Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
pISSN 2599 1205, eISSN 2599 1183
September 2017
IDENTIFIKASI POHON INANG EPIFIT DI HUTAN DIPTEROCARPACEAE DATARAN RENDAH KLIMAKS KABUPATEN MALINAU Akas Pinaringan Sujalu Fakultas Pertanian Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda Jl. Ir. H. Juanda 80-Samarinda 75124 E-mail:
[email protected] ABSTRACT The research uses a single plot method with census collecting data to find out the various kinds of porophyte in the Climax to the broadness of 6 hectares at Lowland Forest of Malinau. Porophyte in climax is found as 696 tress or 116 trees hectare-1 comprising 179 species in 85 genera of 39 tribes with 417 trees (59.9%) between 36-67 cm in diameter. Family Dipterocarpaceae is most porophyte at climax (± 80%) especially Shorea sp. (42.2%) Shorea parvifolia Dyer. porophyte is the most ie 50 trees in climax. Keywords: Porophyte; Dipterocarpaceae; climax ABSTRAK Penelitian ini menggunakan metode petak tunggal dengan pengambilan data secara sensus, bertujuan untuk mengidentifikasi pohon inang ephipit pada hutan Primer dataran rendah seluas 6 hektar di kabupaten Malinau. Pohon inang ephipit di hutan Primer ditemukan 696 pohon atau 116 pohon per hektar, yang terdiri dari 179 spesies dalam 85 genus dan 39 suku dengan 417 pohon (59.9%) berdiameter 36-67 cm. Pohon inang dari famili Dipterocarpace di temukan paling banyak di hutan Primer (± 80%) terutama dari Suku Shorea sp (42.2%), dengan Shorea parvifolia Dyer. merupakan pohon inang paling banyak ditemukan (50 pohon). Kata kunci: Pohon inang epifit, Dipterocarpaceae, hutan Primer
PENDAHULUAN Pada sejumlah besar pohon-pohon dari berbagai jenis di hutan-hutan tropis menunjukkan, bahwa hampir seluruh jenis epifit tingkat tinggi yang mencakup anggrek, paku-pakuan dan tumbuhan berbiji, sebagian besar tumbuh di celahcelah retakan kulit pohon, lekukan-lekukan pada pohon dan tempat percabangan yang besar. Tajuk pohon diperlukan bagi epifit sebagai tempat berlindung, mengambil jutrisi, berkembang dan berregenerasi. Keanekaragaman jenis tegakan pohon dan struktur fisik kulit pohon berpengaruh terhadap keanekaragaman epifit, khususnya jenisjenis epifit terrestrial yang mutlak memerlukan naungan. Vegetasi pohon yang tidak terlalu rapat menyebabkan intensitas cahaya matahari sampai ke permukaan tanah. Secara fisiologis energy cahaya tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap epifit khususnya anggrek, baik langsung atau tidak langsung. Pegnaruh secara langsung yaitu pada proses fotosisintesis, sedangkan pengaruh tidak langsung terhadap pertumbuhan, pembungaan dan perkecambahan (Febriliani et al, 2013; Romadi et al 2012). Tipe interaksi antara berbagai tumbuhan epifit dengan pohon inangnya merupakan tipe interaksi komensalisme. Berbagai macam anggrek
196
epifit juga ditemukan menempel tidak pada semua jenis pohon inang, melainkan hanya pada beberapa jenis pohon inang saja. Tidak jarang beberapa jenis tumbuhan epifit hanya ditemukan pada jenis pohon tertentu.Epifit tersebut umumnya hidup di pohon-pohon bertekstur batang tidak rata, kasar dan seringkali retak-retak, dan hal ini cukup beralasan karena meudahkan seresah dan kotoran-kotoran untuk menempel pada batang pohon tersebut. Dalam kurun waktu yang lama akan menumpuk dan menggumpal serta terdekomposisi sehingga menyebabkan batang pohon itu menjadi lembab. (Sholihah, 2010; Sadili, 2013). Penyebab perbedaan komposis dan penyebaran epifit pada setiap jenis pohon atau pohon sejenis sangat luas sehingga stratifikasi epifit secara vertikal pada suatu pohon inang sulit untuk dikelompokkan. Keadaan pohon dapat mempengaruhi kehadiran epifit yang akan menjadikannya inang, seperti diamaeter batang, struktur kulit batang, bentuk tajuk dan cabang. Kehadiran epifit juga dipengaruhi iklim mikro hutan, sedangkan iklim mikro hutan bergantung pada keadaan vegetasi hutan seperti kerapatan tajuk dan bentuk tajuk (Rosana, 2013). Kenyataan tersebut juga telah diamati Parker Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
pISSN 2599 1205, eISSN 2599 1183
September 2017
(1995) dan Puspaningtyas (2007) bahwa penyebaran epifit sangat dipengaruhi oleh kondisi substrat (kulit pohon inang) yang mencakup kemiringan dan kekasaran kulit kayu serta penimbunan serasah, selain itu stratifikasi dan penyebaran berbagai jenis epifit secara vertikal serta keanekaragamannya pada suatu jenis pohon lebih banyak dipengaruhi oleh faktor cahaya matahari daripada faktor kelembapan. Menurut Whitemore (1975) yang dikutip Rosana (2013) perbedaan khusus dalam kebutuhan akan kondisi lingkungan atau toleransi epifit terhadap lingkungan baik berupa tinggi letaknya menempel pada pohon inang ataupun perbedaan dari pohon ke pohon yang lain sangat beranekaragam, sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis epifit dan pohon inangnya. Sehubungan adanya karakteristik khusus dari keberadaan epifit di hutan maka
dilakukan penelitian untuk pohon inang epifit. METODE
mengidentifikasi
Penelitian ini dilaksanakan di hutan primer dataran rendah di kabupaten Malinau Lokasi penelitian berada pada ketinggian 110 m dpl, dengan posisi geografis di antara 2045’12,38” – 3021’3,76” LU dan 116034’2,79” BT. Pengambilan data dilakukan menggunakan metode Analisis Vegetasi Petak Tunggal pada Plot Sampel Permanen (PSP) dengan intensitas sampling 100% dari 6 plot dengan ukuran masing-masing 10 000 m2 (1 ha), dan setiap PSP berjarak 50 m satu sama lain. Pengamatan terhadap pohon inang epifit meliputi identifikasi jenis dan dimater pohon. Untuk keperluan identifikasi dibuat herbarium dan dilakukan identifikasi jenis berdasarkan Anonim (1990) dan Herbarium Bogoriensis.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
197
Identifikasi Pohon Inang Epifit di Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah Klimaks Kabupaten Malinau
Sujalu
1
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Wilayah (Machfud, 2001a dan 2001b) Areal yang digunakan penelitian merupakan kawasan MRF-CIFOR yang keseluruhannya sekitar 321 000 ha yang sebagian besar (97,.84%) merupakan hutan primer, kawasan tersebut merupakan areal konsesi hutan INHUTANI I, INHUTANI II dan PT Sarana Trirasa Bhakti yang dibentuk berKabupatenarkan SK MENHUT No. 35/Kpts-II/1996. Kawasan MRF-CIFOR dilalui oleh 3 sungai besar yaitu sungai Malinau, sungai Tubu (keduanya bergabung di sungai Sesayap) dan sungai Bahau. Oleh karena itu kawasan ini dikelompokan menjadi 3 wilayah DAS, yaitu DAS Malinau (44,09%), DAS Tubu/Mentarang (36,04%) dan DAS Bahau (19,86%). Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson (1951), iklim daerah ini termasuk tipe iklim A, dengan periode bulan kering 2 bulan dan bulan basah > 9 bulan, curah hujan rata-rata tahunan tercatat sekitar 3 790 mm tahun-1. Suhu udara tertinggi bulanan di tercatat 27.50C dan terendah 23.50C, dengan kelembapan udara (Rh) bervariasi antara 75% - 98%. Hutan Dipeterocarpaceae dataran rendah merupakan tipe hutan utama yang sangat kaya dengan pohon-pohon yang tingginya antara 35–40 m. Sebelum di lakukan pembalakan, kawasan hutan mempunyai rata-rata basal area 30,04 m2 ha-
dan kerapatan 253 pohon ha-1. Kawasan ini di dominasi vegetasi suku Dipterocarpus (27% dari kerapatan pohon dan 40% basal area) terutama Meranti (Shorea sp.), Keruing (Dipterocarpus sp.), Merawan (Hopea sp.), Agathis boneensis dan Kompassia excelsa. B. Pohon Inang di Hutan Primer Secara keseluruhan jumlah pohon (diameter lebih dari 20 cm) pada hutan primer seluas 6 hektar (6 plot penelitian) yang dijumpai sebagai pohon inang sebanyak 696 pohon (sekitar 41% dari 1683 pohon diamater > 20 cm pada 6 plot penelitian) atau rata-rata 116 pohon hektar-1. Pohon inang tersebut termasuk dalam 179 jenis dari 85 genus yang termasuk dalam 39 suku. Pohon inang dari famili Dipterocarpaceae ditemukan dengan jumlah individu yang paling banyak yaitu 294 individu atau 42.2% dari seluruh jenis pohon inang (17.5% dari 1683 pohon berdiameter > 20 cm yang ada di 6 plot penelitian hutan primer). Banyaknya pohon-pohon dari famili Dipterocarpaceae yang ditempeli epifit, terdiri suku Shorea (18 jenis atau 10 % dari seluruh jenis pohon inang), suku Dipterocarpus dan suku Vatica (masing-masing 4 jenis atau 4,7% dari seluruh jenis pohon inang). Suku lainnya yang juga banyak ditemukan sebagai pohon inang adalah famili Myrtaceae (13 jenis atau 15.3% dari seluruh jenis pohon inang), Myristicaceae dan Euphorbiceae (masing-masing 12 jenis atau 14.1% dari seluruh jenis pohon inang), serta famili Fagaceae (11 jenis atau 12.9% dari seluruh jenis pohon inang).
Tabel 1. Sepuluh jenis pohon inang yang paling banyak di hutan primer No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Jenis Shorea parvifolia Dyer. S. maxwelliana King. S. rubra Ashton Pouteria malaccensis (Clarke.) Breh. Shorea beccariana Burk. S. exelliptica Meijer S. macroptera Dyer. Gluta wallichii (Hk.f.) Ding Hou S. venulosa Wood. ex Meijer Dipterocarpus stellatus Vesque
Dari 10 jenis pohon inang yang paling banyak (Tabel 1), terdapat 8 jenis pohon di antaranya 80% dengan 7 suku merupakan Shorea dengan jumlah individu terbanyak pada jenis Shorea parvifolia Dyer. (sebanyak 50 pohon atau
198
Suku Shorea Shorea Shorea Pouteria Shorea Shorea Shorea Gluta Shorea Shorea
Famili Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Anacardiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
Jumlah individu 50 38 27 25 23 22 22 21 17 16
7,2% dari seluruh jenis pohon inang) dan 1 jenis dari suku Dipterocarpus yang termasuk famili Dipterocarpaceae, sedangkan jenis lain Paouteria malaccensis (Clarke.) Breh. yang termasuk suku Pouteria dari famili Sapotaceae (sebanyak 25 Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
pISSN 2599 1205, eISSN 2599 1183
September 2017
pohon atau 3,6% dari seluruh jenis pohon inang) dan Gluta wallichii (Hk.f.) Ding Hou (sebanyak 21 pohon atau 3 % dari seluruh jenis pohon inang). Pohon-pohon yang paling banyak dijumpai sebagai pohon inang umumnya memiliki kulit pohon yang kasar, retak-retak, banyak memiliki lekukan-lekukan yang memungkinkan aliran air dari tajuk yang membawa humus serta serasah, serta kabut lebih mudah terikat dan mengumpul. Selain itu karena kulit dari pohon yang memiliki tekstur serat lunak yang mudah untuk ditembus jenis akar dari tumbuhan epifit. Kondisi tersebut akan mengurangi dampak buruk dari pukulan butir-butir air hujan dan aliran air, sekaligus mempermudah menempelnya epifit Kulit pohon yang dimiliki setiap jenis pohon memiliki ciri dan sifat fisik yang khas. Beberapa sifat dan ciri kulit pohon yang mempengaruhi kehadiran tumbuhan epifit antara lain stabilitas, kekasaran, kekerasan, mampu menangkap air, keasaman netral, dan adanya hara pada kulit batang. Kulit batang pohon inang dapat stabil atau labil. Kulit batang yang labil berarti rapuh dan mudah mengelupas (Shalihah, 2010; Watthana, 2008). Hasil penelitian Atmaja dan Pamuji (2008) menunjukan umumnya, kulit pohon inang epifit memiliki kulit yang stabil atau tidak mudah mengelupas. Pada pohon dari suku Shorea , walaupun kulitnya mudah retak-retak, namun tetap stabil dan tidak mudah mengelupas . Hal ini karena floem sekunder pada pohon-pohon suku Shorea khususnya dari famili Dipterocarpaceae memiliki serabut sklerenkim yang bersifat mudah lapuk sehingga menyebabkan meskipun tidak mudah mengelupas. Kulit pohon yang stabil lebih banyak disukai oleh anggrek epifit sebagai tempat hidupnya karena kulit yang stabil lebih mampu menahan massa anggrek dan lebih kokoh sebagai tempat melekatnya anggrek. Pada pohon yang berkulit labil sedikit dijumpai epifit karena kulit pohon yang labil akan mudah mengalami pelapukan yang menyebabkan kulitnya mudah mengelupas sehingga tidak mampu mempertahankan keberadaan anggrek keberadaan anggrek epifit lebih banyak pada pohon dengan tekstur retak-retak bercelah dangkal. Hal ini karena pohon inang yang memiliki alur dan celah akan menyebabkan epifit tumbuh dengan subur sedangkan pohon inang yang rata/licin menyebabkan epifit sulit untuk melekat dan tumbuh pada pohon tersebut Pohon inang yang ditemukan dalam penelitian ini semuanya memiliki lentisel pada kulit batangnya, sehingga dapat disimpulkan
bahwa lentisel merupakan karakter pohon inang yang keberdaannya penting bagi anggrek epifit. Lentisel adalah pori gabus yang digunakan untuk pertukaran udara pada batang pohon. Adanya lentisel yang menonjol di atas permukaan kulit ini akan menyebabkan permukaan kulit batang menjadi tidak licin, sehingga dapat digunakan sebagai tempat menempelnya akar-akar merekat lebih kuat tumbuhan anggrek. Dalam hubungannya dengan kehadiran epifit maka pohon-pohon yang dijumpai sebagai pohon inang epifit di hutan primer rata-rata ditempeli oleh epifit sebanyak 11,5 individu per pohon, baik yang hidupnya dalam bentuk tunggal ataupun koloni. C. Distribusi Diameter Pohon Inang di Hutan Primer Diameter batang yang secara umum menunjukkan umur, nampaknya berhubungan erat dengan banyaknya epifit yang menempel pada suatu jenis pohon inang. Tanpa membedakan jenis, marga dan sukunya, pohon-pohon inang dengan diameter yang relatif besar cenderung lebih banyak ditempeli epifit, baik dalam jumlah jenis maupun jumlah individunya. Secara umum kondisi dan struktur kulit luar pohon, stabilitas dan kebasahan lingkungan pohon merupakan faktor-faktor fisik utama yang menentukan keberadaan epifit. Kondisi tersebut tercermin dari indeks luas daun (Leaf Area Index, LAI) yang dimiliki oleh suatu tegakan yang relatif stabil, sedangkan kondisi lainnya yang penting bagi keberadaan epifit adalah relatif terbukanya tajuk pohon serta pertumbuhan pohon yang lambat. Sehingga dapat dipastikan bahwa tumbuhan epifit tidak akan pernah dapat dijumpai hidup dan subsisten pada pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat (Romadi dkk, 2011). Hasil pengamatan di hutan primer menunjukkan 301 pohon inang atau sekitar 49.3% dari seluruh pohon inang memiliki diamater antara 20-35 cm, 186 pohon inang atau sekitar 30.0% dari seluruh pohon inang memiliki diameter antara 36-51 cm, 89 pohon inang atau sekitar 21.1% dari seluruh pohon iang memiliki diameter antara 52-67 cm, 19 pohon inang atau sekitar 15.3 % dari seluruh pohon inang memiliki diameter antara 68 – 83 cm, sedangkan 18 pohon inang atau sekitar 3.3% dari seluruh pohon inang memiliki diameter antara 84-131 cm. Dan bila membandingkan distribusi diameter pohon inang antara hutan primer dengan hutan Primer, maka rata-rata diameter pohon inang pada hutan primer lebih besar dibandingkan dengan rata-rata
199
Identifikasi Pohon Inang Epifit di Hutan Dipterocarpaceae Dataran Rendah Klimaks Kabupaten Malinau
Sujalu
diamater pohon inang pada hutan Primer (Gambar 1). Ukuran dan struktur percabangannya yang relatif besar (terkadang hampir sama dengan diameter batangnya) dan relatif mendatar akan memungkinkan terkumpulnya dan terbentuknya humus, dan sehingga benih-benih epifit tidak mudah hanyut oleh air melalui aliran tajuk maupun aliran batang. Pohon dengan diameter besar lebih sebagian besar memiliki kondisi kulit pohon yang sesuai untuk pertumbuhan epifit, karena umumnya kulitnya kasar, retak-retak dan
banyak lekukan-lekukan, serta lubang-lubang bekas cabang patah ataupun bekas luka yang membusuk dan dipenuhi oleh humus yang akan mempermudah menempelnya epifit. Namun demikian bukan berarti bahwa setiap pohon yang berdiamater besar meskipun dari jenis yang sama akan selalu lebih banyak ditempeli epifit, bahkan tidak dijumpai epifit sama sekali misalnya pada jenis Koompassia excelsa dan Agathis borneensis (atau pada pohon sejenis dengan inang tetapi tajuk pohon sudah rusak, meranggas dan hampir gundul atau sudah gundul).
234
183
Jumlah pohon inang
175
66
21 9 20-35
36-51
52-67
68-83
84-99
100-115
3
3
116-131
132-147
1
1
148-163 164-179 Distribusi Diameter
Gambar 1. Distribusi diamater pohon inang pada hutan primer dan hutan Primer. Pohon inang di hutan primer terdapat pada semua kelas diameter dan terbanyak pada kelas diameter 36-67 cm, sedangkan di hutan Primer terbanyak terdapat pada kelas diameter antara 2051 cm dan sudah tidak dijumpai pohon inang dengan diameter lebih dari 132 cm, karena pohonpohon dengan diameter lebih dari 100 cm sudah habis ditebang dan yang tersisa lebih banyak disebabkan kualitas pohonnya yang buruk (growong, cacat, cabang batang bebas cabang terlalu pendek, atau bengkok) atau pohon-pohon dari jenis-jenis yang dilarang ditebang. Pohon inang epifit seringkali mempunyai penampilan fisik yang khusus. Sebagian besar tumbuhan inang mempunyai dahan, cabang atau ranting yang tumbuhnya relatif mendatar atau miring merupakan habitat yang banyak dijumpai kelompok-kelompok epifit. Permukaan kulit pada pohon kayu yang licin dan keras, misalnya Legerstroemia lanceolata, L. duperreans, Kompassia exelsa dan lain-lain, jarang dijumpai epifit yang tumbuh hidup dengan baik, sehingga
200
epifit banyak dijumpai pada pohon-pohon yang mempunyai kulit kasar, retak-retak dan berlekuk sehingga mudah menyimpan air, misalnya Ehritia acuminata, Sonneratia caseolaris, Pithecellobium scalare, Calophyllum inophyllum dan lainSebaliknya meskipun kondisi lingkungan terutama unsur iklim sangat mendukung, kehadiran epifit tidak pernah dijumpai pada tumbuhan pioner. Menurut Wolf (2005) selain pengaruh kondisi lingkungan terutama unsur-unsur iklim, tipe dan ukuran dari pohon inang juga mempengaruhi tingkat kelimpahan dan distribusi epifit terutama jenis epifit yang memiliki bentuk struktur tubuh yang (pertumbuhan) menggelantung (non-vascular pendant ephiphyte). Oleh karena itu dalam komunitas hutan, penyebaran epifit sering tidak teratur baik jenis dan susunan, maupun startifikasinya. Hal ini telah ditunjukan dari hasil penelitian Partomihardja dan Kartawinata (1984), bahwa di Kebun Raya Bogor jumlah jenis epifit yang paling tinggi terdapat
Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
Ulin – J Hut Trop 1(2): 196-201
pISSN 2599 1205, eISSN 2599 1183
September 2017
pada suku Sonnaratraceae (mencapai 20 jenis dalam 1 pohon), dan jumlah jenis yang paling sedikit dijumpai pada suku Leguminosae (0,9 jenis dalam 1 pohon), kondisi ini menunjukkan bahwa kehadiran epifit pada suatu pohon inang lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi dan sifat fisik dari kulit pohon dan kerimbunan tajuk pohon. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa phorophit umumnya mempunyai dahan, cabang atau ranting yang tumbuhnya relatif mendatar atau miring berdiameter besar dengan kondisi kulit pohon retak-retak dan banyak lekukan-lekukan. Pohon inang di hutan Primer ditemukan 696 pohon atau 116 pohon setiap hektar, yang terdiri 179 jenis dalam 85 marga dari 39 suku dengan 417 pohon (59.9%) berdiamater antara 36-67 cm. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, M.B. dan A.C. Pamuji. 2009. Tipe Morfologi dan Anatomi Kulit Batang Pohon Inang Anggrek Epifit di Petak 5 Bukit Plawangan-Taman Nasional Gunung Merapi Machfudh, K. Kartawinata, H. Priyadi, dan D. Sheil. 2001a. Fields Guide To The CIFOR’S permanent Sample Plots: Conventional Impact Logging Treatments (Plot’s 28 dan 29). Bulungan Research Forest Field Guide Series No. 2. CIFORBogor. Machfudh, dan K. Kartawinata. 2001b. A Guide To The Bulungan/Malinau Research Forest. Bulungan Research Forest Field Guide Series No. 3. CIFOR-Bogor. Puspitaningtyas. 2007. Inventarisasi Anggrek dan Inangnya di taman Nasional Meru Betiri-Jawa timur. Biodiversitas Vol. 8 No. 3 (210-214). Romadi, S. Maratus, dan E.B. Minarno. 2012. Jenis-jenis Paku epifit dan Tumbuhan Inangnya di TAHURA Ronggo Soeryo Cangar. El Hayah Vol 3 (1):8-15 Rosana, N. 2013. Kajian Komunitas dan Potensi Epifit di Hutan Kota Mohammad SabkiKota Jambi. Thesis. Fakultas MIPAUniversitas Indonesia. Sadili, A. 2013. Jenis Anggrek (Orchidaceae) di Tau Lumbis-Nunukan-Kalimantan Timur “sebagai indicator terhadap kondisi
kawasan hutan”. Jurnal Biologi Indonesia Vol 9 (1): 63-71. Shalihah, M. 2010. Studi Tipe morfologi Kulit Pohon Inang dan jenis Paku Epfit dalam Upaya Menunjang Konser vasi paku Epifit di Hutan Raya Ronggo Soeryo Cangar. Skripsi. Fakultas sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim Watthana, Santi and H. A. Pedersen. 2008. Phorophyte Diversity, Substrate Requirements and Fruit Set in Dendrobium scabrilingue Lindl. (Asparagales: Orchidaceae): Basic Observations for Re-introduction Experiments. The Natural History Journal of Chulalongkorn University 8(2): 135142. Wolf, J. H. D. 2005. Diversity, Ecology, and Phytogeography of Epiphytes in The Canopy of The Tropical Montane Cloud Forest. http://www.treenail.nl/kronendak/publical. htm. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2015.
201