Tugas_makalah_ms_perairan_duliaman.docx

  • Uploaded by: OrdahSahputra
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas_makalah_ms_perairan_duliaman.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,456
  • Pages: 20
1

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia mempunyai perairan laut seluas 5,8 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2 dengan potensi lestari sumber daya ikan sebesar 6.11 juta ton per tahun (Boer, etc, 2001). Wilayah pesisir, adalah dimana daratan bertemu dengan lautan dan air tawar bertemu dengan air asin. Wilayah ini merupakan system ekologi yang paling produktif secara beragam dan serta nmemiliki kompleksitas yang tinggi. Zona ini berperan sebagai penyangga, pelindung dan penyaring diantara daratan dan lautan. Sebagai daerah peralihan; perairan pantai mempunyai kekayaan organisme yang relatif tinggi, sehingga sangat potensial untuk dijaga agar kondisinya tetap dalam keadaan baik. Pantai merupakan salah satu kawasan hunian atau tempat tinggal paling penting di dunia bagi manusia dengan segala macam aktifitasnya. Awal tahun 1990 diperkirakan 50 % sampai 70 % penduduk di dunia tinggal di daerah pantai. Bila pada saat itu penduduk di dunia berjumlah kurang lebih 5,3 milyar maka 2,65 sampai 3,7 milyar tinggal di pantai (Edgren, 1993). Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode dan berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks; sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi suatu perairan. Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan perlu dilakukan (Zonneveld et al, 1991).

2

Pemaparan dalam tulisan ini akan mencoba menguraikan konsep manajemen sumber daya perairan pada perairan pesisir pantai dan teluk. Tulisan ini juga akan berusaha memaparkan potensi sumber daya perairan, kesesuaian habitat, pecegahan kesuburan perairan, perbaikan habitat, serta konservasi sumber daya perairan pada wilayah peisisir pantai dan wilayah teluk. B.

RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam tulisan ini yaitu: 1. Bagaimana konsep sumber daya perairan? 2. Bagaimana potensi sumber daya perairan pada wilayah pesisir pantai dan teluk? 3. Bagaimana kesesuaian habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk? 4. Bagaimana pencegahan kesuburan perairan (eutrifikasi) pada wilayah pesisir pantai dan teluk? 5. Bagaimana perbaikan habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk? 6. C.

Bagaimana konservasi sumber daya perairan pada wilayah pesisir pantai dan teluk? TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini yaitu: 1. Menjelaskan konsep sumber daya perairan 2. Menjelaskan potensi sumber daya perairan pada wilayah pesisir pantai dan teluk 3. Menjelaskan kesesuaian habitat pada wilayah peisisir pantai dan teluk 4. Menjelaskan cara pencegahan kesuburan perairan (eutrofikasi) pada wilayah pesisir pantai dan teluk 5. Menjelaskan perbaikan habitat pada wilayah pesisir pantai dan teluk 6. Menjelaskan konservasi sumber daya perairan pada wilayah pesisir panrai dan teluk D.

KEGUNAAN Kegunaan tulisan ini yaitu bisa dijadikan sebagai bahan informasi bagi akademisi di

bidang manajemen sumber daya perairan dan semoga bisa di aplikasikan.

3

II.

A.

KONSEP MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN

Definisi Manajemen Sumber Daya Perairan Sumber daya alam pesisir dewasa ini sudah semakin disadari banyak orang bahwa

sumber daya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan dalam mendukung tingkat perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Di sisi lain, konsekuensi logis dari sumber daya pesisir sebagai sumber daya milik bersama (common property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dewasa ini semakin meningkat di hampir semua wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumber daya (over eksploitatiton). Ghofar (2004), mengatakan bahwa perkembangan eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar (market driven) terutama jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mendorong eksploitasi sumberdaya alam pesisir dalam skala dan intensitas yang cukup besar. Sedangkan menurut Purwanto (2003), mengatakan bahwa ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki keaneka ragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir. Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan

4

udara. Menurut kesepakatan bersama dunia internasional, pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan batas tegak lurus pantai (crossshore), (Supriharyono, 2000 ). Sebagai tempat yang strategis pantai dimanfaatkan untuk berbagai hal berupa eksploitasi sumber daya perikanan, kehutanan, minyak, gas, tambang dan air tanah dan lain-lain. Pantai sebagai daerah wisata, konservasi dan proteksi biodiversity. Pantai digunakan pula sebagai tempat perkembangan dan peningkatan infrastruktur antara lain berupa transportasi, pelabuhan, bandara yang kesemuanya untuk memenuhi peningkatan penduduk

Teluk merupakan salah satu wilayah pesisir yang unik karena kondisinya yang biasanya semi tertutup sehingga kondisi ini memberi ciri kekhasan tersendiri. Aktifitas di daratan sangat mempengaruhi kualitas teluk. Tujuan pengelolaan sumber daya perairan yaitu agar keberadaan sumber daya tet ap ada meskipun selalu di manfaatkan. Pengelolaan sumber daya perairan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan.

5

III. POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN A.

Potensi Sumber Daya Pada Pesisir Pantai dan Teluk Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman

sumber daya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia, contohnya ekosistem pesisir hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, yang sangat luas dan beragam.



Sumber daya dapat di pulihkan ( renewable resources)

1)

Potensi Daya Perikanan Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan

palagis besar ( 451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/ tahun), sumberdaya perikanan 3.163.630 ton/ tahun,udang 100.720 ton/tahun, ikan karang 80.082 ton/tahun dan cumi – cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari ikan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% ( Dirjen Perikanan 1995). 2)

Hutan Mangrove Merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting diwilayah pesisir.

Fungsi dan peran hutan Mangrove, yaitu: a) menyusun mekanisme antara komponen mangrove dengan ekosistem lain,pelindung pantai, dan pengendali banjir. b) penyerap bahan pencemar,sumber energi bagi biota laut. c) menjaga kesetabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati di perairan. d) sebagai sumber kayu kelas satu, bahan kertas dan arang. 3)

Padang Lamun dan Rumput Laut Padang lamun mempunyai fungsi: a) meredam ombak dan melindungi pantai. b)

daerah asuhan larva. c) tempat makan. d) rumah tempat tinggal biota laut. e) wisata bahari. 4)

Terumbu Karang Peran terumbu Karang, yaitu: a) pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat

yang berasal dari laut. b) sebagai habitat tempat mencari makanan.

6

 1)

Sumber Daya yang Tidak Dapat di Pulihkan (Unrenewable Resources) Bahan tambang dan mineral Bahan tambang dan mineral yang terdapat di antaranya: bahan bangunan, pasir



Jasa-jasa lingkungan Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan

sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energy , sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. sumber energy yang dapt dimanfaatkan antara lain.



OTEC ( Ocean Thermal Energy Convention ) OTEC merupakan salah satu bentuk pengalihan energy yang tersimpan dari sifat fisik

laut menjadi energy listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan bertambahnya kedalaman. Perbedaan suhu air di permukaan dengan suhu air di bagian dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. 1. Energi dari gelombang laut Gelombang laut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif di hampir seluruh wilayah dan lautan dunia. 2. Energi pasang surut Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik , terutama pada daerah teluk yang memiliki amplitudo pasang surut 5 sampai 15 m.

7

IV. KESESUAIAN HABITAT A.

Kesesuaian Habitat Pada Pesisir Pantai dan Teluk Pertumbuhan biota laut di daerah pasang surut sangat tinggi, disebabkan karena

daerah ini merupakan tempat hidup, tempat berlindung, dan tempat mencari makan. Selain itu, kondisi lingkungan pada daerah ini sangat menguntungkan bagi pertumbuhan biota laut karena adanya dukungan dari faktor fisika, kimia, dan biologis laut. Soemodhiharjo (1990) mengungkapkan bahwa faktor fisik-kimia laut meliputi salinitas, pH, arus, suhu, dan kecerahan yang selalu berubah-ubah sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme di daerah pasang surut. Adapun kesuburan suatu perairan ditentukan oleh kondisi biologi, fisika dan kimia yang nantinya akan berpengaruh pada kegunaannya. Bentuk interaksi dari sifat – sifat dan perilaku kondisi biologi, fisika dan kimia perairan akan ditentukan melalui parameter – parameter yang saling mempengaruhi. Produksi awal yang dihasilkan dari interaksi ketiga parameter tersebut salah satunya adalah Produktifitas Primer. Kesuburan suatu perairan pada dasarnya akan mencerminkan tinggi rendahnya produktivitas perairan setempat. Produktivitas primer suatu perairan sangat tergantung pada kemampuan perairan tersebut dalam mensitesis bahan organik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Dalam hal ini peranan organisme yang mengandung klorofil sangat besar. Sebagaimana diketahui bahwa fitoplankton merupakan organisme yang mengandung klorofil-a dengan group terbesar di lautan dan merupakan individu yang penting di laut karena peranannya sebagai produsen utama (primary producer). Fitoplankton mempunyai kemampuan menyerap langsung energi matahari untuk proses fotosintesis yang dapat mengubah zat anorganik menjadi zat organik yang dikenal sebagai prodiktivitas primer. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen yang terkandung dalam fitoplankton dan merupakan bagian yang terpenting dalam proses fotosintesis. Klorofil-a sebagian besar dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di dalam laut (Carolita et. al., 1999).

8

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu: 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan. Ekosistem perairan pantai dikenal sebagai zona pembiakan, pembesaran dan tempat mencari makan. Kawasan ini sangat berperan penting dalam kelangsungan hidup berbagai jenis ikan pada fase larva dan juvenil. Terumbu karang dan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang amat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Selain sebagai mata rantai makanan di dalam ekosistem terumbu karang, karang juga menjadi menjadi kerangka terbentuknya terumbu karang sebagai rumah dan tempat tinggal bagi semua biota asosiasi terumbu karang di sekitarnya, dan sebagai hewan yang bersimbiosis dengan ganggang monoseluler untuk menghasilkan oksigen terlarut yang diperlukan bagi biota laut (Gatra, 2006). Perairan pantai yang terdiri dari daerah pasang surut, estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang, maupun pantai berpasir merupakan nursery bagi berbagai jenis ikan. Melalui mekanisme hidro-biologi larva ikan yang dilahirkan di daerah lepas pantai akan menuju daerah habitat nursery yang kemudian keberhasilan hidupnya akan berpengaruh terhadap rekrutmen Salah satu negara yang telah melakukan perlindungan terhadap sebaran larva ikan di suatu pantai adalah Jepang dengan cara mengidentifikasi pola sebaran larva ikan dan kapan larva ikan masuk ke pantai sehingga pada saat musim tersebut pantai ditutup untuk umum agar larva ikan dapat berkembang dengan baik. Sementara itu di Eropa ketika musim penangkapan, para ilmuwan yang telah mempelajari tentang larva ikan dapat memperkirakan stok ikan komersial yang ada di perairan tersebut (Najamuddin, 2004) Larva ikan (ichthyoplankton) merupakan bentuk tahapan siklus hidup ikan yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan ketika kuning telur yang merupakan makanan utamanya telah habis terserap. Amarullah (2008) menyatakan bahwa bagi berbagai jenis ikan laut yang memanfaatkan sistem perairan pantai (coastal system) sebagai

9

nursery, migrasi telur, larva dan stadia awal juvenil dari tempat pemijahan (spawning area) dipengaruhi oleh kondisi dan perubahan meteorologi perairan. Keberhasilan larva dan awal stadia juvenil ikan mencapai nursery area akan sangat menentukan dalam tahapan proses rekrutmen stok ikan di alam. Faktor hidrografi di perairan pantai atau habitat nursery yang berpengaruh sebagai stimuli tingkah laku imigrasi larva diantaranya adalah aliran pasang surut (tidal flux) termasuk di dalamnya kecepatan arus, salinitas (terutama perairan estuari), kekeruhan, komposisi substrat dan juga pengaruh siklus bulan. Pengelolaan pantai tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan terhadap komunitas organisme laut dapat mengganggu kehidupan biota laut, diantaranya larva. Pada ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground) bagi biota laut khususnya bagi larva ikan yang bermigrasi ke wilayah pantai dapat terganggu akibat adanya pergerakan arus ataupun pasang surut yang begitu kuat di wilayah itu sehingga menimbulkan akibat tersendiri terhadap ekologi daerah pantai tersebut. Pengetahuan tentang spawning ground larva ikan di laut mempunyai kaitan erat dengan berbagai segi aplikasi yaitu dapat menduga atau meramalkan musim benih (spatfall), mengefisienkan pengumpulan benih tersebut, mendukung kemajuan di bidang budidaya, mengetahui dimana kumpulan larva ikan yang bernilai ekonomis ini berasal dan mencari makan, serta konservasi lingkungan pantai (Romimohtarto dan Juwana 1998).

10

V. PENCEGAHAN PENYUBURAN PERAIRAN (EUTROFIKASI) A.

Pencegahan Penyuburan Perairan Pada Pesisir Pantai dan Teluk Eutrofikasi adalah proses gradual timbulnya penyuburan pada perairan secara

berlebihan yang diakibatkan oleh senyawa nutrien terutama nitrogen dan fosfor. Balcerzak (2006) menyatakan bahwa proses eutrofikasi ini berlangsung beberapa tahun terutama disebabkan oleh aktivitas anthropogenik. Proses penyuburan pada ekosistem pantai atau teluk akan meningkat seiring dengan bertambahnya beban nutrien yang masuk keperairan. Lee dan Jones-Lee (2007) menyatakan bahwa sumber beban pencemaran nutrien menyebabkan pertumbuhan populasi alga yang berlebihan dan secara signifikan berpengaruh terhadap konsentrasi oksigen terlarut. Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002). Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu fitoplankton. Sebagai salah satu organisme dalam ekosistem perairan fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme

11

yang tingkatannya lebih tinggi. Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan. Eutrofikasi disebabkan oleh kelebihan beban input senyawa nutrien dan sejak tahun 1970 telah dilakukan penelitian untuk menentukan strategi pengendalian eutrofikasi (Pauer, dkk, 2008). Senyawa nutrien menjadi faktor pembatas utama untuk fitoplankton, sementara silika merupakan faktor pembatas untuk diatom pada endapan dasar perairan wilayah pantai dan teluk. Dalam banyak hal, cara yang paling efektif untuk menangani eutrofikasi yang disebabkan oleh kelebihan phospat adalah dengan memakai pendekatan yang terintegrasi untuk mengatur dan mengontrol semua masukan nutrien, sehingga konsentrasi nutrien dapat direduksi menjadi cukup rendah sehingga tidak menyebabkan alga bloom. Pendekatan yang sama akan bermanfaat juga untuk mengatasi masalah eutrofikasi yang disebabkan oleh nitrogen. Oleh karena itu kontrol tersebut harus juga mengurangi kehilangan P dan N, dengan demikian dari sudut ekologi juga akan mendatangkan keuntungan. Jika meningkatnya jumlah P yang lepas/hilang berhubungan erat dengan erosi dn hilangnya sedimen secara besar-besaran, maka dengan kontrol erosi diharapkan dapat dicapai peningkatan kualitas melalui pengurangan dampak negatif sedimen di sistem akuatik. Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran. Cara yang sukses untukk mengontrol P akan membawa keuntungan bagi lingkungan. Salah satu cara yang paling efisien untuk mengurangi dan mengontrol konsentrasi P di perairan adalah dengan membatasi atau mengurangi beban nutrien dari sumber utama dan meningkatkan teknologi perombakan nutrien dari buangan kotoran (sewage). Jika pertanian adalah P yang signifikan, maka pengurangan buangan P dipandang dari sudut kepraktisannya dan biayanya tidak efisien dari tanah pertanian dan sangat sulit untuk menentukan faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang berpengaruh bervariasi dari sistem pertaniannya, tipe tanah dan kondisi wilayahnya. Namun kehilangan P pada

12

hakekatnya dapat dikembalikan ke sistem pertanian, sedangkan yang lainnya dapat dikontrol oleh petani sendiri misalnya dengan menyebar pupuk tiak pada musim hujan. Untuk mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial wetland dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Pada hakekatnya mengaurangi konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak upaya yang sangat penting karena mengurangi input nutrien ke dalam lautan seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.

13

VI. PERBAIKAN HABITAT A.

Perbaikan Habitat Pada Pesisir Pantai dan Teluk Perbaikan habitat pada sumber daya perairan pesisir pantai dan teluk seperti terumbu

karang, hutan mangrove, atau padang lamun dapat dilakukan untuk memberi kendali terhadap kerusakan sumber daya. 

Perbaikan Terumbu Karang Terumbu karang memiliki bentuk dan struktur yang membuatnya unik sebagai salah

satu ekosistem yang hidup di dalam laut. Ekosistem terumbu karang disusun oleh karangkarang dari Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia (Tomascik et al., 1997). Usaha pemulihan terumbu karang, salah satunya dengan budidaya karang dengan memanfaatkan metode transplantasi karang menggunakan teknik fragmentasi. Transplantasi karang pada prinsipnya adalah memotong cabang karang dari karang hidup, lalu ditanam pada suatu daerah tertentu. Namun pelaksanaan tidak semudah yang dibayangkan, karena harus pula diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi karang dengan fragmentasi meliputi ukuran fragmen, tipe substrat tempat fragmen diletakkan, dan jenis karang (Thamrin, 2006). Transplantasi karang merupakan salah satu metode budidaya karang dengan memotong sebagian dari koloni karang tertentu untuk ditanam di tempat yang baru. Berbagai macam metode transplantasi karang telah dilakukan diantaranya dengan menggunakan substrat beton hingga metode elektrolisis yang menggunakan aliran listrik. Berbagai macam metode tersebut dilakukan untuk mendapat metode transplantasi yang paling efektif.

14



Perbaikan Habitat Padang Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat tumbuh

dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al. 1969).

Lamun senantiasa

membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu species (monospesific; banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih dari satu species (multispecific; banyak terdapat di daerah tropis) yang selanjutnya disebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah pesisir. Secara taksonomi lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang umumnya hidup di perairan dangkal wilayah pesisir. Lamun sangat berperan penting pada fungsi-fungsi biologis dan fisik dari lingkungan pesisir. Pola zonasi padang lamun adalah gambaran yang berupa rangkaian/model lingkungan dengan dasar kondisi ekologis yang sama pada padang lamun. Aktivitas manusia di sekitar pesisir dapat berupa pertanian, peternakan dan pelabuhan tradisional serta pemukiman penduduk. Aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan pesisir akan mengakibatkan perubahan komunitas lamun sebagai penunjang ekosistem pesisir. Merujuk pada kenyataan bahwa padang lamun mendapat tekanan gangguan utama dari aktivitas manusia maka untuk rehabilitasinya dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan: yakni: 1) rehabilitasi lunak (soft rehabilitation) dan 2) rehabilitasi keras (hard rehabilitation). 1) Rehabilitasi lunak Rehabilitasi lunak berkenan dengan penanggulangan akar masalah, dengan asumsi jika akar masalah dapat diatasi, maka alam akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih menekankan pada pengendalian perilaku manusia.

15

2. Rehabilitasi keras Rehabiltasi keras menyangkut kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Ini dapat dilaksanakan misalnya dengan rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Kegiatan transplantasi lamun belum berkembang luas di Indonesia. Berbagai percobaan transpalantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang masih dalam taraf awal. Pengembangan transplantaasi lamun telah dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan. 

Perbaikan Hutan Mangrove Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang mempunyai ciri khusus karena

lantai hutannya secara teratur digenangi oleh air yang dipengaruhi oleh salinitas serta fluktuasi ketinggian permukaan air karena adanya pasang surut air laut. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya pesisir di sebagian besarwalaupun tidak semua-wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan bendabenda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat. Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata. Habitat mangrove sendiri memiliki keanekaragaman hayati yang rendah dibandingkan dengan ekosistem lainnya, karena hambatan bio-kimiawi yang ada di wilayah yang sempit diantara darat laut. Namun hubungan kedua wilayah tersebut mempunyai arti bahwa keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove juga harus dipertimbangkan, sehingga total keanekaragaman hayati ekosistem tersebut menjadi lebih tinggi. Dapat diambi suatu aksioma bahwa pengelolaan mangrove selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik.

16

Ekosistem cara

mangrove

restorasi/rehabilitasi.

yang

Restorasi

rusak

dapat

dipahami

sebagai

dipulihkan usaha

dengan

mengembalikan

kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang dipahami/diingini manusia. Dengan demikian, usaha restorasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Kita manusia pelaku mencoba membuka jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan terutama karena dalam beberapa kondisi, kegiatan restorasi secara fisik akan lebih murah dibanding kita memaksakan usaha penanaman mangrove secara langsung. Restorasi perlu dipertimbangkan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki atau memperbaharui diri secara alami

17

VII. A.

KONSERVASI SUMBER DAYA PERAIRAN

Konservasi Sumber Daya pada Pesisir Pantai dan Teluk Secara ekologi kawasan konservasi perairan harus memiliki keanekaragaman hayati,

kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah ruaya, habitat ikan langka, daerah pemijahan ikan daerah pengasuhan. Kriteria sosial budaya meliputi dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman dan kearifan lokal serta adat istiadat, serta kriteria ekonomi meliputi nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan pariwisata, estetika dan kemudahan mencapai kawasan. Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk melindungi spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut, mengembalikan cadangan perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan meminimalkan konflik diantara berbagai pengguna. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan dalam konteks keluaran dan hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan rencana pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan, danpada akhirnya aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses perencanaan untuk memperbaiki tujuan, rencana dan capaian. Dengan kata lain, kawasan perlindungan laut harus di kelola secara adaptif.

18

VIII. PENUTUP A.

Kesimpulan Kondisi suatu perairan pantai maupun teluk dapat di ukur dengan berbagai metode

dan berbagai sudut pandang. Pendugaan kondisi perairan dapat dilakukan berdasarkan sifat fisika-kimia air maupun berdasarkan data biotik penghuni perairan tersebut. Sifat-sifat ini akan saling berinteraksi dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain secara kompleks; sehingga kondisi fisik dan/atau kimiawi akan mempengaruhi kondisi biotik; demikian juga sebaliknya, bahwa kondisi biotik juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan/atau kimiawi suatu perairan. Pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat, mengharapkan kesesuaian yang cocok untuk setiap tujuan penggunaan sumberdaya tersebut. karena itu, pengemasan dan pengaturan perlu dilakukan. Pengelolaan sumber daya perairan perlu di lakukan demi keberlanjutan sumber daya dalam jangka yang panjang. B.

Saran Sumber daya perairan merupakan karunia dari Allah, keberadaanya saat ini semakin

tergradasi akibat dari intervensi alam dan intervensi manusia. Pengelolaan sumber daya perairan sebuah keharusan demi kepentingan jangka panjang. Semoga karunia itu tetap selalu ada dan bisa di rasakan generasi yang akan datang.

19

DAFTAR PUSTAKA Amarullah, M.H. 2008. Hidro-Biologi Larva Ikan dalam Proses Rekruitmen (tidak dipublikasikan) . Boer, M., K. A. Aziz, J. Widodo, A. Djamali, A. Ghofar dan R. Kurnia. 2001. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktorat Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut - Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49p Carolita, I., B. Hasyim, D. Dirgahayu, S. Irwan, H. Noviar, I.W. Bagja dan Y. Noulita. 1999. Analisis Kualitas Air di Sekitar perairan Surabaya Menggunakan Data LandsatTM. Majalah Lapan Edisi Penginderaan Jauh, 01(01) : 10-19. Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay, before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54. Edgren, G., 1993. Expected Economic and Demographic Development in Coastal World Wide, National Institute for Coastal and Marine Management, Coastal Zone Management Centre, Noordwijk, Netherland. Ghofar, A., 2004, PengelolaanSumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor. Gatra Edisi Khusus. No. 08 Tahun XII, Januari 2006. Di Laut Kita Belum Jaya. Hlm : 72 – 74. Lee, G. F., and Jones-Lee, A. 2007. Role of Aquatic Plant Nutrients in Causing Sediment Najamuddin A. 2004. Variasi Ukuran dan Kebiasaan Makan Larva Ikan dan Juvenil Ikan di Pantai Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nikolsky, G. V., 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press. London. 352p. Purwanto, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Romomihtarto K, Juwana S. 1999. Plankton Larva Ikan Hewan Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, PT. Gramedia, Jakarta.

20

Soemodhiharjo. 1990. Teluk Ambon. Ambon: Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut (LIPI) Ambon Oxygen Demand Part II – Sediment Oxygen Demand, Report of G. Fred Lee & Associates, El Macero, CA, June (2007). Pauer, J.J., K. Taunt, W. Melendez, R.G. Kreis, and A. Anstead. 2007. Resurrection of the Lake Michigan eutrophication model, MICH1. J. Great Lakes Res. 33:554-563. Tomascik, T., A.J. Mah., A. Nontji. and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. Periplus Edition. Republic of Singapore. 7: 192 – 221. Thamrin. 2006. “Karang” Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres, Pekanbaru. Wood, E. J. F. , W.E. Odum and J. C. Zieman. (1969), Influence of the seagrasses on the productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. Un Simposio Mem. Simp. Intern. U.N.A.M. - UNESCO, Mexico,D.F., Nov., 1967. pp 495 - 502. Zonneveld. N., E. A. Huisma dan J. H. Boon. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

More Documents from "OrdahSahputra"