17670186 Makalah Manusia Dan Kebudyaan Kebudayaan Sunda

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 17670186 Makalah Manusia Dan Kebudyaan Kebudayaan Sunda as PDF for free.

More details

  • Words: 5,785
  • Pages: 22
Makalah MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

“KEBUDAYAAN SUNDA”

Disusun oleh: ONAH PATONAH

FAKULTAS / JURUSAN SASTA INGGRIS UNIVERSITAS PAMULANG (UNPAM) PAMULANG 2008

0

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Identifikasi Masalah Secara antropologi-budaya dapat dikatakan, bahwa yang disebut sukubangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kulturel daerah Pasundan itu di sebelah Timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy yang merupakan perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampungkampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti di kabupaten Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah Lampung Sumatra Selatan. Di daerah Jawa Barat sendiri, jika kita teliti lebih mendalam lagi, tidak seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Sunda. Di daerah pantai utara dan di daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa Sunda, sedang di daerah Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipakai. Di daerah Jakarta dan sekitarnya, masyarakatnya berbahasa Melayu Jakarta. Dewasa ini bahasa Sunda dipakai secara luas dalam masyarakat di Jawa Barat. Di pedesaan bahasa pengantar adalah bahasa Sunda, sedang di kota-kota bahasa Sunda terutama digunakan dalam lingkungan keluarga, di dalam percakapan antara kawan dan kenalan yang akrab, dan juga di tempat-tempat umum dan resmi di antara orang-orang yang saling mengetahui, bahwa mereka itu menguasai bahasa Sunda. Dalam hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikemukakan, bahwa bahasa Sunda yang murni dan yang halus ada di daerah Priangan, seperti di kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabumi dan Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur. Masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus. Dari Cianjur pula berasal lagu-lagu kecapi suling Cianjuran. Bahasa Sunda yang dianggap agak kurang halus adalah bahasa Sunda, dekat pantai Utara, misalnya Banten, 1

Karawang, Bogor, dan Cirebon. Bahasa orang Badui, yang terdapat di Banten Selatan adalah Bahasa Sunda Kuno. Terlepas daripada evaluasi emosionelliterer, mengenai adanya bahasa Sunda yang halus dan yang kurang halus, yang murni atau yang kurang murni, adanya perbedaan itu barangkali dapat diterangkan dari sudut sejarah. Sunda Priangan misalnya pernah mendapat pengaruh kulturel dari Mataram Islam. Dalam sejarah abad ke-19 terdapat hubungan kekerabatan dan kebudayaan antara kaum bangsawan priyayi Sunda. Khususnya di daerah Sumedang, dengan kaum bangsawan. Bentuk

puisi

diseling-seling

oleh

prosa

berirama

seperti

bentuk

panglipurlara. Tukang-tukang pantun itu mendongengkan ceritera-ceritera pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Ceritera-ceritera itu mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda Purba, zaman Galuh dan Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang terkenal ialah Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda ceritera-ceritera pantun itu menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah perasaan kebesaran orang Sunda, yang melihat ceritera sejarah di masa lampau semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang. Sesudah zaman pantun, dikenal zaman wayang dan wawacan-wawacan sebagai pengaruh dari Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Ceritera-ceritera wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabarata, tetapi sekarang sudah banyak sekali variasi-variasi karangan dari ki dalang sendiri. Wayang di Sunda lebih merupakan hiburan, dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak selalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh ketrampilan sang dalang untuk memainkan wayangnya, atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya. Walaupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena di dalamnya terdapat berbagai unsur kesenian ialah seni sastra, seni tembang dan gamelan, dan pertunjukkan wayang itu masih sering diadakan di daerah-daerah pedesan maupun di kota-kota. Ceritera wawacana dalam bahasa Sunda banyak diambil dari ceriteraceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan ini disebut beluk. 2

Biasanya seorang membacakan satu kalimat dari wawacan itu yang berbentuk puisi tembang dari Jawa, dan seorang yang lain menyanyikannya. Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah, atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya. Beluk itu biasa diperdengarkan sambil menunggui orang yang baru melahirkan. Lamanya hampir semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang memperdengarkan beluk. Sunda terdapat bermacam-macam ceritera rakyat seperti Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya gunung Tangkuban perahu dan danau purba di dataran tinggi Bandung, serta varian-variannya mengenai terjadinya beberapa gunung dan danau di Jawa Barat. Satu macam ceritera rakyat di sunda ialah cerita si Kebayan satu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang yang malas dan bodoh, akan tetapi sering-sering tampak pula kecerdikannya. Kesusateraan-kesusasteraan Sunda itu bukan suatu unsur kebudayaan yang hanya dikenal di lingkungan yang kecil saja, akan tetapi dikenal secara luas dalam masyarakat. Dalam pertunjukkan reog, permainan yang selalu dapat menyesuaikan dirinya dengan setiap zaman, tampaklah betapa bahasa dan sastra Sunda itu merupakan bagian yang esensil dari kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat. Di samping bahasa Sunda sebagai identitas kesundaan ciri kepribadian orang Sunda yang lain adalah, bahwa orang Sunda sangat mencintai dan menghayati keseniannya. Dari bahasa dan keseniannya, dan dari sikapnya seharian dapat kita jabarkan tipe ideal orang Sunda sebagai manusia yang penting suka dan mudah gembira, yang memiliki watak yang terbuka tetapi yang sering bersifat terlalu perasa sebagai orang yang sedang pundung. Tentu gambaran ini sangat bersifat umum. Dalam pada itu tidak boleh kita lupakan, bahwa dalam mempelajari manusia dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri sedang mengalami perubahanperubahan. perubahan itu misalnya disebabkan oleh bertambahnya penduduk. Dinyatakan bahwa pada permulaan abad ke-20 ini jumlah penduduk di Jawa Barat adalah kira-kira lima juta orang. Sensus penduduk yang diadakan pada tahun 1961 di seluruh Indonesia menyebut penduduk di daerah Jawa Barat berjumlah

3

17.614.555 orang, sedangkan menurut suatu perkiraan dari BAKOPDA dalam tahun 1964, di Jawa Barat ada hampir 20 juta penduduk. Penduduk kota Bandung saja yang menjadi ibukota propinsi Jawa Barat misalnya, dalam waktu tiga puluh tahun sampai tahun 1961, naik dengan 583 persen, yaitu dari 166.815 orang pada tahun 1930, menjadi 972.566 pada tahun 1961. Dan pertambah-an penduduk ini tentu saja menimbulkan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kebudayaan dan masyarakat. Ibukota kecamatan yang dalam masa sebelum perang dunia ke-II, masih memperlihatkan suasana pedesaan yang serba tenang, kini telah menjadi pemusatan-pemusatan penduduk yang ramai dan penuh dinamik.

1.2 Desa di Jawa Barat Desa di Jawa Barat dapat dilihat sebagai suatu kesatuan administratif terkecil, yang menempati tingkat yang paling bawah dalam susunan pemerintahan nasional. Di samping itu desa juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan hidup yang kecil sifatnya, di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan adanya suatu rangkaian sifat-sifat lain yang khas. Sebagai suatu kesatuan administartif suatu desa mempunyai suatu sistem pemerintahan desa, yang mengurus rurnah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan bagi pejabat-peiabatnya terdapat beberapa perbedaan. Desa Bojongloa misalnya, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Tampomas di sebelah barat Sumedang dikepalai oleh seorang kuwu yang dipilih oleh rakyatnya. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya kuwu didampingi oleh seorang juru tulis, tiga orang kokolot seorang kulisi. Seorang ulu-ulu dan seorang amil dan tiga orang pembina desa (seorang dari angkatan Kepolisian dan dua orang dari Angkatan Darat). Adapun kuwu berkewajiban mengurus rumah tangga desa, mengadakan musyawarah dengan warga desa mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan warga desa, mengurus pekerjaan umum seperti jalan dan selokan, serta mengurus harta benda desa. Kokolot berkewajiban menyampaikan perintah dan pemberitahuan dari pihak pamong desa kepada warga desa, yang bertempat tinggal di Rukun Kampung yang dipimpinnya, dan sebaliknya, kokolot juga menyampaikan laporan dan pengaduan 4

dari pihak penduduk kepada pamong desa. Juru tulis berkewajiban mengurus administrasi desa, arsip, daftar hak milik rakyat, pajak dan sebagainya. Ulu-ulu mempunyai tugas mengurus pembagian air dan memelihara, selokan-selokan. Amil berkewajiban mengurus pendaftaran kelahiran, kematian, nikah, talak, rujuk, mengucapkan do'a dalam selamatan, mengurus masjid dan langgar serta memelihara kuburan. Kulisi berkewajiban memelihara keamanan, mengurus pelanggaran dan membantu pembina wilayah dan kepala desa dalam hal keamanan. Dalam bidang keamanan ini diikut sertakan pula anggota Hansip. Di daerah Jawa Barat sekarang ini terdapat 3.881 buah desa seperti tersebut di atas. Sebagai suatu kesatuan hidup di suatu wilayah tertentu atau kesatuan yang di dalam ilmu antropologi disebut komuniti (community), maka desa asli Jawa itu mempunyai beberapa sifat yang umum. Orang hidup dari pertanian dengan teknologi lama. Karena desa itu jumlah penduduknya untuk sebagian besar lahir di tempat itu dan karena jumlah penduduk desa asli di Jawa Barat itu biasanya tidak melebihi tiga, empat ribu jiwa, maka orang masih saling kenal mengenal dan bergaul sebagai manusia yang saling mengetahui latar belakangnya masingmasing. Kecuali itu karena teknologi dalam kehidupan desa belum maju, maka spesialisasi antara penduduk juga belum luas, dan diferensiasi antara penduduk ke dalam golongan-golongan juga masih bersifat terbatas. Sesudah perang Dunia ke-II dan sesudah Zaman Revolusi, masyarakat desa di indonesia pada umumnya dan di Jawa Barat pada khususnya, telah mengalami banyak perubahan. Isolasi, keseimbangan dan ketenangan sebetulnya telah ditrobos oleh pengaruh-pengaruh baru dari luar. Ekonomi, politik dan ideologi modern, administrasi pemerintahan, komunikasi, pendidikan telah menyebabkan suatu lapisan atas, yang terdiri dari para pamong desa, para guru, juru-juru penerang, pegawai-pegawai jawatan-jawatan, pelajar, anggota ABRI, pedagang dan pengusaha, yang semua mempunyai orientasi keluar. Sebaliknya ada suatu lapisan bawah ialah kaum petani, yang jumlahnya besar, yang kebanyakan masih buta huruf dagang dalam dan dalam cara hidupnya masih tradisionil. Orang lapisan atas mempunyai kecakapan berekonomi berdasarkan prinsip mencari untung, mempunyai hubungan dengan tengkulak-tengkulak dan pedagang-pedagang besar 5

di kota. Dapat juga dikatakan bahwa pada lapisan atasan desa inilah terpusat segala kekuasaan ekonomi desa, dan pada umumnya ikatan golongan atas dan bawah itu berbentuk hutang atau kontrak-kontrak yang tidak menguntungkan lapisan bawah yang lemah ekonominya. Akan tetapi apabila kita selidiki, di Jawa Barat tentunya tidak semua desa mengalami perobahan yang sama. Desa Dukuh yang letaknya terpencil di Garut Selatan misalnya, memperlihatkan betapa kuat masih adatistiadat itu. Penduduk desa Dukuh berjumlah 142 orang, yang tinggal dalam rumah sebanyak 42 susunan. Perkawinan di dalam desa sering diadakan antara para warganya, sehingga antara warga desa yang satu dengan yang lain ada hubungan kekerabatan yang erat. Mereka hidup sebagai petani, tidak ada seorangpun yang menjadi pedagang atau pegawai negeri. Penduduk seluruhnya memeluk agama Islam. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agamanya. Tetapi di samping itu merekapun percaya pada makam-makam yang keramat dan pantangan-pantangan adat. Sebuah makam yang dikeramatkan dan menjadi pusat kehidupan, kerohanian masyarakat Dukuh adalah makam seorang penyebar agama Syech Abdul Jalil atau lebih terkenal di kalangan penduduk dengan sebutan Eyang Wali. Adapun pantangan yang dilakukan oleh penduduk Dukuh adalah : larangan menggunakan gergaji untuk menggarap bahan bangunan; larangan membuat rumah megah melebihi rumah tetangganya larangan menurut atap sirap Larangan menggunakan pintu jendela kaca; larangan menghias dinding dengan gambaran atau lukisan; memiliki atau mengenakan barang-barang perhiasan dari emas-berlian dan sebagainya. Adapun yang bertanggungjawab atas terpeliharanya makam keramat adalah pekuncerila sekaligus merupakan pengawal dan pelindung dari adai tradisi Dukun didampingi oleh para kokolot Dukuh yang merupakan Dewan Orang Tua. Dukuh adalah sebuah desa yang terpencil. Komunikasi dengan kampungkampung lain adalah sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Letaknya yang jauh dari sungai menyebabkan mereka harus mempertahankan sumber air yang terbatas ada di daerah sekitarnya, terutama di lereng-lereng gunung sebelah atas. Air sumber itu tidak ini mati selama pohon-pohon besar di lereng atas sampai ke puncaknya masih tetap tumbuh. Di samping membutuhkan air, penduduk Dukuh 6

juga membutuhkan kayu untuk membangun dan kayu bakar untuk masak. Kayukayu yang baik untuk bahan bangunan adalah kayu yang besar dan tua. Demikian apabila habis ditebang pohon-pohon di bawah, tentulah mereka akan menebangi pohon-pohon besar di puncak bukit. Jika ini dilakukan, maka sumber air akan kering dan ini berarti berakhirnya kehidupan masyarakat di situ. Untuk menjaga agar sumber air tetap ada, maka dibuatlah pantangan-pantangan menebang pohonpohon, dengan dalih kepercayaan dan dihubungan dengan makam keramat. Pantangan adalah satu mekanisme sosial yang diberi sifat keramat berdasarkan agama, agar penduduk mematuhi larangan-larangan itu. Agak berbeda lagi jika kita melihat kepada desa Pelabuhan, yang juga menjadi ibukota kecamatan Pelabuhan ratu dan yang berpenduduk 17.000 orang. Penduduk desa Pelabuhan sebagian besar hidup dari menangkap ikan, dan sebagian lagi hidup dari pertanian. Berdasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar kaum nelayan di daerah pelabuhan itu adalah orang-orang pendatang dari berbagai daerah di luar Pelabuhanratu, maka dapatlah diterima suatu pendapat, bahwa bercocok tanam dan mencari hasil hutan adalah mata pencaharian pokok dari penduduk asli Pelabuhan. Bagi penduduk asli itu, menangkap ikan di laut hanya merupakan mata pencaharian sambilan dan musim-musiman saja. Baru kemudian, dengan datangnya orang-orang nelayan dari luar daerah Pelabuhanratu, penangkapan ikan di laut merupakan mata pencarian pokok yang baru. Dalam desa Seperti Pelabuhan, tentunya struktur masyarakat berbeda lagi. Berdasarkan fungsinya, penduduk dapat dibagi-bagi menjadi golongan juragan atau majikan, golongan buruh nelayan atau anak payang. Struktur sosial yang menunjukkan sedikit banyak adanya diferensiasi tidak mengakibatkan adanya relasi-relasi sosial yang kompleks, baik dalam kelompok nelayan pada khususnya, maupun dalam masyarakat desa Pelabuhan pada umumnya. Masyarakat diorganisasi dengan pranata-pranata pemerintahan, agama dan adat, yang merupakan kesatuan yang terintegrasikan.

7

1.3 Sistem Kekerabatan Orang Sunda Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Perkawinan di tanah Sunda misalnya dilakukan baik secara adat, maupun secara agama Islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa di dalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama dan adat. Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Dari beberapa desa di sekitar Bandung diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 (ialah 79,8%) yang rnenyatakan bahwa umur yang sebaiknya untuk menikah adalah antara umur 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat satu sistem tertentu. Hanya yang pasti adalah bahwa perkawinan di dalam keluarga batin dilarang. Dan apabila kita hendak mengetahui dari manakah sebaiknya diambil jodoh, dari luar atau dari kalangan sendiri, maka di daerah yang sama seperti tersebut di atas, dari 360 responden 231 orang (ialah 64,2%) mengemukakan lebih baik dari kalangan keluarga sendiri, dan 129 orang (ialah 35,8%) memilih dari mana saja. Sedang syarat-syarat lain yang diinginkan, dari 360 responden 168 orang (ialah 46%) memilih dari kalangan baik-baik, 183 orang (ialah 50,8%) mengemukakan dari golongan yang sederajat, dan 9 orang (ialah 2,5%) mengemukakan siapa saja, asal sudah bekerja. Menantu yang baik di sini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui makna baik, maka kita perhi mengetahui sistem nilai-nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya: Lampu nyiar jodo kudu kakupuna” artinya kalau mencari jodoh, harus kepada orangyang sesuai dalam segala-nya, baik rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Atau 8

"Lamun nyiar jodo, kudu kanu sawaja sabeusi", artinya mencari jodoh itu harus rnencarL-yang sesuai dan cocok dalam segala hal. Adapun mengenai caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak lakilaki maupun oleh pihak perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi sambil bergurau antara orang tua kedua belah

pihak.

Tempat

pembicaraannya juga tidak ditetapkan, di mana saja, kalau kebetulan bertemu, misalnya di pasar, di sawah, di kebun, atau di mesjid. Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh orang tua pemuda itu, maka perembukan itu dinamai neundeun omong, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai nyeureuhan atau melamar terjadilah amat-mengamati selidik-menyelidik secara sebaik-baiknya, Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak, maka dilakukan pinangan. Pinangan inipun dilakukan dengan tatacara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan-persiapan untuk melakukan upacara pemikahan. Setelah tersedia keperluan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan seserahan anak lakilaki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan, pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan. Pada orang Sunda, upacara pernikahannya sendiri dilakukan sederhana secara agama, tetapi upacara nyawer dan buka pintu adalah yang paling menarik. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu batih. Keluarga batin ini terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak yang didapat dari perkawinan atau adopsi, yang belum kawin. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial di antara keluarga batin amat erat. Keluarga batin merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya di tengah-tengah hubungan kerabat yang lebih besar dan di tengah-tengah masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga batin itu sering juga terdapat anggota-anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki 9

atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah tangga sering terdapat lebih dari satu dua keluarga batih. Kekurangan rumah itu lebih terasa di kota-kota kecil maupun besar. Masalah yang timbul dari mendiami satu rumah-tangga oleh lebih dari satu keluarga inti, adalah hubungan yang menjadi kurang serasi dari pihak kaum wanita yang tiap hari harus bertemu dalam dapur yang sama, tempat pengambilan air yang sama, tempat menjemur pakaian yang sama. Ada kalanya di daerah Pasundan benruk keluarga menjadi lebih besar karena pihak laki-laki kawin lagi dan menjalankan poligami. Maka terjadilah keluarga poligami yang terdiri dari dua atau lebih keluarga inti dengan seorang suami. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa kehidupan keluarga batin di desadesa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah masih sering dilakukan bersamasama dengan pembagian kerja yang ada. Hanya keadaan yang tidak aman beberapa tahun yang lalu menyebabkan banyak pemuda-pemuda meninggalkan daerahnya dan mencari pekerjaan di kota-kota. Sampai sekarang belumlah ada penelitian yang mendalam mengenai komposisi penduduk setelah keadaan aman kembali.

1.4 Kehidupan Keagamaan Orang Sunda Dari sebagian orang Sunda adalah agama Islam tetapi di dalam kehidupan keagamaan, orang Sunda sebagai juga pada suku-suku-bangsa lain di Indonesia, terdapat unsur-unsur yang bukan Islam. Orang Sunda kebanyakan patuh menjalankan kewajiban beragama, seperti melakukan salat lima waktu menjalankan puasa sedangkan hasrat untuk menunaikan ibadah hajinya besar. Disamping itu orang Sunda terutama dari daerah pedesaan banyak pula yang pergi ke makam-makam suci sebagai tanda kaul atau untuk menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Kepercayaan kepada ceritera-ceritera mitos dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, atau yang berhubungan dengan kaul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam, masih sering dilakukan. 10

Dalam mitologi Sunda, yakni himpunan dongeng-dongeng suci Sunda, ada pula banyak unsur-unsur yang bukan Islam. Orang-orang petani Sunda mengenai dongeng-dongeng yang erat bersangkut paut dengan tanaman padi, ialah cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Bagi kita yang hidup dalam zaman modern ini, yang telah terbiasakan untuk menggunakan logika ilmu pengetahuan, dunia mitos seolah-olah mengingkari logika itu, tetapi ceritera-ceritera mitos itu harus kita dekati dengan ukuran-ukurannya sendiri. Walaupun tampaknya sering tidak sistematis, akan tetapi di belakang ceritera-ceritera mitos itu biasanya terdapat sesuatu makna yang mempunyai nilai penting dalam alam pikiran warga sesuatu kebudayaan. Mitos di samping agama mempunyai fungsi mengatur sikap dan sistem nilai manusia, mempertahankan tertib sosial dalam lingkungan masyarakat yang belum banyak menggunakan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan modern. Itulah sebabnya maka di daerah pedesaan di samping orang taat menjalankan kewajiban agamanya, sering pula melakukan upacara-upacara yang tidak terdapat pada agama, malahan sering tidak dibenarkan agama Islam. Dalam alam pikiran orang petani Sunda di daerah pedesaan, batas antara unsur Islam dan bukan Islam sudah tidak disadari lagi. Unsur-unsur dari berbagai sumber itu sudah terintergrasikan menjadi satu dalam sistem kepercayaannya, dan telah ditanggapi oleh orang-orang itu dengan emosi yang sama. Dalam bab mengenai religi ini tidak dikemukakan tentang ajaran ajaran Islam sendiri, yang menjadi kepercayaan orang Sunda, karena uraian mengenai ini lebih baik diberikan pada tempat yang lain, misalnya dalam uraian tentang Agama Islam itu sendiri, sejarah dan ajarannya. Di dalam buku tentang antropologi yang diuraikan adalah agama sebagai bagian dari kebudayaan. Kehidupan agama itu juga tampak amat kuat pada orang Sunda, apabila kita pelajari tahap-tahap dalam lingkaran hidupnya, dari sejak masa perkawinannya, memasuki rumah untuk menetap, masa kelahiran, dan masa-masa proses pertumbuhannya, dari sejak turun tanah, memotong rambut, tumbuh gigi yang pertama, sunatan, waktu sakit, dan pada saat meninggal dunia. Sampai seribu hari sesudah seseorang meninggal upacara agama masih mengikuti seseorang. Tidaklah mengherankan apabila nilai-

11

nilai keagamaan itu memainkan peranan yang amat besar dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Dilihat dari sudut pelaksanaan dari kehidupan beragama, upacara slamatan merupakan suatu upacara terpenting. Mengenai upacara slamatan itu terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama aspek waktu. Bilamanakah slamatan itu diadakan. Di Priangan biasanya dilakukan pada Kamis sore, malam Jum'at. Kemudian mengenai orang-orang yang diundang, adalah segi yang lain. Di desa-desa biasanya pada upacara slamatan yang diundang adalah kaum tetangga. Undangan dilakukan secara lisan dengan mendatangi rumah yang diundang. Biasanya anggota kerabat laki-laki dari keluarga itu yang datang. Pada umumnya pakaian yang dikenakan adalah sarung dengan menggunakan kopiah. Slamatan hanya dapat berlangsung kalau ada orang yang dapat menyampaikan doa. Biasanya dipanggil seorang modin desa atau seorang guru ngaji yang dianggap mengetahui cara menyampaikan doa. Upacara dimulai dengan mengucapkan Alfatihah dan diakhiri lagi dengan Alfatihah pula. Isinya tergantung daripada maksud mengadakan slamatan itu. Hidangan slamatan di Daerah Jawa Barat biasanya berupa tumpengan, ialah gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas baki yang yang terbuat dari bambu atau kayu. Di daerah Pasundan berbeda dengan di Jawa, lauk dan ikannya terdapat di dalam nasi tumpeng. Dalam slamatan orang tidak banyak berbicara. Waktu makannya tidak lama, dan setelah selesai mereka tidak duduk untuk beramah tamah, akan tetapi para undang-biasanya segera minta untuk mengundurkan diri; maka selesailah upacara slamatan.

12

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Ekonomi dan Sistem Kemasyaratakan Kehidupan perekonomian di daerah Jawa Barat telah terlalu kompleks dan mempunyai berbagai macam aspek, sehingga tidak mungkin untuk dapat diuraikan dalam satu bab yang singkat Sekiranya antropologi sosial hendak menyoroti kehidupan ekonomi rakyat Jawa Barat, maka ruang lingkup penyelidikan yang paling sesuai adalah hubungan antara ekonomi dan struktur sosial dalm masyarakat di Jawa Barat. Apabila kita hendak berbicara mengenai struktur sosial masyarakat yang ada relevansinya dengan kehidupan ekonomi di Jawa Barat, maka secara garis besar kita dapat menyebut tiga unit sosial yang menjadi pusat kehidupan ekonomi, yaitu kota, desa dan daerah perkebunan. Dilihat dari sudut kehidupan ekonomi maka kota-kota merupakan pusatpusat pengambilan bahan-bahan mentah dari daerah-daerah pertanian pedesaan atau merupakan tempat-tempat transito bahan-bahan mentah untuk diteruskan kepada kota yang lebih besar atau kota-kota pelabuhan seperti Jakarta, Cirebon, dan Cilacap, agar selanjutnya diexport ke luar negeri. Dengan perdagangan yang lebih intensif, kota merupakan pusat peredaran uang yang relatif cepat dan dalam volume yang relatif besar. Kehidupan yang kompleks dari kota yang tidak hanya mempunyai aspek ekonomi saja melainkan mempunyai aspek-aspek politik, sosial dan kebudayaan, mempunyai interdependensi satu sama lain. Perkebunan-perkebunan terlihat sebagai daerah-daerah dengan ciri-ciri khas di tengah-tengah daerah pertanian rakyat pedesan. Tanah yang subur dan iklim yang baik menjadikan Jawa Barat salah satu daerah perkebunan yang terpenting di Indonesia terutama daerah Priangan dan Bogor mampunyai daerah-daerah perkebunan-perkebunan yang besar-besar. Jenis perkebunan yang diusahakan di Jawa Barat terutama adalah perkebunan teh, karet, kina, tebu, dan kelapa sawit. Dari luas Jawa Barat yang sebesar lebih dari 4.500.000 hektar, lebih dari 500.000

13

hektar merupakan tanah perkebunan, sedangkan selebihnya adalah tanah sawah dan tanah hutan. Perkebunan-perkebunan di ladang. Unit ekonomi yang ketiga dan yang terbesar adalah ekonomi pertanian pedesan, pada umumnya pertanian rakyat pedesan masih bersifat tradisionel Di Jawa Barat ada dua macam penggarapan tanah pertanian pedesaan, yaitu: (1) bercocok tanam di sawah, dan (2) bercocok tanam di sawah harus diperhatikan bahwa ada sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi yang dibangun dan diatur manusia, tetapi ada juga sawah-sawah yang mendapat aimya dari hujan saja, sehingga tergantung kepada alam. Sawah-sawah semacam ini disebut sawah tadah huian, walaupun di berbagai daerah di Priangan ada sebutan-sebutan lain juga. Sebelum hujan turun, sawah tadah hujan- ditanami dengan palawija, seperti ubi jalar, bawang merah, kacang tanah, kacang kedele dan sebagainya. Sawah-sawah yang mendapat air dari sistem irigasi, segera sesudah padi dituai, dicangkul atau dibajak. Apabila sawah selesai dibajak, ada pula yang dipakai untuk memelihara ikan. Dalam waktu yang pendek, ikan itu diambil kembali dan dipindankan ke dalam kolam atau belong. Kemudian sawah ditanami dengan bibit yang sudah disediakan. Apabila padi di sawah sudah menguning, maka seminggu sebelum waktu memotong padi tiba, si pemilik sawah mengundang seorang dukun candoli atau wali puhun dan beberapa orang tetangga. Gunanya untuk memberi tahukan kepada khalayak ramai bahwa si pemilik sawah bermaksud memotong padinya. Tugas candoli adalah menetapkan waktu pemotongan padi. Perhitungan waktu yang baik- untuk melakukan pemotongan padi didasarkan atas hari pasaran seperti Kliwon, Manis, Pon dan Wage. Setelah waktu yang ditetapkan untuk memotong padi tiba, dan setelah syarat-syarat yang dibutuhkan seperti sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung, empos atau kukus yang berkaki sebuah nasi tumpeng yang lengkap sudah tersedia, maka kemudian candoli mengucapkan mantera, disusul dengan menyemburkan air sirih ke empat penjuru angin, lalu candoli memotong dan mengetam padi dengan upacara. Bercocok tanam di ladang masih dilakukan di Jawa Barat bagian barat daya, seperti di desa Lamajang misalnya, di mana berladang di tanah kehutanan

14

dilakukan pada waktu tertentu. Hal ini didasarkan pada peraturan-peraturan dari Depanemen Kehutanan. Rakyat setempat. Tidak boleh sekehendak hati bercocok tanam pada tanah milik kehutanan. Prosedurnya biasanya adalah sebagai berikut. Apabila dalam penyelidikan oleh pihak Jawatan Kehutanan diketahui bahwa ada sebagian hutan sudah cukup ditebang, maka pihak Jawatan Kehutanan menghubungi pamong Desa setempat, untuk memberi tahukan bahwa sebagian kecil hutan di sekitar Lamajang itu akan dibuka. Kemudian pamong desa membentuk panitia yang bertugas mendaftarkan orang-orang yang bermaksud akan bercocok tanam di tanah kehutanan. Panitia juga memberikan penerangan-penerangan tentang aturan-aturan atau cara-cara penebangan dan cara-cara penanaman kembali hutan itu. Dalam ladang tersebut para petani menanam padi, jagung, tembakau, kentang, bawang merah, bawang putih. Tidak semua ladang terletak di tanah kehutanan, dan caranya tidak selalu tertib. Pembukaan ladang-ladang dalam hutan secara liar masih terjadi, dan kadang-kadang menimbulkan kebakaran yang besar dalam musim-musim kemarau. Pekerjaan di ladang hampir sama di mana-mana, yaitu: membersihkan belukar, menebang pohon-pohon, membakar dahan-dahan dan batang-batang yang telah ditebang, memagari ladang, membangun gubuk ladang, menanam, menuai, mengikat padi, dan mengangkut padi ke lumbung. Dalam hal mempelajari ekonomi pertanian di desa, di mana sektor bercocok tanam secara lama masih tetap memegang suatu peranan yang utama, di samping sektor perikanan dan peternakan, harus diperhatikan bahwa para petani itu masih mempunyai suatu hubungan batin yang erat dengan tanah dan sawahnya. Demikian hak milik atas tanah masih merupakan salah satu dari unsur-unsur yang penting dalam hal menentukan kedudukan manusia dalam masyarakat desa. Di Jawa Barat hak milik perseorangan atas tanah (balong) telah ada sejak dahulu kala. Waktu pemerintah kolonial Belanda mengadakan survey mengenai pola-pola hak milik tanah di Jawa dan Madura 100 tahun yang lalu, ialah tahun 1869, maka terbukti bahwa di sebagian besar dari desa-desa di Jawa Barat tanah yang merupakan hak milik perseorangan itu adalah jauh lebih luas daripada tanah 15

yang merupakan milik komunal dari desa, sedangkan di sebagian. besar dari desadesa di Jawa Tengah keadaan pada waktu itu adalah justru sebaliknya. Walaupun demikian. dihampir semua desa di Jawa Barat sampai sekarang masih ada juga tanah milik komunal. Tanah serupa itu, yang disebut tanah titisara, (atau kanomeran di Ciamis, kacahcahan di Majalengka, dan kasikepan di Cirebon), dulu dibagikan atas keputusan kepala desa kepada orang-orang desa Penduduk tetap yang telah be-jasa bagi kepentingan umum. Orang-orang serupa itu disebut sikep (atau nomer, atau cacah), dan berhak memakai tanah desa, serta menggarapnya sebagai milik sendiri. Mereka dapat membagi hasilkan tanah itu dengan orang lain, dapat menyewakannya, bahkan dapat menggadaikan tanah itu, tetapi tidak boleh menjualnya. Sekarang hak memakai tanah atas titisara sering sudah menjadi turun menurun, sehingga perbedaan antara hak itu dengan hak milik perseorangan sering sudah sukar ditentukan. Di samping hak memakai tanah milik komunal bagi para sikep, di Jawa Barat ada juga hak makai tanah komunal bagi para pamong desa. Secara adat telah ditetapkan bahwa kepala desa dan pamong desa lain-lain berhak memakai tanah yang khusus disediakan untuk keperluan itu, sebagai balas jasa bagi jerih payahnya untuk mengurus dan mengatur masyarakat desa. Tanah itu biasanya disebut tanah bengkok atau tanah kalungguhan di Ciamis, tanah kajaroan di Banten, dan tanah carik di Priangan Timur. Akhimya masih ada lagi tanah komunal yang dikhususkan lagi bagi Kuncen (penjaga makam kramat), ialah tanah yang disebut tanah awisan, seperti apa yang ada di desa Lamajah, sebuah desa kecil yang terletak kira-kira 32 Km sebelah selatan Bandung. Dilihat dari sudut orang yang mengerjakan sawah, dapat dibedakan antara mereka yang memiliki sawah itu sendiri yang cukup luas, mereka yang hanya memiliki tanah beberapa petak saja dan hasilnya cukup untuk dimakan sendiri, mereka yang tinggal di tanah orang dan mengerjakan sawah itu, serta buruh tani, yaitu mereka" yang tidak mempunyai sawah atau tegalan, dan mengerjakannya untuk orang lain dengan membagi hasilnya nanti.

16

Dalam rangka memperbaiki kehidupan orang tani di desa, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria, yang mengatur secara prinsipel tentang status tanah di seluruh Indonesia. Hal itu antara lain mengenai pengertian tentang bumi, air dan ruang angkasa, mengenai hak Negara atas tanah, mengenai hak warganegara atas tanah, mengenai fungsi sosial dari semua hal atas tanah, mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur secara pokok tentang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangun, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. Proses pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria itu tidak selalu berjalan dengan lancer oleh karena faktor-faktor politik, sosiologi, antropologi, dan faktor ekonomi. Dengan sendirinya hukum adat atas tanah mengalami perubahanperubahan yang memberikan effek lebih lanjut kepada struktur sosial dan ekonomi pedesaan. Perubahan-perubahan dalam bidang hukum adat, struktur sosial desa, perekonomian desa, merupakan bagian dari proses modernisasi dan pembangunan yang sekarang sedang terjadi dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat bangsa Indonesia

2.2

Pembangunan di Jawa Barat Terutama sejak bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaannya, terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar dalam masyarakat Sunda. Timbulnya partai-partai politik sampai ke desa-desa menimbulkan pengelompokanpengelompokan baru berdasarkan ideologi-ideologi modern, yang mendorong sistem-sistem pengelompokan lama yang berdasarkan ikatan kekerabatan atau keagamaan. Di samping itu kemajuan dalam bidang pendidikan berjalan sangat cepat Jika pada permulaan masa kemerdekaan di daerah Jawa Barat terdapat 358.000 murid sekolah dasar, maka pada tahun 1965 terdapat 2.306.164 murid sekolah dasar, yang berarti kenaikan kurang lebih 544 persen. Apabila sebelum perang Dunia ke-II sebuah Perguruan Tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Teknik, hanya terdapat di Bandung saja, maka sekarang ini distiap ibukota kabupaten ada sebuah universitas, atau fakultas-fakultas tertentu atau cabang-cabang dari universitas. Malahan di sebuah ibukota kecamatan sekarang ini terdapat sekolah tinggi. Betapa

17

besar pengaruh daripada pendidikan itu pada mobilitas sosial, vertikal dan horizontal pada masyarakat Sunda berlaku demokrasi politik dapat kita fahami. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan yang telah memiliki pendidikan akademis maupun semi-akademis melalui jenjang kepegawaian sipil maupun militer telah menduduki tempat-tempat yang penting. Di samping itu alat-alat telekomunikasi, alat-alat transport dan alat-alat penyiaran yang lain menyebabkan adanya mobilitas dalam masyarakat yang tinggi, sosial dan spirituil. Di daiam mempelajari manusia dan kebudayaan Sunda itu amat pentinglah melihatnya pada latar belakang perubahan sosial yang sedang berlaku itu, agar kita mendapatkan pengetahuan yang lebih realistis lagi. Dalam pada itu selalu ada unsur-unsur kebudayaan yang amat lambat mengalami perubahan seperti pranatapranata kekerabatan, pranata-pranata kepercayaan, pranata-pranata adat, seperti perkawinan, hak waris dan beberapa aspek dari kehidupan pertanian rakyat pedesaan. Di samping itu walau-pun telah terjadi banyak perubahan oleh karena pengaruh modernisasi dalam bidang politik, ekonomi, administrasi, pendidikan, pertahanan, dan dalam bidang komunikasi masa, akan tetapi dapat kita katakan, bahwa kehidupan keagamaan orang Sunda amat kuat. Abad ke-20 sekarang ini adalah suatu abad di mana segala usaha dan karya pembangunan

yang

besar

didasarkan

atas

suatu

perencanaan

dengan

menggunakan hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun perencanaan yang mendasari usaha-usaha dan karya pembangunan itu merupakan suatu perencanaan yang integral, yang memperhatikan segala aspek kehidupan masyarakat. Perencanaan yang integral itu berdiri atas satu pikiran bahwa ada interdependensi yang fungsionel antara bidang-bidang kehidupan satu dengan lainnya. Sejak 1 April 1969, Pemerintah telah mengumumkan permulaan daripada pelaksanaan Rencana Pambangunan lima Tahun. Adapun pembangunan lima tahun itu diperinci menurut bidang-bidang dan menurut Daerah REPELITA tahun pertama meliputi tiga. bidang besar, yaitu : Bidang Ekonomi, Bidang Sosial, dan Bidang Umum, Tiap-tiap bidang itu dibagi dalam sektor-sektor yang jumlah semuanya ada 16 buah. Sektor-sektor dipecah lagi dalam sub-sub sektor, 18

seluruhnya ada 24 sub-sektor, dan akhiinya sub-sub-sektor ini dibagi dalam program-program. Sebagai contoh : Bidang Sosial, Sektor Pendidikan dan Kebudayaan, Sub-sektor Pendidikan dan Penelitian Institusionel mempunyai Program Penelitian dan Survey. Dalam pelaksanaan yang sesungguhnya, tiap-tiap program itu terpecah dalam proyek-proyek yang sudah bersifat operasionel. Suatu program pembangunan dalam rangka REPELITA bagi Daerah Jawa Barat pada khususnya, yang harus mendapat perhatian kita dalam bab ini adalah pembangunan masyarakat desa. Membangun masyarakat desa dewasa ini tidak pula dapat dihindarkan dari pendekatan yang ilmiah sekiranya kita berhasil baik. Adapun masalah Pembangunan Masyarakat Desa atau Community Development itu, telah dipelajari dan dilaksanakan di berbagai negeri di Asia, Afrika dan Amerika Latin, terutama sesudah Perang Dunia ke-II. Dalam sebuah Report of the Ashridge Conference on Social Development yang diadakan di antara tanggal 3 sampai tanggal 12 Agustus 1954, dikemukakan bahwa Community Development itu : "Sesuatu gerakan yang mempunyai maksud untuk memajukan kehidupan yang lebih layak bagi keseluruhan masyarakat dengan partisipasi aktif, dan jika mungkin atas inisiatif masyarakat itu sendiri, tetapi jika inisiatif masyarakat itu tidak muncul secara spontan, maka inisiatif itu harus ditimbulkan dengan menggunakan teknik-teknik yang dapat menggugah dan mendorong masyarakat untuk dengan bersemangat bekerja guna kepentingan gerakan tersebut.

19

BAB III PENUTUP

Suku bangsa Sunda adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa-ibu bahasa Sunda serta dialeknya dalam kehidupan sehari-hari, dan berasal serta bertempat tinggal di daerah Jawa Barat, daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Secara kulturel daerah Pasundan itu di sebelah Timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy yang merupakan perbatasan bahasa. Akan tetapi di luar Jawa Barat terdapat pula kampung-kampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti di kabupaten Brebes, Tegal dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah transmigrasi di daerah Lampung Sumatra Selatan. Sebagai suatu kesatuan administartif suatu desa mempunyai suatu sistem pemerintahan desa, yang mengurus rurnah tangga desa. Di seluruh Jawa Barat sistem pemerintahan desa itu pada garis besarnya sama, hanya dalam hal sebutan bagi pejabatpeiabatnya terdapat beberapa perbedaan. Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda maka susah kiranya untuk memisahkan mana adat dan mana agama dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Di daiam mempelajari manusia dan kebudayaan Sunda itu amat pentinglah melihatnya pada latar belakang perubahan sosial yang sedang berlaku itu, agar kita mendapatkan pengetahuan yang lebih realistis lagi. Dalam pada itu selalu ada unsurunsur kebudayaan yang amat lambat mengalami perubahan seperti pranata-pranata kekerabatan, pranata-pranata kepercayaan, pranata-pranata adat, seperti perkawinan, hak waris dan beberapa aspek dari kehidupan pertanian rakyat pedesaan. Di samping itu walau-pun telah terjadi banyak perubahan oleh karena pengaruh modernisasi dalam bidang politik, ekonomi, administrasi, pendidikan, pertahanan, dan dalam bidang komunikasi masa, akan tetapi dapat kita katakan, bahwa kehidupan keagamaan orang Sunda amat kuat.

20

DAFTAR PUSTAKA

Atmamiharja, 1958 “Sejarah Sunda” Jilid I, Ganaco BAKOPDA, 1965, “Sejarah Perkembangan Pembangunan Daerah Jawa Barat”. Bandung. Djajadiningrat, P.A. Hoesein. 1933.”Mengkritisi Sejarah Banten”. Dros Leiden. Jawatan Penerangan RI.1933. “Propinsi Jawa Barat”. Bandung. Haji Hasan Mustapa. 1913.”Adat-adat Urang Priangan jeung Urang Sunda” Betawi.

21

Related Documents