PENANGGULANGAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBERCRIME) DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI ELEKTRONIK MENURUT UU NOMOR 11 TAHUN 2008 DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH: M. IZAN PERDANA KESUMA NIM. 14360058 PEMBIMBING: BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018
PENANGGULANGAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBERCRIME) DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI ELEKTRONIK MENURUT UU NOMOR 11 TAHUN 2008 DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH: M. IZAN PERDANA KESUMA NIM. 14360058 PEMBIMBING: BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2018
i
ABSTRAK Kejahatan mayantara (cybercrime) merupakan kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyberspace) yang tidak mengenal batas yurisdiksi serta penggunaan internet oleh siapa saja dan kapan saja saja di seluruh dunia, sehingga dapat digolongkan bahwa kejahatan mayantara termasuk kejahatan trans nasional. Oleh karena sifatnya yang trans nasional, pembuktian kejahatan mayantara juga menjadi hal yang membutuhkan perhatian bagi negara Indonesia dalam rangka penegakan hukum serta menentukan yurisdiksi kejahatan transanasional ini sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dalam skripsi ini membahas pentingnya permasalahan hukum di bidang ecommerce adalah terutama dalam memberikan perlindungan terhadap para pihak yang melakukan transaksi melalui internet. Permasalahan dalam penulisan ini adalah tentang bagaimana proses pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi hambatan-hambatan dalam jual beli melalui media internet dan bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui media internet. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi hambatan-hambatan dalam jual beli melalui media internet dan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui media internet. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan spesifikasinya dilakukan secara deskriptif analisis. Sumber dan jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, dan data yang didapat akan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa pelaksanaan jual beli melalui media internet terdiri dari empat proses, yaitu penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman, hambatan-hambatan dalam transaksi di internet, khususnya mengenai cacat produk, informasi dan webvertising yang tidak jujur atau keterlambatan pengiriman barang, dan umumnya mengenai pola pikir, minat, dan kultur atau budaya masyarakat Indonesia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui media internet meliputi perlindungan hukum dalam perjanjian dan perlindungan hukum di luar perjanjian. UU ITE menambahkan suatu bentuk system pembuktian elektronik yaitu adanya tanda tangan elektronik (digital signature) yang merupakan suatu sistem pengamanan yang bertujuan untuk memastikan otentisitas dari suatu dokumen elektronik.
Kata kunci: Cybercrime, Transaksi online, Konsumen, Internet.
ii
MOTTO
ada banyak teori dan angka untuk mencermati kehidupan, tapi untuk mencermati jalan kehidupan sendiri, lebih banyak butuh hati dan keberanian....!!!
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi Ini Untuk: Motivator Hidupku . . .
Ayah.... yang selalu menjaga impian kami agar terus menyala dengan apapun yang kami miliki, meskipun yang kami miliki tidak sempurna... Umi.... Ketegaran umi menghadapi segala kesulitan ini. Ketekunannya, airmatanya, membawa kami melalui awan gelap itu. Umiku, di balik kelembutannya, menyimpan kekuatan yang luar biasa.. Adik-adik kuu.... penyemangat hidupku....
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi adalah pengalihan tulisan dari satu bahasa ke dalam tulisan bahasa lain. Dalam skripsi ini transliterasi yang dimaksud adalah pengalihan tulisan Bahasa Arab ke Bahasa Latin. Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut: A. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ا
Alif
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
ب
Ba>’
b
be
ت
Ta>’
t
te
ث
Sa>’
s\
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
je
ح
Ha>’
h}
ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha>’
kh
ka dan ha
د
Da>l
d
de
ذ
Za>l
z\
zet (dengan titik di atas)
ر
Ra>’
r
er
ز
Zai
z
zet
س
Sin
s
es
ش
Syin
sy
es dan ye
ص
Sa>d
s}
es (dengan titik di bawah)
ض
Da>d
d}
de (dengan titik di bawah)
ط
Ta>’
t}
te (dengan titik di bawah)
ظ
Za>’
z}
zet (dengan titik di bawah)
ع
‘Ain
‘
koma terbalik di atas
viii
غ
Gain
g
ge
ف
Fa>’
f
ef
ق
Qa>f
q
qi
ك
Ka>f
k
ka
ل
La>m
l
el
م
Mi>m
m
em
ن
Nu>n
n
en
و
Wa>wu>
w
w
ه
Ha>’
h
ha
ء
Hamzah
’
apostrof
ي
Ya>’
Y
ye
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah متعّددة
ditulis
muta’addidah
عدّة
ditulis
‘iddah
C. Ta’ Marbutah di Akhir Kata 1. Bila dimatikan tulis h حكمة
ditulis
hikmah
علة
ditulis
‘illah
(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya). 2. Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h. كرامة األولياء
ditulis
Kara>mah al-Auliya>
3. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat fathah kasrah dan dammah ditulis t atau h. زكاة الفطر
ditulis
ix
Zaka>h al-Fit}ri
D. Vokal Pendek َ
fathah
ditulis
a
ditulis
fa’ala
ditulis
i
ditulis
z\ukira
ditulis
u
ditulis
yaz\habu
Fathah + alif
ditulis
a>
جاهلية
ditulis
ja>hiliyah
Fathah + ya’ mati
ditulis
a>
تنسى
ditulis
tansa>
Kasrah + ya’ mati
ditulis
i>
كريم
ditulis
kari>m
Dammah + wawu mati
ditulis
u>
فروض
ditulis
furu>d}
Fathah + ya’ mati
ditulis
ai
بينكم
ditulis
bainakum
Fathah + wawu mati
ditulis
au
قول
ditulis
qaul
فعل َ
kasrah
ذكر َ
dammah
يذهب
E. Vokal Panjang 1.
2.
3.
4.
F. Vokal Rangkap 1.
2.
G. Vokal Pendek Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan Apostrof أأنتم
ditulis
a’antum
لئن شكرتم
ditulis
la’in syakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam x
Kata sandang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال, namun dalam transliterasi ini kata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyah. 1. Bila diikuti Huruf Qamariyah Kata sandang yang diikuti oleh Huruf Qamariyah ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. القرآن
ditulis
al-Qur’a>n
القياس
ditulis
al-Qiya>s
2. Bila diikuti Huruf Syamsiyah ditulis dengan menggandakan Huruf Syamsiyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya. السماء
ditulis
as-Sama>’
الشمس
ditulis
asy-Syams
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat Ditulis menurut penulisannya. ذوي الفروض
ditulis
Z}awi> al-Furu>d}
أهل السنة
ditulis
Ahl as-Sunnah
J. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti yang berlaku dalam EYD, di antaranya, huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri dan permulaan kalimat. Nama diri yang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama diri bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: شهْر رمضان الَّذى أ ْنزل فيْه ا ْلق ْرانSyahru Ramad}a>n al-laz}i> unzila fi>h al-Qur’a>n K. Pengecualian xi
Sistem transliterasi ini tidak berlaku pada: a. Konsonan kata Arab yang lazim dalam Bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, misalnya hadis, lafaz, shalat, zakat dan sebagainya. b. Judul buku yang menggunakan kata Arab, namun sudah di-Latin-kan oleh penerbit, seperti judul buku Al-Hijab, Fiqh Mawaris, Fiqh Jinayah dan sebagainya. c. Nama pengarang yang menggunakan nama Arab, tetapi berasal dari negara yang menggunakan huruf Latin, misalnya Quraish Shihab, Ahmad Syukri Soleh dan sebagainya. d. Nama penerbit di Indonesia yang menggunakan kata Arab, misalnya Mizan, Hidayah, Taufiq, Al-Ma’arif dan sebagainya.
xii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور انفسنا ومن سيأت أعملنا من يهده الله فال مضل له ومن يضلل فال هادي له أشهد أن ال إله إال الله وحده الشريك له و . أما بعد.أشهد أن محمدا عبده ورسوله اللهم صل على سيدنا محمد وعل أل سيدنا محمد Atas rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan seluruh pihak yang membantu serta mendo’akan, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “PENANGGULANGAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBERCRIME)
DALAM
TRANSAKSI
JUAL-BELI
ELEKTRONIK
PRESPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”, sebagai salah satu
syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) pada program studi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung atau tidak langsung, materil atau non-materil, maka izinkanlah penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. KH. Yudian Wahyudi, Ph.D. 2. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag., beserta staf dan jajarannya. 3. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum. 4. Ketua Prodi dan Sekertaris Prodi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bapak H. Wawan Gunawan, M.Ag dan Bapak Gusnam Haris, S.Ag., M.Ag.
xiii
5. Dosen Pembimbing Skripsi, Bpk. Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum, yang telah sabar membimbing penyusun, semoga Allah senantiasa memberikan kemanfaatan ilmu dan diberikan kesehatan jasmani dan ruhani. 6. Staff Prodi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bapak Badrudin, yang telah membantu penyusun dalam proses administrasi. 7. Dosen Pembimbing Akademik, Bapak Nurdin Baroroh, S.H.I., M.Si., serta seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang telah mengeksplor wawasan dan pengetahuannya kepada penyusun. 8. Orangtua tercinta, Drs. Rusli Junaidi dan Umi Ulik Sa’adah, S.Pd, yang senantiasa bersabar, selalu memberi dorongan bagi penyusun, kepada adik tersayang (Habib Aunillah Humaini, Intan Permata Nirmala Sari dan Wilda Nuzwa), dan seluruh keluarga besar (Kakek, Nenek, dan lainnya) 9. Pimpinan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta, Bapak KH. Jalal Suyuthi,.S.H dan beserta dewan asatidz pengajar lainnya, yang telah membimbing pengetahuan serta keilmuan agama penyusun kurang lebih sempat tahunan. 10. Para dewan guru Mts Tsanawiyah Wahid Hasyim yang selalu memberikan saran serta motivasi kepada penyusun. 11. Keluarga besar pembina dan staff Mts Wahid Hasyim, teman-teman keluarga besar Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta, sebagai atap pertama dalam meneduh, berbagi cerita dan wawasan lintas studi.
xiv
12. Keluarga besar UKM Studi & Pengembangan Bahasa Asing, keluarga Pusat Studi & Konsultasi Hukum, sahabat PMII UIN Sunan Kalijaga dan HIMALA Yogyakarta, yang telah memberi kesempatan bagi penyusun untuk bergabung, bersosialisasi, nongkrong dan banyak hal lainnya. 13. Teman-teman KKN Angkatan 93 Posko Jatibungkus, pahit manis menjadi pelajaran hidup yaang berharga selama pelaksanaan KKN berlangsung. 14. Teman-teman PM 14, sejauhmanapun melangkah jangan lupakan proses yang dilalui bersama di almamater UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Perbandingan Mazhab, sukses bareng, wisuda bareng. Penyusun menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, semua itu tiada lain karena keterbatasan dan kekurangan penyusun. Oleh karena itu, kritik dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan, untuk perbaikan serta kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat, bagi penyusun khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, 23 Sya’ban 1439 H 10 April 2018 Penyusun,
M.Izan Perdana Kesuma NIM. 14360058
xv
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
ABSTRAK .......................................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI .........................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN............................................................
v
MOTTO ...........................................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN............................................. viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... xiii DAFTAR ISI .................................................................................................... xvi BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
5
C. Tujuan dan Kegunaan ....................................................................
5
D. Telaah Pustaka ...............................................................................
6
E. Kerangka Teoretik ..........................................................................
8
F. Metode Penelitian........................................................................... 16 G. Sistematika Penelitian .................................................................... 20 BAB
II:
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
KEJAHATAN
SIBER
(CYBERCRIME), RUANG LINGKUP DAN ATURAN HUKUMNYA A. Tinjauan Tentang Kejahatan Siber ................................................. 22 1. Definisi kejahatan siber ...................................................... 22
xvi
2. Karakteristik kejahatan siber .............................................. 24 B. Bentuk-Bentuk Kejahatan Siber (cybercrime) .............................. 26 1. Berdasarkan aktifitasnya .................................................... 27 2. Bedasarkan motifnya .......................................................... 30 C. Kejahatan Siber di Indonesia ......................................................... 30
BAB III: PENANGGULANGAN KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME) DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN A. Pengaturan Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) dalam UU ITE ........................................................................................... 33 1. Delik-delik Cybercrime dalam UU ITE ............................. 33 2. Sanksi Pidana Cybercrime dalam UU ITE ........................ 41 B. Perlindungan Hak-hak Konsumen menurut Undang-Undang di Indonesia ........................................................................................ 46 1. Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ....................................... 46 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ...... 54 BAB
IV:
ANALISIS
HUKUM
TERHADAP
PENANGGULANGAN
KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME) DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM A. Analisis dari Aspek Hukum Positif ................................................ 59
xvii
B. Analisis dari Aspek Hukum Islam ................................................. 75 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 86 B. Saran ............................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ A. Lampiran I, Halaman Terjemahan B. Lampiran II, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik C. Lampiran III, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen D. Lampiran IV, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat E. Curriculum Vitae
xviii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan mayantara (cybercrime) merupakan kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyberspace) yang tidak mengenal batas yurisdiksi serta penggunaan internet oleh siapa saja dan kapan saja saja di seluruh dunia. Sehingga dapat digolongkan bahwa kejahatan mayantara termasuk kejahatan transnasional. Oleh karena sifatnya yang transnasional, pembuktian kejahatan mayantara juga menjadi hal yang membutuhkan perhatian bagi negara Indonesia dalam rangka penegakan hukum serta menentukan yurisdiksi kejahatan transanasional ini sesuai Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas diangkatlah beberapa permasalahan yaitu: bagaimanakah eksistensi kejahatan mayantara, bagaimanakah kejahatan mayantara dalam hukum pidana positif di Indonesia, serta
bagaimanakah
pembuktian
kejahatan
mayantara
dalam
lingkup
transnasional.
Perkembangan internet yang semakin meningkat baik teknologi dan penggunaannya, membawa dampak positif maupun negatif. Tentunya dampak yang bersifat positif patut disyukuri, karena banyak manfaat dan kemudahan yang didapat dari perkembangan teknologi ini, namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa teknologi internet telah membuat kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian, manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laundering, hacking, pencurian software maupun 1
2
perusakan hardware dan berbagai macam lainya. Bahkan laju kejahatan melalui jaringan internet tidak di ikuti dengan kemampuan pemerintah untuk menggimbanginya sehingga sulit untuk mengendalikannya. Munculnya beberapa kasus cyber crime di Indonesia telah menjadi ancaman stabilitas Kamtibmas dengan ekskalatif yang cukup tinggi. Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer khususnya di jaringan internet dan internet (internet work) dilakukan dengan menggunakan media komputer secara online dengan resiko tertangkap sangat kecil.1
Pembuktian kejahatan mayantara dalam lingkup transnasional yang terjadi di Indonesia menggunakan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara Indonesia telah diatur pula di beberapa undang-undang. Munculnya kejahatan mayantara ini disebabkan oleh faktor kesadaran hukum masyarakat yang kurang, faktor keamanan pelaku dalam melakukan kejahatan, faktor budaya hukum, dan masih kurangnya aparat penegak hukum yang memiliki kemampuan dalam hal cybercrime, serta peraturan perundang-undangan yang belum berlaku secara
efektif
dalam
menanggulangi
kejahatan
tersebut.
Kebijakan
penanggulangan kejahatan ini dapat ditempuh dengan pendekatan penal dan non penal.
1 Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi Cybercrime: Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm.3
3
Namun akhirnya pada maret 2008 disahkan undang-undang nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh pemerintah. Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai beberapa kriminalisasi perbuatan pidana yang sebelumnya bukanlah tindak pidana melalui beberapa terobosan dan perluasan dalam hal asas-asasnya beserta sanksi pidananya. Selain aturan pidana substantive, dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai prosedur dan alat bukti yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkan nya alat bukti baru yang berkaitan dengan media elektronik.
Di dalam hukum Islam tidak ada yang mengatur secara khusus tentang kejahatan mayantara, karena pada masa pembentukan hukum Islam belum terdapat kejahatan mayantara. Hukum pidana Islam pada dasarnya sama dengan hukum pidana pada umumnya. Hanya saja, hukum pidana Islam di dasarkan pada sumber hukum Islam, yaitu Al-qur’an dan As-Sunnah. Karenanya, hukum pidana Islam merupakan suatu hukum yang merupakan bagian dari sistem hukum Islam, yang mengatur tentang perbuatan pidana dan pidananya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.2 Maka dapat difahami bahwa kejahatan apapun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan
melalui media internet atau
cybercrime, tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena mengganggu ketertiban umum yang sangat dipelihara dan dalam tuntunan hidup bernegara dalam Islam.
2 Asadulloh Al-Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 5.
4
Seiring dengan hal tersebut dalam hukum positif dikenal dengan adegium “aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena”.
Dengan demikian, cybercrime atau kejahatan dunia maya masuk dalam ranah jari>mah ta’zi>r bukan termasuk jari>mah qis}has dan h}udud. Sebab bisa dipastikan bahwa dizaman rasulullah belum diketemukan teknologi komputer dan internet seperti saat ini. Maka sedari itu tidak ada satu ayat atau hadis pun yang menyebutkan secara eksplisit eksistensi kejahatan dunia maya seperti yang ada di zaman sekarang ini.
Dengan beragam pendekatan ini, menunjukkan bahwa Islam dapat dipahami dari berbagai paradigma, ketika muncul persoalan atau masalah yang harus dicarikan jawabannya, maka seorang mujtahid atau para ulama dapat melihat persoalan itu dari berbagai paradigma atau pendekatan yang ada tersebut, sesuai dengan objek yang dibahas. Isu-isu kontemporer, seperti pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama, yang telah membuat perdebatan di masyarakat. Tentu sebelum diputuskan status hukumnya, terlebih dahulu dilakukan pendekatan-pendekatan yang relevan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh MUI.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penyusun mengajukan sebuah judul skripsi “PENANGGULANGAN KEJAHATAN
MAYANTARA
DALAM
TRANSAKSI
PRESPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM”.
JUAL-BELI
ELEKTRONIK
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana kajian yuridis terhadap penanggulangan kejahatan mayantara (cybercrime) dalam transaksi jual beli online serta perlindungan konsumen di Indonesia menurut hukum positif (Undangundang) dan hukum Islam?
2.
Bagaimana praktik dan penerapan hukuman bagi pelaku cybercrime dan kejahatan dunia maya lainnya di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan hukum serta praktik dalam penerapan hukuman bagi pelaku cybercrime dan kejahatan dunia maya lainnya di Indonesia, juga untuk mengetahui bagaimana efektivitas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 terhadap perlindungan website dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kriminalisasi cybercrime serta perlindungan konsumen dalam bertransaksi online di Indonesia menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
2.
Kegunaan Penelitian
6
Secara ilmiah penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan khazanah keilmuan dalam kajian terhadap perlindungan website dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kriminalisasi cybercrime di Indonesia menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
Sedangkan secara praktik keseharian, penelitian ini dapat menjadi sumbangan cara pandang terhadap kita dalam mengaplikasikan, menggunakan, serta hal lain yang berkaitan dengan internet, yang sesuai dengan ketentuanketentuan atau aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan undang-undang.
D. Telaah Pustaka
Pengelolaan website dan penanggulangan kriminalisasi cybercrime dalam transaksi jual-beli elektronik adalah isu yang cukup hangat dibicarakan, baik dalam seminar-seminar, maupun dari tulisan-tulisan. Ada beberapa literatur dan penelitian yang membahas tentang Pengelolaan
website dan penanggulangan
kriminalisasi cybercrime dalam transaksi jual-beli elektronik sesuai dengan fokusannya masing-masing. Namun kaitannya dengan praktik penerapan hukuman dari segi perbandingan hukum antara hukum positif dan hukum pidana Islam –sebagaimana topik penelitian yang peneliti angkat- sejauh yang peneliti ketahui dari proses pencarian di perpustakaan maupun pencarian dengan fasilitas google scholar, belum ada penelitian sejenis yang ditemukan. Namun memang ada beberapa penelitan, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun skripsi yang bahasannya mendekati bahasan yang dikaji oleh peneliti.
7
Penelitian yang dilakukan oleh Budi Suharyanto yang berjudul “Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) : Urgensi Pengaturannya dan Celah Hukumnya”. Dalam penelitian ini, penulis telah berhasil mengurai pendapatnya secara jernih, dengan kalimat yang sederhana, namun bernas, disertai analisis ilmiah kritis, terhadap berbagai macam delik maupun persoalan diseputar “Tindak Pidana Teknologi Informasi”. Termasuk didalamnya, yang menyangkut masih adanya “celah hukum” yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai akibat pengaturannya dinilai kurang komphrerensif maupun interprestasi penegak hukum yang dinilai kurang maksimal. Skripsi Ahmad Muyasir, “Kejahatan defacing (Perbandingan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Hukum Pidana Islam)”.3 Membahas tentang defacing yang dianalisis menggunakan UU ITE dan Hukum Pidana Islam, bahwa kejahatan defacing merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. Skripsi Khairil Anam yang berjudul “Hacking (Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif)”.4 Skripsi ini membahas hacking secara umum, didalamnya dijelaskan bahwa hacking tidak dapat dikategorikan suatu perbuatan pidana,
Ahmad Muyasir, “Kejahatan Defacing (Perbandingan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Hukum Pidana Islam)”, Skripsi Fakultas Syariah 2015 UIN Sunan Kalijaga. 3
4 Khairil Anam,” Hacking (Prespektif Hukum Islam dan Hukum Positif)”, Skripsi Fakultas Syariah 2009 UIN Sunan Kalijaga.
8
dalam skripsi ini dijelaskan bahwa tujuan hacking sebenarnya adalah untuk perbuatan baik yaitu menguji keamanan suatu sistem dan memberi tahu kepada pemilik website ataupunyang membuat sistem tersebut.
Dari penelusuran peneliti atas apakah ada penelitian sebelumnya yang pernah megangkat judul sebagaimana yang peneliti angkat, setelah melihat penelitian-penelitian sejenis, maka peneliti berani menyimpulkan bahwa belum pernah ada penelitian yang membahas apa yang peneliti bahas dalam penelitian skripsi peneliti. Yaitu membahas tentang kajian yuridis terhadap perlindungan website dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kriminalisasi cybercrime di Indonesia menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
E. Kerangka Teoritik
Teknologi informasi dan komunikasi saat ini, telah dimanfaatkan serta digunakan dalam kehidupan sosial masyarakat, dan telah memasuki berbagai sektor kehidupan baik sektor pemerintahan, sektor bisnis, perbankkan, pendidikan, kesehatan, dan kehidupan pribadi. Manfaat yang dapat dirasakan baik teknologi informasi dan komunikasi selain memberikan dampak yang positif juga disadari memberi peluang untuk dijadikan sarana melakukan tindak kejahatankejahatan baru (cybercrime) sehingga diperlukan upaya proteksi.5
5
hlm
Maskun, Kejahatan Siber (Cyber crime) Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2013),
9
Adanya suatu tindak pidana merupakan alasan bagi negara di dalam menggunakan haknya untuk memberlakukan hukum pidana melalui alat-alat perlengkapannya, seperti: kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Hak-hak negara tersebut meliputi hak untuk melakukan penuntutan, mengadili, maupun menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, baik suatu perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu) maupun perbuatan yang bersifat pasif (mengabaikan atau tidak melakukan sesuatu). Dengan perkataan lain, bahwa syarat utama dapat dipidananya seseorang apabila perbuatan itu telah memenuhi semua unsur tindak pidana, tetapi apabila salah satu unsur tidak terpenuhi bukanlah suatu tindak pidana karena arti dan maksudnya akan berbeda.6
Perbuatan dapat disebut sebagai suatu tindak pidana, jika perbuatan tersebut harus memenuhi 5 (lima) unsur, sebagai berikut:7
1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging); 2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettetlijke omschrijving); 3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak (melawan hukum); 4. Kelakuan itu dapat diberatkan (dipertanggungjawabkan) kepada pelaku; 5. Kelakuan itu diancam dengan pidana.
6
Rony Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012),
hlm. 163. 7
Ibid., hlm. 163.
10
Sanksi pidana merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diadakan hukum pidana. Pemberian pidana sebenarnya telah menjadi persoalan dan pemikiran dikalangan para ahli di dalam mencari alasan-lasan dan syarat-syarat seseorang dapat dijatuhi pidana. Dalam hal ini dikenal tiga teori mengenai alasan pembenar dan syarat pemidanaan, adalah sebagai berikut :8
1. Teori Absolute atau Teori Pembalasan (Veregeldingstheoriens)
Dalam teori ini menghendaki penghukuman yang setimpal dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh si pembuat. Kejahatan dipandang sebagai penyebab timbulnya penderitaan orang lain, sehingga si pembuat juga pantas mengalami penderitaan sesuai perbuatannya yang membuat penderitaan orang lain. Dengan demikian, penderitaan harus dibalas dengan penderitaan (leed met leed vergelding worden).
2. Teori Relative (Doeltheorien)
Pemidanaan menurut teori relatif adalah bukan ditunjukkan sebagai pembalasan, melainkan untuk mencapai suatu atau maksud dari pemidanaan itu, sehingga teori ini dikenal sebagai teori tujuan. Jadi, tujuan pemidanaan adalah kemanfaatan , yaitu selain mencegah timbulnya kejahatan dan memperbaiki ketidakpuasan masyarakat, juga ditunjukan untuk memperbaiki pribadi si
8
Roni Wijayanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia....., hlm. 111.
11
penjahat. Teori ini menitik beratkan nilai kemanfaatan dari pada pemidanaan (mut van starf).
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Teori gabunga merupakan penyatuan dari teori pembalasan dan teori tujuan. Dasar pemidanaan menurut teori gabungan mengakui bahwa tujuan penjatuhan pidana sebagai pembalasan yang didasarkan pada kejahatannya. Selain itu, diakui pula penjatuhanpidana mempunyai tujuan dari pemidanaan itu sendiri.
Selain tiga teori diatas ada teori lagi yang digunakan oleh penyusun dalam menentukan dan menyelesaikan permasalahan dalam skripsi ini yaitu. 4. Teori Maq}a} >s}id al-Syari>’ah
Dalam hal ini pula penyusun menggunakan teori tambahan dalam penyusunan skripsi ini yaitu teori Maqa>s}id al-Syari>’ah dari Jasser ‘Audah, yang dalam hal ini Maqa>s}id al-Syari>’ah dari prespektif keniscayaan (dasar klasifikasi klasik) yang telah dibagi menjadi 5 (lima) bagian oleh para ulama, sebagai berikut : H}ifz al-Di
al-Ma
Jasser ‘Audah, Al-Maqashid Untuk Pemula, Penerjemah ‘Ali ‘Abdelmon’im, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm. 8. 9
12
Menurut Jaser ‘Audah, melestarikan dari kelima hal tersebut diatas adalah suatu keharusan yang harus dipenuhi, yang tidak bisa diabaikan begitu saja, jika kehidupan manusia dikehendaki untuk dapat berlangsung dan berkembang dengan baik.10 Dengan memasukkan unsur “nilai-nilai” atau “prinsip-prinsip” ajaran islam yang integral dalam definisi kehidupan Islam, maka segala aktivitas kehidupan dalam Islam harus beradadalam koridor kelima unsur-unsur atau prinsip-prinsip dasar tersebut.
Sedangkan dalam hukum Islam delik pidananya disebut juga sebagai
Jari>mah. Jari>mah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya para ulama membagi jari>mah berdasarkan aspek berat dan ringan nya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al-qur’an dan Al-Hadis.11 Jari>mah bila dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qis}as diyat dan ta’zir.12 a. Jari>mah Hud>ud, yaitu perbuatan yang melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditetapkan oleh nas}, yaitu hukuman hadd (hak Allah). Hukuman hadd yang dimaksud tidak mempunyai batas batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para
10
Ibid....
11
Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 12.
12
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia....., hlm. 12.
13
ulama sepakat bahwa yang termasuk kategori dalam Jari>mah Hudud ada tujuh, yaitu: 1. Zina 2. Qazf (menuduh zina) 3. Pencurian 4. Perampokan atau penyamunan (hirabah) 5. Pemberontakan (Al-baghy) 6. Minum-minuman keras, dan 7. Riddah (murtad) b. Jari>mah Qis}as/Diyat yakni yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman qis}as dan diyat. Baik hukuman qis}as maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah maupun tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman hadd
yang menjadi hak allah semata.
Hukuman qis}as diyat penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qis}as bisa berubah menjadi diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan maka menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qis}as/diyat: (a) pembunuhan yang disengaja (al-qatl al-amd), (b) pembunuhan semi sengaja (al-qatl
sibh al-amd), (c) pembunuhan keliru (al-qatl al-khata’), (d) penganiayaan sengaja (al-jarh al-amd), (e) penganiayaan salah (al-jarh al-khata’).
14
c. Jari>mah Ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jari>mah yang diancam dengan hukuman ta’zir yaitu hukuman selain hadd dan qis}as
diyat. Pelaksanaan hukuman ta’zir baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas} atau tidak , baik perbuatan itu menyangkut hak allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jari>mah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah atau tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa suatu perbuatan dianggap delik (jari>mah) dapat dikategorikan menjadi 2 (dua): pertama, rukun umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Kedua, unsur khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada jenis jari>mah tertentu.13 Adapun yang termasuk unsur-unsur umum jari>mah adalah: a. Unsur formil (adanya undang-undang atau nas}). Artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nas} atau undang-undang yang mengaturnya. b. Unsur materiil (sifat melawan hukum). Artinya adanya tingkah laku seseorang yang membentuk jari>mah, baik dengan sikap berbuat
13
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia....., hlm.10.
15
maupun sikap tidak berbuat. Unsur ini dalam hukum pidana islam disebut dengan ar-rukn al-madi. c. Unsur moril (pelaku mukalaf). Artinya pelaku jari>mah adalah orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana terhadap jari>mah yang dilakukannya. Dalam syariat islam disebut dengan ar-rukn al-
adabi Dalam permasalahan penyelesaian hukuman mengenai penanggulangan kejahatan mayantara dalam transaksi jual-beli online, merupakan permasalahan kontemporer yang pada zaman Rasulullah SAW belum terdapat hukum yang mengaturnya bahkan permasalahan ini tidak ada pada zaman itu. Para ulama kontemporer pada zaman sekarang yang merupakan cendikiawan-cendikiawan muslim banyak melakukan penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an, dalam hal melakukan penafsirannya tidak terlepas atau keluar dari konteks Al-Qur’an dan sunnah yang merupakan pedoman bagi umat Islam. Islam tidak menutup kemungkinan bagi para ulama-ulama kontemporer utuk melakukan penafsiran terhadap hukum-hukum islam yang terdapat dalam Al-Qur’an yang dalam hal ini disebut dengan Ijtihad. Dari ijtihad tersebut tetntunya melahirkan suatu pembacaan kontemporer terhadap Al-Qur’an. Salah satu cendikiawan yang melakukannya adalah Muhammad Syahrur dalam hal ini telah melahirkan teoriteori yang digunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah kontemporer. Teori ini dikenal dengan Teori Batas. Teori batas dapat digambarkan sebagai perintah tuhan yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah , mengatur ketentuan-
16
ketentuan yang merupakan batas terendah (al-’a>d al-adna< ) dan batas tertinggi (al-‘ad al-a’la>) bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas tertinggi mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batas-batas ini dijadikan paduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.14 Syahrur membedakan enam bentuk batasan-batasan, yaitu:15 1. Batas Minimum 2. Batas maksimum 3. Batas Minimum dan Maksimum bersamaan 4. Batas Minimum dan Maksimum Bersamaan pada satu titik atau posisi lurus atau posisi penetapan Hukum Partikular (Ainiyah) 5. Batas Maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan 6. Batas Maksimum Positif tidak boleh dilewati dan Batas bawah Negatif boleh dilewati. F. Metode Penelitian
14
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), hlm. 6. 15
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam...., hlm. 7.
17
Agar penelitian ini mampu menapai tujuan dengan tetap mengacu pada standar ilmiah sebuah karya penelitan, maka penulis menggunakan metode yang ada sebagai acuan dalam melaksanakan penelitian. Adapun diantara metodemetode yang digunakan oleh penulis, sebagai berikut :
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (Library Research) yang bersifat kualitatif. Seluruh sember yang terk ait dengan penelitian ini adalah dari merujuk kepada sumber-sumber data tertulis, baik yang cetak maupun non-cetak atau data-data yang berhasil peneliti dapatkan dari Internet.
2.
Sifat Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif-komparatif. Deskriptif yaitu memberikan penjelasan tentang bagaimana efektivitas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 dan UU No 8 Tahun 1999,
terhadap
perlindungan
website
dalam
upaya
pencegahan
dan
penanggulangan kriminalisasi Cybercrime di Indonesia serta perlindungan konsumen dalam bertransaksi online , menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia), serta menjelaskan penerapan asas tersebut menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia). Komparatif adalah upaya untuk membandingkan penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan dunia maya dan sebagainya, menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia), agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum
18
pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia) dalam menerapkan asas kepastian hukum terhadap proses pemidanaan pelaku kejahatan yang berkaitan langsung dengan dunia maya atau internet.
3.
Tahapan Penelitian a. Pengumpulan Data
Penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data-data yang mendukung dan menjadi rujukan dalam penelitian ini, data-data itu peneliti kumpulkan dari buku-buku, makalah, artikel dan lain sebagainya. Dari data-data yang telah peneliti dapatkan, maka dilakukan eksplorasi terhadap data-data yang ada tersebut, tentunya yang berkaitan dengan tema penelitian ini; yaitu bagaimana efektivitas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 terhadap perlindungan website dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kriminalisasi Cybercrime di indonesia, menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia). Data-data yang dimaksud dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1) Data Primer
Data primer yang digunakan yaitu buku-buku pokok yang berkaitan langsung dengan tema pembahasan dalam penelitian ini. Yaitu Undang-undang, KUH Perdata/Pidana, dan Hukum Pidana Islam/Fikih Jinayah.
2) Data Sekunder
19
Data sekunder ini diperoleh dari sumber lain, hasil kajian berbentuk bukubuku ilmiah, jurnal-jurnal, skripsi atau hasil penelitian, hasil karya ilmah para sarjana,
dan penyusun melakukan dengan mempelajari peraturan perundang-
undangan yaitu yurisprudensi yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Seleksi Data
Seleksi atas data-data yang terkumpul dilakukan dengan pemilihan atas data yang sesuai dengan objek yang diteliti dalam penelitian ini. Selanjutnya dilakukan pemilahan data-data tersebut sesuai dengan bahasannya, agar memudahkan peneliti dalam mengeksplorasi data-data tersebut sesuai dengan masing-masing bahasan yang termuat dalam penelitian ini.
4.
Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan yuridis yang dilakukan adalah yang berkaitan dengan produk perundang-undangan yaitu UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun pendekatan normatif dilakukan dengan mendasarkan hukum islam dalam kedudukannya sebagai aturan syari’ah baik berupa Al-qur’an dan hadis-hadis yang berkaitan dengan jarimah ta’zir dengan teori Qiyas.
5.
Analisis Data
20
Untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil kajian dalam penelitian ini dengan baik dan valid, peneliti melakuan analisa data kualitatif dengan menggunakan pendekatan deduktif dan komparatif. Pendekatan dengan metode Induktif yaitu suatu pembahasan yang dimulai dengan hal-hal atau pengetahuan yang bersifat umum dan bertitik tolak pada suatu hal yang akhirnya akan digunakan untuk meneliti suatu kejadian dan ditarik pada pengetahuan yang khusus.16
Sedangkan
pendekatan
dengan
metode
komparatif
yaitu
upaya
membandingkan dua cara pandang atau paradigma terhadap suatu hal tertentu yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, agar mendapatkan suatu kesimpulan atas apa yang diteliti.
Analisis ini akan dilakukan pada bab terkahir dengan berdasarkan data yang telah ada, sehingga dapat diketahui penerapan asas kepastian hukum tersebut dan persamaan serta perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif (Indonesia)..
G. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan pada penelitian ini terdiri atas 5 (lima) bab, pada masing-masing bab terdiri dari sub-sub bab sebagai penjelasan yang lebih terperinci dari setiap babnya yaitu:
16
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, (Yogyakarta: UGM Press, 1983). hlm. 36
21
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang di dalamnya mencakup tujuh sub bahasan, antara lain: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teoretik, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, berisi tinjauan umum dan tinjauan teoritis tentang kejahatan mayantara secara umum, dalam bab ini dijelaskan antara lain defnisi kejahatan mayantara (cybercrime), karakteristik kejahatan siber, bentuk-bentuk kejahatan siber dan kasus cybercrime di Indonesia.
Bab ketiga, pada bab ini menjelaskan aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan mayantara dan perlindungan konsumen dalam transaksi jual-beli online menurut Undang-Undang dan Hukum Pidana Islam atau Fiqh Jinayah..
Bab keempat, mengulas tentang analisis komparatif antara penerapan kedua aspek kepastian hukum dalam pemidanaan pelaku kejahatan mayantara tersebut, dengan melihat persamaan dan perbedaan dalam prespektif hukum Islam dan UU ITE No. 11 Tahun 2008.
Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selain kesimpulan juga berisi saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusun pribadi dan masyarakat luas pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN SIBER (CYBERCRIME), RUANG LINGKUP, DAN ATURAN HUKUMNYA
A. Tinjauan Umum tentang Kejahatan Siber 1. Definisi Kejahatan Siber
Pada masa awalnya, cybercrime didefinisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai difinisi kejahatan komputer sendiri, sampai sekarang para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan komputer. Bahkan penggunaan istilah tindak pidana untuk kejahatan komputer dalam bahasa inggris pun masih belum seragam. Beberapa sarjana menggunakan istilah “computer misuse”, “computer abuse”, “computer fraud”, “computer-related crime”, “computer-assited crime”, atau “computer crime”. Namun para sarjana pada waktu itu, pada umumnya lebih menerima pemakaian istilah "computer crime" oleh karena dianggap lebih luas dan biasa dipergunakan dalam hubungan internasional.1 The British Law Commission misalnya, mengartikan “computer fraud” sebagai manipulasi komputer dengan cara apapun yang dilakukan dengan itikad buruk untuk memperoleh uang, barang ataupun keuntungan lainnya atau
1 Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 9.
22
23
dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi “computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :
1) Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian, atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan. 2) Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak, sabotase dan pemerasan.2 The US Computer Crime Manual menggunakan “computer-related crime” disamping “computer crime”. Komisi Franken lebih condong mengunakan “computer misuse” oleh karena “computer crime” lebih membatasi pada perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana, padahal perbuatan penyalah gunaan komputer dapat dilarang pula oleh ketentuan lainnya. Dalam bahasa Belanda sering digunakan istilah “computer misbruik” di samping “computer criminaliteit”. Dengan berkembangnya jaringan internet3 dan telekomunikasi kini dikenal istilah “digital crime” dan “cybercrime”.4
2
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi...,, hlm. 10
3
Internet adalah sebuah jaringan dari sekumpulan jaringan networks of networks yang terdiri dari jutaan komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan komunikasi jaringan komputer (protocol) yang sama. (Agus Rahardjo, CybercrimePemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.60. Bagi orang awam, internet adalah sebuah teknologi baru yang mampu membantu beragam kinerja. Mulai dari tugas sekolah, kampus, tugas mencari data atasan, berkirim email, membaca berita dan banyak lagi. ( Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, (Yogyakarta: Andi, 2007) hlm. 7). 4
Ibid., hlm. 4.
24
Sistem teknologi informasi berupa internet telah dapat menggeser paradigma para ahli hukum terhadap definisi kejahatan komputer sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bahwa pada awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras yaitu komputer. Namun dengan adanya perkembangan teknologi informasi berupa jaringan internet, maka fokus dari identifikasi terhadap definisi cybercrime lebih diperluas lagi yaitu seluas aktifitas yang dapat dilakukan di dunia cyber/maya melalui sistem informasi yang digunakan. Jadi tidak sekedar pada komponen hardwarenya saja kejahatan tersebut dimaknai sebagai cybercrime, tetapi sudah dapat diperluas dalam lingkup dunia yang dijelajah oleh sistem teknologi informasi yang bersangkutan. Sehingga akan lebih tepat jika pemakaian dari cybercrime adalah kejahatan teknologi informasi, juga sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief sebagai kejahatan mayantara.5
Oleh karena itu, pada dasarnya cybercrime meliputi dan mencangkup semua tindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (Information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk
menyimpan/pertukaran
informasi
kepada
pihak
lainnya
(transmitter/originator to recipetient).6
2. Karakteristik Kejahatan Siber
5
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi....., hlm. 11
6
Didik M. Arief Mansur dan Elisataris Ghultom, Cyber law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 10.
25
Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di indonesia. Hukum di indonesia hukum dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaiknya. 7
Berdasarkan beberapa literatur serta praktiknya, cybercrime memiliki beberapa karakteristik, yaitu:8
1) Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya. 2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apapun yang terhubung dengan internet. 3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun immateriil (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.
7
8
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi....., hlm. 13
Abdul Wahid dan M. Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 76.
26
4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya. 5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transaksional/melintasi batas negara.9
B. Bentuk-bentuk Cybercrime
Sesungguhnya
banyak
perbedaan
diantara
para
ahli
dalam
mengklasifikasikan kejahatan komputer (computer crime). Ternyata dari klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam beberapa hal. Untuk memudahkan klasifikasi kejahatan komputer (computer crime) tersebut, maka dari beberapa klasifikasi dapat disimpulkan:10
1. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi komputer. 2. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau software komputer. 3. Pemakaian
fasilitas-fasilitas
komputer
tanpa
wewenang
untuk
kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan atau operasinya. 4. Tindakan –tindakan yang mengganggu operasi komputer. 5. Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang berhubungan dengan komputer atau sarana penunjangnya.
9
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi....., hlm. 14
10
Abdul Wahid dan M. Labib, Kejahatan Mayantara (Cybercrime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 67.
27
Secara umum terdapat beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan
telekomunikasi
ini,
dalam
beberapa
literatur
dan
praktiknya
dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:11
1. Berdasarkan jenis aktivitasnya : a. Unauthorized Access to Computer and Service Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki atau menyusp ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu ada juga yang melakukan hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet.
b. Illegal Contents Kejahatan yang dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Seperti pemuatan suatu berita yang tidak benar atau bohong yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi, pemuatan informasi rahasia negara, agitasi, dan propaganda untuk menentang pemerintahan yang sah.
11
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 14-16.
28
c. Data Forgery Kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi salah ketik yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku.
d. Cyber Espionage Kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan matamata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem computerized.
e. Cyber Sabotage and Extortion Kejahatan dengan membuat gangguan perusakan atau penghancuran terhadap suatu data program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data program komputer atau sistem jaringan komputer yang telah disabotase tersebut dengan bayaran tertentu. Kejahatan ini sering disebut cyberterrorism.
f. Offense Against Intellectual Property
29
Kejahatan yang ditujukan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Contohnya adalah peniruan pada tampilan web page suatu situs milik orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata ini merupakan rahasia dagang orang lain.
g. Infrigements of Privacy Kejahatan yang ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi secara computerized yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immaterial.
h. Cracking Kejahatan dengan menggunakan teknologi computer yang dilakukan untuk merusak sistem keamanan suatu sistem komputer dan biasanya melakukan pencurian tindakan anarkis begitu merekam mendapatkan akses. Biasanya terjadi salah penafsiran antara hacker dan cracker. Hacker adalah orang yang senang memprogram dan percaya bahwa informasi adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan ada yang bersifat dirahasiakan tetapi ada pula yang bersifat dapat dipublikasikan
i. Carding Kejahatan yang menggunakan teknologi komputer untuk melakukan transaksi dengan menggunakan credit card orang lain sehingga dapat merugikan orang tersebut baik materiil maupun immaterial.
30
2. Berdasarkan motif : a. Cybercrime yang menyerang individu, Kejahatan terhadap orang lain dengan motif dendam atau iseng yang bertujuan untuk merusak nama baik, mencoba ataupun mempermainkan seseorang untuk mendapatkan kepuasaan pribadi. Contoh: Pornografi, cyberstalking, dll. b. Cybercrime yang menyerang hak cipta (hak milik), Kejahatan yang dilakukan terhadap hasil karya seseorang dengan motif menggandakan, memasarkan, mengubah yang bertujuan untuk kepentingan pribadi atau umum demi materi maupun non materi. c. Cybercrime
yang
menyerang
pemerintah,
Kejahatan
dengan
pemerintah sebagai objek dengan motif melakukan terror, membajak, ataupun merusak keamanan suatu pemerintahan yang bertujuan untuk mengacaukan sistem pemerintahan atau menghancurkan suatu negara.
C. Cybercrime di Indonesia
Peringkat Indonesia dalam kejahatan di dunia maya (menggunakan internet) telah menggantikan posisi Ukrania yang sebelumnya menduduki posisi pertama. Indonesia menempati persentase tertinggi di dunia maya. Data tersebut berasal dari penelitian Verisign, perusahaan yang memberikan pelayanan intilijen di dunia maya yang berpusat di California Amerika Serikat. 12 Hal ini juga ditegaskan oleh staf Ahli Kapolri Brigjen Anton Tabah bahwa jumlah cybercrime 12
Ade Ari Sam Indradi, Carding-Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, (Jakarta: Grafika Indah, 2006), hlm. 1.
31
di indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Indikasinya dapat dilihat dari banyaknya kasus pemalsuan kartu kredit dan pembobolan sejumlah bank.13
Kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan modusnya, yaitu:14
1. Pencurian Nomor Kredit
Menurut Rommy Alkatiry (wakil Kabid Informatika KADIN), penyalah gunaan kartu kredit milik orang lain di internet merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan dengan dunia bisnis internet di indonesia. Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa dilakukan secara fisik atau on-line. Nama dan kartu kredit orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restauran, hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi pembelian barang di internet.
2. Memasuki, Memodifikasi, atau Merusak Homepage (Hacking)
Menurut John. S. Tumiwa pada umumnya tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan penyusupan dan
13
14
Harian Merdeka, Indonesia Lahan Cybercrime, Rabu, 1 April 2009, hlm. 11.
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrima) urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya......, hlm. 18-19.
32
memberitahukan kepada pemiliknya untuk berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem perbankan dan merusak data base bank.
3. Penyerangan Situs atau e-mail Melalui Virus atau Spamming
Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim Virus melalui e—mail. Menurut RM Roy M. Suryo, diluar negeri kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup berat. Berbeda dengan di indonesia yang sulit diatasi karena pengaturan yang ada belum menjangkaunya.
BAB III
PENANGGULANGAN CYBERCRIME DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN
A. Pengaturan Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) dalam UU ITE 1. Delik-delik Cybercrime dalam UU ITE
Unsur objektif
dalam hal perumusan delik cybercrime mengalami
beberapa terobosan dari sifat-sifat umum dari KUHP. Hal ini disebabkan kegiatan cyber meskipun bersifat virtual tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan-kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jeratan hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual, tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat bukti elektronik dengan subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai pelaku yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.1
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan benda tak berwujud, misalnya dalam
1
Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi Cybercrime: Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 103.
33
34
kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam kenyataan kegiatan cyber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh wilayah suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari manapun pada orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan internet.2
Secara umum terdapat beberapa bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan
telekomunikasi
ini,
dalam
beberapa
literatur
dan
praktiknya
dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:3
a. Akses Tidak Sah (Illegal Access)
Perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana akses secara tidak sah terhadap komputer dan/atau sistem Elektronik milik orang lain diatur dalam Pasal 30 UU ITE berikut.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apapun. 2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun
2
3
Penjelasan UU No. 11 Tahun 2008 paragraf 5.
Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 107.
35
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 3. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Sedangkan ancaman pidananya diatur dalam pasal 46 sebagai berikut:
1. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah). 3. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan tahun) dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
b. Penyadapan atau Interepsi Tidak Sah (Intercepting)
Tindak pidana intersepsi (pe-nguping-an) diatur dalam Pasal 31 UU-ITE berikut:
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain.
36
2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan Intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan didalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang di transmisikan. 3. Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 47 UU-ITE sebagai berikut. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
c. Gangguan terhadap Data Komputer (Data Interference)
Tindak pidana perubahan dan gangguan terhadap data komputerdiatur dalam Pasal 32 UU-ITE berikut.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan, suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau publik. 2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada Sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.
37
3. Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan ketentuan pidana atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 48 UU-ITE berikut.
1. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2000.000,000,00 (dua milyar rupiah). 2. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). 3. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan/atau denda denda paling banyak Rp. 5000.000.000,00 (lima milyar rupiah). d. Gangguan terhadap Sistem Komputer (Sistem Interference)
Tindak pidana berupa gangguan sistem diatur dalam Pasal 33 UU-ITE berikut. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ketentuan pidana ganggua sistem komputer diatur secara tegas dalam Pasal 49 UU-ITE berikut. “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagai mana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
38
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
e. Penyalahgunaan Perangkat Lunak Komputer (Misuse Of Device)
Tindak pidana berupa penyalahgunaan perangkat komputer diatur dalam Pasal 34 UU-ITE berikut.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi , menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27sampai dengan Pasal 33. 2. Tindakan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum. f. Pemalsuan melalui Komputer (Computer-Related Forgery)
39
Pemalsuan melalui komputer diatur dalam Pasal 35 UU-ITEberikut, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Sedangkan ancaman pidananya diatur dalam Pasal 51 UU-ITE berikut:
a. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas milyar rupiah). b. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
g. Pornografi Melalui Komputer (Pornography)
Perbuatan pidana pornografi diatur dalam Pasal 27 UU-ITE sebagai berikut;
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Sedangkan ancaman pidana terhadap pelaku pornografi adalah Pasal 45 ayat (1) berikut;
40
1. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa kriminalisasi terhadap tindak pidana pornografi di internet bukan hanya terhadap pornografi anak tetapi juga pornografi orang dewasa. h. Kejahatan “Tradisional” Yang menggunakan Komputer
Perbuatan pidana tradisional juga diatur dalam Pasal 27 ayat (2), (3), dan (4) UU-ITE sebagai berikut;
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. 2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpahak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik. 3.
Setiap orang dengan sengaja dan tanpahak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Sedangkan ancaman pidana terhadap pelaku pornogarfi adalah Pasal 45
ayat (1) UU-ITE berikut,
1. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
41
Selain itu, Tindak pidana berupa penyebaran berita bohong melalui internet diatur dalam Pasal 28 berikut.
1. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. 2. Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Sedangkan ancaman pidananya dituangkan dalam Pasal 45 ayat (2) berikut.
I.
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tindak pidana pengancaman melalui internet kepada seseorang diatur
dalam Pasal 29 berikut, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Sedangkan ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU-ITE berikut.
II.
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda pali banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
2. Sanksi Pidana Cybercrime dalam UU ITE
42
Sanksi pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini ditetapkan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda. Kedua macam pidana tersebut ditetapkan secara maksimum khusus saja. Hal ini perlu mendapat perhatian karena terdapat kelemahan jika hanya diberlakukan maksimum khusus saja tanpa minimum khusus, karena dalam praktiknya nanti dimungkinkan terjadi disparitas. Oleh karenanya sebaliknya sanksi minimum khusus perlu di akumulasikan juga mengingat kejahatan cybercrime ini bukanlah kejahatan biasa yang menimbulkan kerugian yang tidak sederhana.4
Selain itu, dengan ditetapkannya dua macam pidana diatas tadi tanpa adanya tambahan variasi berupa pidana lain, misalnya saja pidana tindakan bagi korporasi dan juga tidak kalah penting sangat perlu diatur mengenai pidana ganti kerugian korbannya melalui sarana hukum pidana. Karena sebagaimana perkembangan dalam hukum ekonomi telah dianut ganti kerugian bagi korban dalam hal pidana sebagaimana dalam undang-undang perlindungan konsumen maupun undang-undang yang mengatur tindak pidana ekonomi lainnya. Kedudukan korban perlu perhatikan mengingat jika kerugian yang ditimbulkan akibat kejahatan tidak sedikit.
Pada kenyataan yag ada saat ini, tidak terlihat secara nyata korban dari kejahatan cyber dibandingkan korban dari kejahatan konvensional, tetapi selain dari korban kejahatan cyber lebih besar jumlahnya, juga dampak yang
4
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Informasi (Cybercrime) Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya....., hlm. 153.
43
ditimbulkan, bila diperhatikan
justru lebih berbahaya dari kejahatan
konvensional. Berarti kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja, khususnya dalam hal praktik penegakan hukum terhadap kejahatan tersebut. Dalam hal ini korban kejahatan
cyber
yang meliputi orang-perorangan,
kelompok orang atau badan (entities) yang telah menderita atau korban akibat dari kegiatan ilegal. Kerugian itu bisa secara fisik, psikologis, atau ekonomi. Selama ini di Indonesia dikenal bahwa ganti rugi termasuk di dalam bidang hukum perdata.
Sejauh ini perkembangan hukum pidana di luar Indonesia, umpamanya Belanda, ganti kerugian adalah salah satu bentuk pidana. Akhirnya, Indonesiapun melakukan hal yang serupa terhadap kejahatan bisnis dimana ganti kerugian adalah salah satu yang dapat dijatuhkan sebagai jenis pidana baru. Ganti kerugian ini dapat berupa ganti kerugian kepada korban, dapat pula mengganti kerusakan yang telah ditimbulkan. Bila timbulnya pertanyaan, apakah semua korban dalam kejahatan bisnis mendapat perhatian atau keperdulian dalam bentuk perlindungan hukum. Tampaknya apabila dalam hal kejahatan cyber juga digunakan sarana berupa ganti kerugian sebagaimana dalam hal kejahatan bisnis, maka penanggulangan kejahatan cybercrime akan lebih efektif. Dikatakan lebih efektif karena korban tidak akan segan-segan untuk melaporkan kepada penegak hukum, selain dapat memberi jera pelaku juga memberi rasa keadilan bagi korban. Bukankah hak korban itu sendiri, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konsep hak asasi manusia. Bahkan prinsip hokum acara pidana
44
dalam penegakan hokum, menerapkan prinsip pemberian bantuan hokum sebagai salah satu hak asasi manusia.5
Mengenai ganti kerugian dimasukkan dalam sanksi pidana untuk cybercrime perlu diakomodasi sebagai bentuk perkembangan penanggulangan kriminalitas, yaitu adanya keseimbangan perlindungan antara pelaku dan korban. Hal ini sangant penting karena apabila seperangkat sanksi pidana yang telah ditetapkan merupakan hasil pilihan yang kurang tepat atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kriminalitas, maka adalah wajar apabila penanggulangan perkembangan kriminalitas agak “terganggu”. Hubungan antara gejala masa kini, yaitu adanya peningkatan dan perkembangan kriminalitas di satu pihak dengan keterbatasan jumlah sanksi pidana yang tersedia bagi hakm dan jaksa di lain pihak, merupakan salah satu masalah dibidang kebijakan pemidanaan (contecing polity) yang cukup sulit.6
Meskipun UU-ITE sudah diberlakukan, faktanya cybercrime di Indonesia makin banyak dan akibatnya makin serius. Selain itu, meskipun UU-ITE sudah diberlaakukan, penegak hokum masih sering menggunakan ketentuan pidana di luar UU-ITE untuk memproses pidana pelaku. Namun demikian, banyak juga perkara cybercrime yang sudah diadili dengan UU-ITE, misalnya akses illegal, penghinaan melalui media online, hacking, defacing. Dalam beberapa kasus,
5
6
Ibid, hlm. 154.
Barda Nawawi,Tindak Pidana Mayantara-Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 99.
45
penipuan melalui media internet banyak variasinya, ada yang berbentuk penipuan dalam jual beli, penipuan dengan modus prostitusi. Begitu pula dengan kasus pencemaran nama baik dan penghinaan ada yang menggunakan fasilitas media jejaring social
dalam internet (misalnya facebook, twitter, Instagram, line,
whatsapp dll), ada yang menggunakan SMS. Dalam penyelesaian perkara cybercrime, ada juga pengadilan yang menggunakan ketentuan KUHP untuk mengadili penghinaan melalui facebook, padahal mestinya hal tersebut tidak dapat dilakukan, karena facebook tidak serta merta dapat dianggap sebagai padanan dari istilah “di muka umum” sebagai mana dimaksud dalam KUHP. Begitu pula perjudian online yang selama ini hanya diadili dengan KUHP yang mengatur tentang perjudian manual yang dampaknya tidak terlalu luas. Sementara, perjudian online pada dampaknya lebih berbahaya dibanding dengan perjudian konvensional, baik bagi pengakses internet lain (karena melihat modus baru perjudian di internet sehingga ingin melakukan hal yang sama), bagi korban (pelaku), maupun bagi wibawa hokum pidana sendiri. Jika kasus perjudian online hanya diadili dengan KUHP, maka hakim hanya dapat menjatuhkan pidana penjara saja atau pidana denda saja, dan tidak mungkin menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda. Karena KUHP menggunakan stelsel ancaman pidana alternative, bukan stelsel alternative-kumulatif sebagaimana UU-ITE.7
7
Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrime Law: Telaah Teoritik dan Bedah Kasus, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), hlm. 144.
46
B. Perlindungan Hak-hak Konsumen Menurut Undang-Undang di Indonesia 1. Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Negara Indonesia sebagai negara hokum sebagaimana yang dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Perlu ditekankan bahwa negara hokum pada hakikatnya memiliki empat unsur pokok, yaitu;8 (1) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hokum atau peraturan perundang-undangan; (2) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; (3) adanya pembagian kekuasaan dalam negara ; (4) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Maka artinya negara Indonesia merupakan negara yang mengakui adanya pembatasan kekuasaan negara dan jaminan perlindungan terhadap HAM dalam konstitusi. Akibatnya, konstitusi menjadi ukuran atau takaran untuk membatasi kekuasaan negara dan pedoman untuk menilai apakah HAM yang tertera dalam konstitusi sudah diwujudkan ke dalam fakta social yang kongkret.9
Secara teoritis, berfungsinya unsur negara HAM, sebagai pilar yang efektif dalam menjalankan system kekuasaan negara yang terbatas, mengharuskan pemerintah memperhatikan dan mewujudkan hak-hak konsumen, karena hak-hak
8
Imam Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik , (Bandung: P.T Alumni, 2010), hlm. 62. 9
Ibid,. hlm. 62.
47
ini jelas termaktub dalam rangkaian ketentuan UUD 1945 Bab X A tentang HAM.10 Ketentuan konstitusi ini juga dapat menjelaskan mengapa Ian Ramsay mengatakan bahwa konsumen harus memperoleh peluang untuk mencapai keadilan (access to justice). Agar peluang itu terbukademi perkembangan hak-hak konsumen, harus ada penataan ulang atas (redistribution) hak dan kewajiban, sehingga tercapai keseimbangan daua tawar yang relative sejajar antara konsumen dan pelaku usaha.11
Sesungguhnya
peranan
hukum
dalam
konteks
ekonomi
adalah
menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Terkait dengan hal itu, tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu mendominasi pasar, selama konsumen memiliki hak untuk memilih produk mana yang menawarkan nilai terbaik, baik dalam harga maupun mutu. Disamping itu, tidak ada pelaku usaha maupun produsen yang mampu menetapkan harga yang berlebihan
atau
menawarkan produk dengan kualitas yang rendah, selama masih ada produsen lain dan konsumen akan pindah kepada produk lain tersebut.12
Perlindungan hokum terhadap konsumen dalam melakukan transaksi ecomerce mutlak diperlukan. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK menyebutkan,
21.
10
Ibid,.
11
Ibid,. hlm. 63.
12
Zulham,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Media Group, 2013), hlm.
48
“perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hokum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”13
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu:14
1. Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati. 2. Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen.
Keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidup. Terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki sanksi pidana. Artinya, segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen tersebut tidak saja terhadap tindakan preventif, tetapi juga tindakan represif dalam semua bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen.15
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada
13
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 Ayat
14
Andrianus Meliala, Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1993),
(1).
hlm. 152. 15
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, hlm. 22.
49
pelaku usaha yang melakukan kecurangan pada konsumen. Sanksi-sanksi tersebut dapat ditemukan dalam Bab XIII Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yang dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:16
a. Sanksi Administratif Pada Pasal 16 UUPK disebutkan bahwa:17 1. Badan Penyelesaian Sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, Pasal 26; 2. Sanksi administratif berupaganti rugi paling banyak Rp. 200,000,000,00 (dua ratus juta rupiah); 3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagai mana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut pada perundang-undangan.
Sanksi administratif diatas diberlakukan terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, sebagaimana kriteria sebagai berikut;
1. Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh para pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen; 16
Abdul Halim Barakatullah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Prrkembangan Pemikiran, (Bandung: Nusa Media, 2008), hlm.100. 17
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 16.
50
2. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan; 3. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa. b. Sanksi Pidana Pokok; 1. Dalam Pasal 61 UUPK dinyatakan bahwa, “Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya,”18 2. Pasal 62 UUPK:19 1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8, Pasal 9, pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2000.000.000,00 (dua milyar rupiah); 2) Pelaku usaha melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f, dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah); 3) Terdapat pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. c. Sanksi Pidana Tambahan
18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 61.
19
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62.
51
Dalam Pasal 63 UUPK, “Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa : 1. Perampasan barang tertentu; 2. Pengumuman keputusan hakim; 3. Pembayaran ganti rugi; 4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang mengakibatkan timbulnya kerugian konsumen; 5. Pencabutan izin usaha.
Adanya cara baru dalam bertransaksi online akhirnya melahirkan masalah baru dalam perlindungan hak dan kewajiban konsumen. Salah satu persoalan yang sering muncul adalah tindakancurang dan penipuan. Selain hal tersebut beberapa permasalahan yang muncul dalam transaksi elektronik antara lain;20 (1) non – delivery of good ordered (barang yang dipesan tidak dikirim); (2) long delivery delays (lamanya keterlambatan pengiriman barang); (3) slow reimbursement deposit or amounts paid (lambatnya penggantian uang muka atau seluruh jumlah yang telah dibayarkan); (4) inadequate nature of good delivered (barang pesanan tidak sesuai dengan gambar atau keinginan konsumen) dan lain sebagainya.
Untuk mengatasi hal itu, langkah pertama yang dilakukan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan bahwa
20
Abdul Halim Barakatullah, Hukum...., hlm. 146.
52
undang-undang ini berlaku untuk setiap perbuatan subjek hukum yang menimbulkan implikasi hukum di indonesia.21 Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada para pihak yaitu pelaku usaha maupun konsumen untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan. Dengan harapan memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen. Dalam Pasal 9 UU ITE telah menegaskan bahwa, “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harusmenyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.”22 Namun pada kenyataannya, masih banyak terdapat oknum yang merugikan konsumen dengan menyalahgunakan kemampuannya dalam penggunaan teknologi seperti internet.
Sebenarnya, UU ITE telah merancang ketentuan yang bersifat preventif dan kelembagaan (institusional) terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan situs-situs palsu yang berkedok penjualan barang dan/atau jasa fiktif yang dapat merugikan dan menyesatkan konsumen. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu membentuk suatu lembaga yang bertugas menerbitkan sertifikasi kepada pelaku usaha sebagai bukti bahwa mereka
yang melakukan perdagangan
secara
elektronik memang layak berusaha, ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) UU ITE yang berbunyi, “Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan
21
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
22
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 2.
Pasal 9.
53
(Sertification Authority),”23 namun untuk memperoleh sertifikasi keandalan tersebut tidaklah mudah, pengguna (user) harus melewati tahap penilaian dan audit dari badan yang berwenang menerbitkan sertifikasi keandalan. Setelah itu, pengguna (user) akan mendapatkan sebuah logo sertifikasi berupa trust mark pada halaman (home page) pelaku usaha sebagai bukti bahwa telah dilakukan sertifikasi keandalan.
Pelaku usaha yang melakukan penipuan melalui situs yang berkedok penjualan barang dan/atau jasa fiktif dapat dijeratdengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang terdapat dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”24 Dengan ketentuan sanksi pidana sebagaimana diterangkan dalam BAB IX tentang ketentuan pidana melalui Pasal 45 ayat (2) yaitu, “setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam ) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”25
23
Imam Sjahputra, Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hlm. 153 24
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (1). 25
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 45 ayat (2).
54
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Selain UUPK dan UU ITE, dasar hukum yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengajukan perlindungan oleh konsumen adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Secara umum, isi dari Undang-Undang anti monopoli ini merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam Undang-Undang anti monopli dan persaingan usaha tidak sehat yang ada di negara-negara maju, karena sebenarnya Undang-Undang ini diadopsi dari Undang-Undanganti monopoli milik amerika yang disebut “antitrust law”. Didalamnya membahas ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, apa saja kegiatan yang dikategorikan tidak dilarang dan tidak melanggar Undang-Undang , pegecualian monopoli yang dilakukan Negara, serta sanksi-sanksi yang dapat dikenakan apabila terjadi pelanggaran terhadap undangundang.
Dalam Undang-Undang antimonopoli memang tidak disebutkan secara eksplisit mengenai perlindungan konsumen, pada pasal 3 terlihat lebih menitik beratkan pada perlindungan pelaku usaha dan perekonomian nasional. Ketentuan yang mengatur tentang larangan perjanjian ataupun kegiatan dan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat merugikan konsumen terdapat pada pasal 5 tentang kartel harga, Pasal 19 huruf b tentang penguasaan pasar yang digunakan untuk
55
menghalangi pesaing dalam bertransaksi, dan dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a tentang posisi dominan yang digunakan untuk menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang lebih bersaing. Dengan begitu, meskipun tidak disebutkan secara jelas dalam Pasal 3, namun dapat disimpulkan bahwa salah satu tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini adalah perlindungan konsumen.
Ada larangan tertentu dan ada juga sanksi-sanksi jika larangan tersebut dilanggar. Sanksi-sanksi tersebut adalah sebagai wujud perlindungan konsumen yang diatur dalam BAB VIII, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan rincian sebagai berikut:26
a.
Sanksi Administratif (Pasal 47) Pasal 47 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, UU anti monopoli yang menyatakan perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan atau membatalkan perjanjian atau kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan menyebabkan persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan masyarakat, serta menghentikan penyalahgunaan posisi dominan, atau akan dikenakan ganti rugi atau denda serendahrendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
26
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat, Pasal 47-49.
56
b.
Pidana Pokok (Pasal 48) Ketentuan tentang sanksi pidana terdapat pada Pasal 48 ayat (1), ayat (2), ayat (3): 1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9, sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 6 (enam) bulan. 2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20, sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26, Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 5 (lima) bulan. 3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. c. Pidana tambahan (Pasal 49) Dengan menunjuk
ketentuan Pasal 10 KUHP, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; atau b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
57
c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Dari beberapa undang-undang diatas, lebih fokus pada perlindungan konsumen secara umum, dan belum bisa benar-benar memberikan perlindungan sepenuhnya bagi konsumen transaksi elektronik. Sehinnga usaha untuk melindungi konsumen yang melakukan transaksi secara elektronik tidak cukup hanya melalui kebijakan legislasi saja. Sebagaimana pendapat para ahli hukum yang mengatakan bahwa kebijakan proteksi knsumen transaksi elektronik harus juga diorganisir secara kelembagaan.
Hal itulah yang akhirnya menyebabkan Singapura membentuk lembaga Skema Akreditasi Casetrust. Dengan adanya Casetrust dapat mengikis proporsi monopolispelaku usaha yang selama ini dinikmati mereka. Kehadiran lembaaga ini merupakan pagar yang kuat untuk melawan potensi praktek-praktek usaha yang merugikan konsumen.27
Demikianlah, maka konsep perlindungan HAM yang tertera dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, juga harus dapat melindungi kepentingan konsumen transaksi elektronik dari produk dan jasa yang berpotensi merugikan hak-hak konsumen tersebut.
27
Imam Sjhaputra, Perlindungan Konsumen...., hlm. 80
58
Dengan demikian tekanan dan resiko yang harus dihadapi oleh konsumen transaksi elektronik , tentu saja UUPK , UU Antimonopoli , maupun UUITE sekalipun, tidak cukup untuk mengatasi persoalan
perlindungan konsumen
transaksi elektronik dengan suatu cara yang lebih progresif, yaitu dengan membentuk Lembaga Skema Akreditasi Casetrust di Indonesia, seperti yang ada di Singapura.
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENANGGULANGAN CYBERCRIME DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis dari Aspek Hukum Positif
Penegakan hukum terhadap cybercrime selalu akan melibatkan peranan manusia didalamnya dan dengan demikian pula akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa berdiri atau tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak akan mampu mewujudkan janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum tersebut. Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah untuk memperbaiki hak kepada seseorang, untuk memberikan perlindungan kepada seseorang, untuk mengenakan pidana terhadap seorang yang yang memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.1
Hukum tidak akan dapat bisa bergerak atau tegak dengan sendirinya tanpa adanya aparat penegak hukum seperti Polisi yang bisa dan optimal menjembataninya. Hukum hanya akan dapat menjadi rumusan norma-norma yang tidak bermanfaat bagi pencari keadilan ketika hukum tersebut tidak diberdayakan sebagai pijakan utama dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
1
Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (cybercrime), (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 136.
59
60
Babarapa produk hukum yang dijadikan rujukan oleh aparat penegak hukum untuk menjaring cybercrime diantaranya sebagai berikut :2
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan dan masih dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjaring cybercrime, khususnya jenis cybercrime yang mengandungunsur-unsur dalam pasa-pasal KUHP. Ketika produk ini belum dinilai cukup memadai unruk menjaring beberapa jenis cybercrime, maka disamping mencoba menggunakan dasar hukum diluar KUHP, juga menggunakan interpretasi hukum.
Beberapa dasar hukum dalam KUHP yang digunakan oleh aparat penegak hukum yaitu seb agai berikut: 1. Pasal 167 KUHP, yang menyebutkan :3 1) Barang siapa dengan melawan hak orang lain dengan memaksa kedalam rumah atau ruangan yang tertutup atau perkarangan, yang dipakai oleh orang lain, atau sedang ada disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergidari tempat itu atas permintaan orang yang berhak, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-. 2) Barang siapa masuk dengan memecah atau memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian dinas palsu, atau barang siapa dengan tidak setahu yang berhak dan lain daripada lantaran keliru,
2
Ibid, hlm. 145.
3
Pasal 167 KUHP
61
masuk ketempat yang tersebut tadi dan kedapatan disana pada waktu malam, dianggap sebagai sudah masuk dengan memaksa.
2. Pasal 406 ayat (1) KUHP yang berkaitan dengan tindakan pengrusakan :4 “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp. 300.-. Dasar hukum tersebut ditujukan (diancamkan) misalnya kepada hacker, karena aktivitasnya hacker ini dinilai telah menimbulkan kerusakan atau kerugian yang luarbiasa kepada usaha seseorang, kepentingan institusi atau negara. Aparat menilai kalau yang dilakukan oleh hacker jelas-jelas mengakibatkan kerugian pada orang lain, salah satunya berupa kerusakan atau menjadikan tidak berfungsinya barang lain. Jika barang ini termasuk website, maka website inilah yang mengalami kerusakan. 3. Pasal 282 KUHP Salah satu problem besar yang dibawa oleh teknologi informasi global melalui jaringan internet adalah beragamnya situs yang menampilkan adegan pornografi. Seolah-olah sekarang ini, sulit sekali memproteksi jaringan internet dari serbuan dari pebisnis hiburan yang menjual
4
Pasal 406 ayat (1) KUHP
62
pornografi. Pasal informasi global saat ini telah dipenuhi atau diwarnai oleh berbagai bentuk atau gaya seks bebas. Untuk mencegah terjadinya atau menjalarnya penggunaan jaringan internet secara melawan hukum, dasar hukum yang digunakan leh aparat penegak hukum adalah Pasal 282 KUHP sebagai berikut:5 1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi Rp. 45.000,2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 45.000,3) jika melakukan kejahatan yang diterangkan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 75.000,-
5
Pasal 282 KUHP
63
Dengan melihat ketentuan tersebut, pornografi di internet dapat dikenakan dengan Pasal 282 KUHP. Untuk tujuan bisnis misalnya situs “Playboy” dan www.pondokputri.com, dapat diterapkan pasal tersebut ayat (3). 4. Pasal 378 KUHP Salah satu kasus yang sering kali terjadi akhir-akhir ini adalah pencurian identitas atau menggunakan identitas orang lain untuk memenuhi kepentingan sendiri, identitas orang lain digunakan dengan maksud jahat, yakni merugikan orang lain yang dicuri atau dipakai identitasnya.
Pencurian diatas dan fraud. Adapun skema pencurian diatas, yaitu memperoleh dan menggunakan data personal orang lain untuk melakukan fraud atau penipuan demi keuntungan ekonomis.
Kejahatan tersebut kalau melihat kontruksinya melanggar ketentuan Pasal 378 KUHP yaitu :6 “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun". Pasal tersebut diatas, sudah digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjaring siapa saja yang menggunakan identitas orang lain dengan maksud
6
Pasal 378 KUHP
64
jahat. Artinya identitas itu digunakan untuk memperlancar atau sebagai media untuk memenuhu target dari kejahatan yang dilakukannya.
5. Pasal 112 KUHP
Ketika website KPU, yang nota benenya mewakili negara dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan besar seperti Pemilu, dibobol oleh hacker, maka kejahatan yang dilakukan oleh hacker ini dapat dikategorikan memenuhi unsur cybercrime. Karena ada tindakan berupa “membocorkan rahasia”, sebagaimana diatur dalam Pasal 112 KUHP sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat atau bendabenda atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.”7 6. Pasal 362 KUHP Salah satu bentuk cybercrime adalah “pencurian data”. Meski istilah “pencurian data” ini dikategorikan sebagai kejahatan yang popular, namun kasus ini di interpretasikan dengan tindak kejahatan konvensional pada umumnya, yakni pencurian, sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP, yang menyebutkan: “Barang siapa mengambil barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memiliki barang itu dengan melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5(lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9000,-.”
7
Pasal 112 KUHP
65
Jadi kasus pengambilan data komputer dengan cara melawan hukum di interpretasikan memenuhi salah satu unsur kejahatan pencurian. Kasus ini tergolong operandi modern, karena menggunakan produk teknologi canggih.
7. Pasal 372 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selamalamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah.” Pasal tersebut diatas digunakan untuk menjaring pelaku penggelapan data. Pelaku kejahatan ini umumnya orang dalam dari suatu perusahaan yang bergerak dibidang Teknologi Informasi (TI) atau operator sistem suatu perusahaan server. Orang dalam ini yang tentu saja sangat faham dan menguasai berbagai bentuk informasi ini kemudian menjualnya kepada orang lain dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komputer (internet).
2. UNDANG-UNDANG HAK CIPTA (UUHC)
Perkembangan kejahatan di bidang informasi atau aspek-aspek lain yang terkait dengan teknologi informasi telah menjadi ujian khusus bagi dunia hukum di Indonesia. Kemajuan di bidang informasi ini telah menjadi bagian tantangan bagi pemerintah untuk memperbaiki maupun memperbaharui hukum positif. Terbukti produk hukum dibidang hak cipta misalnya, telah mengalami beberapa kali pembaharuan. Sekalipun sudah diperbaharui dinilai belum memadai untuk menjaring pelaku cybercrime,
akan tetapi produk ini dapat disertakan untuk
mengisi ataupun setidaknya mendukung gerakan pemberantasan cybercrime.
66
Apalagi salah satu unsur dalam kasus cybercrime terkait dengan masalah pelanggaran hak intelektual dan informasi seseorang atau korporasi.
Data dan informasi yang dimiliki oleh seseorang atau Perusahaan dapat di ibaratkan sebagai barang yang berharga, karena data atau informasi yang dimiliki merupakan privasi dari pemilik data/informasi tersebut yang bernilai penting. Namun terkadang tindak pidana ini sulit untuk dibuktikan, karena unsur barang yang harus dipindah tangan masih tetap pada pemilik barang, tetapi pelaku juga memiliki barang tersebut. Kasus ini dapat dijumpai pada sistem operasional Bank, multimedia (lagu, film, karya seni, cerpen, buku) yang ada pada internet, bentuk kasus ini dapat digunakan peraturan perundang-undanganlain seperti UndangUndang Hak Cipta (UUHC) No. 12 Tahun 1997.8
Penjelasan tersebut di atas dengan menunjuk Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) sebenarnya merupakan langkah atau upaya perlindungan hak seseorang dari tindakan pelanggaran atau kejahatan. Undang-Undangini lantas diperbaharui dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pembaharuan itu didasarkan juga pada pertimbangan UUHC No. 12 Tahun 2002, diantaranya pada huruf (b), bahwa Indonesia telah menjadi anggota berbagai konvensi/perjanjian internasional dibidang hak kekayaan intelektual pada umumnya dan hak cipta
8
Abdul Wahid dan Muhammad Labib, Kejahatan Mayantara (cybercrime), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm.150.
67
pada khususnya, yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistem hukum nasionalnya.9
Aparat penegak hukum telah menjadikan UUHC ini sebagai bagian dari dasar hukum yang digunakan untuk mendukung pemberantasan cybercrime. Ketentuan pidana yang digunakan untuk menjaring cybercrime diantaranya tercantum dalam Pasal 72 dan Pasal 73 UUHC No. 12 Tahun 2002. Didalam ketentuannya, penegak hukum menggunakannya sebagai dasar hukum untuk menjerat para pelaku cybercrime.
Meskipun tidak semua kasus cybercrime bisa dijerat dengan ketentuan hukum itu (UUHC), tetapi setidaknya UUHC dapat digunakan sebagai pijakan untuk mengatasi problem hukum kasus cybercrime, dan bagi aparat dapat memaksimalkan untuk dapat menggunakan pijakan hukum yang telah ada.
Masalah perlindungan konsumen merupakan masalah yang sangat penting, hal ini perlu diketahui sebagian besar dari penduduk di Indonesia bahkan di dunia merupakan masyarakat konsumen. Hadirnya para pelaku usaha yang bersifat profit motive, materialistik, sering mengabaikan segi moral, kepentingan individu bahkan masyarakat ini yang dikenal dalam sistem ekonomi kapitalis, yang
9
Ibid, hlm. 151.
68
memungkinkan munculnya praktek-praktik curang dalam jual-beli untuk medapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya.10
Di zaman sekarang ini, teknologi yang diciptakan oleh manusia tidak selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat positif saja, tetapi juga menghasilkan berbagai dampak negatif juga. Konsumen dalam transaksi e-comercee memiliki resiko yang lebih besar dari padapenjualnya. Dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-comercee lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari tarnsaksi e-comerce sendiri. Perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-comerce dapat ditemukan dalam UUPK dan UU ITE. UUPK merupakan dasar hukum bagi perlindungan konsumen di Indonesia, sedangkan UU ITE merupakan dasar hukum bagi konsumen yang melakukan transaksi e-comerce, secara garis besar dapat ditemukan beberapa permasalahan yang timbul yang berkenaan pula dengan hak-hak konsumen, antara lain:11
1. Konsumen tidak langsung mengidentifikasi, melihat, atau menyentuh barang yang akan dipesan. 2. Ketidakjelasan informasi tentang produk (barang dan jasa) yang ditawarkan dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumen telah
10
Todung Mulya Lubis,, “Praktik Bisnis Curang, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),
hlm, 126. 11
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 312.
69
memperoleh berbagai informasi yang layak diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi. 3. Tidak jelasnya suatu subyek hukum dari si pelaku usaha. 4. Tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan terhadap resiko-resiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan, khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card maupun cash. 5. Pembebanan resiko yang tidak berimbang karena umumnya jual-beli di internet,pembayaran telah lunas dilakukan di awal oleh konsumen, sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudian karena jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan pengiriman barang. 6. Transaksi bersifat lintas batas negara menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum negara mana yang sepatutnya diberlakukan.
Konsep perlindungan hak-hak konsumen prespektif hukum positif dalam hal ini UUPK terdapat aturan-aturan hukum yang mempunyai spirit yang sama dengan hukum Islam dalam hal melindungi hak-hak konsumen.
Konsep perlindungan hak-hak konsumen dapat ditemukan dalam Pasal 4 UUPK, yaitu:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
70
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterimatidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Hak atas keamanan dan keselamatan, hak ini dimaksud untuk menjamin keselamatan konsumen dalam memanfaatkan barang dan/atau jasa, sehingga konsumen dapat terhindar dari segala macam kerugian apabila mengkonsumsi suatu jenis produk atau jasa. Hal tersebut sepeerti tercantum dalam peraturan hukum islam, yaitu prinsip kemanfaatan dan menghindarkan kemudharatan.
71
12
ياايها اناس كلوا مما في االرض حالال طيبا
Kemudian hak untuk memperoleh informasi, hak ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat intruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk.
Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah mengenai kemanfaatan kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk, tanggal kadaluarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan produsen, baik melalui media cetak maupun elektronik.13
Konsep yang selanjutnya adalah hak untuk memilih dan hak untuk didengar, hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.
12
13
Al-Baqarah (2): 168.
Ahmad Miru, Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.41.
72
Berdasarkan hak untuk memilih ini konsumen berhak untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.Sedangkan hak untuk didengar ini merupakan suatu hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa, apabila informasi yang diperoleh dari produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau berupa pernyataan/pendapat tentang satu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya melalui Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).14
Sebagai upaya untuk melengkapi dari tidak adanya UUPK yang mengatur masalah privasi, UU ITE mengatur serta memberikan perlindungan terhadap data diri seseorang, yaitu dalam Pasal 26 ayat (1):15 “kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.”
14
Ibid,hlm. 42.
15
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
73
Hak-hak konsumen yang juga diatur dalam UUPK adalah hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugan akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen akan lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan.16
Hak ganti rugi, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.17
Untuk dapat mewujudkan perlindungan hak-hak terhadap konsumen, di samping hal-hal yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, maka hal ini sangat tergantung pula pada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha terhadap konsumen. Dalam ketentuan UUPK Pasal 27 huruf (e) disebutkan bahwa, “pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila; lewat jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.” Dalam islam, segala perbuatan yang dapat merugikan satu pihak tidak dibatasi pertanggung jawabannya dengan adanya jangka waktu. Selama
16
Ahmad Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, hlm. 44.
17
Ibid.
74
kerugian yang ditimbulkan memang benar disebabkan oleh pihak tersebut, maka pertanggung jawaban tetap ada demi tercapainya asas keseimbangan yang berlaku. Adapun prinsip-prinsip hukum islam dalam tanggung jawab pelaku usaha diantaranya mencangkup prinsip tauhid, keadilan (al-‘adl), amar ma’ru>f nahiy
munkar, prinsip kemerdekaan atau kebebasan (al-Huriyyah), prinsip al-Ta’ awwun (tolong-menolong) dan toleransi.18 Islam menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an :
19
من يعمل سوءا يجزبه وال يجدله من دون الله وليا وال نصيرا
Islam adalah agama keadilan, seseorang tidak akan dituntut tanggung jawab atas tindakannya kalau; (a) belum dewasa, (b) dalam keadaan gila, dan (c) dalam keadaan sedang tidur atau tidak sadar. Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
20
كل نفس بما كسبت رهينه
Ayat di atas dapat dipahami bahwa seorang muslim harus memikul tanggung jawab atas apa yang telah diperbuat, dalam konteks jual-beli pelaku
Najmuddin Anshorullah, Prinsip Pelaku Usaha Dalam Islam, http://www.google.com/Prinsip-Prinsip Pelaku Usaha Dalam Islam, diakses 20 Maret 2018. 18
19
An-Nisa> (4): 123.
20
Al-Muddas<<}s}ir (74): 38.
75
usaha yang memproduksi barang yang berbahaya , cacat atau tidak standar dengan peraturan yang sudah ditentukan dalam undang-undang, maka pelaku usaha harus mempertanggung jawabkan kesalahan yang telah dilakukannya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan, hak-hak konsumen yang secara normatif diatur oleh UUPK hanya terbatas pada aktivitas perdagangannya saja yang bersifat konvensional. Disamping itu perlindungan difokuskan hanya pada sisi konsumen serta isi produk yang diperdagangkan, sedangkan perlindungan dari sisi pelaku usaha seperti identitas perusahaan pelaku usaha serta jaminan kerahasiaan data-data milik konsumen belum terakomodir oleh UUPK, padahal hak-hak tersebut sangat penting untuk diatur demi terlindungnya konsumen dalam bertransaksi e-comercee.
B. Aspek dari Hukum Islam Untuk dapat memahami cybercrime dalam prespektif pidana Islam, terlebih dahulu harus dikemukakan bahwa klasifikasi terlebih dahulu harus dikemukakan bahwa klasifikasi tindak pidana di dalam Islam, jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman ada tiga jenis yaitu, hudud, qis}as diyat dan takzir.
Jari>mah hudud adalah perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancamannya ditentukan oleh nash, yaitu hukuman Had (hak allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi dan tidak bisa
76
dihapuskan oleh perorangan (sikorban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).21
Jari>mah qis}as diyat adalah perbuatan yang diancam dengan hukuman qis}as dan diyat. Baik hukuman qishas maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah dan tertingi, tetapi menjadi hak perseorangan (si korban dan walinya). Hukum qis}as diyat penerapannya ada beberapa kemungkinan, seperti hukum qis}as dapat berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat menjadi dimaafkan dan apabila dimaafkan maka hukuman menjadi terhapus22.
Jari>mah ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Sementara pengertian terminologis ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan menjadi kekuasaan penguasa atau hakim.23 Hukum dalam jari>mah ta’zir tidak ditentukan ukuran atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian syar’i mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jari>mah. Abdul
Makhrus Munajat, “Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam”, (Yogyakarta: Cakrawala, 2006), hlm. 12. 21
22
Ibid, hlm. 13.
23 Rahmad Hakim, “Hukum Pidana Islam”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), hlm. 140-141.
77
qadir audah menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Makhrus munajat, bahwa
jari>mah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian24, yaitu sebagai berikut. a. Jari>mah hudud dan qis}as diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wati’ subhat, pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda. Adagium “ Setiap kejahatan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa hukuman” (aut punere aut
de dere, nullum crimen sine poena). b. Jari>mah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi
palsu,
mengurangi
timbangan, menipu, mengingkari
janji,
menghianati amanah, dan menghina agama. c. Jari>mah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur ahlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerinah lainnya. Dilihat dari modus operandi daripada kejatatan dunia maya (cybercrime).
24
188.
Nurul Irfan dan Masyarofah, “Fiqh Jinayah”, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm.
78
Jika dilihat dari uraian singkat di atas, bisa diketahui bahwa kalau dilihat dari prespektif hukum pidana Islam, cybercrime paling tidak terbagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut. a. Kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya yang diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukan transaksi di-e-comerce. Selanjutnya, kasus permainan judi secara online di internet. b. Masalah penipuan di website, kasus pengancaman dan pemerasan melalui
e-mail, pencemaran nama baik dengan menggunakan media internet seperti e-mail, mailing list, penyebaran pornografi di website, penyebaran foto atau film pribadi yang vulgar di internet, kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain tidak berfungsi. Dalam kasus ini bisa dikategorikan pada jari>mah ta’zir.25 Dalam paparan diatas, maka dapat difahami bahwa kejahatan apapun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan melalui media internet atau cybercrime, tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena mengganggu ketertiban umum yang sangat dipelihara dan dalam tuntunan hidup bernegara dalam Islam. Seiring dengan hal tersebut dalam hukum positif dikenal dengan adegium “aut punere aut de dere, nullum crimen sine poena”.
25
Ibid. hlm.189
79
Dengan demikian, cybercrime atau kejahatan dunia maya masuk dalam ranah jari>mah ta’zir bukan termasuk jari>mah qis}as dan hudud. Sebab bisa dipastikan bahwa dizaman rasulullah belum diketemukan teknologi komputer dan internet seperti saat ini. Maka sedari itu tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyebutkan secara eksplisit eksistensi kejahatan dunia maya seperti yang ada dizaman sekarang ini. Pengaturan konsep perlindungan terhadap hak-hak konsumen dalam Islam maupun dalam ranah hukum positif mempunyai spirit yang sama dalam hal melindungi kepentingan konsumen dari transaksi yang dapat merugikan. Konsep perlindungan hak-hak konsumen dalam Islam seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, yakni dapat dilihat dari prinsip-prinsip muamalah yang menjadi pedoan bagi seorang muslim dalam aktivitas jual-beli. Prinsip-prinsip itu, di antaranya adalan prinsip suka rela tanpa ada unsur paksaan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an:
ْ يا أيّها الّذين آمنوا ال تأْكلوا ْأموالك ْم بيْنك ْم ْ أن تكون تجارة ْ بالباطل ّإال عن تراض 26
ّ ۚ م ْنك ْم ۚ وال ت ْقتلوا أ ْنفسك ْم إن اللّه كان بك ْم رحيما
Prinsip ini menjadi hal yang penting dalam setiap transaksi jual-beli, pelaku usaha maupun konsumen harus saling rela merelakan, untuk menjaga rasa kerelaan, maka pelaku usaha harus memberikan informasi yang jelas tentang
26
An-Nisa>’ (4): 29.
80
barang yang ditawarkan melalui internet dengan bahasa yang mudah, jelas, dan dapat dipahami oleh kalangan umum. Suatu kerelaan akan timbul sebab kepuasan terhadap barang yang diperjual-belikan, konsumen merasa puas karena mendapatkan barang sesuai dengan yang di inginkan, oleh sebab itu informasi yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumennya harus jelas dan benar. Islam dalam upaya mencapai sikap kerelaan dan melindungi hak-hak konsumen mengajarkan prinsip kejujuran informasi, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAW :
27
فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا محقت بركة بيعهما
Jual beli melalui media elektronik biasanya barang yang akan dijual belikan oleh pelaku usaha diiklankan di internet. Pelaku usaha dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk meng-informasikan kepada konsumen mengenai kejelasan barang dengan jujur sebelum perjanjian penjualan barang disepakati. Barang yang dijual-belikan harus jelas kualitas dan kuantitasnya, meliputi jumlah barang dan mutu barang. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya penipuan yang mengakibatkan kerugian dan gara>r pada barang yang diperjual belikan. Islam selain memberikan perlindungan hukum dalam bentuk kerelaan dalam transaksi dan kejujuran dalam menginformasikan barang yang dijual
27 Imam abi<<> Husain Muslim Ibn al-Hajja>j al-Qushyari al-Nas<@^aburi, Sahi^h Muslim, Kitab al-buyu’ Bab as-Sidqu fi al-Bai’ wa al-Baya^n, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008), 3:13,
Hadis No. 1532, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hakim Ibn Hizam.
81
belikan juga memberikan pencegahan terhadap penipuan dikemudian hari karena tidak menutup kemungkinan salah satu akan mengingkari apa yang telah disepakati bersama, dengan tujuan memperoleh keuntungan sendiri. Oleh sebab itu Islam menawaarkan konsep pencatatan dalam setiap kegiatan transaksi, Islam memerintahkan adanya administrasi yang baik, guna mewujudkan kelancaran dan keserasian dalam hubungan berdagang atau berbisnis, sebagaimana firman Allah SWT:
28
ياأيهاالذين أمنوا إذاتداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
Jumhur ulama berpendapat, bahwa perintah penulisan apabila diadakan jual-beli secara hutang, karena e-comerce memiliki kesamaan dengan akad sala>m yang mana barang ditangguhkan atau barang yang dijual-belikan tidak secara langsung diterima oleh konsumen/pembeli dan kemungkinan terjadi kecurangan oleh pelaku usaha lebih besar, maka sebagia ulama berpendapat bahwa mencatat penjualan atau pembelian sangat dianjurkan sekalipun transaksi itu secara tunai, baik berbentuk kwitansi atau catatan lain yang diakui, karena hal itu mengandung manfaat dan hikmah. Layaknya sebuah transaksi, keberadaan suatu produk tidak bisa lepas dari kegiatan jual-beli. Sebagai salah satu negara yang berpenduduk mayoritas
28
Al-Baqarah (2): 282.
82
muslim, sudah sepatutnya negara mampu menjamin segala hak-hak konsumen dan melindungi dari segala macam kegiatan yang menimbulkan kerugian (kemudharatan). Terhadap barang (objek), para fuqaha memberikan beberapa syarat, di antaranya barang tersebut harus suci, diketahui jenis, kualitas, kuantitas, jumlah harga, tidak rusak dan barang yang diperjualbelikan dapat diserah terimakan dan tentu kepunyaan yang menguasai. Penguasaan barang tersebut dimaksudkan untuk menghindari dari unsur-unsur penipuan.29 Konsep hukum Islam dalam melindungi hak-hak konsumen selanjutnya kita aketahui adalah Prinsip Khiya>r. Fungsi Khiya>r dalam hukum Islam yaitu agar pelaku usaha dan konsumen dapat memikirkan dampak positif dan negatif dari masing-masing dengan pandangan kedepan supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, yang diakibatkan merasa tertipu atas ketidak sesuaian atau kecocokan dalam membeli barang yang telah dipilih.
وإن كتما وكذبا، فإنصدقا وبينا بورك لهمافى بيعهما،البيعان بالخيار مالم يتفرقا 30
29
محقت بركة بيعهما.
M.Quraisy Shihab, Secercah Cahaya al-Qur’an (Bandung: Mizan ), hlm. 140.
30 Imam Abi> Husain Ibn al-Hajja>j al-Qushyari al-Naysa>buri, Sahi^h Muslim, Kitab alBuyu^’ Bab as-Sidqu fi al-Bai’ wa al-Baya^n, (Beirut: Da^r al-Kutub al ‘Ilmiyyah, 2008), 3:13,
Hadi^s No. 1532, diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hakim Ibn Hizam.
83
Dalam akad sala>m, menurut pandangan Imam asy-Syafi’i, khiya>r merupakan bagian dari transaksi yang harus dipenuhi agar akan menjadi sah.31Pada e-comerce fasilitas khiya>r
diberikan kepada konsumen melalui
metode explore it yang merupkan tahapan dalam memilih barang yang di inginkan. Tujuannya membantu konsumen dalam mencari barang yang di inginkan. Bahkan dalam e-comerce sendiri terdapat fasilitas search dan browse. Disamping itu pula biasanya penjual langsung menunjukkan pada layar monitor di internet tentang barang yang di inginkan pembeli. Meskipun pembeli tidak dapat menyentuh langsung barang tersebut, tetapi spesifikasi barang tersebut dipaparkan secara terperinci dan jelas.32
Dalam kegiatan jual-beli melalui e-comerce
tidak jarang konsumen
mengalami kecacatan atau menemukan cacat pada barang yang dibeli, setelah melakukan transaksi, hal ini terjadi karena memang antara pelaku usaha dan konsumen tidak saling bertemu dan melihat kondisi barang secara langsung. Konsumen hanya bisa melihat spesifikasinya saja pada layar yang ditampilkan di internet. oleh sebab itu Islam memberikan aturan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen untuk melakukan kegiatan jual beli. Islam menganjurkan untuk melakukan khiya>r
baik itu khiya>r majlis, khiya>r
syarat, khiya>r ru’yah atau khiya>r ‘aib.
Muhammad bin Habi^b al-Ma^wardi, al-Hawi^ al-Kabi^r. 10 Juz ^ ( Beirut: Da<>r al-Fikr, 1994), hlm. 33. 31
32
Onno W. Purbo dan Anang Arif Wahyudi, Mengenal E-comerce (Jakarta: Elexmedia Komputindo, 2000), hlm. 143.
84
Apabila terjadi penipuan, kecurangan, dan kecacatan pada barang dan/atau jasa yang menyebabkan kerugian pada pihak konsumen, maka Islam menawarkan perlindungan berupa hak khiya>r ‘aib, hak ini sama dengan hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dispensasi dan atau penggantian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 angka (8) Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. Demikianlah konsep perlindungan hak-hak konsumen yang ditawarkan dalam hukum Islam. Konsep-konsep hukum Islam diatas secara garis besar mempunyai aspek persamaan dengan konsep yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu dalam rangka sebagai usaha bersama berdasarkan asas pembangunan nasional.33 Setelah menjelaskan konsep-konsep hak-hak konsumen dalam hukum Islam serta memberikan catatan dari aspek persamaan maupun perbedaan dari kedua sistem hukum tersebut, dalam menganalisa aspek perbedaan tentu tidak
33
1.
2.
3. 4.
5.
Pasal (2) Penjelasan UUPK :
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual. Asas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
85
semua dapat penyusun uraikan dalam skripsi ini, karena memang perlindungan hak-hak konsumen baik dalam hukum positif maupun hukum Islam mempunyai banyak persamaan daripada perbedaannya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam bab terakhir atau bab penutup dari penulisan skripsi ini akan ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan pada bab pendahuluan dalam skripsi ini. Kesimpulan ini nantinya disesuaikan dengan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya yang membahas mengenai penanggulangan cybercrime serta perlindungan hakhak konsumen dalam bertransaksi jual-beli online. Baik dari aspek hukum positif maupun dari aspek hukum islam. Pada bab ini penyusun dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. cybercrime didefinisikan sebagai kejahatan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian, atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan, serta ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak, sabotase dan pemerasan. Pada dasarnya cybercrime meliputi dan mencangkup semua tindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (Information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk menyimpan/pertukaran informasi kepada pihak lainnya. Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) merupakan dan masih dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjaring cybercrime, khususnya jenis cybercrime
86
87
yang mengandungunsur-unsur dalam pasa-pasal KUHP. Dasar hukum dalam KUHP yang digunakan untuk menjaring beberapa jenis cybercrime diantaranya Pasal 167 KUHP (Memasuki wilayah/perkarangan orang lain), Pasal 406 ayat (1) KUHP (berkaitan dengan tindakan pengrusakan) ditujukan (diancamkan) misalnya kepada hacker karena aktivitasnya hacker ini dinilai telah menimbulkan kerusakan atau kerugian yang luar biasa kepada usaha seseorang, kepentingan institusi atau negara, Pasal 282 KUHP (berkaitan dengan konten pornografi), Pasal 378 KUHP (penggunaan identitas palsu) dengan maksud identitas itu digunakan untuk memperlancar atau sebagai media untuk memenuhu target dari kejahatan yang dilakukannya, Pasal 112 KUHP (membocorkan rahasia/dokumen penting) untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, Pasal 362 KUHP (Pencurian Data) ini dikategorikan sebagai kejahatan yang popular, namun kasus ini di interpretasikan dengan tindak kejahatan konvensional pada umumnya, yakni “pencurian”, Pasal 372 KUHP (Penggelapan Data) digunakan untuk menjaring pelaku penggelapan data. Hukum positif maupun hukum islam memiliki spirit yang sama dalam hal cybercrime dan perlindungan konsumen, dalam hukum Islam dapat difahami bahwa kejahatan apapun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan
melalui media internet atau
cybercrime, tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena mengganggu ketertiban umum yang sangat dipelihara dan dalam tuntunan hidup
88
bernegara dalam islam. Dengan demikian, cybercrime atau kejahatan dunia maya masuk dalam ranah jari>mah ta’zir bukan termasuk jarimah
qis}as dan hudud. Sebab bisa dipastikan bahwa dizaman rasulullah belum diketemukan teknologi komputer dan internet seperti saat ini. Maka sedari itu tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyebutkan secara eksplisit eksistensi kejahatan dunia maya seperti yang ada dizaman sekarang ini. Pengaturan konsep perlindungan terhadap hak-hak konsumen dalam islam maupun dalam ranah hukum positif mempunyai spirit yang sama dalam hal melindungi kepentingan konsumen dari transaksi yang dapat merugikan. Islam dalam melindungi hak-hak konsumen selanjutnya menerapkan Prinsip Khiya>r. Fungsi Khiya>r dalam hukum Islam yaitu agar pelaku usaha dan konsumen dapat memikirkan dampak positif dan negatif dari masing-masing dengan pandangan kedepan supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, yang diakibatkan merasa tertipu atas ketidak sesuaian atau kecocokan dalam membeli barang yang telah dipilih. Apabila terjadi penipuan, kecurangan, dan kecacatan pada barang dan/atau jasa yang menyebabkan kerugian pada pihak konsumen, maka Islam menawarkan perlindungan berupa hak khiya>r ‘aib, hak ini sama dengan hak untuk mendapatkan ganti kerugian, dispensasi dan atau penggantian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 angka (8) Undangundang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999. 2. Penanggulangan cybercrime di Indonesia melalui penerapan hukum pidana, di selesaikan/diadili berdasarkan KUHP dan ketentuan pidana
89
diluar KUHP (UU ITE), sedangkan Sanksi pidana yang ditetapkan dalam undang-undang ini ditetapkan sanksi berupa pidana penjara dan pidana denda. Untuk memaksimalkan dalam hal pemidanaan digunakan Perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-comerce tercantum dalam UUPK dan UU ITE. UUPK merupakan dasar hukum bagi perlindungan konsumen di indonesia, sedangkan UU ITE merupakan dasar hukum bagi konsumen yang melakukan transaksi e-comerce.
B. Saran-Saran 1. Pemerintah perlu mendirikan lembaga khusus untuk menangani kasuskasus semacam cybercrime di dunia maya, sebab banyak sekali kasus yang terjadi di masyarakat dan tidak terselesaikan serta tidak terdeteksi dengan maksimal oleh aparat hukum. Hal ini diakibatkan kurangnya tenaga-tenaga ahli dibidang teknologi informasi khususnya dibidang cybercrime. 2. Pemerintah perlu mensosialisasikan kepada masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan cybercrime baik melalui pelatihanpelatihan, seminar maupun pemberitahuan melalui media cetak maupun elektronik dan menjamin segala aktifitas atau kegiatan dalam bertransaksi, jual-beli dan hal lain yang menyangkut kepentingan hakhak konsumen. 3. Bagi para pelaku cybercrime perlu dibina sebaik-baiknya, karena bagaimanapun ia memiliki keterampilan atau ilmu yang dapat
90
digunaan
oleh
pemerintah
untuk
melindungi
dan
mendetksi
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kejahatan di dunia maya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 4. Pemerintah dalam hal pemangku kebijakan bekerja sama dengan lemgaga atau instansi terkait untuk melindungi maupun memperkuat sistem keamanan bagi yang memiliki situs/web, baik milik pemerintah maupun swasta yang sulit ditembus oleh para pelaku kejahatan.
91
DAFTAR PUSTAKA 1.
Al-Qur’an
Lajnah Pentas}h}ih} Mus}h}af al-Qur’a>n Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n al-Kari>m
dan Tajwid, Solo: Ma’sum, 2009. 2.
Hadis
‘Asqala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar al-, Fath}u al-Ba>ri>; bi Syarh}i S}ah}i>h al-
Bukha>ri>, 15 Jilid, Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 2004. Imam abi<<> Husain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qushyari al-Nas<@^aburi, Sahi^h Muslim,
Bab as-Sidqu fi al-Bai’ wa al-Baya^n, Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008). 3.
Fikih/Ushul Fikih
Abdurrahman, Asjmuni, Kaidah-kaidah Fikih; Qawa>’id al-Fiqh}iyyah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. ‘Audah, Jasser, Al-Maqashid Untuk Pemula, Penerjemah ‘Ali ‘Abdelmon’im, Yogyakarta: Suka Press, 2013. Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. al-Faruk, Asadulloh, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009. Hakim, Rahmad, “Hukum Pidana Islam”, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000. Hasan, Mustofa, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jina>yah), Bandung: Pustaka setia, 2013. Irfan, H.M Nurul Mustofa dan Musyarofah, Fiqh Jina>yah, Jakarta: Amzah, 2013.
92
Djazuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2006. al-Ma^wardi, Muhammad bin Habi^b al-Hawi^ al-Kabi^r. 10 Juz ^ Beirut: Da<>r alFikr, 1994. Munajat, Makhrus, “Reaktualisasi Pemikiran Hukum Pidana Islam”, Yogyakarta: Cakrawala, 2006. Munajat, Makhrus, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. ------------------------, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta, 2009. ------------------------, Transformasi Hukum Pidana Islam dalam Konteks Keindonesiaan, Yogyakarta: Ujung Pena, 2011. Muslich, Ahmad wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007. Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Isla>mi> Wa ‘Adillatuhu, alih bahasa Abdul Hayyie alKattani dkk, 10 Jilid, Jakarta: Gema Insani, 2010. 4.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. 5.
Umum
93
Barakatullah, Abdul Halim, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Prrkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media, 2008. Dewata, Mukti Fajar Nur dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Kumalaningsih, Sri, Metodologi Penelitian; Kupas Tuntas Cara Mencapai Tujuan, Malang: UB Press, 2012. Latipah, Eva, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Grass Media Production, 2012. Lubis, Todung Mulya, “Perlukah Undang-Undang Tentang Praktek Bisnis Sehat”, dalam Anananus Mehalala. (ed), Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Mansur, Didik M. Arief dan Ghultom, Elisataris, Cyber law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2005. Maskun, “Kejahatan Siber (Cyber Crime), suatu Pengantar, Jakarta : Kencana, 2013. Meliala, Andrianus, Praktik Bisnis Curang, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1993. Miru, Ahmad, Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Nawawi, Barda, Tindak Pidana Mayantara-Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Onno W. Purbo dan Anang Arif Wahyudi, Mengenal E-comerce, Jakarta: Elexmedia Komputindo, 2000. Rahman, Arif, Pendidikan Komparatif: Dasar-dasar Teori Perbandingan Pendidikan Antar Bangsa, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013.
94
Sam Indradi, Ade Ari, Carding-Modus Operandi, Penyidikan dan Penindakan, Jakarta: Grafika Indah, 2006. Suharyanto, Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi Cybercrime: Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Ed.1., Cet.2, Jakarta: Rajawali Pers, 2003. Sutrisno, Hadi, Metodologi Research, 4 Jilid, Yogyakarta: Andi, 2004. Sitompul, Josua,“Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta: Tatanusa, 2012. Sjahputra, Imam, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik , Bandung: P.T Alumni, 2010. Wahid, Abdul dan Labib Muhammad, Kejahatan Mayantara (cybercrime), Bandung: PT. Refika Aditama, 2010. Wijayanto, Rony, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2012. Widodo, Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013. Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana Media Group, 2013. 6.
Internet
Najmuddin
Anshorullah,
Prinsip
Pelaku
Usaha
Dalam
Islam,
http://www.google.com/Prinsip-Prinsip Pelaku Usaha Dalam Islam, diakses 20 Maret2018. http://id.portalgaruda.org/?ref=search&mod=document&select=title&q=kajian+y uridis+terhadap+perlindungan+pemilik+website&button=Search+Docume nt, akses 20 Desember 2017.
95
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=129765&val=548&title=KA SUS%20CYBERCRIME%20DI%20INDONESIA, akses 28 Desember 2017
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
DAFTAR TERJEMAHAN TEKS ARAB No
Hlm
Fn
Terjemahan BAB IV
1
71
12
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dibumi,
2
74
19
(pahala dari allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli kitab.
3
74
20
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
4
79
26
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling mekakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya allah maha penyayang kepadamu
5
80
27
Jika mereka berlaku jujur dan berterus terang (tentang kondisi barang yang diperjual belikan, pent), maka mereka akan mendapat keberkahan dalam jual-beli keduanya. Namun jika mereka berbohong dan menyembunyikan (tentang kondisi barang yang diperjual-belikan) maka keberkahan jual beli mereka akan terhapus.
6
81
28
Hai
orang-orang
yang
beriman,
apabila
kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. 7
82
3O
Penjual dan pembeli berhak melakukan khiyar selama mereka belum berpisah. Jika mereka berlaku jujur dan berterus terang (tentang kondisi barang yang diperjual belikan, pent), maka mereka akan mendapat keberkahan dalam jual-beli keduanya. Namun jika mereka berbohong
dan menyembunyikan
(tentang kondisi barang yang
diperjual-belikan) maka keberkahan jual beli mereka akan terhapus.
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
: a.
bahwa untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar terwujud keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
: 1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
Dengan . . .
-2Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) diubah sebagai berikut: 1.
Di antara angka 6 dan angka 7 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 6a sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2.
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. 3. Teknologi . . .
-33.
Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4.
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
6.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. 7.
Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8.
Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang. 9. Sertifikat . . .
-49.
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik. 11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik. 12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi. 13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik. 14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan. 15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan. 16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya. 17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. 18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima . . .
-519. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim. 20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet. 21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. 22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden. 2.
Ketentuan Pasal 5 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1) dan ayat (2) sehingga penjelasan Pasal 5 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
3.
Ketentuan Pasal 26 ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1)
Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2)
Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini. (3) Setiap . . .
-6(3)
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
(4)
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam peraturan pemerintah.
4.
Ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
5.
Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 31 diubah sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Ketentuan . . .
-7-
6.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undangundang.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 40 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b); ketentuan ayat (6) Pasal 40 diubah; serta penjelasan ayat (1) Pasal 40 diubah sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1)
Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. (3) Pemerintah . . .
-8-
7.
(3)
Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4)
Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5)
Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Pasal 43 diubah; di antara ayat (7) dan ayat (8) Pasal 43 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (7a); serta penjelasan ayat (1) Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 (1)
Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2)
Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penggeledahan . . .
-9(3)
Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
(4)
Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
(5)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil dimaksud pada ayat (1) berwenang:
sebagaimana
a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
b.
memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d.
melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
e.
melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
f.
melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; g. melakukan . . .
- 10 g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan; h. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses; i. meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau k. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. (6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. (7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 8. Ketentuan . . .
8.
- 11 Ketentuan Pasal 45 diubah serta di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 45A dan Pasal 45B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1)
(2)
(3)
(4)
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (5) Ketentuan . . .
(5)
- 12 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan. Pasal 45A
(1)
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 45B
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 13 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2016 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 251
Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan, ttd Lydia Silvanna Djaman
- 14 -
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK I. UMUM Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan dan telah menjadi pionir yang meletakkan dasar pengaturan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perjalanan implementasi dari UU ITE mengalami persoalan-persoalan. Pertama, terhadap Undang-Undang ini telah diajukan beberapa kali uji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, Nomor 2/PUU-VII/2009, Nomor 5/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Berdasarkan . . .
-2Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Penegasan mengenai delik aduan dimaksudkan agar selaras dengan asas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah. Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE. Kedua, ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam UU ITE menimbulkan permasalahan bagi penyidik karena tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik begitu cepat dan pelaku dapat dengan mudah mengaburkan perbuatan atau alat bukti kejahatan.
Ketiga . . .
-3Ketiga, karakteristik virtualitas ruang siber memungkinkan konten ilegal seperti Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, serta perbuatan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dapat diakses, didistribusikan, ditransmisikan, disalin, disimpan untuk didiseminasi kembali dari mana saja dan kapan saja. Dalam rangka melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, diperlukan penegasan peran Pemerintah dalam mencegah penyebarluasan konten ilegal dengan melakukan tindakan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum agar tidak dapat diakses dari yurisdiksi Indonesia serta dibutuhkan kewenangan bagi penyidik untuk meminta informasi yang terdapat dalam Penyelenggara Sistem Elektronik untuk kepentingan penegakan hukum tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Keempat, penggunaan setiap informasi melalui media atau Sistem Elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan. Untuk itu, dibutuhkan jaminan pemenuhan perlindungan diri pribadi dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk UndangUndang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menegaskan kembali ketentuan keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam Penjelasan Pasal 5, menambah ketentuan kewajiban penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan dalam Pasal 26, mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) mengenai pendelegasian penyusunan tata cara intersepsi ke dalam undang-undang, menambah peran Pemerintah dalam melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang dalam Pasal 40, mengubah beberapa ketentuan mengenai penyidikan yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 43, dan menambah penjelasan Pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) agar lebih harmonis dengan sistem hukum pidana materiil yang diatur di Indonesia.
II. PASAL . . .
-4II.
PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Ayat (1) Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik. Ayat (2) Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara. Huruf b Cukup jelas.
Angka 3 . . .
-5Angka 3 Pasal 26 Ayat (1) Dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut: a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan. b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai. c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 27 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada banyak Orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Yang dimaksud dengan “membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Ayat (2) . . .
-6Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ayat (4) Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pemerasan dan/atau pengancaman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Angka 5 Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 40 Ayat (1) Fasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi, termasuk tata kelola Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang aman, beretika, cerdas, kreatif, produktif, dan inovatif. Ketentuan ini termasuk memfasilitasi masyarakat luas, instansi pemerintah, dan pelaku usaha dalam mengembangkan produk dan jasa Teknologi Informasi dan komunikasi. Ayat (2) . . .
-7Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu” adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d . . .
-8Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “ahli” adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus di bidang Teknologi Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis maupun praktis mengenai pengetahuannya tersebut. Huruf k Cukup jelas. Ayat (6) Cukup Ayat (7) Cukup Ayat (7a) Cukup Ayat (8) Cukup
jelas. jelas. jelas. jelas.
Angka 8 Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 45A Cukup jelas. Pasal 45B Ketentuan dalam Pasal ini termasuk juga di dalamnya perundungan di dunia siber (cyber bullying) yang mengandung unsur ancaman kekerasan atau menakutnakuti dan mengakibatkan kekerasan fisik, psikis, dan/atau kerugian materiil. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5952
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang—Undang Dasar 1945; b. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka ragam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen; c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab; e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai; f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kesimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat; g. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-udang tentang Perlindungan Konsumen; Mengingat
: Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepala konsumen. 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Promosi adlah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk dipergunakan di dalam wilayah Republik Indonesia. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 Hak konsumen adalah:
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengan pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Pasal 6 Hak pelaku usaha adlah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kmpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. BAB IV PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8 (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran,, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadarluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pasal 9 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barnag tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. (2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. (3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau mnyesatkan mengenai: a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar menu tertentu; b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untk menjual barang alin; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual yang lain; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara CumaCuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. (2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. Pasal 14 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Pasal 17 (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). BAB V KETENTUAN PERCANTUMAN KLAUSULA BAKU Pasal 18 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli ileh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjdi obyek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. BAB VI TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab ata iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21 (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. (2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asng tersebut tidakdilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Pasal 22 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidakmemberi tanggapan dan/atau tidakmemenuhi ganti rugi atas tuntuan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila : a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh,mutu, dan komposisi. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. tidakmenyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidakmemenuhi atau gagalmemenuhi jaminan ataugaransi yang diperjanjikan. Pasal 26 Pelaku usaha yang memeperdagangkan jenis jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksibarang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila : a. barang tersebut terbukti seharusnya tidakdiedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen. e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 21,dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 29 (1) Pemerintah bertanggun jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. (2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimakasud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaiman dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atau penyelenggaraan perlindungan konsumen. (4) Pembinaan penyelenggaraan perlindunagn konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk : a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Pengawasan
Pasal 30 (1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumenserta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya di selenggarakan oleh pemerintah, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. (2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (4) Apabila hail pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis terkait mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. (6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan denan Peraturan Pemerintah. BAB VIII BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL Bagian Pertama Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Pasal 31 Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 32 Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di IbuKota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan Perlindungan Konsumen di Indonesia. Pasal 34 (1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas : a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusuna kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen; c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen; d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen; f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha; g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua Susunan Organisasi dan Keanggotaan Pasal 35 (1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima bels) orang dan sebanyakbanyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur. (2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. (3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk (1) satu kali masa jabatan berikutnya. (4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota. Pasal 36 Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur : a. Pemerintah; b. Pelaku usaha; c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; d. Akademisi; dan e. Tenaga ahli. Pasal 37 Persyaratan keanggotaan Badan Perlindunag Konsumen Nasional adalah : a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen, dan; f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Pasal 38 Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena : a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; d. sakit secara terus menerus; e. berakhir masa jabatan sebagai anggota, atau; f. diberhentikan. Pasal 39 (1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional di bantu oleh sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretarias yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. (3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretarit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 40 (1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 41 Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang di atur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 42 Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IX LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT Pasal 44 (1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. (2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. (3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atas pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalamperaturan Pemerintah. BAB X PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama Umum Pasal 45 (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidakberhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa. Pasal 46 (1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukun atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila baran/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidaksedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Pasal 47 Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugidan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembaliatau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Pasal 48 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. BAB XI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Pasal 49 (1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. (3) Anggoata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah,unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha. (4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri. Pasal 50 Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud oleh Pasal 49 ayat (1) terdiri atas : a. ketua merangkap anggota; b. wakil ketua merangkap anggota; c. anggota. Pasal 51 (1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalammenjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat. (2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat. (3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengeketa konsumen ditetapkan oleh Menteri. Pasal 52 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi : a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencatuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini; e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengeketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap perlindunagn konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidakbersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberikan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindunagnan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang ini. Pasal 53 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri. Pasal 54 (1) Untuk menangano dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis (2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera. (3) Putusab majelis bersifat final dan mengikat.
(4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri. Pasal 55 Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan utusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Pasal 56 (1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaianan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. (2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberiathuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaianan sengketa konsumen. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha , badan penyelesaianan sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (5) Putusan badan penyelesaianan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayata (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Pasal 57 Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri tempat konsumen yang dirugikan. Pasal 58 (1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. (2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 59 (1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. (2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidanan di bidang perlindungan konsumen; d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.
melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang di duga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindunagn konsumen. (3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. BAB XIII SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administratif Pasal 60 (1) Badan penyelesaian sengeketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. (2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pasal 63 Terhadap sanksi pidana sebagaimana dalam pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa : a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman putusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64 Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang yang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.
bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar; c.
bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;
d. bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu disusun UndangUndang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Mengingat :
1.
Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 UndangUndang Dasar 1945; Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: a.
Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
b.
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
c.
Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
d.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
e.
f.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
g.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
h.
Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
i.
Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
j.
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
k.
Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.
l.
Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
m. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. n.
Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
o.
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
p.
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Pasal 3 Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk : a.
menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.
mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.
terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. BAB III PERJANJIAN YANG DILARANG Bagian Pertama Oligopoli Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedua Penetapan Harga Pasal 5 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a.
suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.
suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bagian Ketiga Pembagian Wilayah Pasal 9 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bagian Keempat Pemboikotan Pasal 10 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a.
merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b.
membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Bagian Kelima Kartel Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bagian Keenam Trust Pasal 12 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh Oligopsoni Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedelapan Integrasi Vertikal Pasal 14 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Bagian Kesembilan Perjanjian Tertutup Pasal 15 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Bagian Kesepuluh Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Pasal 16 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
BAB IV KEGIATAN YANG DILARANG Bagian Pertama Monopoli Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a.
barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
c.
Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18 (1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a.
menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
BAB V POSISI DOMINAN Bagian Pertama Umum Pasal 25 (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a.
menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b.
membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c.
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedua Jabatan Rangkap Pasal 26
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan tersebut: a.
berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.
memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c.
secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga Pemilikan Saham Pasal 27 Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: a.
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b.
dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Keempat Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Pasal 28
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 29 (1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut. (2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Bagian Pertama Status Pasal 30 (1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi. (2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. (3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian Kedua Keanggotaan Pasal 31 (1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota. (2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Pasal 32 Persyaratan keanggotaan Komisi adalah: 1.
warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggitingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
2.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3.
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4.
jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5.
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6.
berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
7.
tidak pernah dipidana;
8.
tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9.
tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha. Pasal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena : a.
meninggal dunia;
b.
mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d.
sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e.
berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f.
diberhentikan. Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat. (3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja. (4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian Ketiga Tugas Pasal 35 Tugas Komisi meliputi: a.
melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b.
melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c.
melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d.
mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e.
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f.
menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g.
memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagian Keempat Wewenang Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi: 1.
menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2.
melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3.
melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
4. 5.
mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6.
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
7.
memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8.
menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Bagian Kelima Pembiayaan Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII TATA CARA PENANGANAN PERKARA Pasal 38 (1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor. (2) Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor. (3) Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan oleh Komisi. (4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Komisi.
Pasal 39 (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. (2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. (3) Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. (4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lain. (5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), anggota komisi dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 40 (1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Pasal 41 (1) Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan. (2) Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 42 Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa: a.
keterangan saksi,
b.
keterangan ahli,
c.
surat dan atau dokumen,
d.
petunjuk,
e.
keterangan pelaku usaha. Pasal 43
(1) Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1). (2) Bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. (3) Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2). (4) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pasal 44 (1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. (2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Pasal 45 (1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. (2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. (3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.
Pasal 46 (1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a.
penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d.
perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e.
penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f.
penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g.
pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggitingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Bagian Kedua Pidana Pokok Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendahrendahnya Rp 1.000.000.00,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian Ketiga Pidana Tambahan Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a.
pencabutan izin usaha; atau
b.
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undangundang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atauc. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
BAB IX KETENTUAN LAIN Pasal 50 Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: a.
perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.
perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c.
perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d.
perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e.
perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f.
perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g.
perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h.
pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i.
kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 (1) Sejak berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini. (2) Pelaku usaha yang telah membuat perjanjian dan atau melakukan kegiatan dan atau tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini diberi waktu 6 (enam) bulan sejak Undangundang ini diberlakukan untuk melakukan penyesuaian.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 53 Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 33
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
Agar implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksananya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan. Secara umum, materi dari Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari : 1. perjanjian yang dilarang; 2.
kegiatan yang dilarang;
3.
posisi dominan;
4.
komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5.
penegakan hukum;
6.
ketentuan lain-lain.
Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk : menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas
Angka 11 Cukup jelas Angka 12 Cukup jelas Angka 13 Cukup jelas Angka 14 Cukup jelas Angka 15 Cukup jelas Angka 16 Cukup jelas Angka 17 Cukup jelas Angka 18 Cukup jelas Angka 19 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Perjanjian dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara
Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 14 Yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut integrasi vertikal adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Pasal 15 Ayat (1) Yang termasuk dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing). Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan. Huruf c Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Huruf a Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non- ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya. Pasal 22 Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas
Pasal 25 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 26 Huruf a Cukup jelas Huruf b Perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat apabila perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran. Huruf c Cukup jelas Pasal 27 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Badan usaha adalah perusahaan atau bentuk usaha, baik yang berbentuk badan hukum (misalnya perseroan terbatas) maupun bukan badan hukum, yang menjalankan suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Perpanjangan masa keanggotaan Komisi untuk menghindari kekosongan tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Yang dimaksud dengan tidak pernah dipidana adalah tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berat atau karena melakukan pelanggaran kesusilaan. Huruf h Cukup jelas Huruf i Yang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak menjadi : 1.
anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
2.
anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
3.
pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai;
4.
pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Pasal 33 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas Huruf d Dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang berwenang. Huruf e Cukup jelas Huruf f Diberhentikan, antara lain dikarenakan tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud Pasal 32. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud sekretariat adalah unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas Komisi. Ayat (3) Yang dimaksud kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 35 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 36 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas
Huruf f Cukup jelas Huruf g Yang dimaksud dengan penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981. Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Huruf k Cukup jelas Huruf l Cukup jelas Pasal 37 Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi. Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang diserahkan oleh Komisi kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tidak hanya perbuatan atau tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (2), tetapi juga termasuk pokok perkara yang sedang diselidiki dan diperiksa oleh Komisi. Pasal 42 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi. Ayat (4) Yang dimaksud diberitahukan adalah penyampaian petikan putusan Komisi kepada pelaku usaha. Pasal 44 Ayat (1) 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 46 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya. Huruf c Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan. Huruf g Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 49 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Pasal 50 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil adalah sebagaimana dimaksud Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Huruf i Yang dimaksud dengan melayani anggotanya adalah memberi pelayanan hanya kepada anggotanya dan bukan kepada masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana produksi termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk memasarkan dan mendistribusikan hasil produksi anggota yang tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3817
LAMPIRAN VII, DAFTAR RIWAYAT HIDUP
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap
: M.Izan Perdana Kesuma
Tempat dan Tanggal Lahir
: Sumber Rejo, 02 juni 1994
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Jl. Way Dente KM 24, Kelurahan Way Dente, Rt/Rw
002/002,
Kecamatan
Dente
Teladas,
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Alamat di Yogyakarta
: Jl. Wahid Hasyim, Gaten, Condongcatur, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta
E-Mail
:
[email protected]
Nama Orang Tua
:
1. Ayah
: Drs. Rusli Junaidi
2. Ibu
: Ulik Sa’adah, S.Pd.,SD
Alamat Orang Tua
: Jl. Way Dente KM 24, Kelurahan Way Dente, Rt/Rw
002/002,
Kecamatan
Dente
Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Riwayat Pendidikan
:
1. Pendidikan Formal a. SD Negeri 3 Dente Teladas
(2002 - 2008)
b. SMP Integral Minhajuth Thullab
(2008 - 2011)
c. MA Darul Ulum
(2011 - 2014)
d. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(2014 – 2018)
2. Pendidikan Non-Formal a. Pondok Modern Darussalam Gontor
(2010 - 2013)
Teladas,
b. PonPes. Wahid Hasyim Yogyakarta
(2014 - 2018)
c. Sekolah Hukum PSKH
(2014)
d. Sekolah Pemikiran Islam
(2014)
e. Training ICT
(2015)
f. Sekolah TOEFL Online
(2016)
g. Sekolah Gender
(2016)
Riwayat Kegiatan Organisasi 1. OPPM
(2013 - 2014)
2. SPBA, UKM Kampus
(2014 - 2018)
3. PMII UIN Sunan Kalijaga
(2014 - 2016)
4. SEMALAM Su-Ka Yogyakarta
(2014 - sekarang)
5. PUSAT STUDI & KONSULTASI HUKUM
(2014-2017)
Demikian Curriculum Vitae ini saya buat dengan sebenar-benarnya, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinnya.
Hormat Saya,
M. Izan Perdana Kesuma