Ulil Amri yang Wajib Ditaati Selasa, 12 April 2016 16:30 5 Komentar
Foto: Ilustrasi KIBLAT.NET – Belakangan ini, tema ulil amri kembali hangat diperbincangkan di sosial media. Meski sudah final dalam kajian para ulama, namun ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang belum mengerti siapa sesungguhnya ulil amri yang harus ditaati itu. Selama ini, banyak di antara mereka yang memahami bahwa ulil amri yang wajib ditaati itu adalah setiap pemimpin yang ada hari ini. Tanpa peduli, apakah pemimpin tersebut menjalankan syariat Allah ataukah tidak. Di sinilah kemudian kajian tentang ulil amri menjadi tema yang cukup urgen untuk dipahami dengan baik. Pasalnya, ketika definisi ulil amri ini tidak dipelajari dengan utuh dan benar, maka rentetan hukum berikutnya pun—hukum terkait tentang bagaimana memperlakukan pemimpin— berujung pada kesimpulan yang salah. Jadi, sebelum berbicara lebih jauh tentang persoalan hukum seputar ketaatan kepada penguasa, hal yang penting untuk dikaji terlebih dahulu adalah: 1. Apa definisi yang dihadirkan oleh para ulama tentang ulil amri. 2. Apa saja kriteria seseorang bisa disebut sebagai ulil amri atau pemimpin umat Islam. Definisi ulil amri Secara bahasa, kata ulil amri terdiri dari dua suku kata yaitu; kata uli yang bermakna memiliki dan al-amr yang bermakna memerintah. Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzur menguraikan bahwa maksud dari kata uIi adalah memiliki. Dalam bahasa Arab, masih menurut Ibnu Mandzur,
ia adalah kata tidak bisa berdiri sendiri, namun selalu harus berdampingan dengan kata yang lain (idhafah). Sedangkan definisi al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa yang mengatur pemerintahannya di antara rakyatnya.” (lihat; Lisanu Arab: 4/31) Jadi, menurut istilah, kata ulil amri dapat didefinisikan yaitu; para pemilik otoritas dalam urusan umat. Mereka adalah orang-orang yang memegang kendali semua urusan. (lihat: Al-Mufradat, 25) Siapakah yang Disebut dengan Ulil Amri? Para ulama sepakat bahwa hukum taat kepada ulil amri adalah wajib. Kaum muslimin tidak diperolehkan memberontak ulil amri meskipun dalam kepemerintahannya sering berlaku dzalim. Prinsip ini menjadi pegangan yang lahir dari salah satu pokok aqidah ahlus sunnah wal jamaah. Allah ta’ala berfirman: َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيعُوا سو َل َوأُو ِلي أاْل َ أم ِر ِم أن ُك أم ُ الر َّ َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59) Ibnu Abi ‘Izz dalam Syarah Aqidah Thahawiyah, berkata, “Hukum mentaati ulil amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) walaupun mereka berbuat dzalim. karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri.” (Lihat: Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 381) Namun kemudian muncul salah satu pertanyaan yang cukup mendasar dan perlu dijabarkan secara utuh, yaitu; siapakah yang disebut dengan ulil amri? Apakah setiap pemerintahan yang ada hari ini bisa disebut ulil amri? Ketika menjelaskan ayat di atas, para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa pandangan tentang siapakah yang dimaksud ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Imam At-Tabari dalam tafsirnya menyebutkan bahwa para ahli ta’wil berbeda pandangan mengenai siapa ulil amri yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa. Sebagian lagi menyebutkan bahwa ulil amri itu adalah ahlul ilmi wal fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat Tafsir at-Thabari, 7/176-182) Sementara itu Ibnu Katsir, setelah mengutib beberapa pandangan ulama tentang ulil amri, beliau menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah penguasa dan ulama. Lalu beliau mengatakan, “Ayat
ini merupakan perintah untuk menaati para ulama dan penguasa. Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Taatilah Allah,’ maksudnya adalah ikutilah kitab-Nya. ‘Dan taatilah Rasul’ maksudnya adalah ambillah sunnahnya. ‘Dan ulil amri di antara kalian,’ maksudnya adalah menaati perkara yang diperintahkan oleh mereka berupa ketaatan kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/136) Perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya. Namun di antara seluruh pendapat tersebut, mayoritas ulama menguatkan bahwa maksud ulil amri dalam ayat tersebut ialah para penguasa dan ulama yang memiliki otoritas dalam mengurus urusan kaum muslimin, baik urusan dunia maupun agama mereka. Imam Asy-Syaukani berkata: وكل من كانت له والية شرعية ال والية طاغوتية، والقضاة، والسالطين، اْلئمة: وأولي اْلمر هم “Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556) Imam Nawawi berkata, “Ulil amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.” (Lihat: Syarh Shahih Muslim 12/222) Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam ) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/170)
BACA JUGA Syaikh Al-Muhaisini Jelaskan Perbedaan Perlakuan Jika Pelaku Teror di Selandia Baru Muslim
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama dalam memaknai ulil amri, pertama: Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orang-orang beriman. Kedua: Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. Ketiga: Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati
Kesimpulan ini selaras dengan tujuan (maqashid) kepemimpinan itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya kepemimpinan adalah untuk mengatur kemaslahatan umat, yaitu dengan menjalankan syariat yang telah Allah gariskan dalam AlQur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dalam Islam pemimpin juga disebut sebagai pengganti peran Nabi SAW dalam menjalankan tugas kenabian. Imam Al-Mawardi berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3) Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa, “Kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam ) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikutinya.” (lihat: Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’ , hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5) Senada dengan itu, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa, “imamah (kepemimpinan) merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Al-Muqaddimah, hal. 195) Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan ulil amri adalah para pemimpin umat Islam yang mengatur pemerintahannya dengan pedoman hukum Allah, yaitu sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan para pemimpin negara yang mengatur kepemerintahannya dengan selain hukum Allah, seperti demokrasi, komunis dan sebagainya, maka tidaklah layak disebut sebagai ulil amri. Syaikh Ahmad Naqieb, salah satu da’i salafi yang berdomisili di Mesir, ketika ditanya apakah pemimpin demokrasi yang ada saat ini layak disebut ulil amri? Beliau menjawab, “Kita tidak membela kebatilan, jika demokrasi menjadi asas undang-undang sebuah kepemimpinan maka dia tidak disebut dengan waliyu syar’i (baca; ulil amri). Berhukum dengan demokrasi tidak sesuai dengan petunjuk syar’i. Akan tetapi kita menaati peraturan dia hanya demi kemaslahatannya saja.” Lalu dalam rekaman yang lain, beliau juga menjelaskan bahwa yang disebut dengan waliyus syar’i adalah pemimpin yang menegakkan syariat Islam . Inilah pemimpin yang wajib ditaati meskipun dia melakukan kedzaliman atau melampaui batas. Selama ia menegakkan syariat Islam maka dia disebut dengan waliyus syar’i. Apakah sepanjang masih salat tetap harus ditaati? Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menyebut kriteria pemimpin yang harus ditaati. Salah satunya adalah selama mereka masih menegakkan shalat. Diriwayatkan dari Muslim dari Auf bin Malik, ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: ار أَئِ َّم ِت ُك أم الَّذِينَ ت ُ أب ِغضُو َن ُه أم َويُ أب ِغضُونَ ُك أم َوت أَلعَنُونَ ُه أم ُ َو ِش َر،صلُّونَ َعلَ أي ِه أم ُ َِخي َ ُ صلُّونَ َعلَ أي ُك أم َوت َ ُ َوي،ار أَئِ َّم ِت ُك أم الَّذِينَ ت ُ ِحبُّونَ ُه أم َوي ُِحبُّونَ ُك أم َ َ ُ ُ ُ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ُ ،َ ص َالة ال م ك ي ف وا م ا ق أ ا م ال :َ ل ا ق ف ؟ أف ي س ال ب م ه ذ ب َا ن ن ال ف أ هللا ل و س ر ا ي :َ ل ي ق . م ك ن َ و ن َو َي أل َع ِ َّ ِ ِ أ ِ أ َّ ِ َ ُ َ َ ُ ِ أ َ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kita menyatakan perang kepada mereka ketika itu?’ beliau menjawab, ‘Jangan! Selama mereka mengerjakan shalat di tengah-tengah kalian’.” (HR. Muslim) Dalam lafadh lain, Rasulullah saw menyebutkan, “Sungguh akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal (kebaikan mereka, -pen.) dan kalian ingkari (kemaksiatan mereka, -pen.). Barang siapa mengingkari kemaksiatannya, dia terlepas dari tanggung jawab. Dan barang siapa membencinya, dia selamat, tetapi (yang berdosa adalah) mereka yang ridha dan mengikutinya.” Sahabat bertanya, “Bolehkah kami memerangi mereka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh, selama mereka mengerjakan shalat lima waktu bersama kalian.” (HR. Muslim) Hadis di atas menjelaskan bahwa salah satu barometer ketaatan kepada ulil amri adalah selama pemimpin tersebut masih mengerjakan shalat. Sebaliknya, ketika tidak mau melaksanakan shalat maka tidak ada lagi kewajiban bagi rakyat menaatinya. Sebab, shalat adalah salah satu pemisah antara orang mukmin dan kafir. ketika seseorang tidak mau melaksanakan shalat maka dia sudah melakukan salah satu kekufuran. Perlu dipahami bahwa pada dasarnya seorang pemimpin harus dilengserkan dari jabatannya ketika ia melakukan kekufuran. Tidak mau mengerjakan shalat hanyalah salah satu penyebab kekufuran. Lebih daripada itu, masih banyak bentuk tindakan lain yang menyebabkan seseorang menjadi kafir. Di antaranya adalah ketika ia menolak syariat Allah atau menggantikan undangundang negara dengan selain hukum Allah. Pemimpin yang tidak menegakkan syariat maka tidak layak disebut ulil amri, bahkan ia pun harus dilengserkan dari jabatannya. Sehingga dalam banyak hadis, Nabi saw membatasi kewajiban taat kepada pemimpin adalah selama mereka menegakkan hukum Allah. Nabi saw bersabda: َّ اس اتَّقُوا َّللا ٌ َّي ُم َجد ِ َّ َاب َ ام لَ ُك أم ِكت ُ ََّيا أَيُّ َها الن ٌّ َّللاَ َو ِإ أن أ ُ ِم َر َعلَ أي ُك أم َع أبدٌ َح َب ِش َ َع فَا أس َمعُوا لَهُ َوأَ ِطيعُوا َما أَق BACA JUGA Gantz Bersumpah Terus Bidik Pemimpin Hamas Jika Terpilih Jadi PM Israel “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i, 7/154, Ibnu Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani) Dalam riwayat yang lain dari Ummu Hushain Al-Ahmashiyah r.a ia berkata, “Saya melaksanakan haji bersama Rasulullah Saw di Haji Wada’…Rasulullah SAW menyabdakan banyak hal, lalu saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
ع َح ِس أبت ُ َها قَالَ أ َّ ب َّللاِ ت َ َعالَى فَا أس َمعُوا لَهُ َوأ َ ِطيعُوا ٌ َِّإ أن أ ُ ِم َر َعلَ أي ُك أم َع أبد ٌ ُم َجد ِ ت أَس َأود ُ يَقُودُ ُك أم ِب ِكت َا “Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya yang berhidung cacat—aku rasa belia mengucapkan, ‘berkulit hitam’—yang akan memimpin kalian dengan kitab Allah, maka dengar dan taatilah ia’.” (HR. Muslim) Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: َّ ُإِ َّن َهذَا أاْل َ أم َر فِي قُ َري ٍأش َال يُعَادِي ِه أم أ َ َحدٌ إِ َّال َكبَّه ََّللاُ َعلَى َوجأ ِه ِه َما أَقَا ُموا الدِين “Urusan kepemimpinan ini akan tetap berada di tangan kaum Quraisy, tidak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah seret mukanya ke neraka, asalkan mereka (kaum Quraisy itu) menegakkan agama (hukum syariah).” (HR. Al-Bukhari, no. 3500). Seluruh hadis di atas jelas menunjukkan bahwa syarat seorang pimimpin yang wajib ditaati adalah ketika ia memimpin dengan berpedoman kepada kitabullah (baca: Syariat Islam). Adapun ketika ia tidak berhukum dengan syariat Islam maka ia tidak wajib didengar dan ditaati. Bahkan kondisi yang demikian menuntut kaum muslimin untuk melengserkannya dari kepemimpinan tersebut. Sehingga Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ulya, dalam salah satu tulisannya yang di posting dalam situs Islamway.net, dengan tegas menyatakan bahwa syarat keabsahan kepemimpinan yang wajib ditaati adalah ketika mereka berhukum dengan hukum Allah. Karena, Rasulullah saw dalam beberapa riwayat di atas selalu mengaitkan ketaatan kepada pemimpin dengan syarat selama pemimpin tersebut menegakkan hukum Allah. Bagaimana dengan Pemimpin yang Tidak Menegakkan Hukum Allah Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa seorang pemimpin layak disebut ulil amri ketika ia menegakkan hukum Allah. Ketika itu, rakyat dituntut untuk taat meskipun dia berlaku dzalim terhadap mereka. Namun sebaliknya, ketika mereka mengabaikan hukum Allah, maka ia tidak bisa disebut ulil amri dan rakyat tidak wajib taat kepadanya. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kewajiban seorang imam adalah menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dan melaksanakan amanah. Kalau dia sudah melakukan itu maka wajiblah bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya serta bersedia bila diperintahkan sesuatu.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 3319 dengan isnad yang shahih). Imam Qadhy ’Iyadh menjelaskan, ”Seandainya seorang penguasa jatuh dalam kekufuran atau mengubah syariat, serta melakukan bid’ah maka tidak perlu ditaati. Dan wajib atas kaum Muslim untuk melengserkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 8/35-36) Abu Abbas Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Mufhim Syarh Shahih Muslim, (4/39) juga menegaskan, “Kalau pemimpin itu tidak mau menegakkan salah satu pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan hukum hudud, bahkan melarang pelaksanaan
itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus dilengserkan.” Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid menjelaskan, “Para pemimpin yang mengingkari syariat Allah, tidak mau berhukum dengan hukum Allah serta berhukum dengan selain hukum Allah, maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan). Dimana atas dasar tujuan tersebut ia diangkat, berhak didengar, ditaati dan tidak boleh ditentang.” Ulil amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang-orang yang menolak Islam setelah mendakwahinya, mencintai kaum muslimin dan memusuhi orang-orang kafir. Jika dia tidak menjaga agama atau tidak melaksanakan urusan kaum muslim maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya dan menggantinya dengan orang yang mampu merealisasikan tujuan kepemimpinan. Ketika Ahlis Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik— karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus shalih tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajiz Fi Aqidati al–Salaf al– Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jama’ah, hlm. 169) Dengan demikian dapat dipahami bahwa tidak semua pemimpin negara saat ini layak disebut ulil amri, karena tugas utama yang paling pokok bagi ulil amri adalah mewujudkan tujuan-tujuan kepemimpinan di dalam Islam , yaitu menegakkan agama dan mengatur rakyatnya dengan syariat Islam . Peran inilah yang kemudian ia disebut sebagai ulil amri yang wajib ditaati dan tidak boleh dilawan. Sedangkan pemimpin sekuler yang tidak menegakkan agama atau bahkan berhukum dengan undang-undang demokrasi, maka jelas tidak pantas untuk disebut ulil amri. Wallahu a’lam bis shawab! Penulis : Fakhruddin
Pemimpin Tak Berhukum Islam, Bukan Ulil Amri Tapi Mulkan Jabriyyan Oleh: Badrul Tamam, S.PdI
Peran pemimpin di dalam Islam begitu sangat urgen. Dan bahkan, Islam sangat menganjurkan adanya kepemimpinan. Terlebih lagi, Islam tidak mungkin bisa diterapkan secara total kecuali dengan adanya kepemipinan. Begitulah Islam yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dilanjutkan para khulafaur rasyidin, dan diteruskan oleh generasi sesudah mereka dalam bentuk khilafah dan daulah Islamiyah. Sedangkan tuntutan dari adanya kepemimpinan adalah ketaatan. Di dalam al-Qur'an ada sebuah ayat yang memerintahkan taat kepada pemimpin. Biasanya ayat ini sering dikutip oleh para politisi partai Islam, bahkan partai non Islam seperti partai nasionalis, terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Ayat ini juga dijadikan dalil para pendukung pemimpin thaghut. Yaitu pemimpin yang menolak syariat Islam sebagai undang-undangnya. Namun yang sangat disayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. َ سو َل َوأُو ِلي أاْل َ أم ِر ِم أن ُك أم فَ ِإ أن ت َ َن سو ِل ِإ أن ُك أنت ُ أم ُ الر َّ از أعت ُ أم فِي ش أَيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإ َلى ُ الر َّ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيعُوا َّ َّللاِ َو َّ َّللاَ َوأَ ِطيعُوا َ َ ًسنُ تَأ أ ِويل َ اَّللِ َوا أل َي أو ِم أاْلَ ِخ ِر ذَ ِلكَ خي ٌأر َوأحأ َّ ِت ُؤأ ِمنُونَ ب ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS AnNisa ayat 59) Ayat ini disebutkan oleh ulama sebagai hak para pemimpin yang menjadi kewajiban rakyat. Sedangkan pada ayat sebelumnya QS. An-Nisa': 58, sebagai hak rakyat yang menjadi kewajiban para pemimpin. Yaitu agar para pemimpin menunaikan amanat kepemimpinan dengan sebaikbaiknya. Memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum di antara rakyatnya dengan seadil-adilnya. Menurut Ustadz Ihsan Tanjung, ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye. Dan oleh para pemimpin negeri ini ayat ini juga sering disitir ketika mereka berpidato dihadapan alim ulama, ustadz, santri dan aktifis islam. tidak ketinggalan juga, para pendukung thaghut (pemimpin yang tidak memberlakukan hukum Islam) menjadikannya sebagai dalil untuk melegitimasi loyalitas dan ketaatan pada mereka. Kenapa bisa demikian? karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum (para pemimpin di antara kalian atau para pemimpin di antara orang-orang beriman). سو َل َوأُو ِلي أاْل َ أم ِر ِمن ُ الر َّ كُمأْيَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا أ َ ِطيعُوا َّ َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا ”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa ayat 59) Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah
yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat. Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman: َ ِبا ََّّللِ َوا أليَ أو ِم أ َ سنُ تَأ أ ِوي ًل َْفَ ِإ أن ت َ َن سو ِل إِ أن ُك أنت ُ أم ت ُؤأ ِمنُون َ اْل ِخ ِر ذَ ِلكَ َخي ٌأر َوأَحأ ُ الر َّ از أعت ُ أم فِي ش أَيءٍ فَ ُردُّوهُ إِ َلى َّ َّللاِ َو "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59) ...Pemimpin yang memakai konstitusi selain Al-Qur'an dan As-Sunnah, tak layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Mereka pantas dijuluki sebagai Mulkan Jabriyyan... Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah: ع ِلي ٌم َ س ِمي ٌع َ ََّللا َّ ََّّللاَ ِإن َّ سو ِل ِه َواتَّقُوا ُ َّللاِ َو َر َّ ِ َيا أ َ ُّيهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا ََل تُقَ ِ ِّد ُموا َب أينَ َي َدي ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat) Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan. Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara –baik negara mayoritas penduduknya Muslim maupun Kafir- ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Tidak kita jumpai satupun tatanan kehidupan modern yang jelas-jelas menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang intinya ialah mendahulukan berbagai ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur’an dan
As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta’aala. Bila demikian keadaannya, berarti tidak ada satupun pemimpin negeri di negara manapun yang ada dewasa ini layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Pantaslah bilamana mereka dijuluki sebagai Mulkan Jabriyyan sebagaimana Nabi shallallahu ’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu pihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika. Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya. ُ ع ُمونَ أَنَّ ُه أم آ َ َمنُوا ِب َما أ ُ أن ِز َل إِلَ أيكَ َو َما أ ُ أن ِز َل ِم أن َق أب ِلكَ يُ ِري ُدونَ أَ أن يَتَحَا َك ُموا إِلَى ال َّطا ت َوقَ أد أ ُ ِم ُروا أَ أن ُ أَلَ أم ت َ َر إِلَى ا َّل ِذينَ يَ أز ِ غو ش أي َطانُ أَ أن يُ ِضلَّ ُه أم ض ََل ًَل َب ِعيدًا َّ َي أكفُ ُروا ِب ِه َويُ ِري ُد ال ”Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS AnNisa ayat 60) Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan. َ س َ َ سا َدت َ َنا َو ُكبَ َرا َءنَا فَأ ضلُّونَا َ وَل َوقَالُوا َربَّ َنا إِنَّا أَ َط أع َنا ُ الر َّ ب ُو ُجو ُه ُه أم فِي ال َّن ِار َيقُولُونَ يَا لَ أيتَنَا أ َ َط أع َنا ُ َّيَ أو َم تُقَل َّ َّللاَ َوأَ َط أع َنا َ َ أ أ َ َ أ َ ً َ س ِب َن َ يرا ب ك ا ن ع ل م ه ن ع ل ا و ب ا ذ ع ل ا م أن ي ف ع ض م ه ت آ ا ن ب ر ِ ِ يل َ َّ ِ ِ أ ِ أ َّ ال ً ِ َ ِ َ َ ُأ أ ”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS Al-Ahzab ayat 66-68). ....Terhadap pemimpin yang menolak syariat Islam sebagai undang-undang, maka berlepas diri darinya adalah syarat syahnya keimanan...
Kita diwajibkan untuk taat kepada orang dalam perkara yang ma'ruf. Dan tidak ada ketaatan dalam hal yang munkar. Tidak ketaatan kepada makhluk dalam masalah kemaksiatan kepada Khaliq (Allah). Begitu sabda Nabi shallallahu 'alihi wasallam menjelaskan. Sebaliknya kepada kemungkaran kita diwajibkan untuk mengingkarinya dengan tangan, jika tidak mampu dengan lisan, dan jika tidak mampu wajib ingkar dengan hati. Itulah selemahlemahnya iman. Bukan malah mendukung dan membelanya. Sesungguhnya di antara macam syirik adalah syirik dalam ketaatan. Yaitu taat kepada makhluk dalam masalah penetapan syariat (aturan) yang bertentangan dengan syariat Allah, di antaranya halal dan haram. Zina diharamkan oleh Allah. Siapa yang membolehkannya dengan dilokalisasi berarti telah menghalalkan yang diharamkan Allah. Hak menetapkan syariat hanya milik Allah. Syariat yang Allah tetapkan untuk diberlakukan adalah Islam. Maka menerapkan syariat Islam adalah wajib hukumnya. Sedangkan menolak hukum Islam dan mengambil aturan selain Islam, walau itu disepakati rakyat, adalah bagian dari memberikan hak tasyri' kepada selain Allah. Itu kesyirikan dan kekufuran. ََوإِ أن أ َ َط أعت ُ ُمو ُه أم إِنَّ ُك أم لَ ُمش ِأركُون "...dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik." (QS. Al-An'am: 121) Imam as-Sudi dalam menafsiri ayat ini menjelaskan, "Sesungguhnya orang-orang musyrik berkata kepada kaum mukminin, 'bagaimana bisa kalian mengaku mengikuti keridhaan Allah, sedangkan apa yang Allah sembelih (matikan) kalian tidak mau memakannya, namun yang kalian sembelih sendiri kalian mau memakannya? Maka Allah berfirman, (artinya): "Jika kalian menaati mereka" lalu kalian memakan bangkai, "sungguh kalian telah menjadi musyrik." (lihat Tafsir Ibnu Katsir). Maka siapa yang mentaati pemimpin yang menolak syariat Islam, telah menjadikan pemimpin tadi sebagai tandingan bagi Allah dalam ketaatan. Siapa melakukannya telah menjadi musyrik. ُ ََل ا أن ِفصَا َم لَهَا فَ َم أن يَ أكفُ أر ِبال َّطا سكَ بِا ألعُ أر َو ِة ا أل ُوثأقَى ِ غو اَّلل فَقَ ِد ا أ َ ست َ أم ِ َّ ت َويُؤأ ِم أن ِب "Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus." (Q. al-Baqarah: 256) Thaghut adalah setiap yang diibadahi selain Allah dan dia ridha, di antaranya ibadah dalam bentuk ketaatan. Dia ridha, bahkan memaksa ditaati, dalam masalah yang bertentangan dengan syariat Islam. Terlebih menolak syariat Islam sebagai undang-undang. Maka berlepas diri darinya adalah syarat syahnya keimanan. Wallahu A'lam bi ash-Shawab!!!
Berikut ini adalah kumpulan fatwa yang kami nukil dari para masyayikh yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan oleh kaum muslimin yang bermanhaj Salaf, lebih-lebih mereka yang mengaku sebagai SALAFY. 1. SYAIKHUL ISLAM MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB Makna Thoghut menurut Syaikhul Islam Muhammad Bin Abdul Wahhab adalah : “Segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, diikuti dan ditaati dalam perkara‐perkara yang bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul‐Nya , sedang ia ridha dengan peribadatan tersebut”. Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab menjelaskan: “Thaghut itu sangat banyak, akan tetapi para pembesarnya ada lima, yaitu : o o o o o
Setan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Penguasa dzalim yang merubah hukum‐hukum Allah. Orang‐orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah. Sesuatu selain Allah yang mengaku mengetahui ilmu ghaib. Sesuatu selain Allah yang diibadahi dan dia ridha dengan peribadatan tersebut. 2. FATWA SYAIKH AL ALLAMAH IMAM MUHAMMAD AL AMIN ASY SYANQITI –RAHIMAHULLAH- , SYAIKH NYA PARA MASYAYIKH DAN MUFTI KERAJAAN SAUDI : وبهذه النصوص السماوية التي ذكرنا يظهر غاية الظهور أن الذين يتبعون القوانين الوضعية التي شرعها الشيطان على لسان أوليائه مخالفة لما شرعه هللا جل وعال على ألسنة رسله [عليهم الصالة والسالم] أنه ال يشك في كفرهم وشركهم إال من طمس هللا بصيرته وأعماه عن نور الوحي… فتحكيم هذا النظام في أنفس المجتمع وأموالهم كفر بخالق السموات واْلرض وتمرد على نظام السماء الذي وضعه من خلق،وأعراضهم وأنسابهم وعقولهم وأديانهم )84 -83 صـ4الخالئق كلها وهو أعلم بمصالحها سبحانه وتعالى (أضواء البيان جـ “Berdasar nash-nash yang diwahyukan Allah dari langit yg telah kami sebutkan di atas, telah nyata senyata-nyatanya bahwasanya orang-orang yang mengikuti undang-undang buatan manusia yang disyari’atkan oleh setan melalui mulut para pengikutnya yang bertentangan dengan syari’ah Allah Azza Wa Jalla yang diturunkan melalui lisan para Rasul-Nya –alaihimus sholaatu wat tasliem- BAHWA SESUNGGUHNYA TIDAK DIRAGUKAN LAGI TENTANG TELAH KAFIR DAN SYIRIK NYA ORANG-ORANG ITU, kecuali bagi orang yang mata hatinya telah tertutup dan buta dari cahaya wahyu Allah. MAKA PENERAPAN UNDANG-UNDANG INI DALAM MENGATUR URUSAN JIWA, HARTA, KEHORMATAN KETURUNAN (NASAB), AKAL DAN AGAMA SUATU MASYARAKAT ADALAH KEKUFURAN TERHADAP SANG PENCIPTA LANGIT DAN BUMI dan pengkhianatan terhadap nizham (undangundang/syari’ah) dari langit yang berasal dari Pencipta seluruh makhluk, dan Dia lah Yang Maha Mengetahui mashlahah bagi seluruh makhluk-Nya”. (Tafsir Adhwa’ul Bayan juz 4 hal 83 – 84)
3. FATWA SYAIKH MUHAMMAD SHALIH IBN UTSAIMIN (KIBAR ULAMA SAUDI) TENTANG PENGUASA NEGARA-NEGARA DI DUNIA YANG TIDAK MENERAPKAN SYARI’AH ISLAM ً كافر كفرا ً مخرجا ٌ من لم يحكم بما أنزل هللا استخفافا ً به أو احتقارا ً له أو اعتقادا ً أن غيره أصلح منه وأنفع للخلق فهو ، لتكون منهاجا ً يسير عليه الناس، ومن هؤالء من يصنعون للناس تشريعات تخالف التشريعات اإلسالمية،من الملة إذ من المعلوم بالضرورة،فإنهم لم يصنعوا تلك التشريعات المخالفة للشريعة إال وهم يعتقدون أنها أصلح وأنفع للخلق العقلية والجبلة الفطرية أن اإلنسان ال يعدل عن منهاج إلى منهاج يخالفه إال وهو يعتقد فضل ما عدل إليه ونقص ما عدل عنه “Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan syari’ah Allah, disebabkan meremehkan, menganggap enteng, atau berkeyakinan bahwa undang-undang lain lebih baik dibanding syari’at Islam maka orang itu TELAH KAFIR KELUAR DARI ISLAM. Dan di antara mereka itu adalah orang-orang yang menyusun dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam, undang-undangitu mereka buat agar menjadi aturan dan tata nilai dalam kehidupan manusia. Mereka itu tidak membuat menyusun undang-undang dan aturan hukum yang adalah mereka yang menyusun dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam kecuali karena mereka berkeyakinan bahwa undang-undang itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi manusia. Dengan demikian sudah menjadi sesuatu yang diketahui secara pasti baik oleh logika maupun naluri akal manusia bahwa manakala seseorang berpaling dari sebuah manhaj lalu pindah ke manhaj yang lain kecuali karena dia meyakini bahwa manhaj barunya itu lebih baik dibanding manhaj yang lama” (Majmu’atul Fatwa wa Rosail Syaikh Utsaimin juz 2 hal 143) 4. FATWA SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ وال إيمان لمن اعتقد أن أحكام الناس وآراءهم خير من حكم هللا تعالى ورسوله أو تماثلها وتشابهها أو ت ََر َك َها وأحل خير وأكمل وأعدل ٌ محلها اْلحكام الوضعية واْلنظمة البشرية وإن كان معتقداً أن أحكام هللا “Dan tidak ada lagi iman bagi orang yang berkeyakinan bahwa hukum-hukum buatan manusia dan pendapat mereka lebih baik dibanding hukum allah, atau menganggap sama, atau menyerupainya, atau meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya tu kemudian menggantinya dengan undang-undang buatan manusia walaupun ia meyakini bahwa hukum allah lebih baik dan lebih adil” (Risalah Ibn Baz “Wujub Tahkim Syari’a Allah wa nabdzi ma khaalafahu, Syaikh Bin Baz) 5. FATWA SYAIKH ABU BAKAR JABIR AL JAZAIRY (PENULIS KITAB MINHAJUL MUSLIM) ، وطاعتهم بدون إكراه منهم لهم، والخضوع التام لهم، الخنوع للحكام غير المسلمين: من مظاهر الشرك في الربوبية . وساسوهم بقانون الكفر والكافرين فأحلوا لهم الحرام وحرموا عليهم الحالل،حيث حكموهم بالباطل “Di antara tanda-tanda kemusyrikan yang nampak jelas adalah ketundukan kepada para pemimpin yang bukan dari golongan kaum muslimin serta kepatuhan yg mutlak kepada mereka dan ketaatan sepenuhnya kepada mereka tanpa adanya unsur paksaan di saat
mana mereka menerapkan hukum yang bathil serta mengatur negara mereka dengan undang-undang kufur, mereka menghalalkan bagi rakyat mereka apa-apa yg diharamkan Allah dan mengharamkan yg dihalalkan Allah” (Minhajul Muslim) 6. FATWA SYAIKH SHALIH FAUZAN AL FAUZAN : فمن احتكم إلى غير شرع هللا من سائر اْلنظمة والقوانين البشرية فقد اتخذ واضعي تلك القوانين والحاكمين بها شركاء هلل في تشريعه قال تعالى “Barangsiapa yang menetapkan hukum dengan selain syari’at Allah, yaitu dengan Undang-undang dan aturan manusia maka mereka telah menjadikan para pembuat hukum itu sebagai Ilah tandingan selain allah dalam tasyri’ (Wafaqat ma’a Asy Syaikh Al Albany 46) 7. FATWA SYAIKH AL ALLAMAH ABDULLAH AL JIBRIN : معلو ٌم أن القوانين الوضعية التي فيها مخالفةٌ للشريعة أن:وقال تعالى {ما فرطنا في الكتاب من شيء}… فنقول وقد قال هللا تعالى {أ َ َف ُح أك َم الجاهلي ِة يبغون،ج عن الملة ونبذٌ للشريعة وحك ٌم بحكم الجاهلية ٌ اعتقادها والديانة بها خرو ُأحسن فإذا جاء، وليس ألح ٍد تغييره وتبديله،األحكام وأوالها لقوم يُوقنونَ } فحكم هللا ٍ ً ومن أحسنُ من هللا ُحكما أميراً أو وزيراً أو ملكا ً أو قائداً… فإذا َح َك َم،اإلسالم بإيجاب عباد ٍة من العبادات فليس ألح ٍد أن يغيرها كائنا ً من كان أمر من األمور فليس ألح ٍد أن يتعدى حكم هللا تعالى {ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم الكافرون} كما ٍ هللا في أخبر بذلك Allah Ta’ala Berfirman : “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab.” (QS Al An’am 38) (Beliau menjelaskan ayat ini ) : “Maka kami katakan : “Sudah diketahui secara pasti bahwasanya undang-undang buatan manusia yang di dalamnya terdapat (aturan-aturan hukum) yang bertentangan dengan Syari’ah Allah, BAHWASANYA MEYAKININYA DAN MENJADIKANNYA ATURAN HIDUP ADALAH PERBUATAN YG MENGELUARKAN PELAKUNYA DARI ISLAM, SERTA MENGHANCURKAN SYARI’AH ALLAH SERTA BERHUKUM DENGAN HUKUM JAHILIYYAH”. “Allah Ta’ala Berfirman : “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?“ (QS Al Maidah 50) “Hukum Allah adalah sebaik-baik hukum serta yang paling utama dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk merubah atau menggantinya. Maka tatkala Islam datang dengan mewajibkan suatu ibadah, tidak ada seorang pun yang merubahnya, siapa pun dia. Baik dia seorang Amir (pemimpin), menteri, raja atau panglima. Manakla Allah telah menetapkan sebuah aturan hukum dalam suatu masalah di antara masalahmasalah kehidupan manusia, maka tidak ada satu pun yang boleh menentang aturan Allah itu : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al Maidah, 44).” (Ceramah Syaikh Jibrin tentang Hukum masuk dalam Parlemen side B) 8. FATWA SYAIKH ABDURRAHMAN AS SA’DY (الرد إلى الكتاب والسنة شرط في:قال في تفسير قوله تعالى {ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك} أن بل مؤمن بالطاغوت … فإن اإليمان، فدل ذلك على أن من لم يرد إليهما مسائ َل النزاع فليس بمؤمن حقيقة،اإليمان واختار حكم الطاغوت على حكم هللا، فمن زعم أنه مؤمن، في كل أمر من اْلمور،يقتضي اإلنقياد لشرع هللا وتحكيمه فهو كاذب في ذلك Beliau menafsirkan ayat : “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An Nisa’ 60) “Bahwasanya mengembalikan semua urusan kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah syarat keimanan. Ini menunujukkan bahwa barangsiapa yg menolak untuk mengembalikan urusan yang dipertentangkan kepada Al Qur’an dan Sunnah ia tidak beriman secara sungguh-sungguh, BAHKAN IA TELAH BERIMAN KEPADA THOGHUT. Karena sesungguhnya iman menuntut adanya ketundukan kepada Syari’ah Allahdan bertahkim kepadanya dalam setiap urusan MAKA BARANGSIAPA YG MENGAKU MUKMIN, TETAPI IA MEMILIH HUKUM THOGHUT DIBANDING HUKUM ALLAH SUNGGUH IA TELAH DUSTA DALAM IMANNYA” (Tafsir As Sa’dy hal 148) 9. FATWA SYAIKH HAMUD AT TUWAIJRY «من أعظمها شرا ً [أي من أعظم المكفرات شراً] وأسوأها عاقبة ما ابتلي به كثيرون من اطراح األحكام:قال الشرعية واالعتياض عنها بحكم الطاغوت من القوانين والنظامات اإلفرنجية أو الشبيهة باإلفرنجية المخالف ك ٌل ٌ «وقد انحرف عن الدين بسبب هذه المشابهة فئات:منها للشريعة المحمدية» ثم أورد بعض اآليات القرآنية وتابع وآل األمر بكثير منهم إلى الردة والخروج من دين اإلسالم بالكلية وال، فمستقل من االنحراف ومستكثر،من الناس والتحاكم إلى غير الشريعة المحمدية من الضالل البعيد والنفاق األكبر… وما.حول وال قوة إالّ باهلل العلي العظيم أكثر المعرضين عن أحكام الشريعة المحمدية من أهل زماننا… من الطواغيت الذين ينتسبون إلى اإلسالم وهم عنه ُ بمعزل “Di antara yang paling besar kekufurannya, yang paling buruk azab yang akan diterima oleh banyak orang di akhirat kelak adalah menentang hukum-hukum Syari’ah Allah serta menggantinya dengan undang-undang Thaghut berupa undang-undang yang mereka adopsi dari Barat atau yang mirip dengannya yang bertentangan dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah Muhhamad Shollallohu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau mengutip beberapa ayat Al Qur’an lalu melanjutkan :
Disebabkan tindakan mengadopsi dan meniru undang-undang seperti inilah, banyak sekali kalangan umat Islam yang tersesat dari Dienullah, ada yang kesesatannya hanya sedikit namun ada pula yang banyak. Dan puncak dari kesesatan yang terjadi pada sebagian besar dari mereka adalah MURTAD dan keluar dari Islam secara keseluruhan, walaa hawla walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim. “Menetapkan hukum dengan aturan yang bukan Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam adalah salah satu di antara kesesatan yang amat jauh, dan nifaq Akbar (Murtad keluar dari Islam). Dan mayoritas dari mereka yang menentang Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam di zaman ini adalah para penguasa Thaghut yang mengaku dirinya muslim serta mengatasnamakan tindakan mereka dengan Islam padahal sesungguhnya mereka telah membuang jauh-jauh Islam dari diri mereka”. (Al Idhah wat Tabyiin Limaa Waqo’a Fiehi Al Aktsaruun Min Musyabahat Al Musyrikin Hal 28 – 29 : Syaikh Hamud At Tuwaijry) 10. FATWA AL ALLAMAH SYAIKH MUHAMMAD BIN IBRAHIM ALU SYAIKH (MUFTI KERAJAAN SAUDI SEBELUM SYAIKH BIN BAZ) Berikut adalah Fatwa Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Saudi sebelum Syaikh Bin Baz). Beliau membagi beberapa kelompok orang-orang yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah, SEMUANYA KAFIR MURTAD كم هللا تعالى وحكم رسوله ِ أن يجحد الحاك ُم بغير ما أنزل هللا تعالى أحقيَّةَ ُح
o
Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia juhud (menentang) akan kewajiban menerapkan syari’ah itu maka ia telah KAFIR MURTAD. كم غير الرسول َ لكن اعتقد أن ح،ًأن ال يجحد الحاكم بغير ما أنزل هللا تعالى كونَ حكم هللا ورسوله حقا أحسنُ من حكمه وأتم وأشمل
o
Barangsiapa yang berhukum dengan hukum selain syari’ah Allah dan ia tidak juhud (tidak menentang) akan kewajiban menerapkan syari’ah itu, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA LEBIH BAIK, LEBIH TEPAT, RELEVAN DAN LEBIH SEMPURNA DIBANDING SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD. أن ال يعتقد كونَه أحسنَ من حكم هللا تعالى ورسوله لكن اعتقد أنه مثله
o
Jika ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah lebih baik TETAPI MENYATAKAN BAHWA HUKUM BUATAN MANUSIA SAMA BAIKNYA DENGAN SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD.
كم الحاكم بغير ما أنزل هللا تعالى مماثالً لحكم هللا تعالى ورسوله لكن اعتقد جواز ال ُحكم ِ أن ال يعتقد كونَ ُحo كم هللا تعالى ورسوله َ بما يُخالف ُح Ia tidak berkeyakinan bahwa hukum selain Syari’ah Allah sama atau lebih baik dibanding hukum buatan manusia, TETAPI IA BERKEYAKINAN BAHWA DIBOLEHKAN MENERAPKAN UNDANG-UNDANG SELAIN SYARI’AH ALLAH, MAKA IA KAFIR MURTAD. ومشاقة هلل تعالى ولرسوله ومضاهاة، ومكابرة ْلحكامه، وهو أعظمها وأشملها وأظهرها معاندة للشرعo إعدادا ً وإمدادا ً وإرصادا ً وتأصيالً وتفريعا ً وتشكيالً وتنويعا ً وحكما ً وإلزاما ً… فهذه،بالمحاكم الشرعية يحكم،والناس إليها أسرابٌ إثر أسراب ، مفتوحةُ اْلبواب،المحاكم في كثير من أمصار اإلسالم مهيأة مكملة ُ ُ وتُحتِ ُمه، وتلزمهم به وتقرهم عليه، من أحكام ذلك القانون،حكامها بينهم بما يخالف ُحكم السنة والكتاب فيجب.… وأي مناقضة للشهادة بأن محمداً رسو ُل هللا بعد هذه المناقضة،فر فوق هذا الكفر ٍ ي ُك ُّ فأ،عليهم ، والتحكم فيهم باْلهواء واْلغراض،على العقالء أن يربأوا بنفوسهم عنه لما فيه من االستعباد لهم {ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم: فضالً عن كونه كفرا ً بنص قوله تعالى، واْلخطاء،واْلغالط .}الكافرون Ini adalah yang paling jelas-jelas kekafirannya, paling nyata penentangannya terhadap Syari’ah Allah, paling besar kesombongannya terhadap hukum Allah dan paling keras penentangan dan penolakannya terhadap lembaga-lembaga (mahkamah) hukum Syari’ah. Semua itu dilakukan dengan terecana, sistematis didukung dana yang besar, diterapkan dengan pengawasan penuh, dengan penanaman dan indoktrinasi kepada rakyatnya, yang pada akhirnya akan membuat umat Islam terpecah belah dan terkotak-kotak, lalu menanamkan keragu-raguan dalam diri terhadap Syari’ah Allah dan mereka juga mewajibkan umat Islam untuk mematuhi hukum buatan mereka itu serta menerapkan sanksi hukum bagi yang melanggarnya. Berbagai bentuk lembaga hukum dan perundang-undangan ini dalam kurun waktu yang amat panjang telah dipersiapkan melalui perencanaan yang matang dan dengan pintu terbuka siap menangani berbagai masalah hukum umat Islam. Umat Islam pun berbondong-bondong mendatangi lembaga-lembaga ini, sedangkan para penegak hukumnya menetapkan hukum terhadap permasalahan mereka itu dengan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasul Shollallohu ‘alaihi wasallam dengan merujuk kepada hukum-hukum yang berasal dari aturan dan undang-undang yang mereka buat itu seraya mewajibkan rakyatnya untuk melaksanakan hukum-hukum itu, mematuhi keputusan mereka itu dan tidak memberi celah sedikit pun untuk memilih hukum selain undangundang mereka itu. KEKAFIRAN MANALAGI YANG LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KEKUFURAN INI, PENENTANGAN TERHADAP PERSAKSIAN “WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLAH” MANALAGI YANG LEBIH BESAR YANG DIBANDINGKAN PENENTANGAN INI ?
Sehingga bagi mereka yang menggunakan akalnya semestinya mereka menolak aturan hukum itu dengan penuh kesadaran dan ketundukan hati mengingat di dalam Undang-undang itu terdapat penghambaan kepada para penguasa pembuat undang-undang itu, serta hanya memperturutkan hawa nafsu, kepentingan duniawi dan kerancuan-kerancuan berpikir dan bertindak. Penolakan ini harus mereka lakukan atau mereka jatuh pada kekufuran sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (artinya) : “Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS Al Maidah 44) من حكايات آبائهم وأجدادهم وعاداتهم،كثير من رؤساء العشائر والقبائل من البوادي ونحوهم ٌ ما يحكم به بقا ًء، ويحكمون به ويحضون على التحاكم إليه عند النزاع،التي يسمونها “سلومهم” يتوارثون ذلك منهم فال حول وال قوة إال باهلل تعالىr وإعراضا ً ورغبةً عن حكم هللا تعالى ورسوله،على أحكام الجاهلية
o
Aturan hukum yang biasa diterapkan oleh sebagian besar kepala suku dan kabilah pada masyakat dan suku-suku pedalaman atau yang semisal dengan itu. Yang berupa hukum peninggalan nenek moyang mereka dan adat istiadat yang diterapkan secara turun temurun, yang dalam istilah Arab biasa disebut : “Tanyakan kepada nenek moyang”. Mereka mewariska hukum adat ini kepada anak cucu mereka sekaligus mewajibkan mereka untuk mematuhi hukum adat itu serta menjadikannya sebagai rjukan dan pedoman saat terjadi perselisihan di antara mereka. Ini semua mereka lakukan sebagai upaya melestarikan adat istiadan dan aturan aturan jahiliyyah dengan disertai ketidaksukaan dan keengganan untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi wasallam. Maka sungguh tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali hanya dengan bersandar kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (Tahkiem Al Qawaaniin karangan Al Allamah Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh hal 14 – 20 Terbitan Daar Al Muslim)
CATATAN Semua Syaikh yang kami nukil fatwanya di atas adalah para masyayikh yang sangat dihormati dan dijadikan rujukan oleh kaum muslimin yang bermanhaj Salaf, lebih-lebih mereka yang mengaku sebagai SALAFY. Fakta telah kami buka lebar-lebar, yang semuanya kami sertakan sumber nukilan kami, baik kaset, video maupun kitab karangan mereka. Jika anda masih belum yakin, silahkan anda buka kitab mereka. Pertanyaannya adalah :
“Mungkinkah dari sekian banyak fatwa ini, tidak ada satu pun orang yang terkena fatwa dari para ulama ini dengan alasan : “MEREKA MASIH SHOLAT ?” Apakah masih kurang jelas fatwa Syaikh Hamud At Tuwaijry berikut ini ? “Menetapkan hukum dengan aturan yang bukan Syari’ah Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam adalah salah satu di antara kesesatan yang amat jauh, Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam di zaman ini adalah para penguasa Thaghut yang mengaku dirinya muslim serta mengatasnamakan tindakan mereka dengan Islam padahal sesungguhnya mereka telah membuang jauh-jauh Islam dari diri mereka.” ? Apalah artinya Sholat bagi mereka yang telah MURTAD sebagaimana fatwa Syaikh Shalih Fauzan ini : “Barangsiapa yang menetapkan hukum dengan selain syari’at Allah, yaitu dengan Undangundang dan aturan buatan manusia maka mereka telah menjadikan para pembuat hukum itu sebagai Ilah tandingan selain Allah dalam tasyri’ (Wafaqat ma’a Asy Syaikh Al Albany 46) Atau Fatwa Syaikh Utsaimin ini ; “Barangsiapa yang tidak menetapkan hukum dengan syari’ah Allah, disebabkan meremehkan, menganggap enteng, atau berkeyakinan bahwa undang-undang lain lebih baik dibanding syari’at Islam maka orang itu TELAH KAFIR KELUAR DARI ISLAM”. Atau masih kah kurang jelas Fatwa Al Allamah Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Syaikh di atas yang lebih terang benderang dibanding matahari di siang hari ? Wallahu A’lam Bish Showab…
Al Faqir Ilaa Maghfirati Rabbihil Qadir, (Abu Izzuddin Al Hazimi)
[1] Nawaqidhul Iman Al Qauliyyah wal Amaliyyah. Dr Abdul Aziz Al-Abdul Lathif hlm. 52-53. [2] Majmu’ Fatawa jil. III hlm. 267.
HUKUM TAAT KEPADA PENGUASA YANG TIDAK BERHUKUM KEPADA KITABULLAH DAN SUNNAH RASULNYA Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawaban Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin. Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat: 1. Mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya. 2. Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hambaNya. Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya, َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم ِب َما أ َ ْنزَ َل ه ََّللاُ فَأُو َٰلَئِكَ ُه ُم ْالكَافِ ُرون “Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al-Ma’idah/5 : 44] . Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya. Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa
(kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala [Majmu’ Fatawa Wa Rasa’ il Syaikh ibn Utsaimin, Juz.ll, h. 147-148] [Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama. Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia, Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
Read more https://almanhaj.or.id/1000-hukum-taat-kepada-penguasa-yang-tidak-berhukumkepada-kitabullah-dan-sunnah-rasulnya.html