Top 100 Global Intellectuals Inilah judul yang termuat dalam majalah Campus Asia, edisi September 2008. dalam edisi kali ini, majalah berbhasa Inggris yang diterbitkan Universitas Pelita Harapan Jakarta ini, mengulas 100 orang tokoh intelektual yang dirilis majalah Foreign Affair yang terbit di Amerika. Edisi Mai, majalah FA, demikian majalah in biasa disingkat, menempatkan seorang putra Indonesia, Anis Baswedan, Ph.D., dalam barisan intelektual yang dipandang memberi kontribusi besar terhadap dunia. Selain Anis, terdapat sejumlah pakar dari berbgaia bidang; dosen, aktivis lingkungan, pengamat politik, penulis essay, ahli biologis, peneliti, da’i, dan sebagainya. Tersebutlah dari kalangan islam sejumlah nama yang tidak asing lagi, di antaranya, Yusuf Qardhawi “Kampiun penulis buku-buku islam moderat” dari Qatar, Fathullah Ghulen “sang guru sufi” dari Turki, Amr Khalid “sang motivator yang menjadi idola kalangan remaja” dari Mesir, Tariq Ramadhan “cucu Hassan Al Banna” dari Swedia, Abdolkarim Sourosh “sang ekonom alternatif” dari Iran, Sari Nusseibah “Presiden al_quds University” dari Palestina, Shirin Ebadi, “pembela HAM” dari Iran, Aitzaz Ahsan “Hakim agung yang memprotes ketidakdilan dan otoritarianisme boneka amerika, Pervez Musharraf” dari Pakistan, Muhammad Yunus “sang arsitek bank orang miskin’ dari Banglades, Hirsin Ali, “muslimah somalia yang kehilangan identitas dan menjadi corong barat dalam menyuarakan feminisme” juga ada Fareed Zakaria, kolumnis news week yang menjadi salah satu think tank nya Barrack Obama, sang presiden kulit berwarna pertama Amerika. Di samping nama-nama tersebut di atas terdapat sejumlah nama lain yang juga tidak asing lagi. Sebutlah sedikit diantaranya; Howard Gardner, Bernard Lewis, Salman Rushdie, Al Gore, Amartya Sen, Francis Fukuyama, Jurgen Habermas, Naom Chomsky, Lee Kuan Yew, Samuel Huntington, Umberto Eco, dan lain-lain. Tokoh tokoh ini telah dikenal luas dengan beragam latar belakang keilmuannya memberikan kontribusi sesuai dengan bidang keahliannya. Hal yang sangat menggelitik dalam wawancara antara Campus Asia dan Anis Baswedan menyebutkan bahwa persoalan yang snagat mendasar yang menyebabkan minimnya orang Indonesia yang dapat berkontribusi secara global terltak pada kendala bahasa. Kemampuan bahasa internasional orang Indonesia relatif sangat rendah. Hal ini pada gilirannya menyebabkan tidak tumbuhnya rasa percaya diri untuk membuat karya. Yang juga
menggelitik, dalam ungkapannya Anis menyatakan, bahwa perhatian pemerintah untuk mengembangkan pendidikan masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, Anis menyatakan, sekarang ini China yang tumbuh menjadi kekuatan dunia, menghasilkan doktor (PhD) setiap tahunnya sebanyak 30.000 orang. Di bandingkan dengan Indonesia, jumlah doktornya sampai saat ini hanya berkisar 6000 orang. Belum lagi kalau kita mempertanyakan, dari jumlah yang sedikit tersebut, berapa di antaranya yang melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya, sehingga bermanfaat langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Faktor-faktor inilah yang menjadi hal yang sangat mendasar untuk diperhatikan kalau kita benar-benar berharap untuk melihat bertambahnya jumlah orang Indonesia yang termasuk dalam sedikit orang dari yang banyak. Artinya, jumlahnya sedikit, tetapi kontribusi intelektual dan sosialnya tidak diragukan kembali. Hal yang juga disoroti majalah ini, berkenaan dengan terjadinya degradasi nilai dalam pendidikan kita. Fenomena ini, diakui atau tidak, telah muncul menjadi salah satu persoalan yang sangat mengkhawatirkan masa depan pendidikan di Indonesia. Sebab, apabila nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama dan warisan budaya telah kabur keberadaannya, maka kehancuran suatu bangsa hanya tinggal menunggu waktu. Sehubungan dengan ini, pada salah satu bagian majalah ini dikemukakan fenomena yang snagat mengkhawatirkan dalam pendidikan di salah satu negara, yangs eringkali dipandang berhasil dalam menyelenggarakan pendidikan, yakni Amerika Serikat. Dalam laporan tim yang dibentuk Departemen Pendidikan Amerika, diperoleh temuan adanya ancaman kekerasan terhdap guru di Amerika yang mencapai jumalh 120.000 kasus. Yang lebih menghawatirkan lagi, ancaman fisik terhadap guru ini, lebih dari 80 % di antaranya dilakukan oleh pelajar putri. Kenyataan ini tidak terlepas dari kebebsan yang terlalu luas diberikan kepada murid, dan pada saat yang bersamaan transformasi nilai melalui pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Faktor lain disebabkan rasio guru dan murid dalam suatu kelas terlalu banyak, sebagaimana terjadi di Indoesia. Idealnya, rasio guru dan murid adalah 1 banding 20-25, tetapi dalam realtasnya yang terjadi 1 berbanding 40-50 murid dalam suatu kelas. Besarnya jumlah murid yang menjejali ruang kelas berakibat pada ketidakmampuan guru untuk melaksanakan interaksi yang harmonis dan penuh
keakraban, sehingga hubungan emosional antara pendidik dan peserta didik tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Penanaman nilai, tidak mungkin dapat dilakukan sekolah secara mandiri. Orang tua dan masyarakat memainkan peran menentukan. Berharap sekolah saja untuk menanamkan nilai-nilai luhur sementara orang tua melepaskan tanggungjawabnya merupakan langkah yang tidak dap[at dibenarkan. Orang tua tidak dapat melepaskan tanggungjawabnya, setelah memebrikan sejumlah biaya dan menyerahkan pengembangan kepribadian peserta didik pada tangan guru atau sekolah. Nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama harus telah dutanamkan sejak dini, dan dilakukan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan nilai luhur yang dianut. Inilah yang dilakukan yayasan Pelita Harapan dalam menanamkan nilai pada peserta didiknya, pada semua jenjangnya, sebagaimana dikemukakan ketua yayasan Pelita Harapan, Dr. James Riady. Bandung, 26 January, 2009