitu menetapkan atau menerangkan saja. penetapan mengikat pada diri pemohon dan penetapan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa. Putusan mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan eksekusi. Kedua produk Peradilan Agama ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembinaan hukum nasional di Indonesia akan diuraikan di bawah ini. Adanya penetapan ijin poligami menempatkan asas hukum dalam perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Asas monogami dalam perkawinan tidak berlaku mutlak karena terdapat pengecualian bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang dengan syarat harus ada penetapan ijin poligami bagi suami. Dalam hal perlu adanya penetapan ini menunjukkan bahwa untuk melakukan poligami tidak dapat dilakukan oleh sembarang suami karena hanya orang-orang yang memenuhi syarat untuk dapat beristri lebih dari satu saja yang dapat melakukan poligami. Adanya penetapan terlebih dahulu dari pengadilan memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dalam hukum nasional Indonesia. Adanya penetapan ijin bagi orang yang belum mencapai usia perkawinan (bagi laki-laki 19 tahun dan bagi perempuan 16 tahun) bila dikaitkan dengan program pemerintah dalam program nasional yang berkaitan dengan keluarga berencana memberikan pengaruh yang besar karena adanya penetapan ini dapat mencegah adanya perkawinan di usia muda. Karena perkawinan pada usia muda memunginkan usia subur pasangan lebih lama dan kemungkinan mempunyai anak lebih banyak pula. Oleh karena itu usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan harus diatur dengan jelas. Penetapan
mengenai
larangan,
pencegahan,
pembatalan
perkawinan
mempunyai tujuan agar perkawinan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan ajaran agama Islam sehingga tidak menimbulkan keresahan di dalam masyarakat sehingga tujuan adanya hukum agar menciptakan masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera terwujud. Penetapan mengenai pencabutan kekuasaan orang tua, perwalian wali, 9
pencabutan wali, maupun penunjukan wali oleh pengadilan akan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua sehingga anak beserta harta benda yang dimilikinya tidak terlantar karena tidak adanya seseorang yang mengurus terhadap anak secara pribadi maupun harta benda miliknya. Produk hukum Peradilan Agama lainnya adalah putusan. Putusan mengenai perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama dalam memutuskan siapa yang benar dan yang tidak benar, Peradilan Agama harus objektif dan berdasar hukum dalam memutuskan perkara sehingga apa yang terjadi di antara warga negara yang bersengketa dapat mendapatkan keadilan yang didambakan. Putusan mengenai perkara perceraian, baik cerai tolak maupun cerai gugat akan menimbulkan akibat hukum bahwa seseorang semula berada dalam ikatan perkawinan menjadi sudah tidak lagi terikat dalam perkawinan sehingga sewaktuwaktu berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat melaksanakan perkawinan lagi. Karena seseorang yang masih berada dalam ikatan perkawinan tidak dapat melakukan perkawinan lagi dan apabila ternyata telah kawin maka dapat dibatalkan. Seseorang yang masih terikat dalam perkawinan akan menimbulkan akibat hukum dan mempengaruhi ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan warga masyarakat. Putusan terhadap sengketa warisan biasanya yang menjadi pihak dalam perkara masih mempunyai hubungan darah karena pada dasarnya sengketa warisan terjadi antara keluarga sendiri sehingga dengan adanya putusan pengadilan tentang sengketa warisan akan memberikan keadilan kepada semua pihak karena apa yang diputuskan berdasarkan ajaran agama Islam. Demikian halnya putusan-putusan lainnya mengenai perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan Agama dalam rangka pembinaan hukum tidak dapat diabaikan begitu saja karena sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama mempunyai peranan penting dalam penegakkan hukum di Indonesia.
10
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini adalah: -
Kekuasaan dalam Peradilan Agama dapat berupa: a. Kewenangan Relatif; b. Kewenangan Absolut; c. Pilihan hukum dalam perkara warisan; d. Kewenangan Peradilan Agama tidak meliputi sengketa hak milik.
- Produk hukum dari badan Peradilan Agama adalah berupa Penetapan dan Putusan, kedua produk badan Peradilan Agama tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembinaan hukum nasional di Indonesia.
11