KONSEP MASLAHAH AL-GHAZALI 0leh : M. Kurdi Fadal
Al-Ghazali dan Sejarah Hidupnya Imam al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i lahir pada tahun 450 H / 1058 M di bandat Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran). Beliau berjuluk Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Nisbat ”al-Ghazali” dikaitkan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah, sedangkan nisbat ”at-Thusi” dihubungkan dengan tempat kelahirannya yaitu di Bandar Thus, Khurasan. Adapun gelar ”asy-Syafi'i” menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Al-Ghazali berasal dari keluarga yang tidak mampu, namun ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi agar anaknya menjadi orang alim dan saleh. Sejak kecil beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Keinginan ayahnya ternyata terkabul. Al-Ghazali menjadi sosok muslim yang sangat kuat beribadah, berprilaku wara’, zuhud, dan tidak gemar pada kemewahan. Sebaliknya, beliau benci sifat riya’, bermegah-megah (tafākhur), sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela lainnya. Di bidang keilmuan, beliau giat dan tekun dalam belajar sejak masih sangat muda, sehingga pada pendidikan tingkat dasar beliau pernah mendapatkan beasiswa pendidikan dari beberapa orang guru. Sebagai dasar untuk mendalami berbagai bidang ilmu al-Ghazali belajar bahasa Bahasa Arab dan Persi sampai dia menguasai kedua bahasa tersebut dengan fasih. Di samping itu, minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, fikih, usul fiqih, dan filsafat. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan dan beliau sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bersafari dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengambaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah. Dalam pengembaraannya, beliau melanjutkan studinya mengaji kepada Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Haramaim di Naisabur. Dari merekalah beliau
1
mempelajari segala pendapat empat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut walaupun pada akhirnya alGhazali lebih menyukai mazhab Syafi’i sebagai landasan fikinya.
Pada perkembangan berikutnya, al-Ghazali tampil sebagai sosok ulama yang mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah, ahli fikir, faqih, ushuli, teolog, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Sehingga pada abad Pertengahan di dunia Barat
beliau dikenal sebagai Algazel dan di dunia Islam digelari dengan Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat peradaban Islam saat itu. Hingga pada tahun 484 Hijrah, beliau diangkat sebagai
Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 4 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus di tempat di mana dulu dilahirkan, dan dikebumikan di tempat kelahirannya tersebut. Al-Ghazali dan Konsep Maslahah Maslahah berarti terciptanya kebaikan (kedamaian, ketentraman) dan terhindarnya segala macam madharrah (bahaya) dalam kehidupan manusia. Berarti terwujudnya maslahah dapat diukur dari terciptanya dua poin tersebut. Jika tercipta kebaikan berarti hal itu maslahah. Sebailknya jika terjadi berjadi bahaya, ketimpangan, ketidakadilan dsb berarti tidak maslahah. Ide pokok al-Ghazali tentang teori maslahah adalah Maqashid. Menurutnya, hukum Allah (syariat) yang termaktub dalam Qur’an dan Hadis secara umum memiliki rasionalitas hukum (ta’lil ahkam). Artinya setiap ketentuan yang diberikan Tuhan tentu memiliki tujuan tertentu. Melalui maqasid, ide pokok Tuhan yang tersembunyi di balik firman-firman tertulis-Nya dapat dijadikan key word / landasan untuk memahami apa sebenarnya yang diinginkan Tuhan dari setiap aturan yang telah ditetapkan untuk para makhluk-Nya. Dan selanjutnya masalah-masalah yang tidak tercover secara tekstual dapat diidentifikasi pula. Namun, bagi Ghazali, maslahah yang harus kita perjuangkan adalah tujuan atau maslahah manurut pandangan Tuhan. Namun tujuan itu bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri, melainkan untuk kemaslahatan dan kebaikan umat manusia dalam menjalani hidup di dunia hingga di akhirat kelak. Tujuan Tuhan untuk manusia yang dimaksud adalah terealisasinya perlindungan terhadap lima prinsip dasar: agama, jiwa, akal/intelek, keturunan / nasab dan
2
harta / ekonomi. Dalam sebuah karyanya, Al-Ghazali menyatakan :
وصلح الخلق فصصي تحصصصيل,إن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق ومقصصصود, لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشصصرع,مقاصدهم وهو أن يحفظ عليهصصم دينهصصم وأنفسصصهم وعقلهصصم:الشرع من الخلق خمسة وكصصل,فكل ما يتضمن هذه الصول الخمسة فهصصو مصصصلحة,ونسلهم ومالهم .ما يفوت هذه الصول الخمسة فهو مفسدة ودفعها مصلحة ”Bahwa menggapai manfaat (kemaslahatan) dan menolak bahaya merupakan tujuan dari kehidupan manusia. Kemaslahatan manusia tersebut ada pada pencapaian semua maksud mereka. Namun yang dijadikan parameter sebuah kemaslahatan adalah kemaslahatan yang sesuai maksud syara’. Tujuan syara’ untuk kemaslahatan manusia ada pada lima dimensi: (1) perlindungan terhadap agama; (2) jiwa; (3) akal/intelek, (4) keturunan, keluarga; dan (5) harta, ekonomi. Maka setiap hal yang mencerminkan adanya perlindungan terhadap kelima prinsip tersebut disebut sebagai maslahah, sebaliknya setiap tindakan yang dapat menafikannya dianggap mafsadah, dan menghindari mafsadah berarti maslahah.” (Mustashfa: 1/ 287) Kelima bentuk maslahah tersebut menjadi prinsip dasar yang harus senantiasa diperjuangkan dalam kehidupan manusia, siapapun, di manapun dan kapanpun. Prinsip ini bahkan bukan hanya ada pada agama yang dibawa Nabi Muhammad dengan kitab Al-Qur’an, namun juga menjadi pedoman dalam syariat dan agama (milal) yang lain. Menurut Ghazali, setiap agama tidak mungkin melegalkan atau menjustifikasi tindakan kufur, pembunuhan, pencurian, mengkonsumsi hal-hal yang dapat memabukkan atau mengganggu fungsi akal (meski dalam ukuran tertentu tetap dibolehkan). Di samping maslahah primer (dlarūriyah), maslahah lain yang juga perlu diperhatikan dalam kehidupan umat adalah maslahah yang bersifat sekunder (hajiyyat) dan tertier (tahsīniyyat), meski kedua maslahah tersebut tidak semendesak yang pertama (dlarūryat) untuk mendapatkan perhatian. Maslahah dipandang dari adanya legalitas atau tidaknya dari Syari’ (Allah dan Rasul) dibagi menjadi tiga: a. Muaşşir. Artinya kemaslahatan yang dijelaskan secara langsung dalam Qur’an. b. Mulghā. Maslahah yang tidak memiliki rujukan jelas (secara langsung) di dalam teks Qur’an dan Sunnah Nabi. c. Mursal. Maslahah yang sebenarnya tidak dinyatakan
3
langsung dalam teks namun memiliki kesesuaian spirit dengan maslahah yang dijelaskan secara tekstual dalam nash. Pertentangan Nash dan Maslahah Dalam kitab al-Mustashfa Al-Ghazali menyatakan bahwa kemaslahatan dan kebaikan manusia dapat dijadikan pedoman jika apabila sesuai dengan maksud Tuhan. Maksud Tuhan tersebut berupa pengapaian terhadap lima prinsip dasar dharuriyat alkhams. Jika tidak sesuai dengan ketentuan tersebut atau bertentangan dengan nash, maka maslahah tidak bisa dipertahankan dan dianggap sebagai maslahah yang sia-sia (mulghā) belaka. Al-Ghazali menetapkan beberapa syarat maslahah bisa dijadikan pijakan: 1. Tidak bertentangan dengan nash qat’i, sebab, bagi Ghazali, maslahah (yakni maslahah Mursalah) tidak bisa dipertentangkan dengan dengan nash yang qat’i. Sebab posisi nash lebih kuat dari maslahah mursalah. Berbeda dengan nash dzanni. Bagi Ghazali, ketika maslahah bertentangan dengan nash dalam kriteria ini, maka maslahah yang harus dijadikan pilihan tanpa menafikan sama sekali terhadap teks. Dengan kata lain, maslahah dapat mentakhsis terhadap teks; 2. Sebagai maslahah yang bersifat universal, bukan maslahah yang bersifat lokal; 3. Diyakini atau diduga kuat akan benar-benar mencerminkan kemaslahatan, bukan maslahah eutopis, praduga, atau belaka; 4. Dan termasuk kategori kepentingan primer (al-dlaruriyat alkhams), bukan maslahah yang bersifat sekunder (hajiyat) apalagi tertier (tahsiniyat). Konsep ushul fiqh-maslahah yang ditawarkan Ghazali sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Dalam kitab ushulnya yang perdana, al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul, Ghazali pada awalnya hanya meresume ide-ide gurunya, al-Juwaini (lebih dikenal dengan julukan Imam al-Haramain, Imam Mekah-Madinah). Namun kemudian al-Ghazali meramu dan mengembangkan ide-ide hasil pengajian privatnya tersebut secara cerdas yang kemudian dituangkan dalam kitab Syifā’ al-Ghalil dan kemudian lebih disempurnakan lagi dalam kitab al-Mustashfā.
4