Tugas Hukum Perencanaan Kontrak.docx

  • Uploaded by: Yohana Regilya
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Hukum Perencanaan Kontrak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,816
  • Pages: 25
TUGAS HUKUM PERANCANGAN KONTRAK ANALISIS CONTOH DARI PERJANJIAN BERNAMA (PERJANJIAN JUAL BELI)

Oleh : Muhammad Levi Sutansyah (1710113070)

Universitas Andalas Fakultas Hukum 2018/2019

A. Perjanjian Bernama 1) Pengertian 

Perjanjian menurut Prof. R. Subekti, S.H. adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.



Perjanjian (overeenkomsten) menurut Wirjono Projodikoro yaitu suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikat kedua belah pihak.



Pasal 1313 BW mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

2) Jenis-Jenis Perjanjian Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam buku Kompilasi Hukum Perikatan, berdasarkan kriterianya terdapat beberapa jenis perjanjian, antara lain : a. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. b. Perjanjian Cuma-Cuma Menurut ketentuan Pasal 1314 BW, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. c. Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak satu selau terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua itu ada hubungannya menurut hukum. d. Perjanjian Bernama (Benoemd) adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi

sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Burgerlijk Wetboek (BW). e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst) adalah perjanjianperjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi terdapat didalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihakpihak yang mengadakannya. f. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. g. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering). h. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut BW perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 BW). i. Perjanjian Real adalah suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak. j. Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 BW). k. Perjanjian Pembuktian adalah suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. l. Perjanjian Untung-untungan Menurut Pasal 1774 BW, yang dimaksud dengan perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu. m. Perjanjian Publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinate), jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinate). n. Perjanjian Campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalamnya.

B. Perjanjian Jual Beli. 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli 

Jual Beli - Pasal 1457 BW Jual Beli (menurut Burgerlijk Wetboek) adalah suatu perjanjian timbale balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.



Jual Beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.



Pasal 1457 (perjanjian obligatoir) Perjanjian jual beli dikatakan terjadi atau lahir antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut berserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

2. Unsur Pokok (Essentialia) Unsur pokok adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme, sifat kensensuil dari jual beli terdapat dalam pasal 1458 BW , yaitu bahwa perjanjian jual beli sudah ada pada saat tercapainya suatu kesepakatan mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak yang bersangkutan menyetujui tentang barang dan harga, maka perjajian jual beli telah lahir secara sah. Meskipun barang itu belum diserahkan maupun harga belum dibayar.

3. Tujuan Diadakannya Perjanjian Jual Beli Tujuannya adalah untuk mengalihkan hak atas suatu benda yang dijual.  Untuk barang tetap / tidak bergerak dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “balik nama” diuka pegawai Kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama / pegawai penyimpan hipotik, menurut pasal 616 & pasal 620 BW. Barang tidak bergerak itu ada yang bisa bergerak, yaitu kapal contohnya. Dengan ukuran tertentu yang dianggap sebagai benda tidak bergerak merupakan aset jangka panjang karena

harga nya cenderung meningkat seiring berjalannya waktu. Contohnya : Tanah, dan Properti.  Barang bergerak, dilakukan dengan penyerahan kekuasaan suatu barang itu (612 BW) Pasal 612 BW : “penyerahan barang bergerak kecuali yang tidak bertubuh, dilakukan dengan nyata atas nama kepemilikan”

4. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum.Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum.Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:

5. Jual Beli Suami Istri Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu: 

Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.



Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.



Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.

6. Jual Beli Oleh Para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita Dan Notaris. Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.

7. Pegawai Yang Memangku Jabatan Umum

Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang. 8. Objek jual Beli Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah :  Benda atau barang orang lain  Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang  Bertentangan dengan ketertiban  Kesusilaan yang baik

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik. 9. Adapun karakteristik dari perjanjian jual beli ini yaitu sebagai berikut :

a) Kewajiban yang harus dipenuhi oleh penjual adalah : 

Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan



Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram merupakan konsekwensi dari pada jaminan yang oleh penjual diberikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan diserahkan itu

adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak. Kewajiban Pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. “Harga” yang dimaksud adalah berupa sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian maka hal tersebut merupakan wanprestasi yang memberikan alasan kepada si penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 B.W. Risiko dalam jual beli terdapat beberapa pengaturan dalam B.W, yaitu : 

Mengenai barang tertentu (Pasal 1460 BW) Bahwa barang itu sejak saat pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya.



Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal 1461 BW) Risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran diletakkan pada pundak atau dipertanggungjawabkan oleh penjual hingga barang-barang itu telah ditimbang, dihitung dan diukur. Setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran, risiko tersebut berpindah kepada pembeli.



Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462 BW) Risiko terhadap barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli. Hal ini karena barang yang dijual menurut tumpukan dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. Ketentuan umum perjanjian jual beli :

1. Hak milik barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan.

2. Jika barang yang dijual itu telah ditentukan, maka barang tersebut menjadi tanggungan pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan.

3. Jika barang yang dijual (bukan tumpukan) melainkan menurut berat, jumlah, ukuran, maka barang tersebut sebagai tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, atau diukur.

4. Jika barang tersebut berupa tumpukan, maka barang tersebut tanggungan pembeli meskipun belum ditimbang, dihitung, dan diukur.

5. Jual beli yang dilakukan dengan percobaan atau atas barang yang biasanya dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dilakukan dengan syarat tangguh. Syarat tangguh yaitu apabila syarat tersebut dipenuhi, maka perikatannya menjadi berlaku. Contohnya : a berjanji ke b kalau dia suka barang dan cocok dengannya maka ia akan membelinya.

6. Jika jual beli memberi uang panjar, jika batal uang panjar tidak dapat dikembalikan. 7. Biaya AJB dan biaya tambahan lain dipikul oleh pembeli kecuali perjanjian sebaliknya. 8. Antara suami istri tidak boleh ada jual beli. 9. Jual beli orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar untuk menuntut biaya kerugian. Jika ia mengetahui bahwa barang tersebut milik orang lain.

10.Jika barang yang dibeli musnah adalah pembelian batal, jika separuh maka pembeli leluasa membatalkan jual beli atau mengganti harga yang seimbang.

C. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, isi PPJB adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas. Di dalam PPJB memuat perjanjianperjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya AJB. 1) Hal Penting Mengenai Perjanjian PPJB 

Obyek Pengikatan Jual Beli Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) mencakup beberapa obyek yang harus ada. Obyek pengikatan jual-beli ada tiga. Tiga obyek itu meliputi luas bangunan beserta gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis, lokasi tanah yang sesuai dengan pencantuman nomor kavling dan luas tanah beserta perizinannya. Soal penguraian obyek tanah dan bangunan harus dijelaskan secara detail. Jangan sampai ada data dan informasi yang kurang.



Kewajiban dan Jaminan Penjual Bagi penjual yang hendak menawarkan properti yang dijual pada pembeli maka wajib membangun dan menyerahkan unit rumah atau kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga PPJB menjadi pegangan hukum untuk pembeli. Dalam pembuatan PPJB, pihak penjual bisa memasukkan klausul pernyataan dan jaminan bahwa tanah dan bangunan yang ditawarkan sedang tidak berada dalam jaminan utang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Apabila ada pernyataan yang tidak benar dari penjual, calon pembeli dibebaskan dari tuntutan pihak manapun mengenai properti yang hendak dibelinya.



Kewajiban bagi Pembeli Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah atau kavling dan sanksi dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan. Calon pembeli juga bisa kehilangan uang mukanya apabila pembelian secara sepihak.

2) Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Sesuai Keputusan Pemerintah PPJB diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995. Perjanjian ini merupakan salah satu kekuatan hukum sekaligus jaminan hukum pada saat membeli rumah. Secara garis besar, PPJB berisikan 10 faktor penting, yaitu:  Pihak yang melakukan kesepakatan  Kewajiban bagi penjual  Uraian obyek pengikatan jual beli  Jaminan penjual  Waktu serah terima bangunan  Pemeliharaan bangunan  Penggunaan bangunan  Pengalihan hak  Pembatalan pengikatan  Penyelesaian Perselisihan.

Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan sebatas pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis berupa surat atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti, apabila sampai ada sengketa. Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu: 

Bukti Surat;



Bukti Saksi;



Persangkaan;



Pengakuan;



Sumpah.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta otentik (vide: Pasal 1868 KUH Perdata). Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut, Pasal 1870 KUH Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Adapun, kutipannya sebagai berikut, Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R. Subekti) “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.” Sebagai informasi, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli. Hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat. Hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak

tersebut apabila memang ada hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut. Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut: “Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.” Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belumlah melebihi masa Daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut: “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”

D. Pengikatan Jual Beli (PJB) PJB adalah kesepakatan antara penjual untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PJB bisa dibuat karena alasan tertentu seperti belum lunasnya pembayaran harga jual beli dan belum dibayarkannya pajak-pajak yang timbul karena jual beli. PJB ada dua macam yaitu PJB lunas dan PJB tidak lunas. PJB lunas dibuat apabila harga jual beli sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada penjual tetapi belum bisa dilaksanakan AJB, karena antara lain pajak-pajak jual beli belum dibayarkan, sertifikat masih dalam pengurusan dan lain-lain. Dalam pasal-pasal PJB tersebut dicantumkan kapan AJB akan dilaksanakan dan persyaratannya. Di dalam PJB lunas juga dicantumkan kuasa dari penjual kepada pembeli untuk menandatangani AJB, sehingga penandatanganan AJB tidak memerlukan kehadiran penjual. PJB lunas umum dilakukan untuk transaksi atas objek jual beli yang berada diluar wilayah kerja notaris atau PPAT yang bersangkutan. Berdasarkan PJB lunas bisa dibuatkan AJB di hadapan PPAT di tempat lokasi objek berada.

PJB tidak lunas, dibuat apabila pembayaran harga jual beli belum lunas diterima oleh penjual. Di dalam pasal-pasal PJB tidak lunas sekurang-kurangnya dicantumkan jumlah uang muka yang dibayarkan pada saat penandatanganan akta PJB, cara atau termin pembayaran, kapan pelunasan dan sanksi-sanksi yang disepakati apabila salah satu pihak wanprestasi. PJB tidak lunas juga harus ditindaklanjuti dengan AJB pada saat pelunasan.

E. Akta Jual Beli (AJB) AJB adalah akta otentik yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan. Pembuatan AJB sudah diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 08 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran Tanah, sehingga PPAT tinggal mengikuti format-format baku yang sudah disediakan. Pembuatan AJB dilakukan setelah seluruh pajak-pajak yang timbul karena jual beli sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Langkah selanjutnya adalah mengajukan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan setempat atau yang lazim dikenal dengan istilah balik nama. Dengan selesainya balik nama sertifikat maka hak yang melekat pada tanah dan bangunan sudah berpindah dari penjual kepada pembeli. Syarat dan prosedur jual beli tanah : 1) Data Penjual : 

Fotokopi KTP (apabila sudah menikah maka fotokopi KTP Suami dan Istri);



Kartu Keluarga (KK);



Surat Nikah (jika sudah nikah);



Asli Sertifikat Hak Atas Tanah yang akan dijual meliputi (Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Sertifikat Hak Guna Usaha, Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun). Selain 4 jenis sertifikat tersebut, bukan Akta PPAT yang digunakan, melainkan Akta Notaris;



Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 5 tahun terakhir;



NPWP;



Fotokopi Surat Keterangan WNI atau ganti nama, bila ada untuk WNI keturunan;



Surat bukti persetujuan suami istri (bagi yang sudah berkeluarga);



Jika suami/istri penjual sudah meninggal maka yang harus dibawa adalah akta kematian;



Jika suami istri telah bercerai, yang harus dibawa adalah Surat Penetapan dan Akta Pembagian Harta Bersama yang menyatakan tanah/bangunan adalah hak dari penjual dari pengadilan.

2) Data Pembeli 

Fotokopi KTP (apabila sudah menikah maka fotokopi KTP suami dan Istri);



Kartu Keluarga (KK);



Surat Nikah (jika sudah nikah);



NPWP.

3) Proses Pembuatan AJB di Kantor PPAT Sebelum membuat AJB, PPAT akan melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan. Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh, sedangkan pembeli diharuskan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut: Pajak Penjual (PPh = NJOP/Harga Jual x 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak} x 5 % NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak, yakni harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Calon pembeli dapat membuat surat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang Hak Atas Tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum. PPh maupun BPHTB dapat dibayarkan di Bank atau Kantor Pos. sebelum PPh dan BPHTB dilunasi maka akta belum dapat dibayarkan. Biasanya untuk mengurus pembayaran PPh dan BPHTB dibantu oleh PPAT bersangkutan.

Anda perlu mengecek apakah jangka waktu Hak Atas Tanah sudah berakhir atau belum. Sebab untuk Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ada jangka waktunya. Jangan sampai membeli tanah SHGB atau SHGU dengan kondisi sudah jatuh tempo. Selanjutnya, Anda perlu mengecek apakah di atas tanah yang akan dibeli ada Hak yang lebih tinggi. Misalkan, tanah yang akan dibeli adalah tanah SHGB yang di atasnya ada Hak Pengelolaan (HP). Penjual dan pembeli harus meminta izin dahulu kepada pemegang hak pengelolaan tersebut. Berikutnya, apakah rumah yang akan dibeli pernah menjadi jaminan kredit dan belum dilakukan penghapusan (roya) atau tidak. Apabila pernah, harus diminta surat roya dan surat lunas dari penjual agar nantinya bisa balik nama.

4) Pembuatan AJB Pembuatan AJB harus dihadiri penjual dan pembeli (suami istri bila sudah menikah) atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis. Adapun, saksi yang perlu dihadirkan sekurang-kurangnya dua saksi. PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi akta. Apabila pihak penjual dan pembeli menyetujui isinya, akta akan ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi dan PPAT. Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh PPAT dan satu lembar lain akan diserahkan ke kantor pertahanan untuk keperluan balik nama. Salinannya akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli.

5) Proses ke Kantor Pertanahan Setelah AJB selesai di buat, PPAT menyerahkan berkas AJB ke kantor pertanahan untuk balik nama. Penyerahan berkas AJB harus dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatangani. Adapun berkas-berkas yang diserahkan meliputi: 

Surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli;



Akta Jual Beli dari PPAT;



Sertifikat Hak Atas Tanah;



Fotokopi KTP penjual dan pembeli;



Bukti lunas pembayaran PPh dan BPHTB. Setelah berkas diserahkan di kantor pertanahan, akan ada tanda bukti penerimaan

yang akan diserahkan kepada pembeli. Nama pemegang hak lama atau penjual akan dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Nama pembeli selaku pemegang hak baru atas tanah akan ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat, dengan pembubuhan tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk. Dalam waktu empat belas hari, pembeli berhak mengambil sertifikat yang sudah balik atas nama pembeli di kantor pertahanan setempat. 6) Tanah Warisan Apabila suami atau istri atau keduanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia dan ahli warisnya akan melakukan jual beli, tanah tersebut harus dibalik nama terlebih dahulu atas nama ahli waris. Selain itu, sebelum melakukan proses jual beli seperti di atas, data tambahan yang diperlukan adalah sebagai berikut: 

Surat keterangan waris. Untuk WNI pribumi berupa surat keterangan waris yang diajukan disaksikan dan dibenarkan oleh lurah yang dikuatkan Camat. Untuk WNI keturunan berupa surat keterangan waris dari notaris;



Fotokopi KTP seluruh ahli waris;



Fotokopi Kartu Keluarga (KK);



Fotokopi Surat Nikah;



Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris jika tidak bisa hadir;



Bukti Pembayaran BPHTB waris atau pajak ahli waris yang besarannya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan nilai tidak kena pajaknya.

7) Tanah Girik Tanah girik merupakan tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau dibuatkan sertifikat di kantor pertahanan setempat. Jadi girik bukan tanda bukti atas tanah, melainkan merupakan bukti bahwa pemilik girik adalah pembayar pajak dan orang menguasai tanah milik adat atas bidang tanah tersebut beserta bangunan, jika tersedia di atasnya. Adapun jual beli tanah girik dapat dilakukan sebagai berikut: 

Akta girik yang dipakai adalah girik asli;



Bukti pembayaran PBB dari pemilik girik;



Surat keterangan bahwa tanah girik tersebut tidak sedang dalam persengketaan;



Surat keterangan Riwayat Tanah dari kelurahan, kecamatan, atau kepala desa. Adapun, surat riwayat ini menerangkan asal tanah dan siapa saja pemilik tanah sebelumnya hingga sampai saat ini;



Surat keterangan dari kelurahan atau kecamatan bahwa tanah tersebut belum diperjualbelikan kepada siapapun;



Tanah tersebut tidak sedang dijaminkan. Anda perlu meminta girik asli dari penjual dan memastikan nama penjual dalam girik tersebut adalah nama yang tercantum dalam AJB. Pastikan bahwa objek yang termasuk di dalam tanah girik dikuasai secara fisik. Ajukan permohonan Hak ke Kantor BPN wilayah dengan tahapan :



Pengakuan pemilikan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan gambar situasi;



Penelitian dan pembahasan panitia ajudikasi. Panitia ajudikasi ini dibentuk oleh menteri negara agraria atau kepala BPN yang bertugas membantu kepala kantor pertanahan untuk melakukan pendaftaran tanah sistemik. Ajudikasi sendiri merupakan kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya;



Pengumuman surat permohonan tersebut;



Penerbitan surat keputusan pemberian hak;



Pencetakan sertifikat tanah. Namun, mengingat girik bukanlah bukti kepemilikan atas bidang tanah yang sah,

sebaiknya sebelum proses jual beli girik diubah menjadi sertifikat. Disebutkan bahwa pengurusan sertifikat ini membutuhkan waktu sembilan bulan. Adapun, berkas yang perlu disiapkan adalah: 

Asli Girik dan asli AJB;



Fotokopi KTP;



Surat penguasaan fisik bidang tanah;



Surat keterangan kepala desa atau kelurahan;



Surat bukti PBB;



Surat kuasa apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain. Setelah berkas-berkasnya lengkap, proses selanjutnya diteruskan ke BPN setempat

dan petugas ukur akan segera mensosialisasikan luas bidang tanah yang akan dibuatkan sertifikat aslinya. Setelah berkas selesai diproses, petugas administrasi BPN akan memberikan sertifikasi kepemilikan tanah yang sah sebagai pengganti girik.

F. CONTOH KASUS PERSENGKETAAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN PENYELESAIANNYA Ada empat syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Pertama, kata sepakat. Kedua, cakap hukum. Ketiga, hal tertentu. Keempat, sebab yang halal. Pada dasarnya, perjanjian lisan dapat memenuhi unsur kata sepakat.

Bentuk tertulis hanya berfungsi sebagai alat pembuktian. Walaupun ada kalanya undangundang mensyaratkan dalam bentuk tertulis dan tertulis otentik. Jual beli nasi goreng, misalnya, tak perlu bentuk tertulis. Cukup kata sepakat secara lisan. Perjanjian lisan masih memerlukan kesaksian, pengakuan dan alat-alat bukti lain untuk membuktikan keberadaan perjanjian tersebut. Sedangkan perjanjian tertulis perlu diakui oleh para pihak yang membuatnya agar punya kekuatan pembuktian sempurna. Perjanjian tertulis yang diakui para pihak di hadapan hakim bernilai sama dengan akta otentik. Perjanjian arbitrase dan perjanjian alih daya tenaga kerja adalah contoh perjanjian yang disyaratkan tertulis oleh peraturan perundang-undangan.[1] Perjanjian hibah, tukar menukar, inbreng, pembagian hak atas tanah, misalnya, disyaratkan dalam bentuk tertulis otentik atau disebut juga akta otentik.[2] Akta otentik adalah akta yang bentuknya telah ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di tempat akta itu dibuat. Akta otentik punya kekuatan pembuktian mengikat sempurna. Hakim tak dapat membantah lagi kebenaran isi akta tersebut. Dalam jual beli tanah, peraturan pemerintah mensyaratkan bentuk tertulis otentik. Perjanjian jual beli tanah harus dibuat dalam bentuk tertentu di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tujuannya, sebagai alat bukti untuk kepentingan pendaftaran. Pada kenyataannya, masih terjadi perjanian yang hanya dibuat tertulis, padahal undangundang mengatur dibuat dalam bentuk akta otentik. Putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 1621 K/Pdt./2012 dapat dipelajari sebagai contoh kasus tersebut dan bagaimana sikap pengadilan menghadapinya.

G. Ringkasan Kasus Posisi Dalam perkara ini, para pihak yang bersengketa adalah Ibrahim melawan Andiani Limbungan (AL). Ibrahim mengaku sebagai pemilik tanah di Jalan Salemba Tengah Gg IX No. 121 C Kelurahan Paseban Kecamatan Senen (“tanah”) . Menurut Ibrahim ia membeli tanah tersebut dari Entong berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 27 Januari 2002. Entong adalah pemegang sertipikat Hak Milik No. 721 Tahun 1999. Ibrahim sepakat menjual tanah itu kepada AL berdasarkan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007. AL telah sepakat membeli tanah tersebut dengan ganti rugi. AL sudah membayar lunas biaya tersebut. Namun Ibrahim belum mengosongkan tanah tersebut. Sekalipun AL telah menegurnya berkali-kali. AL menggugat Ibrahim melakukan cedera janji. AL mengaku telah merugi akibat perbuatan Ibrahim. AL menuntut Ibrahim membaya sewa karena telah menempati dan menikmati tanah. AL mengaku dirugikan secara materiil sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta). Kerugian tersebut adalah kompensasi sewa pakai yang tidak dibayarkan Ibrahim sejak 26 Juli hingga gugatan didaftarkan. Guna menghindari Ibrahim mengalihkan tanah sengketa pada pihak lain, maka AL memohon pengadilan meletakkan sita penyesuaian (revindicatoir beslag). Selain sita penyesuaian, AL memohon pengadilan meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan dituntut untuk mengantisipasi kemungkinan Ibrahim tidak membayar kompensasi atas sewa pakai tanah. Ibrahim mengaku telah meminjam Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta) pada AL. Jangka waktu utang piutang tersebut adalah 3 (tiga) bulan. Bunga yang dikenakan pada utang piutang tersebut adalah 10% (sepuluh persen). Utang piutang tersebut terjadi hanya dengan lisan pada September 2007. Setelah lewat 3 (tiga) bulan, Ibrahim belum dapat melunasi utang. Tiba-tiba Ibrahim disuruh menandatangani kuitansi tanggal 3 Februari 2008 dan menandatangai Surat Perjanjian Jual Beli di bawah tangan tanggal 26 Juli 2007.

Menurut Ibrahim, kuitansi tanggal 3 Februari 2008 dan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007 tersebut cacat hukum. Cacat hukum terjadi karena Ibrahim dipaksa menandatanganinya dan perjanjian tersebut dibuat AL sepihak. Atas dasar permohonan tersebut, AL menuntut delapan hal, kepada majelis hakim. Pertama, menerima dan mengabulkan seluruh gugatan AL. Kedua, menyatakan Ibrahim wanprestasi. Ketiga, menyatakan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007 antara Ibrahim dan AL sah berkekuatan hukum. Keempat, AL menuntut majelis hakim agar menghukum Ibrahim menyerahkan tanah berikut bangunan tempat tinggal serta turutan-turutannya menurut sifat,maksud dan tujuan menurut hukum benda-benda tidak bergerak tanpa pengecualian. Kelima, AL menuntut majelis hakim supaya menghukum Ibrahim membayar ganti rugi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) sebagai kompensasi sewa pakai rumah tempat tinggal di tanah tersebuit. Pembayaran dilakukan secara tunai seketika dan sekalgus. Keenam, Menyatakan sah dan berharga revindicatoir beslag dan conservatoir beslag atas tanah. Ketujuh, menyatakan putusan dapat dieksekusi terlebih dulu. Meskipun ada verzet, banding dan kasaisi. Ketujuh, menuntut majelis hakim agar Ibrahim dihukum membayar biaya perkara.

H. Sikap Pengadilan Atas

tuntutan

tersebut,

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat,

melalui

Putusan

No.90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Oktober 2009 diantaranya memutuskan delapan hal. Pertama, mengabulkan sebagian gugatan AL. Kedua, menyatakan Ibrahim ingkr janji. Ketiga, menyatakan Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007 antara Ibrahim dan AL sah dan berkekuatan hukum mengikat. Keempat, menghukum Ibrahim menyerahkan tanah berikut bangunan tempat tinggal serta turutan-turutannya menurut sifat,maksud dan tujuan menurut hukum benda-benda tidak bergerak tanpa pengecualian.

Kelima, menghukum Ibrahim membayar ganti rugi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) sebagai kompensasi sewa pakai rumah tempat tinggal di tanah Sertipikat Hak Milik No. 721 Tahun 1999 atas nama Entong tersebuit. Pembayaran dilakukan secara tunai seketika dan sekalgus. Keenam, Menyatakan sah dan berharga revindicatoir beslag. Ketujuh, menghukum Ibrahim membayar biaya perkara sebesar Rp761.000,00 (tujuh ratus enam puluh satu ribu). Ibrahim lalu mengajukan banding.Namun Pengadilan Tinggi Jakarta, melalui Putusan Nomor 373/Pdt/2011/PT.DKI,

menguatkan

Putusan

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat

No.90/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Pst tersebut. Ibrahim lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Menjawab kasasi Ibrahim, Mahkamah Agung, diantaranya, menimbang, AL telah membeli tanah dari Ibrahim secara sah dan lunas. Menurut Mahkamah Agung, Ibrahim gagal membuktikan dalil Surat Perjanjian 26 Juli 2007 cacat hukum karena ditandatangani secara terpaksa dan tanpa kesadaran penuh. Mahkamah Agung kemudian memutuskan menolak permohonan kasasi Ibrahim. Ibrahim juga dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

I. Analisis Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat :

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu pokok persoalan tertentu; 4) Suatu sebab yang halal. Perjanjian lisan sebetulnya sudah bisa memenuhi unsur kata sepakat. Namun, dalam hal tertentu, perjanjian minimal dibuat tertulis. Fungsinya untuk kepentingan pembuktian. Guna menjamin kepastian hukum dan memperkecil resiko sengketa, beberapa perjanjian disyaratkan tertulis dan tertulis otentik oleh undang-undang.

Perjanjian tertulis adalah persetujuan yang dibuat para pihak tidak di hadapan atau oleh pejabat umum yang berwenang dan bentuknya ditentukan para pihak sendiri. Ditentukan secara bebas oleh para pihak karena memang tidak disyaratkan oleh undang-undang atau karena para pihak melanggar ketentuan undang-undang. Perjanjian semacam itu disebut tulisan di bawah tangan. Tulisan di bawah tangan membutuhkan pengakuan kebenaran atas tulisan tersebut dari para pihak dan saksi-saksi lain. Namun jika tanda tangan dalam tulisan di bawah tangan itu sudah diakui oleh para pihak, maka tulisan tersebut berkekuatan mengikat dan sempurna sebagai alat bukti. Perjanjian tertulis otentik juga disebut akta otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang di tempat akta itu dibuat. Akta otentik, kekuatan pembuktiannya mengikat sempurna. Mengikat artinya hakim tak dapat menolak kebenaran perjanjian tersebut. Sempurna artinya hakim tak memerlukan bukti tambahan lagi terhadap isi akta tersebut. Kecuali jika terbukti sebaliknya. Ada unsur pidana penipuan dalam akta tersebut, misalnya. Jual beli tanah hanya dapat didaftarkan di Kantor Pertanahan jika dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). Sehingga pada dasarnya, jual beli tanah tanpa akta PPAT tidak dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sehingga proses balik nama belum terjadi. Bila proses balik nama belum terjadi artinya tanah tersebut masih atas nama penjual. Sekalipun perjanjian jual beli telah dilaksanakan dan uang telah dibayar pembeli pada penjual. Hanya dalam keadaan tertentu, kepala kantor pertanahan dapat mendaftar jual beli tanah yang tidak dibuat dalam akta otentik PPAT. Dalam keadaan tersebut, kadar kebenaran perjanjian jual beli tanah tersebut tergantung penilaian kepala kantor pertanahan. Keadaan tertentu itu ditentukan oleh Menteri.

Sejak dahulu, tanah adalah harta tidak bergerak yang sangat berharga. Nilai tanah dari tahun ke tahun relatif meningkat. Sehingga kepemilikan hak atas tanah selalu rentan sengketa. Masuk akal jika untuk memperkecil resiko sengketa, peraturan pemerintah mensyaratkan alat bukti tertulis yang sempurna dan mengikat berupa akta otentik sebagai dasar pendaftaran jual beli tanah. Ibrahim dan Entong tidak pernah melakukan jual beli tanah di hadapan PPAT. Dengan demikian, tanah tersebut belum pernah dibalik nama dari Entong ke Ibrahim. Pengalihan hak atas tanah dari Entong ke Ibrahim tidak pernah terjadi. Ibrahim bukan pemegang sertipikat hak atas tanah. Entonglah si pemegang hak atas tanah. AL harusnya melakukan jual beli dengan Entong bukan dengan Ibrahim. Tanah masih milik Entong karena jual beli tanah tidak memenuhi ketentuan undang-undang Hubungan hukum AL dengan Ibrahim menjadi utang piutang. Ibrahim menerima uang dari AL untuk sebuah janji yang tak dapat dilaksanakan. Ibrahim menerima uang AL atas tanah yang tak bisa dibalik nama menjadi atas nama AL. AL bisa menuntut Ibrahim mengembalikan uang pembayaran. AL tak dapat menuntut tanah Ibrahim karena perjanjian jual beli tanah tak dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Entong atau ahli warisnya punya alasan menuntut Ibrahim karena menjual tanah hak milik Entong tanpa persetujuan. Putusan majelis hakim yang menyerahkan tanah dari Ibrahim ke AL tidak tepat. Entong atau ahli warisnya bisa menggugat AL karena menduduki tanah yang haknya masih dipegang Entong.

J. Simpulan Pengalihan hak atas tanah melalui jual beli wajib berdasarkan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Tanah pada kasus di atas, pada dasarnya, belum beralih dari Entong ke Ibrahim karena jual beli Entong dan Ibrahim didasarkan pada Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 27 Januari 2002. Tidak ada Akta Jual Beli yang dibuat PPAT. Tanah tersebut juga belum dibalik nama atas nama Ibrahim. Sehingga sekalipun telah dibuat Surat Perjanjian Jual Beli tanggal 26 Juli 2007 antara Ibrahim dengan AL, pemegang hak atas tanah tetaplah Entong atau ahli warisnya. Ibrahim menjual tanah yang belum balik nama menjadi atas namanya ke AL. Dengan demikian Putusan Mahkamah Agung nomor 1621 K/Pdt./2012 tidak tepat. Pertimbangan majelis hakim yang mengesahkan jual beli tanah oleh Ibrahim kepada AL malah menambah rumit sengketa.

DAFTAR PUSTAKA Subekti, Hukum Pembuktian, cet 16, PT.Pradnya Paramita, 2007, Jakarta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftatan Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Putusan Mahkamah Agung nomor 1621 K/Pdt./2012 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1320 KUHPerdata Pasal 1868 KUHPerdata. Subekti, Hukum Pembuktian, cet 16, PT.Pradnya Paramita, 2007, Jakarta, hlm 27. Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997. Ibid.

Related Documents


More Documents from "Harry Pratama"

Formato A Objetos
May 2020 50
Accounting.docx
May 2020 60
4 Keluarga Fiks
August 2019 72
Calendario
May 2020 41
Que Es Calidad.docx
October 2019 46