Berikut 8 Tokoh yang Berjasa Saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia! No 7 Bagian Ngetik Rabu, 16 Agustus 2017 13:59
ISTIMEWA Presiden Soekarno saat bacakan teks proklamasi Laporan Wartawan TribunJatim.com, Pipin tri Anjani TRIBUNJATIM.COM - Bulan Agustus adalah bulan Istimewa bagi Negara Indonesia. Pasalnya, tepat tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno. Setelah itu, tanggal 14 Agustus selalu diperingati setiap tahunnya sebagai hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Banyak pahlawan yang berperan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, ada beberapa orang yang berperan dalam kelancaran proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Dlansir dari wikipedia dan beberapa sumber lainnya, berikut delapan tokoh yang berperan dalam proklamsi Kemerdekaan Republik Indonesia. Siapa saja? yuk, lihat ulasannya! 1. Frans Mendur dan Alex Mendur Mungkin tak banyak yang tahu, Frans Menur dan Alex menur merupakan saudara yang berperan penting dalam proklamasi. Mereka satu-satunya juru foto yang memotret peristiwa bersejarah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Tentara Jepang sempat menangkap Alex mendur dan merampas kamera miliknnya
Frans dan Alex Mendur Frans mengubur negatif fotonya di bawah pohon dan mengaku kepada tentara Jepang bahwa fotonya sudah di rampas oleh barisan pelopor. Saat itu Frans hanya memotert tiga kali Soeharto yang membaca naskah proklamasi, dan dua foto pengibaran bendera. Namun, berkat jasa mereka, generasi Indonesia dapat menyaksikan sejarah proklamasi Indonesia. 2. Wikana Wikana satu diantara pejuang kemerdekaan yang memiliki peranan dalam berlangsungnya proklamasi kemerdekaan. Ia bersama Chaerul Saleh, Sukarni dan pemuda-pemuda lainnya dari Menteng 31 menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok.
Wikana Mereka menculik bertujuan agar kedua tokoh ini segera membacakan Proklamasi Kemerdekaan setelah kekalahan Jepang dari Sekutu pada tahun 1945. Ia juga dengan berani menghimbau militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi yang di bacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945. 3. B.M Diah Burharuddin Mohammad Diah atau BM Diah adalah seseorang yang juga berjasa dalam kemerdekaan Republik Indonesia. Ia merupakan seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
BM Diah () BM Diah lahir di Banda Aceh tanggal 7 April 1917 dan meninggal di Jakarta 10 Juni 1996. Psebelum adanya telepon genggam atau saran penyiaran, BM Diah seorang wartawan Indonesia memiliki peran penting untuk menyiarkan proklamasi kemerdekaan ke seluruh penjuru Nusantara. 4. Syahruddin Syahruddin juga berpengaruh dalam proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ia merupakan seorang telegraphis yang bekerja di kantor berita Jepang (DOMEI).
Syahruddin Meski dia bekerja di kantor Jepang, dia mengabarkan berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia secara sembunyi-sembunyi. Tanpa jasa dia, berita kemerdekaan Republik Indonesia tidak akan cepat tersebar luas. 5. Achamad Soebardjo Acmad Soebardjo memiliki peranan penting dalam berjalannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Selain tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Ia juga Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama kali.
Achmad SUbardjo Achmad Soebardjo berperan dalam melakukan perundingan dengan para pemuda yang menculik Soekarno dan Moh.Hatta dan berhasil meyakinkan para pemuda tersebut untuk mengembalikan Soerkarno dan Moh.Hatta ke Jakarta. 6. Abdul Latief Hendraningrat Abdul Latief Hendraningrat adalah orang yang ditunjuk saat menggerek bendera Merah Putih saat Proklamasi didampingi Soehoed Sastro Koesoemo seorang pemuda dari barisan pelopor. Ia lahir di Jakarta tanggal 15 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta, 14 Maret 1983 pada umur 72 tahun.
Abdul Latief Hendraningrat Ia seorang prajurit PETA berpangkat Sudanco (komandan Kompi) 7. Sayuti Melik Sayuti Melik adalah orang yang mengetik teks Proklamasi Indonesia. Tak hanya mengetik saha Sayuti bersama pemuda dari Asrama menteng berusaha menyebarkan berita soal Kemerdekaan Indonesia.
Sayuti Melik Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 dan meninggal di Jakarta, 27 Februari 1989 pada umur 80 tahun. 8. Fatmawati Soekarno Istri Presiden Republik Indonesia Sokearno memiliki peranan penting dalam pembuatan sang saka Merah Putih. Fatmawati dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pahlawan Proklamator Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia adalah pahlawan yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pahlawan Proklamator terdiri atas dua orang, yaitu Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Bila dirujuk dari kata proklamator, memang hanya ada 2 nama yang patut kita banggakan. Namun bila yang dimaksud adalah pahlawan pejuang atau yang ikut berjuang bertumpah darah mewujudkan proklamasi Indonesia, maka tokohnya akan sangat banyak sekali nama yang harus kita catat. Berikut ini adalah biografi singkat dari kedua tokoh proklamator kita atau founding father kita. Dr. Ir. Soekarno
Soekarno atau biasa disebut dengan Bung Karno merupakan Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Bung Karno memainkan peranan penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa untuk merdeka dari penjajahan dan penindasan. Bung Karno adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya. Sukarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Sebelum teks proklamasi dibacakan, terjadi sebuah peristiwa yang sangat terkenang, dimana pada saat itu Soekarno dan Hatta diculik oleh kaum muda untuk segera memproklamirkan kemerdaan Indonesia. Kejadian itu terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 yang terkenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 1955 Peresiden Soekarno mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia. Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Setelah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965 Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan. Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul “Nawaksara” dan dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato “Pelengkap Nawaskara” pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama. Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya. Sejak bulan Agustus 1965 kesehatan Soekarno sudah mulai menurun. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati. Dr. Drs. H. Mohammad Hatta
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Muhammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat), Hindia Belanda, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Orang tua Mohammad Hatta bernama Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902. Namanya, Athar berasal dari bahasa Arab, yang berarti “harum”. Ia merupakan anak kedua, setelah
Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta. Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta. Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak Barat ataupun fasisme Jepang. Pada tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api ke Jakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat oleh Syahrir. Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). Orang terkenal di masa sebelum perang, baik orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat tenaga-tenaga baru. Sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya namanya menjadi Bandar udara internasional Jakarta, Bandar Udara Soekarno-Hatta. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat. Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986/.
ahlawan Revolusi Indonesia Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Jump to navigation Jump to search Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam tragedi pada tanggal 30 September 1965 malam dan 1 Oktober 1965 dini hari. Sejak berlakunya UndangUndang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional. Para pahlawan tersebut adalah: Tanggal No. Nama Gambar Gelar Dasar penetapan penetapan
1
Jenderal (anm.) Ahmad Yani
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
2
Letnan Jenderal (anm.) R. Suprapto
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
3
Letnan Jenderal (anm.) M.T. Haryono
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
4
Letnan Jenderal (anm.) S. Parman
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
5
Mayor Jenderal (anm.) D.I. Pandjaitan
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
6
Mayor Jenderal (anm.) Sutoyo Siswomiharjo
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
No.
Nama
Gambar
Gelar
Tanggal penetapan
Dasar penetapan
7
Kapten (anm.) Pierre Tendean
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 111/KOTI/1965
8
AIPDA (anm.) Karel Satsuit Tubun
Pahlawan Revolusi 5 Oktober 1965
Keppres No. 114/KOTI/1965
9
Brigadir Jenderal (anm.) Katamso Darmokusumo
Pahlawan Revolusi
19 Oktober 1965
Keppres No. 118/KOTI/1965
10 Kolonel (anm.) Sugiono
Pahlawan Revolusi
19 Oktober 1965
Keppres No. 118/KOTI/1965
Ahmad Yani Ahmad Yani
[[Menteri/Panglima Angkatan Darat]] 6 Masa jabatan 23 Juni 1962 – 1 Oktober 1965 Presiden Soekarno Pendahulu Abdul Harris Nasution Pengganti Pranoto Reksosamudro Informasi pribadi 19 Juni 1922 Lahir Purworejo, Jawa Tengah, Hindia Belanda 1 Oktober 1965 (umur 43) Meninggal dunia Jakarta, Indonesia Pasangan Yayu Rulia Sutowiryo Ahmad Yani Anak 8 Pekerjaan Tentara Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1943-1965
Pangkat Jenderal TNI Anumerta Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya. Kehidupan awal Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.
Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur. Karier militer
Kolonel Yani memimpin briefing pada 12 April 1958 (umur 35) selama "Operasi Agustus 17 Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan, Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota, mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta. Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita satu kekalahan demi satu. Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian. Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution. Akhir hayat
Plak menandai tempat ketika Yani jatuh setelah ditembak oleh anggota Gerakan 30 September - mantan rumahnya sekarang menjadi museum. Perhatikan lubang peluru di pintu. Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal 60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan
Sukarno mencoba untuk memaksakannya Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya, Yani dan Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei 1965 mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat. Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat. Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda. Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01.00 dan Mrs Yani mengatakan dia memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu. Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya. Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan, membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di sebuah sumur bekas. Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 umum (Indonesia:Jenderal Anumerta). Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dinamai Yani. Selain itu namanya diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Achmad Yani di Semarang. Pendidikan HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935 MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938 AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940 Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang Pendidikan Heiho di Magelang PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, tahun 1955 Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956
Bintang Kehormatan
Perangko Ahmad Yani keluaran tahun 1966 Bintang RI Kelas II Bintang Sakti Bintang Gerilya Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II Satyalancana Kesetyaan VII, XVI Satyalancana G: O.M. I dan VI Satyalancana Sapta Marga (PRRI) Satyalancana Irian Barat (Trikora) Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain-lain Referensi Achmad Yani. Prajurit Patriot Sejati. Bandung: Dinas Sejarah Angkatan Darat. 2013. ISBN 978-602784-603-6. Pour, Julius (2010). Gerakan 30 September Pelaku, Pahlawan dan Petualang. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Jabatan militer Kepala Staf TNI Angkatan Darat Didahului oleh: Diteruskan oleh: Abdul Harris Nasution Pranoto Reksosamodra 1962-1965
R. Suprapto (pahlawan revolusi) Soeprapto
Informasi pribadi 20 Juni 1920 Lahir Purwokerto, Jawa Tengah 1 Oktober 1965 (umur 45) Meninggal dunia Lubang Buaya, Jakarta Pekerjaan TNI Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat Letnan Jenderal TNI Anumerta Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20 Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30S/PKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tetapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Perangko R. Suprapto keluaran tahun 1966
Mas Tirtodarmo Haryono Mas Tirtodarmo Haryono
Informasi pribadi Mas Tirtodarmo Harjono 20 Januari 1924 Lahir Surabaya, Jawa Timur 1 Oktober 1965 (umur 41) Meninggal dunia Lubang Buaya, Jakarta Sebab kematian Gugur pada persitiwa G30S PKI Pekerjaan Tentara Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S. Ia dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta. Jenderal bintang tiga kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat. Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor. Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia. Masa Muda Gresik adalah kota pelabuhan yang tua dan bandar yang ramai pada zaman kuno. Pernah Gresik menjadi pusat agama Islam yang termashur di Indonesia ketika Waliullah Sunan Giri bersemayam di situ. Sampai sekarang keturunan Sunan Giri memakai gelar Mas di muka namanya. Pada tahun 1924 yang menjadi asisten wedana ( sekarang disebut camat ) di Kalitengah, Gresik, ialah Mas Harsono Tirtodarmo. Pada bulan Januari tahun itu ia dinaikkan pangkatnya menjadi jaksa di Sidoarjo. Karena itu ia berangkat pindah
ke Sidoarjo meskipun isterinya ( Ibu Patimah ) sudah mengandung tua. Tetapi dalam perjalanan ke Sidoarjo itu ibu Patimah merasa akan melahirkan kandungannya. Perjalanan ke Sidoarjo tidak diteruskan dan mereka menuju ke rumah M.Harsono Tirtodarmo di Nieuw Holland Straat ( sekarang Jalan Gatotan ) di Surabaya. Di situ, pada tanggal 20 Januari 1924, ibu Patimah melahirkan puteranya yang ketiga yang diberi nama Haryono, lengkapnya M.T.Haryono. M.T. Haryono dilahirkan sebagai putera seorang B.B.( Pamong Praja ) Kalangan B.B. pada waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa di antara pegawai-pegawai Belanda lainnya. Hanya B.B. lah yang di samping kedudukan istimewanya biasanya juga mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai di Perguruan Tinggi. Karena nasionalisme itu boleh dikata timbul dan berkembang di antara orang-orang terpelajar, maka tidaklah mengherankan kalau putera-putera orang-orang B.B. ini tidak sedikit yang menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme, misalnya R.A. Kartini, Dewi Sartika, dr. Sutomo. Mr.Sartono, dan lain lain. Demikian halnya kelak dengan M.T. Haryono. Pada masa kecilnya M.T. Haryono hidup sebagai putera seorang jaksa di Sidoarjo. Ketika umur empat tahun ayahnya diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka pindah ke kota itu. Di sinilah ia ketika umur enam tahun masuk sekolah di HIS 6 (Hollands Inlandsche School = Sekolah Dasar ) ia suka berteman dan bermain-main dengan anak-anak lainnya dan selalu menjadi pemimpin mereka. Karena wataknya yang keras ia sebagai pemimpin dijuluki "Si Kepala Macan". Tetapi walaupun demikian ia pada hakikatnya seorang pendiam dan bertindak hati-hati dalam segala hal. Ia belajar di HIS sampai kelas tiga dan kemudian, atas tanggungan seorang Belanda guru ELS ( Europese Lagere School : Sekolah Dasar Belanda ) dan teman ayahnya, ia pindah ke kelas empat ELS di kota itu sampai tamat pada tahun 1937. Tamat dari ELS, M.T. Haryono meneruskan sekolahnya di HBS (Hogere Burgerschool : semacam SMP ditambah SMA yang disatukan dan hanya lima tahun, biasanya hanya untuk orang Belanda) di Bandung. Selama lima tahun ia harus berpisah dari orang tuanya dan menumpang pada orang lain di kota Bandung. Sebagai pemuda pelajar ia suka berolahraga. Ia suka atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun. M.T. Haryono menyelesaikan studinya di HBS tepat dalam waktu lima tahun. Ia tamat dari HBS pada tahun l942 ketika Jepang masuk merebut dan menduduki Indonesia (Maret l942). Ketika GHS(Geneeskundige Hogeschool : Perguruan Tinggi Kedokteran ) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka M.T. Haryono masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya. Ia memang ingin menjadi seorang dokter. Baru tiga tahun lamanya M.T. Haryono belajar di lka Dai Gakko ketika tiba-tiba Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. M.T. Haryono sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan. Segera menceburkan diri dalam kancah perjuangan militer. Hidup Kekeluargaan Mayor M.T. Haryono yang selama perjuangan bersenjata tidak sempat memikirkan tentang hal perkawinan, sekarang ingin membentuk hidup kekeluargaan yang diidam-idamkan. Ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Mariatni, seorang puteri Mr. Besar Martokusumo yang berdomisili di Jakarta dan seorang tokoh yang tidak asing bagi Pemerintah Indonesia. Pertunangannya akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950. Pada waktu itu Pemerintah rnemerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Ini dapat dimengerti karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang terpelajar, fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman dan berpengalaman dalam perundinganperundingan dengan Belanda, terutama dalam KMB yang baru saja lalu. Dalam bulan Juli 1950 itu ia diangkat menjadi Atase Militer dan harus sudah di posnya di Den Haag pada akhir bulan itu juga. Berhubung dengan keberangkatannya yang mendadak ini, maka hari pertunangannya pada tanggal 2 Juli 1950 itu diubah menjadi hari pernikahannya, dan pada tanggal 24 Juli 1950 mereka berangkat ke Negeri Belanda. Sebagai penganten baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibukota Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri. Wataknya yang sederhana dan berhati-hati ditambah dengan jalan pikiranya yang praktis tidak membiarkan keluarganya hanyut dalam arus kemewahan yang waktu itu melanda kehidupan orang yang ingin disebutnya “kelas atas". Keluarganya tetap hidup sederhana, baik ketika di luar negeri maupun ketika mereka telah kembali ( 1954 ) di Indonesia. Rumahnya di Jalan Prambanan no. 8 Jakarta tidak mencerminkan rumah seorang "kelas atas" maupun seorang yang bermandikan kemewahan yang luar biasa. Rumah itu mencerminkan kesederhanaan yang bertanggung-jawab. Di rumah, M.T. Haryono suka menanam dan memelihara anggrek. Di samping rumahnya terdapat berderet-deret pot dengan aggrek yang beraneka ragam dan warna. Pemeliharaan anggrek memerlukan ketekunan dan kesabaran, kehalusan dan kasih sayang yang tidak sedikit. M.T. Haryono seorang pendiam, tetapi ini tidak berarti bahwa ia bersikap acuh tak acuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Ia mempunyai lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto dan yang kedua Haryanti Mirya, seorang puteri. Anak yang ketiga, Rianto Nurhadi, yang keempat, Adri Prambanto. dan
yang kelima, Endah Marina, seorang puteri, Iahir di Indonesia. Untuk menjaga keselamatan keiuarga dan terutama anak-anaknya, M.T Haryono tidak pernah membawa senjata pulang dan menaruhnya di rumahnya. Sifat berhati-hati tidak pernah ditanggalkan oleh M.T. Haryono. Demikian M.T. Haryono merupakan suami yang baik dan ayah yang bertanggung-jawab dalam keluarganya Kematian Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, anggota Tjakrabirawa, yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September, mendatangi rumah Haryono di Jalan Prambanan No 8. Istrinya terbangun oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa suaminya telah dipanggil oleh Presiden Sukarno. Mrs Haryono kembali ke kamar tidur mengunci pintu di belakangnya dan mengatakan suaminya apa yang terjadi. Dia mengatakan kepadanya untuk tidak pergi dan memberitahu para pasukan untuk kembali pada pukul 8:00. Namun, Haryono curiga dan mematikan lampu memberitahu istrinya untuk pindah bersama anak-anak mereka ke kamar sebelah. Tjakrabirawa kemudian melepaskan tembakan melalui pintu kamar tidur terkunci dan Haryono melompat ke lantai. Ia bersembunyi untuk menunggu penyerang pertama yang masuk ke kamar tidur membawa kertas pembakaran untuk cahaya. Haryono mencoba untuk merebut senjata prajurit, namun gagal dan berlari keluar dari pintu dalam kebingungan. Dia ditembak mati oleh ledakan dari senjata, diseret melalui kebun, dan tubuhnya dibawa ke salah satu truk yang menunggu. Tubuhnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, markas pemberontak di selatan pinggiran Jakarta, Jenazahnya disembunyikan di sumur bekas bersama dengan mayat para jenderal dibunuh lainnya. Seluruh mayat ditemukan pada 4 Oktober dan para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober. Pada hari yang sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi. Tanda Jasa 1. Bintang Republik Indonesia Kelas II 2. Bintang Dharma 3. Bintang Gerilya 4. Bintang Sewindu ABRI 5. Satya Lencana Kesetiaan VIII tahun 6. Satya Lencana Kesetiaan XVI tahun 7. Satya Lencana Perang Kemerdekaan I 8. Satya Lencana Perang Kemerdekaan II 9. Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I 10. Satya Lencana Gerakan Operasi Militer VI 11. Satya Lencana Sapta Marga Gelar Pahlawan
Perangko Mas Tirtodarmo Harjono keluaran tahun 1966 Ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. lll/KOTI/1965. Ditetapkan menjadi Letnan Jenderal TNI Anumerta dengan SK Presiden/Pangti ABRI/KOTI No. I IO/KOTI/1965.
Siswondo Parman Siswondo Parman
[[Komandan Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat]] 5 Masa jabatan 1950 – 1953 Pendahulu Kolonel Cpm A.Y. Mokoginta Pengganti Letkol Cpm M.Y. Proyogo Informasi pribadi 4 Agustus 1918 Lahir Wonosobo, Jawa Tengah 1 Oktober 1965 (umur 47) Meninggal dunia Lubang Buaya, Jakarta Terbunuh pada persitiwa Sebab kematian Gerakan 30 September Pekerjaan TNI Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat
Satuan
Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Polisi Militer (CPM)
Perangko S. Parman keluaran tahun 1966
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun) atau lebih dikenal dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Masa Muda Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah. Dia lulus dari sekolah tinggi di kota Belanda pada tahun 1940 dan masuk sekolah kedokteran, tetapi harus meninggalkan ketika Jepang menyerang. Dia kemudian bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang. Namun, ia ditangkap karena keraguan atas kesetiaannya, namun kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia dikirim ke Jepang untuk pelatihan intelijen, dan bekerja lagi untuk Kempeitai pada kembali sampai akhir perang, bekerja sebagai penerjemah di Yogyakarta. Karier bersama militer Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Pada akhir Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari Polisi Militer di Yogyakarta. Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk gubernur militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor. Dalam kapasitas ini, ia berhasil menggagalkan plot oleh "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil, APRA), kelompok militer pemberontak yang dipimpin oleh Raymond Westerling, untuk membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan bersenjata. Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk pelatihan lebih lanjut, dan pada tanggal 11 November tahun itu, diangkat menjadi komandan Polisi Militer Jakarta. ia kemudian menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional HQ, dan Departemen Pertahanan Indonesia sebelum dikirim ke London sebagai atase militer ke Kedutaan Indonesia di sana. [2] Pada tanggal 28 Juni, dengan pangkat Mayor Jenderal, ia diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani. Kematian Parman adalah salah satu dari enam jenderal yang dibunuh oleh anggota Gerakan 30 September pada malam 30 September-1 Oktober 1965. Dia telah diperingatkan beberapa hari sebelum kemungkinan gerakan komunis. Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah rumah Parman di Jalan Syamsurizal no.32 Berdasarkan istri Parman ini, pasangan itu terbangun dari tidur mereka di sekitar 4.10 pagi oleh suara sejumlah orang di samping rumah. Parman pergi untuk menyelidiki dan dua puluh empat pria dalam seragam Tjakrabirawa (Istana Garda) menuju ke ruang tamu. Orang-orang mengatakan bahwa dia dibawa hadapan Presiden sebagai "sesuatu yang menarik yang telah terjadi". Sekitar 10 orang pergi ke kamar tidur ketika Parman berpakaian. Istrinya lebih curiga dari orang-orang, dan mempertanyakan apakah mereka memiliki surat otorisasi, yang salah satu pria jawabnya memiliki surat sementara menyadap saku dadanya. Parman meminta istrinya untuk menelpon apa yang terjadi pada komandannya, Yani, tetapi kabel telepon telah diputus. Parman dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. Malam itu, bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, Parman ditembak mati dan tubuhnya dibuang di sebuah sumur bekas. Tubuh semua korban itu ditemukan pada 4 Oktober dan orang-orang diberi pemakaman kenegaraan hari berikutnya, Hari Angkatan Bersenjata. mayat ditemukan dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada tanggal 5 Oktober, sebelum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Pada hari yang sama, melalui Keputusan Presiden Nomor 111 / KOTI / 1965, Presiden Sukarno secara resmi membuat Parman menjadi Pahlawan Revolusi.
Sutoyo Siswomiharjo Sutoyo Siswomiharjo
Informasi pribadi 28 Agustus 1922 Lahir Kebumen, Jawa Tengah 1 Oktober 1965 (umur 43) invalid Meninggal dunia day Lubang Buaya, Jakarta Agus Widjojo Anak Nani Nurrachman Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945−1965
Pangkat
Satuan
Mayor Jenderal TNI Anumerta Polisi Militer (CPM)
Perangko Sutoyo Siswomiharjo keluaran tahun 1966 Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun) adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia.
Kehidupan awal Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah. Ia menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942, dan selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di Jakarta.[1] Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun mengundurkan diri pada tahun 1944.[2] Karier militer Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.[1][2][3] Kematian Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka di Lubang Buaya.[4][5] Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.
D.I. Pandjaitan D.I. Pandjaitan
Lahir Meninggal dunia Pasangan
Anak
Informasi pribadi Donald Isaac Panjaitan 9 Juni 1925 Balige, Sumatera Utara 1 Oktober 1965 (umur 40) Lubang Buaya, Jakarta Marieke Pandjaitan br Tambunan 1. Catherine Pandjaitan 2. Masa Arestina 3. Ir (Ing) Salomo Pandjaitan 4. Letnan Jenderal (Purn) Hotmangaraja Panjaitan 5. Tuthy Kamarati Pandjaitan 6. Riri Budiasri Pandjaitan TNI-AD
Pekerjaan Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Ini adalah nama Batak Toba, marganya adalah Panjaitan Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium
(T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya. Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi. Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk mempersenjatai angkatan kelima. Kematian
Perangko D.I. Pandjaitan keluaran tahun 1966
Pierre Tendean Pierre Tendean
Tendean, kr. 1963 Informasi pribadi 21 Februari 1939 Lahir Batavia, Hindia Belanda 1 Oktober 1965 (umur 26) Meninggal dunia Jakarta, Indonesia A.L Tendean (Ayah) Cornet M.E (Ibu) Hubungan Mitze Farre (Kakak) Rooswidiati (Adik) Alma mater Akademi Militer (1961) Pekerjaan Tentara Penghargaan sipil Pahlawan Revolusi Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1962–1965
Pangkat Kapten (Anumerta) Satuan Zeni Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean[1] (lahir 21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Kehidupan awal Pierre Andries Tendean terlahir dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masingmasing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.[2]
Karier militer
Perangko Pierre Tendean keluaran tahun 1966 Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.[2][3] G30S Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S) mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.[4]
Jalan Pierre Tendean di Balikpapan. Penghargaan Tendean bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965. Pasca kematiannya, ia secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.[2][1] Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk di Manado,[5] Balikpapan, dan di Jakarta.[6]
Karel Satsuit Tubun Karel Satsuit Tubun
Perangko Karel Satsuitubun keluaran tahun 1966 Informasi pribadi Karel Satsuit Tubun 14 Oktober 1928 Lahir Tual, Maluku Tenggara 1 Oktober 1965 (umur 36) Meninggal dunia Jakarta Pasangan Margaretha Waginah Philipus Sumarno Anak Petrus Indro Waluyo Linus Paulus Suprapto Pekerjaan Polisi Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas Pangkat
Kepolisian Negara Republik Indonesia 1945 - 1965
Ajun Inspektur Polisi Dua (Anumerta) Satuan Brigade Mobil Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit Tubun (lahir di Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia adalah pengawal dari J. Leimena. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Dikarenakan dia adalah korban Gerakan 30 September, maka dia diangkat menjadi seorang Pahlawan Revolusi. Biografi Karel Satsuitubun' lahir di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi, setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu Polisi. Ketika Bung Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah Irian barat berhasil dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.
Kematian Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap menghalangi cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H. Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena. Gerakan itu pun dimulai, ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah Dr. J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K. Satsuit Tubun pun terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K. Satsuit Tubun pun tewas seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya. Pemberian gelar Atas segala jasa-jasanya selama ini, serta turut menjadi korban Gerakan 30 September maka pemerintah memasukannya sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia, bersama dengan Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan, Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono dan Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu pula pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun Inspektur Dua Polisi. Namanya juga kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang Republik Indonesia dari fregat kelas Ahmad Yani dengan nama KRI Karel Satsuitubun.[2] Penghormatan Pemerintah Indonesia memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan mengabadikan namanya pada Bandar Udara Karel Satsuitubun di Pelabuhan Ratu dan di Ibra, Maluku Tenggara. Pemerintah juga mengabadikan namanya pada kapal perang KRI Karel Satsuitubun.
Katamso Darmokusumo Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Katamso Darmokusumo (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia, Ia merupakan mantan Komandan Korem 072/Pamungkas. Katamso termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta. Katamso Darmokusumo
[[Komandan Korem 072/Pamungkas]] 1 Pendahulu Pengganti
tidak ada, jabatan baru Kolonel Arh Soetoyo NK Informasi pribadi Katamso Darmokusumo 5 Februari 1923 Lahir Sragen, Jawa Tengah 1 Oktober 1965 (umur 42) Meninggal dunia Yogyakarta TMP Kusuma Negara, Makam Yogyakarta Pekerjaan Tentara Penghargaan Pahlawan Revolusi sipil Dinas militer Pihak Indonesia Dinas/cabang Masa dinas
TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat Brigadir Jenderal TNI Anumerta Satuan Infanteri Brigadir Jenderal Anumerta Katamso Darmokusumo merupakan salah satu Pahlawan Revolusi yang menjadi korban kekejaman Gerakan 30 September yang terjadi di Yogyakarta. Selepas menamatkan pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah, Katamso Darmokusumo melanjutkan pada pendidikan tentara Peta di Bogor. Setelah masa Kemerdekaan Indonesia, ia bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) cikal bakal dari TNI (Tentara Nasional Indonesia). Ketika terjadi Agresi Militer Belanda, ia memimpin pasukan dalam melakukan pertempuran untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Pada masa awal Kedaulatan Republik Indonesia masih sering dirongrong dengan berbagai peristiwa baik dalam maupun luar negeri. Setelah Kedaulatan Republik Indonesia diakui dimata Internasional, terjadi pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah. Katamso dan pasukannya diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan tersebut. Pada tahun 1958, ia menjabat sebagai Komandan Batalyon "A" yang tergabung dalam pasukan komando Operasi 17 Agustus yang di pimpin oleh Kolonel Ahmad Yani, pasukan ini bertugas untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI/Permesta. Selanjutnya pada tahun
1963, ia diangkat menjadi Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta, pada saat itu paham komunis telah menyebar luas di masyarakat. PKI juga menyasar kalangan terpelajar untuk bergabung dengan mereka dan diharapkan menjadi kekuatan intelektual mereka. Oleh karena itu, Katamso memutuskan untuk melakukan pembinaan kepada para mahasiswa di daerah Solo. Para mahasiswa tersebut diberi pelatihan militer guna meningkatkan kecintaan kepada Negara Republik Indonesia diatas kelompok dan golongan. Pemberontakan dan penculikan Gerakan 30 September, tidak hanya terjadi di Jakarta. Pasukan pemberontak ini juga mengincar para perwira di daerah, termasuk di wilayah Kodam VII/Diponegoro. Para pemberontak menghasut beberapa anggota TNI di Yogyakarta, mereka juga berhasil menguasai RRI Yogyakarta. Atas insiden itu, Katamso mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Katamso merupakan salah satu perwira yang tidak menyetujui keberadaan PKI, maka ia pun termasuk salah satu perwira yang menjadi sasaran penculikan. PKI melancarkan penculikan terhadap Katamso dan Sugiono pada tanggal 1 Oktober 1965 sore hari. Katamso dan Sugiono dibawa ke daerah keuntungan, dan sesampainya di tempat tersebut mereka dipukul dengan menggunakan kunci mortar hingga tewas. PKI telah menyiapkan segala sesuatunya di daerah tersebut, itu terbukti dari lubang yang telah disiapkan untuk menyembunyikan jasad kedua perwira tersebut yang memang telah menjadi target penculikan dan pembunuhan. Jenazahnya baru diketemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak setelah dilakukan pencarian secara besar-besaran semenjak peristiwa hilangnya mereka berdua. Kemudian pada tanggal 22 Oktober 1965, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Atas jasa dan perjuangannya, ia dipromosikan menjadi Brigadir Jenderal Anumerta serta mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Revolusi berdasarkan surat keputusan Presiden Nomor 118/KOTI/tahun 1965, yang tertanggal 19 Oktober 1965. Sugiono Kolonel Inf. (Anumerta) R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 – meninggal di Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30 September. Ia merupakan mantan Kepala Staf Korem 072/Pamungkas. Kolonel Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam orang laki-laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno. Ia dimakamkan di TMP Semaki, Yogyakarta. Sugiyono Mangunwiyoto
Lahir Meninggal dunia Makam Pasangan
Anak
Informasi pribadi 12 Agustus 1926 Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul 1 Oktober 1965 (umur 39) Kentungan, Yogyakarta TMP Semaki, Yogyakarta Supriyati R. Erry Guthomo (l. 1954) R. Agung Pramuji (l. 1956) R. Haryo Guritno (l. 1958) R. Danny Nugroho (l. 1960) R. Budi Winoto (l. 1962) R. Ganis Priyono (l. 1963) Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965)
Penghargaan sipil
Pahlawan Revolusi Dinas militer
Pihak Dinas/cabang Masa dinas
Indonesia TNI Angkatan Darat 1945 - 1965
Pangkat Satuan
Kolonel Inf. Anumerta Infanter
Biografi Dan Sejarah Perjuangan Kolonel Sugiyono Nama : Sugiyono Mangunwiyoto Tempat Tanggal Lahir : Segaren (Gunung Kidul), Yogyakarta 12 Agustus 1926 Meninggal : Yogyakarta, 1 Oktober 1965 (usia 39 tahun) Kolonel INF. Anumerta Sugiyono Mangunwiyoto adalah salah satu Pahlawan Revolusi yang menjadi korban dalam peristiwa Gerakan 30 September yang terjadi di Yogyakarta. Sugiyono Mangunwiyoto yang lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul. Walaupun terlahir dari daerah dengan ketertinggalan pada saat itu dan minim sumber mata air, namun Sugiyono mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu menjadi seorang guru. Dengan tekun ia mengikuti pendidikan Sekolah Dasar, lalu dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Guna mewujudkan cita-citanya, kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Guru Pertama di Wonosari. Namun, suratan takdir berkata lain. Sebelum ia dapat menyelesaikan di Sekolah Guru, Tentara Jepang keburu menduduki Indonesia dan memberlakukan wajib militer kepada para pemuda. Sugiyono terpaksa mengubur impiannya untuk menjadi seorang guru dan mengikuti pendidikan sebagai tentara PETA (Pembela Tanah Air). Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia di angkat sebagai Budancho (Komandan Peleton). Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia begabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan mengawali karir sebagai Komandan Seksi. Ia diangkat menjadi ajudan Komandan Brigade 10 dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto pada tahun 1947. Pada 1 Maret 1949, terjadi serangan umum terhadap Yogyakarta pada peristiwa serangan Agresi Militer Belanda ke-II. Ia turut serta dalam keberhasilan menghentikan Agresi Militer Belanda ke-II tersebut yang mampu merubah pandangan dunia Internasional terhadap kekuatan RI. Keikutsertaannya dalam GOM (Gerakan Operasi Militer) III dalam menumpas pemberontakan KNIL di wilayah Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Andi Aziz. Setelah itu, karirnya terus menanjak. Hingga bulan Juni 1965, ia diangkat menjadi Letnan Kolonel dan menjadi Kepala Staf Komando Resort Militer (Korem) 072 Kodam VII/Diponegoro di Yogyakarta yang berubah menjadi Kodam IV/Diponegoro dibawah pimpinan Kolonel Katamso. Pada tahun 1965 situasi sedang krisis yang disebabkan oleh pemberontakan PKI. Terjadi Agitasi dan Infiltrasi yang dilakukan PKI baik di tubuh TNI maupun kekuatan politik lainnya. PKI berhasil melakukan provokasi dan mobilisasi pada petani dan buruh di daerah seperti Yogyakarta, PKI juga mngusulkan kepada pemerintah untuk mempersenjatai sekitar 15 juta buruh dan tani yang mereka sebut sebagai kekuatan ke-5 (selain TNI dan Polisi). Hal ini ditentang habis-habisan oleh sejumlah perwira TNI Angkatan Darat, karena bisa memicu perang saudara. Melihat hal ini, PKI menjadikan perwira TNI Angkatan Darat sebagai musuh utama yang akan menghambat tujuan mereka. PKI benar-benar mempersiapkan pemberontakan secara sistematis, hingga semua lini pemerintahan dari pusat hingga wilayah terkecil tidak luput dari penguasaan mereka. Bahkan mereka juga melakukan penyusupan pada tubuh TNI, hingga puncaknya mereka melakukn aksi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira TNI Angkatan Darat sebagai sebuah rangkaian pemberontakan. Mencuatlah peristiwa G30S/PKI yang sangat mencekam dimana para perwira TNI Angkatan Darat yang ada di Jakarta menjadi korban penculikan, penganiayaan dan pembunuhan termasuk juga di Yogyakarta. Karena sering melakukan perlawanan terhadap PKI, maka Sugiyono dan Katamso diculik pada tanggal 1 Oktober 1965 dan dibunuh di daerah Keuntungan, Yogyakarta. Jasad mereka disembunyikan dalam lubang yang telah dipersiapkan. Pencarian besar-besaranpun dilakukan, hingga pada tanggal 21 Oktober 1965 jenazahnya baru di ketemukan dalam keadaan rusak. Pada tanggal 22 Oktober jenazahnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya, maka ia di promosikan menjadi Kolonel Infanteri Anumerta serta diberi gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan SK Presiden Nomor 118/KOTI/tahun1965 tertanggal 19 Oktober 1965.
19 Pahlawan Nasional Indonesia Dan Asal Daerahnya
Setiap tanggal 10 November bangsa kita Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan Nasional. Momentum ini sangat penting untuk mengenang dan menghormati jasa para pahlawan Indonesia dalam melawan penjajah negara asing dnegan taruhan harta dan nyawa. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka, maka kita perlu mengetahui sejarah perjuangannya dan di mana mereka dilahirkan. Berikut ini sepuluh pahlawan Nasional Indonesia yang harus anda ketahui meliputi daerah asal dan sejarah perjuangannya. Nama Pahlawan Indonesia dan Sejarah Perjuangannya 1. Ir. Soekarno
Ir. SoekarnoSoekarno atau yang lebih sering disebut Sukarno merupakan presiden pertama di Indonesia. Beliau mendapa sebutan sebagai bapak proklamator kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sukarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni tahun 1901. Dikenal sebagai orator terbaik yang cerdas, Sukarno mampu menciptakan semangat nasional. Selama masa-masa penting Indonesia, Sukarno pernah mencetuskan negara Pancasila, sehingga terciptalah konsep dasar negara bernama Pancasila yang digunakan Indonesia sampai saat ini. 2. Mohammad Hatta
Mohammad HattaMohammad Hatta adalah salah satu pahalawan Indonesia yang juga dipanggil sebagai Bung Hatta. Bung Hatta adalah seorang wakil presiden Ir. Sukarno yang lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 tepatnya di kota Bukittinggi. Bersama Bung Karno, Mohammad Hatta mendapat gelar sebagai Pahlawan Proklamator. Selama menjabat sebagai wakil presiden, Mohammad Hatta banyak menulis tentang ilmu koperasi. Sehingga perannya tersebut mendapat julukan ‘Bapak Koperasi’. 3. Jenderal Sudirman
Jenderal Sudirman
Pahlawan Nasional berikutnya adalah Jenderal Sudirman. Beliau adalah panglima tentara pertama Republik Indonesia dengan jabatan Jenderal Besar TNI Anumerta Sudirman yang sudah memperoleh gelar Jenderalnya pada usia 31 tahun. Jenderal Sudirman sangat berjasa dalam perjuangan di masa penting Revolusi Nasional Indonesia. Pahlawan yang terkenal akan perang gerilya dan Serang Umum 1 Maret tahun 1949 ini lahir di Purbalingga provinsi Jawa tengah pada tanggal 24 Januari di tahun 1916. Jenderal Sudirman adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi panglima besar Tentara Nasional Indonesia pertama, ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa di Purbalingga, Hindia Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi. Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri tentara Jepang di Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut. Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar, sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa. Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati yang turut disusun oleh Soedirman dan kemudian Perjanjian Renville yang menyebabkan Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya; karena infeksi tersebut, paruparu kanannya dikempeskan pada bulan November 1948. Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman, beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke arah selatan dan memulai perlawanan gerilya selama tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu. Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang 100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas rupiah keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
4. Pangeran Diponegoro
Pangeran DiponegoroPangeran Diponegoro adalah putra pertama dari Raja Mataram, Sultan Hamengkubuwono III. Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Mustahar yang lahir di Yogyakarta tepatnya pada tanggal 11 November 1785. Beliau mendapat julukan Pangeran Diponegoro karena telah memimpin perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825 hingga 1830 antara rakyat Indonesia dengan pemerintah Hindia-Belanda. 5. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien Submer Gambar : wikipedia Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dilahirkan di Lampadag, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Merupakan salah satu pahlawan wanita yang memiliki semangat perjuangan untuk melawan penjajah Belanda. Cut Nyak Dhien adalah istri seorang pahlawan Indonesia bernama Teuku Umar yang gugur di medan perang tepatnya pada tanggal 11 Januari 1899. Cut Nyak Dhien wafat akibat sakit yang dideritanya dan karena usia. Beliau dimakamkan di Sumedang pada tanggal 6 November tahun 1908. 6. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu Sumber Gambar : Wikipedia Seorang gadis desa yang berasal dari Nusa Laut, Maluku ini merupakan salah satu pahlawan nasional yang patut dikenang karena perjuangannya. Martha Christina Tiahahu yang lahir pada tanggal 4 Januari di tahun 1800 ini dikenal sebagai sosok perempuan yang berani karena saat usia 17 tahun ia sudah berani mengangkat senjata dan mengambil bagian dalam perlawanan dengan para penjajah Belanda. 7. Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam BonjolSeorang ulama yang berasal dari Sumatera Barat ini dikenal karena beberapa gelar seperti Peto Syarif dan Malin Basa. Beliau adalah pemimpin perang Padri (1803-1838). Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol Sumatera Barat pada 1772 yang ditunjuk sebagai pemimpun kaum Padri di kota Bonjol sehingga ia dijuluki Tuanku Imam Bonjol. Semasa perjuangannya, beliau pernah diasingkan hingga wafat lalu dimakamkan di Minahasa pada tanggal 6 November tahun 1864. 8. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar DewantaraKi Hajar Dewantara yang mempunyai nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Beliau adalah pahlawan dari Yogyakarta yang merupakan salah satu aktivis
pergerakan kemerdekaan, politisi, maupun pelopor di bidang pendidikan hingga dikenal dengan semboyan Tut Wuru Handayani. Ki Hajar Dewantara juga dikenal sebagai pendiri lembaga Pendidikan untuk Pribumi yang benama Taman Siswa. Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
9. Bung Tomo
Bung TomoSeorang pahlawan yang berasal dari Surabaya ini bernama Sutomo atau dikenal dengan panggilan Bung Tomo. Beliau terkenal dengan semangat membara pada pertempuran sengit di Surabaya tanggal 10 November 1945. Semboyannya yang sangat terkenal dan berhasil mengobarkan semangat pejuang lain adalah “Merdeka atau mati”. Pertempuran tanggal 10 November tersebut hingga kini dijadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10. Pattimura
PattimuraPattimura atau dikenal dengan Kapitan Pattimura mempunyai nama asli Thomas Matulessy. Kapitan Pattimura lahir di Maluku pada tanggal 8 Juni tahun 1783. Ia dikenal sebagai pemimpin pasukan pada peperangan-peperangan besar salah satunya perang tahun 1817. Pattimura juga mampu menyatukan semangat dari kerajaan Ternate hingga Tidore. Perang yang paling terkenal adalah perang Pattimura yang sangat ganas. Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang
bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan". Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali. 11. Achmad Soebardjo
Achmad SoebardjoPahlawan Indonesia ini memiliki nama lengkap Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Beliau lahir pada tanggal 23 Maret 1896 di Karawang, Jawa Barat dan meninggal pada umur 82 tahun pada bulan Desember 1978. Achmad Soebardjo merupakan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, seorang diplomat dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama kali. Gelarnya didapat dari Universitas Leiden Belanda pada tahun 1993 dengan gelar Meester. 12. Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar MudaPahlawan yang berasal dari Aceh, sama seperti Cut Nyak Meutia. Sultan Iskandar Muda adalah salah sultan terbesar dalam masa Kesultanana Aceh, dimana masa berkuasanya adalah dari tahun 1607 hingga 1636. Aceh sendiri mencapai masa kejayaannya pada masa kepemimpinan beliau, dimana Aceh berkembang menjadi besar dan reputasi internasionalnya dijadikan sebagai pusat perdagangan dan pembelajaran tentang agama Islam. Namanya saat ini diabadikan menjadi nama Bandar Udara Internasional di Aceh. 13. Panglima Polim
Panglima PolimPemilik nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud ini adalah seorang panglima dari Aceh. Sampai saat ini belum ditemukannya keterangan secara jelas kapan tanggal beliau lahir, yang jelas beliau berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII yang merupakan Raja Kuala. Kakek dari Panglima Plem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud bernama Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin atau biasa dikenal sebagai Cut Banta. 14. Teuku Muhammad Hasan
Teuku Muhammad HasanPahlawan Teuku Muhammad Hasan merupakan Gubernur wilayah Sumatera yang pertama kali setelah Indonesia merdeka. Beliau juga menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun 1948 sampai 1949 di Kabinet Darurat. Disamping itu, beliau juga seorang pejuang kemerdekaan dan juga pahlawan Indonesia. 15. Teuku Umar
Teuku UmarMungkin ketika SD kita sering mendengar namanya dengan nama belakang Meulaboh. Sebenarnya Meulaboh adalah nama tempat beliau lahir. Teuku Umar lahir pada tahun 1854 dan wafat pada tanggal 11 Februari 1899 di Meulaboh juga. Teukur Umar berjuang melawan Belanda dengan cara berpura pura bekerjasama dengan Belanda dan kemudian melawannya setelah berhasil mengumpulkan senjata dan uang cukup banyak. 16. Teuku Chik di Tiro
Teuku Chik di TiroTeuku Cik di Tiro memiliki nama lengkap Teuku Chik di Tiro Muhammad Saman lahir di Pidie pada tahun 1836 dan meninggal pada Januari 1891 di Aneuk Galong, Aceh Besar. Beliau adalah seoerang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. 17. I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah RaiSeorang pahlawan sekaligus seorang kolonel TNI Anumerta I ini bernama I Gusti Ngurah Rai. Beliau lahir pada tanggal 30 Januari 1917 di Desa Carangsari, Petang, Kabupaten Bandung, Bali dan meninggal pada tanggal 20 November 1946 di Marga, Tabanan, Bali pada umur yang masih mudah yaitu 29 tahun. Beliau merupakan pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Bali dan terus dikenang hingga saat ini. 18. Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng TirtayasaSultan Ageng Tirtayasa lahir di Banten pada tanggal tahun 1631 dan meninggal pada tahun 1683. Beliau adalah putra dari Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa menjadi sultan Banten yaitu pada periode 1640 sampai 1650. Saat kecil beliau di beri gelar Pangeran Surya. 19. Raden Dewi Sartika
Raden Dewi SartikaRaden Dewi Sartika lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Bandung dan meninggal di Tasikmalaya pada tanggal 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau merupakan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita dan diakui sebagai pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1966. 20 . RA Kartini
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879- meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi 21. Sultan Hasanuddin
Sultan Hassanudin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur . Ia dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973. 22. dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (EYD: Cipto Mangunkusumo) (Pecangakan, Ambarawa, Semarang, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917. Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920. Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad . Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda. Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.