Wayang Mitos Dan Realitas

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wayang Mitos Dan Realitas as PDF for free.

More details

  • Words: 1,130
  • Pages: 3
Catatan dari Asian Puppetry Gathering

HARMONISASI DUNIA DAN WAYANG ASIA: MITOS ATAU REALITAS?

Cin Pratipa Hapsarin

Pada pertemuan Asian Puppetry Gathering yang berlangsung pada Senin, 14 Desember 2008 kemarin, masing-masing delegasi dari India, Cina dan Jepang memberi gambaran tentang perkembangan wayang yang ada di negara mereka. Forum berjalan sangat menarik dan dibuka oleh perwakilan India, Madamme Ranjana Pandey. Presiden Unima, Ranjana Pandey menjelaskan jika pada prinsipnya wayang India tidak berbeda dengan wayang yang dikenal di Indonesia atau Thailand, terutama karena negaranegara ini memiliki kesamaan budaya. Wayang mulanya dikenal melalui cara oral atau lisan. Di India sendiri terdapat 18-20 semacam varian tradisi yang digunakan dalam pertunjukan wayang dan tiap varian selalu memiliki identitas atau ciri yang khas, termasuk bahasa maupun warnanya yang beragam. Masing-masing wilayah di India sendiri memiliki perbedaan. Misalkan saja daerah India Selatan, di sana shadow puppet lebih diminati, sementara di wilayah utara dan timur, string dan rod puppets yang menjadi pilihan. Bahkan untuk shadow puppet di India Selatan, Ranjana melihat ada koneksi yang sangat kuat dengan wayang kulit yang dikenal di Indonesia maupun Kamboja. Baik itu dari segi cerita dan komposisinya. Ranjana menafsir bahwa koneksi ini merupakan efek globalisasi yang terjadi pada masa-masa awal masehi. Globalisasi di sini dibaca Ranjana sebagai kegiatan pertukaran budaya yang terjadi karena mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain yang dilakukan melalui jalan perdagangan, syiar maupun misi-misi politis. Sejak tahun 1950, teater boneka India berhasil memikat hati generasi baru di India sebab kelompok-kelompok ini jauh lebih terbuka terhadap Barat. Selain itu kelopok ini sanggup mengikuti trend dunia maupun cepat merespon tema-tema baru yang berkembang. Karena keadaan inilah maka sekitar tahun 1960, baik pemerintah maupun kelompok-kelompok NGO India turut menggunakan puppetry sebagai salah satu media campaign mereka. Kasus yang sama terjadi di Cina. Di sana pemerintah dan maupun swasta sama-sama memainkan peran aktif untuk mengelola jenis kesenian ini. Bahkan di Cina, wayang sangat dilindungi sebagai salah satu kekayaan budaya nasional mereka. Namun sebagaimana umum terjadi, sebenarnya wayang di India maupun di wilayah lain juga mengalami gerusan dari budaya pop. Ini menjadi semacam situasi yang tidak tertolakkan. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah mencari jalan keluar lewat strategi budaya dan hal ini bukanlah tidak mungkin untuk dilakukan, meskipun juga tidak mudah. Khusus di India, ada beberapa nama yang dianggap berhasil untuk menyiasati problem-problem tersebut. Misalkan saja, Pooran Bhatt yang berhasil mengembangkan wayang kontemporer, lalu Bhaskar Kogga Kamath yang berhasil mendirikan sekolah dan museum dan Chidambra Rao yang mampu mengkolaborasikan pertunjukan wayang dengan animasi. Sementara di

Cina, beberapa lembaga atau pusat-pusat kebudayaan sengaja didirikan dengan maksud untuk menopang ide-ide pengembangan tersebut. Misalkan saja Shanghai Puppetter Center yang terdapat di Universitas Shanghai. Di sana mereka mengundang siswa dari seluruh negri untuk mendalami wayang. Mereka juga kerap mengudang ahli-ahli wayang dari dalam maupun luar negri untuk bicara dalam forum-forum yang mereka selenggarakan. Orang-orang yang tertarik dengan wayang bisa menampilkan pertunjukan mereka di sana. Tidak hanya itu, China Puppetry Center bahkan memiliki kompetisi periodik yang mirip dengan penganugerahan Oscar Award bagi dalang maupun seniman pertunjukan lain yang terlibat. Meski beberapa jalan sudah ditempuh tapi tidak serta merta juga jika permasalahan mengenai wayang ini menjadi dapat teratasi. Revitalisasi wayang memerlukan strategi yang lebih jitu. Forum juga mencoba membahas masalah ini. Antusiasme datang dari Danny Liwanag, Director of the Puppeteer Association of the Philippines. Danny menanyakan kepada forum strategi apakah yang dapat digunakan untuk memenangkan ‘pertarungan budaya’ itu. Di Filipina, wayang menjadi booming setelah Dr. Jose Rizal memainkan Carillo, sebuah pertunjukan shadow puppet pada tahun 1898. Namun hari ini wayang tergusur. Industri anime Jepang misalkan, jauh lebih diminati anak-anak Filipina ketimbang wayang. Berangkat dari permasalah tersebut Danny meminta Ranjana Pandey untuk menjelaskan lebih detail tentang pembentukan karakter tokoh wayang bagi anak-anak. Pertanyaan ini diajukan Danny setelah Ranjane Pandey menjelaskan keberhasilan wayang India ketika ia harus melakukan sinergi dengan teknologi. Hari ini wayang India memang berhasil melakukan metamorfosa. Mereka merambah industri televisi, sinema, baik dalam tampilan tradisional maupun lewat teknologi animasi. Menjawab permasalah ini Ranjana Pandey mengingatkan bahwa struktur atau sistem budaya di tiap wilayah selalu memiliki ciri berbeda. Penentuan karakter ataupun strategi untuk memenangkan wacana akan ditentukan oleh masing-masing kultur. Bagaimana konteks sosiohistoris maupun perkembangan masing-masing masyarakat ditiap-tiap negaralah yang harus menjadi acuan. Tolak ukur ini penting karena tanpa pemahaman yang cukup, strategi budaya macam apapun tidak akan mampu menjawab permasalahan yang ada. Yang cukup menolong adalah, posisi wayang di India tampaknya sudah cukup mengakar. Wayang hadir dalam setiap ritual adat, pesta kelahiran maupun festival yang sifatnya umum (bukan semata festival budaya). Artinya, India memang berada dalam level yang berbeda dengan Filipina, misalkan, ketika bicara mengenai pengembangan wayang. Wayang India bukan lagi sub-kultur yang berdiri dalam posisi budaya tanding yang harus memenangkan pertarungan dengan wacana dominan. Kultur yang sama tidak ditemui di Filipina karena sebagaimana diketahui pengaruh peradaban Hindus tidak sekeras yang pernah terjadi di Indonesia, misalkan. Sejarah Filipina lebih didominasi oleh kebudayaan western, khususnya Katolik yang dibawa masuk oleh Spanyol, dan di sisi lain Amerika dikemudian hari. Kenyataan ini membuat Filipina harus bekerja lebih keras seandainya mereka memang benar-benar berhasrat mendudukkan wayang sebagai salah satu kesenian yang penting. Kasus Filipina ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Jepang. Masyarakat Jepang hampir-hampir tidak mengenal jenis kesenian ini. Wayang kalah bersaing dengan anime, butoh, kabuki, origami, ataupun bentuk kesenian dan kebudayaan Jepang lainnya. Wayang di Jepang masih dipertunjukkan dalam ruang yang terbatas, misalkan saja di

rumah sakit. Seandainya ditampilkan sebagai bagian pertunjukan teater modern pun harga tiket yang ditarik terhitung mahal sehingga jenis kesenian ini cenderung eksklusif. Wakil delegasi Jepang menjelaskan bahwa mereka masih berada ditahap awal untuk memperkenalkan wayang kepada masyarakat. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan membuat free magazine yang bekerja sama dengan industri advertising atau industri lainnya. Di Cina sendiri, ketakutan macam ini sedikit tereliminasi. Selain didukung oleh peradaban dan struktur mitologi kebudayaan yang kuat, tampaknya ada upaya yang cukup serius untuk memperkenalkan wayang kepada anak-anak sejak usia dini. Dalam pernyataannya, wakil dari delegasi Cina mengatakan bahwa wayang harus dipertahankan sampai di masa depan. Cina memiliki banyak anak-anak dan wayang harus ditunjukkan kepada mereka. Untuk itu delegasi Cina mengundang semua pihak untuk datang dan mempertunjukkan wayang di sana. Selain itu mereka juga mengingatkan pentingnya forum diskusi, workshop ataupun seminar untuk membahas masalah ini. Diharapkan kerjasama antar berbagai elemen baik ditingkatan regional maupun tingkatan yang lebih luas dapat memberi kontribusi penting bagi perkembangan wayang. Pertemuan ini sendiri ditutup kesepakatan untuk membuat kerjasama. Pembuatan sanggar, pertukaran pertunjukan antar negara maupun pertukaran informasi untuk mendukung perkembangan wayang ditiap-tiap negara merupakan agenda utama dan mendesak untuk segera direalisasikan. Dengan kerjasama ini diharapkan hubungan antar negara maupun keterikatan kultural masyarakat di wilayah ini dapat terjalin lebih kondusif. Hal utama yang digarisbawahi adalah mendorong terbentuknya harmonisasi dan kedamaian dunia malalui wayang. Sebuah cita-cita mulia yang memerlukan kerja keras bersama agar ia tidak semata menjadi mitos atau bunga tidur belaka...

Related Documents

Mitos
May 2020 31
Wayang Jawa.docx
May 2020 19
Mitos
October 2019 43