Writing Assignment 5

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Writing Assignment 5 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,464
  • Pages: 8
Pengaruh asap kendaraan dan pabrik mengakibatkan terjadinya polusi udara di Kota Medan. Saat ini, ada empat titik di kawasan Kota Medan telah mengalami polusi udara. Pengaruh asap kendaraan dan pabrik mengakibatkan terjadinya polusi udara di Kota Medan. Saat ini, ada empat titik di kawasan Kota Medan telah mengalami polusi udara. Menurut Kepala Instalasi Laboratorium Kimia Fisika Udara BTKL-PPM Kota Medan, Al Fatah Faisal, Jumat (30/11) di Kantor Dinas Kesehatan Kota Medan, empat titik terjadinya polusi udara yakni kawasan Pinang Baris, Jalan Williem Iskandar (Unimed), Amplas dan Jalan Krakatau Medan. Dikatakan, dari 4 titik tersebut, dua di antaranya kawasan Amplas dan Jalan Krakatau masuk kategori pencemaran udara sangat tinggi. Polusi udara di kawasan tersebut terjadi sekitar pukul 08.00 WIB. “Namun kategori tinggi itu belum melewati bahaya atau masih dalam ambang batas (level sedang) pencemaran udara,”sebutnya. Dijelaskan, polusi udara yang terjadi di Amplas karena polusi asap kendaraan. Sementara itu, polusi udara di Jalan Krakatau dikarenakan asap kendaraan dan industri pabrik. Al Fatah Faisal mengatakan nilai ambang batas polusi udara yang masih dikatakan aman diukur dari SO2 yakni 900 mikrogram/m3, NO2 400 mikrogram/m3 dan PM10 150 mikrogram/m3. “Kami melakukan pengukuran polusi udara tersebut beberapa waktu lalu selama satu jam. Namun hingga kini kami mendapat kendala pendanaan,”katanya. Disinggung pengaruh polusi udara yang dikategori berbahaya, Al Fatah Faisal mengatakan akan mengganggu kesehatan yaitu terjadinya penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan gangguan paru-paru.

Polusi Udara dan Implikasinya terhadap Kesehatan Oleh Sarono Alam yang indah adalah impian setiap insan. Lingkungan yang bersih adalah dambaan setiap manusia. Namun kenyataannya, manusia jualah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini. Alam dan lingkungan padahal merupakan tempat berbagai organisme hidup beserta segala keadaan dan kondisinya. Dengan demikian, kondisi lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kesehatan. Banyak yang sengaja bahkan mengorbankan lingkungan demi beberapa lembar uang. Saat kerusakan lingkungan mengancam kehidupan dan kesehatan mereka, uang padahal bukanlah segala-galanya. Uang banyak tidak dapat dijadikan jaminan akan keselamatan lingkungan tanpa adanya kesadaran dan kemauan dari manusia itu sendiri untuk menjaga lingkungannya sehingga mereka dapat hidup lebih layak. Pencemaran lingkungan, kerusakan lapisan ozon, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, adalah contoh dari akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Dampaknya bahkan tidak berhenti sampai

di sini, kerugian material dan moral pun tak dapat dihitung, misalnya terjadinya bencana banjir, akan berdampak bagi penyebaran berbagai macam penyakit seperti diare atau gatal-gatal. Akibat serangan berbagai penyakit itu, maka program peningkatan kualitas kehidupan yang mandiri pun terganggu. Budaya hidup bersih akhirnya Banyak yang sengaja bahkan mengorbankan lingkungan demi beberapa lembar uang. Saat kerusakan lingkungan mengancam kehidupan dan kesehatan mereka, uang padahal bukanlah segala-galanya. Uang banyak tidak dapat dijadikan jaminan akan keselamatan lingkungan tanpa adanya kesadaran dan kemauan dari manusia itu sendiri untuk menjaga lingkungannya sehingga mereka dapat hidup lebih layak. Pencemaran lingkungan, kerusakan lapisan ozon, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, adalah contoh dari akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Dampaknya bahkan tidak berhenti sampai di sini, kerugian material dan moral pun tak dapat dihitung, misalnya terjadinya bencana banjir, akan berdampak bagi penyebaran berbagai macam penyakit seperti diare atau gatal-gatal. Akibat serangan berbagai penyakit itu, maka program peningkatan kualitas kehidupan yang mandiri pun terganggu. Budaya hidup bersih akhirnya hanya sebatas ”slogan” belaka. Hidup bersih padahal merupakan prasyarat untuk terciptanya hidup sehat. Akhirnya, karena hal ini tidak disadari oleh manusia itu sendiri, kesejahteraan kehidupan manusia tidak akan tercapai. Kesehatan lingkungan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap manusia, keseimbangan ekologi, dan sumber daya alam. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa kesehatan lingkungan meyangkut 17 faktor, antara lain, air, barang bekas/sampah, makanan dan minuman, perumahan, dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, maka lingkungan akhirnya tak lagi menjadi ”sahabat” bagi manusia. Masyarakat jadi terbiasa dengan hidup yang tak bersih. Di Jakarta misalnya, dari 300 ton sampah yang mengaliri tiga belas sungainya, 67 persen adalah sampah keluarga. Artinya, masyarakat cenderung tidak peduli dan seenaknya saja membuang sampah-sampah ke sungai. Air yang telah menghitam dan berbau akibat berbagai sampah dan limbah (pabrik dan rumah tangga) tersebut padahal masih dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Ibu Kota untuk keperluan rumah tangga seperti mencuci, mandi, air minum, dan lain sebagainya. Polusi Udara Bagi kota-kota besar di Indonesia, udara yang kotor dan pengap merupakan pemandangan sehari-hari. Cerobong pabrik dan cerobong knalpot kendaraan tanpa henti membuang asapnya ke udara. Menurut World Bank, 70 persen sumber pencemar berasal dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Dengan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang tinggi menyebabkan pencemaran udara di Indonesia menjadi sangat serius. Saat ini terdapat lebih dari 20 juta unit kendaraan bermotor di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 4 juta unit diantaranya berseliweran di jalanan Jakarta. Kajian JICA (Japan International Cooperation Agency) tahun 1996 menyebutkan bahwa penyumbang zat-zat pencemar terbesar di Jakarta adalah kendaraan pribadi. Zat-zat pencemar tersebut diantaranya karbon monoksida (CO) sebesar 58 persen, nitrogen oksida (Nox) 54 persen, hidrokarbon 88,8 persen, dan timbel (Pb) 90 persen. Zat pencemar lain adalah sulfur oksida (Sox) yang banyak disumbangkan oleh kendaraan bus, truk, dan kendaraan berbahan bakar solar lainnya, sekitar 35 persen. Sekjen Sustran Network for Asia and the Pacific (Jaringan Kegiatan Transportasi Berkelanjutan untuk Asia dan Pasifik) Bambang Susantono mengatakan gaya hidup masyarakat perkotaan dan perilaku ugal-ugalan dalam berkendaraan ikut mempengaruhi tingginya tingkat pencemaran udara di Jakarta. Gaya hidup boros itu terlihat dari kebiasaan menggunakan satu mobil untuk tiap anggota keluarga. Hal itu menyebabkan pemborosan pemakaian BBM, dan akhirnya berdampak pada pencemaran udara. Kondisi demikian diperparah tidak seimbangnya antara pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dengan pertambahan jalan raya. Pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar Indonesia berkisar antara 8-12 persen per tahun, sedang pertambahan jalan raya hanya 3-5 persen saja. Keadaan ini mengakibatkan kemacetan di jalan-jalan yang akhirnya polusi udara

juga meningkat, apalagi emisi gas buang kendaraan bermotor yang langsam dan merayap (macet) berbeda 12 kalinya dibanding saat kendaraan berjalan normal atau lancar. Berbagai zat pencemar yang beterbangan di udara tersebut akan sangat merugikan dan berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungannya. Akibat ini secara nyata sudah dirasakan oleh masyarakat, sebagai contoh, efek toksik pada timbel dapat mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernakan, dan sistem saraf. Kandungan timbel juga menurunkan tingkat kecerdasan atau IQ terutama pada anak-anak, menurunkan fertilitas dan kualitas spermatozoa. Gangguan kesehatan akibat zat-zat pencemar seperti gangguan pada syaraf dan ketidak-nyamanan kini menghantui masyarakat kita, apalagi WHO memperkirakan 800.000 kematian pertahun di dunia diakibatkan polusi udara. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Mabes Polri dan FKUI pada tahun 1995 juga mengungkapkan besarnya pengaruh timbel (Pb) dari emisi kendaraan bermotor terhadap kualitas air mani polisi lalu lintas di Jakarta. Penelitian itu melibatkan 232 orang polisi lalu lintas yang bekerja di tepi jalan raya dibandingkan dengan 58 orang polisi lalu lintas yang bekerja di kantor. Dari pengukuran timbel udara lingkungan kerja mempunyai nilai rata-rata 77,5 ug Pb/m3 udara. Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai baku lingkungan (60 ug Pb/m3 udara). Hasil pengukuran timbel urine secara keseluruhan 266,5 ug Pb/I urine, juga lebih tinggi dari yang diperbolehkan, yakni 65 ug Pb/I urine. Temuan kualitas air mani pada penelitian itu, jika dibandingkan standar baku WHO (standar normal), derajat keasaman (pH) semen (air mani) mempunyai nilai lebih besar dari standar normal (8,4 vs 7,2-7,8). Penelitian ini juga menemukan bahwa kadar timbel di udara atmosfer yang padat lalu lintas di jalan raya mempunyai nilai rata-rata 78,9 ug Pb/m3, lebih tinggi dibandingkan dengan kadar timbel udara di kantor Polda Metro Jaya (69,1 ug Pb/m3), namun keduanya masih lebih tinggi dari kualitas standar udara WHO (30-60 ug Pb/m3). Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 di Surabaya oleh UI dan GTZ juga tidak kalah mengkhawatirkan bahkan lebih mencengangkan. Dari penelitian yang melibatkan 94 ibu hamil itu, diketahui kadar timbel dalam darah sebesar 42 Ug/dL yang jauh melebihi ambang batas yaitu 20 Ug/dL. Demikian juga analisis yang dilakukan terhadap air susu mereka, diperoleh hasil kadar timbel sebesar 54 Ug/dL, atau lebih dari 10 kali lipat ambang batas yang diizinkan, yakni 0,5 Ug/Dl. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Brigham Young dan Universitas New York seperti dimuat pada jurnal The American Medical Association, dengan melibatkan data kesehatan 500.000 penduduk urban sejak tahun 1982-1998, mengungkapkan bahwa mereka yang terpapar polusi udara jangka panjang - terutama jelaga yang dikeluarkan oleh industri dan knalpot kendaraan - meningkatkan risiko terkena kanker paru. Paparan polusi udara ini sama bahayanya dengan hidup bersama seorang perokok dan terkena asapnya setiap hari. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa kanker paru merupakan penyebab kematian tertinggi. Hampir 90% pengidap kanker paru tidak bisa diselamatkan, karena jika sudah akut, dengan mudah kanker akan menyebar ke jaringan tubuh sekelilingnya seperti hati, tulang belakang, dan otak melalui pembuluh darah. Kanker paru telah membunuh lebih dari sejuta orang setiap tahunnya, dan saat ini menjadi pembunuh utama. Anak-anak merupakan kelompok sensitif terhadap timbel karena mereka lebih peka dan lima kali lebih mudah menyerap timbel daripada orang dewasa. Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, dalam sebuah seminar tentang ”Mewaspadai Efek Kesehatan BBM dari Bensin Bertimbel” bulan Februari yang lalu, sekitar 42 sampai 48 persen anak di Jakarta menghirup timbel yang bersumber dari asap pencemaran udara. Timbel padahal bersifat persistent dalam tubuh manusia, dan memiliki sifat neurotoksik dan karsinogenik sehingga bisa mengganggu sistem saraf pusat, sistem fungsi ginjal, dan pertumbuhan tulang. Penggunaan timbel secara luas pada kendaraan bermotor mengandung risiko dan dampak bagi kesehatan, khususnya bagi kelompok penduduk yang terdiri dari anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta kaum pekerja yang terekspos timbel. Timbel sebagai bahan yang tidak dapat terurai di alam tidak akan hilang, dan akan terakumulasi di tempat-tempat deposit. Secara biologis, zat itu tidak memberi keuntungan bagi tubuh manusia, terutama kelompok

penduduk di atas. Lebih jauh, kelompok yang menghirup pencemar udara yang mengandung bahan logam atau timbel akan menimbulkan penyakit perut, muntah, atau diare akut. Gejala keracuan akut kronis bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Bebas Timbel = Bebas Polusi Udara? Dambaan masyarakat untuk hidup lebih aman di kota-kota besar khususnya Jakarta tanpa menghirup polusi udara yang mengandung timbel sempat menjadi kenyataan ketika Sonny Keraf, Menteri Negara Lingkungan Hidup kala itu, mencanangkan Jakarta bebas timbel pada 1 Juli 2001 yang lalu. Kendati demikian, pencanangan Jakarta bebas timbel bukan berarti Jakarta bebas polusi udara. Karena timbel hanyalah salah satu gas pembuangan kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara yang paing berbahaya, sedangkan sumber polusi lain yang menyelimuti udara Jakarta masih banyak. Maka wajar bila hingga kini kota Jakarta akan tetap tertutup kabut asap sisa pembuangan kendaraan bermotor, terutama angkutan umum/bus kota. Hal ini dikarenakan emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia dengan komposisi kandungannya tergantung dari kondisi mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi, serta berbagai faktor lain yang semuanya membuat pola emisi menjadi rumit. Rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam uji kelayakan kendaraan bermotor juga berdampak pada terabaikannya aspek keselamatan dan kebersihan lingkungan. Uji kelayakan itu wajib agar standardisasi kelayakan bisa dicapai. Semua ini demi keselamatan para pengguna kendaraan bermotor dan mengurai dampak lingkungan seperti emisi karbon dan polusi udara. Namun karena hingga kini belum ada sanksi yang berat bagi kendaraan bermotor yang tidak laik uji, maka masyarakat pengguna kendaraan bermotor cenderung mengabaikan uji kelaikan ini. Seharusnya bagi kendaraan yang tidak laik uji mendapatkan sanksi pencabutan izin operasinya. Di Malaysia, sanksi demikian diterapkan dengan sangat ketat, sehingga upaya hidup sehat dan aman akhirya menjadi kenyataan. Sesuai dengan SK Menperindag No. 214/MPP/Kep/7/2001 tentang Uji Publik Kendaraan Bermotor Roda Empat dan Roda Dua, uji kelayakan wajib diikuti oleh semua kendaraan bermotor. Dalam uji kelaikan tersebut, ada beberapa tes yang dilakukan terhadap kendaraan bermotor, antara lain tes uji pembebanan, jatuh lampu, emisi karbon, kebisingan, akselerasi (percepatan), pengereman, kecepatan maksimum, jalan tergenang, ban, ketahanan, BBM, dan minyak pelumas. Jika semua kendaraan bermotor patuh terhadap uji kelaikan tersebut, masyarakat akan merasa aman tidak saja dalam berkendaraan, tetapi juga kendaraan itu benarbenar bersahabat dengan lingkungan. Dalam upaya pengendalian terhadap emisi gas-gas pencemar di atas, Indonesia harus segera meratifikasi aturan baru mengenai ambang batas kandungan emisi gas buang kendaraan bermotor. Langkah ini diperlukan untuk mendorong percepatan penghapusan bensin bertimbel. Saat ini, Indonesia masih menggunakan aturan ambang batas emisi yang dibuat tahun 1993. Ini tentunya sangat bertolak belakang dengan negara-negara lain yang sudah terlebih dulu menerapkan aturan baru seperti Euro 1 dan Euro 2. Terlambatnya pemerintah menyesuaikan aturan ambang batas sebagaimana negara-negara lain, konsekuensi yang harus ditanggung pemerintah adalah sulitnya menindak kendaraan yang tidak lulus uji emisi. Selain itu, pemerintah harus lebih mendorong masyarakat untuk memanfaatkan energi alternatif yang ramah lingkungan seperti BBG dan LPG . Pemerintah juga harus meningkatkan mutu bahan bakar yang dipasarkan di Indonesia. Peningkatan mutu bahan bakar minyak (BBM) terutama bensin dan solar memang mendesak untuk dilakukan. Bensin misalnya, kendati di Jakarta sudah bebas timbel, secara keseluruhan masih mengandung olefin dalam jumlah jauh lebih tinggi dari yang direkomendasikan dan juga solar yang masih mengandung belerang (sulfur). Menurut rekomendasi World Wide Fuel Charter (WWFC), kadar olefin dalam bensin maksimal 18% dan sulfur dalam solar maksimal 0,005%. Sedangkan di Indonesia, kandungan olefin dalam bensin masih mencapai 35% dan belerang 0,5%. Tingginya kandungan olefin ini mengakibatkan munculnya kerak pada sistem penyaluran bahan bakar dan ruang bakar kendaraan. Akibatnya,

pembakaran dalam mesin berlangsung tidak sempurna, sehingga meningkatkan pencemaran senyawa karbon monoksida, nitrogen oksida, dan senyawa hidrokarbon lainnya. Dengan demikian, hilangnya kandungan timbel dalam bensin tidak otomatis menghilangkan pencemaran udara di Jakarta. Berbagai senyawa pencemar berbahaya setiap saat mengintai masyarakat. Untuk itu perlu segera adanya langkah antisipatif dari berbagai kalangan sebelum seluruh masyarakat kita mengidap penyakit yang akan mengakibatkan berbagai macam dampak negatif. Penerapan bensin tanpa timbel, ambang batas emisi kendaraan bermotor, uji kelaikan kendaraan bermotor, pemasyarakatan bahan bakar ramah lingkungan, dan perbaikan mutu bahan bakar kendaraan bermotor harus segera direalisasikan. Ini merupakan tantangan khususnya pemerintah dalam upaya menjamin kehidupan yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya. Sedangkan bagi masyarakat, hindari pola hidup boros dengan membiasakan diri untuk memanfaatkan angkutan umum dalam bepergian sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas agar beban kota dalam menampung polusi dari asap kendaraan dapat berkurang. Dengan membiasakan untuk selalu membudayakan hidup bersih, berarti ikut memberikan udara yang bersih bagi anak-anak kita dan mengurangi risiko bagi semua lapisan masyarakat akan dampak polusi udara bagi kesehatan. Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan staf SKEPHI Jakarta.

Jakarta selepas hujan diselimuti kabut. Terutama di sore hari. Terlihat dingin dan adem. Tapi jangan salah sangka. Itu bukan kabut alamiah. Kabut “buatan” yang berasal dari sisa pembakaran kendaraan bermotor anda. Data Kompas menunjukkan sebesar 2-3 juta mobil berada di Kota Jakarta pada jam-jam kantor, dan sebesar 3-4 juta untuk motor. Jika separuh saja dari jumlah kendaraan bermotor tersebut menderu pada saat yang sama, berapa juta karbon monoksida (CO), nitrooksida (NOx), dan hidrokabon (HC) yang melayang-layang mencari mangsa di udara kota? Ketiga jenis gas tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan. CO adalah gas beracun yang apabila terhirup berlebihan bisa menyebabkan kematian mendadak. Masih ingat peristiwa Mobil Mercy Pak Kyai beberapa bulan lalu? Kebocoran pada pipa knalpot berujung maut. Sisa pembakaran yang mengandung CO segera mencabuit nyawa seisi penumpang, berikut supirnya. NOx dan HC sama beracunnya. Keduanya merusak paru-paru sedikit demi sedikit. Anda tentu tidak inginkan paru-paru bocor setelah sekian lama beraktivitas di jalan raya. Gejala kabut di sore hari dan selepas hujan adalah fenomena kimiawi beracun di angkasa kota Anda. Penyebabnya adalah dua jenis gar beracun ini. Jika volume gas NOx dan HC sudah demikian berat menggelayut di angkasa, maka hujan asam akan terjadi pula di atas atmosfir.Itu belum bicara soal ozon. Sebagai informasi saja, pemanasan bumi saat ini (global warming) sudah menjadi kampanye internasional para aktivis dan pemerintah yang punya perhatian terhadap kerusakan lapisan pengaman bumi ini. Lapisan ozon merupakan pelindung di atmosfir kita yang mencegah pemanasan bumi dan mengurangi dampak sinar matahari yang bisa membahayakan kesehatan. Jika pemanasan bumi terus meningkat, maka permukaan laut akan meningkat akibat melelehnya salju abadi di kutubkutub bumi. Sementara sinar ultraviolet dari matahari yang tidak terfiletr dengan baik oleh ozon bisa menyebabkan berbagai penyakit. Antara lain berupa kanke

kulit yang akut. Faktanya, lubang ozon saat ini semakin melebar, dan upaya mencegahnya belumlah secepat dan sebesar tindakan merusak oleh tangan manusia. Bahaya akibat racun sisa pembakaran dan pemanasan global demikian memaksa otoritas transportasi untuk menerbitkan regulasi terkait dengan pembatasan polusi di dunia. Saat ini pembatasan telah dibuat dengan ketat oleh berbagai institusi. Paling getol dan terkenal adalah The Euro Emission Regulation, US EPA, dan juga di Jepang dan Asia umumnya dengan aturannya masing-masing. Perbedaan penerapan standar pembatasan ambang polusi di berbagai negara mengacu ke salah satu standar yang sudah ada. Untuk kasus Indonesia, dipakai standar Euro. Mulai Euro I, lalu kemudian Euro II sejak 2004. Sementara di negara-negara Eropa sana, sudah dipakai standar Euro III ke atas. Beberapa kendaraan mewah seperti Sedan Hi-Class, sudah mengadopsi standar Euro V. Bagi kita negara dengan seribu masalah, konsen mengenai polusi masih kecil sekali. Baru belakangan pihak pemerintah meregulasi standar polusi kendaraan bermotor. Namun dari yang banyak kita baca di media dan dengarkan dari para pemakai kendaraan, infrastruktur pendukung dan law inforcement masih sangat rendah. Ujung-ujungnya, aturan tidak jalan dan para penguna kendaraan bermotor cuek-bebek. Padahal masalah polusi pada akhirnya adalah masalah bersama. Jika bukan diri sendiri, ya keluarga anda! Bagi seorang bikers, di ujung semua ini, adalah ancaman bagi kesehatan. Sebab bikers merupakan orang yang lama, kalau bukan yang terlama, menghirup gas beracun di jalan raya.

Cognitivism has two major components, one methodological, the other theoretical. Methodologically, cognitivism adopts a positivist approach and the belief that psychology can be (in principle) fully explained by the use of experiment, measurement and the scientific method.[citation needed] This is also largely a reductionist goal, with the belief that individual components of mental function (the 'cognitive architecture') can be identified and meaningfully understood.[citation needed] The second is the belief that cognition consists of discrete, internal mental states (representations or symbols) whose manipulation can be described in terms of rules or algorithms.[citation needed] Cognitivism became the dominant force in psychology in the late-20th century, replacing behaviorism as the most popular paradigm for understanding mental function. Cognitive psychology is not a wholesale refutation of behaviorism, but rather an expansion that accepts that mental states exist. This was due to the increasing criticism towards the end of the 1950s of behaviorist models. One of the most notable criticisms was Chomsky's argument that language could not be acquired purely through conditioning, and must be at least partly explained by the existence of internal mental states. The main issues that interest cognitive psychologists are the inner mechanisms of human thought and the processes of knowing. Cognitive psychologists have attempted to throw light on the alleged mental structures that stand in a causal relationship to our physical actions. Behaviorism or Behaviourism, also called the learning perspective (where any physical action is a behavior) is a philosophy of psychology based on the proposition that all things which organisms do — including acting, thinking and feeling—can and should be regarded as behaviors.[1] The school of psychology maintains that behaviors as such can be described scientifically without recourse either to internal physiological events or to hypothetical constructs such as the mind.[2] Behaviorism comprises the position that all theories should have observational correlates but that there are no philosophical differences between publicly observable processes (such as actions) and privately observable processes (such as thinking and feeling).[3] From early psychology in the 19th century, the behaviorist school of thought ran concurrently and shared commonalities with the psychoanalytic and Gestalt movements in psychology into the 20th century; but also differed from the mental philosophy of the Gestalt psychologists in critical ways.[citation needed] Its main influences were Ivan Pavlov, who investigated classical conditioning, Edward Lee Thorndike, John B. Watson who rejected introspective methods and sought to restrict psychology to experimental methods, and B.F. Skinner who conducted research on operant conditioning. [3] In the second half of the twentieth century, behaviorism was largely eclipsed as a result of the cognitive revolution. Behaviorism or Behaviourism, also called the learning perspective (where any physical action is a behavior) is a philosophy of psychology based on the proposition that all things which organisms do — including acting, thinking and feeling—can and should be regarded as behaviors.[1] The school of psychology maintains that behaviors as such

can be described scientifically without recourse either to internal physiological events or to hypothetical constructs such as the mind.[2] Behaviorism comprises the position that all theories should have observational correlates but that there are no philosophical differences between publicly observable processes (such as actions) and privately observable processes (such as thinking and feeling).[3] From early psychology in the 19th century, the behaviorist school of thought ran concurrently and shared commonalities with the psychoanalytic and Gestalt movements in psychology into the 20th century; but also differed from the mental philosophy of the Gestalt psychologists in critical ways.[citation needed] Its main influences were Ivan Pavlov, who investigated classical conditioning, Edward Lee Thorndike, John B. Watson who rejected introspective methods and sought to restrict psychology to experimental methods, and B.F. Skinner who conducted research on operant conditioning. [3] In the second half of the twentieth century, behaviorism was largely eclipsed as a result of the cognitive revolution.

Related Documents