Tugas Rangkuman Plsbt

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Rangkuman Plsbt as PDF for free.

More details

  • Words: 2,987
  • Pages: 11
BAB I PENDAHULUAN

Ceritera tentang pertempuran-pertempuran yang merupakan lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum dan sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Melewati tahun 1945, pertentangan-pertentangan semacam itu terjadi diantara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial-politik. Padahal sebelumnya hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan bangsa mampu melupakan kepentingan masing-masing untuk saling bahu-membahu menciptakan kemerdekaan bangsa, seperti peristiwa pemberontakan PKI pada tahun

1948,

pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI-Permesta, dan Gerakan 30 September 1965 hampir memusnahkan keutuhan Negara dan bangsa Indonesia. Belum terhitung konflik-konflik yang bersifat lokal dan segera dapat diatasi dalam waktu yang singkat. Beberapa diantaranya bahkan terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia benar-benar dapat ditegakkan. Yang lebih merisaukan lagi ialah kenyataan bahwa pertentanganpertentangan tersebut terutama terjadi di sekitar pertentangan-pertentangan pendapat atau pendirian mengenai dasar falsafah Negara, suatu -“konsensus nasional’ yang seharusnya justru menjadi landasan bagi seluruh tingkah laku dan pergaulan di antara sesama warga Negara Indonesia didalam hubungan mereka satu sama lain. Keadaan yang demikian mengingatkan pada pernyataan beberapa ahli ilmu kemasyarakatan bangsa asing yang menganggap semboyan “Bhineka Tunggal Ika” sesungguhnya merupakan cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia daripada sebagai kenyataan yang benar-benar hidup di dalam masyarakat. Masalah konflik dan integrasi nasional akan tetap menjadi masalah yang rawan bagi akan datang, terutama karena proses pembangunan yang akan terus menerus meningkat di masa-masa mendatang dapat mengakibatkan kepentingan-kepentingan berbagai golongan menjadi semakin mengemuka dan saling berhadapan satu sama lain. Konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, dan melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Akan

tetapi, konflik-konflik sosial di dalam berbagai masyarakat senantiasa memiliki derajat dan polanya masing-masing. Mengapa ? Karena sumber yang menyebabkannya mempunyai ragam dan pola yang tidak sama pula. Apabila kita menerima pernyataan tersebut, maka pertanyaan kita kemudian ialah : faktor-faktor laten apakah yang sesungguhnya telah menyebabkan timbulnya semua pertentangan-pertentangan tersebut, dan yang senantiasa akan menjadi sumber yang bersifat laten pula bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja terjadi di Indonesia di kemudian hari? Pertanyaan demikian dilontarkan sama sekali bukan dengan maksud membangkitbangkitkan konflik diantara kita, bukan pula kita lontarkan dengan maksud mengorek luka dan rasa nyeri dari pengalaman-pangalaman pahit masa lalu kita, melainkan sebaliknya kita lontarkan dengan kelapangan hati untuk memahami benih-benih yang menjadi sebabnya. Hanya melalui pemahaman yang mendalam sumber-sumber yang menyebabkannya, maka konflik-konflik sosial di antara sesama bangsa Indonesia dapat kita hindarkan atau kita jinakkan. Pertanyaan yang sangat fundamental ini kita lontarkan, karena hal yang demikian seringkali tidak mudah kita lakukan. Konflik di antara sesame kita adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong royong yang kita muliakan itu, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat Bhineka Tunggal Ika yang kita junjung tinggi. Tanpa pernah kita sadari, bahwa mekanisme psikologis yang demikian justru dapat membawa kita lebih jauh ke dalam lingkaran konflik-konflik yang semakin perkembangan-perkembangan yang justru dapat mematangkan situasi konflik. Menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di antara sesama kita dengan cara yang demikian, adalah laksana memasukkan api ke dalam sekam. Sebaliknya, dengan menyadari akan adanya konflik-konflik sosial yang bersifat laten di dalam masyarakat, justru memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkannya. Sementara itu dengan pengertian-pengertian yang mendalam tentang sumber-sumber laten yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik social di dalam masyarakat, kita memiliki kemungkinan yang lebih besar pula untuk menyusun suatu kebijaksanaan yang bersifat fundamental untuk mengeliminir sumber-sumber konflik tersebut serta menghindarkan kemungkinan timbulnya konflik-konflik social semacam itu dikemudian hari. Dengan perkataan lain, jawaban atas pertanyaan tentang faktorfaktor apakah yang secara laten menyebabkan timbulnya

konflik-konflik social di

dalam masyarakat kita, diharapkan sekaligus akan membawa kita kepada jawaban atas pertanyaan kita yang lebih penting yakni: faktor-foktor apakah yang sebaliknya mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi-kondisi konflik semacam itu? Kedua macam pertanyaan itulah yang telah membangkitkan dan menggerakkan minat penulis untuk menulis karangan pendek ini. Pada tingkat pertama minat tersebut menyatakan diri berupa keinginan untuk mengungkapkan dan memahami faktor-faktor yang menjadi benih timbulnya konflik-konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya bermaksud mencari pengertian mengenai faktor-faktor yang sebaliknya mengintegrasikan masyarakat Indonesia selama ini dan kemungkinankemungkinannya di kemudian hari. Adanya beraneka-ragam aliran-aliran pemikiran mengenai bagaimana suatu masyarakat terintegrasi itulah maka suatu sudut pendekatan tertentu perlu diterapkan lebih dahulu sebelum suatu pembahasan tanpa arah terlanjur berkembang. Lebih jauh lagi, buku ini hanya ingin memperkenalkan dua diantara sekian banyak sudut pendekatan sosiologi yang paling kontroversial di dalam menganalisis masalah konflik dan integrasi, sambil mengintip kemungkinan untuk menyusun suatu sintesis di antara keduanya sedemikian rupa, sehingga akan lebih realistis untuk menganalisis sistem sosial Indonesia.

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Dua macam sudut pendekatan yang paling populer di antara pendekatanpendekatan yang lain, agaknya perlu dipahami lebih dahulu sebelum suatu sudut pendekatan tertentu pembahasan masalah konflik dan integrasi ditetapkan. Sudut pendekatan yang perlu mendapatkan perhatian pertama kali adalah sebuah pendekatan yang menjadi amat berpengaruh di kalangan para ahli sosiologi selama beberapa puluh tahun ini. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk ekuilibrium. Karena sifatnya yang demikian, maka aliran pemikiran tersebut disebut sebagai Integration approach, order approach, equilibrium approach, atau dengan lebih popular disebut sebagai structural-funtional approach (pendekatan fungsional structural). Teori-teori yang mendasarkan diri pada suatu pendekatan tersebut, biasa dikenal pula sebagai integration theories, order theories, equilibrium theories, atau lebih biasa dikenal dengan teori-teori fungsional struktural. Pendekatan fungsionalisme structural sebagaimana yang telah dikembangkan oleh sebagai berikut: 1. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain. 2.

Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara bagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal balik.

3.

Sekalipun integrasi social tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental system social selalu cenderung bergarak ke arah ekuilibrium yang bersifat dinamis.

4. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan senantiasa terjadi juga, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan

tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaianpenyesuaian dan proses institusionalisasi. 5. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,melalui penyesuaian-penyesuaian, dan tidak secara revolusioner. 6. Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam diferensiasi structural dan fungsional; serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat. 7. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Dengan cara lain, dapat dikatakan bahwa suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar penilaian umum tersebut, adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Pengaturan intaraksi sosoial di antara para anggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena commitment mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka mememukan keselarsan satu sama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial tertentu. Dalam pada itu, ekuilibrium suatu tingkat sosial terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat para anggota masyarakat dapat dikendalikan pada tingkat dan arah menuju terpeliharanya kontinuitas

sisitem sosial, yakni

mekanisme sosialisasi dan pengawasan sosial (social control). Pendekatan fungsionalisme struktural terlalu menekankan anggapan-tapa yang oleh David Lockwood disebut dengan substratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan

timbulnya perbedaan-perbedaan life

chance dan

kepentingan-

kepentingan yang tidak bersifat normatif, tidak memperoleh tempat yang wajar di dalam pemikiran-pemikiran para penganut pendekatan fungsionalisme struktural. Dengan

pernyataannya itu, David Lockwood ingin menegaskan kepada kita kenyataan bahwa setiap situasi sosial senantiasa mengandung di dalam dirinya dua hal, yakni: tata tertib sosial yang bersifat normatif, dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama-sama didalam setiap sistem sosial. Tumbuhnya tata tertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik di dalam masyarakat. Sebaliknya, tumbuhnya tata tertib sosial justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat. Oleh karena itu, apabila kita berbicara tentang stabilitas atau instabilitas dari suatu sistem sosial, maka yang kita maksudkan sesungguhnya tidaklah lebih daripada menyatakan derajat keberhasilan atau kegagalan dari suatu tertib normatif di dalam mengatur kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Anggapan dasar bahwa setiap sistam sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau ekuilibrium da atas konsensus para anggota masyarakat akan

nilai-nilai

umum

tertentu,

mengakibatkan

para

penganut

pendekatan

fungsionalisme stuktural kemudian menganggap bahwa disfungsi, keteganganketegangan, dan penyimpangann-penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan dalam bentuk tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh factor-faktor yang dating dari luar. Anggapan semacam itu mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut: 1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial. 2. Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari luar tidak selalu bersifat adjustive. 3. Suatu sistem sosial, di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle. 4. Perubahan-perubahan social tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-Ipenyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi sevara revolusioner. Oleh karena mengabaikan kenytaan-kenyataan itulah, maka pendekatan fungsionalisme structural dipandang oleh banyak ahli sosiologi sebagai pendekatan

yang bersifat reaksioner, dan oleh karenanya dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap tidak saja mengabaikan kenyataan bahwa konflik dan kontradiksi-kontradiksi intern dapat merupakan sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan kemasyarakatan, akan tetapi juga kurang memberikan tempat yang wajar pada kenyataan bahwa suatu sistem sosial tidak selalu mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar. Apa yang kurang diperhatikan oleh para penganut fungsionalisme stuktural sebaimana disajikan di atas justru menjadi pusat perhatian analisis-analisis para penganut pendekatan konflik. Pendekatan konflik (conflict approach) masih dapat kiata bedakan atas dua macam pendekatan yang lebih kecil, yakni stucturalist-Marxist dan Structuralist-Non-Marxist, pokok-pokok yang akan disajikan berikut ini terutama berpangkal pada anggapan-anggapan dasar dari pendekatan Structuralist-Non-Marxist. Pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan dasar berikut: 1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gajala yang melekat di dalam setiap masyarakat. 2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat, 3. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial. 4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain. Perubahan sosial, oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat, akan tetapi lebih dari pada itu malahan di anggap “bersumber” di dalam faktor-faktor yang ada di dalam masyarakat itu sendiri, suatu hal yang kurang diperhatikan oleh para penganut Pendekatan fungsionalisme structural. Suatu hal yang senantiasa mengakibatkan timbulnya dua macam kategori social I dalam setiap masyarakat, yakni: mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas.

Pembagian otoritas yang bersifat dikotomis serupa itu oleh para penganut pendekatan konflik dianggap menjadi sumber timbulnya konflik-konflik social di dalam setiap masyarakat. Mengapa? Karena pembagian otoritas yang demikian, di dalam dirinya sendiri, menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain. Pembagian otoritas yang demikian mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang otoritas memilki kepentingan-kepentingan, yang baik secara substansial maupun arahnya, berlawanan satu sama lain. Apa yang dimaksud dengan kepentingan oleh para penganut pendekatan konflik, bukanlah kepentingan di dalam artinya yang bersifat “subyektif” sebaimana dirasakan oleh orang-orang, melainkan kepentingan yang secara “obyektif’ melekat di dalam kedudukan social tertentu. Dengan demikian apa yang mereka maksudkan dengan kepentingan di sini, kurang lebih adalah sama dangan yang dimaksudkan oleh Karl Marx pada waktu ia mengatakan tntang common situation dengan common interst-nya, suatu pengertian yang lebih bersifat sebagai gejala (theoretical phenomen) daripada sebagai kenyataan yang bersifat emperis. Dengan pengertian yang itulah maka para penganut pendekatan konflik mengatakan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan mengukuhan status-quo dari pola hubungan-hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepenting mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif, berupa kepentingan untuk mengubah atau merombak status-faquo dari pola hubungan tersebut. Karna kepentingan-kepentingan yang demikian tidak selalu disadari adanya, maka ia disebut sebagai kepentingan-kepentingan yang bersifat laten (latent interest), sementara mereka yang memilikinya disebut sebagai kelompok semu (quasi-groups) mengingat kenyataan bahwa pola hubungan-hubungan social yang berkembang diantara para angotanya berbentuk melalui proses yang melalui proses yang tidak mereka sadari. Sekalipun, berbeda dari kelompok-kelompok yang sesungguhnya, kelompok semu tidak memiliki struktur hubungan-hubungan social yang disadari, akan tetapi para anggotanya memiliki kepentingan-kepentingan dan mode-mode tingkah laku yang sama, yang setiap saat dapat berkembang menjadi kelompok dalam artian yang sebenarnya berupa apa yang biasa disebut sebagai kelompok kepentingan. Dengan demikian kelompok semu merupakan sumber dari para anggota kepentingan berasal atau direcruit. Sebagaimana diketahui, setiap quasi-group, baik yang tidak mamiliki

kekuasaan otoritatif (subjection)

itu perlu diperingatkan di sini, bahwa kelompok

kepentingan lah suatu istilah yang sangat umum. Setiap kelompok sekunder, seperti perkumpulan sepak bola, perkumpulan catur, maupun perkumpulan-perkumpulan yang bersifat politis, pada dasarnya dapat dipandang sebagai kelompok kepentingan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kelompok kepentingan di dalam kerangka teori konflik di sini, mempunyai karakteristik tersendiri yang berhubungan dengan suatu legitimasi atas suatu pola hubungan-hubungan kekuasaan tertentu antara mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif dan mareka yang tidak mamiliki kekuasaan otoritatif. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan kelompok kepentingan di sini tidak termasuk perkumpulan-perkumpulan sepak bola, perkumpulan catur dan berbagai perkumpulan semacam itu, melainkan lebih berkenaan dengan perkumpulannperkumpulan yang bersifat politis seperti serikat kerja dan partai politik. Karena kepentingan masing-masing kelompok tersebut berlawanan satu sama lain, maka kelompok-kelompok itupin secara potensial selalu berada dalam kondisi konflik pula. Sementara itu suatu kelompok semu tidaklah dengan sendirinya atau begitu saja menjelma menjadi kelompok kepentingan. Dahrendorf menyebutkan tiga macam prasyarat yang bersifat kondisional yang akan memungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan. Prasyarat pertama adalah kondisi-kondisi teknis dari organisasi, adalah munculnya sejumlah orang-orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interests dari suatu kelompok semu menjadi manifest interest berupa kebutuhankebutuhan yang secara sadar ingin dicapai orang. Di dalam perwujudannya, manifest interests tersebut mereka merumuskan ke dalam bentuk suatu ideologi atau suatu sistem nilai yang pada gilirannya akan berfungsi sebagai program atau piagam dari suatu kelompok kepentingan. Kondisi-kondisi teknis tersebut merupakan prasyarat minimal bagi timbulnya suatu kelompok kepentingan. Prasyarat yang kedua yakni kondisi-kondisi politis dari suatu organisasi, ialah

ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh

masyarakat. Tanpa kebebasan berorganisasi, maka munculnya kelompok kepentingan hanya akan brsifat potensial. Prasyarat yang ketiga disebut sebagai kondisi-kondisi sosial bagi suatu organisasi, yakni adanya system komunikasi yang memungkinkan para anggota dari

kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah. Tanpa kondisi-kondisi social yang demikian, maka tersedianya para pemimpin. Ideology, dan kebebasan organisasi belim cukup menjamin bahwa para anggota kelompok kepentingan akan dapat direkrut dengan mudah. Ketiga kondisi tersebut, secara bersama-sama menjadi intervening variables bagi munculnya kelompok kepentingan, yang sebagaimana telah disebutkan di muka selalu berada di dalam suatu konflik. Selaku demikian, ketiganya hendaknya dopandang di dalam hubungannya dengan suatu proses yang bersifat dinamis. Bentuk pengendalian konflik-konflik social yang pertama dan yang paling penting adlah apa yang disebut konsiliasi (conciliation). Pengendalian semacam itu terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Pada umumnya, mengambil contoh di dalam kehidupan politik, lembaga-lembaga semacam itu berupa badan-badan yang bersifat parlementer, dimana berbagai kelompok kepentingan atau wakil-wakil mereka saling bertemu satu sama lain untuk mewujudkan pertentangan-pertentangan mereka melalui cara-cara yang bersifat damai. Jika lembaga-lembaga diskusi yang ada tidak berfungsi dengan baik, maka konflik justru akan menjadi semakin parah. Dalam keadaan yang demikian, maka suatu cara pengendalian yang lain dibutuhkan apabila kedua belah pihak yang bertentangan tidak menghendaki kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan social dalam bentuk kekerasan. Cara pengendalian yang demikian erupa apa yang disebut mediasi (mediation), yakni kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan “nasihat-nasihat”-nya tentang bagaimana mereka sebaliknya menyelesaikan pertentangan mereka. Apabila cara pengendalian inipun masih tidak cukup efektif, maka suatu cara pengendalian yang ketiga, yakni apa yang biasa disebut sebagai perwasitan (arbitration), mungkin sekali akan timbul. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka. Di dalam bentuk mediasi, kedua belah pihak yang bertentangan menyetujui dan mereka. Sekalipun nasihat-nasihat pihak ketiga tersebut

tidak mengikat pihak-pihak yang terlibatm konflik,namun cara pengendalian ini kadang-kadang menghasilkan penyelesaian yang cukup efektif pula oleh karena cara ini memberi kemungkinan-kemungkinan untuk mengurangi irasionalitas yang biasanya timbul di dalam setiap konflik, memungkinkan pihak-pihak yang bertentangan menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan yang dikeluarkan untuk membiayai pertentangan dan lain sebagainya. Apabila cara pengendalian inipun masih tidak cukup efektif, maka suatu cara pengendalian yang ketiga, yakni apa yang biasa disebut sebagai perwasitan (arbitration), mungkin sekali akan timbul. Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk menerima atau ‘terpaksa” menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka. Di dalam bentuk mediasi, kedua belah pihak yang bertentangan menyetujui untuk menerima pihak ketiga sebagai wasit, akan tetapi mereka bebas untuk menerima atau menolak keputusan-keputusan wasit. Lebih daripada mediasi, sebaliknya, suatu perwasitan menempatkan kedua belah pihak yang bertentangan pada kedudukan untuk harus menerima keputusan-keputusan yang diambil oleh wasit. Ketiga jenis pengendalian konflik tersebut di atas, baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian konflik yang bertingkat-tingkat maupun dipandang sebagai cara-cara ysang berdiri sendiri-sendiri, memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindarkan kemuingkinan-kemunhkinan timbulnya ledakanledakan social dalam bentuk kekerasan. Sejauh hubungan-hubungan social berdasrkan ketiga jenis mekanisme pengendalian konflik-konflik social akan kehilangan pengaruhnya yang merusak. Sebaliknya, konflik-konflik tersebut akan menjelma ke dalam pola hubungan-hubungan social yang melembaga, suatu hal yang akan dapat meredusir kegoncangan-kegoncanagn social yang bersifat revolusioner menjadi perubahan-perubahan yang bersifat evolusioner. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik-konflik social yang efektif, konflik-konflik sosial diantara berbagai kelompok kepentingan justru akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan social yang tidak akan mengenal akhir.

Related Documents