Tjan Id - Golok Kelembutan (wen Rou Yi Dao) - Tamat

  • Uploaded by: Dicky Wizanajani r
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tjan Id - Golok Kelembutan (wen Rou Yi Dao) - Tamat as PDF for free.

More details

  • Words: 176,819
  • Pages: 474
Gol ok Kele mb ut an “W en Rou Y i Dao” pen yad ur : Tja n ID Cerita ini merupakan bagian dari seri Pendekar sejati, dalam cerita ini mengisahkan bagaimana pengalaman Ong Siau-sik (pedang tanpa perasaan), Pek Jau-hui dan Un-ji berkelana dalam dunia persilatan. BAB I MANU SIA DI TE NGA H PUIN G 1. Man us ia Yang tak mirip Man usia Diantara sekian banyak orang yang datang ke kota Kayhong untuk mengadu keberuntungan, Ong Siau-sik adalah satu diantaranya. Dia masih muda, ganteng, bercita-cita tinggi, berbakat hebat, datang dari jauh dan bersaku licin bagaikan baru keluar dari binatu. Tapi dia merasa angin yang berhembus semilir begitu lembut, kabut hujan yang remang-remang tidak menghalanginya menikmati keindahan alam, baginya tak ada persoalan yang bisa menghalangi cita-citanya untuk berkelana dalam dunia persilatan. Ong Siau-sik sedikit berbeda bila dibandingkan orang kebanyakan, dia membawa sebilah pedang. Tentu saja pedang itu dibalut rapat dengan kain tebal, dia bukan opas, juga tidak bekerja sebagai pengawal barang ekspedisi, malah bajunya dekil dan mirip gelandangan, jika senjata tajamnya tidak dibalut dengan kain tebal, tak perlu disangkal lagi tentu banyak kesulitan dan kerepotan yang akan dihadapinya. Pedang yang dibalut dalam bungkusan kain tebal itu hanya memiliki satu ciri khas, yakni gagang pedangnya berbentuk melengkung. Tentu saja pedang itu pedang asli, begitu juga dengan gagang pedangnya, gagang pedang yang berbentuk bulan sabit.

”Meniup seruling di loteng Hong-hok-lau, Bunga bwe berguguran di kota Kang-shia pada bulan kelima” Seandainya Ong Siau-sik tidak beranjak ditepi telaga utara karena kagum oleh nama besar Honghok-lau, tergiur keindahan alam dan kemegahan bangunan itu, tak nanti dia akan bertemu dengan Pek Jau-hui. Semisal ia tak bertemu Pek Jau-hui, belum tentu akan terjadi banyak peristiwa dikemudian hari, sekalipun bakal terjadi sesuatu, belum tentu sama akibatnya. Memang begitulah kehidupan manusia, hanya kerena tanpa sengaja melihat sesuatu atau karena mendengar sesuatu, perubahan besar yang mungkin terjadi sering diluar gaan siapapun.

Di tengah alur ombak sungai, di tengah asap dan kabut yang melayang tipis di atas permukaan air, baik di atas ba-ngunan loteng maupun di bawah loteng, banyak tertera tulisan dan syair hasil gubahan orang kenamaan. Sementara di luar bangunan, di sepanjang jalan banyak berkumpul pedagang kaki lima yang berteriak menjajakan ba-rang dagangannya, bau amis ikan dan udang yang dijajakan sepanjang sungai menambah joroknya suasana di seputar situ. Apa pun keadaan di sana, baik pedagang kaki lima mau-pun pemilik toko sepanjang jalan utama, semuanya tahu kalau para pelancong bukan melulu datang untuk menikmati kein-dahan alam, banyak di antara mereka yang memanfaatkan kesempatan itu untuk cuci mata sepanjang jalan. Bukankah banyak gadis penjaja yang menawarkan tubuhnya dari balik perahu? Ong Siau-sik sudah berkunjung ke banyak tempat, namun dengan ketajaman mata para pedagang, mereka tahu dengan pakaian yang dikenakannya begitu sederhana, jelas tak banyak uang yang dimiliki, karenanya tak ada yang menawarkan barang dagangan kepadanya. Ong Siau-sik sangat terusik dengan perlakuan semacam ini, baru saja dia akan naik perahu untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar suara gembreng yang dibunyikan bertalu-talu, begitu keras hingga menarik perhatian pemuda itu. Di sudut jalan utama terdapat sebuah lapangan beralas batu yang cukup lebar, tempat itu memang disediakan untuk orang jual jamu, jual silat dan akrobat lainnya, sudah banyak orang yang berkerumun di situ, tampaknya keramaian segera akan dimulai. Ong Siau-sik tertarik dengan keramaian itu, tanpa terasa dia pun ikut melongok ke sana. Padahal dia hanya melongok sekejap, melongok tanpa maksud tertentu, tapi justru karena dia melongok maka segala sesuatunya pun terjadilah, tak bisa dicegah lagi. Ketika melongok ke arah lapangan tadi, sempat satu ingat-an melintas dalam benaknya, siapa tahu ada gadis cantik penjual silat yang sedang mengadakan pibu untuk mencari jodoh. Tapi ia segera tahu kalau dugaannya keliru. Ia menyaksikan sebuah kejadian yang amat mengejutkan, satu pemandangan yang membuatnya terbelalak. Manusia? Makhluk itu nyaris tak mirip manusia. Orang berkerumun mengelilingi sebuah lapangan beralas batu hijau, di balik lingkaran kerumunan tampak beberapa orang lelaki kekar sedang menabuh tambur dan gembreng, dua orang perempuan bertubuh kasar dengan mengenakan topeng menuntun dua ekor kuda kecil, tangannya menggenggam golok kecil dan pedang kecil. Selain itu terlihat pula seekor monyet besar yang dirantai pada sepotong kayu, matanya yang melotot malas sedang mengawasi monyet kecil di tengah lapangan. Kalau hanya beberapa hal itu saja, Ong Siau-sik tak nanti dibikin kaget. Yang membuat Ong Siau-sik kaget justru hadirnya bebe-rapa ‘manusia’. Ya, di tengah lapangan masih terlihat beberapa ‘manusia’.

Kalau dibilang mereka adalah manusia, sebenarnya hal ini merupakan satu kejadian yang sadis dan kelewat kejam. Di antara beberapa ‘manusia’ itu ada yang tak punya tangan dan kaki, ada pula yang sudah kehilangan sebelah tangan dan sebelah kaki, ketika membuka mulutnya, hanya suara parau tak jelas yang terdengar, membuat iba dan kecut perasaan siapa pun yang melihatnya. Di samping itu, masih ada lagi beberapa ‘manusia’ yang bentuknya lebih aneh, ada seorang di antaranya seluruh tubuh-nya terpendam dalam sebuah vas bunga yang panjangnya tiga kaki, hingga hanya terlihat wajahnya yang cengengesan saja, rambut orang itu sudah beruban, namun anehnya justru memi-liki wajah imut macam bocah kecil. Ada lagi ‘seorang’, separuh badan bagian atas berwajah manusia sementara separuh badan bagian bawah lebih mirip seekor monyet, seluruh badannya tumbuh bulu, hanya sayang gerak-geriknya tidak selincah monyet sungguhan. Ada pula dua ‘manusia’ yang punggungnya saling me-nempel satu sama lainnya, biarpun mereka terdiri dari dua orang namun hanya memiliki sebuah punggung, sepasang kem-bar dempet yang aneh. Ada juga seseorang yang tubuhnya sempurna, tak beda dengan manusia biasa, tapi raut mukanya justru sudah hancur berantakan, panca-indranya berdesakan menjadi satu, hidung-nya patah dengan bibir merekah, gigi taringnya mencuat keluar sehingga nampak menyeramkan. Di sisi arena bertumpukan pula beberapa buah peti besar yang ditutup dengan kain hitam, tidak jelas apa isi peti-peti itu. Ong Siau-sik hanya melihat sekejap lalu tak ingin meman-dangnya lebih jauh, dia merasa Thian sangat tidak adil dalam menciptakan manusia, mengapa ada yang berwajah rupawan tapi ada pula yang nampak begitu jelek, aneh dan menyeramkan semenjak dilahirkan. Ia tak tega untuk memandang lebih jauh, maka diambilnya sebuah kepingan perak dan kemudian dilemparkan ke tengah arena. Sekalipun dia hanya melihat sekejap, namun kesan yang tertinggal di hatinya sangat mendalam, kesan jelek yang tak mudah terhapus dari ingatan. Sudah beberapa langkah ia menjauh dari arena, namun perasaannya tetap tak senang, tak leluasa. Mengapa ada orang yang lahir begitu sehat dan sempurna, mengapa ada pula yang dilahirkan dalam keadaan cacad? Pada saat itulah mendadak ia merasa ada seseorang sedang menarik ujung bajunya. Ong Siau-sik berpaling, ternyata orang itu adalah seorang cebol yang tingginya cuma tiga kaki, bentuk kepalanya besar sekali, sorot matanya tak bersinar, empat anggota tubuhnya kusut lagi kurus kecil, mirip lengan bocah kecil. Waktu itu dia membawa sebuah nampan sambil menuding ke arah tengah arena pertunjukan. Ong Siau-sik tahu dia minta sedekah, padahal waktu itu sisa uang yang dimilikinya tinggal tak seberapa, sisa uang hasil penjualan kuda tunggangannya sepuluh hari berselang. Sewaktu kuda kesayangannya dijual, perasaannya teramat masgul, dia tak mengira kuda abu-abu yang telah menemaninya menempuh perjalanan ribuan li, akhirnya gagal mengantar dia tiba di kotaraja.

Menjual kuda bagi seorang busu apa bedanya dengan seorang Enghiong menggantung pedangnya di atas dinding? Apa pun jalan pikirannya, dia rela mendermakan sisa uang miliknya itu untuk orang-orang cacad yang mengibakan hati ini. Melihat si cebol itu masih juga menuding ke arah nam-pannya, Ong Siau-sik pun manggutmanggut seraya berkata, “Kasihan, kau telah bertemu dengan orang rudin macam aku, semoga saja ada orang berbaik hati yang rela memeliharamu, sehingga kau tak usah menderita lagi mengembara di tengah udara dingin.” Sewaktu mengucapkan perkataan itu, Ong Siau-sik mengu-tarakannya dengan perasaan tulus dan bersungguh hati. Dengan cepat ia mendengar suara tertawa dingin, suara itu muncul persis dari sisi tubuhnya. Ong Siau-sik segera berpaling, namun mereka yang berada di sampingnya sedang menonton pertunjukan manusia kecil di tengah arena, tak seorang pun sedang menoleh ke arahnya. Di antara sekian banyak orang, dia hanya menyaksikan seseorang sedang berdiri sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Orang itu mengenakan pakaian yang indah dan perlente, masih muda dan tampan, ketika berdiri di tengah kerumunan orang banyak, persis seperti seekor bangau yang berdiri di tengah kerumunan ayam. Karena sedang mendongakkan kepala memandang angka-sa, maka raut mukanya tidak terlihat dengan jelas. Ong Siau-sik sendiri pun tidak jelas apakah orang ini yang barusan tertawa dingin. Ketika selesai mendengar perkataan tadi, wajah si cebol segera menunjukkan mimik terharu bercampur terima kasih, kembali jari tangannya menuding kian kemari sambil mengu-capkan kata ‘uu, aa’ yang tidak jelas, tapi garis besarnya dia merasa berterima kasih atas kebaikan hati pemuda itu. Ong Siau-sik meletakkan beberapa keping hancuran uang perak ke nampannya, mendadak ia seakan menyaksikan sesuatu, satu ingatan segera melintas dalam benaknya. Waktu itu si cebol sudah berpindah tempat untuk menarik ujung baju orang lain dan minta sedekah kepadanya. Ong Siau-sik seperti menemukan sesuatu yang mencuriga-kan, seakan ada hubungannya dengan masalah ‘lidah’, tapi un-tuk sesaat dia tak bisa menerangkan persoalan apakah itu, tak tahan kembali ia menengok ke tengah arena. Sementara itu suara genderang dan gembreng dibunyikan makin ramai, dua ekor monyet besar dengan menirukan lagak manusia bertarung sambil mengayunkan golok, para penonton mulai bersorak sambil bertepuk tangan, pertarungan antar monyet pun makin seru dan menarik. Kini ingatan yang melintas dalam benak Ong Siau-sik semakin nyata, karena dia telah menyaksikan sesuatu, yaitu golok dan lidah!

Dia pun menghubungkan kedua hal itu menjadi satu, besar kemungkinan si cebol bukan bisu sejak dilahirkan, dia bisu karena lidahnya telah dipotong seseorang. Bahkan ia dapat menyimpulkan dengan lebih jelas, yakni lidah si cebol dipotong dengan sebilah golok yang amat tajam, ia bisa menganalisa segala sesuatunya hingga paling detil, sebab dialah Ong Siau-sik! Ong Siau-sik, satu satu ahli waris Thian-gi Kisu. Betapa sakit hatinya ketika pemuda ini mengetahui kalau bisunya si cebol bukan bisu sejak dilahirkan, tapi bisu lantaran lidahnya dipotong orang. Dulu ia pernah merasakan juga perasaan aneh semacam ini, ketika melihat orang di pasar memotong ikan, tatkala mata pisau mengiris tubuh ikan, dia seolah merasakan tubuh sendiri ikut tersayat, dia merasa seakan sayatan pisau si tukang ikan bukan sedang membelah perut ikan itu, tapi sedang menyayat perasaannya. Manusia berhati lemah semacam ini seharusnya tidak cocok berlatih silat, terlebih tidak cocok menjadi satu-satunya ahli waris Thian-gi Kisu, tokoh persilatan yang luar biasa. Untuk menjadi seorang tokoh silat yang sesungguhnya, seseorang harus memiliki perasaan setenang air. Pandangan se-luas jagad. Tapi sayang Ong Siau-sik tidak memilikinya, Ong Siau-sik adalah seorang yang kelewat perasa, kelewat sensitip perasa-annya. Biarpun begitu, hanya dalam sepuluh tahun berikutnya, Ong Siau-sik telah berhasil melatih ilmu pedang tanpa perasaan hingga mencapai tingkat kemahiran yang luar biasa, bukan saja ia dapat sehati dengan gerak pedangnya, bahkan mampu me-ngalahkan pedang keji di tangan gurunya, Thian-gi Kisu. Dalam keadaan begini, gurunya, Thian-gi Kisu, hanya bisa menghela napas sambil berkata, “Ai, tak kusangka bocah yang dulunya begitu tak tegaan, begitu perasa, begitu tak berguna hingga membunuh seekor kelinci saja tak berani, bahkan setiap kali bertemu anjing kecil atau kucing kecil yang telantar di jalan pun selalu dibawa pulang, tiap kali berkelahi dengan orang, lebih rela dirinya yang terluka ketimbang melukai orang lain, sekarang jadi begitu tangguh dan telengas, berhasil menguasai ilmu pedang yang tangguh, berhasil menggembleng diri menjadi jago tak terkalahkan.” Maka dengan membawa pedang tanpa perasaannya, Ong Siau-sik berangkat ke kota Kay-hong, pergi mengadu untung. Belum lagi pengalaman lain dijumpai, kini dia bertemu lebih dulu dengan seorang cebol yang dipotong lidahnya. Ong Siau-sik tahu kalau lidah milik si cebol dipotong dengan golok, selain itu dia juga menjumpai peristiwa lain yang membuat amarahnya langsung memuncak. Ternyata sebagian besar orang cacad itu kehilangan ang-gota badannya karena sengaja dipotong dengan senjata tajam. Orang yang cacad sejak lahir tak akan meninggalkan bekas luka seperti ini, jangan-jangan mereka adalah korban peperang-an? Atau terluka oleh ulah perampok? Kalau memang demikian kejadiannya, kenapa mereka bisa tumbuh abnormal? Ong Siau-sik mulai sangsi dan coba memutar otak. Akhirnya dengan perasaan ingin tahu dia berjongkok, berjongkok sambil memeriksa manusia aneh

yang kehilangan kedua kaki dan sebuah tangannya. Sambil mendesiskan suara parau yang aneh, orang itu balik mengawasi Ong Siau-sik, dia pun seakan merasa heran dengan ulah anak muda itu, mungkin juga ia sedang mengeluh, kenapa semua siksaan hidup yang ada di dunia ini ditimpakan pada dia seorang. Tapi begitu diperiksa, sekujur badan Ong Siau-sik segera gemetar keras, ternyata manusia yang mengibakan hati ini bukan saja kehilangan sepasang kaki dan tangannya karena dipotong orang dengan golok, bahkan lidahnya juga digunting orang hingga putus. “Siapa yang begitu kejam? Siapa yang begitu tega mela-kukan perbuatan keji ini?” Mendadak seorang lelaki kekar menerobos maju sambil mendorong tubuh Ong Siau-sik, hardiknya sambil melotot besar, “He, kalau mau sedekah cepat sedekah, kalau enggan memberi duit cepat menyingkir!” “Siapa yang memotong tangan orang ini?” tegur Ong Siau-sik tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya terperanjat, dengan mata melotot dia mengawasi Ong Siau-sik, tapi begitu tahu orang itu hanya seorang sastrawan yang lemah, hatinya menjadi tenang kembali, dengan tak memandang sebelah mata, kembali hardiknya, “Mau apa kau menanyakan persoalan ini?” “Bukankah kakinya dipotong orang dengan golok?” Sebetulnya lelaki kekar itu hendak mengumbar amarahnya, tapi karena tak ingin mengganggu para penonton yang me-ngelilingi arena, terpaksa ujarnya lagi sambil menahan amarah, “Apa urusannya dengan kau!” Dengan kasar ia mendorong bahu Ong Siau-sik, pemuda itu tidak melawan, sambil mundur setengah langkah, kembali ujarnya, “Bukankah lidahnya sengaja dipotong dengan golok?” Dengan penuh amarah lelaki kasar itu menyerbu ke depan, namun ketika dilihatnya ada beberapa orang penonton mulai berpaling dan memandang ke arah mereka, terpaksa sambil tertawa dibuatbuat ia menepuk bahu Ong Siau-sik sambil berseru, “Hati-hati kalau berdiri, hati-hati sedikit!” Kemudian sambil merendahkan suaranya, kembali dia mengancam, “Aku peringatkan, di sini tak ada urusannya dengan kau, lebih baik jangan mencari masalah!” Sambil berkata ia menggandeng tangan si manusia cacad itu balik ke tengah arena, sepanjang perjalanan tiada hentinya ia berpaling dan melotot ke arah Ong Siau-sik dengan pandangan buas. Ong Siau-sik segera melihat rasa takut dan ngeri muncul menghiasi wajah si manusia cacad itu. Baru saja anak muda itu ingin melakukan suatu tindakan, mendadak terdengar seseorang berbisik, “Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, masalah besar akan semakin kacau, rahasia di balik semua ini semakin susah ditelusuri, buat apa kau mesti berang?” Suara itu begitu jelas, seakan-akan dibisikkan seseorang persis di sisi telinganya. Dengan cepat Ong Siau-sik berpaling, namun di antara sekian puluh orang, hampir semuanya sedang memperhatikan tengah arena, hanya seorang lelaki yang semula berdiri men-dongakkan kepalanya, kini menyusup masuk di antara keru-munan orang untuk menjauh.

Satu ingatan melintas dalam benak Ong Siau-sik, baru saja dia akan menerobos kerumunan orang banyak untuk mengejar orang itu, mendadak dari arah depan kembali muncul seseorang yang langsung menerjangnya. Karena seorang menerobos keluar sementara yang lain menerobos masuk, kontan saja kerumunan orang banyak yang merasa tertumbuk tubuhnya menjadi marah, kata-kata umpatan segera memenuhi arena. Orang itu menerjang sambil mengangkat siku kirinya untuk melindungi bagian dada, tapi lantaran menerobos kelewat cepat, tanpa sengaja kakinya menginjak kaki seorang perempuan yang sedang menonton keramaian, tak tahan perempuan itupun mengumpat, “Dasar orang dungu yang tak punya mata!” Orang itu nampak berkerut kening seakan-akan mengum-bar amarah, namun akhirnya niat itu diurungkan. Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap wajah orang itu, namun hanya sekejap saja sudah cukup membuatnya ter-pesona. Selama hidup belum pernah ia melihat seorang pria se-tampan ini. Alis matanya yang tipis bagai mata golok nampak begitu indah sewaktu bekernyit, kulit wajahnya yang putih bagaikan pualam kelihatan amat licin dan halus ketika tertimpa sinar matahari, ditambah perawakan tubuhnya yang tinggi semampai membuat orang itu sangat menawan. Kembali orang itu berkerut kening, dengan perasaan tak sabar ia menerjang kerumunan orang banyak sambil berputar mengelilingi arena, agaknya dia sedang mencari seseorang. Ong Siau-sik memperhatikan terus gerak-geriknya, ia perhatikan juga sebuah bungkusan panjang yang terselip di pinggangnya. Sekilas pandang saja dia sudah tahu apa isi bungkusan panjang itu, sebilah golok! oooOOooo 2. Man us ia dala m almari Hanya dalam waktu sekejap orang itu sudah lenyap di tengah kerumunan orang banyak. Sewaktu Ong Siau-sik menoleh lagi ke tengah arena, ia saksikan beberapa orang lelaki kekar dan perempuan kasar itu sedang memberesi peralatan senjata dan barang-barangnya un-tuk meninggalkan arena dengan tergesa-gesa, para penonton yang semula mengerubung di seputar arena pun sudah mulai bubar. Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat kembali dengan kata bisik-an tadi, “Kalau urusan kecil tak bisa ditahan, urusan besar jadi terbengkalai”. Apa maksud bisikan itu? Setelah berpikir sejenak, dia berkeputusan akan menguntit rombongan akrobatik itu lebih dulu, dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rombongan itu berjalan menelusuri jalan besar kemudian memasuki lorong kecil, sepanjang jalan sering berpapasan de-ngan orang banyak, tapi mereka berjalan amat santai, menelu-suri jalan sembari bicara kasar, malah seringkali mereka meng-hadiahkan cambukan atau tendangan ke tubuh orang cebol dan manusia cacad itu. Cara mereka menempuh perjalanan tidak mirip manusia yang melakukan perjalanan bersama, tapi lebih mirip seorang peternak yang sedang menggiring binatang peliharaannya, mirip juga seorang

majikan yang sedang menggiring budak belian, mereka membentak, mencambuk untuk memamerkan kewiba-waannya. Ong Siau-sik teramat murka menyaksikan kejadian ini, hampir saja dia mengumbar kemarahannya, ketika secara tiba-tiba ia saksikan munculnya seseorang yang jangkung dan kurus kering dari kejauhan sana. Orang jangkung itu mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu, wajahnya putih memucat seakan sudah lama tidak bertemu sinar matahari. Di punggungnya kelihatan sebuah bungkusan besar, tua, kuno dan berat tergantung di situ. Tak selang berapa lama kemudian orang itu sudah berjalan semakin mendekat. Suasana pun sesaat menjadi hening, rombongan penjual akrobatik mulai berdiam diri sambil mengawasi gerak-gerik orang itu. Makin lama orang itu berjalan semakin dekat. Ong Siau-sik dapat merasakan betapa tegangnya kawanan penjual akrobat itu hingga susah bernapas, malah ada di antara mereka mulai gemetar kakinya, nyaris melarikan diri meninggal-kan tempat itu. Di tengah sorotan sang surya yang lembut, hembusan angin musim gugur terasa dingin, di antara guguran daun ke-ring yang beterbangan di udara, lamat-lamat terdengar suara alunan seruling yang menggema terputus-putus. Siapa yang meniup seruling di tengah udara seperti ini? Dalam pada itu orang tadi sudah berjalan lewat, berpa-pasan dengan rombongan penjual akrobatik, jangan kan berhen-ti, melirik atau berpaling sekejap pun ternyata tidak. Kini rombongan itu baru bisa menghembuskan napas lega, beberapa orang di antaranya malah sempat berpaling untuk melirik orang itu sekejap, memandang dengan sorot mata ke-takutan. Sekarang orang itu sudah berjalan mendekati Ong Siau-sik. Anak muda ini bisa merasakan hawa dingin yang meman-car dari wajah orang itu begitu menggidikkan hati, dingin beku bagai bongkahan salju yang sudah terkubur ribuan tahun, tapi hawa dingin yang terpancar dari bungkusan yang berada di punggungnya terasa jauh lebih menyayat hati. Orang itu berjalan terus ke depan, sewaktu hampir ber-papasan dengan Ong Siau-sik, tiba-tiba ia mendongakkan ke-pala, dengan sinar mata setajam kilat, ia melotot ke arah anak muda itu sekejap. Ong Siau-sik merasa hatinya tercekat. Orang itu sudah berjalan lewat, berjalan terus ke depan menjauhi tempat itu. Tapi Ong Siau-sik kembali menemukan suatu kejadian yang sangat aneh. Ia lihat dari ujung jalan, paling tidak dari lima enam arah yang berbeda, bermunculan belasan orang, ada yang berlagak seperti sedang pesiar, ada yang berlagak sebagai penjaja ma-kanan kecil, ada yang menjadi tukang ramal, ada pula kongcu yang membawa sangkar burung, di antara

orang-orang itu ada yang tua ada pula yang muda, dandanan serta pakaian mereka berbeda, gerak-gerik juga berbeda, namun Ong Siau-sik dapat mengenali kungfu yang dimiliki orang-orang itu sangat tangguh, sedang tujuan kedatangan mereka pun hanya satu, menguntit manusia jangkung itu! Lalu siapakah lelaki ceking yang bertubuh jangkung itu? Mengapa kemunculannya menarik perhatian begitu banyak orang? Rasa ingin tahu Ong Siau-sik makin terusik, dia ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Sementara itu rombongan pemain akrobatik tadi sudah memasuki sebuah rumah penginapan, segera Ong Siau-sik pun mengingat-ingat nama penginapan itu. Ketika berpaling lagi, ia lihat lelaki kurus jangkung itu sudah berjalan memasuki sebuah lorong kecil yang sepi, sedang belasan orang dengan dandanan yang berbeda itu turut me-masuki lorong itu. Ong Siau-sik segera mengambil keputusan dengan masuk ke rumah penginapan lebih dulu, melihat rombongan akrobatik itu sudah memasuki kamarnya masing-masing, dia pun men-catat kamar mana saja yang mereka gunakan. Baru saja akan berbalik meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia lihat lelaki kekar yang sempat menegur kasar kepadanya tadi sedang naik ke loteng sambil mengawasinya dengan pandangan gusar. Ong Siau-sik tak ingin mencari gara-gara dalam suasana begini, sambil melempar senyuman dia beranjak keluar dari penginapan dan langsung menyusul ke arah lorong tadi dengan kecepatan tinggi. Dia tahu, rombongan akrobatik itu tak mungkin kabur dalam waktu singkat, justru lelaki jangkung itu yang mesti diperhatikan lebih dulu, tapi siapa pula lelaki jangkung itu? Apa yang bakal terjadi dengan orang-orang itu? Segera Ong Siau-sik menyusul ke lorong sepi itu. Hembusan angin musim gugur terasa menyayat wajah, lamat-lamat hawa membunuh menyelimuti jagad. Tiba di ujung tikungan jalan, Ong Siau-sik seketika dibuat terbelalak dengan pemandangan yang terbentang di hadapan-nya. Di ujung lorong tumbuh sebuah pohon besar, dahan dan ranting yang tumbuh merentang ke empat penjuru kini dalam keadaan gundul karena sebagian besar daunnya sudah ber-guguran ke tanah. Di belakang pohon gundul itu, yang terlihat hanya darah dan kematian. Belasan orang penguntit itu kini sudah roboh terkapar di atas tanah, terkapar tumpang tindih, tak seeorang pun dalam keadaan hidup. Lelaki jangkung kurus kering tadi tidak nampak di antara tumpukan mayat. Ketika Ong Siau-sik mengejar masuk ke dalam penginapan kemudian berlari keluar ke lorong itu, selisih waktu sebenarnya teramat singkat, tapi kenyataannya belasan orang penguntit itu sudah mati semua dalam keadaan mengenaskan, jangan lagi ada yang hidup, yang menghembuskan napas pun tak ada.

Siapa yang telah turun tangan secepat itu? Apakah di antara mereka terikat dendam kesumat sedalam samudra? Menghadapi situasi seperti ini, hanya dua pilihan yang dihadapi Ong Siau-sik, kabur atau meneruskan penyelidikan. Ia putuskan untuk melanjutkan penyelidikan! Dengan gerakan yang teramat cepat, dia periksa belasan sosok mayat itu satu per satu, kemudian menarik tiga kesim-pulan: Pertama, tidak dijumpai luka lain di tubuh belasan sosok mayat itu kecuali sebuah lubang. Lubang darah persis pada jantungnya, siapa yang tertusuk nyaris tak mungkin bisa hidup. Kedua, ketika menemui ajalnya, belasan orang itu tak sempat berteriak minta tolong. Di luar lorong adalah jalan raya besar, banyak orang berlalu lalang di situ, asal ada yang ber-teriak minta tolong, dapat dipastikan banyak orang akan mem-buru ke situ, tapi kenyataan belasan orang itu tewas tanpa sempat bersuara, hal ini semakin membuktikan kalau menjelang ajalnya mereka tak mempunyai kesempatan untuk minta tolong. Ketiga, pada ikat pinggang belasan orang itu sebagian be-sar membawa lencana perintah (lengpay), surat tugas maupun surat perintah, hal ini membuktikan orang-orang itu kalau bu-kan opas kenamaan, pastilah petugas kepolisian atau petugas pengadilan yang sedang melacak suatu kasus, atau bahkan bisa jadi kawanan jago dari istana. Tapi kenyataan sekarang belasan jago tangguh itu telah tewas secara mengenaskan di situ. Ong Siau-sik tak sempat memeriksa lebih teliti lagi, karena tiba-tiba ia mendengar suara jeritan seorang wanita. Rupanya ada seorang wanita bersama kekasihnya melewati lorong itu, sebetulnya mereka berencana akan berpacaran di tempat yang sepi itu, siapa sangka di sana mereka melihat mayat yang berserakan. Bukan cuma mayat yang berserakan, di situ malah ada seorang hidup yang sedang memeriksa tumpukan mayat itu. Menanti jeritan kedua muda-mudi itu menarik perhatian orang banyak serta kehadiran dua orang opas, dalam lorong itu hanya tertinggal mayat-mayat yang bergelimpangan. Menyaksikan mayat-mayat korban pembunuhan, dengan muka hijau karena marah, kawanan opas segera menegur, “Ma-na pembunuhnya? Bukankah kalian melihat sang pembunuh masih di sini?” “Benar!” sahut sang pria, “sebenarnya dia masih ada di sini, tapi kemudian ... entah kemana perginya.” “Aku melihat dia ....” sambung sang gadis. “Dia kabur kemana?” tukas sang opas. “Tadi dia melompat ke atas pagar rumah itu, kemudian melompat sekali lagi dan ....”

Kedua opas itu segera berdiri terbelalak dengan mata melotot, sudah dua puluh tahun mereka bekerja sebagai opas di Lak-san-bun, tapi belum pernah mendengar cerita sehebat itu: Melompati pagar pekarangan setinggi dua tombak? Melompat dalam sekali lompatan. Dalam pada itu si lelaki kurus jangkung berbaju abu-abu itu kelihatan berdiri pula di antara kerumunan orang banyak, cuma saja hawa dingin yang menyelimuti wajahnya nampak jauh lebih tebal dan berat. oooOOooo Ong Siau-sik melompat ke atas atap rumah dengan gerakan seringan daun kering, ia menggelantung di atas wuwungan rumah dengan mengaitkan sepasang kakinya di atas emperan, tubuhnya kelihatan bergoyang ketika tertiup angin, ringan dan lembut seperti selembar daun. Saat itu ia sudah mendekam di atas atap rumah pengi-napan dimana rombongan akrobatik itu menginap. Dengan membasahi ujung jarinya ia mencoba melubangi kertas yang menutupi daun jendela, kemudian mengintip ke dalam. Dalam ruangan tampak tujuh delapan orang lelaki kasar dan tiga empat orang perempuan kekar sedang berduduk santai, mereka bukan lain adalah rombongan penjual akrobatik itu. Rombongan manusia cacad yang dipotong lidah dan ang-gota badannya, lelaki kekar yang melarang dia mencari berita, manusia yang berbisik memberi peringatan kepadanya, lelaki tampan yang menerobos di tengah kerumunan orang banyak, lalu lelaki jangkung yang membuat rombongan akrobatik itu ketakutan dan terakhir mayat yang bergelimpangan dalam lo-rong. Sebenarnya apa yang terjadi? Ong Siau-sik memutuskan untuk menyelidiki peristiwa ini, dia akan mulai mencari jejak rombongan orang-orang ini. Sama sekali tak ada pertanda apa pun yang didapat. Beberapa orang lelaki dan wanita kasar itu hanya duduk berkumpul dalam kamar, wajah mereka nampak tegang dan serius, tak seorang pun yang membuka suara maupun berbicara. Beberapa orang lelaki di antaranya kadang kala nampak berdiri sambil menghela napas panjang, mereka hanya meng-gosokkan kepalannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Malam semakin kelam, angin barat laut berhembus makin kencang. Tentu saja Ong Siau-sik tak ingin menderita dalam cuaca yang begini dingin, pikirnya, “Kelihatannya tak ada berita yang bisa kucari dari mereka.” Baru saja dia bersiap meninggalkan tempat itu, tiba-tiba satu ingatan melintas. Perlahan-lahan dia mencongkel selembar genteng, lalu menekan dengan tangannya, sebelum genteng itu terjatuh ke dalam ruangan, dengan kecepatan bagaikan elang menyambar kelinci dia sudah melayang turun ke bawah, lalu bersembunyi di sisi pintu. “Braak!”, diiringi suara nyaring, genteng itu terjatuh ke lantai dan hancur berantakan. Kawanan lelaki kekar yang ada dalam ruangan segera membentak nyaring, ada yang langsung menerobos keluar lewat jendela, ada pula yang membuka pintu sambil mencaci maki.

Ketika itu Ong Siau-sik sudah bersembunyi di sisi pintu, menggunakan kesempatan di saat beberapa orang itu berlari keluar secara bergerombol, dia menyelinap masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan diri dalam sebuah almari kayu. Begitu menyelinap masuk, cepat dia merapatkan kembali pintu almari itu, tapi mendadak ia merasa bulu kuduknya berdiri. Ia mendengar ada suara napas seseorang, suara napas manusia yang berasal dari sisinya. Dengus napas itu sangat lirih dan teratur, napas orang awam tak mungkin selembut dan sehalus ini, kecuali seseorang yang sedang terlelap tidur sangat nyenyak, apalagi kalau ada orang menyelinap secara tiba-tiba, dengus napasnya sudah pasti sangat kalut dan agak terengah, tapi dengus napas itu sangat tenang dan lembut. Ini menunjukkan ada seseorang telah bersembunyi dalam almari itu sejak tadi! Tapi siapakah dia? Tanpa sadar Ong Siau-sik bersiap menghadapi segala ke-mungkinan. Sementara itu di luar almari sudah terjadi kegaduhan, disusul suara tanya jawab antara orang di luar kamar dengan rombongan akrobatik itu. “Ada apa? Apa yang terjadi?” “Tidak ada apa-apa, rasanya ada orang membuat gara-gara!” “Ada orang membuat gara-gara?” “Benar, ada orang sengaja melempar genting dari atas atap, untung kami cepat menyingkir, kalau tidak, pasti ada yang terluka.” “Melempar genting? Bukankah genting tersusun rapi di atas atap? Mana mungkin bisa jatuh sendiri?” “Darimana aku tahu, justru karena itu maka aku ingin mencari tahu sebabnya.” “Kami sudah tiga belas tahun membuka usaha, belum pernah satu kali pun terjadi peristiwa seperti ini,” kata pemilik losmen cepat, ia tahu kawanan manusia yang membawa golok itu adalah orang yang paling susah dihadapi. “Apa maksud perkataanmu itu? Kau anggap kami sedang mencari gara-gara? Katakan, kenapa kami mesti cari gara-gara?” “Bukan ... bukan begitu maksud kami ... mungkin atap itu sudah kendor karena lama tak dibetulkan hingga jatuh sendiri, baiklah, maaf, maaf ... kami segera akan memperbaikinya ....” Lociangkwe si pemilik losmen sadar bahwa manusia bengis macam begitu paling susah dilayani, maka dia mencari selamat dengan cepat minta maaf. Dengan uring-uringan ketujuh delapan orang lelaki kekar itupun balik kembali ke kamarnya.

Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah balik, para wanita kasar yang semula berjaga di tepi pintu dan jendela baru merapatkan kembali pintu dan jendela, mereka lalu berkumpul di depan meja. “Maknya sialan ....” umpat lelaki beralis tebal itu sambil meletakkan goloknya di meja, “coba kalau bukan lagi ada urusan, akan kubacok habis orang itu ....” Sambil menahan napas, Ong Siau-sik tetap bersembunyi di dalam almari. ‘Manusia’ yang sudah bersembunyi dalam almari sejak tadi pun tidak melakukan reaksi apa pun. Mendadak terdengar seseorang berkata dengan suara serius dan nyaring, “Sim-jit, kau jangan mencari gara-gara, malam ini para jago dari kantor pusat perkumpulan Lak-hun-poan-tong (enam setengah bagian) segera akan berdatangan, kau boleh saja mencari onar dan tak ingin hidup, tapi rekan yang lain masih ingin mati secara utuh. Hmmm, lihat saja ulahmu tengah hari tadi, nyaris berkelahi dengan beberapa orang, aku lihat tabiatmu makin tak terkendali, lebih baik ingat baikbaik, jangan mencari gara-gara buat kita semua!” Ong Siau-sik coba mengintip lewat celah almari, ia lihat orang yang sedang berbicara itu adalah seorang lelaki tua yang bermata tajam dengan senjata penggaris baja tersoreng di ping-gangnya, di samping lelaki tua itu berdiri seorang wanita berwajah garang dan bermata licik. Ketika kedua orang itu berdiri di sana, ternyata kawanan manusia yang lain tak ada yang berani mengambil tempat duduk. Lelaki beralis tebal itu menundukkan kepala, meski kepal-annya yang segede mangkuk dikepal kencang, namun ia sama sekali tak berani membantah terhadap teguran kakek itu. Lewat sesaat kemudian seorang lelaki berkepala kecil bermata tikus baru menimbrung, katanya, “Lo-jit, selama ini memang kau yang salah, coba lihat ulahmu membuat Li Ya jadi sewot setengah mati, memangnya kau sudah kebanyakan meng-hirup hawa kentut!” Lelaki beralis tebal itu tetap membungkam, tak sepatah kata pun berani membantah, tapi tinjunya dikepal makin ken-cang, nampak otot-otot hijau menonjol keluar. Terdengar kakek she Li itu berkata lagi setelah menyapu wajah semua yang hadir dengan sorot matanya yang tajam, “Ka-lian anggap berhargakah kita mengusik rumput mengejutkan ular hanya gara-gara urusan orang yang tak penting? Li Ya, su-dah kau kirim orang untuk mengawasi ketiga buah kamar itu?” “Baru saja aku mengajak beberapa orang melakukan peron-daan di sekitar sana,” sahut lelaki berkepala kecil bermata tikus itu dengan hormat, “setiap kamar dijaga dua orang saudara kita, hingga detik ini tidak ada kejadian apa pun.” “Hmm! Paling bagus memang begitu,” dengus kakek Li ketus. Menggunakan peluang itu, Li Ya, si lelaki bermata tikus itu berkata lagi, “Dalam wilayah tiga sungai besar enam propinsi, siapa yang telah makan nyali beruang hingga berani mengusik Liong-tau (ketua) perkumpulan akrobatik Li Tan, Li Ya? Apalagi kali ini Li-ji-nio pun ikut terjun sendiri ke dunia Kangouw, manusia busuk mana yang ingin cari apes?” Mendengar pembicaraan itu, Ong Siau-sik seketika teringat kembali beberapa tokoh termashur dalam dunia persilatan saat itu.

Banyak perkumpulan dan partai termashur yang berdiri dalam dunia persilatan, di antara sekian banyak organisasi, ada di antaranya merupakan organisasi sempalan yang disebut Pay-kau. Hampir semua yang bergabung dalam Pay-kau memiliki sedikit kemampuan yang dapat diandalkan, mereka pandai mengikuti arus, pandai pula memotong arus. Di antara sekian banyak organisasi sempalan, di antaranya terdapat organisasi yang didirikan oleh para tabib, para peramal, pedagang maupun petani. Dari tujuh puluh dua organisasi sempalan ini masing-masing dipimpin oleh seorang Liong-tau yang berkuasa mengatur jalannya perkumpulan itu. Li Tan adalah salah satu Liong-tau organisasi sempalan itu, dia memimpin organisasi kaum akrobatik, bersama adik perem-puannya, Li Ciau-hong, memiliki kungfu yang hebat, berhati keji dan telengas, mereka sangat termashur namanya di seputar wilayah Ouw-pak. Entah karena urusan apa saat ini berkumpul di situ? Sementara orang yang disebut Sim-jit tadi adalah Ko-san-hou, si Macan gunung Sim Heng, sedang orang yang disebut Li Ya adalah seorang begal yang selama ini beroperasi di seputar wilayah Hong-hok-lau, orang memanggilnya Hau-cian-hu (ma-nusia berwajah macan berhati rase). Ong Siau-sik memiliki daya ingat yang sangat baik, setiap kali tiba di suatu daerah, dia selalu mencatat dan mengingat baik-baik nama serta kelebihan yang dimiliki setiap tokoh yang dijumpai. Entah mengapa, dia selalu berpendapat suatu hari nanti semua bahan catatannya itu akan sangat berguna baginya. Mungkinkah ada hari seperti yang dia duga? Ong Siau-sik tidak tahu. Dia hanya tahu satu hal, hampir semua partai dan perkum-pulan yang ada di kolong langit, sebagian besar berada dalam kendali dan perintah organisasi Lak-hun-poan-tong ini. Hampir semua jago dan tokoh hebat tunduk serta takluk pada organisasi Lak-hun-poan-tong ini. Selama ini mereka selalu menyerahkan tiga setengah ba-gian yang dimiliki kepada organisasi Lakhun-poan-tong, na-mun bila menjumpai suatu masalah atau kesulitan, maka orga-nisasi Lak-hunpoan-tong akan mengerahkan enam puluh lima persen kekuatannya untuk mendukung dan membantu mereka. Organisasi Lak-hun-poan-tong ini dipimpin oleh seorang Congtongcu yang bernama Lui Sun, sementara orang gagah di kolong langit menyebutnya sebagai Lotoa. Mungkin satu-satunya kekuatan lain yang bisa menandingi kemampuan perkumpulan Lak-hunpoan-tong hanyalah per-kumpulan Kim-hong-si-yu-lau (loteng angin emas hujan ge-rimis). Sedangkan jagoan yang bisa menandingi kehebatan serta ketenaran Lui Sun di kota Kay-hong pun hanya ketua atau Locu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau ini, Ang-siu-to (golok baju merah) So Bong-seng seorang. Begitulah situasi dalam dunia persilatan waktu itu, ka-wanan jago yang tidak bergabung dalam partai besar hampir semuanya bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena perkumpulan angin emas hujan gerimis didukung oleh pemerintah kerajaan, sedangkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong ditopang para jago dari golongan rimba hijau.

Itulah sebabnya beredar satu pepatah yang berbunyi: Enam bagian adalah Lui, empat puluh laksa milik So. Artinya paling tidak ada empat puluh laksa orang yang bergabung dengan So Bong-seng, tapi bila diperbandingkan secara benar, maka ter-bukti ada enam puluh persen kekuatan persilatan berada dalam kendali Lui Sun. Dalam pada itu wanita bertubuh kekar yang berdiri di samping Li Tan telah tertawa terkekeh-kekeh sambil berkata, “Li Ya, tak heran kau bisa hidup makmur di wilayah seputar sini, mulutmu benarbenar pandai merayu hingga membuat muak hati orang, kelihatannya di kemudian hari aku mesti mengang-kat dirimu menjadi Liong-tau Lotoa dari organisasi kaum akrobatik wilayah sini.” “Ji-nio tak usah menggoda aku,” Li Ya turut terkekeh, “Liong-tau Lotoa bukan jatahku, sebab jabatan itu butuh ke-mampuan yang tangguh, aku hanya memiliki selembar bibir, jadi kalau ingin jadi Lotoa, mending aku banyak berdoa dulu pada Thian.” Li Tan mengernyitkan dahi rapat-rapat, dengan kerutan wajah yang makin mengencang dan tak sekilas senyuman pun yang menghiasi bibirnya ia bertanya, “Siapa saja dari organisasi Lak-hunpoan-tong yang akan hadir di sini? Kenapa sampai sekarang belum nampak batang hidung mereka?” “Menurut apa yang kuketahui, paling tidak ada tiga orang jago yang datang kemari, malah langsung dipimpin sendiri oleh Tongcu kedua belas, Tio Thiat-leng!” sahut Li Ya dengan nada hatihati. “Hah? Dia pun ikut datang?” hampir berbareng Li Tan dua bersaudara berseru tertahan. Li Ya manggut-manggut. “Benar, aku rasa dari pusat akan menyerahkan sebuah tugas besar kepada kita,” sahutnya dengan mata berbinar. “Aku justru sedikit rada kuatir,” Li Ciau-hong menggeleng. “Apa yang kau kuatirkan?” “Dulu kita tak lebih hanya penjual silat yang mengembara dalam sungai telaga, kalau tak cocok dengan suatu masalah, kita bisa main tebas memenggal kepala lawan, kalau ketemu musuh tangguh paling kabur sembari mencari sedikit keuntungan. Tapi hari ini kita mesti menangkap bocah-bocah yang tak tahu urus-an, harus memotong anggota badan mereka, menyambung anggota badan orang yang satu dengan tubuh orang lain, memaksa mereka untuk bersetubuh dengan hewan, akhirnya mereka jadi manusia cebol, manusia aneh, makhluk setengah manusia sete-ngah hewan, pekerjaan macam ini kelewat keji, kelewat kejam dan sama sekali di luar peri kemanusiaan. Kita toh bukannya tak sanggup bermain senjata, bukan manusia tempe yang tak mam-pu merampok atau membegal, bertarung melawan puluhan orang juga masih sanggup, tapi kalau harus terus menerus menyiksa bocah-bocah yang tak berdosa, ai ... aku Li Ciau-hong betulbetul tak tega. Kakak, jelek-jelek kita masih punya sedikit nama dalam dunia persilatan, kenapa harus melakukan jual beli semacam ini? Kalau sampai terjungkal di tangan orang, bukan-kah nama kita bakal ikut hancur dan rusak? Jika kantor pusat memerintahkan kita untuk melakukan pekerjaan semacam ini lagi, aku dengan tegas akan menolak!” Berubah hebat paras semua orang setelah mendengar perkataan itu, dengan wajah serius Li Tan segera menghardik, “Adikku, kau sudah gila? Mengapa mengucapkan perkataan seperti itu?”

Dibentak kasar di hadapan orang banyak, kontan Li Ciau-hong bertambah sewot, dengan suara yang makin nyaring, teri-aknya, “Memangnya aku salah bicara? Sekarang putra tunggal Bun Sin-hu pun sudah kita culik, bila sampai pecah peristiwa besar, memangnya kita semua bisa cuci tangan dari masalah ini? Sampai waktunya, dengan cara apa kakak akan menjelaskan kepada orang luar?” Paras muka Li Tan berubah jadi hijau memucat, saking gusarnya seluruh badan gemetar keras. Tapi orang yang paling kaget dan terkesiap di antara yang hadir tak lain adalah Ong Siau-sik yang bersembunyi dalam almari. Ternyata manusia cacad yang patut dikasihani itu tak lain adalah hasil perbuatan kelompok manusia ini! Kenapa mereka begitu tega melakukan perbuatan sekeji ini? Mungkinkah semuanya ini atas perintah organisasi Lak-hun-poan-tong? Mengapa perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini melakukan perbuatan keji yang sangat terkutuk ini? oooOOooo 3. Or ang ketiga Li Tan menarik napas panjang, berusaha menahan hawa amarahnya yang meledak, kemudian ujarnya, “Adikku, dari tiga puluh enam cabang darat dan tujuh puluh dua cabang air, kalau bukan tunduk di bawah perintah So-kongcu, tentu tunduk kepada Lui-tongcu, kita berdua meski bisa menancapkan kaki di wilayah seputar telaga Se-ouw, tapi terhitung jagoan macam apa di mata orang banyak? Saudara Li, saudara sekalian yang hadir, mohon maaf yang sebesar-besarnya atas perkataan adikku tadi, tolong masukkan perkataan tadi melalui telinga kiri dan kelu-arkan lewat telinga kanan, jangan sebar luaskan di depan umum. Untuk itu aku orang she Li pasti akan membalas budi kebaikan sahabat sekalian di kemudian hari.” “Lotoa tak usah kuatir,” sahut Sim-jit cepat, “kami semua malah tidak mendengar terlalu jelas apa yang telah dikatakan Cici kedua tadi.” “Benar, benar,” sahut rekan lainnya, “kami memang tak mendengar jelas apa yang Cici katakan tadi.” Setelah memutar biji matanya, Li Ya ikut bicara, katanya, “Perkataan semacam ini memang tidak sepantasnya diutarakan secara terbuka.” Rupanya ia telah melihat sorot mata semua yang hadir telah tertuju ke wajahnya, sadar bahwa dirinya merupakan satu-satunya ‘orang luar’ di tempat itu, maka untuk menghindari kecurigaan orang, dia mesti menunjukkan keseriusannya menja-ga rahasia. Dia pun tahu kawanan manusia yang hadir dalam ruangan saat ini merupakan jago kawakan dunia persilatan, mereka terhitung manusia yang bisa membunuh tanpa berkedip, bila sampai menunjukkan niat untuk berkhianat, niscaya jiwanya segera akan terancam. Maka setelah menarik napas panjang, kembali ujarnya dengan wajah serius, “Untuk membuktikan ketulusan hatiku, baiklah, biar aku bersumpah di hadapan Thian, jika aku Li Ya sampai membocorkan ucapan Ji-nio sepatah kata saja, biarlah aku orang she Li mati secara mengenaskan di pinggir jalan bagaikan tikus selokan yang mati digebuk orang ....”

Tampaknya dia masih ingin mengucapkan sumpah yang lebih berat lagi, tapi Li Ciau-hong sudah tak sanggup menahan diri, selanya, “Kau tak usah meneruskan sumpahmu, kau me-mang si tikus jalanan, setiap orang akan menggebukmu sampai mampus.” “Ah, Ji-nio suka bergurau,” sahut Li Ya tersipu-sipu, na-mun dalam hati ia merasa lega sekali. Setelah menghela napas panjang, kembali Li Ciau-hong bertanya, “Kakak, benarkah kita akan berbuat jahat terus?” Li Tan tak sanggup mengendalikan emosinya lagi, sambil menggebrak meja bentaknya gusar, “Tutup mulutmu, kau tidak kuatir pihak pusat akan menurunkan perintah pembunuhan? Kau boleh saja bosan hidup, tapi jangan sampai menyusahkan saudara kita yang lain!” Baru saja Li Ciau-hong ingin membantah lagi, tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang dua kali suara lolongan anjing yang amat keras. Berubah hebat paras muka kawanan jago yang ada dalam ruangan, tapi setelah diamati sejenak, dengan wajah berseri Li Ya berseru, “Ah, jangan panik, orang sendiri.” Li Tan berkerut kening, hawa pembunuhan memancar keluar dari sorot matanya. “Aku rasa dia datang dengan membawa teman,” katanya. “Benar,” sahut Li Ya sambil tertawa paksa, “kali ini yang menjadi komandan adalah Kutoacongkoan dari pesanggrahan Yan-mo-cay, ia datang bersama Ting-tauke dari grup akrobatik.” Sementara itu terdengar suara dua kali tepukan tangan dari bawah loteng. “Apa? Mereka juga ikut hadir?” seru Li Ciau-hong. “Aku telah menyebar mata-mata di luar sana, tebakanku tak bakal keliru.” Mendadak terdengar lima kali suara ketukan pintu disusul dengan terbukanya pintu ruangan. Ketika Li Ya membukakan pintu, masuklah dua orang diikuti dua orang di sebelah kiri dan kanan, mereka menempel terus di belakang kedua orang itu secara ketat, seakan takut ada orang yang akan mencopet duit mereka. Empat orang yang mengintil di belakang, dua di antaranya berdandan pelajar, tapi sorot matanya bukan kelembutan, na-mun penuh dengan hawa pembunuhan. Kedua orang ini melindungi seorang lelaki setengah umur yang mengenakan baju halus, lelaki itu berkumis tipis dengan wajah cerah, persis seperti seorang saudagar. Di sisinya mengikut seorang pemuda berwajah bulat telur dengan kulit badan yang putih bersih, di belakang pemuda ini mengikut pula dua orang lelaki yang menempel terus bagaikan bayangan setan, di sisi ikat pinggangnya tergantung sebuah kantung kulit ikan, siapa pun yang melihatnya segera akan tahu kalau mereka berdua adalah jago menggunakan senjata rahasia. Begitu bertemu dua bersaudara Li, kedua orang itu segera menjura seraya menyapa, “Li-lotoa, Jimoaycu, baik-baikkah selama ini?” Dua bersaudara Li lekas menyahut dengan beberapa kata sungkan. Menanti Li Ya mempersilakan tamunya duduk, Li Tan baru berkata, “Kelihatannya hari ini kantor pusat akan menga-dakan

pertarungan akbar, kalau tidak, masa sampai merepotkan ketua pesanggrahan Yan-mo-cay, Ku Han-lim serta Toa-tauke dari kelompok akrobatik, Ting Siu-hok” “Mana, mana ...” sahut Ku Han-lim yang berdandan seperti saudagar itu sembari menjura, “aku tak lebih hanya pemeran pembantu, justru saudara Li, Ji-moaycu dan Ting-lote yang me-rupakan orang paling top dalam perkumpulan kita.” “Dalam persoalan malam ini, ada baiknya kita bersikap lebih hati-hati,” sela Ting Siu-hok Tauke dari kelompok akro-batik tanpa basa-basi, “baru saja aku mendapat laporan, katanya Si Say-sin dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau juga telah muncul di wilayah seputar sini.” “Ah, ternyata memang dia!” seru Li Tan bersaudara serentak. “Jadi kalian pun telah bersua dengan mereka?” “Benar,” kata Li Ciau-hong, “tadi ketika kami sedang bebenah untuk balik kemari, di tengah jalan kami telah bertemu dengan seseorang, orang itu mirip sekali dengan manusia tangguh yang kau maksudkan!” Senyuman yang semula masih menghias bibir Ku Han-lim, kini lenyap seketika, gumamnya, “Si Say-sin ... Si Say-sin ... jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sampai menurunkan malaikat sakti dari langit barat, urusan jadi sedikit berabe, tidak gampang buat kita untuk turun tangan.” “Ehmm, jika Si Say-sin benar-benar sudah datang, berarti kasus pembunuhan terhadap kedua belas orang opas di lorong belakang rumah keluarga Han siang tadi kemungkinan besar adalah perbuatannya,” kata Ting Siu-hok murung, biar agak masgul namun nada suaranya masih terdengar lembut dan jelas. “Dua belas lembar nyawa roboh berserakan hanya dalam sekali tebasan, kungfu semacam itu memang menakutkan, se-olah dia sedang merontokkan dedaunan saja.” “Hmmm, tapi kita semua bukan bangsa dedaunan,” de-ngus Li Tan. “Sekalipun bukan dedaunan, rasanya juga tak selisih jauh,” sambung Ting Siu-hong hambar. “Apa maksud perkataanmu itu?” teriak Li Tan sewot. “Kalau cuma untuk menghadapi kita beberapa orang, rasanya tak perlu merepotkan malaikat sakti dari langit barat!” “Lalu kedatangannya untuk menghadapi siapa?” tanya Li Ciau-hong. “Aku tidak tahu, aku hanya tahu perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang bertarung ketat melawan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, karena itu ada seseorang yang menyusul kemari, khusus untuk menghadapi Si Say-sin.” “Tio Thiat-leng, Tongcu kedua belas maksudmu?” tanya Li Tan kaget. Ting Siu-hok menggeleng. “Bukan, bukan dia, tapi Tongcu kesembilan, Ho Tong!”

“Ho-kiutongcu?” dua bersaudara Li menjerit serentak. ‘Benar, malah aku dengar selain dia datang pula dua orang yang lain, Tio Thiat-leng dan ....” “Siapa orang kedua?” Belum sempat pertanyaan itu dijawab, dari luar ruangan kembali terdengar suara gonggongan anjing, kali ini suara gonggongannya jauh lebih keras dan nyaring. Paras muka semua orang yang hadir dalam ruangan segera berubah makin serius, seakan-akan sedang menghadapi datang-nya serangan musuh tangguh. “Rasanya orang-orang pusat yang datang,” bisik Li Tan sambil bangkit berdiri untuk membukakan pintu. “Tunggu, belum tentu mereka,” cegah Ting Siu-hok. Sejak awal, Li Tan sudah merasa tak senang dengan orang ini, tapi dia enggan mengumbar amarahnya karena orang-orang Lak-hun-poan-tong segera akan tiba, karena itu dia hanya melotot sekejap ke arahnya dengan perasaan mendongkol. “Aku pun mempunyai mata-mata di sekitar sini” kata Ting Siu-hok kembali. Dari kejauhan terdengar suara katak berkumandang, begitu mendengar suara itu, Ting Siu-hok baru berkata dengan perasa-an lega, “Ah, ternyata memang orang kita yang datang.” Ia bangkit berdiri siap membukakan pintu, sikapnya bah-kan sangat menghormat, jauh melebihi sikap Li Tan tadi. Mendadak Ku Han-lim merentangkan tangannya mengha-langi. Dua orang pelajar yang berada di belakangnya segera menyelinap ke depan jendela, membuka daun jendela itu kemu-dian menyalakan korek api dan diayunkan beberapa kali, tak lama kemudian dari balik kegelapan di kejauhan sana melintas juga cahaya api balasan. “Ehmm, memang benar orang kita yang datang,” kata Ku Han-lim sambil mengangguk. “Hmmm!” Li Tan mendengus dingin, “tampaknya me-mang Ku-toacongkoan dan Ting-tauke punya banyak mata-mata di sini.” “Ah, mana, mana ... oleh karena orang yang akan datang malam ini adalah utusan dari kantor pusat, mau tak mau kita mesti bertindak lebih hati-hati.” Li Tan menarik napas panjang berusaha menenangkan hatinya, kemudian tanyanya, “Tadi kau menyebut ada tiga orang yang akan datang, siapa orang ketiga itu?” “Kemungkinan besar adalah ....” belum selesai Ting Siu-hok menjawab, dari bawah loteng kembali terdengar suara tepukan tangan, suara tepukan itu muncul sangat mendadak sehingga bukan saja membuat semua orang keheranan, bahkan Ong Siau-sik yang sedang bersembunyi dalam almari pun dibuat tercengang. Sebetulnya tujuan kedatangannya ke sana adalah untuk mencari tahu masalah manusia-manusia cacad itu, di luar du-gaan, bukan saja ia telah mendengar satu kejadian besar yang bakal terjadi dalam dunia persilatan, bahkan manusia tersohor macam Tio Thiat-leng dan Ho Tong pun sebentar lagi akan muncul di depan mata.

Dalam pada itu dari luar pintu kembali terdengar lima kali suara ketukan pintu, ketukan itu sebentar perlahan sebentar cepat dan sangat tidak beraturan. Li Tan bersaudara, Ku Han-lim maupun Ting Siu-hok sekalian serentak melompat bangun sambil berdiri di depan pintu, sedang pintu kamar dibuka oleh Li Ya. Pintu telah terbuka lebar, namun tak nampak seorang pun. “Aneh, kenapa tak ada orang ....” gumam Li Ya keheranan. Ong Siau-sik mencoba mengintip keluar lewat celah almari, ia lihat di antara goyangan cahaya lilin tahu-tahu di dalam kamar telah bertambah dengan tiga sosok manusia, mereka melayang masuk lewat jendela dengan gerakan yang amat enteng, cepat dan sama sekali tidak menimbulkan suara. Tiga orang manusia. Orang pertama adalah seorang kakek berkepala botak, alis matanya keperak-perakan dengan jenggot berwarna putih, sepa-sang tangannya disembunyikan di balik pakaian, seolah sedang memegang benda mestika yang tak ingin diperlihatkan kepada orang lain. Orang kedua adalah seorang lelaki sedingin dan sebeku baja, ia mempunyai wajah persegi empat dengan perawakan kotak, bahkan tangannya pun berbentuk segi empat, ia mirip sekali dengan sebuah kotak. Sebuah kotak baja! Orang ketiga, begitu masuk ke dalam ruangan, sorot matanya dengan lagak sengaja tak sengaja melirik sekejap ke arah tempat persembunyian Ong Siau-sik, kebetulan anak muda itupun sedang menatap ke arahnya sehingga sorot mata mereka saling beradu. Ong Siau-sik segera merasakan hatinya bergetar keras, bukankah orang ini adalah lelaki yang dijumpainya siang tadi? Lelaki yang berdiri di lapangan sambil mendongakkan kepala memandang langit? Saat ini tentu saja ia tidak memandang ke arah langit. Yang dia awasi kini adalah cahaya lilin. Cahaya lilin berkilat di balik sorot matanya, membuat sorot mata orang itu bertambah terang, bertambah cemerlang. Begitu badannya berdiri dalam ruangan, seluruh cahaya lilin seakan hanya khusus menerangi tubuhnya, namun seakan juga cahaya itu tak mampu menerangi pakaiannya. Siapakah orang ini? Dalam pada itu seluruh jago yang ada dalam ruangan telah mengetahui kemunculan ketiga orang itu, serentak mereka maju sambil menyapa. “Tio-tongcu!” “Ho-tongcu!” Tak seorang pun yang menyapa orang ketiga, karena memang tak ada yang tahu siapakah orang itu. Orang itupun berdiri santai, tidak menyapa juga tidak menggubris, seakan dalam ruangan hanya ada dia seorang.

Perlahan-lahan Tio Thiat-leng mengambil tempat duduk, kemudian dengan suara yang parau basah ujarnya, “Hari ini kantor pusat sengaja mengumpulkan kalian di tempat ini, karena ada tiga persoalan yang hendak disampaikan, kalian ditugaskan untuk menyelesaikan tiga persoalan.” “Silakan Tongcu memberi perintah,” sahut Li Tan sekalian dengan hormat. “Li Tan,” ujar Tio Thiat-leng, “bukankah kusuruh kau me-nangkap semua orang yang namanya tercantum dalam daftar dan mengubah bentuk tubuh mereka? Apakah telah kau laku-kan?” “Dalam daftar tercatat empat puluh dua orang, sembilan belas orang di antaranya sudah berhasil diculik, ada yang telah dikebiri, ada yang telah dipotong, secara garis besar kami telah melaksanakan sesuai dengan perintah Tongcu dan mengubah mereka jadi manusia cebol atau makhluk jelek lainnya, jangan kan orang tua mereka tak bakal mengenal lagi, bahkan mereka sendiri pun kujamin tak akan kenal dengan diri sendiri.” “Bagus sekali, apakah putra tunggal Bun Sin-hu juga telah berhasil ditangkap?” “Telah kami tangkap,” Li Tan segera mengangguk. “Kalau begitu kirim utusan dan katakan kepada orang she Bun itu, jika dia masih saja condong membantu pihak perkum-pulan Kim-hong-si-yu-lau, maka kami akan menjadikan putra-nya sebagai anggota topeng monyet untuk mencari duit dalam rombongan akrobatikmu dan menjadi tontonan orang banyak!” “Cari duit tidak penting, aku hanya tahu melaksanakan perintah dari Tongcu,” lekas Li Tan menimpali. Tio Thiat-leng tertawa dingin. “Hmm, mencari duit pun merupakan urusan penting, bukankah untuk menambah ragam permainan dalam tontonan-mu, kau pun sering mencelupkan tubuh orang ke dalam air panas agar melepuh, bukankah kalian pun sering mengikat tangan dan kaki mereka jadi satu, atau sengaja mematahkan tulang pinggang mereka agar tak bisa berdiri, lalu menjuluki mereka sebagai si bocah plastik, si manusia bola, tujuannya hanya mencari simpati orang, agar penonton melemparkan lebih banyak uang sedekah? Aku sudah kelewat banyak menyaksikan permainan busuk macam begitu! Tapi, tahukah kau, kenapa aku menyuruh kau yang melaksanakan tugas ini?” “Silakan Tongcu menjelaskan.” “Tadi adalah persoalan pertama yang ingin kutanyakan kepadamu, dan sekarang aku beritahukan persoalan pertama yakni soal hukuman peringatan!” Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah setiap orang yang hadir dengan pandangan cepat, kemudian melanjut-kan, “Dulu, orang tua bocah-bocah itu kebanyakan adalah ang-gota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang, lantaran perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau mendapat dukungan dari pe-merintah, mereka beramai-ramai menyeberang dan mendukung pihak lawan, itulah sebabnya sebelum kami turun tangan meng-habisi orang-orang itu, kami ingin mereka menyaksikan dulu bagaimana anggota keluarganya yang paling disayang telah berubah jadi manusia tak mirip manusia, setan tak mirip setan, agar setelah kita kembalikan mereka di kemudian hari, orang-orang itu biar merasakan penyesalan yang bukan kepalang.” “Apalagi manusia yang bernama Bun Sin-hu itu, hmm, hanya lantaran sedikit top posisinya di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, dia berani menangkap orang-orang kita. Hmmm, sekarang putra

tunggalnya berhasil kita bekuk, akan kulihat apakah dia masih berani berulah terhadap kita.” Bicara sampai di sini, kembali dia menyapu sekejap wajah orang-orang itu, kemudian menambahkan, “Aku ingin tahu, apakah masih ada yang berani berkhianat!” Tak ada yang menjawab, tak ada yang memberi tanggapan, suasana dalam ruangan itu sangat hening. “Ting-tauke! Pengurus Ku!” kembali Tio Thiat-leng ber-seru. “Siap!” sahut Ting Siu-hok dan Ku Han-lim berbareng. “Aku perintahkan kepada kalian untuk mengumpulkan orang-orang berbakat, apakah dalam hal ini sudah ada berita-nya?” “Aku telah menaruh perhatian khusus,” sahut Ku Han-lim cepat, “memang ada beberapa orang yang berkemampuan hebat dan bercita-cita tinggi, hal ini memang akan kulaporkan kepada Tiotongcu.” “Dari kalangan akrobatik juga terdapat beberapa orang pesilat yang berbakat,” Ting Siu-hok segera menimpali, “malah ada dua orang di antaranya merupakan bekas Piausu yang pindah haluan, aku telah menahan mereka dalam rombongan-ku.” “Bagus, saat ini pihak perkumpulan memang sedang membuka pintu untuk menerima orang-orang berbakat. Jika kita tidak segera menarik orang berbakat, jika pihak perkumpulan Kim-hong-si-yulau sampai keburu menguasai pihak ekspedisi dan sekolah tinggi, maka kita tak akan kebagian orang pintar lagi, makanya kalian mesti berusaha sedapat mungkin merekrut orang. Tahu? Nah, inilah persoalan kedua yang hendak ku-sampaikan kepada kalian.” “Bila dapat berbakti untuk perkumpulan, mesti mati pun kami tak akan menyesal,” seru Ku Han-lim segera. “Benar, merupakan satu kehormatan dan kebanggaan bagi kami karena dapat menyumbangkan sedikit tenaga demi per-kumpulan,” sambung Ting Siu-hok. “Hmm, kami toh tidak menyuruh kalian pergi mampus, apa urusannya dengan kehormatan atau kebanggaan? Asal tugas dapat kalian selesaikan dengan baik, pangkat dan posisi dijamin pasti akan naik, sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas, hukuman yang setimpal akan menanti kalian semua. Hal ini merupakan peraturan perkumpulan dan berlaku terhadap siapa pun.” Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Tio Thiat-leng melanjutkan, “Tahukah kalian, ada seorang yang bernama Si Say-sin telah tiba di sini?” “Selama beberapa hari terakhir ini, banyak laporan yang telah kuperoleh, kami tahu memang ada manusia seperti itu yang telah tiba di wilayah Ouw-pak,” sahut Ku Han-lim. “Belakangan, kami malah sempat berpapasan dengannya,” sambung Li Tan segera, “apakah perlu mengirim orang untuk meringkusnya?” “Aku malah tahu dia tinggal di dalam kuil Ho-song-an dekat jalan Mo-jong-ka,” kata Ting Siu-hok, “tapi selama ini tidak banyak melakukan tindakan, kami masih menunggu perintah Tongcu.” Tiba-tiba Tio Thit-leng tertawa tergelak. Ho Tong ikut tertawa.

Mereka berdua saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak. Sambil tertawa tergelak, Tio Thiat-leng menepuk bahu se-orang pemuda yang ada di belakangnya sembari berseru, “Lote, menurut kau menggelikan tidak?” “Menggelikan, sangat menggelikan!” sahut pemuda itu sambil tersenyum, senyuman yang mengandung keangkuhan dan sinis, kemudian kepada para jago lainnya ia berkata lagi, “Tahukah kalian, Si Say-sin adalah orang berkedudukan cukup tinggi di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, orang kesayangan So Bong-seng, So-kongcu. Memangnya kalian bisa berbuat apa terhadapnya? Justru kedatangan Ho-tongcu kali ini adalah khu-sus untuk menghadapi manusia she Si itu, nah, persoalan inilah merupakan persoalan ketiga yang ingin disampaikan kedua orang Tongcu kepada kalian.” Li Tan, Li Ciau-hong, Ting Siu-hok, Ku Han-lim, Li Ya maupun Sim-jit sekalian hanya bisa tertawa paksa, sementara air muka mereka nampak agak tersipu. Ho Tong ikut tertawa tergelak, mendadak serunya sekata demi sekata, “Hei orang yang bersembunyi, sudah cukup belum menguping? Ayo, cepat menggelinding keluar dari tempat persembunyianmu!” Semua orang merasa terkesiap bercampur heran, mereka tak mengira Ho Tong telah menemukan seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka. Ong Siau-sik turut terperanjat, apakah Ho Tong telah me-ngetahui jejaknya? Baru saja ia bersiap menampakkan diri dari tempat persem-bunyian, tiba-tiba terlihat Ho Tong mencabut keluar sepasang tangannya dari balik baju, ia mencabut keluar tangannya seolah sedang mencabut sepasang senjata andalan. Ternyata dia memiliki sepasang tangan yang sangat aneh, sepasang tangan berwarna emas. Sambil menggebrak meja ia hisap permukaan meja itu kuat-kuat, kemudian sambil membalik tangan, dia lemparkan meja itu ke atas atap rumah. Semua perubahan itu terjadi secepat sambaran petir, selain Ong Siau-sik yang sempat melihat jelas sepasang tangan aneh-nya itu, para jago yang lain hanya menyaksikan meja itu tahu-tahu sudah melayang ke atas atap bangunan rumah bagaikan burung rajawali, sementara lilin yang ada di meja jatuh ke permukaan tanah, jatuh berjajar secara rapi di lantai tanpa ada sebatang pun yang padam apalagi patah. “Braak”, diiringi suara gemuruh yang keras, meja itu men-jebol atap rumah dan menembus keluar. Menyusul kemudian tertampak sekilas cahaya golok melin-tas. Cahaya golok itu berkilau bagaikan untaian berlian yang dikenakan seorang gadis cantik, cahaya golok yang amat menyilaukan. Di antara kilatan cahaya tajam dan desingan angin, meja kayu itu hancur berantakan dan menyebar ke empat penjuru, di antara hancuran serbuk kayu, tampak sesosok bayangan manu-sia melayang turun dengan entengnya. Baru pertama kali ini Ong Siau-sik menyaksikan kilauan cahaya golok seperti ini, cahaya golok yang menghancurkan sebuah meja hingga remuk berkeping. Terdengar Ho Tong membentak keras, kembali sepasang tangannya menggebrak permukaan tanah.

Kali ini yang mencelat ke udara adalah enam batang lilin yang semula berada di lantai, enam lilin dengan kecepatan ba-gaikan burung walet meluncur ke muka dan menghantam tubuh orang itu. Sekali lagi cahaya golok berkelebat, dimana sinar golok menyambar, cahaya lilin seketika padam dan lenyap tak berbekas. Hanya sebatang lilin tetap utuh, sebatang lilin tetap me-mancarkan cahayanya. Lilin itu berada dalam telapak tangan orang itu, seperti seekor capung kecil yang hinggap di daun teratai. Cahaya golok memantulkan sinar lilin dan menyinari wajahnya yang lembut, cahaya golok menyinari pula biji mata-nya yang bening dan indah. Ia melayang turun bagaikan bidadari, indah, lembut dan menawan hati. Inilah kali pertama Ong Siau-sik berjumpa dengan Un Ji (Kelembutan). Ketika ia memandang wajah Un Ji, di kolong langit hanya ada sebatang cahaya lilin yang menerangi wajahnya. Sebatang cahaya lilin yang berasal dari lilin di telapak ta-ngannya. Anehnya. Dalam suasana seperti ini, di kala Ong Siau-sik belum sempat melihat raut wajah orang itu dengan jelas, tiba-tiba ia teringat akan seseorang. Orang itu tak lain adalah pelajar berbaju sutera yang berdiri di tengah kerumunan orang banyak sambil menengadah memandang angkasa. Dia tahu orang itupun sedang bersembunyi di balik kege-lapan, tentunya dia pun sedang mengawasi cahaya golok itu, mengawasi orang yang melayang turun sambil membawa se-batang lilin. oooOOooo 4. Siapakah

dia sebenar nya?

Pendatang itu memegang golok di tangan kanannya dan membawa lilin di tangan yang lain, sinar lilin persis menyinari raut mukanya, dia bukan lain adalah pemuda yang nyaris ber-tumbukan dengan Ong Siau-sik tengah hari tadi di tengah lapangan. Wajah orang itu nampak lebih indah dan menarik, sorotan cahaya lilin membuat penampilannya lebih menawan hati. Kini seluruh penerangan dalam ruangan telah padam, yang tersisa hanya pancaran sinar lilin yang berasal dari tangannya. Sementara pihak musuh berkumpul jadi satu di balik kege-lapan bagaikan sebuah gentong, sorot matanya justru tetap bersinar terang dan berkilauan, hanya kegembiraan yang meng-hiasi wajahnya, sama sekali tak tersirat perasaan takut barang sedikitpun. “Ooh, rupanya hanya seorang nona cilik, ilmu golok yang hebat!” hardik Ho Tong nyaring. Orang itu nampak amat senang ketika mendengar ada orang memuji kehebatan ilmu goloknya, tapi alis matanya kontan bekenyit begitu mendengar ia disebut “nona cilik”. Dengan suara nyaring tegurnya, “Darimana kau tahu kalau aku adalah seorang nona cilik?”

Begitu perkataan itu diutarakan, semua jago yang semula masih tercengang oleh kehebatan ilmu goloknya, kini tak kuasa menahan rasa gelinya, semua orang tertawa terbahak-bahak. Sambil menuding ke ujung hidung sendiri, Ho Tong ber-tanya seraya tertawa, “Menurut pendapatmu aku ini lelaki atau wanita?” “Tentu saja lelaki,” sahut pemuda itu mendongkol, “me-mangnya manusia macam kau bisa seorang wanita?” “Nah itu dia,” sahut Ho Tong sambil menirukan nada bicaranya, “kalau kau bukan perempuan, memangnya manusia macam kau bisa seorang lelaki.” Bicara sampai di situ ia segera menggerakkan tangannya membuat gerakan gundukan di depan dada sendiri. Gadis itu amat jengkel, sambil mendepakkan kakinya ber-ulang kali ia maju selangkah sambil menenteng goloknya, kembali serunya, “Kalian manusia busuk dari perkumpulan Lak-hun-poantong memang pintarnya melakukan perbuatan jahat! Membuat cacad anak-anak, menculik dan menipu bocah, hmmm! Akan kutangkap kalian semua untuk diserahkan ke kantor polisi!” “Kau ingin menangkap aku?” Ho tong mundur selangkah sambil menuding ujung hidung sendiri. “Bukan cuma kau, tapi akan kutangkap semuanya!” Kembali gelak tertawa bergema memecah keheningan, se-mua orang tertawa geli karena ucapan itu. Sambil tertawa Ho Tong mengamati ujung golok lawan de-ngan matanya yang setengah terpicing, sementara dalam hati kecilnya ia tahu jelas bahwa bocah ini sama sekali belum ber-pengalaman dalam dunia persilatan meski ilmu goloknya cukup hebat. “Kenapa tidak kubuat dia marah dulu, kemudian baru turun tangan?” demikian ia berpikir. Mengimbangi pernyataan rekannya tadi, Ku Han-lim ikut bertanya sambil tertawa, “Buat apa kau menangkap kami se-mua?” Sementara Ting Siu-hok sambil menjulurkan sepasang tangannya berseru pula, “Kau ingin menangkap aku bukan? Ayo, tangkaplah! Kalau bisa mati di bawah tangan bunga botan, jadi setan pun pasti setan romantis ... nona mau memberi hadiah, sudah sepantasnya kuterima pemberian itu. Silakan, silakan, silakan!” Kembali semua orang tertawa tergelak, kali ini gelak ter-tawa mereka malah disisipi perasaan cabul dan jahat. Hanya Li Tan seorang yang tidak tertawa, ia sadar bahwa semua perbuatan dan ulahnya yang memalukan telah diketahui lawan, kendatipun dia berbuat begitu karena perintah perkum-pulan Lak-hun-poan-tong, namun bila berita itu sampai tersebar luas, dia bersama kelompoknya yang tetap harus menanggung rasa malu dan nama busuk. Oleh karena itu diam-diam ia mengambil keputusan, apa pun jadinya, dia tak akan mengijinkan gadis itu berlalu dari situ dalam keadaan hidup. Mendadak gadis itu mendengus dingin, paras mukanya berubah sedingin salju, menyusul kemudian tampak cahaya lilin bergetar keras. “Hati-hati ...!” bentak Ho Tong keras.

Lekas Ting Siu-hok mundur ke samping, “Blaam, blaam!”, diiringi suara keras, kedua orang yang berdiri di belakangnya sudah terpental mundur dari posisi semula. Menanti ia berhasil berdiri tegak, tampaklah dua buah robekan besar muncul di jubah bagian pinggangnya. Pucat pias selebar muka Ting Siu-hok, setelah memper-hatikan sekejap robekan di atas jubah sendiri, dia mengawasi pula gadis itu sekejap, sadar akan kehebatan orang, dia tak berani lagi mendekati lawannya. Bukan hanya dia seorang yang kaget, hampir semua jago yang hadir dalam ruangan ikut terpana dibuatnya, mereka tidak menyangka kalau si nona memiliki ilmu golok secepat ini, hanya tampak cahaya lilin bergetar, tahu-tahu tubuh Ting Siu-hok nyaris terbabat kutung jadi dua bagian, masih untung orang she Ting ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, kalau tidak, entah apa jadinya. Ho Tong mendengus dingin, wajahnya berubah amat serius, baru saja dia hendak turun tangan, tiba-tiba terdengar Tio Thiat-leng menegur, “Apa hubunganmu dengan So Bong-seng?” Kali ini giliran gadis itu yang melengak, dia balik berseru, “Darimana kau tahu kalau aku dan Toasuheng ....” Sadar kalau telah salah bicara, lekas ia tutup mulut. Tio Thiat-leng manggut-manggut berulang kali, selanya, “Tak heran kalau kau pun pandai menggunakan ilmu golok bintang Seng-seng-to-hoat dari bukit Siau-han-san!” “Haah, kalau begitu kau adalah si gadis sakti yang bela-kangan ini menggetarkan sungai telaga, Siau-han-san-yan (si burung walet dari bukit Siau-han-san) Un Ji, Un-lihiap?” seru Ho Tong pula. “Jika kau memang anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, jangan harap malam ini kau bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!” ujar Tio Thiat-leng kemudian, suara-nya keras dan tegas bagaikan emas yang membentur cadas, sorot matanya setajam sembilu. “Kau salah menduga,” dengan lembut gadis itu mendo-ngakkan kepala, “aku bukan anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, kedatanganku ke kotaraja kali ini adalah untuk men-cari tahu suatu masalah, ingin menanyakan satu hal kepada Toa-suheng, kenapa sih urusan jadi makin serius dan gontok-gontokan semakin parah. Cuma ... jangan kalian anggap lantaran menghadapi jumlah banyak lantas aku takut, justru aku datang untuk mencari tahu siapa biang keladi perbuatan keji ini, jadi kalian pun jangan harap bisa kabur dari sini dengan selamat!” “Kami memang tak bermaksud kabur!” jengek Ho Tong sambil menyeringai seram. Kawanan jago lainnya ikut tertawa tergelak, meski begitu, setiap orang diam-diam meningkatkan kewaspadaannya, mere-ka kuatir Un Ji melancarkan serangan lagi sehingga mereka yang teledor jadi korban. “Kami justru merasa senang karena Un-lihiap mau meng-antar diri,” kata Ku Han-lim pula sambil tertawa, “jangan kan kabur, kami malah akan menyambut kedatanganmu dengan senang hati!” “Ya. Jika Siau-moay dari So-kongcu tertawan, dapat dipas-tikan kejadian ini merupakan sebuah pahala besar yang jarang dijumpai dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong,” Ho Tong menambahkan.

Begitu ucapan ini diutarakan, serentak para jago merangsek ke depan untuk melakukan pengepungan, dalam waktu singkat situasi berubah jadi tegang, tampaknya setiap saat pertarungan bakal meletus. Li Tan dan Li Ciau-hong tak mau ketinggalan, dengan penuh napsu mereka merangsek ke muka dan siap melancarkan serangan. Di antara kawanan jago itu, Ting Siu-hok adalah jago yang paling bernapsu membekuk gadis itu, pertama karena dia ingin membalas sakit hati karena rasa malu yang dideritanya tadi, kedua karena dia memang seorang lelaki pemogoran yang suka pipi licin. Belum sempat Li Tan, Li Ciau-hong dan Ting Siu-hok ber-gerak maju, Ku Han-lim yang berada di samping arena sudah turun tangan lebih dahulu. Bagi Ku Han-lim, hanya ada satu alasan mengapa harus segera turun tangan: Mencari pahala! Dari perkataan Ho tong tadi, ia sadar kalau inilah ke-sempatan emas baginya untuk mencari pahala, maka tidak menunggu orang lain turun tangan, ia sudah merangsek lebih dulu ke depan, sepasang tangan dengan kesepuluh jari tangan-nya segera melancarkan tujuh totokan maut ke tubuh lawan, dia berniat menghabisi lawannya dalam satu gebrakan. Kepandaian silat yang dimiliki Li Tan bersaudara serta Ting Siu-hok tidak selisih banyak dengannya, tentu saja mereka bertiga tak ingin ketinggalan dari rekannya, maka hampir pada saat bersamaan keempat orang jago tangguh itu menerkam ke arah Un Ji. Walau sekilas pandang serangan itu dilancarkan berba-rengan, namun kenyataan ancaman datang secara berurutan, karena Ku Han-lim yang menyerang duluan, maka dia juga yang pertama kali menghadapi ancaman cahaya golok. Baru saja tubuhnya bergerak, cahaya golok telah meng-ancam tiba, dengan perasaan kaget, cepat dia mundur ke bela-kang dan cahaya golok pun ikut lenyap. Li Tan menjadi orang kedua yang melancarkan serangan, kungfunya memang setingkat lebih tinggi dari kepandaian Li Ciau-hong, karenanya kendatipun mereka menyerang secara berbarengan, namun ancamannya sedikit lebih cepat mengan-cam sasaran. Dengan demikian dia pun menjadi orang kedua yang menerima ancaman cahaya golok itu. Serangan golok muncul sangat cepat, selain cepat juga amat ringan dan lembut, selembut hembusan angin semilir, sehalus cahaya rembulan di angkasa. Serangan yang datang dengan kekuatan dahsyat, bukan ha-langan bagi Li Tan untuk menghadapinya, tapi menjumpai ancaman golok yang begitu halus, begitu lembut dan enteng, dia jadi kelabakan dan tak tahu bagaimana mesti menghadapinya. Dalam keadaan begini, mau tak mau dia harus mundur. Karena dia mundur, cahaya golok itu mengancam tubuh Li Ciau-hong. Perempuan itu sangat kaget, dia ingin menangkis tapi ter-lambat, mau menghindar juga tak sempat lagi, sebaliknya jika merangsek maju sama artinya dia akan termakan bacokan itu, dalam paniknya segera dia mundur sejauh tujuh langkah.

Kini cahaya golok itu menyongsong datangnya ancaman dari Ting Siu-hok. Tadi Ting Siu-hok sudah pernah menjajal keampuhan golok Un Ji, rasa ngeri segera muncul begitu melihat datangnya ancaman, tentu saja dia tak berani ayal lagi, melihat ketiga orang yang berada di depannya serentak mundur, tanpa memikirkan soal gengsi lagi dia ikut bergerak mundur ke belakang. Kembali Un Ji mengobat-abitkan goloknya ke empat pen-juru, kemudian baru ia menarik kembali serangannya. Golok masih berada dalam genggaman gadis itu, bahkan lilin pun masih berada di tangannya secara utuh. Empat jago tangguh ingin mengerubutnya, siapa sangka hanya dalam empat tebasan golok, keempat orang itu sudah dipaksa mundur secara mengenaskan. Berhasil menguasai keadaan, Un Ji kembali berpaling ke arah Ho Tong sambil tertawa cekikikan, nadanya penuh ejekan. Ong Siau-sik merasa amat kagum dengan kehebatan gadis itu, semakin diperhatikan dia merasa semakin kesemsem, baru saja dia berniat memperhatikan lebih seksama, tiba-tiba sesosok bayangan menutupi celah di hadapannya. Saat itulah ia mendengar seseorang berbisik lirih, berbisik persis di sisi telinganya, “Bila aku berteriak ‘bagus’ nanti, kau segera turun tangan, robohkan Li Tan bersaudara, sementara yang lain serahkan saja kepadaku.” Ong Siau-sik tertegun. Bayangan punggung yang menutupi pandangan matanya itu ternyata tak lain berasal dari si pelajar yang dijumpai siang tadi, pemuda yang menggendong tangan sambil menengadah ke angkasa. Dalam pada itu Tio Thiat-leng yang berada di ruangan telah berkata kepada Ho Tong dengan suara dalam, “Kiu-ko, kelihatannya kau tak bisa menyembunyikan ilmu Kim-jiu-eng milikmu lagi.” Kedua orang itu saling mengangguk sambil perlahan-lahan bergerak ke depan, dengan membentuk satu garis lurus, satu di depan yang lain di belakang, mereka mulai bergerak mendekati gadis itu. Un Ji dengan wajah dingin dan serius berdiri sambil melin-tangkan goloknya, setelah mendengus dingin, jengeknya, “Hmmm, kau anggap nonamu takut menghadapi kalian?” Tio Thiat-leng maupun Ho Tong tidak menjawab, sekali lagi mereka saling bertukar pandang sambil tertawa keras. “Engkoh Kiu,” ujar Tio Thiat-leng kemudian dingin, “keli-hatannya kita mesti menangkap betina ini hidup-hidup, setelah itu biar kuserahkan dia kepadamu, ajari dia agar lebih jinak.” “Hahaha, jangan kuatir, tapi kita mesti hati-hati, kelihat-annya dia hebat juga.” “Apakah sudah waktunya?” tanya Tio Thiat-leng sambil tertawa dingin.

Ho Tong tak langsung menjawab, ia berpaling ke balik kegelapan dan bertanya, “Bagaimana menurut pandangan sau-dara Pek?” Terdengar pemuda pelajar yang berdiri menggendong tangan sambil memandang ke angkasa itu menyahut dengan santai, “Bukankah Ho-tongcu sudah memegang kendali? Kenapa mesti bertanya lagi kepadaku?” Berkilat sepasang mata Ho Tong, tiba-tiba ia mengernyit-kan alis matanya kemudian berseru, “Serang!” Baru saja Un Ji merasakan jantungnya berdebar keras karena kaget, mendadak telapak tangannya terasa sakit, sedikit saja terpecah perhatian, secepat sambaran petir Ho Tong sudah mencengkeram golok dalam genggamannya. Gadis itu membentak nyaring, golok Seng-seng-to yang tajamnya luar biasa itu segera diputar setengah lingkaran. Menghadapi senjata mestika yang amat tajam ini, Ho Tong tak berani gegabah, dari pukulan, cepat sepasang tangannya diubah jadi jepitan, ia berusaha menangkap senjata itu. “Bagus!” saat itulah pemuda pelajar itu menghardik ny-aring. Berbarengan dengan suara bentakan itu, Tio Thiat-leng melepaskan sebuah pukulan ke punggung Un Ji. Bagaimanapun hebatnya gadis ini, sayang pengalamannya dalam menghadapi pertarungan masih sangat dangkal, rupanya Ho Tong sengaja mengulur waktu tanpa melancarkan serangan tadi, tak lain karena sedang menunggu lilin yang ada di tangan Un Ji habis terbakar, ketika cairan lilin yang meleleh menembus telapak tangan dan menyebabkan si nona kesakitan itulah dia manfaatkan kesempatan itu untuk merampas golok lawan. Sementara Tio Thiat-leng yang banyak pengalaman pun tak tinggal diam, dia manfaatkan juga kesempatan itu untuk men-cabut nyawanya. Dalam waktu singkat kepalan Tio Thiat-leng sudah tiba di depan dada Un Ji, tampaknya gadis itu segera akan terluka parah. Sementara Un Ji terperanjat, tiba-tiba pukulan itu menyam-bar lewat dari sisi telinganya, kepalan kiri langsung menghan-tam wajah Ho Tong sedang kepalan kanan menghajar dadanya. Tak ampun wajah Ho Tong terhajar hingga retak, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya. Un Ji menjerit ngeri, dia merasa kakinya lemas saking kagetnya, apalagi menyaksikan tulang wajah orang retak persis di hadapannya. Sungguh dahsyat tenaga pukulan itu, saking kerasnya deru angin serangan itu membuat api lilin padam seketika. Menanti lilin itu disulut kembali, tampak seseorang terjerembab jatuh di luar pintu, orang itu tak lain adalah Ku Han-lim. Padahal api lilin hanya padam sejenak, namun perubahan yang terjadi dalam ruangan itu luar biasa besarnya.

Kini lilin sudah berada dalam genggaman pemuda pelajar itu, dia masih tetap berdiri angkuh dan santai, seolah semua kejadian yang berlangsung di hadapannya sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Namun di atas lantai telah bertambah dengan beberapa sosok tubuh, orang-orang itu hampir semuanya roboh terpakar di lantai. Ku Han-lim, Ting Siu-hok, Li Tan, Li Ciau-hong, Ho Tong beserta seluruh orang yang dibawanya, kini sudah terkapar semua di tanah. Kalau ingin dibilang ada perbedaan di antara mereka, maka perbedaan itu terletak pada dua bersaudara Li. Li Tan dan Li Ciau-hong hanya tertotok jalan darahnya, sementara kawanan jago yang lain telah kehilangan nyawa secara mengenaskan dalam kegelapan tadi. Ho Tong telah tewas, dia tewas terhajar sepasang kepalan baja milik Tio Thiat-leng. Rupanya di saat Ho Tong sedang memusatkan seluruh per-hatiannya untuk menghadapi Un Ji tadi, rekan perjuangannya, Tio Thiat-leng justru memanfaatkan kesempatan itu untuk menghabisi nyawanya. Di saat Ho Tong roboh terjungkal ke tanah dan api lilin mendadak padam itulah, pemuda pelajar itu dengan gerakan tubuh yang luar biasa cepatnya menotok jalan darah Ku Han-lim, Ting Siu-hok serta dua belas orang jago lainnya. Di antara sekian jago, Ku Han-lim berusaha melarikan diri dengan membuka pintu kamar, tadi tengkuknya segera tersodok telak hingga roboh terkulai, sementara Ting Siu-hok berusaha kabur dengan menerobos jendela, tapi punggungnya ikut ter-sodok telak hingga separoh badannya terkulai lemas di atas daun jendela. Kelompok yang semula memegang kendali akhirnya roboh terkapar secara mengenaskan, sebaliknya orang yang sama sekali tak terduga justru kini menguasai keadaan, bahkan yang lebih mengenaskan adalah pihak yang semula pegang kendali, kini justru tak sanggup berdiri tegak, malah banyak di antaranya yang harus kehilangan nyawa. Memang begitulah dunia persilatan, seringkali menang kalah ditentukan hanya dalam sedetik. Ong Siau-sik yang berada di kegelapan hanya sempat mendengar deru angin yang menyambar lewat, disusul suara manusia yang roboh ke lantai, menanti cahaya lilin bersinar kembali, ia lihat pemuda pelajar itu masih berdiri santai seolah belum pernah melakukan serangan. Tapi Ong Siau-sik tahu, bukan saja dia telah turun tangan bahkan kepandaian silatnya sangat tangguh, justru dialah meru-pakan tokoh yang paling hebat di situ. Begitu ia mendengar pelajar itu berseru “bagus”, maka sesuai dengan bisikan yang diterimanya tadi, Ong Siau-sik langsung menerjang keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang orang yang berada paling dekat dengan posisinya. Satu-satunya yang tidak dia lakukan adalah melakukan pembunuhan, karena itu dia hanya menotok jalan darah dua bersaudara Li hingga tak mampu bergerak. Kendatipun ia telah merobohkan dua orang lawan, hingga kini dia sendiri pun tidak tahu secara jelas kenapa Tio Thiat-leng tiba-tiba membunuh Ho Tong? Siapa pula pemuda pelajar itu? Apa hubungannya dengan si nona Un Ji yang muncul seolah turun dari langit?

Sementara dia masih termenung, Tio Thiat-leng sudah menepuk tangan seakan sedang membersihkan noda darah dari telapak tangannya, kemudian dengan sorot mata yang tajam dia menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu. Setelah yakin situasi telah teratasi, dengan nada puas ia baru berkata kepada pemuda pelajar itu, “Akhirnya semua telah beres.” “Ya, semua telah beres!” sahut pelajar itu tertawa. “Siapa dia?” tanya Tio Thiat-leng lagi sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik, menuding dengan jari tangan yang kaku, persis seperti tangan boneka kayu. “Hingga sekarang aku pun belum tahu, tapi sebentar kita bakal tahu,” sahut pelajar itu sambil tersenyum. “Ehm, kelihatannya dia sangat berguna,” seru Tio Thiat-leng dengan pandangan kagum. “Orang yang berguna biasanya paling enggan digunakan orang lain.” “Kalau orang berguna tak bisa digunakan, sama artinya dia tak berguna.” “Kalau belum perlu, janganlah digunakan, bila sudah perlu, gunakanlah!” “Sungguh menyesal saudara Pek,” ujar Tio Thiat-leng kemudian, “selama ini aku hanya bisa menggunakan orang yang berbakat macam kau untuk keperluan kecil, benar-benar menyianyiakan kemampuanmu.” “Tapi hari ini, aku toh melakukannya demi uang seratus tahil perak,” sela pelajar itu sambil tertawa lebar. “Jangan kuatir saudara Pek, aku akan menambah lima bagian untukmu,” seru Tio Thiat-leng sambil merogoh sakunya. Pemuda pelajar itu menerima tiga lembar uang kertas, setelah diperiksa di bawah cahaya lilin, dia masukkan uang itu kedalam saku sambil serunya, “terima kasih banyak!” Tiba-tiba terdengar un-ji membentak nyaring, “He, siapa kalian? Mau apa kemari? Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Gadis ini menjadi sewot karena semua yang hadir seakan tidak memperhatikan Tio Thiat-leng dan Ong Siau-sik, namun semua bersikap begitu acuh, seakan tidak menganggap kehadirannya disitu. Lama-kelamaan dia menjadi jengkel hingga akhirnya mengumbar amarah. Tio Thiat-leng dan pelajar itu saling bertukar pandang sekejap, kemudian bersama mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak. Lain halnya dengan Ong Siau-sik, apa yang barusan ditanyakan Un-ji justru merupakan persoalan yang ingin dia ketahui.

Siapa mereka? Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Siapa pula perempuan ini? Mau apa dia datang kesitu? oooOOooo 5. Or ang memb un uh or ang “Di luar sana masih ada sedikit persoalan yang harus di-bereskan, rasanya aku harus segera pergi dari sini?” terdengar Tio Thiat-leng berkata sambil tertawa dingin. “Silakan Cap-ji Tongcu!” sahut pelajar itu tertawa. Ketika melihat Tio Thiat-leng sudah tiba di luar pintu, tiba-tiba pelajar itu berkata lagi, “Ah keliru, seharusnya kusebut kau sebagai Tio-kiutongcu (Tongcu kesembilan)!” Sekilas perasaan girang melintas di balik mata Tio Thiat-leng, tapi di luar ia merendah, “Itu kan susah dibilang, harus dibuktikan apakah aku memang bernasib jadi Tongcu kesem-bilan.” ooOOoo Kini tinggal Un Ji dan Ong Siau-sik saling berpandangan dengan wajah melongo, kalau Ong Siausik merasa makin me-mandang gadis itu semakin menawan hati, sebaliknya Un Ji makin memandang wajahnya semakin tak habis mengerti. Hanya pemuda pelajar itu yang tetap berdiri acuh tak acuh, sambil menggendong tangan dia tetap mendongak memandang angkasa, seakan kehadiran siapa pun di tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya. Sampai lama kemudian Un Ji baru berseru nyaring, “He!” “Kau sedang memanggil aku?” tanya Ong Siau-sik sambil menuding ujung hidung sendiri. “Tentu saja aku sedang memanggil kau.” “Kau benar sedang memanggil aku?” sekali lagi Ong Siau-sik menuding ke dada sendiri. Un Ji amat mendongkol melihat tingkah dungu yang diperlihatkan anak muda itu, teriaknya dengan wajah sewot, “Siapa kau? Siapa namamu? Mau apa kemari? Kelompok mana yang sedang kau bantu?” “Aku ....” Ong Siau-sik tidak tahu pertanyaan mana yang mesti dijawab duluan, untuk ketiga kalinya dia menuding ke tubuh sendiri, “Aku ...... aku pun tidak tahu.” Dengan gemas Un Ji mengayunkan goloknya ke udara, sungguh hebat tebasan itu, Ong Siau-sik yang berada lima kaki di hadapannya pun ikut merasakan betapa tajamnya angin serangan itu. “He, siapa sih kamu ini?” teriak nona itu marah, “berani amat kau permainkan nonamu!” Ong Siau-sik tahu, jika ingin tahu duduk persoalan yang sebenarnya, maka hanya pemuda pelajar itu yang bisa menerangkan, maka dia pun menghampiri orang itu, memberi hormat dan menyapa, “Heng-tay, selamat bersua.” “Kau tak usah sungkan,” balas pelajar itu tersenyum.

“Boleh tahu siapa nama Heng-tay?” Belum lagi pemuda pelajar itu menjawab, Un Ji sudah menyela, “Buat apa mesti ditanya lagi, dia dari marga Pek.” “Oya? Jadi kau tahu aku dari marga Pek?” pemuda itu mengalihkan sorot matanya ke wajah si nona, “lantas siapa pula namaku?” “Peduli amat kau bernama Pek apa,” sahut Un Ji sembari menyarungkan kembali goloknya, “pokoknya aku hanya ingin kau menjawab sejujurnya, kenapa kau membantai orang-orang itu? Apakah mereka satu komplotan denganmu?” “Bukankah kau sudah tahu kalau aku dari marga Pek? Jadi banyak bertanya pun percuma,” pelajar itu tersenyum. Lagi-lagi Un Ji naik darah, tampaknya dia akan melolos go-loknya lagi. Melihat itu segera Ong Siau-sik berseru, “Boleh aku tahu siapa nama Heng-tay?” “Oh, aku she Pek bernama Jau-hui, boleh tahu siapa nama-mu?” “Pek Jau-hui? Pek Jau-hui?” pikir Ong Siau-sik di hati kecil-nya, “semenjak terjun ke dunia persilatan, aku selalu memperhatikan tokoh-tokoh terkenal dunia persilatan, tapi rasanya be-lum pernah kudengar nama ini, jangan-jangan dia adalah jagoan muda yang baru tampil? Kalau tidak, kenapa tak pernah kudengar namanya?” Meski berpikir begitu, di luar segera dia memperkenalkan diri, “Oh, Cayhe dari marga Ong bernama Siau-sik, Ong dari kata raja, siau dari kata kecil dan sik dari kata batu.” Sebetulnya Pek Jau-hui ingin menjawab “Selamat bertemu kembali”, tapi setelah merasa nama Ong Siau-sik belum pernah didengar sebelumnya, dia menelan kembali perkataan itu, ujarnya kemudian, “Cepat betul gerak seranganmu, hanya dalam waktu singkat dua bersaudara Li telah berhasil kau roboh-kan, tampaknya kungfumu bukan berasal dari perguruan besar di daratan Tionggoan.” “Ah, saudara Pek terlalu memuji, justru kungfumu yang lebih hebat. Tadi aku memang sengaja tidak membunuh mereka, karena aku beranggapan kejahatan mereka belum sepantasnya diganjar dengan hukuman mati.” Pek Jau-hui menghela napas panjang, “Ai, jika kita biarkan satu saja di antara mereka pulang dalam keadaan hidup, bukan cuma kau dan aku, bahkan Tio-kiutongcu pun akhirnya akan tewas di tangan orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong.” “Tapi ... bukankah di antara orang-orang itu masih ada yang terhitung berhati baik, tidak berniat melakukan kejahatan, apakah orang semacam inipun harus dibunuh?” “Bila aku tidak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhku, biar salah bunuh, kita tak boleh melepaskan mereka begitu saja, apalagi orang-orang itu sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, jadi dibunuh pun tidak keliru.” “Kita manusia, mereka pun manusia, kita semua ingin hidup terus, begitu juga dengan mereka, bila hanya dikarenakan alasan itu lalu kita membunuhnya, bukankah di kemudian hari mereka pun

bisa menggunakan alasan yang sama untuk membunuh kita? Entah bagaimana menurut pendapat saudara Pek?” Pek Jau-hui kontan tertawa dingin. “Kita hidup dalam dunia yang kejam, siapa lemah dia tertindas siapa kuat dia pegang kekuasaan, bila suatu ketika kita yang terjatuh ke tangan mereka, sekalipun kita memiliki alasan yang kuat, alasan yang masuk akal pun, belum tentu mereka akan membebaskan kita. Aku rasa siapa yang harus dibunuh tetap mesti dibunuh, siapa yang sudah saatnya mati dia tetap harus mati.” “Tapi bila kau tidak membunuhnya, dia pun tak ada alasan untuk membunuhmu, bukankah semua pihak dapat hidup secara aman damai?” seru Ong Siau-sik serius. “Pendapatmu keliru besar,” bantah Pek Jau-hui serius, “asal di tempat itu ada manusia, asal manusia yang satu berkumpul dengan manusia yang lain, tak bisa dihindari kalau bukan kau yang membunuh aku, akulah yang akan membunuh kau, ada orang membunuh dengan darah berceceran, ada pula orang membunuh tanpa kelihatan darah. Ada orang membunuh sambil tertawa, membunuh sebagai satu kesenangan, ada pula yang membunuh dengan linangan air mata, membunuh karena terpaksa. Ada pula orang yang tak pernah membunuh sesa-manya, tapi apa yang diperbuat jauh lebih menyakitkan dari-pada membunuh. Ada pula orang yang hidup karena menunggu dibunuh orang lain. Dunia yang kau bayangkan selama ini, sebenarnya hanya ada dalam hatimu sendiri, dunia luar jauh berbeda dengan bayanganmu.” “Kenapa sih kalian meributkan terus soal bunuh membunuh,” sela Un Ji tiba-tiba, “kau anggap kita semua ini manusia atau bukan?” Sudah sedari tadi nona ini menahan diri, baginya, kesabaran yang ia perlihatkan saat ini sudah mencapai puncaknya. Mencapai pada taraf dimana ia sendiri pun memuji atas kemampuan sendiri. Padahal sejak kecil ia sudah terbiasa hidup manja, dia harus paling menang, harus paling diperhatikan, pernah gara-gara tidak dibelikan sebuah lentera waktu diajak ibunya menonton keramaian, ia menangis menjerit-jerit hingga seluruh orang datang berkerumun. Pernah juga gara-gara seekor burung hua-bi nya terlepas dari sangkar, dia mengumbar amarah dengan menghancurkan sebelas macam benda antik yang tak ternilai harganya, merusak enam lembar lukisan kenamaan dan menghancurkan cermin Persia kesayangan kakeknya. Kenakalannya semakin memuncak ketika suatu saat dia menggunakan cap kepangkatan milik ayahnya untuk menimpuk seekor anjing hingga cap itu hancur berantakan. Ketika mulai belajar silat di gunung Siau-han-san, semua anggota perguruan pun menaruh hormat kepadanya, gurunya juga amat sayang kepadanya. Kesemuanya ini membuat Un Ji sudah terbiasa dimanja, manja yang membuatnya sering bertindak semena-mena. Di luar dugaan, saat ini dua orang lelaki yang berada di hadapannya sama sekali tak memandang sebelah mata pun kepadanya, bisa dibayangkan betapa mendongkol dan gusarnya gadis itu. Jeritan Un Ji seketika membuat Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik tertegun, setelah selang beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata sambil tertawa, "Kau tak usah marah, kami pun tahu kalau kau adalah seorang pendekar wanita kenamaan, seorang pendekar sejati yang selalu menegakkan keadilan dan kebenaran, kami malah tahu kalau kau adalah murid paling kecil, murid paling disayang dari Ang-siu Sinni, Ciangbunjin partai Siau-han-san, bukankah begitu Un Ji, Unlihiap?"

"Darimana kau bisa tahu sejelas itu?" tanya Un Ji kehe¬ranan. Pek Jau-hui tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Menggunakan kesempatan ini Ong Siau-sik bertanya pula, "Saudara Pek, aku merasa sangat bingung dengan keadaan di sini, bersediakah kau memberi penjelasan?" "Sudah pernahkah kau mendengar tentang perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Pek Jau-hui balik bertanya. "Dalam perjalanan menuju kemari, aku banyak mendengar tentang hal ini, bukankah perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah organisasi yang amat berpengaruh di kota Kay-hong?" "Kau pernah juga mendengar tentang perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" kembali Pek Jau-hui bertanya. Ong Siau-sik manggut-manggut. "Ya, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau adalah organisasi nomor wahid yang banyak disanjung jagoan baik dari golongan putih maupun golongan hitam." "Nah itulah dia, orang kuno bilang, di dalam satu gunung tak bisa ditempati dua ekor harimau, kalau kedua belah pihak sama-sama ingin jadi nomor wahid, lalu siapa yang paling pantas disebut nomor satu? Perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah dua puluh enam tahun menguasai dunia persilatan, sudah barang tentu mereka tak akan membiarkan pengaruh dan kekuatan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau bertambah besar dan kuat. Sebaliknya pihak perkumpulan angin emas hujan gerimis tumbuh amat pesat, perkembangannya di luar dugaan, tak aneh bukan jika mereka pun berusaha menggeser posisi perkumpulan Lak-hun-poan-tong agar bisa mereka gantikan?" Setelah berhenti sejenak, sambil menuding ke arah mayat yang berserakan, Pek Jau-hui berkata lebih jauh, "Peraturan lama tetap berjalan dimana pun, akhirnya ...... siapa kuat dia jadi raja, siapa lemah dia harus jadi seorang bandit." "Berarti Tio-kiutongcu yang barusan berlalu tadi adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poantong?" tanya Ong Siau-sik. "Dia?" Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba ia berpaling keluar kamar sambil teriaknya, "Tio-tongcu, bukankah kau yang lebih pantas menjawab pertanyaan ini?" Tio Thiat-leng si manusia persegi empat yang semula sudah berlalu, kini muncul kembali seraya membuka pintu, sahutnya jujur, "Sampai sekarang aku malah belum tahu siapakah dia sebenarnya." Kalau dilihat tingkah lakunya yang sopan, polos dan jujur, siapa pun tidak akan menyangka kalau tadi ia telah melakukan pembunuhan secara keji. Mendengar pertanyaan itu, Ong Siau-sik segera menjawab, "Aku hanya seorang Bu-beng-siau-cut, seorang ingusan yang baru terjun ke dalam dunia persilatan!" Dengan sorot matanya yang tajam Tio Thiat-leng mengawasi wajah bocah muda itu sekejap, tibatiba tanyanya lagi, "Kau ingin kaya raya? Ingin punya kedudukan? Ingin punya nama besar?" "Tentu saja ingin, tentu saja mau!" sahut sang pemuda tanpa ragu.

"Kau berbakat, punya kungfu hebat, asal mau mengikuti aku, di kemudian hari kau pasti akan berhasil." "Aku toh tidak tahu siapakah dirimu, kenapa harus mengikuti kau?" "Aku adalah Tongcu kedua belas dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Dengan posisiku sekarang, belum tentu aku mau menerima orang lain jadi pengikutku walau mereka merengek-rengek." "Tapi kenyataannya, mereka yang bekerja untukmu akhirnya tewas juga di tanganmu." "Hmmm, sebaiknya kau sadar akan situasi yang sedang kau hadapi saat ini, sebentar aku harus balik ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, memangnya kau anggap aku akan membiarkan kau tetap hidup lalu menyebar luaskan berita ini di luar?" "Ooh, jadi kau ingin membunuhku untuk membungkam mulutku?" jengek Ong Siau-sik sambil tertawa menjengek. Sejak tadi Un Ji sudah tak kuasa menahan diri, maka begitu mendengar bakal ada gara-gara yang terjadi, cepat ia maju ke depan, seolah kuatir tak mendapat bagian, dia maju dengan wajah garang. "Eei, jangan lupa, aku pun ikut mendengarkan semua pembicaraan kalian," teriaknya keras, "jadi ada baiknya aku pun sekalian dibunuh." Tio Thiat-leng tersenyum, dengan wajah menghormat sahutnya, "Un-lihiap, aku bilang tak ada pembunuhan lagi di sini, apalagi kau, masa akan kubunuh juga?" "Kenapa kau tidak membunuhku?" tanya Un Ji melengak. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Sudah begitu banyak orang yang kubunuh, masakah nona Un masih belum tahu kalau aku sebenarnya bekerja untuk Suhengmu?" "Haaah, jadi kau ... kau adalah jagoan dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau!" Dengan pandangan geli Pek Jau-hui memandang Un Ji sekejap, lalu ujarnya kepada Ong Siau-sik, "Kelihatannya bila malam ini kau ingin lolos dari sini dalam keadaan selamat, paling tidak kau mesti mengunjuk kebolehanmu terlebih dulu." Dalam pada itu Tio Thiat-leng telah berkata lagi kepada Un Ji dengan suara lembut, "Sebenarnya bukan cuma dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong ada orang kita yang menyusup, mungkin ada pula orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang menyusup ke tubuh perkumpulan kita, ada di antara mereka yang bisa ditemukan, tapi banyak yang masih tersembunyi. Sudah umum kejadian semacam ini ditemukan dalam pertarungan antara dua kubu. Masalahnya hanya siapa tangguh dia menang, siapa lemah dia akan ketahuan. Bukan sesuatu yang luar biasa." Kemudian sambil berpaling ke arah Ong Siau-sik, tegur¬nya, "Sudah kau dengar dengan jelas?" "Sudah!" "Kini rahasiaku sudah terbongkar, terhadap Pek Jau-hui aku tak perlu kuatir karena dia adalah sahabatku, aku percaya penuh padanya, sementara Un-lihiap adalah orang sendiri, tentu saja aku tak boleh membunuhnya, tinggal kau "Tinggal aku seorang yang tahu kalau kau pun bukan Tio Thiat-leng, bukan begitu?" tukas Ong Siau-sik tanpa berubah wajah.

Berubah hebat paras muka Tio Thiat-leng begitu selesai mendengar perkataan itu, dengan melompat dia menerkam ke muka, lalu bentaknya, "Apa kau bilang?" Begitu keras bentakan itu, bukan saja membuat cahaya lilin bergetar keras bahkan lantai papan yang diinjaknya pun nyaris retak dan hancur berantakan. Ong Siau-sik tetap berdiri tenang, ditatapnya wajah Tio Thiat-leng sekejap, kemudian ujarnya, "Kau bukan Tio Thiat-leng, kau sebenarnya adalah Si Say-sin!" Merah padam wajah Tio Thiat-leng, sepasang kepalannya digenggam kencang-kencang, agaknya setiap saat dia akan melancarkan serangan. "Darimana kau bisa tahu?" terdengar Un Ji bertanya. Ong Siau-sik tidak menjawab pertanyaan itu, dengan setengah mengejek kembali ujarnya kepada Tio Thiat-leng, "Aku tidak salah menebak bukan?" Sepasang kepalan Tio Thiat-leng digenggam semakin kencang, di tengah udara mulai terdengar suara gemuruh nyaring. Jagoan ini memang hebat tenaga dalamnya, sepasang Tay-yang-hiat nya yang menonjol besar kini menongol makin besar. Ditatapnya Ong Siau-sik dengan mata melotot, kemudian teriaknya, "Darimana kau bisa tahu?" Ong Siau-sik kembali tertawa, senyuman itu dilemparkan ke arah Pek Jau-hui. Sikap Pek Jau-hui yang semula dingin angkuh, kini nam¬pak sedikit berubah, berubah jadi lebih hangat dan lembut, kehangatan yang sangat aneh, tapi hanya sejenak kemudian sudah lenyap. "Tio-tongcu!" serunya tiba-tiba. "Ada apa?" Tio Thiat-leng segera berpaling. "Apakah urusan di luar sana sudah diselesaikan?" "Sudah selesai semuanya," jawab Tio Thiat-leng cepat, ia tak habis mengerti mengapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu. "Sampai kapan pihak pengadilan baru akan mengirim orang kemari?" "Sebentar lagi akan tiba." "Lalu putra tunggal Sin-hu?" "Dia ada dalam almari." Baru saja dia ingin bertanya kenapa rekannya mengajukan pertanyaan semacam itu, Pek Jau-hui sudah berkata lagi, "Tadi kau sudah mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?" Tio Thiat-leng kembali tertegun, setelah termenung sejenak sahutnya, "Tiga!" "Keliru besar," kata Pek Jau-hui sambil tersenyum dan menggeleng kepala berulang kali, "termasuk pertanyaan terakhir, kau sudah mengajukan empat buah pertanyaan. Sudah saatnya kau redam dulu hawa amarahmu. Jika kau gagal mengendalikan hawa amarahmu itu, aku takut kau bakal tak mampu menghadapi Lote ini! Sekarang aku telah menjadi sahabatmu, apalagi kau pun telah memberi banyak uang untukku, sebagai sahabat, aku merasa wajib memberi nasehat ini kepadamu!"

Tak terlukiskan rasa gusar Tio Thiat-leng setelah mendengar perkataan itu, tapi setelah berpikir sejenak dia pun mengendurkan badannya sambil menghembuskan napas panjang, kemudian bertanya, "Jadi kau menganggap aku bukan tandingan sahabatmu itu?" "Aku sendiri pun tidak tahu sampai dimana ketangguhan ilmu silatnya," sahut Pek Jau-hui sambil menggendong tangan, "tapi aku tahu otaknya encer, dia pintar dan sangat tanggap. Padahal dia tak tahu siapakah Si Say-sin, hanya berdasarkan keteranganmu kalau kau adalah anggota perkumpulan Kimhong-si-yu-lau yang menyusup ke dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, lalu mendengar kedatangan Tongcu kesembilan Ho Tong ke Ouw-pak kali ini adalah untuk menghadapi Si Say-sin, dan melihat pula kau telah membunuh Ho Tong, dia sudah berani menyimpulkan kaulah Si Say-sin itu, apa kau tidak merasa bahwa dia sangat hebat?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan santainya dia menambahkan, "Jadi sebetulnya kau sendiri yang telah membocorkan rahasia itu kepadanya, aku tak ingin kau sekalian menyerahkan nyawamu kepadanya." Tiba-tiba Ong Siau-sik merasa peluh dingin mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Sekarang ia mulai sadar tentang mara bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya, bila Pek Jau-hui sampai bekerja sama dengan Tio Thiat-leng, berarti jangan mimpi dia bisa keluar dari rumah penginapan itu dalam keadaan hidup. Terdengar Un Ji kembali berkata, "Kalau kau adalah Si Say-sin, lalu siapa pula lelaki kurus jangkung yang telah membantai kawanan opas tengah hari tadi?" "Darimana aku tahu?" jawab Tio Thiat-leng sembari menggeleng. Pek Jau-hui mencoba berpaling ke arah Ong Siau-sik, tapi pemuda itu segera menggeleng seraya menyahut, "Aku sendiri pun tidak tahu." Pek Jau-hui mulai tertawa, ketika tertawa ia nampak licik dan banyak akal bulusnya. "Untung saja masih ada persoalan yang tidak kita ketahui." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ia menambahkan, "Penghidupan semacam inilah baru menarik dan menyenangkan............” Ternyata hingga detik ini, dia masih tidak menganggap Un Ji sebagai salah satu bagian dari mereka, karena dia tetap tidak memperhitungkan gadis itu. 6. Seca wan arak, tiga n yawa Un Ji amat sedih. Selama hidup, belum pernah ia berjumpa dengan seorang lelaki yang begitu tidak menghormatinya, begitu tak memandang sebelah mata terhadapnya, tidak menganggapnya sebagai seorang tokoh, bahkan nyaris tidak menganggapnya sebagai manusia. Ia merasa sangat terhina, merasa amat sedih. Melihat lelaki itu masih berdiri dengan sikap angkuh, acuh tak acuh dan jumawa, dia amat membencinya, makin dipandang makin sakit hati.

Pada saat itulah ia mendengar Pek Jau-hui kembali berkata, "Terlepas siapa pun orang itu, yang pasti dia adalah seorang tokoh yang tak boleh dipandang enteng!" Tio Thiat-leng kembali berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya, "Aku lihat kau pun termasuk manusia yang tak boleh dipandang enteng, kemari dan bergabunglah, aku pasti akan menghargai tenagamu." "Aku tidak ambil peduli tentang kesemuanya itu," Ong Siau-sik menggeleng, "mau pandang enteng tidak masalah, mau menghargai kemampuanku juga silakan, tapi yang jelas, aku tetap aku, aku tak nanti bersedia kau gunakan hanya lantaran kau menghargaiku, aku pun tak bakal melancarkan serangan hanya dikarenakan kau memandang enteng diriku. Bagiku, persoalan yang terjadi adalah perseteruan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan perkumpulan Kimhong-si-yu-lau, siapa menang siapa kalah bukan persoalanku dan aku pun tak ingin tahu. Yang kuingin ketahui saat ini hanya satu hal." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah M'rius, "Apakah dikarenakan kau ingin merusak nama dan reputasi perkumpulan Lak-hun-poan-tong dalam dunia persilatan, maka kau sengaja memerintahkan kelompok akrobatik, kelompok pedagang dan penjual obat untuk melakukan perbuatan terkutuk itu?" "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah sebuah perkumpulan besar, mereka harus menghidupi banyak anak buah, jadi apa yang mereka lakukan selama ini untuk menunjang kehidupan anggotanya, aku rasa hampir setiap orang tahu dengan jelas dan tak usah aku jelaskan lebih jauh. Tapi satu hal kau mesti tahu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai nama dan reputasi yang baik di seputar wilayah Ouw-pak, pengaruhnya sangat besar dan banyak orang gagah.dunia persilatan yang bersedia bekerja untuk mereka. Bila aku tidak menggunakan siasat ini, bagaimana mungkin aku bisa mengubah pandangan dan haluan Sin-hu Tayjin yang selama ini selalu berkomplot dengan Lui Sun? Bagaimana mungkin aku bisa meminta dia untuk membuyarkan daya pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan berganti haluan bersekongkol dengan Sokongcu? Contohnya dua bersaudara Li, orang she Ting dan Ku Han-lim, selama ini mereka memang tak pernah melakukan perbuatan baik, bukankah gara-gara kejadian ini mereka malah bisa kita tumpas? Aku berharap kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong di wilayah Ouwpak bisa diberantas seakar-akarnya." "Apakah orang-orang itu sangat mempercayai dirimu?" tanya Ong Siau-sik lagi dengan kening berkerut. Dia saksikan paras muka Li Tan serta Li Ciau-hong yang tergeletak di tanah mulai mengunjuk perasaan murka. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Justru yang percaya penuh kepadaku adalah Lui Sun Lui-congtongcu, sementara orang-orang itu .... Hmm! Tak lebih hanya mengantar nyawa saja." "Aku lihat perempuan ini baik hati dan masih mempunyai rasa peri kemanusiaan, kesalahannya belum pantas untuk dihukum mati," bocah muda itu coba membela. Waktu itu, meskipun jalan darah Li Ciau-hong sudah tertotok, namun mulutnya masih bisa berbicara bebas, sambil mengertak gigi penuh amarah, mendadak ia mengumpat, "He, orang she Tio, kau memang bedebah! Aku tidak ambil peduli kau mau bermarga Si atau bermarga Tio, tapi yang pasti kau memang seorang bangsat sejati, bedebah yang berhati kejam, hanya manusia macam kau yang mampu melakukan perbuatan terkutuk, biar jadi setan pun aku tak bakal melepaskan dirimu!"

"Tutup mulutmu adikku!" hardik Li Tan cepat, lalu dengan nada setengah merengek terusnya, "Tiotongcu, mohon kebesaran hatimu dengan mengampuni jiwa anjing kami bersaudara! Di kemudian hari, mau dijadikan kerbau atau kuda, kami siap menjalankan perintahmu dan tak akan membangkang." "Hmmm, kalau ingin jadi kerbau atau kuda, lebih baik cepatlah menuju ke neraka, di sana pun kalian berdua bisa memperoleh jabatan," sahut Tio Thiat-leng ketus. "Tio-tongcu," kembali Li Tan merengek, "kami berjanji tak akan membocorkan kejadian pada malam ini kepada siapa pun, jika kami sampai membocorkan kejadian ini, biar aku orang she Li mati disambar geledek, mati secara mengenaskan." "Hmm! Kau memang bakal mati secara mengenaskan." "Mau mati biarlah mati, kenapa mesti minta ampun!" jerit Li Ciau-hong tidak puas. "Adikku," kembali Li Tan berseru dengan gugup. "Kau jangan bicara sembarangan, jika kau melakukan kesalahan lagi terhadap Tio-tongcu, aku tak akan mempedulikan dirimu lagi." "Kakak, matikan saja pikiran semacam itu," tukas Li Ciau-hong lantang. "Malam ini, jangan harap kita berdua bisa lolos dari sini dalam keadaan selamat." Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Li Ciau-hong," katanya, "percuma kau berteriak-teriak dengan suara keras, memangnya kau senang melihat urusan jadi semakin runyam? Sayangnya, semua penghuni rumah penginapan ini sudah ditukar dengan orang-orangku, mereka yang tidak berpihak kepadaku sudah bersih dibantai." "Apa? Orang-orang cacad itupun sudah kau bunuh?" tanya Ong Siau-sik dengan wajah berubah. "Hahahaha ... tidak sampai sesadis itu," Tio Thiat-leng tertawa tergelak, "justru orang-orang itu yang akan mendatangkan pahala bagiku, merekalah bukti nyata perbuatan terkutuk dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" Ong Siau-sik baru merasa lega setelah mendengar perkataan itu, tanyanya kemudian, "Di dalam almari sana terdapat sebuah peti, apakah putra tunggal Sin-hu Tayjin yang disembunyikan dalam peti itu?" "Justru dialah yang dijadikan acara pembukaan oleh Si Say-sin dalam kejadian ini, tanpa dia, Bun Sin-hu serta kawanan pejabat anjing lainnya belum tentu mau berganti haluan, kini pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berani mengusik putra tunggal Bun Sin-hu, sudah jelas para pejabat negara akan menjadi musuh bebuyutannya," Pek Jau-hui menerangkan sambil tertawa. Sementara itu Tio Thiat-leng sudah berjalan menghampiri almari itu, dengan sekali bacok, dia jebol pintu almari, menyeret keluar sebuah peti, meremas kuncinya hingga hancur kemudian melayangkan sebuah tendangan untuk membuka peti itu. Seorang bocah berwajah bersih, tampan dengan hidung mancung duduk melingkar dalam peti itu, dia seakan terlelnp dalam tidur yang sangat nyenyak sehingga walaupun peti sudah terbuka dia masih tidur terus.

Sekilas pandangan Ong Siau-sik tahu kalau bocah ini sudah dicekoki obat pembius, bila dilihat bagian tubuhnya yang utuh, rasanya dia belum dicelakai orang. Sekarang ia baru menemukan jawaban, berasal darimanakah suara dengusan napas perlahan yang didengarnya ketika bersembunyi dalam almari tadi. "Kali ini Sin-hu Tayjin dan Congkoan pasti akan merasa sangat puas," kata Tio Thiat-leng dengan perasaan lebih santai. "Yang pasti So-kongcu akan semakin puas dengan sepak terjangmu," sela Pek Jau-hui. Tio Thiat-leng tertawa dingin. "Semua ini berkat bantuan dari saudara Pek, tapi masih ada satu urusan besar yang mesti kukerjakan, bila pekerjaan itupun berhasil kulakukan, semua tugasku baru bisa dianggap selesai." "Omong kosong," tak tahan Un Ji menyela, "Toasuheng bukan manusia semacam ini, mustahil dia memerintahkan kau untuk melakukan perbuatan terkutuk semacam ini!" Tio Thiat-leng tidak menanggapi perkataan itu, ia berpaling dan memandang Li bersaudara sekejap, kemudian katanya lagi kepada Ong Siau-sik, "Coba pertimbangkan sekali lagi tawaranku itu, selesai membereskan kedua orang ini, aku akan menunggu kabar baikmu." "Tak usah dipertimbangkan lagi," tukas Ong Siau-sik. "Oya?" "Aku telah mengambil keputusan." "Nah, begitu baru seorang pemuda tahu diri, masa de¬panmu pasti cerah," seru Tio Thiat-leng sambil tertawa, setelah, itu dia melangkah maju menghampiri Li Ciau-hong. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menghadang di hadapan Li Ciau-hong, teriaknya, "Hari ini sudah kelewat banyak orang yang tewas di sini, aku tak ingin melihat orang mati lagi, apalagi perempuan ini memang tidak seharusnya mati." "Dia tidak pantas mati?" jengek Tio Thiat-leng dengan sorot mata berkilat, "sepanjang hidupnya sudah kelewat banyak perbuatan jahat yang dia lakukan, dia adalah seorang perempuan bedebah, apakah kau ingin menjadi pelindungnya?" "Aku tak peduli apa katamu, seperti yang sudah kutegaskan tadi, hari ini aku tak akan membiarkan kau membunuh orang lagi." Sambil mundur selangkah, Tio Thiat-leng mengawasi wajah anak muda itu lekat-lekat, akhirnya dia mengangguk tiga kali seraya berseru, "Bagus, bagus, bagus!" Ong Siau-sik sama sekali tak ambil pusing, sambil mengerling ke arah Pek Jau-hui sekejap, tibatiba ujarnya, "Saudara Pek, aku ingin tahu, kau berpihak kemana?" Sambil menggendong tangan Pek Jau-hui mundur sejauh tujuh langkah, sahutnya,

"Malam ini adalah pertemuan kedua bagi kita, sementara aku sudah empat kali bertemu dengan Tio-tongcu, malah transaksi jual beli kami sudah berjalan mulus, artinya baik kau maupun dia, semua adalah sahabatku, aku tak ingin membantu pihak mana pun." Dengan satu gerakan kilat Un Ji melompat ke sisi Ong Siau-sik, serunya cepat, "Aku berpihak padamu ..........." Belum selesai gadis itu berbicara, Tio Thiat-leng sudah menerjang sembari menyodokkan sepasang kepalannya mele¬paskan satu pukulan, sementara kakinya menyapu tubuh Un Ji. . Begitu tubuh Un Ji roboh terjungkal, kepalan itu langsung menyambar ke dada dan wajah Ong Siau-sik. Serangan itu sangat tiba-tiba dan cepatnya bukan kepalang, tak sempat bagi Ong Siau-sik untuk menghindarkan diri. Tio Thiat-leng segera sadar, dia bakal membunuh seorang lagi. Bagi dirinya, bagi pandangannya, saat ini Ong Siau-sik sudah ibarat sesosok mayat. Dia tidak kuatir ditegur So-kongcu, dia tak takut atasannya gusar karena ulahnya itu. Sebab sekarang dia sudah membuat jasa besar, bila ditambah aksi yang akan dilakukannya esok hari, maka jasa dan pahalanya akan luar biasa besarnya. Dia tahu So-kongcu selalu membedakan dengan jelas mana jasa dan mana dosa, sekalipun sekarang dia telah menyapu kaki adik seperguruannya hingga terjungkal, dia menganggap kejadian ini lumrah, apalagi dia toh tidak membunuhnya. Justru sekarang dia merasa sedikit sayang, sedikit kecewa. Dia tahu, Ong Siau-sik adalah seorang anak muda yang berbakat, ia dapat melihat hal itu. Tapi kenyataan, bakat yang begitu bagus ternyata enggan berpihak kepadanya, daripada bakat bagus ini terjatuh ke tangan orang lain, dia putuskan lebih baik mengirimnya lebih dulu ke dalam peti mati! Sekarang dia sedang menunggu suara tulang belulang Ong Siau-sik retak dan hancur. Suara tulang yang hancur bermacam-macam, suara tulang wajah yang retak beda sekali dengan suara tulang dada yang hancur, tulang wajah agak keras sementara tulang dada lebih lunak, bila dibandingkan suara tulang iga yang retak pasti lebih nyaring. Namun baginya, suara tulang wajah yang retak jauh lebih merangsang, jauh lebih menegangkan. Selama ini sudah terlalu banyak tulang dada orang yang hancur di tangan Tio Thiat-leng, oleh karena itu dia lebih suka menghajar wajah lawan. Misalnya saat dia menghajar Ho Tong sehingga tulang wajahnya hancur. Ketika mendengar suara tulang wajah seorang sahabatnya yang sudah lama dikenalnya, sudah lama berjuang bersama hancur berantakan, lalu dapat pula menyaksikan sorot mata ragu dan tak

percaya yang dipancarkan dari mata rekannya itu, bagi Tio Thiat-leng, kejadian ini amat merangsang napsu, dia merasa sangat menikmatinya. Betul juga, dia segera mendengar suara tulang patah. Bukan tulang wajah, bukan pula tulang iga, tapi tulang per-gelangan tangan. Suara retak itu berasal dari tulang pergelangan tangan kiri sendiri, suara retak yang amat nyaring. "Kraaak!" Tangan kanan Ong Siau-sik masih tetap menempel di atas gagang senjatanya. Gagang pedang itu panjangnya tujuh inci, berujung bulat dengan sarung yang antik, walaupun tubuh senjata tidak nampak namun gagang pedangnya kelihatan sangat nyata, sebuah gagang pedang berbentuk melengkung bagai bulan sabit, pada ujung lengkungan terlintas selapis cahaya berwarna hijau. Melihat bentuk senjata itu, setengah mirip sebilah golok, setengah mirip sebilah pedang, pedang yang tergabung dalam golok. Selama ini Ong Siau-sik belum pernah melolos pedangnya. Dia pun tidak bermaksud menghindarkan diri. Sekalipun tubuhnya tidak berkutik, namun telapak tangan kirinya telah bergerak cepat, menelusuri sisi tubuhnya dia menghadiahkan sebuah babatan kilat ke atas pergelangan tangan lawan. "Kraaak!", diiringi bunyi nyaring, pergelangan tangan itu segera terkulai lemas. Tidak berhenti sampai di situ, kembali Ong Siau-sik mementang kelima jari tangannya, kali ini dia berusaha mencengkeram kepalan kanan lawan. Dalam keadaan begini buru-buru Tio Thiat-leng menarik kembali serangannya, dengan buas penuh amarah dia melototi musuhnya sekejap, kemudian sambil memegangi tangan kirinya yang lunglai lemas, ia membalik badan dan segera beranjak pergi meninggalkan tempat itu. "Ploook, plookk" Suara tepuk tangan bergema di udara, ternyata Pek Jau-hui yang sedang bertepuk tangan. "Kungfu yang hebat," puji orang itu dengan suara lembut, "aku tahu, kepandaian silatmu memang hebat, tapi tak kusangka ternyata kau pun sanggup melukainya tanpa harus mencabut pedang, sayang aku gagal mengetahui asal-usul perguruanmu, he sobat, aku lihat kau memang sengaja hanya melukai sebuah tangannya bukan? Kalau tidak, mungkin dia hanya memiliki dua kaki untuk kabur." Un Ji tidak habis mengerti dengan perkataan itu, sebab dia memang tak sempat melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Gerak serangan itu dilakukan dalam waktu singkat, serangan yang kelewat cepat. "Padahal apa yang kau lakukan akan sangat menguntungkan posisi Tio Thiat-leng," kembali Pek Jau-hui berkata, "coba bayangkan saja, jika dia pulang dalam keadaan utuh dan segar bugar,

dengan kecerdasan Lui-congtongcu, masa dia tak curiga? Sekarang dia pulang dengan membawa luka, kejadian ini justru akan memperlancar usahanya memperoleh jasa dan pahala." "Manusia macam dia termasuk seorang jago yang licik dan banyak akal, sekalipun tidak kulukai, dia tetap bisa mengatur siasat dan akal muslihat untuk memberikan alasan yang masuk akal," kata Ong Siau-sik, "tadi aku memang sengaja memberi pelajaran kepadanya, karena aku tak suka dengan wataknya, untuk mencapai tujuan, dia tak segan banyak membunuh, perbuatan macam begini jelas merupakan satu perbuatan yang biadab." "Padahal kalau mau bicara sejujurnya, justru aku yang paling banyak membunuh pada malam ini," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "selanjutnya, kau bakal kubuat repot terus." "Aku masih muda, aku tak peduli." Un Ji yang membungkam terus, kini tak sanggup menahan diri, dengan sorot matanya yang bening dia mengawasi Pek Jau-hui sekejap, kemudian memperhatikan lagi Ong Siau-sik, setelah itu gumamnya, "Manusia aneh, manusia aneh, satu rumah penuh dengan manusia aneh, seluruh ruangan dipenuhi manusia aneh, sepasang manusia aneh." "Kalau sudah tahu di sini ada manusia aneh, kenapa pula nona Un datang kemari?" tegur Pek Jauhui dengan kening berkerut. "Guruku dan orang tuaku minta aku berangkat ke kotaraja untuk membantu Suheng, tapi lantaran sepanjang jalan aku sering mendengar orang bercerita kalau di tempat ini sedang terjadi penculikan anak-anak, bahkan anak pembesar pun ikut diculik, maka dengan perasaan ingin tahu aku melacak kabar berita ini, akhirnya aku pun bersembunyi di atas wuwungan rumah sebelum akhirnya...." "Akhirnya diseret keluar orang lain?" sela Pek Jau-hui lagi. "Hmm, siapa yang berani menyeret aku?" teriak Un Ji gusar. "Nonamu Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ong Siau-sik berteriak keras, "Hati hati "Nguuung... braaaak!" Un Ji hanya merasakan seseorang menyambar lewat dari atas kepalanya, dengan perasaan kaget dia segera melepaskan tujuh delapan jurus serangan ke udara. Tampak orang itu merentangkan tangannya lebar-lebar, langsung memeluk tubuhnya dan merobohkannya ke lantai. Cahaya lampu yang semula menerangi ruangan, kini padam secara tiba-tiba. Sesaat sebelum cahaya lentera itu padam, tampak seseorang membentak nyaring dan langsung menerjang ke atas atap rumah. Un Ji tak tahu apa yang telah terjadi, dia hanya merasakan seseorang masih menindih di atas tubuhnya, dengus napas lelaki yang sangat kuat. Sebenarnya Un Ji berusaha meronta sambil bersiap mencaci maki, tiba-tiba dia seperti paham akan sesuatu, mulutnya segera terbungkam kembali dan tubuhnya tidak bergerak pula.

Dalam pada itu, orang yang semula melompat ke atas atap rumah tadi, kini bagai segulung asap telah melayang balik ke dalam ruangan, Un Ji dapat merasakan gerak tubuh orang itu sangat enteng dan cepat. Sedang orang yang semula mendekap tubuhnya, kini pun sudah melompat bangun. Dalam keremangan cuaca, gadis itu dapat melihat orang berbaju putih yang gesit gerak tubuhnya itu sedang menvulut lentera. Malam ini, lentera di dalam kamar sudah padam sebanyak tiga kali. Kali pertama terjadi di saat Un Ji melayang turun dari atap rumah dan terjebak dalam kepungan orang banyak. Kali kedua terjadi di saat Tio Thiat-leng dan Pek Jau-hui bersamaan menyerbu masuk ke dalam ruangan disusul munculnya Ong Siau-sik. Dan kali ini adalah kali ketiga lampu lentera itu padam. Ketika cahaya api disulut kembali, di saat sinar mulai menerangi seluruh ruangan, pemandangan macam apa pula yang dijumpai? Un Ji dapat merasakan bahwa setiap kali cahaya lentera disulut kembali, maka seolah selapis kabut mulai disingkap, seolah sedang membuka sebuah halaman baru, seperti malam yang lewat dan fajar mulai menyingsing. Pemandangan macam apa pula yang akan tampil kali ini? ooOOoo Cawan. Ong Siau-sik sedang mengawasi sebuah cawan. Sebenarnya cawan bukan sesuatu yang aneh, di atas lantai penuh berserakan cawan yang utuh maupun cawan yang telah hancur lebur. Tapi cawan yang ini sangat berbeda, cawan ini menancap di atas tiang penyangga bangunan. Hampir seluruh permukaan cawan terbenam di tiang itu, yang tersisa di luar hanya dasar cawan, itupun hanya sebagian kecil yang terlihat. Sebetulnya cawan itu sangat biasa, tak ada keistimewaan apa pun karena terbuat dari porselen putih dan merupakan cawan arak yang bisa digunakan kebanyakan orang. Kalau dibilang benda itu mempunyai keistimewaan, maka hal ini dikarenakan di sisi cawan terlihat ada beberapa helai rambut yang terpapas serta selembar kecil kain putih, kain dengan bercak darah. Sekarang Un Ji jadi paham apa yang sebenarnya telah terjadi. Ternyata orang yang merobohkan tubuhnya dan melindunginya di atas lantai tak lain adalah Pek Jau-hui, lelaki acuh tak acuh itu.

Sementara orang yang menerobos naik ke atap rumah untuk mengejar musuh adalah Ong Siausik, si anak muda yang nampak sedikit bloon itu. "Mana orangnya?" ia segera menegur sembari membenahi rambutnya yang kusut. "Sudah pergi," sahut Ong Siau-sik sembari mengawasi cawan itu tanpa berkedip. "Siapa sih orang itu?" tanya Pek Jau-hui pula. "Kurang jelas, aku hanya melihat bayangan orang berkelebat kemudian lenyap, rasanya dia agak jangkung, agak kurus, tapi tidak terlampau jelas." Kali ini giliran Pek Jau-hui yang melengak, dia tahu ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ong Siau-sik cukup tangguh, tapi nyatanya ia gagal mengejar orang itu, hal ini membuktikan kepandaian silat lawan memang luar biasa. Sementara itu Un Ji sedang mengawasi wajah Pek Jau-hui dengan matanya yang tajam, ia lihat pemuda itu memiliki hidung mancung dengan kelopak mata agak cembung tulang matanya tinggi menonjol, saat itu dia sedang berdiri dengan sikap tak acuhnya. Tak tahan si nona ini jadi mencak-mencak lantaran mendongkol, tapi sekarang dia sadar ada orang telah membokong mereka. Rambut yang terpapas kutung jelas merupakan rambut miliknya, robekan kain putih ternyata berasal dari ikat kepala Pek Jau-hui, sedang bercak darah berasal dari alis mata sebelah kiri Ong Siau-sik. Sungguh hebat kepandaian silat yang dimiliki si pembokong, ternyata ia mampu menggunakan sebuah cawan arak, dari sudut yang tak terduga sekaligus mengancam nyawa ketiga jago itu. "Serangan cawan yang hebat!" gumam Pek Jau-hui tanpa terasa. Ong Siau-sik memeriksa sekejap dasar cawan yang nampak menongol keluar, lalu katanya pula, "Orang ini sangat mahir menggunakan cawan sebagai senjata rahasia, aku jadi ingin tahu apakah dia hebat juga menggunakan tombak?" Begitu mendengar perkataan itu, Pek Jau-hui nampak terkesiap, serunya tanpa sadar, "Janganjangan perbuatan dia?" "Siapa?" "Seseorang!" Baru saja Ong Siau-sik dan Un Ji ingin bertanya siapakah orang itu, mendadak terdengar Pek Jauhui berbisik lagi, "Sstt, jangan berisik, ada orang datang." "Benar, malah lebih dari satu," sambung Ong Siau-sik. ooOOoo 7. Man usia dala m imp ian Dengan kening berkerut, Un Ji siap melolos goloknya. "Jangan mencabut senjata," buru-buru Pek Jau-hui mencegah, "kali ini yang datang adalah para opas dari pengadilan." "Mau menangkap kita?" tanya si nona tertegun. Kontan Pek Jau-hui tertawa geli.

"Memangnya kau sudah melakukan pidana?" ejeknya. "Kalau begitu mereka datang untuk menangkap kalian?" sekali lagi Un Ji tertegun. "Aku rasa kehadiran mereka hanya merupakan sebagian dari strategi yang diatur Tio Thiat-leng," kata Ong Siau-sik menjelaskan, "kini para opas sudah berdatangan, kita tak perlu berdiam terlalu lama di tempat ini." "Betul, lebih baik segera angkat kaki," Pek Jau-hui membenarkan. Terdengar suara gonggongan anjing, derap kaki kuda dan bentakan manusia berkumandang semakin dekat, kali ini Un Ji pun dapat menangkap suara berisik itu dengan jelas. Pek Jau-hui segera berseru sambil tertawa, "Kalau tidak angkat kaki sekarang, mau menunggu sampai kapan lagi?" Ketiga orang itu saling berpandangan sekejap, Ong Siau-sik segera menerobos keluar lewat lubang di wuwungan rumah, Un Ji lewat jendela, sementara Pek Jau-hui melesat lewat pintu samping, tapi sebelum pergi ia sempat menyentilkan jari tangannya ke arah dasar cawan yang menancap di tiang kayu. Begitu kena sentilan, cawan arak itu segera hancur, hancur jadi dua bagian. Kedua pecahan cawan tadi segera melesat ke samping, satu menghantam tubuh Li Tan sedang yang lain menghajar tubuh Li Ciau-hong, sungguh tepat gerak serangan itu. Saat itu sebenarnya Ong Siau-sik sudah melayang naik ke atap rumah, begitu mendengar desingan angin tajam, badannya segera meluncur kembali ke bawah, langsung menuju ke arah dua bersaudara Li tergeletak, dengan kepala di bawah kaki di atas dia menyambar ke samping, mengambil segenggam hancuran genting. "Sreeet!", terdengar suara desingan tajam menggelegar membelah bumi, belum lagi serangan Ong Siau-sik tiba, tahu-tahu pecahan cawan itu sudah menyambar lewat, langsung menancap di atas kening Li Tan. Tak ampun lagi diiringi suara dengusan tertahan Li Tan tewas seketika. Menyaksikan kejadian ini, Ong Siau-sik tak kuasa menahan rasa gusarnya, bentaknya penuh amarah, "Kenapa kau harus mencabut rumput hingga seakar-akarnya?" "Perasaanmu kelewat lembek," sahut Pek Jau-hui santai. "Masalah ini bukan perasaan lembek atau tidak, tapi apa perlunya? Kenapa kau ngotot ingin membunuhnya?" "Jika kita melepaskan siapa pun di antara mereka, suatu ketika bila kejadian ini sampai tersiar, sudah pasti Lui Sun maupun So Bong-seng tak akan melepaskan mereka, bayangkan sendiri, apa untungnya perasaan lembekmu itu?" Ong Siau-sik tidak membantah, namun dia nampak uring-uringan. Sementara itu Un Ji yang sudah berada di luar tiba-tiba menegur, "He, apa yang sedang kalian lakukan di situ? Cepat keluar!"

Tampaknya Pek Jau-hui tak ingin bentrok dengan Ong Siau-sik gara-gara persoalan ini, katanya kemudian, "Ayo, cepat kita menyusul keluar, kalau perempuan itu berkoar-koar di luar sana, bisa jadi seluruh opas dalam kota akan menyusul kemari." Ong Siau-sik memandang sekejap Li Ciau-hong yanj masih menggeletak di lantai, saat itu perempuan siluman itu sedang mendongakkan kepalanya dengan susah payah, pancaran sinar dendam yang kuat terlintas dari balik matanya. "Ya, sudahlah," ujar Pek Jau-hui kemudian, "akan kuampuni perempuan ini, semoga saja dia tidak menyia-nyiakan harapanmu yang telah menyelamatkan jiwanya." Selesai berkata, ia beranjak pergi dari situ. Sekali lagi Ong Siau-sik mengawasi Li Ciau-hong yang tergeletak di lantai, kemudian memandang pula mayat yang bergelimpangan dalam ruangan, tak kuasa dia menghela napas panjang. Dalam pada itu suara derap kaki kuda dan teriakan manusia sudah makin mendekat, Ong Siau-sik segera menendang tubuh Li Ciau-hong untuk membebaskan totokan jalan darahnya, sebelum meninggalkan tempat itu pesannya, "Semoga kau tidak melakukan kejahatan lagi." ooOoo Di bawah cahaya rembulan tampak tiga sosok bayangan manusia melesat dengan kecepatan tinggi. Bayangan berbaju putih adalah Ong Siau-sik, dia memang selalu berdandan sederhana, baju panjangnya berwarna cerah bagai sinar rembulan, lembut bagai warna rembulan. Bayangan yang berbaju sutera adalah Pek Jau-hui, dia mengenakan stelan baju terbuat dari bahan sutera yang mahal harganya, anggun, mewah dan terhormat. Sementara bayangan yang memakai baju merah adalah Un Ji, baju ketat warna merahnya dengan renda berbentuk kupu-kupu emas, sulaman bunga mawar di sisi bahu membuat gadis ini nampak cantik bak bidadari dari kahyangan. Tak kuasa Ong Siau-sik melirik sekejap ke arah gadis itu. Pek Jau-hui turut mengerling sekejap, namun sekulum senyuman angkuh segera tersungging di ujung bibirnya. Un Ji tahu, kedua orang anak muda itu sedang mencuri pandang ke arahnya. Sekalipun kepandaian silat yang dimilikinya jauh lebih rendah ketimbang kedua orang itu, namun dia yakin memiliki kemampuan yang cukup sempurna dalam menganalisa 'adakah seseorang yang sedang mencuri pandang ke arahnya'. Dalam persoalan ini, kaum pria memang selalu lebih bodoh ketimbang kaum wanita. Un Ji luar biasa gembiranya, dengan senyum di kulum dia sengaja hanya memandang jalanan di kejauhan sana, kepalanya didongakkan, alis matanya bekernyit dan sebisa mungkin dia berusaha menjaga gerak-geriknya agar selalu tampil anggun.

Perasaan bangga menyelimuti hatinya, dia senang karena kedua orang anak muda itu mulai menaruh perhatian kepada¬nya. Baru keluar dari rumah penginapan, mereka telah menginjak sesosok mayat yang tergeletak di sisi pepohonan, orang itu tak lain adalah salah satu mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hunpoan-tong untuk mengawasi Tio Thiat-leng. Menyusul teriakan kaget gadis itu, suara bentakan dan de¬singan angin tajam bergema dari seluruh penjuru ruangan, untung Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik bertindak cepat, coba kalau bukan ditarik kedua orang pemuda itu, mungkin dia sudah dikepung pasukan kerajaan. "Hei, apa yang kalian takuti?" protes Un Ji tak senang hati, "aku toh tidak membunuh, juga tidak membakar, kenapa aku mesti takut?" Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tidak menggubris, mereka tetap menyeret gadis itu menjauh dari tempat itu. Menanti kejaran pasukan kerajaan tertinggal jauh, ketiga orang itu baru memperlambat larinya. Saat itulah Un Ji baru membenahi rambutnya yang kusut, dia tahu, gayanya saat ini pasti lembut dan menarik hati. "Eh, bukankah bunga yang kau sisipkan di sanggulmu adalah bunga melati?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya. Un Ji memegang sisi sanggulnya sambil membetulkan letak bunga melati itu, lalu tanyanya sambil mengerling ke arah pemuda itu sekejap, "Benar, ada apa?" Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak, serunya kemudian, "Nah, apa kubilang, ternyata memang bunga melati." "Bunga melati?" Ong Siau-sik seperti tak mengerti. "Tempo hari Gwe-sian dan Loan-si juga menyisipkan bunga itu disanggulnya," kata Pek Jau-hui sambil tertawa, "ketika aku tanya mereka, gadis-gadis itu enggan memberitahu, sekarang aku baru mengerti, ternyata bunga itu bernama melati." "Gwe Sian? Loan Si?" Ong Siau-sik semakin tak habis me¬ngerti. "Masa kau tidak tahu?" kembali Pek Jau-hui berseru, "semua pelacur penghuni Ing-cun-sian maupun Hong-hiang-kek di sepanjang sungai Chin-hway hampir semuanya menyisipkan bunga semacam itu di sanggulnya, tak kusangka Belum selesai perkataan itu diucapkan, Un Ji dengan wajah cemberut sudah kabur duluan meninggalkan mereka berdua. Melihat itu Pek Jau-hui mengerdipkan matanya ke arah Ong Siau-sik, kemudian tertawa tergelak. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng. "Sekarang kau hendak berangkat kemana?" tanya Pek Jau-hui kemudian. "Kotaraja" "Mau apa ke sana?" "Mengadu untung."

"Kau punya sahabat atau sanak saudara di sana?" "Tidak." "Lantas mau apa kau ke kotaraja?" tegur Pek Jau-hui sambil tertawa, "ingin kaya mendadak? Ingin ternama?" "Aku tidak tahu, aku hanya tahu bahwa aku belajar ilmu untuk berbakti kepada negara, ambisi dan cita-citaku harus diwujudkan mumpung aku masih muda, aku tak ingin menyia-nyiakan hidupku," kemudian setelah berpikir sejenak, tambahnya, "Tapi seandainya cita-citaku tak terwujud, ya sudah, apa boleh buat." "Tahukah kau, begitu banyak manusia macam kau hidup di dunia ini? Tapi akhirnya mereka hanya menanggung rasa kecewa, karena keinginannya sulit terwujud." Ong Siau-sik tidak langsung menanggapi perkataan itu, dia berpikir sejenak kemudian baru sahutnya, "Paling tidak, aku toh harus mencobanya dulu." "Bagus sekali!" "Bagaimana dengan kau sendiri?" Ong Siau-sik balik bertanya. "Aku? Kenapa dengan aku?" "Aku lihat kungfumu hebat, kemampuanmu luar biasa, hendak kemana kau? Apa yang akan kau lakukan?" "Sebetulnya aku sejalan dengan kau," di balik keletihan ter¬lintas sikap angkuh dan kesendirian di wajah Pek Jau-hui, "aku pun hendak ke kotaraja, mencoba mengadu untung pula. Oleh karena aku tak ingin mencari sesuap nasi dengan bekerja dalam lingkungan pengaruh perkumpulan Lakhun-poan-tong, maka kuterima order sesaat yang bisa menghasilkan duit, dengan bekal itu aku hendak ke kotaraja, mencoba apakah aku bisa menancapkan kaki di situ." "Kalau begitu kita bisa melakukan perjalanan bersama-sama," seru Ong Siau-sik kegirangan, "dengan begitu kita tak usah kesepian sepanjang jalan." "Kesepian sih tak mungkin, kau tak kuatir aku segera angkat kaki menyingkir begitu melihat kau tertimpa kesulitan?" "Ooh, masa iya?" Ong Siau-sik menanggapi dengan serius. "Hahaha, sayang aku bernama Pek Jau-hui, kabur di kala orang sedang murung, coba aku bernama Pek Oh-hui, aku tentu akan kabur di saat kau sedang kelaparan," Pek Jau-hui tertawa terbahak-bahak. Kini Ong Siau-sik baru tahu kalau rekannya tidak bicara serius, serunya cepat, "Mau kabur pada saat seperti apa pun aku tak bakal menyalahkan dirimu, aku hanya berharap kau jangan membohongi aku, seperti yang kau lakukan tadi, katanya tak akan membunuh, tapi kenyataan ... kau "Sudahlah, yang sudah lewat tak usah disinggung lagi," potong Pek Jau-hui sambil tertawa. "Saudara Pek," tiba-tiba Ong Siau-sik berseru setelah mengawasi wajahnya sekejap, "ternyata sewaktu tertawa, kau tidak nampak angkuh atau jumawa, malah kelihatannya amat ramah."

Pek Jau-hui tidak menyangka kalau Ong Siau-sik akan mengucapkan perkataan semacam itu, setelah melengak sekejap sahutnya, "Kalau tiap saat kita mesti senyum tak senyum, bagaimana orang mau menghormati kita?" Tiba-tiba terasa segulung angin berhembus lewat, tahu-tahu Un Ji bagaikan sekuntum bunga mawar sudah menerjang ke depan mereka, serunya sambil tertawa, "Aneh, masakah dua orang lelaki senang bicara berbisik, persis banci saja." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Coba tebak, nonamu mau pergi kemana? Kalau bisa menebak secara jitu, aku akan mentraktir kalian makan gula-gula." Kemudian seraya berpaling ke arah Ong Siau-sik, ujarnya pula, "Kau duluan." "Aku rasa kau akan ke Mongolia," sahut pemuda itu terpaksa. "Dan kau?" tanya Un Ji sambil berpaling pada Pek Jau-hui. Dengan wajah serius Pek Jau-hui berpikir sejenak, sahutnya kemudian, "Kau akan menuju pesanggrahan Ing-cun-sian di tepi sungai Chin-hway." Saat itu mereka bertiga memang sudah tiba di tepi sungai, sudah barang tentu sungai itu bukan sungai Chin-hway me¬lainkan sungai Han-swe dengan arusnya yang deras. Dengan menumpang sebuah sampan, mereka melanjutkan perjalanan, untuk tiba di kotaraja paling tidak masih membutuhkan waktu sepuluh hari hingga setengah bulan lamanya. Begitulah mereka bertiga pun segera melanjutkan perjalanan bersama-sama, tengah hari itu tibalah mereka di dermaga penyeberangan Lam-tok-tau. Karena sepanjang perjalanan mereka berbincang dan bergurau, hubungan mereka bertiga pun bertambah akrab, saat itulah Ong Siau-sik dan Un Ji dapat merasakan bahwa Pek Jau-hui ternyata bukan orang jumawa yang segan bergaul, meski cara kerjanya tegas, telengas dan tak segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan terkadang tak kenal sanak keluarga sendiri, sesungguhnya dia adalah seorang pemuda yang berhati mulia. Sebaliknya Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun merasa bahwa Un Ji meski kekanak-kanakan dan lincah, sesungguhnya dia berhati mulia, cuma rasa ingin tahunya kelewat besar dan agak keras kepala. Sementara Un Ji dan Pek Jau-hui menganggap Ong Siau-sik kelewat jujur, polos, namun terkadang serius dan tak main-main. Di samping mereka bertiga dapat memahami satu sisi dari rekannya, namun ada sisi lain yang mereka anggap sulit untuk diraba, seakan meraba sisi punggung rembulan, sulit untuk diketahui rahasia apa di balik semua itu. Adakah sisi baik dari semua itu? Atau justru sisi buruk yang masih tersembunyi? Terkadang dalam kehidupan manusia di dunia ini, ada sekelompok manusia berkumpul dan berteman lantaran mereka memiliki kegemaran yang sama, terkadang berkumpul karena kebutuhan yang sama atau didesak oleh keadaan, sifat asli mereka baru akan terlihat bila sedang menghadapi suatu masalah, suatu keadaan yang berbahaya, kerap kali sifat asli yang mereka tampilkan bisa membuat orang terkejut, membuat orang terpana bahkan melongo. ooOOoo

Tiba di dermaga, mereka bertiga menyewa sebuah perahu dan bersiap melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Ujar Pek Jau-hui, "Lebih baik kita menempuh perjalanan air saja, lebih nyaman dan santai, toh kita tidak sedang terburu-buru, kalau ada angin, mungkin kita akan tiba di tempat tujuan lebih cepat, kalau sedang tak ada angin, anggap saja waktu yang lebih lama merupakan saat kita bersantai." "Aku tak setuju," protes Un Ji. "Kalau begitu kau boleh menempuh perjalanan darat sementara kami lewat jalan air." Un Ji kontan melotot, sambil menghentakkan tangan ia ber¬teriak, "Pek Jau-hui, apa maksudmu?" "Apakah nona takut kurang leluasa berada di atas ranjang?" tanya Ong Siau-sik cepat. Sebenarnya ia bermaksud mengurai ketegangan di antara Un Ji dan Pek Jau-hui, siapa tahu saking cemasnya dia telah salah menyebut Juan (perahu) menjadi Juang (ranjang), aneh kalau perkataan ini tidak menimbulkan.bencana. Benar saja, Un Ji kontan mencak-mencak gusar, sambil menuding ke arah pemuda itu teriaknya penuh amarah, "Kalian memang cuma pintar bicara kotor, jangan keburu senang hati, suatu saat nonamu pasti akan membuat perhitungan!" Sepanjang perjalanan dia memang sudah terbiasa digoda Pek Jau-hui, maka ketika Ong Siau-sik ingin mengucapkan kata yang bernada menggoda, dia kira anak muda inipun telah bersekongkol untuk mempermainkan dirinya. Ong Siau-sik semakin tergagap, serunya lagi terbata-bata, "Nona Un, aku ... aku ... tidak ........... tidak bermaksud begitu, maksudku ............ aku ......... aku ingin bersamamu naik ... naik ranjang Lagi-lagi dia melakukan kesalahan besar, naik 'perahu' disebutnya naik 'ranjang', kegugupan pemuda ini semakin membuat Un Ji naik darah, dia mengira pemuda ini sedang melakukan pelecehan terhadapnya, tanpa pikir panjang, telapak tangannya langsung diayunkan ke muka dan ............. "Plaaak!", dia tampar wajah Ong Siau-sik dengan keras. Bicara kepandaian silat yang dimiliki Ong Siau-sik., sebenarnya dia mempunyai kekuatan yang lebih untuk menghindar, tak ada alasan bagi anak muda itu untuk tak mampu menghindarkan diri. Tapi kenyataan, Ong Siau-sik sama sekali tak mampu menghindarkan diri dari tamparan itu. Begitu pipinya terasa panas lantaran kena tamparan, untuk beberapa saat pemuda itu hanya berdiri tertegun tanpa mengerti harus berbuat apa. Pek Jau-hui sama sekali tidak melerai, dia hanya tertawa terbahak-bahak menyaksikan kejadian itu. Sementara itu Un Ji sambil bercekak pinggang mengomel lagi, "Hmm, kalian berdua memang bukan orang baik, beraninya hanya mempermainkan aku!" Selesai bicara ia segera melompat ke daratan dan beranjak pergi dari situ.

Ong Siau-sik ingin melompat ke daratan untuk menyusul gadis itu, tapi segera dicegah Pek Jauhui, ujarnya, "Kau tak usah terburu-buru, asal tidak menjumpai sesuatu yang menarik, dia pasti akan balik sendiri kemari." "Tapi dia ....... dia masih menaruh salah paham padaku," kata Ong Siau-sik sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas, "kalau tidak kuberi penjelasan, dia tentu akan menganggap aku sedang melakukan pelecehan, sengaja bicara kotor "Mau dibantah dengan cara apa pun toh percuma, perkataan sudah telanjur diucapkan," kata Pek Jau-hui tertawa, "apalagi dia memang cantik, masih muda dan menawan hati, bila tak ingin naik ranjang bersamanya, kau pasti bukan seorang lelaki." "Tapi....... tapi....... aku sama sekali tak punya pikiran begitu!" "Kalau hanya bicara, rasanya bukan kejadian yang luar biasa, bukankah dia pun sudah marah? Kenapa? Memangnya perkataanmu sudah merugikan dirinya? Apalagi dia toh sudah turun tangan menamparmu, apa dianggapnya kurang puas? Tak usah kuatir, menjelang rnalam dia pasti sudah balik lagi kemari!" "Semoga dia memang tidak pergi meninggalkan kita," gumam Ong Siau-sik sambil mengawasi tengah sungai dengan perasaan gundah. Pek Jau-hui yang mengamati gerak-gerik pemuda itu segera menyadari akan sesuatu, serunya kemudian, "Jangan kuatir, tak bakalan pergi Mendadak ia berhenti berbicara, dengan sikunya dia menyodok pinggang rekannya itu. Ong Siau-sik agak tertegun, belum sempat bertanya sesuatu, Pek Jau-hui kembali berbisik dengan nada serius, "Coba kau lihat!" Mengikuti arah yang ditunjuk Ong Siau-sik, ia lihat ada se¬rombongan perempuan yang berdandan sebagai dayang, mengiringi seorang nona bergaun hijau sedang menaiki sebuah perahu pesiar mewah di sisi kiri sungai. Ong Siau-sik hanya sempat melihat sekejap, tiba-tiba saja semua orang seakan sudah lenyap dari pandangan. Ia dapat melihat nona berbaju hijau itu berparas amat cantik, dengan perawakan tubuh yang ramping dan gerak-gerik yang lembah gemulai, sungguh seorang gadis yang menawan hati. Ong Siau-sik tak berani memandang lebih lama, ia merasa hatinya mendadak amat sakit, buruburu pandangannya dialihkan ke tempat lain, mengawasi keindahan alam di kejauhan sana. Dalam pada itu para kelasi yang berada di atas perahu pesiar itu sudah mulai mendayung perahunya bergerak menuju ke mulut sungai. "Kau dapat menyaksikan sesuatu?" bisik Pek Jau-hui kemudian. "Ya, sungguh tak disangka ternyata di dunia ini terdapat seorang gadis yang begitu cantik, bila dibandingkan Un-lihiap, maka nona itu ... nona itu........” Bicara sampai di sini ia segera bungkam, ia merasa tak pantas untuk melanjutkan kata-katanya. "Haah, tak nyana kau pun pandai menilai," goda Pek Jau-hui cepat, "setelahbertemu wanita cantik, lalu ..."

Ia tidak melanjutkan godaannya, karena dengan wajah serius kembali bisiknya, "Aku rasa perahu itu sedikit kurang beres" "Mana yang tak beres?" tanya Ong Siau-sik terperanjat, di samping menguatirkan keselamatan gadis cantik itu, dia pun sedikit kurang percaya dengan omongan Pek Jau-hui, dianggapnya rekannya itu sengaja mengada-ada. Pek Jau-hui tak menggubris keraguan rekannya, dengan sorot mata yang tajam dia masih mengawasi perahu pesiar yang semakin menjauh itu. "Orang yang sudah terbiasa mendayung perahu, biasanya galah mereka tak akan menimbulkan percikan air, sang juru mudi biasanya sangat mengenal sifat arus dan pandai mengendalikan posisi. Tapi kau lihat beberapa orang kelasi yang memegang kemudi perahu tadi, pertama, mereka bermata tajam, berotot kekar dan punya kuda-kuda yang mantap, siapa pun tahu kalau mereka sekawanan jago yang berilmu silat tinggi. Kedua, kawanan manusia itu tak mengerti mengemudikan perahu, dayungan mereka menimbulkan percikan air, siapa pun tahu kalau mereka masih sangat awam dalam mengemudikan perahu. Ketiga, kulit tubuh mereka kelewat putih dan mulus, padahal biasanya kelasi berkulit gelap karena tiap hari berjemur di bawah teriknya matahari. Selain itu, sebelum naik ke perahu mereka saling bertukar pandang sekejap, bahkan membawa perahu itu menuju ke tempat yang sepi, jelas mereka mempunyai rencana busuk." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku yakin, malam nanti perahu itu akan tertimpa bencana." Mendengar sampai di situ, tanpa sadar Ong Siau-sik terbayang kembali wajah si nona yang cantik jelita itu, tanyanya tiba-tiba, "Bagaimana kalau kita memberi peringatan ..........." "Jangan!" cegah Pek Jau-hui, sorot mata yang buas bagaikan sorot mata serigala yang sedang mengintai mangsanya terlintas dari balik matanya. 8. Per em puan cant ik di tengah su ngai Riak air di permukaan sungai Han-swe nampak tenang bagaikan cermin, sedemikian tenangnya hingga memantulkan bayangan perahu, gunung, lentera dan pepohonan di atas permukaan sungai. Yang tak nampak justru hanya bayangan manusia. Sebagian besar penghuni perahu itu sudah terlelap tidur. Hanya ada dua tiga buah lentera yang tergantung di atas tiang, memancarkan cahayanya yang redup. Suasana di sepanjang tepi sungai hening dan amat sepi, hingga saat itu Un Ji belum juga balik kembali ke atas perahu. Di kejauhan sana terlihat ada orang sedang tidur, dengkurnya tenang penuh damai. Di ujung jembatan ada orang sedang meniup seruling, menemani rembulan, bercermin permukaan air. Un Ji wahai Un Ji, kemanakah kau pergi?

Ong Siau-sik mulai cemas, mulai menguatirkan keselamatan gadis itu. "Kita jangan sembarangan bergerak," Pek Jau-hui telah berpesan begitu kepadanya senja tadi, "aku yakin mereka yang ada dalam perahu itu mempunyai asal-usul yang luar biasa, jelas bukan jago sembarangan, aku percaya menjelang tengah malam nanti kawanan jago yang menyaru sebagai kelasi itu akan turun tangan. Kita baru turun tangan setelah tahu keadaan yang sebenarnya." Pek Jau-hui memang lebih cenderung bertahan sambil menunggu datangnya kesempatan. Malam itu Ong Siau-sik tidak bisa tidur nyenyak, dia hanya membolak-balikkan badan namun mata tak mau terpejam, entah karena sedang memikirkan sesuatu atau karena sedang meningkatkan kewaspadaan. Waktu berlalu amat lambat............... Beberapa saat sudah lewat, dari kejauhan terdengar suara kentongan pertama telah tiba. Pada saat itulah dia merasa perahu yang ditumpanginya sedikit berguncang. Ong Siau-sik tahu perahu mereka telah kedatangan seorang jago tangguh, buru-buru dia melompat bangun dari tidurnya dan duduk. Sesosok bayangan manusia melintas dari depan jendela perahu. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik membuka jendela sambil melompat keluar, dengan sekali gerakan dia mencengkeram tengkuk orang itu sementara tangan yang lain meng¬hantam belakang kepalanya. Orang itu berseru tertahan, baru saja akan meronta, Ong Siau-sik telah mencengkeramnya kuatkuat. Anak muda itu segera merasa tangannya seakan sedang menyentuh sebuah tubuh yang halus, lembut dan empuk, lamat-lamat terendus bau harum tubuh seorang perawan, apalagi ketika lengannya tanpa sengaja menyentuh dada orang itu, ia menjadi kaget setengah mati hingga tanpa sadar melepaskan genggamannya. "Lepas tangan," terdengar orang itu menghardik, "kau memang orang jahat, cepat lepas tangan!" Ong Siau-sik amat terperanjat, lekas dia lepaskan genggamannya. "Kenapa bisa kau?" tegurnya. Gadis itu membalikkan badannya, rambutnya yang semula menempel di wajah pemuda itu segera menyiarkan bau harum semerbak, tampak dengan wajah girang bercampur mendongkol sedang memelototi dirinya. Siapa lagi dia kalau Un Ji, gadis yang dipikirkan selama ini? Ong Siau-sik girang setengah mati, sebaliknya Un Ji kelihatan hampir menangis saking jengkelnya, lagi-lagi dia mengayunkan tangannya menghadiahkan sebuah tempelengan.

Kali ini Ong Siau-sik masih tetap tidak menghindar, untuk kedua kalinya dia harus menerima tempelengan gadis itu. Melihat tampang bloon yang ditunjukkan anak muda itu, tak tahan Un Ji tertawa cekikikan. Senyum gadis itu membuat Ong Siau-sik semakin kesem-sem, dia hanya bisa mengawasi nona itu dengari mata terbelalak dan mulut melongo. Agaknya Un Ji mulai menyadari kalau dia sedang dipandang pemuda itu lekat-lekat, pipinya kontan merah jengah, untung waktu itu cahaya rembulan tidak terlalu cerah sehingga tidak kelihatan warna merah di pipinya. Pada saat itulah mendadak dari kejauhan sana terdengar suara deburan air yang tersentuh benda berat, menyusul kemudian berkumandang suara jeritan ngeri yang memilukan hati. Tindakan pertama yang dilakukan Ong Siau-sik saat itu adalah mencari Pek Jau-hui. Ternyata Pek Jau-hui tidak berada di atas perahu. "Celaka!" pekiknya tanpa terasa. "Ada apa?" tanya Un Ji keheranan. Sementara itu suara pertarungan yang amat seru sudah mulai berkumandang dari atas perahu pesiar yang mewah itu. "Aku tak sempat memberi penjelasan, lebih baik menyeberang dulu ke sana!" seru Ong Siau-sik cepat. Baik dia maupun Un Ji sama-sama tak pandai berenang, terpaksa dari sampan mereka melompat naik ke daratan, lalu dari tanggul sepanjang pantai melompat naik ke atas perahu pesiar itu. Baru saja mendekati sasaran, mendadak terlihat sesosok bayangan orang terlempar keluar dari atas perahu dan tercebur ke dalam sungai, begitu tenggelam, orang itu tak pernah muncul kembali. Ong Siau-sik segera mengajak Un Ji menyelinap ke atas perahu, tapi lagi-lagi sesosok bayangan orang terlempar keluar dan tercebur ke dalam sungai, kali ini orang itu tampak berusaha meronta di dalam air, namun tak selang beberapa saat kemudian dia pun berhenti bergerak. Sewaktu Ong Siau-sik dan Un Ji menerjang masuk ke dalam ruang perahu, kembali sesosok tubuh terlempar keluar, kali ini Ong,Siau-sik menyambutnya dengan tepat. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi perahu, hanya alis matanya sudah berubah menjadi hitam keungu-unguan, darah memancar keluar dari panca indranya, orang itu sudah tewas. Un Ji menyelinap masuk dengan gerakan cepat, kebetulan seseorang sedang menerobos keluar, nyaris mereka saling ber¬benturan. Lekas gadis itu melolos goloknya, tapi orang itu segera menahan gagang goloknya sehingga tak mampu dicabut keluar.

Tangan Un Ji masih menggenggam gagang golok, tapi orang itu segera mencengkeram tangannya sebelum ia sempat melakukan suatu tindakan. Dengan cepat Un Ji dapat merasakan bau pria yang kuat menusuk hidungnya, bau kelakian yang sudah tidak asing lagi baginya. Terdengar orang itu berbisik dengan suara dalam, "Kau jangan melolos golok, kini hawa napsu membunuhku sedang bangkit, aku kuatir tak sanggup menahan diri." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dalam tangannya yang lain terlihat mencengkeram seseorang, dan kini dia mengayunkan tangannya, melemparkan tubuh orang yang dibekuknya itu hingga mencelat sejauh tiga tombak. Di bawah cahaya rembulan, terlihat jelas kalau orang itu adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai kelasi kapal. Tak ampun tubuh orang itu tercebur ke dalam sungai dan segera lenyap terseret arus sungai. Saat itulah Ong Siau-sik tiba di dalam ruang perahu, ketika melihat di sisi U n Ji berdiri seseorang, tanpa banyak bicara dia pun siap melancarkan serangan. Anak muda ini tak habis mengerti, padahal dia tahu kalau musuh yang sedang dihadapinya sangat tangguh, namun rasa ingin membunuhnya tahu-tahu sudah mencekam perasaannya, terutama setiap kali menyaksikan gadis itu terancam. Perasaan aneh ini belum pernah dialami sebelumnya, bahkan sejak terjun ke dalam dunia persilatan. Belum sempat serangan dilontarkan, terdengar orang itu telah berseru, "Ooh, rupanya kau pun sudah datang, bagus sekali." Dengan cepat Ong Siau-sik dapat mengenali suara orang itu, suara rekannya. Pek Jau-hui! Satu ingatan melintas dalam benaknya, selain gembira karena berhasil menjumpai rekannya, dia pun merasakan timbulnya perasaan sedih, dia tak tahu mengapa bisa muncul perasaan itu ............. Saat itulah cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruang perahu, seseorang berjalan keluar sambil menggenggam sebuah lentera. Sebuah lentera dengan penutup kaca yang indah. Tapi yang indah bukan lentera kaca itu, melainkan tangan yang memegang lentera. Jari jemari yang tersorot cahaya lentera, halus dan lembut bagai kuncup bunga anggrek yang belum mekar, dengan tangan sebelah memegang lentera, tangan yang lain melindungi api agar tidak padam, berjalan perlahan menyusuri suasana yang redup. Sebuah tangan dengan jari jemari yang sangat indah, sedemikian indah hingga susah untuk dilupakan.

Ong Siau-sik dapat melihat dengan jelas, dia adalah seorang gadis yang amat cantik, seorang gadis dengan rambut sebahu yang terurai, seorang gadis dengan sepasang mata yang jeli dan bening bagaikan air di musim gugur. Pakaian bagian bahunya dalam keadaan terbuka, namun tertutup oleh mantel sutera milik Pek Jau-hui, menutupi baju tipisnya yang berwarna hijau muda. Namun yang membuat orang terbuai adalah sepasang matanya yang jeli bagai cahaya intan, bening bagaikan air jernih, seakan sebuah telaga yang dalam tertutup awan impian yang sedang mengalir. Ong Siau-sik hanya memandangnya sekejap, namun ia merasa dirinya seakan sedang bermimpi, bertemu dengan orang dalam impian. Namun ketika terbangun dari mimpi, ia baru sadar bahwa dirinya bukan sedang bermimpi, di hadapannya benar-benar terdapat seorang gadis yang begitu cantik dan menawan. Un Ji ikut terbelalak begitu bertemu dengan gadis ini, dia pun dapat merasakan betapa cantik dan lembutnya gadis itu, selembut namanya. Dulu, ketika masih kecil, dia pernah bermimpi menjadi gadis yang halus dan lembut, setelah menanjak dewasa, menjadi gadis lemah gemulai yang dicinta dan disayang banyak orang. Tapi kenyataan, setelah tumbuh dewasa, dia lebih suka berkelana, lebih suka bergaya seorang pendekar gagah, dia merasa dirinya saat ini jauh berbeda dengan yang dicita-citakan dulu. Untuk sesaat dia terbayang kembali pada lamunannya di saat kecil dulu, hanya sejenak, kemudian pikirnya lebih jauh, "Aku adalah aku, dia adalah dia, kenapa aku mesti menyesali keputusan yang telah kuambil?" Un Ji menganggap setelah berjumpa dengan gadis ini, dia merasa dirinya ibarat siang hari, sementara gadis itu ibarat malam hari.... Hampir pada saat bersamaan Un Ji dan Ong Siau-sik berseru, "Kau adalah .......... Kemudian mereka pun mengalihkan pandangannya ke arah Pek Jau-hui. Buru-buru Pek Jau-hui mengangkat bahu seraya menggeleng, "Aku sendiri pun tidak tahu." Kemudian sambil menuding seorang kelasi bergolok yang sudah tertotok jalan darahnya, ia menambahkan, "Coba tanyakan saja kepada orang ini, siapa tahu dia bisa bercerita banyak." Tampaknya saat itu Pek Jau-hui sudah mengendalikan seluruh keadaan. Semula dia berada dalam perahu bersama Ong Siau-sik, tapi begitu mendengar ada gerakan di perahu besar itu, dia pun seketika melakukan tindakan. Tatkala tiba di atas perahu itu, tidak dijumpai sesuatu apa pun di situ. Mula-mula Pek Jau-hui agak tercengang, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan terkesiap pekiknya di dalam hati, "Aduh, celaka!" Tidak ada gerakan dalam perahu itu bukan berarti tidak terjadi sesuatu di situ, kawanan manusia yang sedang melaksanakan rencana busuk itu sudah menyusup ke dalam perahu sejak tadi,

bahkan mereka terhitung jago kawakan yang berpengalaman, andai kata benar-benar berniat melakukan perbuatan jahat, niscaya mereka akan berusaha tidak menimbulkan sedikit suara pun. Sadar akan situasi yang gawat, tak sempat memanggil Ong Siau-sik lagi, Pek Jau-hui segera melompat naik ke daratan lalu menyusup naik ke dalam perahu besar itu. Baru saja menginjakkan kakinya di dalam ruang perahu, hidungnya segera mengendus bau anyir darah yang amat tebal, perasaannya kontan tercekat. Betul juga, ia saksikan ada beberapa orang pelayan yang terkapar bersimbah darah, ternyata sebagian di antara mereka dibantai orang di saat masih dalam alam mimpi. Diam-diam Pek Jau-hui menyesal karena kehadirannya sedikit terlambat, saat itulah dia mendengar dari balik ruangan ada seorang gadis dengan suara yang merdu sedang berkata, "Bukankah orang yang menjadi sasaran kalian adalah aku? Kenapa mesti membantai mereka yang tak tahu urusan? Apakah kalian tidak malu kalau perbuatan itu akan mencemari nama besar kalian?" Terdengar seseorang dengan suara parau menjawab sambil tertawa, "Kami bukan orang gagah, juga tak ingin berlagak macam orang gagah, meski Jit-he sudah menurunkan perintah agar kami menghabisi nyawamu, tapi asal kau bersedia menuruti kemauan Toaya, hehehe .......... bukan saja akan kau peroleh kesenangan, bahkan bisa kubuat kau lolos dari kematian." Terdengar gadis itu mendengus dingin, kemudian terdengar berpuluh kata ungkapan jorok dan kotor dilontarkan ke arah gadis itu, di balik kata-kata cabul terselip jeritan gugup dan panik dari kawanan gadis. Pek Jau-hui mengintip dari balik jendela, ia lihat ada enam tujuh orang lelaki kekar sedang mengerubuti tiga empat orang gadis muda, dengan wajah menyeringai cabul mereka sedang mempermainkan gadis-gadis itu. Seorang di antara gadis muda itu terlihat mengenakan jubah lebar terbuat dari sutera tipis, sedemikian tipisnya hingga kelihatan pakaian dalamnya yang berwarna merah, payudaranya setengah menonjol keluar, kulitnya nampak putih mulus, penampilan si nona setengah bugil itu membuat kawanan lelaki itu bertambah beringas, sorot mata mereka seakan tak pernah lepas dari tubuh nona itu, mengawasinya terus tanpa berkedip. Terdengar seorang lelaki di antaranya berkata sambil tertawa tergelak, "Sudah sejak awal kami menguntit dan mengawasi terus gerak-gerik manusia she Tio dari perkumpulan Lak-hun-poantong, kami pun dapat melihat kalau orang she Tio itu menguntit terus di belakangmu, entah rencana busuk apa yang sedang dia persiapkan, sungguh tak nyana, kejadian apa yang dia alami, mendadak dia kabur terbirit-birit dari sini. Hahaha ........... jadinya, kamilah yang diuntungkan, coba kalau dia tidak kabur, belum tentu malam ini kami mendapat giliran." "Sekarang urusan menjadi gampang, karena kau bakal terjatuh ke tangan kami, tak perlu membangkang, puaskan kami semua dan kau pun tak perlu mampus. Hmm, kalau masih mengharap bantuan dari orang lain, hehehe .......... lebih baik padamkan saja harapan itu, beberapa orang gentong nasi yang kau bawa sudah terkena obat pembius kami, sekarang mereka sudah tertidur macam babi, tak perlu bersusah-payah kami bisa mengirim mereka pulang ke langit barat." Gadis itu segera tertawa dingin, ujarnya, "Hmmm, sungguh tak nyana Mi-thian-jit yang nama besarnya sudah tersohor di seantero jagad, ternyata memiliki anak buah dungu dan pandainya hanya melakukan tindakan tak terpuji."

"Wah, coba kalian lihat," seru seorang lelaki dengan suara aneh, "tajam benar mulut bocah perempuan ini, berani amat dia mengejek dan mencemooh kita." Seorang yang lain berseru pula dengan suaranya yang aneh, "Kami pun tahu kalau di atas perahu ini kau membawa beberapa orang jagoan yang memiliki kungfu hebat, kami pun tahu mereka punya sedikit nama di dunia persilatan, tapi sayangnya yang kami adu bukan otot, tapi akal, kini kalian sudah menaiki kapal penyamun, maka jangan salahkan bila kami kaum penyamun menikmati hasil jarahannya." "Ci-lotoa," seorang penyamun yang lain menyela, "semakin kupandang gadis ini, sekujur badanku terasa makin gatal, napsuku makin membara, bagaimana kalau'kau serahkan dulu kepadaku, tak akan kulupakan budi kebaikanmu itu." "Aaah, kau ini menduduki urutan keberapa?" jengek rekannya yang lain, "sampai tujuh keturunan pun belum tiba giliranmu untuk menikmati duluan. Ci-lotoa yang akan menjadi pembuka untuk menikmati cewek itu, sedang yang lain tunggu giliran sesuai dengan tingkatan." "Mana boleh jadi," protes lelaki itu lagi, "coba kau lihat nona itu, dia begitu lembut dan lemah, belum tiba giliranku mungkin dia sudah telanjur mampus duluan. Tadi ketika melancarkan sergapan, aku yang bekerja duluan, apa salahnya kalau sekarang aku pun mencicipinya paling dulu?" Gelak tawa mengejek segera bergema gegap gempita. Kembali seseorang menjengek, "Siapa suruh kau tidak jadi pemimpin kami?" "Betul, siapa suruh posisimu paling buncit," sambung yang lain, "kalau masih dapat giliran, anggap saja kau sangat beruntung karena menemukan mestika di tengah jalan, kalau tak dapat giliran, anggap saja bukan keberuntunganmu!" "Tidak, tidak," seseorang yang lain berseru pula, "aku lihat cewek ini makin dipandang semakin menawan, aku lebih suka tidak menerima emas dan intan permata ketimbang tak bisa menikmati kehangatan tubuh cewek ini." "Begini saja," seorang lelaki mengusulkan, "daripada saling berebut, mendingan kita undi, siapa yang mendapat nomor keberuntungan dialah yang boleh menikmati perempuan itu lebih dulu. Tergantung rezeki masing-masing, ini merupakan cara penyelesaian yang paling adil." "Aku setuju. Seandainya tidak mendapat cewek itupun masih ada beberapa orang dayang, mendingan dapat yang lain ketimbang tidur sendirian." "Bagus, bagus sekali "Aku tidak setuju," sela orang yang disebut Ci-lotoa itu cepat, "sekalipun tidak menuruti urutan posisi, paling tidak harus diatur menurut urutan tua muda, aku rasa siapa yang usianya paling tua, dia boleh mengambil undian terlebih dulu." "Sudah, kita tak perlu ribut, mendingan kita minta nona ini yang memilih sendiri, siapa yang terpilih maka dialah yang berhak menemaninya tidur, bagaimana? Setuju bukan?" "Setuju, setuju ..........." Maka ada enam orang lelaki kekar yang maju mengerubuti gadis itu, sambil mendekat mereka berteriak keras, "Nona, coba lihat aku tampan tidak?"

"Aku yang paling hebat, pilih aku saja nona manis!" "Jangan pilih dia, orang itu tak punya hati nurani, pilih aku saja Biarpun dikerubut banyak lelaki, gadis itu tidak nampak ketakutan, dengan matanya yang jeli dia mengawasi sekejap wajah kawanan penyamun itu, kemudian ujarnya halus, "Selama ini aku paling mengagumi orang gagah, tunjukkan dulu kemampuan kalian, siapa yang berilmu paling tangguh, dialah seorang Enghiong." Pek Jau-hui yang bersembunyi di luar ruangan diam-diam bersorak memuji, dia tidak menyangka kalau gadis cantik itu masih bisa bersikap tenang, kendati sudah terjerumus dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. "Baiklah, mau bertanding juga boleh," teriak Lo-sim cepat, "memangnya aku takut mengadu kepandaian Tiba-tiba Ci-lotoa menghampiri lelaki itu dan menempelengnya sambil mengumpat, "Kalian semua memang goblok, gentong nasi, masa kamu semua tidak sadar kalau perempuan berhati keji ini sedang mengadu domba kita semua?" "Kenapa?" kembali gadis itu mengejek, "mengadu domba? Aku hanya seorang wanita lemah, sementara pengiringku kalau bukan sudah mati, sebagian sudah tak mampu bergerak, memangnya kalian masih takut terhadapku? Karena kulihat semua gagah dan hebat, maka aku menaruh hormat dan kagum atas keberanian kalian, ingin kulihat sejauh mana kehebatan kungfu kalian, sejak kapan aku menyuruh kalian saling membunuh? Tapi ... ya, sudahlah, kalau memang takut, tentu saja kalian tak perlu bertanding, biarkan saja yang menjadi Lotoa mendapat keuntungan terlebih dulu." Lelaki yang melontarkan usul tadi segera berseru, "Betul, siapa pun tak boleh memperoleh keuntungan hanya karena kedudukan! Maknya sialan, siapa yang tak berani bertanding, lebih baik menyingkir jauh-jauh, kita mesti tentukan menang kalah dengan mengandalkan tinju masingmasing, jangan tunjukkan kelemahan kita di hadapan seorang perempuan!" Rekan-rekannya segera mendukung usul itu, maka suasana pun jadi gaduh, tampaknya pertarungan segera akan dim lai. Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu kembali berpikir, "Baguslah kalau begitu, akan kusaksikan dulu dengan cara apa perempuan lemah ini membereskan kawanan penyamun yang berotot namun tak berotak itu Baru berpikir sampai di situ, mendadak dari sisi tubuhnya terdengar seorang menghardik, "Siapa kau?" Diam-diam Pek Jau-hui mengeluh, karena kelewat kesem-sem menyaksikan peristiwa yang terjadi dalam ruang perahu, dia sampai lupa posisi sendiri yang sedang mengintip, baginya kejadian semacam ini boleh dibilang baru terjadi untuk pertama kalinya. Begitu orang itu menghardik dan belum sempat melakukan sesuatu tindakan, Pek Jau-hui sudah menerjang ke hadapannya, sekali sambar ia cengkeram tulang tenggorokan orang itu. "Kraaak!", sekali remas ia gencet tulang tenggorokan orang itu hingga hancur. Dari dalam ruangan perahu bermunculan lima sosok bayangan, mereka saksikan ada sesosok bayangan manusia terlempar ke udara dan tercebur ke tengah sungai.

Menghadapi datangnya kelima orang itu, Pek Jau-hui sama sekali tidak bersuara, apalagi bicara, dengan gerak cepat ia menghampiri seorang di antaranya dan langsung menyodok keningnya dengan satu tonjokan maut. Jeritan ngeri yang menyayat hati seketika bergema memecah keheningan, suara jeritan inilah yang didengar Ong Siau-sik dan Un Ji dari atas perahunya. Menanti mereka berdua tiba di atas perahu besar, dari ketujuh orang penyamun itu, ada lima orang di antaranya yang sudah tewas di tangan Pek Jau-hui dan mayatnya dilempar ke dalam sungai, bahkan salah seorang di antaranya masih dicengkeram pemuda itu. Sisanya yang seorang sebetulnya bertugas menjaga gadis itu dalam ruang perahu, ketika terjadi pertarungan sengit di atas geladak, orang itu segera menjulurkan kepalanya keluar jendela, niatnya ingin melihat keadaan di luar. Begitu menyaksikan lelaki itu sedang menjulurkan kepala keluar jendela, si nona cantik segera menyambar sebatang bambu kemudian dihantamkan ke atas kepala lelaki itu. Tatkala sang penyamun menarik kembali kepalanya dengan gelagapan, mendadak gadis cantik itu melolos sebilah golok tajam dari balik sakunya dan langsung dihujamkan ke hulu hati penyamun itu. Begitu berhasil menyarangkan goloknya, dengan wajah pucat-pias gadis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Penyamun itu menjerit kesakitan, belum sempat mengucapkan sesuatu, nyawanya sudah telanjur melayang meninggal¬kan raganya, sungguh mengenaskan nasib orang ini, dia harus mengakhiri nyawanya di tangan seorang gadis yang sama sekali tak mengerti ilmu silat. Waktu itulah Pek Jau-hui sambil mencengkeram Ci-lotoa memburu masuk ke dalam, sementara Ong Siau-sik dan Un Ji juga telah melompat naik ke atas perahu. ooOOoo 9. Angi n, r embula n, ba yanga n man usia Kini suasana di atas perahu pesiar itu sudah pulih dalam ketenangan. Dari lima orang dayang yang ikut dalam perjalanan ini, empat di antaranya berhasil lolos dari maut, namun mereka sudah telanjur dibuat ketakutan setengah mati. Dari delapan orang pengawal yang ikut di atas perahu itu, enam orang di antaranya tewas karena terkena obat pembius dalam kadar yang banyak, sisanya dua orang harus diguyur air dingin berulang kali sebelum akhirnya tersadar kembali. Di antara mereka, hanya gadis cantik bak bidadari itu yang tetap bersikap tenang, ia perintahkan para pembantunya untuk menolong rekannya, memasang lentera dan membersihkan ru¬angan, kemudian setelah berterima kasih kepada Pek Jau-hui, ia masuk ke ruang dalam untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, ia sudah mengenakan sebuah gaun berwarna kuning jeruk, ia mempersilakan Pek Jau-hui bertiga mengambil tempat duduk, kemudian memerintahkan orang untuk menyiapkan meja perjamuan.

Baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik, diam-diam amat mengagumi sikap tenang gadis itu, mereka tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan, tidak semua orang bisa bersikap begitu tenang dalam menghadapi kejadian seperti ini, terkecuali ia berasal dari satu keluarga kenamaan. Setelah menanyakan nama ketiga orang penolongnya, gadis itu baru berkata, "Malam ini seandainya tidak ada kalian bertiga, entah bagaimana nasibku sekarang, budi kebaikan ini tak akan kulupakan untuk selamanya." Walaupun perkataan itu ditujukan pada ketiga orang, namun sewaktu berbicara dia melirik terus ke arah Pek Jau-hui, membuat pemuda itu merasakan jantungnya berdebar. Sambil tertawa Ong Siau-sik menjawab, "Sebetulnya budi ini bukan milik kami, aku dan Un-lihiap hanya secara kebetulan tiba di sini, coba kalau tak ada saudara Pek, mungkin "Ketujuh orang itu memang kelompok penyamun berhati keji," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela, "mereka sudah terbiasa merampok, memperkosa dan membunuh, selama ini berlindung di bawah panji Mi-thian-jit dan menyebut diri sebagai Jit-sat, tujuh malaikat bengis. Tampaknya sebelum turun tangan terha¬dap perahu ini, mereka telah menyusun rencana yang matang, boleh aku tahu apa sebabnya mereka mengincar kalian?" Gadis cantik itu tersenyum. "Biarpun mereka menyebut diri sebagai tujuh malaikat bengis, kenyataannya di tangan Inkong (tuan penolong) mereka tak lebih hanya sebangsa tikus." Pek Jau-hui ikut tertawa. "Sewaktu bersembunyi di luar jendela tadi, aku sempat mencuri dengar pembicaraan mereka," katanya, "aku rasa keha¬diran mereka ada hubungannya dengan kelompok Mi-thian-jit serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Setahuku kelompok Mi-thian-jit (pembius tujuh langit) adalah organisasi misterius yang didirikan di kota Kay-hong, kantor cabang dan pengaruh mereka sudah menyebar ke antero propinsi, memiliki kekuatan yang tak boleh dianggap enteng, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah perkumpulan nomor satu di kolong langit. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mungkin dua organisasi besar itu bisa berhubungan dengan tujuh ma-laikat bengis?" "Aku tidak seberapa tahu tentang masalah dunia persi¬latan, kenapa tidak kau tanyakan sendiri kepada Ci Thian-jiu?" kata nona itu sambil tertawa. "Siapa itu Ci Thian-jiu?" tanya Ong Siau-sik. "Ci Thian-jiu adalah pemimpin kawanan penyamun ini," Pek Jau-hui menerangkan, "walaupun aku tahu mereka disebut tujuh malaikat bengis, namun nama mereka tak ada yang kukenal." "Aku juga tidak tahu," sambung Ong Siau-sik dengan mata berbinar. Un Ji tidak paham apa maksud pembicaraan kedua orang lelaki itu, segera serunya, "Aku pernah mendengar tentang hal ini." "Oya?" "Betul, Ci Thian-jiu adalah salah satu di antara tujuh malaikat bengis." "Selain itu?"

"Dia ... dia seorang lelaki," agak gugup Un Ji menerangkan. "Terus?" "Dia adalah seorang telur busuk yang sudah banyak melakukan kejahatan." "Kejahatan apa saja yang telah dia lakukan?" Gadis cantik itu tersenyum, setelah mengerling pada Pek Jau-hui sekejap, ia memandang ke arah Un Ji dan katanya, "Se¬orang gadis suci dari perguruan lurus, mana bisa mengingat semua perbuatan bejat yang pernah dilakukan manusia macam Ci Thian-jiu? Hanya kaum jalanan yang memperhatikan perbuatan busuknya. Un-lihiap, ketidak-tahuanmu dalam hal ini malah menunjukkan bahwa kau memang selalu berjalan lurus." "Nah, itulah dia," tanpa pikir panjang Un Ji berseru, kemudian katanya lagi pada gadis cantik itu sambil tertawa, "Ciri, pengetahuanmu sungguh luas, boleh tahu siapa namamu?" "Aku bermarga Thian, bernama Tun." "Oooh, rupanya cici Thian Tun!" Memandang rambutnya yang hitam berkilauan di bawah cahaya lentera, kembali Un Ji berseru, "Cici, rambutmu sangat indah!" "Senyuman adik pun segar bagai sekuntum bunga." "Menurut kau, bunga apa yang paling cocok untukku?" suara tawa Un Ji semakin melengking. "Aku rasa mirip sekali dengan bunga anggrek." "Apakah kau menganggap suara ter kelewat keras?" kem¬bali Un Ji cekikikan. "Ah, tidak," Thian Tun menggeleng, "aku rasa semua bunga indah sewaktu mekar, bentuknya pasti mirip dirimu." Un Ji makin kegirangan, kembali serunya, "Betul, betul sekali, dulu di halaman rumahku juga tumbuh banyak jenis bunga, ada "He, bunga anggrek bulan, sudah selesai belum kau ribut?" mendadak Pek Jau-hui menyela. Dengan perasaan mendongkol Un Ji mengerling sekejap ke arah pemuda itu, ia merasa kegembiraannya sangat terganggu dengan teguran itu. Tapi Pek Jau-hui sama sekali tidak menggubrisnya, kepada Thian Tun katanya, "Nona Thian, apa boleh kupinjam sebentar tempatmu ini untuk menginterogasi orang itu, jika kau merasa tak tega, biar aku gelandang dia ke perahuku." "Tidak apa apa." Pek Jau-hui pun membanting tubuh Ci Thian-jiu ke atas tanah, belum sempat ia berbicara, Un Ji dengan mata melotot sudah berseru duluan, "Jadi dia adalah ketua dari tujuh malaikat bengis, Ci Thian-jiu?" "Hmmrn, dia memang Ci Thian-jiu yang sudah banyak melakukan kejahatan, tapi sayang, saat ini sudah menjadi Ci Thian-jiu yang mampus," sahut Pek Jau-hui dengan wajah membesi, setelah

termenung sejenak, lanjutnya, "Sejahat dan sebuas apa pun, jika sudah mampus maka tak nanti ia mampu mencelakai orang lain lagi." "Jadi kau tidak akan membunuhnya?" tanya Ong Siau-sik. "Tidak." "Kau totok jalan darahnya?" "Itulah sebabnya dia tak mampu membunuh diri." Ong Siau-sik berjongkok sambil memeriksa kelopak mata si orang mati, kemudian memeriksa juga mulutnya, setelah diamati sesaat, ujarnya, "Dia mati karena keracunan." "Mungkin sudah ia selipkan obat racun di antara sela-sela giginya," sambung Pek Jau-hui. "Bisa jadi Ci Thian-jiu tak ingin rahasianya terbongkar," kata Thian Tun pula, "maka begitu tertangkap oleh Pek-tayhiap, ia terpaksa menelan racun untuk menghabisi nyawa sendiri." "Ya, rasanya jalan ini memang merupakan jalan terakhir baginya" sahut Pek Jau-hui sambil mengangkat bahu. Dengan tewasnya Ci Thian-jiu, berarti sumber berita pun terputus di tengah jalan, dalam keadaan begini Pek Jau-hui hanya bisa termenung sambil membayangkan kembali semua kejadian itu. Tio Thiat-leng pernah bilang, masih ada satu pekerjaan besar lainnya yang mesti diselesaikan, mungkinkah pekerjaan besar yang dimaksud adalah peristiwa ini? Apa hubungannya dengan Thian Tun, si gadis cantik ini? Tio Thiat-leng sudah kabur dengan membawa luka, kenapa Mi-thian-jit kembali mengirim anak buahnya untuk mencegat Thian Tun? Apa yang dia mau dan apa tujuannya? Dari pembicaraan yang kemudian berlangsung, diketahui bahwa Thian Tun sesungguhnya adalah putri seorang pejabat tinggi di kotaraja, waktu itu mereka dalam perjalanan pulang setelah pergi menengok famili. Baik Ong Siau-sik maupun Un Ji tahu, saat itu sedang ber¬angsung perebutan pengaruh antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, untuk mem¬perluas pengaruh dan daerah kekuasaan, kedua belah pihak sama-sama tak segan bersekongkol dengan para pejabat tinggi. Tampaknya peristiwa yang menimpa Thian Tun kali ini, kejadian itu tak terlepas dari perebutan pengaruh yang sedang berlangsung, malah kekuatan nomor tiga, perkumpulan Mi-thian-jit pun ada minat turut serta dalam pertikaian ini. Jelas kota Kay-hong akan semakin bertambah semarak! Mereka berempat berbincang-bincang hingga kentongan kedua, karena merasa cocok satu dengan lainnya, kebetulan Thian Tun yang sudah kehilangan banyak pengikut pun hendak balik ke kotaraja, maka mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Tampaknya Thian Tun amat menyukai Un Ji, segera katanya sambil tertawa, "Bagus sekali, dengan dilindungi adikku, Cici tak usah kuatir keselamatan lagi sepanjang perjalanan."

Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, lalu katanya lagi, "Aku hanya merasa kurang enak karena harus merepotkan kalian berdua." "Tak usah sungkan," tukas Ong Siau-sik tersenyum, "kami malah merasa gembira karena punya teman dalam perjalanan." Sampai di sini dia pun berpaling ke arah Pek Jau-hui, ternyata rekannya sudah berdiri di ujung geladak sambil memandang rembulan. Rembulan bersinar terang menyinari permukaan sungai. Riak ombak saling keja- bagaikan gulungan perak. Ketika menjelang fajar, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berpamitan untuk kembali ke perahu sendiri dan beristirahat, se¬mentara Un Ji tetap tinggal di perahu itu dan terpulas dengan nyenyak. Di tengah keheningan yang mulai mencekam seluruh jagat itulah Thian Tun dengan gerak-gerik yang amat lambat dan berhati-hati turun dari pembaringan, berjalan menuju ke depan cermin dan memperhatikan sekejap raut wajah sendiri yang cantik bak siluman rase. Tiada senyuman yang menghiasi raut muka cantiknya, ia nampak serius bahkan sedikit tegang, dengan sangat hati-hati ia lepaskan sebuah jepitan rambut berwarna hitam dari gulungan rambut Ci Thian-jiu. Kemudian dengan jari tangannya yang lentik pelan-pelan dia lepaskan penjepit rambut itu. Satu sisi dari penjepit rambut itu terbuat dari baja, ujungnya kelihatan runcing dan tajam. Ketika tertimpa cahaya lentera, ujung jarum itu membias¬kan cahaya biru yang menyilaukan mata, cahaya semu biru dikelilingi tujuh warna lain yang agak samar. Dari balik sanggulnya, kembali ia melepaskan sebuah tusuk konde, ujung tusuk konde dibukanya dengan hati-hati, lalu jarum berwarna biru yang barusan dijepit keluar dari balik kepala Ci Thianjiu itu dimasukkan ke balik tusuk konde itu. Sesudah tusuk konde itu diselipkan kembali di balik sanggulnya, ia baru mengulum senyum di ujung bibirnya. Dia yakin perbuatannya itu, kecuali seluruh rambut di kepala Ci Thian-jiu dicukur hingga gundul, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan seksama, kalau tidak, tak mungkin orang bisa menemukan lubang lembut di kepala itu. Selesai dengan pekerjaannya, pelan-pelan ia berjalan keluar dari ruang perahu. Fajar belum lagi menyingsing, suasana di sekeliling sungai itu amat hening dan sepi, hanya cahaya rembulan yang menyaksikan seluruh perbuatannya. Seluruh perbuatannya, seluruh tingkah lakunya. Termasuk juga pakaiannya, wajahnya, hatinya. ooOOoo

Mereka berada di satu perahu, melakukan perjalanan bersama-sama, makan, minum, tertawa dan bergurau bersama, berkumpul jadi satu membicarakan persoalan dunia persilatan, berkumpul membahas situasi dunia persilatan. Sikap Pek Jau-hui sudah tidak seangkuh dulu, seperti apa yang pernah dia katakan, "Bila seseorang kelewat banyak tertawa, dia sudah tak mampu angkuh dan jumawa", mungkin saja hal ini disebabkan selama beberapa hari terakhir dia kelewat banyak tertawa. Thian Tun pun bersikap sangat lembut dan halus, terkadang ia bersikap seperti pendekar wanita, ia pandai minum, Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik tak ada yang mampu mengungguli dirinya, dia pun pandai bermain dadu, begitu asyik bermain, kemahirannya setara dengan tauke pemilik sarang judi. Tapi sebagian waktu dia hanya duduk di samping, mengawasi semua orang dengan sepasang matanya yang bening, atau tersenyum dengan tertawanya yang manis. Ada kalanya dia pun menertawakan Un Ji, kepolosan dan kenakalan gadis itu membuatnya merasa geli bercampur senang. Bagaimana dengan Ong Siau-sik? Dia hanya mengikuti semua itu dengan mulut bungkam. Dia memang bergabung dengan perasaan tulus, berhubungan dengan perasaan penuh persahabatan, tapi dia pun merasa bahwa perjalanan yang mereka tempuh bersama-sama ini telah meninggalkan kenangan yang mendalam. Malam itu, di tengah pancaran sinar rembulan yang terang dan alunan ombak yang tenang, sambil tertawa Un Ji bertanya, "Setibanya di ibukota, kalian mau apa?" Tak ada yang menjawab. "Kau duluan!" ucap Un Ji kemudian sambil menunjuk ke arah Ong Siau-sik. "Aku akan mengadu nasib," sahut pemuda itu sambil tersenyum. "Kalau aku ingin berjuang agar bisa membangun satu usaha," sambung Pek Jau-hui sambil mendongakkan kepala memandang rembulan. "Apakah sebagai seorang lelaki, dia harus memiliki nama dan jabatan?" tanya Thian Tun tiba-tiba, nadanya agak sendu. "Sebagai seorang lelaki, bila tak mampu berjasa, tak mampu membangun usaha dan tak mampu punya nama, apakah artinya hidup di dunia ini?" sahut Pek Jau-hui. Perlahan Thian Tun mendongakkan kepala sambil memandang kejauhan, katanya lagi, "Bukankah lebih enak hidup gembira, hidup aman sentosa?" "Itu sih pemikiran orang yang tak punya ambisi, aku bukan jenis manusia begini. Ketenangan merupakan penderitaan, hidup sebagai nelayan, petani, tukang kayu, sastrawan merupakan pekerjaan yang membosankan!" "Aku pun hanya ingin mencoba," kata Ong Siau-sik pula, "belum tentu perjalananku kali ini akan menghasilkan nama atau kedudukan, aku tak peduli, tapi aku tak boleh tidak harus mencoba, melepaskan kesempatan merupakan orang bodoh, perbuatan yang akan disesrli di kemudian hari. Dan bagaimana dengan kau? Mau apa kau datang ke kotaraja?"

"Aku?" Thian Tun tersenyum lirih, "aku bukan pergi ke kotaraja, aku dalam perjalanan pulang ke rumahku." Kemudian setelah mengerdipkan matanya yang jeli, dia menambahkan, "Pulang ke rumah merupakan keinginanku yang paling utama, bagaimana dengan kau, adikku?" Un Ji berpikir sejenak, mendadak ia jengah sendiri, pipinya berubah jadi merah dadu. "Kenapa? Mencari jodoh?" goda Thian Tun sambil tertawa. "Ah, kau, justru kau yang ingin kawin sampai-sampai rada sinting." "Masa selama hidup kau tak akan kawin?" "Aku ingin menjumpai Suhengku terlebih dulu." Terbayang Un Ji memiliki seorang Suheng yang amat tersohor di antero jagad, So Bong-seng, Ong Siau-sik seketika merasa tengkuknya agak gatal, begitu juga dengan Pek Jau-hui. Maka ujarnya kemudian, "Nona Thian, hari ini pemandangan alam sangat indah, suasana pun nyaman, bagaimana kalau kau memainkan sebuah lagu dengan alat khim?" "Darimana kau tahu kalau aku bisa memetik khim?" tanya Thian Tun seraya berpaling. "Dengan jari jemarimu yang begitu indah, aneh jika tak pandai memainkan khim" "Siapa yang bilang? Kesepuluh jari tanganku ini justru paling pandai membunuh orang!" seraya berkata pelan-pelan ia bangkit berdiri dan mengambil sebuah khim yang kelihatan agak hangus karena bekas terbakar dari atas sebuah rak. "Khim yang bagus!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa. Thian Tun tersenyum manis, jari jemarinya segera menari di atas senar dan melantunkan sebuah lagu yang merdu merayu. "Ilmu jari yang hebat!'' puji Pek Jau-hui cepat. Ong Siau-sik ikut bangkit kegembiraannya, segera ia mencabut keluar serulingnya dan mengimbangi permainan khim itu, melantunkan irama lagu yang indah. Pek Jau-hui pun tak kuasa menahan diri, ia bangkit berdiri dan mulai menari. Begitulah, di tengah sungai, di bawah cahaya rembulan, di tengah hembusan angin, di dalam perahu, seruling, khim dan tarian menghiasi sekeliling tempat itu. "Sayang, aku tak pandai menari maupun memainkan alat musik," keluh Un Ji penuh rasa sesal, "apa pun aku tak mampu, Cici, kau memang hebat!" "Kau toh bisa menyanyi," hibur Thian Tun. "Suaraku jelek, aku tak bisa menyanyi," sahut Un Ji dengan wajah memerah, "tatkala masih di rumah dulu, aku pernah menyanyi, baru kulantunkan dua bait, ayam dan burung tetangga pada jatuh sakit selama dua hari. Untung aku tidak ikut menyanyi saat ini, kalau tidak, mungkin pemain khim, pemain seruling dan penarinya sudah menceburkan diri ke dalam sungai lantaran pada mabuk."

Ucapan itu kontan disambut gelak tertawa semua orang. Angin, rembulan, irama lagu dan tarian yang berlangsung malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan, meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang. Keesokan harinya, ketika Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik balik lagi ke perahu besar itu, mereka jumpai Thian Tun beserta para dayang dan barang bawaannya telah lenyap, yang tersisa hanyalah Un Ji yang masih terlelap tidur. Thian Tun telah pergi entah kemana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat, sepucuk surat dengan bekas noda air mata. ooOOoo 10 . Manus ia dan ikan Bila empat orang yang sudah biasa berkumpul, lalu pada suatu hari tiba-tiba rombongan itu kehilangan satu orang, bagaimanakah perasaannya waktu itu? Jangan kan manusia, sebuah cincin pun terkadang bisa mendatangkan perasaan yang tak enak, mungkin di saat pertama kali mengenakannya, kau akan merasa tak leluasa, tapi bila sudah terbiasa mengenakannya, bila suatu ketika harus dilepas kembali, pasti akan merasa sangat kehilangan. Terlebih kalau dia bukan sebuah cincin. Terlebih jika dia adalah seorang gadis cantik. Seorang gadis yang masih polos, lembut, halus, terkadang pipinya bisa berubah merah jengah, terkadang nampak sedikit gelisah. Hari itu dia telah pergi, pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun. Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan ketiga orang yang ditinggalkannya? Tak tahan Un Ji mulai mengomel, "Thian Tun itu Cici macam apa? Kenapa pergi tanpa pamit? Kenapa ia berbuat begitu? Kenapa ia bersikap begitu?" Ong Siau-sik sendiri pun ikut merasa sedih, ujarnya, "Mungkin dia pergi karena ada urusan penting, mungkin ia mempunyai kesulitan yang tak ingin diketahui orang, padahal kita sudah satu rombongan, sekalipun ada urusan penting, kan bisa kita kerjakan bersama, kalau ada kesulitan, kita bisa pecahkan bersama, hanya saja..." Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, tambahnya, "Terkadang untuk menyelesaikan satu masalah, pergi beramai malah tidak leluasa, kalau toh ada kesulitan, mana mungkin bisa dibicarakan secara terbuka?" Ia tahu Pek Jau-hui selama ini hanya diam saja, bahkan dengan wajah gelap sedang duduk di tepi sungai sambil memancing. Ong Siau-sik pun meminjam alat pancing pada seorang tukang perahu, kemudian duduk di samping Pek Jau-hui. Tinggal Un Ji seorang yang tak tertarik untuk berbuat begitu, menggunakan kesempatan itu dia naik ke darat dan pergi ke kota terdekat untuk melihat keramaian. Sampai lama sekali, pancingan Pek Jau-hui belum juga disentuh ikan, begitu pula dengan pancingan Ong Siau-sik. Pek Jau-hui tetap membungkam.

Ong Siau-sik ikut membungkam, dia memang sedang menemaninya memancing. Banyak orang mulai berlalu lalang di sepanjang pantai, suasana tambah lama tambah ramai, tapi kedua orang pemuda itu tetap duduk tenang di tepi pantai, duduk sambil memegangi alat pancing. Menjelang tengah hari, Un Ji balik dengan penuh kegembiraannya, sambil membawa barang bawaannya ia naik ke perahu, ia mulai ribut untuk meneruskan kembali perjalanannya. "Apakah tidak ditunggu sebentar lagi?" tanya Ong Siau-sik. "Tidak usah ditunggu," sahut Pek Jau-hui tanpa berpaling. Mereka bertiga bersantap di dalam perahu, hidangan yang disajikan adalah ikan leihi masak cuka. "Ikan ini hasil pancingan siapa?" tanya Un Ji sambil membersihkan mulutnya. Kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dengan sumpitnya dia menambahkan, "Kau?" Ong Siausik menggeleng. "Kalau begitu tentu kau!" seru si nona sambil menuding ke arah Pek Jau-hui, tapi yang ditunjuk sama sekali tidak menggubris. Tiba-tiba Un Ji meletakkan kembali sumpitnya seraya berseru, "Kalau bukan hasil pancingan kalian berdua, sudah pasti ikan itu meloncat sendiri ke atas daratan dan mengubah diri jadi sepiring hidangan!" Melihat gadis itu sewot, Ong Siau-sik mengerling sekejap ke arah Pek Jau-hui, kemudian katanya, "Bukan aku, bukan juga dia, tukang perahu yang membelinya di pasar." "Tapi bukankah kalian sudah memancing setengah hari lamanya, masa tanpa hasil seekor pun?" tanya Un Ji tidak habis mengerti. Pek Jau-hui tidak langsung menanggapi, dia menghirup dulu secawan arak, lalu berpaling ke arah Ong Siau-sik sembari bertanya, "Jadi kau pun tak berhasil mendapatkan seekor ikan pun?" "Bagaimana dengan kau sendiri?" pemuda itu balik bertanya. "Kailku tanpa umpan, mana mungkin ada ikan mau mendekat?" "Aku pun bukan bertujuan memancing ikan." "Kalau bukan memancing ikan, memangnya ingin dipancing sang ikan?" Ong Siau-sik segera tertawa. "Aku hanya menonton ikan. Biarkan saja sang ikan bere¬nang bebas di dalam air, kenapa kita mesti memancingnya? Kita toh tidak harus memakannya, bayangkan sendiri, andai kata yang sedang berenang di air adalah manusia sementara sang pemancing adalah ikan, apa jadinya?" "Tapi kenyataan sekarang kita adalah manusia dan mereka adalah ikan. Orang yang hidup di dunia ini memang sudah terbagi sejak lahir, ada yang miskin, ada yang kaya, ada yang bodoh, ada yang pintar, ada pula yang beruntung dan ada yang tidak, semua ini alami, begitu juga seandainya ikan adalah manusia dan manusia adalah ikan, ikan pun akan memasang umpan untuk memancing manusia. Kini kau dan aku bukan ikan, maka sang ikanlah yang menjadi mangsa kita. Memang begitulah alam kehidupan." Ong Siau-sik mengalihkan sorot matanya ke tepi pantai, sambil mengawasi orang-orang yang sedang berlaluTalang, ia menggeleng kepala dan berkata sambil tertawa, "Siapa bilang kita bukan

ikan? Bukankah kita semua adalah ikan peliharaan Thian? Tinggal kapan Thian akan menangkap salah satu di antara kita. Siapa sih di antara kita yang bisa lolos dari tangkapan Yang di Atas?" Pek Jau-hui mendengus dingin. "Hmmm, sekarang aku sudah menebar kail, berarti aku harus mendapatkan sang ikan, andai kata akhirnya aku terseret masuk ke air oleh tarikan ikan, atau sebaliknya malah dipancing oleh sang ikan, hal itu bukan dikarenakan tanganku kurang kuat atau umpanku kurang banyak, sebaliknya karena aku memang sebetulnya berhati tulus, tak ingin memancingnya, tapi dia malah kabur." Belum selesai dia berkata, Un Ji sudah menyumpit seekor kepala ikan yang besar dan disodorkan ke dalam mangkuknya. "Aku jadi heran," seru gadis itu sambil tertawa, "tak ada hujan tak ada angin, kenapa kalian mengumpamakan diri sebagai ikan atau manusia, memangnya kalian berdua sudah terkena tenung atau sudah dibuat kesemsem siluman ikan waktu memancing tadi? Ayo, cicipi dulu kepala ikan itu baru kemudian bicara lagi!" Dengan murung Pek Jau-hui mengawasi mangkuk sendiri, tampak olehnya kepala ikan yang tergeletak dalam mangkuknya seolah sedang mengawasi dia dengan matanya yang putih keabuabuan. Kotaraja semakin dekat, mereka bertiga pun naik ke daratan dan berencana melanjutkan perjalanan darat. Dengan uang sebanyak 270 tahil perak mereka membeli tiga ekor kuda jempolan, tentu saja Pek Jau-hui yang mengeluarkan duitnya. Ong Siau-sik segera menuntun kuda-kuda itu, sementara Un Ji mengajukan protes kepada Pek Jau-hui, "Udara begini panas, kenapa tidak menyewa tandu saja, kalau mesti menempuh perjalanan di udara terbuka, kulit tubuh kita bakal hitam terbakar "Kalau merasa kulit sendiri kelewat halus, sewalah sendiri tandumu," sahut Pek Jau-hui mendongkol, "dunia persilatan memang tidak cocok untuk Toasiocia macam kau!" "Jadi kalian berdua tega menyaksikan seorang gadis muda diterpa angin, dibakar sinar matahari, diguyur air hujan dan didera pasir serta debu?" "Ah, apa urusannya dengan diriku," sahut Pek Jau-hui setengah mengejek, "apalagi terhadap manusia macam kau, lelaki tidak perempuan pun bukan. Selagi ada keuntungan buru-buru jadi perempuan, kalau sudah tidak menguntungkan berlagak macam lelaki. Setelah dua kali kena batunya, Un Ji jadi mendongkol, teriaknya, "Ada apa sih dengan kau? Selama beberapa hari belakangan selalu saja sewot tanpa sebab, siapa yang telah menyalahi kau? Terus terang saja, aku tidak terbiasa dengan watak macam kau itu." Pek Jau-hui tertawa dingin. "Aku pun tidak terbiasa melayani Toasiocia macam dirimu, terserahlah, apa maumu, lakukan sendiri, kami segera akan melanjutkan perjalanan." "Aku tahu, kau hanya bersedia melayani Thian-toasiocia, hmmm! Sayangnya, orang justru kabur tanpa meninggalkan pesan, kenapa? Kau jengkel? Sedih? Kalau sudah tak tahan, kenapa tidak menceburkan diri ke dalam sungai saja? Buat apa kau berlagak sok di hadapanku?" Tampaknya perkataan itu mengena telak luka di hati Pek Jau-hui, sesaat dia tertegun, tapi kemudian serunya dengan suara keras, "Aku mau melayani siapa, peduli amat dengan kau? Asal

aku senang, kau tak usah turut campur. Ong Siau-sik mungkin saja menahanmu, tapi aku tidak, kau boleh saja pergi sendiri ke ujung langit, apa urusannya dengan aku!" Un Ji merasa amat sakit hati, ucapan itu menusuk perasaannya hingga merasuk ke tulang sumsum, dengan wajah merah padam menahan amarah, serunya, "Bagus, bagus sekali manusia she Pek, kau boleh senang sekarang! Baik, nonamu akan berangkat sendirian, kita bertemu lagi di kota Kay-hong!" "Silakan saja kalau mau pergi, aku tak akan mengantar lagi. Ah, kebetulan si batu kecil sudah balik, bagaimana? Suruh dia pergi bersamamu?" Dengan air mata mengembeng di mata, Un Ji segera melompat naik ke atas kudanya kemudian dilarikan kencang meninggalkan tempat itu. Ong Siau-sik yang tidak tahu urusan hanya bisa berdiri tertegun sambil mengawasi bayangan hitam yang makin menjauh. Lewat beberapa saat kemudian Pek Jau-hui baru berkata kepada rekannya, "Batu kecil, aku yang membuat gara-gara, membuatnya pergi dengan marah "Apakah dia ... dia akan balik kemari?" gumam Ong Siau-sik seperti orang yang kehilangan sukma, "apakah dia pergi sendiri ke kotaraja?" "Aku ... aku pun tidak tahu." Ong Siau-sik mengira Un Ji bakal balik lagi secara diam-diam, seperti apa yang dia lakukan ketika berada di Han-swe tempo hari. Ternyata tidak. Un Ji tidak kembali lagi. Mereka tidak segera melanjutkan perjalanan, dua hari lamanya mereka menanti di situ namun tiada hasil. Dalam keadaan begini terpaksa Pek Jau-hui mengajak Ong Siau-sik melanjutkan perjalanannya menuju ibukota. Di kotaraja tersedia pelbagai macam atraksi, ada tempat perjudian yang bisa membuat kaya mendadak, ada wanita cantik yang bisa membuat hati terhanyut, tersedia berbagai hiburan yang diimpikan setiap orang, terdapat pula hal yang sama sekali tidak terduga. Kota besar merupakan sumber segala kehidupan, di situ tersedia ranjang hangat yang bisa membuat kau dapat nama dan kedudukan, tapi juga merupakan jurang paling dalam dari segala dosa dan kenistaan. Di situ seorang Enghiong bisa termashur, bisa mendapat posisi terhormat, tapi di situ juga orang gagah akan terlupakan, akan memperoleh segala kenistaan dan penghinaan. Sejak dulu hingga kini, banyak sekali Enghiong Hohan, pelajar dan sastrawan yang berdatangan ke sana, ingin mendapat nama dan kedudukan dalam waktu singkat, ingin meniti karier dan mencapai puncak ketenaran, tapi akhirnya lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Mungkin karena itulah keberhasilan selalu merupakan satu kejadian yang amat berharga.

Mungkin dikarenakan hal ini maka segenap orang pintar yang berkumpul di kotaraja selalu berusaha menunggu peluang secara seksama, kecuali mereka yang memiliki kemampuan luar biasa, saat dan kesempatan merupakan kunci yang menentukan. Hampir semua Enghiong Hohan berhasil dengan kariernya karena pandai menangkap kesempatan, bila kau paksakan diri menentang kebiasaan ini, seringkah bukan saja usahamu akan gagal total, mungkin nyawa akan jadi taruhannya. Siapa yang bisa menduga angin yang tertiup ke arah sini, besok akan bertiup ke arah mana? Siapa pula yang tahu jalanan yang nampak buntu pada hari ini, mungkin besok akan berubah jadi sebuah jalanan yang lebar? Jalan kematian belum tentu merupakan jalan mati, siapa tahu besok akan berubah jadi sebuah jalan kehidupan? Ya, siapa yang bisa meramalkan keberhasilan atau kegagalan yang akan menimpa seseorang? Pek Jau-hui tidak tahu. Ong Siau-sik pun tidak tahu. Itulah sebabnya walaupun sudah setengah tahun mereka tiba di ibukota, namun apa yang dicitacitakan belum juga terwujud. Banyak kejadian di dunia ini butuh banyak waktu untuk meraba, butuh banyak pengalaman untuk melacak dan butuh banyak pelajaran, menang kalah tidak mudah untuk diraih, kendatipun kau adalah seorang cerdik. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik termasuk orang-orang cerdas, orang berbakat. Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tangguh, namun setibanya di tempat yang sangat asing ini, mereka toh tak mungkin mencari nama dengan membunuh orang lain, jika hal ini yang dilakukan, bukan saja mereka akan berurusan dengan pengadilan dan para opas, bahkan akan diburu oleh jago-jago tangguh kerajaan. Mereka pun tahu bahwa di kota besar itu terdapat perkum¬pulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang berebut pengaruh, namun mereka menganggap kekuatan itu merupakan sebuah dunia lain, dunia yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka berdua. Sekalipun apa yang dicita-citakan belum terwujud, namun kedua orang pemuda ini justru hidup dengan riang gembira, mereka sudah menjadi sahabat karib. Apa yang disebut karib? Seorang sahabat karib akan memikul penderitaan bersama, mencicipi kegembiraan bersama, di saat kau kedinginan, dia datang membawa penghangat, di saat kau kepanasan, dia datang membawa salju. Sahabat karib tidak mengharapkan sesuatu dan tidak butuh sesuatu, namun mau berkorban demi yang lain. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bersama-sama datang ke kota Kay-hong, sama-sama dimaki orang, hapal setiap sudut kota, kehilangan semangat dan sama-sama mabuk di jalan....

Selama ini, mereka pun bersama-sama menimba banyak pengalaman, kenal dengan banyak manusia. Sampai akhirnya, uang persediaan yang dibawa Pek Jau-hui mulai menipis dan nyaris habis .... Dalam keadaan begini, Pek Jau-hui terpaksa membuka dasaran di tepi jalan dengan menjual tulisan dan lukisan, dia memang pandai menulis, lukisannya pun cukup indah, hanya sayang tak ternama. Lukisan hasil karya orang yang tidak ternama, biasanya murah harganya. Untuk hidup terus, orang butuh uang. Bagi Pek Jau-hui, lebih halal menjual lukisan dan tulisan ketimbang melakukan perdagangan tanpa modal. Sebelum balik ke rumah penginapan Toa-kong, ia menyempatkan diri mampir di Hwe-cun-tong untuk menjenguk Ong Siau-sik. Rekannya ini bekerja di Hwe-cun-tong sebagai tukang obat, Hwe-cun-tong adalah toko obat kenamaan di kota itu, lantaran dia pandai mengobati luka dana patah tulang, pemilik toko obat itu sangat menghargai kemampuannya. Bagi Ong Siau-sik sendiri, dia menganggap pekerjaan ini sebagai sebuah karya seni, lebih mendingan ketimbang dia mesti 'jual pedang'. Ketika Pek Jau-hui dengan membawa beberapa gulung lukisan tiba di toko obat Hwe-cun-tong, kebetulan Ong Siau-sik sedang beristirahat, maka seperti biasanya, mereka berdua pergi ke warung makan It-tek-kie untuk memesan beberapa piring sayur dan sepoci arak. Saat seperti ini biasanya merupakan saat yang paling menggembirakan bagi mereka berdua sejak tiba di kotaraja. Belum lama mereka berdua bersantap, hujan mulai turun. Mula-mula hanya setetes, dua tetes, tiga tetes, akhirnya hujan makin deras dan rapat, seluruh angkasa diselimuti awan gelap, burung mulai beterbangan mencari tempat persembunyian, orang yang berlalu-lalang pun berlarian mencari tempat berteduh. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu, hujan bakal turun semakin deras, buru-buru mereka berlari di antara air hujan dan menyusup ke dalam sebuah puing bangunan bekas kebakaran. Biarpun tempat itu dipenuhi puing yang berserakan serta semak setinggi lutut, namun ada beberapa bagian bangunan yang belum roboh sehingga bisa digunakan untuk berteduh. Dalam keadaan setengah basah, kedua orang itu tiba di tengah puing bangunan, menyaksikan hujan yang turun semakin deras, mereka merasa seakan seperti kehilangan sesuatu. "Deras amat hujan kali ini!" gumam Ong Siau-sik sambil menyeka air yang membasahi badan. "Benar, tampaknya kita bakal berteduh cukup lama Tak lama setelah mereka berteduh, tampak ada empat orang yang berlarian di tengah hujan memasuki puing bangunan itu.

Berhubung waktu itu hujan memang turun sangat deras, Pek Jau-hui tidak merasa heran ketika melihat ada empat orang yang ikut berteduh di puing bangunan itu. Setelah memasuki bangunan yang terbengkalai itu, terlihat dua orang berjaga-jaga di depan pintu, sementara dua orang lainnya berjalan masuk ke dalam. Dari dua orang yang berjalan masuk itu, seorang berperawakan tinggi besar, berwajah keren dan bermata tajam, dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sekejap. Sementara seorang yang lain tiba-tiba terbatuk, batuknya sangat keras. Dengan selembar saputangan dia mencoba menutupi mulutnya, tetapi batuknya semakin keras hingga membuat badannya terbungkuk-bungkuk, tubuhnya jadi melingkar macam kura kura, dari suara batuknya, bisa dirasakan betapa menderitanya orang itu. Orang bertubuh tinggi besar itu segera menghampiri rekannya dan berniat menggosok tubuhnya yang basah. Tapi pemuda yang sedang terbatuk-batuk itu segera menggeleng. Noda darah telah membasahi saputangannya yang berwarna putih, sementara sepasang matanya nampak semakin sayu. "Tampaknya penyakit yang ia derita cukup parah," bisik Ong Siau-sik kemudian. "Kita pun segera akan tertular penyakitnya," sambung Pek Jau-hui. "Penyakit apa?" "Penyakit miskin!" Mereka berdua segera tertawa tergelak. Kembali Pek Jau-hui berkata, "Tak heran orang bilang, kemiskinan bisa mematikan orang, jika kita rudin, jangan singgung soal lain, nomor satu yang bakal terhapus dari benak kita adalah semangat." "Benar," Ong Siau-sik mengangguk, "orang bilang kota Kay-hong adalah sarang naga gua macan, harimau sudah banyak bertemu, tapi naga masih bersembunyi Sementara itu suara batuk pemuda itu sudah mulai berhenti, namun dadanya masih nampak bergelombang tak teratur, selangkah demi selangkah ia berjalan menuju ke sisi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dengan demikian mereka bertiga berdiri berjajar. Hujan masih turun dengan derasnya. Deras sekali, bagaikan dicurahkan dari langit! 11 . Manus ia di tengah pu ing Memandang air hujan yang turun dengan derasnya, tanpa terasa Pek Jau-hui bergumam, "Hujan kali ini sungguh deras." "Benar, hujan memang amat deras," sahut Ong Siau-sik. Kongcu berpenyakitan yang berdiri di samping mereka tiba-tiba mendongakkan kepala, memandang hujan di luar puing bangunan, lalu katanya pula, "Benar-benar hujan yang amat deras!"

Mereka bertiga sama-sama membicarakan soal hujan, tanpa terasa sorot mata pun dialihkan ke depan sana. Di luar puing bangunan hanya suara hujan yang memekakkan telinga, seorang nenek berbaju compang-camping, berambut putih, sedang berjongkok di sudut dinding sambil mengais barang rongsok yang bertumpuk di situ. Seekor semut tampak sedang merangkak di atas dinding bobrok, beberapa kali berusaha merangkak naik, namun selalu tertahan hembusan angin kencang dari luar, lelaki tinggi besar yang kebetulan berdiri di sisinya menjadi tak sabar, dia menggerakkan jari tangannya, siap menginjak mati semut itu. "Te Hoa!" mendadak Kongcu penyakitan itu menegur, "sekalipun kau tak sabar melihatnya, tidak perlu mesti membunuhnya, dia toh tidak mengganggumu, tidak menutupi jalanmu, kenapa kau mesti berniat membunuhnya? Kenapa tidak membiarkan dia mencari hidup di dunia ini?" "Baik, Kongcu," sahut orang tinggi besar itu sambil meluruskan tangannya ke bawah dengan kepala tertunduk. Biarpun usia Kongcu ini belum terlalu tua, namun sikapnya seakan orang dewasa sedang menegur seorang anak kecil, kembali ujarnya, "Apakah kau kuatir Hoa Bu-ciok gagal menemukan barang antik itu?" "Benar, aku kuatir terjadi sesuatu dengan dirinya," jawab lelaki tinggi besar itu dengan perasaan tak tenang. Kembali Kongcu penyakitan itu mengalihkan pandangan matanya ke arah hujan yang masih turun dengan deras, sekali lagi bara api memancar dari balik matanya. "Selama ini Hoa Bu-ciok pintar dan cekatan, dia tak akan membuat aku kecewa," katanya. Si nenek yang kurus kering dan sedang mengais rongsok di pojok ruangan itu nampak gemetaran keras, mungkin lantaran udara sangat dingin sementara mantel yang dikenakan tak cukup tebal, dia nampak sangat kedinginan. "Wo Hu-cu!" tiba-tiba Kongcu itu berseru. Salah satu di antara dua lelaki yang berdiri di teras depan, seorang lelaki berdandan pegawai keuangan segera menyahut, "Siap!" "Nenek itu nampak kasihan sekali, beri sedekah kepadanya!" Wo Hu-cu menyahut dan segera mengeluarkan dua. tahil perak yang diserahkan ke tangan nenek itu. Tampaknya selama hidup belum pernah nenek itu menerima derma sebesar itu, sesaat ia nampak terperangah. Saat itulah terdengar lelaki yang masih ada di teras depan berseru lirih, "Kongcu!" "Sudah datang?" sekilas perasaan girang melintas di wajah Kongcu penyakitan itu. Lelaki itu berpaling, ternyata orang ini memiliki wajah yang aneh, separuh bagian berwarna hitam dan separuh yang lain berwarna putih, sahutnya pada Kongcu penyakitan, "Hoa Bu-ciok telah datang, di punggungnya menggendong seorang."

Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa terperanjat. Ternyata lelaki itu bukan 'melihat' ada orang datang, melainkan mendengar ada orang mendekatinya dari belakang. Jika hal ini terjadi di waktu biasa, kejadian itu tak aneh, tapi waktu itu hujan sedang turun dengan amat derasnya, suara angin gemuruh keras sementara si pendatang bergerak dengan langkah ringan, bahkan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik pun tidak mendengar apa-apa, tapi nyatanya orang itu bisa mendengar dengan amat jelas. Mengikuti arah yang ditunjuk, Te Hoa ikut berpaling, kemudian serunya dengan nada girang, "Ah, ternyata yang digendong Hoa Bu-ciok adalah si barang antik, barang antik telah berhasil dia tawan!" Mendapat laporan itu, Kongcu penyakitan itu tersenyum. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui saling bertukar pandang sekejap, ternyata yang dia maksud Barang antik bukan barang antik beneran, melainkan seorang manusia. Hoa Bu-ciok dengan membopong seseorang berlarian kencang menerobos air hujan menuju ke dalam puing bangunan, gerakan tubuhnya cepat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Begitu tiba di ruang dalam, ia segera berlutut di hadapan Kongcu penyakitan itu sambil melapor, "Hamba Hoa Bu-ciok memberi salam pada Locu!" "Sudah berulang kali kukatakan, sembah hormat macam ini tak perlu dilaksanakan, bila kau memang benar-benar menghormati aku, turuti permintaanku ini. Di dalam perkumpulan Kimhong-si-yu-lau, semua anggota adalah sederajat, apalagi berada di tempat musuh yang begini gawat! Masa kau lupa pada pesanku ini?" tegur Kongcu penyakitan dengan hambar. "Baik, Kongcu!" Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik semakin terkesiap dibuatnya. Ternyata Kongcu penyakitan yang terbatuk tiada hentinya dan berbadan kurus kering macam tengkorak ini tak lain adalah ketua dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. So Bong-seng! Terlebih mereka tak menyangka kalau di tengah puing bangunan yang begini berantakan, di tengah hujan yang begitu deras, mereka dapat berjumpa dengan tokoh sakti yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan. "Bagaimana dengan tugasmu?" terdengar So Bong-seng bertanya lagi. "Hamba telah menggelandang si barang antik datang ke¬mari." "Bagus, sadarkan dia!" Hoa Bu-ciok segera menggerakkan tangannya menepuk bebas beberapa totokan di punggung orang itu, kemudian menempeleng wajahnya empat lima kali, sementara Te Hoa meng¬guyurkan segayung air hujan yang dingin ke wajahnya. Tak selang berapa lama, orang itu tersadar kembali dari pingsannya.

So Bong-seng tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi orang itu dengan pandangan dingin. Ketika orang itu membuka matanya dan melihat So Bong-seng sedang berdiri di hadapannya, ia nampak terkesiap, saking kagetnya sampai berseru tertahan, "So ... So-kongcu!" "Barang antik!" kata So Bong-seng sambil menatap tajam wajahnya, "kau memang bernyali, sayang tidak setia kawan." Barang antik menggelengkan kepala berulang kali, sahutnya sambil tertawa getir, "Kongcu, selama ini Kongcu mengetahui segala sesuatu tentang hamba, di antara enam orang kepercayaan Kongcu, nyaliku terhitung paling payah!" "Kau paling payah?" sekilas cahaya aneh memancar dari balik mata So Bong-seng, seakan bara api di tengah gumpalan salju, "Kau hebat, kau paling bernyali, lihatlah, hingga sekarang pun kau tidak nampak jeri atau takut menghadapiku, tampaknya selama ini aku telah salah menilaimu." "Kongcu harap maklum, Kongcu harap maklum ..." Mendengar sampai di situ, Ong Siau-sik segera berbisik kepada Pek Jau-hui, "Tampaknya mereka sedang menyelesaikan urusan dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, ada baiknya kita menyingkir saja." "Tapi hujan masih turun sangat deras di luar sana," kata Pek Jau-hui dingin. Ong Siau-sik masih kelihatan agak sangsi. Kembali Pek Jau-hui berkata, "Seluruh kota Kay-hong toh bukan daerah kekuasaan mereka." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Apalagi tempat yang kita pijak saat ini tidak seberapa besar." Perkataan itu seketika menyadarkan Ong Siau-sik akan saru hal, ia berbisik pula, "Benar, selama ini wilayah Ku-sui-poh merupakan daerah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poantong, kedatangan So-kongcu untuk menangkap orang di tempat ini boleh dibilang sudah merupakan satu pelanggaran daerah." Pek Jau-hui manggut-manggut. "Kalau sampai Locu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau datang sendiri kemari, jelas persoalan ini bukan urusan kecil." Terdengar So Bong-seng kembali berkata dengan suara dalam, "Sekarang, Wo Hu-cu, Su Bu-kui, Te Hoa, Hoa Bu-ciok dan kau sudah datang, tinggal Yo Bu-shia yang belum hadir, coba katakan, perlakuanku yang mana terhadap kau yang dianggap kurang baik? Mengapa kau begitu tega menjual enam kantor cabang berikut keempat ratusan anggotanya termasuk tulang belulang mereka kepada perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Si Barang antik menundukkan kepala, tak sanggup men¬jawab. "Ayo, katakan!" hardik So Bong-seng lagi.

Te Hoa yang berada di sampingnya ikut berseru sambil tertawa dingin, "Kau tak mengira bakal kami tangkap bukan! Hmmm, jangan dianggap setelah bersembunyi di wilayah Ku-sui-poh lantas kau bisa menikmati kehidupan yang mewah dan sentosa. Kau telah membuat beribu orang anggota Kim-hong-si-yu-lau jadi yatim piatu, biar bersembunyi di ujung langit pun kami tetap akan menyeretmu keluar!" "Andaikata bukan berkat jasa Hoa Bu-ciok, kami pun belum tahu kalau sejak setengah bulan lalu perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah memindahkan kekuatannya ke wilayah seputar Po-panbun," kata So Bong-seng lagi, "kedatangan kami kali ini memang sengaja membawa serta saudara senasib se-penderitaanmu, kami hanya ingin bertanya satu hal saja kepadamu, mengapa kau berbuat begitu?" Perkataannya yang terakhir ini diucapkan dengan suara keras bagai guntur. Sekujur badan si Barang antik bergetar keras, bibirnya kelihatan gemetar namun tak sepatah kata pun yang diucapkan. Dalam pada itu, lelaki berwajah hitam putih itu masih tetap berjaga di depan teras rumah, Wo Hucu pun tetap berdiri di depan si nenek itu, tampaknya mereka telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengawasi gerak-gerik Ong Siau-sik dan Pekjau-hui. "Ayo, jawab!" terdengar Te Hoa kembali menghardik, "jawab, apakah kau tidak malu terhadap Kongcu, tidak malu terhadap kami semua?" Mendadak si Barang antik mendongakkan kepalanya, lalu balik bertanya, "Kau benar-benar menyuruh aku menjawab?" "Hmmm, akan kulihat perkataan apa yang bisa kau ucapkan!" Te Hoa mulai tertawa seram, tertawa penuh kegusaran. "Baik, akan kukatakan," setelah menghembuskan napas panjang, lanjutnya, "Kesalahan kalian justru terletak pada kasus ini." Begitu selesai dia mengucapkan perkataan itu, terjadilah perubahan yang luar biasa di tengah arena kejadian, perubahan yang di luar dugaan siapa pun. Sedemikian hebat terjadinya perubahan itu sehingga Pek Jau-hui serta Ong Siau-sik yang berada di sisi arena pun ikut terkesiap dibuatnya. Tiba-tiba tubuh si Barang antik melejit ke tengah udara. Padahal tadi ia terkapar dalam keadaan lemas, paling tidak ada empat-lima buah jalan darah penting di tubuhnya masih tertotok, namun loncatannya kali ini luar biasa, tampaknya sudah dipersiapkan sejak tadi. Sambil melejit ke udara, tangannya diayunkan berulang kali, melolos sebilah golok baja. Tampak sekilas cahaya hijau berkelebat, tahu-tahu golok itu sudah dihujamkan ke lambung Te Hoa. Menghujam dari bawah menuju ke atas. Mimik muka Te Hoa nampak mengenaskan, mimik muka seorang yang menahan rasa sakit, rasa sakit yang luar biasa hebatnya karena jantung dan paru-parunya hancur tersayat.

Pada saat bersamaan, ketika So Bong-seng siap melancarkan serangan, Hoa Bu-ciok sudah turun tangan terlebih dulu. Begitu kepalanya ditundukkan ke depan, dari belakang punggungnya paling tidak muncul dua puluh lima jenis senjata rahasia yang serentak menyergap ke tubuh So Bong-seng. Setiap ujung senjata rahasia itu terbias warna biru yang menggidikkan, jelas semuanya telah dibubuhi dengan racun jahat bahkan dilepaskan dari sebuah alat pelontar dengan alat pegas yang kuat, cepat, tepat, ganas, pada hakikatnya sulit untuk dihindari, susah dihadapi. Waktu itu konsentrasi So Bong-seng sudah terpecah karena serangan bokongan dari si Barang antik, selain itu dia pun sedang berusaha menyelamatkan jiwa Te Hoa, orang kepercayaan¬nya dari serangan maut Hoa Bu-ciok. Dalam keadaan begini So Bong-seng segera membentak keras, jubah panjangnya dikebaskan berulang kali, dalam waktu sekejap dia melakukan gulungan, puntiran, kebasan dan kebutan di sekeliling tubuhnya, dalam waktu sekejap seluruh senjata rahasia yang menyelimuti angkasa itu sudah lenyap tak berbekas. Namun sayang, masih ada sebatang, sebuah jarum sebesar kacang kedelai yang menghajar kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, buru-buru Wo Hu-cu menggerakkan tubuhnya, siap menerjang ke depan So Bong-seng untuk memberi bantuan. Belum sempat ia bertindak, tiba-tiba si nenek yang sedang mengais barang rongsok itu telah mengayunkan tangannya, selimut dekil yang berada dalam genggamannya langsung menyapu wajah Wo Hu-cu. Selapis angin berbau amis menyebar ke udara dan menyambar ke arah wajahnya. Wo Hu-cu terkesiap, dia tahu bau amis itu merupakan ciri khas dari Bu-mia-thian-ih (baju langit tak bernyawa) milik To-cu-popo si nenek kacang kedelai yang berasal dari bukit Ci-lian-san, bila terkena sambaran itu, niscaya sekujur badannya akan membusuk dan akhirnya mati, apalagi jika kepalanya sampai terkerudung? Bu -mia-thian-ih dengan membawa deruan angin tajam langsung menyambar tiba dan mengurung sekeliling arena, Wo Hu-cu tak berani ayal, lekas dia melejit ke samping, berusaha menghindarkan diri. Sekali melejit ia sudah melompat naik ke atas tiang peng-lari, kemudian melejit sekali lagi melambung di atas puing bangunan dan bergerak ke dalam, targetnya saat itu adalah berusaha menolong So-kongcu, sementara keselamatan sendiri merupakan urusan kedua. Sungguh cepat gerakan tubuhnya, tapi ada tiga batang senjata rahasia yang bergerak jauh lebih cepat, jauh lebih ringan daripada gerakan tubuhnya. Wo Hu-cu segera sadar akan datangnya bahaya, segera dia mengegos ke samping berusaha menghindarkan diri, sayang ketiga batang jarum lembut itu bergerak lebih cepat, belum sempat ia mengegos, ketiga batang senjata itu tanpa menimbulkan suara sudah menembus tulang punggungnya. Menyusul melesatnya jarum beracun, dinding bangunan hancur berantakan dan terberai di atas permukaan tanah.

Si pembokong muncul dari balik reruntuhan dinding, ternyata dia adalah seorang Hwesio kepala gundul, di tangan kirinya dia membawa mangkuk, tasbih tergantung di leher, sementara tangan kanan digunakan untuk melepaskan jarum. Rupanya semenjak tadi ia sudah bersembunyi di belakang dinding sambil menunggu kesempatan. Entah sudah berapa lama orang ini bersembunyi di belakang dinding, tujuannya tak lain hanya ingin melepaskan ketiga batang jarum lembut yang lebih ringan dari angin, lebih cepat dari petir dan lebih bening daripada air hujan ini. Kembali terjadi perubahan dalam arena pertarungan. Tubuh Wo Hu-cu yang bergerak ke depan tiba-tiba menggeliat beberapa kali, gerakan ini tidak membuat gerak serangannya menjadi kendor ataupun melemah. Tahu-tahu badannya sudah meluncur tiba di depan So Bong-seng dan membendung datangnya serangan Hoa Bu-ciok. "Blaaaamm!", diiringi suara benturan nyaring, Hoa Bu-ciok memuntahkan darah segar, segera ia melompat mundur ke belakang. Sambil membalikkan badan, sekali lagi Wo Hu-cu melancarkan satu bacokan, ketika si Barang antik harus menyambut serangan itu dengan kedua tangannya, lagi-lagi dia menjerit kesakitan, badannya mencelat sejauh beberapa tombak dan mulai memuntahkan darah segar. Saat itulah si nenek sudah merangsek tiba, dalam keadaan begini lagi-lagi Wo Hu-cu membalikkan tubuh sambil melepaskan sebuah pukulan. "Blaaam!", sekali lagi terjadi benturan keras, si nenek harus membendung datangnya ancaman, dengan sebuah tangkisan keras lawan keras ia terdorong mundur sejauh tujuh delapan langkah sebelum berhasil berdiri tegak. Sebaliknya Wo Hu-cu sudah tak mampu menahan diri lagi, ia mendengus tertahan, tubuhnya goyah dan darah warna hitam mulai meleleh keluar dari ujung mata dan lubang hidungnya. Melihat lawannya sudah terluka parah, si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik baru bisa menghembuskan napas lega, kembali mereka merangsek maju menghampiri Wo Hu-cu. Mereka tahu saat ini adalah saat penentuan mati hidup mereka, tapi juga merupakan kesempatan terbaik untuk mengukir jasa dan menciptakan nama besar. Siapa pun tak ingin melepaskan kesempatan emas ini, bahkan siapa pun tak dapat melepaskannya begitu saja. Kini keadaan ibarat anak panah yang sudah dipentang di atas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga. Bila serangan ini gagal mengenai sasaran, dapat dipastikan So Bong-seng pasti akan mencari mereka untuk membuat perhitungan! Dalam pada itu So Bong-seng telah menyingkap jubah panjangnya sambil berjongkok, senjata rahasia sekecil kacang hijau itu sudah menghajar kaki kirinya secara telak, luka yang membuatnya tak leluasa untuk bergerak.

Tanpa pikir panjang lagi segera ia melolos sebilah golok, sebilah golok yang sangat indah, seindah bisikan lirih seorang gadis cantik, sangat menggetarkan perasaan, sangat membetot sukma. Mata golok berwarna hijau bening dengan tubuh golok bergaris merah, bagaikan sebuah kaca kristal yang tembus pandang membungkus tulang berwarna merah, cahaya golok pun bening bagai selapis air berwarna merah. Golok itu sangat pendek, lekukan golok ramping bagai pinggang seorang gadis, ketika golok itu bergerak, lamat-lamat membawa suara dentingan lirih bagai suara lonceng dari surga, bahkan terendus pula bau harum yang semerbak. Golok itu merupakan sebilah golok yang membuat orang jatuh cinta pada pandangan pertama, membuat orang sukar untuk melupakannya sepanjang masa. So Bong-seng mengayunkan golok ke tubuh sendiri, menyayat segumpal daging di sekeliling kaki kirinya yang terhajar senjata rahasia sebesar kacang hijau itu. Ketika mengiris sepotong daging tubuh sendiri, dia seakan sedang memetik sebiji buah masak dari atas ranting pohon, begitu sederhana, begitu leluasa .... Darah dengan cepat meleleh keluar dari lukanya, membasahi celananya dan tercecer ke atas lantai, namun ia tidak merintih, tidak mengaduh, mengernyitkan alis mata pun tidak. Malah penyakit batuk yang dideritanya pun seakan turut hilang. Selesai menyayat segumpal daging di atas kakinya, kembali ia tempelkan tangan kanannya ke punggung tubuh Wo Hu-cu. Mendadak golok aneh yang berada dalam genggamannya itu mulai memancarkan sinar aneh, sinar berwarna merah darah. Tangan kanannya bagaikan sedang memetik alat musik saja mengayun, menotok, menjojoh, menepuk, mendorong, mencengkeram, melumat dan meremas ke setiap sudut udara, sementara golok di tangan kirinya membendung datangnya serangan mematikan dari si nenek kedelai, Hoa Bu-ciok dan si Barang antik. Bukan hanya itu saja, malah dengan satu ayunan kilat dia tebas batok kepala si Barang antik! Tak terlukiskan rasa kaget dan ngeri si nenek kedelai serta Hoa Bu-ciok menghadapi serangan balasan semacam ini, segera mereka melompat mundur. Sekilas Hoa Bu-ciok sempat menyaksikan batok kepala si Barang antik terbang lepas dari tubuhnya, dia malah sempat menyaksikan sepasang biji matanya yang melotot keluar karena ketakutan. Tak kuasa menahan rasa ngeri dan seramnya, ja segera menjerit keras, "Golok Ang-siu-to!" Golok baju merah, Ang-siu-to! Tangan kanan So Bong-seng masih tetap digunakan untuk menolong Wo Hu-cu sementara golok di tangan kirinya telah berhasil membunuh seorang musuh dan memukul mundur dua musuh lainnya, terbukti betapa hebat kemampuan yang dimiliki orang ini.

Selesai memenggal batok kepala seorang lawannya, tampak cahaya merah yang memancar keluar dari golok itu bertambah terang dan bercahaya. Golok apakah itu? Sebilah golok dewa? Atau sebilah golok iblis? Bagaimana pula dengan si pemegang senjata itu? Apakah dia adalah-Dewa golok? Atau justru Iblis golok? Tatkala Wo Hu-cu meluncur ke depan berusaha menolong So Bong-seng tadi, si Hwesio gundul berbaju perlente itupun sudah muncul dari tempat persembunyiannya, dia berniat menghadang jalan pergi Wo Hu-cu, tapi Te Hoa segera menghadang jalan perginya. Waktu itu Te Hoa sudah mencabut keluar pisau belati yang menancap di atas dadanya dan melibatkan diri dalam pertarungan sengit melawan Hwesio itu. Dalam keadaan seperti ini dia hanya tahu akan satu hal, beri waktu dan kesempatan secukupnya untuk So-kongcu agar ia bisa menarik napas sambil mempersiapkan diri! Asal So Bong-seng punya kesempatan untuk menarik napas dan mempersiapkan diri, biar harus mati, dia akan mati dengan mata meram. Bukan hanya Te Hoa seorang yang berpikiran begitu, Wo Hu-cu juga mempunyai pemikiran demikian, bahkan Su Bu-kui pun mempunyai pikiran yang sama. v Ketika So Bong-seng, Wo Hu-cu dan Te Hoa berada di dalam puing bangunan disergap oleh si Hwesio berbaju perlente, nenek kedelai, Barang antik dan Hoa Bu-ciok, di luar bangunan runtuh itu masih ada seorang jago yang sedang berjaga, dia adalah si wajah Im-yang, Su Bu-kui. Tapi musuh berhasrat membinasakan So Bong-seng, mana mungkin mereka membiarkan Su Bukui tetap berdiri mengang¬gur? Hampir pada saat bersamaan, dinding bangunan kuno yang ada di Ku-sui-poh itu roboh ke tanah. Bersama dengan robohnya seluruh dinding bangunan itu, paling tidak ada empat ratusan anak panah bersama-sama dilepaskan ke tengah arena. Menyaksikan datangnya ancaman itu, mustahil bagi Su Bu-kui untuk menghindarkan diri. Dia memang tak mungkin bisa menghindar, sebab sekali dia berkelit, maka seluruh ancaman anak panah itu akan meluncur ke arah So-kongcu! Dalam keadaan begini, hanya ada satu jalan yang bagi Su Bu-kui, yaitu menghadapinya dengan keras lawan keras. Ketika dua ratusan batang anak panah meluncur datang, paling tidak ia sudah membendung seratus delapan puluhan panah di antaranya, senjata andalannya adalah sebilah golok besar berkepala naga, golok yang diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan suara menderu dan lapisan bayangan yang menyilaukan mata. Sehebat dan setangguh apa pun ilmu goloknya, mustahil baginya untuk merontokkan semua anak panah yang diarahkan ke dalam puing bangunan, maka ia tetap terhajar dua batang anak panah.

Baru saja serangan gelombang pertama selesai meluncur, kini giliran serangan gelombang kedua dibidikkan para pemanah. Su Bu-kui meraung keras, goloknya menyapu melintang, kembali sebagian dinding bangunan tersapu roboh dan berse¬rakan kemana-mana. Hujan deras, awan mendung ditambah debu yang beterbangan karena ambruknya dinding, membuat para pemanah kesulitan mengarah sasarannya secara tepat, kembali Su Bu-kui memutar goloknya menyapu ke belakang, berusaha mendesak mundur si Hwesio perlente dari posisinya. Begitu musuh berhasil dipaksa mundur, Te Hoa pun roboh lemas dalam rangkulannya. Paras muka rekannya itu pucat kehijau-hijauan, mengenaskan sekali keadaannya. Dalam pada itu So Bong-seng dengan mengandalkan goloknya kembali berhasil membantai seorang musuhnya dan membuat takut dua orang musuh yang lain, sementara telapak tangannya masih menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh Wo Hu-cu. Tak selang lama, dari belakang punggung Wo Hu-cu mencuat keluar dua batang jarum berwarna bening, mencelat keluar dari balik daging dan rontok ke tanah. Saat itulah Wo Hu-cu mendengus tertahan, paras mukanya jauh lebih merah cerah, serunya sambil tertawa getir, "Kongcu, aku sudah tak tahan lagi, aku tak sempat menghimpun tenaga untuk menghadang jalannya racun, sebatang jarum pelumat tulang telah menyusup ke otakku." Waktu itu si Hwesio perlente, si nenek kedelai maupun Hoa Bu-ciok sudah mundur dari arena, sementara keempat ratus orang pemanah itu menerobos maju ke depan dan mengepung puing bangunan itu dengan rapat, mereka terbagi dua barisan, satu baris berdiri dan satu baris berjongkok, mereka telah mementang busur dan siap melepaskan anak panah. ooOOoo 12 . Tak pe rna h me ncurigai

saudar a sendiri

Orang bilang "Tombak gampang dihindari, panah gelap susah dihindari", padahal panah yang datang secara terang-terangan pun tidak mudah untuk ditangkis. Seperti misalnya terkepung rapat oleh pemanah yang sangat terlatih saat ini, menanti mereka melepaskan keseratus anak panah yang digembolnya, kendatipun sangat hebat dan amat tangguh juga akan berubah jadi seekor landak dan tak sanggup melancarkan serangan balasan. Kini barisan pemanah yang ada di deretan depan sudah mulai melepaskan panahnya. Mendadak So Bong-seng melakukan satu tindakan. Ia sambar mayat si Barang antik, lalu dilemparkan ke tubuh Su Bu-kui. Tindakannya itu menyelamatkan Su Bu-kui dari ancaman kematian! Berhasil dengan tindakannya itu, So Bong-seng kembali menggunakan mayat si Barang antik sebagai tameng untuk melindungi diri dari ancaman. Wo Hu-cu tidak tinggal diam, ia berteriak keras sambil me¬lompat bangun, kemudian badannya berputar kencang bagaikan gangsing.

Dia melindungi belakang tubuh So Bong-seng. Dengan adanya perlindungan pada bagian belakang, maka cukup bagi So Bong-seng untuk menangkis datangnya panah yang mengarah dari kiri, kanan serta depan. Tak heran begitu selesai serangan itu dilancarkan, tubuh Wo Hu-cu ikut roboh ke tanah, namun ia tidak membiarkan badannya terjerembab, ia tetap mencoba berjongkok, menopang di atas panah yang menghujam tubuhnya. Rupanya dia menjadi sasaran tembak para pemanah itu. Dua batang anak panah kembali menghajar tubuh Su Bu-kui, sementara Te Hoa terhajar empat batang panah. Kini barisan kedua pemanah itu sudah bersiap, mulai melepaskan panah mereka. Anak panah bagaikan hujan deras segera berhamburan ke seluruh penjuru ruangan. Akhirnya, dari balik mata So Bong-seng memancar keluar sekilas cahaya yang sangat aneh, cahaya keputus-asaan seorang Enghiong yang sudah terdesak dan menemui jalan buntu, cahaya nekat seorang pahlawan yang siap mengadu nyawa. Di saat yang amat kritis itulah mendadak kawanan pemanah yang berjajar rapi, tahu-tahu sudah bergelimpangan ke sana kemari bagaikan digulung ombak samudra, mereka yang tak roboh segera membalikkan tubuh melakukan perlawanan, sayang, ibarat salju yang terkena air panas, tak lama kemudian hampir sebagian besar sudah terkapar di tanah. Tampak dua orang pemuda berlompatan di tengah kerumunan orang banyak, siapa yang terbentur seketika roboh terjengkang, tak lama kemudian sudah empat-lima puluhan orang yang roboh terkapar. Para pemanah sisanya jadi keder, melihat kepungan mereka sudah bobol, khususnya ketika terbayang keampuhan golok di tangan So Bong-seng, hampir sebagian besar di antara mereka segera membuang busurnya ke tanah, kemudian membalikkan badan dan melarikan diri terbiritbirit. Kelebihan dari kerja kelompok adalah di saat mereka bersatu-padu, maka kekuatannya kukuh bagaikan batu karang, tapi jeleknya, bila masing-masing sudah mulai memikirkan keselamatan sendiri, kelompok itu akan buyar bagaikan setumpuk pasir tersapu angin. Asal ada satu orang saja di antara mereka yang melarikan diri, maka rekan lainnya pasti akan mengikuti jejaknya. Alhasil, kecuali mreka yang sudah telanjur roboh, delapan puluh persen pemanah lainnya segera meninggalkan medan laga dan berusaha melarikan diri. Ketika terjadi penyergapan secara tiba-tiba tadi, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera menyadari kalau keadaan tak beres, secepat kilat mereka segera mengeluyur keluar dari puing bangunan itu. Untungnya perhatian para penyergap hanya tertuju pada So Bong-seng seorang, sehingga mereka sama sekali tak mempedulikan tingkah laku mereka.

Menanti kawanan pemanah itu mengepung rapat seluruh puing bangunan itu, Pek Jau-hui baru bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana? Apakah kita perlu turun tangan?" "Perlu!" sahut Ong Siau-sik cepat, "aku rasa So-kongcu adalah seorang lelaki saleh yang berjiwa ksatria, anak buahnya pun hebat dan bagus, bagaimana dengan pandanganmu?" "Aku pikir, inilah saat yang tepat bagi kita untuk belajar praktek." "Tapi kau harus mengabulkan satu permintaanku." "Katakan saja." "Sebisa mungkin jangan membunuh orang." "Baik," sahut Pek Jau-hui cepat, "aku bersedia bukan lantaran mengabulkan permintaanmu, tapi demi kepentinganku sendiri, aku pun tak ingin terlalu dimusuhi orang-orang perkumpulan Lak-hunpoan-tong, terlebih tak ingin dimusuhi Lu i Sun!" Walaupun dia hanya berbicara beberapa patah kata, namun belum lagi dia menyelesaikan katakatanya, So Bong-seng sudah terancam bahaya maut, maka tanpa membuang waktu lagi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera turun tangan bersama. Mereka menerjang dari belakang barisan kawanan pemanah itu, begitu turun tangan langsung mengumbar kehebatannya dengan tujuan agar nyali musuh pecah dan keder. Jari tangan Pek Jau-hui menyambar kian kemari bagai sambaran petir, semua sodokannya diarahkan ke jalan darah penting di tubuh lawan. Sementara Ong Siau-sik menggunakan tepi telapak tangannya sebagai pengganti golok, bacokan demi bacokan dilancarkan, kekuatan yang digunakan pun tidak berat juga tidak enteng, tujuannya hanya membuat pingsan orang-orang itu. Begitu melihat munculnya kedua pemuda itu mengobrak-abrik barisan musuh, sekali lagi sorot mata So Bong-seng berubah jadi angkuh, dingin bahkan menggidikkan siapa pun yang melihatnya. Ia menghampiri Wo Hu-cu dan membangunkannya, namun sekujur badan anak buahnya itu sudah dipenuhi anak panah, tubuhnya bagaikan sasaran bidikan, persis seperti seekor landak. Kemudian dia pun menengok Te Hoa, tapi sayang Te Hoa sudah tewas, orang ini mati dengan mata melotot, seakan dia mati dengan perasaan tak rela, mati penasaran, mati dengan penuh kemarahan yang meluap. So Bong-seng tidak melakukan apa-apa, dia hanya berbisik, "Aku pasti akan membalaskan dendam kematianmu!" Ucapan yang diutarakan dengan sangat tegas, setegas paku yang terbuat dari baja. Setetes air hujan meleleh jatuh dari atap bangunan, persis jatuh di bawah alis mata Te Hoa, di atas kelopak matanya, tiba- tiba Te Hoa memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya seakan merasa tenteram setelah mendengar perkataan So Bong-seng itu, karena itu dia mati dengan mata meram. Perlahan-lahan So Bong-seng bangkit berdiri. Saat itulah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah berhasil menguasai keadaan.

Su Bu-kui terhajar empat batang panah, tapi beruntung tidak bersarang di bagian tubuh yang mematikan, dia biarkan anak panah tetap menancap di tubuhnya, sama sekali tak berniat mencabutnya keluar. Sisi wajahnya yang hitam kini terlihat semakin hitam, sementara sisi yang berwarna putih nampak jauh lebih putih. "Mengapa kau tidak mencabut anak panah itu?" So Bong-seng menegurnya. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengobati luka," jawab Su Bu-kui sambil tetap berdiri tegak. "Bagus sekali, si Barang antik mengkhianati kita, menjual nyawa lima ratus orang saudara kita, kusuruh Hoa Bu-ciok pergi membekuknya, tapi ternyata dari enam orang saudara sejatiku, kini hanya tersisa kau serta Yo Bu-shia," sorot mata sebara kobaran api memancar dari balik matanya, "kematian Wo Hu-cu dan Te Hoa disebabkan ulah si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, kini si Barang antik sudah mampus, Hoa Bu-ciok pun sama saja, sudah mati." "Benar," Su Bu-kui mengangguk. Menyaksikan berlangsungnya tanya jawab itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya bisa saling pandang. Lama kemudian Pek Jau-hui baru berseru lantang, "He, kami telah menolongmu, kenapa kau tidak berterima kasih kepadaku?" "Aku tak pernah mengungkapkan rasa terima kasihku melalui ucapan," jawab So Bong-seng hambar. "Kau pun tidak mencoba bertanya siapa nama kami?" kata Ong Siau-sik pula. "Sekarang bukan saat yang tepat untuk saling bertanya nama." "Kapan saatnya?" tanya Ong Siau-sik keheranan. Sambil menuding jenazah Wo Hu-cu dan Te Hoa yang tergeletak di lantai, sahut So Bong-seng, "Tunggu sampai aku selesai membalas dendam dan balik lagi kemari dalam keadaan hidup." "Balas dendam adalah urusan kalian," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Juga urusan kalian berdua." "Mereka sama sekali tak ada urusan dengan kami berdua." "Aku pun tak punya hubungan apa pun dengan kalian." "Menolong kau hanya terdorong oleh perasaan iseng, kami hanya menganggap pertarungan ini sebagai sebuah permainan." "Sayang permainan ini belum waktunya selesai." "Jadi kau menyangka kami akan ikut bersamamu pergi membalas dendam?" sela Ong Siau-sik keheranan.

"Bukan menyangka, tapi kalian pasti akan ikut," sahut So Bong-seng seraya menggeleng. Ong Siau-sik semakin tercengang dibuatnya. "Kapan kau akan berangkat?" tanya Pek Jau-hui tiba-tiba. "Kapan?" So Bong-seng tertawa dingin, "tentu saja sekarang." "Sekarang?!" Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik menjerit berbareng saking kagetnya. Mereka punya mata dan sepasang mata mereka dalam keadaan sehat, tentu saja kedua orang itu dapat melihat kalau So Bong-seng sudah terluka, anak buahnya juga tinggal satu orang. "Tapi ... tapi ... kau hanya memiliki seorang saudara, itupun sudah terluka," seru Ong Siau-sik tak tahan. "Aku terluka, dia terluka, sisanya sudah mati semua," So Bong-seng tertawa perlahan, "kami sudah tak mungkin pulang lagi, bukankah saat ini merupakan saat yang sangat tepat?" Dengan sorot mata yang dingin dan tajam ia memandang Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sekejap, seketika itu juga kedua pemuda itu merasa seakan ada hawa dingin yang membekukan tubuh menyusup ke hulu hati mereka. "Penyergapan licik yang dilancarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru saja lewat, terlepas mereka sedang merayakan kemenangan ini atau mulai melakukan persiapan lagi, kita langsung membuntuti mereka sambil melancarkan serangan balasan, maka mereka pasti belum sempat mengatur kembali kekuatannya, mereka pasti tak akan menyangka dan menduga akan serbuan ini. Bila kita tunda penyerangan sampai besok, mereka pasti sudah menghimpun kekuatan untuk melindungi Hoa Bu-ciok, bisa jadi mereka justru akan menggunakan dia sebagai umpan untuk memancing kita masuk perangkap, lalu menghabisi kita semua. Sayang kami justru melancarkan serangan balasan pada saat ini juga!" Bicara sampai di sini, sikap angkuh dan jumawanya kembali melintas di wajahnya, dia melanjutkan, "Apalagi sebagai seorang lelaki sejati, pertarungan boleh kalah, namun harga diri tak boleh hilang. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah menewaskan empat orang anak buahku, maka aku pun harus membuat dia merasakan bagaimana tersiksanya bila kehilangan lengan kanannya!" Lalu kepada anak buahnya dia bertanya, "Bu-kui, sudah siap?" "Sudah siap!" jawab Su Bu-kui cepat, biarpun tubuhnya sudah terhajar empat batang panah, namun ia masih berdiri tegar bagaikan seorang panglima perang. "Menurut penilaianmu, orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan membawa Hoa Bu-ciok pergi kemana?" "Po-pan-bun." "Berapa bagian keyakinanmu?" "Enam bagian." "Baik, asal ada keyakinan enam bagian, kita bisa segera melaksanakan rencana ini."

"Apakah kau akan berangkat sekarang juga?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya. So Bong-seng tertawa, wajahnya kelihatan sedikit mengejang, "Memangnya harus menunggu sampai hujan reda?" balik tanyanya. "Orang-orang yang tergeletak di sini kebanyakan hanya tertotok jalan darahnya, bila kau tidak membantai mereka semua, kemungkinan besar mereka akan melaporkan kejadian ini kepada atasannya, kau akan meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari." So Bong-seng mendengus angkuh. "Hmm, aku tak akan membunuh mereka, pertama, aku tak pernah membunuh prajurit tanpa nama, apalagi manusia lemah yang sudah kehilangan tenaga perlawanannya, kedua, jika sekarang juga aku berangkat, secepat apa pun mereka berjalan, tak nanti bisa mendahului kecepatan kami. Ketiga, aku memang berniat menyerang mereka, jadi aku tak kuatir mereka melakukan persiapan, yang ingin kuhancurkan adalah seluruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bukan cuma seorang pemanah." "Aduh celaka!" mendadak Ong Siau-sik berteriak. "Apanya yang celaka?" tanya So Bong-seng agak tertegun. "Kalau ada pertunjukkan sebagus ini, tidak bagus kalau aku tak ikut pergi!" sembari berkata dia melepas kain pembungkus sarung pedangnya, lalu dibuang. Sorot mata So Bong-seng yang semula dingin membekukan, kini seakan memancarkan sinar kehangatan. "Betul!" sambung Pek Jau-hui sambil menghentakkan kakinya, "kalau benar bakal terjadi pertunjukkan sebagus ini, mana boleh tak ada aku?" Sambil berkata dia pun ikut membuang tumpukan lukisan yang semula dijepit di bawah ketiaknya. Kini sinar yang mengandung senyuman mulai memancar keluar dari balik mata So Bong-seng, tapi hanya sebentar, kemudian sorot matanya kembali murung dan dingin. Tanpa banyak bicara dia segera melesat keluar, menerobos hujan. Su Bu-kui tak mau ketinggalan, ia segera menyusul di belakangnya. ooOOoo "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong mempunyai dua belas orang Tongcu, sejak Ho Tong tewas di wilayah Ouw-pak, sisanya tinggal sebelas orang. Jagoan yang tadi melakukan penyergapan adalah Tongcu ketujuh si nenek kedelai serta Tongcu kedelapan si Hwesio perlente. "Kawanan pemanah yang mereka datangkan tadi adalah pasukan pemanah yang sudah menjalani pendidikan secara ketat dan penuh disiplin, biasanya kehadiran mereka selalu diiringi Tongcu kesepuluh Sam-cian Ciangkun, Panglima tiga panah, jadi menurut dugaanku, dia pasti sudah muncul di sini. Sementara daerah Po-pan-bun biasanya dijaga secara ketat oleh anggota keluarga Lui, yaitu Lui Kun."

Demikian Su Bu-kui memberi penjelasan kepada Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tentang keadaan musuh mereka sepanjang perjalanan. "Kali ini Lui Sun tidak turut dalam penyerangan, aku rasa hal ini disebabkan dia sudah termakan laporan Hoa Bu-ciok yang mengatakan kalau Si Say-sin dan Mo Pak-sin dari empat malaikat sakti perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau berada di empang Tiok-lu-tong, mungkin dia akan turun tangan sendiri untuk melenyapkan kedua orang musuh bebuyutannya itu hingga tidak ikut serta dalam penyerbuan tadi." "Kalau begitu, bukankah posisi Si Say-sin dan Mo Pak-sin jadi sangat berbahaya?" tanya Ong Siausik penuh rasa ingin tahu. Dia jadi teringat luka yang diderita Tio Thiat-leng. "Padahal berita itu sebenarnya hanya berita bohong, ke-pergian Lui Sun pasti akan menubruk tempat kosong bahkan bila kurang hati-hati, dia malah bisa terperangkap oleh jebakan yang kami persiapkan," Su Bu-kui menerangkan, "saudara Yo dan Kwik Tang-sin dari perkumpulan Kim-hongsi-yu-lau telah mempersiapkan segala sesuatunya secara hebat, kami tak kuatir Lui Sun mengirim penyusup ke situ untuk mencari berita." "Kalau toh sejak awal kalian sudah waspada terhadap Hoa Bu-ciok, kenapa kalian tetap membiarkan dia masuk perangkap?" tanya Pek Jau-hui. "Sewaktu menyiarkan berita bohong itu, kami sama sekali tak berniat mempermainkan Hoa Buciok, aku pun tidak tahu siapa pengkhianat yang telah dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menyusup jadi mata-mata, waktu itu aku bermaksud melepas berita bohong, baru setibanya di Ku-swi-po aku ceritakan kejadian yang sebenarnya kepada semua anggota rombongan. Tak disangka Hoa Bu-ciok ternyata adalah seorang pengkhianat yang kemaruk harta. Jika Lui Sun pulang dengan hasil nihil, sementara rombongan mereka yang berusaha mencabut nyawa kami pun pulang dengan kegagalan, pertunjukkan bagus pasti akan segera terjadi." Kemudian setelah tertawa dingin, lanjutnya, "Padahal meskipun hari ini dia berhasil membunuhku, dengan tindakannya memberi laporan palsu, Lui Sun pasti tak akan melepaskan dirinya begitu saja. Hmmm, kalian tahu manusia macam apakah Lui Sun itu?!" Air hujan telah membasahi alis matanya yang mirip alis setan, namun tak mampu memadamkan cahaya api yang memancar keluar dari balik matanya, "Aku tak pernah mencurigai Hoa Bu-ciok ... aku tak pernah mencurigai saudara sendiri!" Mereka berlarian di tengah hujan deras, menentang angin, menerjang air hujan, hawa dingin yang membekukan badan tak mampu memadamkan api yang membakar hati semua orang. Api itu telah melekat pada keempat orang itu, bara api membuat mereka seakan terhubung satu dengan yang lain. Kehidupan manusia di dunia ini panjang dan penuh lika-liku, kapan harus melepas budi kapan harus bertemu dendam, siapa pun tak bisa meramalkan. Jika suatu saat dapat bersenang-senang kenapa tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk melampiaskan kesenangan? Keacuhan Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik seketika tersapu sirna oleh keangkuhan So Bong-seng, semangat tempur tiba-tiba berkobar di hati setiap orang, bergabung dengan Su Bu-kui, mereka serentak berangkat menuju ke Po-pan-bun.

Sebenarnya tempat macam apakah Po-pan-bun (pintu papan rongsok) itu? Sebenarnya Po-pan-bun adalah nama sebuah simpang tiga, bisa dinamakan demikian karena jalan keluar dari ketiga buah jalan itu harus melalui sebuah papan nama yang sudah kuno dan rongsok. Lorong di belakang ketiga buah jalanan itu terdapat sebuah pagar papan yang sangat tinggi, pagar papan itu mengelilingi seputar jalan hingga memisahkan antara daerah di depan jalan dengan bagian belakang jalan. Di belakang jalan merupakan sebidang tanah yang amat luas, seringkah orang menggembalakan sapi dan kambingnya di situ karena sekelilingnya hanya ada rumah bobrok kaum papa miskin tak berduit, sementara di bagian depan ketiga buah jalan itu berdiam orang-orang kaya berduit dan punya kedudukan. Oleh karena para orang kaya merasa sangat terganggu dengan kegiatan kaum miskin yang menggembalakan hewan peliharaannya di situ, maka mereka mendirikan pagar kayu mengelilingi tempat itu sebagai pemisah. Setelah bertahun-tahun, papan pagar itu mulai lapuk dimakan waktu, itulah sebabnya orang pun menyebut tempat itu sebagai pintu papan rongsok. Ketiga buah jalanan itu termasuk dalam wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Waktu itu, dalam gedung bangunan besar deretan ketiga pada jalanan kedua, berkumpul sekelompok manusia, namun dari kelompok manusia itu hanya ada lima orang yang duduk, empat di antara mereka adalah Tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Keempat orang itu adalah si Hwesio perlente, si nenek ke¬delai, Panglima tiga panah serta Tongcu kelima Lui Kun, orang kelima yang mendapat kehormatan untuk ikut duduk dibangku adalah Hoa Bu-ciok. Waktu itu Hoa Bu-ciok duduk dengan kepala terpekur, keadaannya persis seperti burung yang baru kena panah. Hwesio perlente dan nenek kedelai duduk dengan perasaan tak tenang, bahkan Panglima tiga panah yang berperawakan tinggi besar pun kelihatan sedikit tegang. Hanya seorang yang tetap duduk santai dan tenang bahkan menunjukkan sikap percaya diri. Orang itu duduk di kursi utama, duduk persis di tengah ruangan, bangkunya paling tinggi, menunjukkan kekuasaannya paling besar di antara semua yang hadir. Orang itu tak lain adalah Lui Kun. Lui Kun memang pantas percaya diri, selain berasal dari keluarga penguasa yaitu keluarga Lui, dia pun sangat mengandalkan sepasang senjatanya, Hui-thian-siang-liu-seng (sepasang bintang kejora terbang ke angkasa). Orang bermarga Lui yang bergabung dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong berjumlah tiga ratus tujuh puluhan orang, di antaranya banyak yang merupakan jago tangguh berilmu tinggi, namun ia tetap bisa menempati posisi nomor enam dalam jajaran kepemimpinan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, hal ini membuktikan kepandaiannya memang luar biasa.

Selain dia, anggota keluarga Lui lain yang bisa bercokol di jajaran Tongcu adalah Tongcu kedua Lui Tong-thian, Tongcu ketiga Lui Bi dan Tongcu keempat Lui Heng. Inilah salah satu alasan mengapa Lui Kun begitu percaya diri. Dia tahu, bila suatu ketika terjadi sesuatu atas dirinya, semisal melakukan kesalahan besar, Tongcu kedua, ketiga dan keempat serentak pasti akan berusaha melindunginya dan memintakan ampun untuknya, bahkan meski Lui Sun mau mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi pun, kesalahan itu tak nanti akan dilimpahkan ke atas pundaknya. Dalam aksinya kali ini, dialah yang merancang dan mengatur semua siasat dan persiapan. Tentu saja dia pun telah memperoleh persetujuan dari atasan, hanya satu hal yang belum dia ketahui secara jelas, dalam aksi pembunuhan terhadap So Bong-seng ini, sebenarnya ide ini muncul dari Toatongcu Ti Hui atau justru kemauan Congtongcu Lui Sun. Tapi dia percaya, ide ini pasti bukan muncul dari benak Lui-Sun. Orang luar banyak yang bilang, selama beberapa tahun terakhir ini, wilayah kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong banyak yang sudah berpindah tangan ke dalam kekuasaan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, bahkan orang bilang Lui Sun ibarat seekor singa tua yang ompong dan sudah dicabuti taringnya, dia sudah bertemu musuh yang lebih muda, lebih tangguh dan ganas melebihi anak panah, So Bong-seng! Kini pengaruh keluarga Lui sudah dihajar babak belur hingga tak punya kemampuan lagi untuk melancarkan serangan balasan! Tentu saja Lui Kun tidak puas dengan pernyataan itu. Dia sangat yakin dan percaya kalau kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama sekali tidak di bawah kemampuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, me-mang harus diakui hubungannya dengan pihak pemerintah dan kerajaan pihak lawan jauh lebih tangguh, tapi kalau bicara soal kemampuan dalam penyusupan dan perekrutan anggota, khususnya kerja sama dan jalinan hubungan dengan para jago kalangan hek-to, pek-to maupun liok-lim, kemampuan mereka jauh mengungguli perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. Atau dengan perkataan lain, dengan mengandalkan kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hunpoan-tong sekarang, mereka mampu bertarung habis-habisan melawan musuh. Itulah sebabnya selama ini dia selalu diliputi tanda tanya besar dan perasaan tak habis mengerti, kenapa Lui-congtongcu selalu berusaha menghindar, selalu bersikap mengalah terhadap tekanan yang dilakukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau! Dia tidak percaya So Bong-seng si setan sakit-sakitan itu benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa! Jika keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, besar kemungkinan reputasi dan kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong akan bertambah surut dan lemah. Maka Lui Kun memutuskan untuk melancarkan serangan, dia harus memberi hajaran dan pelajaran yang setimpal kepada perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau.

Dia tak peduli siapa yang mengusulkan dan ide itu datang dari mana, yang dia ketahui hanya segera menjalankan aksinya, siap menghajar dan menghabisi nyawa So Bong-seng. Sayang rencana besarnya mengalami kegagalan. Hasil yang diperolehnya hari ini membuat Lui Kun merasa sangat kecewa, bukan saja kawanan jago yang melakukan pengepungan pada kabur menyelamatkan diri, bahkan mata-mata mereka si Barang antik yang berhasil menyusup jauh ke dalam tubuh perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau harus membayar mahal dengan nyawanya, sementara penyusup yang lain, Hoa Bu-ciok terbongkar kedoknya. Kejadian ini membuat perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengalami kerugian yang fatal, pukulan telak khususnya dalam hal penyusupan mata-mata. Pihak lawan telah kehilangan dua orang panglima perang utamanya yaitu Te Hoa dan Wo Hu-cu, tapi kini si Hwesio perlente, si nenek kedelai dan Panglima tiga panah dirundung ketakutan akan pembalasan yang dilakukan So Bong-seng, kontan saja membuat Lui Kun menjadi sangat berang. "So Bong-seng itu manusia macam apa? Aku tak percaya kalau dia berkepala tiga berlengan enam!" demikian dia mengumpat, "kalian semua memang gentong nasi yang tak berguna, sudah balik dengan membawa kerugian, sekarang ketakutan setengah mati macam tikus ketemu kucing, benar-benar mem¬buat perkumpulan Lak-hun-poan-tong kehilangan muka!" Mengikuti petunjuk dari atasan, Lui Kun melakukan persiapan di sekeliling tempat itu, kemudian memerintahkan Tongcu kesebelas Lim Ko-ko untuk berjaga di pintu masuk Po-pan-bun, sementara dia sendiri mengumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk melakukan perundingan. Tentu saja dia tak perlu kuatir So Bong-seng datang menyerang, sebab pertama, ia pernah enam kali berhasil memukul mundur serangan musuh yang berusaha menerobos masuk melalui pintu Po-pan-bun, malah di antaranya termasuk serangan Mi Thian-jit yang memimpin tiga ratusan orang pasukan gerak cepat, tapi semuanya berhasil dia pukul mundur. Kedua, dia berpendapat So Bong-seng baru saja lolos dari bahaya maut, saat ini mungkin yang dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan diri, tak mungkin dia punya cukup nyali untuk melancarkan serbuan. Oleh sebab itulah Lui Kun tidak terlalu serius melakukan pertahanan, dia ingin mendengarkan pendapat Tongcu ketujuh, Tongcu kedelapan dan Tongcu kesepuluh sebelum mengambil keputusan. Dia lebih suka berbicara dulu dengan mereka sejelas-jelasnya sebelum akhirnya mengambil keputusan, dia berpendapat, usulan yang dikemukakan mereka selalu jauh lebih hebat daripada usulan oang lain, dia menganggap cara seperti ini merupakan salah satu cara untuk memperkuat cengkeramannya terhadap mereka, salah satu cara memperlihatkan kemampuan serta kekuasaannya. Dia pun berpendapat, hanya orang yang sudah memiliki kemampuan hebat dan kekuasaan tinggi saja yang mampu mem¬pergunakan cara seperti ini. Hal ini membuat dia selalu menikmati indahnya kekuasaan yang dimilikinya. ooOOoo 13 . Golok dan batok k epala "So Bong-seng bukan manusia!"

"Dalam keadaan dia sudah terhajar senjata rahasia kacang hijau milik Hoa Bu-ciok, kemudian aku, si Barang antik dan Hoa Bu-ciok bersama-sama menghajarnya, di luar pun masih ada empat ratusan panah yang diarahkan ke tubuhnya, tapi begitu goloknya berada di dalam genggaman "Sekali tebas dia mengiris sepotong daging di kakinya sendiri, tebasan kedua mendesak aku dan Hoa Bu-ciok sehingga harus mundur, bacokan ketiga berhasil membunuh si Barang antik. Golok iblisnya nampak menyala semakin merah setelah menghirup darah segar!" "Andai kata kami terlambat satu langkah saja untuk.kabur, mungkin..." "Golok milik So Bong-seng bukan sembarang golok, golok itu bukan dilancarkan ke arah kita, tapi mendatangkan rasa ngeri dan seram yang sukar dilawan, kengerian dan keseraman yang diciptakan golok itu belum pernah kami saksikan dan alami sebelumnya." "Ketika menyaksikan So Bong-seng mengayunkan goloknya ke arah si Barang antik, gaya serangannya begitu indah menawan, begitu anggun mengagumkan, tapi hanya sekali tebasan, kepala si Barang antik sudah terlepas dari badannya." Golok macam apakah itu?! Manusia macam apakah So Bong-seng?! Kalau dia manusia, kenapa bisa memiliki golok seperti itu?! Si nenek kedelai masih merasa ngeri setiap kali teringat keganasan dan kehebatan golok itu, laporan yang sebenarnya hendak disampaikan kepada Lui Kun seketika jadi tergagap dan beberapa kali tak sanggup diucapkan. "Aku bersembunyi di belakang dinding, menutup seluruh pernapasan, menutup semua pikiran, bahkan berusaha menahan detak jantung dan denyut nadiku, tujuannya tak lain agar telur busuk dari marga So itu tidak menyadari akan kehadiranku, itulah sebabnya aku baru berhasil dengan seranganku, Wo Hu-cu terhajar tiga batang jarum pelumat tulangku, dengan kemampuan Sauyang-jui-pit-jiu milik Wo Hu-cu, siapa yang sanggup menguasai keadaan jika dia tidak dirobohkan terlebih dulu "Aku pun memaksakan diri untuk bertarung melawan Te Hoa, memaksa racunnya kambuh hingga tewas, kemudian bertarung habis-habisan membendung serbuah Su Bu-kui, agar dia tak sanggup mendekati telur busuk So dan memberikan pertolongan kepadanya, tapi siapa sangka, di saat kemenangan hampir kita raih, tiba-tiba muncul dua orang bocah busuk yang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, coba kalau tidak ada mereka berdua, orang she So itu pasti sudah terkapar di tanah, selamanya dia tak mampu berlagak jadi seorang Hohan lagi dalam dunia persilatan!" Butiran air telah membasahi jidat Hwesio perlente, entah air keringat atau air hujan, coba kalau tiada bekas sundutan hio di atas jidatnya, ditinjau dari pakaian yang dikenakan, dandanannya yang perlente, orang pasti mengira dia bukan seorang Hwesio melainkan seorang lelaki botak. "Aku telah mempersiapkan empat ratus orang pemanah jitu, sebenarnya ingin kuciptakan empat ratus lubang di tubuh So-kongcu, tapi kemunculan kedua orang itu membuat barisan kami kacau, membuat pemanah kami kalang kabut dan tak keruan." "Banyak kejadian di dunia ini tercipta pada situasi yang tak terduga. Banyak sekali urusan kecil yang sepele atau pemikiran sesaat berakibat terjadinya perubahan besar atas suatu masalah atau keadaan, bahkan bisa terjadi pergantian dinasti atau pe¬merintahan, aku rasa penyebab utama

dalam kegagalan yang kita alami kali ini adalah tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan terjadinya peristiwa di luar dugaan itu." Cambang lebat memenuhi seluruh wajah Panglima tiga panah, jenggotnya pun tumbuh tebal tapi kacau bagai rumput liar, dia memiliki wajah kurus dengan jidat tinggi dan sempit, alis matanya kusut dan tebal, sekilas pandang, orang akan menyaksikan gumpalan hitam di bawah kopiah perangnya, sulit untuk melihat jelas bagaimana tampangnya. "Habis sudah kali ini, So Bong-seng adalah orang yang akan membalas setiap sakit hatinya!" "Kalian mengatakan dalam operasi kita kali ini pasti akan berhasil membinasakan So Bong-seng, karena itulah aku baru berani turun tangan. Tapi dalam operasi sepenting ini kenapa Congtongcu tidak datang? Bahkan Toatongcu pun tidak turut muncul di sini? Sekarang So Bong-seng gagal dibunuh, dia pasti tak akan melepaskan kita semua, paling tidak dia pasti akan datang untuk membunuhku, Ngo-tongcu, kau harus mencari jalan keadilan bagiku!" Sekujur badan Hoa Bu-ciok gemetar keras, sejak dilahirkan hingga setua ini, belum pernah dia merasakan ketakutan seperti apa yang dialaminya sekarang. Dulu setiap kali menghadapi saat yang gawat, saat penentuan mati hidup, dia selalu tampil berani dan penuh semangat, tapi sekarang dia merasakan kegugupan yang luar biasa, rasa tak berdaya yang luar biasa, karena secara tiba-tiba dia telah ke¬hilangan keberanian dan kegagahan yang pernah dimiliki dulu, kehilangan kekuatan yang luar biasa itu. Kekuatan apakah itu? Mengapa di saat dia berkhianat, di saat dia menjual junjungannya dan selesai membantai saudara sendiri, tiba-tiba kekuatan itu hilang lenyap tak berbekas? Kini giliran Lui Sun yang berbicara. Sepasang mata besarnya yang berwibawa dan bersinar tajam, bagaikan sambaran petir menyapu wajah setiap anak buahnya, Si Nenek kedelai, si Hwesio perlente, Hoa Bu-ciok dan Panglima tiga panah, semua orang merasa hatinya bergetar keras ketika tertimpa sorot matanya. Dengan suara keras menggelegar bagai bunyi guntur, ujar Lui Sun, "Nenek kedelai, perkataanmu hanya memadamkan semangat orang sendiri, padahal hasil yang kalian capai kali ini tidak terhitung jelek, paling tidak kalian telah berhasil membantai dua orang jenderal andalan si setan penyakitan itu dan membuat kekuatannya terpukul, untuk memulihkan kembali kekuatannya, dia butuh banyak waktu untuk mengumpulkan kembali tenaga baru. Jelas apa yang kalian lakukan merupakan sebuah jasa yang amat besar. Kalian semua harus tahu, orang she So itu hanya seorang manusia, manusia yang menggunakan golok, senjata yang digunakan pun tak lebih hanya sebilah golok, kenapa kau mesti mengagulkan kehebatannya?" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Dalam penggropyokan kali ini, kalian semua telah menyerempet bahaya dan mempertaruhkan nyawa, maka semua orang akan mendapat imbalan, khususnya Hwesio perlente yang mempertaruhkan nyawa untuk membantai orang she So itu, andaikata kau berhasil membunuhnya, tentu saja jasamu luar biasa, tapi sekarang orang she So itu belum mampus, maka kau mesti berjuang lebih hebat lagi!" "Lu Sam-cian, tampaknya kau lebih tahu diri, atau mungkin kau ingin lari dari tanggung jawab? Jangan lupa, panglima yang kalah perang lebih baik tak usah bicara takabur, kau membawa empat ratus orang pemanah jitu tapi tak mampu membunuh seorang setan penyakitan yang hampir mampus, kalau harus melakukan pemeriksaan, mungkin kau sendiri pun tak bisa menjawab semua pertanyaan secara jelas."

"Kini operasi pun sudah telanjur dilaksanakan, seharusnya kita tak perlu takut pembalasan dari orang she So itu! Lebih baik lagi jika si setan penyakitan itu berani datang kemari, aku Lui-longo akan menanti kedatangannya di sini. Wahai Hoa Bu-ciok, kau jangan macam orang kehilangan sukma, uang taruhan pun sudah kau pasang, jangan tunjukkan sikap lemahmu itu!" Sekali lagi Lui Sun menatap wajah setiap anak buahnya dengan sorot mata yang tajam, kemudian baru berkata lagi, "Kali ini manusia she So itu sudah menderita luka parah, anak buahnya pun banyak yang mampus, paling tidak dia mesti mengatur barisan terlebih dulu sebelum melakukan pembalasan, aku rasa langkah kita kali ini sudah tepat sekali, bukankah begitu?" Ketika dia mengajukan pertanyaan yang diakhiri dengan pertanyaan "bukankah begitu", tentu saja dia berharap jawaban yang diperoleh adalah "Benar" dan tentu tak ingin mendengar kata "tidak benar". Jika dia menginginkan orang lain menjawab dengan kata "tidak benar", tentu saja pertanyaan yang diajukan tak akan memberi kesempatan kepada orang lain untuk tidak menjawab "Benar". Kadang kala dalam sebuah rapat, ada orang yang pada hakikatnya berharap orang lain hanya membawa telinga dan tak usah disertai dengan mulut. Tentu saja terkecuali di saat dia butuh pujian dan sanjungan dari orang lain. Di saat dia mengucapkan kata "bukankah begitu", tiba-tiba dari balik suara hujan yang berderai di luar sana terdengar suara pekikan melengking yang ditimbulkan dari suara seruling besi. Suara seruling itu tinggi menusuk pendengaran, suaranya bersahut-sahutan tiada putusnya. Berubah hebat paras muka Lui Sun. Tiga orang lelaki bercelana pendek berbaju longgar serentak masuk ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut. "Cepat katakan!" hardik Lui Sun cepat. Dua orang yang ada di belakang segera menyingkir ke samping, sementara lelaki di tengah melapor, "Di depan jalan telah kedatangan musuh tangguh, Tongcu kesebelas sedang melakukan perlawanan sekuat tenaga!" Mendengar laporan itu, paras muka Hoa Bu-ciok seketika berubah jadi pucat keabu-abuan, sekujur badannya gemetar keras, gemetar saking takutnya. "Kurangajar, besar amat nyalinya!" bentak Lui Sun penuh amarah, kepada Panglima tiga panah segera perintahnya, "kau segera bawa pasukan berjaga di jalan belakang! Saat ini mereka menyerang jalan depan, kita mesti waspada terhadap ancaman yang datang dari jalan belakang!" "Baik!" Panglima tiga panah segera bangkit dan beranjak pergi. Dalam pada itu Hoa Bu-ciok semakin ketakutan, dengan badan menggigil dan bibir gemetar, bisiknya, "Dia ... dia telah datang!" Lui Sun menarik napas panjang, beruntun dia turunkan tujuh perintah darurat untuk memohon bantuan, kemudian pikirnya, "Kemana perginya Congtongcu dan Toatongcu? Mestinya Loji, Losam dan Losu harus segera menyusul kemari Tapi pikiran lain segera melintas dalam benaknya, dalam waktu singkat dia harus berhadapan dengan So Bong-seng, si jagoan yang amat menggetarkan sungai telaga, dia tak tahu apakah

kemampuannya sanggup menandingi kehebatan orang itu, tanpa terasa peluh dingin mulai membasahi telapak tangannya. Tapi sejenak kemudian ia sudah dapat mengendalikan diri, ujarnya kemudian, "Baiklah, kalau dia memang sudah datang, mari kita sambut kedatangannya!" "Tidak usah!" mendadak terdengar seseorang menyahut, suara itu bergema persis di depan tubuh Lui Sun. Menyusul kemudian tampak cahaya golok beterbangan di angkasa, selapis cahaya golok menyambar lewat persis di atas kepala Hoa Bu-ciok! Cahaya golok itu muncul dari sisi tubuh dua orang lelaki bercelana pendek itu. Lui Sun membentak nyaring, sepasang senjata martil bintang kejoranya yang mempunyai bobot sembilan puluh tiga kati berada di tangan kiri dan lima puluh sembilan kati di tangan kanan, segera meluncur ke udara dengan kecepatan luar biasa. Senjata aneh dengan bobot yang berbeda ini merupakan senjata yang paling sulit dipelajari, tapi bila berhasil dikendalikan, maka akan berubah menjadi sepasang senjata yang paling susah dihadapi, bukan saja mampu menjangkau jarak jauh bahkan memiliki daya membunuh yang luar biasa. Menyusul meluncurnya sepasang martil bintang kejora itu menembus angkasa, bayangan tubuhnya ikut lenyap. Cahaya golok masih menyambar kian kemari, bagai hembusan angin tahu-tahu senjata itu sudah mampir di atas kepala gundul si Hwesio perlente. Menyadari datangnya ancaman, si Hwesio perlente segera membentak nyaring, senjata mangkuk tembaga dalam genggamannya kontan disambitkan untuk membendung datangnya ancaman. Bukan hanya itu, seratus delapan biji tasbih yang ada dalam genggamannya turut dilontarkan ke depan, menyusul badannya menerobos melalui jendela dan berusaha kabur. Sekarang dia hanya berharap bisa menangkis bacokan maut dari So Bong-seng, kemudian memanfaatkan peluang yang ada untuk melarikan diri dari ancaman kematian. Anggapannya dalam ruangan itu hadir banyak sekali jago tangguh, asal dia berhasil lolos dari bacokan itu, niscaya ada orang lain yang akan membendung serangan dari So Bong-seng. Daun jendela hancur berantakan tertumbuk tubuhnya, di luar hujan masih turun dengan derasnya. Benar saja, dia berhasil melarikan diri keluar dari ruangan. Tapi bagaimana mungkin dia tahu kalau berhasil kabur? Dalam waktu singkat dia menyadari akan sesuatu, ternyata tubuhnya yang berhasil melompat keluar dari balik jendela, namun tubuh tanpa kepala. Mengapa tubuhnya bisa tak berkepala? Bukankah jelas tubuh itu miliknya? Pakaian yang dikena¬kan pun miliknya, tapi....

Jangan-jangan........... Hanya sampai di situ yang bisa dibayangkan si Hwesio perlente, dia tak berpikir lebih jauh lagi. Ya, dia memang tak mampu berpikir lagi, karena dia sudah kehilangan kemampuannya untuk berpikir. Si nenek kedelai dengan jelas telah menyaksikan bacokan golok So Bong-seng ketika menebas kutung batok kepala Hoa Bu-ciok, caranya menebas persis sama seperti ketika ia memotong kepala si Barang antik, indah, cepat dan sedikit membawa romantika yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Menyusul kemudian tebasan golok yang kedua, Hwesio perlente sebagai sasarannya, dan ia berhasil menemukan sang Hwesio itu. Cahaya golok yang membawa warna merah berputar satu lingkaran di sekeliling tengkuk Hwesio perlente di saat tubuhnya baru saja melompat ke depan siap menerjang daun jendela, saat itu kebetulan kepala sang Hwesio baru saja berhasil menjebol jendela,- maka batok kepalanya mencelat terlebih dahulu keluar dari jendela kemudian baru disusul tubuhnya. Setelah itu golok merah tadi melayang balik ke tangan So Bong-seng. Pada saat itulah So Bong-seng berpaling, sorot matanya yang lebih tajam dari sembilu sedang memandang ke arahnya. Dalam waktu singkat si nenek kedelai nyaris menangis saking panik dan takutnya, belum sempat pecah isak tangisnya, terdengar Lui Sun sudah meraung keras, suaranya menggelegar bagai guntur. Lui Sun betul-betul tidak habis mengerti, tatkala ada bayangan abu-abu berkelebat tadi, sepasang martilnya secepat petir telah mengejar ke situ, karena dia tahu bayangan abu-abu itu adalah So Bong-seng. So Bong-seng ternyata berani melanggar wilayahnya, padahal dia adalah orang yang hendak dibunuhnya! Kenyataan yang sedang berlangsung saat ini ibarat sekeping ujung pisau yang sudah terbakar membara, menghujam di atas lantai dimana ia sedang berada! Reaksi kelewat emosi membuat seluruh tubuhnya nyaris melejit ke udara, bahkan dipenuhi semangat tempur yang tinggi. Saat ini semangat tempur bahkan jauh lebih membara ketimbang kekuatan hidupnya! Dia lebih rela mati, tapi pertarungan tak boleh tak terselenggara! Bila ia berhasil membunuh So Bong-seng, maka posisinya dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti akan terangkat, kedudukannya pasti lebih berbobot! Dengan membunuh So Bong-seng, nama besarnya akan berkibar di antero jagad, wibawanya akan menggetarkan dela¬pan penjuru!

Bila seseorang ingin melakukan satu pekerjaan yang menghebohkan, tapi ia tak berani melangkahi atasan, tak berani mendahului atasan, padahal dia tak pernah mau takluk pada orang kenamaan lainnya, maka dalam hati kecilnya dia akan menciptakan seorang musuh besar, musuh besar yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang melampaui kemampuannya, mengalahkannya bahkan membunuhnya, untuk membuktikan kemampuan dan kehebatan dirinya. Musuh besar yang diciptakan Lui Sun di hati kecilnya adalah So Bong-seng. Apalagi ketika orang lain memandangnya setengah mengejek. Menganggapnya bagai cahaya kunang kunang yang hendak menandingi sinar rembulan, Lui Sun akan merasa semakin gelisah, panik bercampur gusar. Suatu hari nanti, dia harus berhasil mengalahkan So Bong-seng. Hanya dengan mengalahkan So Bong-seng, dia baru bisa membuktikan keberadaan dirinya! Maka saat ini, ia sudah dibakar hingga sakit oleh semangat tempurnya, dia mulai menyerang dan menggempur So Bong-seng secara kalap, biarpun kalap, tidak berarti jurus serangan yang digunakan ikut kalap. Sepasang senjata martilnya diayunkan, martil yang berat bergerak dari belakang mengejar ke depan sementara martil yang enteng dari depan melakukan penghadangan, satu depan yang lain belakang melakukan penggencetan, asal terbentur salah satu saja di antaranya niscaya batok kepala musuh akan hancur. Pada waktu itu martil ringannya jelas terlihat seakan dapat menggempur tubuh lawan dari arah depan, siapa tahu So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan tubuh, tahu-tahu serangan itu sudah lewat begitu saja tanpa sanggup menyentuhnya. Sementara martil beratnya yang jelas segera akan menghajar belakang kepala lawan, tapi entah mengapa, ketika berada pada jarak setengah inci dari sasaran, tahu-tahu rambut belakang kepala So Bong-seng berdiri tegak bagai landak, bukan saja serangannya gagal mengenai sasaran, bahkan terasa seakan ditangkis dengan toya baja, senjata itu mencelat ke arah lain. Saat itulah So Bong-seng dengan dua kali lompatan telah berhasil memenggal kepala Hoa Bu-ciok serta si Hwesio perlente. Golok yang semula berwarna semu merah, kini telah berubah jadi merah membara, merah bagaikan kilatan halilintar. Merah membara sepasang mata nenek kedelai, ia sadar nyawanya sudah di ujung tanduk, mendadak ia lepaskan pakaian compang-camping yang dikenakannya. Ketika pakaian compang-camping itu digetarkan keras, mendadak benda itu menggulung jadi satu dan terbentuk sebatang tongkat panjang yang bisa digunakan secara keras mau¬pun lembek, sambil mengayunkan senjatanya itu dia menangkis babatan golok yang menyambar ke arah batok kepalanya. Cahaya merah segera menyelimuti angkasa, diikuti hamburan hujan bunga menyebar keempat penjuru. Ternyata senjata gulungan kain yang berada dalam genggaman nenek kedelai telah hancur berantakan jadi ribuan keping dan tersebar keempat penjuru, dengan tergopoh-gopoh nenek itu melesat mundur untuk menghindar, namun desingan angin tajam tetap membabat di atas kepalanya, tahu-tahu sebagian besar rambutnya sudah terpapas kutung dan berhamburan kemana-mana. Sekali lagi cahaya golok berkelebat, kali ini senjata itu balik kembali ke dalam baju So Bong-seng.

"Tidak mudah untuk menangkis serangan golokku ini," terdengar So Bong-seng berkata dengan suara dingin, "ingat, hari ini aku memang sengaja tidak membunuhmu, ini kulakukan karena satu alasan, karena kau tidak pernah membunuh saudaraku dengan tanganmu." Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih menyeramkan ia menambahkan, "Siapa yang membunuh saudaraku, dia harus mampus!" Selesai berkata, ia membalikkan badan dan segera berlalu. Bukan saja ia tak memandang sebelah mata terhadap keempat ratus delapan puluh enam anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung rapat sekeliling tempat itu, bahkan dia pun seakan tidak melihat kalau di situ hadir seorang jagoan yang bernama Lui Sun. Tak heran bila Lui Sun mencak-mencak macam orang kebakaran jenggot. Penghinaan ini dirasakan olehnya jauh lebih menderita, jauh lebih tersiksa ketimbang dibunuh. Paling tidak ia merasa sangat dipermalukan saat ini. ooOOoo 14. Or ang dalam pasar Seandainya Lui Sun tidak mengeluarkan jurus serangan Hong-yu-siang-sat (angin hujan sepasang malaikat), mungkin kerugian yang dialaminya tidak sampai membuatnya sangat sedih dan menderita. Namun keberhasilannya di kemudian hari pun mungkin tak akan sedemikian besar. Dalam kehidupan manusia banyak tersedia langkah yang bisa ditempuh, banyak keputusan yang bisa diambil, sekali kau melangkah keluar, sekali kau mengambil keputusan, mungkin pada saat ini kau menilai langkah dan keputusanmu itu keliru, namun di kemudian hari bisa saja kekeliruan itu justru merupakan kebenaran. Mungkin saja hari ini kau merasa langkah dan keputusanmu itu sudah benar, tapi setelah berkembang hari esok, bisa saja langkah dan keputusanmu itu justru merupakan sebuah kesalahan besar. Kesalahan kerap kali ibarat golok dengan dua sisi, membelah sebab dan akibat, jodoh dan berpisah. Jika seseorang sudah terbiasa merasakan kesuksesan dan keberhasilan, kemungkinan besar dia tak akan menikmati keberhasilan atau kesuksesan yang lebih besar lagi, sebaliknya jika seseorang sudah terbiasa menderita dan tersiksa, keadaan itu tak bisa dibilang satu kejadian yang jelek. Kalau tak ada gunung yang tinggi, mana mungkin ada tanah yang datar? Lalu bagaimana pula dengan hasil serangan yang dilancarkan Lui Sun kali ini? Kemana perginya golok merah So Bong-seng? Hawa pem¬bunuhan yang mengerikan itu apakah bisa berkembang tapi tak bisa dikendalikan? ooOOoo

Sebelum sepasang senjata martil milik Lui Sun dilontarkan, senjata itu sudah berputar kencang bagaikan gangsing, kemudian setelah dilontarkan, senjata itupun saling membentur hingga menimbulkan suara keras, tak ada orang yang bisa memastikan dari sudut mana serangan akan dilancarkan, juga tak ada yang tahu dengan cara bagaimana serangan itu akan menghajar bagian tubuh yang mematikan, bahkan termasuk Lui Sun sendiri pun tak bisa menentukan. Dia hanya bisa memastikan satu hal, bila seseorang terhajar oleh sepasang martilnya secara telak, jangan harap tulang belulangnya bisa utuh, dan jangan harap nyawanya dapat diselamatkan. Kini keadaan Lui Sun ibarat orang yang menunggang di punggung harimau, sudah kepalang basah untuk turun lagi, dia mulai menyadari akan kemampuan sendiri. Seandainya serangan sepasang martilnya tak mampu mencabut nyawa So Bong-seng, paling tidak dia harus menghadiahkan sebuah tanda mata di atas tubuhnya. Siapa sangka peristiwa lain telah terjadi, bahkan sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan pertanda atau gejala apa pun. Ketika sepasang martilnya tiba di hadapan So Bong-seng, tidak terlihat musuh melakukan sesuatu gerakan, tahu-tahu rantai baja pengikat sepasang senjatanya telah putus jadi dua bagian. Sebagus apa pun permainan senjata martilnya, asal rantai pengaitnya putus, maka martil itu tak beda jauh dengan buah semangka, yang satu menggelinding keluar ruangan, memaksa kawanan jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang mengepung tempat itu harus memberi jalan lewat, sementara yang lain membentur dada wakil Tongcu yang sedang bertarung sengit melawan Su Bukui, akibatnya tulang dada orang itu remuk dan amblas ke dalam, darah segar segera menyembur keluar dari mulutnya. Hingga kini, So Bong-seng masih belum juga melirik ke arah Lui Sun walau hanya sekejap, bahkan sepatah kata pun tak sudi diucapkan kepadanya. Ia tetap melanjutkan ayunan kakinya berjalan keluar dari situ, berjalan sambil berseru kepada Su Bu-kui yang sedang membendung serbuan dari anggota perkumpulan enak setengah bagian, "Kita segera pergi dari sini!" Sepasang martil yang masih menggelinding di atas tanah pun seolah sama sekali tak ada sangkutpaut dengan dirinya. Su Bu-kui segera menarik kembali goloknya. Ia menarik kembali senjatanya secara tiba-tiba dan dilakukan sangat cepat, akibatnya sebilah golok, tiga bilah pedang dan lima batang tombak yang sedang bertarung sengit nyaris menghujam semua ke atas tubuhnya. Tindakan Su Bu-kui yang menarik golok secara mendadak membuat pertahanan tubuhnya sama sekali terbuka, tapi tindakannya ini justru membuat kawanan jago yang sedang bertarung melawannya serentak ikut menarik kembali senjatanya, mereka mengira tindakan itu merupakan sebuah perangkap. Bahkan salah satu di antara kawanan jago itu segera menancapkan tombaknya di atas tanah guna mengerem gerakan tubuhnya yang sudah telanjur menerjang ke depan, percikan bunga api berhamburan kemana-mana. Sementara itu Su Bu-kui sudah menyusul di belakang So Bong-seng, berjalan keluar dari situ.

Tak seorang pun berani menghalangi mereka. Tak seorang pun mampu menahan mereka. Tiba di depan pagar pekarangan, So Bong-seng menggerakkan kakinya menendang, martil sebarat sembilan puluh tiga kati itu mencelat ke udara dan meluncur balik ke dalam halaman. Semua orang menjadi sangat panik, suasana menjadi gempar, berbondong-bondong kawanan jago itu menyingkir ke samping menghindarkan diri, siapa pun tak ingin tertimpa sial. "Blaaam!", diiringi suara benturan keras, martil berat itu menghajar di atas dinding bangunan dan menghancurkan tulis¬an "enam" yang tertera jelas di situ. Dinding batu itu hancur berantakan, di antara debu dan pasir yang beterbangan di angkasa, tahutahu bayangan tubuh So Bong-seng sudah lenyap dari pandangan. Kini yang tersisa di atas dinding tembok itu tinggal tiga huruf besar yaitu "perkumpulan ... setengah bagian", ditambah sebuah senjata martil yang tergeletak di tanah. ooOOoo Di luar sana hujan masih turun membasahi permukaan bumi. Kini hujan sudah mulai mereda, yang tersisa hanya hujan gerimis. Walau begitu, awan gelap masih bergelantung di angkasa, awan basah yang membawa air masih merapatkan barisannya. So Bong-seng sudah keluar menuju ke jalan raya, langkahnya sangat cepat, Su Bu-kui mengintil terus di belakangnya, setengah jengkal pun tak mau ketinggalan. Tadi So Bong-seng menyuruh dia "segera pergi" dan bukan "pergi", maka begitu mendapat perintah, ia segera menghentikan serangannya bahkan tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. "Pergi" dan "segera pergi" memang beda artinya. Dia sangat mengenal watak So Bong-seng, dia sudah hapal dengan kebiasaan pemimpinnya, terutama sewaktu menurunkan perintah, ia tak pernah membawa embel-embel kata, setiap penambahan satu kata berarti mempunyai tujuan tertentu. Situasi sudah dikuasai, pembunuh pun sudah membayar dengan nyawanya, mengapa So-kongcu masih ingin pergi secepatnya? ooOOoo Setelah meninggalkan Po-pan-bun, So Bong-seng segera melihat dari sudut kiri dan kanan jalan muncul dua orang yang jalan berdampingan. So Bu-kui berjalan di belakang pemimpinnya. Dua orang yang baru saja muncul itu, salah satu di antaranya masih berdiri santai di bawah curahan hujan, sikapnya yang tenang dan santai tak beda jauh dengan keadaannya di saat biasa,

seseorang yang tak pernah menganggap air hujan sebagai hal yang memuakkan, baginya setiap butir air hujan seakan sama berharganya dengan sebutir mutiara. Tentu saja mereka adalah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Ketika berjumpa So Bong-seng dari balik mata mereka segera terpancar perubahan cahaya yang aneh. Sinar mata Pek Jau-hui membara seakan sedang terbakar, sementara sinar mata Ong Siau-sik berkilauan seakan bintang di langit. So Bong-seng sama sekali tidak mengajukan pertanyaan, bicara pun tidak. Dia telah mengutus Ong Siau-sik untuk menyerang jalan muka dan mengirim Pek Jau-hui untuk menyerang jalan belakang, tentu saja kedua penyerangan itu hanya penyerangan tipu¬an, tujuannya hanya untuk mengalihkan konsentrasi dan perhatian lawan. Dia baru pertama kali bertemu dengan mereka berdua, tapi dia telah menyerahkan 'tugas sulit' ini kepada mereka. Jika mereka gagal dalam menjalankan tugas, bila kekuatan di jalan depan dan jalan belakang terhimpun jadi satu, maka So Bong-seng tak nanti bisa menggetarkan sukma semua orang, dia tak mungkin bisa lolos dari kepungan lautan manusia secara mudah. Tapi So Bong-seng sangat berlega hati, dia tahu, kedua orang itu pasti sanggup melaksanakan tugasnya, bahkan melaksanakan tugas itu dengan baik. Sanggup melaksanakan tugas dan bisa melaksanakan tugas beda sekali artinya, sama seperti seseorang yang bisa menyanyi, bisa menyanyikan lagu yang merdu dan bisa membuat nyanyian yang terdengar merdu, jelas mempunyai arti yang berbeda. Sekarang mereka sudah muncul di situ, sama artinya mereka telah berhasil menggiring pergi pasukan yang ada di jalan depan dan jalan belakang kemudian baru berkumpul di situ. Begitu bertemu mereka, So Bong-seng hanya berhenti sejenak, lalu berseru, "Bagus sekali." Setelah itu katanya pula, "Ayo, pergi!" Bagi So Bong-seng, "Bagus sekali" sudah merupakan kata pujian yang paling tinggi. Dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, paling hanya delapan belas orang yang pernah mendapat pujian "bagus", di antara mereka mungkin tak ada sepertiganya yang pernah memperoleh kata pujian "bagus sekali". "Ayo, pergi", jelas sebuah perintah. "Pergi?" Pek Jau-hui segera mengulang. So Bong-seng tidak menanggapi. Dia memang tak suka mengulang kata yang sama dua kali. "Mau pergi kemana?" kembali tanya Pek Jau-hui. "Kembali ke Kim-hong-si-yu-lau!" "Kita tidak saling mengenal, paling hanya berjodoh untuk bertarung bahu membahu, kenapa kita tidak segera menyudahi pertemuan ini?" kata Pek Jau-hui seraya menjura.

Dengan sorot mata bagaikan bintang berapi, So Bong-seng menyapu sekejap wajahnya. "Perkataan itu bukan muncul dari dasar hatimu," katanya, kemudian terusnya, "sekarang kalian enggan ikut aku pun sudah tidak mungkin!" "Kenapa?" kali ini Ong Siau-sik yang bertanya. "Tampaknya penghadangan dan usaha pembunuhan yang dilakukan di Ku-swi-poh bukan maksud Lui Sun, pimpinan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi menggunakan kesempatan di saat aku membalas dendam ke Po-pan-bun lalu melakukan penghadangan dan pembunuhan di saat aku pulang baru merupakan maksud tujuan Lui Sun yang sebenarnya." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Oleh sebab itu kalian tak punya pilihan lain, perjuangan kita belum berakhir, tak seorang pun dapat mengundurkan diri dari rombongan." Bagi orang yang terkepung pasukan musuh, biasanya hanya tersedia dua pilihan, menerjang keluar dari kepungan atau menyerahkan diri. Jika ingin menerjang keluar dari kepungan berarti harus bertempur, jika ingin menyerah berarti membiarkan orang menghukum semaunya, mau dicincang seperti seekor anjing atau disembelih seperti seekor babi, tak mungkin bisa melawan maupun membangkang. Siapa suruh menyerah? Bila seseorang sudah pasrah pada nasib, sudah menyerah, apa dan bagaimanapun sikap musuh, orang hanya bisa menurut dan menerimanya tanpa membantah. Itulah sebabnya lebih banyak orang yang rela berjuang hingga titik darah penghabisan ketimbang menyerah. Pek Jau-hui menghela napas panjang, katanya, "Aku lihat, semenjak menyelamatkan dirimu, bibit bencana ini sudah sulit terlepas dari tubuh kami." "Apakah kalian berharap setiap persoalan yang terjadi di kotaraja sama sekali tak ada hubungannya dengan kalian?" kata So Bong-seng sambil mengerling sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin. Pek Jau-hui tidak menanggapi. Ketika mereka berempat tiba di jalan raya Tang-sam-pak, tampak jalan raya itu masih ramai orang berjualan kendatipun hujan masih turun tiada hentinya. Di sebuah istal terikat beberapa ekor kuda, ada dua tiga orang sedang memberi rangsum kudakuda tunggangan itu. Di situ pun terdapat tiga pedagang daging, satu pedagang daging sapi, satu pedagang daging kambing dan satu pedagang daging babi. Selain itu terdapat juga sebuah toko asah pisau, di sampingnya warung penggilingan kedelai, di depan toko itu ada orang menjual tahu, ada penjual sayuran, penjual ayam, bebek, ikan, udang, ada juga pedagang kaki lima yang menjual sau-pia, kue apem, bakpao, malah ada pedagang air gula, kue manis, air tebu, bakso, di samping pemain wayang potehi, penjual gang-sing dan layang-layang, penjual gula-gula, penjual kulit hewan.

Asal benda itu biasa terlihat dijual di pasar, semuanya hampir ada juga di tempat itu. Padahal kejadian ini bukan kejadian aneh, karena jalanan itu memang merupakan sebuah pasar. Yang aneh justru adalah orang-orang itu, tidak seharusnya mereka muncul di tengah hari hujan begini. Para pedagang kaki lima itu pada hakikatnya tidak meng¬anggap saat itu hujan sedang turun. Mereka semua tetap bertransaksi, tetap menjajakan barang dagangannya, seakan mereka menganggap saat itu adalah saat yang cerah, matahari bersinar cerah, angin berhembus sepoi. Satu-satunya yang berbeda di situ adalah tak ada orang yang berbelanja. Pedagang mana pun di dunia ini pasti berdagang untuk para pembeli, tapi keempat lima puluhan orang pedagang itu seakan tidak melayani pembeli umum. Ya, mereka hanya khusus melayani satu orang 'pembeli' saja. Pembeli itu tak lain adalah Locu atau ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau So Bong-seng, seorang jagoan yang disebut nomor wahid dalam ilmu golok, seorang pemimpin organisasi besar yang asal-usulnya penuh misterius, namun mengendalikan sebagian besar jago golongan hek-to maupun pek-to dalam dunia persilatan dan mengendalikan para pejabat negara. Ketika mereka berbelok ke jalan Tang-sam-pak, para pedagang dan penjaja kaki lima yang memenuhi jalanan itu sudah menantikan kedatangan 'pembeli'nya. ooOOoo Tanpa terasa Pek Jau-hui menarik napas panjang. Sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal, ia menarik napas dalam-dalam. Setiap kali sedang merasa tegang, dia pasti akan menarik napas dalam-dalam. Sejak kecil ia sudah diberitahu, bila seseorang berada dalam keadaan tegang maka tariklah napas dalam-dalam, sebab dengan menarik napas dalam, maka emosinya akan mendatar, jika emosi sudah datar, perasaan pun tenang, bila perasaan sudah tenang, konsentrasi pun akan mencapai puncaknya. Sekarang ia butuh konsentrasi, karena musuh besar sudah muncul di depan mata. Sudah delapan tahun ia terjun dalam dunia persilatan, sudah membunuh musuh tangguh dalam jumlah yang tak sedikit, tapi hingga kini masih jarang orang mengenal nama "Pek Jau-hui". Hal ini disebabkan dia masih belum ingin ternama. Bila harus punya nama, dia ingin punya nama besar, nama yang amat tersohor, nama kecil keuntungan kecil masih tidak dipandang sebelah mata. Agar sementara waktu ia tidak peroleh 'nama besar yang tak berarti, dia tak segan melenyapkan mereka yang tahu kalau dia memiliki kepandaian silat yang luar biasa.

Orang berilmu tinggi, bercita-cita setinggi langit yang mampu bersabar dan bertahan menjadi seorang jago tak bernama selama delapan tahun, tentu saja ia termasuk orang yang pandai menahan diri, pandai mengendalikan perasaan sendiri. Tapi kini, setelah menyaksikan pemandangan yang terpampang di bawah curah hujan, ternyata dia tak sanggup menahan diri. Manusia yang terlihat berdiri di bawah curah hujan berjumlah tujuh puluh dua orang, di antaranya ada enam belas orang yang menyembunyikan diri, apabila orang-orang itu melancarkan serangan secara bersama, maka keadaannya akan tiga belas kali lipat lebih menakutkan ketimbang diancam bidikan panah oleh empat ratus orang pemanah di Ku-swi-po tadi. Tidak lebih tidak kurang, persis tiga belas kali lipat! Setelah memperhitungkan situasi yang dihadapinya, sekalipun Pek Jau-hui dapat menahan diri, kini keyakinannya mulai goyah, dia mulai tak mampu mengendalikan diri. Ketika ia mulai tak sanggup mengendalikan diri, terpaksa ditariknya napas panjang-panjang. Walaupun setelah menarik napas panjang tidak berarti perasaannya berhasil dikendalikan, paling tidak tarikan napas yang dalam ini membuktikan kalau dia masih hidup. Hanya manusia hidup yang bisa menikmati tarikan napas, karena bisa bernapas bukan satu kejadian yang terlalu buruk. Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan tangan dan kakinya mulai membeku, membeku karena kedinginan. Dia paling tak suka reaksi seperti ini. Setiap kali perasaannya mulai tegang, biarpun napasnya tidak kalut, biar detak jantungnya tak bertambah cepat, biar kelopak matanya tidak melompatlompat, tapi tangan dan kakinya selalu berubah jadi beku, dingin kaku bagaikan direndam dalam kolam salju, membuat seluruh badannya kaku karena kedinginan. Bila ada orang memegang tangan atau menyentuh kakinya dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan salah mengira kalau ia sedang ketakutan. Padahal dia tidak takut, tak pernah merasa takut, dia tak lebih hanya merasa tegang. Tegang beda dengan takut, tegang bisa meninggikan semangat tempur, tapi takut justru menurunkan semangat juang. Ong Siau-sik memang gampang merasa tegang, jangan kan menghadapi situasi segawat ini, bertemu Un Ji saja tangan dan kakinya jadi dingin, ketika pertama kali bersua dengan So Bong-seng, kaki tangannya juga dingin membeku seolah baru keluar dari rendaman salju. Itu semua bukan berarti dia takut pada Un Ji, takut pada So Bong-seng. Ketika bersama Un Ji, Ong Siau-sik merasa teramat gembira, ketika bergaul dengan So Bong-seng, ia justru merasakan rangsangan yang luar biasa. Terlepas gejolak perasaan mana yang dialaminya, semua itu tak ada sangkut-pautnya dengan perasaan takut. Tapi setiap kali orang lain mengetahui kaki dan tangannya jadi dingin, semua orang salah mengira dia sedang ketakutan. Padahal bagi Ong Siau-sik, kecuali mati, dia tak pernah takut pada apa pun.

Sekarang dia bukan sedang takut mati, tapi setelah menyaksikan barisan yang dipersiapkan lawan berupa sebuah pasar di tengah jalan, dimana barisan itu jauh lebih susah dihadapi ketimbang barisan Pat-tin-toh yang pernah digelar Khong Beng dulu, bahkan menyisipkan inti kehebatan dari barisan itu membaur dengan pelaku pasar sehingga membuat orang sukar menduga, semua ini semakin merangsang semangat tempur Ong Siau-sik, dan akibatnya dia merasa semakin tegang. Begitu mulai tegang, secara tak sadar kakinya mulai gemetar keras, jari tangannya ikut bergetar. Kaki dan tangannya yang gemetar keras merupakan salah satu cara untuk melenyapkan rasa tegang. ooOOoo Di dunia ini terdapat pelbagai jenis manusia, menggunakan cara yang berbeda satu dengan yang lain untuk menghilangkan rasa tegang. Ada orang akan membaca buku, membaca doa atau menulis bahkan pergi tidur ketika rasa tegang mulai menyerang, tapi ada pula yang kebalikannya, di saat sedang merasa tegang, ada kalanya mereka mulai mencaci maki, mulai memukul bahkan membunuh manusia. Ada pula cara melepaskan rasa tegang yang normal seperti pergi mandi, main opera atau mencari perempuan untuk pelampiasan. Tapi ada pula dengan cara yang aneh seperti minta digebuki orang berhenti bekerja atau sekaligus melahap sepuluh biji cabe pedas bahkan menangkap seseorang, mencincang daging tubuhnya dan menyantapnya mentah-mentah. Bagaimana dengan So Bong-seng? Dengan cara apa dia melepaskan ketegangannya? ooOOoo Tak ada yang tahu, karena tak pernah ada orang melihat So Bong-seng merasa tegang. Sekalipun ketika berada di Ku-swi-po, sewaktu dikepung empat ratus orang pemanah jitu yang sudah mementangkan busurnya, dia hanya sedikit berubah wajah, tapi sama sekali tidak tegang. Dia selalu beranggapan, tegang hanya akan mengacaukan urusan, sama sekali tak dapat menyelesaikan persoalan. Ketika persoalan mulai datang, dia hanya tahu menyelesaikannya dengan sepenuh tenaga, dia tak ingin menciptakan masalah lain bagi diri sendiri, inilah prinsip yang dipegang teguh So Bong-seng. Tapi setelah dihadapkan dengan barisan sebuah 'pasar di tengah jalan, bukan saja So Bong-seng mulai merasakan kepalanya pusing tujuh keliling, bahkan ia mulai gemetar. Padahal begitulah yang disebut manusia, semakin dia tak pernah sakit, sekali waktu jatuh sakit maka sukarlah untuk disembuhkan, sebaliknya orang yang sering kena penyakit, biasanya dia memiliki daya tahan lebih kuat ketika menghadapi penyakit parah. Orang yang gemar minum arak jarang mabuk, tapi sekali mabuk, dia akan muntah jauh lebih hebat ketimbang orang lain! So Bong-seng termasuk orang yang jarang merasa tegang.

Begitu merasa tegang, dia segera akan berbicara. Berbicara merupakan rahasia pelepasan rasa tegangnya. Oleh sebab itu orang hanya mendengar So Bong-seng sedang berbicara, sama sekali tidak pernah melihat So Bong-seng merasa tegang. Padahal kebanyakan orang tidak selalu memandang dengan matanya, berkeluh kesah dengan mulutnya. Kalau tidak, mana mungkin sikap yang garang justru bisa membesarkan nyali? Kenapa asal perkataan itu diucapkan seorang kaya raya maka ucapannya seakan kata emas yang wajib dituruti? Tadi ketika berada di Po-pan-bun, Lui Sun pernah mengucapkan sepatah kata, kata makian terhadap Lu Sam-cian, dia berkata "Panglima yang kalah perang tak usah bicara besar". Padahal umpatan itu salah besar. Menurut So Bong-seng, "Orang di dunia ini yang paling berhak bicara besar adalah panglima kalah perang yang berperang lagi. Hanya panglima yang pernah kalah perang tahu dimana letak kekalahannya, tahu dimana keunggulan lawannya. Panglima yang sering menang tidak akan mengetahui hal ini, justru mencari kemenangan di tengah kekalahan baru merupakan impian seorang panglima sejati". Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, sindirnya, "Panglima yang pernah kalah perang memang bisa bangkit lagi, tapi panglima yang mampus mana mungkin bisa bangkit kembali?" "Apa maksud perkataanmu itu?" tanya So Bong-seng sam¬bil mengerling sekejap ke arahnya. Pek Jau-hui tertawa. "Aku sedang berpikir, dengan cara apa aku bisa menggiring para jago unggulan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini hanya membunuh kau dan tidak membunuh aku," katanya. "Itu sih gampang!" seru So Bong-seng cepat, "asal kau tangkap aku, mempersembahkan kepada musuh, maka kau bisa memperoleh imbalan dan jasa, mengubah musuh jadi sahabat." "Hahaha ... sebuah usul yang sangat bagus!" Pek Jau-hui tertawa tergelak, mendadak ia melejit ke muka dan langsung menerjang ke tengah arena. Ditinjau dari caranya menerjang ke depan, paling tidak pasti ada sepuluh orang yang bakal tewas di tangannya. Setelah Pek Jau-hui turun tangan, tentu saja Ong Siau-sik tak ingin berpangku tangan. Baru saja dia hendak mencabut pedangnya, mendadak terdengar Su Bu-kui mengucapkan sepatah kata yang dipahami artinya, tapi tidak mengerti kenapa mengucapkan perkataan itu di saat seperti ini, "Berbuat onar semau sendiri!" ooOOoo Begitu perkataan itu diucapkan, sikap So Bong-seng seketika berubah. Dengan satu gerakan cepat dia menarik lengan Pek Jau-hui yang sedang melesat maju ke muka.

Gerakan tubuh Pek Jau-hui saat ini amat cepat dan kuat, meski ada delapan puluh orang lelaki kekar, belum tentu sang¬gup menahan gerakan tubuhnya, tapi So Bong-seng hanya sedikit menggerakkan badannya, tahu-tahu ia sudah ditariknya ba¬lik. Mungkinkah Pek Jau-hui memang sengaja membiarkan ta¬ngannya ditarik? Setelah menahan gerak maju Pek Jau-hui, So Bong-seng hanya mengucapkan sepatah kata, "Kita menonton dulu, kemudian baru turun tangan." Pada saat itulah tiba-tiba berdatangan segerombolan manusia. Ada yang datang dari jalan raya sebelah timur, utara dan ada pula yang datang dari jalan simpang tiga. Orang-orang itu datang dengan sikap santai, tenang, mantap dan tenteram. Mereka terdiri dari tua, muda, laki, perempuan, tinggi, pendek, ganteng, jelek, kuat, cantik, namun ada dua hal persamaan yang dimilikinya, Dalam genggaman semua orang terlihat sebuah payung kertas minyak berwarna hijau tua. Kepala orang-orang itu semuanya diikat dengan secarik kain saputangan berwarna putih. Payung di tangan mereka bisa digunakan untuk menahan air hujan, tapi membuat mereka tak mampu melihat angkasa. Kain putih yang membungkus kepala membuat rambut mereka pun tak kelihatan. Kawanan manusia itu bermunculan dari arah timur, selatan, barat, utara dan langsung bergerak menuju ke posisi tengah, gerak langkah mereka tidak cepat namun juga tidak lamban, tapi bergerak secara teratur dan langsung mengepung barisan 'pasar di tengah jalan', dengan demikian bisa memperlihatkan kehebatannya. Sebuah barisan yang sudah tertata rapi, dalam waktu singkat berubah jadi kacau karena disumbat oleh beberapa orang itu. Melihat kemunculan orang-orang itu, kawanan manusia yang berada dalam pasar hanya bisa saling berpandangan tanpa tahu apa yang mesti dilakukan. Kawanan manusia berpayung itu masih melanjutkan langkahnya, ada yang menghampiri si pedagang ikan, ada yang mendekati istal kuda, beberapa orang mendekati penjual daging, dua tiga orang mendekati tauke penjual bakpao. Dalam waktu singkat hampir semua orang yang ada di dalam pasar telah saling berhadapan dengan orang-orang berpayung itu. Kawanan jago tangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang sejak awal bersembunyi di dalam pasar itu paling tidak berjumlah delapan-sembilan puluhan orang, sementara manusia berpayung itu jumlahnya hanya dua tiga puluhan orang, tapi begitu muncul, justru kawanan manusia berpayung itulah yang telah mengepung para jago di dalam pasar. Suasana tegang segera mencekam semua orang, khususnya para jago yang berada di dalam pasar. Perasaan tegang mencekam pula seorang lelaki yang duduk di pasar bagian depan, seorang lelaki kurus kering yang memiliki tulang pelipis penuh berotot hijau, otot-otot hijau yang mengelilingi jalan darah Tay-hiang-hiat. Dia tak lain adalah Lui Heng. ooOOoo

15 . Manus ia berpa yung Lui Heng sangat pendendam. Selama hidup dia memang selalu mendendam kepada orang lain. Membenci seseorang jauh lebih membuang waktu ketimbang mencintai seseorang, terlebih orang yang dibencinya jauh lebih banyak daripada orang yang dikenalnya, dia pun dapat membenci orang yang belum pernah dikenalnya, ada kalanya dia malah membenci diri sendiri. Hanya satu orang yang tak berani dia benci, hanya Lui Sun seorang. Orang yang paling dibencinya saat ini adalah So Bong-seng. Dia membenci orang ini karena So Bong-seng telah menerjang masuk ke Po-pan-bun, pusat kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, membunuh orang-orang mereka kemudian pergi begitu saja. Setiap kali terbayang peristiwa ini, Lui Heng merasa bencinya setengah mati, kalau bisa, dia ingin menelan So Bong-seng kulit berikut tulangnya ke dalam perut. Ti-toatongcu pernah berkata tentang dirinya, "Jika Lui-losu sudah membenci seseorang, sekalipun kungfunya tak mampu mengungguli lawan, mengandalkan rasa bencinya itu, ia tetap bisa memaksa musuhnya kabur ketakutan". Di dalam pasar sudah siap sembilan puluh dua orang jago berilmu tinggi, semua adalah pasukan inti di bawah pimpinannya, asal Ti Hui menurunkan perintah, dalam waktu singkat mereka dapat mencincang tubuh So Bong-seng hingga hancur. Tapi hingga kini Ti-toatongcu belum juga menurunkan perintahnya, sementara pasukan orangorang berpayung sudah muncul di arena pertarungan. Dalam keadaan begini, Lui Heng benar-benar merasa amat benci, sedemikian bencinya hingga nyaris dia seakan ingin menelan diri sendiri. Bagaimana dia tidak benci? Kedua puluh sembilan orang berpayung itu sudah merangsek maju, sudah semakin mendekati posisi pertahanan mereka. Begitu rombongan ini muncul, barisan yang dia dan anak buahnya persiapkan nyaris terhadang dan berantakan. Sekalipun Lui Heng bencinya sampai ingin menghancurkan kepala sendiri, kali ini dia tak berani bertindak gegabah, ia sama sekali tak berani sembarangan bergerak. Karena dia tahu, rombongan itu adalah 'Berbuat onar semau sendiri'! Berbuat onar semau sendiri' merupakan satu kelompok pasukan inti di bawah pimpinan So Bongseng, dan kini paling tidak ada setengahnya sudah muncul di situ. Lui Heng sadar, dalam keadaan seperti ini jika ia berani bertindak sembarangan, bisa jadi dia tak pernah bisa membenci orang lain lagi, yang diperolehnya waktu itu hanya penyesalan. Bahkan bisa jadi kemungkinan untuk menyesal pun ikut lenyap. ooOOoo

Seorang pemuda yang tampangnya agak ketolol-tololan, dengan membawa sebuah payung berwarna hitam, melewati rombongan manusia berpayung hijau dan berjalan menuju ke hadapan So Bong-seng. Sewaktu lewat di samping tubuh Su Bu-kui, sorot matanya yang semula tampak bloon, tiba-tiba memancarkan suatu pera¬saan yang sulit dilukiskan. "Semuanya sudah tewas?" bisiknya lirih. "Si Barang antik dan Hoa Bu-ciok adalah pengkhianat," jawab Su Bu-kui sambil tertawa getir. Pemuda bloon itu kelihatan sedikit bergetar, namun tetap melanjutkan langkahnya menuju ke hadapan So Bong-seng, ujarnya sembari menjura, "Hamba datang terlambat!" "Kau tidak terlambat, kedatanganmu tepat waktu," sahut So Bong-seng sembari manggutmanggut. Dalam pada itu Ong Siau-sik sudah celingukan memandang sekeliling tempat itu, setelah melihat sejenak ke timur, barat, kiri, kanan, depan, belakang dan yakin kalau kali inipun tak akan mati, tak tahan serunya, "Wah, ternyata benar-benar ditemukan jalan hidup di tengah jalan kematian, tak kusangka kejadian bisa muncul pada saatnya." So Bong-seng tertawa hambar, namun dari balik sorot matanya terpancar sikap memandang hina lawan. Menyaksikan mimik muka pimpinannya itu, Su Bu-kui segera memberi penjelasan, katanya, "Sewaktu menyerbu Po-pan-bun tadi, sepanjang jalan Kongcu telah meninggalkan tanda rahasia, dia yakin orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti akan melakukan penghadangan di saat kami pulang nanti, karena itu Mo Pak-sin diminta segera membawa pasukan untuk menyusul kemari." "Ooh, rupanya Mo Pak-sin," kata Pek Jau-hui. "Kenapa aku tidak melihat kalian meninggalkan tanda rahasia?" tanya Ong Siau-sik keheranan. "Kalau kalian pun bisa melihatnya, mana bisa disebut tanda rahasia?" "Benar juga perkataanmu itu," kata Pek Jau-hui sambil menghela napas, "jika So-kongcu dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau setiap kali membunuh orang dilakukan dengan cara tidak mudah, di dunia persilatan tentu tak akan ada sebutan si golok nomor wahid di kolong langit." "Ooh, jadi kalian hendak memancing pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk bertarung habis habisan di sini?" kata Ong Siau-sik agak tertegun. Mendadak terdengar So Bong-seng bertanya, "Dari pihak mereka siapa yang telah datang? Lui Sun? Atau Ti Hui-keng?" "Ti Hui-keng!" jawab Mo Pak-sin, si pemuda bloon itu segera. "Kalau begitu persoalan hari ini akan diakhiri dengan perundingan, bukan pertarungan habishabisan."

Sementara itu Pek Jau-hui sudah memberi tanda kepada Ong Siau-sik sambil berkata, "Tampaknya cerita ini telah memberi pelajaran yang sangat berharga buat kita berdua, bahwa semua yang kita alami dalam sepuluh hari belakangan, tak satu pun yang merupakan kejadian untung-untungan." "Ya, benar, kelihatannya kisah ini sudah mengatur peranan kau dan aku," sambung Ong Siau-sik sambil tertawa. "Dan aku rasa, kisah ini baru saja akan dimulai," ujar Pek Jau-hui lagi sambil memandang ke tempat jauh dan menghela napas panjang. Mengikuti arah pandangan Ong Siau-sik, dia segera dapat melihat munculnya satu rombongan manusia, kawanan manusia yang baru muncul itu memegang payung berwarna kuning. Tiba-tiba Mo Pak-sin membuka mata lebar-lebar, biji matanya yang memancarkan sinar tajam seolah baru menerobos keluar dari balik lapisan kulit mata yang berlapis-lapis banyaknya, memancar keluar bagai pancaran sinar matahari. Terdengar ia berseru, "Lui Moay telah datang!" ooOOoo Tentu saja Lui Moay adalah seorang wanita. Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, kini Lui Moay sudah menjadi salah sstu wanita paling misterius, paling cantik dan berkuasa di antara tiga wanita lainnya, dengan tiga kemampuan yang dimilikinya, nyaris seluruh pria di dunia ini gampang jatuh hati kepadanya, paling tidak akan menaruh rasa ingin tahu terhadap perempuan ini. Menurut berita burung, ada orang bilang sesungguhnya Lui Moay adalah putri tunggal Lui Cenglui, pendiri yang sesungguhnya dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi kemudian kekuasaan tertinggi perkumpulan itu berhasil direbut oleh Lui Sun, salah satu jagoan kosen dari aliran sesat dalam keluarga Lui, mengingat Lui Ceng-lui punya jasa dalam pendirian perkumpulan itu, maka ia mengangkat Lui Moay menjadi Tongcu kedua. Tapi ada juga yang bilang Lui Moay jatuh hati kepada Lui Sun, maka dia tak segan menyerahkan posisi ketua umum perkumpulan itu kepadanya. Tapi ada juga yang bilang, lantaran Lui Moay sadar kalau kepintaran maupun kepandaian silatnya jauh di bawah Lui Sun, demi kejayaan dan kemajuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka dia serahkan posisi puncak itu kepadanya. Ada lagi cerita, sebetulnya Lui Moay berasal dari aliran sesat dalam keluarga Lui, sejak awal dia memang kekasih gelap Lui Sun. Semenjak bini resminya yaitu Bong-huan-thian-lo, si impian jagad Kwan Siau-te meninggalkan Lui sun, dia selalu berhubungan gelap dengan perempuan ini, malah ada yang menaruh curiga, bisa jadi Kwan Siau-te sudah tewas di tangan Lui Moay, itulah sebabnya perempuan itu lenyap semenjak tujuh belas tahun lalu. Tentu saja Pek Jau-hui juga tahu kalau di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdapat seorang jago wanita yang bernama Lui Moay, dia malah pernah mencari tahu segala hal yang berhubungan dengan perempuan itu dari mulut Tio Thiat-leng. Waktu itu Tio thiat-leng hanya berkata sambil tertawa getir, "Dalam perkumpulan Lak-hun-poantong terdapat tiga orang yang selamanya tak akan pernah dipahami orang lain, pertama adalah Lui Sun, tak ada yang tahu jelas manusia macam apakah dia, karena dia tak pernah membiarkan orang lain memahami tentang dirinya. Orang kedua adalah Ti Hui-keng, hanya dia yang memahami orang lain, tak ada orang lain bisa memahami tentang dirinya. Orang ketiga adalah Lui

Moay, dia gampang sekali membuat orang lain memahami dirinya, tapi dengan cepat kau akan menemukan bahwa pemahaman tiap orang terhadap dirinya berbeda satu dengan yang lain, tergantung ke arah mana dia menginginkan kau memahaminya', jika dia ingin kau memahami dirinya dalam bidang A, maka yang bisa kau pahami hanya bidang A saja." Karena Pek Jau-hui sudah banyak mendengar tentang Lui Moay, dia pun ingin sekali dapat berjumpa dengan Lui Moay. Pek Jau-hui adalah seorang lelaki yang tinggi hati, namun seangkuh apa pun kadang kala timbul juga perasaan ingin tahunya terhadap perempuan kenamaan, apalagi kalau dia amat cantik. Paling tidak ia ingin melihatnya sekejap, melihat sebentar saja sudah merasa amat puas. Ong Siau-sik juga pernah mendengar dalam dunia persilatan terdapat seorang wanita yang bernama Lui Moay. Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Moay me¬megang tampuk kekuasaan pasukan yang misterius, dia merupakan panglima kesayangan Lui Sun. Orang bilang dalam dunia persilatan dewasa ini terdapat tiga orang wanita cantik yang penuh misteri, pertama adalah istri Lui Sun, kedua adalah putri Lui Sun dan ketiga adalah anak buah andalan Lui Sun. Manusia yang bernama Lui Sun ini memang orang hokki, bukan saja memiliki jagoan yang amat banyak, rata-rata anak buahnya yang lelaki berwajah tampan, yang perempuan ber¬paras cantik. Tiba-tiba satu ingatan aneh melintas dalam benaknya, mungkinkah suatu hari nanti, dia pun mempunyai anak buah semacam itu? Bila seseorang ingin memiliki ilmu silat yang hebat, maka dia perlu tekad yang besar, kesabaran, keberanian serta bakat, asal syarat itu terpenuhi maka tak sulit untuk mendapatkannya. Namun apabila seseorang ingin memperoleh kekuasaan yang besar, maka dia perlu ambisi yang besar, cara bertindak yang keji serta kemampuan untuk mengendalikan orang lain. Ong Siau-sik sadar, dia mampu melaksanakan tugas besar yang belum tentu bisa dilaksanakan orang lain, tapi tidak memiliki ambisi yang terlalu besar untuk merebut posisi tinggi. Bila dia harus mengorbankan segalanya, mengubah wataknya hanya ditukar dengan kekuasaan, baginya lebih baik tidak usah. Terlepas dari semua itu, sebagai seorang anak muda, dia pun mempunyai harapan, dia ingin melihat bagaimana bentuk wajah Lui Moay yang dibilang merupakan panglima andalan Lui Sun. Oleh sebab itu dia segera berpaling, menoleh ke arah datangnya perempuan itu. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, tak menemukan perempuan yang bernama Lui Moay. Satu rombongan gadis berusia tujuh-delapan belas tahun dengan mengenakan baju berwarna kuning, berpinggang ramping, bermata bening, membawa payung berwarna kuning perlahanlahan berjalan ke tengah arena.

Rombongan gadis itu rata-rata berwajah cantik rupawan, membuat orang tak tahu siapakah Lui Moay yang sesungguhnya. Begitu rombongan gadis itu muncul, kecuali Lui Heng, semua jago yang berkumpul di dalam pasar serentak bergeser ke arah jalan Tang-sam-pak, seakan sedang memberi jalan lewat buat rombongan itu. Paras muka Mo Pak-sin kembali menampilkan perubahan mimik yang aneh. Kedua puluh sembilan orang berpayung hijau tua itu serentak mulai bergerak, mengikuti perubahan barisan mereka, ikut bergeser, gerakannya lamban tapi mantap, sama sekali tak terlihat ada celah yang ditimbulkan, tapi jelas mereka sedang mengatur sebuah barisan khusus untuk menyongsong kedatangan rombongan gadis-gadis cantik itu. Sebuah barisan tangguh untuk membendung kedatangan gadis-gadis lemah lembut itu. ooOOoo "Yang mana bernama Lui Moay?" tak tahan Ong Siau-sik bertanya kepada Pek Jau-hui. "Masa kau tidak melihat kemunculan kawanan gadis itu?" jawab Pek Jau-hui. "Tapi di situ hadir belasan orang gadis, mana yang sebe¬narnya bernama Lui Moay?" "Menurut kau, gadis-gadis itu cantik tidak?" "Cantik sekali," jawab Ong Siau-sik jujur. "Nah, asal ada gadis cantik yang bisa ditonton, peduli amat mana yang bernama Lui Moay." "Benar juga katamu," Ong Siau-sik manggut-manggut setelah berpikir sebentar. Dia mengerti arti perkataan Pek Jau-hui itu, gunakan kesempatan untuk menikmati apa yang bisa dinikmati. Tampaknya situasi bertambah gawat dan berbahaya, dalam keadaan seperti ini, orang memang dituntut berpikir positip saja, jangan berpikir negatip. ooOOoo Sorot mata So Bong-seng yang dingin menyeramkan sedang mengawasi rombongan gadis berpayung kuning itu, kemudian memperhatikan pula rombongan 'Berbuat onar semau sendiri' yang dipimpin Mo Pak-sin, setelah itu dia mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya, mengambil beberapa butir pil lalu ditelannya. Air hujan membasahi wajahnya, seakan hendak mengurai lelehan air mata penderitaannya. Setiap kali dia sedang minum obat, baik dia Mo Pak-sin maupun Su Bu-kui, tak seorang pun berani mengusik, apalagi merecoki dirinya. Lewat beberapa saat kemudian So Bong-seng baru mengurut dadanya dengan sebelah tangan, lalu dengan sorot mata yang tajam dia menyapu sekali lagi sekeliling arena.

"Ti Hui-keng ada dimana?" tanyanya. "Dia ada di loteng Sam-hap-lau," jawab Mo Pak-sin. So Bong-seng berpaling dan mengawasi bangunan loteng nomor tiga di sisi jalan raya, bangunan itu adalah sebuah rumah makan karena di depan pintu terdapat sebuah tiang dengan panji bertuliskan "arak". Kembali S6 Bong-seng berkata kepada Mo Pak-sin, "Kau tetap di sini!" Sedang kepada Su Bu-kui, ajaknya, "Kau ikut aku naik ke sana." "Baik!" Su Bu-kui maupun Mo Pak-sin serentak menyahut. "Bagaimana dengan kami?" tanya Ong Siau-sik. So Bong-seng tidak menjawab, mendadak ia terbatuk-batuk, batuk dengan sangat hebatnya. Dari sakunya dia mengeluarkan saputangan berwarna putih, kemudian digunakan untuk menutupi mulutnya. Sewaktu batuk, sepasang bahunya berguncang keras, seperti sebuah kotak angin yang sudah rusak sedang berusaha memompa udara, napasnya begitu berat dan sesak, seakan setiap saat kemungkinan besar bisa terputus. Lama kemudian ia baru menggeser saputangannya. Sekilas pandang Ong Siau-sik dapat melihat noda darah yang membekas di atas saputangan berwarna putih itu. So Bong-seng memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian baru membuka matanya kembali, kepa¬da Ong Siau-sik tanyanya, "Kau tahu siapa yang berada di atas loteng itu?" Ong Siau-sik menatapnya tanpa berkedip. Sewaktu menyaksikan ia terbatuk dengan hebatnya tadi, dalam hati kecilnya ia segera mengambil keputusan, apa yang bisa dia lakukan akan segera dilakukannya. "Aku tahu," jawabnya cepat, "di situ ada Ti Hui-keng." "Kau tahu siapakah Ti Hui-keng?" "Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong." So Bong-seng kembali menuding bangunan loteng itu dengan jari tangannya yang tak bertenaga, katanya lebih jauh, "Tahukah kau, sekali kamu naik ke situ, maka siapa pun tak bisa menjamin adakah peluang lain bagimu untuk turun lagi dalam keadaan selamat?" "Ketika memasuki pintu Po-pan-bun bersamamu tadi, aku pun tak tahu apakah ada jalan ketiga yang bisa kulewati untuk keluar dari situ," sahut Ong Siau-sik hambar. So Bong-seng menatapnya sekejap, hanya sekejap! Kemudian tanpa berpaling ke arah Pek Jau-hui, tanyanya, "Bagaimana dengan kau?"

Pek Jau-hui tidak menjawab pertanyaan itu, dia malah balik bertanya, "Apakah ilmu silat yang dimiliki Ti Hui-keng memang sangat hebat?" "Jika kau naik ke atas, segera akan kau peroleh jawab¬annya," sahut So Bong-seng dengan wajah senyum tak senyum, "bila tak ingin naik ke situ, buat apa mesti banyak bertanya?" Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, katanya kemudian, "Baik, aku ikut naik." Maka mereka berempat pun mengayunkan langkah menuju ke bangunan loteng itu. ooOOoo Di bawah bangunan loteng itu hanya ada meja dan bangku yang ditumpuk, tak nampak manusia. "Kau berjaga di sini," perintah So Bong-seng kepada Su Bu-kui. Tanpa banyak bicara Su Bu-kui melintangkan goloknya di depan dada sambil berdiri tegap di muka pintu, sekarang biarpun ada ribuan ekor kuda dan pasukan yang menyerbu masuk, dia tak akan membiarkan mereka bergerak maju setengah langkah pun. Dengan langkah santai So Bong-seng menaiki anak tangga menuju ke tingkat dua. Dalam keadaan begini, mau tak mau Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera mengikut di belakangnya naik ke atas loteng. Kedua orang pemuda itu jalan bersanding, bahu menempel bahu, ketika berjalan dengan cara begini, muncul perasaan aneh di hati mereka, seakan dengan jalan seperti itu, bukan saja mereka tak takut menghadapi hujan badai dan angin puyuh, ancaman bahaya sebesar apa pun seolah pasti dapat mereka atasi. Di atas loteng ternyata memiliki dunia ruang loteng, apa yang terdapat di atas loteng? Padahal setiap orang, dalam kehidupannya selalu mendapat kesempatan untuk naik ke loteng, tapi tak ada yang tahu apa yang sedang menanti mereka di atas loteng. Mereka yang belum pernah naik ke atas loteng, berupaya dengan segala kemampuan untuk menaikinya, tujuannya adalah ingin menaikkan pamor sendiri, sebaliknya bagi mereka yang sudah ada di atas loteng, orang-orang itupun berkeinginan untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi lagi, bahkan berusaha dengan segala tipu daya agar dirinya tak sampai jatuh menggelinding ke bawah loteng. Loteng makin dinaiki semakin terjal, loteng makin tinggi semakin dingin. Angin di atas loteng amat kencang, padahal loteng yang tinggi tak punya sandaran, namun justru banyak orang suka naik ke loteng yang tinggi, semakin tinggi semakin senang. Padahal di tempat ketinggian justru lebih banyak ancaman mara bahaya! ooOOoo So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hampir pada saat yang bersamaan tiba di atas loteng. Oleh karena itu hampir pada saat yang bersamaan pula mereka melihat seseorang. Ti Hui-keng!, Toatongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong.

Di dalam perkumpulan ini, dia hanya di bawah kekuasaan satu orang, tapi di atas puluhan ribu orang. Bahkan sebagian besar orang menganggap bahwa orang yang paling disanjung dan paling dihormati dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah dia, bukan Lui Sun. ooOOoo Tapi Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui sama sekali tidak menyangka kalau orang yang muncul di hadapan mereka adalah manusia semacam ini. ooOOoo

akhir dari Bab I

BAB II: PERSA UDAR AAN 16 . Batuk dan me nu ndukka n kepala. Mengharapkan persahabatan hingga di hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-keng. ooOOoo Bila kau tidak mempunyai sahabat, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng adalah sahabatmu yang paling setia. Bila tak ada orang yang bisa memahami dirimu, carilah Ti Hui-keng, Ti Hui-keng akan menjadi seorang teman yang bisa memahami perasaanmu. Bila kau bertemu kesulitan, carilah Ti Hui-keng, sebab dia dapat menyelesaikan seluruh kesulitan yang sedang kau hadapi. Bila kau ingin mengambil jalan pendek, carilah Ti Hui-keng, dia pasti dapat membangkitkan kembali semangat hidupmu, dan waktu itu sekalipun sang Kaisar bersedia memberi hadiah sepuluh juta tahil emas murni untuk kematianmu pun tak nanti kau sudi melukai ujung jari sendiri. Semuanya ini merupakan kabar yang tersiar dalam kota. Sayang Ti Hui-keng hanya ada satu, dan itupun tidak gampang untuk menjumpainya. Di kolong langit hanya ada satu orang yang setiap saat dapat bertemu dengannya, dia bukan putri Ti Hui-keng karena Ti Hui-keng tak punya anak perempuan, juga bukan bini Ti Hui-keng karena dia belum beristri. Sepanjang hidupnya Ti Hui-keng hanya punya teman, tak punya keluarga, dia hidup sebatang kara. Hanya Lui Sun seorang yang setiap saat dapat bertemu dengannya. Siapa yang bisa bersahabat dengan Ti Hui-keng, dia pasti bisa menghasilkan sebuah karya yang menggemparkan, tapi sayang sahabat karib Ti Hui-keng hanya Lui Sun seorang.

Malah ada orang bilang, Ti Hui-keng bisa memahami kolong langit sementara Lui Sun dapat memanfaatkan Ti Hui-keng, itulah sebabnya dia bisa 'memperoleh seluruh jagad'. Tapi ada juga yang berkata, sebuah gunung tak akan menerima dua ekor macan, sekarang Lui Sun memang tak akan bentrok dengan Ti Hui-keng, tapi bila dunia sudah aman, jagad sudah mereka kuasai, pasti akan terjadi bentrokan di antara kedua ekor macan itu. Kalau peristiwa ini sampai terjadi, sudah pasti akan menjadi satu kehilangan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, merupakan sebuah aib yang harus dihindari. Tentu saja So Bong-seng pernah juga mendengar berita itu. Tentang berita yang terakhir, konon dia sendiri yang menciptakan, ia sengaja menyiarkan berita ini ke dunia persilatan, kemudian menunggu reaksi yang akan diperlihatkan kedua orang gembong utama perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Cara yang paling jitu untuk melenyapkan musuh adalah membiarkan mereka saling melenyapkan. Agar musuh bisa saling membunuh, pertama-tama dia harus membangkitkan dulu rasa curiga di masing-masing pihak. Kalau sudah timbul perasaan saling curiga, maka mereka pun tak bisa bekerja sama, asal tak bisa bekerja sama, berarti ada peluang baginya untuk menyusup. Maka So Bong-seng pun menciptakan isu itu, isu memang selalu mendatangkan manfaat. Sehebat apa pun kemampuanmu, setinggi apa pun ilmu silatmu, sulit bagi mereka untuk menghindari isu, mereka mudah dipengaruhi berita yang tersiar di luar, sebab isu itu sendiri bisa menciptakan semacam daya tekanan, seperti bola salju, semakin menggelinding akan semakin bertambah besar. Biarpun kau termasuk orang yang tak mau percaya dengan isu, namun apa yang bisa kau perbuat tak lebih hanya semacam menghindar, atau dengan perkataan lain isu tetap meninggalkan daya pengaruh, karena itu dia tak berani menghadapi kenyataan itu. Hanya orang yang bisa menghadapi isu, berani menghadapi isu dan menyelesaikan berita isu terhitung seorang pemberani. Setelah menyebarkan isu itu, So Bong-seng tinggal menunggu reaksi dari perkumpulan Lak-hunpoan-tong, jika mu¬suh merupakan sebuah gudang mesiu, dia tak perlu memindahkan isi gudang itu, tapi cukup menyulut sumbunya dengan api. Dia percaya apa yang telah dilakukan ibarat menuang sebaskom air ke dalam sekarung gandum, tak selang lama gandum dalam karung akan menjamur lalu membusuk. Jika kau menginginkan sepasang suami istri cekcok, gampang sekali, cukup menyiarkan kejelekan masing-masing pihak di luar, sebarkan isu itu dan tak lama kemudian percekcokan segera akan berlangsung. Terkadang So Bong-seng juga percaya, asalkan persahabatan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng mulai retak, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya pasti akan mulai goyah.

Oleh sebab itu dia 'menuangkan sebaskom air, kemudian dengan sabar menanti hasilnya. Lalu apa yang berhasil dia dapatkan? Tidak mendapat apa-apa! Lui Sun tetap Lui Sun, sama sekali tidak menderita Sun (rugi), Ti Hui-keng tetap Ti Hui-keng, dia tidak jadi Keng (kaget) karena perubahan itu, yang satu tetap menjadi Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, yang lain tetap menjadi Toa-tongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tak ada yang lebih unggul tak ada yang lebih asor, keduanya tetap seimbang. Sebaskom air' itu ibarat dibuang ke tengah laut, sama sekali tidak bereaksi. Sejak itu pandangan So Bong-seng terhadap Ti Hui-keng semakin mengherankan, semakin ingin tahu. Seorang Loji memang harus mengalah kepada sang Lotoa, sebab kekuasaan Lotoa jauh lebih besar dari Loji, kalau Loji tak bisa menahan diri, maka ia tak bisa menjadi Loji, dia boleh jadi Lotoa, tapi sebagai Loji sudah menjadi kewajibannya untuk mengalah kepada sang Lotoa.. Tapi dengan cara apa sang Loji dapat membuat Lotoa tak perlu curiga kepadanya, tak perlu waspada kepadanya? Di sinilah letak kehebatan Ti Hui-keng, selain itu juga me¬rupakan kelebihan yang tak boleh diabaikan dari seorang Lui Sun. So Bong-seng merasa sangat heran, tapi ia tidak lepas tangan begitu saja. Dia tahu, di antara Ti Hui-keng dan Lui Sun pasti terdapat satu alasan yang membuat kedua belah pihak sama-sama menaruh kepercayaan, alasan itu besar kemungkinan adalah sebuah rahasia, asal dia berhasil menemukan rahasia itu, mungkin tak sulit untuk mengetahui hubungan mesra di antara mereka. So Bong-seng ingin sekali menemukan rahasia itu. Demi rahasia itu, dia tak segan menitahkan penyusupnya yang sudah berada dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk mencari tahu hubungan antara Lui Sun dan Ti Hui-keng sebagai tugas paling utama. Kini dia sudah mulai memperoleh titik terang. Ia telah berjumpa dengan Lui Sun. Lui Sun adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia merupakan orang lapangan, orang yang berada di garis depan, tak sulit bagi So Bong-seng untuk bersua dengan Lui Sun. Tapi hingga kini So Bong-seng belum pernah bertemu dengan Ti Hui-keng. Ti Hui-keng bukan seorang jagoan yang gemar menampakkan diri, dan sekarang dia berada di atas loteng, dia sedang menuju ke situ untuk bertemu dengannya. Kini ia telah berjumpa dengan Ti Hui-keng. Tapi apa yang dilihat membuatnya amat terkejut. Ti Hui-keng sebenarnya terhitung seorang pemuda ganteng, kesepian dan sedikit agak lugu, sedemikian tampannya sampai Pek Jau-hui yang melihat pun timbul perasaan iri dalam hatinya.

Saat itu Ti Hui-keng sedang menundukkan kepala, mengawasi jubah panjang sendiri, mungkin juga sedang memperhatikan ujung sepatu sendiri, sikap dan tingkah lakunya persis seperti seorang nona pemalu, tak berani mendongakkan kepala untuk memandang ke arah orang lain'. Seorang nona tak berani mengangkat wajahnya untuk memandang orang lain, karena dia memang seorang gadis. Maklum, seorang gadis biasanya memang pemalu. Tentu saja Ti Hui-keng bukan seorang gadis, dia malah seorang Toatongcu dari perkumpulan Lakhun-poan-tong, tapi mengapa sewaktu berbicara dengan orang lain, ia tak pernah mendongakkan kepala? Apakah dia tidak merasa tindakannya itu kurang sopan? Tapi tak pernah ada orang menegurnya, tak pernah menyalahkan sikapnya, bahkan tak tega untuk memarahinya. Sebab begitu melihat So Bong-seng bertiga naik ke atas loteng, Ti Hui-keng segera berkata dengan nada minta maaf, "Tolong, jangan salahkan kalau aku kurang hormat, tulang kepalaku ada kendala hingga tak bisa didongakkan, sungguh aku minta maaf!" So Bong-seng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak tahu apakah Ti Hui-keng sedang bicara jujur atau tidak, namun perasaan mereka bertiga segera terkesiap dibuatnya. ooOOoo Seorang lelaki yang begitu tampan ternyata tulang tengkuknya patah, ini menyebabkan dia tak pernah bisa mendongakkan kepala, tak pernah bisa menikmati pemandangan alam di kejauhan sana. Sekilas perasaan sedih melintas dalam hati ketiga orang itu. Mereka merasa sedih dan ikut berduka atas ketidak beruntungan pemuda ini. Apakah dikarenakan alasan ini, maka Ti Hui-keng diangkat menjadi orang kedua? Tengkuk Ti Hui-keng terkulai lemas ke bawah, siapa pun dapat melihat dengan jelas kalau tulang tengkuknya memang patah, justru yang membuat orang terperangah adalah dia tidak mati lantaran hal itu, bahkan masih bisa hidup sehat hingga sekarang. Nada suaranya amat lirih dan lembut, seakan ada seakan tak ada, kadang terputus kadang tersambung kembali, ini disebabkan ia tak sanggup menyelesaikan sepotong kalimat sekaligus. Bisa hidup hingga hari ini dalam kondisi semacam ini pula, dapat dibayangkan betapa tersiksa dan menderitanya dia selama ini. Tak punya tengkuk, napas pun sangat pendek hingga sukar berbicara, apa mungkin manusia dengan kondisi tubuh semacam ini memiliki kepandaian silat yang luar biasa? Jelas kehidupan semacam ini merupakan sebuah kehidupan yang amat menyiksa!

Tapi Ti Hui-keng tetap tersenyum, dia seolah merasa amat puas dengan kondisi tubuhnya itu, senyuman yang tersungging di ujung bibirnya yang pucat menimbulkan suatu perasaan yang sangat aneh. Ti Hui-keng selalu menundukkan kepala, maka dengan sangat mudah ia dapat melihat rombongan So Bong-seng naik ke atas loteng tapi setelah rombongan tamunya itu berada di atas, ia jadi tidak leluasa lagi, karena dia harus bicara dengan kepala tetap tertunduk. Menyaksikan semua ini, rasa iri yang muncul dalam hati Pek Jau-hui seketika hilang lenyap. Ternyata di dunia ini memang tiada kejadian yang sempurna, oleh sebab itu tak mungkin pula terdapat manusia yang sempurna. Oleh karena Ti Hui-keng duduk dengan kepala tertunduk, tubuhnya jadi nampak lebih pendek dari siapa pun, Ong Siau-sik yang melihat hal ini ingin sekali menjatuhkan diri berlutut, agar bisa berbicara saling bertatap muka dengan orang ini. Mungkin hanya dengan berbuat begitu mereka bisa duduk sejajar, bisa berbicara sambil bertatap muka. Bagaimana dengan So Bong-seng? Apa pula jalan pikirannya? ooOOoo So Bong-seng berjalan menuiu ke depan jendela. Sejauh mata memandang, pemandangan di luar jendela ibarat seutas ikat pinggang kemala, bayangan pagoda di atas permukaan telaga, bayangan pohon yang bergoyang terhembus angin, wuwungan rumah yang berjejer .......... Sambil menggendong tangan, So Bong-seng membuang pandangannya keluar jendela, dia tidak memandang ke tempat jauh tapi memperhatikan suasana di tengah jalan raya. Hujan masih membasahi bumi, awan kelabu masih menyelimuti angkasa. Tapi di tengah jalan raya hanya ada dua macam warna Kuning dan hijau!! Payung kuning dan payung hijau telah terbentang menjadi sebuah lukisan, masing-masing bergerombol pada kelompoknya, tapi mereka tidak berdiam diri, terkadang mereka bergerak cepat, terkadang saling serobot posisi, dipandang dari kejauhan, pemandangan itu sangat indah karena ibarat bunga kuning dan hijau yang sedang menari di tengah guyuran air hujan. Tentu saja orang-orang itu berada di bawah payung. So Bong-seng yang memandang dari atas loteng hanya menyaksikan lautan payung, tidak nampak bayangan manusia. Payung berwarna hijau adalah barisan 'Berbuat onar semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Sementara payung kuning adalah pasukan Lui Moay.

Pada saat So Bong-seng membalikkan tubuh, lagi-lagi dia terbatuk hebat, begitu mulai berbatuk, setiap otot tubuhnya seakan mengejang keras, setiap sarafnya seolah ikut bergetar keras, membuat setiap jengkal badannya seakan ikut tersiksa. Kembali ia mengeluarkan saputangan putih dan ditutupkan ke sisi mulutnya. Apakah saputangan putihnya kembali ternoda darah? Kali ini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tak sempat melihat, sebab begitu selesai batuk, So Bongseng segera memasukkan kembali saputangannya ke dalam saku. Kalau ditinjau dari keadaan kedua tokoh silat ini, penderitaan Ti Hui-keng jauh lebih tersiksa? Ataukah siksaan So Bong-seng jauh lebih menderita? Beginikah pengorbanan yang harus dibayar untuk mem¬peroleh kekuasaan dan nama besar? Berhargakah bila dibayar dengan pengorbanan sebesar ini? Untuk sesaat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui termenung, perasaan aneh itu seketika muncul di hati mereka berdua. ooOOoo Tiba-tiba So Bong-seng buka suara, caranya berbicara sama sekali tak sungkan. Dia hanya melongok sekejap keluar jendela, sekali pandang ia sudah mengambil kesimpulan, Situasi sudah terkendali! Untuk sementara waktu, pasukan payung hijau pimpinan Mo Pak-sin dapat membendung serbuan pasukan payung kuning pimpinan Lui Moay, bahkan menurut kode rahasia yang dipancarkan melalui gerakan payung, ia mendapat tahu kalau sesaat lagi Yo Bu-shia, salah seorang jenderal andalannya segera akan tiba di situ. Dia tahu, Yo Bu-shia tak nanti datang seorang diri. Boleh dibilang ia bersama pasukan intinya yang ada di bawah loteng sudah seia sekata. Asal situasi sudah terkendali, berarti sekarang mulai merundingkan syarat perjanjian. Itulah salah satu sebab mengapa So Bong-seng harus mengetahui terlebih dulu keadaan di luar sana. Syarat perundingan apa pun yang akan diajukan selalu ter¬bentuk atas dasar kekuatan yang dimiliki, jika seseorang tak memiliki kekuatan, maka dia tak akan bisa mengajak orang lain berunding dan mengajukan syarat, yang bisa dilakukan hanya minta bantuan orang, memohon kemurahan hatinya, bimbingan dan perlindungannya. So Bong-seng sangat memahami teori ini. Ia harus dapat menganalisa kekuatan sendiri dalam situasi yang kalut, setelah yakin situasi menguntungkan pihaknya, perundingan baru bisa dimulai. Dia selalu berpendapat, berunding adalah jenis lain dari sebuah serangan. Sebuah serangan yang tidak perlu menggunakan pasukan maupun senjata. ooOOoo

"Ada apa dengan kepalamu?" pertanyaan yang diajukan So Bong-seng langsung ke tujuan. Dia berpendapat kalau bisa menghindari segala liku-liku, kenapa tidak dilakukan, yang penting tujuannya tercapai, maksud dipahami dan apa yang ingin disampaikan dimengerti orang lain. Langsung pada tujuan memang sistim yang paling aman dan bisa diandalkan, satu sistim yang sangat menghemat waktu. Tentu saja bila orang tak punya kekuatan untuk menggunakannya, belum tentu sistim ini akan bermanfaat. Tapi So Bong-seng, biarpun sedang berhadapan dengan sang Kaisar pun dia berhak bicara begitu, tidak usah mesti munduk-munduk di depan orang. Mungkin di sinilah letak daya tarik sebuah kekuasaan. Begitu So Bong-seng buka suara, dia langsung mengorek titik kelemahan orang. Ketika seseorang tertusuk bagian tubuhnya yang sakit, kau baru dapat melihat sampai dimana kemampuannya untuk mengatasi persoalan, sebab bila seseorang tersentuh titik kelemahannya, ia baru akan menampilkan sisi kuatnya. "Tulang tengkukku patah!" Ternyata jawaban Ti Hui-keng pun langsung, bahkan sangat halus dan sopan. "Jika memang tulang tengkukmu patah, kenapa tak diobati?" "Tulang tengkukku sudah patah lama sekali, bila dapat diobati, sejak awal sudah diobati." "Su-tayhu dari balai pengobatan negara adalah salah satu tabib andalan perkumpulan Kim-hongsi-yu-lau, datang saja ke loteng kami, akan kuundang dia untuk mengobati penyakitmu." "Tabib kenamaan tidak menjamin dia adalah seorang tabib yang hebat, kau anggap hidangan yang dimasak oleh koki kerajaan pasti merupakan hidangan yang paling lezat?" jawaban Ti Hui-keng sangat cepat bahkan tajam nadanya, "jika dia benar-benar seorang tabib hebat, sekarang kau tak usah terbatuk-batuk lagi." "Aku sendiri yang memilih batuk. Di antara kematian dan batuk, aku lebih memilih batuk, bukankah batuk lebih baik ketimbang mampus?" "Selalu menundukkan kepala pun merupakan nasibku, ada kalanya seorang harus menundukkan kepalanya, sering menundukkan kepala ada juga faedahnya, paling tidak, tak usah kuatir menumbuk tiang rumah, bila aku harus memilih antara me¬nundukkan kepala dan batuk, aku tetap akan memilih menundukkan kepala." "Aku mengerti maksudmu." "Aku memang sudah bicara sangat jelas." "Bila seseorang dapat memilah secara jelas apa yang dilakukan, dia patut diajak bersahabat." "Terima kasih."

"Sayang kita bukan sahabat." "Kita memang bukan sahabat." So Bong-seng kembali terbatuk-batuk, sementara Ti Hui-keng masih menundukkan kepalanya. Hanya dalam satu gebrakan, perundingan telah diakhiri dengan satu keputusan. Ti Hui-keng telah menyatakan posisinya, dia menampik undangan yang disampaikan So Bong-seng dan mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong tetap menyatakan permusuhannya dengan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau. Oleh sebab itu mereka adalah musuh, bukan sahabat. Tapi bukankah sahabat yang paling memahami diri kita justru merupakan musuh yang paling berbahaya? ooOOoo Mereka segera memulai perundingan babak kedua. "Belakangan pihak kerajaan berupaya menggalang kekuatan, biasanya cara yang digunakan untuk menggalang kekuatan adalah mencari musuh dari luar, provokasi dari musuh luar biasanya paling gampang membangkitkan perasaan nasionalis warganya, jika patriotisme dan nasionalisme sudah tumbuh, maka bangsa pasti bersatu dan negara bertambah kuat." Dalam hal ini, So Bong-seng pun berpendapat begitu. Bila menginginkan Lui Sun gontok-gontokan dengan Ti Hui-keng, mungkin harus menunggu sampai perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau roboh lebih dulu, dunia mulai aman, mereka berdua baru mulai saling bermusuhan. Menghadapi serangan musuh yang muncul di depan mata, malah sebaliknya membuat mereka semakin bersatu. Sayang So Bong-seng tak dapat menunggu sampai saat itu. "Aku pernah mendengar soal itu," jawab Ti Hui-keng santun. "Jika kau ingin menggerakkan pasukan, maka negara harus dibuat aman dan tenteram terlebih dulu." "Tentu saja." "Kalau keadaan di luar tidak aman kan tidak jadi masalah, yang penting keadaan di dalam harus tenang. Di tempat kejauhan tidak tenteram juga tak masalah, tapi di depan kaisar mesti aman dan tenteram." "Padahal kaki kaisar berada di kotaraja." "Benar, itulah sebabnya situasi di kotaraja mesti aman tenteram dan sentosa, untuk itu pertamatama kita mesti mengurangi para pembuat keputusan." "Semakin sedikit pembuat keputusan, kekuatan semakin terpusat, dapat memusatkan kekuatan berarti menguasai, ini sangat menguntungkan jika membawa pasukan untuk melakukan penyerangan ke tempat jauh." "Oleh sebab itu para pembesar tinggi kerajaan berharap di dalam kotaraja hanya tersisa sebuah perkumpulan saja."

"Perkumpulan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit) termasuk kekuatan yang datang dari luar, jadi tak masuk hitungan, berarti antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan Lak-hun-poan-tong harus menyingkir salah satunya." "Menurut pendapatmu, mungkinkah kita melebur jadi satu?" "Tidak mungkin." "Kenapa?" "Karena kau tak bakal setuju." "Kenapa aku tak bakal setuju?" "Sebab kau selalu ingin jadi Lotoa, bila harus melebur jadi satu, apa mungkin kau mau turun pangkat? Apa mau kau diperintah oleh satu persekutuan?" "Jadi menurut kau lebih baik membuat persekutuan?" "Tidak mungkin." "Kenapa?" "Sebab Lui-congtongcu juga ingin menjadi Lotoa, bila bergabung dalam persekutuan, maka dia mesti menerima juga peleburan." "Oleh sebab itu kita selalu beda pendapat?" "Dan di kaki kaisar hanya boleh tersisa perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kim-hong-si-yu-lau." "Ternyata kau memang orang pandai." "Biarpun aku jarang mendapat kesempatan untuk mendongakkan kepala," sekilas senyuman pedih melintas di wajah Ti Hui-keng, "namun aku selalu pandai mengatur pekerjaan." "Orang yang pandai mengatur pekerjaan memang selalu merupakan orang yang kurang beruntung," tampak sekilas kehangatan melintas di mata So Bong-seng, "karena dia tak boleh bloon, tak boleh pikun, bahkan tak boleh menuruti suara hati sendiri, biasanya tanggung jawab yang dipikulnya jauh lebih berat." "Ya, jika tugas kelewat banyak, otomatis kehidupan pun jadi kurang bergairah." "Tahukah kau, tugas berat apa yang harus kau pikul kali ini?" "Kau ingin aku memikul tugas apa?" "Sangat sederhana," sahut So Bong-seng cepat, "suruh Lu Sun menyerah!" Begitu selesai mengucapkan perkataan itu, kembali terbatuk-batuk. ooOOoo 17 . Pengala man ane h

Perundingan babak kedua telah berakhir. Ti Hui-keng sama sekali tidak kaget. Dia mengangkat kelopak matanya, terpancar sinar mata yang bening. Dengan tenang ditatapnya wajah So Bong-seng, menunggu So Bong-seng selesai batuk. Oleh karena tengkuknya terkulai ke bawah maka kelopak matanya mesti diangkat ke atas agar bisa melihat So Bong-seng. Biji matanya pun bergeser ke arah atas, hal ini membuat matanya nampak putih kebiru-biruan, tajam, mantap dan sangat menawan. Dia seakan sudah menduga kalau So Bong-seng bakal mengucapkan perkataan semacam itu. Yang merasa terkejut justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Mereka tidak menyangka begitu buka suara So Bong-seng langsung minta perkumpulan Lak-hunpoan-tong, perkumpulan nomor wahid di kolong langit untuk menyerah kepadanya. ooOOoo Kini So Bong-seng sudah selesai batuk. Jarang ada orang yang bisa bersabar menanti sampai dia selesai batuk. Penyakit batuknya mungkin tidak terlampau parah, tapi begitu mulai batuk, setiap bagian tubuhnya seolah mulai berubah bentuk, suaranya begitu parau seakan pita suaranya segera akan retak dan pecah, lambungnya mengejang keras seakan dijepit orang dengan tanggam baja, seluruh tubuhnya melengkung bagai busur, jantungnya seolah ditusuk hingga berdarah, bola matanya penuh dengan jaringan darah, otot wajahnya menonjol keluar, jalan darah Tay-yang-hiat naik turun tak menentu, otot tubuhnya mengejang, jari tangan pun ikut kejang, begitu hebat batuknya sampai sepasang kakinya tak sanggup berdiri tegak, suaranya menyayat seolah paru parunya mulai retak dan hancur, hancur berkeping dan ikut menyembur keluar bersama suara batuknya. Akhirnya selesai juga ia berbatuk. Begitu batuknya berhenti, dengan hati-hati dia melipat kembali saputangan putihnya dan dimasukkan ke dalam saku, caranya memasukkan saputangan persis seperti seorang yang sedang menyimpan selembar cek yang bernilai seratus juta tahil perak. "Apakah kau punya pendapat atau usul lain?" tanyanya kemudian. ooOOoo Begitu pertanyaan itu diutarakan, berarti perundingan babak ketiga dimulai. Banyak perundingan yang diselenggarakan di dunia ini memang tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat apalagi terburu-buru. Siapa terburu-buru berarti dia tak bisa mengendalikan diri, berarti pula dia tak punya kesempatan untuk meraih kemenangan. Siapa tak dapat mengendalikan diri, dia selalu akan menderita rugi.

Makna yang sebenarnya dari sebuah perundingan adalah bertujuan agar tidak menderita rugi atau sedikit menderita kerugian, atau juga membiarkan orang lain yang rugi, oleh sebab itu semakin berunding harus semakin pandai mengendalikan diri. "Kenapa bukan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau yang menyerah kepada perkumpulan Lak-hunpoan-tong?" Ti Hui-keng balik bertanya. Pertanyaan itu diajukan dengan perasaan tenang dan datar, sama sekali tak diselipi gejolak emosi, dia seakan sedang merundingkan satu persoalan yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. "Sebab situasi saat ini sudah amat jelas, Phang-ciangkun yang semula menunjang kalian, sekarang telah berbalik menunjang kami, Yan Yu-si yang semula menjadi bukit sandaran kalian, sekarang malah mengajukan laporan yang merugikan kalian di depan Kaisar, Lui Sun tiga kali mengajukan permohonan untuk bertemu perdana menteri tapi selalu ditolak, masa kau belum bisa menganalisa situasi semacam ini?" tanpa sungkan So Bong-seng langsung menyerang. "Semua yang kau ungkap memang kenyataan," Ti Hui-keng mengakui dengan cepat. "Oleh sebab itu kalian sudah mulai menunjukkan gejala kekalahan, bila tidak segera menyerah, yang kalian tuai hanya kekalahan dan kematian, mencari penyakit buat diri sendiri." "Walaupun fakta yang kau kemukakan benar," ujar Ti Hui-keng hambar, "akan tetapi kami masih mempunyai tujuh puluh ribu anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tinggal di kotaraja, mereka rela mati dalam pertempuran dan tak sudi menjadi seorang lelaki yang menyerah kalah "Kau keliru besar," tukas So Bong-seng cepat. "Pertama, kalian tidak memiliki tujuh puluh ribu anggota, hingga kemarin sore, anggota kalian hanya tersisa lima puluh enam ribu lima ratus delapan puluh dua orang, tapi kemarin tengah malam, delapan ribu empat ratus enam puluh tiga orang yang berada di wilayah Keng-hoa-to telah bergabung ke pihakku, maka hari ini sisa anggota kalian tinggal empat puluh delapan ribu seratus sembilan belas orang, itu belum dipotong lagi dengan kematian si Hwesio perlente barusan." Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, So Dong-seng berkata lebih jauh, "Kedua, dari sisa anggotamu yang empat puluh delapan ribu seratus delapan belas orang itu, paling tidak ada setengahnya bukan manusia yang setia, sisanya yang setengah lagi, di antaranya ada empat puluh persen yang tidak tahan menerima godaan dan rayuan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau kami, sisanya yang enam puluh persen ada tiga puluh persen di antaranya tak sudi mati demi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jadi kekuatan yang benar-benar dapat kalian gunakan bukan berjumlah tujuh puluh ribu orang melainkan hanya tujuh ribu orang, jadi kau tak perlu ragu lagi." So Bong-seng membuka daun jendela yang menghadap ke arah timur, sambil menuding keluar katanya lagi, "Ketiga, coba kau lihat sendiri!" Di kejauhan sana, dipandang dari tempat yang tinggi, di antara lamat-lamatnya cuaca mendung dan langit berwarna keabu-abuan, tampak satu pasukan manusia berbaju hijau yang menggembol golok besar di punggungnya, berdiri berjajar di tengah terpaan hujan gerimis. Di belakang pasukan bergolok itu, berjajar pula sepasukan berkuda yang dipimpin seorang lelaki berbaju perang warna putih, membawa tombak panjang yang sangat menyolok. Biarpun anggota pasukan itu banyak sekali jumlahnya, namun suasana amat hening dan sepi, mereka berdiri angker di bawah derasnya air hujan.

Pasukan itu sama sekali tidak bergerak, hanya panji kebesarannya yang berkibar ketika terhembus angin, di atas panji itu tersulam sebuah huruf yang sangat besar, "To" atau golok. Perlahan-lahan Ti Hui-keng bangkit berdiri, berjalan mendekati jendela lalu dengan susah payah melongok sekejap ke tempat jauh, setelah itu dia baru berkata, "Ooh, rupanya To Lam-sin telah membawa pasukan angin puyuhnya datang kemari." "Oleh karena kalian sudah terkepung, maka pasukan Lui Moay tak berani bergerak maju secara sembarangan," kata So Bong-seng menerangkan. "Sayang kalian pun tidak sungguh-sungguh berani melancarkan serangan, sebab jika sampai geger, penggunaan pasukan kerajaan untuk kepentingan organisasi bisa menjadi masalah yang amat serius, sudah pasti perdana menteri dan raja muda akan tak senang," kata Ti Hui-keng cepat. Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya, "Kecuali kalau pihak kami yang menyerang duluan, To Lam-sin dengan alasan menumpas pemberontakan bisa saja melancarkan pembersihan." "Perkataanmu tepat sekali," kata So Bong-seng manggut-manggut, "oleh sebab itu kalian pun tak akan melancarkan se¬rangan, tapi kau mesti tahu, dua puluh persen kekuatan pasukan yang ditempatkan di kotaraja berada dalam genggaman kami, ini fakta, inipun kekuatan nyata, padahal kalian tidak memilikinya." "Betul, kami memang tidak punya," kali ini Ti Hui-keng mengangguk. "Makanya lebih baik kalian menyerah saja." "Sekalipun kami bersedia menyerah, belum tentu Cong-tongcu akan menyetujuinya." "Orang yang sudah terbiasa jadi orang nomor satu memang tak ingin jadi orang nomor dua, tapi bagaimana dengan kau?" tatapan So Bong-seng tajam bagai sembilu. "Aku pun sudah terbiasa menjadi orang nomor dua," jawaban Ti Hui-keng masih tetap santai, "jadi, mau pindah kemana pun tetap aku jadi orang nomor dua, apa gunanya? Apalagi kalau sampai dijadikan orang nomor tiga atau orang nomor empat, waah ... bedanya bisa jauh sekali." "Belum tentu, bisa saja kau malah jadi orang nomor satu?" tukas So Bong-seng cepat, kemudian setelah mengatur nada sua¬ranya, ia melanjutkan, "Orang nomor satu perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan orang nomor satu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau boleh saja tetap ada, asalkan si penanggung jawab perkumpulan Lak-hun-poan-tong mau bertanggung jawab juga terhadap perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau." Ti Hui-keng mencibirkan bibir sebagai ganti senyuman, "Sayang selama ini aku terbiasa memberi pertanggungan jawab kepada Lui Sun." "Lui Sun sudah tua, sudah tak becus, kau tak usah bertanggung jawab lagi kepadanya, sudah waktunya bagimu untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri." Ti Hui-keng seakan agak tertegun, sesaat dia tak berkata-kata. So Bong-seng berkata lebih jauh, "Setelah tujuh-delapan tahun menjadi orang nomor dua, sekarang menjadi orang nomor satu, rasanya hal ini menarik juga."

Ti Hui-keng menghela napas panjang, tapi suaranya sangat lirih, sedemikian lirih hingga nyaris tak terdengar oleh orang lain. "Apakah kau masih punya pendapat lain?" kembali So Bong-seng bertanya. Ti Hui-keng mendongakkan kepala dan memandang lawan lekat-lekat, sesaat kemudian ia baru menjawab, "Aku sudah tak punya pendapat apa-apa lagi. Tapi Congtongcu pasti mempunyai pendapatnya sendiri." "Kau ingin menanyakan pendapatnya?" So Bong-seng tiba-tiba menarik kelopak matanya hingga pandangan matanya nampak dingin menggidikkan. Ti Hui-keng manggut-manggut. "Kau sendiri tak sanggup mengambil keputusan?" desak So Bong-seng lagi dengan sorot mata setajam sembilu. Ti Hui-keng mengawasi sepasang tangannya. Sepasang tangan yang putih dan bersih, jari tangannya panjang tapi ramping, ruas jarinya kelihatan sangat bertenaga. "Aku selalu memberikan pertanggungan jawab kepadanya, sedang dia bertanggung jawab atas keseluruhan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bagaimanapun aku harus menanyakan pendapatnya, setelah itu baru mulai mempertimbangkan pendapatku sendiri." So Bong-seng mulai bersikap tenang. Ong Siau-sik yang selama ini hanya membungkam, mendadak mulai merasa kuatir. Dia menguatirkan Ti Hui-keng. Asal So Bong-seng melolos goloknya, mungkin dalam waktu singkat Ti Hui-keng sudah roboh bersimbah darah. Menyaksikan Ti Hui-keng dengan tubuhnya yang begitu lemah, ditambah lagi mengidap cacad yang begitu mengenaskan, dia tak tega menyaksikan orang itu mati. Untung So Bong-seng tidak turun tangan, dia hanya berkata dengan nada dingin, "Tengah hari tiga hari kemudian, di tempat yang sama, suruh Lui Sun datang kemari, aku ingin berbicara hingga jelas dengannya. Jika ia tidak datang, segala akibat tanggung jawab dia sendiri." Begitu selesai bicara ia segera beranjak pergi, pergi tanpa melirik lagi ke arah Ti Hui-keng. Perundingan tiga babak pun kini berakhir. ooOOoo So Bong-seng membalikkan badan dan berlalu, turun dari loteng. Karena ia pergi secara tiba-tiba, mau tak mau Ong Siau-sik mengikut di belakangnya turun dari loteng itu, Pek Jau-hui sebetulnya ingin membangkang, tapi situasi dan kondisi tidak mengizinkan dia mengumbar watak sendiri, maka dia pun ikut turun dari situ. So Bong-seng memang selalu memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain mengikuti kehendaknya.

Kendatipun dia sendiri sudah didera penyakit yang membuatnya nyaris kehilangan segenap tenaga dan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan dalam kehidupan! ooOOoo So Bong-seng sudah turun dari loteng, namun Ti Hui-keng sama sekali tak bergerak. Beberapa saat kemudian, ia menjumpai gerombolan payung hijau yang semula memenuhi tengah jalan raya, kini sudah bubar dan lenyap dari pandangan. Tak selang berapa saat kemudian, pasukan berkuda yang berada di kejauhan pun dengan tanpa menimbulkan suara telah bergeser dan meninggalkan tempat itu. Ti Hui-keng masih duduk dengan santai, persis seperti seorang siucay yang sedang menikmati pemandangan alam di tengah hujan sambil membuat pantun dan syair. Menyusul kemudian ia mendengar suara tiupan seruling yang berkumandang dari kejauhan, dua kali tiupan panjang tiga kali tiupan pendek, seakan ada orang yang sedang memanggil. "Sungguh aneh," kala itulah Ti Hui-keng baru berbisik. Meskipun mengucapkan dua patah kata yang singkat, tapi jelas dia bukan sedang bergumam. Dia seakan sedang berbicara dengan seseorang. Tapi ... dalam ruangan loteng itu hanya ada dia seorang, dengan siapa dia berbicara? Baru selesai dia bicara, mendadak terdengar seseorang menanggapi, "Apanya yang aneh?" Seseorang terlihat 'berjalan' turun dari atap rumah. Ia tidak menggunakan gerakan tubuh apa pun, hanya membuka jendela dekat atap rumah lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Di antara atap bangunan dengan lantai ruangan tingkat dua, sama sekali tak tersedia anak tangga, namun dia telah berjalan turun ke bawah dengan santainya, seolah sedang berjalan di tanah datar saja. Orang ini mengenakan jubah lebar berwarna abu-abu, tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku, sewaktu turun ke dalam ruangan, tiba-tiba Ti Hui-keng merasa kalau saat itu turun hujan, benarbenar langit gelap dan hujan turun, suasana hujan yang akan amat menggidikkan. Sampai kapan hujan akan turun? Ketika musim hujan lewat, salju pun akan mulai turun. Bila salju sudah turun, harus menunggu sampai berapa lama lagi matahari baru menampakkan diri? Pikiran semacam itu hanya berkecamuk di dalam benaknya, di luar ia segera menyapa, "Congtongcu sudah menunggu lama di atap rumah?" Kakek itu tertawa. "Loji, kau pasti sangat lelah," katanya, "cucilah dulu matamu, kemudian cucilah tanganmu."

Begitu perkataan itu diucapkan, dua orang gadis cantik dengan membawa sebuah baskom perak berisikan air bersih dan sebuah handuk berwarna putih telah muncul dalam ruangan, kemudian dengan sangat hati-hati meletakkannya di atas meja, persis di samping Ti Hui-keng. Menyaksikan hal ini Ti Hui-keng tertawa. Ia benar-benar mencuci matanya dengan air, lalu mencelupkan handuk putih itu ke dalam air dan membilas wajahnya perlahan, setelah itu dia celupkan juga sepasang tangannya ke dalam air. Selang beberapa saat baru ia mencuci tangan itu dengan sangat teliti, mencucinya dengan serius, sangat hati-hati dan tak ada bagian tangannya yang tidak dibersihkan. Kakek itu hanya mengawasi dari kejauhan, jenggotnya kelihatan agak berguncang, entah karena terhembus angin atau alasan lain, tapi yang jelas bukan cuma jenggotnya yang bergoyang, jubah yang dikenakan pun ikut bergelombang. Dengan sabar dan hati-hati Ti Hui-keng mencuci matanya, mencuci tangannya, lalu satu demi satu dilap dengan handuk hingga kering, dia tidak membiarkan setetes air pun masih membasahi jari tangannya. Si kakek pun dengan sabar menunggu, menanti hingga dia menyelesaikan semua pekerjaannya. Usianya sudah cukup tua, dia tahu, semua keberhasilan harus melalui kesabaran dan keuletan. Ketika masih muda dulu, dia lebih membara ketimbang orang lain, itulah sebabnya ia berhasil memperoleh dunia, tapi dunia bisa diperoleh dengan semangat yang berkobar, namun begitu harus mempertahankan dunianya, kobaran api yang kelewat panas justru bakal membikin runyam masalah. Sebab yang diutamakan adalah kesabaran. Oleh karena itu dia bisa bersabar jauh melebihi kemampuan siapa pun. Setiap kali dia membutuhkan orang, dia dapat begitu sabar. Apalagi ingin memanfaatkan orang berbakat, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dia sadar banyak persoalan tak akan selesai bila terburu-buru, bahkan ada persoalan tertentu yang semakin susah dicapai bila kelewat bernapsu, maka dia belajar menjadi seorang pemburu, menjadi seorang nelayan, menebarkan jaring dan perangkap, kemudian menyingkir agak menjauh dan menunggu dengan sabar. Sabar memang mempunyai banyak keuntungan, paling tidak bisa membuat orang lebih jelas melihat situasi, bisa mengatur langkah dengan lebih tepat, memperkuat diri, mengubah posisi lemah menjadi kuat. Jika seorang tak punya kesabaran, dia tak akan berhasil menciptakan karya besar, paling yang bisa dilakukan hanya usaha kecil. Tentu saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong bukan sebuah usaha kecil. Maka ia harus sabar, khususnya sabar menghadapi Ti Hui-keng. Karena Ti Hui-keng adalah orang paling berbakat di antara orang berbakat lainnya. Ti Hui-keng memiliki dua kelebihan, kelebihan yang dimilikinya terhitung nomor satu di kotaraja, tak nanti ada orang lain sanggup mengunggulinya.

Sepasang tangan Ti Hui-keng. Sepasang mata Ti Hui-keng. Maka dari itu dia harus merawat sepasang tangannya ekstra hati-hati, melindungi sepasang matanya ekstra ketat. Lui Sun sangat memahami akan hal ini. Hari ini dia mengatur rencana secara cermat, menyusun strategi dengan sempurna, tujuannya tak lain adalah untuk mengatur suatu pertemuan antara Ti Hui-keng dengan So Bong-seng, jelas pertemuan ini bertujuan melakukan perundingan, bagaimana hasil perundingan itu tidak terlalu penting baginya, justru kesimpulan yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih penting dari segalanya. Inilah yang disebut kekuatan dari suatu pengamatan, jika pandai memanfaatkannya, maka pengamatan dari seseorang justru jauh lebih berharga daripada harta kekayaan. Setelah So Bong-seng berlalu, Ti Hui-keng hanya mengu¬capkan sepatah kata, "Aneh!" Kenapa aneh? Apanya yang aneh? Lui Sun tak perlu terburu-buru, sebab dia tahu Ti Hui-keng pasti akan menjelaskan. Siapa pun orangnya, bila dia memiliki bobot seperti Ti Hui-keng, memiliki kemampuan yang hebat dalam menganalisa sesuatu dan mengambil suatu kesimpulan, dia berhak untuk jual mahal, berbicara bila dia merasa senang. Akhirnya Ti Hui-keng bicara juga, ujarnya, "Aneh, kenapa So Bong-seng begitu terburu-buru?" "Maksudmu dia terburu-buru ingin bertanding melawanku?" tanya Lui Sun hati hati. Ti Hui-keng menundukkan kepala, mengalihkan sorot matanya mengawasi sepasang tangannya yang putih mulus, "Sebenarnya dia tak perlu terburu-buru, karena situasi makin lama semakin menguntungkan bagi dirinya." Lui Sun tidak menjawab, dia menunggu Ti Hui-keng bicara lebih jauh. Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan melanjutkan kata-katanya. Sekalipun Ti Hui-keng bukan sedang memberi laporan kepada atasannya tentang hasil pantauan dan analisanya, dia tetap akan mengatakannya, sebab pandangan seseorang yang kelewat istimewa, pendapat yang kelewat sempurna, selalu berharap ada orang bisa menikmatinya, ada orang memujinya. Tak disangkal Lui Sun adalah seorang pendengar, penikmat dan pemuja yang amat pandai. Benar saja, Ti Hui-keng berkata lebih jauh, "Jika seseorang sudah terburu-buru ingin menyelesaikan segala sesuatunya, berarti dia sudah berada dalam kondisi tak bisa menunggu lagi, jelas hal ini merupakan kesulitannya, kesulitan seseorang besar kemungkinan merupakan titik kelemahannya."

Bicara sampai di situ ia segera membungkam. "Apakah dengan mencari titik kelemahan itu berarti kita bisa menemukan cara untuk menyelamatkan diri dari kekalahan?" Lui Sun segera menimpali. "Benar!" "Tapi kesulitan apa yang sedang ia hadapi?" "Kita tidak tahu, kita hanya bisa menebak ..." sekilas perasaan bimbang muncul di wajah Ti Huikeng. "Kondisi kesehatannya?" tanya Lui Sun. Inilah tujuan utamanya mempersilakan Ti Hui-keng berjumpa dengan So Bong-seng, hanya Ti Huikeng seorang yang bisa melihat apakah So Bong-seng benar-benar berpenyakit, bagaimana penyakitnya dan apa penyakitnya. So Bong-seng merupakan seorang jago yang tak mudah dikalahkan, dia nyaris tak punya kelemahan, musuh-musuhnya pun tak berhasil menemukan titik kelemahannya. Tapi setiap orang tentu punya kelemahan, biasanya jago tangguh pandai menyembunyikan kelemahan, bahkan pandai mengubah titik kelemahannya menjadi titik yang paling kuat. Sehebat apa pun kepandaian silat yang dimiliki seseorang, dia tak akan lolos dari kematian, begitu juga dengan kondisi kesehatan seseorang, seprima apa pun kondisi tubuhnya, suatu ketika pasti akan sakit juga. Tapi penyakit apa yang diderita So Bong-seng? Bila orang lain tak sanggup merobohkan dia, mungkin setan penyakit dapat merobohkan dirinya? Berita semacam inilah yang paling ingin diketahui Lui Sun. "Dia benar-benar sakit," ungkap Ti Hui-keng tegas, dia tahu analisa yang baru saja dilontarkan itu sudah lebih dari cukup untuk menggemparkan seluruh kotaraja, menggetarkan separuh dunia persilatan, "Seluruh tubuhnya tak ada yang tidak sakit, paling tidak ia menderita tiga empat macam penyakit, hingga kini penyakitnya boleh dibilang termasuk penyakit parah yang tak ada obatnya, di samping itu dia pun menderita lima-enam macam penyakit yang hingga kini belum diketahui nama¬nya. Sampai sekarang dia masih belum mati karena dia mempunyai tiga kemungkinan." Setelah termenung sejenak, terusnya, "Kemungkinan pertama, tenaga dalamnya kelewat tinggi, sanggup mengendalikan penyakitnya hingga tidak menjalar. Namun, sehebat apa pun tenaga dalamnya, mustahil dia bisa mengendalikan penyakitnya dalam jangka waktu yang panjang, mustahil bisa membuat penyakitnya tidak memburuk." Sinar matanya dialihkan ke atap bangunan dan menerawang sampai lama sekali. Lui Sun menanti dengan tenang, menanti dia melanjutkan perkataannya, wajahnya tak ada rasa gusar, tak ada perasaan mendongkol, yang ada hanya keseriusan, keseriusan untuk mendengar. Mimik seperti inilah yang paling ditakuti Ti Hui-keng, sebab dari balik mimik muka seperti ini, sulit baginya untuk menebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan orang itu.

"Kemungkinan kedua, bisa jadi tujuh delapan macam penyakit yang dideritanya saling mengendalikan, saling berbenturan hingga untuk sementara tak akan kambuh." "Apa pula kemungkinan yang ketiga?" tanya Lui Sun cepat. "Pengalaman aneh." ooOOoo 18 . Wajah pen uh se nyu m Pengalaman aneh. Masalah yang tak bisa dijelaskan dengan berbagai alasan masih bisa dijelaskan dengan satu kata, yaitu pengalaman aneh! "Menurut aturan, bila ditinjau dari kondisi penyakit yang dideritanya, dia semestinya sudah mati sejak tiga-empat tahun lalu, tapi kenyataannya hingga hari ini dia masih tetap hidup bahkan masih mengemban tugas paling berat dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, benar-benar kejadian seperti ini merupakan kejadian aneh." Lui Sun termenung tanpa berkata. Manusia macam dia, dengan kedudukannya, tentu saja tahu kalau perkataan itu tak perlu banyak diucapkan, tapi setiap perkataan yang diucapkan harus berbobot. Biasanya dia malah lebih banvak mendengarkan perkataan orang lain, hanya dalam situasi banyak mendengar, analisa dan kesimpulannya baru lebih akurat, perkataannya baru lebih berbobot. Maka dengan sangat berhati-hati ia bertanya, "Jadi maksudmu, semestinya kan So-kongcu bisa menunggu, tak perlu terburu-buru karena situasi telah berkembang ke arah menguntungkan pihaknya, dia tak perlu terburu-buru menyelesaikan pertikaian antara perkumpulan kita ... tapi dia tak bisa menahan diri, jadi menurut dugaanmu, kemungkinan besar ..." Ia merasa kurang leluasa untuk melanjutkan perkataannya, maka ucapan itu terhenti di tengah jalan, karena kata berikut seharusnya Ti Hui-keng yang lebih berhak untuk bicara. "Dia tidak menunggu berarti ada alasan tertentu yang membuatnya tak mungkin menunggu, atau situasinya berbeda dengan dugaan kita semula," Ti Hui-keng segera melanjutkan perkataannya, dia selalu mengerti kapan tugas dan tanggung jawabnya harus dilaksanakan. Dalam sebuah organisasi, setiap orang pasti mempunyai peranan sendiri, ada orang harus bicara secara langsung, ada orang kalau bicara mesti menyisakan sedikit, ada orang berperan jadi 'orang baik', ada pula yang harus berperan sebagai 'orang jahat', berbicara di saat tidak seharusnya bicara dan tidak bicara di saat harus berbicara, sama halnya dengan seseorang yang tidak tahu posisi sendiri, cepat atau lambat orang semacam ini pasti akan didepak keluar dari organisasi. Posisi Ti Hui-keng selama ini mantap bagaikan bukit Thay-san, dia tahu tindak-tanduk serta sepak terjang yang ia lakukan sangat berkaitan erat dengan kekuasaan. "Perkataanmu memang benar," sahut Lui Sun, "baik soal waktu maupun masalah situasi, semuanya menguntungkan posisinya."

"Tapi sekarang telah terjadi pergeseran, situasi memang masih menguntungkan pihaknya, tapi soal waktu kemungkinan besar justru menguntungkan pihak kita," kata Ti Hui-keng. "Maksudmu kondisi kesehatannya semakin parah?" pertanyaan Lui Sun ini diajukan dengan sangat berhati-hati. Ti Hui-keng tidak langsung menjawab, dengan sorot matanya yang tajam dia memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian baru sahutnya, "Benar!" Lui Sun merasa sangat puas, memang jawaban ini yang sedang dinantikan. Jawaban itu bukan saja menyangkut mati hidup dia pribadi, bahkan menyangkut mati hidup beberapa puluh ribu orang, menyangkut berjaya atau runtuhnya sebuah kota. Karena jawaban itu keluar dari mulut Ti Hui-keng. ooOOoo Ada kalanya ucapan Ti Hui-keng jauh lebih ampuh daripada firman kaisar. Sebab meski firman kaisar penuh dengan kekuasaan, namun kaisarnya adalah kaisar lalim, sementara Ti Hui-keng adalah seorang jenius. Sekalipun sasaran analisa itu adalah Lui Sun atau bahkan dia sendiri, ia akan memberikan pandangan secara jujur, adil dan bijaksana. Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, Ti Hui-keng mulai menyeka butiran keringat yang membasahi jidatnya. Jawaban itu sama beratnya seperti pertempuran sengit melawan seseorang. Padahal untuk memutuskan sebuah kesimpulan atas seseorang atau suatu masalah, dibutuhkan kemampuan seluruh pengalaman yang dimiliki serta ketajaman menganalisa yang akurat, sama halnya dengan seseorang yang mengerahkan se¬genap tenaga dalam dan jurus silat yang diketahuinya untuk bertarung melawan seseorang. Lui Sun melayang turun dari atap rumah, waktu itu hujan masih turun di luar sana, anehnya pakaian yang ia kenakan sama sekali tidak basah. Tiba-tiba terdengar Ti Hui-keng bertanya lagi, "Bagaimana pendapat Congtongcu tentang janji pertemuan tiga hari lagi?" Dia jarang sekali bertanya. Terhadap Lui Sun dia tahu, seharusnya dia banyak menjawab, bukan banyak bertanya. Tentu saja terkecuali dia butuh tahu tentang persoalan itu. Padahal dalam pandangan Lui Sun, seringkah pertanyaan yang diajukan Ti Hui-keng sama bobotnya dengan jawaban yang dia berikan.

"Kalau memang waktu menguntungkan kita, kenapa kita tidak berusaha mengulur waktu?" jawabnya. Ti Hui-keng menghela napas panjang. Tampaknya Lui Sun menyadari akan hal itu, segera ujarnya, "Kau merasa kuatir?" Ti Hui-keng membenarkan. "Apa yang kau kuatirkan?" "Kalau toh dia bermaksud menyelesaikan persoalan ini secepatnya, tak nanti akan memberi kesempatan kepada kita untuk mengulur waktu, lagi pula ..." "Lagi pula kenapa?" Tiba-tiba Ti Hui-keng berganti nada pembicaraan, katanya, "Congtongcu, apakah kau memperhatikan juga kedua orang anak muda itu?" Lui Sun tak bisa menahan diri lagi, dia menghela napas panjang. "Ai, dalam situasi seperti ini ternyata muncul dua orang macam mereka, kejadian ini benar-benar di luar dugaan." "Apakah Congtongcu tahu siapakah kedua orang itu?" "Aku sedang menunggu keterangan darimu." "Aku hanya tahu mereka baru setengah tahun tiba di kotaraja, yang satu bermarga Pek, yang lain bermarga Ong, kepandaiannya cukup bisa diandalkan, aku sangka mereka hanya bisa bertahan selama dua tiga bulan, asal tetap tak bisa menonjolkan diri, secara otomatis akan meninggalkan kotaraja, di luar dugaan Perkumpulan Lak-hun-poan-tong tahu tentang kedua orang ini, namun mereka tidak memandang sebelah mata terhadap kemampuan mereka, maka Ti Hui-keng hanya menitahkan orang untuk mengawasi dan tidak mengusik kedua orang pemuda yang asal-usulnya tak jelas tapi memiliki kungfu hebat itu, sebab dia tahu, kecuali benar-benar menghadapi musuh tangguh, alangkah baiknya bila dapat menghindari perkelahian. Ada sementara orang, asal kau tidak menggubrisnya maka beberapa saat kemudian dia akan lenyap dengan sendirinya, bahkan tak perlu mengganggu atau menggunakan kekerasan, cara seperti ini bukan saja merupakan cara yang cerdik, bahkan tak usah membuang tenaga. "Sungguh tak disangka, begitu mereka menampilkan diri, ternyata sudah bergabung dengan Sokongcu dan bersama-sama menjebol Ku-swi-po dan menyerbu Po-pan-bun," kata Lui Sun. Setiap kali menyinggung soal So Bong-seng, dia selalu menyebut So-kongcu, peduli di sana ada atau tidak orang luar, dia selalu bersikap sungkan, menaruh hormat dan hati-hati. Kenapa begitu? Apakah dia sedang mempersiapkan sebuah jalan mundur untuk berjaga-jaga terhadap segala sesuatu? Apakah dia tak ingin hubungannya dengan So Bong-seng menjadi retak hingga tak mungkin bisa diobati?

Tentu saja tak ada orang yang berani mengajukan pertanyaan ini, tapi setiap orang tahu, berada di depan orang atau tidak, So Bong-seng selalu menyebut Lui Sun langsung dengan namanya, sikapnya dengan Lui Sun yang selalu menghormatinya sebagai So-kongcu sama sekali bertolak belakang. "Tampaknya kita benar-benar telah melupakan kedua orang yang tak terkenal itu," kata Ti Huikeng. "Orang ternama mana pun selalu dimulai dari seorang yang tidak terkenal." "Tapi sejak hari ini, kedua orang tak ternama itu akan menggetarkan kotaraja." Perlahan-lahan Lui Sun menarik keluar tangan kirinya dari dalam saku bajunya. Tangan itu sangat kurus bahkan kering kerontang. Yang lebih mengerikan lagi adalah jari tangan yang tersisa hanya jari tengah dan ibu jari. Sebuah cincin zamrud hijau dikenakan pada ibu jarinya itu. Tampaknya jari telunjuk, jari manis dan kelingkingnya telah dipapas kutung seseorang dengan menggunakan senjata tajam, bahkan masih meninggalkan bekas luka yang sangat kentara kendatipun kejadiannya sudah berlangsung lama. Dapat diduga betapa sengit dan ngerinya pertempuran itu. Banyak jago tangguh dalam dunia persilatan yang mulai menancapkan kaki setelah melalui berbagai pertempuran sengit, tidak terkecuali Lui Sun. Ti Hui-keng tahu bila Lui Sun sudah mengeluarkan tangan itu, berarti dia sudah menurunkan perintah membunuh, jika Lui Sun menggerakkan tangan kanannya yang utuh, berarti dia akan berkenalan dan bersahabat dengan orang itu, tapi sekarang dia telah mengeluarkan tangan kirinya yang penuh bekas luka, berarti dia sudah siap membasmi lawan. Oleh karena itu segera ujarnya, "Walaupun kedua orang itu berjalan bersama So Bong-seng, bukan berarti mereka adalah anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau." "Maksudmu?" Lui Sun menghentikan tangannya di tengah jalan. "Mereka bisa menjadi pembantu andal bagi So Bong-seng, tapi juga bisa menjadi ancaman serius baginya." Dia tidak seperti Lui Sun, menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu, tapi dia pun tidak meniru Lui Kun dengan memaki So Bong-seng sebagai setan penyakitan. Sebenarnya apakah dia segan menyebut So Bong-seng sebagai So-kongcu karena posisi Lui Sun sedang bermusuhan dengannya, sehingga dia merasa kurang leluasa untuk menyebutnya begitu? Kadang kala Lui Sun pun pernah memikirkan persoalan ini, namun tak pernah memperoleh jawaban. Selama ini memang hanya Ti Hui-keng yang memahami orang lain, jarang ada orang lain bisa memahami dirinya.. Perlahan-lahan Lui Sun memasukkan kembali tangan kirinya ke dalam saku, senyuman mulai muncul di balik sorot matanya,

"Kalau mereka bisa menjadi musuh kita, sama saja mereka pun bisa menjadi sahabat kita," katanya. "Antara musuh dan teman, sebenarnya hanya dibatasi sebuah benang yang tipis, mereka bertemu lebih dulu dengan So Bong-seng, maka bergaul dengannya, kita pun dapat pergi mencari mereka." Mendadak Lui Sun mengalihkan pokok pembicaraan, ta¬nyanya, "Tadi mengapa kau tidak menyinggung soal perkawinan?" "So Bong-seng diserang duluan di Ku-swi-po kemudian baru melancarkan serangan balasan ke Popan-bun, kedatangannya sangat garang dan buas, hanya dalam waktu singkat dia telah mendatangkan pasukan 'Berbuat keonaran semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin dan pasukan angin puyuh pimpinan To Lam-sin untuk mengepung sekeliling tempat itu, posisinya waktu itu sangat kuat karena sudah memegang tujuh puluh persen kemungkinan menang," kata Ti Hui-keng, "jika dalam situasi semacam itu kita tawarkan soal perkawinan, mungkin dia malah memandang enteng kita. Tujuannya kemari kan untuk berunding." "Bagus sekali," Lui Sun tertawa, "mau jadi jingke (besan) atau musuh besar, biar dia sendiri yang memutuskan." Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Ti Hui-keng. "Bila kedatangan So Bong-seng tidak segarang hari ini, urusan perkawinan mungkin sudah beres sejak tadi." Perkataan itu tampaknya amat cocok dengan selera semua orang, Lui Sun segera tertawa terbahak-bahak. Ti Hui-keng ikut tertawa, kecuali satu orang yang baru saja menaiki anak tangga, sekilas perasaan murung yang sangat tebal melintas dari balik sorot matanya. Di mulut tangga muncul seseorang, dia adalah Lui Heng. "Cu-tayjin dari kantor kejaksaan kotaraja mohon bertemu Congtongcu," lapor Lui Heng. Lui Sun segera mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng. Ti Hui-keng sendiri;tetap duduk santai, matanya tetap bening dan wajahnya tanpa perubahan. Melihat itu Lui Sun segera berseru, "Persilakan masuk." Lui Heng menyahut dan segera berlalu. Sambil tertawa Ti Hui-keng berkata, "Cepat betul pihak kejaksaan memperoleh laporan." "Cu Gwe-beng memang selalu muncul tepat pada waktunya," kata Lui Sun tertawa, "di saat harus datang, ia segera datang, di saat harus pergi dia segera pergi." "Tak heran kalau belakangan pangkatnya cepat sekali naiknya." Sementara pembicaraan masih berlangsung, Cu Gwe-beng sudah muncul di mulut tangga. Cu Gwe-beng adalah seorang lelaki gemuk, ramah dan berwajah penuh senyuman, bukan saja tidak nampak cekatan atau cerdas, malah sedikit kelihatan bebal dan kedodoran. Tentu saja dia bukan datang seorang diri.

Dengan posisinya sebagai kepala kantor kejaksaan, bukan satu kejadian aneh bila kemana pun dia pergi, selalu dikawal tiga empat ratusan oang pengawal, tapi kali ini dia hanya mengajak tiga orang. Seorang lelaki setengah umur berkulit hitam, sekilas pan¬dang tangannya seakan sedang menggenggam senjata tajam. Padahal orang itu datang dengan tangan kosong. Tak pernah ada yang berani membawa senjata atau menggembol senjata rahasia sewaktu datang bertemu Lui Sun. Tapi sepasang tangan milik orang itu tidak mirip sepasang lengan, tapi lebih mirip sepasang senjata tajam. Sepasang senjata tajam yang dalam waktu singkat dapat mencabik-cabik tubuh manusia hingga hancur. Yang seorang lagi adalah seorang kakek yang alis mata serta jenggotnya sudah putih, tak berbeda dengan orang tua biasa, hanya saja sewaktu berjalan dan naik anak tangga, jenggot maupun air matanya seolah kawat baja, sama sekali tidak bergerak barang sedikitpun. Yang seorang lagi adalah seorang anak muda yang sedikit agak kemalu-maluan, dia nyaris menempel terus di samping lengan Cu Gwe-beng. Kalau dilihat dari tingkah lakunya, dia seakan senang sekali berdiri di bawah bayang-bayang orang lain. Bagi orang yang tak tahu, mereka pasti akan mengira orang itu adalah seorang bocah idiot atau seorang kacung. Begitu bersua dengan Lui Sun dan Ti Hui-keng, Cu Gwe-beng segera menjura dan berseru dengan penuh kegembiraan, "Lui-congtongcu, Ti-lotoa, kelihatannya kalian bertambah makmur saja belakangan ini!" Nada suaranya mirip dengan lagak seorang saudagar, sama sekali tak terkesan kejam dan angkernya seorang kepala kejaksaan. "Cu-tayjin, selamat bersua," sahut Lui Sun sambil tertawa, "berkat anugerahmu, meski suasana dalam kota makin lama makin bertambah kalut, namun untuk hidup pas-pasan sih masih cukup." "Hahaha, kalau aku, mana punya anugerah, justru karena Sri Baginda Sinbeng, maka kami semua ikut kecipratan hok-kinya, tapi yang pasti damai melahirkan kehormatan, aman menimbulkan rejeki, bukankah begitu Congtongcu?" "Ah, akhirnya dia singgung juga masalah ini," pikir Lui Sun dalam hati, buru-buru sahutnya, "Lohu hanya tahu Tayjin bukan cuma sukses di bidang kejaksaan, dalam perdagangan pun makin lama semakin bertambah kaya. Ucapan Cu-tayjin ibarat emas dan kemala, sungguh bikin kagum orang yang mendengarnya." Cu Gwe-beng mengerdipkan mata, lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, padahal kalau menyinggung soal dagang, selama ini aku hanya mendompleng perlindungan Congtongcu, sehingga tak perlu kelewat menyerempet bahaya." "Cu-tayjin terlalu memuji, antara sahabat memang seharusnya saling membantu," Lui Sun tertawa hambar. "Ah, benar," sela Ti Hui-keng tiba-tiba, "darimana Cu-tayjin tahu kalau kami berada di loteng Samhap-lau? Atau mungkin Tayjin pun sedang mencari kesenangan, hingga khusus kemari untuk menikmati pemandangan alam?" Paras muka Cu Gwe-beng segera berubah jadi serius, dengan merendahkan suaranya ia berkata, "Terus terang, pertemuan dan perundingan yang diadakan Congtongcu serta Toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan Locu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah tersebar di seantero ko¬ta, bukan saja semua orang sedang membicarakan kejadian ini, bahkan atasan kami pun sudah mengalihkan perhatian kemari, malah sang Baginda ... hehehe ... beliau pun sudah mendengar kabar ini!" Lui Sun tersenyum. "Padahal kejadian ini hanya urusan kecil, sungguh memalukan kalau sampai Koan-ya sekalian turut menaruh perhatian." Cu Gwe-beng melangkah maju, kemudian katanya lagi sambil tertawa, "Kalian berdua pasti tahu bukan, kalau aku bertugas di bagian kejaksaan, banyak urusan dan kejadian mau tak mau harus dibuatkan laporan, ah, betul, dalam pertemuan di Sam-hap-lau tadi, siapa yang keluar sebagai pemenang?" Lui Sun dan Ti Hui-keng saling bertukar pandang sekejap kemudian tertawa, mereka bisa menduga, siapa menang siapa kalah di antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah menjadi urusan yang paling diperhatikan seluruh penduduk kota, meski Cu Gwe-beng datang dengan alasan dinas, padahal dia pun hanya ingin mencari tahu kabar berita terakhir tentang peristiwa itu. Bicara sejujurnya, Cu Gwe-beng sebenarnya termasuk salah seorang yang selama ini menunjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, alasannya, jika perkumpulan Lak-hun-poan-tong tidak menunjang Cu Gwe-beng, maka baginya tidak segampang sekarang dalam memecahkan setiap kasus besar yang terjadi, dan lagi meski dia punya kekuasaan, bukan berarti dia gampang dapat duit. Bila seseorang sudah memperoleh kekuasaan, otomatis dia akan senang duit, bila duit dan kekuasaan sudah didapat, maka dia mulai memburu nama, jika nama pun sudah diperoleh, maka dia akan mulai mencari benda mestika yang memungkinkan dia panjang umur, pokoknya napsu manusia untuk memperoleh sesuatu yang lebih, tak pernah akan puas. Lui Sun dan Ti Hui-keng sama sekali tidak menjawab, akan tetapi wajahnya penuh senyuman, mereka merasa sangat bangga. Cu Gwe-beng mulai panik, paling tidak ada dua tiga orang atasannya yang ingin mengetahui situasi di situ, tentu saja ia tak boleh pulang dengan tangan hampa. Maka kembali desaknya, "Sobat berdua, kita kan sahabat lama, tolong tanya siapa di antara kalian yang berhasil menempati posisi di atas angin? Siapa menang dan siapa kalah?" "Masa kau tidak melihat kalau w ajah kami penuh senyuman?" tanya Ti Hui-keng sambil tertawa.

"Kenapa kau tidak menanyakan langsung kepada So-kongcu?" sambung Lui Sun. Dalam hati Cu Gwe-beng tahu, sejak awal sudah ada orang lain yang pergi mencari So Bong-seng, tentu saja dia tak ingin ketinggalan dari rekannya itu, paling tidak dia pun harus mendapat berita. Biarpun sampai sekarang ia belum tahu keadaan yang sebenarnya, paling tidak ia sudah memperoleh sedikit masukan. Walaupun ia belum jelas bagaimana hasil perundingan antara So Bong-seng dan Lui Sun, tapi setelah perundingan itu, dia masih menyaksikan wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh senyuman. Jika seseorang masih bisa menampilkan wajah penuh senyuman, paling tidak hasil yang diperoleh tidak kelewat jelek. Memandang senyuman yang menghias wajah Lui Sun, pada hakikatnya dia mirip seekor musang yang baru saja berhasil menemukan sarang anak ayam. Maka sekembalinya dari loteng Sam-hap-lau, Cu Gwe-beng pun segera memberi laporan kepada atasannya. "Kelihatannya perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah berhasil menempati posisi di atas angin." "Kenapa?" tanya atasannya. "Karena wajah Lui Sun dan Ti Hui-keng penuh dengan senyuman, senyuman yang amat cerah." Sekalipun atasannya merasa agak sangsi, namun dia terpaksa harus menerima kesimpulan itu. ooOOoo 19 . Saudar a Baru saja So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui turun dari loteng Sam-hap-lau, segera ada orang memanggilnya, "So-kongcu!" Menyusul kemudian orang itu bertanya, "Bagaimana hasil pertarunganmu melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Si penanya masih berada di dalam kereta kuda. Kereta kuda itu sangat mewah dan megah, saisnya ada tiga orang, semuanya mengenakan baju halus yang mahal harganya, sekilas pandang mereka mirip pejabat tinggi dari kerajaan, mirip juga pengurus kelenteng besar. Tapi sekarang, mereka hanya menjadi sais, sais orang lain. Di luar kereta berdiri delapan orang pengawal bergolok, kedelapan orang itu berdiri mematung bagaikan patung baja. Sekilas Pek Jau-hui segera tahu bahwa paling tidak ada dua orang di antaranya merupakan jago golok kenamaan, tiga orang yang lain merupakan Ciangbunjin partai besar, satu di antaranya malah merupakan ahli waris Ngo-hou-toan-hun-to (lima harimau golok pemutus sukma) Phang Thian-pa yang bernama Phang Jian, selain itu hadir juga Ciangbunjin angkatan ketujuh Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Tiau Lian-thian serta ahli waris Siang-kianpo-to (golok mestika perjumpaan) Beng Khong-khong.

Ilmu golok lima harimau pemutus sukma tak pernah diwariskan kepada orang lain, selain sadis, enam puluh empat jurus serangannya khusus diciptakan untuk menyerang pertahanan bawah musuh, oleh karena itu anak murid keluarga Phang yang sudah dihajar sampai terjatuh ke tanah pun, kemampuannya tak boleh dipandang enteng. Ngo-hou-phang-bun atau perguruan keluarga Phang ini sama seperti keluarga Tong di wilayah Siok-tiong, Bi-lek-tong dari wilayah Kanglam, perkumpulan gagang golok, perguruan kaisar hijau dan perkampungan ikan terbang, merupakan sebuah perguruan dengan segala peraturan yang sangat ketat. Ada orang berkata, bila sudah menjadi ketua dari beberapa perguruan itu maka posisinya jauh lebih stabil ketimbang menjadi seorang kaisar. Ciangbunjin keluarga Phang yang bernama Phang Jian sudah termashur di kolong langit dengan ilmu golok andalannya sejak berusia dua puluh lima tahun, tapi sejak berusia tiga puluh lima tahun ia meninggalkan perguruan keluarga Phang untuk menjadi pengawal orang. Golok pengejut sukma Tiau Lian-thian terhitung juga keturunan orang kaya, ilmu goloknya merupakan aliran yang luar biasa, sudah banyak jagoan tangguh yang lahir dalam perguruan ini. Tiau Lian-thian sendiri pun termasuk seorang jago berbakat alam, dia sanggup mengubah ilmu golok pengejut sukma menjadi ilmu golok pengejut impian, kehebatannya luar biasa, tapi sekarang dia hanya seorang pelindung kereta mewah. Siang-kian-po-to (golok mestika perjumpaan) didirikan oleh keluarga Beng, ketika diwariskan ke tangan Beng Khong-khong, nama besar dan pamornya sudah amat tersohor di kolong langit, sepak terjangnya selama ini mengutamakan kejujuran dan kebenaran. Tapi kini Beng-kongcu yang amat termashur itu hanya menjadi salah satu pelindung orang dalam kereta. Lalu siapakah orang yang berada di dalam kereta? Selama ini Pek Jau-hui selalu santai, acuh tak acuh dan tak pernah serius, tapi sekarang dia celingukan ke sana kemari. Setelah orang di dalam kereta mengucapkan perkataan tadi, dua orang berbaju putih segera maju ke depan dan dengan sangat hati-hati mulai menyingkap tirai yang menutupi kereta mewah itu. Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Ong Siau-sik tidak seluas Pek Jau-hui, namun setelah menyaksikan tangan kedua orang yang sedang menyingkap tirai kereta itu, diam-diam ia terkesiap. Ternyata bentuk tangan kedua orang itu sangat aneh, telapak tangan yang sebelah tebal lagi kasar, ibu jari tangannya pendek, kasar lagi gemuk sementara keempat jari lainnya nyaris menyusut dan layu di dalam telapak tangan, bentuk telapak tangannya persis seperti sebuah palu besi. Sebaliknya telapak tangan yang lain lembek seakan tak bertulang, kelima jari tangannya panjang dan ramping mirip ranting pohon yang-liu, ujung jarinya ramping dan runcing mirip sebatang lidi, tapi sayang tidak kelihatan ada kuku yang menempel di situ. Sekilas pandang saja Ong Siau-sik segera tahu kalau telapak tangan yang kasar dan kaku bagai palu besi itu paling tidak sudah terlatih tenaga pukulan Bu-ci-ciang (telapak tanpa jari) hampir enam puluh tahun lamanya, sementara telapak tangan yang lembek bagai kapas itu paling tidak

sudah melatih ilmu lembek Soh-sim-ci (ilmu jari hati suci) selama tiga puluh tahun dan tenaga yinkang Lok-hong-jiau (cakar perontok angin) selama tiga puluh tahun. Ilmu cakar perontok angin adalah ilmu andalan Kiu-yu Sin-kun, sedang ilmu jari hati suci merupakan ilmu jari aliran sesat, kedua macam ilmu itu sesungguhnya mustahil bisa dilatih bersama, selama ini hanya satu orang saja yang berhasil menguasai kedua ilmu itu sekaligus, orang itu adalah Lam-hoajiu si tangan bunga anggrek Thio Liat-sim. Jika orang ini adalah Thio Liat-sim, berarti orang yang satunya adalah si telapak tanpa jari Thio Thiat-su. Bila kedua orang itu bergabung menjadi satu, mereka berjuluk Thiat-su-kay-hoa atau pohon besi mulai berbunga. Biasanya pohon besi mulai berbunga merupakan gejala yang sangat menguntungkan. Tapi bagi Thio Liat-sim dan Thio Thiat-su, bukan begitu arti yang dimaksud. Arti dari 'berbunga' adalah bunga kaca yang mulai mekar atau tegasnya berarti retak, jadi dimana telapak tangan mereka lewat maka baik tulang atau daging tubuh lawan, semuanya tetap akan 'berbunga', bahkan pasti akan 'berbunga'. Jangankan orang biasa, sepasang tangan milik Liu Tiong-mo, seorang guru besar Thiat-sah-ciang pun pernah dibikin 'berbunga' oleh serangan mereka. 'Berbunga' masih mengandung sebuah arti lagi. Pekerjaan yang tak mungkin diselesaikan orang lain, asal jatuh ke tangan mereka, maka semuanya tetap akan lancar dan berhasil, seperti juga 'pohon besi yang berbunga', rejeki seolah jatuh dari langit, apa pun yang diinginkan selalu terkabulkan. Ilmu jari dan ilmu telapak semacam ini biasanya butuh latihan puluhan tahun lamanya untuk bisa mencapai tingkatan tertentu, bahkan mereka harus melakukan pengorbanan yang sangat menakutkan, tapi kalau dilihat usia kedua bersaudara Thio ini, sekalipun usia mereka digabungkan menjadi satu juga belum mencapai enam puluhan tahun, semestinya ilmu Bu-ci-ciang yang mereka miliki belum mencapai tingkat kesempurnaan. Itulah sebabnya jarang ada orang yang mau berlatih ilmu telapak tanpa jari ini, sebab walau sudah menguasainya, belum tentu bisa mencapai puncak kesempurnaan di usia senja mereka. Dalam pada itu ilmu jari hati suci Soh-sim-ci dan ilmu cakar perontok angin merupakan dua ilmu yang bertolak belakang, satu dari aliran lurus sedang yang lain berasal dari aliran sesat, kedua macam ilmu itu mustahil bisa dilatih bersamaan waktu. Tapi hal itu terkecuali bagi si pohon besi berbunga ini. Dan kenyataannya sekarang, biarpun mereka memiliki kepandaian yang luar biasa, tugasnya sekarang hanya membukakan tirai di atas kereta orang. Lalu siapakah orang di dalam kereta itu? Ong Siau-sik adalah pemuda yang besar rasa ingin tahunya, kini bukan saja dia ingin tahu, pada hakikatnya sudah terangsang untuk mencari tahu persoalan ini.

Begitu tirai kereta tersingkap, ketiga orang sais, ke delapan pengawal dan kedua orang pembuka tirai itu serentak menunjukkan sikap yang sangat menaruh hormat. Tampak seseorang menongolkan dulu kepalanya dari balik kereta, kemudian baru perlahan-lahan turun dari keretanya. Jelas orang yang ada di dalam kereta itu mempunyai kedudukan yang tinggi dan terhormat, namun terhadap So Bong-seng ternyata dia tak berani ayal. Orang itu berwajah sangat tampan, meskipun pakaian yang dikenakan sangat bersahaja, namun sikap maupun penampilannya tetap anggun dan penuh wibawa. So Bong-seng segera menghentikan langkahnya, senyuman yang sangat jarang mampir di wajahnya tiba-tiba menghiasi ujung bibirnya, sembari menjura sapanya, "Siau Hou-ya!" Dengan cermat Siau Hou-ya memeriksa raut mukanya, kemudian baru berkata, "Aku lihat kalian belum turun tangan." "Betul, kami hanya bersilat lidah," sahut So Bong-seng tertawa, "kecuali memang dibutuhkan, kalau tidak, bisa tidak bertempur lebih baik janganlah bertarung." "Ah, setelah mendengar penjelasanmu itu, aku pun bisa berlega hati." "Tentu saja kami pun tidak berharap kejadian ini menyusahkan Siau Hou-ya." Siau Hou-ya tertawa getir. "Nama besar Kongcu dan Lui-tongcu sudah menggetarkan seluruh jagad, ditambah masing-masing pihak memiliki kekuatan hingga ratusan ribu jiwa, seandainya sampai terjadi pertempuran terbuka, mungkin aku pun susah untuk bertanggung jawab." "Kami pasti tak akan menyusahkan Siau Hou-ya." "Bagus," Siau Hou-ya tertawa lebar, "setelah mendengar perkataanmu ini, aku pun bisa berlega hati sekarang." Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, "Bagaimana hasil perundingan tadi?" "Sangat bagus." "Sangat bagus?" sela Siau Hou-ya ragu. "Memang sangat bagus." Siau Hou-ya termenung sesaat dengan wajah penuh tanda tanya, mendadak sambil tertawa tergelak katanya, "Hahaha, kelihatannya isi pembicaraan itu merupakan rahasia perkumpulan Kimhong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" "Ketika masalah ini sudah boleh dibuka untuk umum, Siau Hou-ya pasti akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya." "Bagus, bagus sekali," sambil mengelus jenggotnya Siau Hou-ya manggut-manggut dan tertawa, perlahan pandangan matanya dialihkan ke wajah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, kemudian tanyanya lagi, "Apakah mereka berdua adalah jenderal utama dari perkumpulan Kim-hong-si-yulau?" "Bukan, mereka bukan anak buahku."

"Oya?" Siau Hou-ya mengangkat alis matanya, "jadi mereka adalah sahabatmu?" "Juga bukan," sahut So Bong-seng sambil tertawa, kemu¬dian sepatah demi sepatah lanjutnya, "Mereka adalah saudaraku!" Begitu perkataan itu diucapkan, yang terperanjat justru Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, kedua orang pemuda ini benar-benar kaget bercampur terperangah. Bukan anak buahnya, bukan sahabatnya, tapi saudaranya?! "Saudara", sebutan ini bagi banyak orang gagah dalam dunia persilatan merupakan daya tarik yang luar biasa besarnya, merupakan rayuan yang luar biasa, banyak orang mau berkorban dan melelehkan darah demi sebutan itu. Saudara! Persaudaraan! "Saudara", banyak orang telah menyia-nyiakan sebutan ini, banyak orang berjuang mati hidup demi sebutan itu, banyak orang punya banyak saudara tapi belum pernah memiliki sau¬dara sejati, banyak orang meski tak bersaudara namun memiliki saudara yang tak terhingga di kolong langit, banyak orang saling menyebut saudara namun perbuatannya justru tidak mencerminkan persaudaraan, banyak orang tak punya saudara tapi empat arah delapan penjuru justru dipenuhi persaudaraan. Saudara! Bagaimana kita harus 'susah sama dijinjing senang sama dinikmati' sehingga pantas disebut saudara? Apakah dengan berjabat tangan, bahu membahu, darah panas menggerakkan darah panas, perasaan saling bertautan dengan perasaan, keadaan semacam ini baru disebut saudara? Tampaknya Siau Hou-ya ikut melengak dibuatnya, tapi cepat dia berseru, "Kionghi! Kionghi! Walaupun selama ini So-kongcu malang melintang dalam dunia persilatan, namun selalu hidup sebatang kara, dan kini menjelang hari perkawinanmu, ternyata kau pun mendapat dua saudara sejati! Aku orang she Pui betul-betul ikut merasa gembira dan senang." "Perkataan Siau Hou-ya kelewat serius, siapa yang tidak kenal Sin-jiang-hiat-kiam Siau Hou-ya (Tombak sakti pedang darah) yang nama besarnya tersohor di seantero kotaraja? Kami sebagai rakyat kecil mana berani mendapat sanjungan seperti ini!" "Sudahlah, kita tak usah berkata sungkan lagi," tukas Siau Hou-ya sambil tertawa, "setelah menyaksikan keadaan Kongcu, aku pun bisa segera pulang untuk memberi laporan kepada perdana menteri." "Merepotkan Siau Hou-ya." "So-kongcu, semoga tak lama kemudian kau sudah mendirikan lagi beberapa buah kantor cabang, dengan begitu keamanan di kotaraja tentu akan bertambah stabil." Selesai berkata ia segera masuk kembali ke dalam ruang keretanya, kereta pun bergerak meninggalkan tempat itu, masih seperti tadi, tiga orang bertindak sebagai sais kuda, dua orang berjaga di depan tirai dan delapan orang mengawal dari kiri, kanan, depan dan belakang.

Tak lama kemudian kereta pun lenyap di ujung jalan. Kecuali kereta kuda yang ditumpangi Siau Hou-ya, sejak So Bong-seng memasuki wilayah 'pasar', tak pernah ada seorang pun yang bisa memasuki daerah itu. Tentu saja terkecuali Cu Gwe-beng. Dia pun termasuk manusia istimewa. Sama seperti Siau Hou-ya, dia bertugas mencari tahu hasil perundingan antara ketua perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lalu berita apa yang berhasil mereka peroleh? ooOOoo "Menurut kau, Siau Hou-ya akan memberikan jawaban macam apa kepada perdana menteri," ujar So Bong-seng kepada Mo Pak-sin yang berada di sampingnya, "semua orang ingin tahu kuat lemah, menang kalah antara perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-huri-poantong, siapa mempunyai keyakinan enam puluh persen maka dialah yang akan berhasil merebut peluang utama, sayang jawaban itu susah untuk dijawab, jangan lagi mereka, bahkan aku dan Lui Sun sendiri pun tidak tahu. Kami hanya tahu banyak orang menaruh perhatian kepada kita, padahal kenyataan mereka ingin sekali kami cepat mampus atau mampus salah satu di antaranya!" Dengan susah payah Mo Pak-sin mengangkat kelopak matanya yang bengkak besar seakan ditonjok orang, kemudian sahutnya, "Selama ini Kpngcu tertawa terus, barang siapa yang selalu tersenyum sehabis perundingan dilakukan, biasanya orang akan mengira dialah pemenangnya, padahal bagaimana keadaan selama perundingan, siapa pun tak bisa menebaknya." Dia memang bebal dalam cara berbicara, sehingga perkataannya itu terasa amat telanjang tanpa tedeng aling-aling. "Terkadang tertawa memang jauh lebih berguna ketimbang kepalan!" So Bong-seng manggutmanggut, "aku rasa sewaktu Cu-tayjin yang diutus bagian kejaksaan dan bagian sekretariat negara mengunjungi Lui Sun, dia pun pasti sedang tertawa." "Bolehkah aku mengajukan tiga pertanyaan kepadamu?" tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. "Katakan." Mereka berbicang sambil berjalan, sepanjang jalan Mo Pak-sin selalu melindungi mereka dengan pasukan dan barisannya. "Pertama, orang yang muncul tadi apa benar orang paling top dari kantor perdana menteri yang berjuluk Sin Thong-hou, si Bangsawan serba bisa Pui Ing-gan?" "Di kolong langit dewasa ini, kecuali Pui Siau Hou-ya yang sanggup mengajak delapan raja golok sebagai pelindungnya, si pohon besi berbunga sebagai penyingkap tirainya dan kusir paling top dari negeri Cidan, Mongol dan Li-tin sebagai saisnya dalam satu kali perondaan, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?"

Pek Jau-hui segera manggut-manggut, kembali tanyanya, "Tadi sebetulnya gampang saja bagimu untuk turun tangan membunuh Ti Hui-keng sehingga pihak lawan akan kehilangan salah satu tenaga andalannya, mengapa tidak kau lakukan itu?" "Pertanyaanmu ini tidak jujur," dengan sorot mata yang dingin So Bong-seng menatap pemuda itu, "padahal kau sudah tahu jawabannya, buat apa mesti ditanyakan kepadaku." "Jadi kau sudah tahu kalau di atas atap rumah telah bersembunyi seorang jago tangguh, maka kau tidak membunuhnya?" kata Pek Jau-hui sambil menarik napas panjang. "Mungkin saja aku memang tak berniat untuk membunuh Ti Hui-keng aku rasa kau sudah mengajukan tiga pertanyaan." "Semua pertanyaan sudah kau mentahkan kembali, hingga kini belum satu pun yang kau jawab." "Bertanya adalah urusanmu, sedang mau menjawab atau tidak adalah urusanku," tukas So Bongseng cepat. "Kalau aku hanya ada satu pertanyaan," tiba-tiba Ong Siau-sik menimbrung. Mendengar perkataan itu So Bong-seng segera memperlambat langkahnya sambil berpaling ke arah pemuda itu. Dengan suara lantang Ong Siau-sik segera bertanya, "Tadi kau ... kau berkata pada Siau Hou-ya bahwa kita ... kita adalah saudara?" "Memangnya kau tuli?" So Bong-seng tertawa lebar, "masa inipun kau anggap sebagai pertanyaan?" Ong Siau-sik tertegun, katanya agak ragu, "Tapi kita baru kenal belum setengah hari lamanya." "Tapi kita pernah mati hidup bersama." "Memangnya kau tahu siapa karai?" tanya Pek Jau-hui. "Aku tak peduli siapa kalian!" "Kalau siapa kami saja tidak kau ketahui, bagaimana mungkin bisa mengangkat saudara dengan kami?" "Siapa yang membuat peraturan semacam itu?" seru So Bong-seng sambil melotot besar, "siapa bilang kalau ingin mengangkat saudara kita mesti menyelidiki dulu asal-usul keluarga, nenek moyang, perguruan dan asal daerahnya?" "Kau Pek Jau-hui melengak. "Kenapa kau ingin mengangkat saudara dengan kami?" ujar Ong Siau-sik pula. So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak. "Angkat saudara ya angkat saudara, buat apa mesti tanya alasannya? Memangnya kita harus seia sekata, ada rejeki dinikmati bersama ada bencana dihadapi berbareng dan peduli apa segala tetek bengek omongan yang memuakkan itu?"

"Sebetulnya kau punya berapa saudara angkat sih?" tanya Pek Jau-hui. "Dua orang." "Siapa mereka?" "Kau dan kau!" tuding So Bong-seng ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Seketika itu juga Ong Siau-sik merasakan hawa darah yang amat panas menerjang naik ke atas kepalanya. Sementara Pek Jau-hui menarik napas dalam-dalam, mendadak katanya dingin, "Aku tahu." Kemudian sambil menatap wajah So Bong-seng, katanya lagi, "Apakah kau ingin mengundang kami masuk menjadi anggota perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau?" So Bong-seng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak. Setelah tertawa, dia pun mulai terbatuk-batuk, sambil terbatuk sambil tertawa.... "Biasanya ketika orang mengira dia sudah tahu, sesungguhnya ia sama sekali tidak tahu, ungkapan ini memang tepat," kata So Bong-seng, "kalian anggap dirimu adalah manusia macam apa? Buat apa aku mesti menggunakan cara begini untuk memaksa kalian masuk perkumpulan? Kalian anggap kemampuanmu sudah cukup untuk memangku jabatan besar? Kenapa tidak terpikir mungkin aku yang sedang memberi peluang kepada kalian? Manusia berbakat di dunia ini sangat banyak, kenapa aku justru harus menggaet kalian berdua?" Bicara sampai di situ, dengan nada dingin tambahnya, "Jika kalian merasa tak senang, sekarang juga boleh pergi, biarpun mulai detik ini hingga selamanya kita tak pernah bersua kembali, kalian masih tetap adalah saudaraku." Setelah terbatuk beberapa saat, katanya lagi, "Sekalipun kalian tidak menganggap aku adalah saudaramu, tidak masalah, aku tak peduli." Ong Siau-sik tak kuasa menahan diri lagi, mendadak ia berlutut sambil menyembah, serunya, "Toako!" ooOOoo 20 . Bukan han ya no mor sat u "Kau jadi Lotoa?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya sambil menghela napas panjang. "Manusia macam aku kalau tidak jadi Lotoa, siapa yang jadi Lotoa?" So Bong-seng balik bertanya sambi! mendelik. Sambil menggendong tangan memandang langit Pek Jau-hui termenung beberapa saat lamanya, sampai lama kemudian ia baru menghembuskan napas panjang dan berkata, "Ada scpatah kata akan kusampaikan dulu." "Katakan."

Mendadak Pek Jau-hui maju ke depan, menggerakkan sepasang tangannya, dan memegang bahu So Bong-seng. Tangan Su Bu-kui yang menggenggam golok pembabat seketika nampak mengejang keras hingga otot-otot hijaunya kelihatan nyata. Sorot mata Mo Pak-sin yang tersembunyi di balik kelopak matanya yang bengkak pun tiba-tiba memancarkan cahaya setajam sembilu. Bila sepasang tangan itu dibiarkan memegang bahu So Bong-seng, maka paling tidak ada tujuh delapan macam cara untuk menguasainya dan tujuh delapan belas jalan darah ke-matian akan terancam. Apalagi tangan yang menggenggam itu milik Pek Jau-hui. So Bong-seng sama sekali tak bergerak, mengedipkan mata pun tidak. Dengan cepat sepasang tangan Pek Jau-hui sudah menempel di atas sepasang bahu So Bongseng. Tanpa perintah dari So Bong-seng, siapa pun tak berani turun tangan secara sembarangan. Begitu tangannya memegang bahu So Bong-seng, dengan suara lantang Pek Jau-hui berseru, "Toako!" So Bong-seng tertawa. Ia memandang Ong Siau-sik sekejap, kemudian memandang pula Pek Jau-hui sekejap, sinar mata penuh senyuman terpancar dari balik matanya. Begitu ia tertawa, semua kebekuan pun sirna, seakan bukit salju yang tiba-tiba mencair dan airnya mengalir masuk ke dalam sungai. "Tahukah kalian apa bedanya senyumanku sekarang dengan senyumanku tadi?" ia bertanya. "Tadi palsu, senyuman palsu!" seru Ong Siau-sik tertawa geli. "Dan sekarang asli, tertawa asli!" sambung Pek Jau-hui pula sambil tertawa, suara tawanya ibarat hembusan angin musim semi yang menggoyangkan permukaan air. "Hahaha, tepat sekali jawaban kalian!" So Bong-seng tertawa tergelak. Ketiga orang itu segera tertawa keras, tertawa penuh kegembiraan. Mo Pak-sin segera maju ke depan, serunya cepat, "Kionghi Locu, hari ini kita benar-benar telah menaikkan bendera kemenangan, bukan saja dalam perundingan berhasil meraih di atas angin, bahkan bisa berkenalan dengan dua saudara yang baik!" "Kau jangan merasa iri dulu," kata So Bong-seng sambil tertawa, "persaudaraan kami tidak terjadi dengan gampang, tugas pertama yang harus mereka kerjakan selain ganas juga luar biasa susahnya. Sementara kau adalah anak buah andalanku, kau bersama si To tua, A Si, Siau-kwik semuanya merupakan malaikat penunggu perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, tanpa kehadiran kalian, mungkin sejak awal perkumpulan kita sudah ambruk, sudah runtuh dan bubar!"

Sekilas perubahan terpancar dari wajah Mo Pak-sin, perasaan terharu yang amat sangat. Gejolak emosi itu meski menyelimuti hatinya, namun dia berupaya untuk menahannya. Tapi dia tak sanggup menahan diri. Gejolak emosi yang didorong perasaan terharu itu datang semakin menggelora, bagaikan hantaman ombak besar di atas batu karang menimbulkan gelombang besar dalam hatinya. Tiba-tiba So Bong-seng bertanya, "Mana To Lam-sin? Apakah pasukan angin puyuhnya sudah ditarik mundur?" Sesaat kemudian setelah berhasil mengendalikan gejolak perasaannya, Mo Pak-sin baru menjawab, suaranya tenang, "Sudah ditarik mundur, katanya dia akan menarik pasukannya kembali ke markas, mungkin malam nanti baru akan datang ke loteng untuk memberi laporan." So Bong-seng manggut-manggut, kepada Su Bu-kui tanyanya, "Kau tahu, kau adalah apaku?" "Aku adalah pasukan berani mati dari Kongcu," jawab Su Bu-kui tanpa berpikir lagi, "jika Kongcu menginginkan aku mati, aku segera akan pergi mati!" "Kau keliru besar," tukas So Bong-seng serius, "bila seseorang benar-benar sangat baik terhadap orang lain, dia pasti tak akan berharap dia mati demi dirinya, kau harus ingat terus perkataanku ini." "Tapi aku rela mati demi Kongcu, mati tanpa penyesalan." "Hal itu hanya menunjukkan kesetiaanmu terhadapku, tapi aku lebih suka kau hidup demi aku." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah orang kepercayaanku, bukan pasukan berani matiku." Sekilas cahaya mata yang tak terlukiskan dengan kata memancar keluar dari balik mata Su Bu-kui. Terharu? Gejolak emosi yang meluap? Rasa terima kasih yang berlebihan? Mungkin satu di antaranya, mungkin juga meliputi keseluruhannya. So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sayang Wo Hu-cu, Hoa Bu-ciok, si Barang antik dan Te Hoa sudah pergi jauh ... coba kalau mereka masih ada dan menyaksikan aku berhasil mengangkat saudara dengan dua adik yang setia ka¬wan, mereka pasti akan ikut gembira." Cahaya air mata terbias di balik mata Su Bu-kui. Dia tahu, So-kongcu selalu meluangkan banyak waktu hanya untuk mengenang dan memikirkan orang kepercayaannya, sayang mereka semua tak mungkin bisa berkumpul jadi satu. Bedanya, dalam kenangannya kali ini Hoa Bu-ciok dan si Barang antik telah mati karena pengkhianatannya, Wo Hu-cu dan Te Hoa tewas karena dibokong musuh, yang tersisa sekarang tinggal Yo Bu-shia dan dirinya, tapi terlepas apakah dia telah berkhianat atau tetap setia, So Bongseng tetap sama saja akan mengenangnya. Tak kuasa lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang. Mengapa dia menghela napas? Apakah dia pun mempunyai pengalaman yang tak diketahui orang, pengalaman sedih yang selalu terpendam di dasar hatinya?

Seorang jago berilmu tinggi yang sudah berusia mendekati tiga puluh tahun tapi masih belum ada orang yang mengetahui kehadirannya, sebetulnya pengalaman luar biasa apa yang pernah dialaminya? Sekilas perasaan simpati bercampur rasa ingin tahu melintas secara tiba-tiba dari balik mata Ong Siau-sik, tentu saja ia tak berani memperlihatkan perasaan simpatinya. Dia tahu beberapa orang yang kini berjalan bersama di tengah jalan raya ini merupakan jago-jago sangat tangguh, siapa pun di antara mereka, asal menggerakkan sebuah jari tangannya saja, pasti akan menimbulkan gelombang besar dalam dunia persilatan, manusia semacam ini apa mau menerima rasa simpati orang? Walaupun sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang membutuhkan rasa simpati dari orang lain. Bagi seorang lelaki sejati yang hidup dalam dunia persilatan, mereka lebih suka mengucurkan darah ketimbang melelehkan air mata, sejarah pedih yang ada dalam sepenggal kehidupan masa lalunya ibarat luka yang menyayat di tubuh hingga merasuk ke tulang. Dalam keheningan malam yang sunyi, hanya bisa dirasakan kepedihannya seorang diri, tapi mereka tak nanti memohon simpati orang lain. Jika kau memperlihatkan rasa simpatimu kepadanya, itu berarti kau memandang rendah dirinya. Seorang lelaki sejati mungkin akan merentangkan tangannya untuk memeluk dan menyambut kau untuk minum arak bersama, membunuh musuh bersama, dengan penuh kehangatan mengajak kau mengayun tinju menyambut datangnya hembusan angin topan, memutar golok menghancurkan impian indah, tapi mereka tak akan membiarkan kau menyampaikan rasa simpati. Hanya si lemah, si pecundang yang suka menerima simpati orang lain. Rasa simpati Ong Siau-sik hanya muncul di dasar hatinya yang paling dalam, dia tahu apa yang mesti diperbuatnya, mengubah rasa simpati menjadi sebuah kenangan. Sementara rasa ingin tahu memang merupakan ciri khas seorang anak muda. Pemuda mana yang tak punya rasa ingin tahu? Sementara semua orang masih termenung dengan perasaan masing-masing, mendadak So Bongseng menghentikan langkahnya. Ternyata mereka telah tiba di suatu tempat... Kim-hong-si-yu-lau! Begitu melihat bangunan itu, tak tahan Ong Siau-sik segera berseru, "Itu sih bukan loteng, tapi sebuah pagoda!" "Tempat manakah ini?" tanya So Bong-seng sambil tertawa. "Sebuah bukit" "Bukit apa?" "Bukit Thian-swan-san," jawab Ong Siau-sik setelah berpikir sejenak. "Di atas bukit sumber langit ini terdapat tempat terkenal apa saja?"

Kali ini Ong Siau-sik tak perlu berpikir lagi, segera jawabnya, "Tentu saja terdapat pagoda Giokhong-tha yang tersohor di seantero jagad serta mata air nomor wahid di bawah pagoda itu." "Kali ini kau keliru besar!" kata So Bong-seng sambil tertawa, "ketika perkumpulan Kim-hong-si-yulau mendirikan partai dan markasnya, kalau tidak dibangun di tempat seperti ini, tempat mana lagi yang jauh lebih pantas?" Ong Siau-sik agak melengak, sahutnya kemudian, "Benar juga perkataanmu!" "Bukan hanya nomor satu di kolong langit," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. Berkilat sepasang mata So Bong-seng sesudah mendengar perkataan itu, sekujur badannya nampak agak bergetar, tegurnya kemudian, "Apa maksud perkataanmu itu?" "Kalau cuma ingin menjadi kekuatan paling berpengaruh di kotaraja, bahkan menjadi perkumpulan nomor satu di kolong langit, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau sudah mampu melakukannya sejak dulu," Pek Jau-hui berpaling ke arah Ong Siau-sik, kemudian tanyanya, "Kau pernah mendengar cerita seputar pagoda mestika yang ada di bukit Thian-swan-san?" "Pernah," sahut Ong Siau-sik, "konon dulunya tempat ini adalah sebuah telaga, banyak orang bercocok tanam di tanah ini, setiap menjelang musim panas, dari tengah telaga akan memancar keluar mata air yang menyemburkan air setinggi ratusan kaki, karena itu semua orang menyebut tempat ini sebagai mata samudra." Pek Jau-hui memandang sekejap pemandangan sekeliling tempat itu, lalu katanya, "Tapi sekarang, tempat ini sudah berubah menjadi sebuah tempat dengan pemandangan alam yang sangat indah." "Konon ada seorang pembesar setempat yang kemudian berniat meratakan mata samudra itu, dia perintahkan orang untuk menggali tanah membongkar batu cadas, namun sudah lima tahun mereka bekerja, mata samudra belum berhasil juga diratakan. Setelah itu datang tujuh orang, mereka adalah tujuh saudara angkat, sang Lotoa pun berkata, 'Biar kami yang menyelesaikan persoalan ini.', kemudian dia kerahkan tujuh puluh ribu orang untuk bekerja di situ, dia membangun sebuah tanah perbukitan batu di puncak utara mata samudra dengan menggunakan jutaan mantau." "Benar, di antara ketujuh bersaudara itu, Lotoa mereka yang bermarga Li merupakan seorang pemimpin yang bernyali, setelah dia mengusulkan begitu, maka saudara yang lain pun segera mendukung usulannya. Saudara kedua Tauw-ji bertugas memasak baja menjadi cairan, Kiong-sam memerintahkan orang menuang cairan baja itu ke atas bukit mantau, Hong-si pandai ilmu perkayuan, dia bertugas mengukur kekuatan air tanah., Che-lak pandai mengatur keuangan, untuk membiayai proyek besar ini dibutuhkan dana besar, dialah yang bertanggung jawab mencari sokongan dan sumbangan, Siang-jit bertugas mengurusi segala transportasi peralatan, selama tiga bulan mereka bekerja siang malam. Dan otak arsitek yang merencanakan proyek besar ini adalah Liu-ngo, selama ini Liu-ngo merupakan pembantu paling andal dari Li-lotoa." "Benar, selanjutnya mereka menuang cairan bnja itu di atas bukit mantau dan menggugurkannya ke bawah bukit sehingga persis menyumbat mata samudra, karena mata air tersumbat, tanah di sekelilingnya pun mengering dan berubah jadi sawah, sawah menghasilkan padi, dari padi berubahlah jadi beras yang wangi lagi pulen." "Kedengarannya macam cerita dongeng saja," komentar So Bong-seng. "Dulunya aku pun menganggap cerita itu hanya isapan jempol, tapi kemudian aku dengar dari cerita para Cianpwe, katanya tujuh bersaudara itu tak lain adalah cikal bakal pendiri perkumpulan

kolong langit Thiari-he-pang. Jadi aku pikir, mungkin saja cerita itu merupakan sebuah kejadian yang nyata." Pek Jau-hui manggut-manggut, katanya, "Tampaknya cerita dongeng hanya merupakan sebuah impian, impian adalah satu langkah lebih awal dari khayalan, bila sebuah khayalan diwujudkan menjadi kenyataan, maka khayalan itu akan muncul sebagai sebuah karya dan kejadian seperti ini bukannya tak mungkin terjadi." Sorot matanya dialihkan untuk memandang sekejap bangunan pagoda tujuh tingkat itu, kemudian lanjutnya, "Seperti pendirian perkumpulan Kim-hong-si-yu-lau, sebetulnya merupakan saru kejadian yang tak mungkin bisa diwujudkan." "Dan kebetulan kita sekarang berada di tengah kejadian yang kau katakan tak mungkin bisa diwujudkan itu," sambung Ong Siau-sik dengan sorot mata seterang lampu lentera. "Cuma sayang kau sudah ketinggalan satu hal dalam ceritamu itu." "Seingatku, semua yang kuketahui sudah kuceritakan," sahut Ong Siau-sik setelah berpikir. "Ini disebabkan kau belum pernah mendengar sebelumnya," kata Pek Jau-hui, "di dalam kolam mata air di bawah pagoda Giok-hong-tha masih terdapat sebuah pagoda lagi, pagoda itu hanya separuh yang muncul di permukaan air, orang menyebutnya Tin-hay-tha atau pagoda penenang samudra." "Apa? Di bawah pagoda masih ada pagoda? Pagoda di dalam air?" "Coba kau tengok ke arah sana, bukankah lamat-lamat masih terlihat," kata Pek Jau-hui sambil menuding ke arah depan. Mengikuti arah yang ditunjuk, Ong Siau-sik berpaling, benar juga terlihat sebuah pagoda berwarna putih yang runcing, atasnya mencuat keluar dari permukaan air. "Kau jangan memandang enteng separuh pagoda itu," ujar Pek Jau-hui lebih jauh, "orang menyebutnya 'mata batu pene¬nang samudra', dikarenakan setiap permukaan air naik maka pagoda itupun ikut naik, setiap permukaan air turun maka pagoda itupun ikut turun. Konon di bawahnya terdapat seekor naga emas yang menjaga benteng itu. Oleh karena masuk keluarnya air terkendali maka air yang mengalir keluar dari mata air itu tak pernah bisa menenggelamkan kotaraja." "Hahaha, benar-benar cerita dongeng yang menarik" Ong Siau-sik tertawa tergelak. "Cerita dongengnya bukan cuma sampai di situ, konon setelah permukaan air menyusut, di situ hanya tertinggal sebuah mata air kecil yang menyemburkan air bersih, air itu bening bagai mutiara, manis bagai madu, orang menyebutnya Thian Swan, mata air langit. Suatu saat ada seorang kaisar yang tertarik dengan cerita mata air itu sempat menginap selama beberapa hari di sana, ketika mendengar cerita tentang naga emas yang menjaga kota air, dia pun memerintahkan tiga puluh ribu orang pekerja untuk menyumbat mata air itu dan kemudian menggali ke bawah. Konon para pekerja berhasil menggali keluar sebuah pagoda batu setinggi tujuh tingkat, ketika sang kaisar memeriksa dinding pagoda itu, ditemukan ada dua bait syair terukir di sana, syair itu berbunyi, 'Di bawah mata air langit ada sebuah mata air, pagoda menampilkan wujud, kekuasaan pun ambruk', membaca syair itu Sri baginda terperanjat, lekas dia memerintahkan orang untuk menutup kembali bekas galian itu dan membiarkan air tetap menggenangi pagoda agar kerajaaannya tidak ikut ambruk."

Bicara sampai di situ, sorot matanya segera dialihkan ke wajah So Bong-seng, tanyanya, "Kau mendirikan Kim-hong-si-yu-lau di atas bukit Thian-swan-san, sebenarnya dikarenakan mata air kemala itu atau demi pagoda batu, atau mungkin dikarenakan bait syair yang tertera di bawah pagoda itu?" So Bong-seng sama sekali tidak memperlihatkan perubahan apa pun, sorot matanya masih sedingin salju. Senyuman yang selalu menghiasi wajahnya semenjak mengangkat saudara tadi, kini secara tibatiba berubah jadi dingin membeku lagi. Mendadak Ong Siau-sik merasakan hatinya ikut membeku. Dipandang oleh sorot mata sedingin ini, dia merasa tubuhnya seolah terkubur dalam longsoran salju. Setelah termenung sejenak, cepat pemuda itu menimbrung, "Aku lihat Kim-hong-si-yu-lau bukan dibangun di tengah air, peduli amat dalam air ada naga atau ada pagoda, aku rasa justru bangunan loteng persegi empat itulah baru merupakan tempat yang utama." "Kenapa?" tanya Pek Jau-hui. "Coba kau lihat, warna keempat bangunan loteng itu kuning, hijau, merah dan putih, seandainya ada musuh datang menyerang, sudah pasti mereka tak akan bisa memastikan di-manakah letak markas besar yang sebenarnya, padahal di balik setiap bangunan loteng itu justru sudah dilengkapi dengan berbagai alat jebakan!" "Kalian semua keliru besar," mendadak So Bong-seng berkata, "akulah Kim-hong-si-yu-lau, Kimhong-si-yu-lau adalah aku! Kim-hong-si-yu-lau hidup dalam hatiku, hidup dalam hati setiap anggota, tak seorang pun sanggup memusnahkannya, orang lain hanya tahu apa yang pernah ia lakukan, tapi tak akan tahu apa yang hendak dilakukan." Kemudian ia berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu, lalu ajaknya, "Ayo, kita beristirahat dulu di loteng merah." Loteng merah dibangun sangat megah dan mewah, tiang bangunan terbuat dari batu kemala, tampaknya tempat ini memang khusus disiapkan untuk menerima tamu, menjamu tamu dan mengadakan perjamuan kehormatan. Lalu apa kegunaan ketiga bangunan loteng yang lain? (bersambung jilid 2)

21 . Bersedia Di saat Pek Jau-hui masih memikirkan persoalan itu, mendadak ia merasa Ong Siau-sik secara diam-diam sedang menarik ujung bajunya dari belakang. Terpaksa dia pun memperlambat langkahnya. Dengan suara setengah berbisik Ong Siau-sik berkata, "Aku merasa berterima kasih karena tadi kau telah melakukan penambahan dalam cerita dongengku."

Pek Jau-hui tertawa. "Aku selamanya paling suka ada orang tahu berterima kasih, aku memang orang yang gila hormat." "Aku bicara serius. Pernah kau dengar, dari dulu hingga sekarang, banyak pejabat setia justru berakhir dalam kondisi yang mengenaskan?" Pek Jau-hui berpikir sejenak, lalu sahutnya sambil tertawa, "Ini disebabkan para pejabat setia itu kelewat polos, kelewat jujur, biasanya tak suka mendengar nasehat orang, bahkan ada kalanya senang menampar mulut orang yang suka memberi nasehat kepadanya, tapi aku? Memangnya aku mirip dengan orang yang jujur dan polos?" "Kau memang tidak mirip," Ong Siau-sik menghela napas, “aku rasa selain kelewat polos dan jujur, para pejabat setia percaya diri, mereka anggap bicara pakai aturan sudah dapat menyelesaikan segala urusan, padahal tak ada manusia di dunia ini yang senang ditunjuk kesalahannya di hadapan orang lain, memangnya dianggap kalau bicara blak-blakan lantas semua uang mau menerimanya? Kalau seseorang tidak mempertimbangkan hal semacam ini, sering akibatnya menjadi runyam. " Pek Jau-hui terbungkam tanpa menjawab. Kembali Ong Siau-sik berkata, "Ada satu cerita lagi, dulu cho-cho berulang kali menyerang sebuah kota, tapi tak pernah berhasil merebutnya, ketika kegagalan demi kegagalan dialaminya, ia pun berniat menarik mundur pasukannya, ketika berjalan mondar-mandir sambil berpikir itulah dia berseru, sayap ayam, sayap ayam!'. Anak buahnya kebingungan karena tak paham apa yang dimaksud, kemudian ada seorang yang merasa pintar berkata, 'Mari kita bebenah, perdana menteri memerintahkan untuk menarik pasukan, rekannya pun bertanya kenapa ia berkesimpulan begitu? Si pintar menjawab, sayap ayam adalah bagian yang paling hambar, maksudnya dibuang sayang, ini berarti niatnya untuk mundur sudah bulat. Merasa perkataannya masuk akal maka semua orang bersiap untuk mundur. Ketika Cho-cho mengetahui kejadian ini, ia menjadi terperanjat, dia pikir, kenapa si pintar bisa membaca jalan pikirannya." Berbicara sampai di situ Ong Siau-sik berhenti sejenak, lalu tanyanya lagi, "Menurut dugaanmu, apa yang dilakukan Cho-Cho terhadap orang pintar itu?" "Membunuhnya!" jawab Pek Jau-hui tanpa berkedip. "Menurut pendapatmu, benarkah tindakan yang dilakukan Cho-cho?" "Tidak bagus, tapi tindakan yang tepat. Ketika dua pasukan sedang berhadapan di medan laga, sebelum jenderal menurunkan perintah, orang pintar yang berlagak pintar hanya akan menggoyahkan pikiran pasukan, menurunkan semangat tempur dan menggoncangkan rasa percaya diri. Sudah tentu orang semacam ini harus dibunuh." Ong Siau-sik menghela napas panjang. "Jika kau adalah seorang yang amat cerdas, tapi tak mampu mengendalikan diri hingga memperlihatkan kecerdasannya, dan akibat perbuatan itu justru mengundang datangnya bencana kematian, apakah hal semacam ini tidak terlalu sayang?" Pek Jau-hui memiringkan wajahnya mengerling ke arah Ong Siau-sik sekejap, lalu serunya, "Apa yang barusan kau katakan bukan cerita dongeng tapi sejarah."

"Sesungguhnya bukan hanya cerita sejarah saja, tapi juga serupa peringatan. Kalau sejarah hanya menceritakan kembali apa yang pernah terjadi dulu, sedang peringatan lebih mempertegas agar orang jangan meniru cara yang pernah dilakukan orang dulu." "Kau bukan sedang membicarakan sejarah, tapi sedang membicarakan aku," tukas Pek Jau-hui sambil menggendong tangan memandang ke angkasa, ia menarik napas panjang, "Aku sangat memahami maksudmu, tapi ... aku tetap akan menjadi diriku sendiri." Pada saat itulah terlihat seseorang berjalan masuk ke dalam ruang loteng merah. Orang itu masih muda dan tampan, di atas jidatnya terlihat sebuah tahi lalat hitam yang besar, tingkah lakunya lembut, sopan dan sangat terpelajar, perawakan tubuhnya tinggi kurus, jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan. Sambil tersenyum dia manggut-manggut, tampaknya sedang menyapa Pek Jau-hui dan Ong Siausik. Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui sama sekali tidak kenal siapakah orang itu. Dengan sikap yang sangat menghormat orang itu masuk sambll menjinjing dua jilid buku yang sangat tebal, kemudian dilaporkan ke hadapan So Bong-seng. Dengan cepat So Bong-seng menyambut buku itu, lalu membnlok balik beberapa halaman dan keningnya pun berkerut. Tak ada yang tahu apa yang telah dilihatnya dan apa yang lelah dibaca dari buku itu. Kecuali So Bong-seng dan orang itu, siapa pun tidak tahu kenapa sebelum memasuki ruang utama loteng merah itu, So Bong-seng berhenti dulu di atas anak tangga dan membolak-balik beberapa halaman buku besar itu. Apakah selanjutnya So Bong-seng akan mempelajari dulu Isi kitab itu kemudian baru melanjutkan pekerjaannya? Dalam pada itu Mo Pak-sin berkata secara tiba-tiba, "Saudara berdua, dia adalah Yo-congkoan, Yo Bu-shia." "Pek-tayhiap, Ong-siauhiap," pemuda itu segera menjura. "Darimana kau tahu kalau aku dari marga Pek?" tanya Ong Siau-sik. "Ya, darimana kau bisa tahu kalau aku bermarga Ong?" sambung Pek Jau-hui. "Ah, kalian berdua memang senang bergurau," seru Yo Bu-shia tersenyum, kepada Ong Siau-sik terusnya, "Kau adalah Ong-siauhiap". Kemudian sambil berpaling ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Dan kaulah Pek-tayhiap." "Kita belum pernah berjumpa," sela Pek Jau-hui. "Tapi kami mempunyai semua bahan, keterangan serta kasus yang pernah kalian berdua lakukan," sambung So Bong-Seng tiba-tiba. Dia serahkan salah satu kitab tebal itu ke tangan Yo Bu-shia.

Dengan suara lantang Yo Bu-shia segera membaca, "Pek Jau-hui, dua puluh delapan tahun, berwatak angkuh lagi juma-wa, senang menggendong tangan sambil memandang angkasa, jejak tidak menentu, kalau turun tangan selalu telengas dan tidak membiarkan musuhnya hidup, di bawah puting susu kirinya terdapat sebuah bisul daging, besarnya lebih kurang sekuku jari "Hmmm, rupanya ada orang senang mengintip orang lain sedang mandi!" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. So Bong-seng tidak menanggapi, dia hanya berdiri tanpa reaksi. Terdengar Yo Bu-shia membaca lebih lanjut, "... pernah memakai nama samaran Pek Yu-bong dan menyanyi di kebun Sim-cun-wan kota Lok-yang, memakai nama samaran Pek Ing-yang, bekerja sebagai piausu di perusahaan ekspedisi Kim-hoa-piau-kiok, memakai nama samaran Pek Yu-kin, menjadi penulis dan pelukis di kota-kota besar, memakai nama samaran Pek Ko-tang, berhasil merebut juara pertama dalam pertandingan silat di kota Sam-siang wilayah tiga sungai besar Mendengar sampai di situ, timbul perasaan kagum dan hormat di wajah Ong Siau-sik. Semakin banyak nama samaran yang digunakan Pek Jau-hui, semakin mencerminkan betapa sengsara dan menderitanya masa lalu pemuda itu, juga mencerminkan betapa tersiksanya dia karena tak pernah orang mengagumi kebolehannya. Dalam pada itu paras muka Pek Jau-hui makin lama berubah semakin hebat. Ia menarik napas dalam-dalam, sepasang tangannya diletakkan di belakang punggung, tapi baru sebentar sudah bergeser ke samping kaki, kemudian dimasukkan lagi ke dalam saku. Semua kejadian sebenarnya hanya dia seorang yang tahu. Kecuali dia sendiri, tak mungkin di kolong langit ada orang kedua yang mengetahui rahasia ini. Tapi kini, bukan saja pihak lawan mengetahui dengan mhgnl jelas bahkan seakan jauh lebih jelas daripada dia pribadi, malah semua sudah tercatat di dalam buku catatan besar. Yo Bu-shia membacakan lagi, "... pernah mengalami masa jaya ketika berusia dua puluh tiga tahun dan dua puluh enam tahun, ketika berusia dua puluh tiga tahun, dengan memakai nama samaran Pek Beng melakukan pembantaian terhadap enam belas orang panglima bangsa Kim di tebing Boan-liong-po, oleh kalangan militer ia disebut Naga sakti dari luar angkasa dan pernah memimpin tiga puluh laksa prajurit, tapi tak lama kemudian ia buron karena dicari pihak militer. Kemudian pada usia dua puluh enam tahun.........” Pek Jau-hui mulai terbatuk-batuk ringan, ia nampak mulai jengah dan kelabakan sendiri, persis seperti semut di atas kuali panas. "Kemudian pernah menjadi sasaran yang diincar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hampir saja dia diangkat menjadi Tongcu untuk tiga belas kantor cabang .............” Mendadak So Bong-seng menukas, "Coba dibacakan saja kehebatan kungfu serta asal usulnya." "Baik. Asal usul perguruan Pek Jau-hui tidak jelas, perguruan tidak tercatat, orangtua tak jelas, istri tak ada, senjata tak menentu." Sekulum senyuman kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui.

Terdengar Yo Bu-shia membacakan lagi, "Ilmu silat andalannya mirip ilmu andalan Lui Cian, ilmu jari Sin-sin-ci dari Lui-bun-ngo-hou-jiang, salah satu aliran Bi-lek-tong dari wilayah Kinglain. Cuma kalau Lui Cian menggunakan ibu jari maka Pek Jau-hui menggunakan jari tengah, ilmu jarinya pun sedikit berbeda, ada orang bilang dia telah melebur semua jurus ilmu pedang yang dimiliki tujuh jago pedang kenamaan di dalam ilmu jarinya............." "Cukup," mendadak Pek Jau-hui berseru. So Bong-seng segera mengangguk. Yo Bu-shia pun seketika berhenti membaca. Sesudah membasahi bibirnya dengan air ludah, Pek Jau-hui baru bertanya, "Ada berapa orang dalam Kim-hong-si-yu-lau yang pernah membaca buku catatan itu?" "Termasuk aku ada tiga orang!" jawab So Bong-seng tetap dingin, namun lamat-lamat terlihat jidatnya mulai dibasahi keringat. "Bagus," Pek Jau-hui menarik napas panjang, "aku berharap tak akan ada orang keempat yang mendengarnya." "Baik." Tampaknya Pek Jau-hui merasa agak lega, dia segera menghembuskan napas panjang. "Benar-benar mengerikan," bisik Ong Siau-sik, "baru saja kita berkenalan di tengah jalan, semua bahan dan keterangan tentang identitas kita sudah tercatat di dalam buku." "Oleh sebab itu akulah yang diutus datang ke Po-pan-bun untuk melindungi pertemuan di loteng Sam-hap-lau, dan bukan Yo-congkoan," sambung Mo Pak-sin sambil tertawa. "Kau keliru," tiba-tiba So Bong-seng berkata kepada Ong Siau-sik sambil tertawa. "Aku salah bicara?" "Bukan cuma dia, bahkan semua keterangan dan identitasmu pun sudah tercatat di dalam buku." Ketika ia memberi tanda, Yo Bu-shia pun mulai membaca, "Ong Siau-sik, ahli waris Thian-gi Kisu. Menurut penyelidikan besar kemungkinan Thian-gi Kisu adalah ............" Ketika ia memberi tanda, Yo Bu-shia pun mulai membaca, "Ong Siau-sik, ahli waris Thian-gi Kisu. Menurut penyelidikan besar kemungkinan Thian-gi Kisu adalah ............" "Bagian yang ini jangan dibaca!" hampir serentak So Bong-seng, dan Ong Siau-sik berteriak. Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya. Setelah menghembuskan napas panjang, So Bong-seng berkata lagi, "Baca lebih lanjut!" "Senjata andalan Ong Siau-sik adalah sebilah pedang. Gagang pedangnya bengkok setengah lingkaran bulan. Tak disangkal pedang itu pasti pedang sakti Wan-liu-kiam yang sejajar namanya dengan golok merah 'Ang-siu' milik So-kongcu, golok iblis 'Put-ing milik Lui Sun serta pedang sakti 'Hiat-ho' milik Pui Ing-gan."

"Ah, rupanya pedang Wan-liu-kiam! Sangat sesuai dengan syairnya, 'Hiat-ho-ang-siu, Put-ing-wanliu" (baju merah sungai darah, tidak sepantasnya ditahan)!" kata Pek Jau-hui sambil berseru tertahan. Ong Siau-sik mengangkat bahu. Setelah berhenti sejenak, Yo Bu-shia baru melanjutkan pembacaannya, "Ong Siau-sik sensitip dan penuh perasaan, sejak berusia tujuh tahun sudah mulai berpacaran, hingga usianya yang kedua puluh tiga, ia sudah lima belas kali putus cinta, setiap kali selalu dia sendiri yang mulai bercinta, tapi akhirnya hanya kesedihan dan kehampaan yang diperoleh." "Waduuh ...." jerit Ong Siau-sik. "Kenapa?" tanya Pek Jau-hui sambil menyengir mengejek. "Masa urusan macam begini pun dicatat di buku? Aku .......... " "Apa salahnya? Kau mulai berpacaran pada usia tujuh tlhun, hingga usia dua puluh tiga tahun putus cinta sebanyak lima belas kali, berarti setiap tahun tak sampai satu kali, belum terhitung banyak." "Tapi.......... ini................" Terdengar Yo Bu-shia membaca lagi, "Ong Siau-sik gemar berteman, ia tak pernah membedakan mana kaya mana miskin, suka mencampuri urusan orang, tapi bila berkelahi melawan orang yang tak pandai bersilat, ia tak pernah mengandalkan kungfunya untuk mencelakai lawan, maka ia pernah dihajar habis-habisan oleh tujuh orang bandit muda hingga mesti melarikan diri, kejadian ini.........." "Tolong ............. tolong jangan dilanjutkan, boleh?" mendadak Ong Siau-sik berseru kepada So Bong-seng. "Minta tolong apa?" tanya So Bong-seng sambil mengerling ke arahnya sekejap. "Semua itu adalah urusan pribadiku, boleh tidak, jangan dilanjutkan pembacaannya?" "Boleh." Yo Bu-shia segera menghentikan pembacaannya sambil memberi tanda, empat orang segera muncul, dua orang membawa kain pembungkus buku yang tebal dan dua orang berjaga-jaga di sampingnya, kemudian serentak mereka berjalan menuju ke loteng berwarna putih. Apakah loteng berwarna putih itu merupakan tempat untuk menyimpan bahan serta catatan berharga, seperti halnya loteng penyimpan kitab dalam kuil Siau-lim-si? Sambil tersenyum So Bong-seng menjelaskan, "Semua arsip catatanku merupakan hasil karya Yo Bu-shia, sebetulnya bahan mengenai kalian berdua masih belum cukup lengkap." Tampaknya dia merasa amat bangga dan puas terhadap cara kerja anak buahnya ini. "Aku mengerti sekarang," gumam Ong Siau-sik, "terhadap dua orang tak ternama macam kami pun kalian berhasil membuat catatan secermat itu, apalagi terhadap Lui Sun musuh tangguh kalian, bahan keterangannya tentu sudah teramat banyak."

"Lagi-lagi kau keliru besar." "Keliru?" anak muda itu tertawa getir, "kelihatannya pikiranku memang agak terganggu hari ini, masa segalanya keliru?" "Kami memiliki tujuh puluh tiga bundel catatan mengenai Lui Sun, tapi setelah diperiksa Yo Bushia, hanya sekitar empat bundel yang sedikit bisa dipercaya keterangannya, dari keempat bundel itupun masih terdapat banyak bahan yang mencurigakan, kemungkinan besar Lui Sun sengaja menyebarkan berita salah itu untuk mengelabui orang." Kembali sorot mata kagum dan memuji memancar keluar dari mata So Bong-seng, terusnya, "Yo Bu-shia punya julukan Tong-siu-bu-khi (bocah ajaib yang sukar dibohongi), ketajaman mata serta kemampuannya untuk menganalisa sesuatu mungkin masih jauh di bawah kemampuan Ti Huikeng, tapi dalam ketelitiannya mengumpulkan bahan keterangan serta kesabarannya mencari keterangan jelas jauh di atas kemampuan Ti Hui-keng." Yo Bu-shia sama sekali tidak sombong karena itu, tapi dia pun tidak merendah, hanya ujarnya lirih, "Kongcu, Su-tayhu sudah datang, luka di kakimu............” "Suruh dia menunggu sebentar," kata So Bong-seng. Tampaknya wibawa dan kekuasaan Locu Kimhong-si-yu-lau ini bukan saja dapat mengundang tabib kerajaan untuk mengobati penyakitnya, bahkan bisa menyuruh tabib kenamaan itu menunggunya. Dengan kening berkerut So Bong-seng menghela napas panjang, katanya lagi, "Sewaktu di loteng Sam-hap-lau tadi, berulang kali Ti Hui-keng memanfaatkan kesempatan sewaktu menundukkan kepala untuk memeriksa luka di kakiku, jika dia menganggap ada kesempatan untuk digunakan, Lui Sun pasti sudah melompat turun dari atap rumah dan menantangku bertarung, sayang ketika dia memeriksa luka di kakiku, dijumpai lukanya tidak separah apa yang diinginkan, aaai ......... Wo Hu-cu dan Te Hoa telah menolong aku, tapi mereka...........” Bicara sampai di sini, suaranya jadi sesenggukan, untuk sesaat tak mampu dilanjutkan lagi. Tiba-tiba Ong Siau-sik menyela, "Toako, dari luka di kakimu sudah mengucur banyak darah, kau seharusnya istirahat sejenak." "Ada satu hal, aku tak memberitahu kalian karena kalian berdua belum memanggil aku Toako, tapi sekarang, setelah kalian memanggilku begitu, aku pun perlu memberitahukan kepada kalian." Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera pasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama. "Pui Siau Hou-ya yang berbincang denganku tadi adalah orang yang menunjang Kim-hong-si-yulau selama ini, tapi orang ini tak boleh dipandang enteng, sebab setiap perkataannya cukup berbobot di kalangan pembesar kerajaan, kedudukannya dalam dunia persilatan pun sangat terhormat." "Kenapa?" tanya Ong Siau-sik tak tahan. "Alasannya kelewat banyak, salah satu di antaranya adalah dia mempunyai seorang ayah yang hebat." "Jangan-jangan ayahnya adalah Pek Jau-hui berseru tertahan. So Bong-seng membenarkan.

"Siapa?" tanya Ong Siau-sik tak habis mengerti. "Masa kau tidak memperhatikan apa yang dikatakan saudara Yo tadi, Pedang sakti sungai darah berada di tangan Pui Ing-gan?" "Jadi ayahnya adalah..." "Betul, ayahnya adalah Pui Ing-gan, jagoan hebat yang sudah diakui sebagai pendekar besar dalam dunia persilatan sejak tiga puluh tahun lalu." "Hmm, kalau sudah mempunyai ayah sehebat itu, yang jadi anaknya masih menguatirkan apa," jengek Pek Jau-hui «ambil tertawa dingin. "Pui Siau Hou-ya sendiri pun terhitung seorang lelaki berbakat yang sangat hebat. Ayahnya Pui Ing-gan tak berminat menjabat sebagai pembesar negara, untuk menghormati jasanya, pihak kerajaan menganugerahkan gelar Ongya atau raja muda kepadanya. Tapi selama ini dia anggap pangkat bagaikan sampah, dia lebih suka mengandalkan pedang berkelana ke empat penjuru. Akan tetapi Pui Ing-gan juga tahu, bila ingin berhasil dalam suatu pekerjaan besar, maka dia harus meminjam kekuatan pemerintah, maka Siau Hou-ya pun menjadi orang paling dekat dengan Baginda Raja. Padahal Pui Ing-gan sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti apa yang berhasil dicapai anaknya." Pek Jau-hui berpikir sebentar, kemudian baru berkata, "Benar juga perkataanmu itu. Orang itu masih muda tapi berhasil mencapai jenjang karier yang luar biasa, manusia semacam ini memang tak boleh dipandang remeh." "Ada satu hal kau belum pernah menyampaikan kepada kami," mendadak Ong Siau-sik menyela lagi. "Oya?" So Bong-seng agak melengak. "Bukankah tadi kau mengatakan akan menyerahkan sebuah tugas kepada kami?" "Haah, benar," So Bong-seng tertawa, "sebetulnya bukan satu tugas, tapi dua tugas, seorang satu tugas." "Tugas macam apakah itu?" "Kau ingin tahu?" "Sekarang kami sudah bersaudara, aku tak ingin menumpang makan secara gratis." "Bagus. Menurut pandanganmu, mungkinkah Lui Sun akan membatalkan janjinya untuk bertemu pada pertemuan tiga hari mendatang?" "Asal menguntungkan, Lui Sun pasti datang." "Tapi akulah yang mengajukan tawaran untuk pertemuan ini." "Bila posisi ini tidak menguntungkan bagi pihak Kim-hong-si-yu-lau, tak nanti kau ajukan penawaran semacam itu."

"Kalau memang tidak menguntungkan bagi pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menurut kau apa yang akan dilakukan Lui Sun?" "Dia tak akan memenuhi undangan." "Tapi dia adalah seorang jago tersohor, seorang pemimpin perkumpulan besar, mana mungkin dia tak hadir dalam pertemuan semacam ini?" "Dia pasti akan berusaha mencari alasan, bahkan pasti akan memperketat penjagaan di sekelilingnya." "Kali ini ucapanmu tepat sekali, salah satu alasan yang digunakan pasti menyangkut soal putrinya." "Putrinya?" "Satu bulan lagi putrinya akan menjadi biniku," kata So Bong-seng hambar, "aku percaya kalian pasti pernah mendengar tentang kawin perdamaian bukan?" "Jadi kau setuju dengan perkawinan semacam ini?" "Aku setuju." "Dan kau bersedia?" "Aku bersedia." So Bong-seng mengangguk, "sebetulnya perkawinan ini sudah dirembuk ayahku semenjak delapan belas tahun berselang." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Delapan belas tahun lalu, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah menancapkan kaki di kotaraja, bahkan kian hari pengaruh perkumpulan ini makin meluas dan kuat. Waktu itu ayahku baru saja mendirikan Kim-hong Si yu lau, jangan lagi memperluas pengaruh, markas besar kami belum didirikan, waktu itu perkumpulan kami hanya sebuah organisasi kecil di bawah bayang-bayang perkumpulan Lak-hun poan-tong. Saat itulah Lui Sun sempat bertemu aku satu kali dan dia pun menetapkan tali perkawinan ini." So Bong-seng menghela napas panjang, terusnya, "Dua puluh sembilan hari lagi adalah hari perkawinanku." "Kau menyesal?" sindir Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Aku tak ingin menyesal." "Bila kau kuatir menjadi bahan pembicaraan orang di kemudian hari, cari saja sebuah alasan untuk membatalkan perkawinan ini." "Aku tak ingin membatalkan perkawinan ini." "Kenapa?" "Karena aku mencintainya!" ooOOoo 22 . Nama dan jabatan

Tatkala seseorang menyatakan kesulitannya adalah masalah cinta, maka ada banyak perkataan yang tak perlu dibicarakan lagi. Alasannya sudah lebih dari cukup. Tapi ketika So Bong-seng yang menyinggung soal cinta, paras muka Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui segera menampilkan perasaan tercengang. Manusia angkuh, dingin, serius, seorang pemimpin yang memegang kekuasaan besar tiba-tiba berbicara soal cinta, kejadian ini sungguh aneh dan di luar dugaan siapa pun. Padahal banyak orang lupa, seorang pemimpin pun tetap manusia biasa, bukan dewa, mungkin saja mereka berdiri di tempat yang tinggi, semakin jarang orang memahaminya, dia merasa semakin kesepian. Biasanya gunung yang tinggi, anginnya pasti lebih dingin. Seorang pemimpin pun butuh teman, butuh orang dekat, dia pun butuh cinta. Maka ketika So Bong-seng mengungkap perasaannya, mimik muka maupun sorot matanya tak beda jauh dengan mimik muka serta sorot mata muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Selama manusia masih mengerti akan pacaran, hal ini sudah merupakan sebuah kebahagiaan, terlepas adakah orang yang mau membalas cintanya. Pek Jau-hui sadar kalau ia sudah kelev/at banyak bertanya, maka lekas serunya sambil berdehem, "Ooh, ini .......... makanya aku rasa ........." So Bong-seng tersenyum, selanya, "Oleh sebab itu aku merasa perlu untuk menyelesaikan dulu pertikaian antara Kim-Hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong sebelum berlangsungnya perkawinanku dengan nona Lui." Begitu nona Lui dinikahi, maka kedua organisasi besar ini akan berbosanan .............. urusan dengan besan memang gampang untuk diselesaikan, tapi juga paling susah diselesaikan, sebab sekali sudah menjadi besan, maka hubungan perbesanan mesti lebih ditonjolkan, banyak persoalan malah semakin susah diselesaikan secara baik. Apalagi di dalam perkawinan perdamaian ini, apakah So Bong-seng yang bakal tergaet atau nona Lui yang justru digaet, baik So Bong-seng maupun Lui Sun sama-sama tak punya pegangan. "Aku dengar nona Lui sudah berangkat dari kota Hangciu menuju kemari," ujar So Bong-seng lagi sambil menerawang jauh ke depan sana, "bahkan sudah tiba di kotaraja, entah seka¬rang dia masih gemar bernyanyi sambil memetik harpa atau tidak?" Tak ada yang bisa memberi tanggapan atas perkataannya itu. Untung So Bong-seng segera mengalihkan pokok pembi¬caraan ke soal lain, katanya lagi, "Oleh sebab itu kita harus menciptakan satu kondisi yang lebih matang, kita paksa Lui Sun mau tak mau harus maju ke meja perundingan dan tak bisa tidak harus berunding." Sorot matanya mendadak berubah aneh, terusnya, "Sekalipun hasil perundingan itu gagal, kita harus sudah siap untuk bertempur mati-matian." Kemudian dengan sepatah demi sepatah tambahnya, "Bertempur hingga titik darah penghabisan tampaknya merupakan kondisi yang tak bisa dihindari, baik oleh Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong."

Bagaimana akhir dari peristiwa ini? Tak seorang pun tahu, tapi bisa dipastikan perjalanannya pasti amat menakutkan. Setiap akhir yang harus dilalui dengan air mata dan darah, sebagus dan sesempurna apa pun akhir kejadian itu, seberuntung apa pun akhir pertarungan itu, bagi si pemenang maupun si pecundang sama-sama akan merasakan kesedihan yang luar biasa. Selama perselisihan Kim-hong-si-yu-lau dengan perkum¬pulan Lak-hun-poan-tong belum diselesaikan, darah yang mengalir tetap akan banyak, orang yang mati pun tetap akan membukit, daripada urusan berlarut-larut, penyelesaian secara cepat memang merupakan jalan keluar yang paling tepat. Kendatipun perkawinan damai juga merupakan cara lain dari sebuah pertempuran. Lui Sun berharap dengan menggunakan perkawinan da¬mai itu, dia dapat menggoyahkan semangat tempur So Bong-seng. Apa mau dikata justru So Bong-seng tak bisa menerima tawaran itu, karena mau tak mau dia mesti berlawanan dengan Lui Sun, akan tetapi ia justru mencintai putrinya. Nasib seakan sudah mengikat mereka berdua, membuat mereka timbul tenggelam, membiarkan mereka meronta, mengerang, membiarkan mereka terbelenggu jadi satu, sementara sepasang mata dinginnya menanti dan menyaksikan bunga api yang diletupkan oleh pertarungan mereka berdua. "Toako, apakah Kim-hong-si-yu-lau benar-benar tak bisa hidup berdampingan secara damai dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" dengan amat serius Ong Siau-sik bertanya. "Jika persoalan ini hanya merupakan urusan pribadi antara aku dengan Lui Sun, urusan tak akan serumit ini untuk diselesaikan tapi masalahnya menyangkut seluruh anggota, kendatipun kami ingin sekali menghapuskan permusuhan untuk hidup damai, belum tentu orang-orang kita bisa menerima kenyataan Ini." Semakin banyak orang yang terlibat, biasanya persoalan memang makin rumit. Urusan perorangan memang gampang penyelesaiannya, tapi begitu menyangkut urusan parlai, organisasi, perkumpulan, bangsa atau negara, maka persoalan jadi makin sulit dan rumit, bukan dengan satu dua patah kata urusan lantas beres. Dalam hal ini Ong Siau-sik mengerti sekali. Maka setelah termenung sejenak, katanya, "Aku sudah cukup mengenali sepak terjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong di luar, bila aku ingin membantu Kim-hong-si-yu-lau, sebenarnya hal inipun lumrah." "Keliru," So Bong-seng menggeleng. "Apanya yang keliru?" "Jadi orang jangan kelewat mempersoalkan nama bersih atau tidak, memakai aturan atau tidak, banyak persoalan dalam dunia persilatan yang nampaknya bernama bersih padahal hatinya tak bersih, beraturan ketat namun enggan melaksanakannya. Apalagi kalau sudah menyangkut sebuah perkumpulan yang amat besar, mustahil di satu bagian benar semua, di lain bagian salah semua,

juga mustahil dalam satu perkumpulan besar, seluruh anggotanya terdiri dari orang baik dan tak ada orang jahatnya, jika kau ingin membantu sahabat, lakukan saja tanpa mempersoalkan tetekbengek secara terperinci, sebab belum tentu apa yang kau lakukan itu merupakan tindakan yang bersih dan lurus, sebab jika kalian adalah sahabat sejati maka kau tak akan mempedulikan kesemuanya itu, kalau ingin membantu ya bantu, tak usah peduli cengli atau tidak!" "Tidak bisa," seru Ong Siau-sik cepat, "bila perbuatan yang dilakukan teman adalah perbuatan yang biadab serta melanggar norma susila, bukankah aku pun jadi salah seorang penjahat yang melakukan hal yang sama? Jika apa yang dilakukan adalah perbuatan seorang pendekar, membela keadilan dan kebenaran, sekalipun dia adalah musuhku, tetap aku akan membantunya." "Kalau aku tidak begitu," tukas Pek Jau-hui, "siapa membantu aku, aku akan membantunya, siapa baik kepadaku, aku pun akan baik terhadapnya." Dalam pada itu So Bong-seng sudah berkata kepada Ong Siau-sik dengan suara dingin, "Bila kau tetap bersikeras dengan prinsipmu, aku tak akan memaksa, silakan meninggalkan tempat ini, selama berada dalam wilayah kekuasaan Kim-hong-si-yu-lau, tak akan ada seorang manusia pun yang akan menghalangi kepergianmu." "Tapi kau harus ingat," Pek Jau-hui menambahkan, "setelah terjadinya peristiwa hari ini, pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah menganggap kita sebagai musuh besarnya." "Siapa bilang aku mau pergi?" "Kalau kau memang tak akan pergi, buat apa kau banyak bicara yang tak keruan?" "Aku hanya ingin penjelasan yang pasti." "Apa lagi yang kau anggap belum jelas?" tanya So Bong-seng. "Soal duit." So Bong-seng melengak, agaknya pertanyaan ini jauh di luar dugaannya. "Hahaha, aku tidak menyangka," seru Pek Jau-hui pula sambil tertawa tergelak. "Kau tidak menyangka apa?" "Manusia macam kau pun bisa menaruh perhatian soal tahil perak," "Keliru besar!" "Apanya yang keliru?" "Aku hanya ingin tahu sumber keuangan dari Kim-hong-si-yu-lau. Setahuku, sumber keuangan perkumpulan Lak-hun-puan-tong berasal dari perjudian, pelacuran, perampokan, pembegalan serta segala bentuk kejahatan lainnya, jika sumber keuangan dari Kim-hong-si-yu-lau pun sama seperti itu, kenapa aku mesti membantunya?" Hawa amarah seketika muncul di wajah Su Bu-kui, tangannya yang menggenggam golok nampak mengejang keras hingga otot-ototnya menonjol keluar. "Bu-shia!" tiba-tiba So Bong-seng memanggil. "Siap!" sahut Yo Bu-shia.

"Ajak masuk Bu-kui dan suruh Su-tayhu mengobati dulu lukanya, dia kelewat banyak mengeluarkan darah." "Baik!" sahut Yo Bu-shia cepat, dia paham maksud ketuanya. Sesudah menurunkan perintah, So Bong-seng baru berpaling ke arah Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui seraya berkata, "Kalian ikut aku!" Sambil berkata ia beranjak menuju bangunan loteng berwarna putih. Ternyata di setiap ruang tingkat bangunan loteng itu ter¬dapat hasil karya yang berbeda, sifat karya yang tersimpan pun berbeda satu dengan lainnya. Kecuali lantai dasar yang digunakan untuk mengadakan pertemuan atau rapat, pada lantai dua digunakan sebagai perpustakaan, tampaknya Kim-hong-si-yu-lau sangat menganjurkan anggotanya banyak membaca buku, lantai tiga digunakan untuk jaringan komunikasi burung merpati, semua surat yang dikirim maupun diterima pihak Kim-hong-si-yu-lau berasal dari tempat ini. Lantai empat digunakan untuk menyimpan berkas dan keterangan tentang ilmu silat berbagai aliran dan partai dalam dunia persilatan, bahan keterangan yang berhasil dikumpulkan Kim-hongsi-yu-lau dalam hal ini luar biasa banyak dan luasnya, bahkan bisa menimbulkan pengaruh besar bagi perkembangan ilmu silat di dunia. Mereka langsung menuju ke ruangan lantai lima. Di dalam ruangan itu terdapat berbagai buku catatan, ada buku piutang, ada surat perjanjian dan surat menyurat lainnya. Asal melakukan perdagangan, maka surat perjanjian, surat nota dan piutang merupakan bagian yang paling penting, dan kelihatannya perkumpulan ini sangat memperhatikan masalah itu. Buktinya ada tiga puluh dua orang yang khusus bekerja di situ. Biarpun banyak yang bekerja di situ, namun suasana amat santai, hening dan tenang. Tempat setenang ini tampaknya tidak dibutuhkan pengawalan, tapi benarkah tak ada penjaga di situ? Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu, tempat yang semakin tak nampak penjagaan, justru semakin menakutkan. Pada ruang lantai lima ternyata bukan ruangan yang digunakan untuk menyimpan bahan keterangan tentang pribadi seseorang, lalu disimpan dimanakah arsip itu? Di lantai enam? Atau lantai tujuh? Dunia macam apa pula lantai berikut? Sekarang semua orang dapat melihat bahwa bangunan loteng ini merupakan markas besar Kimhong-si-yu-lau, tempat inilah jantung semua kegiatan perkumpulan, tempat inilah sumber pemasukan bagi partai, sumber dana bagi kehidupan orang banyak. Bahkan siapa pun dapat melihat bahwa Kim-hong-si-yu-Iau sebenarnya merupakan sebuah organisasi dengan sistim yang ketat dan teratur. Sekali lagi Pek Jau-hui menghela napas panjang.

"Kau tidak seharusnya mengajak kami mendatangi tempat Ini," katanya. "Kenapa?" "Sebab tempat ini merupakan pusat kegiatan Kim-hong-si-yu-lau, tempat ini merupakan markas besar perkumpulan dan merupakan tempat yang amat sensitip, lebih banyak yang mengetahui tempat ini semakin tidak menguntungkan bagi ke¬amanan kalian." "Tapi kau bukan orang luar," tukas So Bong-seng hambar. "Andaikata kami menolak masuk partai, atau mungkin kita malah saling bermusuhan, bukankah kita segera akan saling berhadapan sebagai musuh dan orang luar?" "Kalian tak nanti berbuat begitu," sahut So Bong-seng hambar, kemudian seraya berpaling menatap kedua orang itu, tegasnya, "Mungkinkah kalian berbuat demikian?" Tidak menunggu jawaban dari kedua orang pemuda itu, kembali ia menjawab sendiri, "Kalian tak usah menjawab pertanyaan ini, sebab aku tidak butuh jawaban itu." Persoalan semacam ini hanya bisa ditampilkan dengan sebuah tindakan, bukan mendengar suatu jawaban, sebab ucapan yang lebih enak didengar bisa diucapkan siapa pun di dunia ini, tapi benarkah ucapan itu muncul dari lubuk hati yang jujur? lintahlah! Dia menarik napas panjang, kemudian dengan nada lambat ujarnya, "Aku sengaja mengajak kalian kemari karena Sam-te ingin mengetahui sumber pemasukan kita." Bicara sampai di sini kembali ia terbatuk hebat, sedemikian hebatnya hingga memberi kesan tenggorokannya sudah terluka hebat dan darah bercucuran keluar. "Ketika seseorang mengira dia sudah memahami sesuatu, seringkah justru dia tidak terlalu paham. Kim-hong-si-yu-lau bukan didirikan dalam sehari atau semalam, dengan hanya melihat sepintas, mana mungkin kalian bisa memahami segalanya?" kembali ia berkata. Setelah mengatur napasnya yang agak tersengkal gara-gara batuk tadi, dia berkata lagi, "Dulu banyak orang mengira mereka sudah cukup memahami Kim-hong-si-yu-lau, tapi akibatnya kalau bukan tewas tentu mereka mengalami kegagalan, atau akhirnya bergabung dengan Kim-hong-siyu-lau dan menjadi salah satu anggotanya." Ia tertawa ewa kemudian melanjutkan pula, "Padahal bukan hanya itu saja persoalannya, begini keadaan Kim-hong-si-yu-lau begitu juga keadaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tak ada orang berani menganggap kekuasaannya amat kuat, tak ada yang berani memandang enteng kekuatan lawan-nya." "Akan kuingat selalu perkataan itu," seru Pek Jau-hui kemudian, "aku pasti akan mengingatnya terus." Ong Siau-sik sendiri hanya merasa amat terharu, sedemikian terharunya sehingga tak sepatah kata pun yang mampu diucapkan. Hanya gara-gara sepatah kata pernyataannya ternyata So Bong-seng telah mengajak mereka naik ke loteng tingkat lima dan mengunjungi pusat kekuasaan Kim-hong-si-yu-lau. Satu pelajaran berhasil ditarik olehnya dari kejadian itu, berada di hadapan manusia macam So Bong-seng, lebih baik jangan banyak bicara, khususnya menyinggung masalah yang sama sekali

tak berguna. Sebab sepasang matanya yang sudah terasah oleh penyakit parahnya seolah-olah mampu menembus perasaan orang. Mendadak Ong Siau-sik merasa bahwa rasa kagum saja masih belum cukup untuk menghargai kemampuan So Bong-Seng, rasa kagum hanya melambangkan semacam rasa hormat. Yang lebih cocok untuk manusia kosen ini adalah ... mengidolakan kehebatannya. Sambil menuding kotak laci yang tersusun rapi dalam ruangan itu, So Bong-seng berkata lagi, "Di dalam laci itulah tersimpan semua catatan tentang sumber ekonomi perkumpulan kita, data itu dikelola oleh satu tim ekonomi yang khusus aku bentuk untuk menanganinya, di antaranya meliputi perdagangan garam, ransum, pegadaian, pengawalan barang, peralatan besi, ternak, perjalanan dan lain sebagainya. Sementara perusahaan kami memproduksi peralatan senjata untuk ketentaraan, seperti panah, senjata rahasia, mesiu, senjata genggam, tombak dan sebagainya. Selain itu kami pun mempunyai tukang besi, tukang bambu, tukang rotan, tukan batu, tukang tenun, tukang galangan kapal dab lainnya yang setiap saat bisa dikirim untuk mengerjakan proyek besar. Tadi kalian sudah menyaksikan pasukan angin topan pimpinan To Lam-sin bukan? Pasukan itu adalah salah satu dari kekuatan kami." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Selain usaha yang sudah kusebut tadi, kami pun menjadi pelindung bagi tujuh ratus lima puluh dua perusahaan ekspedisi yang tersebar di utara maupun selatan sungai besar, tujuh puluh tiga cabang kekuatan yang ada di jalan air pun punya hubungan erat dengan kami. Sementara dalam kota besar kami punya usaha jual beli, punya toko arak, warung makan, kami pun memiliki banyak anggota yang menjalankan perdagangan eceran maupun partai, di luar kota kami punya sawah dan kebun, kami pun menanam daun murbei untuk ternak ulat sutera, selain itu seringkah pihak kerajaan mengundang kami untuk melaksanakan tugas yang tak leluasa mereka lakukan sendiri, untuk penggunaan kekuatan dari Kim-hong-si-yulau, seringkah kami memperoleh imbalan yang lumayan." "Tapi bukan menindas rakyat membela pejabat korup bukan?" sela Pek Jau-hui tiba-tiba. Agak berubah paras muka So Bong-seng, tegasnya dengan nada dingin, "Perbuatan semacam ini bukan saja Kim-hong-si-yu-lau tak bakal melakukan, bahkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong pun tak akan melakukannya. Kami hanya bekerja untuk kepentingan orang banyak, tidak untuk kepentingan pribadi. Apalagi pihak kerajaan sudah memelihara banyak kuku garuda. Untuk pekerjaan semacam itu jelas mereka akan menggunakan kekuatan sendiri untuk melakukannya, tak nanti pihak kerajaan mau percaya kepada orang luar." Kemudian sambil berpaling ke arah Ong Siau-sik lanjutnya, "Jika kau ingin mengetahui lebih banyak lagi, akan kuperlihat-kan buku catatan yang menyangkut kerja sama kami dengan pihak pasukan kerajaan dalam usaha menumpas perampok dan kaum pemberontak..." "Tidak perlu!" "Ooh............?" "Selama ini aku enggan bergabung dengan aliran mana pun karena aku kuatir sumber keuangan mereka tidak beres, aku pun tak mau bergabung dengan perguruan atau perkumpulan mana pun karena aku tak ingin menjadi kuku garuda yang menindas rakyat jelata, tapi sekarang aku sudah mengetahui jelas sumber ekonomi Kim-hong-si-yu-lau bahkan tahu pula prinsip perjuangannya, maka dengan ini aku pun ingin memberi pernyataan bahwa aku siap berjuang dengan taruhan nyawa sekalipun."

“Perkataanmu kolewat serius," kata So Bong-seng sambil tersenyum, ".selama ini Kim-hong-si-yulau selalu memegang prin-»lp, kuini selalu memilah mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh, karena itu dalam sumber pemasukan ekonomi, keuangan kami sedikit lebih di bawah perkumpulan Lak-hun-poon-tong." Ia berhenti sejenak untuk mengurut dadanya yang sakit, "Tapi dalam hal kebersihan, kujamin Kim-hong-si-yu-lau jauh lebih unggul dari siapa pun.'' "Inilah nilai yang tak dapat dibeli dengan harga berapa pun!" "Hahaha, tepat sekali! Nilai ini tak bisa dibeli dengan harga berapa pun," seru So Bong-seng sambil tertawa terbahak-bahak, setelah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya kepada Pek Jau-hui, "Bagaimana dengan kau?" "Aku?" "Losam sudah selesai bertanya, bagaimana dengan kau?" "Aku tak punya pertanyaan yang akan diajukan." "Berarti kau punya permintaan?" tanya So Bong-seng sambil menatapnya tajam. "Aku hanya meminta sebuah nama jabatan." "Nama jabatan apa?" "Wakil Locu!" Begitu perkataan itu diucapkan, semua yang hadir dalam ruangan jadi terperanjat. Bukan cuma Mo Pak-sin yang kaget dibuatnya, bahkan semua pengurus pembukuan yang ada dalam ruangan pun serentak menghentikan pekerjaan mereka dan bersama-sama mendongakkan kepala memandang ke arah Pek Jau-hui. Seorang pemuda yang baru pertama kali masuk ke ruang loteng ternyata berani memberi pernyataan kalau ingin menjadi wakil ketua Kim-hong-si-yu-lau, tindakan ini bukan saja kelewat memandang rendah semua yang hadir, pada hakikatnya benar-benar sebuah permintaan yang tak tahu diri. Apakah Pek Jau-hui tidak merasa kalau perbuatannya itu kelewat takabur? Seseorang yang kelewat takabur jelas bukan satu perbuatan yang baik. Apalagi bagi seorang pemuda macam dia. Anehnya, banyak orang menganggap takabur merupakan satu tindakan yang indah, satu tindakan untuk meningkatkan harga diri sendiri. Tapi saat itu paras muka Pek Jau-hui sama sekali tidak menampilkan sikap takabur, dia seakan menganggap tindakannya itu wajar. Sikap maupun paras mukanya sama persis seperti sikapnya sebelum mengucapkan perkataan itu, tetap santai dan tenang. ooOOoo 23 . Ger akan pen yap u gunt ur Paras muka semua orang yang hadir berubah hebat. Kalikan Ong Siau-sik sendiri pun menganggap permintaan yang diajukan Pek Jau-hui sedikit kelewatan.

Ncimtin So Bong-seng tidak menganggap begitu, dia tetap bersikap wajar, tanpa perubahan apa pun. "Haik," katanya tiba-tiba, "kau ingin jadi apa, akan kupenuhi keinginanmu itu, cuma kau harus memilih jabatan yang kau anggap sanggup melakukannya." Kemudian dengan nada setengah menyindir, tambahnya, "Terlalu banyak orang di dunia ini yang tergila-gila dengan nama kosong, tapi kenyataan tidak memiliki kemampuan itu, liaallnya tetap nihil." "Apa salahnya kau beri kesempatan kepadaku untuk menjabatnya," seru Pek jau-hui dingin, "aku yakin pasti dapat melaksanakan tugas itu dengan baik." Mendadak So Bong-seng menotok beberapa buah jalan darah penting di tubuhnya, paras mukanya nampak pucat, otot-otot hijau mengejang keras, selang beberapa saat kemudian ia baru berkata, "Aaai, sekujur tubuhku dipenuhi berbagai penyakit." "Kenapa tidak diobati sakitmu itu?" tanya Ong Siau-sik penuh kekuatiran. "Kalau ada waktu cukup, tentu akan kuobati penyakitku ini." "Paling tidak kau harus menjaga diri baik-baik. Kendatipun Kim-hong-si-yu-lau sangat penting artinya, namun tanpa kau, berarti tiada Kim-hong-si-yu-lau." So Bong-seng tertawa. "Tahukah kau, kini aku menganggap cara pengobatan macam apa yang paling mujarab?" tanyanya. Ong Siau-sik menggeleng. "Menganggap diriku sehat, tak berpenyakit," ujar So Bong-seng lagi, kemudian kembali ia tertawa, tertawa getir. Setelah termenung sesaat, ujarnya lagi, "Sejak bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau, untuk pertama kalinya kalian ingin turun tangan darimana?" Pertanyaan ini diajukan dengan wajah serius. Jelas pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan yang serius. Kendatipun kini telah bergabung dengan sebuah organisasi besar, bukan berarti kerjanya setiap hari hanya bertarung dan membunuh, paling tidak mesti tahu duduk persoalan lebih dulu, apalagi dalam partai pun terdapat susunan pengurus, seperti halnya dengan sebuah pemerintahan, di bawah Kaisar tentu ada perdana menteri, di bawahnya ada para pejabat tinggi dan seterusnya, masing-masing harus tahu apa jabatannya dan apa pula fungsinya. Tidak heran jika So Bong-seng pun mengajukan pertanyaan seperti ini. Pek Jau-hui segera menjawab, "Aku ingin mulai dari loteng putih ini, ingin kuketahui data apa saja yang tersedia di sini, sistim kerja dan hubungannya sampai kemana saja" Orang ini memang besar ambisinya, segala sesuatu ingin dilakukan secermat mungkin. "Kalau aku ingin mulai bekerja dari lingkungan luar," kata Ong Siau-sik pula, "walaupun Kim-hongsi-yu-lau mendapat pengakuan dari pihak kerajaan, dihormati perguruan dan partai besar lainnya,

namun kurang mengakar di hati para jago dunia persilatan, akar yang tertanam di hati mereka tidak sekokoh apa yang ditanamkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Mungkin hal ini disebabkan perkembangan Kim-hong-si-yu-lau yang kelewat tepat belakangan ini, karena itu aku ingin berkarya di tempat luar, ingin kulakukan sedikit bakti sosial di dalam masyarakat sehingga sedikit dem< sedikit tertanam rasa simpati mereka terhadap perkumpulan kita." Pemuda ini memang selalu pandai bergaul dengan rakyat kalangan bawah, selain itu dia pun bersih, tidak berambisi dan lurus pikirannya, beda sekali jika dibandingkan Pek Jau-hui. Bagi Pek Jau-hui, dia lebih suka memusatkan tenaga dan pikirannya untuk dimulai dari atas, selain hemat waktu juga langsung turun tangan dari hal-hal yang paling penting, dia anggap dengan mengoptimalkan cara kerja di pusat, maka tindakannya ini akan memperkuat posisi So Bong-seng dalam memperluas pengaruhnya. Sementara Ong Siau-sik lebih suka bekerja di lapangan, dia harus menguasai dulu situasi di sekitar sana, mengenali ciri khas setiap daerah, kemudian perlahan-lahan membenahi struktur keanggotaan, dengan akar yang kuat, pondasi yang kokoh, Kim-hong-si-yu-lau baru bisa berdiri setegar bukit Thay-san. Dua pendapat yang berbeda mencerminkan juga watak serta kebiasaan mereka yang berbeda. Tentu saja So Bong-seng pun mempunyai pandangan serta cara berpikir yang beda, namun dia sangat menikmati pandangan kedua orang saudara angkatnya ini, dia berpendapat, justru karena pandangan mereka yang berbeda maka mereka bertiga boru bisa berkumpul jadi satu. Suatu persahabatan tidak harus dimulai dari watak yang sama, selama mereka mempunyai kesenangan yang sama dan ada jodoh, ini sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk menjalin satu persahabatan. "Kalian boleh mulai bekerja menurut sistim dan cara yang kalian pilih," kata So Bong-seng kemudian, "cuma kalian mesti melaksanakan dulu dua hal." "Memaksa Lui Sun agar mau tak mau harus datang berunding?" tanya Pek Jau-hui. So Bong-seng punya kebiasaan hanya mengajukan pertanyaan, dia tak pernah menjawab pertanyaan itu, maka kembali tanyanya, "Menurut kalian, cara apa yang bisa digunakan sehingga mau tak mau Lui Sun harus datang dalam perundingan ini?" "Andaikata orang kepercayaannya satu per satu tewas sehingga dia terpaksa harus menunjang partainya seorang diri, tidak ingin berunding pun rasanya sulit bagi Lui Sun untuk tetap bertahan hidup," kata Pek Jau-hui. "Sekalipun ingin berunding, dia juga sudah kehilangan kekuatannya untuk tawar menawar," Ong Siau-sik menambahkan. "Tepat sekali perkataan kalian, oleh sebab itu kita harus menghadapi tiga orang," ujar So Bongseng. "Menghadapi tiga orang?" tanya Ong Siau-sik. "Benar, menghadapi tiga orang." "Mana mungkin tiga orang? Bukan hanya dua orang?" sela Pek Jau-hui.

"Sebab aku telah mengundang seseorang yang lain untuk pergi menghadapi orang itu, seorang yang amat menarik." "Seseorang yang menarik?" "Paling tidak dia akan menarik perhatian kita semua," So Bong-seng membenarkan sambil tertawa, dan ia tidak melanjutkan kembali kata-katanya. "Siapa saja ketiga orang tokoh perkumpulan Lak-hun-Poan-tong yang harus kita hadapi?" kembali Pek Jau-hui berunya "Beberapa orang pejabat penting dalam perkumpulan Lak-hunpoan-tong hampir semuanya dipegang orang dari marga Lui, seperti misalnya Lui Moay, Lui Heng, Lui Kun." Setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah ia menambahkan, "Aku menginginkan kahan pergi menghadapi Lui Heng dan Lui Kun." "Bagaimana dengan Lui Moay?" "Aku sudah menyuruh seseorang untuk menghadapinya." "Kenapa kita tidak menghadapi Ti Hui-keng?" "Karena Ti Hui-keng adalah seorang jagoan yang paling susah dihadapi, dalam keadaan dan situasi seperti ini, kita tidak seharusnya melakukan tindakan yang tidak yakin bisa berhasil," So Bongseng menerangkan, "tatkala kita sedang berencana untuk membunuh tokoh perkumpulan Lakhun-poan-tong, aku yakin pihak mereka pun sedang merencanakan hal yang serupa terhadap kita. Jika jago-jago kita sampai terbunuh, sudah pasti hal ini akan mempengaruhi reputasi serta semangat juang kita, di samping memperlemah posisi tawar menawar kita dalam perundingan nanti. Oleh sebab itu kita harus menggoyahkan rasa percaya diri Lui Sun, dan jangan sampai rasa percaya kita yang goyah." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Lagi pula, seandainya suatu ketika nanti perkumpulan Lak-hun-poan-tong benar-benar ambruk di tangan kita, Lui Sun pasti akan datang menyerbu untuk mengadu jiwa. Dalam keadaan seperti ini, aku rasa hanya Ti Hui-keng yang bisa diandalkan untuk menenangkan situasi, asal dia bersedia berunding dengan kita, segala sesuatunya pasti akan beres." "Oleh sebab itu kita harus membiarkan dia tetap hidup?" "Bila dia hidup, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, bila dia mati, kedua belah pihak sama-sama rugi." Mendengar sampai di sini, tak tahan lagi Pek Jau-hui meng¬hela napas panjang, pujinya, "Ternyata Ti Hui-keng benar-benar seorang manusia luar biasa." Bila seseorang dihormati baik oleh orang sendiri maupun musuh, dan kedua belah pihak samasama berpendapat kalau dia sangat dibutuhkan, tentu saja kejadian seperti ini merupakan satu kejadian yang luar biasa. Bila seseorang dapat berbuat sejauh ini, boleh dibilang dia sudah terhitung seorang tokoh yang luar biasa.

"Bagaimana dengan Lui Tong-thian?" tanya Pek Jau-hui lagi, "dia adalah Tongcu kedua dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bila kita bunuh orang ini, cukupkah untuk menggetarkan sungai telaga?" "Lui Tong-thian adalah seorang manusia yang amat menakutkan," kata So Bong-seng dengan wajah serius, "bila kita tidak memiliki keyakinan yang besar, lebih baik jangan mengusik dia." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya dengan wajah bersungguh-sungguh, "Dulu anak buahku bukan hanya empat malaikat sakti saja, di antaranya terdapat juga satu malaikat hebat yang sanggup mempergunakan tiga ratus tujuh belas lembar jaring lembut laba-laba sakti dari bukit Lui-san, dalam sekali serangan ia bisa melepaskan seratus dua puluh tiga butir mutiara pembunuh, aku rasa kalian pasti pernah mendengar akan hal ini bukan?" "Nama besar Siangkoan Yu-hun sudah amat termashur di kolong langit jauh sebelum aku terjun ke dunia persilatan, tentu saja aku pernah mendengar namanya," kata Pek Jau-hui. So Bong-seng menghela napas panjang. "Ai, seandainya dia masih hidup sampai sekarang, entah betapa tersohornya dia." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Orang semacam dialah yang tak pernah mau percaya akan hai ini, dia sengaja mengusik Lui Tong-thian, akibatnya ia terjebak dalam barisan bambu dan berikut tujuh ratus empat puluh tujuh batang Siang-hui-tiok-tin yang dipersiapkan Lui Tong-thian, ia tewas secara mengenaskan." "Apa? Tumbuhan bambu pun ikut terbinasa?" seru Ong Siau-sik. "Hasil serangan yang dilancarkan dengan ilmu pukulan Ngo-lui-thian-sim-ciang (ilmu pukulan lima guntur inti langit) tak jauh berbeda dengan kerusakan akibat sambaran geledek, dimana petir menyambar, semua kehidupan akan musnah," So Bong-seng menerangkan, "tapi ada satu pengecualian, yaitu ketika orang-orang perkumpulan Biau-jiu-tong dari kota Lokyang datang merebut lahan di kotaraja, waktu itu Toa-lui-sin (malaikat geledek) Hui Ban-lui sempat menyerang Lui Tong-thian dengan ilmu pukulan lima guntur menyambar puncak bukitnya, dalam pertarungan itu Hui Ban-lui kena satu pukulan dahsyat tapi tak mati, dia berhasil kabur dengan membawa luka dalam yang cukup parah." Ia menarik napas panjang, kemudian terusnya, "Tapi sejak peristiwa itu, Hui Ban-lui tak pernah berani menginjakkan kakinya lagi di wilayah kotaraja, sama sekali tak berani mengincar wilayah sini." "Wah, sungguh lihai!" puji Ong Siau-sik. "Aku malah ingin sekali bertemu dengan orang ini," sambung Pek Jau-hui dengan nada dingin. "Kau tak usah terburu napsu, pasti akan kau peroleh kesempatan itu," kata So Bong-seng dengan suara berat, "sekalipun kau tidak pergi mencarinya, aku yakin dia pasti akan datang kemari mencarimu." "Lalu siapa yang dikirim untuk menghadapi Lui Kun? Dan siapa yang menghadapi Lui Heng?" tanya Ong Siau-sik kemudian. "Mereka semua bersarang dalam markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bagaimana cara kita menghadapinya?" tanya Pek Jau-hui pula.

"Yang dimaksud menghadapi itu apa? Membunuh? Meng¬hajar? Melukai? Atau memberi pelajaran?" "Dan kapan kita harus berangkat? Mulai turun tangan dimana? Siapa lagi yang ikut? Kita harus bekerja sama atau bekerja sendiri-sendiri?" "Kalian tak perlu terburu-buru, aku jadi bingung untuk menjawabnya," So Bong-seng tertawa, "sekarang yang harus dilakukan adalah ganti pakaian kalian yang basah, periksa kamar tidur kalian, lalu pergi makan, minum arak dan berunding. Yo Bu-shia akan menjelaskan bagaimana kalian harus menghadapi lawan, bagaimana pun malam ini kita harus bersantai dulu, urusan lain biar dilakukan besok saja." ooOOoo Menjelang fajar. Saat itu mereka berada di loteng putih lantai enam, kedua orang pemuda itu masih asyik membaca data dan bahan keterangan mengenai Lui Kun dan Lui Heng. Yo Bu-shia duduk menemani di samping, mengawasi tumpukan data yang tertata rapi di dinding sekeliling ruangan, ia nampak amat puas. Data yang ada di tempat itu memang jauh lebih berharga daripada emas permata. Mengawasi dua orang pemuda di hadapannya yang se¬tiang memusatkan perhatian membaca data yang tersedia, ia tidak bermaksud mengganggu atau mengusik konsentrasi mereka. Dia tahu, mereka butuh bahan dan data itu untuk mempersiapkan satu peristiwa besar yang mungkin akan menggemparkan seluruh kotaraja. Jika data tidak akurat, besar kemungkinan mereka akan memperoleh kesimpulan yang salah. Padahal terkadang ada hal-hal yang tak boleh keliru, sebab sedikit kekeliruan sama artinya dengan sebuah kematian. Maka ia berharap mereka berdua bisa membaca dengan seksama, mengingat dengan baik dan menganalisa secara tepat. Akhirnya Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui selesai juga membaca dan menyerahkan kembali semua bahan data itu ke tangan Yo Bu-shia. Kendatipun data sudah tak ada di tangan, namun mereka sudah memindahkannya ke dalam ingatan. "Dalam beberapa hari ini, kita bersiap-siap menghadapi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, para jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong pun sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi kita," ujar Yo Bu-shia, "selama ini, pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong selalu mengirim jago-jago tangguhnya untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi dalam loteng kami, sementara kami pun selalu mengutus jagoan untuk mengantisipasinya, jadi keadaan selalu berimbang, hingga siapa pun tak berani sembarangan bergerak." "Oleh karena itu kami yang harus melakukan penyerang¬an," sela Pek Jau-hui.

"Kalian adalah bala bantuan tangguh bagi Kim-hong-si-yu-lau, sementara pihak perkumpulan Lakhun-poan-tong belum berhasil meraba identitas kalian berdua, berarti dalam waktu singkat sulit bagi mereka untuk mengirim jagoan tangguh yang paling cocok untuk menghadapi kalian berdua ............" "Aku dengar istri Lui Sun yang dulu, Bong-huan-thian-lo, si" impian jagad Kwan Siau-te adalah adik kandung Kwan Jit, ketua perkumpulan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit), jika sampai kawanan jago dari Mi-thian-jit-seng berdatangan membantu perkumpulan Lak-hun-poantong, bukankah ke¬kuatan lawan jadi bertambah tangguh?" kata Pek Jau-hui. "Tidak mungkin," sahut Yo Bu-shia tegas, "perkumpulan Mi-thian-jit-seng bermusuhan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, gara-gara mencurigai Lui Sun telah mencelakai adiknya, Kwan Jit bersumpah ingin menumpas perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Jadi menurut dugaanku, kecuali dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah terjadi perubahan yang amat besar, kalau tidak, dapat dipastikan perkumpulan Mi-thian-jit-seng tak bakalan membantu mereka. Jadi dalam hal ini kau tak usah kuatir." "Terkadang musuh atau sahabat dalam dunia persilatan tak bisa dianalisa dengan cara begitu," gumam Pek Jau-hui. "Mungkin berlaku untuk orang lain, tapi tidak untuk Kwan Jit. Ketika Kwan Jit sudah membenci seseorang, tak nanti dia akan melupakan hal itu." "Semoga saja apa yang kau katakan benar. Lalu dengan cara apa kita harus menghadapi Lui Kun dan Lui Heng?" "Hari ini Lui Kun sudah dibikin pecah nyalinya oleh ketua kami, batinnya pasti sangat terpukul, sebagai orang yang besar gengsinya, dia tak nanti akan berdiam diri, aku yakin ia pasti sedang berusaha untuk mendapatkan kembali harga dirinya." Lelaki semacam ini, biasanya selagi batinnya terpukul maka dia hanya bisa melampiaskan kejengkelannya dengan menga niaya kaum wanita, Lui Kun adalah contohnya. Dalam keadaan begini, Lui Kun pasti akan mengunjungi sarang pelacuran Khi-hong-wan. Di tempat ini sering terdapat bocah perempuan berusia tiga-empat belas tahun yang diculik untuk diperjual belikan, orang-orang berkocek tebal biasanya memang paling senang memerawani gadis bau kencur. Perlu diketahui, sarang pelacuran ini berada di bawah perlindungan perkumpulan Lak-hun-poantong, Lui Kun sebagai penanggung jawabnya, otomatis dia pun menjadi 'tamu kehormatan' di situ. Di saat-saat luar biasa semacam ini, Lui Sun selalu mel¬rang keras anak buahnya keluyuran di tempat luar, apalagi mengunjungi sarang pelacuran, tapi biasanya Lui Kun tetap akan mengeluyur pergi. Dia berani berbuat begitu lantaran menganggap saudara-saudaranya, Lui Tong-thian, Lui Moay dan Lui Heng pasti akan menunjangnya sehingga biarpun melanggar peraturan, tak nanti dia dijatuhi hukuman berat. Di samping itu Lui Kun memang harus mengunjungi tempat itu untuk melampiaskan kejengkelannya.

Bagi Lui Kun, kecuali berlatih silat, kegemaran lain yang paling utama adalah main perempuan, yang lebih celaka lagi adalah kecuali melampiaskan napsu bejadnya atas gadis-gadis bau kencur, pada hakikatnya dia tak sanggup memperlihatkan kejantanannya di hadapan perempuan dewasa. Oleh karena itu dia mengunjungi rumah pelacuran itu. Yo Bu-shia meminta Pek Jau-hui untuk menunggunya di situ. Begitu mengetahui manusia macam apakah Lui Kun itu, kontan Ong Siau-sik berseru, "Aku juga ikut ke sana!" "Kau tak boleh ikut," Yo Bu-shia menggeleng. "Kau anggap kepandaian silatku tak mampu menandinginya?" "Bukan, bukan begitu, malah kungfu Lui Heng jauh di atas kepandaian Lui Kun" "Lantas kenapa aku tak boleh ikut membunuh bedebah itu?" "Sebab kalau kau yang berangkat, maka dia pasti mampus, padahal aku tak ingin membunuhnya, menawannya hidup-hidup jauh lebih berharga, selain itu, menurut penelitianku, kau belum pernah mengunjungi rumah pelacuran, jadi sebetulnya kau tak cocok melaksanakan tugas ini, bukankah begitu?" "Benar," terpaksa Ong Siau-sik harus mengakui. "Targetmu adalah Lui Heng! Dia adalah seorang jagoan yang amat sulit untuk dihadapi." Lui Heng tersohor karena emosinya yang tinggi, dia gampang marah dan mata gelap, orang persilatan selalu bilang, barang siapa berani memancing api amarah Lui Heng, sama artinya dengan membakar tubuh sendiri. "Aku justru berharap kau bisa membuat Lui Heng naik pitam!" setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "aku lihat kungfu yang dimiliki orang ini seakan kekurangan sesuatu." "Sesuatu apa?" "Titik kelemahan," jawab Yo Bu-shia serius, "setiap orang pasti memiliki titik kelemahan, tapi tidak untuk Lui Heng. Maka aku menganjurkan gunakanlah serangan yang lebih ganas untuk mencecarnya, asal kau bisa menghancurkan harga diri serta rasa percaya dirinya, secara otomatis yang lain akan mncul sebagai kelemahan." "Seandainya aku justru terlibas oleh api amarahnya?" "Ya, apa boleh buat, kalau berani bermain api, kau mesti hati hati sendiri, jangan sampai badanmu ikut terbakar." "Bagaimana caraku bertemu Lui Heng?" "Tak usah dicari, dia pasti akan datang sendiri mencarimu, gara-gara kejadian kemarin sore, dia masih mendongkol setengah mati, untuk melampiaskan rasa jengkelnya dia pasti akan mencari satu dua orang musuh untuk dibunuhnya." "Lui Kun main cewek, Lui Heng membunuh orang, tampaknya kau begitu yakin?"

"Sangat yakin. Alasan pertama karena hasil analisaku berbicara begitu, alasan kedua karena orang-orang kita di perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah memasukkan laporannya." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Kunci paling rawan dalam perencanaan ini terletak pada langkah paling akhir, kalian harus berkumpul di Sam-hap-lau di pagi hari dan bekerja di tengah hari." Bicara sampai di situ, pelan-pelan ia menambahkan, "Operasi kita kali ini disebut sebagai gerakan penyapu guntur!!" ooOOoo 24. Manus ia dalam jaring Operasi gerakan penyapu guntur telah dimulai. Ketika mereka berdua sedang berjalan meninggalkan Kim-hong-si-yu-lau, Su Bu-kui telah menghalangi jalan pergi mereka. Su Bu-kui masih kelihatan begitu ganteng dan gagah, tubuhnya tegak lurus bagaikan sebatang tombak. Jika Yo Bu-shia berdiri berjajar dengan Su Bu-kui, maka akan terlihat jelas kalau kedua orang ini merupakan dua manusia yang berbeda. Luka yang diderita Su Bu-kui sudah dibubuhi obat, dia pun sudah berganti dengan satu stel baju baru, kebugarannya jauh lebih bagus dibandingkan kemarin, kelihatan kalau ilmu pengobatan yang dimiliki tabib istana memang lain daripada yang lain. "Kongcu ingin berjumpa dengan kau," ujar Su Bu-kui kepada Pek Jau-hui sembari menuding ke arah loteng warna hijau. Pek Jau-hui manggut-manggut, ia melirik Ong Siau-sik sekejap. "Tunggulah aku sejenak," meski kata-kata itu tak pernah diucapkan Pek Jau-hui, namun sudah terpancar jelas melalui sorot matanya dan Ong Siau-sik sudah mendengar dengan amat jelas. Maka dengan langkah cepat Pek Jau-hui berjalan menuju ke bangunan loteng berwarna hijau. Entah berapa lama sudah lewat, sementara Ong Siau-sik masih menikmati kupu-kupu yang beterbangan di antara aneka bunga, tiba-tiba bahunya ditepuk orang. Ong Siau-sik segera tersadar kembali dari lamunannya, ki¬nl lo baru tahu kalau Pek Jau-hui telah berada di sampingnya. "Tahukah kau, baru saja kau bersikap teledor, memusatkan perhatianmu pada kupu-kupu itu, jika aku adalah musuhmu, se¬karang kau sudah mati," tegur Pek Jau-hui dengan nada dingin. "Aku tidak tahu,"sahut Ong Siau-sik tertawa, "tapi andai kata harus mati pun apa salahnya kalau aku menikmati dulu keindahan sang kupu-kupu?" Untuk sesaat Pek Jau-hui jadi melongo, dia tak tahu bagai¬mana harus menjawab perkataan itu.

"Apalagi aku pun yakin, kau tak nanti akan membunuhku," tambah pemuda itu. "Toako mengundangmu naik ke atas," ujar Pek Jau-hui kemudian. "Baik," ia langsung mengayunkan langkah menuju ke ba¬ngunan loteng berwarna hijau. Sambil menggendong tangan memandang angkasa, Pek Jau-hui menunggu kedatangan rekannya. Ketika akhirnya Ong Siau-sik muncul, dia hanya menarik napas panjang, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka melakukan perjalanan. Dalam operasi gerakan penyapu guntur yang dilaksanakan saat ini, Pek Jau-hui pergi menghadapi Lui Kun, sementara target Ong Siau-sik adalah Lui Heng. Sementara seseorang yang belum diketahui namanya pergi membereskan Lui Moay. Secara terperinci sama sekali tak diketahui Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik. Bahkan Pek Jau-hui tidak tahu dengan cara apa Ong Siau-sik akan melenyapkan Lui Heng. Sebaliknya Ong Siau-sik pun tidak tahu dengan cara apa Pek Jau-hui meng¬hadapi Lui Kun, mereka hanya mengetahui satu hal. Begitu tugas selesai dilaksanakan, mereka harus segera berangkat menuju loteng Sam-hap-lau. Bagaimanakah perasaanmu ketika kau tahu bahwa tugas berat yang sedang kau jalankan saat itu melibatkan satu kejadian besar yang bisa menimbulkan pergolakan dahsyat dalam dunia persilatan? Ong Siau-sik merasa amat gembira, dia merasa tugas ini menarik dan mengasyikkan. Targetnya kali ini adalah Lui Heng. Bagi orang persilatan, mencari gara-gara terhadap Lui Heng sama halnya dengan menjejalkan kepala sendiri ke dalam mulut singa, atau menyumbat lubang dubur sendiri dengan mercon besar, sama sekali tak ada peluang untuk hidup. Tapi Ong Siau-sik justru merasa amat gembira, saking gembiranya dia sampai ingin bersorak. Sebaliknya Pek Jau-hui hanya termenung sambil memandang ke angkasa, dia tahu suatu saat pasti akan berjumpa de¬ngan keadaan ini, dia memang sudah lama menunggu datangnya hari seperti ini. Sudah lama sekali dia membuat persiapan, mempersiapkan diri untuk menyongsong datangnya saat ini. Sama seperti pemuda lain yang tak mau gagal menemukan pemimpin bijak, mereka hanya bisa berlatih dan berlatih terus, agar suatu saat bisa digunakan untuk melakukan satu pekerjaan yang menggemparkan. Mengenai berhasil atau tidaknya operasi ini, mereka tak ambil peduli. Bagaimana kalau berhasil, bagaimana pula jika gagal, kebanyakan orang enggan untuk berpikir lebih jauh. ooOOoo Menjelang fajar menyingsing, Pek Jau-hui telah tiba di rumah pelacuran Khi-hong-wan.

Dengan menelusuri dinding pagar yang tinggi, ia menyelinap masuk ke halaman dalam, kemudian setelah memastikan arah yang dituju, ia berangkat menuju ke ruangan di sebuah bangunan berlantai tiga yang menghadap utara. Rumah pelacuran Khi-hong-wan adalah pusat keramaian di malam hari, tak heran menjelang fajar seperti saat ini, kebanyakan orang masih terlelap dalam alam impian, walau ada yang sudah tenaga dari tidurnya, namun kebanyakan matanya masih mengantuk, tentu saja tak ada yang bisa melihat gerakan tubuh Pek Jau-hui yang cepat bagaikan asap itu. Ketika ia menyelinap ke depan kamar, dilihatnya lentera masih bersinar terang dalam ruangan itu, jelas lampu itu belum pernah dipadamkan sejak semalam. Perlahan-lahan dia membasahi kertas jendela, kemudian membuat lubang kecil yang bisa digunakan untuk mengintip ke dalam. Benar saja, di sana terlihat ada dua pasang sepatu yang tergeletak di bawah ranjang, kelambu dibiarkan setengah terbuka, seorang lelaki telanjang dada sedang tidur sambil mendeng¬kur keras. Di samping lelaki itu berbaring seorang gadis berambut panjang, yang terlihat hanya bahunya yang putih, halus dan lembut, sama sekali tak terlihat raut mukanya. Keadaan ranjang itu awut-awutan tak keruan, seakan belum lama berselang telah terjadi pertempuran dahsyat di tempat itu. Tentu saja Pek Jau-hui mengerti pertempuran seperti apa yang telah terjadi di situ. Dengan sangat hati-hati Pek Jau-hui mendorong pintu kamar itu, ternyata pintu tidak terkunci, dengan satu gerakan cepat dia menyelinap masuk kedalam, merapatkan kembali pintunya, bahkan kali ini dia sengaja mengunci pintu itu. Kemudian perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Memandang si nona yang kurus kecil dan tergeletak tak berdaya itu, hawa amarah seketika menggelora dalam dadanya, ia segera melompat ke depan pembaringan, menyingkap selimut yang menutupi tubuh lelaki itu dan tangan yang lain langsung mencekik tengkuk Lui Kun. Ketika selimut yang berwarna merah darah itu tersingkap, muncullah tiga sosok tubuh yang berbeda, si nona tergeletak dalam keadaan telanjang bulat, tubuhnya putih dan mulus, Lui Kun mengenakan celana pendek berbaring di sampingnya, sementara di sisi lain ternyata masih ada seseorang lagi. Seorang manusia kerdil. Seorang manusia kerdil dengan sepasang mata yang buas menyeramkan. Perawakan tubuh orang itu jauh lebih kerdil daripada manusia cebol biasa, tangannya menggenggam sebilah pisau belati, ketika Pek Jau-hui menyingkap selimut itulah, mendadak ia melepaskan tujuh kali tusukan secara keji dan telengas. Pek Jau-hui menyingkap selimut itu dengan lengan kanannya, ketujuh tusukan maut itu ternyata hampir semuanya dituju¬kan ke arah lengan kanan Pek Jau-hui.

Tak sempat mematahkan semua serangan yang mengancam, terpaksa Pek Jau-hui menarik kembali tangannya sambil menghindar. Begitu dia menarik kembali tangannya, ketujuh buah serangan maut itu segera diarahkan ke seluruh tubuhnya. Sekali lagi terpaksa Pek Jau-hui mundur ke belakang. Tapi ketika ia mundur sekali lagi, mendadak dilihatnya ruang kamar itu sudah hilang dari hadapannya. Kamar tetap sebuah kamar, kenapa secara tiba-tiba bisa hi¬lang? Dimana benda itu berada? Sudah pasti di bawah langit dan di atas bumi, biar bangunan kamar itu dibangun di atas air pun semestinya di bawah langit dan di atasnya air. Semua kamar tentu ada atap ada lantai, mau atap genteng, atap bambu atau lantai baru, lantai ubin, yang jelas tentu ada atap, ada lantai. Tapi sekarang, atap kamar itu mendadak hilang tak berbekas. Sebetulnya bukan lenyap, tapi dari atas telah muncul se¬buah jaring yang amat besar, jaring besar itu hampir mengurung seluruh atap bangunan rumah itu. Lantai pun kini hilang lenyap, sebagai gantinya muncul sebuah jaring besar yang bergerak naik ke atas, menjaring seluruh tubuh Pek Jau-hui. Sekarang Pek Jau-hui mau bergerak ke atas atau turun ke bawah, tubuhnya tetap berada dalam jaring itu, sebuah jaring yang membungkus seluruh bumi. Bila ingin mundur ke belakang, berusaha menuju pintu untuk menerobos keluar pun sudah tak sempat, apalagi dia pun tahu kalau di depan pintu pasti sudah disiapkan alat perangkap yang jauh lebih lihai. Kemana pun dia berusaha menghindar, jika jaring langit dan bumi telah menyatu, maka dia akan menjadi ikan dalam jaring, sulit untuk melarikan diri lagi. Pada saat itulah satu ingatan melintas dalam benak Pek Jau-hui. Sebenarnya jaring ini sudah dipersiapkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong sejak awal, atau Kimhong-si-yu-lau yang telah menyiapkannya? Dia tidak mundur, tidak menghindar, tidak berkelit, tidak meronta .... Dia justru merangsek maju ke depan. Sekali lompat dia menerjang masuk ke balik kelambu. Biasanya tempat yang paling berbahaya, justru merupakan tempat yang paling aman. Biarpun seluruh ruang kamar telah berubah menjadi selembar jala yang besar, akan tetapi ranjang masih tetap sebagai ranjang. Ia putuskan untuk merangsek maju dan naik ke atas ranjang. Baru saja tubuhnya tiba di depan ranjang, sepasang martil bintang kejora milik Lui Kun sudah dilontarkan ke mukanya menyongsong datangnya serangan itu.

Martil itu menghantam ke arah wajah dengan disertai de¬raan angin, sementara martil yang mengancam kakinya menyambar tiba justru tanpa menimbulkan suara, tapi Pek Jau-hui sadar bahwa gempuran ini justru merupakan ancaman yang paling menakutkan. Pada saat itulah mendadak si cebol yang berada di balik selimut telah melontarkan tubuh gadis kecil itu ke arah depan, menyongsong datangnya terkaman Pek Jau-hui. Waktu itu Pek Jau-hui dengan jari telunjuk dan jari tengahnya berhasil menggunting rantai yang mengikat senjata martil hingga putus jadi dua, namun ketika melihat gadis itu dilempar ke hadapannya, mau tak mau dengan kening berkerut dia sambut tubuh gadis itu. Nona kecil itu berada dalam keadaan telanjang bulat, bergetar hati Pek Jau-hui begitu tangannya menyentuh tubuhnya yang halus lembut itu. Tiba-tiba gadis itu gemetar keras, sementara Pek Jau-hui merasa agak kelabakan, tahu-tahu ada sembilan titik cahaya bintang melesat datang dengan kecepatan tinggi. Padahal gadis itu dalam keadaan bugil, darimana munculnya serangan senjata rahasia itu? Ternyata datang dari rambutnya, ketika badannya gemetar tadi, si nona mengebaskan rambutnya yang hitam pekat, sembilan titik cahaya bintang segera melesat ke muka mengancam sembilan jalan darah penting di tubuh pemuda itu. Inilah ilmu senjata rahasia Liat-bun-hui-seng (sembilan bintang penghancur gerbang) yang sudah lama punah dari du¬nia persilatan. Lekas lengan baju Pek Jau-hui menggulung ke muka, ke¬sembilan buah titik cahaya bintang itu seketika tergulung semua ke dalam bajunya. Tanpa membuang waktu, tangan kirinya segera disentil ke depan, kini ia melancarkan serangan tanpa belas kasihan. Sentilan itu langsung menghajar ke atas kening gadis muda itu. Dengan cekatan si nona berjumpalitan ke tengah udara, begitu lolos dari ancaman, ia melayang turun lagi ke atas ranjang, serunya sambil tertawa melengking, "Lihat kehebatan nonamu!" Belum habis suara tawanya berkumandang, tiba-tiba paras mukanya berubah hebat, tubuhnya sudah jatuh telentang di atas ranjang. Melihat kejadian ini, Lui Kun serta manusia cebol itu jadi terkesiap. Rupanya sentilan yang dilancarkan Pek Jau-hui tadi kenda¬tipun gagal mengenai tubuh Lui Kiau, Tongcu keenam dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, namun tenaga sentilan itu sempat juga menyambar di jalan darah Bi-sim-hiat di alis mata¬nya, padahal waktu itu Lui Kiau masih gembira karena berhasil mengelabui lawan, belum sempat ia menghindar, tahu-tahu jidatnya terasa panas, tak ampun dia pun segera jatuh tak sadarkan diri. Akan tetapi Pek Jau-hui sendiri pun sudah terperangkap ke dalam jaring. Bagaimana nasib sang ikan yang masuk dalam jaring? Bagaimana nasib hewan yang masuk dalam perangkap?

Bagaimana pula nasib Pek Jau-hui yang masuk ke dalam jaring dan terperangkap? Pek Jau-hui sama sekali tidak meronta, dia hanya berdiri di dalam jaring dengan tenang. Ketika tangannya menyentuh jaring itu, ia segera tahu jaring ini terbuat dari bahan yang ulet, kendatipun dia punya senjata mestika atau tenaga raksasa juga jangan harap bisa memutuskan jaring itu. Tentu saja terkecuali ada yang membuka tombol rahasianya, kalau tidak, sulit baginya untuk lolos dari cengkeraman musuh. Oleh karena itu dia hanya berdiri tenang, berdiri sambil mengawasi gerak-gerik musuh. Biarpun jaring itu sudah menutup sekeliling tempat itu, bukan berarti dia sudah kalah, sekalipun dianggap kalah, bukan berarti dia sudah mati. Sekarang Pek Jau-hui hanya memikirkan satu hal. Dari¬mana orang-orang perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa tahu kalau dia akan datang menyergap Lui Kun? Bila kondisi semacam ini bukan hasil rancangan Kim-hong-si-yu-lau, asal dia bisa kembali dalam keadaan hidup, dia pasti akan memberitahu kepada So Bong-seng bahwa kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak boleh dipandang ringan. Sorot mata Pek Jau-hui yang terjebak dalam jaring bagaikan mata liar seekor serigala, begitu terjebak dalam perangkap, ia sadar bahwa dirinya sudah tak punya harapan lagi, tapi dia tetap menanti dengan sabar, dia akan menyergap dan membu¬nuh orang yang berusaha membunuhnya. Sorot mata buas dan liar semacam ini kontan membuat Lui Kun yang bernyali besar pun merasakan hatinya bergidik. Untung serigala buas itu sudah masuk perangkap. Seandainya suatu ketika dia harus terjebak bersama dalam keadaan seperti ini, jelas kejadian itu jauh lebih menakutkan daripada kematian. Berpikir sampai di situ, Lui Kun nyaris bersin berulang kali saking ngerinya. Sementara itu si cebol sambil mengertak giginya hingga menimbulkan suara gesekan tajam, serunya, "Congtongcu kami sudah memperhitungkan kalau kalian pasti akan datang mengusik Ngo-tongcu, maka kami menyiapkan jebakan yang paling hebat di sini sambil menunggu kau masuk perangkap, mana rekanmu yang bermarga Ong? Memangnya dia tak berani kemari? Takut mampus?" Pek Jau-hui tidak menjawab, pikirnya, "Dari perkataannya itu, tampaknya kondisi Ong Siau-sik jauh lebih aman Sementara dia masih termenung, terdengar Lui Kun berkata kepada si cebol, "To Pa-tin, baru saja kau diangkat menjadi Tongcu kedua belas, kini sudah menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa, hebat, hebat, sungguh hebat!"

Seorang manusia cebol macam begitu ternyata punya nama keren, To Pa-tin, diam-diam Pek Jauhui tertawa geli. Tampak To Pa-tin berseru, "Keberhasilanku juga berkat dukungan dari Ngo-ko!" "Hahaha, barang siapa punya kepandaian, suatu saat dia pasti akan kelihatan juga kehebatannya," seru Lui Kun sambil tertawa tergelak, kemudian menuding Pek Jau-hui yang terjebak dalam jaring, terusnya, "Menurut kau, lebih baik orang ini dikukus, ditanak atau digoreng saja?" "Bagaimana pun dia toh sudah terjatuh ke tangan Ngo-tongcu, kau senang berbuat apa, lakukan saja menurut keinginanmu!" sahut To Pa-tin sambil tertawa lirih. "Sampai kapan Congtongcu dan Toatongcu baru tiba di sini?" tanya Lui Kun lagi. "Menurut laporan, hari ini So Bong-seng akan mengajak keempat malaikat bengisnya untuk menyerang markas besar kita, jadi untuk sementara mereka akan berjaga di sana sambil mempersiapkan diri untuk membuat pusing para penyerang." "Hahaha, bagus, bagus sekali," Lui Kun mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak, "akan kulihat si telur busuk So masih bisa bertingkah sampai kapan!" Kemudian kepada To Pa-tin pesannya, "Perintahkan para pemanah yang bersembunyi di luar untuk memanah bajingan ini hingga mampus!" "Baik!" Tampak dia berjalan menuju ke depan pintu dan mengucapkan sesuatu, disusul kemudian terdengar suara langkah kaki yang ramai berkumandang datang. Tampaknya jagoan yang sudah dipersiapkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong di sekeliling tempat itu mencapai lima enam puluhan orang, bahkan di antaranya paling tidak melibatkan empat orang Tongcu, dari sini dapat diketahui kalau mereka sudah bertekad untuk berhasil dalam jebakan ini. Lui Kun berpaling dan memandang Pek Jau-hui beberapa kejap, lalu katanya lagi dengan nada bangga, "Akan kulihat apakah kau bisa terbang ke langit? Hahaha, hari ini Toaya pasti akan menghukummu habis-habisan!" Pek Jau-hui tetap tak bersuara, dia membungkam dalam seribu basa. Waktu itu ada dua orang berjalan masuk ke dalam ruangan. To Pa-tin segera berseru kepada kedua orang itu, "Sampaikan perintahku, tinggalkan dua puluh orang pemanah di sini, suruh mereka memanah orang ini sampai mampus." "Apakah sudah boleh dimulai?" tanya seorang di antaranya. "Sudah boleh, aku ingin menonton monyet yang kena panah ........... hahaha terdengar orang itu membentak nyaring, dua puluhan orang pemanah segera berlarian masuk, ada yang berdiri, ada yang setengah berjongkok, anak panah semuanya diarahkan ke tubuh Pek Jau-hui. Kembali To Pa-tin tertawa terkekeh-kekeh, ejeknya, "He, monyet busuk, sebelum mampus apakah kau akan meninggalkan pesan terakhir?" "Benar," jawab Pek Jau-hui.

"Kalau ada pesan, cepat katakan, jika tidak, begitu panah dilepaskan, mau bicara pun sudah tak sempat lagi." "Pergilah mampus!" kata Pek Jau-hui sambil menarik napas panjang. Baru selesai ia berkata, To Pa-tin benar-benar sudah mampus. Ia mati dihajar dua puluh batang panah, enam puluh batang mata panah menancap semua di atas tubuhnya. ooOOoo 25 . Kesepian dan k etidak -adilan Sebetulnya perawakan tubuh To Pa-tin itu kurus cebol, tapi secara tiba-tiba 'membengkak' sangat besar. Tatkala seseorang sedang merasa gembira, di saat merasa amat bangga, sering kali tubuhnya pun akan 'membengkak', tentu saja membengkak dalam perasaan saja, hanya dapat dirasakan dalam hati dan bukan terwujud dalam kenyataan. Tapi membengkaknya tubuh To Pa-tin saat ini benar-benar membengkak besar, disebabkan badannya yang kurus cebol itu telah ditembus enam puluh batang anak panah. Bayangkan saja, jika tubuh seseorang dihajar oleh begitu banyak anak panah, badan siapa yang tak akan membengkak? Oleh sebab itu tubuh To Pa-tin sama sekali tak roboh ke tanah, karena batang panah telah menahannya, bahkan menahan mayatnya hingga tak menyentuh bumi. Sepasang mata Lui Kun terbelalak semakin lebar. Bersamaan waktunya, jaring yang semula sudah mengikat kencang tahu-tahu mengendor kembali, Pek Jau-hui melompat keluar dari balik jaring, langsung menerjang ke arahnya. Lekas Lui Kun menggunakan Giok-coa-huan-sin (ular k emala mem balik tub uh) untuk mengegos ke samping, lalu melejit dengan jurus Hek-hau-kian-wi (harimau hitam menggulung ekor), melesat ke depan dengan jurus Ui-liong-coan-sin (naga kuning membalik tubuh) dan akhirnya melejit dengan jurus Hi-ya-liong-bun (ikan melompati pintu naga). Sekaligus dia menggunakan empat macam gerakan yang berbeda untuk meloloskan diri. Sementara menghindar, sepasang tangannya dengan jurus To-coan-im-yang (memutar-balikkan Im-yang), sepasang kaki¬nya dengan gerakan Liong-bun-sam-ci-long (pintu naga diterjang ombak tiga kali) melancarkan serangan sambil membuka jalan untuk melarikan diri, tampaknya ia memutuskan untuk kabur lebih dulu sebelum melakukan tindakan lain. Serangkaian tendangan berantai Liong-bun-sam-ci-long ini kelihatannya seperti menyerang dengan keras lawan keras, padahal yang benar ia sedang berusaha kabur, asal musuh merangsek maju, maka ketiga tendangannya itu akan berubah jadi tendangan yang mematikan. Dengan mengandalkan satu jurus tiga gerakan ini, Lui Kun pernah sekaligus membantai lima orang dan melukai empat orang jago lihai dalam waktu yang bersamaan.

Apalagi saat ini dia tidak berniat melukai musuhnya, tapi lebih mengutamakan keselamatan diri sendiri. Asal bisa lolos dari serangan balik lawan, dia dapat segera mundur ke atas ranjang, asal tiba di atas ranjang, maka dia pun bisa segera menggerakkan semua tombol alat rahasianya dan melarikan diri dengan menyusup masuk ke ruang rahasia bawah tanah. Kaki kirinya yang melepaskan tendangan dalam waktu singkat sudah tiba di hadapan Pek Jau-hui, tampaknya serangan itu segera akan mengenai sasarannya ............. Mendadak, entah apa sebabnya tahu-tahu kakinya jadi lemas. Ternyata Pek Jau-hui telah menyentilkan jari tengahnya menotok jalan darah penting di kakinya, begitu kena sodok, kontan kaki itu jadi lemas dan seolah terlepas dengan tubuhnya. Tapi Lui Kun masih memiliki kaki kanan. Kaki kanannya tinggal setengah inci lagi segera akan menghajar dada Pek Jau-hui, tapi jari tengah pemuda itu justru pada saat dan posisi yang paling pas telah menotok jalan darah di kakinya, tak ampun kaki kanan Lui Kun pun jadi lemas, seolah sudah cacad saja, sama sekali tak ada gunanya lagi. Oleh karena kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi, otomatis Lui Kun tak sanggup melancarkan tendangan yang ketiga. Akan tetapi Pek Jau-hui justru masih terus melakukan totokan jari yang ketiga, totokan itu langsung menghajar jalan darah Tiong-ki-hiat di tubuh lawan. Seketika itu juga Lui Kun merasa sekujur badannya jadi lemas, sama seperti sepasang kakinya, lemas dan sama sekali tak bertenaga. Menyusul kemudian ia mendengar Pek Jau-hui berkata kepada Tio Thiat-leng, Tongcu kesembilan yang baru saja dijabatnya, "Si Say-sin, terima kasih atas bantuanmu." Sebenarnya Lui Kun sudah lemas tak bertenaga, tapi begitu mendengar nama "Si Say-sin", dia benar-benar jadi runtuh. Lemas, tidak hanya seluruh badannya kehilangan tenaga sehingga anggota tubuhnya sama sekali tak mampu bergerak, tapi runtuh menyangkut kejiwaannya, kini seluruh pikiran dan perasaannya telah hancur luluh. Sekarang dia sudah digelandang keluar, sambil mengertak gigi menahan amarah teriaknya, "Tio Thiat-leng, kau manusia rendah, kau jahanam, kau ....... kau bedebah!" "Betul, Tio Thiat-leng memang seorang manusia rendah, jahanam dan bedebah!" jawab Si Say-sin dengan nada berat. Lui Kun sadar, kini Tio Thiat-leng sudah terbongkar iden¬titas sesungguhnya, dia pasti akan membunuhnya untuk melenyapkan saksi, karena itu teriaknya lagi dengan penuh perasaan dendam, "Kau telah mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau telah menjual Luicongtongcu, kau bukan manusia!"

"Tio Thiat-leng memang bukan manusia!" kembali Si Say-sin menjawab, "dia telah mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menyia-nyiakan harapan dan bimbingan Lui Sun, tapi sayang, aku bukan Tio Thiat-leng, aku adalah Si Say-sin." Setelah berhenti sejenak, sambil mendongakkan kepala dia melanjutkan, "Si Say-sin adalah orang So-kongcu, tentu saja dia harus setia kepada Kim-hong-si-yu-lau!" Kini Lui Kun benar-benar putus asa. "Tak heran kalau kau bisa memberi kabar kepadaku, minta aku berhati-hati," katanya, "bahkan kau pun bisa meramalkan kalau dalam dua hari ini orang-orang Kim-hong-si-yu-lau bakal datang membunuhku, ternyata kau memang mengaturku agar masuk perangkap, kau memang berniat mempecundangi diriku." "Kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin aku bisa kau percaya? Bagaimana mungkin kau bisa menugaskan diriku untuk berjaga di sini? Seandainya kau tidak melakukan persiapan secara hatihati, mana mungkin Lui Sun akan mengijinkan diri¬mu datang berbuat cabul di tempat ini?" "Bagus, bagus sekali," Lui Kun semakin mendongkol, "ternyata So Bong-seng memang hebat, hanya mengandalkan Si Say-sin seorang pun aku sudah dibuat tertipu habis-habisan." "Membuat aku pun ikut tertipu," sambung Pek Jau-hui tiba-tiba. "Oya?" Si Say-sin menyahut. "Ternyata orang yang benar-benar sedang melaksanakan tugas adalah kau, bukan aku. Aku hanya bertanggung jawab untuk datang masuk perangkap, kaulah peran utama dalam pelaksanaan tugas ini." "Ada dua hal kau harus mengerti," ujar Si Say-sin dengan suara berat. "Katakan!" "Pertama, tanpa kau, mustahil aku bisa turun tangan, maka perananku saat ini hanya peran pembantu," ujar Si Say-sin dengan suara berat, "kedua, bila So-kongcu menggunakan seseorang yang baru dikenalnya sehari untuk mendampingi tugas seorang anak buahnya yang sudah berbakti selama banyak tahun kepadanya, bahkan membiarkan dia memikul tugas berat ini seorang diri, bukankah hal ini sama artinya dengan dia telah menganggapmu melebihi seorang anak buah setianya yang sudah lama ikut bersamanya?" Mimik muka Pek Jau-hui saat ini mirip dengan mimik seseorang yang baru pertama kali berjumpa dengan Si Say-sin, kesannya, Si Say-sin adalah seorang jago berhati telengas dan menghalalkan secara cara untuk mencapai tujuan, tapi sekarang ia baru sadar, dalam banyak hal Si Say-sin selalu berpegang teguh pada prinsip, dia adalah seorang yang tak pernah mau bergeser dari prinsip serta pandangan hidupnya. Prinsip serta pandangan hidupnya adalah setia kepada So Bong-seng. "Ah, ternyata masih tetap ada .........." Pek Jau-hui manggut-manggut. "Masih ada apa?" tanya Si Say-sin keheranan. Pek Jau-hui tertawa lebar. "Ternyata Tiong dan Gi masih tetap ada dalam dunia persilatan."

"Bila kita yakin kalau itu ada, dia pun ada, bila kau yakin itu tak ada, paling tidak perasaanmu akan jauh lebih tersiksa." "Entah bagaimana pula dengan orang ini?" ujar Pek Jau-hui kemudian sambil melirik sekejap ke arah Lui Kun yang tergeletak lemas di lantai, "apakah dia memiliki perasaan Tiong dan Ci?" "Seorang lelaki sejati boleh mati tak sudi dihina, mau bunuh cepatlah bunuh!" seru Lui Kun gusar. "Kau ingin mampus?" tanya Si Say-sin dengan wajah sangat serius. Lui Kun agak melengak, dia seakan tidak tahu kalau dirinya masih punya kesempatan untuk memilih. Terdengar Si Say-sin berkata lagi dengan nada seakan merasa sayang, "Kalau dia benar-benar ingin mati, aku pun tak bisa berbuat apa-apa lagi" "Sungguh sayang," Pek Jau-hui turut menghela napas panjang, "padahal kalau bisa hidup terus sungguh menyenangkan, sekarang usianya paling baru dua puluhan tahun, jika tak mati, paling tidak masih bisa hidup empat puluh tahun lagi, berarti masih cukup waktu untuk menikmati...." "Ai," Si Say-sin menggeleng sambil menghela napas pula, "cukup bicara dari jumlah bini dan gundiknya, paling tidak masih cukup untuk dinikmati tiga puluhan orang lelaki, sementara harta kekayaannya paling sedikit dapat membuat makmur enam puluhan orang, tapi dia sendiri............ percuma punya kemampuan hebat, akhirnya hanya bisa berbaring kedinginan dalam gundukan tanah liat." "Ya, apa boleh buat, kalau dia sendiri yang ingin mati, siapa pula yang bisa memaksanya untuk tetap hidup?" Beberapa kali Lui Kun seperti mau berbicara, tapi akhirnya dia urungkan niatnya itu. Sementara peluh sebesar kacang kedelai sudah jatuh bercucuran membasahi jidat maupun seluruh tubuhnya. Dia tidak tahu kalau dirinya ternyata bisa lolos dari kematian, begitu ia menjumpai dirinya masih punya kesempatan untuk tetap hidup, seluruh keberanian serta jiwa nekat yang diperlihatkannya tadi, kini hilang lenyap tak berbekas, sekarang dia malah merasakan tubuhnya betul-betul lemas, bukan perasaan runtuh, melainkan perasaan ngeri bercampur seram. Sekarang dia mulai takut, takut mati! Takut memang sebuah perasaan yang aneh, begitu mulai merasa ketakutan maka makin lama perasaan takut yang menyerang semakin menghebat. Dia sudah menggigit bibirnya hingga berdarah, tapi deretan gigi bagian atasnya masih menggigit kencang bibir bagian bawah, ia membiarkan dua deret giginya saling beradu hingga berbunyi gemerutuk. Tak tahan Si Say-sin berkata, "Kelihatannya kita tak usah menunggu lagi, kalau toh dia masih ingin tetap setia sampai mati, terpaksa kita harus segera turun tangan." "Lebih baik kau saja yang bertindak sebagai algojo," tampik Pek Jau-hui. "Ya, mengingat dulu kami pernah menjadi rekan kerja, terpaksa akan kubiarkan dia mati secara utuh, sebisanya jangan sampai membuat ia tersiksa hebat menjelang ajalnya

Akhirnya Lui Kun tak sanggup menghadapi teror batin semacam itu, dia menjerit keras, "Tunggu sebentar!" Dua orang itu segera menghentikan gerakan, saling berpandangan dan tertawa. Tampaknya Lui Kun sudah berada dalam posisi yang paling menentukan dalam kehidupannya, dengan bibir gemetar akhirnya dia mengambil keputusan, tanyanya dengan suara keras, "Jika aku ingin hidup terus, apa imbalannya?" "Setiap orang tentu harus membayar dengan suatu nilai jika ingin hidup terus," kata Si Say-sin serius, "ada orang yang mesti membayar agak mahal, tapi ada juga hanya membayar ringan, tapi terlepas berat atau tidaknya imbalan yang harus kau bayar, kami tetap punya cara untuk membuat kau tak akan menyesal, percaya tidak?" "Aku percaya!" hujan peluh benar-benar telah membasahi sekujur badan Lui Kun. "Bagaimana dengan dua puluh orang ini? Mereka tak akan menjadi masalah bukan?" tiba-tiba Pek Jau-hui bertanya. "Mereka semua adalah orang kepercayaanku, sama seperti aku adalah orang kepercayaan Sokongcu. Jika seseorang sudah tak percaya lagi dengan orang kepercayaannya, hal ini sama artinya dengan dia sudah tak percaya lagi pada diri sendiri." Dia berpaling dan tanyanya lagi kepada pemuda itu, "Apakah kau yakin Lui Kiau benar-benar sudah jatuh pingsan?" "Dalam dua jam mendatang, biarpun kau memukul gem-breng keras-keras di sisi telinganya, dia tetap tak akan mendengar apa-apa," sahut Pek Jau-hui penuh keyakinan, "kalau Lui Cian menggunakan ilmu jari pelenyap kesadaran, maka ilmu jariku adalah ilmu jari pengejut kesadaran, daya kemampuanku sama sekali tak di bawah kemampuan It-sin-ci, dalam hal ini kau boleh percaya penuh." "Tentu saja aku percaya penuh dengan perkataanmu, aku Si Say-sin pun tidak berharap bisa menjumpai kehebatan ilmu jarimu itu, karena aku tidak berharap suatu hari nanti kau justru menggunakan ilmu jari itu untuk menghadapi kami empat malaikat bengis." "Semoga saja tidak," Pek Jau-hui tertawa, "sebab menghadapi empat malaikat bengis merupakan satu kejadian yang sangat menakutkan." Setelah berhenti sejenak, tambahnya dengan nada setajam pisau belati, "Namun kejadian ini merupakan satu tantangan yang sangat menawan pula." Ada banyak manusia di dunia ini yang sejak lahir sudah gemar berpetualang, menyerempet bahaya, biasanya orang-orang semacam ini senang akan rangsangan, suka akan ketegangan, seperti misalnya menaiki kuda yang berlari cepat, berjudi dengan taruhan yang luar biasa besarnya, mengunjungi tempat yang paling panas, membunuh orang yang paling sulit dibunuh dan sebagainya. Tak bisa disangkal, pekerjaan atau perbuatan semacam itu merupakan sebuah tantangan bagi mereka. Mereka suka menghadapi tantangan semacam ini, karena mereka pun senang menciptakan sebuah tantangan bagi diri sendiri.

ooOOoo Ong Siau-sik tidak termasuk manusia jenis itu, dia tak mau melakukan tantangan, apalagi tantangan bagi diri sendiri, dia lebih suka main-main. Lui Heng adalah seorang jago yang gampang naik darah, dia pernah mendengar tentang, hal ini, maka dia ingin membuatnya gusar, dia ingin tahu sampai dimana ia sanggup membuatnya gusar! Lui Heng adalah seorang jago yang tidak mudah dihadapi, dia pun mendengar tentang hal ini, maka dia ingin mengganggunya, dia ingin tahu sampai dimana susahnya menghadapi orang ini! Lui Heng adalah seorang jago yang sama sekali tak memiliki 'kelemahan', dia pun mendengar tentang hal ini, maka dia ingin mencoba untuk bertarung melawannya, ingin tahu apa yang disebut manusia yang tak memiliki kelemahan. Kecuali karena dorongan kepentingan dan keuntungan, ada sementara orang melakukan suatu pekerjaaan hanya dikare nakan kesepian. Ketika seseorang sedang kesepian, dia akan mencarikan suatu pekerjaan yang bisa membuat dirinya tak perlu kesepian lagi, oleh sebab itu bila seseorang melakukan suatu pekerjaan dikarenakan masalah kesepian, maka akan tersedia alasan yang cukup bagi dirinya untuk melakukan pekerjaan apa pun. Itulah sebabnya terkadang kesepian justru lebih menakutkan daripada suatu kematian. Ada sementara orang melakukan suatu pekerjaan karena terdorong rasa ketidak adilan, ketidak adilan merupakan semacam semangat. Orang yang suka menolong kaum lemah, menindas kaum kuat mungkin saja melewati suatu kehidupan yang penuh keramaian, sekalipun dia tak akan mendapat keuntungan apa pun bahkan harus berjuang keras demi orang lain, tapi semangat 'ketidak adilan' sudah menjadi alasan yang cukup baginya untuk melakukan hal-hal semacam itu. Sebab ada kalanya semangat ketidak adilan justru jauh lebih membangkitkan semangat hidup daripada yang lain. Tapi bagi Ong Siau-sik, dia bukan lantaran kesepian, juga bukan lantaran semangat ketidak adilan saja, selain demi So Bong-seng, dia pergi mencari Lui Heng demi keinginannya untuk bermainmain. Suka bermain termasuk sifat dasar setiap makhluk yang disebut manusia, ketika seseorang mulai merasa tak suka bermain, semangat hidupnya akan mulai melemah, oleh sebab itu anak-anak paling suka bermain, sedang orang tua yang masih mengharapkan semangat hidupnya tetap tinggi, ada pula yang 'tua-tua keladi, makin tua makin menjadi', mereka pun suka bermain-main. Tentu saja suka bermain macam begini ibarat pancaran sinar senja, kilauan cahaya yang sesaat sebelum benar-benar menjadi gelap. Lui Heng bukan seseorang yang enak dibuat permainan. Ketika Ong Siau-sik pergi mencarinya, ia sedang melampiaskan perasaan bencinya. Caranya untuk melampiaskan rasa bencinya adalah dengan membenturkan diri ke dinding. Tentu saja dia tak akan menggunakan badannya untuk membentur dinding, dia bukan kerbau, bukan pula gajah, dia adalah Lui Heng, maka dia menggunakan tangan kiri dan kanannya untuk menghantam dinding.

Tenaga pukulannya yang membentur dinding akan memantul balik, hawa pukulan yang memantul makin lama sema¬kin menguat hingga membentuk satu pusaran angin yang kuat, ia berdiri di tengah lingkaran pusaran, membiarkan tubuhnya dikelilingi tenaga pukulan yang sangat kuat itu. Ketika tenaga pusaran itu membalik, maka dia akan melawan tenaga itu dengan pukulan lain, dia tak akan membiarkan badannya terpental mundur, dia pun tak akan membiarkan tenaga pantulan itu menghantam ke tubuhnya. Dengan cara ini pula Lui Heng melatih tenaga pukulannya. Dia tak ingin membuang percuma semua perasaan bencinya, karena itu dengan memanfaatkan tenaga pantulan dan perasaan benci, ia melatih diri dengan tekun. Ia mempunyai nama besar, mempunyai kedudukan tinggi, kungfu yang dimiliki pun sangat hebat, siapa lagi yang berani mengganggunya? Tapi ia tetap rajin berlatih, selamanya tak pernah melepaskan kesempatan untuk melatih diri. Kesuksesan seseorang ditopang oleh tiga syarat, pertama, dia harus berbakat, termasuk cerdas, kedua, dia mesti rajin, mau berlatih tekun, ketiga, dia harus punya nasib baik, dengan begitu baru akan memperoleh kesempatan. Bila ketiga syarat itu tersedia, tidak sulit bagi orang itu untuk mencapai tingkat kesuksesan yang luar biasa. Lui Heng mempunyai bakat, dia pun mau berlatih tekun, sementara dia pun merupakan orang kepercayaan keluarga Lui, oleh karena itu ilmu pukulan Ngo-lui-hong-teng (lima guntur meledakkan puncak) yang berhasil dikuasainya merupakan ilmu pukulan paling hebat di antara anggota keluarga Lui lainnya. Sayang dia masih belum dapat menandingi ilmu pukulan Ngo-lui-thian-sim (lima guntur menghajar inti langit) milik Lui Tong-thian, itulah sebabnya dia bersumpah akan berlatih terus hingga kepandaiannya mampu melampaui Lui Tong-thian. Dia tak berani bersaing dengan Congtongcu Lui Sun, tapi punya ambisi yang kuat untuk bersaing dengan saudara keduanya, Lui Tong-thian. Bila ingin mengungguli orang yang lebih tangguh, dia harus berlatih tekun, karena cara ini merupakan cara paling tepat dan paling mendatangkan hasil. Lui Heng sembari melatih ilmu Ceng-san-lui-sim-hoat di tengah gulungan angin pukulannya, ia membayangkan kembali kejadian yang dialaminya kemarin. Terbayang kembali kejadian kemarin, ketika bertemu de¬ngan So Bong-seng, namun dia tak mampu melancarkan serang¬an, ia merasa benci dan dendam sekali, saking bencinya ia sam¬pai mengertak gigi. Setiap kali rasa bencinya tumbuh, dia tak tahan ingin sekali membunuh orang. Pagi tadi dia telah membunuh tiga orang. Ketiga orang itu, satu adalah pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, seorang adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang berkhianat dan seorang lagi adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Biau-jiu-tong dari kota Lokyang.

Pagi tadi tatkala untuk pertama kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia telah menangkap sang mata-mata dari perkumpulan Biau-jiu-tong, melemparkan orang itu ke pusat pantulan tenaga pukulannya dan membiarkan orang itu terhajar tenaga pantulannya hingga hancur isi perutnya dan mati dengan muntah darah. Ketika untuk kedua kalinya timbul perasaan benci dalam hatinya, dia bekuk sang pengkhianat dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan menggunakan cara yang sama membiarkan orang itu terhajar tenaga pantulan yang dilepaskannya, dia baru puas setelah menyaksikan tubuh orang itu tercabikcabik hingga hancur. Ketika rsa bencinya muncul untuk ketiga kalinya, dia perintahkan orang untuk menyeret datang sang pengkhianat dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kemudian dengan melepaskan pukulan yang bertubi-tubi dia menghajar tubuh orang itu secara kalap, akibatnya bukan saja batok kepalanya retak, sepasang baji matanya sampai mencelat keluar diiringi semburan darah bagaikan pancuran air, pemandangan waktu itu amat menggidikkan. Lui Heng benar-benar merasa puas. Tapi dia masih ingin mencoba sekali lagi, dalam sehari minimal dia harus lima enam kali melampiaskan rasa kesal dan bencinya sebelum perasaannya benar-benar jadi lega. Kali ini dia bersiap melampiaskan rasa kesal dan bencinya itu terhadap anggota Kim-hong-si-yu-lau . Menghajar mampus musuh memang merupakan cara yang terbaik untuk melampiaskan rasa kesal dan bencinya. Oleh sebab itu dia membuyarkan dulu tenaga pantulannya, kemudian baru bertepuk tangan beberapa kali. Musuh segera akan didorong masuk ke sana, menjadi kelinci percobaannya, ia sudah memutuskan akan membuat musuhnya kali ini mati dengan cara yang jauh lebih sadis, jauh lebih mengenaskan ketimbang ketiga orang korban sebelumnya. Lui Heng memang bukan seorang manusia yang enak diajak bermain, dia suka melampiaskan napsu secara berlebihan. Dia paling suka menggunakan nyawa orang lain untuk memuaskan napsunya. ooOOoo 26 . Melamp iaskan naps u dan permai nan me narik Korban yang akan digunakan untuk melampiaskan napsu telah digiring masuk. Kembali seluruh tubuh Lui Heng dipenuhi oleh napsu benci yang meluap. Orang yang digiring masuk ternyata bukan musuh yang sudah ia perintahkan anak buahnya untuk dipersiapkan, sebab dia masuk sendiri ke sana, bahkan orang ini pernah dijumpainya satu kali, yakni ketika berada di depan loteng Sam-hap-lau kemarin siang, orang itu pernah berjalan bersama So Bong-seng. Jadi orang ini benar-benar adalah musuhnya.

Sejak dulu hingga sekarang, musuh yang dibawa masuk untuk melampiaskan napsunya selalu didorong, bahkan setengah diseret, ini disebabkan orang-orang itu selalu sudah dibuat ketakutan setengah mati sehingga sudah tidak berbentuk manusia lagi. Tapi orang yang muncul kali ini tampil dengan wajah cengar-cengir, sama sekali tak nampak ketakutan, melihat ini Lui Heng semakin benci, semakin jengkel, giginya sampai gemerutukan saking gatalnya, namun dia tidak langsung menyergap ke depan, dia tak ingin turun tangan secara terburu-buru. Benci dan terburu napsu jelas merupakan dua hal yang berbeda, rasa benci terkadang bisa menggabungkan semangat dan kekuatan menjadi satu, sebaliknya terburu napsu justru merupakan pemborosan semangat serta tenaga. Oleh sebab itu kendatipun rasa bencinya sudah mencapai ubun-ubun, dia masih mencoba untuk menahan diri. "Jadi kau datang untuk mengantar kematian?" ia menegur. "Benar," Ong Siau-sik tertawa semakin riang, "aku memang datang untuk mengantar kematian, sayang tak seorang pun dari anak buahmu yang bersedia mendorongku masuk ke sini, terpaksa aku merobohkan dulu orang-orangmu baru kemudian melangkah masuk sendiri kemari." Orang ini sanggup menyusup masuk ke tempat latihan kungfunya, mampu merobohkan delapan orang murid kebanggaannya, sementara dia sendiri sama sekali tidak menyadari akan hal ini, bisa dibayangkan betapa tinggi dan hebatnya kepandaian silat orang ini. Lui Sun agak bergidik, namun perasaan itu tak dikemu-kakan keluar. "Jadi kau datang untuk membunuhku?" ia menegur. "Betul," jawab Ong Siau-sik masih cengengesan. "Memangnya kita punya dendam?" "Tidak ada." "Ada ganjalan?" "Juga tidak ada," jawab Ong Siau-sik cepat, "tapi ada kebencian." "Kebencian?" Lui Heng keheranan. "Berhubung kau bernama Lui Heng sementara aku paling senang melihat orang membenciku, terlebih suka dengan tampangmu yang penuh kebencian, maka aku datang kemari," kata Ong Siau-sik sambil tertawa terkekeh-kekeh, "tahukah kau, setiap kali kau tunjukkan kebencianmu, tampangmu persis seperti seekor babi, apalagi memakai celana merah .......... hahaha ............ tadinya kusangka kepala babimu itu adalah pantat seekor monyet Lui Heng meraung gusar, dia sudah tak sanggup menahan diri lagi. Seluruh rasa benci dan kesalnya dilampiaskan keluar semua.

Detik itu juga dia mengambil keputusan, dia ingin melenyapkan orang di hadapannya ini dari muka bumi, bukan cuma badannya, sepotong daging, bahkan sekerat tulangnya pun tak boleh tetap utuh di muka bumi! Begitu melancarkan serangan, ia melepaskan pukulan dengan ilmu Ceng-san-lui (guntur yang menggetarkan bukit). Kepalan kanannya melepaskan satu tonjokan, sementara telapak tangan kirinya melancarkan sebuah tolakan dahsyat. Lekas Ong Siau-sik melompat mundur, sembari berusaha menggunakan tangan kirinya memunahkan ancaman tangan kanan lawan, tangan kanannya menangkis serangan tangan kiri musuh. Belum sempat empat tangan saling membentur, Ong Siau-sik sudah merasakan gulungan angin kencang bagaikan guntur itu bukan datang dari tangan kiri maupun lengan kanan musuh, tapi muncul bagaikan gulungan ombak di tengah samudra dari tengah-tengah lengannya, gulungan angin pukulan itu langsung menghimpit dadanya. Ong Siau-sik segera miringkan badan sambil mencakar ke belakang, dia congkel keluar sepotong batu bata kemudian ditamengkan di depan badan. "Braaakkk!", diiringi suara benturan, batu bata itu hancur berkeping, bukan hanya berkeping, bahkan jauh lebih lembut daripada bubuk tepung. Daya penghancur yang dihasilkan pukulan Ceng-san-lui ternyata jauh melebihi daya ledak bahan mesiu! Sayangnya, kali ini daya penghancur itu tidak membuahkan hasil, tenaga ledakan yang maha dahsyat itu hanya mampu menghancurkan sebiji batu bata. Lui Heng semakin meradang, dia makin mendendam. Bukannya mundur, Ong Siau-sik malah merangsek maju ke depan, memanfaatkan peluang itu dia menyusup masuk dan semakin mendekati tubuh lawan. Kembali pukulan yang menggelegar meluncur tiba silih berganti, serangan demi serangan dilancarkan tiada putusnya. Kali ini Ong Siau-sik tidak menghindar, sambil memutar ujung baju kirinya dia menerobos masuk ke tengah lingkaran tenaga pukulan lawan. Ujung bajunya seketika menggelembung besar bagaikan sebuah balon, sementara ujung baju kanannya kembali dilontarkan. Kali ini ujung baju kanannya dilempar ke arah dinding bangunan sebelah timur. "Blaaaam!", diiringi suara benturan dahsyat, dinding batu itu hancur berantakan dan berserakan kemana-mana. Menyusul benturan dahsyat itu, ujung baju Ong Siau-sik ikut mengkeret layu, namun tubuhnya tetap sehat walafiat seakan tak pernah terjadi sesuatu apa pun. Rupanya dia telah mengeluarkan ilmu I-hoa-ciap-bok-sin-kang (ilmu memindahkan bunga menyambung kayu) yang sudah lama punah dari dunia persilatan untuk memindahkan tena¬ga serangan Ceng-san-lui yang dilancarkan Lui Heng ke atas dinding batu itu.

Melihat serangan pertama berhasil dijebol Ong Siau-sik, serangan kedua dialihkan ke dinding, Lui Heng jadi mencak-mencak gusar, dengan mata merah dan nyaris muntah darah saking dongkolnya, serangan ketiga segera dilontarkan. Serangannya kali ini jauh lebih menakutkan ketimbang dua kali serangannya yang pertama, bahkan dibandingkan gabungan kedua serangan yang pertama pun masih lebih menyeramkan, tak disangkal rasa benci Lui Heng sudah mencapai puncaknya. Kini dia sudah melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ong Siau-sik seakan ingin melompat mundur untuk menghindar, namun belum sempat ia berbuat sesuatu, serangan dahsyat itu telah bersarang telak di atas dadanya. Seluruh tubuh Ong Siau-sik terlempar ke tengah udara, sedemikian kerasnya lemparan itu hingga punggungnya menghantam di dinding, lalu seperti seekor ikan yang meletik di tanah, ia menggeser tubuhnya ke arah lain dan melompat bangun bagai seekor burung manyar putih, bahkan berdiri kembali dengan senyuman menghias wajahnya. Dinding batu yang berada di belakang tubuhnya seketika roboh berantakan diiringi suara dentuman yang amat keras. Butiran keringat sebesar kacang kedelai mulai membasahi jidat Lui Heng, setelah melancarkan tiga buah pukulan dahsyat, tenaga dalamnya sudah terkuras sangat banyak. Kelihatannya Ong Siau-sik memang amat sukar dihadapi, jauh di luar sangkaannya semula, bahkan sulitnya setengah mati, sulitnya minta ampun. Namun bagi Lui Heng, semakin susah menghadapi seseorang, semangat tempurnya biasanya semakin berkobar. Ia segera mengeluarkan ilmu sakti andalannya, Ngo-lui-hong-teng (lima guntur meledakkan puncak). Begitu Lui Heng mengeluarkan jurus Ngo-lui-hong-teng, bahkan dia sendiri pun tak tahan untuk memuji jurus serangannya ini telah digunakan secara sempurna tanpa cacad dan sama sekali tidak membuatnya terengah. Padahal setelah melepaskan tiga pukulan Ceng-san-lui tadi, tenaga dalamnya mengalami kerugian sangat besar, namun daya pukulan yang dihn silkan Ngo-lui-hongteng ini bukan saja tidak mengurangi tenaga serangannya, bahkan daya penghancur yang dihasilkan tujuh kali lipat lebih dahsyat dari kekuatan sesungguhnya, tidak kurang tidak lebih, persis tujuh kali! Jurus serangan Ngo-lui-hong-teng ini berbeda sekali dengan jurus Ceng-san-lui, kalau Ceng-san-lui dilepaskan ke udara sehingga ada kesempatan bagi musuh untuk meminjam tenaga membuang datangnya ancaman, sementara serangan Ngo-lui-hong-teng justru langsung membabat ubunubun musuh, jika terkena hantaman ini bukan saja tulang belulangnya akan hancur, bahkan sama sekali tak aaa peluang untuk lolos dalam keadaan hidup. Pada saat dia melepaskan serangan, tiba-tiba Ong Siau-sik mulai bergerak, merangsek, menerjang, menghindar, mencopot lalu membetot keras. Lui Heng menyangka musuh sedang berusaha meronta untuk menghindari kematian, cepat dia miringkan tubuh dan sekali lagi pukulan Ngo-lui-hong-teng dibabatkan ke bawah. Tangan kanan Ong Siau-sik dengan punggung menempel rambut, telapak menghadap ke atas, tiba-tiba kelima jari tangannya mengepal, sementara tangan kirinya menyambar ujung baju Lui Heng dan "Breeet!", tahu-tahu baju itu sudah terbetot hingga robek.

Dalam keadaan seperti ini, Lui Heng sudah tak ambil peduli apakah bajunya robek atau tidak, dia hanya ingin secepatnya menghajar Ong Siau-sik dan menghabisi nyawanya. Pukulan Ngo-lui-hong-teng sudah dilepas, serangan itu dilontarkan secara sempurna tanpa cacad sedikitpun dan langsung menghantam ke atas kepala lawan. Di atas kepala Ong Siau-sik sudah siap tangannya, tangan sebelah kanan, pukulan itu langsung menghajar di atas telapak tangannya itu. "Plok!", sobekan kain yang ada dalam genggaman tangan kiri Ong Siau-sik seketika hancur berkeping dan menyebar ke empat penjuru. Alhasil, Ong Siau-sik masih tetap berdiri. Ia sama sekali tidak mengalami cedera, paras mukanya kelihatan sedikit agak berubah, tapi dalam waktu singkat sudah pulih kembali seperti sedia kala. Hantaman Ngo-lui-hong-teng yang selama ini sangat dibangga-banggakan Lui Heng, apakah kemampuannya hanya untuk menghancurkan secarik robekan kain? Berubah hebat paras muka Lui Heng, dia makin benci, makin risau dan makin terkesiap. Terkesiap beda dengan benci, kalau benci lantaran ada dendam, tapi kalau terkesiap lantaran takut. Padahal selama ini belum pernah ada orang persilatan yang mendengar Lui Heng pernah takut, ia tak pernah takut terhadap siapa pun, tak pernah takut dengan persoalan apa pun. Tapi sekarang, Lui Heng benar-benar sedang terkesiap, terkesiap lantaran kaget dan tak menyangka. Mengawasi hingga hancuran kain berserakan kemana-mana, Ong Siau-sik baru menjulurkan lidahnya sambil bergumam, "Wouw, hebat, sungguh hebat, sampai kain pun bisa dihancurkan oleh tenaga pukulannya hingga hancur, luar biasa, sungguh luar biasa!" Dia sedang memuji Lui Heng. Tapi bagi pendengaran Lui Heng, ucapan itu justru jauh lebih menyiksa batinnya ketimbang ditampar orang ratusan kali. Pada hakikatnya dia menerima pujian itu sebagai sindiran yang tajam, ejekan yang sangat menyakitkan hati. Kalau didengar dari nada pembicaraan Ong Siau-sik, tampaknya dia sama sekali bukan lagi bertarung mati-matian melawan Lui Heng, tapi hanya ingin menjajal sejauh mana keberhasilan ilmu silat yang diyakininya, dia hanya ingin tahu apakah kungfunya memang hebat, kalau ampuh, keampuhannya sudah mencapai tingkatan yang mana. Lalu setelah tahu, setelah menyaksikan, ia pun memberi pujian, persis seperti se¬orang guru yang sedang memuji hasil karya muridnya. "Bagaimana?" jengek Ong Siau-sik lagi sambil tertawa cengengesan, "apakah masih punya jurus serangan lain yang jauh lebih ampuh?" "Masih!" Tentu saja jawaban itu bukan berasal dari Lui Heng. Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, segera terjadilah dua perubahan. Yang pertama adalah perubahan paras muka serta sorot mata Lui Heng.

Paras mukanya bukan saja telah berubah jadi normal kembali, bahkan ia kelihatan jauh lebih bersemangat, jauh lebih kosen, sorot matanya yang dipakai untuk memandang Ong Siau-sik persis seperti sorot matanya ketika memandang sesosok mayat. Perubahan kedua adalah dinding batu yang ada di sebelah utara tiba-tiba roboh ke tanah, dari belakang dinding yang roboh itu muncullah tiga orang. Dari tiga orang yang muncul itu, Ong Siau-sik sudah pernah bersua dua orang di antaranya, yang satu adalah nenek kedelai yang pernah dijumpainya di puing bangunan yang roboh sore itu, sementara yang lain adalah Lu Sam-ciam, jagoan yang sempat bertarung dengannya di Po-panbun waktu itu. Namun orang yang barusan berbicara bukan kedua orang itu. Sorot mata dan perhatian Ong Siau-sik saat inipun bukan tertuju ke tubuh mereka berdua, tapi tertuju ke tubuh orang ketiga. Kelihatannya selama ada orang ketiga, maka tak ada kesempatan bagi nenek kedelai dan jenderal tiga anak panah untuk ikut berbicara. Orang ketiga adalah seorang lelaki setengah umur yang kurus kering, kecil dan tinggal kulit pembungkus tulang.......... Begitu kurus kering orang itu sehingga setiap saat seakan bisa terbawa hembusan angin, tapi jika diteliti lebih seksama, maka akan terlihat kalau sisa daging yang menempel di tubuhnya itu jauh lebih keras daripada lempengan baja, setiap otot menempel ketat dengan tulang sehingga ketika ia menggerakkan tubuhnya, akan menimbulkan kekuatan yang luar biasa menakutkan. Ong Siau-sik segera menghembuskan napas panjang setelah menjumpai orang itu, katanya, "Kalau aku tak salah mene¬bak, seharusnya kau adalah Tongcu kedua dari perkumpulan Lak-hunpoan-tong, Lui Tong-thian." Tapi setelah berhenti sejenak, dengan lagak kemalas-malasan dia berkata lagi, "Semoga saja dugaanku keliru." Tentu saja dia berharap dugaannya keliru, sebab dengan kehadiran Lui Tong-thian, ditambah Lui Heng, Ciangkun tiga panah dan nenek kedelai, berarti ada empat jagoan tangguh telah hadir di situ, jangan lagi dia seorang, biar So Bong-seng datang sendiri pun belum tentu mampu menghadapi serangan gabungan keempat orang ini. Sekilas sorot mata sedih memancar dari balik mata lelaki setengah umur yang kurus kering itu, sahutnya perlahan, "Aku pun berharap tebakanmu itu keliru, tapi sayang ........... tebakanmu sedikitpun tak salah!" Keempat orang itu mulai melakukan pengepungan, bahkan lingkaran kepungan kian lama kian bertambah kecil. Tampaknya mereka sudah menunggu lama sekali di situ, mereka seakan sebuah jaring besar, jaring yang menunggu sang ikan masuk perangkap. Ong Siau-sik adalah sang 'ikan' yang sedang mereka tunggu.

Kelihatannya Lui Heng sendiri pun tidak tahu akan jaring perangkap itu, maka sewaktu mengetahui kemunculannya jaring lebar ini, dia terkejut bercampur girang, kemudian dengan pengalaman mereka yang sudah bekerja sama sekian lama, ia segera bergabung dalam pengepungan itu dan mulai memperkecil kepungan. Ia mendapat bagian berjaga di sisi selatan. Di sisi selatan terdapat lagi selapis dinding batu, tempat ini paling gampang dipertahankan sebab siapa pun yang ingin kabur lewat situ, dia harus melompati dinding batu itu terlebih dulu, dan ia merasa mampu untuk membantai musuhnya, biarpun harus membunuhnya sepuluh kali. Ong Siau-sik memandang sekejap ke samping kiri, kanan, depan dan belakang, lalu kepada Lui Tong-thian katanya, "Ternyata kau adalah seorang manusia yang menarik, jauh lebih menarik ketimbang dia." Ia menuding ke arah Lui Heng, kemudian tambahnya, "Sayang aku tak punya waktu untuk mengajakmu bermain, sedang dia pun tak ada waktu untuk bermain lebih jauh." Lui Tong-thian melengak, untuk sesaat dia hanya berdiri melongo. Kendatipun sekilas usianya nampak baru tiga puluh tahunan, sesungguhnya tahun ini dia sudah berusia lima puluh dua tahun. Dia memang pandai merawat tubuh, selama ini kehidupannya sederhana, latihan silat tak pernah dilupakan, malah dengan bertambahnya usia dia berlatih lebih tekun lagi, oleh karena itu selain kungfunya maju semakin pesat, tampangnya juga jauh lebih muda ketimbang usia sesungguhnya. Jangan dilihat perawakan tubuhnya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, padahal dia jauh lebih berbobot, posisinya jauh lebih terhormat ketimbang Ciangbunjin dari partai besar mana pun. Oleh sebab itu dia teramat jarang mendengar perkataan seperti apa yang diucapkan Ong Siau-sik barusan, sudah lama ia tak pernah mendengar perkataan semacam itu. Dari logat bicara anak muda itu, dia seakan sama sekali tidak memandang dirinya sebagai seorang musuh tangguh, malah dia dipandang sebagai teman bermain. Di kolong langit dewasa ini, manusia mana yang berani menganggap Lui Tong-thian sebagai seorang teman bermain? Bisa dibayangkan betapa gusarnya Lui Tong-thian setelah mendengar perkataan itu, tapi sebelum ia melakukan sesuatu, Ong Siau-sik sudah melancarkan serangan terlebih dulu. Dia langsung menyerang Lui Heng, sementara tangan yang lain sudah meraba gagang pedangnya. Tergopoh-gopoh Lui Heng melompat mundur ke belakang, dia tahu Jikonya pasti akan turun tangan menghadang kejaran si anak muda itu. Ciangkun tiga panah tidak tinggal diam, ia merangsek maju, panahnya ditusukkan ke punggung lawan. Nenek kedelai tak mau ketinggalan, baju rombengnya ditebarkan ke udara, mengurung batok kepala Ong Siau-sik.

Panah si panglima tiga panah yang jelas dilancarkan menu¬suk punggung musuhnya itu tiba-tiba patah jadi dua ketika sudah berada di tengah udara, panah itu langsung menusuk belakang kepala pemuda itu, bahkan dari ujung panah itu mendadak menyembur keluar dua mata panah lagi, dengan begitu ada tiga mata panah ditambah sebatang anak panah yang mengancam belakang kepala Ong Siau-sik! Beberapa hari lalu, baju rombeng milik si nenek kedelai ini pernah berhasil mempecudangi Wo Hucu, anak buah andalan So Bong-seng, asal tertempel baju langit tanpa nyawa Bo-mia-thian-i miliknya ini, maka bagian tubuh yang terkena segera akan membusuk. Oleh karena itu setiap kali si nenek kedelai hendak menggunakan baju langit tanpa nyawa itu, dia selalu mengenakan sarung tangan enam lapis, tiga lapis di antaranya dikenakan untuk melindungi lengan sendiri, dia kuatir senjata makan tuan, sebab termasuk dia sendiri pun tak tahan bila tersentuh racun ganas itu. Nenek kedelai adalah Tongcu ketujuh dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, sementara Lu Samciam, si panglima tiga panah itu adalah Tongcu kesepuluh, kini mereka berdua telah melancarkan serangan bersama-sama, tentu saja daya penghancur yang diciptakan sangat luar biasa, mereka memang sangat bernapsu untuk membunuh. Ong Siau-sik adalah orang yang hendak mereka bunuh. Berhadapan dengan musuh yang begini tangguh, tak ada pilihan lain bagi Ong Siau-sik kecuali harus menghadapinya. Pedang yang selama ini belum pernah digunakan, akhirnya harus dilolos juga dari sarungnya. Belum pernah ada orang menyaksikan Ong Siau-sik mencabut pedangnya. Orang lain hanya tahu dia memiliki sebilah pedang, pedang dengan gagang berbentuk bulan sabit, tapi belum pernah ada yang tahu dengan cara apa dia akan mempergunakan pedang aneh itu. Sebenarnya pedang apakah itu? Kalau dibilang senjata itu adalah sebilah pedang, sebenarnya keliru besar, senjata itu bukan pedang, tapi sebilah golok, golok lengkung! Golok bulan sabit. Padahal senjata yang dicabut Ong Siau-sik adalah sebilah pedang, kenapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi golok? Ternyata gagang pedang itu bukan gagang pedang sesungguhnya, melainkan sebilah golok, sebilah golok bulan sabit, melengkung persis alis mata seorang gadis. Sebilah golok bulan sabit yang amat kecil. Cahaya golok memancar sangat terang, begitu menyilaukan mata bagaikan sebuah bintang meteor. Dengan golok bulan sabit itu dia menangkis tusukan anak panah, ujung panah menahan baju langit, ketika Ong Siau-sik mendorong senjatanya ke depan, panah berikut baju rombeng itu seketika mencelat balik dan mengarah ke tubuh panglima tiga panah serta si nenek kedelai. Tampaknya kedua orang jago itu tidak menyangka akan kejadian ini, dengan perasaan terkesiap bercampur ngeri, lekas si nenek kedelai dan Lu Sam-ciam melompat mundur untuk menghindar. Lui Heng yang menyaksikan peristiwa itupun turut terkesiap dibuatnya.

Kemampuan Ong Siau-sik ketika menerima pukulan Ceng-san-lui dan Ngo-lui-hong-teng masih membekas dalam hatinya, kemampuan anak muda itu sudah menimbulkan perasaan ngeri di hati kecilnya, padahal saat itu Ong Siau-sik belum lagi melolos senjata andalannya. Tapi sekarang Ong Siau-sik sudah melolos senjatanya, bahkan sedang merangsek maju menghampiri tubuhnya, jelas anak muda itu sedang mengincar jiwanya, tak heran kalau Lui Heng menjadi ngeri sekali. Sambil berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, dia mulai mundur terus selangkah demi selangkah. Belakang tubuhnya adalah sebuah dinding batu, kini punggungnya sudah menempel di atas dinding, sudah tak ada jalan mundur lagi baginya. Tapi perasaan terkejut hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba dari ngeri ia nampak kegirangan, sebab dia melihat Lui Tong-thian sudah menghadang jalan pergi anak muda itu. Pada saat itulah tiba-tiba dadanya terasa sakit, dadanya seakan sudah tersumbat oleh semacam benda, menyusul kemudian dia pun dapat melihat benda yang menyumbat dadanya itu. Sebilah ujung pedang yang bernoda darah! Mula-mula ia merasa terkesiap, kemudian keheranan dan menyusul ia merasa ngeri sekali, rasa sakit yang luar biasa membuatnya menjerit keras, menjerit sekeras-kerasnya! Lui Tong-thian yang sedang bersiap-siap melancarkan serangan mematikan ke arah Ong Siau-sik pun secara tiba-tiba menyaksikan sebilah ujung pedang yang bernoda darah muncul dari balik dada Lui Heng. Ujung pedang itu berdarah, pedang yang terbuat dari kayu. Ujung pedang sudah menembusi dada Lui Heng! Tampaknya Lui Heng sudah tak mungkin hidup terus! Ternyata di balik dinding sebelah selatan masih ada musuh tangguh lainnya! Lui Tong-thian merasa pikirannya kalut, menggunakan kesempatan itu Ong Siau-sik segera menerobos lewat dan mundur dari situ. Tugasnya telah tercapai, tentu saja dia harus segera mundur! Bila ia tidak mundur, artinya dia ingin mencari mati di tempat itu! Ternyata tugasnya hanya mendesak Lui Heng agar mundur ke dinding sebelah selatan, So Bongseng berpesan begini kepadanya, "Kwik Tang-sin yang akan membereskan nyawanya". Sewaktu menyampaikan pesan itu, Pek Jau-hui tidak berada di tempat, karena inilah rencana yang telah diatur So Bong-seng. Mengenai siapa Kwik Tang-sin itu? Dia sendiri pun tidak tahu. Dia hanya menyaksikan pedang kayu milik Kwik Tang-sin berhasil menembus dinding batu lalu menembusi dada Lui Heng, menusuk

tanpa menimbulkan suara tapi sekali tusukan berhasil membunuh lawannya, serangan semacam ini benar-benar merupakan sebuah serangan maut yang susah diduga, susah dihindari! Tubuh Ong Siau-sik yang semula sedang merangsek ke arah Lui Heng, kini bagaikan sebuah batu ketapil melejit balik ke belakang untuk kemudian mundur dengan cepat. Lui Tong-thian tidak tinggal diam, kendatipun saat itu perhatiannya sedang bercabang, namun pukulan Ngo-lui-thian-sim miliknya sempat dilontarkan ke arah anak muda itu. Menyaksikan datangnya serangan Ngo-lui-thian-sim yang begitu dahsyat, Ong Siau-sik segera tahu kalau hari ini mau tak mau terpaksa dia harus melakukan satu tindakan. Terpaksa dia harus betul-betul melolos pedangnya. Kalau tadi dia hanya mencabut goloknya, golok bulan sabit yang berada pada gagang pedangnya, maka sekarang dia benar-benar telah mencabut keluar pedangnya. Jika pedang tanpa gagang, bagaimana caranya dia melolos pedang? ooOOoo 27 . Mencabut pedang Pedang tetap adalah pedang, tanpa gagang pun pedang itu tetap pedang. Pedang milik Ong Siau-sik, gagang pedangnya adalah sebilah golok, sementara pedang itu sendiri sama sekali tak bergagang. Teorinya sama seperti monyet yang tak berekor tetap disebut monyet, orang yang tak punya rambut tetap manusia dan kita pun tak bisa mengatakan pohon yang tak dapat berbuah itu bukan pohon. Ong Siau-sik telah mencabut pedangnya, sebuah tusukan kilat dilontarkan ke tubuh Lui Tongthian, tak ada yang bisa melukiskan bagaimana hebatnya serangan itu. Mau dengan perkataan, dengan lukisan, dengan tulisan, tak satu pun bisa digunakan untuk melukiskan serangan pedang yang dilancarkan, sebab serangan itu bukan cepat, bukan aneh, terlebih bukan luar biasa, tapi bukan saja mencakup keindahan yang luar biasa, bahkan gabungan dari kesemuanya itu mencerminkan tiga puluh persen keindahan, tiga puluh persen keanggunan, tiga puluh persen kegarangan dan sepuluh persen luar biasa. Manusia macam apa yang bisa menciptakan ilmu pedang sehebat dan seluar biasa ini? Ilmu yang dia gunakan sebenarnya ilmu pedang ataukah ilmu dewa? Pedang yang dipergunakan sebenarnya pedang dari bumi atau pedang dewa? Bersamaan waktu Ong Siau-sik mencabut pedangnya, Lui Tong-thian telah melancarkan pula serangan dengan Ngo-lui-thian-sim (lima guntur inti langit). Dengan satu gerakan cepat, kedua orang itu saling bertukar satu serangan. Menanti Lui Tong-thian berhasil melompati pagar dinding batu itu, di belakang tembok sudah tak ada orang, yang tersisa hanya sebuah gagang pedang kayu, gagang pedang yang masih berguncang keras.

Tubuh pedang kayu itu sudah menancap di atas dinding, tembus hingga ke sisi dinding sebelah. Lui Tong-thian tahu mata pedang telah menghujam di dada saudaranya, menembus tubuhnya hingga tembus ke depan, sementara sang pembunuh belum pergi terlalu jauh, karena gagang pedang masih terasa hangat. Namun dia tidak melakukan pengejaran, rasa kaget dan ngerinya belum juga mereda. Pakaian yang dikenakan, mulai dari bawah ketiak turun ke bawah sudah robek satu lingkaran besar, dari depan dada hingga belakang punggung pakaiannya terbelah jadi dua, masih untung tidak sampai melukai kulit badannya. Diam-diam ia terkesiap juga, dia tak mengira tusukan pedang si pemuda cengengesan yang dilepaskan dari depan, ternyata mampu membabat hingga merobekkan pakaian belakang punggungnya, ilmu pedang aliran manakah yang ia pergunakan? Andaikata dia tidak memiliki ilmu Tay-lui-sin-kang (tenaga guntur sakti) yang melindungi tubuhnya, bukankah serangan pedang itu telah menghabisi nyawanya? Yang lebih menakutkan lagi adalah andaikata bersamaan dengan serangan pedangnya tadi pemuda itu menerjang juga dongan menggunakan golok bulan sabitnya, maka kendatipun dia memiliki ilmu Ngo-lui-thian-sim, belum tentu jiwanya dapat diselamatkan. Siapakah anak muda itu sebenarnya? Ilmu pedang apa yang dilatihnya? Ilmu golok macam apa pula yang dia pergunakan? Siapa pula jagoan yang bersembunyi di belakang dinding? Bukan saja ia sanggup membunuh Lui Heng secara mudah, bahkan berada di hadapan dirinya dan kepungan kawanan jago lihai pun dia mampu meloloskan diri secara gampang. Lui Tong-thian merasa kepalanya sangat berat, seberat digantungi bongkahan besi baja yang sangat besar, sejak terjun ke dalam dunia persilatan, belum pernah ia rasakan keadaan seperti ini. Jika perkumpulan Lak-hun-poan-tong harus berhadapan dengan musuh setangguh ini, mungkin mereka harus meninjau kembali formasi yang digunakan untuk menghadapi musuh yang digunakan selama ini. Jika Kim-hong-si-yu-lau sudah memperoleh bantuan setangguh ini, jelas kekuatan mereka tak boleh dipandang enteng. Di satu sisi Lui Tong-thian dibuat sangsi bercampur kaget, di sisi lain Ong Siau-sik sendiri pun merasa jantungnya berdebar keras. Gempuran yang dilontarkan Lui Tong-thian memang benar-benar menggidikkan hati. Setelah berlarian hampir sejauh sepuluh li, dia baru melihat ada selembar bajunya yang rontok ke tanah. Robekan baju itu persis berada di bagian tubuhnya yang • terhajar pukulan tadi, bukan saja kain itu hangus terbakar, bahkan rambutnya yang ada di kening sebelah kiri pun ikut rontok sebagian, rambut itu rontok seperti dipapas dengan pedang.

Pukulan Ngo-lui-thian-sim yang betul-betul mengerikan! Padahal serangan maut itu tidak dilancarkan Lui Tong-thian dengan sepenuh tenaga, sebab waktu itu konsentrasinya sedang terbagi, justru karena perhatiannya bercabang, maka Ong Siau-sik mendapat peluang untuk melarikan diri. Jika serangan itu dilancarkan dengan sepenuh tenaga, mungkinkah daya perusaknya jauh lebih mengerikan? Dengan jelas Ong Siau-sik tahu bahwa ia berhasil mem¬babat tubuh lawan dengan menggunakan ilmu pedang Siau-hun-kiam-hoat (ilmu pedang pelenyap sukma) yang dimilikinya, tapi dengan perlindungan Tay-lui-sin-kang di seluruh tubuhnya, Lui Tong-thian berhasil lolos dari luka yang parah, ini mem¬buktikan musuh memiliki ilmu kebal yang hebat. Mungkin saja bila bersamaan dia menyerang juga dengan menggunakan ilmu golok kerinduan, ia sanggup mengungguli lawan. Tapi sebaliknya jika Lui Tong-thian balas melancarkan serangan dengan sekuat tenaga, sanggupkah dia menerima pukulan Ngo-lui-thian-sim itu? Semakin dibayangkan, diam-diam Ong Siau-sik merasa semakin tercekat hatinya. Masih untung So Bong-seng telah merencanakan segala sesuatunya secara baik, kalau tidak, mungkin dia sudah terjebak dalam kerubutan empat orang jago tangguh dari perkumpulan Lakhun-poan-tong, kalau sampai begitu, sulit rasanya bagi dia untuk mundur dengan selamat. Berpikir sampai di sini, lagi-lagi dia merasa keheranan. Siapakah Kwik Tang-sin itu? Kenapa ia bisa menyusup ke dalam markas besar perkumpulan Lakhun-poan-tong tanpa diketahui lawan, bahkan berhasil membunuh musuhnya dalam sekali gebrakan? Dia hanya merasa bahwa cara So Bong-seng mengatur rencana, tampaknya hanya ditujukan khusus orang per orang sehingga kecuali yang bersangkutan saja yang tahu setiap bagian, setiap langkah dan setiap detil yang harus dilaksanakan, orang lain tak akan mengetahui apa yang akan terjadi. Tentu saja Ong Siau-sik pun tidak melupakan satu hal ........... setelah urusan selesai, segera berangkat ke loteng Sam-hap-lau. Maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera berangkat menuju ke loteng Sam-hap-lau. Dia harus menghadiri pertemuan itu. Dia ingin tahu, pertemuan apakah yang diselenggarakan disana. Dalam kehidupan manusia, terkadang ada pertemuan yang sama sekali tak diduga, bahkan pertemuan yang tak bisa dihindari, tak bisa diperkirakan sebelumnya. Ong Siau-sik pergi menghadiri pertemuan itu hanya didasari rasa ingin tahu, menganggapnya sebagai suatu kejadian yang menarik sehingga dia tidak merasa berat atau masgul karenanya, manusia macam dia tak terlalu serius memandang soal menang kalah, dia pun tak pernah menganggap pergi berpetualang itu merupakan sesuatu peristiwa yang serius. Oleh sebab itu sepanjang perjalanan, Ong Siau-sik berjalan amat santai, dia melanjutkan perjalanannya sambil menonton keramaian yang ada di sepanjang jalan raya.

Di tengah pasar terlihat ada seorang kakek dan seorang gadis muda sedang menjual silat, wajah kakek itu amat lesu namun tidak menutupi sorot matanya yang penuh perhatian ditujukan pada gadis itu. Selain penjual silat, dia pun melihat ada seorang dayang sedang bergurau dengan seorang nyonya bergigi emas, ada lagi seorang pelayan sedang memasangkan pelana kuda bagi tuannya. Suasana di sekeliling tempat itu sangat ramai, aneka macam manusia bercampur-baur di situ, berbagai ragam manusia dengan segala aktivitasnya berbaur di tengah hiruk-pikuknya suasana. Bagi Ong Siau-sik, orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, justru ada tiga orang yang sama sekali tidak mencolok segera memancing kewaspadaannya. Tiga orang itu sebetulnya tidak mencolok, dandanannya sangat sederhana, otang semacam ini biasanya tak akan menarik perhatian siapa pun. Mereka hanya orang yang kebetulan lewat di jalan raya itu, tiga orang yang sedang melakukan perjalanan bersama-sama. Orang pertama mengenakan baju berwarna abu-abu, orang kedua mengenakan jubah berwarna abu-abu tua, sementara orang ketiga mengenakan jubah abu-abu yang nyaris sudah mendekati warna putih. Ketiga orang itu muncul dari arah yang berbeda, berjalan menuju ke arah dimana Ong Siau-sik sedang berdiri. Ketika tiba lebih kurang tiga kaki dari Ong Siau-sik, tiba-tiba secara serentak mereka melancarkan serangan bersama. Begitu turun tangan, mereka bertiga segera mengeluarkan jurus serangan mematikan! Dalam waktu singkat semua jalan mundur Ong Siau-sik sudah tertutup rapat, bukan saja anak muda itu tak mungkin bisa menghindar, kesempatan untuk menangkis pun tak ada. "Bagus!" teriak anak muda itu tanpa terasa. Menyaksikan datangnya serangan yang begitu hebat dan kerja sama yang begitu rapat, membuat pemuda itu untuk sesaat lupa kalau ancaman sedang ditujukan ke tubuhnya. Bagus atau tidak, ketika seseorang akan kehilangan nyawa, biar sebagus apa pun juga percuma. Kini Ong Siau-sik tak bisa mundur, dari tiga arah serangan musuh meluncur tiba dengan dahsyatnya, padahal dia tak ingin beradu keras lawan keras. Ong Siau-sik tahu, suasana di tempat itu sedang ramai-ramainya, banyak orang tak berdosa yang berada di seputar pasar, dia tak ingin dan tak tega menyaksikan orang-orang itu ikut menjadi korban. Dalam keadaan kepepet, tiba-tiba ia melejit ke udara, dengan kecepatan luar biasa tubuhnya membumbung tinggi ke angkasa. ooOOo 28 . Golok atau pedang

Gerakan tubuhnya selain cepat juga sangat indah, kontan saja memancing sorak-sorai memuji dari para penonton yang ada di sekeliling tempat itu. Ketika dia melayang turun kembali, tubuhnya sudah berada beberapa kaki dari posisi semula, melayang turun di samping seorang kakek bersepatu rumput yang kebetulan berdiri di tepi jalan. Ia sudah memperhitungkan jarak sejak awal, dengan begitu dia mempunyai waktu yang cukup untuk menghadapi serangan yang datang dari tiga orang manusia berbaju abu-abu itu. Siapa sangka baru saja kakinya menginjak tanah, seorang lelaki berbaju putih sudah tiba di hadapannya, bahkan nyaris berdiri saling berhadapan dengan dirinya. Sekarang Ong Siau-sik baru terkesiap dibuatnya, terpaksa dia harus melolos pedangnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika menghadapi hadangan dari tiga orang manusia berbaju abu-abu tadi, ia menganggap belum perlu mencabut pedangnya, tapi kemunculan orang berbaju putih ini berbeda sekali, dia sadar sekarang adalah saatnya untuk mencabut pedang. Kali ini golok atau pedangnya yang harus dilolos? Akhirnya dia urung melolos senjatanya, karena orang ber¬baju putih itu telah berkata, "Jangan panik, aku!" Ong Siau-sik kembali tertawa. Ternyata orang berbaju putih itu adalah Pek Jau-hui. Ketika menengok kembali ke arah ketiga orang berbaju abu-abu itu, ternyata mereka telah roboh terkapar di atas tanah. Ilmu jari Keng-sin-ci milik Pek Jau-hui memaksa mereka kehilangan kemampuannya untuk melancarkan serangan, orang-orang itu belum sempat melepaskan ancamannya yang kedua dan sudah roboh terkapar. Oleh karena yang muncul adalah Pek Jau-hui, sudah barang tentu Ong Siau-sik tak usah melolos pedangnya lagi. Beda dengan Pek Jau-hui, wajahnya justru memperlihatkan perasaan kecewa dan sayang, gumamnya lirih, "Ketika datang tadi, aku toh hanya bilang "Aku", sama sekali tidak mengatakan "jangan turun tangan", kenapa kau tidak melolos pedangmu?" "Kalau memang kau sudah datang, kenapa aku mesti repot-repot mencabut pedang?" jawab Ong Siau-sik sambil tersenyum. "Selama kau tidak melolos pedangmu, berarti aku tak akan mendapat kesempatan untuk menjajal jurus pedangmu, jelas kejadian semacam ini merupakan kejadian yang membikin hati kecewa, aku tak ingin kekecewaan seperti ini berlarut terus." "Selamanya aku tak pernah melolos pedang terhadap sahabat sendiri." "Ketika melolos pedangmu, kau toh boleh tidak mengang¬gap aku sebagai temanmu?" "Kau bukan cuma sahabatku, bahkan merupakan saudara angkatku!" dengan wajah bersungguhsungguh Ong Siau-sik berkata, "seorang Tayhiap pernah berkata kepadaku, 'Sehari sebagai saudara, selama hidup adalah saudara'. Hanya cucu kura-kura telur busuk yang membokong saudara dari belakang, mencabut pedang di hadapannya."

Pek Jau-hui menatap pemuda itu sekejap, lalu katanya, "Tahu begitu, aku baru mengangkat saudara denganmu setelah menjajal kepandaian silatmu terlebih dulu." "Bila pertarungan terjadi duluan, mungkin kita tak bakal jadi saudara." "Ooh, jadi kau tak tahan jika dikalahkan orang?" ejek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. Dengan cepat Ong Siau-sik menggeleng. "Ooh, jadi kau takut aku yang kalah?" Pek Jau-hui mulai agak berang. Kembali Ong Siau-sik menggeleng. "Masalahnya bukan kau yang kalah atau aku yang asor, juga bukan lantaran kau yang unggul atau aku yang menang, justru yang aku kuatirkan, sekali kita bertarung, maka bukan cuma menang kalah yang ketahuan, justru mati hidup yang mesti dihadapi, coba bayangkan sendiri, mana ada orang mati bisa mengangkat saudara dengan orang hidup?" "Siapa tahu justru ada dua orang mati yang mengangkat saudara di istana neraka?" senyuman lega kembali menghiasi wajah Pek Jau-hui. Sementara kedua orang pemuda itu sedang bercakap-cakap, di tengah arena kembali telah terjadi perubahan. Beberapa orang berdandan opas muncul di tengah arena dan menggotong pergi mayat ketiga orang manusia berbaju abu-abu itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kawanan opas itu juga tidak terlihat mendatangi Pek Jau-hui serta Ong Siau-sik untuk melakukan penyelidikan. Tak selang beberapa saat kemudian, suasana di jalanan itu sudah pulih kembali seperti sedia kala, orang mulai berlalu-lalang, meski ada sebagian kecil orang yang melirik sekejap ke arah Pek Jauhui berdua dengan pandangan kagum dan hormat, tapi sebentar kemudian mereka sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing sehingga tak ada lagi yang menggubris kedua pemuda itu. Semua kejadian yang terjadi di jalanan besar itu seolah sebuah sampan kecil yang ditelan ombak samudra, hanya sekejap mata sudah lenyap tak berbekas. Begitukah kehidupan manusia yang mengalir dalam peredaran waktu? Kalau memang demikian keadaannya, lalu buat apa manusia berkarya, buat apa manusia mencari nama? Bukankah pada akhirnya semua akan larut dalam waktu, larut dalam kehidupan manusia yang luas bagai samudra? Walau hasil karya seseorang akan ditelan sejarah, tapi sekecil apa pun hasil karyamu, lebih baik menjadi api kunang-kunang daripada sama sekali tak ada. Ini menurut jalan pikiran Ong Siau-sik. Lalu bagaimana menurut pandangan Pek Jau-hui? Entah bagaimana cara pandang Pek Jau-hui, tapi yang pasti saat itu dia sedang mengawasi seseorang. Seseorang yang berdiri di mana pun, berdiri dengan siapa pun, ia selalu tampil bagaikan seekor bangau yang berada di tengah kerumunan ayam.

Bahkan sejak dilahirkan, mungkin orang itu jauh lebih tinggi daripada orang lain, jauh lebih besar dan kekar ketimbang rekannya, bahkan sewaktu tertawa pun jauh lebih manis dipandang. Orang itu sambil menggendong tangan sedang berjalan menuju ke Sam-hap-lau. Ketika melihat Pek Jau-hui memperhatikan orang itu, tanpa terasa Ong Siau-sik ikut berpaling. Ia memandang sedikit lebih lambat ketimbang Pek Jau-hui, oleh karena itu ia tak sempat melihat dengan jelas bagaimanakah raut wajah lelaki itu. Sementara dia masih termenung, lelaki itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan. Dalam waktu singkat suasana dalam rumah makan itu agak gaduh, pelayan menganggapnya sebagai tamu agung, melayaninya dengan sikap hormat yang berlebihan, sementara para tamu lain terburu-buru menyelesaikan rekening dan mengeluyur pergi, seakan mereka tak berani duduk berjajar dengan orang itu. Manusia zaman sekarang memang lebih banyak menilai orang dari penampilan ketimbang dari perbuatan, jika melihat seseorang tampil dengan baju mahal atau perhiasan mahal, maka mereka akan dilayani bak seorang raja dan permaisuri, sebaliknya bila hanya tampil sederhana, dianggapnya tak punya duit, tidak mendatangkan kebanggaan bagi mereka, jangan harap akan memperoleh pelayanan yang istimewa. Begitu juga dengan lelaki tinggi besar itu, karena pakaian yang dikenakan terbuat dari bahan halus yang mahal harganya, orang lantas menganggap dia adalah orang kaya atau paling tidak bangsawan kenamaan, bagi mereka yang mengenakan pakaian sederhana atau merasa dalam almari rumahnya tak memiliki pakaian mewah semacam itu, rasa rendah diri seketika menyelimuti hatinya, mereka jadi minder dan menganggap dirinya tak pantas untuk duduk sejajar dengannya. Bagi pelayan, khususnya pelayan rumah makan, mereka jauh lebih menghargai kunjungan orangorang kaya semacam ini, sebab kehadiran orang kaya atau orang kenamaan justru menjadi iklan hidup bagi rumah makannya, bahkan banyak pengusaha rumah makan yang sengaja mendatangkan orang-orang kenamaan, tujuannya hanya ingin memakai mereka sebagai iklan gratis, agar pamor rumah makannya bertambah tinggi. Tak heran kalau ada orang berpendapat, 'Mengunjungi rumah makan bukan lantaran ingin menikmati hidangan lezat, lapi ingin merasakan kepopuleran dari rumah makan itu, ingin menaikkan gengsi sendiri karena dapat berkunjung ke rumah makan itu'. Demikian pula dalam soal pakaian, banyak orang mengenakan baju bukan untuk menghangatkan badan, tapi lebih bertujuan untuk memamerkan merek pakaian yang dikenakan, lebih ingin menaikkan gengsi dan pamor sendiri. Mungkin lantaran itulah, mendadak terdengar seorang tamu yang duduk di rumah makan itu, seorang gemuk yang disebut orang sebagai si 'Gentong nasi' karena takaran makannya yang luar biasa, berkata sambil menghela napas, "Kalau dulu, orang makan nasi karena untuk mempertahankan hidup, tapi sekarang, orang hanya makan sayur dan tidak makan nasi, bahkan banyak orang yang memesan sayur bukan untuk dimakan, tapi hanya untuk ditonton, arak juga bukan untuk diminum tapi untuk pemborosan, untuk memamerkan diri, untuk menaikkan gengsi sendiri Kebetulan waktu itu lelaki tinggi besar tadi sedang memesan seguci arak Kao-liang.

Belum lagi secawan arak diteguk, ia sudah mendengar sindiran si 'Gentong nasi, kontan saja lelaki itu tertegun dan meletakkan kembali cawan araknya. Orang-orang dalam rumah makan tahu keadaan mulai tidak menguntungkan, semua orang mulai menggerutu, Gentong nasi itu sungguh tak tahu diri, berani amat mencari masalah dengan lelaki berbaju halus itu. Mencari gara-gara dengan orang kaya, biasanya sama seperti mencari penyakit buat diri sendiri! Betul juga, lelaki itu segera berpaling ke arah si Gentong nasi. Sejak melangkah masuk ke dalam rumah makan Sam-hap-lau, dia tahu semua yang ada di situ adalah manusia hidup, baik ciangkwe maupun pelayan, baik para tamu atau pengemis, hampir semuanya menengok ke arahnya kecuali seseorang. Dan orang itu tak lain adalah orang yang sedang asyik makan ini. OOOOOO 29 . Ge ntong nas i dan babi BAB III: MAN USIA K OSO NG Semenjak melangkah masuk ke dalam pintu rumah makan, ia sudah memperhatikan orang ini, orang yang sedang asyik makan nasi ini. Alasannya sederhana sekali, jarang ada orang yang 'berani' tidak melihat ke arahnya, 'dapat' tidak melihat ke arahnya dan 'boleh' tidak melihat ke arahnya. Sebaliknya dia sendiri pun tidak melihat si Gentong nasi ini, karena orang yang asyik bersantap ini wajahnya sudah tertutup oleh tumpukan mangkuk yang ada di hadapannya. Total ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang tertumpuk di atas meja orang itu, ditumpuk meninggi sehingga nyaris menutupi seluruh kepala orang itu, tak ada yang tahu bagaimana cara dia menghabiskan nasi sebanyak itu, juga tak ada yang tahu apakah dia masih tetap asyik bersantap. Kini walaupun lelaki kekar itu sudah berpaling ke arahnya, ia tetap tak dapat melihat wajahnya, yang terdengar hanya suara sumpit serta suara orang sedang mengunyah. Lelaki kekar itu segera tertawa, tegurnya kepada sang pelayan, "He, suara apa itu?" Sang pelayan agak tertegun, tanyanya, "Tuan, apa kau bilang?" "Coba dengar, suara apa itu?" kata lelaki kekar itu sambil tertawa. Sang pelayan benar-benar tidak tahu suara apa yang dimaksud, sebab di jalan, di rumah makan hampir semuanya bersuara, maka dia tak tahu harus menjawab apa. "Coba kau dengar," kembali lelaki kekar itu berkata, "seperti ada babi sedang makan nasi!" Pelayan itu segera mengerti apa yang dimaksud, ia tak berani menyahut, hanya menganggukkan kepalanya berulang kali. "Salah, salah besar mendadak terdengar si Gentong nasi menyahut, "tidak benar, tidak benar

Kembali lelaki kekar itu tertawa tergelak. "Hahaha, coba dengar, kali ini kau sudah mendengar dengan jelas bukan? Ternyata sang babi bukan cuma pandai makan nasi, dia malah pandai juga berbicara!" "Yang dimakan babi bukan nasi, nasi hanya untuk makanan manusia, masa teori semacam inipun kau tidak mengerti" seru si Gentong nasi serius, "memangnya otakmu tumbuh seperti otak babi?" "Lebih baik berhati-hatilah jika berbicara," seru lelaki kekar itu sambil tertawa dingin. "Antara manusia dengan manusia memang mesti saling menghormati, manusia boleh memetik harpa di hadapan kerbau, tapi kalau manusia menghadapi babi... yang penting timbangan badannya, apakah cukup berbobot atau tidak, jadi soal hormat menghormat tak perlu disinggung." , Berubah hebat paras muka lelaki kekar itu, dengan wajah merah padam hardiknya, "Kau sedang mengatai aku?" "Tidak, aku sedang bicara soal babi," sahut si Gentong nasi. Lelaki kekar itu tak kuasa menahan diri lagi, ia menggebrak meja sambil membentak penuh amarah, "Coba kau ulangi sekali lagi!" "Braaak!", meja yang dihajar segera membuat guci arak terguling dan hancur berantakan, arak berceceran dimana-mana. Melihat pertarungan antara dua orang itu bakal segera terjadi, banyak tamu yang segera membayar rekening dan diam-diam mengeluyur pergi dari situ. "Ai, babinya mulai sewot, sayang, arak wangi dibuang sia-sia," kata si Gentong nasi lagi sambil menghela napas, "sayang, benar-benar sayang, betul-betul seperti kerbau makan bunga Botan, mau makan pun tidak pilih-pilih tumbuhan!" Lelaki kekar itu sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, dia segera bangkit berdiri. Setelah tumpukan mangkuk di meja berserakan, kini Ong Siau-sik dapat melihat jelas raut wajahnya. Rambut dan jenggot orang itu sudah saling menyambung jadi satu hingga sulit dibedakan mana rambut mana jenggot, tapi semuanya berwarna hitam dan kusut, sepasang bahunya lebar bagaikan dua bilah golok kwan-to berwarna hitam, sorot mata¬nya tajam seperti cahaya petir berwarna biru, jidatnya lebar dan hidungnya besar, dari balik baju suteranya terlihat punggungnya yang kekar dan pinggangnya yang kencang. Begitu ia bangkit berdiri, terlihat betapa tinggi besarnya perawakan orang itu, seluruh otot badannya nampak menonjol keluar, sepuluh jari tangannya besar, sementara Tay-yang-hiat kelihatan tinggi menggelembung, wajahnya selain keren juga tampak garang, tak ubahnya seperti seorang Pa-ong (raja be¬ngis). "Betul betul seorang lelaki kekar!" puji Ong Siau-sik tanpa terasa.

Sementara itu dengan langkah lebar lelaki kekar itu sudah berjalan menghampiri si Gentong nasi, langkahnya berat dan mantap bahkan menimbulkan suara benturan keras. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukan si Gentong nasi waktu itu, mungkinkah dia masih tetap bersantap? Terdengar lelaki kekar itu berkata lagi, sepatah demi separah, "Aku tak akan menghajar kaum lemah, asal kau bersedia minta maaf, kali ini kuampuni kelancanganmu." "Kenapa aku mesti minta maaf kepada seekor babi?" sahut si Gentong nasi sambil menyuapi mulutnya dengan nasi, "ah, keliru, tak ada babi yang begini tinggi besar, semestinya disebut kerbau!" Lelaki kekar itu membentak gusar, tangannya langsung dihantamkan ke atas meja si Gentong nasi. Dengan satu gebrakan yang perlahan saja tadi ia telah menghancurkan guci arak di meja sendiri, apalagi sekarang dia menghajar meja dengan penuh amarah, bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi. Semua orang mulai takut, semua orang mulai menguatirkan sesuatu ... tumpukan mangkuk kosong di atas meja! Memecahkan satu dua biji mangkuk memang kejadian lumrah, tapi kalau ada lima puluh lima buah mangkuk kosong yang pecah bersama, saat itu keadaannya pasti sangat luar biasa. Bahkan saat itu, mereka semua seolah sudah 'mendengar' suara mangkuk yang pecah, suara lima puluh lima biji mangkuk kosong yang pecah dan hancur berantakan. Ternyata tak ada yang pecah, tak satu pun mangkuk kosong itu pecah. Di saat lelaki tinggi besar itu siap menggebrakkan kedua belah tangannya ke atas meja, mendadak si Gentong nasi merentangkan tangannya ke samping, entah bagaimana caranya, tahu-tahu kelima puluh lima buah mangkuk itu berikut mangkuk yang baru saja ia gunakan sudah berjajar di kedua belah lengannya masing-masing dua puluh delapan biji, kemudian dengan satu sentakan lagi, dua baris mangkuk yang berjajar itu kembali sudah menumpuk menjadi satu garis di atas kepalanya. Ketika kelima puluh enam buah mangkuk kosong itu tertumpuk jadi satu, mangkuk terakhir menjulang ke atas persis menempel di bawah lantai ruang tingkat dua. Si Gentong nasi tidak nampak kepayahan meski harus menyangga begitu banyak mangkuk kosong di atas kepalanya, dia masih tetap santai seakan yang di atas kepalanya bukan mangkuk kosong melainkan tangannya sendiri. Hampir semua orang yang berada di dalam maupun di luar rumah makan tertegun dibuatnya, malah si lelaki kekar itu-pun ikut terbelalak matanya. Tiba-tiba Ong Siau-sik teringat akan seseorang, seseorang yang pernah didengarnya dari cerita dongeng. Baru selesai dia berpikir, lelaki tinggi kekar itu sudah berteriak keras, "Ah, rupanya kau adalah si Raja nasi, kau adalah Thio Than!"

Orang persilatan tentu banyak sekali yang mempunyai takaran makan sangat besar, mereka banting tulang, peras keringat, bercucuran darah, tujuannya tak lain agar bisa makan tiga kali sehari dengan kenyang, asal ada makanan, bisa makan, siapa pun pasti berharap bisa makan sepuasnya. Tapi seorang yang bisa menghabiskan nasi sebanyak lima puluh enam mangkuk sekaligus teramat langka, amat jarang dijumpai, belum pernah dijumpai ada orang yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu sekaligus, mau ditaruh dimana semua nasi yang dimakan itu? Orang yang bisa sekaligus menghabiskan lima puluh enam mangkuk nasi, dan setelah itu mampu menggunakan mangkuk-mangkuk itu untuk bermain akrobat, hal ini tentu jauh terlebih langka lagi ... sebagian besar orang, selesai makan, meninggalkan mangkuknya. Bila ada orang yang begitu memperhatikan nasi serta mangkuknya, maka di dunia ini hanya ada satu orang. Konon orang ini bisa menggunakan nasi sebagai tambahan energi, sembari melahap nasi sembari berlatih ilmu Huan-huan-sin-kang. (ilmu sakti bolak-balik). Dia tak lain adalah si Raja nasi, Thio Than. "Betul, aku memang bernama Thio Than, aku juga si Raja nasi" ujar si Gentong nasi sambil tertawa, "berada di hadapan nasi, kecuali aku, tak seorang pun pantas disebut raja." "Kalau memang kau adalah Thio Than, mestinya tahu juga siapakah aku?" tak tahan lelaki raksasa itu berseru. "Aku hanya tahu kau mempunyai seorang teman bernama Pui Heng-sau, sayangnya meskipun Pui Heng-sau itu kutu buku, tapi apa yang sudah dibaca akan segera terlupakan, semakin banyak buku yang dibaca semakin banyak yang dia lupakan, makin senang belajar pengetahuan, sayang makin goblok tindak-tanduknya sehingga sering dibuat bahan tertawaan orang banyak." Bicara sampai di sini ia berpaling sekejap ke arah lelaki raksasa itu, kemudian katanya lagi, "Tahukah kau, kenapa aku teringat orang yang bernama Pui Heng-sau ini?" "Hmm, karena dia sama gobloknya dengan kau!" sahut lelaki raksasa itu sambil mendengus dingin. "Tidak, karena dia sama seperti aku, mempunyai hobi mengisi perut. Aku senang makan nasi, banyak makan nasi, banyak mendatangkan manfaat, bagi orang yang berlatih tenaga dalam, paling baik jika banyak makan nasi, kurangi makan yang tak berguna, apalagi makan ikan dan daging. Bagiku, makan nasi harus penuh perhatian, kau mesti tahu beras darimana paling bersih, beras darimana paling utuh, beras mana harus dicampur dengan beras apa baru menjadi nasi yang harum, pokoknya semua detil tentang menanak nasi dan jenis beras harus kau kuasai secara sempurna, Jika setiap hari makan nasi tapi sama sekali tak punya pengetahuan tentang nasi, orang semacam ini adalah manusia yang sangat goblok?" "Kau suka nasi sementara Siau-pui suka makan telur," kata lelaki raksasa itu kemudian, "bocah itu bukan saja suka makan telur rebus, juga suka telur asm, telur goreng, telur mentah, pokoknya segala macam telur, pada hakikatnya dia seakan sudah menganggap dirinya keluar dari telur." "Betul, justru karena dia suka telur maka orang menyebutnya si Raja telur, sementara aku adalah Raja nasi."

"Oleh karena itu kalian berdua yang satu adalah telur busuk, yang lain adalah Gentong nasi," ejek lelaki itu sambil tertawa terbahak-bahak. "Apa kau bilang?" mendadak Thio Than berteriak gusar. "Kalau kau bukan Gentong nasi, kenapa hanya Pui Heng-sau yang kau kenal sedang aku Giok-binlong-kun (pemuda tampan berwajah kemala) Tong Po-gou yang tersohor karena kehebatannya, jago paling kebal di kolong langit malah tidak kau ketahui?" Thio Than tidak menjawab, dia malah memegangi perut sendiri sambil tertawa terpingkal-pingkal. "He, apa yang kau tertawakan? Memangnya aku lucu?" tegur Tong Po-gou gusar. "Hahaha, untung baru sekarang kau sebut namamu, coba kalau sejak tadi kau memperkenalkan diri, mungkin selera makanku langsung lenyap." Tong Po-gou gusar setengah mati, sekujur badannya sampai gemetar keras. Bukan cuma gemetar, bahkan tulang belu¬langnya saling gemerutuk seolah suara mercon renteng yang meledak. Begitu menyaksikan kemarahan musuh, Thio Than tak berani tertawa lagi, dia tahu lelaki raksasa itu benar-benar sudah naik darah bahkan segera akan turun tangan. Bukan hanya dia saja yang tahu, setiap orang yang dapat melihat tampang Tong Po-gou saat ini, tentu tahu kalau dia akan segera menyerang Thio Than, bahkan begitu turun tangan, sudah pasti serangan mematikan yang akan dilancarkan. Tak urung semua orang mulai menguatirkan keselamatan si Gentong nasi. Di antara sekian banyak orang yang merasa kuatir, hanya Ong Siau-sik seorang yang tidak berpendapat begitu, karena dia telah menyaksikan ada sesosok bayangan manusia menyelinap ke ujung loteng, kemudian menyelinap ke lantai dua, membuka jendela dan menerobos masuk ke dalam. Gerakan tubuh orang itu gesit dan cepat bagaikan burung walet, bahkan anak muda itu merasa sangat mengenalnya. Baru saja dia akan memberitahu apa yang dilihat kepada Pek Jau-hui, ternyata orang yang dicari sudah muncul di atap lantai dua rumah makan itu, bukan saja dia sedang menyelinap ke balik wuwungan rumah, bahkan sedang menggapai ke arahnya. Dengan cepat Ong Siau-sik melompat ke atap rumah, dia pun bergerak sangat hati-hati. Di tengah hari bolong begini, terlebih berada di bawah sorot mata banyak orang, dia tak ingin gerak-geriknya ketahuan mereka dia tak ingin orang di jalanan pun tahu kalau ada orang sedang bergerak di atap rumah. Tak berapa lama Ong Siau-sik tiba di samping Pek Jau-hui, saat itulah dia menyaksikan perubahan aneh di wajah rekannya itu. Ternyata Pek Jau-hui sedang tercengang karena telah menyaksikan suatu pemandangan di balik jendela. Apa yang dilihatnya di situ? Ternyata di dalam ruangan itu terlihat ada lima orang gadis.

Seorang di antaranya berdandan anggun dengan sanggul yang dijepit tusuk kondai kemala, dari dandanannya bisa ditebak dia adalah seorang nona dari keluarga kenamaan, sementara sisanya yang empat orang berdandan seperti dayang, mereka berdiri di samping nona itu dengan pedang pendek berada dalam genggaman. Dipandang dari atas, keempat orang dayang itu memiliki paras muka yang cantik, sementara si nona duduk membelakanginya sehingga dari sudut Pek Jau-hui berada sekarang, ia tak dapat melihat jelas raut mukanya. Yang membuat Pek Jau-hui tercengang bukan kelima orang gadis itu. Ternyata di dalam ruang rumah makan yang luas, selain kelima orang gadis itu, di situ pun masih hadir seorang gadis lain. Nona itu mengenakan pakaian ketat berwarna merah, wajahnya yang cantik dihiasi dengan senyum tak senyum. Sekilas pandang Pek Jau-hui segera merasa kalau wajah gadis itu sangat dikenalnya, bahkan sebuah wajah yang sudah amat melekat di dalam hatinya. Begitu teringat siapa nona itu, hampir saja ia menjerit keras. Unji! Ternyata gadis berbaju merah itu adalah Un Ji, si gadis nakal dengan senyuman yang manis. Pek Jau-hui hanya merasa heran, sebelum bertemu Un Ji tadi, ia sudah merasakan kehangatan dan kelembutan dari nona itu. Mengapa perasaan itu bisa muncul dalam hatinya? Biasanya hanya terhadap orang yang dicintainya sejak pandangan pertama, perasaan itu akan muncul dan berkecamuk dalam hatinya. Sekarang mengapa Pek Jau-hui pun mempunyai perasaan semacam itu setelah bertemu Un Ji, mengapa ia merasa tercengang dan gembira setelah mengetahui gadis itu adalah Un Ji? Ya, mengapa? Bukankah waktu itu dia yang telah membuat Un Ji marah sehingga lari meninggalkan mereka? Sementara itu Ong Siau-sik sudah tiba di sisinya, bahkan menyaksikan juga mimik tercengang di wajahnya. Oleh karena itu dia pun ikut melongok ke dalam ruangan, dan dia pun menyaksikan Un Ji ada di situ, menyaksikan juga goloknya yang lembut. Golok kelembutan! ooOOoo 30 . Cinta atau benc i Golok itu lembut, tapi bagaimana dengan orangnya? Orangnya amat galak! Un Ji telah melolos goloknya, cahaya golok menyinari wajahnya yang cantik, wajah itu kelihatan

galak, paling tidak Un Ji berharap dia bisa tampil galak, berharap semua orang tahu kalau dia galak. Ia tahu, sebagai seorang pendekar wanita yang sering ber¬kelana dalam dunia persilatan, sebagai jago yang selalu berke-cimpungan dalam lumuran darah, tidak mungkin kalau dia ti¬dak bertampang galak. Maka dengan suara nyaring bentaknya, "Lui Moay, kau si Semangka busuk, perempuan tak tahu malu, kau gunakan ke¬sempatan ketika nonamu tidak waspada, tidak hati-hati karena baru masuk kotaraja lantas kau mencuri sarung golok milikku secara licik dan tak tahu malu, jika kau tidak segera mengem¬balikan kepadaku, aku ... aku ... akan ... membacok ... membacok tubuhmu Melihat si nona tergagap, baik Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik jadi sangat geli, nyaris suara tawa mereka melompat keluar dari mulut. Mereka ingin tertawa karena dari pembicaraan itu dapat disimpulkan kalau Un Ji sudah dipecundangi Lui Moay begitu sampai di kotaraja, dimana sarung goloknya telah dicuri orang. Tapi anehnya, buat apa Lui Moay mencuri sarung goloknya itu? Selain itu yang mereka berdua merasa geli adalah umpatan Un Ji terhadap gadis itu, "si Semangka busuk", darimana ia mempelajari kata makian itu? Lui Moay masih tetap berdiri membelakangi Un Ji, sama sekali tidak menjawab. Sebaliknya keempat orang dayang itu sudah melotot ke arah musuhnya dengan sorot mata penuh gusar. Ong Siau-sik segera melihat keempat orang dayang itu mempunyai mata yang indah, ada yang mirip mutiara, ada yang mirip batu kristal, ada yang mirip hujan gerimis, ada juga yang mirip bintang, dibandingkan sepasang mata Un Ji yang sipit, jauh lebih indah dan menawan. Tiba-tiba ia tahu, bagaimanapun Un Ji berusaha bersikap galak, ia tak pernah berhasil menampilkan kebuasannya itu. Sebab walaupun sepasang mata sipitnya sudah berusaha melotot sebesar besarnya, mata itu belum cukup besar dan belum cukup galak. Itulah sebabnya ia merasa sangat geli. Pada saat itulah terdengar Lui Moay berkata, ucapannya diutarakan tetap membelakangi Un Ji, sepatah kata yang amat sederhana, "Kenapa So-kongcu mengutusmu kemari? Apakah ia tega membiarkan kau datang kemari seorang diri?" Sebuah perkataan yang sangat lembut, nada ucapannya mendatangkan perasaan hangat dan penuh persahabatan. Akan tetapi begitu mendengar perkataan itu, bukan saja Ong Siau-sik terperanjat, paras muka Pek Jau-hui juga berubah, malah Un Ji sendiri nampak agak terkesiap. Kali ini sepasang mata sipitnya melotot makin lebar, de¬ngan perasaan setengah tak percaya teriaknya, "Kenapa bisa kau? Kenapa kau? Kenapa bisa kau?!" 'Tentu saja aku, tentu saja aku, kenapa bukan aku?" jawab perempuan cantik itu sambil perlahanlahan membalikkan ba¬dannya.

"He, selama ini kau sudah kabur kemana saja?" teriak Un Ji sambil maju mendekat dengan penuh kegembiraan, "aku sudah mencarimu kemana-mana, aku merindukan kau, kami semua mencari kau. Aduh ... payah benar kami mencarimu. Untung kau segera bersuara, kalau tidak, aku sudah menyerangmu sejak tadi, kalau golokku sampai diayunkan ... hehehe ... aku sendiri pun tak tahu bisa menahan diri atau tidak, kalau sampai salah bacok bagaimana jadinya? Tadi aku masih mengira kau adalah Lui Moay si Semangka busuk itu!" Dalam waktu singkat ia sudah mengoceh tiada hentinya, bagi orang yang tak tahu masalahnya, tentu saja kebingungan dibuatnya, selain itu dia pun menganggap keadaan waktu itu tak berbeda dengan keadaan dulu, dia seolah lupa kalau keem-. pat orang dayang itu memandangnya dengan sikap permusuh¬an. Begitu tubuhnya bergerak mendekat, keempat orang da¬yang itu serentak bergerak pula ke depan, empat bilah pedang segera menghadang jalannya. Un Ji betul-betul lupa diri, dia seakan sama sekali tidak memperhatikan keempat bilah pedang yang menghadang di hadapannya itu. Sebaliknya keempat orang dayang itupun tidak mengira kalau Un Ji tak sanggup menghadapi empat buah serangan yang sebetulnya hanya berniat menghadang jalan perginya itu, jurus serangan sudah telanjur dilancarkan, mau ditarik kembali pun sudah tak sempat. Terdengar nona cantik itu berseru tertahan, "Jangan me¬lukai orang!" Tapi dia tak pandai ilmu silat, bagaimana mungkin bisa menghalangi serangan itu? Dalam waktu singkat keempat bilah pedang itu sudah menusuk ke arah Un Ji. Waktu itu dalam pandangan Un Ji hanya ada nona cantik ini, dia seolah melupakan ancaman yang datang dari depan, kendatipun keempat bilah pedang itu tak sampai merenggut nyawanya, tapi paling tidak bisa melukai tubuhnya. "Tahan!", dalam keadaan yang amat kritis itulah menda¬dak dari tangga sana muncul seorang lelaki raksasa yang mem¬punyai rambut dan jenggot lebat. Bentakannya itu bukan saja bagaikan suara guntur yang membelah bumi, pada hakikatnya menimbulkan suara getaran yang amat keras di ruang lantai dua itu. Dalam kagetnya, lekas keempat orang dayang itu memi¬ringkan senjatanya ke samping, "triing, triing, triing, triiing", empat kali dentingan nyaring bergema di seluruh ruangan. Un Ji menjerit tertahan sembari menutup telinganya. Ternyata lelaki yang muncul itu bukan lain adalah Tong Po-gou si manusia raksasa, dengan lima kali lompatan ia sudah tiba di lantai atas dan mengawasi gadis itu sambil tertawa lebar. "He, dewa geledek, kau membuat bising saja!" teriak Un Ji dengan nada jengkel. Di lain pihak, si nona cantik itu sambil memegang dada sendiri lantaran kaget, telah berkata pula, "Un-lihiap adalah sahabat karibku, kenapa kalian hendak melukainya?" Keempat orang dayang itu lekas menundukkan kepala sambil menyingkir ke samping.

Tak selang berapa saat kemudian, kembali terlihat sese¬orang melompat naik ke ruang atas, dia adalah seorang pemuda berkulit hitam yang bulat bentuk badannya, yang aneh di masing-masing tangannya terlihat tumpukan dua puluh delapan biji mangkuk kosong. Tentu saja orang ini tak lain adalah si Raja nasi Thio Than. Begitu tiba di ruangan atas, Thio than langsung melotot ke arah manusia raksasa itu dengan perasaan jengkel. Tong Po-gou kontan tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, gesit juga gerakan tubuhmu." "Orang ini betul-betul tak tahu aturan," seru Thio Than kepada gadis cantik itu, "katanya mau menantangku bertarung, siapa tahu tiba-tiba ia berlari naik ke atas loteng, aku ... aku tak menyangka dia licik, akibatnya aku gagal mencegahnya naik "Aku tahu, aku tidak menyalahkan dirimu," jawab gadis cantik itu sambil tersenyum. Dari pembicaraan yang barusan berlangsung, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui segera tahu kalau Thio Than dan Tong Po-gou sempat bertarung beberapa gebrak sepeninggal mereka berdua naik ke lantai dua, rupanya Thio Than adalah anak buah perem¬puan cantik itu, sedangkan Tong Po-gou adalah rekan Un Ji. Kendatipun begitu, kedua orang anak muda itu sempat juga dibuat terperangah, yang membuat mereka paling kaget adalah perempuan cantik itu. Kalau dilihat dari situasi dalam ruangan, seharusnya pe¬rempuan cantik itu adalah Lui Moay, yang mereka tidak me¬nyangka adalah ternyata Lui Moay adalah orang yang sering kali mereka pikirkan, sering kali mereka rindukan. Thian Tun! Thian Tun masih tampil cantik. Sepasang biji matanya masih nampak sayu bagaikan im¬pian, kecantikannya tetap bagai bulan purnama apalagi sewaktu tertawa, sungguh menyegarkan seperti hembusan angin di mu¬sim semi. Bedanya, di balik senyumannya sekarang terselip perasaan murung yang amat tebal, ia kelihatan sedih bercampur masgul. Dalam pada itu Un Ji sudah tak mampu menahan diri lagi, kembali tegurnya, "Kenapa bisa kau? Kenapa kau bisa berada di sini?" Thian Tun tidak menjawab, ia melirik ke arah Tong Po-gou sekejap kemudian bertanya, "Apakah dia adalah sahabatmu?" Jelas gadis ini sedang menghindari pertanyaan itu. Un Ji seakan tidak menyadari akan hal itu, jawabnya, "Dia bernama Tong Po-gou, jangan dilihat orangnya kasar dan be-rangasan, hatinya sangat baik, aku kenal dengannya sewaktu sedang melacak peristiwa berdarah di perguruan Cing-te-bun, selain dia, masih ada seorang lagi yang bernama Pui Heng-sau, lalu Sim Hou-sian

Begitu menyinggung nama orang-orang itu, wajahnya keli¬hatan bertambah gembira sampai pipinya pun ikut bersemu me¬rah. "Kau belum ... belum lama terjun ke dalam dunia persi¬latan, tak kusangka teman kenalanmu begitu banyak. Apakah So-kongcu yang mengutusmu datang kemari?" "Tidak, bukan dia yang mengirim aku kemari!" sahut Un Ji sambil menuding ke arah Tong Po-gou, ujung jarinya nyaris menusuk ujung hidung lelaki raksasa itu. Dengan cepat Tong Po-gou menyingkir ke samping. "Suheng tidak menyuruhku kemari," kembali Un Ji berse¬ru, "aku bertemu dengannya di dalam kota, maka kuajak dia datang kemari, Suheng menganggap orang ini punya kemam¬puan tapi tak dihargai orang, maka aku disuruh mengajaknya untuk menghadapi seseorang yang bernama Lui Moay, siapa tahu ternyata bertemu kau di sini!" "Ooh, rupanya begitu," sahut Thian Tun seakan sudah mengerti, "makanya aku juga heran, masa dia menyuruh kau menyerempet bahaya." "He, apa yang kau katakan?" seru Un Ji dengan kening berkerut. "Sudah pasti So-kongcu mengirim tuan Tong untuk me¬nangkap Lui Moay di sini, sementara kau menguntit secara diam-diam, bukan begitu?" "Aku bernama Tong Po-gou, panggil saja namaku," sela manusia raksasa itu sambil tertawa, "kau jangan menyebut aku tuan Tong, selama hidup aku paling takut panggilan sopan seperti itu." "Aku belum kenal anda, mana boleh langsung memanggil nama?" sahut Thian Tun sambil mengerling lelaki itu sekejap. "Kenapa tidak boleh?" "Biarpun tidak menjadi masalah bagimu, tapi aku toh seorang wanita, sebagai perempuan harus mengerti tata krama dan sopan-santun bukan?" "Ehmm, benar juga perkataanmu itu." "Maka kalau aku tidak memanggilmu tuan Tong, memangnya mesti memanggil dengan sebutan nona Tong?" "Jangan, jangan panggil aku nona," Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "atau begini saja, kau menyebutku Tong-kongcu atau Tong-tayhiap, tapi bagi mereka yang benar-benar memahamiku, aku dipanggil dengan sebutan Tong Ki-hiap (pendekar raksasa)." "Pendekar raksasa Tong?" "Betul. Pendekar raksasa itu adalah pendekar dari pendekar, aku paling cocok dipanggil Tong Kihiap, kalau ada yang memanggilku begitu, aku pasti akan menyambutnya dengan senang hati." Thian Tun tertawa geli, bahkan keempat dayangnya ikut tertawa cekikikan lantaran geli, "Tong Kihiap, kau memang lucu sekali." "Itulah," seru Un Ji pula dengan perasan tak puas, "aku bilang, Suheng betul-betul tak mengerti menggunakan orang!"

Mungkin di kolong langit saat ini hanya Un Ji seorang yang berani menggambarkan So Bong-seng, pemimpin tertinggi Kim-hong-si-yu-lau sebagai "manusia yang tak mengerti menggunakan orang". Terdengar gadis itu kembali berkata, "Daripada dia mengutus Tong Po-gou, mendingan aku yang datang sendiri. Maka kusuruh Tong Po-gou membuat keonaran di bawah loteng, sementara aku secara diam-diam menyelinap naik ke ruang atas." Sewaktu mengucapkan perkataan itu, dia nampak sangat bangga. Sementara itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang bersembunyi di atap rumah tiba-tiba seperti memahami akan satu hal. So Bong-seng pernah bilang, orang yang dikirim untuk menghadapi 'seseorang yang lain' adalah seorang 'yang sangat menarik hati', paling tidak dia adalah 'orang yang suka bermain'. Pek Jau-hui maupun Ong Siau-sik mengakui bahwa apa yang dikatakan So Bong-seng memang benar. Peduli orang itu Un Ji atau Tong Po-gou, mereka memang pantas disebut 'orang yang menarik' dan 'orang yang suka bermain'. Ketika Un Ji menyelesaikan perkataannya, terdengar Thio Than berkata pula, "Tak heran kalau nona Thian menyuruh aku menghadapi si pembuat onar di bawah loteng, sementara dia menghadapi sendiri orang yang menyelinap masuk lewat jen¬dela loteng." Entah Un Ji dapat menangkap kata sindiran itu atau tidak, ternyata dia tidak marah, malah ujarnya lagi, "Thian Tun, kena¬pa kau berada di sini? Mana Lui Moay?" Dengan tenang Thian Tun mengawasi Un Ji sekejap, lalu sahutnya, "Sebelum kujawab pertanyaanmu itu, tolong jawab dulu sebuah pertanyaanku." "Baik, katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan." "Apakah kali ini Kim-hong-si-yu-lau hanya mengirim kau dan Tong Ki-hiap untuk mendatangi rumah makan Sam-hap-lau?" "Hanya mengirim Tong Po-gou seorang." "Kalau begitu gampang penyelesaiannya." "Penyelesaian apa?" tanya Un Ji keheranan. Thian Tun tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya malah berseru, "Sahabat yang ada di atap rumah, sudah waktunya bagi kalian untuk unjuk diri." Seorang gadis yang tak mengerti ilmu silat, darimana bisa tahu kalau di atap rumah ada orang sedang bersembunyi? Karena sudah diteriaki orang, tentu saja Pek Jau-hui berdua tak bisa bersembunyi terus, serentak mereka melayang masuk ke dalam ruangan.

Begitu mereka muncul, Thian Tun maupun Un Ji sama-sama tertegun dibuatnya. Un Ji kontan melompat ke depan seraya meninju Pek Jau-hui, kemudian memeluk Ong Siau-sik, serunya kegirangan, "Ternyata kau pun ikut datang, ternyata kau pun ikut datang Pek Jau-hui tertawa, di balik tawanya itu terselip perasaan murung yang tak kentara. Sebaliknya Ong Siau-sik berdiri dengan wajah bersemu merah, ia tersipu-sipu dan tak tahu harus berkata apa. Saat itulah rupanya Un Ji baru sadar akan ulahnya, lekas dia lepaskan pelukannya, paras mukanya kontan berubah merah padam. Pek Jau-hui dan Thian Tun saling berpandangan sekejap, kemudian mereka berdua sama-sama tertawa. Semula Pek Jau-hui mengira dia tetap akan mendendam pada Thian Tun karena kepergiannya tanpa pamit, tapi setelah pertemuan hari ini, khususnya setelah saling berpandangan sambil tertawa, entah mengapa, semua rasa jengkel dan bencinya seolah hilang sirna dari dalam hati. "Nona Lui!" sapanya kemudian. "Pek-kongcu, Ong-siauhiap," Thian Tun balas menyapa sambil tertawa. Saat itulah Ong Siau-sik baru teringat akan perkataannya yang hendak disampaikan, kontan serunya, "Thian Tun, kau benar-benar telah membohongi kami, kau membuat kami berdua sengsara..." Kemudian sambil menuding ke arah Pek Jau-hui terusnya, "Khususnya dia, gara-gara kepergianmu, dia jadi uring-uringan macam orang kehilangan sukma "He, apa kau bilang?" teriak Pek Jau-hui gusar, "waktu itu aku uring-uringan gara-gara merasa menyesal kepada Un-lihiap, ucapanku yang kelewat kasar ketika ada di tepi sungai tempo hari membuat Un-lihiap pergi meninggalkan kita, gara-gara kejadian itu Ong-Iosam jadi murung sepanjang hari, seperti anjing yang habis digebuki, dia tidak enak makan, tidak enak tidur, lagaknya seperti orang yang sudah kehilangan sukma saja "Apa kau bilang?" teriak Ong Siau-sik sambil menarik bahu rekannya. "Hahaha, rupanya kau sadar telah berbuat salah kepada nonamu ini," teriak Un Ji cekikikan, "kenapa masih belum minta maaf kepada nonamu?" "Ah, kalian semua memang pandai bikin onar saja," sela Thian Tun sambil tertawa. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba Un Ji berseru lagi, "He, mengapa mereka memanggilmu sebagai nona Lui? Bukankah kau dari marga Thian?" "Tidak, aku bukan bermarga Thian, sesungguhnya aku memang bermarga Lui," jawab Thian Tun tenang. "Tapi seingatku Lui Moay yang pernah kujumpai bukan kau," sela Ong Siau-sik cepat. "Siapa bilang aku adalah Lui Moay?" Lui Tun balik ber¬tanya. "Jadi kau bukan Lui Moay?" seru Ong Siau-sik lagi keheranan.

"Lantas siapakah kau?" ujar Pek Jau-hui pula dengan wajah serius. Tiba-tiba Thio Than berseru, "Dia adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan Lak-hunpoan-tong, nona Lui Tun!" Mendengar penjelasan itu, kontan saja beberapa persoalan seketika melintas dalam benak Ong Siau-sik. Pertama, jika Thian Tun adalah Lui Tun putri tunggal Lui Sun, padahal di satu sisi Lui Sun adalah musuh bebuyutan So Bong-seng, perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang dibangun Lui Sun saling bermusuhan dengan Kim-hong-si-yu-lau yang didirikan So Bong-seng, di sisi lain dia maupun Pek Jau-hui adalah saudara angkat So Bong-seng, lalu mengapa antara mereka dan Lui Tun harus saling bermusuhan? Mengapa tidak boleh bersahabat? Kedua, Pek Jau-hui amat kesemsem pada Lui Tun, padahal Lui Tun akan dinikahkan dengan So Bong-seng guna memperlunak sikap permusuhan kedua perkumpulan, bagaimana pula perasaan Pek Jau-hui saat ini? Harusnya tetap mencintainya? Atau justru berubah jadi benci? Ketiga, bila gadis yang muncul hari ini di Sam-hap-lau adalah Lui Tun dan bukan Lui Moay, kenapa So Bong-seng justru mengirim mereka berdua untuk mendatangi tempat itu? Tindakan ini sebuah kesalahan, satu kebetulan atau justru mem¬punyai maksud tujuan lain? Kenapa Lui Tun bisa muncul di loteng Sam-hap-lau? Ini maksud Lui Sun atau niat dia pribadi? Kenapa pula Un Ji bisa melibatkan diri dalam air keruh itu? Makin dipikir Ong Siau-sik merasa semakin bingung, pikirannya makin kalut. Namun di balik semua kebingungan dan kekalutannya, ada satu hal yang dia tahu dengan pasti, yakni perasaan Pek Jau-hui saat itu. Lekas ujarnya kemudian, Oooh rupanya Lui-toasioca, maaf, maaf, sungguh tak disangka kita sudah berkenalan dulu dengan nona Lui ketika masih berada di tepi sungai Han-swe, berarti kita punya jodoh dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tahu begini, tidak seharusnya kita saling bermusuhan." "Tapi sekarang kalian sudah menjadi tamu agung Kim-hong-si-yu-lau!" ujar Lui Tun, meski perkataan ditujukan kepada Ong Siau-sik, namun matanya justru melirik ke arah Pek Jau-hui. "Ah, tak nyana beritamu sungguh tajam juga," seru Ong Siau-sik tertawa. "Mana mungkin urusan sebesar ini tidak diketahui perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Lui Sun menghela napas sedih, "padahal aku selalu memperhatikan gerak-gerik kalian, aku selalu berharap kalian bisa secepatnya meninggalkan kotaraja." Pek Jau-hui mendengus dingin. Lekas Ong Siau-sik menyela lagi, "Jadi menurut Lui-toasiocia, kami kurang cocok untuk tetap tinggal di kotaraja?" "Tempat ini adalah tempat penuh masalah." "Hmmm, kami tak pernah takut menghadapi masalah," Pek Jau-hui tetap menjawab dengan nada ketus. "Tempat inipun merupakan tempat yang penuh dengan bau anyir darah," sambung Lui Tun lagi.

"Aku justru paling senang dengan tempat yang banyak masalah dan penuh bau anyir darah, jauh lebih segar ketimbang tempat lain." "Kalau memang begitu, ya terserahlah, cuma seseorang yang ingin mencari nama, kedudukan dan keuntungan di tempat ini, dia harus membayar mahal untuk kesemuanya itu, lambat laun ia akan kehilangan identitas diri dan akhirnya menjadi seorang manusia persilatan yang tak berdaya." "Pada dasarnya aku memang orang persilatan." "Dulu kalian bukan ... ah, kalian masih ada sedikit barang Pek Jau-hui tertawa dingin, tukasnya, "Peduli ya atau tidak, sekarang kami sudah bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau, So-toako menghargai kemampuan kami, dia telah mengundang kami untuk membantunya menghadapi perkumpulanmu, tentunya kau tak ingin kami tetap tinggal di sini bukan?" Lui Tun menghela napas panjang. "Terserah apa yang ingin kau katakan, terserah apa yang ingin kau kerjakan, tapi aku tetap beranggapan, tidak sepantasnya kalian tetap tinggal di sini, sebab kalian harus membayar mahal untuk kesemuanya itu, tidak sesuai dengan apa yang bakal kalian peroleh." "Kau adalah putri tunggal pangcu nomor wahid di kota-raja, kau pun bakal menjadi nyonya pangcu dari perkumpulan tak terkalahkan di kolong langit, tentu saja kau berhak mengatakan kalau pengorbanan kami tak sesuai dengan yang akan kami peroleh, tapi kami hanya orang persilatan yang mengandalkan tangan kosong untuk mendapatkan dunia, kami tak akan mengucapkan perkataan seperti itu." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ada saru hal yang ingin kukatakan sekarang, kenapa kami begitu tak tahu diri sehingga menolong kau sewaktu di Han-swe tempo hari, kenapa kami begitu goblok hingga masuk ke dalam perangkapmu?" Tampaknya Lui Tun mulai jengkel dengan ulah pemuda itu, katanya, "Aku amat berterima kasih karena kalian telah menolongku, terus terang kejadian itu bukan perangkap, tanpa bantuan kalian, mustahil aku masih bisa hidup sampai sekarang, jika aku ingin memperalat kalian, kenapa aku mesti kabur secara diam-diam? Bukankah aku bisa gunakan kesempatan itu untuk mengajak kalian bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Perlahan-lahan Pek Jau-hui dapat mengendalikan diri, pikirannya mulai dingin dan perasaannya mulai tenang, katanya, "Sekalipun kau tidak memancing kami masuk perangkap, tapi kau tetap telah membohongi kami." "Satu-satunya hal yang kulakukan hanya menyamarkan identitasku yang sebenarnya," ujar Lui Tun sedih, "tapi bukankah kalian menolongku bukan lantaran identitasku? Kita berkenalan, berteman, bersahabat apakah disebabkan identitasku? Bukan toh?" "Betul!" teriak Un Ji lantang dengan jengkel dia melotot sekejap ke arah Pek Jau-hui. "Tepat sekali!" Tong Po-gou ikut berteriak. "Ya, sangat tepat!" Thio Than tak mau kalah. Mendengar itu, Tong Po-gou kontan melotot gusar, sindirnya, "Orang bilang tepat, kau ikut bilang tepat, dasar kentut busuk!"

Thio Than tidak menanggapi, dia menuding keluar jendela sambil bergumam, "Ah, coba lihat, lagilagi turun hujan." "Turun hujan?" dengan heran Tong Po-gou ikut celingukan. "Hahaha, dasar kerbau!" kontan Thio Than tertawa tergelak, "kalau ada kerbau dungu mulai menguak di tengah jalan, itu pertanda segera akan turun hujan, bukan begitu?" Dugaan Thio than, ejekannya itu pasti akan memancing amarah Tong Po-gou, paling tidak, pasti akan membuatnya mencak-mencak bagai kebakaran jenggot. Siapa tahu sama sekali tiada reaksi. Dengan keheranan ia berpaling, dilihatnya Tong Po-gou sedang mengawasi keluar jendela dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Dengan keheranan dan ingin tahu Thio than ikut melongok keluar jendela, tapi dia pun segera berdiri terbelalak. Ternyata pagi hari yang semula cerah, kini betul-betul dilanda hujan angin yang amat kencang! ooOOoo 31 . Mus uh atau sahabat Ternyata di luar bangunan loteng itu sudah bukan merupa¬kan tempat yang semula. Jika kau bisa menonton opera, maka akan ada orang yang mengganti layar latar belakang panggung tontonan itu. Tapi yang membuat Thio Than dan Tong Po-gou terbelalak adalah saat itu mereka berada di rumah makan Sam-hap-lau. Rumah makan Sam-hap-lau terletak di tengah jalan raya. Jalanan itu merupakan pusat keramaian seluruh kota, ber¬bagai lapisan manusia nyaris berkumpul di situ, mulai dari penjaja kue sampai pengemis, dari ibu-ibu yang ke pasar hingga Siauya pemogoran yang kelayapan mencari pipi licin. Ketika pertarungan hampir berlangsung di atas ruang lo¬teng tadi, Tong Po-gou kuatir pertarungan itu akan mengancam keselamatan Un Ji, maka ia bermaksud memancing Thio Than turun dari loteng dan melanjutkan pertarungan di tengah jalan. Itulah sebabnya dia segera melongok keluar untuk meme¬riksa situasi di situ. Siapa tahu suasana, jalan yang semula amat ramai dan dipenuhi manusia yang berlalu-lalang itu kini jadi sepi, semua orang yang tadinya berkumpul di situ, sekarang sudah hilang lenyap tak berbekas. Jalan raya itu masih seperti jalan raya semula. Loteng itupun masih tetap loteng semula, tentu saja tak mungkin ada orang mampu 'memboyong' pergi kedua bangun¬an itu. Tapi di jalanan itu tak nampak sesosok manusia pun.

Suasana di jalan raya itu sangat hening, sepi, tak satu pun bayangan manusia yang muncul di situ, semua pintu rumah tertutup rapat, tiada suara manusia yang berbicara, tiada bina¬tang yang berkeliaran, seakan-akan jalan raya itu sudah berubah menjadi gurun pasir. Gurun pasir yang jauh dari keramaian dunia, jauh terpencil dari semua kehidupan. Kenapa bisa jadi begitu? Kemana perginya semua orang? Sebenarnya apa yang telah terjadi? Untuk sesaat baik Tong Po-gou maupun Thio Than hanya bisa berdiri tertegun, melongo. Sementara itu Pek Jau-hui telah berkata, "Aku sama sekali tidak menuduh kau telah merahasiakan identitasmu." "Lalu apa lagi yang telah kukelabui?" tanya Lui Tun tak habis mengerti. "Kau mengerti silat, padahal tak perlu bantuan dari kami." "Aku tidak mengerti kungfu." "Mana mungkin? Kau pandai silat!" "Aku benar-benar tidak mengerti." "Apa itu mengerti atau tidak," teriak Tong Po-gou, "kalau semua orang yang ada di jalanan mendadak lenyap, masa masih ditanya mengerti atau tidak" • "Kenapa bisa begitu?" teriak Un Ji setelah menghampiri jendela dan melongok keluar. Pek Jau-hui masih bergeming dari prinsipnya, terdengar ia berkata lagi, "Kau pasti bisa silat." "Atas dasar apa kau mengatakan aku bisa?" "Tadi kami berada di atap rumah, kenapa kau bisa men¬dengar kehadiran kami?" "Ini disebabkan aku sangat teliti," Lui Tun tertawa, ketika tersenyum, gadis ini nampak cantik sekali, "Aku sempat men¬dengar dua kali suara lirih bergema dari atas atap rumah." "Dua kali suara lirih?" Pek Jau-hui tertegun. "Benar, benar, benar," lekas Ong Siau-sik berseru, "sewak¬tu naik ke atap tadi, begitu melihat yang ada dalam ruangan adalah nona Un, tanpa sadar injakan kakiku jadi lebih berat hingga memecahkan ujung genteng, kemudian sewaktu mende¬ngar nona Lui buka suara, lagi-lagi lututmu menyentuh ping¬giran atap, mungkin sura itu yang dimaksud." "Hmmm, mungkin aku kurang hati-hati waktu itu" Pek Jau-hui mendengus dingin. "Juga gara-gara keteledoranku," sambung Ong Siau-sik. "Jadi kau yang membunuh Lotoa dari Mi-thian-jit-seng?" "Benar."

"Makanya dia mati dalam keadaan aneh." "Aku tak ingin dia membocorkan identitasku, lagi pula ma¬nusia macam dia memang pantas mendapat ganjaran mati." "Wah, seandainya kau ingin membunuh kami, bukankah hal ini bisa dilakukan dengan gampang?" seru Un Ji sambil menjulurkan lidah, "apalagi kami.tak akan menduga ke situ, tak pernah waspada terhadapmu!" "Mungkin gampang bila ingin membunuh kau, tapi jelas bukan kami," sambung Pek Jau-hui dingin. "Kenapa aku mesti membunuh kalian?" ucap Lui Tun sam¬bil tertawa sedih, "kalian tidak bermaksud membunuh aku, hal ini sudah satu kejadian yang bagus." "Wah, mulai hujan, hujan deras," tiba-tiba terdengar Tong Po-gou berteriak keras. "Apa sih yang perlu diherankan dengan hujan deras?" tegur Thio Than mendongkol. "Kau memang goblok, dasar otak udang," umpat Tong Po¬gou sambil mencak-mencak, "pagi tadi cuaca amat cerah, tahu-tahu mendung menggelayut dan sekarang hujan amat deras, apa kejadian ini tidak aneh?" Terdengar Pek Jau-hui bertanya lagi kepada Lui Tun, "Apa benar orang yang hendak membunuhmu di tepi sungai Han-swe tempo hari adalah anak buah perkumpulan Mi-thian-jitseng?" "Benar." "Kenapa?" "Sebab aku akan menikah dengan So Bong-seng. Jika peris¬tiwa ini sampai berlangsung, maka besar kemungkinan perse¬lisihan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poantong akan berakhir, jelas kondisi semacam ini sangat tidak menguntungkan pihak perkumpulan Mithian-jit-seng. Oleh sebab itu mumpung Kim-hong-si-yu-lau maupun perkum¬pulan Lak-hun-poantong sedang menggerakkan segenap keku¬atan yang dimilikinya untuk saling mengisi celah yang ada, mereka berniat menculikku dan kemudian akan memeras ayah¬ku serta So-kongcu." "Apakah perkumpulan Mi-thian-jit-seng tidak kuatir kalau tindakannya itu justru memancing ketidak-puasan Kim-hong-si-yu-lau serta perkumpulan Lak-hun-poan-tong hingga kemung¬kinan besar akan bekerja sama untuk menghadapinya?" "Analisa serta cara pandang perkumpulan Mi-thian-jit-seng memang sangat lihai, mereka sudah memperhitungkan sebelum berlangsungnya perkawinan ini, tak mungkin perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa akur dengan Kim-hong-si-yu-lau, jangan kan bekerja sama, saling membantu pun belum tentu mau." "Betul, sebelum daya pikatmu memperlihatkan pengaruh¬nya, mustahil perkumpulan Lak-hunpoan-tong bisa bekerja sa¬ma dengan Kim-hong-si-yu-lau, oleh sebab itu perkumpulan Mi-thianjit-seng memang sudah sepantasnya memusnahkan dirimu terlebih dulu," sindir Pek Jau-hui. "Padahal sekalipun aku telah kawin dengan So-kongcu juga belum tentu bisa mengubah semua ini," kata Lui Tun lagi tanpa menggubris sindiran yang sinis itu, "di atas satu gunung mana boleh

ada dua harimau? Perselisihan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong mustahil bisa diselesaikan tanpa terjadinya pertumpahan darah." Berbicara sampai di situ ia berhenti sebentar, kemudian baru katanya lagi, "Oleh sebab itu aku tidak berharap kalian melibatkan diri dalam persoalan ini." "Kau keliru besar," Pek Jau-hui tertawa dingin, "urusan ini bukan urusan pribadimu seorang, tapi persolan kita semua." Sepasang mata Lui Tun mulai berkaca-kaca, namun hanya sebentar, bila tidak dicermati, air mata yang sudah mengembeng di matanya itu sulit untuk terlihat. Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kami bekerja bukan demi kau, tapi demi Kim-hong-si-yu-lau!" "Peduli kau berjuang demi siapa," gumam Tong Po-gou, "sekarang langit sudah gelap, matahari sudah tak bersinar, buat apa sih urusan tetek-bengek begitu masih diributkan?" "Justru lantaran cuaca yang makin gelap, kita baru membi¬carakan persoalan ini," sela Ong Siausik. "Aneh benar," Tong Po-gou semakin keheranan, "apa sangkut-pautnya antara cuaca dengan kau berbuat untukku dan aku berbuat untuk kau?" "Tentu saja sangat besar, ketika dalam dunia persilatan ada seseorang muncul, langit pasti berubah, cuaca ikut berubah, matahari tak bersinar, manusia pun ikut tak bercahaya." "Wah, apakah orang semacam itu bisa disebut juga sebagai manusia?" "Tentu saja manusia," sahut Thio Than. "Siapa dia?" "Seseorang yang sangat menakutkan," paras muka Thio Than tiba-tiba berubah amat serius. "Sreeet!", mendadak terdengar desingan angin tajam mem¬belah angkasa, sebatang anak panah meluncur masuk dari balik jendela. Sebatang anak panah raksasa yang kasar, hitam dan sangat mengerikan. Belum pernah ada anak panah raksasa semacam ini muncul dalam dunia persilatan. Batang panah itu enam kali lipat lebih besar daripada anak panah biasa, bulu yang ada di ekor panah terbuat dari lempeng¬an baja tipis, anak panah berbentuk bulat mengkilap, cukup dilihat dari bentuk anak panah ini saja sudah tampak bobotnya sembilan kali lipat lebih berat daripada anak panah biasa. Kalau bentuk panah itu aneh, maka gerakan anak panah itu justru jauh lebih aneh lagi. Panah itu muncul dari bawah menuju ke atas, langsung dibidikkan ke tengah udara. Setelah melewati jendela, panah itu melesat naik ke atas dan bukan melesat lewat ke samping. Jangan-jangan orang yang membidikkan panah itu bukan manusia, melainkan burung yang terbang di angkasa, atau bah¬kan mungkin hasil bidikan dewa? Di saat anak panah melesat lewat jendela, "Sreeet!", kemba¬li dari balik batang panah itu melesat keluar sebatang panah lagi.

Panah raksasa itu melesat lurus ke atas, sewaktu melalui jendela, batang panah itu meletupkan sebatang panah yang lain dan langsung menerjang ke ruangan lantai dua Sam-hap-lau, gerakannya cepat, ringan, ganas, lincah, jauh lebih lincah dari panah mana pun, jauh lebih ganas dari serangan mana pun. Anak panah itu langsung mengancam tubuh Lui Tun! Dengan sekali lompatan Pek Jau-hui menghadang ke de¬pan, dia bermaksud menjepit datangnya anak panah itu. Thio Than melompat pula ke depan menghadang di hadap¬an Lui Tun, kalau dilihat dari gerakannya, dia seakan hendak menangkis datangnya serangan anak panah itu dengan menggu¬nakan kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya. Tong Po-gou tak sempat melakukan sesuatu, dia hanya menjerit kaget diikuti seruan tertahan dari Un Ji. "Jangan bergerak!" bentak Lui Tun nyaring, baru ia berseru, panah itu sudah rontok ke tanah. Ternyata anak panah yang meluncur datang dengan kece¬patan luar biasa dan amat garang itu tahu-tahu rontok sendiri secara otomatis setelah tiba lebih kurang tujuh langkah dari Lui Tun berdiri. Ong Siau-sik segera memungut anak panah itu. "Tolong bawa kemari," pinta Lui Tun. Ong Siau-sik melihat di ujung mata panah terikat secarik kertas kecil, lekas dia serahkan kepada Lui Tun. Segera ia membuka lipatan kertas itu, maka terbacalah beberapa huruf yang berbunyi, "Tujuh Rasul sedang menerjang ke arah Sam-hap-lau". Di bawah surat itu terlukis sebuah gambar sungai kecil. Lukisan sungai kecil itu melambangkan apa? Apakah nama seseorang? Ataukah nama dari sebuah organisasi? Mungkin juga sebuah kata sandi? Atau sepatah kata? Selesai membaca tulisan di atas kertas itu, Lui Tun segera menyerahkannya ke tangan seorang dayangnya, dan dayang itu segera membakar surat itu hingga jadi abu. Setelah itu Lui Tun menarik napas panjang, wajahnya kembali bersemu merah, bisiknya, "Dia benar-benar telah datang." "Siapa?" tanya Un Ji. "Mi-thian-jit." Ong Siau-sik kembali tertawa, dia merasa kejadian seperti ini sangat menarik. "Konon di kotaraja hanya So-toako dan Lui-congtongcu yang bisa mengendalikan Kwan Jit dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, sayang mereka berdua iidak hadir di sini," katanya.

"Itu berarti situasi sekarang harus dihadapi kau dan aku." "Tiba-tiba aku mempunyai satu firasat," kata Ong Siau-sik sambil tertawa. "Katakan." "Aku rasa dua orang yang harus kita hadapi tadi bukan sasaran utama yang dipersiapkan Toako, justru orang inilah sasaran utama kita yang sebenarnya, bagaimana menurut kau?" "Aku pikir tak mungkin So-toako dan Lui Sun turut serta dalam pertarungan kali ini, inilah pertempuran wajib yang harus kita hadapi, berhasil menggetarkan dunia persilatan atau lenyap dari muka bumi, semuanya tergantung pada hasil pertarungan nanti," kata Pek Jau-hui, kemudian kepada Lui Tun dan Thio Than katanya, "Cuma sebelum kita turun tangan, harus diper¬jelas dulu duduknya persoalan, dia datang sebagai musuh kita atau datang sebagai sahabat?" "Mi-thian-jit bertujuan menangkap aku, kalian tak perlu turun tangan," kata Lui Tun. "Sayang demi Kim-hong-si-yu-lau, aku tak akan memberi kesempatan kepada Kwan Jit untuk mengumbar kejumawaan-nya di tempat ini," kata Pek Jau-hui angkuh. "Baik, dalam kondisi harus menghadapi musuh yang sama, tentu saja kita harus bersahabat," kata Lui Tun. "Kita memang selamanya bersahabat," tukas Ong Siau-sik cepat, "sahabat karib!" "Tapi kalian mesti menjelaskan dulu, sebetulnya Mi-thian-jit itu terdiri dari berapa orang?" tanya Un Ji keheranan. "Hanya satu orang! Tapi anak buahnya terdiri dari enam orang jago tangguh, baik ilmu silat maupun kecerdasan mereka terhitung luar biasa." "Seperti Ci Thian-ciu?" tanya Un Ji sambil mencibir. "Dia?" Lui Tun mendengus sinis, "jangan lagi menjadi ja¬goan tangguh, mau masuk lingkaran dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng saja sudah tak mampu" Sambil mendengus Un Ji segera mengayunkan goloknya, ia berkata, "Aku jadi ingin membuktikan, sebetulnya dia seorang memiliki berapa banyak batok kepala Mendadak seperti teringat akan sesuatu, kembali serunya, "Sialan, perempuan yang bernama Lui Moay itu, dia telah mencuri sarung golokku!" "Aku yang mencuri sarung golokmu," tiba-tiba Thio Than mengakui. "Kau?" teriak Un Ji marah. Lekas Lui Tun menghiburnya, ia berkata, "Sebetulnya Lui Kun berniat menangkapmu, karena tak berhasil membujuknya, maka aku suruh Thio kecil dengan mencatut nama Lui Moay pergi mencuri sarung golokmu, maksudku adalah memberi peringatan agar kau secepatnya meninggalkan kotaraja, tak usah mencampuri urusan ruwet di sini." Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, "Thio kecil pandai menggunakan delapan cara ilmu mencuri serta delapan besar dunia persilatan, dia terhitung salah satu copet paling unggul di antara tiga jagoan lainnya."

"Terlalu memuji," Thio Than tertawa merendah. "Hmmm, jangan keburu senang," sindir Tong Po-gou sam¬bil mendengus dingin, "kehebatanmu paling hanya bisa menco¬pet barang orang lain." "Hahaha," Thio Than tertawa terbahak-bahak, "kalau bu¬kan gara-gara mempunyai ilmu mencopet, darimana aku bisa tahu kalau dalam saku seorang lelaki ternyata menyimpan selembar saputangan milik kaum wanita." Tong Po-gou segera meraba sakunya, tapi dengan cepat ia naik darah. Melihat Thio Than sedang mengendus sebuah saputangan kain sutera, ia menjadi jengah bercampur gusar, hardiknya, "Ce¬pat kembalikan padaku!" Dengan cepat ia menyambar ke depan. Sekali mengegos Thio Than berputar ke arah lain, cengke¬raman Tong Po-gou pun mengenai sasaran kosong. Pada saat itulah dari arah depan, belakang dan sekeliling jalan raya itu bergema suara seruling dan gembreng yang dibunyikan bertalu-talu. Pada mulanya hanya terdengar dua pekikan nyaring yang menusuk pendengaran, menyusul kemudian suara itu saling bersahut-sahutan hingga makin ramai. Akhirnya dari empat penjuru bergemalah suara pekikan seperti tiupan seruling yang gegap gempita. "Jangan berisik!" Lui Tun maupun Un Ji segera menghar¬dik Tong Po-gou dan Thio Than. Kedua orang jago itu serentak menghentikan keributannya. Cuaca makin lama semakin bertambah gelap, awan pun makin lama semakin menyelimuti langit. Suara seruling itu makin lama semakin nyaring, bagaikan sebilah pisau yang sudah lama dibakar di atas api kemudian dihujamkan ke atas dada. ooOOoo 32 . Bukan bertan ya pada Raky at, tapi pada Seta n Irama seruling menggema di angkasa, tinggi tajam serasa menyayat telinga. "Tampaknya kita sudah kedatangan banyak tamu tak di¬undang," bisik Pek Jau-hui. Biarpun cuaca di luar berubah hebat, paras mukanya sama sekali tak berubah. "Perkumpulan Mi-thian-jit -seng telah mengerahkan begitu banyak jago, tampaknya mereka bertujuan menangkan perta¬rungan ini," kata Ong Siau-sik. "Makin banyak orang semakin baik, malah jadi ramai!" sela Thio Than sambil tertawa. "He, pencuri yang tak tahu malu, cepat kembalikan barang milikku!" terdengar Tong Po-gou masih ribut. "Kalau punya kepandaian, ambil saja sendiri!"

Tong Po-gou sangat gusar, ia segera mengejar, tapi Thio Than kembali mengegos, kejar-mengejar pun segera berlang¬sung, tanpa terasa jarak mereka berdua dengan daun jendela tinggal tujuh langkah. Baru saja Un Ji hendak menghardik Tong Po-gou untuk menghentikan ulahnya, tiba-tiba terlihat Tong Po-gou serta Thio Than berdua telah menjebol dinding kayu yang menghadap ke arah jalan raya, kemudian dengan gaya monyet sakti menju¬lurkan lengan dan naga emas menunjukkan cakar, mereka men¬cengkeram seseorang dan melayang balik ke dalam ruangan. Ternyata orang itu adalah sang pelayan rumah makan. Pelayan itu dijepit di bawah ketiak Tong Po-gou, sementara jalan darahnya ditotok Thio Than, dengan saling membetot, mereka menyeret pelayan itu menuju ke ruang tengah. Karena dijadikan barang rebutan, pelayan itu jadi tersiksa setengah mati, nyaris tak bisa menghembuskan napas. Tampak paras mukanya berubah hebat. Dengan wajah garang Thio Than segera menegur, "Meng¬gunakan kesempatan ketika mereka berdua melayang masuk ke dalam rudngan, kau menyelinap ke bawah jendela dan mencuri dengar semua pembicaraan kami, hmm! Kau sangka aku tidak tahu? Kalau ingin membandingkan ilmu cakar kucingmu de¬ngan ilmu copet saktiku, huhh ... masih selisih jauh." "Sejak masih bersantap di bawah loteng tadi, aku sudah menaruh curiga pada tampangnya, aku tahu dengan tampang malingnya itu, dia pasti bukan orang baik-baik," sambung Tong Po-gou. "Hmm, siapa bilang kau yang mengetahui duluan? Sudah jelas aku yang tahu terlebih dulu" "Ada apa? Ingin berkelahi?" teriak Tong Po-gou dengan mata melotot, "kalau tidak kau kembalikan barang milikku, ja¬ngan harap aku Tong Ki-hiap akan melepaskan dirimu." Pek Jau-hui tahu, dagelan kedua orang itu tak bakal ada habisnya, cepat dia menukas, "Cepat jawab, kau berasal dari aliran mana?" "Sebentar lagi kalian bakal mampus, buat apa menanyakan persoalan ini?" biar sudah ditangkap, sikap pelayan itu masih angkuh dan jumawa, dalam pandangannya, seolah semua yang ada dalam ruang loteng itu sebentar lagi bakal mampus. "Ooh, kalau begitu kau adalah anggota Perkumpulan Mi-thian-jit-seng," kata Pek Jau-hui sambil manggut-manggut. "Baiklah, jika kalian tetap ingin tahu, akan kukatakan terus terang, aku adalah wakil Toucu Perkumpulan Mi-thian-jit-seng, daerah pengawasanku adalah seputar Sam-hap-lau." "Setahuku Sam-hap-lau masih termasuk wilayah kekuasa¬an Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tidak aneh kalau kalian pun menyebar mata-mata di sekitar sini, boleh tahu siapa namamu?" "Hmmm, hanya mengandalkan posisimu sekarang, masih belum pantas untuk mengetahui namaku," kembali pelayan itu mendengus sinis. Mendengar jawaban itu, Tong Po-gou maupun Un Ji seke¬tika tertawa geli, sementara Pek Jau-hui mulai berkerut kening, sekilas hawa membunuh terlintas di wajahnya, tapi hanya se¬jenak,

kemudian sambil tersenyum ujarnya, "Dalam pandangan¬mu, kami adalah orang yang bakal mampus, sementara iden¬titasmu juga sudah ketahuan, berarti jika kami tidak jadi mati, kau pun jangan harap bisa melakukan pengintaian lagi di wilayah ini. Kalau toh begitu, kenapa kau masih menjadi kura-kura yang takut menyebut nama sendiri?" "Baik, akan kukatakan terus terang. Hari ini orang-orang dari Rasul keenam bakal datang semua kemari, bahkan bisa jadi Jit-seng-ya Rasul ketujuh akan hadir sendiri di sini, kalian bakal mampus semua!" Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Aku disebut orang Kalajengking air Tan Cian-kui!" Diam-diam Pek Jau-hui terkesiap, batinnya, "Tampaknya Perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah mulai memukul gende¬rang mengumpulkan kekuatan, mereka menggunakan kesem¬patan di saat Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong saling berebut kekuatan, secara diam-diam menghim¬pun kawanan jago persilatan untuk bergabung dengan mereka. Si Kalajengking air adalah seorang perampok ulung dari ka¬langan liok-lim, dia tersohor di seputar wilayah Si-sui, sungguh tak nyana sekarang sudah menjadi anggota perkumpulan Mi-thian-jit, kelihatannya pengaruh mereka sudah makin melebar." Sementara berpikir, dengan senyum tak senyum ia menya¬hut, "Ah, rupanya Tan-toucu, sudah lama kudengar nama besar¬mu, sungguh tak disangka kini telah bergabung dengan per¬kumpulan Mi-thian-jit-seng, boleh tahu dari pihak kalian siapa saja yang bakal datang?" Belum sempat pelayan itu menjawab, mendadak terdengar seseorang menyahut dengan suara dingin menyeramkan, "Kami semua telah tiba di sini, bukannya bertanya langsung kepadaku, apa gunanya kau bertanya kepada dia?" Ucapan itu seolah bergema di sisi telinga mereka yang ada dalam ruangan, hal ini membuat Tong Po-gou dan Thio Than jadi amat terperanjat. Terdengar Pek Jau-hui segera menyahut, "Bukan bertanya kepada Rakyat (Cong-seng), bertanya pada setan (Kui-sin). Liu Cong-seng, Jin Kui-sin, kebetulan sekali kedatangan kalian." Tampak seseorang berjalan naik ke atas loteng dengan langkah lebar, sementara seorang lagi menerobos masuk lewat daun jendela. Begitu tiba dalam ruang loteng, kedua orang itu langsung bertarung sengit melawan Tong Po-gou serta Thio Than, dalam waktu singkat mereka sudah saling menyerang sebanyak tujuh gebrakan lebih. Begitu dahsyat serangan yang dilancarkan, membuat Tong Po-gou berdua tak sanggup lagi mempertahankan cengkeraman¬nya pada tubuh pelayan itu, tak kuasa lagi mereka melepaskan Tan Cian-kui. Dalam waktu singkat Tan Cian-kui telah beralih tangan, kini dia sudah berada di tangan kedua orang penerobos itu. Dalam pada itu paras muka Tan Cian-kui telah berubah hebat, dia memang pantas kaget sebab dia sendiri pun tidak tahu siapa nama sebentarnya dari Rasul ketiga serta Rasul keempat, tapi Pek Jau-hui dapat menyebutnya sekaligus. Darimana anak muda itu bisa mengetahui identitas mereka yang sebenarnya?

Yang membuat Tan Cian-kui lebih kaget lagi adalah ter¬nyata Rasul ketiga dan Rasul keempat adalah Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin, setahunya, kedua orang itu merupakan gem¬bong iblis paling kosen dalam kalangan hek-to, bahkan terkenal sebagai dua orang pembunuh kelas atas. Mereka berdua terkenal karena kemampuannya membu¬nuh, malah sejajar nama besarnya dengan organisasi pembunuh lainnya seperti kelompok Chin-si-beng-gwe-han-si-kwan (saat Chin terang bulan saat Han buka gerbang), Boan-thian-seng, Liang-cing-cing (bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip), Sin-put-ci, Kui-put-kak (dewa tak tahu, setan tak merasa). Orang persilatan memberi julukan kepada mereka berdua sebagai Yu-hoat-yu-thian (ada hukum ada langit). Konon dikarenakan dua alasan maka mereka memperoleh julukan itu. Pertama, karena mereka yang satu mewakili hukum dan satu lagi mewakili langit. Kedua, karena mereka pernah bertarung melawan kelom¬pok 'Berbuat onar semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Kelompok 'Berbuat onar semau sendiri' merupakan pasu¬kan andalan Kim-hong-si-yu-lau, dulunya terdiri dari tiga puluh tiga orang dan kini tersisa dua puluh sembilan orang karena ada empat orang sudah gugur dalam tugas. Namun pengorbanan mereka sama sekali tak sia sia, setiap pengorbanan selalu ditukar dengan satu nilai prestasi yang luar biasa, yang membuat Kim-hong-si-yu-lau memperoleh manfaat yang amat besar. Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin pernah bertarung melawan tiga puluh satu orang jago kelompok 'Berbuat onar semau sen¬diri', bukan saja mereka berhasil mundur dalam keadaan sela¬mat, bahkan berhasil membunuh dua anggota pasukan lawan. Sejak itulah mereka berdua mendapat julukan 'ada hukum ada langit'. Sejak pertarungan itu, konon hampir setengah tahun lama¬nya Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, katanya mereka sempat menderita luka yang cukup parah dalam pertarungan itu. Tan Cian-kui masih ingat dengan jelas, selama setengah tahun lamanya, Rasul ketiga dan Rasul keempat memang belum pernah tampil dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Tapi benarkah mereka tak pernah menampilkan wajahnya? Tan Cian-kui sendiri pun tidak tahu, karena Mi-thian-jit memang tak punya wajah. Kecuali Rasul ketujuh, setiap kali menampilkan diri, ke¬enam Rasul yang lain selalu muncul dengan mengenakan cadar, belum pernah satu kali pun tampil dengan wajah aslinya. Bahkan Kwan Siau-te, adik kandung ketua mereka sendiri pun baru secara kebetulan dapat menjumpai wajah asli saudara kandungnya itu setelah ia menikah dengan Lui Sun. Dari ketujuh Rasul pembius langit, hanya Rasul ketujuh Jit-seng-ya yang benar-benar merupakan 'Seng-cu', sementara keenam orang lainnya kendatipun menyandang julukan Rasul, sesungguhnya hanya merupakan jago tangguh pelindung kese¬lamatan Rasul ketujuh, sementara urusan lain sama sekali tak punya kekuasaan untuk menentukannya. Oleh sebab itu begitu Pek Jau-hui berhasil menyebut nama asli mereka, semua orang jadi tertegun dibuatnya.

Diam-diam Tan Cian-kui menghembuskan napas lega, ber¬untung dia sendiri pun tidak tahu identitas sebenarnya dari Rasul ketiga serta Rasul keempat ini, kalau tidak, kedua orang jago tangguh itu pasti menaruh curiga kepadanya, menyangka dia yang telah membocorkan rahasia itu. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan kedua orang jagoannya, sebab wajah Rasul ketiga tertutup oleh sebuah caping lebar yang terbuat dari bambu, sementara wajah Rasul keempat ditutup dengan topeng wajah malaikat bengis. Ong Siau-sik juga tak bisa melihat bagaimana perubahan mimik muka Jin Kui-sin maupun Liu Cong-seng saat itu. Dia hanya bisa melihat orang yang berperawakan tinggi itu mengenakan baju warna biru dengan kancing warna kuning, wajahnya ditutup dengan topi caping yang terbuat dari bambu, hanya dua lubang kecil saja yang tampak di atas caping itu, dari balik lubang terpancar sinar mata yang menggidikkan hati. Sementara yang satu lagi berjubah putih, sepatunya bersih lagi necis, kaus kakinya putih dengan alas sepatu terbuat dari kain, dari balik topeng yang dikenakan terlihat juga sorot ma¬tanya yang jauh lebih tajam ketimbang rekannya. Kendatipun Ong Siau-sik tak dapat melihat perubahan wajahnya, tapi dia tahu tebakan Pek Jau-hui tadi pasti benar. Jelas kedua orang jago tangguh itu amat terperanjat dibu¬atnya. Begitu muncul dan turun tangan, secara gampang kedua orang itu berhasil merampas balik Tan Cian-kui dari tangan lawan, siapa sangka justru karena itu identitas mereka malah ketahuan Pek Jau-hui. Padahal perasaaan yang dialami Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng waktu itu bukan cuma tercengang, mereka benar-benar terperangah dibuatnya. Seingat mereka berdua, sewaktu turun tangan melancarkan serangan tadi, mereka sama sekali tidak menggunakan jurus andalan masing-masing, darimana anak muda itu bisa menge¬tahui rahasia identitas mereka yang sebenarnya? Lagi pula mana mungkin dari satu gerak serangan saja, orang itu sudah dapat menebak identitas mereka secara benar? Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin segera saling bertukar pan¬dang sekejap, mereka sadar, pertarungan yang bakal berlang¬sung tampaknya tidak segampang dan seringan apa yang mere¬ka duga sebelumnya. Sebenarnya kedatangan mereka berdua hanya punya satu tujuan, dan untuk mencapai tujuan itu ada dua cara yang tersedia. Pertama, membantai habis semua orang yang hadir, atau kedua, menakut-nakuti semua orang yang hadir hingga semua¬nya melarikan diri. Oleh karena itu Jin Kui-sin segera memutuskan untuk men¬coba dulu cara yang kedua. "Kami datang kemari karena ketua ingin bertemu dengan nona Lui, asal dia bersedia pergi bersama kami, maka orang lain tak akan kami jamah," kata Jin Kui-sin dengan suara nyaring, "akan tetapi jika ada yang tak takut mati, berani maju mengha¬langi, terpaksa akan kukirim mereka menuju ke neraka."

Sejak awal dia memang tak siap membuat pihak lawan ketakutan lantaran perkataannya itu, khususnya terhadap bebe¬rapa orang anak muda yang kelihatan acuh dan suka mencari garagara itu, dia sadar, biasanya manusia semacam ini paling tidak takut mati, biar langit ambruk di hadapan mereka pun belum tentu bisa membuat mereka ketakutan. Dia memang paling tak suka dengan anak muda. Biasanya anak muda paling tak takut mati. Mungkin bukannya mereka tak takut mati, tapi lantaran jarak mereka dengan saat kematian masih terlalu jauh, maka mereka belum tahu bagaimana menakutkannya menanti saat kematian. Benar saja, terdengar anak muda yang hitam bulat seperti tiang bundar itu sudah menegur dengan suara keras, "Hei, kau yang bernama Liu Cong-seng atau Jin Kui-sin?" "Aku Jin Kui-sin!" "Hahaha, bagus sekali," seru Thio Than sambil bertepuk tangan, "kalau ada setan yang jadi pengiringnya, biar mati pun pasti mati dalam suasana ramai." Jin Kui-sin merasa anak muda jaman sekarang bukan saja tak takut mati, pada hakikatnya sama sekali tak mengerti bagai¬mana bersikap hormat kepada kalangan tua dunia persilatan, apalagi dengan satu serangannya tadi ia berhasil memukul mun¬dur orang ini, dalam anggapannya kungfu yang dimiliki orang ini tidak terlalu tangguh, maka dengan nada keras serunya, "Kau tahu, andaikata seranganku tadi tidak kutahan separuh tenaganya, sekarang kau sudah tak sanggup mengoceh lagi di sini." "Wah, kalau begitu kau sudah mengampuni jiwaku?" ejek Thio Than. "Tadi aku hanya bertujuan menolong orang, bukan untuk membunuhmu, kalau tidak, mungkin sekarang kau sudah dalam perjalanan menuju ke alam baka." "Padahal aku sendiri pun sudah mengampuni nyawamu," ejek Thio Than sambil membuka telapak tangannya, dalam genggamannya terlihat ada sebiji kancing tembaga berwarna kuning. Sekilas pandang Jin Kui-sin segera mengenali kalau kan¬cing itu adalah kancing baju miliknya yang telah berkurang satu, diam-diam hatinya tercekat. Terdengar Thio Than berkata lagi sambil tertawa terkekeh, "Coba kalau aku tidak ingat bahwa Thian itu maha pengasih, sedari tadi aku sudah mengantar kau untuk bertemu dengan nenek moyang setanmu." "Kau ... !" teriak Jin Kui-sin penuh amarah, tapi ia tak melanjutkan debatannya, dengan langkah lebar mendadak ia berjalan menghampiri Lui Tun. "Mau apa kau?" Thio Than segera melakukan pengha¬dangan. "Berani menghadang berarti mati." "Kau ingin mampus? Silakan." Jin Kui-sin tidak banyak bicara, dia membalik ujung baju¬nya lalu melepaskan sebuah bacokan. Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, benturan keras membuat tubuhnya bergetar keras.

"Kenapa tidak segera menggelinding pergi?" bentak Jin Kui-sin sambil melepaskan sebuah pukulan lagi. Kembali Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, kali ini tubuhnya mundur satu langkah, wajahnya yang semula hitam pekat kini berubah jadi pucat pias. Menyaksikan hal itu Tong Po-gou segera mengejek, "He, Gentong nasi, kalau sudah tak mampu, biar aku yang mela¬kukan penghadangan." Tapi belum sempat dia bergerak maju, Liu Cong-seng sudah berjalan menghampirinya. Jangan dilihat orang itu berpakaian necis, bersepatu bersih dan berjalan santai, begitu dia melangkah maju, menerjang ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tong Po-gou tak berani ayal, dia ikut melangkah ke depan, menghadang jalan pergi lawan. Menyaksikan jalan lewatnya terhadang, Liu Cong-seng segera menggelengkan kepala berulang kali, namun Tong Po-gou tidak menggubris, dia malah ikut menggelengkan pula kepalanya. Kembali Liu Cong-seng menggoyangkan tangannya, mak¬sudnya agar dia segera menyingkir dari hadapannya. Tong Po-gou tertawa menyengir, dia ikut menggoyangkan juga tangannya, bermaksud agar kau saja yang pergi dari ha¬dapannya. Kali ini Liu Cong-seng tidak melakukan gerakan apa-apa lagi, ia berdiri tenang. Melihat itu Tong Po-gou ikut berdiri tanpa bergerak. Ketika Liu cong-seng menghela napas, Tong Po-gou meni¬ru dengan menghela napas pula. Tiba-tiba Liu cong-seng merangsek ke depan sambil me¬lancarkan serangan, lima jari tangannya dipentang lebar bagai¬kan sebuah sekop, dia langsung menusuk dada lawannya. "Cepat menghindar!" teriak Ong Siau-sik yang menyaksi¬kan serangan itu. Tak usah disuruh pun Tong Po-gou sudah menyingkir lebih dulu, jangan dilihat badannya gede seperti raksasa, ter¬nyata gerakannya berkelit jauh lebih cepat dari suara. "Braaaak!", tusukan jari tangan Liu Cong-seng segera menghujam di atas tiang kayu besar. Sebelum Tong Po-gou sempat membalikkan badan sambil melancarkan serangan, ia sudah mencabut kembali jari tangan¬nya. Seandainya dalam genggamannya memegang sebilah go¬blok, tentu saja peristiwa ini bukan suatu kejadian yang aneh, tapi dia hanya bertangan kosong. Sebuah tangan yang terdiri dari darah daging ternyata sanggup menusuk tiang kayu sebesar itu secara gampang, bah¬kan sewaktu mencabut keluar pun dilakukan secara mudah, seolah menarik tangannya dari selembar kertas saja, kontan saja kejadian ini membuat hati Tong Po-gou terkesiap. Belum sempat ingatan kedua melintas dalam benaknya, Liu Cong-seng sudah merangsek maju ke hadapan Lui Tun.

Jangan dilihat ia berjalan santai, kenyataan cepatnya bukan kepalang, dalam waktu singkat ia sudah tiba di hadapan Lui Tun. Tapi belum sempat melancarkan serangan, keempat orang dayang yang berada di belakang Lui Tun sudah menerjang maju sambil melepaskan tusukan dengan pedangnya. Biarpun tusukan dilakukan empat bilah pedang sekalius, ternyata hanya satu desingan angin tajam yang terdengar. Kerja sama keempat orang dayang itu memang luar biasa, jelas sudah melalui latihan yang tekun dan ketat, oleh sebab itu bukan saja serangan yang dilontarkan tertuju pada sasaran yang sama, bahkan dilakukan secara bersamaan dan rapi. Empat bilah pedang dari empat sudut yang berbeda me¬nusuk empat buah jalan darah penting di tubuh lawan. Di sinilah letak kehebatan kerja sama ini, karena serangan yang dilancarkan empat orang hanya menampilkan sepasang tangan, sepasang mata dan sebuah hati yang sama. Jarang ada orang bisa menggunakan empat bilah pedang pada saat dan keadaan yang sama, menggunakan empat jenis ilmu pedang yang berbeda dan menyerang dari empat sudut yang berbeda. Namun serangan semacam ini ternyata tidak menyulitkan Liu Cong-seng untuk menghadapinya. ooOOoo 33 . Tolong Entah apa yang terjadi, tahu-tahu empat bilah pedang itu patah jadi dua. Sepintas tampaknya keempat bilah pedang itu patah pada saat yang bersamaan, sesungguhnya tidak. Liu Cong-seng sekaligus telah melancarkan empat buah serangan, keempat buah serangan itu semuanya menggunakan gerakan empat buah jari tangan, ketika disentilkan pada jarak tiga inci dari ujung mata pedang lawan, seketika itu juga ujung pedang patah jadi dua. Posisi tiga inci dari ujung pedang memang merupakan bagian terlemah dari sebilah pedang, sama seperti bagian tujuh inci dari tubuh ular yang menjadi titik kematian, ternyata semua serangan yang dilancarkan Liu Cong-seng ditujukan ke arah situ. Berhasil menghajar keempat bilah pedang tadi, kembali dia melanjutkan langkahnya mendekati Lui Tun. Tong Po-gou segera menyusul dari belakang, tampaknya dia hendak melancarkan serangan ke punggung lawan. Liu Cong-seng sama sekali tidak bereaksi, dia tetap melanjutkan langkahnya, seakan dia memang sedang menunggu hingga Tong Po-gou melancarkan serangannya terlebih dahulu. Siapa tahu ketika Tong Po-gou mengejar hingga tiga langkah di belakang punggungnya, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, ternyata sewaktu berlarian tadi ia dapat merasakan goncangan keras yang timbul di lantai ruangan itu, dia kuatir lantai loteng itu ambruk, maka selain menghentikan pengejaran, dengan sendirinya dia pun tak sanggup melancarkan serangan.

Waktu itu sebenarnya Liu Cong-seng sudah meningkatkan kewaspadaannya dengan menghimpun seluruh kekuatannya, dia sudah siap menahan gempuran dari Tong Po-gou dengan punggungnya. Siapa tahu serangan tidak jadi dilancarkan lawan, ini membuat tenaganya yang terhimpun jadi siasia, ketika ditunggu sekejap lagi serangan tetap tak muncul, dengan penuh kegusaran ia membalikkan tubuh. Tapi sebelum sempat mengucapkan sesuatu, Tong Po-gou sudah berseru duluan, "Kau sudah kalah." Sekali lagi Liu Cong-seng tertegun, agaknya ia tak mengerti apa yang dimaksud. "Kau sudah kalah secara mengenaskan, sedemikian mengenaskan sampai aku tak tega untuk melancarkan serangan lagi terhadapmu," kata Tong Po-gou lagi sambil menggeleng kepala. Liu Cong-seng merupakan seorang jago yang tak pandai bicara, dia pun segan banyak bicara, namun setelah mendengar ejekan itu, tak urung teriaknya juga, "Apa kau bilang?" "Habis sudah, ternyata sampai suaramu pun ikut jadi parau." "Kau merah padam wajah Liu Cong-seng, dengan penuh amarah ia menyilangkan tangannya di depan dada siap melancarkan serangan lagi. "Ah, betul, bukankah ilmu yang kau latih adalah Cong-seng-ci (tusukan rakyat) sedang ilmu andalan Jin Kui-sin adalah bacokan setan?" Liu Cong-seng melengak, tapi segera mengangguk, dia benar-benar curiga bercampur tak habis mengerti, padahal kepandaian yang mereka latih merupakan kepandaian khusus yang jarang diketahui umat persilatan, darimana bocah itu bisa mengetahuinya? Terdengar Tong Po-gou berkata lagi sehabis menghela napas, "Ai, ternyata ilmu yang kalian berdua pelajari benar-benar merupakan ilmu pukulan sakti yang mempunyai daya penghancur luar biasa ....... tapi tahukah kalian apa sebabnya banyak jago berbakat dalam dunia persilatan yang gagal mempelajari ilmu duri rakyat dan bacokan setan?" Sebenarnya Liu Cong-seng enggan memberikan tanggapan, tapi ucapan Tong Po-gou yang terakhir terasa sangat menggelitik rasa ingin tahunya sehingga tanpa sadar ia bertanya, "Kenapa?" "Nah, itulah dia, jadi kau belum tahu? Di sinilah letak kesalahanmu," kata Tong Po-gou sambil berlagak serius, "kau tahu, apa sebabnya ilmu pukulan Cong-sin-ci gagal mencapai puncak kesempurnaan? Ini disebabkan Jin-meh serta Tok-meh di tubuhmu belum tembus jadi satu, apalagi bila tidak memiliki bakat alam yang bagus, salah-salah kau bisa Cau-hwe-jip-mo (jalan api menuju neraka), paling enteng kau kehabisan tenaga, kalau sampai parah bisa gila jadinya. Coba bayangkan sendiri betapa hebatnya Si-hun-to, si Golok pelenyap sukma Tiau Siau-hong serta si Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong, mereka adalah jago sangat tangguh di kolong langit, tapi akhirnya ... mereka semua jadi orang idiot!" Sejak kecil Liu Cong-seng memang sudah gemar belajar silat, banyak pengetahuan yang ia peroleh dari berbagai pergaulan, maka setelah mendengar keterangan Tong Po-gou itu dan dirasakan apa yang diucapkan ada benarnya juga, ia jadi kesemsem dan mendengarkan dengan lebih seksama. Tapi ketika dirasakan ada yang tidak pas dengan apa yang didengar, ia pun segera berseru, "Eh, tampaknya Tiau Siau-hong bukan gila lantaran urusan itu, dan lagi siapa itu Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong? Kenapa aku belum pernah mendengar namanya?"

"Thio Seng-cong?" Tong Po-gou melirik sekejap ke arah Thio Than yang masih bertarung sengit di tengah arena, kemudian setelah pura-pura menghela napas, terusnya, "jadi kau belum pernah mendengar nama itu? Berarti pengetahuanmu betul-betul dangkal." Liu Cong-seng kontan meradang, ia meraung keras. . "He, jangan meraung, begitu kau menjerit, akan ketahuan semua titik kelemahanmu." Liu Cong-seng agak tertegun, ternyata ia benar-benar tidak meraung lagi, namun berbagai pertanyaan melintas di benaknya. "Belakangan, setiap mendung atau hujan, bukankah jalan darah Siang-ci, Toa-ho, Yu-bun dan Sinhong di tubuhmu terasa sakit seperti ada hawa yang tersumbat bukan? Bahkan kau pasti sering panas dalam bahkan batuk keluar darah?" kembali Tong Po-gou bertanya. "Ya, benar, darimana kau tahu?" "Berarti semua yang aku katakan betul?" "Jalan darah Toa-ho, Sin-hong sih tidak apa apa, tapi Yu-bun dan Siang-ci memang sakit seperti ditusuk, waktu batuk juga ada darahnya. Sebenarnya apa yang terjadi?" "Gawat, wah, gawat sekali, jika kau berani berkelahi lagi, jiwamu bisa terancam." Jin Kui-sin yang sedang bertarung melawan Thio Than lekas berteriak, "Lotoa, jangan percaya dengan omongan orang itu, dia sedang berbohong, cepat singkirkan dia lalu bantu aku." "Hahaha, hahaha," beberapa kali Thio Than ingin turut mengejek, akan tetapi tekanan Jin Kui-sin yang begitu gencar membuat dia tak mampu mengucapkan kata-kata. Beberapa saat kemudian ia baru berteriak dengan suara terbata-bata, "Kau ...... ce ......... cepat panggil ........ panggil bala bantuan........ hahaha Sadar dirinya sedang dipermainkan orang, Liu Cong-seng jadi sangat berang, kelima jari tangannya yang tajam bagai jepitan baja segera direntangkan lebar-lebar, kemudian sambil menatap Tong Po-gou dengan mata tajam, hardiknya, "Kau berani mempermainkan aku?" Lekas Tong Po-gou mundur selangkah, sahutnya sambil menggoyangkan tangan berulang kali, "Dengarkan dulu perkataanku, aku bukan sedang membohongimu, kalau tidak percaya, coba himpun tenaga dalammu, bukankah jalan darah di seputar pinggang terasa agak sakit?" "Benar," sahut Liu Cong-seng setelah tertegun sejenak. "Kalau memang benar, kenapa mesti marah-marah? Cepat obati dulu luka dalammu." Liu Cong-seng tidak banyak bicara, dia benar-benar mem¬buyarkan tenaga dalamnya yang telah terhimpun. Diam-diam Tong Po-gou menghembuskan napas lega, tapi ia kembali berkata, "Tahukah kau apa sebabnya sampai begitu?" "Apa sebabnya?" "Sebab caramu berlatih menyimpang." "Apa?" kembali Liu Cong-seng mencak-mencak gusar. "Jika cara latihanmu tidak menyimpang, dengan mengandalkan tenaga murnimu yang terhimpun dari Kun-goan-it-khi-sin-kang tak mungkin akan timbul perasaan sakit di beberapa bagian tubuhmu, bukankah begitu?"

Liu Cong-seng tertegun, untuk beberapa saat lamanya dia tak berbicara lagi. "Lotoa," Jin Kui-sin kembali berteriak keras, "jangan percaya dengan obrolan ngawurnya itu, cepat bunuh orang itu dan segera bantu aku menangkap orang." Kali ini Liu Cong-seng tak menggubris, malah tanyanya pada Tong Po-gou, "Darimana kau tahu cara latihanku salah?" "Yang kau latih adalah ilmu mengerahkan tenaga putaran kecil, Jin-meh serta Tok-meh mesti dibuat tembus dulu, hawa murni baru bisa berputar lancar, dengan lancarnya hawa murni, maka kau bisa menggunakan sistim latihan satu putaran besar "Tapi aku sudah melampaui taraf itu, kenapa bisa terjadi hal semacam ini?" Agak berubah paras muka Tong Po-gou, tapi segera sahutnya, "Sekalipun kau berhasil mencapai tingkatan itu, namun ada beberapa jalan darah penting yang belum kau tembus, seperti misalnya jalan darah Cian-keng, Thian-lian ..." "Tunggu, tunggu sebentar, jangan terlalu cepat kalau bicara," seru Liu Cong-seng dengan peluh bercucuran, "tadi kau mengatakan ada jalan darah tertentu yang harus dilalui, tapi apa hubungannya dengan cara latihanku?" "Ah, kau hanya tahu satu tak tahu dua, jika ingin berhasil dengan ilmu Cong-seng-ci, maka jalan darah tadi perlu ditembus terlebih dulu...." Seperti orang sinting, Liu Cong-seng malah berdiri melongo, sampai lama sekali dia berdiri kebingungan. "Be ... benarkah yang kau katakan "Tentu saja aku bicara sejujurnya, bahkan masih ada bebe¬rapa buah jalan darah lagi yang mesti diperhatikan." "Masih ada jalan darah apa lagi?" "Misalnya Tong-cu-lian, Sian-lian "Lotoa, kau sedang dibodohi orang, jangan percaya teriak Jin Kui-sin makin keras. "Tutup mulut!" hardik Liu Cong-seng memotong teriakan rekannya itu, kemudian kepada Tong Pogou tanyanya lagi, "Kau bilang jalan darah apa lagi?" "Jalan darah apa? Hmmm, jika ingin minta petunjuk, seharusnya kau bersikap lebih sopan, kau seharusnya memanggil aku dengan sebutan Tong Ki-hiap lebih dulu ..." Tampaknya Liu Cong-seng sudah makin percaya pada obrolan orang. Tan Cian-kui yang mengikuti jalannya tanya jawab itu jadi tak kuasa menahan diri, mendadak serunya, "Sam-seng, kau jangan percaya dengan omongan bangsat itu, kau sedang ditipu habishabisan, bagaimana jika hamba menghajarnya lebih dulu?" "Minggir kau dari situ," hardik Liu Cong-seng marah.

Tan Cian-kui tak berani melawan perintah, ia segera me¬nyingkir ke samping. Dengan suara berat, kembali Liu Cong-seng bertanya, "Tong Ki-hiap, kau bilang caraku berlatih menyimpang, boleh tahu dimana letak penyimpangan itu?" "Aku tahu setelah melihat caramu turun tangan, kemudian mendengar suaramu berbicara,oleh karena itu kuanjurkan agar kau jangan turun tangan, coba bayangkan sendiri, kalau aku sudah tahu titik kelemahanmu, apa jadinya bila kau tetap nekat menyerang?" Sebenarnya Liu Cong-seng terhitung orang yang lugu, berangasan tapi lurus, saking gelisahnya ia segera melepaskan topeng yang dikenakan sehingga terlihat wajahnya yang lebar dengan hidung besar mulut lebar, kemudian tanyanya lagi, "Tadi kau menyebut beberapa tempat jalan darah yang ada di bagian leher, tengkuk dan dada, boleh tahu bagaimana caraku berlatih agar tidak menyimpang?" "Kau ingin tahu caranya? Baiklah, segera akan kuberitahu sambil berkata Tong Po-gou segera berjalan mendekat, be¬gitu sudah tiba di hadapan Liu Cong-thian mendadak ia melancarkan sebuah pukulan kilat ke wajah lawan. Mimpi pun Liu Cong-thian tidak menyangka kalau dirinya akan diserang dengan cara begitu, untuk menghindar tak sempat lagi, tahu-tahu terdengar suara tulang yang retak, batang hidungnya sudah terhajar telak hingga hancur remuk, sementara tubuhnya mencelat ke udara dan terlempar keluar jendela. Sambil tertawa terbahak seru Tong Po-gou, "Hahaha, apa kataku? Untung aku cuma memukul dengan tenaga sebesar dua bagian, coba kalau kuhajar dengan sekuat tenaga, mungkin habis sudah nyawamu." Belum selesai ia berkata, terasa segulung desingan angin tajam menyergap, ternyata Liu Congseng telah muncul kembali di hadapannya. Biarpun batang hidungnya terhajar hingga tulang hidungnya retak, pukulan itu tidak sampai membuat badannya terbanting jatuh ke bawah loteng. Begitu tubuhnya terlempar, lekas dia menghimpun tenaga dalam dan kembali melompat naik ke lantai dua. Wajahnya saat ini jauh lebih menakutkan ketimbang wajah singa yang sedang marah, kalau ada seekor singa yang sedang marah, paling dia hanya akan menggigit orang, tapi tampang Liu Congseng saat ini seakan ingin menelan musuhnya kulit berikut tulangnya, kemudian ditumpahkan lagi dan ditelan lagi. Kini Tong Po-gou baru menyesal, menyesal kenapa hanya menggunakan tenaga sebesar dua bagian sewaktu menghajar tulang hidung lawan tadi. Tahu begini, dia akan mengerahkan tenaganya sebesar enam bagian untuk menghajar wajah lawan, sayang, menyesal saat ini tak ada gunanya sebab keadaan sudah terlambat. "Kau berani menipu aku teriak Liu Cong-seng penuh amarah, begitu buka suara, darah segera menyembur keluar dari lubang hidung, telinga serta mulutnya. Lekas Tong Po-gou menggoyangkan tangan berulang kali, serunya, "Liu Cong-kui ... eh salah, kakek Liu, Liu-locianpwee, dengarkan dulu perkataanku, aku

Kali ini Liu Cong-seng tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk bicara, ilmu Cong-seng-ci segera digunakan untuk melancarkan serangan. Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus mengayunkan kepalannya untuk menyambut datangnya serangan itu. Jangan dilihat kepalannya lebih besar dari sebuah mangkuk, namun ketika membentur jari tangan lawan, ia merasa kepalannya itu seolah sedang menghantam selapis dinding baja. Tong Po-gou menjerit kesakitan, saking sakitnya ia sampai melompat-lompat, ia merasa tangannya seolah sedang menghajar sebatang paku baja yang tajamnya luar biasa, membuat permukaan tangannya robek, terluka dan berdarah. Bukan cuma sebatang paku baja, bahkan empat batang paku sekaligus. Belum hilang rasa sakit di tangannya, Liu Cong-seng telah melancarkan tusukan yang kedua. Tong Po-gou berusaha menghindar, dia ingin menghindar, ingin bersembunyi, sayang semuanya sudah terlambat. Merasa jiwanya mulai terancam, ia berteriak keras, sambil merogoh sakunya dia mengancam, "Jika kau berani mendekat lagi, jangan salahkan kalau aku lemparkan Yan-hi-bong-bong (hujan asap menyelimuti angkasa), senjata rahasia paling ampuh dari keluarga Tong!" Yan-hi-bong-bong adalah senjata rahasia khas keluarga Tong, keluarga yang tersohor ilmu senjata rahasianya di wilayah Suchuan, senjata rahasia ini memang amat sulit di hadapi. Liu Cong-seng cukup tahu kehebatan ilmu senjata rahasia keluarga Tong ini, tentu saja ia tak berani bertindak secara gegabah. Begitu ia sedikit merandek, Tong Po-gou segera melejit ke samping dengan gerakan ikan Le-hi meletik. Siapa sangka belum lagi badannya berdiri tegak, "Sreeet!", benda yang berada dalam genggamannya tahu-tahu sudah direbut orang. Entah sedari kapan tahu-tahu di samping tubuhnya telah berdiri seseorang yang mengenakan sebuah topi rumput yang sangat lebar, topi itu dikenakan amat rendah hingga tak nampak raut wajahnya. Setelah merampas benda di tangan Tong Po-gou, dengusnya dingin, "Hmmm, benda beginipun disebut senjata rahasia keluarga Tong?" Ternyata benda yang direbut hanya sebuah kantung uang. Begitu melihat kemunculan orang itu, dengan wajah girang Liu Cong-seng segera menyapa, "Jiseng (Rasul kedua), rupanya kau pun sudah datang!" "Hmmm, kalau Jit-sengcu sendiri ikut hadir pada hari ini, masa Lohu hanya berpangku tangan?" sahut orang itu dingin, tampaknya ia merasa sangat tak puas, "sudah sejak tadi kau dan Lo-su berusaha meringkus dua orang bocah busuk itu, namun belum juga berhasil, bagaimana nantinya kalian akan bertanggung jawab di hadapan Sengcu?" Dengan perasaan malu Liu Seng-seng menundukkan kepala, tapi kembali dia menatap wajah Tong Po-gou dengan sorot mata buas.

Sementara itu Tong Po-gou telah berteriak keras, "He, siapa bocah busuk yang dimaksud? Aku adalah jago nomor wahid yang tak terkalahkan di kolong langit, Tong Po-gou!" Tahu gelagat semakin tidak menguntungkan, ia berusaha mengulur waktu. "Baik," kata orang bertopi rumput itu bengis, "akan kubunuh dirimu lebih dulu!" Begitu selesai berkata, sepasang tangannya langsung menyambar tenggorokan Tong Po-gou. Kendati Tong Po-gou sudah bersiap, namun ia tak menyangka kalau serangan bakal datang secepat itu, lekas ia menangkis dengan lengan kirinya. Baru saja ia menggerakkan tangan kirinya, kembali ancaman orang itu berubah sasaran, kali ini dia mencengkeram bahunya. Kontan saja Tong Po-gou merasakan separuh badan sebelah kirinya kesemutan dan menjadi kaku, lekas dia menangkis dengan lengan kanannya. Tapi baru saja dia menggerakkan lengan kanannya, lagi-lagi tangan orang itu menekan bahu kanannya, tangan Tong Po-gou seketika menjadi lemas dan tak bisa digunakan lagi. Menyusul kemudian tangan orang itu melanjutkan gerakannya mencengkeram tenggorokan Tong Po-gou. Beberapa jurus serangan yang dilancarkan secepat kilat ini nyaris hanya menggunakan sebelah tangan saja, tangan kanan, bahkan boleh dibilang tak pernah terlihat ia menggerakkan tangan kirinya. Orang itu seakan tidak memiliki tangan kiri, seperti juga dia memang tak butuh tangan kirinya itu. Karena cukup mengandalkan tangan kanannya, semua gerakan dapat dilakukan amat cepat, sedemikian cepatnya hingga tak bisa diikuti dengan mata, bahkan bagaikan besi semberani, kemana pun dia bergerak, semuanya terbelenggu dan tak mampu bergerak bebas lagi. Kini tangan yang keras bagaikan baja, cepat bagaikan bayangan setan itu sudah mengancam tenggorokan Tong Po-gou, kelihatannya sulit bagi pemuda itu untuk menghindarkan diri lagi. Menyaksikan ancaman maut yang muncul di depan mata, Tong Po-gou kaget setengah mati, saking kaget dan ngerinya, nyaris dia hendak berteriak minta tolong. Siapa tahu belum lagi teriakan itu meluncur dari mulutnya, seseorang yang lain sudah berteriak duluan, "Tolong!" ooOOoo 34. Kar ena lapar Thio Than tak punya pilihan lain. Mau tak mau dia harus berteriak minta tolong. Ketika bertarung untuk pertama kalinya melawan Jin Kui-sin tadi, dia masih percaya penuh dengan kemampuan yang dimilikinya, tapi setelah Jin Kui-sin melancarkan pukulannya yang ketiga, Thio Than mulai putus asa, rasa percaya dirinya mulai goyah.

Ketika Jin Kui-sin mulai melepaskan pukulannya yang kelima, rasa percaya diri yang dimiliki Thio Than sudah hancur berantakan tak keruan. Kehilangan rasa percaya diri bukan berarti dia bisa lepas tangan dan mundur dari arena pertarungan. Ada sementara orang kerap kali lantaran nasib, lingkungan, keadaan atau karena sebab musabab lain yang tak bisa ditanggulangi, menyebabkan rasa percaya dirinya goyah, tapi asal mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak, biasanya rasa percaya dirinya akan pulih kembali. Siapa pun di dunia ini pasti ada saatnya kehilangan rasa percaya diri, terutama dalam kondisi ditimpa berbagai kemalangan dan kegagalan. Rasa percaya diri mirip dengan sebatang lilin, ketika bertemu angin kencang yang meniupnya, bibit api terkadang meredup seolah hendak padam, tapi seringkah dia akan menyala dan menjadi terang kembali. Terkadang ada hal-hal yang tetap harus dikerjakan, sekalipun telah kehilangan rasa percaya diri. Thio Than adalah manusia macam begini, dia seringkali harus melakukan pekerjaan seperti ini. Setelah menerima lima buah pukulan dari Jin Kui-sin secara beruntun, bukan saja tubuhnya terdesak mundur dengan sempoyongan, paras mukanya juga telah berubah pucat pias, padahal paras muka hitamnya jarang sekali berganti warna. Begitu melihat musuhnya sudah dibuat tercecar, Jin Kui-sin tidak mempedulikan Thio Than lagi, dia seakan sudah tak sudi memandang lawannya itu, dengan langkah cepat dia menghampiri Lui Tun. "Berhenti!" bentak Thio Than setelah menarik napas panjang. Jin Kui-sin mendengus dingin, ia sama sekali tak menggubris, langkahnya dilanjutkan menuju ke hadapan si nona. "Berhenti, monyet!" sekali lagi Thio Than membentak gu¬sar. "Hmmm, panglima yang sudah kalah bertarung masih berani melarang aku untuk melangkah?" "He, panglima yang kalah perang, aku melarang kau maju selangkah lagi!" Tiba-tiba Jin Kui-sin membalikkan badan, topi caping bambunya nampak bergetar keras, teriaknya penuh amarah, "Apa kau bilang?" "Coba lihat, apakah benda ini milikmu?" ejek Thio Than sambil memperlihatkan sebuah lencana yang terbuat dari bambu. Hanya sekilas pandang, Jin Kui-sin sudah dapat mengenali lencana itu sebagai leng-pay dari Sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng, lekas dia memeriksa sakunya, ternyata benda yang semula tersimpan rapi di situ, kini sudah hilang. "Bagaimana?" ejek Thio Than lagi sambil tertawa dingin, "kehilangan barang pusaka bukan?

Nah, itulah keampuhan jurus tangan kosong penggeledah saku, jangan lupa, aku menguasai ilmu pencuri sakti, jadi kalau aku ingin mencomot nyawamu, kau bakal segera kehilangan nyawamu." Pada mulanya Jin Kui-sin sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap kemampuan Thio Than, tapi setelah bertarung beberapa gebrakan dan kenyataannya dua kali dia harus kehilangan barang, pertama kancing bajunya kena dicomot dan kali ini leng-pay perkumpulannya diambil tanpa dia sadari, diam-diam peluh dingin mulai membasahi tubuhnya. "Bocah keparat," serunya kemudian, "tak kusangka kau begitu hebat, siapa namamu?" "Aku she Thio," sahut Thio Than sambil tertawa, "kau pun boleh menyebut aku sebagai Thio Tayki-hiap." Ternyata kali ini Jin Kui-sin tidak marah, hanya ujarnya, "Aku merasa sangat kagum dengan kehebatanmu, tak kusangka kau mampu mencopet kancing bajuku dan leng-pay milikku tanpa kusadari, tolong kembalikan leng-pay itu, selama kau tak akan mencampuri urusan ini lagi, aku pun tak bakal mengganggumu lagi." "Kau menginginkan leng-pay ini?" kembali Thio Than mengejek, dia tahu kalau tidak mengejeknya, pertarungan ini pasti gagal dilanjutkan, "Bukankah barang itu berada dalam sakumu? Kalau sekarang telah berpindah tangan, itu berarti sudah menjadi milikku. Hehehe, kalau menginginkan kembali benda ini, gunakan kepandaianmu untuk merebutnya lagi. Tapi kalau kancing baju ini sih tak berguna bagiku, nih, aku kembalikan!" Seraya berkata segera dia sentilkan kedua jari tangannya ke depan, diiringi suara desingan yang amat nyaring, kancing baju itu melesat ke depan menghajar mata lawan. Thio Than tahu, sehebat apa pun serangan yang dia lancarkan, mustahil sambitan itu dapat melukai lawannya, maka dia pun tidak berharap banyak, begitu Jin Kui-sin bergerak, dia berniat mendekati tubuhnya, menyingkap topi caping yang ia kenakan dan mencuri lihat paras muka aslinya. Siapa sangka Jin Kui-sin sama sekali tidak menghindar, ketika kancing baju itu tiba setengah langkah di hadapannya, mendadak benda itu bergetar keras, kemudian mencelat ke sisi kiri dan menghajar tiang penyangga ruangan. Lamat-lamat Thio Than sempat melihat janggut Jin Sin-kui yang tersembunyi di balik topi caping bambunya, janggutnya berwarna kehijauan. "Kau mau mengembalikan benda itu atau tidak?" teriak Jin Kui-sin lagi. Thio Than tidak menjawab, sebaliknya malah melanjutkan ejekannya, "Wah, wah, kau memang tak malu bernama Jin Kui-sin, ternyata seranganku dengan jurus tiupan setan pun dapat kau hindari secara mulus "Tutup mulutmu! Cepat kembalikan leng-pay itu, atau aku tak akan berlaku sungkan lagi," ancam Jin Kui-sin. "Kau tak perlu berteriak macam monyet yang ditulup kacang kedelai, kau mesti ingat, kalau lengpay yang tersimpan dalam saku pun dapat kucomot, berarti aku pun sanggup menyingkap caping bambumu itu "Hmmm, mencuri barang milik orang tak lebih cuma pekerjaaan seorang copet, coba kalau benarbenar bertarung, kau bakal mempertaruhkan nyawamu."

"Hmmm, jadi kau anggap kepandaian terhebatku cuma mencopet? Kalau memang kau ingin menjajal kehebatanku, silakan saja maju menyerang, aku ingin tahu sampai dimana kehebatan kungfumu itu." Mendadak Jin Kui-sin tertawa tergelak. "Berapa sih usiamu tahun ini?" tegurnya, "lagakmu macam orang berpengalaman saja, tampaknya kau sudah merasa bakal mampus di bawah telapak tanganku?" "Hmmm, kau tak usah menjilat pantat, kalau memang punya kemampuan, ayo, buktikan saja, nih, batok kepalaku ada di sini, kalau merasa mampu, ambil saja sekarang." "Baik," napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh tubuh Jin Kui-sin, "tadinya aku berniat mengampuni nyawamu, ternyata kau tak tahu diri, jangan kau anggap aku bisa dipermainkan sesuka hatimu." Sementara berbicara, tubuhnya merangsek ke depan, tangan kirinya menyambar ke muka mencengkeram ke arah leng-pay miliknya. Selama ini tangan kiri Jin Kui-sin selalu dibiarkan terkulai tanpa bergerak, tapi begitu digerakkan sekarang, tahu-tahu ia sudah mencengkeram leng-pay miliknya. Sejak awal Thio Than sudah membuat persiapan, tapi mimpi pun dia tak menyangka kalau gerak tubuh Jin Kui-sin sedemikian cepatnya, belum habis ingatan kedua melintas, bagaikan bayangan setan saja tahu-tahu tubuhnya sudah muncul persis di hadapannya. Melihat Jin Kui-sin berhasil mencengkeram leng-pay itu, lekas Thio Than memperkuat cengkeramannya, dia tak sudi melepaskan benda itu begitu saja. Dalam waktu singkat dia melancarkan sebelas jurus serangan ke tubuh lawan. Kesebelas jurus serangan itu dilancarkan secara beriring bahkan terbentuk satu rangkaian serangan yang sambung menyambung. "Bagus!" puji Ong Siau-sik yang menyaksikan serangan itu. Di dalam sebelas jurus serangan yang dilancarkan, diantaranya terdapat ilmu Shia-tan-keng (pukulan keras menyerong) dari ilmu pukulan macan kumbang emas, jurus Say-cu-yau-tau (singa emas geleng kepala) dari ilmu pukulan Pat-kwa-yu-sin-ciang, jurus Beng-hau-hu-cong (harimau ganas mendekam) dari ilmu Siau-lim-hu-hau-ciang, jurus Thiu-gou-keng-te (sapi besi membajak sawah) dari Siau-lim-cap-pwe-lo-han-jiu, sementara kakinya menendang dengan jurus Cu-bo-yanyang-tui (tendangan burung Yan-yang) dari ilmu langkah Lian-ci-poh, mengunci ketiak lawan dengan Thiat-bun-tau, kemudian menyelinap maju dengan gerakan Ki-hwe-sau-thian (mengangkat obor membakar langit), menerjang dengan gerakan Hong-hqng-taijr, cian-ci (burung Hong»pentang sayap). "............ Seandainya kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh sebelas orang yang berbeda, hal ini tidak aneh, tapi kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh orang yang sama, bahkan menggunakan sebelas jurus dasar dari sebelas perguruan yang berbeda, ini baru aneh dan hebat. Yang luar biasa lagi adalah orang yang melancarkan serangan itu baru berusia dua puluh tahunan. Thio Than memang tak sudi mengalah pada musuhnya, sementara dia melancarkan sebelas jurus serangan sekaligus, tangan yang lain masih tetap mencengkeram leng-pay itu dengan kencang. Baik dia maupun Jin Kui-sin sama-sama tak ingin melepaskan cengkeramannya terlebih dulu.

Ternyata Jin Kui-sin memang luar biasa hebatnya, bukan saja ia harus menghadapi kesebelas jurus serangan itu sekaligus, tangan yang lain pun tetap mencengkeram leng-pay miliknya. Begitu berhasil mematahkan ancaman yang tiba, dengan cepat dia balas melancarkan sebuah pukulan. Serangan itu sepintas kelihatan amat sederhana dan biasa, tapi ketepatan, kedahsyatan, kehebatan dan kekuatan yang ter¬kandung di balik serangan itu benar-benar menggidikkan hati. Tak selang berapa saat kemudian, semua serangan yang dilancarkan Thio Than sudah terbendung habis, tapi pemuda ini tak patah semangat, dia memang tak boleh patah semangat, dia harus melancarkan serangan lagi sebelum pihak lawan menda¬huluinya, dia harus merobohkan lawannya secepat mungkin. Pemuda ini sadar, bila ia tak sanggup merobohkan lawannya, maka dialah yang segera akan roboh terjungkal. Kejadian dalam dunia ini memang sering kali begitu, bila gagal merobohkan lawan, biasanya dia sendiri yang akan mendapat giliran untuk dirobohkan, maka selama tak yakin bisa menangkan musuh, lebih baik janganlah menyerang secara sem-barangan. Bagi Thio Than, selama hidup ia tak pernah kenal dengan kata tidak berhasil. Dia hanya tahu, jika gempuran tidak berhasil mengenai sasaran maka cepatlah mundur. Kemudian selama masih bisa bernapas, dia akan maju lagi dan kembali melancarkan serangan yang lebih hebat. Maka kini lagi-lagi dia menerjang maju ke depan, sekuat tenaga dia menghajar leng-pay itu, maksudnya akan memotong benda itu menjadi dua bagian hingga masing-masing pihak mendapat setengah bagian. Tentu saja Jin Kui-sin tak ingin leng-pay miliknya hancur berantakan, menghadapi ancaman seperti ini terpaksa ia lepas tangan. Berhasil merampas kembali leng-pay itu, Thio Than segera merangsek maju lebih ke depan, serangan yang dilancarkan pun semakin ganas, kali ini dia menyerang dengan menggunakan ilmu kim-na-jiu-hoat. Jin Kui-sin mendengus dingin, dengan taktik berdiam untuk menghadapi perubahan, ia menyambut datangnya serangan lawan. Dia menunggu sampai lawan bergerak lebih dekat, kemudian baru melancarkan serangan balasan. Setiap kali dia melepaskan pukulan, jurus serangan yang dilancarkan Thio Than seketika buyar. Betapapun Thio Than sudah mengeluarkan segenap ilmu Kim-na-jiu yang paling ganas, begitu bacokan setan dilepaskan lawan, ancaman yang dia lancarkan segera punah begitu saja. Dalam keadaan begini, Thio Than hanya bisa mengeluh dalam hati, kini dia sadar, musuh yang sedang dihadapi benar-benar seorang lawan tangguh. Baru saja ia bersiap mengundurkan diri, mendadak Jin Kui-sin mendesak maju lagi ke depan, sekali menyambar, tahu-tahu ia berhasil mencengkeram lagi leng-pay itu.

Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama mempertahankan diri, siapa pun tak ingin melepaskan leng-pay itu, akibatnya siapa pun jangan harap bisa mundur dari arena. Jin Kui-sin sendiri pun mulai panik bercampur gelisah, ia tahu cara bertarung seperti ini tak akan menyelesaikan masalah. Pada saat itulah ia mendengar Tong Po-gou membual dengan berbagai teori yang membuat rekannya, Liu Cong-thian terbuai, ia sadar rekannya sedang dikerjai musuh tanpa ia sadari, karena itulah cepat Jin Kui-sin berteriak memberi peringatan. Pada mulanya Liu Cong-seng masih mau menuruti peringatannya, tapi lama kelamaan dia semakin terpesona oleh ucapan Tong Po-gou hingga akhirnya lupa diri. Melihat rekannya semakin terjebak oleh tipuan lawan, Jin Kui-sin menjadi panik, apa daya dia pun tak bisa melepaskan diri dari posisinya, hal ini membuat hatinya makin gelisah. Sebaliknya Thio Than yang menyaksikan Jin Kui-sin masih bisa mengikuti situasi di sekitarnya dengan jelas, kendatipun ia sedang menghadapi serangan yang bertubi-tubi, diam-diam ia terperanjat, dia anggap kejadian ini membuatnya kehilangan muka, maka dalam jengkelnya, lekas dia gunakan ilmu Huan-huan-sin-kang untuk menghajar lawan. Jin Kui-sin sendiri tak kalah kagetnya ketika pukulan yang semula disangka dapat memaksa Thio Than lepas tangan ternyata tidak membuahkan hasil, dia semakin kaget lagi ketika terasa munculnya segulung tenaga pantulan yang menggiring tenaga serangannya miring ke samping lalu lenyap tak berbekas, bukan hanya begitu, bahkan tenaga pukulan yang dipunahkan itu justru bergabung dengan tenaga musuh berbalik menerjang ke tubuhnya dengan kekuatan luar biasa. Dalam keadaan begini, Jin Kui-sin tak berani gegabah, begitu merasa pukulannya mengenai sasaran kosong, lekas dia menggetarkan sepasang tangannya dengan jurus Ing-siu-that-khong (menyambut semu menginjak kosong), kemudian balik membabat ke depan menyongsong datangnya tenaga pantulan yang sangat aneh itu. "Blaaaam!", satu benturan dahsyat menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Jin Kui-sin, tak urung tubuhnya tergetar mundur juga dengan sempoyongan. Berhasil mendesak mundur musuhnya, Thio Than tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, lagilagi dia menggunakan ilmu Huan-huan-sin-kang dengan jurus Un-sim-bu-hui (bertanya ke hati tanpa menyesal) untuk menyerang lawan. Setiap kali Jin Kui-sin melepaskan serangan balasan maka sama halnya dengan dia mesti melawan tenaga pukulan yang dilontarkan sebelumnya ditambah tenaga pukulan lawan, makin lama tekanan yang berbalik makin bertambah berat. Kendatipun dia sudah mengeluarkan ilmu pukulan andalannya hingga semaksimal mungkin, namun setelah menerima tujuh delapan pukulan kemudian, ia mulai kedodoran, bukan saja hawa darah di rongga dadanya bergolak, bahkan kepala terasa mulai pening dan mata mulai berkunangkunang. Yang membuatnya lebih jengkel lagi adalah peringatan yang diteriakkan berulang kali sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Liu Cong-thian, seolah teriakannya sama sekali tak ada. Menggunakan kesempatan ini Thio Than menekan lebih keras, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan rapat.

Tapi sepuluh gebrakan kemudian, jurus serangan yang dilancarkan bukannya bertambah ketat dan ganas, sebaliknya makin lama semakin mengendor dan lemah. Padahal jika dia menekan lebih jauh, dengan tenaga pantulan yang dihasilkan ditambah tekanan dari dirinya, Jin Kui-sin pasti akan semakin tercecar sebelum akhirnya keok. Lalu mengapa Thio Than malah mengendorkan serangannya? Mengapa tenaga pukulannya makin lama malah semakin melemah? Ternyata alasannya sederhana. Dia mulai kelaparan!! ooOOoo 35 . En yah atau ma mpus Ilmu Huan-huan-sin-kang milik Thio Than memang termasuk sejenis kepandaian yang sangat aneh, setiap gempuran yang dilancarkan selalu menguras banyak tenaga, ilmu ini tiga puluh kali lipat lebih boros energi ketimbang ilmu Tay-lek-ki-kong-jiu. Itulah alasannya mengapa setiap hari dia butuh makan nasi berpuluh mangkuk banyaknya. Dia selalu beranggapan, makan nasi jauh lebih bersih ketimbang makan segala jenis makanan lainnya. Itulah sebabnya sumber energi yang terutama bagi ilmu Huan-huan-sin-kang berasal dari nasi. Hari ini dia memang sudah makan berpuluh mangkuk nasi, akan tetapi setelah melepaskan serangan yang kesepuluh, dia mulai merasa kehabisan tenaga, kekuatan yang diperlukan untuk melancarkan serangan makin menipis. Menyusul menipisnya tenaga yang dimiliki, kemampuannya untuk memantulkan tenaga serangan musuh semakin kedodoran dan muncul banyak titik kelemahan. Dengan semakin bertambah lemahnya tenaga pantulan yang dihasilkan, ditambah lagi tenaga serangan yang ia lancarkan juga bertambah lemah, otomatis ancaman yang datang dari Jin Kui-sin makin lama semakin bertambah tangguh, bila keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, bila terkena sebuah pukulan telak tentu bisa merenggut nyawanya. Thio Than sadar akan kondisinya yang makin gawat, jangan kan mencecar lawan, leng-pay yang semula berada dalam genggamannya pun kini berhasil dirampas balik oleh Jin Kui-sin. Saat itulah hidung Liu Cong-seng kena dihajar oleh Tong Po-gou hingga retak dan berdarah, menyaksikan itu, lekas dia melompat mundur sambil berseru, "Tunggu, tunggu sebentar." "Ada apa? Hendak meninggalkan pesan terakhir?" jengek Jin Kui-sin sambil tertawa dingin. "Bukan begitu," kata Thio Than cepat, memanfaatkan kesempatan itu dia menarik napas panjang panjang, ketika merasa perutnya bertambah lapar, semaya kemudian, "Tadi aku telah mengalah kepadamu, sekarang kau pun harus mengalah kepadaku, toh kita bukan bertarung lantaran ada bini yang diserobot orang, bagaimana kalau kita sudahi sampai di sini saja?"

"Hahaha, kau tak usah bicara manis," Jin Kui-sin tertawa tergelak, "kalau mengaku kalah, cepat sembah aku sambil me memanggil Yaya, kalau tidak, pasti akan kusuruh kau tergeletak bermandikan darah di Sam-hap-lau ini." "Wah, rugi, rugi kalau begitu," seru Thio Than sambil berkerut kening. "Apanya yang rugi?" "Apa susahnya memanggil Yaya tiga kali? Suruh menyembah? Paling anggap saja menganggukkan kepala kepada langit, apanya yang rugi? Itu sih bukan hukuman, terlalu menguntungkan pihak lain." "Lantas apa maumu?" "Hahaha, kelihatannya aku jauh lebih diuntungkan," sambil berkata Thio Than membalikkan tangannya dan memperlihatkan sebuah kantung uang, dalam kantung itu masih berisikan beberapa tahil perak. Begitu melihat kantung uang itu, Jin Kui-sin langsung berteriak marah, ternyata walaupun ia berhasil merebut kembali leng-paynya, akan tetapi kantung uangnya lagi-lagi berhasil dicomot lawan. "Nah, apa aku bilang," ejek Thio Than kemudian, "seandainya aku tak ingin banyak melakukan pembunuhan sehingga mengampuni nyawamu, sejak tadi nyawa anjingmu sudah kucabut. Kalau kau masih tahu diri, lebih baik cepatlah mundur dari sini." Tentu saja keberhasilannya mencomot barang orang adalah karena dia memiliki ilmu mencopet yang luar biasa, namun bila bicara soal pertarungan dengan mengandalkan ilmu silat, jelas dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan lawan. Tadinya dia hanya bermaksud menakut-nakuti Jin Kui-sin dengan ilmu copetnya itu, menakuti dirinya agar tidak menyerang lagi, siapa sangka Jin Kui-sin yang berangasan itu jadi semakin sewot, setelah dipermainkan berulang kali dia menjadi makin mendendam. Mendadak sambil membentak nyaring, tubuhnya menubruk ke depan, kali ini dia membabat dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya. Thio Than tidak menyangka karena main-main malah mengundang bencana bagi dirinya. Setelah menyambut dua tiga jurus serangan lawan, ia mulai sadar gelagat tidak menguntungkan, karena itu dia mencoba kabur melalui jendela, siapa sangka muncul seorang lelaki bertopi lebar yang memotong jalan mundurnya, bahkan mengunci semua serangan yang dilancarkan Thio Than. Dalam keadaan begini, Thio Than benar-benar terkesiap setengah mati, tanpa sadar dia pun menjerit minta tolong. Sejak awal, Jin Kui-sin memang tidak berniat membunuh anak muda yang kelihatannya tak takut mati ini, niat itu semakin bertambah kuat setelah melihat pemuda yang tampaknya tak takut mati itu ternyata begitu takut menghadapi kematian. Bila seseorang tidak takut mati, tak nanti dia akan berteriak minta tolong. Jika seseorang tidak takut menghadapi kematian, buat apa dia minta orang lain menolong jiwanya?

Oleh karena itu dia hanya berniat melukai anak muda itu saja, memberi pelajaran yang setimpal kepada orang ini karena berani mempermainkan dirinya, cukup asalkan dia berbaring selama dua tiga bulan. Sekalipun tak ada niat membunuh, bukan berarti serangan yang dilancarkan menjadi ringan, kekuatan yang terhimpun dalam serangan itu sama dahsyat dan hebatnya. Namun lagi-lagi dia dibuat kaget, seorang pemuda yang jauh tua dari Thio Than ternyata mampu menyambut serangannya tanpa menderita luka. Pemuda itu masih muda, mengenakan pakaian sutera yang perlente. Kalau dipandang sepintas, usia orang ini sedikit lebih tua dari Thio Than, namun keangkuhannya justru sepuluh kali lipat dibanding Thio Than. Orang ini bukan saja angkuh dan jumawa, bahkan sangat menakutkan, menakutkan karena hawa membunuh yang menyelimuti wajahnya membuat hati orang bergidik. Tapi yang lebih menakutkan lagi adalah caranya turun tangan, cukup menggunakan jari tangannya, serangan maut yang dilancarkan Jin Kui-sin berhasil dipunahkan, bahkan dia masih mampu melepaskan sebuah ancaman yang memaksa Jin Kui-sin harus menarik kembali pukulan berikutnya. Jika Jin Kui-sin tidak segera menarik kembali pukulannya, maka telapak tangan itu akan segera tertembus oleh totokan jari tangannya. Tentu saja pemuda angkuh yang sangat menakutkan itu tak lain adalah Pek Jau-hui. "Terima kasih atas pertolonganmu," seru Thio Than. "Hmm, aku tidak suka dengan dirimu," dengus Pek Jau-hui. "Kenapa?" "Sebab kau tak bernyali, yang dihormati orang persilatan adalah Hohan yang bernyali, tapi kenyataan kau adalah manusia pengecut yang takut mampus." "Keliru, keliru besar," ujar Thio Than segera, "siapa bilang aku takut mati? Siapa bilang aku pengecut? Mati ada yang berat bagaikan bukit Thay-san, ada pula yang ringan bagai bulu angsa. Jika kita berkorban demi negara, demi bangsa, siapa yang takut mati? Tapi sekarang aku harus mati konyol di tangan manusia macam dia, harus mati pada saat yang tak tepat, tempat yang tak tepat, kenapa aku tak boleh takut mati? Kalau memang takut, kenapa tak berani berteriak? Kalau ada orang takut mati tapi tak berani mengaku, dia adalah lelaki konyol. Jika tak tahu masalah lalu bertepuk dada mengatakan tak takut mati, dia adalah lelaki dungu, manusia semacam ini tidak pantas disebut lelaki sejati, tak pantas disebut Enghiong Hohan! Aku tak ingin mati, aku takut mati karena itu aku berteriak minta tolong, kalau menginginkan pertolongan dari orang, teriaklah minta tolong, memangnya ini keliru? Memangnya aku mesti membungkam macam kerbau dungu, agar dibunuh orang, dan manusia macam begini baru pantas disebut lelaki bernyali? Bila manusia macam begitu yang kau inginkan ... hehehe ... kamsia, ambil saja untukmu! Kita hidup di dunia ini berkat perawatan dari orang tua, siapa sih yang tidak sayang dengan nyawa sendiri? Jika seseorang belum saatnya untuk mati, tidak seharusnya mati, tapi secara dungu dia pergi mencari mati, manusia beginilah baru benar-benar pantas mati! Karena takut mati, maka aku berteriak minta tolong, karena takut sakit maka aku menjerit aduh, karena takut sedih maka aku melelehkan air mata, kejadian macam begini adalah lumrah, lumrah dilakukan setiap manusia, lalu

apa salahnya? Berteriak minta tolong bukan berarti aku minta diampuni, bukan menjual naluri demi sisa hidup, teriak adalah teriak, menangis adalah menangis, takut mati adalah takut mati, kalau suruh aku melakukan hal yang tak kuinginkan, hmmm, sekali aku bilang tak mau, sampai mati pun tetap tidak mau!" Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jadi, kau telah salah menilai aku si Raja nasi!" Pek Jau-hui tidak menyangka kalau sepatah katanya bisa mengundang penjabaran yang panjang lebar, ia jadi tertegun, terpana, lama kemudian baru ujarnya, "Masuk akal, sangat masuk akal, rupanya aku memang salah menilaimu." "Tak apa-apa, kumaafkan kesalahanmu," senyuman kembali menghiasi wajah Thio Than. Mendadak terdengar orang bertopi bambu yang baru melayang masuk ke dalam ruangan itu berkata, "Peduli siapa benar siapa salah, kalian hanya ada satu pilihan." Lalu dengan suara yang lebih keras dan nyaring, dia mengulang sekali lagi, "Pilihan yang terakhir!" Nada ucapannya memang dingin menyeramkan, setiap patah kata yang ia ucapkan seolah mencantumkan sebuah nama dalam kitab kematian, bila seseorang tidak terbiasa mempunyai kekuasaan besar dalam menentukan mati hidup orang lain, tak mungkin setiap perkataannya terselip hawa pembunuhan yang begitu besar. "Pilihan apa?" tanya Thio Than kemudian. "Enyah atau mati." "Apakah aku boleh memilih yang lain?" Orang itu segera menggeleng. Terpaksa Thio Than berpaling ke arah Pek Jau-hui sambil bertanya, "Bagaimana dengan kau? Apa yang kau pilih?" "Aku tak akan memilih, biar dia yang memilih," kata Pek Jau-hui sambil menatap orang bertopi bambu itu, kemudian dengan menirukan gayanya, ia berkata, "Enyah atau mampus?" Dalam pada itu Tong Po-gou sebenarnya sudah siap berteriak minta tolong, ia jadi lupa diri ketika mendengar orang lain berteriak duluan, begitu teledor, tangan yang lembut halus itu tahu-tahu sudah tiba di depan tenggorokannya. Menyusul kemudian ia melihat tangan yang halus lembut itu mendadak berubah jadi kaku., membeku bagaikan sebuah bongkahan es, seperti sebuah tangan yang terukir dari bongkahan salju. Tangan itu tidak pernah maju lagi biar satu inci pun, tak pernah berhasil mencengkeram tenggorokan Tong Po-gou, anehnya tangan itupun tidak ditarik balik. Sepasang mata orang bertopi rumput itu sebenarnya sedang mengawasi tenggorokan Tong Po-gou dengan sorot matanya yang lebih beracun dari mata ular, tapi sekarang pandangannya telah ditarik balik, dia sedang mengawasi tangan Ong Siau-sik. Tangan Ong Siau-sik berada di atas gagang pedang, gagang pedang yang berupa sebilah golok. Sebilah golok bulan sabit yang kecil dan mungil.

Entah sejak kapan tahu-tahu Ong Siau-sik sudah berdiri di samping Tong Po-gou, bukan saja lelaki raksasa ini tidak tahu, bahkan dia sama sekali tidak merasa. Tempat dimana ia berdiri, posisi dimana ia bersiap membuat orang bertopi rumput itu percaya, andaikata tangannya yang lebih beracun dari ular itu dilanjutkan gerakannya untuk mencekik leher Tong Po-gou, maka golok atau pedang itu seke¬tika akan memenggal tangannya. Tentu saja dia tak ingin menyerempet bahaya, karenanya ia langsung menghentikan semua gerakannya. Tong Po-gou dengan sepasang matanya yang besar celi-ngukan sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian ia menarik tengkuknya, membungkukkan pinggangnya, miringkan badan dan seinci demi seinci menggeser tenggorokannya dari hadapan jari tangan musuh yang siap mencekik itu. Menanti dia benar-benar sudah lolos dari ancaman dan sanggup berdiri tegak kembali, baru katanya, "Berbahaya, sungguh berbahaya, masih untung aku sanggup menenangkan diri." Sementara itu tangan Ong Siau-sik yang menggenggam pedang pun perlahan-lahan dikendorkan kembali. Tampaknya tangan yang kaku itupun tak ingin bertindak gegabah, dia ikut menarik kembali tangannya. Ia menarik sangat perlahan, amat berhati-hati, dengan penuh kewaspadaan menariknya kembali ke balik baju. Sepasang mata yang lebih berbisa dari ular itu kini sudah dialihkan ke tubuh Ong Siau-sik, yang aneh, biarpun sorot mata itu amat ganas, amat beracun tapi justru memberi kesan indah bagi yang memandang. "Betul," terdengar Ong Siau-sik berkata sambil tertawa, "beruntung kau cukup tenang. Bila kau tak cukup tenang, aku pun pasti ikut gugup, takutnya begitu hatiku gugup, terkadang mau mencabut golok malah keliru mencabut pedang, ada kalanya ingin mencabut pedang malah keliru mencabut golok." "Wah, gawat kalau begitu," Tong Po-gou menjulurkan lidahnya, "jangan-jangan begitu kau mulai gugup, maksud hati ingin membacok tangannya, salah-salah malah kepalaku yang kau tebas?" "Untung aku tidak jadi menebas." "Ya, untung cepat-cepat kutarik kembali kepalaku," sambung Tong Po-gou. Ong Siau-sik tertawa geli. "Eh, tahukah kau makhluk apa yang paling cepat menarik kepalanya?" "Tentu saja kepalaku," jawab Tong Po-gou cepat, "tak usah ditebak lagi, sudah pasti bukan kepala kura-kura, kepalaku yang paling cepat ditarik." "Apakah kalian semua ingin menyelamatkan kepalamu itu?" tiba-tiba Rasul kedua, orang bertopi rumput itu bertanya. "Ingin!" sahut Ong Siau-sik berdua serentak.

"Kalau menginginkan kepala, cepat gerakkan kaki dan segera enyah dari sini," perkataan itu disampaikan secara enteng, rendah dan santai. "Kalau aku tak ingin kepalaku?" tanya Ong Siau-sik. "Kalau tak menginginkan kepalamu lagi, silakan menggerakkan tangan," setelah berhenti sejenak, tambahnya, "kalau harus menunggu sampai kedatangan Jit-sengcu, aku kuatir bukan saja kalian tak berkepala, sepasang kaki pun bisa turut lenyap." Diam-diam Ong Siau-sik merasa heran, biasanya anak buah yang sedang berada di lapangan selalu berusaha menyanjung dan mengagungkan pemimpinnya, sekalipun dia berniat jahat atau ada rencana lain, paling dia hanya akan mendompleng nama pemimpinnya atau memalsukan perintah ketuanya untuk melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri. Tapi selama ini belum pernah ada anak buah yang melimpahkan semua kesalahan dan kebusukan yang dilakukannya kepada atasannya, bukan saja berlagak sok suci bahkan mencari keuntungan di atas penderitaan orang, bukankah tindakan semacam ini jauh lebih menakutkan daripada berkhianat? Kalau membunuh satu orang, paling satu orang yang terbunuh, tapi kalau mencelakai seseorang dengan menggunakan kata busuk, bukan saja yang terluka hanya satu orang, paling tidak si pembicara dan pendengar akan turut dicelakai, masih untung kalau hanya satu orang pendengarnya, kalau sampai banyak yang ikut mendengar, bukankah bencana yang diciptakan akan bertambah besar? Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan ngerinya mempekerjakan orang, ternyata menggunakan orang jauh lebih susah ketimbang mempercayai orang atau memaafkan orang. Memaafkan orang saja sudah susahnya setengah mati, bukan saja harus bisa mengendalikan diri, harus pula menyamakan pendapat dengan orang lain. Mempercayai orang lebih sukar lagi, siapa yang tak ingin dipercaya orang? Siapa yang tak ingin mempercayai orang? Mempercayai orang berarti tak usah curiga, kalau curiga tak usah percaya. Tapi seringkah mempercayai orang tak punya lan-dasan yang kuat, bila kau mempercayai seseorang, besar ke¬mungkinan dapat membuat dirimu tak dipercaya orang, salah mempercayai orang. Menggunakan, orang jauh lebih susah lagi. Kalau ingin menggunakan orang, gunakanlah orang yang berguna, tapi sering kali orang yang berguna susah digunakan, orang yang tak berguna justru tak bisa digunakan. Contohnya seperti perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mereka telah menggu¬nakan orang yang tak bisa digunakan, akibatnya semakin ba¬nyak orang persilatan yang disalahi, semakin banyak permusuhan yang terjalin. Seperti juga perkumpulan Mi-thian-jit-seng, mungkin saja persoalan mereka pun terletak pada masalah penggunaan orang, ini berakibat kekuatan mereka tak pernah bisa seimbang dengan kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kim-hong-si-yu-lau. Bagaimana pula dengan Kim-hong-si-yu-lau? Bagaimana dengan tokoh-tokoh penting perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang selalu mengatasnamakan diri sendiri setiap kali melakukan pekerjaan yang menguntungkan dan mengatasnamakan ketuanya setiap kali melakukan kejahatan?

Membayangkan semua itu, diam-diam timbul kewaspadaan dalam hati Ong Siau-sik. Dia tidak sadar, gara-gara timbulnya kewaspadaan ini, di kemudian hari pikiran itu sangat mempengaruhi sepak terjangnya bahkan mendatangkan manfaai besar baginya. Banyak kejadian penting dalam kehidupan manusia seringkah terjadi berubah dalam waktu sekejap atau dalam pemikiran sekejap sebuah keputusan yang diambil secara tak sengaja. Banyak pula manusia yang memahami atau berhasil mengambil suatu kesimpulan tentang kehidupan karena suatu ketidak sengajaan. Sayang Tong Po-gou tak pernah merasakan hal semacam ini. Padahal ada baiknya juga bagi seseorang yang tidak kele-wat sensitip perasaannya, paling tidak dia tak usah merasakan belenggu cinta atau siksaan batin. Terdengar lelaki raksasa itu bertanya, "Kenapa sih orang-orang perkumpulan Mi-thian-jit-seng selalu tampil sok rahasia, sok misterius? Kenapa wajah kalian selalu ditutup dengan kain cadar, topeng atau topi lebar? Apakah wajah kalian memang malu diperlihatkan kepada umum?" Pertanyaan ini amat sinis, gampang menimbulkan gara-gara. Ternyata kali ini si Rasul kedua tidak marah. "Kalian masih mempunyai satu pilihan lagi," katanya. Berbinar sepasang mata Tong Po-gou, teriaknya, "Bagus sekali, sebab kami tetap menginginkan kepala, tetap ingin memiliki kaki tapi belum ingin segera pergi meninggalkan tempat mi. "Boleh saja bila kalian tak ingin meninggalkan tempat ini, kami akan mengajak pergi nona Lui, dan aku harap kalian tak usah mencampuri urusan ini lagi." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Mengenai ulahmu yang telah melukai Rasul ketiga, untuk sementara waktu tak akan kami persoalkan dulu." "Soal ini...." "Kenapa?" "Aku "Kau tak usah peduli bagaimana keputusan orang lain, yang penting kau segera menyingkir ke sana dan tak usah ikut campur urusan ini lagi." "Aku hanya ingin berkata "Katakan saja!" seru Rasul kedua keheranan. "Aku benar-benar boleh bicara?" "Katakan saja terus terang!" "Aku ... aku cinta kamu!"

Begitu perkataan itu diucapkan, bukan saja Rasul kedua jadi amat terperanjat hingga mundur satu langkah, bahkan Ong Siau-sik pun ikut terpana, bahkan Liu Cong-thian yang sedang marah-marah pun ikut melongo, Lui Tun, Un Ji dan keempat orang dayang itupun ikut berdiri melenggong. Sementara semua orang masih termangu karena kaget, Tong Po-gou sudah tertawa terpingkalpingkal, sambil membungkukkan badannya karena kegelian serunya terbata-bata, "Hahaha, aku ... geli aku ... setiap ... setiap kali dalam ... dalam keadaan kepepet... dalam suasana yang ... yang kepepet, aku ... ....hahaha ....... aku selalu melanturkan kata-kata yang ... yang konyol ... hingga ... hingga membikin orang ... orang jadi melenggong ... hahaha ... sungguh geli... sungguh menggelikan Mendengar itu Ong Siau-sik ikut tertawa, dia merasa Tong Po-gou maupun Thio Than adalah tokoh yang lucu, tokoh yang menyenangkan dan menarik-hati. Sayang sekali dia tak dapat melihat perubahan mimik muka Rasul kedua saat itu. Tapi ia bisa membayangkan, hidung si Rasul kedua pasti sedang kembang-kempis lantaran menahan rasa dongkolnya. ooOOoo 36 . Cu Sia u- yau , gugur an bunga dalam impia n Hidung Rasul kedua tidak kembang-kempis, Ong Siau-sik tidak tahu akan hal itu. Tapi ia bisa mendengar nada suaranya telah berubah. "Baik! Kalau memang arak kehormatan kau tampik, arak hukuman justru kau cari, jangan salahkan kalau kau harus membayar mahal untuk banyolanmu tadi," Tiba-tiba perkataannya berubah jadi tinggi meruncing, tajam bagaikan mata sebilah pisau. Setelah berhenti sejenak, ia baru mendehem dengan suara rendah dan katanya lagi, "Bila kalian memang sudah bosan hidup ... baiklah, Lohu akan mengabulkan permintaan kalian." Ia sengaja menandaskan istilah "Lohu" dengan suara tajam. Sayang musuhnya saat ini adalah Tong Po-gou yang suka membanyol. Dengan tabiat lelaki raksasa ini, sekali dia mulai bergurau, maka banyolannya tiada habisnya, cepat dia menyahut, "Oohh ... rupanya Lo-hujin (nyonya tua), kalau begitu kabulkanlah permintaan kami." Begitu perkataan itu diucapkan, Tong Po-gou sudah mampus sebanyak dua belas kali andaikata Ong Siau-sik tidak berdiri di sampingnya. Mendadak tubuh Rasul kedua melompat ke udara, sepa¬sang jari tangannya langsung mencongkel mata Tong Po-gou. Ia tidak ingin mencongkel keluar biji mata milik pemuda itu, tapi ingin menghujamkan jari tangannya ke atas bola ma¬tanya hingga tembus ke belakang otaknya.

Kuku jari tangannya nampak tajam berkilauan seperti mata pisau, dari desingan angin yang menderu bisa diketahui bahwa Rasul kedua benar-benar sudah mendendam pada Tong Po-gou hingga merasuk ke tulang sumsum. Mengapa ia begitu gusar? Mengapa ia begitu keji dan tega melancarkan serangan mematikan? Mengapa ia begitu mendendam? Ong Siau-sik sendiri pun merasa gurauan Tong Po-gou sudah kelewatan, sekalipun begitu, tidak seharusnya gurauan itu dihadapi secara begitu marah dan dendam. Dalam keadaan seperti ini, tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang, ia segera menghadang di hadapan pemuda raksasa itu. Tiga kali sang rasul kedua berusaha menjojoh bola mata Tong Po-gou, tiga kali pula Ong Siau-sik menghadang dan menghalau ancamannya. Ketika serangan yang keempat kalinya dilancarkan, Ong Siau-sik mulai merasa kewalahan, ia mulai merasa tak sanggup membendung lebih jauh. Serangan dari Rasul kedua memang luar biasa dahsyatnya, begitu hebat dan mengerikan seakan dia hanya tahu bagaimana menghabisi lawannya, ia sudah tak peduli lagi dengan kesela¬matan diri sendiri. Dari balik mata Tong Po-gou muncul perasaan ngeri, namun dia masih membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasi datangnya serangan dengan perasaan ingin tahu. Semakin besar Tong Po-gou membelalakkan matanya, semakin benci si Rasul kedua, kalau bisa dia ingin sekali mencongkel keluar sepasang biji matanya, dia ingin mencongkel mata itu lalu diinjakinjak sampai hancur, dia ingin melampiaskan rasa benci dan jengkelnya yang tak terhingga. Sekali lagi Ong Siau-sik segera menghadang di depannya, "Breeet!", kali ini baju bagian bahunya kena tersambar hingga muncul sebuah robekan panjang. Ketika menerjang untuk kelima kalinya, Rasul kedua membentak nyaring, "Enyah kau dari situ, tak ada urusan dengan dirimu!" Ong Siau-sik menghela napas panjang, sambil menarik napas ia melolos goloknya. Cahaya golok memancar bagai satu bait syair yang menggetarkan sukma. Sambaran golok bagai sebuah impian. Guguran bunga di dalam impian, berapa banyak bunga yang telah gugur? "Guguran bunga dalam impian" adalah nama golok itu. Topi lebar terbuat dari rumput itu terbelah dua, terbelah persis di bagian tengah. Di balik topi terlihat selembar wajah yang sayu bagaikan sukma gentayangan, selembar paras cantik bagai sekuntum bunga yang sedang mekar. Tapi sayang ia'mempunyai sepasang mata yang menakutkan, sepasang mata penuh kebencian yang menggidikkan hati.

Sambaran golok Ong Siau-sik hanya membelah topi rumput itu jadi dua, sama sekali tidak melukai raut mukanya yang cantik jelita itu. Begitu berhasil dengan serangannya, Ong Siau-sik malah terkesima dibuatnya, sekarang dia sudah paham. Dia paham apa sebabnya Rasul kedua begitu marah setelah mendengar perkataan Tong Po-gou tadi. Sementara itu Tong Po-gou sendiri pun terperangah dibuatnya, tiba-tiba ia berteriak keras, ternyata pemuda itu sedang bersin berulang kali. Wajah cantik yang pucat, bentuk muka yang bulat telur kelihatan agak mengejang, perempuan itu menggigit bibirnya kencang, tidak membiarkan suaranya meloncat keluar. Pada saat itulah Tong Po-gou tak kuasa menahan diri, tiba-tiba pujinya, "Wow, kau sungguh cantik, wajah secantik ini sayang kalau selalu tertutup topi lebar ... kau hanya menyia-nyiakan kecantikanmu saja!" Seraya berkata ia bersin berulang kali. Mula-mula semua orang agak tertegun setelah mendengar ucapan itu, menyusul kemudian sebagian besar orang mempunyai perasaan yang sama. Sebetulnya gadis itu nyaris hendak menangis, tapi setelah mendengar perkataan itu, dari wajahnya segera muncul perubahan mimik muka yang aneh, perubahan dari menangis menjadi tersenyum. Perubahan semacam ini sulit digambarkan dengan ucapan, tapi yang jelas cantik sekali. Saat seorang wanita kelihatan amat cantik, sering kali justru terjadi di saat mimik mukanya sedang mengalami perubahan yang aneh. Mungkin setiap gadis selalu menggambarkan perasaannya bagaikan sebuah syair, padahal perasaan bagaikan syair adalah perasaan yang paling susah dijabarkan dengan perkataan, oleh sebab itu syair adalah darah yang paling berharga dari sebuah ucapan. Sebenarnya gadis itu ingin menangis, namun setelah mendengar kata pujian itu, dari sedih berubah menjadi cemberut, namun dia tak berani tertawa maka dari perasaan benci berubah jadi agak marah, dari agak marah jadi cemberut, pada hakikatnya semua perubahan itu membuat Tong Po-gou benar-benar berdiri melenggong. Begitu melihat wanita cantik, secara kejiwaan segera timbul keinginannya untuk mendekati gadis itu, tapi secara fisik dia segera bersin berulang kali. Tiba-tiba terdengar Lui Tun berkata, "Ternyata Rasul kedua perkumpulan Mi-thian-jit-seng adalah I-tiong-bo-jin (dalam ingatan tak ada manusia) Cu Siau-yau!" Semua orang terperanjat dibuatnya, khususnya Un Ji. Tujuan kedatangannya ke daratan Tionggoan antara lain adalah ingin berjumpa dengan seseorang, orang itu tak lain adalah Cu Siau-yau.

Ia dengar gadis yang bernama Cu Siau-yau ini memiliki empat kelebihan, Amat cantik, amat garang, amat angkuh dan pinggangnya amat langsing (Siau-yau). Kini Un Ji telah bertemu dengannya. Dia memang cantik, caranya turun tangan amat telengas, orangnya pun amat angkuh. Tapi sayang seluruh tubuhnya terbungkus di balik jubahnya yang lebar sehingga sulit untuk mengetahui apakah pinggangnya memang langsing. "Ooh, jadi kau adalah Cu Siau-yau?" sapa Un Ji dengan suara lembut, "buat apa kau mengenakan jubah longgar yang tak sedap dipandang? Cepat gantilah dengan gaun dan baju, aku ingin tahu apakah pinggangmu betul-betul amat ramping." "Nona Lui," terdengar orang bertopi bambu itu menegur, "tajam benar matamu, coba kau tebak siapakah Lohu?" Lui Tun termenung sambil memutar otak. Pek Jau-hui sendiri pun tak bisa menebak siapa gerangan orang ini, sebab dari tujuh rasul yang ada, empat rasul di antaranya belum pernah bertarung melawan siapa pun. "Aku bisa menebaknya," mendadak Thio Than berteriak, "kau adalah Put-lo Sinsian (dewa yang tak pernah tua)!" Seperti anak kecil yang baru pertama kali berhasil menaikkan layang-layang, ia bersorak sorai kegirangan, kembali serunya, "Kau adalah Put-lo Thongcu, Gan Hok-hoat, betul bukan? Pasti betul! Kau malah Toa-seng si Rasul pertama." "Da ... darimana kau bisa tahu?" tanya orang bertopi bambu itu dengan badan bergetar. Kali ini mau tak mau Pek Jau-hui harus merasa kagum akan kehebatan rekannya itu. Perlahan-lahan Gan Hok-hoat melepas caping bambunya sehingga kelihatan rambut, jenggot dan kumisnya yang telah memutih, hanya alis matanya yang kelihatan masih hitam lebat, kulit wajahnya berkilat persis seperti wajah seorang bocah. Sambil memutar biji matanya berulang kali dengan penuh tanda tanya, ia bertanya, "Sampai sekarang aku belum lagi turun tangan ... darimana kau bisa tahu?" Dari dalam sakunya Thio Than segera mengeluarkan dua lembar cap yang segera dikibarkan ke tengah udara, katanya sambil tertawa terkekeh, "Di dalam sakumu terdapat dua buah cap, yang satu bertuliskan Mi-thian-su-seng (rasul utama pembius langit) sementara yang lain bertuliskan Put-lo Sinsian Gan Hok-hoat. Jika kau bukan Gan Hok-hoat, lantas siapa yang bernama Gan Hokhoat?" Begitu tahu cap yang disimpan dalam sakunya dicuri Thio Than, tak terlukiskan rasa gusar Gan Hok-hoat, umpatnya, "Dasar copet, kau ... akan kubunuh kau!" Lekas Pek Jau-hui maju satu langkah, setelah menarik napas dan berseru, "Bagus!", lima jari tangan kanannya segera disentilkan perlahan di punggung tangan kirinya. Melihat gerakan itu Ong Siau-sik segera tahu kalau rekannya siap melancarkan serangan dengan ilmu jari pengejut dewa. Dia tahu, jika Pek Jau-hui sampai dipaksa turun tangan, maka korban yang berjatuhan pasti amat banyak, lekas tanyanya, "Apakah kalian bersikeras hendak membawa nona Lui pergi dari sini?"

"Selain itu, aku tetap akan membunuhnya!" sahut Liu Cong-seng sambil menuding ke arah Tong Po-gou. "Aku pun bersumpah akan membunuh copet ini," sambung Gan Hok-hoat sambil melotot ke arah Thio Than. "Keliru kau, masa aku cuma bangsa copet? Aku ini perampok tahu!" sambung Thio Than cepat. Mereka telah menderita kerugian besar di tangan kedua orang itu, karenanya mereka bersumpah akan membunuh Thio Than dan Tong Po-gou untuk melampiaskan rasa benci dan dendamnya, termasuk Jin Kui-sin sendiri pun punya niat demikian, di antara sekian jago, hanya Cu Siau-yau seorang yang tidak berkomentar. "Baik," kata Ong Siau-sik kemudian, "bila kalian ingin membunuh atau menangkap orang, tanyakan dulu kepadaku, aku sudah memutuskan untuk turut campur dalam persoalan ini." "Kalau begitu kau cari mampus," seru Gan Hok-hoat. "Di antara kita toh tak terikat dendam sakit hati, buat apa sih begitu bertemu lantas saling bunuh? Lebih baik kita cari sebuah cara lain yang lebih baik, kalau bisa tak usah saling membunuh bukankah jauh lebih baik?" "Hmm, jika kau takut, cepat sipat ekormu dan menyingkir dari situ." "Aku memang takut, takut kalau pedangku tak bermata sehingga karena kurang hati-hati membuat kalian semua terbunuh, bukankah aku jadi tak enak?" Keempat orang rasul itu jadi marah, tapi sebelum mereka melakukan suatu aksi, kembali Ong Siau-sik berkata, "Lebih baik begini saja, kalian mencari sebuah cara untuk maju bersama-sama, sementara aku akan menghadapi kalian berempat secara bersama-sama, seandainya aku beruntung, maka kumohon kalian berempat sudi membuka sebuah jalan untuk mereka semua, sebaliknya bila aku yang kalah sehingga harus mampus di tangan kalian, tak akan ada orang yang menuntut balas gara-gara urusan ini." Menyaksikan kejumawaan Ong Siau-sik yang berani menantang mereka berempat untuk bertarung satu melawan empat, satu ingatan segera melintas dalam benak mereka, pikir mereka, kalau dilihat dari kemampuannya membelah topi rumput yang dikenakan Cu Siau-yau dalam sekali tebasan saja, jelas kungfu yang dimiliki orang ini sangat hebat, mungkin malah orang terhebat dalam Sam-hap-lau saat ini. Jika mereka harus menghadapi satu lawan satu, belum tentu kemampuan mereka bisa menangkan lawannya ini, sebaliknya bila mereka berempat maju bersama dan berhasil merobohkan dia, paling di kemudian hari orang hanya mengejek mereka sebagai orang tak tahu diri yang beraninya mengembut seorang anak muda, namun hasil yang diperoleh justru lebih dari itu, yakni menggunakan peluang ini untuk menyingkirkan seorang musuh tangguh. Berpikir begitu Gan Hok-hoat segera berseru, "Anak muda, kau sendiri yang cari mati, jangan salahkan kami." "Aku tak bakal menyalahkan orang lain, anggap saja aku memang sudah bosan hidup." Takut lawannya menyesal, kembali Gan Hok-hoat berseru, "Jika kau tak sanggup, cepat lepaskan kentutmu sekarang juga, kami tak akan mempermasalahkan lagi."

"Hahaha, sekalipun perkataanku ibarat orang melepaskan ....... hawa itu, aku tahu kalian pun bukan hawa semacam itu, jangan kuatir, aku tak bakal mungkir dari ucapanku sendiri!" Kini keempat orang jago itu benar-benar sudah naik pitam. Dengan suara berat Liu Cong-seng berseru, "Bocah muda, kau ingin bertanding apa?" Ong Siau-sik segera berpikir, lebih baik dia yang membuat jengkel keempat orang itu hingga meradang ketimbang membiarkan Pek Jau-hui yang turun tangan, sebab rekannya selalu menghabisi nyawa lawannya secara telengas, sahutnya cepat, "Terserah apa maumu!" Liu Cong-seng adalah orang yang jujur dan polos, dia tahu pemuda yang muncul di kotaraja dengan membawa senjata pedang tak mirip pedang, golok tak mirip golok ini memiliki kungfu yang sangat hebat, maka katanya, "Kami ada empat orang sementara kau hanya seorang, jika ingin menggunakan golok atau pedangmu, silakan saja, kami akan menghadapimu dengan tangan kosong." "Aku tahu, kalian berempat, seorang pandai ilmu Cong-seng-ci yang bisa membelah dada orang dari jarak sepuluh langkah, yang seorang lagi bisa membunuh orang dari jarak berapa langkah dengan ilmu bacokan setannya." Kemudian kepada Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat katanya lagi sembari tertawa, "Sedang kalian berdua, yang satu konon bisa memadamkan api lilin dari jarak ratusan langkah dengan mengandalkan ilmu pukulan lembek Im-un-bian-ciang, sementara yang lain adalah ahli waris Eng-jiau-ong yang mampu menotok jalan darah orang dari jarak jauh. Justru karena amat mengagumi kemampuan kalian, maka aku ingin mengandalkan sedikit kepandaian yang kumiliki ini untuk minta pelajaran dari kalian. Perkataan ini bernada setengah menyanjung, kontan saja membuat keempat rasul itu merasa segar dalam hati. Terdengar Ong Siau-sik berkata lebih jauh, "Dengan kemampuan silat yang kalian berempat miliki, bukan halangan untuk melukai seseorang dari jarak jauh, bagaimana kalau kita tentukan sebuah garis batas dan masing-masing hanya boleh melancarkan serangan dari jarak tujuh langkah? Pertama bisa menambah pengetahuanku, kedua Cayhe agak takut mati, karena kuatir pertarungan jarak dekat bisa berakibat fatal, maka kalau kita bertarung dari jarak jauh, paling lukaku tak akan seberapa berat. Ini untuk mencegah adanya dendam kesumat di kemudian hari, karena tujuanku bertarung saat ini tak lebih hanya ingin menjajal kehebatan ilmu silat kalian saja." Perkataan Ong Siau-sik ini boleh dibilang merupakan ucapan merendah, tapi terselip juga kejumawaan, kontan paras muka keempat orang rasul itu berubah hebat, dasar bocah kepala ubi, jumawa amat, beraninya menantang mereka berempat untuk bertarung empat lawan satu? Jin Kui-sin kontan berseru sambil tertawa, "Daripada kami berempat yang maju bersama, lebih baik kalian saja yang maju berbareng, biar kubereskan kalian semua seorang diri." "Tidak bisa," Ong Siau-sik menggeleng. "Kenapa?" "Sebab kau tak bakal sanggup menghadapi kami." "Kurangajar!" umpat Jin Kui-sin teramat gusar, "cabut pedangmu!" Kembali Ong Siau-sik menggeleng. "Cabut golokmu atau pedangmu, aku ingin memberi pelajaran kepadamu," kembali Jin Kui-sin membentak gusar.

Tiba-tiba Ong Siau-sik tidak menggeleng lagi, sinar tajam memancar dari matanya, sinar mata yang jauh lebih tajam dari sebilah pedang. Jin Kui-sin agak tertegun, tapi serunya kemudian, "Ayo, cabut golokmu, buat apa kau pelototi aku?" "Kau keliru besar!" ucap Ong Siau-sik sepatah demi sepatah. Tampaknya Jin Kui-sin tergetar perasaannya oleh ucapan itu, tak sadar tanyanya, "Kenapa?" "Pertama, kau bukan bapakku, kedua, kau belum pantas memaksaku mencabut golok." "Aku belum pantas?" Jin Kui-sin mundur setengah langkah sambil tertawa seram, "sialan kau Baru bicara sampai di situ, mendadak ia saksikan tangan Ong Siau-sik sudah menempel di atas gagang pedangnya. Jin Kui-sin segera bersiap melakukan aksinya. Ia berniat turun tangan lebih dulu, mengincar gerak serangan lawan, siap menghindar, menangkis lalu mundur ... tapi ingatan itu hanya melintas secepat kilat dalam benaknya, tahu-tahu pandangan matanya silau. Ternyata topi bambu yang menutupi wajahnya telah terbelah dua dan jatuh ke tanah. Terbelah oleh senjata tajam! Ong Siau-sik sudah turun tangan, bahkan dalam sekali gebrakan telah membuahkan hasil. Ia telah mencabut gagang pedangnya, gagang pedang miliknya berupa golok. Begitu goloknya berhasil menebas topi bambu, senjata itu sudah disarungkan kembali sebagai gagang pedangnya. Sekarang semua orang dapat melihat, seandainya tebasan itu diarahkan ke tengkuk Jin Kui-sin, dia sudah berhasil memenggal batok kepala jagoan itu secara gampang. Tiada yang berani memandang enteng anak muda itu lagi. Tak ada orang yang tidak memandang serius dirinya lagi. Seperti juga banyak kejadian lain, bila seseorang ingin me¬nonjol, bila seseorang ingin punya nama, dia harus menunjukkan dulu prestasi kerjanya, dia harus mengeluarkan dulu ke¬mampuan dan kehebatannya. Begitu juga dengan anak muda ini. Babatan golok Ong Siau-sik itu hanya sekali babatan, namun di balik babatan itu justru terkandung hasil latihan gigihnya selama bertahun-tahun, terkandung semua kehebatan yang diperolehnya dari petunjuk seorang guru yang hebat, juga terlihat betapa hebatnya bakat alam yang dimilikinya. Manusia bisa saja berteduh di bawah sebatang pohon yang sama, dapat duduk di atas batu yang sama, tapi keberhasilan bacokan golok itu sudah mencerminkan berapa banyak pengorbanan, berapa banyak cucuran keringat dan darah yang telah dikeluarkan anak muda itu.

Bacokan golok Ong Siau-sik ini seketika mendapat penilaian yang tinggi dari setiap jago yang hadir di situ. Terdengar Gan Hok-hoat berdehem, kemudian ujarnya, "Apa kami dapat mengunggulimu? Apa pula yang bisa kami peroleh setelah berhasil membunuhmu?" "Bukankah tadi sudah kujelaskan, jika kalian sanggup membereskan Cayhe, aku tak akan mencampuri urusan ini lagi, dia pun tak akan melibatkan diri dalam urusan ini." Bicara sampai di sini, ia segera menuding ke arah Pek Jau-hui yang berdiri di sisinya, kemudian lanjutnya, "Sebaliknya bila kalian tak mampu mengungguli kami, ini membuktikan kemam¬puan kalian belum mencapai tingkat kesempurnaan, jadi ... ya, selamat jalan!" "Baik," seru Gan Hok-hoat kemudian sambil mengertak gigi, "jika kami berempat tak mampu mengatasimu, anggap saja kami yang kalah." "Ucapan Gan-sengcu terlalu serius," Ong Siau-sik tersenyum. Pek Jau-hui tahu, senjata yang diandalkan Ong Siau-sik adalah senjata golok pedangnya, bukan pukulan jarak jauh, sementara empat orang jago yang akan dihadapinya adalah jagoan yang punya nama besar, bila dia harus satu lawan empat, jelas tak ada keuntungan yang bisa diraihnya, berpikir sampai di situ timbul perasaan kuatirnya atas keselamatan jiwa rekannya ini. "He, sebetulnya kau mampu tidak?" bisiknya, "bagaimana kalau aku saja yang menerima tantangan mereka ini? Ilmu jari sam-ci-tan-thian (tiga jari menyentil langit) andalanku sangat cocok untuk pertarungan jarak jauh." Setelah beberapa kali bentrok dengan keempat rasul dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng, Ong Siau-sik dapat menyimpulkan bahwa mereka bukan terhitung tokoh silat berhati buas bertangan telengas seperti apa yang dibayangkan semula, dia tak menyangka kalau mereka tak pernah mau membunuh orang secara sembarangan, justru dia sengaja mengajukan diri untuk tampil dalam pertarungan ini, tujuannya tak lain agar tidak terjadi pembantaian yang dilakukan Pek Jau-hui. Oleh sebab itu lekas sahutnya, "Kalau cuma pertarungan semacam ini saja tak sanggup, sungguh membikin malu orang saja, Jiko, bila aku sampai kalah nanti, tolong buang saja badanku di luar kota, biar disantap anjing liar." "Omonganmu ngawur ..." umpat Pek Jau-hui cepat, tapi ia segera bungkam dan tak banyak bicara lagi. Dalam pada itu keempat rasul dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah mengambil posisi, Jin Kuisin kelihatan paling jengkel, sepasang tangannya diputar kencang bagaikan dua sekop baja yang segera dilontarkan ke depan. Sementara Cu Siau-yau tidak langsung melancarkan serangan, dengan santainya dia mengikat dulu rambutnya dengan seutas tali, kemudian dia mengencangkan pula jubah lebarnya sehingga pinggangnya yang ramping kelihatan amat jelas. Gan Hok-hoat juga sudah menggulung ujung bajunya, wajahnya lambat-laun berubah jadi merah padam, entah dikarenakan sedang menghimpun hawa murninya atau karena naik darah. Liu Cong-seng yang menyaksikan hal itu jadi habis kesabarannya, dengan jengkel teriaknya, "He, bagaimana ini? Kalau memang ingin mengantar kematian, kenapa tidak segera bertindak?"

Ong Siau-sik segera melompat masuk ke tengah arena, berdiri di tengah kepungan keempat orang itu, lalu katanya seraya menjura, "Silakan!" ooOOoo 37 . Tangan golok telapak

pedang.

Liu Cong-seng merupakan orang pertama yang tak mampu mengendalikan diri. Dari sekian banyak jago, kerugian yang ia derita terhitung paling besar, baginya kalau bisa, secepat mungkin membereskan bocah muda itu lebih dulu kemudian ia akan menghancurlumatkan Tong Po-gou. Sepasang telapak tangannya dirangkap menjadi satu lalu digosokkan ke atas turun ke bawah dan tiba-tiba direntangkan ke samping, desingan angin tajam menderu, gulungan angin serangan yang tajam langsung menerjang bahu kiri Ong Siau-sik. Pada saat yang bersamaan Jin Kui-sin dengan bacokan setannya telah melancarkan serangan terlebih dulu, pukulan jarak jauh itu menghajar bahu kanan lawan. Gan Hok-hoat tak mau ketinggalan, ia membentak pula, "Terima seranganku ini!" Ong Siau-sik mendengus dingin, dia incar datangnya arah sasaran, lalu tubuhnya mendadak merendah ke bawah. Gerakan ini dilakukan tepat pada saatnya, akibatnya serangan Cong-seng-ci dan bacokan setan yang sedang meluncur ke depan saling bertumbukan sendiri di udara, "Blaaam!", diiringi suara benturan nyaring tubuh Liu Cong-seng maupun Jin Kui-sin sama-sama tergetar mundur satu langkah. Tapi di saat Ong Siau-sik merendahkan tubuhnya itulah segulung tenaga lembek, tanpa menimbulkan sedikit suara pun telah menggulung tiba. Serangan tenaga lembek itu berasal dari sentilan jari tangan Cu Siau-yau. Jarang sekali ada orang persilatan yang mampu melancarkan serangan jarak jauh dengan tenaga lembek, lebih jarang lagi ada yang bisa menyerang dengan ilmu Im-ji-bian-ciang, tapi sekarang Cu Siau-yau melancarkan serangan tenaga lembek melalui ujung jarinya, kejadian semacam ini boleh dibilang merupakan satu kejadian langka. Sekilas pandang, serangan itu sangat lembek seolah sama sekali tak bertenaga, padahal tenaga paipghancur yang terkandung di balik -ajncaman itu justru jauh lebih dahsyat dan menakutkan ketimbang serangan yang'di:epaskan Jin Kui-sin maupun Liu Cong-seng. Mendadak Ong Siau-sik menggulung sepasang tangannya, menarik dari atas menuju ke bawah dengan gerakan menggulung, begitu tenaga musuh tersapu, kembali dia merentangkan tangannya ke samping. Setelah itu badannya setengah berjongkok ke bawah, kuda-kuda sejajar lantai, gerakannya aneh sekali, dia seakan hendak menyongsong datangnya ancaman dari Cu Siau-yau itu dengan dadanya. Bukan saja tidak menghindar, dia malah diam di tempat, mungkinkah anak muda itu hendak menyerah kalah? Angin serangan yang dilancarkan Cu Siau-yau sungguh dahsyat, jangan kan Ong Siau-sik yang langsung saling berhadapan, Tong Po-gou yang berdiri di luar arena pertarungan pun dapat

merasakan betapa tajamnya hawa dingin yang menyelimuti angkasa, Thio Than yang ada pada jarak lebih jauh malah tergetar mundur sampai beberapa langkah. Mereka berdua jadi tercengang setelah menyaksikan sikap Ong Siau-sik, baru saja tubuhnya siap bergerak untuk ikut terjun ke arena pertarungan, maksudnya memberi pertolongan, tiba-tiba bahunya terasa ditahan orang sehingga tubuh mereka sama sekali tak mampu bergerak. Dengan perasaan kaget mereka berpaling, rupanya Pek Jau-hui yang telah memegang bahu mereka dengan ujung jarinya sehingga tak mampu bergerak Jangan dilihat hanya ujung jari yang menempel di atas bahu, kekuatan yang terkandung justru mencapai ribuan kati lebih, jangan kan maju ke depan, mau berkutik pun Thio Than maupun Tong Po-gou tak mampu. Kali ini kedua orang jago itu benar-benar terkesiap, pikirnya hampir bersamaan, "Masih untung dia hanya teman bukan musuh, kalau tidak, bukankah nyawaku sudah melayang sejak tadi?" Dalam pada itu sorot mata Pek Jau-hui mulai berbinar, menyaksikan jurus serangan yang diperlihatkan Ong Siau-sik, hatinya mulai terasa panas, kepalannya panas, wajahnya panas bahkan sorot matanya pun ikut menjadi panas. "Jurus serangan yang hebat!" pekiknya dalam hati. "Blaaaam!", mendadak pinggang Cu Siau-yau yang ramping itu kelihatan agak tertekuk ke muka, lalu bagaikan layang-layang yang putus, tubuhnya terlempar keluar jendela, tapi sebentar kemudian ia sudah melayang balik dan berdiri tegak kembali. Hembusan angin kencang itu bagaikan topan yang menghajar ranting pohon, biarpun ranting itu sempat melengkung namun tidak sampai patah. Darimana datangnya angin kencang itu? Rupanya Ong Siau-sik telah menggabungkan tenaga serangan yang dilancarkan oleh Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng menjadi satu, kemudian dipantulkan balik ke depan untuk menyongsong datangnya serangan angin lembek dari Cu Siau-yau. Ilmu lembek Im-ji-bian-ciang sebetulnya merupakan ilmu pukulan yang khusus digunakan untuk memunahkan ancaman pukulan tenaga keras, tapi untuk membendung tenaga gabungan dari Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng yang datang bagaikan gelombang dahsyat itu, keadaannya persis seperti seseorang yang punya takaran makan biasa secara tiba-tiba dijejali lima puluh butir telur, sudah pasti ia tak sanggup menelannya sekaligus. Sekarang Tong Po-gou baru memahami maksud tujuan Ong Siau-sik, dia pun mengerti juga kenapa Pek Jau-hui mencegah mereka untuk maju. Tiba-tiba ia teringat dengan takaran makan Thio Than yang luar biasa, tegurnya, "He, jika kau harus menelan lima puluh butir telur sekaligus, berapa mangkuk nasi lagi yang dapat kau habiskan?" Thio Than tidak mengira akan datangnya pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia jadi kebingungan sendiri, tapi akhirnya dia menyahut, "Maaf, biasanya aku tak sudi makan telur yang dikirim si telur busuk!"

Seandainya jari tangan Pek Jau-hui tidak menekan di atas bahu mereka, seandainya Gan Hok-hoat tidak melancarkan serangan waktu itu, mungkin kedua orang ini kembali sudah gontok-gontokan. Syarat utama untuk berhasil dalam menggunakan ilmu Kim-na-jiu adalah pertarungan jarak dekat. Bila kedua belah pihak tidak terlibat dalam pertarungan jarak dekat, mustahil ilmu Ki-na-jiu bisa menunjukkan kehebatannya. Dalam kenyataan ilmu Ki-na-jiu memang merupakan salah satu ilmu silat yang paling banyak mendatangkan manfaat dan keuntungan di dalam suatu pertarungan jarak dekat. Tapi ilmu Eng-jiau-jiu (cakar elang) yang digunakan Gan Hok-hoat justru melanggar kebiasaan itu. Begitu turun tangan, ia segera melancarkan serangan dengan jurus Kim-coa-ciam (menggunting ular emas), biarpun dilancarkan dari jarak jauh, namun seolah di tengah udara muncul sepasang tangan besi tak berwujud, tangan kirinya mencekik leher Ong Siau-sik sementara tangan kanannya mengunci ketiaknya. Dalam posisi yang amat sempit, lekas Ong Siau-sik membalikkan badan dengan jurus Heng-kathiat-bun (melintangkan pintu baja), kakinya berganti arah lalu dengan jurus In-liong-liau-ka (naga mega menebas sisik) dia punahkan serangan kim-na-jiu yang datang mengancam. Gagal dengan serangan pertama, Gan Hok-hoat segera melancarkan serangan berikutnya, belum lagi jurus kedua selesai digunakan, lagi-lagi dia mengubah jurus, secara beruntun dia gunakan jurus Seng-lui-sia-te (guntur menggelegar tanah merekah), Thi-yu-leng-hong (sayap besi mengebas angin) untuk menyerang atas dan bawah tubuh lawan, bukan saja perubahan jurus dilakukan amat cepat, bahkan desingan angin serangan makin lama semakin bertambah ganas. Pada hakikatnya ilmu kim-na-jiu yang ia gunakan jauh lebih dahsyat ketimbang digunakan dalam jarak dekat. Ong Siau-sik mulai menghela napas panjang. Pek Jau-hui yang mendengar itu mengira rekannya memberi tanda agar dia menggantikan posisinya, dengan cepat dia menghimpun tenaga dan siap melancarkan serangan. Ternyata Ong Siau-sik tidak bermaksud minta bantuan, begitu selesai menghela napas dia pun melancarkan serangan golok. Ia sama sekali tidak melolos goloknya, lalu dengan cara apa dia melancarkan serangan golok? Ternyata ia menggunakan telapak tangan sebagai pengganti golok. Golok membelah angkasa, bayangan golok menembus angkasa, tenaga golok menyelimuti angkasa. Hawa golok segera memapas setiap jurus serangan yang dilancarkan Gan Hok-hoat, baru saja desingan angin tajam meluncur ke udara, tahu-tahu ancaman itu sudah terpotong hingga lenyap tak berbekas. Akibatnya sia-sia saja Gan Hok-hoat melancarkan serangan, karena nyaris semua ancamannya mengalami kegagalan.

Gan Hok-hoat menjadi panik, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan cepat, dia ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan itu, apa mau dikata walaupun tiga empat puluh jurus sudah lewat, semua serangannya tetap mengenai sasaran kosong, dalam keadaan begini ia mulai terkesiap, paras mukanya jadi merah padam, napasnya mulai terengah-engah. Ong Siau-sik sama sekali tidak dibikin kelabakan, dia hanya melancarkan serangan goloknya setiap kali setelah meyakinkan arah yang dituju lawan. Serangan golok apa itu? Mendadak Pek Jau-hui teringat 'tangan golok'. Tapi serangan yang digunakan Ong Siau-sik saat ini bukan hanya 'tangan golok' saja. 'Tangan golok' masih belum mampu melancarkan serangan jarak jauh. Ong Siau-sik dengan tangannya sebagai golok melancarkan serangan secara bertubi-tubi, serangan itu sedemikian dahsyatnya seolah-olah dia sedang memegang sebilah golok sepanjang satu kaki., dimana pikirannya bergerak, ke sana serangan goloknya menyambar, kehebatannya boleh dibilang sudah mencapai taraf 'hati golok'. 'Hati golok' jauh lebih unggul daripada 'tangan golok'. Serangan yang dilancarkan Ong Siau-sik saat ini boleh dibilang lebih mirip serangan 'hati golok'. Setiap kali Ong Siau-sik mengayunkan serangannya, Gan Hok-hoat kontan dibikin kalang kabut tak keruan. Untungnya anak muda itu tidak melancarkan serangan balasan, setiap kali dia hanya menjebol serangan lawan. Makin lama serangan goloknya makin cepat, makin lama semakin ganas, sekejap mata kemudian seluruh ruangan Sam-hap-lau sudah diselimuti hawa golok yang menggidikkan hati. Cu Siau-yau, Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng tidak tinggal diam, menyaksikan rekannya tercecar, serentak mereka melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Pukulan lembek Im-ji-bian-ciang, ilmu bacokan setan, Cong-seng-ci serta Eng-jiau-jiu dari Gan Hok-hoat dilancarkan dari jarak jauh secara bertubi-tubi, desingan angin serangan yang mendesing di seluruh angkasa membuat suasana bertam¬bah tegang dan gawat. Sedemikian hebatnya pertarungan yang sedang berlangsung membuat Tong Po-gou yang bernyali besar pun dibuat terperangah hingga tak mampu berkutik. Bahkan Thio Than yang sudah lemah pun ikut berdiri dengan mata terbelalak. Tak lama kemudian serangan golok yang dilancarkan Ong Siau-sik makin lama semakin bertambah lemah. Menyaksikan hal ini, Thio Than segera menegur Pek Jau-hui, "He, apakah kau ingin melihat sahabatmu tewas?" Waktu itu Pek Jau-hui sedang menyaksikan pertarungan dengan penuh perhatian, sedemikian asyiknya hingga dia lupa diri, pemuda itu baru kaget setelah mendengar teguran itu. "Apa kau bilang?" tanyanya.

"Jika kau tidak mengeluarkan ilmu jarimu, mungkin Thio-toaya yang bakal terjun ke arena untuk membantu temanmu, coba lihat, temanmu hampir mati." "Jangan kuatir," Pek Jau-hui segera tertawa, "sahabatku ini tidak begitu gampang mati, menurut aku, hanya beberapa orang saja di kotaraja ini yang sanggup mencabut nyawanya, kalau cuma orang-orang itu ... huuuh, siapa tahu justru mereka yang bakal mampus di tangannya." "He, siapa yang kau maksud dengan mereka?" teriak Tong Po-gou tiba-tiba, biarpun matanya masih mengawasi jalannya pertarungan, namun telinganya mengikuti terus pembicaraan antara Thio Than dan Pek Jau-hui, "Apakah di antara mereka yang dimaksud termasuk juga aku si pendekar raksasa Tong Ki-hiap?" Pek Jau-hui mengamati terus jalannya pertarungan di tengah arena, caranya memandang seperti seorang yang sedang menikmati sebuah benda mestika, sementara mulutnya bergumam, "Lui Sun, So Bong-seng, aku, Kwan Jit, Ti Hui-keng, Lui Tong-thian Mendadak terlihat cahaya pedang membelah angkasa dan menyelimuti seluruh arena pertarungan. Ternyata Ong Siau-sik telah melancarkan desingan angin pedang yang membelah angkasa. Dengan tangan kanan ia melepaskan serangan golok, tangan kirinya melepaskan serangan pedang. Padahal golok maupun pedangnya masih rapi di dalam sarung. Ternyata dia menggunakan tangan sebagai pengganti golok dan pedang, biarpun begitu, kedahsyatan serangannya justru jauh lebih hebat ketimbang serangan golok dan pedang sungguhan. Begitu menyaksikan cahaya pedang itu, Pek Jau-hui segera berseru lagi, "Tidak bisa, tidak mampu, Lui Tong-thian pun tidak mampu!" Baru selesai ia berkata, situasi dalam arena pertarungan telah terjadi perubahan. Tiba-tiba Jin Kui-sin melihat serangan bacokan setannya terputus di tengah jalan, tenaga pukulan itu terpental oleh selapis kekuatan yang luar biasa. Baru saja dia hendak memperkuat tenaga serangannya, tahu-tahu Ong Siau-sik sudah melancarkan sebuah babatan pedang ke arahnya. Dalam kondisi tergopoh-gopoh dia sambut babatan pedang itu dengan keras lawan keras. "Breeeek!", tahu-tahu badannya terlempar keluar jendela kemudian meluncur jatuh ke tanah. Ternyata di saat terakhir dia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyambut serangan itu, tak heran begitu badannya terlempar keluar, ia sudah tak sanggup menahan diri lagi. Ketika tubuhnya terlempar ke bawah loteng, kebetulan Liu Cong-seng sedang menjebol dinding sambil meluncur keluar ruangan. Ternyata Liu Cong-seng pun sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyambut bacokan golok Ong Siau-sik, tapi tubuhnya segera terhajar oleh tenaga pantulan yang dihasilkan serangan Cong-seng-ci, akibat benturan keras, tubuhnya mener¬jang dinding kayu dan terlempar keluar loteng.

Cu Siau-yau di tengah desingan angin golok dan hembusan angin pukulan lembeknya bergerak kian kemari bagaikan bayangan setan, pinggangnya yang ramping bagai ranting pohon liu bergoyang dan meliuk tiada hentinya, sebentar ia melompat ke atas tiang penglari, sebentar hinggap di tiang penyangga ruangan, tubuhnya bergerak ringan bagaikan sampan yang diombangambingkan ombak samudra. Sekalipun tidak sampai tergulung ombak hingga tenggelam, namun saat ini dia sudah kehilangan arah. Begitu juga keadaan Gan Hok-hoat, dia berusaha menggencet musuhnya dengan ilmu pukulan kerbau besi membajak tanah, jari tangannya menyambar kian kemari di antara gulungan cahaya golok, namun serangan tangan kosong yang dilancarkan Ong Siau-sik dirasakan justru jauh lebih menakutkan daripada serangan golok dan pedang yang sesungguhnya. Alis mata Gan Hok-hoat yang sudah putih terlihat semakin putih, sebaliknya paras mukanya makin lama justru semakin bertambah merah, merah bagaikan darah. Tiba-tiba ia menjerit keras, tubuhnya melambung ke udara lalu menyambar pinggang Cu Siau-yau. Ketika pinggang Cu Siau-yau terdorong oleh tenaga murninya, ia segera melejit ke udara, kemudian bersama Gan Hok-hoat melesat keluar melalui jendela. Menyaksikan kejadian itu, dengan perasaan heran Tong Po-gou segera berseru, "Tak mampu menang, sekarang mau kabur?" Belum selesai ia berkata, tampak Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng telah menerjang masuk lagi bersama-sama. Rupanya Gan Hok-hoat yang sadar kalau serangan mautnya tak mungkin bisa mengungguli Ong Siau-sik, segera mengambil keputusan untuk membantu Cu Siau-yau kabur dulu dari ruangan itu, kemudian setelah berada di luar ruangan, mereka bersama-sama menyelamatkan Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng terlebih dulu sebelum akhirnya balik lagi ke loteng Sam-hap-lau. Menyaksikan keempat musuhnya telah balik kembali, bahkan menyebarkan diri ke empat penjuru, Ong Siau-sik segera menghela napas panjang. Kelima jari tangannya yang semula sudah dikendorkan, kini mulai dikencangkan kembali. Pedang kiri golok kanan kembali siap melancarkan serangan. Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Pek Jau-hui, dari gerak-gerik serta cara bertarung Ong Siau-sik, dia jadi teringat seorang tokoh persilatan yang sudah termashur. Leng-hiat! Si Darah dingin! Leng-hiat, salah satu jagoan dari empat opas tak pernah mundur jika bertarung melawan musuh, dia hanya tahu menyerang tanpa bertahan, empat puluh sembilan jurus ilmu pedangnya tak satu pun merupakan jurus bertahan, konon jurus k-eempat puluh delapan menggunakan kutungan pedang sebagai jurus, kemudian menciptakan lagi jurus keempat puluh sembilan, yakni menggunakan pita pedang sebagai jurus serangan. (Silaka n baca seri 4 opas: Pertem uan di Kotar aja ).

Belakangan dia pun mendengar kalau Leng-hiat berhasil menciptakan jurus pedangnya yang kelima puluh ... jurus pedangnya yang terakhir. Telapak pedang! Jarang ada orang bisa lolos dari serangan maut 'telapak pedang' Leng-hiat, tidak terkecuali jagoan yang memiliki ilmu silat lebih tinggi dari dirinya sekalipun. Telapak pedang Leng-hiat tidak terlalu tersohor, sebab jurus itu merupakan jurus rahasia dari kepandaian membunuhnya. Jurus rahasia dari seorang pembunuh biasanya memang jarang diketahui orang, sebab makin sedikit yang tahu makin besar khasiatnya ketika digunakan untuk membunuh. Jika terlalu banyak orang yang mengetahui jurus rahasianya, maka jurus itu sudah tak layak disebut sebagai jurus rahasia lagi. Leng-hiat telah menggabungkan telapak tangan dengan pedangnya, telapak tangan adalah pedang, pedang adalah telapak tangan, pedang ada manusia hidup, pedang hilang orangnya tewas. Keadaan itu tak beda jauh dengan ilmu pedang Leng-khong-siau-hun-kiam (pedang pelumat sukma) yang dimiliki Ong Siau-sik. Tiada telapak tangan, tak ada juga pedang. Yang dia gunakan bisa saja telapak tangan, bisa juga pedang, sebentar telapak tangan sebentar pedang, bukan telapak tangan bukan pedang, tapi ketika digabungkan dengan golok di tangan kanannya, maka tangan kirinya adalah pedang, memancarkan kekuatan sebagai sebilah pedang, bahkan masih dapat memancarkan kekuatan yang tak mampu dilakukan oleh pedang. Oleh sebab itu daya kekuatan yang dipancarkan pedang di tangan kiri Ong Siau-sik boleh dibilang terpancar karena desakan golok di tangan kanannya, sebaliknya daya kekuatan yang terpancar pada golok di tangan kanannya terbentuk karena pengaruh pedang di tangan kirinya. Daya kekuatan semacam ini luar biasa hebatnya, membuat orang yang memandang jadi terkagum-kagum. Sementara itu dalam benak Pek Jau-hui pun muncul satu pikiran, Dia ingin tahu seandainya ilmu sentilan tiga jari miliknya berhadapan dengan ilmu golok kerinduan dan pedang pelumat sukma milik Ong Siau-sik, siapa yang akan muncul sebagai pemenang? Ia merasa bila tak ada kesempatan untuk bertarung melawan ilmu golok dan ilmu pedang itu, kejadian ini boleh dibilang merupakan satu peristiwa yang patut disesalkan. Mendadak terdengar Ong Siau-sik berseru, "Kalau pertarungan dilanjutkan lebih jauh, aku bakal kewalahan. Bagaimana kalau kita sudahi pertarungan sampai di sini saja? Toh di antara kita semua tak ada dendam tak ada sakit hati, buat apa mesti saling membunuh?" Keempat orang itu saling bertukar pandang sekejap. "Kau keliru," kata Gan Hok-hoat kemudian dengan wajah serius.

"Lalu Ong Siau-sik tahu, jarang ada jagoan yang mau mengaku kalah setelah berlangsungnya pertarungan. "Kami putuskan tak akan bertarung lagi," ujar Gan Hok-hoat tegas. Mula-mula Ong Siau-sik agak melengak, kemudian lekas serunya, "Maaf, maaf "Buat apa minta maaf? Kami sudah berusaha dengan sepenuh tenaga, tapi kenyataannya tetap tak mampu mengungguli dirimu," kata Gan Hok-hoat cepat, kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Karena merasa tak mungkin bisa menangkan dirimu lagi, maka kami mengaku kalah." Perkataan itu justru membuat Ong Siau-sik terperanjat, tapi hati kecilnya merasa sangat kagum. Empat orang rasul ini memang tak malu menjadi tokoh kenamaan, mereka berani menga¬ku kalah, apalagi mengaku kalah di hadapan orang banyak. "Tapi, kami pun merasa amat menyesal," ujar Gan Hok-hoat lagi. "Kenapa?" tanya Ong Siau-sik keheranan. "Karena kami tak dapat menyelamatkan jiwamu." Ong Siau-sik melongo, dia benar-benar tidak mengerti apa maksud perkataan itu. Terdengar Gan Hok-hoat berkata lebih jauh, "Sebab Jit-sengcu telah datang, ketika kami turun ke bawah tadi, sudah kulihat Jit-sengcu bersama rasul kelima dan rasul keenam tiba di bawah loteng." Diam-diam Pek Jau-hui merasa terperanjat, ia kaget karena sama sekali tidak merasa kalau di bawah loteng Sam-hap-lau telah muncul tiga orang jago. Tampak paras muka Liu Cong-seng, Jin Kui-sin dan Cu Siau-yau memperlihatkan suatu perubahan yang sangat aneh. Mereka ada yang merasa sayang, ada yang bersyukur bahkan ada yang gembira karena bakal melihat orang tertimpa bencana, pokoknya sorot mata mereka seakan merupakan pandangan mata terakhir kepada orang-orang yang hampir mati. Ong Siau-sik merasa sangat tidak puas, serunya sambil mendengus, "Manusia macam apa sih Sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng? Sudah lama aku ingin melihat bagaimana tampangnya." "Kalau ingin bertemu aku, cepat menggelinding turun ke bawah!" terdengar seseorang menjawab dari bawah loteng. "Hahaha, aku memang ingin bertemu kau, lebih baik kau saja yang menggelinding naik!" Baru selesai Ong Siau-sik mengucapkan perkataan itu, permukaan lantai dimana ia berdiri tiba-tiba bergoyang. ooOOoo 38 . Manus ia kosong Tiba-tiba lantai dimana mereka berpijak runtuh ke bawah diiringi suara gemuruh yang sangat keras.

Sekalipun mereka ingin me'ompat, menghindar atau mencari tempat pijakan, semuanya tak berguna. Sebab seluruh lantai dari ruang tingkat dua rumah makan Sam-hap-lau itu runtuh ke bawah, seakan lantai itu selama ini hanya tergantung di awang-awang dan sekarang kehilangan sandarannya. Dalam waktu singkat seluruh benda termasuk orang berikut bangku dan meja, bahkan termasuk juga keempat dayang dan keempat orang Sengcu itu terjatuh ke bawah. Debu dan pasir beterbangan di udara, hancuran papan dan kayu berserakan dimana-mana. Pek Jau-hui masih tetap berdiri tegak, dia tetap berdiri dengan angkuhnya, tiada debu dan pasir yang mengotori tubuh serta pakaiannya. Dia telah menyelinap ke belakang tubuh Lui Tun dan Un Ji. Justru karena jari tangannya menahan di belakang punggung mereka berdua, maka Lui Tun maupun Un Ji tidak sampai roboh terjungkal ke tanah. Keempat orang dayang itu terhuyung-huyung seperti mau terjungkal, sementara Tan Cian-kui sudah roboh terkapar di lantai, sedang keempat orang rasul sama sekali tidak nampak me¬ngenaskan, karena sejak awal mereka sudah membuat persiapan. Tong Po-gou justru yang mendapat masalah. Bentuk kepalanya memang luar biasa besarnya, maka sewaktu terperosok jatuh ke bawah tadi, ia berusaha maju mundur dengan niat menyeimbangkan badannya supaya tidak terjerembab, apa mau dikata, kuda-kudanya tidak cukup kokoh, akibatnya ia jadi sempoyongan, nyaris tubuhnya terjerembab ke tanah bagai anjing kelaparan yang berebut najis. Thio Than jauh lebih ringan dan gesit gerakan tubuhnya, akan tetapi dia pun dibuat kerepotan. Dalam keadaan kalut, ia masih harus menyelematkan kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya. Biarpun kelima puluh enam buah mangkuk itu hanya mangkuk kosong, namun mangkuk itu merupakan alat makannya, dia tak ingin tempat makan andalannya itu hancur akibat terperosok ke lantai bawah. Ketika rombongan orang-orang itu terperosok jatuh ke lantai bawah, di bawah ruangan sana sudah tak ada seorang pun, tak ada meja, tak ada bangku, seakan-akan semua barang itu sudah disingkirkan orang tanpa diketahui siapa pun, yang tersisa sekarang hanya sebuah ruangan kosong. Tampak dua sosok bayangan manusia, semuanya berkerudung, sedang melompat ke samping, seorang berdiri di depan pintu rumah makan Sam-hap-lau. Rupanya kedua orang manusia berkerudung itulah yang telah menghancurkan seluruh tiang penyangga yang ada di ruangan itu hingga seluruh lantai ruang atas ambruk ke bawah, begitu berhasil dengan pekerjaannya, secepat kilat mereka balik kembali ke samping ketua mereka, Jitsengcu. Belum habis rasa kaget dan ngeri yang mencekam perasaan semua orang, terlihat Cu Siau-yau, Liu Cong-seng, Gan Hok-hoat serta Jin Kui-sin telah maju menghampiri orang yang duduk di depan pintu itu sambil memberi hormat, "Hamba mengunjuk hormat untuk Jit-sengcu, Kwan Jit-ya!"

Seluruh perhatian mereka yang hadir pun serentak dialihkan ke wajah orang itu. Mereka ingin tahu, Jit-sengcu, ketua Perkumpulan Mi-thian-jit-seng, yang disebut orang sebagai Kwan Jit, si pembius langit, sebenarnya adalah manusia macam apa? Sayang mereka tak dapat menyaksikan wajah Kwan Jit. Saat ini yang mereka saksikan hanya seorang manusia yang kosong. Orang ini sama sekali tak bercadar, dia pun tidak menggunakan sebangsa topi lebar untuk menutup raut mukanya. Begitu menyaksikan orang ini, segera akan diketahui bahwa dia hanya seseorang yang kosong ... kosong dalam arti pikiran, perasaan, masa lalu, masa sekarang, masa mendatang bahkan segala sesuatunya kosong. Kalau dilihat dari perubahan mimik mukanya, dia seolah sedang berpikir keras, sepasang alis matanya bekernyit, rambutnya sudah beruban seperti dilapisi bunga salju, namun wajahnya justru begitu halus persis seperti wajah seorang bocah. Raut muka bocah yang dia miliki sangat berbeda bila dibandingkan wajah bocah Gan Hok-hoat. Raut wajah Gan Hok-hoat terawat sangat baik, wajah kebocahan yang segar dan kencang. Tapi orang ini memiliki wajah seperti seorang bocah yang sedang tumbuh, namun berhenti secara tiba-tiba setelah mencapai satu tingkatan tertentu, sinar matanya guram, bahkan mendekati pandangan mata yang kosong, bahkan panca indra maupun mimik mukanya memberi kesan bahwa orang ini mempunyai perasaan dan pandangan yang kosong. Dia duduk di atas sebuah kursi, kursi berwarna hitam yang dapat didorong. Kalau dibilang kursi ini mirip sebuah bangku, maka lebih cocok kalau dibilang sebuah kereta narapidana, keempat dindingnya terbuat dari besi berwarna hitam, persis seperti sebuah peti besi, sementara orang itu duduk di dalamnya sehingga hanya kepalanya yang menongol keluar, keadaannya tak beda jauh dengan narapidana yang berada di atas kereta. Bedanya hanya tiga sisi peti besi itu dibiarkan tertutup, sementara satu sisi yang lain berada dalam keadaan terbuka, sisi yang menghadap ke depan. Oleh sebab itu hampir setiap orang yang hadir di situ dapat menyaksikan keadaan manusia kosong itu secara jelas, terlihat pergelangan tangannya digantungi sebuah borgol berwarna co-klat, rantai borgol sepanjang dua kaki, sementara sepasang kakinya terlihat juga sepasang borgol, hanya rantai borgolnya sepanjang tiga kaki. Orang ini tak ubahnya seperti seorang narapidana yang sedang dibawa menuju ke lapangan eksekusi. Di samping itu terlihat juga kulit badannya begitu putih hingga meninggalkan kesan pucat, tampaknya sepanjang tahun ia tak pernah terkena sinar matahari. Melihat itu, diam-diam semua yang hadir merasa sangat iba, khususnya Thio Than. Masih mendongkol dengan kejadian yang baru saja dialami, dimana ia nyaris jatuh terjerembab, dengan perasaan tak senang Thio Than segera menegur, "Siapa yang bernama Jit-sengcu? Kini kami sudah turun, kenapa kau masih belum menggelinding keluar?" Baru selesai ia berkata, manusia kosong itu sudah mendo¬ngakkan kepala secara tiba-tiba.

Begitu orang itu mendongakkan kepalanya, dengan pera¬saan terperanjat Thio Than mundur satu langkah. Selama hidup belum pernah dia menyaksikan sorot mata yang begitu menakutkan. Sorot mata yang begitu kuat, sorot mata yang begitu tajam dan menakutkan ternyata memancar keluar dari balik sepasang mata yang kelihatan kosong. Sinar tajam itu hanya melintas dalam waktu sekejap, kemudian hilang kembali. Untuk beberapa saat lamanya Thio Than tidak mampu berkata-kata, satu perasaan aneh segera berkecamuk dalam benaknya. Selama ini dia tak pernah berpikir soal mati. Dia selalu hidup dengan riang, hidup dengan penuh semangat dan gembira. Ia bisa kenal Lui Tun karena pernah menjanjikan satu hal 'kepadanya, ia pernah berhutang budi kepadanya, maka ia bersumpah akan melindungi gadis itu hingga saat perkawinannya, selama bergaul dan berkumpul dengan gadis cantik macam dia, tentu saja perasaannya selalu diliputi keriangan dan kegembiraan. Apalagi makan nasi merupakan kegemarannya yang paling utama, jika ia mati, maka dia tak akan bisa makan nasi, itulah sebabnya dia „tak pernah berpikir soal kematian. Bukan hanya begitu, dia pun amat takut mati. Kalau bisa tidak mati, dia berusaha keras untuk tidak mati. Agar tidak sampai mati, ia tak segan untuk menangis, dia pun tak segan untuk berteriak minta tolong. Dia tak pernah berharap nyawanya akan berakhir dalam waktu singkat. Tapi kini setelah ditatap sekejap oleh manusia kosong itu, mendadak perasaannya seolah tertindih oleh sebatang besi yang amat besar, dia merasa pikiran dan perasaannya amat kalut, bahkan nyaris merasa ingin mati saja. Mati merupakan keputusan di ujung sejuta keputus-asaan, namun itupun tak lebih hanya sebuah keputusan, sama seperti keputusan untuk hidup, keputusan untuk menyukai seseorang, memutuskan untuk bersikap lebih riang dan lain sebagainya, semuanya hanya berupa sebuah keputusan. Akan tetapi di saat ingatan 'lebih baik mati saja' muncul dalam benak seseorang, sama artinya bahwa orang itu sedang memutuskan untuk tidak melakukan perbuatan yang lain lagi. Tak heran kalau ada pepatah yang mengatakan bahwa 'ingin mati tak dapat menyelesaikan masalah'. Thio Than hanya dipandang sekejap oleh orang itu, namun dalam perasaannya segera terlintas ingatan, daripada hidup lebih baik mati. Langit makin gelap, udara semakin terasa dingin, angin mulai berhembus kencang. Angin yang berhembus adalah angin puyuh. Angin kencang membuat mata semua orang nyaris tak mampu dibuka. Mendadak terdengar Gan Hok-hoat berseru dengan suara berat, "Jit-sengcu, Kwan Jit-ya telah datang, jangan bersikap kurang sopan!" Semua orang terkesiap, semua orang terperangah.

Manusia kosong yang duduk dalam kereta bagaikan seorang narapidana, bagai seorang idiot ini adalah Kwan Jit, tokoh kalangan hitam yang termashur karena kehebatan kungfunya, karena kemisteriusannya? Sementara semua orang masih tercengang, melongo, terdengar seseorang berseru dari atas rumah, "Dia adalah Kwan Jit? Lalu siapa yang jadi Kwan Pat?" Ketika semua orang mendongakkan kepala, tampak Ong Siau-sik sambil berpegangan pada tiang beranda bangunan sedang melongok ke bawah sambil tertawa mengejek. Kwan Jit mendongakkan kepala juga, mendongak dengan sorot matanya yang kosong. "Nah, begitulah," kembali Ong Siau-sik berseru sambil tertawa, "memang ada baiknya kau mendongakkan kepala dan memandang aku terlebih dulu." Seraya berkata, dia melayang turun ke bawah. Ketika tadi ia mendengar ada orang membentak dari luar ruangan yang menyuruh dia menggelinding turun, menyusul kemudian lantai ruangan ambruk, anak muda itu segera melejit ke udara dan berpegangan pada tiang penglari, ia bertahan terus pada posisi itu hingga Kwan Jit mendongakkan kepala memandang ke arahnya, setelah itu dia baru melayang turun ke hadapan manusia kosong itu. Ternyata Kwan Jit sama sekali tidak marah, malah setengah kebingungan dia bergumam, "Kwan Pat, siapa itu Kwan Pat?" Sekali lagi wajahnya menampilkan mimik muka seperti orang sedang berpikir keras, namun dengan begitu dia semakin nampak seperti orang yang betul-betul berpikiran kosong. Ada dua orang berdiri di samping Kwan Jit, satu berdiri di sisi kanan satunya lagi di sisi kiri. Kedua orang itupun mengenakan kain kerudung di wajahnya, sikap mereka kaku bagaikan dua buah arca yang terbuat dari tembaga. Orang di sebelah kanan mengenakan jubah lebar dengan tangan dimasukkan ke balik saku, sementara orang di sebelah kiri mengenakan sarung tangan kulit menjangan, jari tangannya kelihatan jauh lebih panjang satu setengah kali dibanding orang biasa, siapa pun belum lupa kalau mereka berdualah yang barusan menghancurkan bangunan loteng itu seperti orang memotong tahu saja. Orang berjari panjang itu tiba-tiba menghampiri Kwan Jit dan berbisik, "Jit-ya, silakan turunkan perintah." "Turunkan perintah? Perintah apa?" tanya Kwan Jit seperti orang kebingungan. "Mereka telah mencemarkan nama baik Sengcu, sudah sepantasnya dihukum mati." "Mereka berani mencemarkan nama baikku? Kenapa mereka harus mencemarkan nama baikku?" Orang berkerudung berjari panjang itu segera menjawab, "Bukankah baru saja mereka telah mencemarkan nama besar Sengcu, bahkan begitu berani menghalangi perkawinan Sengcu dengan nona Lui."

"Aku akan menikahi nona Lui?" Kwan Jit kelihatan semakin kebingungan. Manusia berkerudung lain yang pendek kecil tapi kekar itu segera berdehem seraya berkata, "Nona Lui adalah putri tunggal Lui-congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong " "Benar," sambung manusia berkerudung berjari panjang itu, "Sengcu akan mengawini nona Lui, nona Lui adalah Sengcu-hujin, Sengcu-hujin adalah istrimu, tapi bocah keparat yang tak tahu tingginya langit tebalnya bumi itu telah menghalangi usaha kita." "Siapa itu nona Lui?" hawa amarah mulai muncul di wajah Kwan Jit. "Dia adalah nona Lui!" sambil berkata orang berjari panjang itu menuding ke arah Lui Tun. Kwan Jit memandangnya sekejap, tak tahan dia memandang lagi untuk kedua kalinya, setelah memandang untuk kedua kalinya ia memandang untuk ketiga kalinya, makin dipandang, kebimbangan dan kebingungan yang semula memancar dari balik matanya kian pudar, sebagai gantinya kini muncul sorot mata yang penuh dengan kelembutan. Pada saat itulah suasana di arena telah terjadi perubahan. Tatkala manusia berkerudung itu menuding ke arah Lui Tun tadi, rupanya Pek Jau-hui telah melangkah maju ke depan sambil bersiap, dia sudah siap melancarkan serangan apabila pihak lawan mulai melakukan penyerbuan. Sekarang ia sudah dapat melihat dengan sangat jelas, tampaknya Ngo-sengcu dan Lak-sengcu yang bertubuh jangkung dan pendek itu bukan saja mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi ketimbang keempat orang Sengcu lainnya, bahkan kehebatan kungfunya sukar diduga. Kendatipun ia sudah mempersiapkan diri, namun kejadian di luar dugaan tetap berlangsung. Rupanya setelah menuding ke arah Lui Tun tadi, orang berjari panjang itu kembali mengebas ke arah lain, kalau tudingan ke arah Lui Tun sama sekali tidak menimbulkan kejadian apa-apa, maka kebasan berikutnya mengakibatkan hal yang fatal. Terlihat ada segulung desingan angin tajam menyambar lewat, tahu-tahu seorang dayang berpedang yang ada di sisi Lui Tun sudah menjerit kesakitan, darah segar menyembur keluar dari atas keningnya, tak ampun tubuhnya seketika terkapar di atas tanah. Manusia berkerudung itu tertawa seram, suaranya dingin menggidikkan, membuat bulu kuduk berdiri. Ketiga orang dayang lainnya menjerit kaget, melihat jalan darah Ing-thong-hiat di kening rekannya mengucurkan darah segar, mereka terkejut bercampur gusar, serentak ketiga orang itu menerjang ke depan. Pek Jau-hui tahu beberapa orang dayang itu bukan tandingan manusia berkerudung itu, lekas bentaknya, "Berhenti!" Tapi ketiga orang dayang itu tidak menggubris, kematian salah seorang rekannya membuat mereka naik pitam, tanpa menggubris mereka pun menyerbu ke depan siap mengadu jiwa. Tong Po-gou tidak tega membiarkan beberapa orang itu pergi mengantar nyawa, cepat dia maju ke depan sambil menyambar bahu dua orang dayang di antaranya. "Jangan gegabah!" teriaknya.

Kedua orang dayang itu boleh dibilang masih muda, merasa bahunya ditahan Tong Po-gou hingga sama sekali tak mampu bergerak, mereka jadi malu bercampur marah, mendadak sambil membalikkan tubuh mereka ayunkan tangannya ke depan dan menampar pipi Tong Po-gou dari kiri dan kanan. Tong Po-gou menjerit kesakitan, teriaknya, "He, kenapa kalian malah menampar aku?" "Hmm, siapa suruh kau tak tahu aturan?" sahut dayang berbaju ungu sewot, "rasakan sekarang kelihaian kami!" Ketika Thio Than menyaksikan Tong Po-gou sudah menarik bahu dua orang dayang, dia pun tak mau kalah, cepat badannya maju dan menghadang dayang ketiga, tapi begitu melihat Tong Pogou kena ditampar, sementara si dayang yang dihadangnya juga sedang mengayunkan tangannya hendak menampar dia, lekas dia mundur dua langkah. Untung dia berkelit cukup cepat sehingga tidak termakan tamparan itu, serunya kemudian sambil tertawa tergelak, "Sudah ada contoh sebelumnya, masakah aku ikut masuk perangkap?" Siapa tahu gara-gara melompat mundur, kakinya menginjak di atas kaki Un Ji. Waktu itu Un Ji sedang teramat gusar karena melihat si orang berjari panjang itu melancarkan serangan bokongan sehingga membunuh seorang dayang berpedang itu, ketika secara tiba-tiba kakinya terinjak Thio Than yang sedang menghindar sehingga menimbulkan rasa sakit, amarahnya semakin berkobar. Dengan penuh kejengkelan Un Ji segera menendang pantat Thio Than dengan keras sembari umpatnya, "Sialan kau, berani amat menginjak kaki nonamu hingga kesakitan!" Begitu menginjak kaki orang, Thio Than segera berpaling dengan kaget, ketika dilihatnya Un Ji sedang melotot ke arahnya dengan penuh amarah, sebetulnya dia ingin meminta maaf, siapa sangka belum sempat kata maaf muncul dari mulutnya, sebuah tendangan keras telah mendarat di pantatnya. Untung dia menghindar cukup cepat, sekalipun pantatnya tidak sampai terkena tendangan keras, tak urung perutnya kena tersambar juga oleh tendangan itu, kontan tubuhnya mundur terhuyung beberapa langkah. "He, apa-apaan kau ini," tegurnya. Dengan demikian ketiga orang dayang itu tak ada yang menghalangi jalan perginya lagi, serentak si dayang bunga bwe, si dayang bambu dan dayang bunga seruni mengayunkan pedangnya dan menerjang lagi ke hadapan orang berjari panjang. Pek Jau-hui segera mengernyitkan dahi, kepada Lui Tun serunya, "Cepat suruh mereka berhenti!" "Jangan ke situ!" Lui Tun segera berteriak keras. Seketika itu juga ketiga orang dayang itu menghentikan langkahnya, sambil menghentakkan kaki karena jengkel. Seru si dayang pedang bambu, "Nona, kita tak boleh membiarkan enci Lan mati secara percuma Walaupun pancaran sinar gusar mencorong keluar dari balik mata Lui Tun, namun nada ucapannya masih amat tenang, katanya, "Kalian tak usah kuatir, Pek-kongcu dan Ong-siauhiap pasti akan menuntut keadilan buat kita."

Waktu itu Ong Siau-sik sudah melompat maju, kepada orang berjari panjang itu tegurnya, "Mengapa kau sembarangan membunuh orang?" "Jika harus turun tangan, apa salahnya kalau sekalian membunuh? Jika tak ingin membunuh, buat apa mesti turun tangan?" jawab orang itu dengan suara dingin. "Baik!" seru Ong Siau-sik marah, "kalau kau boleh membunuh seenaknya, berarti aku pun boleh membunuhmu seenaknya." Orang berjari panjang itu mendengus sinis, seakan masih asyik menikmati jari sendiri yang panjang, katanya, "Bila seseorang memiliki kepandaian untuk membunuh setiap saat, berarti dia punya hak untuk membunuh siapa pun sekehendak hatinya, sayang, kau masih belum memiliki kepandaian semacam itu sehingga kau hanya bisa menjadi seorang yang menanti saatnya dibunuh orang." "Darimana kau bisa tahu kalau aku tidak memiliki kepandaian untuk membunuh?" tanya Ong Siausik sambil tertawa jengkel. "Karena kau telah bertemu dengan aku, karena di kotaraja tidak terdapat tokoh semacam kau," setelah tertawa seram lanjutnya, "asal kau mau mengutungi sebelah lengan dan sebelah kakimu, kemudian segera menggelinding keluar dari kotaraja, kami perkumpulan Mi-thian-jit-seng mungkin masih mau mengampuni nyawa anjingmu." Tiba-tiba Ong Siau-sik mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak, ia tertawa penuh kegusaran. Pek Jau-hui ikut tertawa, pemuda ini tertawa angkuh. Belum pernah ada seorang manusia pun sewaktu tertawa bisa bersikap begitu angkuh, begitu jumawa. Tong Po-gou ingin ikut tertawa setelah menyaksikan hal itu, tapi sebelum ia turut tertawa, Thio Than yang berada di sampingnya sudah menegur, "He, kenapa kau ikut tertawa bodoh?" Tong Po-gou mendongkol setengah mati. Waktu itu orang berjari panjang itu juga sedang mendongkol, mendongkol setengah mati. Dia jengkel bercampur mendongkol setelah mendengar tanya jawab Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. "Apakah kau sudah mendengar apa yang dia katakan?" tanya Ong Siau-sik kepada rekannya. "Kelihatannya dia sedang meninggalkan pesan terakhirnya sebelum mampus," jawab Pek Jau-hui. "Dia keliru besar." "Ya, dia memang sangat keliru." "Sebenarnya kedatangan kami kemari adalah untuk melindungi nona Lui, pihak mana yang menang, pihak mana yang kalah, sebetulnya tak perlu diimbangi dengan pertarungan mati-matian, tak usah saling membunuh." "Ya, semestinya memang begitu."

"Tapi begitu orang ini muncul di sini, tahu-tahu dia sudah membantai seorang nona yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan persoalan ini." "Siapa membunuh nyawa orang, dia harus membayar dengan nyawa sendiri, siapa hutang duit dia mesti membayar dengan duit," kata Pek Jau-hui sinis, "hutang nyawa bayar nyawa, sebetulnya peraturan ini sudah merupakan peraturan baku dalam dunia persilatan." "Betul, jika kau sudah membunuh orang, maka bersiaplah untuk dibunuh orang lain, maka pertarungan yang bakal berlangsung sudah berbeda sifatnya dengan pertarungan sebelumnya." "Kalau tadi hanya pertarungan pibu, maka sekarang adalah pertarungan untuk menentukan mati hidup." "Kalau memang begitu, harap Jiko yang mengurusi segala persoalan di sini, aku akan terjun dulu ke arena pertarungan," kata Ong Siau-sik. "Maaf, nyawa orang ini biar aku yang mencabutnya, sementara kau mengurusi persoalan di sini," Pek Jau-hui menghadang di depan Ong Siau-sik dan bersikeras dengan pendapatnya. "Tapi "Tadi kau sudah bertarung satu babak, maka seharusnya babak ini kau serahkan kepadaku," ujar Pek Jau-hui sambil mengawasi jari orang itu, "apalagi serangan jarinya merupakan penggabungan dua macam ilmu langka yang disebut Lok-hong-ciang (pukulan angin rontok) dan Hou-liong-jiau (cakar naga mendekam), ilmu itu sudah lama hilang dari peredaran dunia persilatan. Jadi akulah yang mesti membereskan orang ini, dia berhasil membunuh lantaran keteledoranku." "Jiko...." "Sekalipun kau tidak merasa yakin dengan kemampuanku, paling tidak mesti percaya dengan ilmu jari pengejut dewaku," tukas Pek Jau-hui, "tak usah kuatir, jago lihai yang bakal muncul hari ini masih banyak sekali." Dari nada pembicaraan kedua orang ini, seolah mereka telah menganggap orang berjari panjang itu sebagai seseorang yang pasti bakal mampus, yang menjadi persoalan sekarang adalah siapa yang akan bertindak sebagai algojonya. Kendatipun gusar bercampur mendongkol,- orang berjari panjang itu tercekat juga perasaannya, dia tak menyangka kalau ilmu Hou-liong-jiau dan Lok-hong-ciang yang dimilikinya bisa diketahui anak muda yang tampak sangat jumawa itu. Mendadak satu perasaan aneh melintas dalam benaknya, ia bersumpah akan membunuh orang ini, sebab kalau tidak, suatu hari nanti mungkin dia yang bakal mati dibantai orang itu. Dalam waktu sekejap nasib kedua orang ini seolah sudah bertaut menjadi satu, hanya persoalannya siapa yang membunuh siapa, karena salah satu di antara mereka harus tewas di tangan yang lain. ooOOoo 39 . Tiga jari me nyent il lang it

Dengan langkah santai Pek Jau-hui maju ke tengah arena, seketika ia merasakan hembusan angin yang amat kencang. "Siapa kau?" tegur Pek Jau-hui dengan lagak jumawa, "selamanya aku tak pernah membunuh orang yang tak punya nama." "Siapa pula kau? Aku Lak-sengcu tak pernah membunuh Bu-beng-siau-cut," balas orang berjari panjang itu cepat, tapi ia segera sadar ternyata lagak bicaranya telah meniru lagak si pemuda jumawa itu. "Oooh, rupanya Lak-sengcu," Pek Jau-hui tertawa sinis, "kalau begitu kau tidak terhitung manusia tanpa nama, Cuma aku lihat kau lebih mirip makhluk yang tak patut ditonton orang." Tak terlukiskan rasa gusar Lak-sengcu, tapi dengan cepat dia berhasil mengendalikan gejolak emosinya, ujarnya dingin, "Tahukah kalian berapa banyak jago di bawah perkumpulan Mi-thian-jitseng dalam serbuannya kali ini?" Pek Jau-hui tidak menemukan sesosok bayangan manusia pun di jalan raya maupun lorong sempit itu, yang terlihat hanya deruan angin puyuh dan gulungan pasir yang membuat seluruh bangunan rumah di sekitar sana bergetar keras. "Kali ini kami sertakan dua ratus tujuh belas orang jago, semuanya merupakan pasukan inti kami," kata Lak-sengcu bangga, "apalagi Jit-sengcu turut hadir di sini." Setelah berhenti sejenak, dia pun melanjutkan, "Jika kau berani bicara sembarangan lagi, berarti saat kematianmu sudah tiba." Mendadak Pek Jau-hui mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, kau memang manusia yang patut dikasihani/' jengeknya. Hawa amarah Lak-sengcu yang baru saja mereda kontan meletup kembali, kali ini dia nyaris tak mampu mengendalikan diri. "Oooh, jadi untuk menakut-nakuti aku, kau tak segan menggotong keluar sepasukan hulubalangmu? Kemudian lantaran kuatir disalahkan Kwan Jit, maka kau mengeluarkan barisan ini untuk membuat aku takut? Hmmm, dasar manusia tak punya malu, aku benar-benar merasa jengah melihat ulahmu itu," ejek Pek Jau-hui dengan kata-kata yang tajam, "sebetulnya kau sudah kehilangan rasa percaya diri, atau ingin mencari bala bantuan?" Lak-sengcu memekik nyaring, selama hidup belum pernah ia merasa semarah hari ini. Baru saja ia menggerakkan tubuhnya siap melancarkan serangan, tiba-tiba JMgo-sengcu yang bertubuh pendek kecil itu sudah melejit ke tengah arena. Dibilang melejit karena tubuhnya benar-benar melejit ke udara seperti peluru yang dilontarkan dengan pegas, bukan saja tidak nampak gerakan tubuhnya, bahkan sama sekali tidak menimbulkan suara. Begitu dia melejit, orang pertama yang dilalui adalah Ong Siau-sik. Dari balik bajunya dia mencabut keluar sesuatu, seperti melolos semacam senjata tajam, kemudian lewat udara dia lepaskan satu pukulan. Telapak tangannya pendek, gemuk dan tebal, bahkan sedemikian pendeknya tangan itu hingga nyaris lebih pendek satu ruas ketimbang tangan orang biasa.

Ong Siau-sik segera menyilangkan telapak tangannya menangkis serangan itu dengan keras lawan keras, baru saja tubuhnya akan merangsek maju untuk menghadang jalan perginya, mendadak ia lihat di balik serangan itu ternyata terkandung tiga jenis tenaga kekuatan yang amat menakutkan, ketiga macam kekuatan itu meluncur tiba hampir bersamaan. Lapisan yang pertama adalah tenaga pukulan, tenaga pu-kularuyang kuat bagai gulungan ombak yang memecah tepian. Lapisan kedua merupakan tenaga berhawa dingin, kekuatan hawa dingin yang dahsyat bagai alunan ombak yang dipermainkan angin topan. Lapisan ketiga merupakan tenaga pukulan beracun, kekuatan tenaga racun ini bagai bukit karang yang berguguran ke bawah jurang. Orang yang menyambut serangan itu, kendatipun sanggup membendung tenaga pukulan yang pertama, dia tetap akan merasakan pembuyaran urat dan jalan darah yang terkandung dalam pukulan hawa dingin, semisalnya mampu membendung ancaman tenaga dingin itu, dia tetap akan dilukai oleh pukulan beracun yang dibawa oleh pukulan hawa dingin itu. Lekas Ong Siau-sik melindungi seluruh urat nadinya dan melompat mundur ke belakang. Dalam sekejap mata Ngo-sengcu sudah tiba di atas kepala Tong Po-gou dan Thio Than. Lekas Tong Po-gou melejit ke udara melakukan penghadangan. Dengan bentuk kepalanya yang besar, hadangan itu boleh dibilang membuat burung yang terbang lewat pun seketika terbendung. Tapi baru saja tubuhnya melambung ke udara, kaki kirinya sudah dipegang Jin Kui-sin, lalu dibetotnya turun ke bawah. Tong Po-gou memiliki tenaga alam yang luar biasa, begitu kakinya dibetot Jin Kui-sin, bukannya dia terbetot jatuh, malahan menggunakan kesempatan itu dia menjejakkan kakinya dan tubuhnya melambung naik semakin ke atas. Liu Cong-seng yang menyaksikan kejadian ini ikut menerjang ke depan dan mencengkeram kaki kanan manusia raksasa itu, kedua orang itu serentak menarik kaki Tong Po-gou ke bawah. Tapi tenaga yang dimiliki orang itu memang mengerikan, bukan saja kedua orang itu gagal menariknya, malah sekarang mereka berdua yang ikut terbetot ke atas. Rumah makan Sam-hap-lau hanya terdiri dua tingkat, setelah lantai keduanya runtuh, maka mereka pun bisa langsung menerobos naik ke atas. Untuk beradu kekuatan dengan kedua orang itu, Tong Po-gou langsung mengeluarkan segenap kekuatan yang dimilikinya, tak heran tubuhnya langsung menjebol atap rumah yang miring sebelum akhirnya meluncur jatuh ke bawah. Dia seolah sudah lupa apa tujuannya melompat ke udara tadi. Dengan gemas Thio Than menghentakkan kakinya seraya mendengus dingin, dia tahu kini tiba gilirannya untuk menghadang jalan pergi Ngo-sengcu. Kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya segera ditumpuk menjadi satu, membentuk sebatang tiang mangkuk yang lebih mirip sebuah toya besar, dengan senjata itu dia sapu pinggang Ngo-sengcu.

Begitu Ngo-sengcu melakukan perubahan gerakan, dengan cepat Thio Than mengimbangi perubahan itu dengan melakukan perubahan juga. Ke arah mana Ngo-sengcu bergerak, mangkuknya bergeser ke arah yang sama untuk menghalangi jalan perginya. Begitu konsentrasi menyerang bagian atas lawannya dengan senjata mangkuk, pertahanan bagian perutnya menjadi terbuka, gara-gara itu nyaris ia kena dicengkeram cakar maut Gan Hok-hoat. Oleh karena Gan Hok-hoat sudah merangsek mendekat, Thio Than tak sempat lagi menghalangi Ngo-sengcu, kelima puluh enam buah mangkuk kosongnya segera dibagi dua, dengan membentuk dua buah ruyung mangkuk dia membendung datangnya ancaman lawan. Dalam pada itu Ngo-sengcu sudah tiba di depan Un Ji. Semenjak tadi Un Ji memang sedang menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan, dia sudah menunggu lama sekali. Dengan satu lompatan ia menghadang ke depan, kuda-kudanya direndahkan, goloknya diayun ke muka seraya menghardik nyaring, "Jangan pergi, lihat serangan nonamu. Mendadak sesosok bayangan langsing menyelinap di hadapannya, dengan satu gerakan cepat Cu Siau-yau melepaskan sebuah pukulan ke depan kemudian dengan gerakan mencekal, membetot, menyentil, ia hendak merampas golok yang berada di tangan Un Ji. Tak terlukiskan rasa mendongkol Un Ji menghadapi ancaman itu. Berhasil dengan serangannya, sambil tertawa dingin Cu Siau-yau segera melompat mundur lagi ke belakang. Terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, satu serangan kilat langsung ditujukan ke tenggorokan Cu Siau-yau. Sementara Cu Siau-yau masih tertegun, Un Ji sudah berganti jurus, kali ini dia membabat pergelangan tangan lawan. "Lihat serangan balasanku," seru Cu Siau-yau sambil tertawa, dia lepas golok lawan sambil melepaskan satu pukulan ke arah pinggang Un Ji. Lekas Un Ji melompat mundur, tubuhnya ringan bagai bulu angsa yang terhembus angin, kemudian sambil memutar goloknya membentuk beberapa lingkaran bunga golok, bentaknya, "Kawanan tikus, berani membokong nonamu? Ayo, maju kalau berani Diam-diam Cu Siau-yau merasa amat kagum dengan kehebatan ilmu golok gadis itu, pikirnya, "Sebetulnya kungfu yang dimiliki bocah ini biasa saja, tapi ilmu goloknya memang lincah dan ganas, jika dia mau berlatih lebih tekun, ilmu goloknya memang tak boleh dipandang enteng. Ilmu meringankan tubuh yang ia gunakan tadi mirip dengan ilmu gerakan tubuh Sun-si-jian-li (dalam sekejap seribu li) dari perguruan Siau-han-san-pay, tak heran dia berhasil merebut kembali goloknya yang berhasil kurampas, bahkan nyaris aku kena dihajar Un Ji merasa sangat kehilangan muka karena goloknya berhasil direbut lawan, masih untung dengan mengandalkan gerakan tubuhnya ia berhasil merampas kembali senjatanya, walau begitu, rasa jengkelnya membuat ia hanya berpikir untuk menghadapi Cu Siau-yau, akibatnya dia lupa kalau tujuan sebenarnya adalah menghadang jalan pergi Ngo-sengcu.

Dayang pedang bunga bwe, bunga seruni dan bambu serentak menggetarkan pedangnya menusuk tubuh Ngo-sengcu. Serangan pedang ini terdiri dari sembilan gerakan, bila seluruh serangan bersatu-padu, maka akan terbentuk sebuah barisan pedang yang luar biasa kuatnya, jangan kan mereka yang berkungfu sedang, jagoan yang memiliki ilmu silat jauh di atas ketiga orang itupun jangan harap bisa menjebol barisan itu secara mudah. Sayang, saat ini mereka kekurangan satu orang, si pedang bunga anggrek keburu tewas lebih dulu. Dengan satu sapuan tangan, ketiga orang dayang itu lang¬sung terpental ke belakang hingga nyaris jatuh terkapar. Berhasil memukul mundur ketiga orang dayang itu, Ngo-sengcu langsung menerjang ke depan Lui Tun, sebenarnya dia ingin mencengkeram gadis itu dengan satu sambaran kilat. Tapi Lui Tun berdiri tenang. Ketenangannya nampak begitu indah, nampak begitu lincah, nampak begitu mantap. Sekalipun musuh tangguh sudah berada di depan mata, namun ia sama sekali tidak nampak gugup, malah dengan sepasang matanya yang sayu dia menatap wajah Ngo-sengcu tanpa berkedip. Untuk sesaat Ngo-sengcu tertegun. Biarpun dia adalah manusia buas berhati bengis, untuk sesaat ia tak berani bertindak secara gegabah. "Maaf!" kata Ngo-sengcu sambil menjura, pukulannya segera diubah menjadi totokan, ia berniat menotok jalan darah Lui Tun. Tapi baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba dari belakang tubuhnya terdengar seorang berseru, "Hati-hati, mulai sekarang kau hanya bisa mundur dan kembali ke posisimu semula." Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, dia pun menyaksikan datangnya cahaya pedang, mendengar datangnya desingan angin pedang, merasakan datangnya hawa pedang. Si penyerang telah melancarkan serangannya dengan cahaya pedang, angin pedang dan hawa pedang. Tekanan dahsyat yang timbul dari serangan itu membuat dia mundur ke belakang. Bagaimanapun dia berusaha menangkis, menghindar, berkelit, balas menyerang, semuanya tak berguna. Bila dia ingin menyelamatkan jiwanya, maka hanya ada satu jalan yang tersedia, yaitu mundur! Baru selesai perkataan itu diucapkan, ia sudah mundur kembali ke posisi semula ... tiba di samping Kwan Jit. Kini ia baru bisa menghembuskan napas lega, berbareng dia pun dapat melihat si penyerang, ternyata orang itu tak lain adalah Ong Siau-sik.

Ong Siau-sik yang selalu cengengesan, acuh tak acuh dan seenaknya sendiri. Sekarang dia baru percaya seratus persen, seandainya Ong Siau-sik berniat membunuhnya, hal ini bukan pekerjaan yang terlampau sulit baginya. Jika Ong Siau-sik ditambah golok kerinduannya, maka untuk membunuhnya dia tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang dia merasakan di sampingnya masih ada seorang lagi, dia adalah Lak-sengcu, Laksengcu yang sekarang sama sekali telah berganti rupa. Dia nyaris tak mengenali dirinya lagi, sebab pakaian yang dikenakan Lak-sengcu menjadi compang-camping tak keruan, tak beda jauh dengan pakaian yang dikenakan seorang pengemis. Mungkin satu-satunya perbedaan hanyalah pakaian yang dikenakan Lak-sengcu meski sudah compang-camping, namun tidak dekil apalagi bau. Sesungguhnya Lak-sengcu sudah mulai turun tangan melancarkan serangan ketika pekikan nyaring bergema tadi. Dengan satu gerakan kilat dia menerjang ke hadapan Pek Jau-hui, kemudian secara beruntun melancarkan enam sodokan jari. Enam desingan angin tajam bagai hawa pedang yang menyayat langsung menyergap ke tubuh Pek Jau-hui. Oleh karena selisih jarak mereka berdua sangat dekat, serangan jari itu terasa begitu tajam dan dahsyat. Menghadapi datangnya serangan itu Pek Jau-hui segera tertawa. Ia mencabut keluar tangan kirinya dari balik pakaian, menekuk jarinya dan kemudian mulai melancarkan serangan balasan. Begitu jarinya disentil ke depan, tiga getaran segera bergema di angkasa, tatkala getaran pertama baru bergema, Lak-sengcu sudah melepaskan serangannya hingga jurus keenam. Hanya sampai di situ serangan yang bisa dilancarkan Lak-sengcu, ia sama sekali tak punya kesempatan untuk melancarkan serangannya yang ketujuh, karena dia memang sudah tak mampu menyerang lagi. Begitu Pek Jau-hui mulai melancarkan sentilan jarinya, desingan angin tajam segera menderu di empat penjuru, dalam keadaan begini Lak-sengcu hanya bisa berkelit. Dia hanya bisa menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menghindar. Pek Jau-hui melancarkan serangkaian serangan secara bertubi-tubi, bukan hanya ibu jarinya yang menyerang, jari kelingkingnya pun ikut melepaskan serangan maut, Lak-sengcu bukan saja tak sanggup membendung datangnya ancaman, sebaliknya makin mundur dia bergeser semakin jauh, yang bisa dia rasakan hanya desingan angin serangan lawan makin lama semakin gencar dan tajam. Tak lama kemudian seluruh pakaian yang dikenakan Lak-sengcu sudah hancur berlubang hingga compang-camping tak keruan, mengenaskan sekali tampangnya. Sambil mundur terus ke belakang, Lak-sengcu berusaha berkelit kian kemari, dia gunakan bangku besi yang diduduki Kwan Jit sebagai perisai. Pek Jau-hui segera mengerti apa yang diinginkan orang itu.

Tampaknya Lak-sengcu sedang memohon bantuan Kwan Jit. Entah memang disengaja atau tidak, tiba-tiba salah satu serangan yang dilancarkan Pek Jau-hui menghajar tubuh Kwan Jit. Jit-sengcu dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng ini masih duduk dengan wajah kebingungan, ketika serangan itu menyambar ke tubuhnya, dia melakukan gerakan seolah sedang mengangkat cawan arak yang disodorkan ke depan mulut, gerakan itu dilakukan sangat lamban dan sederhana, tidak cepat tidak lambat, pada hakikatnya merupakan satu gerakan yang amat biasa. Tapi Pek Jau-hui segera merasakan tenaga serangannya seakan tenggelam di tengah samudra luas, bukan saja tenaganya sama sekali tak menunjukkan reaksi, malah secara tiba-tiba hilang lenyap. Menghadapi kenyataan ini Pek Jau-hui amat terperanjat, lekas dia menarik kembali jarinya dan tidak melakukan pengejaran lebih jauh. Paras muka Kwan Jit masih tetap kosong macam orang kebingungan, pandangan matanya tetap kosong. Dia hanya mengawasi wajah Lui Tun. Setiap kali memandang gadis itu, sekilas cahaya kelembutan segera menghiasi wajahnya. Walaupun ia telah berhasil memunahkan tenaga serangan yang dilancarkan Pek Jau-hui, namun ia sendiri seakan tidak menyadari akan hal itu. Dalam pada itu semua pertarungan yang berlangsung kini sudah berhenti. Lak-sengcu yang berhasil lolos dari maut dalam keadaan mengenaskan hanya bisa berdiri dengan napas terengah-engah, serunya pada Pek Jau-hui dengan marah, "Ilmu ... ilmu jari apa yang kau gunakan? "Ilmu jari pengejut dewa," Pek Jau-hui menerangkan sambil bersiap menghadapi Kwan Jit, "dari tiga jari menyentil langit yang ada dalam ilmu jari pengejut dewa, aku hanya menggunakan jari kelingking, ilmu jari yang paling lemah kekuatannya." "Apa hubunganmu dengan Lui Kian dari Kanglam Bi-lek-tong?" bentak Lak-sengcu. "Kau belum berhak untuk tahu." "Boleh aku menanyakan satu hal kepadamu?" mendadak seseorang berkata. Suara itu sangat lembut, amat halus bahkan sangat kekanak-kanakan, pertanyaan pun diajukan dengan sopan, penuh tata-krama, hanya sayang mengambang seakan sama sekali tak punya rasa percaya diri. Ternyata pertanyaan itu diajukan oleh Kwan Jit. Beberapa saat Pek Jau-hui tertegun, tapi segera sahutnya, "Katakan saja!" Ong Siau-sik ikut mendekat, berdiri di samping Pek Jau-hui sambil berkata pula, "Tanyakan saja." "Nona Lui adalah istriku, mengapa kalian harus menceraikan kami?" tanya Kwan Jit. Seorang pemimpin tertinggi dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng ternyata mengajukan pertanyaan

konyol semacam ini, untuk sesaat Pek Jau-hui malah dibuat tertegun hingga tak tahu bagaimana harus menjawab. "Karena nona Lui tidak setuju," lekas Ong Siau-sik menjawab. "Jadi nona Lui tidak setuju?" sambil berkata Kwan Jit mengalihkan sorot matanya ke wajah Lui Tun. "Ya, aku tidak setuju," jawab Lui Tun dari kejauhan. "Kenapa?" "Tahukah kau, bila ingin mengetahui jawabannya, kau bisa merasa amat sedih?" ejek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Aku tidak peduli, aku ingin mengetahui jawabannya." "Baiklah baru saja ia hendak mengucapkan beberapa patah kata yang bisa menimbulkan kesedihan orang itu, mendadak Ong Siau-sik sudah menukas. "Karena nona Lui sudah bertunangan." "Siapa yang menyuruh nona Lui bertunangan?" "Lui-congtongcu!" sahut Thio Than cepat. "Lui-congtongcu?" tanya Kwan Jit bingung. "Dia adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun!" bisik Lak-sengcu yang berada di sisinya. Kwan Jit seperti sedang memikirkan sesuatu dengan seksama, lama kemudian baru bertanya lagi, "Nona Lui sudah bertunangan dengan siapa?" Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak menjawab, mereka tak ingin sembarangan menjawab karena gerak-gerik orang ini sangat aneh. Tong Po-gou tak ingin keduluan Thio Than, lekas dia ber¬teriak, "Dengan So Bong-seng!" "So ... Bong ... Seng Kwan Jit merasa seakan pernah mendengar nama itu, ia merasa sangat mengenal nama ini hanya untuk sesaat tak teringat siapakah dia. Dengan suara lirih Ngo-sengcu segera menjelaskan, "Dia adalah Locu dari Kim-hong-si-yu-lau, So Bong-seng." "Ooh, rupanya dia," seru Kwan Jit, kemudian sambil menggeleng ke arah Lui Tun, lalu katanya lagi, "Nona Lui, kau tak usah sedih, sekalipun sudah bertunangan, aku tak akan menyalahkan dirimu. Kemudian dengan nada santai katanya lebih jauh, "Akan kusuruh Lui Sun berubah pikiran, akan kuperintahkan So Bong-seng untuk membatalkan pertunangannya, bukankah semuanya jadi beres?" Begitu ucapan itu diutarakan, semua orang sama-sama merasa terkesiap.

"Kemarilah kau," kembali Kwan Jit menggapai ke arah Lui Tun, "sekarang aku akan mengajakmu pergi, mengajak kau pulang ke rumah." Berubah hebat paras muka Pek Jau-hui, wajahnya berubah pucat pasi. Dia semakin gusar, wajahnya berubah makin pucat, sama seperti orang yang kelewat banyak minum arak, wajahnya akan semakin memucat. Makin banyak manusia yang dibunuh, paras mukanya juga makin pucat. Kulit tubuhnya yang putih meninggalkan kesan bersih, anggun dan menyolok, sangat berbeda dengan putihnya Kwan Jit. Putihnya Kwan Jit meninggalkan kesan tidak sehat, seakan sudah kehilangan kehidupan, seakan kekurangan darah. Tapi ada pula kesamaannya. Putihnya kedua orang itu mendatangkan perasaan hawa membunuh yang menggidikkan hati. Paras muka Pek Jau-hui makin lama berubah semakin putih, jarinya ikut memutih, membuat otot hijau pada punggung tangannya kelihatan semakin menyolok, membuat jarinya kelihatan lebih panjang. "Hanya dua macam orang yang sanggup mengucapkan perkataan semacam itu," kata Pek Jau-hui kemudian, "orang sinting atau idiot!" "Kau mengatakan aku sinting?" tiba-tiba Kwan Jit menjerit, ditatapnya wajah Pek Jau-hui dengan sorot mata setajam sembilu. Pek Jau-hui balas menatap sorot matanya, mendadak satu perasaan aneh timbul dalam hatinya. Mati! ooOOoo 40 . Keng-tit Mati, bagi manusia macam Pek Jau-hui boleh dibilang merupakan satu kejadian yang mustahil. Manusia semacam ini biasanya akan semakin kuat bila bertemu yang kuat, bertambah garang bila bertemu yang dahsyat, kebandelan nyawanya nyaris sanggup menampik datangnya kematian. Tapi sekarang ia dapat merasakan datangnya kematian itu. Ini disebabkan dia telah menengok sekejap ke arah Kwan Jit. Suatu perasaan kosong yang begitu kuat membuat dia terbayang akan kematian. Tiba-tiba ia melancarkan serangan, jarinya diayunkan ke depan. Kali ini dia menyerang dengan menggunakan jari tengah, desingan angin tajam serasa menyayat kulit, kali ini dia harus membunuh musuhnya. Dengan kematian orang lain untuk mencegah keinginan mati yang muncul dalam hatinya. Angin jarinya menyambar lebih cepat dari desiran angin topan, lebih tajam dari mata golok, lebih berbahaya dari senjata rahasia.

Bahkan lebih menakutkan daripada yang menakutkan. Keng-sin-ci, ilmu jari pengejut dewa membawa sedikit tenaga jari, tapi cukup dengan setitik desingan angin jari sudah lebih dari cukup untuk menembus batu karang. Desingan angin jari itu langsung mengancam kening Kwan Jit. Waktu itu Kwan Jit masih menggigit bibir sambil bergumam, seakan tidak melihat datangnya serangan ilmu jari pe-ngejut dewa itu. Tiba-tiba desingan angin serangan itu berbelok arah, angin yang sangat tajam itu berbalik menyerang tubuh Lak-sengcu. Mimpi pun Lak-sengcu tidak menduga, sambil menjerit keras ia berusaha berkelit, tapi terlambat, mau menghindar tapi tak sempat, mau menangkis tak mampu .... Di saat yang amat kritis itulah tiba-tiba Kwan Jit merentangkan sepasang tangannya, "Blaaaam!", dua lembar lempengan besi yang berada di sisi tempat duduknya itu tahu-tahu mencelat keluar menghantam tubuh Lak-sengcu di sebelah kiri dan Ngo-sengcu di sebelah kanan. Tubuh kedua orang itu segera mencelat hingga terlempar beberapa kaki dari posisi semula. "Sreeet!", serangan jari yang dilancarkan Pek Jau-hui ke tubuh Lak-sengcu hanya menyerempet lewat di sisi lengan kanannya, serangan itu tidak sampai merenggut nyawanya. Sebaliknya Ngo-sengcu baru merasakan telinganya amat sakit setelah tubuhnya terlempar sejauh beberapa langkah. Ternyata pada saat Pek Jau-hui melancarkan serangan ke arah Lak-sengcu tadi, secara diam-diam dia melancarkan juga sebuah serangan ke tubuh Ngo-sengcu, serangan itu dilancarkan secara diam-diam dan sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Serangan jari yang tidak dibarengi dengan peringatan itu boleh dibilang jauh lebih menakutkan daripada serangan jari macam apa pun. Andaikata Kwan Jit tidak melempar tubuh mereka tepat pada saatnya, mungkin di atas wajah Ngosengcu sudah bertambah dengan sebuah lubang besar. Saat ini Ngo-sengcu benar-benar ketakutan setengah mati, rasa kaget bercampur seram membuat ia sedikit gemetar. Sebaliknya Lak-sengcu mengaduh keras, sambil memegangi lengannya yang terluka, ia mundur lagi dengan langkah terhuyung. Pek Jau-hui sendiri pun tak kurang rasa terkejutnya, dia tak menyangka Kwan Jit yang kelihatan macam orang idiot ternyata sanggup memunahkan tenaga serangannya dengan cara yang begitu sederhana. Gagal membinasakan Ngo-sengcu dan Lak-sengcu membuat pemuda ini uring-uringan, dia merasa dadanya menjadi sesak dan sangat tidak leluasa. Terdengar Kwan Jit menegur, "Kau berani mengatakan aku orang sinting?"

"Aku tidak berani," sahut Pek Jau-hui santai, dia memang sengaja hendak membuat marah orang ini, agar dia melancarkan serangan balasan, "Kau bukan hanya sinting, bahkan lebih idiot dari orang goblok, lebih sinting daripada orang gila!" Benar saja, ucapan itu kontan membuat Kwan Jit marah besar. Tiba-tiba dia menjerit, jeritannya begitu tinggi melengking seperti jeritan seorang wanita yang mendadak menyaksikan suatu kejadian horor. Begitu dia menjerit, gendang telinga semua orang serasa ditusuk pisau tajam, lekas semua jago menutup telinga sendiri dengan tangan. Sambil mencak-mencak gusar, Kwan Jit berteriak, "Apa kau bilang? Kubunuh kau, kubunuh kau!" Melihat ia menuding dengan jarinya, Pek Jau-hui mengira orang itu akan melancarkan serangan, lekas dia mengegos ke samping, setelah itu baru diketahui ternyata tudingan itu tidak membawa hawa serangan. Untuk sesaat pemuda ini jadi tersipu-sipu malu, tapi kemudian serunya sambil tertawa dingin, "Kalau memang dianggap mampu membunuh, ayo, bunuhlah, hmmm, justru aku kuatir kau tidak mampu, pada akhirnya malah mampus di tanganku!" Siapa tahu begitu mendengar perkataan itu, wajah Kwan Jit kembali nampak seperti orang linglung, gumamnya sendirian, "Aku bisa membunuh, orang pun terbunuh di tanganku, aku tak mampu membunuh, oranglah yang membunuh aku ...?' Ia mendongakkan kepala memandang langit, setelah tertawa pedih, katanya lagi, "Aku dapat mengendalikan orang, orang pun berada dalam kendaliku, aku tak dapat mengendalikan orang, akulah yang dikendalikan orang ..." Sambil bergumam, berulang kali tangan dan kakinya menggeliat sehingga terdengar suara benturan besi yang nyaring. Pek Jau-hui tidak bicara lagi, dia memang berniat mencoba kekuatan yang dimiliki Kwan Jit, keempat jarinya segera ditekuk membiarkan jari tengahnya tetap menegang, "Sreeet!", segulung desingan angin tajam langsung melesat keluar mengancam alis mata Kwan Jit. Waktu itu Kwan Jit masih bergumam sendiri, ia sama sekali tak ambil peduli atas datangnya ancaman itu. "Aku bisa mengungguli orang, orang pun kalah di tanganku, bila aku tak bisa mengungguli orang, akulah yang dikalahkan orang." Sembari berkata, dengan santainya dia mengangkat kedua belah tangannya satu ke depan yang lain ke belakang, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dia melakukan gerakan menggunting ke depan wajah lalu belakang kepalanya. Tahu-tahu desingan angin jari yang dilancarkan Pek Jau-hui seakan bertemu dengan penjepit yang terbuat dari bong¬kahan es, tahu-tahu hancur dan lenyap tak berwujud. Ternyata dalam serangannya tadi meski sepintas seakan mengancam bagian depan musuh, padahal secara diam-diam angin serangan membelah jadi dua, yang satu secara diam-diam menyergap belakang kepala lawan, serangan ini disebut Toa-han (nama musim, bulan satu tanggal

20 - 21), sedangkan serangan yang mengarah depan terbagi pula jadi dua, sebelah kiri me¬nyerang Lak-sengcu, sebelah kanan menyergap Ngo-sengcu, serangan ini disebut Siau-han (nama musim, bulan satu tanggal 5 - 7). Semuanya merupakan jurus serangan dari dua puluh empat jurus Keng-sin-ci. Jangan dilihat Kwan Jit nampaknya bebal dan bloon, ternyata semua serangan berhasil dia patahkan secara mudah. Terdengar orang itu masih saja bergumam sendirian, "Aku bisa menganiaya orang, orang pun teraniaya, aku tak mampu menganiaya orang, akulah yang teraniaya Pek Jau-hui sama sekali tidak memberi peluang pada musuh untuk melancarkan serangan balasan, dia merangsek maju, begitu tiba di hadapannya, sebuah serangan maut kembali dilancarkan. Sekarang Ong Siau-sik baru sadar, ternyata dia telah salah menilai kemampuan Pek Jau-hui. Selama ini dia selalu beranggapan ilmu jari yang dimiliki Pek Jau-hui sangat lihai, ilmu meringankan tubuhnya juga nomor wahid, tapi sama sekali tak tahu kalau kungfunya begitu luas, begitu aneh dan sudah mencapai tingkat kesempurnaan yang tak terlukiskan. Ilmu silatnya bukan hanya beragam dan gesit, karena kalau hanya itu, Thio Than pun bisa melakukannya, tapi dalam setiap jurus yang digunakan Pek Jau-hui terselip juga gerakan ciptaannya sendiri, setiap jurus setiap gerakan yang digunakan olehnya menghasilkan daya kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Ketika Pek Jau-hui tiba di hadapan Kwan Jit, tubuhnya seolah telah berubah menjadi empat orang Pek Jau-hui. Keempat orang Pek Jau-hui itu segera memencar ke depan, belakang, samping kiri dan kanan Kwan Jit, lalu melancarkan serangan secara bersamaan, terkadang serangan muncul dari depan, lalu dari belakang, sebentar pindah ke timur lalu ke barat, hampir setiap jurus yang digunakan merupakan jurus serangan dari berbagai perguruan yang berbeda, biarpun ia sudah menyerang sebanyak tiga puluh tujuh jurus, namun belum ada satu jurus serangan pun yang diulang. Kwan Jit masih saja mengoceh tiada hentinya, "Aku bisa membohongi orang, orang pun aku bohongi, aku tak bisa membohongi orang Mendadak ia berhenti mengomel dan membungkam. Rupanya saat itu dia harus mematahkan sambil mengunci datangnya serangan yang dilancarkan Pek Jau-hui. Ketika menangkis hingga jurus kedelapan belas, Kwan Jit secara tiba-tiba melakukan satu tindakan yang sangat mengejutkan semua orang. Mendadak dia berjumpalitan dan membalikkan tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Tubuhnya masih tetap berada di dalam peti besi itu, tapi kini kepalanya berada di bawah sementara kakinya berada di atas, sepasang tangannya masih tetap dirantai, sepasang kaki pun masih mengenakan borgol, yang lebih mengejutkan lagi adalah dia berdiri dengan tangan, menangkis datangnya serangan dengan kaki. Atau dengan perkataan lain, dia menggunakan kaki menggantikan tangan, menggunakan tangan menggantikan kaki. Ia menangkis setiap serangan yang datang dengan menggunakan kakinya, sementara melepaskan serangkaian tendangan dengan tangan, beberapa gebrak kemudian Pek Jau-hui mulai merasa kepayahan.

Tiga puluh tujuh gebrakan kemudian, paras muka Pek Jau-hui sudah berubah memucat, tapi ia masih bertarung terus dengan sepenuh tenaga. Pada saat inilah secara tiba-tiba Ong Siau-sik menemukan satu hal. Bukan Pek Jau-hui ingin bertarung lebih jauh! Yang benar Pek Jau-hui sudah tak mampu mundur dari situ! Sejak Kwan Jit memutar balikkan keadaan yang normal menjadi tak normal, sejak ia menggantikan peranan tangan dengan kaki, menggantikan peranan kaki dengan tangan, semua jurus serangan yang ia gunakan pun sangat bertentangan de¬ngan gerakan normal, akibatnya terciptalah serangkaian jurus serangan yang sangat menakutkan. Sekalipun tindakannya sangat menurunkan martabat serta posisinya sebagai seorang ketua perguruan besar, akan tetapi jurus serangan yang dia gunakan justru jauh lebih menakutkan, jauh lebih mengena, dan jauh lebih dahsyat. Sedemikian dahsyatnya serangan itu membuat Pek Jau-hui mulai tercecar hebat dan tak mampu menghadapinya lagi. Paras mukanya makin lama semakin memucat, jauh lebih putih dari kertas, jauh lebih putih dari sarju, bahkan jauh lebih putih daripada warna putih itu sendiri. Baru saja Ong Siau-sik bersiap maju membantu, tiba-tiba terdengar Pek Jau-hui memekik nyaring, sekali lagi dia menyerang dengan menggunakan ilmu jari Keng-sin-cinya. Guntur dan halilintar segera menggelegar di angkasa. Langit dan bumi mulai terasa gelap seakan diliputi awan tebal berwarna gelap. Guntur menggelegar, kilat menyambar, sekilas cahaya kuat seakan memancar keluar dari balik angkasa, menyambar dan membakar seluruh jagad. Angin topan menderu-deRu menyapu semua benda yang dijumpai, seakan naga yang sudah lama mendekam di tanah tiba-tiba menjebol bumi dan terbang kembali ke angkasa. Inilah jurus serangan paling dahsyat dari ilmu jari Keng-sin-ci. Keng-tit! Keng-tit merupakan nama musim, biasanya pada bulan 3 tanggal 5-7, berarti juga hewan yang selesai tidur panjang di musim salju dan mulai muncul ke bumi untuk mencari makan. Begitu jurus Keng-tit dikeluarkan, Kwan Jit pun ikut mengalami perubahan. Dia berubah menjadi manusia yang begitu membara, begitu gembira, begitu kalap.... Pada hakikatnya dia seakan berubah menjadi manusia yang sedang ferbakar, dibakar oleh sejenis api salju yang teramat dingin. Saat itu dia masih berada dalam posisi terbalik, kepala masih di bawah, kaki tetap di atas, dengan cara seperti inilah dia menyambut datangnya serangan jurus Keng-tit dari ilmu jari Keng-sin-ci. "Jit-sengcu!" hampir pada saat bersamaan Toa-sengcu, Ji-sengcu, Sam-sengcu, Si-sengcu, Ngosengcu dan Lak-sengcu menjerit bersama. Kwan Jit sudah mencelat keluar dari kotak besinya!

Pek Jau-hui melambung juga ke tengah udara mengejar ketat di belakangnya, baju sutera yang dia kenakan terlihat berkibar di tengah gulungan awan gelap, sehingga meninggalkan pemandangan yang indah. Jarinya dengan jurus Keng-tit masih mengejar terus di belakang tubuh Kwan Jit. Pada saat itulah tubuh Kwan Jit kentoali memental balik bagaikan sebuah peluru meriam, kali ini dia menyongsong datangnya ancaman maut itu. Paras muka Kwan Jit yang pucat, pakaian hitam yang dikenakan tiba-tiba berubah bercahaya. Dari balik tubuhnya seolah memancar keluar semacam kekuatan yang sangat aneh. Kekuatan itu bukan hawa keangkeran, keangkeran tak akan memiliki tenaga penghancur. Bukan hawa sejati, hawa sejati tak akan selincah itu. Juga bukan hawa murni, hawa murni tidak seganas itu. Bukan juga hawa sesat, hawa sesat tak akan memiliki kelurusan. Bukan hawa membunuh, hawa membunuh tak akan sesegar itu. Hawa itu seperti hawa pedang, seperti juga hawa sejati yang muncul dari tubuh Kwan Jit, yang memancar dari tangan Kwan Jit, langsung menyerang tubuh Pek Jau-hui. Begitu serangan itu dilancarkan, semangat serta penampilan Kwan Jit pun kembali mengalami perubahan. Kalau tadinya dia seperti orang idiot yang berpandangan kosong, maka sekarang seperti dewa yang berdiri di atas awan. Dia seolah sudah pulih kembali jadi manusia normal, berdiri di atas kaki, berjaga dengan tangan, begitu tenaga dahsyat Itu muncul, paras muka Pek Jau-hui berubah semakin memucat, sepasang tangannya dengan jari kelingking, jari tengah dan ibu jari melancarkan serangkaian serangan secara beruntun, desingan angin tajam segera menyambar ke empat penjuru, berusaha menjebol pertahanan tubuh Kwan Jit. Ong Siau-sik berseru tertahan, tapi ia masih belum bertindak. Tong Po-gou juga melihat kalau gelagat tidak menguntungkan, lekas dia bertanya, "Ilmu jari apaan itu?" "Sebagus apa pun ilmu jari yang digunakan, rasanya percuma saja," sahut Ong Siau-sik sedih, "sebab Kwan Jit... ternyata dia ... ternyata dia memiliki Untuk sesaat dia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Berputar sepasang biji mata Thio Than, selanya, "Jangan-jangan ilmu itu adalah ... Po-ti-bu-hengkiam (pedang tak berwujud penjebol tubuh)?" Sejak menyaksikan Pek Jau-hui melancarkan serangan dengan menggunakan jurus berbagai aliran tadi, ia sudah dibuat terkagum-kagum, apalagi setelah menyaksikan pemuda itu berhasil menyusupkan jurus ciptaan sendiri yang dikombinasikan dengan jurus serangan yang ada, dia sudah dibuat menghela napas panjang, tapi kini dia benar-benar dibuat terbelalak lebar hingga mulutnya melongo.

Tampak Ong Siau-sik menghembuskan napas panjang, sahutnya, "Kelihatannya dia memang memiliki ilmu Po-ti-bu-heng-kiam." "Berarti ilmu itu benar-benar adalah Po-ti-bu-heng-kiam?" "Dia bahkan sudah amat menguasai ilmu itu!" "Apa? Ilmu pedang tanpa wujud penjebol tubuh?" jerit Tong Po-gou pula, baru saja dia akan bertanya lebih jauh, mendadak terdengar suara dentingan nyaring bergema di udara, suara pedang yang diloloskan dari sarungnya. Tapi dia tidak mencabut pedang, Thio Than pun tidak. Ong Siau-sik juga sekali tidak mencabut pedangnya, tapi suara pedang yang dilolos dari sarung justru bergema dari tubuhnya, persis di saat tangan kirinya dikeluarkan dari balik baju. Pada saat itulah terlihat tiga jari kiri Pek Jau-hui sedang menyerang dengan jurus Siau-soat, sementara tiga jari kanannya sedang menyerang dengan jurus Che-kin. Siau-soat maupun Che-kin merupakan dua jurus mematikan dari ilmu jari Keng-sin-ci. Semenjak terjun ke dunia persilatan, belum pernah Pek Jau-hui menggunakan kedua jurus pembunuh itu untuk menghadapi musuh, kali ini baru untuk pertama kalinya. Ketika ilmu Po-ti-bu-heng-kiam milik Kwan Jit bertemu dengan angin serangan dari Siau-soat serta Che-kin, tiada suara apa pun yang terdengar, kedua orang itu secara tiba-tiba menghentikan serangannya, Kwan Jit balik kembali ke dalam kotak besi dan tiba-tiba menghantam ubun-ubun sendiri, sementara Pek Jau-hui mundur tujuh-delapan belas langkah dari posisinya semula dan dengan cepat menotok beberapa buah jalan darah di tubuh sendiri. Menyusul kemudian tampak lelehan darah segar menyembur keluar dari kedua lubang telinga Kwan Jit. Darah berwarna merah, kulit berwarna putih, maka terlihat sangat kentara perbedaannya. Dengan girang Un Ji segera bersorak sorai, serunya, "He, sayur putih besar, kau sudah menang!" Entah sejak kapan ternyata dia telah menciptakan julukan itu untuk Pek Jau-hui. Tapi belum selesai ia berkata, ucapan itu telah berubah menjadi sebuah jeritan kaget. Ternyata darah segar meleleh keluar juga dari lubang hidung anak muda itu. Bukan cuma lubang hidung, bahkan paling tidak dari tujuh tempat lainnya terlihat darah meleleh keluar membasahi seluruh tubuhnya. Lekas Ong Siau-sik maju selangkah seraya berbisik, "Jiko Kejumawaan Pek Jau-hui tampak semakin kentara, setelah mendengus dingin tiba-tiba badannya melambung ke tengah udara. Gerakan tubuhnya masih tetap kekar, lincah dan kosen, seakan belum pernah menderita sedikitpun luka. Sepasang tangannya disentilkan berulang kali, dimulai dengan jurus Lik-cun, secara beruntun dia melancarkan serangkaian serangan dengan jurus Hi-sui, Cun-hun, Ceng-beng, Kok-hi, Lip-he, Siau-

boan, Bong-ciong, He-ci ... dimana tubuhnya menyambar, jerit kesakitan segera bergema memecah keheningan. Dari atas wuwungan rumah, pagar dinding, rumah ilalang, halaman, depan rumah, balik atap, gudang, pintu utara, ber¬jatuhan beberapa sosok tubuh manusia, hampir semuanya terkena sodokan di atas keningnya, jelas orang-orang itu tak satu pun masih dalam keadaan hidup Ternyata anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng telah mengepung sekeliling tempat itu, entah berapa banyak jagoan yang telah dipersiapkan di sekitar situ. Dalam waktu singkat Pek Jau-hui telah menghabisi nyawa tiga belas orang, hawa membunuh makin lama semakin berkobar, setelah menghimpun hawa murninya, kali ini dia menyerang Kwan Jit lagi dengan menggunakan jurus Tang-ci. Begitu jurus Tang-ci digunakan, semua orang yang hadir di arena pertarungan merasakan hembusan angin dingin yang merasuk tulang, seakan sebuah badai salju sedang melanda tempat itu. Kwan Jit segera mementang matanya lebar-lebar. Begitu Kwan Jit membuka matanya mengawasi wajah IVk Jau-hui, anak muda itu segera merasa seakan disambit senjatii rahasia, tubuhnya seketika berjumpalitan ke belakang. Kembali Kwan Jit merangkap sepasang tangannya, kali ini hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam yang digunakan jauh lebih dahsyat ketimbang tadi, sekali hentakan bukan saja ia berhasil mematahkan serangan Tang-ci yang meluncur tiba, bahkan meneruskan serangan baliknya mengancam batok kepala pemuda itu. Pek Jau-hui tahu keselamatan jiwanya terancam, terpaksa dengan mengerahkan segenap tenaganya dia mengeluarkan jurus Sam-ci-tan-thian, tiga jari menyentil langit. Tampaknya ilmu Sam-ci-tan-thian merupakan jurus paling ampuh di antara jurus ampuh lainnya yang dimiliki Pek Jau-hui. Ketiga jurus ampuh itu mempunyai tiga nama yang ber¬beda, masing masing adalah Po-sat (menjebol keangkeran), Keng-bong (Impian mengejutkan) serta Thian-te (musuh langit). Pek Jau-hui tak pernah menggunakan ketiga jurus serangan itu secara sembarangan, sebab setiap jurus serangan ketiga jurus andalannya itu sangat menyita hawa murni yang dimiliki, setiap melancarkan satu serangan berarti tenaga murninya akan berkurang satu bagian, di samping itu selain dapat digunakan untuk melukai lawan, dapat juga menimbulkan luka dalam yang parah pada tubuh sendiri. Oleh sebab itu bila tidak terdesak hebat, Pek Jau-hui memilih untuk tidak menggunakan ketiga jurus andalannya itu. Tapi sekarang dia sudah tak punya pilihan lain. Kini dia sudah bersiap melancarkan serangan dengan jurus Po-sat. Paras muka Pek Jau-hui nampak semakin pucat, separuh badannya mulai gontai ... di saat mengerahkan ilmu Sam-ci-tan-thian, segenap hawa murninya harus dihimpun menjadi satu.

Siapa tahu belum Pek Jau-hui melepaskan jurus mautnya, mendadak terasa angin tajam berhembus lewat, desingan senjata tajam tahu-tahu sudah membelah angkasa. Serangan itu bukan ditujukan ke tubuhnya, tapi langsung mengancam tubuh Kwan Jit. Dari desingan angin tajam yang berhembus lewat, bisa diketahui itu berasal dari sambaran pedang. Tapi pedang ini bukan pedang biasa, pedang ini adalah tangan pedang, tangan Ong Siau-sik, tangan kirinya. Itulah ilmu pedang pelumat sukma, Leng-khong-siau-hun-kiam. Setelah berhasil mengalahkan empat orang Sengcu secara gampang, kali ini dia hendak menggunakan serangan pedang yang bukan pedang itu untuk mencoba menjebol pertahanan Poti-bun-heng-kiam-khi milik Kwan Jit. Pedang Kwan Jit juga bukan berupa pedang, pedang Ong Siau-sik terlebih bukan berupa pedang, tapi dibandingkan pedang mestika mana pun di dunia ini, hawa pedang yang terpancar keluar saat ini jauh lebih hebat dari pedang mana pun, tak mungkin serangan sehebat ini bisa dipancarkan dari pedang mestika mana pun. Apa yang terjadi ketika Po-ti-bu-heng-kiam-khi saling berbenturan dengan ilmu pedang Lengkhong-siau-hun-kiam? Bukan saja semua jago dunia persilatan ingin mengetahui hasil bentrokan itu, bahkan mereka yang bukan anggota persilatan pun ingin tahu juga. Lalu bagaimana hasil bentrokan ini? Hasilnya terjadi beberapa kali perubahan. Terjadi kecepatan yang sedemikian cepatnya sehingga orang tak sempat berpikir maupun menghembuskan napas. Bahkan bila mengedipkan mata, maka apa pun tak akan dapat disaksikan lagi. Tatkala telapak pedang Ong Siau-sik membacok di atas Po-ti-bu-heng-kiam-khi lawan, tangan kanannya ikut melancarkan bacokan juga, tangan kanannya melancarkan serangan dengan mengandalkan golok kerinduan. Namun kedua serangan itu nampaknya masih belum cukup, masih belum bisa menjebol pertahanan lawan. Maka hampir pada saat yang bersamaan dia pun melolos goloknya. Golok lengkung seperti alis mata, bening bak bola mata. Begitu goloknya diayunkan, terbesit satu garis lingkaran menyerupai gadis impian. Bacokan itu merupakan sebuah bacokan sesungguhnya. Ketika bacokan golok itu membentur hawa murni Po-ti-bu-heng-kiam-khi, terjadinya suara pekikan panjang yang amat nyaring. Hawa sakti Po-ti-bu-heng-kiam-khi masih tetap mendesak maju ke depan, menghimpit lebih ke depan. Ong Siau-sik tidak sangsi lagi, dia memang tak boleh sangsi, pedangnya segera dicabut keluar.

Pedang yang membawa tiga bagian keindahan, tiga bagian keanggunan, tiga bagian kemurungan dan satu bagian kesaktian itu segera memancarkan sebuah jurus pedang yang begitu indah, anggun, murung dan sakti. Cahaya pedang segera menyongsong ke arah hawa pedang. "Creesss!", hawa pedang terbelah jadi dua dan memantul balik ke tangan serta tubuh Kwan Jit. Pada saat itulah dari sepasang tangan Kwan Jit berku¬mandang suara hancuran dan retakan yang amat nyaring. Ternyata sepasang lengannya telah membeku menjadi selapis bunga es yang tipis dan bening setelah selesai menerima serangan Tang-ci dari Pek Jau-hui tadi, kini sesudah kena getaran golok kerinduan dan pedang pelumat sukma yang dilancarkan Ong Siau-sik, lapisan es itu seketika hancur berantakan. Noda darah yang meleleh dari lubang telinga Kwan Jit kelihatan semakin mengental, malah kini mulai meleleh ke bawah membasahi pipinya dan membeku di ujung dagu, ada pula yang meleleh hingga ke bawah leher hingga menimbulkan perbedaan warna yang kontras dengan warna kulit tubuhnya. Tiba-tiba Kwan Jit mulai batuk, semakin batuk semakin keras. Sambil batuk terus dia menghimpun hawa khikang Po-ti-bu-heng-kiam hingga tingkat ketiga, kali ini hawa kekuatan yang terhimpun dua kali lipat lebih dahsyat daripada tadi. Ong Siau-sik tertegun, dia tak menyangka satu gerakan lawan yang begitu sederhana telah berhasil mendesaknya sehingga harus menggunakan senjata golok dan pedangnya secara bersamaan, tapi pihak lawan sama sekali tidak menderita kerugian. Di saat hawa sakti lawan mulai menyelimuti atas kepalanya, mendadak terlihat bayangan manusia berkelebat, seseorang dengan satu gerakan cepat telah menyongsong datangnya hawa pedang itu. Orang itu tentu saja tak lain adalah Pek Jau-hui. Ibu jarinya segera dihentakkan, jari kelingkingnya disen-tilkan sementara jari tengah menyodok ke depan, kali ini dia menyerang dengan gerakan Po-sat dari Sam-ci-tan-thian. Keangkeran apakah bisa dijebol? Sampai kapan hawa pedang baru bisa punah? Dendam kesumat apakah sudah terjalin? Pertikaian antar manusia hingga kapan baru akan berhenti? Pertanyaan itu semua, bisa ditanyakan oleh siapa pun, ingin ditanyakan oleh siapa pun, akan ditanyakan siapa pun, tapi orang yang bertanya tetap punya rasa benci, tetap selalu bertarung. Karena rasa benci dan suka bertarung merupakan watak paling purba dari setiap manusia. Watak purba itu selalu tersimpan sejak dulu, sekarang dan akan datang.

Untungnya umat manusia masih mempunyai sifat cinta dan kelembutan, masih mempunyai kehalusan budi dan rasa setia-kawan. Maka Ong Siau-sik segera menggantikan Pek Jau-hui untuk menerima gempuran hawa pedang Poti-bu-heng-kiam-khi. Pek Jau-hui sendiri pun menerima gempuran hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi itu demi Ong Siau-sik. ooOOoo 41 . Golok , pedang dan jari BAB IV : GOL OK KERI NDUAN , PEDAN G PELUMA T SUKMA, JARI PEN GHA NCU R IMPIAN Begitu serangan Po-sat dari Pek Jau-hui dilontarkan, mendadak Kwan Jit lenyap tak berbekas. Terlihat bayangan hitam berkelebat, tahu-tahu ia sudah melompat di atas kepala semua orang. Kini paras muka Pek Jau-hui telah berubah menjadi putih menyeramkan, putih mendekati bening. Tenaga jari yang dia lancarkan menimbulkan suara nyaring di udara, suara itu begitu keras bagai guntur yang menggelegar di angkasa, bagai suara kereta kuda yang mendadak berbelok tajam. Mendadak tenaga jari yang terpancar dari jurus Po-sat berputar satu lingkaran tajam, kemudian dengan kecepatan tinggi mengejar punggung Kwan Jit. Saat itu Kwan Jit sudah tiba di hadapan Lui Tun. Tong Po-gou serta Thio Than ingin menghadang, namun tubuh mereka segera terpental mundur oleh satu gulung kekuatan yang maha dahsyat, bukan saja Tong Po-gou dan Thio Than terpental mundur, bahkan Gan Hok-hoat, Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin yang ada di sisi lain pun ikut terpental sampai beberapa langkah. Begitu tiba di hadapan Lui Tun, dengan lembut Kwan Jit berkata, "Kau tak usah takut, aku datang untuk menjemputmu." Caranya berbicara sangat halus dan lembut, malah hawa kiam-khi yang semula melindungi seluruh tubuhnya, kini dibuyarkan. Lui Tun sama sekali tidak merasa takut, tiada perasaan ngeri atau seram yang terbetik dari balik biji matanya yang bening. Dia pun tak tahu, apakah perasaan tidak takutnya dikarenakan dia memang bernyali besar, atau karena dia telah menangkap perasaan cinta dari balik matanya, atau karena tidak melihat niat membunuh dari balik sorot matanya. Pada saat itulah Un Ji menerjang ke depan, begitu tiba goloknya langsung diayunkan ke badan Kwan Jit. Pek Jau-hui berteriak keras, cepat dia tarik balik tenaga serangan jarinya.

Mau tak mau dia harus berbuat begini, sebab Lui Tun dan Un Ji semuanya berada di situ, kendatipun serangan tadi mungkin bisa menghabisi nyawa Kwan Jit, namun kedua orang gadis itu pasti akan kena getahnya juga. Daya kekuatan Sam-ci-tan-thian memang tak boleh dipandang enteng. Itulah sebabnya Pek Jau-hui harus menarik kembali serangannya mentah-mentah. Sekilas pandang, Ong Siau-sik segera tahu Pek Jau-hui telah menderita luka parah, darah kental yang meleleh keluar dari lubang hidung pemuda itu nampak lebih mengental dan hitam. Dalam keadaan begini Ong Siau-sik tak sempat lagi mengurusi rekannya, dia tahu kepandaian silat yang dimiliki Kwan Jit sangat lihai, dia sanggup membunuh Un Ji segampang membalikkan telapak tangan, karena itu dia merasa wajib mencegahnya. Dalam pada itu Kwan Jit sedang berkata lagi kepada Lui Tun, "Ayolah, ikut aku pergi dari sini." Sambil berkata ia menjulurkan tangannya yang putih pucat dan gemetar. "Tidak!" tampik Lui Tun tegas. Kwan Jit terkesiap, saat itulah Un Ji mengayunkan goloknya melancarkan satu bacokan. Entah Kwan Jit memang sengaja tidak menghindar atau tak mampu menghindar, bacokan itu bersarang telak di bahunya, darah segar segera menyembur keluar dari lukanya. Rupanya golok Seng-seng-to milik Un Ji dan golok Put-ing-to milik Lui Tun yang merupakan dua bilah senjata mestika dalam dunia persilatan kebetulan merupakan senjata yang mampu menjebol pertahanan hawa pedang Kwan Jit, apalagi orang itu lupa mengerahkan hawa khikangnya begitu berjumpa Lui Tun. Kwan Jit mendengus tertahan, sorot matanya kembali berubah. Ia melotot sekejap ke arah Un Ji, sementara si nona yang sedang gembira karena bacokannya berhasil melukai lawan menjadi bergidik begitu sorot mata mereka saling beradu. Belum lagi ingatan kedua melintas, Kwan Jit sudah mencengkeram golok di tangan gadis itu. "Jangan lukai dia!" teriak Lui Tun. Ternyata Kwan Jit sangat penurut, begitu mendengar teriak itu segera ia lepas tangan. Waktu itu Un Ji sedang membetot goloknya sekuat tenaga, dia tak menyangka secara tiba-tiba Kwan Jit melepaskan genggamannya, kontan tubuhnya terhuyung sejauh tujuh delapan langkah sebelum akhirnya berhasil berdiri tegak. Dengan satu gerakan cepat Ong Siau-sik menerobos ke hadapan Kwan Jit, menghadang di antara orang itu dengan Un Ji dan Lui Tun, satu serangan golok segera dilepaskan. Dia tetap tidak mencabut goloknya, ia hanya menyerang dengan tangan goloknya. Anak muda itu merasa tak ada keharusan baginya untuk membunuh orang sinting yang setengah bloon ini, karenanya beruntun dia melancarkan enam buah bacokan golok.

Keenam bacokan itu diarahkan pada sasaran yang berbeda dengan sudut serangan yang berbeda pula, serangan ini disebut Ta-po-ho-lan-koat (menjelajahi bukit Ho-lan), enam bacokan dilancarkan secara bersama-sama. Musuh mau berjumlah seorang, mau berjumlah enam puluh orang, dia tetap melepaskan serangan dengan enam bacokan sekaligus. Kwan Jit sama sekali tidak mundur, biarpun darah bercucuran dari lukanya, namun ia tetap bergeming. Sekalipun begitu, kemana pun Ong Siau-sik melancarkan serangan dengan tangan goloknya, rantai borgol yang berada pada pergelangan tangannya selalu menghadang ke situ, karenanya hampir semua bacokan yang dilancarkan Ong Siau-sik telah bersarang di atas borgolnya. Rantai borgol itu entah terbuat dari bahan apa, walaupun sudah dibacok berulang kali oleh Ong Siau-sik, bukan saja benda itu tidak rusak, malah sebaliknya dia mulai merasa tangannya kesemutan. "Hati-hati, jangan menolong dia memutus rantai borgol itu!" tiba-tiba Lui Tun memperingatkan. Ong Siau-sik kaget, ia baru sadar akan hal itu, cepat serangannya dihentikan. Kwan Jit membentak gusar, sebuah pukulan dilontarkan ke depan. Menghadapi ancaman itu, Ong Siau-sik ingin menghindar, namun ternyata ia tak sanggup menghindarkan diri, terpaksa disambutnya ancaman itu dengan keras lawan keras. Begitu saling membentur, segulung hawa khikang tak berwujud langsung mendorong tubuhnya ke belakang. Ong Siau-sik melompat mundur, mundur sangat cepat hingga sepasang kakinya melayang di tengah udara, namun telapak tangan mereka berdua tetap menempel satu sama lain. Asal punggung anak muda itu menumbuk di atas sebuah benda, maka hawa pedang Po-to-buheng-kiam-khi yang berada di telapak tangan Kwan Jit segera akan dimuntahkan semua. Ong Siau-sik sadar, jika pihak lawan sampai menumpahkan segenap hawa khikang yang dimilikinya untuk menghimpit badannya, dapat dipastikan dia tak akan sanggup menghadapinya. Saat itulah terdengar Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat menjerit bersama, "Jit-sengcu, hati-hati!" Rupanya Pek Jau-hui telah melayang turun di belakang tubuh Kwan Jit. Begitu menginjak tanah, jurus Po-sat yang maha dahsyat langsung dihantamkan ke punggung orang itu. Tiba-tiba Kwan Jit membalikkan tubuh. Padahal saat itu dia sedang bergerak maju, tapi anehnya, begitu dia ingin berhenti, tubuhnya langsung berhenti. Telapak tangannya masih menempel jadi satu dengan tangan golok Ong Siausik, tapi begitu dia ingin melepas tangan, tangan mereka yang menempel pun segera berpisah. Akan tetapi Ong Siau-sik tak ingin melepas tangan, sambil berganti napas dia melancarkan lagi serangkaian serangan kilat, dia tak membiarkan Kwan Jit menarik kembali tangannya.

Mendadak Kwan Jit membalikkan tubuh, dengan tangan sebelah dia melakukan tangkisan, membendung serangan tiga jari Pek Jau-hui. Menyusul kemudian mereka berdua pun menghentikan seluruh gerakannya, mereka tergetar, berdiri kaku. Paras muka Pek Jau-hui semakin pucat pasi, sedang paras muka Kwan Jit berubah hijau membesi. Siapa pun dapat melihat, ketika Kwan Jit dengan tangan kirinya memunahkan serangan golok kerinduan yang dilancarkan Ong Siau-sik, dia menggunakan taktik gerak untuk mengatasi segala macam perubahan, tapi ketika beradu tenaga dalam dengan Pek Jau-hui yang menyerang dengan ilmu jari Sam-ci-tan-thian, tehnik yang digunakan adalah tenang. Pertarungan semacam ini sangat menyita tenaga, bila sampai kalah, maka paling ringan terluka parah, yang terberat bisa menemui ajalnya, bahkan bisa kehabisan tenaga hingga hidup lebih tersiksa dari mati. Secara beruntun Ong Siau-sik melancarkan sebelas jurus serangan, tapi Kwan Jit sama sekali tidak membalas, ia hanya berusaha mematahkan seluruh serangan yang datang, dalam jengkelnya pemuda itu segera mempersiapkan tangan kirinya untuk melepaskan serangan dengan telapak pedang, tapi untuk sesaat dia menjadi ragu, haruskah serangan itu dilancarkan atau tidak. Menyaksikan hal ini, Lui Tun segera membentak, "Ong-siauhiap, jangan punya hati yang lemah seperti kaum wanita!" Mendengar itu Ong Siau-sik seperti tersadar dari impian, diam-diam dia menghela napas, babatan telapak pedangnya segera dibacokkan ke atas pundak belakang Kwan Jit. Yang aneh adalah keenam orang rasul lainnya, selama-pertarungan sengit berlangsung, ternyata mereka tidak berusaha memberi bantuan, sebaliknya orang-orang itu hanya berdiri mengelilingi arena sambil menonton jalannya pertarungan. Tentu saja Ohg Siau-sik mengerti mengapa mereka bersikap begitu. Seandainya Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin, Liu Cong-seng serta Sengcu kelima dan Sengcu keenam maju mengembut Pek Jau-hui dan dirinya, sudah dapat dipastikan Thio Than, Un Ji, Tong Po-gou serta ketiga orang dayang itu tak akan tinggal diam. Akhirnya mereka harus menghadapi dua lawan satu, dalam keadaan begitu, kecil kemungkinan bagi mereka untuk meraih kemenangan. Dalam serangannya kali ini, Ong Siau-sik telah menyertakan tenaga dalamnya sebesar lima bagian. Bacokan telapak pedang itu segera akan menghajar bahu Kwan Jit. Bila serangan itu sampai bersarang telak, dapat dipastikan seluruh lengan orang itu akan lumpuh total. Siapa sangka satu kejadian di luar dugaan telah terjadi, begitu termakan pukulan keras, tiba-tiba Kwan Jit berpekik nyaring. Suara pekikannya tinggi melengking hingga membumbung tinggi ke angkasa, otot hijau pada wajahnya menonjol keluar, begitu tenaga pukulannya dimuntahkan keluar, sekujur badan Pek Jauhui bergetar keras, diiringi dengusan tertahan tiba-tiba ia memuntahkan darah segar.

Ong Siau-sik sendiri pun merasakan timbulnya segulung tenaga besar yang balas menghantam tangan golok di tangan kanannya, tenaga dahsyat itu tampaknya merupakan tenaga serangan telapak pedang miliknya yang dipantulkan balik. Rupanya Kwan Jit telah menggunakan tenaga khikang Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk memantulkan tenaga serangan yang dilancarkan lawan dan mengubahnya menjadi kekuatan sendiri yang bisa digunakan untuk balas menggempur musuh. Serangan yang dilancarkan Ong Siau-sik sama halnya dengan dia menyalurkan tenaga pukulan sendiri ke tubuh Kwan Jit, lalu oleh orang itu digabungkan dengan hawa pedang miliknya dan dipakai untuk menggempur Pek Jau-hui. Jadi musuh telah memanfaatkan kekuatan tenaga pukulannya untuk dipakai menyerang rekan sendiri. Masih untung Ong Siau-sik tidak bermaksud membunuh Kwan Jit sehingga tenaga yang digunakan hanya lima bagian, coba kalau dia bernapsu menyerang dengan sepenuh tenaga, jika tenaga pukulan itu sampai memantul balik dan diarahkan ke tubuhnya, belum tentu dia sanggup menanggulangi kejadian itu. Kini dia sadar, mati hidup mereka ditentukan oleh tindakan selanjutnya, karenanya dia tidak kenal ampun lagi. Dengan satu gerakan cepat dia melolos goloknya, golok kerinduan yang kecil melengkung itu. Golok itu sebilah golok sejati, golok yang hebat, golok mestika. Dia mengayunkan goloknya dan langsung membacok ke bahu Kwan Jit. Bagian tubuh yang dibacok masih tetap bahu lawan, sebab dia memang tidak berencana membunuh lawannya. Telapak tangan kanan Kwan Jit yang digunakan untuk menahan tiga jari Pek Jau-hui tiba-tiba ditarik balik, paras muka anak muda itu semakin pucat, bagaikan kehilangan sukma tubuhnya bergetar dengan sempoyongan, setelah mundur satu langkah, dia mundur lagi dua langkah, setelah bergoyang keras, lagi-lagi dia mundur satu langkah. Dalam pada itu Kwan Jit sudah merangkap sepasang telapak tangannya untuk menahan bacokan golok kerinduan yang mengancam bahunya. Menghadapi golok kerinduan, dia tidak berani menyambut serangan itu dengan menggunakan tangan telanjang. Memandang bentuk golok kerinduan yang kecil mungil tapi luar biasa tajamnya, sekilas perasaan girang yang sukar dilukiskan terbesit di balik mata Kwan Jit, dia seakan merasa girang, tergila-gila, seperti seorang lelaki yang mendadak berjumpa dengan sang kekasih yang telah berpisah lama. Ong Siau-sik merasa kaget bercampur ngeri, dia tak menyangka kepandaian ampuh yang dimilikinya tidak mampu mengatasi lawan, bahkan untuk melepaskan jepitan tangan Kwan Jit pun tak sanggup. Dalam keadaan terdesak, terpaksa Ong Siau-sik mencabut pedangnya. Pedang pelumat sukma!

Kecuali ketika berhadapan dengan Lui Tong-thian, selama berada di kotaraja belum pernah Ong Siau-sik mencabut golok dan pedangnya sekaligus. Begitu golok dan pedang dicabut keluar bersama, paras muka Kwan Jit segera* berubah menjadi dingin membeku dan sangat mengerikan. Lekas Kwan Jit mundur satu langkah untuk menjaga jarak, kemudian secara berulang dia mengerahkan hawa khikang Po-ti-bu-heng-kiam-khi hingga mencapai tujuh delapan tingkat, selisih jarak kedua orang itu makin lama semakin menjauh, kini jarak antara kedua orang itu sudah mencapai sepuluh langkah lebih. Paras muka Ong Siau-sik makin lama bertambah merah, sedang paras muka Kwan Jit berubah semakin hijau. Tak selang berapa saat Ong Siau-sik hanya bisa menangkis, sama sekali tak punya kekuatan untuk melancarkan serangan balasan. Yang lebih menakutkan lagi adalah Kwan Jit seakan sudah tahu kalau dia tak boleh memberi kesempatan kepada lawannya untuk melancarkan serangan balasan. Setiap kali pihak lawan mempunyai kesempatan untuk melancarkan serangan balasan, serangan itu pasti ditujukan untuk menghancurkan hawa pedang miliknya, maka dia harus berusaha agar pihak lawan sama sekali tak mampu menggunakan tangan golok dan telapak pedangnya, bahkan kalau bisa jangan memberi kesempatan satu kali pun hingga dia bisa balas menyerang. Pada saat itulah Pek Jau-hui memekik panjang, teriaknya, "Keng-bong (pengejut impian)!" Di saat dia melancarkan serangan dengan jurus Po-sat, serangan itu jelas merupakan serangan bokongan, karena sama sekali tidak memberi peringatan sebelum melancarkan pukulan, tapi ketika dia menggunakan gerakan kedua dari ilmu Sam-ci-tan-thian, serangan baru dilancarkan setelah dia berteriak memberi peringatan. Perlahan-lahan dia melancarkan serangan, jurus serangan dilancarkan secara lambat. Tampaknya dia tidak terburu napsu, seperti sedang menikmati impian yang indah dalam tidur siangnya yang panjang. Apakah hal ini dikarenakan dia mempunyai keyakinan yang besar untuk bisa menghadapi jurus serangan itu? Atau karena dia menganggap jurus serangan itu tak lebih hanya sebuah impian, sepanjang apa pun impian itu akhirnya akan tersadar kembali? Kwan Jit tahu, dia tak mampu menyambut datangnya serangan itu, karenanya dia hanya memandang sekejap lalu seakan inlah terbuai dalam impian yang berkepanjangan. Ketika mendusin dari mimpi, segala sesuatunya kosong. Sekalipun dia dapat menghadapi kekosongan, kehampaan dari impian itu, bukan berarti bisa membendung keganasan golok dan pedang yang datang secara nyata. Golok kerinduan, sebilah golok yang jauh lebih tak berperasaan dari golok mana pun. Pedang pelumat sukma, sebilah pedang yang jauh lebih memutus sukma dari pedang mana pun. Kwan Jit hanya tahu menyalurkan tenaga Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk melindungi badan, sementara jurus kembangannya sama sekali tak tahu.

Entah apa yang terjadi, tahu-tahu serangan golok dan pedang Ong Siau-sik berganti haluan dan menyerang ke arah Pek Jau-hui. Sebaliknya serangan jari pengejut impian Pek Jau-hui justru berganti arah menyerang ke arah Ong Siau-sik. Kwan Jit telah menggunakan hawa khikang yang luar biasa untuk memutar- balikkan tenaga serangan lawan, bukan saja tak menyentuh tubuhnya, sebaliknya malah saling menggempur ke tubuh kawan sendiri. Ketika golok kerinduan, pedang pelumat sukma dan ilmu jari pengejut impian bertemu, akibat apa yang kemudian terjadi? Kehidupan? Atau kematian? Atau bahkan kehancuran total kedua orang itu? Tentu saja mereka tak ingin saling gempur, tak ingin saling bunuh. Jika golok kerinduan, pedang pelumat sukma dan tiga jari menyentil langit saling beradu, yang pasti kedua orang pemuda itu sama-sama akan terluka parah. Sebaliknya jika serangan itu harus ditarik kembali mentah-mentah, akibatnya mereka akan melukai diri sendiri. Satu-satunya cara adalah membiarkan pihak lawan menarik kembali serangannya sementara serangan tetap menggempur, dengan membunuh lawan berarti mereka dapat menyelamatkan jiwa sendiri. Situasi seperti ini sedari dulu hingga sekarang masih sering dijumpai, setiap orang tentu mempunyai cara berpandangan yang berbeda, berarti cara mereka menyelesaikan kesulitan inipun pasti akan berbeda juga. Membiarkan pihak lawan mati sementara diri sendiri selamat, bukankah pilihan semacam ini adalah pilihan utama? Tapi ketika kedua belah pihak sama-sama punya pikiran begitu, maka akibatnya seringkah adalah sama-sama terluka atau mati. Kini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah dihadapkan pada kondisi seperti ini, mereka harus mencari akal untuk menyelesaikan keadaan yang sangat rumit ini. Ong Siau-sik segera mengayunkan golok kanan dan pedang kirinya secara menyilang, benturan keras kedua bilah senjata itu segera menimbulkan percikan bunga api ke empat penjuru. Sementara Pek Jau-hui lekas membuyarkan tenaga serangannya. Akibat peristiwa ini, kedua orang itu sama-sama merasakan pantulan tenaga serangan mereka, hawa darah bergolak keras di rongga dada, mereka merasa seakan dada terhajar oleh sebuah pukulan lawan. Masih untung Kwan Jit tidak melakukan pengejaran.

Dia hanya mengawasi kedua orang itu dengan pandangan tertegun, lama kemudian tiba-tiba dia mengacungkan ibu jarinya seraya berseru, "Bagus!" Kehebatan kungfu kedua orang musuh tangguhnya ini tidak sampai membuat dia ngeri atau ketakutan, sebaliknya ia justru merasa kagum karena kedua orang itu lebih mengutamakan keselamatan rekannya ketimbang urusan lain, sebab inilah sesungguhnya cara yang paling bijaksana. Setelah memberikan pujiannya, dia baru mulai melancarkan serangan. Kali ini dia benar-benar telah mengeluarkan seluruh inti kekuatan. Fo-Ti-bu-heng-kiam-khi, hawa khikang yang memancar ke empat penjuru membuat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui lekas harus melindungi diri dari ancaman maut. Di saat yang amat kritis itulah mendadak Pek Jau-hui merasakan suatu perasaan yang amat dikenal olehnya, begitu juga Ong Siau-sik, dia merasa ada hawa tubuh seseorang yang amat dikenalnya telah muncul di sekeliling sana. Menyusul kemudian mereka pun mendengar suara yang amat dikenalnya ... suara orang terbatukbatuk. Tak lama setelah mendengar suara batuk, mereka pun menyaksikan berkelebatnya suatu benda. Bayangan golok! Mereka hanya menyaksikan bayangan golok, sama sekali tidak melihat goloknya. Sebab gerakan golok itu kelewat cepat, kecuali mereka, para penonton jalannya pertempuran malah tak sempat melihat apa pun, termasuk berkelebatnya bayangan golok. Bayangan golok yang indah, bagaikan bayangan tubuh seorang kekasih, di saat golok itu menyambar, terendus bau harum semerbak dan suara rintihan yang lirih, lekukan golok bagai bahu lembut seorang gadis perawan, di saat golok itu membabat ke bawah, terbawalah sebuah romantika hidup yang indah. Golok itu begitu indah, begitu menawan sehingga siapa pun yang memandangnya rela mati demi golok itu, rela hidup demi golok itu, bahkan rela melepaskan seluruh kehidupannya demi golok itu. Bukan hanya manusia, bahkan golok kerinduan yang berada dalam genggaman Ong Siau-sik pun seolah ikut merintih lirih. Dia merintih mungkin karena golok bagus telah bertemu golok mestika, seperti seorang Enghiong Hohan bertemu dengan seorang gadis cantik yang rupawan. Kecuali Ang-siu-to, kecuali golok nomor wahid dari balik impian, golok mana lagi di kolong langit ini yang memiliki romantika hidup seindah itu? Sesosok bayangan manusia berkelebat, menyusul berkelebatnya sebilah golok, golok yang sangat indah. Dia tak lain adalah So Bong-seng. So Bong-seng dengan golok Ang-siu-to! ooOOoo

AKHI R DARI BAB III MANUS IA KOSON G 42 . Peti mat i Pertempuran seketika terhenti. Semua jago yang hadir seketika bungkam, suasana pun menjadi sangat hening. Sedemikian heningnya hingga suara jarum yang jatuh ke lantai pun dapat terdengar sangat jelas. Golok yang sangat indah itu kini sudah dipalangkan di atas tengkuk Kwan Jit. Kwan Jit sama sekali tak bergerak, kelopak mata pun tidak berkedip. Dia hanya mengawasi golok itu tanpa berkedip. Sesosok bayangan manusia yang kurus, berdiri membelakangi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. Golok milik orang inilah yang telah ditempelkan di atas tengkuk Kwan Jit, begitu muncul, nyawa Kwan Jit sudah terjatuh ke tangannya.' Orang ini sama sekali tak berpaling, tapi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu siapakah dia. Sejak suara batuk berkesiur di tepi telinga mereka, sejak cahaya golok berkelebat di depan mata mereka, kedua orang itu sudah tahu siapa yang telah datang, tanpa melihat jelas bayangan punggungnya pun mereka sudah tahu siapakah orang itu. "Toako!" serentak mereka menyapa. Golok itu masih menempel di tengkuk Kwan Jit, tapi sikap Kwan Jit sangat tenang. Di balik matanya tiada perasaan takut, bahkan tiada perasaan ngeri dalam menghadapi kematian, hidup atau mati seakan bukan masalah baginya, selembar jiwa yang ada dalam tubuhnya seolah bukan miliknya, tak ada yang lebih acuh, lebih tenang ketimbang dia. Ia cuma mengawasi So Bong-seng dengan pandangan dingin, sorot matanya malah terselip sikap memandang hina, memandang enteng, atau sama sekali tak ada luapan perasaan apa pun. "Aku tak akan membunuhmu dengan cara begini," kata So Bong-seng kemudian. Ketika selesai berkata, golok itupun lenyap dari pandangan mata. Balik ke dalam bajunya. Ternyata dia telah menarik kembali goloknya. Golok yang sebenarnya dapat membantai Kwan Jit secara mudah ternyata ditarik begitu saja. Pada saat itulah dari kejauhan, sepertinya dari mulut jalanan, seperti juga dari tempat yang lebih jauh lagi, terdengar seorang berseru dengan suara nyaring, "Jangan Tapi So Bong-seng telah menyimpan kembali goloknya. Perubahan mimik muka yang aneh memancar keluar dari balik wajah Kwan Jit, mendadak ia bertanya, "Jadi kau adalah So Bong-seng?" "Kalau bukan So Bong-seng, mana mungkin aku bisa menguasai dirimu dengan sekali bacokan?"

"Mengapa kau tarik kembali golokmu?" "Sebab serangan itu termasuk sebuah serangan bokongan, karena membokong maka aku berhasil." Perlahan-lahan Kwan Jit menggeleng, dengan suara dingin bagaikan salju ujarnya, "Membokong pun termasuk suatu pertempuran, bila kau bertarung dengan seseorang maka serangan bokongan pun tercakup di dalamnya. Banyak orang di dunia ini membunuh dengan mengayunkan golok, tapi sebagian besar di antara mereka membunuh tanpa menggerakkan golok, bahkan banyak yang tak perlu turun tangan sendiri." "Apakah kau pun membokong musuhmu?" ejek So Bong-seng sambil tertawa dingin. "Aku tak mau melakukan perbuatan semacam ini karena aku memandang hina perbuatan itu, tapi anak buahku tetap akan melakukan hal semacam itu," sorot mata Kwan Jit dingin bagaikan salju, "bila aku menganggap diriku kuat, maka aku tak perlu membokong orang, bila aku benar-benar cukup tangguh, biarpun orang lain membokong aku juga tak akan berhasil." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Sekarang aku telah kau bokong hingga terjatuh ke tanganmu, aku tak akan banyak bicara lagi." Ong Siau-sik yang mendengarkan pembicaraan itu jadi terperanjat, begitu juga dengan Pek Jauhui. Mereka sama sekali tidak menyangka Kwan Jit yang terlihat setengah gila setengah waras itu ternyata mampu mengucapkan perkataan seperti itu. Setelah termenung beberapa saat, kembali So Bong-seng berkata, "Bagaimanapun juga, jumlah orangku jauh lebih banyak." "Tahukah kau apa artinya mampu menandingi sepuluh laksa musuh?" tiba-tiba Kwan Jit mengajukan pertanyaan aneh. "Maksudnya satu orang bisa menandingi sepuluh laksa musuh." "Jika ada sepuluh orang mampu menandingi sepuluh laksa musuh, dia tak akan mampu menahan orang yang kesebelas, apakah manusia semacam ini dapat disebut juga mampu menandingi sepuluh laksa musuh?" So Bong-seng tidak menyangka kalau orang setengah sinting itu bisa mengajukan pertanyaan semacam ini, untuk sesaat dia tak sanggup menjawab. Belum lagi pikiran lain melintas, Kwan Jit telah menjawab sendiri pertanyaannya, "Tentu saja tidak, orang yang benar-benar mampu menandingi sepuluh laksa musuh adalah orang yang bisa menghadapi serangan dari berapa banyak pun musuh yang datang menyerang." Walaupun dalam hati kecil So Bong-seng merasa kagum, namun perasaan itu tidak diperlihatkan, katanya, "Kalau itu sih bukan manusia, tapi dewa." "Padahal manusia lah dewa, kalau tak ada manusia, dari-mana datangnya dewa?" Sekali lagi So Bong-seng tertegun.

Kembali Kwan Jit berkata, sepatah demi sepatah, "Walaupun tadi kau tidak membunuhku, aku pun tidak merasa berhutang nyawa kepadamu." "Aku tidak membunuhmu bukan berarti aku menginginkan hutang budi darimu," kata So Bongseng angkuh, "selama hidup aku tak pernah melakukan pekerjaan yang butuh hutang budi dari orang." "Bagus!" seru Kwan Jit, sambil menuding ke arah Lui Tun katanya lagi, "aku tetap akan membawanya pergi dari sini." "Jawabanku juga masih sama, aku melarangmu membawanya pergi, jika dipaksa terus, aku tetap akan membunuhmu." "Jadi kau batal membunuhku tadi karena kau tak ingin membunuhku dalam kondisi seperti itu?" "Bila kubunuh kau dalam kondisi seperti itu, bagimu jelas tidak adil, aku anggap perbuatan semacam itupun sangat memalukan dan tidak menarik." Kwan Jit seakan sedang tertawa. "Aku selalu berhati keji dan telengas, tapi tak akan kulakukan perbuatan yang memalukan atau tidak menarik." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kalau begitu, bunuhlah aku sekali lagi! Kalau tidak, akulah yang akan membunuhmu." Begitu selesai berkata ia sudah mulai bertindak, tubuhnya langsung menerjang ke arah Lui Tun. So Bong-seng bergerak cepat, dia menghadang di depan gadis itu, menghadang dengan tubuhnya, menghadang dengan goloknya. Diiringi suara batuk yang keras, ia lepaskan sebuah bacokan kilat. Suara batuk seketika terdengar terpatah-patah, terputus dan tak jelas. Ini dikarenakan angin pedang, dikarenakan hawa pedang. Karena hawa khikang Po-Ti-bu-heng-kiam-khi yang maha dahsyat dan sangat menakutkan itu sudah memancar keluar dari balik tangan Kwan Jit. Hawa pedang yang memancar keluar masih terasa begitu kuat dan dahsyat, pertarungan sengitnya melawan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tadi sama sekali tidak membuat kekuatannya melemah, sebaliknya kekuatan itu malah semakin dahsyat dan mengerikan. Bukan cuma begitu, seluruh tubuhnya yang masih terborgol seakan turut mengembang besar, turut mengayun kian kemari mengikuti gelombang hawa pedang yang menggulung. Golok Ang-siu-to dari So Bong-seng sudah tidak memancarkan keindahan lagi, tidak terlihat romantika kehidupannya lagi, kini yang terlihat adalah keganasan dan kegarangan. Setiap kali bisa menyelinap ke posisi yang paling mengun¬tungkan, golok itu baru dilancarkan. Dimana goloknya berkelebat, yang diserang pasti berusaha menolong diri, pasti kalah dan pasti mati.

Sekalipun pada akhirnya pihak lawan mampu menerima serangan itu, dapat menangkis ancaman golok itu, namun perasaannya pasti akan dibuat kacau balau, ketakutan, pecah nyali dan mengenaskan. Benar juga, gempuran Kwan Jit seketika melemah. Kalau pada awal pertarungan tadi setiap So Bong-seng melancarkan tiga empat jurus maka Kwan Jit bisa balas menyerang sebanyak tujuh kali, maka setelah situasinya berubah, setiap kali So Bong-seng menyerang sebanyak enam tujuh kali, Kwan Jit hanya mampu membalas sebanyak empat kali. Baru saja So Bong-seng merasa girang, ia segera melihat satu hal. Ternyata Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah ikut terjun kedalam pertarungan, mereka telah mengendalikan penyebaran hawa pedang Po-Ti-bu-heng-kiam-khi yang memancar keluar dari tubuh Kwan Jit. ......! Sebenarnya sejak awal Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sudah ingin terjun ke arena untuk membantu So Bong-seng, tapi mereka tak pernah turun tangan. Sebab mereka tak tahu apakah tindakan itu akan membuat So Bong-seng tak senang atau tidak mau menerima bantuannya, selain itu mereka sendiri pun mempunyai kesulitan yang susah diucapkan. Bagi Ong Siau-sik, sejak awal dia memang tidak terlalu ingin membunuh atau melukai Kwan Jit, sebaliknya bagi Pek Jau-hui yang angkuh, dia merasa segan dan tak sudi mengerubut lawannya. Tapi sekarang mau tak mau mereka harus turun tangan mengerubut musuh. Bukan saja mereka berdua harus bekerja sama, bahkan harus main kerubut bertiga. Rupanya ketika bertarung melawan So Bong-seng tadi, secara diam-diam Kwan Jit telah mengerahkan hawa pedangnya untuk menyerang juga diri Pek Jau-hui. Menanti Pek Jau-hui menyadari akan hal ini, hawa pedang sudah tiba di depan mata, terpaksa dia harus menggunakan jurus Toa-boan untuk melancarkan serangan balasan. Baru saja Pek Jau-hui melancarkan enam tujuh jurus se¬rangan, Ong Siau-sik yang berada di sisinya ikut merasakan pula hawa pedang yang membabat ke arah tubuhnya. Oleh karena hawa pedang sudah menyergap dirinya, ter¬paksa dia pun ikut terjun dalam kancah pertarungan itu. Dengan begitu maka sama saja seperti So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sedang mengeroyok Kwan Jit seorang. Meskipun Kwan Jit sudah berhadapan dengan musuh yang sangat menakutkan macam So Bongseng, namun dia seakan merasa belum cukup sehingga mefencarkan serangan lebih dulu ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, dimana pada akhirnya kedua orang pemuda itupun terpaksa harus melibatkan diri dalam pertempuran itu. Setelah situasi berkembang, tiada pilihan lain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam pertarungan itu. Sebaliknya Kwan Jit sendiri pun tak punya pilihan lain. Hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi miliknya harus menghantam ke sana kemari untuk menghadapi serangan maut golok Ang-siu-to, ilmu jari Sam-ci-tan-thian serta babatan golok kerinduan dan pedang pelumat sukma.

Angin golok serasa menyayat tubuh, hawa pedang menyelimuti angkasa. Di antara semua itu terselip pula desingan angin jari yang menyambar kian kemari, seperti ulah perompak yang sedang merampok perahu niaga. Pada saat itulah tiba-tiba Kwan Jit terpeleset dan jatuh ke tanah. "Traaang!", ayunan golok Ang-siu-to segera menyambar tiba, lekas Kwan Jit merentangkan sepasang kakinya untuk menangkis, bacokan itupun segera menghantam rantai borgol di kakinya. Ternyata rantai borgol itu tidak putus meski terkena bacokan. Lekas So Bong-seng menarik kembali goloknya. Yang membuatnya terperanjat bukan karena rantai borgol itu tidak putus, sebab dia sudah tahu kalau rantai borgol itu terbuat dari bahan khusus yang sangat kuat, ia merasa sayang dengan golok miliknya itu. Dengan satu lejitan, Kwan Jit melompat bangun. Serangan jari Han-si dari Pek Jau-hui segera membelah angkasa dan menyergap tiba. Kwan Jit kembali merentangkan sepasang lengannya, "Triiing!", serangan itu menghajar di atas rantai borgolnya. Pek Jau-hui segera merasakan ujung jarinya kesemutan, dalam kagetnya lekas dia mundur sejauh dua langkah. Dalam waktu singkat Ong Siau-sik telah merangsek, golok kiri pedang kanannya segera diayunkan melancarkan serangan. Namun ketika golok dan pedangnya nyaris membabat tu¬buh Kwan Jit itulah tiba-tiba ia merasakan datangnya gulungan angin pedang yang aneh menyambar ke arahnya, begitu kuat gulungan itu membuat goloknya malah menyerang ke arah pedangnya, sementara pedangnya malah menusuk ke arah goloknya. Percikan bunga api segera memancar ke empat penjuru. Menggunakan kesempatan yang amat singkat, sekali lagi Kwan Jit menerjang ke hadapan Lui Tun. Walaupun berada dalam kepungan musuh yang ketat dan berbahaya, apakah ia tetap nekat akan membawa kabur Lui Tun? Mengapa dia berbuat demikian? Terlepas karena alasan apa pun dia berbuat begitu, So Bong-seng tak pernah akan mengabulkan permintaannya, apalagi kejadian semacam ini berlangsung di hadapan matanya. Sekali lagi dia melejit ke udara, baru saja tangan kiri Kwan Jit akan menempel bahu Lui Tun, bacokan golok So Bong-seng telah menyapu tiba. Tujuan dari bacokan itu adalah untuk menolong Lui Tun, ia seakan lupa dengan keselamatan sendiri, tapi menurut perkiraannya Kwan Jit pasti akan berusaha menyelamatkan lengan sendiri, asal Kwan Jit menarik kembali tangannya kemudian baru menyerang dia, maka ilmu goloknya dapat segera dikembangkan hingga lawan tak mampu banyak berkutik.

Siapa tahu Kwan Jit segera menggetarkan tangan kirinya, begitu lepas dari bahu lembut Lui Tun, dia langsung mencengkeram mata golok so Bong-seng. Tak sempat berpikir panjang So Bong-seng segera menarik goloknya lalu ditebaskan ke depan, percikan darah segar berhamburan kemana-mana, tahu-tahu sebelah lengan Kwan Jit sebatas pergelangan telah terpapas kutung. Begitu berhasil dengan serangannya, gerakan golok So Bong-seng pun ikut melambat, tampaknya Kwan Jit punya ren¬cana lain, tangan kanannya secepat kilat menyerang ke muka, hawa pedang langsung mengancam tenggorokan lawan. So Bong-seng sama sekali tak bergerak, dia memang tak bisa bergerak, nyawanya sudah dalam cengkeraman Kwan Jit, sekalipun dia cuma memiliki sebelah tangan. Ong Siau-sik tak sanggup bergerak, tak berani bergerak. Begitu juga halnya dengan Pek Jau-hui, perasaannya ikut bergetar keras, dia terlebih tak berani bertindak secara gegabah. Suasana pun berubah menjadi membeku kaku, yang terdengar hanya suara kutungan tangan Kwan Jit yang terjatuh ke tanah persis di hadapan Lui Tun serta suara tetesan darah yang mengalir deras dari lukanya itu. Menyaksikan semua itu Lui Tun ingin sekali menangis. Begitu banyak darah yang berceceran di lantai. Begitu mengerikan dan menakutkan suasana dalam arena pertarungan! Tapi dia pun tak berani bergerak. Ia kuatir teriakannya akan membuat gusar Kwan Jit, bila amarahnya sampai berkobar, kemungkinan besar Kwan Jit akan membunuh So Bong-seng. Sayang sekali walaupun dia dapat menahan diri untuk tidak berteriak, seorang yang lain telah mewakilinya menjerit. "Aduh, celaka!" jerit Un Ji sambil menutupi wajah sendiri. Setiap wanita mengapa selalu melakukan tindakan atau perbuatan yang tak bermanfaat di saat keadaan sedang gawat, terancam bahaya kematian dan kritis? Pek Jau-hui betul-betul tak habis mengerti. Ong Siau-sik merasa jantungnya nyaris copot mendengar jerit melengking Un Ji itu. Dia seakan-akan menyaksikan otot hijau di punggung tangan Kwan Jit mulai menonjol keluar. Dia pun seakan menyaksikan otot hijau di jidat So Bong-seng ikut menonjol keluar. Akan tetapi tangan Kwan Jit sama sekali tidak melanjutkan gerakannya. "Sudah kubilang," kata Kwan Jit sambil tertawa, darah masih meleleh keluar dari sela-sela giginya, menodai deretan giginya yang putih bersih, "Aku tak akan menerima kebaikanmu." Kemudian ia menarik tangannya secara tiba-tiba, membuyarkan hawa pedangnya.

"Sekarang aku bayar hutang kebaikan yang telah kau berikan kepadaku," katanya, "kali ini aku pun tak akan membunuhmu, mulai sekarang kita berdua sama-sama sudah tidak berhutang lagi." Ternyata begitu saja dia bebaskan So Bong-seng. Selama beberapa tahun terakhir, entah sudah berapa banyak orang yang ingin membunuh So Bong-seng. Sebab dengan membunuh So Bong-seng, sama halnya dengan memusnahkan Kim-hong-si-yu-lau, saat itu dia akan menguasai seluruh kotaraja. Tapi kini Kwan Jit telah membebaskan dia begitu saja, melepaskan kesempatan emas itu begitu saja. Bahkan demi keberhasilannya menangkap So Bong-seng, dia tak segan mengorbankan sebuah tangannya! So Bong-seng tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menggunakan tangannya yang tidak dipakai untuk menggenggam golok dan meraba tengkuk sendiri, sepasang matanya masih tetap memancarkan sinar api yang menggidikkan, tiada rasa girang, tiada rasa sedih, yang ada hanya kobaran api tanpa nama. Sementara itu Kwan Jit sembari menotok beberapa buah jalan darah di lengan kirinya, ia berkata kepada Lui Tun, "Hari ini tanganku tinggal sebelah, aku tak bisa membawamu pergi lagi, kau pasti akan dibawa pergi orang lain Ia tidak meneruskan perkataannya, setelah berpekik nyaring secara tiba-tiba, terusnya, "Tapi aku bersumpah akan datang lagi di kemudian hari, datang untuk menjemputmu, tunggu saja kedatanganku!" Begitu selesai berkata, sekali lagi dia melancarkan serangan ke arah So Bong-seng. Biarpun tangannya tinggal sebelah, namun serangannya tetap menggila, pukulannya tetap kalap. Agaknya So Bong-seng sudah menduga akan datangnya serangan itu, ia segera miringkan badan untuk menghindar. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik tidak tinggal diam, serentak mereka melancarkan serangan untuk mendukung saudaranya. Tiba-tiba Kwan Jit melejit ke tengah udara. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik kuatir dia bermaksud mengejar gadis itu lagi, satu dari kiri dan yang lain dari kanan, cepat mereka melambung ke udara dan menggencet tubuh lawan dengan serangan golok, pedang dan jari. Kwan Jit tetap melambung, dengan tangan sebelah dia melancarkan hawa pedang, ketika menghadapi gempuran di tengah udara, tiba-tiba Kwan Jit berjumpalitan dengan kepala di bawah kaki di atas, dia melakukan satu gerakan yang sangat aneh. Perubahan ini membuat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui jadi kebingungan, untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus menghadapinya, terpaksa mereka melayang turun kembali, kini mereka baru sadar, ternyata mereka semua telah berada di mulut jalan.

Kwan Jit berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, setelah bersalto tujuh kali dia baru melesat menuju ke sudut jalan dan melayang turun ke bawah. Ternyata di ujung jalan sana telah duduk menanti seseorang. Orang itu berbaju putih, dia sedang duduk santai di atas sebuah kursi malas yang terlihat empuk dan nyaman. Orang berbaju putih itu duduk dengan kepala tertunduk sehingga siapa pun tak dapat melihat dengan jelas raut wajahnya. Lebih kurang tujuh depa di hadapan orang itu, terletak sebuah peti mati. Sebuah peti mati bercat hitam yang tampaknya sudah kelewat kuno, bentuknya jauh lebih besar daripada peti mati biasa. Paras muka Kwan Jit waktu itu nampak hijau membesi, terlihat menyeramkan sekali. Mimik mukanya juga nampak amat ketakutan, bukan takut kepada orang berbaju putih yang sedang duduk di kursi malas itu, tapi takut terhadap peti mati itu! Peti mati apakah itu sebenarnya? Mengapa bisa membuat Kwan Jit yang tak takut langit tak takut bumi kini justru menunjukkan perasaan jeri dan takut yang luar biasa? Ong Siau-sik berpaling memandang Pek Jau-hui, sebaliknya Pek Jau-hui berpaling memandang So Bong-seng. Mereka semua tahu kalau manusia berbaju putih yang duduk dengan kepala tertunduk itu tak lain adalah Ti Hui-keng dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi mereka tak tahu dimana letak kehebatan peti mati itu sehingga dapat menimbulkan perasaan takut bagi Kwan Jit. Namun ketika mereka saksikan mimik muka So Bong-seng, kedua orang pemuda itu semakin tercekat dibuatnya. Ketika jatuh ke tangan Kwan Jit tadi, mimik muka So Bong-seng masih terlihat sangat tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu apa pun, tapi sekarang, setelah melihat peti mati itu, dia nampak berkerut kening bahkan mulai memperlihatkan perasaan kuatirnya. Bukan hanya dia, bahkan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui juga melihat bahwa Ti Hui-keng yang duduk di kursi malas pun menunjukkan sikap yang luar biasa hormatnya terhadap peti mati itu. Padahal peti itu hanya sebuah peti mati biasa. Sama sekali tak ada alasan bagi mereka untuk merasa takut dan hormat terhadap sebuah peti mati, kecuali.... Mungkinkah di dalam peti mati itu terdapat penghuninya? Mungkinkah penghuninya adalah seseorang yang pantas ditakuti dan dihormati? Tapi siapakah dia? Mengapa bisa membuat seluruh tokoh persilatan yang di hari biasa tak takut langit tak takut bumi, kini justru memperlihatkan perasaan takut, jeri dan hormatnya? AKHI R DARI BUKU 2

(B ersamb ung K e Jilid 3) 43 . Pasuka n bubar sebelu m barisan terbent uk Kwan Jit menjejakkan* kakinya bergeser dua setengah langkah ke sisi kiri. Ketika berada di tengah arena pertarungan tadi, dia hanya tahu maju terus pantang mundur, sekalipun demi melarikan diri, dia tetap menyerbu maju terus dan berusaha menjebol pertahanan lawan dengan cara apa pun, tapi sekarang hanya gara-gara sebuah peti mati, ternyata dia mundur sampai sejauh dua setengah langkah. Lalu dia bergeser lagi sejauh tiga depa, setelah itu tidak berusaha mundur atau kabur. Terdengar ia berpekik nyaring, dengan menyalurkan hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk melindungi seluruh badan, dia menghindar dari hadapan peti mati itu dan langsung kabur menuju ke mulut jalan. Di tengah mulut jalan terlihat berdiri seseorang. Dia tak lain adalah Ti Hui-keng yang nampak lemah lembut bagaikan seorang sastrawan. Ti Hui-keng yang menundukkan terus kepalanya. Ti Hui-keng yang selalu duduk, Ti Hui-keng yang pucat Serangannya dari bentuk bunga teratai hingga bentuk pedang, kadang perlahan kadang cepat, seakan tenaga sang Bud-dha yang sedang menyebar ke bumi dan memberi kekuatan ke seluruh jagat. Tapi di balik cahaya suci, terselip tenaga pembunuh yang disertakan dalam jurus ilmu sembilan huruf. Seandainya Kwan Jit masih mempunyai dua buah tangan, mungkin dia sanggup menandingi serangan itu. Tapi keadaan Kwan Jit saat ini sudah berada di ujung tanduk, jiwanya sudah terancam bahaya maut. Tanpa terasa Ong Siau-sik mulai menguatirkan keselamatan Kwan Jit. Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang bergema di angkasa, semacam suara seorang bergumam. "Bila aku dapat menyembuhkan orang, orang akan disembuhkan olehku, bila aku tak dapat menyembuhkan orang, aku akan disembuhkan orang," tentu saja suara itu berasal dari Kwan Jit, "bila aku dapat menaklukkan iblis, iblis akan kutak-lukkan, bila aku tak dapat menaklukkan iblis, aku yang akan ditaklukkan iblis Mendengar ucapan itu perasaan Ong Siau-sik tergerak, mendadak ia terperanjat. Yang membuatnya terperanjat adalah di saat dan keadaan seperti ini ternyata Kwan Jit masih mengoceh dengan kata-kata yang membingungkan, bergumam seorang diri, yang membuat perasaannya tergerak adalah dalam keadaan dan situasi seperti ini Kwan Jit masih bisa bergumam. Hal ini menandakan Kwan Jit belum kalah! Dia bahkan sama sekali tidak menunjukkan gejala akan kalah.

Jika seseorang berada dalam keadaan bahaya namun masih bisa memecah perhatian mengurusi hal lain, keadaan ini menunjukkan dia masih menguasai keadaan. Sementara Ong Siau-sik memikirkan hal ini, mendadak terdengar suara teriakan keras diiringi dua sosok bayangan manusia saling berpisah dari balik hujan. Lui Sun berdiri sambil memegangi dada, wajahnya terlihat mengejang, agak terbungkuk dia mundur sejauh tujuh delapan langkah, setelah tiba di depan peti mati itu, mendadak seakan mendapat tambahan kekuatan baru, dia berdiri kembali dengan badan tegap. Waktu itu hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi yang memancar keluar dari tubuh Kwan Jit semakin membara. Saat itulah So Bong-seng menyerbu ke depan sambil membentak nyaring, "Lihat golok!" Kwan Jit membalikkan badan, hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi dengan membentuk segulung cahaya tajam langsung menyongsong datangnya cahaya golok itu. So Bong-seng berteriak keras, tubuhnya terlihat gontai disusul kemudian ia mulai terbatuk-batuk dengan keras. Darah yang semula membasahi lengan Kwan Jit yang kutung kini sudah mulai tersapu bersih oleh guyuran air hujan, sebaliknya cahaya pedang yang ada di lengan kanannya justru terlihat bertambah cemerlang. Ia tertawa sinis, teriaknya, "Aku akan menerjang keluar, aku pasti dapat menerjang keluar Sekali lagi Pek Jau-hui melancarkan serangan dengan ilmu jari Sam-ci-tan-thian, Kwan Jit tertawa seram, hawa pedangnya dialihkan ke arah pemuda itu, Pek Jau-hui segera merasa angin serangannya terpapas oleh hawa pedang yang tajam itu, terpaksa sambil bertarung dia mundur terus hingga sampai di sisi peti mati. Begitu mendekati peti mati itu, tiba-tiba Kwan Jit menghentikan langkahnya. Saat itulah Ong Siau-sik mengayunkan golok dan pedannya sambil melancarkan serangan, di sisi lain So Bong-seng dan l.ui Sun sekali lagi maju mengembut. "Naik ke langit masuk ke bumi, aku tiada tandingan jerit Kwan Jit sambil tertawa seram. Mendadak terdengar suara guntur menggelegar di ujung langit, sekilas cahaya tajam tampak membelah kegelapan angkasa dan menusuk ke hadapan Kwan Jit bagaikan tusukan ujung tombak. Kwan Jit meraung keras, sekali lagi dia gunakan hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi untuk melindungi sekujur badannya. "Blaaaam!", ledakan keras menimbulkan cahaya terang yang menyilaukan mata. Sekujur tubuh Kwan Jit terlihat gemetar keras, sambil membalikkan badan ia lepaskan sebuah tusukan, langit pun kembali dicekam kegelapan. "Tiada tandingan jerit Kwan Jit dengan suara yang menyeramkan, "tiada tandingan di kolong langit..." Tatkala sambaran petir menyambar ke ujung jalan, ternyata dia melancarkan sebuah tusukan balasan ke arah langit.

"Mampus aku jerit Kwan Jit ketika sebuah sambaran petir kembali menyambar ke arahnya. Dalam pada itu secara diam-diam Lui Sun sudah menyelinap ke sisi tubuh Kwan Jit, dengan jurus cepat ilmu sembilan hurufnya dia menusuk jalan darah kematian di tubuh lawannya. Baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba melintas cahaya golok dan pedang. Golok itu milik Ong Siau-sik, pedang pun miliknya. Dia hanya menghambat datangnya serangan kilat itu, memunahkan ancaman kematian yang diarahkan ke tubuh Kwan Jit. Dalam waktu sekejap Kwan Jit sudah pergi, tubuhnya sudah lenyap di balik hujan. Selapis kabut tebal menyelimuti ujung jalan, membuat suasana yang sudah suram terasa lebih menyesakkan napas. "Lukanya sangat parah di tengah hujan So Bong-seng menyeka noda darah yang membasahi bibirnya, "gara-gara menyerang angkasa dengan hawa pedangnya, ia disambar petir, mungkin tubuhnya akan cacad ... tapi kita tetap tak mampu menghalanginya, ai... Kwan Jit memang hebat!" "Ya, Kwan Jit memang hebat!" puji Pek Jau-hui pula de¬ngan perasaan masih berdebar keras, berdebar lantaran terperanjat. Di pihak lain, Lui Sun sedang melotot gusar ke arah Ong Siau-sik sambil menegur, "Mengapa kau menghalangi aku untuk membunuhnya?" "Karena tidak adil!" "Mengapa tidak adil?" "Kita berjumlah banyak sementara dia hanya seorang," jawab Ong Siau-sik cepat, "apalagi dia sudah disambar geledek, jika kita membunuhnya dalam keadaan seperti ini, jelas perbuatan ini bukan perbuatan seorang Enghiong!" "Bagus! Bagus sekali," Lui Sun tertawa keras, "sekarang kau boleh berlagak jadi Enghiong, jadi Hohan! Tunggu saja bila suatu hari nanti ia muncul kembali, membunuh kita satu per satu, akan kulihat adakah Enghiong Hohan yang masih bisa hidup selamat!" Ia berpaling ke arah So Bong-seng, kemudian lanjutnya, "Saudaramu yang hebat ini telah menghancurkan semua jerih payah kita dalam menyusun rencana untuk membunuh Kwan Jit linu memusnahkan perkumpulan Mi-thian-jit-seng!" "Hmmm, apa yang dilakukan saudaraku sama seperti apa yang kulakukan, kami tak berbeda," jawab So Bong-seng dingin. "Baik, baiklah," teriak Lui Sun jengkel, "kalian telah membebaskan Kwan Jit, aku pun tak akan banyak bicara, toh yang memotong tangannya bukan aku." "Kau tak usah kuatir," tukas So Bong-seng ketus, "sekarang pikiran Kwan Jit bertambah tidak waras, pukulan yang bertubi-tubi sudah membuat dia bertambah sinting, ditambah pula cahaya

pedangnya kelewat berkilauan hingga mengundang sambaran petir, biarpun tak mati, tenaga dalamnya sudah sulit untuk dipulihkan kembali seperti sedia kala." "Bila ingin membabat rumput seharusnya cabut seakar-akarnya," mendadak Pek Jau-hui berkata, "kenapa kita tidak segera berangkat melakukan pengejaran?" "Tidak bisa," cegah So Bong-seng. "Kenapa?" "Apa tidak kau lihat kabut hujan itu Meskipun hujan sudah makin mereda, namun selapis kabut hujan yang amat tebal masih menyelimuti wilayah di depan sana, bahkan semakin menggumpal dan tak bergerak. "Jangan-jangan hujan itu ... hujan itu adalah ... Yan-hi-bong-bong (Hujan gerimis bagai kabut) bisik Pek Jau-hui kaget. Ketika menyinggung soal hujan gerimis bagai kabut, dia terlihat sangat tegang, seolah sedang membicarakan hal yang sangat menakutkan. "Benar, itulah Yan-hi-bong-bong," sahut So Bong-seng dengan suara berat, "ada orang mengundang datang jago tangguh dori keluarga Tong, tampaknya jagoan dari Suchuan ini khusus diundang untuk melindungi jalan mundurnya." "Aku rasa kejadian ini sepertinya bukan perbuatan Kwan Jit," tiba-tiba Lui Sun menyela. "Benar, Kwan Jit tak pernah mempersiapkan jalan mundur bagi dirinya." "Dan Kwan Jit belum pernah melarikan diri." "Oleh sebab itu pasti masih ada orang lain yang sedang menyambut dirinya di sana," timbrung Ti Hui-keng yang berada di kejauhan tiba-tiba, "ini membuktikan bahwa di belakang perkumpulan Mithian-jit-seng masih ada orang lain, menurut dugaanku, jika kekuatan semacam ini tidak cepat dibasmi, di kemudian hari mereka akan menjadi kanker paling jahat di kotaraja." "Untung kita telah membasmi dirinya," sambung Lui Sun. Ti Hui-keng berpikir sejenak, kemudian katanya lagi, "Walaupun belum sampai mencabut rumput seakar-akarnya, namun untuk memulihkan kembali kekuatan mereka seperti sedia kala, rasanya hal ini bukan sesuatu yang gampang." "Hahaha, tak disangka kerja sama Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk pertama kalinya telah berhasil menciptakan satu peristiwa besar." Perkataan Lui Sun ini jelas berniat menjalin hubungan baik dengan So Bong-seng. Namun So Bong-seng tidak menanggapi, dia hanya menyahut, "Sayang, masih ada setumpuk urusan lain yang sedang menanti." Ketika dia membalikkan badannya, dari enam orang rasul kini tinggal tersisa empat orang, yaitu Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng.

Sementara Sengcu kelima dan Sengcu keenam sudah melarikan diri sejak Kwan Jit masih bertarung sengit melawan So Bong-seng tadi. Tiba-tiba terdengar Ti Hui-keng berseru lantang, "Teman-teman perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bersembunyi di sekitar sini, kalian sudah tak punya pilihan lain lagi, karena sekitar sini sudah dikepung rapat oleh tiga ratus empat puluh lima orang jago Kim-hong-si-yu-lau dan tiga ratus tiga puluh tujuh orang anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kalian hanya bisa menyerah atau tewas di tempat ini." "Bagi yang bersedia menyerah, kalian punya dua pilihan, bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau atau perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Dari balik sebuah pintu rumah di tepi jalan berjalan keluar seorang, dia adalah Yo Bu-shia. "Tentu saja kalian pun boleh setia sampai mati pada perkumpulan Mi-thian-jit-seng, tapi kalian mesti ingat, biar Sengcu kalian pun tahu bahwa lelaki yang pintar adalah lelaki yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ..." Mendadak dari dalam sakunya Gan Hok-hoat mengeluarkan sebuah seruling besi, kemudian ditiupnya seruling itu hingga mengeluarkan suara yang amat keras dan tajam. Cu Siau-yau memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian berpikir sejenak, akhirnya dia pun mengeluarkan sebuah seruling bambu dan ditiupnya keras pula. Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng saling pandang sekejap, kemudian masing-masing mengeluarkan sebatang seruling kasar dan seruling panjang, lalu ditiupnya tiga kali. Serentak para jago perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bersembunyi di sekeliling jalanan bermunculan dari tempat persembunyiannya, sekalipun berada dalam kondisi terkepung rapat, namun kawanan manusia itu masih nampak gagah dan gesit, jumlah mereka sekitar dua ratusan orang. Setelah berdehem beberapa kali, Gan Hok-hoat berseru, "Aku adalah Toa-sengcu kalian, barusan Jit-sengcu telah menderita luka parah hingga kalah dan tewas "Dia hanya terluka, belum kalah, belum juga tewas," tukas So Bong-seng mendadak. "Akan tetapi Jit-sengcu sudah tidak berada di sini, otomatis perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah bubar. Aku sendiri sebetulnya adalah anggota Kim-hong-si-yu-lau yang dikirim So-kongcu menjadi mata-mata di perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Dalam perundingan yang diselenggarakan So-kongcu dengan Lui-congtongcu kali ini, mereka telah memutuskan hendak membasmi perkumpulan Mithian-jit-seng terlebih dulu kemudian baru membicarakan syarat perdamaian, untuk memperlancar rencana ini, hari ini kami pun gunakan nona Lui sebagai umpan untuk memancing Kwan Jit masuk perangkap, kemudian baru turun tangan membasminya." Cu Siau-yau tertawa, senyumannya amat tipis dan sinis, seakan memandang rendah orang lain, seperti juga sedang menertawakan diri sendiri, sambil menuding ke arah Gan Hok-hoat katanya, "Aku pernah berhutang budi kepadanya, banyak hutang kebaikan kepadanya, apa yang ia kerjakan selalu akan kudukung, oleh sebab itu aku pun anggota Kim-hong-si-yu-lau." Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng kembali saling bertukar pandang sekejap, setelah itu dengan suara lantang Jin Kui-sin berseru, "Kami sebenarnya adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong. " "Oleh sebab itu mulai sekarang kami akan mengkhianati perkumpulan Mi-thian-Jit-seng," sambung Liu Cong-seng dengan suara nyaring.

"Nona, maafkan kekasaran kami tadi," ujar Jin Kui-sin kemudian kepada Lui Tun, "kami hanya menjalankan perintah dari Ti-toatongcu, sebab kalau tidak berbuat begitu, kami tak bisa menunjukkan kalau kungfu kami jauh di bawah orang, Ngo-sengcu dan Lak-sengcu pun tak akan mengundang bantuan dari Kwan Jit, jika Kwan Jit tidak muncul di sini, semua rencana kita pun tak dapat terlaksana." "Mulai sekarang kami sudah memulihkan kembali identitas yang sebenarnya," sambung Liu Congseng cepat, "sebetulnya kami berdua adalah utusan kiri dan kanan perkumpulan Lak-hun-poantong, oleh sebab itu bila kalian ingin bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, silakan segera menggabungkan diri." Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya berdiri bersanding tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pertarungan yang berlangsung tadi meski sangat sengit, dalam pertarungan itu meski mereka sempat terluka, namun pertempuran itu tetap meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka berdua. Namun sekarang ada perasaan aneh tiba-tiba muncul dalam hati kecil mereka berdua, bahkan membawa sedikit perasan mengganjal. Hingga kini mereka baru sadar, seluruh operasi yang dilakukan selama ini sebenarnya hanya merupakan satu bagian dari sebuah rencana besar, termasuk segala perubahan yang tampaknya sudah diperhitungkan secara masak. Bukan saja mereka berdua sama sekali tidak menyadari akan hal ini, sebagian besar mereka yang hadir pun sudah dilibatkan tanpa mereka sadari. Atau dengan perkataan lain, mereka berdua sebenarnya hanya merupakan dua bidak yang dijalankan oleh suatu perencanaan yang matang dan sempurna. ooOOoo 44. Angku h dan me nahan ma lu Begitu Liu Cong-seng, Jin Kui-sin, Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat selesai bicara, para jago perkumpulan Mi-thian-jit-seng jadi kebingungan sendiri, untuk sementara mereka tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba terdengar seorang meludah dengan suara keras. Begitu semua orang berpaling, maka terlihatlah Tan Cian-kui sedang meludah ke tanah sambil berkata sinis, "Cuhh! Kamu itu terhitung manusia macam apa! Jit-sengcu masih hidup pun kalian sudah berani memberontak, pandai melihat arah angin, pandai jadi bunglon ... Hmmm! Saudarasaudaraku yang setia kawan dan berjiwa ksatria, inilah saatnya bagi kalian untuk menunjukkan kesetiaanmu kepada Sengcu!" Begitu ia berteriak, sekawanan jago dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng segera memperlihatkan rasa malu dan sesalnya, bahkan Liu Cong-seng dan Cu Siau-yau pun menundukkan kepalanya tanpa terasa. Dengan gusar Gan Hok-hoat segera menghardik, "Tan-toucu, kau sudah bosan hidup!" "Gan-toasengcu, terus terang saja aku berkata," ujar Tan Cian-kui dengan lantang, "siapa sih yang selama beberapa tahun terakhir hidup berkecukupan? Siapa yang sandang pangannya selalu terjamin? Biarpun aku orang she Tan hidup dalam kegelapan, akan tetapi hati dan pikiranku jauh

lebih jelas dari cahaya matahari, ada sementara urusan aku lebih suka memilih jalan kematian daripada hidup." Kemudian dengan suara keras teriaknya kepada para pengikuti perkumpulan Mi-thian-jit-seng, "Rekan-rekan yang merasa punya darah lelaki, punya jiwa ksatria, mereka yang menganggap dirimu mengalir jiwa dan semangat Kwan Jit-sengcu, silakan berdiri di pihakku, mari kita angkat senjata bersama, paling tidak kita mesti menunjukkan kepada mereka bahwa dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng masih ada manusia yang bersedia menjaga nama baik dan mempertahankan martabat perkumpulan." Begitu perkataan itu diutarakan, puluhan orang anggota setia perkumpulan Mi-thian-jit-seng serentak menyeberang dan berdiri di belakangnya. "Tan Cian-kui, kau betul-betul tak tahu diri!" seru Jin Kui-sin gusar. Tan Cian-kui balas tertawa dingin. "Betul, aku memang tak tahu diri, paling tidak aku bukan pengkhianat yang menjual majikan demi keselamatan sendiri!" "Kau Menggunakan kesempatan itu Gan Hok-hoat ikut berseru, "Bagi mereka yang ingin meninggalkan jalan gelap dan kembali ke jalan terang, bergabunglah dengan Kim-hong-si-yu-lau, kami akan menyambut penggabungan kalian, datang dan berdiri saja di barisanku." Sebenarnya Jin Kui-sin ingin menghadapi dulu Tan Cian-kui, tapi menyaksikan Gan Hok-hoat sudah mulai berkampanye untuk mencari pendukung, dia tak ingin ketinggalan, apalagi kalau sampai ditegur Lui Sun atau Ti Hui-keng, maka lekas serunya pula, "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong membuka pintu lebar-lebar, kami mengutamakan mereka yang berbakat dan merasa punya kemampuan, silakan berdiri di pihakku, kami tak akan mempermasalahkan dosa dan kesalahan lama." Tak selang berapa saat kemudian dari kedua ratusan orang anggota perkumpulan Mi-thian-jitseng, ada seratus orang yang menyeberang ke sisi Jin Kui-sin dan seratusan yang lain berpihak ke barisan Gan Hok-hoat. Padahal jauh sebelum terjadinya pertempuran hari ini, di dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah terbagi jadi tiga aliran, Toa-sengcu Gan Hok-hoat dan Ji-sengcu Cu Siau-yau berdiri sebagai satu aliran, sementara Sam-sengcu Jin Kui-sin dan Su-sengcu Liu Cong-seng berdiri sebagai aliran lain, kelompok yang benar-benar setia sampai mati terhadap Kwan Jit se¬sungguhnya tak sampai satu bagian saja. Ketika Kwan Jit mendirikan perkumpulan Jit-seng-beng (persekutuan tujuh rasul), sebetulnya kekuatan organisasi ini sangat kuat, pengaruhnya amat luas, jauh mengungguli perkumpulan Lakhun-poan-tong, namun kemudian ketika Lui Sun naik dan memegang pimpinan, apalagi setelah dia menikah dengan adik kandung Kwan Jit yakni Kwan Siau-te, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru semakin meningkat, saat itu kelompok ini menjadi orang kepercayaan perkum¬pulan Mi-thian-jit-seng. Pada saat itulah tiba-tiba Kwan Jit menjadi linglung, setiap hari mengurung diri dalam kotak besinya sambil mengoceh tiada habisnya, tingkah lakunya jadi semakin aneh bahkan sebentar marah sebentar gembira, akibatnya urusan partai semakin tak diurusi, yang lebih parah lagi karena urusan kecil dia kerap kali melakukan pembunuhan, akibatnya banyak anak buah setianya seperti

Ji-sengcu Kim-bin-siu (hewan berwajah emas) Kwan Cin, Ngo-sengcu Kay-sim-sin-sian (dewa riang) Lu Po-kim, Lak-sengcu Tok-jiu-mo-sim (Mo Sim bertangan iblis) Thio Hun-yan tewas dibantai olehnya. Untuk menutup kekosongan itu, akhirnya masuklah Cu Siau-yau sekalian menjadi Sengcu perkumpulan itu. Akibat dari semua ini, kekuatan dan daya pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong makin hari semakin bertambah kuat, sebaliknya kekuatan perkumpulan Mi-thian-jit-seng semakin merosot dan melemah, sejak tujuh delapan tahun berselang persekutuan tujuh rasul pun berubah menjadi sebuah organisasi bawah tanah yang sangat rahasia. Melihat ada peluang yang sangat baik ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong segera melakukan pengejaran dengan maksud membasmi perkumpulan Mi-thian-jit-seng dari muka bumi, tapi pada saat bersamaan So Bong-seng dengan Kim-hong-si-yu-lau mulai berkibar daya kekuatannya. Untuk membendung semakin meluasnya pengaruh Kim-hong-si-yu-lau, terpaksa perkumpulan Lakhun-poan-tong harus' mengubah targetnya dengan mengalihkan segenap kekuatannya. Dengan beralihnya target perkumpulan Lak-hun-poan-tong, perkumpulan Mi-thian-jit-seng pun mendapat kesempatan untuk bertahan terus, sayang kekuatan mereka tak pernah bisa bangkit kembali, setiap hari Kwan Jit hanya mengurung diri bagaikan orang sinting, sementara urusan partai diserahkan pelaksanaannya kepada Ngo-sengcu dan Lak-sengcu. Akibat kurang tegaknya disiplin dan peraturan, kerap kali anak buah perkumpulan Mi-thian-jit-seng melakukan perbuatan jahat dan terkutuk dalam dunia persilatan, dimana pada akhirnya mereka mengalihkan sasaran untuk menculik Lui Tun dengan mengirim Toa-sengcu dan kawan-kawan, dan terjadilah peristiwa yang berakibat hancurnya partai itu. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama beberapa bulan belakangan pengaruh perkumpulan Mi-thianjit-seng dalam kotaraja menunjukkan peningkatan, banyak jago-jago kosen yang menggabungkan diri dengan partai itu, bahkan banyak anggotanya yang mulai bermunculan di situ. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang saling gontok segera menyadari akan kehadiran mereka, meski sekilas orang mengira mereka masih saling menyerang, padahal Lui Sun maupun So Bong-seng bukan jago sembarangan. Mereka tak pernah mengabaikan kehadiran perkumpulan Mi-thian-jit-seng, bahkan mereka pun cukup paham sejauh mana kepandaian silat yang dimiliki Kwan Jit. "Dalam hal kepandaian silat, aku tidak kuatir dengan Lui Sun, tapi takut dengan peti mati itu," So Bong-seng pernah berkata begitu kepada Kwik Tang-sin, "seandainya dalam beberapa tahun terakhir Kwan Jit tidak sinting dan linglung, sebenarnya dialah musuh kita yang paling menakutkan." "Tapi kenyataan, status dan kungfu yang dimiliki Ti Hui-keng jauh lebih berbahaya dan penuh misterius," Kwik Tang-sin menanggapi, "meski kekuatan di belakang Kwan Jit membikin kita makan tak enak tidur pun tak nyaman." Maka So Bong-seng pun memutuskan untuk menyingkirkan perkumpulan Mi-thian-jit-seng terlebih dulu. Hanya dalam kondisi kekuatan perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah tersingkir dari depan mata, mereka baru bisa menghadapi perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan perasaan lega dan bertarung habis habisan.

Jalan pikiran itu ternyata sepaham dengan jalan pikiran Lui Sun. "Sebelum bertarung habis-habisan melawan kekuatan Kim-hong-si-yu-lau, kita harus membasmi dulu kekuatan Kwan Jit," Ti Hui-keng pun pernah berkata demikian kepada Lui Sun, "sebesar apa pun kekuatan dan pengaruh seseorang, perselisihan antara sang Lotoa dengan Loji pasti akan melibatkan Lo-sam, oleh karena itu yang mendapat untung akhirnya adalah Lo-sam, sekali Lo-sam mendapat untung, dia akan berubah menjadi Lo-ji, sebaliknya meski kita menang pun, Lo-sam tetap akan menjadi ancaman bagi kita, maka mumpung kekuatan inti kita belum terluka parah, lebih baik kita singkirkan dulu pihak ini agar tidak menjadi bibit bencana di kemudian hari, seandainya kita kalah dan kehabisan kekuatan, padahal dulu kitalah yang telah merampas posisi dan pengaruh Kwan Jit, bayangkan sendiri, mana mungkin dia akan melepaskan kita begitu saja?" "Tapi Kwan Jit sudah sinting, sudah linglung!" Lui Sun beralasan begitu. "Sinting atau linglung bukan berarti mati," Ti Hui-keng menerangkan, "malah terkadang orang sinting mirip seseorang yang menderita kekalahan, walaupun sudah kalah masakah tak ingin bangkit pada suatu ketika? Kalau sudah sinting atau linglung, memangnya tak mungkin kesadarannya pulih kembali?" Maka Lui Sun pun melakukan kesepakatan rahasia dengan So Bong-seng. Kesepakatan mereka adalah menyingkirkan dulu perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan membunuh Kwan Jit! Dalam hal ini, mereka dapat melakukannya secara jelas dan tuntas. Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin adalah orang kepercayaan Kwan Jit di masa lalu, mereka sangat tidak puas ketika melihat Kwan Jit yang linglung dan sinting lebih percaya kepada orang lain ketimbang pada orang sendiri, kalau Liu Cong-seng masih teguh imamnya dan tak gampang berubah pikiran, beda dengan Jin Kui-sin yang sudah lama merasa tak puas, dia lebih mudah disuap, apalagi Liu Cong-seng memang satu komplotan dengan dirinya. Maka secara diam-diam Lui Sun mengirim Ti Hui-keng untuk melakukan kontak rahasia dengan Jin Kui-sin dan menga jak mereka berdua untuk bergabung. Jin Kui-sin yang merasa tak puas dengan Kwan Jit karena lebih mempercayai Ngo-sengcu dan Laksengcu ketimbang mereka berdua, tentu saja menyambut baik tawaran Lui Sun ini, maka Liu Cong-seng yang memang akrab dengan Jin Kui-sin pun akhirnya menyetujui rencana rekannya ini. Di pihak lain So Bong-seng telah mengutus Yo Bu-shia untuk bergabung menjadi anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng, sejak awal Yo Bu-shia sudah mengincar Gan Hok-hoat. Meskipun Gan Hok-hoat adalah Toa-sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng, namun kenyataannya dia tidak memiliki pe¬ranan yang besar, ketika menyaksikan pengaruh dan kekuatan partainya kian lama kian bertambah lemah dan goncang, ia me¬rasa amat tidak puas dan sangat tidak rela dengan keadaan itu. Jelas Gan Hok-hoat adalah seorang jago yang pintar, kalau bukan orang cerdas tak mungkin dia tetap bertahan menjadi Toa-sengcu di perkumpulan Mi-thian-jit-seng, walaupun sudah ia saksikan bagaimana Ngo-sengcu Lu Po-kim dan Lak-sengcu Thio Hun-yan tewas dicelakai Kwan Jit. Sebagai orang yang cerdas, tentu saja dia pun tahu hidup selanjutnya justru merupakan persoalan yang paling penting. Orang pintar biasanya lebih takut mati, sebab hanya orang pintar yang tahu hidup dengan cara apa baru terhitung hidup yang nyaman.

Sebagai orang yang sangat memperhatikan kenyamanan hidup, biasanya dia punya pikiran tamak, punya tujuan tertentu. Yo Bu-shia sangat memahami kelemahan manusia seperti ini, maka dengan tehnik yang jitu ia berhasil membeli Gan Hok-hoat agar mau berpihak kepadanya. Di samping jtu dia pun dapat melihat bahwa Gan Hok-hoat satu komplotan dengan Ji-sengcu Cu Siau-yau, asal ia dapat menaklukkan Gan Hok-hoat, secara otomatis Cu Siau-yau pun akan berpihak kepadanya. Ternyata perhitungan Yo Bu-shia sangat tepat. Maka Gan Hok-hoat serta Cu Siau-yau pun menjadi mata-mata Kim-hong-si-yu-lau yang menyusup ke dalam jaringan perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Dengan dukungan kedua orang inilah maka muncul kesepakatan di loteng Sam-hap-lau. Dengan Lui Tun sebagai umpan, mereka memancing terjadinya pertarungan dalam skala kecil di situ hingga memancing kemunculan Kwan Jit, begitu sasaran muncul di arena, maka mereka pun segera melancarkan serangan mematikan, mereka berusaha membasmi Kwan Jit dari muka bumi. Siapa sangka Kwan Jit berhasil melarikan diri dari kepungan kendatipun dengan membawa luka yang cukup parah. Namun dalam melaksanakan rencana penumpasan terhadap Kwan Jit ini, baik Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama-sama berusaha mengamati kekuatan masingmasing, kerja sama bukan berarti permusuhan di antara mereka memudar. Karena persoalan ini So Bong-seng justru mendapat tambahan dua kekuatan besar yaitu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. Dia justru memanfaatkan kesempatan ini untuk menyeim-bangkan kekuatan dari Kim-hong-si-yulau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bahkan memerintahkan Pek Jau-hui berdua untuk menculik Lui Kun dan membunuh Lui Heng. Dia sendiri dengan posisi sebagai komando tertinggi Kim-hong-si-yu-lau, bersama dengan Lui Sun sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun, hingga Kwan Jit muncul untuk menangkap Lui Tun, mereka baru menyergap loteng Sam-hap-lau dan menyelesaikan rencana besar mereka. Sekarang masalahnya tinggal penyelesaian serta mengumpulkan anggota baru. Membunuh hanya cara yang bisa dilakukan bila terpaksa, sebab tindakan seperti ini merupakan semacam tindak penghancuran. Yang penting dalam keadaan begini adalah menghimpun tenaga baru, sebab kekuatan baru justru merupakan penunjang yang amat penting untuk berlangsungnya sebuah perkumpulan. Ditinjau dari situasi saat ini, dari pasukan inti yang dimiliki perkumpulan Mi-thian-jit-seng, ada empat bagian yang sudah menyeberang ke pihak Kim-hong-si-yu-lau dan empat bagian pindah ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hal ini menunjukkan selama ini secara diam-diam Gan Hok-hoat dan Jin Kui-sin sudah berkampanye untuk mencari pendukung. Waktu itu andai kata Kwan Jit tidak sinting dan mau memperhatikan lebih seksama, semestinya dia segera akan tahu kalau banyak anggota perkumpulannya yang sudah mulai goyah.

Kini tinggal dua bagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang belum mengambil sikap, dimana pada akhirnya satu bagian berpihak ke Tan Cian-kui dan siap bertarung sampai titik darah penghabisan, satu bagian yang tersisa menjadi pasukan tak punya pendirian, mereka tak ingin bergabung, tak ingin mengadu nyawa, namun mau kabur pun tak berani hingga untuk sesaat malah kebingungan sendiri. Tiba-tiba So Bong-seng berkata kepada Yo Bu-shia, "Tahukah kau, aku paling benci terhadap manusia jenis apa?" Tahi lalat yang ada di kening Yo Bu-shia segera bersinar tajam, sahutnya, "Kongcu selalu membenci orang yang senangnya berpijak di atas dua perahu, jadi rumput penghias di atas tembok, mencari muka pada semua pihak, orang yang plin-plan tak punya pendirian." "Betul, kalau ingin setia ya setia, mau berkhianat, cepatlah berkhianat, mau baik mau buruk segera mengambil sikap, jadi orang harus punya pendirian, pilih sesuai dengan suara hati, kalau salah pilih, anggap saja memang salah, kalau betul pilihannya terima saja keadaan, tapi kalau beraninya hanya menjadi kura-kura yang selalu sembunyi kepala, lebih baik dibunuh saja habis perkara!" "Perkataan Kongcu memang tepat sekali!" sahut Yo Bu-shia cepat. Begitu mendengar perkataan So Bong-seng itu, kembali ada beberapa orang yang menyeberang ke pihak Kim-hong-si-yu-lau. Mendadak terdengar Lui Sun berdehem sambil menyapa, "So-kongcu, sampai berjumpa." "Kau sakit pilek?" jengek So Bong-seng. Mula-mula Lui Sun agak tertegun, tapi segera sahutnya, "Berkat Kongcu, selama ini Lohu selalu sehat tanpa penyakit." "Kau punya sakit paru?" kembali So Bong-seng bertanya. Perkataan So Bong-seng ini tak ayal merupakan sebuah sindiran, bahkan lebih mendekati sebuah penghinaan. Ternyata Lui Sun sama sekali tak marah, dia malah menjawab, "Tidak ada!" "Kalau memang begitu, kenapa selalu batuk dulu sebelum berbicara?" Lui Sun tidak menyangka akan pertanyaan itu, untuk sesaat dia tak mampu menjawab. Tiba-tiba Ti Hui-keng menjawab, suaranya lemah seakan tak bertenaga, bicara dengan kepala tertunduk, namun setiap orang dapat mendengar perkataannya dengan jelas, kendatipun saat itu hujan sedang turun. "Sebelum bicara, Congtongcu selalu batuk dulu karena dia menghendaki perhatianmu, dia ingin memberitahu kalau ia sedang mengajakmu berbicara." "Kalau ingin bicara, katakan saja, aku toh bisa mendengarnya, memang kau anggap aku tuli sehingga harus menggunakan suara batuk untuk menarik perhatian? Atau dia tidak punya rasa percaya diri karena sedang berhadapan dengan aku?"

"Kalau begitu aku pun ingin bertanya, kemarin sewaktu bertemu aku di loteng Sam-hap-lau, Sokongcu sudah batuk sebanyak tujuh belas kali, apa pula maksud batukmu itu?" Begitu perkataan itu diutarakan, serentak anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kimhong-si-yu-lau meraba senjata masing-masing. Ternyata So Bong-seng sama sekali tidak marah, dia malah menjawab dengan santai, "Karena aku sedang sakit, maka mau tak mau aku harus batuk." Kemudian sambil menuding ke arah Lui Sun katanya lagi, "Dia tidak sakit, kenapa mesti batuk?" Bicara sampai di sini ia berhenti sebentar, kemudian baru katanya lagi, "Kecuali dia memang sedang memprovokasi aku, melihat aku batuk, dia pun sengaja ikut batuk beberapa kali dengan niat mengejek aku!" Sekarang siapa pun dapat melihat bahwa So Bong-seng memang sengaja mencari gara-gara pada Lui Sun. Bila seorang pemimpin besar satu perkumpulan sedang mencari gara-gara dengan seorang pemimpin lain, tentu saja ia mempunyai beribu macam cara dan alasan untuk melakukan provokasi, tapi kini ternyata So Bong-seng menggunakan urusan kecil sebagai alasan untuk mencari gara-gara, jelas dia memang sedang mengincar Lui Sun, bahkan sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepadanya. Anehnya Lui Sun tetap tenang, sama sekali tidak jadi jeng kel. "Tadi aku batuk karena ingin menyampaikan salam kepadamu, ingin berhubungan lebih dekat dengan Kongcu," ucap Lui Sun tetap menahan diri, kalau paras mukanya semula lebih abu-abu ketimbang warna cuaca di langit, maka sekarang senyuman malah menghiasi bibirnya, "Aku sama sekali tidak berniat jahat, harap Kongcu sudi memaklumi." Begitu ucapan itu diutarakan, beberapa puluh orang anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang masih tersisa kembali ada belasan orang menggabungkan diri dengan Kim-hong-si-yu-lau. "Percuma kau berusaha membaiki aku," kata So Bong-seng lagi sinis, "lebih baik dalam masalah yang satu itu, kau beri jawaban yang sesuai untukku." "Aku tahu," Lui Sun tertawa paksa, "cuma batas waktu tiga hari yang kau berikan kepadaku, sekarang baru lewat satu hari." "Apa?" teriak So Bong-seng seolah tidak mendengar dengan jelas. Terpaksa Lui Sun mengulangi sekali lagi perkataannya, "Batas waktu tiga hari yang Kongcu berikan kepadaku masih ada dua hari, lusa aku pasti akan memberikan jawaban yang memuaskan." Kini bukan saja sisa anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang semula masih sangsi telah bergeser berdiri di pihak Kim-hong-si-yu-lau, bahkan sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jitseng yang semula sudah berdiri di barisan perkumpulan Lak-hun-poan-tong pun ada sebagian yang secara diam-diam bergeser ke dalam rombongan Kim-hong-si-yu-lau. So Bong-seng berlagak seolah sedang berpikir, kemudian dengan logat kurang yakin serunya, "Masa aku memberi waktu selama tiga hari kepadamu?"

"Benar." "Ah, benar, tiga hari, wah, rasanya kelewat lama, sekarang urusan Kwan Jit telah beres, besok kau harus memberi jawaban yang gamblang kepadaku." "Besok?" Lui Sun terlihat agak sangsi, "apa ... apa tidak kelewat cepat?" "Kau anggap kelewat cepat?" tiba-tiba So Bong-seng menarik wajahnya, "boleh saja kalau kau ingin batas waktu yang lebih cepat" "Tidak cepat, tidak cepat, baik, besok... besok saja lekas Lui Sun berseru. Begitu tanya jawab itu selesai berlangsung, seluruh anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang hadir di arena nyaris tak berani mendongakkan kepala lagi, sementara anggota Kim-hong-siyu-lau justru membusungkan dada. So Bong-seng sama sekali tidak mengendorkan pertanyaannya, kembali ia berseru, "Sudah tahu kau harus menjawab masalah apa kepadaku? Apakah Ti-sianseng sudah memberitahu kepadamu?" Didengar dari logat bicaranya, dia seakan jauh lebih meng¬hargai Ti Hui-keng ketimbang terhadap dirinya. "Sudah!" jawab Lui Sun. "Aku minta kau menyerah, asal kau bersedia menyerah, maka perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih dapat hidup di kotaraja berdampingan dengan Kim-hong-si-yu-lau, kalian tak perlu mengalami pemusnahan. Namun bila kau memilih tetap bertempur terus, maka aku perlu memberitahu kepadamu, kau sedang mencari kematian buat diri sendiri." Begitu mendengar perkataan ini, sebagian besar anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, mereka berharap Lui-congtongcu serta Ti-toatongcu bisa segera menurunkan perintah, agar mereka dapat bertarung habis-habisan dengan para musuhnya. Tapi Ti Hui-keng sendiri pun berlagak seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Lui Sun sendiri pun sama sekali tidak menunjukkan perubahan reaksi, dengan sikap yang tetap tenang sahutnya, "Aku mengerti." "Bagus," tampaknya sekarang So Bong-seng baru merasa agak puas, "jangan lupa besok, tengah hari, tempat pertemuan kuubah di Kim-hong-si-yu-lau!" "Apa?" akhirnya Lui Sun tak kuasa menahan diri. "Ooh, kau tidak setuju?" tanya So Bong-seng sambil mengerling. Lui Sun seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi kemudian diurungkan. "Tidak bisa, sama sekali tidak bisa," kali ini Ti Hui-keng yang berteriak, suaranya sangat keras, "Biarpun Congtongcu setuju pun aku tetap tidak setuju!" ooOOoo 45 . Manus ia paling tak tahu ma lu K ui Kia n-ciu

So Bong-seng mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng dengan wajah dingin bagaikan salju, sepasang matanya memancarkan cahaya merah bagai api setan, siapa pun tak bisa menduga apakah dia sedang marah atau tidak. "Ooh, jadi kau tidak setuju?" tanyanya hambar. "Kalau kita berunding di Kim-hong-si-yu-lau berarti kami sudah memasuki sarang harimau dan terjerumus dalam kepungan musuh, itu namanya mengantar diri ke dalam jebakan, kalau perbuatan semacam itu sih aku tak sudi melakukan!" "Benarkah?" So Bong-seng tertawa, "tapi kali ini mungkin kau harus melanggar kebiasaan." "Kenapa?" "Sebab akulah yang menyuruh kau ke sana." Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru berkata, "Tidak, aku tetap menolak, jika mesti menderita kekalahan esok, lebih baik kita bertarung habis-habisan hari ini!" Perlahan-lahan So Bong-seng menarik napas panjang, empat jari kirinya ditekuk di atas telapak tangan kanannya, inilah cara yang biasa digunakan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui untuk mengendorkan rasa tegang, sekarang tanpa terasa dia pun menggunakannya. "Kau tidak berani?" tantangnya sambil menatap tajam Ti Hui-keng. "Kau berani jika pertemuan diselenggarakan di depan markas besar perkumpulan Lak-hun-poantong kami?" Ti Hui-keng balas bertanya. "Baik," ternyata So Bong-seng langsung menyetujui, perkataannya tajam bagai sayatan bambu bahkan tanpa berpikir lagi, "kami akan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poantong!" Begitu janji itu diberikan, bukan hanya anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang merasa kaget, seluruh anggota Kim-hong-si-yu-lau pun ikut terkesiap. Tanpa memasuki sarang macan, mana mungkin bisa memperoleh anak harimau? Namun orang yang berani memasuki sarang macan, sering kali harus membayar mahal atas perbuatannya itu. Memasuki sarang musuh ibarat memasuki daerah yang gelap, musuh ada di posisi gelap sementara posisi sendiri amat terang, biasanya tindakan semacam ini tak akan dipilih orang pintar, apalagi berhadapan dengan musuh setangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jangan-jangan So Bong-seng sudah sinting? Begitu perkataan itu diucapkan, Su Bu-kui segera maju satu langkah seakan hendak mengatakan sesuatu, begitu juga dengan Mo Pak-sin, entah darimana munculnya, tahu-tahu ia sudah menghampiri So Bong-seng. Tapi So Bong-seng sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk buka suara, kembali serunya, "Kalian berani tidak?"

Berkilat sepasang mata Lui Sun, ia segera tertawa tergelak, "Hahaha, bila So-kongcu bersedia mengunjungi markas kami, tentu saja dengan tangan terbuka kami akan menunggu kehadiran kalian semua!" "Tidak bisa!" mendadak Ti Hui-keng menampik. So Bong-seng memandang peti mati itu sekejap, kembali sinar aneh memancar keluar dari balik matanya, ujarnya dingin, "Hmm, tak kusangka ternyata Ti-toatongcu bernyali kecil." "Masalah ini bukan masalah bernyali atau tidak, tapi sudah menyangkut masalah kepercayaan," sahut Ti Hui-keng tidak marah ataupun tersinggung. "Masalah kepercayaan?" "So-kongcu sudah bilang akan menanti jawaban tiga hari kemudian, sebagai ucapan Locu Kimhong-si-yu-lau, semestinya janji itu adalah sah, karena bila diingkari, sekalipun kau berhasil mengalahkan pihak lawan pun, tindakanmu ini akan ditertawakan orang banyak," kata Ti Huikeng, "So-kongcu, untuk sukses dalam masalah besar, urusan kecil pun terkadang harus diperhatikan, tentunya kau tak akan ingkar janji hanya gara-gara urusan kecil bukan?" "Sebenarnya apa yang kau inginkan?" perasaan kagum terpancar keluar dari balik mata So Bongseng. "Sesuai dengan perjanjian yang diucapkan So-kongcu, kita baru akan berjumpa lagi lusa tengah hari," kali ini Ti Hui-keng bicara dengan kepala tertunduk sehingga siapa pun tak dapat menyaksikan perubahan mimik mukanya, "Mengenai tempat pertemuan, oleh karena So-kongcu adalah pemberani sementara sahabat dari Kim-hong-si-yu-lau pun rata-rata merupakan orang bernyali, maka kita ubah jadi di markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bila dalam hal ini saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak mampu menghadapi, tak mampu menjadi tuan rumah yang baik, maka sejak kini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah tak punya muka lagi untuk bertahan terus dalam kancah persaingan ini." "Ti-toatongcu," seru Mo Pak-sin cepat, "hebat amat perhitungan sipoamu kali ini, dengan demikian bukankah pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah meraih keuntungan baik soal waktu, tempat maupun manusia?" Tiba-tiba Ti Hui-keng mengawasi telapak tangan sendiri yang diletakkan di atas lutut, jawabnya santai, "Kalau itu sih tergantung apakah pihak Kim-hong-si-yu-lau memang benar-benar bernyali untuk mengaduk sarang naga dan mendongkel sang naga." "Ti Hui-keng, kau ........... Su Bu-kui amat gusar. "Baik, aku setuju!" mendadak So Bong-seng menukas. Sekali lagi semua dibuat terperanjat oleh perkataan itu. "Ucapan seorang kuncu ............ seru Ti Hui-keng. Belum sempat So Bong-seng menjawab, Pek Jau-hui sudah menyela duluan, "Belum tentu dianggap suatu janji!" "So-kongcu," Ti Hui-keng segera menyindir dengan nada sinis, "sebetulnya ada berapa orang sih dalam Kim-hong-si-yu-lau yang bisa memberi komando?" "Aku adalah wakil Locu yang baru diangkat," jawab Pek Jau-hui cepat, "aku tidak setuju dengan usul itu, aku tak sudi melakukan perbuatan mengantar domba ke mulut harimau, dan aku rasa

perbuatan semacam inipun tak pantas dilakukan seorang Locu. Kalau ingin berunding, kita ketemu lagi di Sam-hap-lau, kalau tidak, jika kalian memang betul-betul punya nyali, ayo, kita bertemu saja dalam istana terlarang!" "Sekalipun kau adalah Hu-locu, namun persoalan semacam ini hanya pantas diputuskan oleh Kongcu seorang!" sela Yo Bu-shia. "Aku adalah anggota Kim-hong-si-yu-lau, demi keuntungan dan keutuhan Kim-hong-si-yu-lau, aku pun berhak untuk melakukan tindakan yang kuanggap paling menguntungkan," tegas Pek Jau-hui. "So-kongcu," tampaknya Ti Hui-keng sudah habis kesabarannya, "apakah kalian para pemimpin Kim-hong-si-yu-lau perlu sedikit waktu untuk berunding dulu sebelum memberikan ja¬waban yang pasti kepada kami?" "Tidak usah," tegas So Bong-seng, "aku setuju dengan usulmu!" Sekali lagi Ti Hui-keng mengernyitkan alis matanya. "Ucapan seorang Kuncu ... ?" "Bagaikan kuda cepat yang dilecut," sambung So Bong-seng kemudian, tapi ia segera menambahkan, "kecuali kalian tidak pegang janji terlebih dulu!" "Baik, dua hari kemudian kami akan menunggu kehadiran kalian, tidak bubar sebelum bertemu." Menyaksikan keputusan ini, Pek Jau-hui segera menghentakkan kakinya berulang kali dengan jengkel, serunya, "Membebaskan Kwan Jit sudah merupakan tindakan yang keliru, melepaskan kesempatan bertarung cepat untuk menyelesaikan persoalan pun merupakan kesalahan besar, buat apa kita mesti menerobos ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong? Aku rasa tindakan semacam ini tak perlu dilakukan." "Kau tak akan mengerti," ujar So Bong-seng cepat, perasaan tidak senang terlihat muncul dari balik matanya, "aku menginginkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong menyerah dengan perasaan tulus!" "Perselisihan antara dua kekuatan hanya bisa diselesaikan dengan kemenangan bukan perasaan takluk, siapa menang jadi raja siapa kalah jadi penyamun, seseorang yang sudah menderita kekalahan sama artinya sudah kehilangan rasa kepercayaan, kau pernah mendengar kisah tentang Song Siang-kong yang membubarkan tentaranya untuk menyeberang sungai?" "Kurangajar!" mendadak Su Bu-kui membentak marah. Ti Hui-keng yang menyaksikan kejadian ini lekas mengejek lagi sambil tertawa, "Kelihatannya orang yang ingin mengambil keputusan dalam Kim-hong-si-yu-lau saat ini bukan cuma satu orang saja "Tepat sekali," balas Yo Bu-shia tiba-tiba, "tampaknya perkumpulan Lak-hun-poan-tong saat inipun sudah menjadi milik Ti-toatongcu seorang, buktinya hanya dia yang bisa mengambil keputusan, kalau begitu Lui-congtongcu sudah jadi boneka yang tidak mencampuri urusan keduniawian lagi." Lui Sun tersenyum. "Selama ini Ti-toatongcu lah yang selalu mengambilkan keputusan bagiku, baik urusan besar maupun urusan kecil, hampir semuanya dia yang putuskan." "Semua ini berkat kepercayaan dan kebijaksanaan Cong-tongcu," sambung Ti Hui-keng. "Hmmm, siapa sih yang tak mampu mengucapkan kata-kata menjilat?" ejek Pek Jau-hui sinis, "kalau sudah tahu salah tapi tidak menunjukkan kesalahannya, kalian tak lebih cuma sekawanan

manusia munafik, manusia srigala yang bisanya hanya berbuat kriminal, jangan harap manusia macam kalian bisa melakukan pekerjaan besar." Ti Hui-keng tertawa tergelak. "Hahaha, perkumpulan Lak-hun-poan-tong selalu menghargai pendapat umum, hanya sayang manusia berbakat macam saudara Pek sama sekali tidak dihargai oleh siapa pun" "Ti-toatongcu jangan memandang enteng Jikoku ini," tiba-tiba Ong Siau-sik menyela, "kami adalah saudara angkat So-toako. Sekali angin emas berhembus, sekali hujan gerimis membasahi bumi, jangan harap cahaya matahari dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong bisa menampakkan diri, aku justru mengagumi bakat anda, bagaimana kalau kau saja yang mempertimbangkan untuk pindah ke pihak Kim-hong-si-yu-lau? Aku percaya Toako pasti akan menyambut dirimu dengan senang hati." "Sudahlah, urusan angin emas atau hujan gerimis adalah masalah kalian sendiri, aku enggan mencampuri," kata Ti Hui-keng sambil menghela napas, "tapi kini So-kongcu sudah menyetujui usul kami, jadi kita bertemu lagi lusa di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Pek Jau-hui segera berpaling ke arah So Bong-seng sambil serunya, "Toako, kenapa kau tidak menarik kembali perkataanmu?" "Karena apa yang sudah kuucapkan tak akan ditarik kembali, sama seperti sewaktu aku mengayun golokku, golok yang sudah diayun tak akan ditarik kembali," jawab So Bong-seng tegas. "Tapi kalau salah sudah seharusnya segera diperbaiki!" "Aku tak merasa salah, jadi tak perlu diperbaiki!" "Kau tampak Pek Jau-hui semakin gusar. Cepat Ong Siau-sik menarik ujung bajunya sambil berbisik, "Jiko, lebih baik urusan macam begini kita bicarakan secara pribadi saja dengan Toako "Dibicarakan lagi?" seru Pek Jau-hui sambil mengebaskan tangannya, "kalau keputusan sudah final, mau dibatalkan juga tak ada gunanya!" "Tapi tidak pantas kau menegur Toako di hadapan orang banyak, Toako sudah lama memegang komando, keputusannya tentu sudah melalui berbagai pertimbangan, dia pasti sudah tahu keadaan sebelum mengambil keputusan." Saking jengkelnya paras muka Pek Jau-hui berubah menjadi putih memucat, tapi kali ini dia bicara dengan suara lirih, "Apa-apaan ini? Semua orang tak berani bicara, tak mau bicara, padahal sangat tidak menguntungkan buat semua orang!" Ketika mendengar Kim-hong-si-yu-lau akan mengirim pasukan untuk langsung mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kembali ada sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jitseng yang secara diam-diam berpindah lagi ke pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lu Sam-ciam yang menyaksikan kejadian ini segera berkata kepada Lui Sun, "Congtongcu, bagaimana kita selesaikan orang-orang itu?" Sebelum Lui Sun sempat menjawab, Thio Than yang selama ini hanya membungkam segera berteriak, "Kawanan manusia itu sebentar pindah kemari, sebentar pindah lagi ke sana, jadi

bunglon, jadi benalu yang tak berguna, menerima orang plin-plan jadi anggota belum tentu membuat mereka setia dengan partai, jangan-jangan yang dipikirkan nantinya hanya keselamatan sendiri, lebih baik dibubarkan saja." Kawanan bekas anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng itu lekas menyatakan kesetiaannya kepada perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kim-hong-si-yu-lau. "Lebih baik dibunuh saja!" mendadak teriak Pek Jau-hui. Begitu ucapan itu diucapkan, seketika suasana berubah jadi tenang kembali. "Hari ini mereka mengkhianati perkumpulan Mi-thian-jit-seng, hal ini tidak menjamin besok mereka tak akan mengkhianati Kim-hong-si-yu-lau, tidak mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, buat apa manusia macam begini tetap kita pelihara? Lebih baik bantai saja, habis perkara!" Padahal di situ terdapat dua ratusan orang, tapi kata "bunuh" yang diucapkan Pek Jau-hui diutarakan sangat santai, seakan membantai dua ratusan nyawa manusia bukanlah satu pekerjaan yang luar biasa. "Dibunuh? Rasanya tak usah," kata Ong Siau-sik cepat, "daripada meninggalkan sumber bencana di kemudian hari, lebih baik bebaskan saja mereka, paling kita usir mereka keluar dari kotaraja dan selamanya tak boleh balik lagi kemari, bukankah urusan jadi beres?" Pek Jau-hui kembali mendengus dingin. "Hmmm, baik amat perasaanmu, sayang dunia persilatan penuh dengan intrik dan tipu muslihat, tak ada orang yang berbaik hati, berjiwa mulia macam kau." "Jiko tak usah marah," Ong Siau-sik tertawa lebar, "aku memang tak ingin dibandingkan siapa pun." Tampaknya Lui Sun sendiri pun tak dapat mengambil keputusan, akhirnya ia bertanya kepada Ti Hui-keng, "Bagai¬mana rencanamu?" Dengan kening berkerut sahut Ti Hui-keng, "Kendatipun kita tidak percaya pada mereka, paling tidak harus mempercayai Jin-tongcu dari Ko-san-tong (ruang bukit tinggi) dan Liu-tongcu dari Liusui-tong (ruang air mengalir), bila lain kali terbukti mereka pun tidak setia, rasanya belum terlambat untuk membu¬nuh mereka berdua." Dengan ucapan itu maka sebagian besar anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong merasa seakan telah mendapat pengampunan dosa, mereka segera berjanji menyatakan kesetiaannya. Kembali Ti Hui-keng tertawa dingin. "Hmmm, jangan dianggap setelah bersumpah setia maka kami percaya penuh pada kalian, bila suatu saat ketahuan pikiran kalian tidak menyatu, aku yakin masih punya cara lain untuk menghukum." Sementara itu hujan telah berhenti, langit kembali cerah, suasana di tengah arena yang semula panas kini mulai mereda dan terasa segar kembali, seakan air hujan telah mencuci semua pertikaian itu. Tan Cian-kui beserta sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bersumpah setia sampai mati pun saat ini malah kebingungan sendiri, untuk sesaat mereka tak tahu harus berpihak kepada siapa dan mau melakukan apa.

Pek Jau-hui masih berdiri dengan wajah dingin, sikapnya angkuh dan jumawa, seperti tak ingin mencampuri urusan itu. Ong Siau-sik tahu rekannya tak suka hati, sambil menarik tangannya ia segera berkata, "Toako pasti punya alasan untuk berbuat begitu, bila tak puas, kita bicarakan lagi sekembalinya ke loteng nanti." "Lelaki mengutamakan keberanian, perempuan mengutamakan kebijaksanaan, namun kalau mengambil keputusan gara-gara emosi, jelas tindakan ini keliru besar," kata Pek Jau-hui tak puas, "bila seorang pemimpin tak bisa mengendalikan diri, bagaimana dia bisa mengendalikan situasi yang lebih luas?" Ong Siau-sik amat gelisah setelah mendengar perkataan itu, dia kuatir orang lain ikut mendengar perkataan itu, serunya panik, "Aduh, kau ini "Hmm, aku tak menyangka kalau kau pun terhitung manusia bernyali kecil yang takut urusan!" "Terserah apa yang ingin kau katakan, aku pun berbuat begini demi...". Mendadak terdengar seseorang bersenandung sambil bertepuk tangan, suaranya merdu namun nadanya penuh sindiran. "Manusia paling tak tahu malu Kui Kian-ciu, manusia paling goblok si batu kecil." Ong Siau-sik segera mengenali suara Un Ji itu, serunya, "Siapa yang kau maksud si batu kecil?" "Siapa lagi? Tentu saja kau," sahut Un Ji tertawa cekikikan. "Aku goblok?" tanya Ong Siau-sik sambil menunjuk ke hidung sendiri. "Sebenarnya kau tidak terhitung goblok, tapi kalau dibandingkan nonamu, kau memang memiliki kelebihan berapa macam barang." "Barang apa?" "Musim semi dan dua ekor cacing." "Lalu siapa pula Kui Kian-ciu yang kau sebut? Memangnya dia?" ketika mengucapkan perkataan itu, Ong Siau-sik sengaja menuding ke arah Pek Jau-hui. Begitu memandang Pek Jau-hui, paras muka Un Ji seketika berubah jadi dingin membeku. "Kalau bukan dia, siapa lagi? Memangnya di kolong langit masih ada orang lain yang jauh lebih tak tahu malu?" "Ada!" Ternyata yang menyahut adalah Tong Po-gou. "Siapa?" "Dia!" teriak Tong Po-gou lantang, "si Gentong nasi Thio Than." Ong Siau-sik memang menaruh simpati pada kedua orang ini, sebab dia merasa gurauan mereka sangat lucu dan menyenangkan, maka sengaja tanyanya, "Kenapa bisa begitu?"

"Dia telah mencuri saputanganku! Seorang lelaki sejati tak akan mencuri, tapi dia .... Hmmm, bayangkan sendiri, apakah perbuatannya tidak menyebalkan sekali? Apakah dia tak pantas disebut manusia yang tak tahu malu ..." "Oya? Masih ada yang lain?" tanya Thio Than sambil meletakkan mangkuk kosongnya ke tanah. "Tentu saja masih ada," sahut Tong Po-gou dengan nada berapi-api, "Leng-hiat dan Put-cing (si Tanpa perasaan)..." "Lho, Leng-hiat dan Put-cing? Bukankah kau sudah menyamakan aku dengan anggota 4 opas yang termashur?" 'Kau? Huh, menyebalkan! Memangnya kau pantas?" Tong Po-gou mengumpat makin kasar, "dasar licik, busuk, bejad moral "Masih ada yang lain?" "Pikiran picik, gegabah, sok jadi badut, punya kelainan jiwa "Bagaimana? Sudah kehabisan bahan?" ejek Thio Than sambil tertawa. "Tidak ada, tidak ada "Akhirnya habis juga urrpatanmu." "Kenapa? Tidak puas?" teriak Tong Po-gou sambil mengambil ancang-ancang untuk bertarung. "Heran, kenapa sih kau selalu memaki aku?" tanya Thio Than kemudian. Untuk sesaat Tong Po-gou agak tertegun, setelah berpikir sesaat ia baru menjawab, "Kenapa kau mencuri saputanganku?" "Saputangan?" Thio Than tertawa terkekeh, "bukankah saputanganmu ada di saku sebelah kanan?" "Sudah jelas telah kau curi, sekarang belum selesai Tong Po-gou bicara, mendadak tangannya menyentuh sebuah benda lunak di sakunya, ketika dikeluarkan ternyata benda itu adalah saputangannya, kontan merah padam wajahnya. "Ba ... bagaimana ... bagaimana mungkin ... hehehe "Jangan ini itu, sekarang kau sudah tahu kalau salah menuduh bukan? Kenapa tidak segera minta maaf kepadaku?" tegur Thio Than tidak sabar. "Kenapa aku harus minta maaf?" teriak Tong Po-gou, tapi sudah tidak segarang tadi, "tadi kau memang sudah mencuri saputanganku, siapa tahu sudah kau kembalikan lagi secara diam-diam." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Sekali maling tetap maling!" Tadi Thio Than memang bermaksud mempermainkan orang ini, maka biar Tong Po-gou mengumpat dengan cara apa pun dia tak ambil peduli, tapi sekarang api amarahnya berkobar kembali, umpatnya, "Kau memang manusia yang bisanya hanya melukai orang, kau Mendadak terdengar Lui Tun menghela napas panjang.

"Dimana kau bisa memaafkan orang, maafkanlah dia, Thio-goko, lebih baik kurangi pembicaraan yang tak berguna!" "Baik," Thio Than segera menahan amarahnya sambil menyahut, "memandang wajah nona kami, aku tak akan menyalahkan dirinya lagi, kalau orang baik disangka jahat, percuma saja banyak bicara dengan makhluk tak tahu diri macam begitu." "Apa kau bilang?" teriak Tong Po-gou gusar. Ketika melihat Thio Than bergerak ke samping, dia mengira lawan akan melancarkan serangan, maka tak tahan dia pun melontarkan sebuah sodokan ke muka. Seharusnya dengan ilmu silat yang dimiliki Thio Than, tak ada alasan baginya untuk tak bisa menghindar, namun kenyataannya pukulan itu bersarang telak di bahu kiirinya. Terdengar Thio Than mendengus tertahan, tubuhnya gontai nyaris roboh. Sekilas perasaan kuatir melintas di wajah Lui Tun, menyusul kemudian tetesan air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. Tong Po-gou jadi tertegun, serunya tanpa sadar, "Maaf, aku salah memukulnya, selanjutnya aku tak akan memukul dirinya lagi." Waktu itu Thio Than sendiri sudah melompat ke sisi Lui Tun, tanpa menggubris Tong Po-gou lagi, ujarnya cemas, "Nona Lui, aku tak akan berkelahi lagi, kau jangan menangis." ooOOoo 46 . Manus ia paling goblok si batu k eci l Lui Tun segera berpaling ke arah lain, terdengar ia bergumam, "Go-ko, kau sangat baik kepadaku, urusan ini ... tak ada sangkut-pautnya denganmu, aku tidak apa-apa." Biasanya Thio Than banyak bicara dan pandai memutarbalikkan kata, begitu melihat Lui Tun melelehkan air mata, ia jadi bingung dan gelagapan sendiri, untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dilakukan. Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui pun tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Dia menangis," bisik Ong Siau-sik lirih. "Aku tahu," jawab Pek Jau-hui dengan suara berat. "Aku sendiri pun ingin ikut menangis, maka aku sangat memahami perasaan nona Lui," kata Ong Siau-sik lagi sambil tertawa getir. "Kehadiran Lui Tun di tempat ini adalah sebuah rencana, sebuah pengaturan, bahkan rencana dan pengaturan ini diketahui Lui Sun, diketahui juga So-toako, karena kehadirannya merupakan rangkaian dari sebuah perangkap yang sengaja mereka pasang, agar Kwan Jit masuk ke dalam perangkap itu, apa mau dikata, Lui Tun tidak mengetahui akan hal ini. Kita berdua pun hanya bidak, sedang dia, jadi bidak pun tak pantas, karena dia hanyalah sebuah umpan."

"Tapi dia tak bisa berbuat lain kecuali menurut, yang satu adalah ayahnya sedang yang lain adalah bakal suaminya ... kalau dibicarakan lebih jauh, tak lama kemudian kita semua harus memanggil dia sebagai enso." Baru selesai ia bicara, Ong Siau-sik segera dapat merasakan perubahan air muka Pek Jau-hui, berubah jadi semakin memucat. "Sehari Lui Tun belum menikah, dia belum bisa disebut nyonya dari siapa pun," katanya ketus. Ong Siau-sik amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, belum sempat dia berkomentar, Pek Jau-hui sudah berkata lebih jauh, "Belum tentu nona Lui menangis lantaran dia dijadikan umpan oleh Lui Sun dan So Bong-seng untuk membunuh Kwan Jit." "Lantas karena apa?" "Belum tentu nona Lui setuju dengan perkawinan ini." "Tapi Lui Sun benar-benar berharap nona Lui bisa dikawinkan dengan So-toako agar perselisihan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong bisa diselesaikan secara damai, bukankah hal ini sangat baik?" "Itu sih hanya perhitungan sipoa yang menguntungkan Lui Sun sepihak, belum tentu Lui Tun akan menyetujui dengan perasaan tulus dan iklas." "Tapi ... bukankah So-toako pun sangat menyukai nona Lui?" "Mungkin saja So Bong-seng mencintainya, tapi cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, belum tentu nona Lui pun mencintainya." "Aku mengerti sekarang," seru Ong Siau-sik seakan menyadari akan sesuatu. "Kau mengerti apa?" kali ini giliran Pek Jau-hui yang tercengang. "Aku mengerti sebenarnya persoalan ini timbul darimana." "Persoalan apa?" "Persoalan bukan terletak pada Lui Sun, juga bukan pada So-toako, mungkin juga bukan pada nona Lui, tapi masalahnya ada pada dirimu," berkilat sepasang mata Ong Siau-sik, "nona Lui kawin dengan siapa pun, kau pasti tak akan senang hati." "Betul!" tanpa sungkan Pek Jau-hui mengakui, "kecuali dia kawin dengan aku. Sejak ia memandangku untuk pertama kalinya di Han-swe tempo hari, aku telah bersumpah dalam hati kecilku, dia harus menjadi biniku!" "Bukankah dengan begitu akan muncul banyak persoalan dan keributan?" Ong Siau-sik menggeleng sambil menghela napas, "aku rasa persoalan ini hanya akan menjadi ganjalan dalam hatimu, sebab di dunia ini tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan, namun ketika persoalan sudah menjadi ganjalan di dalam hati, kecuali kau sendiri yang mengurainya, kalau tidak, siapa pun tak bisa membantumu mengurai keruwetan ini." "Kau masih muda, kau belum mengerti akan hal ini," bisik Pek Jau-hui sedih. "Siapa bilang aku tak mengerti? Bagaimana mungkin kau bisa tahu perasaanku sekarang? Aku hanya tak ingin terjadi keributan dengan Toako hanya gara-gara urusan nona Lui, kejadian semacam ini bisa menimbulkan masalah yang tak enak."

"Masalah apa?" tukas Un Ji tiba-tiba, "ada masalah apa yang tak bisa diurai? Cepat beritahu aku, biar nonamu bantu menyelesaikannya." "Kau?" serentak Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berseru sambil tertawa getir. "Ada apa?" teriak Un Ji sambil melotot, "persoalan sebesar apa pun, kalau bukan aku yang menyelesaikan, memangnya orang lain bisa membantu?" "Tepat sekali," gumam Pek Jau-hui tiba-tiba, "katamu memang tepat sekali." Un Ji sangat kegirangan mendengar pujian itu, serunya, "Perkataan nonamu memang selalu cengli dan pakai aturan, tapi perkataan mana yang kau maksud?" "Aku sangat mengagumi perkataan yang kau hadiahkan untuk Ong Siau-sik tadi." "Perkataan yang mana?" sekali lagi Un Ji tertegun. "Manusia yang paling goblok si batu kecil!" "Kau ........ teriak Ong Siau-sik gusar. Un Ji seakan tidak merasa kalau pemuda itu sedang menyindirnya, malah dengan gembira serunya lagi, "Itu baru kali¬mat atas, masih ada kalimat bawah ..." "Oya? Kalau begitu aku perlu mengubah sedikit bunyi kalimat bawahnya ..." tukas Pek Jau-hui. "Kau ubah jadi apa?" tanya Un Ji keheranan. "Sepasang sejoli menimbulkan kelembutan!" Un Ji segera mengulang kata-kata itu, "Manusia paling go¬blok si batu kecil, sepasang sejoli menimbulkan kelembutan ..." Tiba-tiba paras mukanya berubah jadi merah padam. "Pek-loji, apa-apaan kau?" tegur Ong Siau-sik cepat. "Tidak apa-apa," sahut Pek Jau-hui sambil tertawa, kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dan Un Ji, terusnya, "kalian berdua memiliki taraf kecerdasan yang sama, bukankah memang ditakdirkan sejodoh?" "Apa kau bilang?" teriak Un Ji jengkel, ia segera dapat menangkap maksud perkataan itu, "kau anggap aku dan dia ... sama-sama goblok?" Sebenarnya Ong Siau-sik mau ikut memaki, tapi begitu mendengar Un Ji berteriak nyaring sambil mencak-mencak gusar, untuk sesaat dia jadi tertegun. Sekali lagi Pek Jau-hui tertawa. "Kalau kau tidak goblok, kenapa saat ini masih tak tahu diri dan datang kemari untuk mencuri dengar pembicaraan dua orang lelaki?" "Hmmm, mungkin hanya setan yang ingin menguping perkataan isengmu itu," Un Ji merasa jengkel bercampur mendongkol, "tadi kau bilang aku harus tahu diri, apa yang dimaksud tahu diri?"

"Kau tidak mengerti?" "Coba terangkan." "Apakah nona Lui adalah sahabatmu?" "Betul!" "Sekarang dia sedang menangis, masa kau tidak menghiburnya? Teman macam apa dirimu itu?" "Ah!" Un Ji berseru tertahan, dengan jengkel dia melotot sekejap ke arah Pek Jau-hui, kemudian baru berjalan meng¬hampiri Lui Tun, katanya lagi, "aku akan menghibur enci Tun lebih dulu, tunggu saja perhitunganku nanti." Sewaktu lewat di hadapan Ong Siau-sik, dia sengaja menyikut pemuda itu dengan keras, dengan cepat Ong Siau-sik berkelit ke samping, gagal dengan sikutnya itu, dengan sengaja ia segera menginjak kaki Tong Po-gou. "Kalian semua memang bukan orang baik-baik!" seru nona itu. Tong Po-gou yang tanpa sebab diinjak kakinya menjadi mencak-mencak gusar, sambil menuding hidung sendiri teriak¬nya, "Tapi apa urusannya dengan aku?" Mendadak terdengar Lui Tun berkata dengan suara lembut, "Buat apa kau menghiburku? Aku tidak apa-apa!" Ketika berpaling kembali, paras mukanya terlihat amat sendu dan sayu, sama sekali tak terlihat habis menangis, bahkan bekas air mata pun tidak nampak. "Jadi kau tidak apa-apa?" tanya Un Ji tercengang. "Betul, aku tidak apa-apa," sahut Lui Tun sambil tersenyum manis, "sejak kalian muncul dan menyelamatkan aku, mana mungkin aku ada masalah lagi?" "Bagus sekali," seru Un Ji kegirangan, "apa kubilang, kau pasti tidak apa-apa, dasar Kui Kian-ciu (setan ketemu pun murung), dia bilang suruh aku menghiburmu, kali ini dia benar-benar salah duga." Tiba-tiba terdengar Pek Jau-hui berteriak lantang, "Menurut pendapatku, satu pun jangan dibiarkan hidup!" Tentu saja perkataan ini bukan ditujukan kepada Un Ji, juga bukan tertuju kepada Lui Tun atau Ong Siau-sik. Perkataan itu sengaja ia tujukan ke tengah arena. Rupanya setelah urusan beres dan masing-masing pihak mengumpulkan kekuatan dan anak buah sendiri, maka kini mereka mulai membicarakan nasib Tan Cian-kui beserta kedua-tiga puluhan anggotanya yang bersumpah tetap akan setia sampai mati pada perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Lui Sun mengusulkan dibunuh saja daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari. Sebaliknya So Bong-seng mengusulkan dibebaskan saja, karena kekuatan mereka bukan sebuah ancaman yang kelewat serius.

Sebaliknya Ti Hui-keng mengusulkan untuk membekuk orang-orang itu terlebih dulu, kemudian baru memaksa mereka untuk menentukan pilihannya....... Pada saat itulah tiba-tiba Pek Jau-hui menimbrung, katanya, "Membiarkan mereka tetap hidup sama artinya meninggalkan sisa musuh untuk diri sendiri, kehadiran mereka hanya akan menimbulkan banyak rintangan dan masalah, ketimbang besok baru membunuhnya hingga permusuhan semakin mendalam, kenapa tidak ditumpas saja sekarang juga?" Perkataan Pek Jau-hui ini sama halnya dengan menentang pendapat So Bong-seng, terpaksa ketua Kim-hong-si-yu-lau ini berkata, "Bagaimanapun juga tempat ini merupakan daerah Sri baginda, tidak bisa bilang mau bunuh lantas membunuh, kalau saling membunuh dikarenakan masingmasing pihak berusaha melindungi keselamatan sendiri, itu masalah lain, tapi kalau hanya demi membasmi bibit penyakit lalu belasan nyawa mesti dikorbankan, aku rasa tindakan semacam ini sedikit kelewatan." "Padahal apa bedanya, kiri juga membunuh, kanan juga membunuh, ujung-ujungnya pembunuhan dilakukan hanya demi memperebutkan kekuasaan, orang buta pun bisa melihatnya, buat apa mesti berpura-pura sok suci? Kalau ingin membunuh, lebih baik lakukan saja sekarang, ketimbang menambah masalah di kemudian hari, harus mengorbankan nyawa saudara sendiri ... jika memang demi keuntungan, buat apa mesti mengurusi omongan orang?" Yo Bu-shia yang melihat terjadinya perdebatan itu segera tampil menengahi, "Untuk mencapai suatu perdamaian dan hidup yang harmonis, terkadang kita memang mesti membayar mahal, tapi sebagai satu perkumpulan besar di ibukota, sebuah kekuatan besar di kotaraja, kita tak bisa main bunuh sekehendak hati sendiri." Mendadak terdengar Tan Cian-kui berteriak lantang, "Kami bukan tawanan, kalau mau dilepas, kita bertemu lagi lain waktu, kalau merasa keberatan dan mau dibunuh, kami akan bertarung sampai titik darah penghabisan!" "Hmm, sudah dengar teriakan itu?" Pek Jau-hui tertawa dingin, "manusia macam mereka itu keras tulangnya, daripada dilepas hingga menimbulkan masalah, mending dihabisi sekarang juga!" "Aku rasa perkataan So-kongcu jauh lebih cengli," ternyata Lui Sun sangat mendukung perkataan So Bong-seng, "walaupun kllti berhadapan sebagai musuh, namun kalau ingin melakukan butuh penyelesaian, sudah sepantasnya hal ini dilakukan dengan mengandalkan kungfu masing-masing,, tapi kasus yang kita hadapi saat ini jauh berbeda, jika kita mesti membunuh orang karena mereka enggan tunduk, aku rasa perbuatan semacam ini justru akan menodai reputasi kita." "Hmmm, kalau ingin reputasi tidak ternoda, seharusnya Lui-congtongcu tak usah menyiapkan siasat menjebak Kwan Jit di tempat ini," ejek Pek Jau-hui sambil mendengus sinis, "kalian menganggap diri sendiri sebagai Enghiong Hohan, justru sangat menggelikan, gayanya saja sok suci, padahal sepasang tangan sudah penuh berlepotan darah, mungkin mau dicuci pun sepanjang masa tak nanti bisa tercuci bersih." Selama ini Ti Hui-keng hanya termenung tanpa komentar, kecuali sewaktu mengawasi Kwan Jit melarikan diri dari kepungan, dia selalu duduk di sisi peti mati dengan kepala tertunduk, gayanya seakan sedang berdoa bagi peti mati itu. Tapi kini secara tiba-tiba dia berseru, "Agaknya majikan dari Kim-hong-si-yu-lau memang bukan cuma satu orang

"He, orang she Ti, kau tak usah mengadu domba!" hardik Yo Bu-shia gusar. Sementara itu Ong Siau-sik telah berseru, "Aku setuju dengan perkataan So-toako!" Kembali Pek Jau-hui mendengus dingin. "Hei, batu kecil, kita sedang bicara serius, bukan lagi bergurau atau main topeng monyet untuk menghibur orang banyak, bila hari ini kita bebaskan mereka, suatu ketika mereka pasti akan mendukung Kwan Jit untuk tampil lagi ke dunia persilatan, jadi bila kau benar-benar mencintai Kim-hong-si-yu-lau, seharusnya jangan mendukung usul sinting itu." "Bila setiap menjumpai musuh lantas kau bunuh, berapa banyak teman yang masih kau miliki?" Ong Siau-sik balik bertanya, "dalam sejarah hidupmu, berapa banyak manusia yang bisa kau bunuh? Kalau bukan teman lantas kau bantai, pada akhirnya hanya ada satu akibat yang mesti kau hadapi, semua temanmu akan kau anggap sebagai musuh dan akhirnya mampus semua di tanganmu!" "Kau sangka dengan membebaskan mereka maka orang-orang itu akan menganggap kau sebagai sahabat? Hmm, jangan mimpi di siang hari bolong," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Masalahnya sekarang bukan dibebaskan, setiap manusia punya hak untuk melanjutkan hidup, tak seorang pun di dunia ini berhak untuk membunuh yang lain, jika kita tidak saling membunuh, di dunia ini tak akan terjadi saling membalas, memangnya pikiran ini lucu? Aneh? Mimpi di siang hari bolong?" kata Ong Siau-sik dengan bersemangat, "mungkin kita membunuh seekor semut karena dia menggigit kita terlebih dulu, atau mengangkangi makanan milik kita, sebaliknya bila ia tidak mengganggu kita, kenapa kita mesti membunuh mereka? Selama orang tidak menggangguku, kenapa aku mengganggu orang lain? Sekalipun dia mengganggu kita, asal tidak kelewat batas, kita pun belum tentu harus membunuhnya. Jangan lupa, di atas kepala kita terdapat sepasang tangan kekuasaan yang tak berwujud, kalau tanpa sebab kita main bunuh, siapa tahu kita sendiri pun akhirnya digencet sampai mampus oleh tangan tak berwujud itu." "Kalau yang kau maksud adalah Thian, maka terus terang aku beritahu, Thian itu menganggap semua kehidupan di dunia itu sama rata sama derajat, bila kita tak membunuh orang itu, tentu ada orang lain yang akan membunuhnya, agar diri kita tidak dibunuh, lebih baik kita membunuh duluan. Memangnya kau anggap mereka yang melakukan pekerjaan besar tidak membunuh? Membunuh itu sebetulnya bukan satu kejadian yang luar biasa, siapa sih manusia di dunia ini yang tak bisa membunuh? Mungkin saja mereka membunuh tidak memakai golok, tidak melihat darah, bisa saja mereka membunuh seseorang dengan pikiran, dengan rencana busuk, dengan menggunakan caranya sendiri, membunuh demi keuntungan pribadi, membu¬nuh demi memperkuat posisi sendiri." "Hari ini kau bisa berkata begitu karena kau punya kekuatan untuk membunuh," ujar Ong Siau-sik, "seandainya suatu ketika kau kehilangan kemampuanmu itu dan semua orang berusaha membunuhmu, apakah kau pun akan mengatakan hal yang sama?" "Siapa yang tak mempunyai kemampuan, dia memang pantas mati, kalau tidak punya kemampuan tapi tidak berusaha belajar sesuatu, jika akhirnya mati dibunuh, semestinya dia tak usah protes, orang hidup memang untuk membunuh atau dibunuh." "Kalau ingin mengucapkan kata-kata seperti ini, semestinya kau pun berubah dulu jadi sinting, jadi linglung macam Kwan Jit!" "Apa yang diucapkan Kwan Jit secara berulang memang dia lakukan karena aku ingatkan, setiap patah kataku memang selalu lebih tajam dari pedang yang menusuk bagian mematikan di tubuhnya." "Kalau begitu kau memang lebih latah ketimbang Kwan Jit."

"Bukan hanya latah seperti Kwan Jit, aku lihat dia justru lebih edan, lebih sinting daripada Kwan Jit!" tambah Lui Tun secara tiba-tiba. Pek Jau-hui kontan mengernyitkan dahi, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, Lui Tun sudah berkata lagi, "Bahkan aku lihat dia lebih goblok ketimbang Kwan Jit!" Lebih goblok! Kalau ucapan itu muncul dari mulut Un Ji, mungkin dia masih bisa menahan diri, sebab banyak orang di dunia ini yang menganggap diri sendiri sebagai orang pintar, sering memaki orang lain sebagai orang goblok, padahal orang yang benar-benar pintar biasanya malah tak ingin terlalu banyak orang tahu kalau dirinya pintar, mereka lebih suka dianggap bodoh, oleh sebab itu seseorang yang pintar, dia tak akan membiarkan orang lain mengetahui kepintarannya, hanya seseorang yang tidak kelewat pintar, dia baru berusaha membuat orang lain tahu kalau dirinya adalah pintar. Dan kini, di hadapan orang banyak Lui Tun telah mengumpatnya sebagai orang goblok! Paras muka Pek Jau-hui yang pucat pias untuk pertama kalinya dialiri warna merah darah. Kembali Lui Tun berkata, "Kwan Jit memiliki kepandaian hebat, paling tidak kungfunya sempat mengejutkan dua perkumpulan besar di kotaraja, itulah sebabnya kerubutan lima orang jago baru berhasil melukainya, tapi bukan berarti dapat membekuknya, dalam keadaan begitu dia baru mengucapkan kata-kata sesumbar bahwa kalau orang tidak membunuhnya, dialah yang akan membunuh orang. Sebaliknya kemampuan yang dimiliki Pek-kongcu rasanya belum mencapai taraf itu, kau pun tidak memiliki kekuatan setara dia, kenapa kau mengucapkan kata-kata yang kelewat sesumbar? Kau tidak kuatir, bukan saja tak mampu membunuh orang, justru kau sendiri yang dibunuh orang?" Paras muka Pek Jau-hui berubah semakin merah membara, belum lagi sempat membantah, Lui Tun sudah bicara lebih jauh, "Bila tidak memiliki kekuatan untuk menjaga berlangsungnya perdamaian, tapi ngotot ingin menegakkan perdamaian dan kebenaran, tindakan semacam ini namanya lelucon yang tak lucu. Jika tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri sendiri tapi ingin melindungi orang lain, tindakan semacam ini disebut manusia yang tak tahu kenyataan, bila seseorang tak bisa menilai kemampuan dan kekuatan sendiri, mustahil dia bisa melakukan pekerjaan besar, sekalipun bisa dilakukan, pasti hasilnya tak sesuai, tidak nyaman. Tapi bila seseorang tak tahu kemampuan sendiri namun bersikeras ingin melakukan banyak tindakan konyol, mengucapkan kata-kata konyol, bayangkan sendiri, kalau orang ini bukan goblok lantas apa namanya?" ooOOoo 47 . Tahu diri "Seperti contohnya kau sekarang, mungkin saja kau tak puas, tidak terima dengan perkataanku ini, tapi apa gunanya?" ujar Lui Tun lebih jauh, "karena menganggap aku wanita, kau enggan cekcok denganku, ingin membunuhku pun tak bisa, maka kau bisanya cuma mendongkol dan marah-marah sendiri, oleh sebab itu orang yang tak tahu kemampuan sendiri tapi sok jagoan, biasanya perbuatannya hanya akan menuai rasa malu dan aib!" Paras muka Ong Siau-sik mulai berubah jadi tak sedap. Sekalipun perkataan Lui Tun bukan ditujukan kepadanya, namun ia bisa membayangkan bagaimana gusarnya Pek Jau-hui karena dipermalukan di depan umum. Di luar dugaan ternyata reaksi Pek Jau-hui tidak seperti apa yang ia sangka.

Pemuda itu menarik napas panjang kemudian menghem-buskannya dengan perlahan, setelah itu dengan langkah perlahan ia berjalan mendekati Lui Tun. Tindakannya ini seketika memancing perhatian khusus keempat orang jago tangguh yang hadir di situ, mereka ikut merasa kuatir. Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, jelas mereka tak bisa berpeluk tangan, namun dengan demikian bisa jadi pertarungan akan memancing keterlibatan So Bong-seng. Tampaknya persoalan ini yang paling merisaukan hati Lui Sun. Andaikata Pek Jau-hui turun tangan terhadap nona Lui, tak ada alasan bagi dirinya untuk tidak berusaha mencegah atau menghalangi, tapi begitu dia mencoba menghalangi, besar kemungkinan akan terjadi pertikaian dengan Pek Jau-hui, padahal pemuda itu sombong dan jumawa, amat bersikukuh dengan pandangan serta pendapat sendiri, sekali terjadi bentrokan, mungkin tak gampang untuk mengurai dan menyelesaikannya secara damai. Sekali lagi Lui Tun berpikir sambil menganalisa. Andaikata Pek Jau-hui turun tangan keji terhadap nona Lui, kemungkinan besar Lui-congtongcu akan dipaksa turun tangan, karenanya ia harus bertindak mendahului Congtongcunya dengan mencegah ulah Pek Jau-hui, tapi tindakannya ini besar kemungkinan bisa memancing pertarungan habis-habisan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau. Ti Hui-keng sendiri pun berpendapat demikian. Pek Jau-hui tak boleh turun tangan! Apalagi turun tangan terhadap seorang gadis lemah, perbuatan semacam ini sangat memalukan! Apa pun yang bakal terjadi, ia berniat akan menghalangi ulahnya, dia tahu sekali Pek Jau-hui sudah memutuskan sesuatu, tak akan ada orang yang bisa menghalanginya, kuatir-nya ........ Ong Siau-sik merasa jauh lebih panik dari siapa pun. Sementara itu Thio Than sudah berdiri menghadang di depan Lui Tun, ia sudah menyaksikan keampuhan kungfu yang dimiliki Pek Jau-hui, dia pun sadar bahwa kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan tandingan lawan. Tapi dia tak akan membiarkan siapa pun melukai Lui Tun, selama dia masih hidup, ia tak akan membiarkan siapa pun mengganggu Lui Tun biar seujung rambut pun. pias wajahnya. Akan tetapi di saat Kwan Jit siap melayang melalui kepala Ti Hui-keng, Ti Hui-keng yang sastrawan, yang selalu menundukkan kepalanya, yang duduk terus dengan wajah pucat pasi, tibatiba mendongakkan kepala! Sambaran petir menggelegar membelah angkasa. Sorot mata Kwan Jit yang tajam, secara kebetulan saling bertatapan muka dengannya. Tiba-tiba arah yang diambil Kwan Jit untuk melarikan diri kembali berubah. Sekarang dia tidak lagi menerjang langsung ke arah Ti Hui-keng.

Seluruh badannya berubah bagai selapis hawa pedang, kali ini dia menerjang masuk ke arah dinding batu di sudut jalan. Dinding batu itu hancur berantakan dan roboh berserakan begitu diterjang hawa pedang yang kuat bagai gempuran baja itu, tampaknya sebentar lagi ia sudah akan lolos dari sudut jalanan itu. Tiba-tiba tampak bayangan abu-abu berkelebat, suasana kelam di senja itu terasa bertambah kelam, hujan diikuti suara guntur lamat-lamat berkumandang di tempat itu. Bayangan abu-abu langsung mencegat kepergian Kwan Jit di tengah udara, dengan hawa pedang 'Kwan Jit yang tanpa wujud bahkan tiada tandingan itu, ternyata ia tak mampu menjebol pertahanan si kakek berbaju abu-abu yang sebentar bergerak cepat sebentar bergerak lambat itu. Ong Siau-sik sangat tercengang, cepat dia melongok ke arah sana, ternyata kakek berbaju abuabu yang sedang mengha¬dang jalan pergi Kwan Jit itu tak lain adalah Congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun! Baru saja dia hendak mengawasi cara Lui Sun turun ta¬ngan, tiba-tiba dilihatnya Pek Jau-hui sedang mundur sempo¬yongan, lekas dia membimbing badannya. Terdengar Pek Jau-hui menghembuskan napas panjang sambil berbisik, "Ilmu Kiu-ci-eng-koat (rahasia sembilan huruf) yang sangat lihai! Padahal aku hanya melihat sebentar, tapi kepalaku sudah langsung terasa amat pening ..." "Kiu-ci-koat? Rahasia sembilan huruf?" seru Ong Siau-sik, "apakah rahasia sembilan huruf Mitiong-kuai-man-kiu-ci-koat (rahasia sembilan huruf cepat lambat dari sekte rahasia) yang kau maksudkan?" Cepat dia menengok lagi ke tengah arena, terlihat gerakan tangan Lui Sun sebentar cepat sebentar lambat, tapi dia seakan sedang merajut air hujan menjadi selembar jaring langit jala bumi yang luar biasa kuatnya, mengurung seluruh tubuh Kwan Jit berikut hawa pedangnya yang tajam dan kuat. Setiap kali melepaskan sebuah pukulan, Lui Sun selalu menyertakan sekali bentakan nyaring. Siapa pun tak ada yang bisa membayangkan, seorang kakek kurus ceking semacam dia ternyata sanggup mengeluarkan suara bentakan yang begitu keras dan nyaring. Setiap kali dia membentak, suara hujan yang membasahi seluruh langit seakan ikut terhenti sejenak ... sebab bersamaan dengan suara bentakannya itu, nyaris tak terdengar suara lain. Ong Siau-sik hanya mengikuti jalannya pertarungan sejenak saja, ia saksikan jari Lui Sun saling menyilang ketika melakukan pergantian jurus, bibirnya komat-kamit seperti membaca mantera, terkadang cepat terkadang lambat, tapi selalu ditutup dengan suara bentakan yang amat nyaring. Tidak lama ia memandang, kepalanya mulai terasa pening, matanya mulai berkunang-kunang. Ternyata dalam menggunakan ilmu Mi-tiong-kuai-man-Pek Jau-hui sudah berjalan mendekat, memandang Thio Than sekejap dengan pandangan sangat dingin, walau hanya sekejap namun telah mencakup seluruh inti perkataan yang tak pernah dia ucapkan. Ia tak memandang sebelah mata pun terhadap orang ini.

Kemudian dia mengalihkan pandangan matanya ke tanah, mengawasi mayat yang terkapar di situ. Mayat si dayang bunga anggrek! "Dia mati sia-sia," kata Pek Jau-hui dingin, "seandainya majikanmu punya kepandaian, sudah sepantasnya bila ia membalaskan dendam sakit hatimu, paling tidak tak usah bersilat lidah terus di tempat ini." Tentu saja perkataan Pek Jau-hui ini penuh mengandung sindiran, namun dengan demikian beberapa orang tokoh yang hadir di situ pun diam-diam merasa lega, sebab dari nada perkataan itu mereka dapat menyimpulkan bahwa anak muda ini tak akan berbuat nekat. Tapi bagi Ong Siau-sik, dalam hatinya justru muncul satu persoalan lain, sebuah pertanyaan yang sangat aneh. Dan pertanyaan itu melintas cepat dalam benaknya. Seandainya Pek Jau-hui turun tangan terhadap Lui Tun, dapat dipastikan semua jago tangguh Kimhong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong bahkan termasuk dia sendiri pun akan berusaha melindungi dengan sepenuh tenaga, dengan begitu bukankah hal ini memperlihatkan betapa strate¬gisnya posisi Lui Tun saat ini, bahkan jauh lebih strategis dari hal apa pun? Hanya saja ingatan itu cuma melintas cepat untuk kemudian lenyap kembali. Memang begitulah manusia, seringkah banyak pikiran dan ingatan yang dibiarkan berlalu begitu saja. Bila kau tidak berupaya untuk menangkapnya atau segera mencatatnya, mungkin dia tak pernah akan berada di dunia ini, juga tak bakal meninggalkan kesan dalam benakmu. Padahal banyak kejadian besar, banyak pengaruh besar yang terjadi di dunia ini sebetulnya berasal dari ingatan sesaat yang melintas dalam benakmu. "Kita berjumpa lagi di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari." "Satu kata sebagai kesepakatan." "Sampai berjumpa lagi." Biasanya ucapan "Satu kata sebagai kesepakatan" dan "Sampai berjumpa lagi" selalu diucapkan oleh mereka yang hendak berpisah tapi berharap segera dapat bertemu kembali. Namun apa yang diucapkan Lui Sun maupun So Bong-seng saat ini justru tidak mengandung makna itu. Ketika mengucapkan perkataan itu, paras muka mereka amat berat dan serius, begitu juga ketika mendengar perkataan itu, mereka berdua sama-sama merasakan beban pikirannya. Sebab mereka tahu, yang mereka sebut sebenarnya merupakan nama dari dua orang manusia. Yang satu adalah junjungan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong sementara yang lain adalah Tianglo atau sesepuh dari Kim-hong-si-yu-lau. Sesungguhnya So Bong-seng sendiri pun termasuk seorang jago yang tinggi hati dan besar gengsinya, orang yang diangkat menjadi sesepuh, jelas merupakan seorang tokoh yang luar biasa. Semua anggota Kim-hong-si-yu-lau tahu, seandainya mereka bersikap kurang hormat terhadap So Bong-seng, hal ini belum tentu mengundang hukuman berat, tapi bila bersikap kurang sopan terhadap "Satu kata sebagai kesepakatan", setiap saat orang itu bisa mengalami bencana kematian.

Apa yang dikatakan "Satu kata sebagai kesepakatan" ibarat sebuah vonis pengadilan terhadap terpidana mati. "Sampai berjumpa lagi" justru merupakan kebalikannya. Ketika ia mengucapkan perkataan itu terhadap seseorang, maka cepat atau lambat orang itu pasti akan menjadi seorang terpidana dan mengucapkan "Sampai berjumpa lagi" dengan dirinya dalam penjara. Jika seseorang bisa dipuja dan disanjung selama hampir dua puluh tahun dalam perkumpulan Lakhun-poan-tong, dapat dipastikan kepandaian yang dimiliki orang itu sangat luar biasa. "Sampai berjumpa lagi" seratus persen merupakan orang yang berkemampuan tinggi, berilmu silat hebat. Orang yang benar-benar berkemampuan tinggi, tak mungkin akan melakukan sendiri semua pekerjaannya, seperti seseorang yang perkataannya berbobot, tak mungkin dia mau me¬ngatakan sendiri semua persoalannya. Dan kini dari tanya jawab yang dilakukan So Bong-seng dan Lui Sun, segala sesuatunya sudah tertera jelas. Dalam pertemuan di markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong tengah hari lusa, bukan saja "Satu kata sebagai kesepakatan" akan muncul, "Sampai berjumpa lagi" pun pasti akan menampilkan diri. Kalau bukan untuk menghadapi pertarungan mati hidup, kenapa kedua belah pihak sama-sama mendatangkan sesepuh mereka berdua? "Satu kata sebagai kesepakatan". "Sampai berjumpa lagi". Dua nama ini dapat dipastikan bisa mengendalikan suasana dalam arena. Begitu selesai berkata, So Bong-seng dan Lui Sun segera berpisah dan mengambil jalan masingmasing. Dengan kepergian mereka, anak buah kedua belah pihak pun segera ikut membubarkan diri. Begitu So Bong-seng beranjak, seluruh jago yang bernaung di bawah bendera Kim-hong-si-yu-lau ikut bergeser dari posisi masing-masing, semua orang bergerak tertib dan penuh disiplin, melihat itu satu ingatan sempat melintas dalam benak Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui. So Bong-seng adalah So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, ketika sekelompok manusia mendukung dan menyanjungnya, dia adalah So-kongcu yang tersohor namanya di kolong langit dan seorang pemimpin yang menguasai jagad, jauh ber¬beda dengan sikapnya ketika kemarin bersama mereka berdua datang mengunjungi loteng Sam-hap-lau. Beginikah pamor Ang-siu-bong-seng-te-it-to (golok nomor satu berbaju merah dalam impian)? Ataukah di antara mereka bertiga sesungguhnya sudah terdapat jarak, terdapat jurang pemisah yang cukup dalam? Ong Siau-sik tidak tahu apa jawaban yang tepat . Tapi dia dapat merasakan, sewaktu So Bong-seng membalikkan tubuh sambil beranjak pergi tadi,

dia seakan sedang bertukar kerdipan mata dengan Pek Jau-hui, kerdipan itu seakan sedang bertukar satu rahasia besar. Tampaknya Pek Jau-hui pun sudah memperoleh jawabannya sendiri. Meskipun Ong Siau-sik tidak mengerti, namun dia merasa yakin akan satu hal. Orang semakin banyak, jagoan semakin tangguh, perselisihan tentu semakin sengit, So Bong-seng yang selama ini nampak sakit-sakitan, kini justru semakin kuat memancarkan kewibawaan dan kekosenannya. Mungkin hanya terjadi satu kali, hanya berlaku pada satu orang, dimana pernah menutupi kewibawaan, kekosenan dan kehebatannya, meski berlangsung hanya sesaat namun paling tidak ia pernah mengalaminya satu kali. Peristiwa itu terjadi tadi, pada diri Kwan Jit. Bukan saja Kwan Jit telah menutupi kewibawaan, keko¬senan dan kehebatan So Bong-seng, memukul mundur Lui Sun bahkan berhasil juga menahan Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui. Dan waktu itu dia hanya berhasil ditaklukkan oleh semacam benda ... sebuah peti mati! Sebenarnya dimanakah letak kehebatan peti mati itu? Mengapa begitu menakutkan? Mengapa Kwan Jit yang tak takut langit tak takut bumi, justru takut dengan sebuah peti mati? Dalam pada itu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah beranjak pergi mengikuti rombongan So Bongseng, Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau dengan membawa anak buahnya juga mengikut dari belakang, sementara Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin mengikuti rombongan Lui Sun berlalu dari sana. Tinggal Tan Cian-kui beserta belasan orang anggota setia perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang menyingkir ke jalan lain dalam suasana duka. Sebenarnya Lui Tun juga akan berlalu, tapi ketika melihat Un Ji, Tong Po-gou serta Thio Than yang masih berdiri termangu, dia pun segera menegur, "Kalian tidak pergi?" "Pergi?" Thio Than tertawa getir, "mau pergi kemana?" "Tentu saja balik ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" jawab Lui Tun lirih, kendatipun gadis itu memaksakan diri untuk tertawa, namun siapa pun dapat melihat kalau hatinya teramat gundah, "dengan susah payah aku berharap Go-ko mau datang ke ibukota, kau baru datang setengah bulan, masakah segera akan pergi lagi." "Nona Lui," tiba-tiba Thio Than bersikap sungkan, "ketika kita mengangkat saudara dulu, aku sama sekali tidak tahu kalau kau adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan Lak-hunpoan-tong, bukankah begitu?" "Benar." "Walaupun sekarang aku sudah tahu, namun aku tetap sangat berterima kasih karena kau telah menolongku." "Kalau bicara soal terima kasih, sepanjang jalan Go-ko sudah merawat dan melindungi aku secara baik, sampai kapan kita harus saling berterima kasih?" "Sayang kau adalah putri kesayangan Lui-congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong."

"Tapi hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan persahabatan kita!" "Ada, ada sangkut-pautnya" ujar Thio Than serius, "dulu aku tidak tahu maka aku berani mengangkat saudara denganmu." "Sekarang hubungan persaudaraan antara aku dan engkoh Thio sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan orang lain, sepanjang perjalanan sampai di sini, kita pun tak pernah menimbulkan kesalah-pahaman orang, kenapa setelah urusan jadi beres, kau malah mempersoalkan segala urusan tetek-bengek? Go-ko, aku tidak mengerti." "Kau adalah putri tunggal Lui-congtongcu ... aku ... ai, pokoknya aku merasa tak pantas untuk mengangkat saudara denganmu," kata Thio Than sambil menghela napas panjang, "terus terang saja aku berkata, dalam sebulan ini demi kau, aku telah bergabung dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, tapi aku ... aku selalu merasa bahwa perkumpulan itu sama sekali ... sama sekali tak cocok dengan karakterku!" "Engkoh Thio adalah seorang lelaki berjiwa terbuka, ksatria dan menjunjung kebenaran, betul, perbuatan serta sepak terjang perkumpulan Lak-hun-poan-tong memang tak bakal cocok denganmu, seandainya bukan lantaran Siau-moay, mungkin Go-ko sudah pergi meninggalkan aku sejak dulu," kata Lui Tun sedih, "tapi, Go-ko toh bisa tak usah bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau bisa saja mendampingi Siau-moay tanpa melibatkan diri dengan urusan partai? Tiap orang punya sudut pandang yang berbeda, Siau-moay pun tak berani menggunakan perkumpulan Lak-hun-poan-tong untuk menahan Go-ko, cuma Bicara sampai di sini gadis itu kembali menghela napas panjang, terusnya, "Atau mungkin ... engkoh Thio sudah muak berkumpul dengan Siau-moay sehingga berniat pergi meninggalkan aku? Tak heran kalau kau selalu menyebutku nona Lui... kalau memang itu alasannya, tentu saja Siau-moay tak akan menahan lebih jauh." "Jangan bilang begitu," seru Thio Than gelisah, "aku tidak bermaksud begitu, sejak mengangkat saudara di gardu Ciu-gi-teng tempo hari pun aku tak pernah berani menyebutmu adik, meski dalam hati kecil aku selalu memandangmu sebagai adik, tapi aku tetap berpendapat bahwa diriku tidak pantas ..." "Perkataan apa itu? Soal ini tidak menyangkut pantas atau tidak" tukas Lui Tun cepat, "sejak meninggalkan kota Tiang-an hingga tiba di Han-swe, seandainya sepanjang jalan tak ada Go-ko yang melindungi aku, mungkin nyawaku sudah lenyap sejak lama." "Ah, itu terhitung apa? Kecuali kungfu kucing kaki tiga, apa pun tidak kupahami, malah dengan kepintaran Jit-moaycu, kau pernah menyelamatkan aku satu kali, kejadian ini benar-benar membuatku malu," kata Thio Than sedih, "tapi sejak tiba di ibukota, aku lihat para jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kim-hong-si-yu-lau ternyata jauh lebih tangguh dari kemampuanku, apalagi setelah ayahmu mendemonstrasikan kemampuannya tadi, aku merasa biarpun belajar selama hidup juga belum tentu kepandaianku bisa mencapai taraf sehebat itu. Titoatongcu meski belum turun tangan, tapi aku pun tahu kalau dia sangat lihai, apalagi jika Jitmoaycu sudah menikah dengan So Bong-seng dari Kim-hong-si-yu-lau, dengan kemampuan si batu kecil berdua, mereka sudah lebih dari cukup untuk melindungi keselamatanmu. Kedatanganku ke ibukota kali ini tidak punya maksud lain, aku hanya ingin menjaga agar orang tidak mengganggu Jit-moaycu, tapi sekarang, coba kau lihat, apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya membikin malu orang saja ...." Setelah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia melanjutkan, "Mumpung belum kehilangan muka, aku pikir lebih baik berpamitan saja dengan Jit-moaycu, bila di kemudian hari Jit-moaycu masih teringat dengan aku si Gentong nasi, aku pasti akan berterima kasih sekali."

Lui Tun menjadi girang ketika mendengar Thio Than memanggil Jit-moaycu kepadanya, namun perasaan sedih kembali menyelimuti wajahnya begitu ia mulai menyinggung masalah perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau. Setelah termenung beberapa saat, ujarnya, "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong memiliki jago yang hebat, atau Kim-hong-si-yu-lau memiliki jago yang tersebar sampai dimana-mana, apa urusannya dengan aku? Kini aku tak lebih hanya seorang manusia yang terkekang, ayah menginginkan aku menikah dengan So-kongcu, menjadikan aku sebagai salah satu pemilik Kim-hong-si-yu-lau, kemudian menggunakan aku sebagai umpan guna memancing Kwan Jit masuk perangkap, mereka menganggap diriku sebagai apa?" "Perbuatan Lui-congtongcu memang sedikit kelewatan, So Bong-seng pun tidak tahu diri!" Un Ji selama ini hanya membungkam karena tidak tahu persoalan apa yang sedang dibicarakan, tapi begitu mendengar ucapan yang terakhir, kontan saja dia melotot besar sambil membentak gusar, "Kau berani memaki Sukoku?" "Betul, betul" mendadak Tong Po-gou ikut menimbrung, "perkataanmu memang betul sekali!" Un Ji tidak menyangka kalau dalam keadaan begini Tong Po-gou justru menginjak kaki belakangnya, saking jengkel dan mendongkolnya untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata. Kepada Thio Than ujar Tong Po-gou lagi, "Tahukah kau, kenapa aku mengatakan betul secara berulang kali?" Saat ini Thio Than tidak berminat untuk menanggapi perkataan orang, dia sama sekali tidak menggubris. Melihat itu Tong Po-gou segera berkata lagi, "Ketika mengucapkan betul untuk kedua kalinya tadi, karena aku mengang¬gap umpatanmu memang sangat tepat, tapi tahukah kau kenapa aku mengatakan betul untuk pertama kali tadi?" Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjawab, Tong Po-gou kembali berkata, "Aku mengatakan betul karena sangat setuju dengan umpatanmu kepada dirimu sendiri, kungfumu memang cuma kungfu kucing kaki tiga, itu tidak keliru!" Lui Tun tak ingin Thio Than geger lagi dengan Tong Po-gou, lekas dia mengalihkan pembicaraan, katanya, "Masih ingat tidak, ketika pertama kali berkenalan denganmu, aku sempat memanggil Siau-thio kepadamu bahkan sampai sekarang pun aku tak sanggup mengubah kebiasaan itu, padahal kau adalah kakak kelima! Coba lihat, Siau-moay benar-benar tak tahu aturan." "Aku tak pernah mempersoalkan segala nama sebutan, buat apa mempersoalkan tingkatan nama panggilan, tak ada gunanya," lekas Thio Than berkata. "Lantas kenapa Go-ko masih mempersoalkan perkumpulan di belakang Siau-moay? Yang penting Go-ko datang ke ibukota untuk mengantar Siau-moay, bukankah begitu?" "Tadi nona Lui pernah berkata bahwa jadi manusia harus tahu diri, aku kuatir perbuatanku ini kelewat tak tahu diri, kelewat tidak menilai bobot sendiri." "Perkataan tadi sengaja kuucapkan untuk mengunci Pek Jau-hui yang sombong dan jumawa, kenapa malah kau masukkan ke dalam hati?" seru Lui Tun, "sudah, sudahlah, biar Siau-moay minta maaf kepadamu, tapi kau jangan memanggil aku nona Lui lagi, bagaimana kalau sebut aku Jit-moaycu atau Siau-moaycu saja?"

"Tidak baik, sekalipun kita sudah angkat saudara, namun sepanjang jalan lebih baik aku tetap memanggilmu sebagai nona Lui saja, karena kecuali mempunyai Toaci yang sama, antara kau dan kami sebetulnya beda sekali." "Terserahlah apa maumu, yang pasti aku tetap akan menganggapmu sebagai Go-ko, aku tak ingin kau pergi." "Siapa bilang aku akan pergi? Paling tidak aku pun harus menunggu penyelesaian dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau, setelah yakin tak ada yang akan menganiaya dirimu, aku baru akan pergi dari sini," setelah tertawa lirih kembali ujar Thio Than, "padahal dengan kepandaian yang kumiliki, jika benar-benar terjadi pertarungan, mungkin aku tak bisa melindungi siapa pun." Belum lagi Lui Tun mengucapkan sesuatu, dengan suara menggeledek Tong Po-gou telah berteriak keras, "He, Gentong nasi, siapa bilang kau tak mampu? Buktinya kau masih mampu bertarung dengan aku si manusia tanpa tandingan di kolong langit, bahkan nyaris bertarung seimbang." Kata "nyaris" sengaja ditekankan, seakan dia ingin semua orang mendengar dengan jelas ucapannya itu. Kendatipun dia sedang 'memberi semangat' kepada Thio Than, namun dia pun ingin menunjukkan kalau kepandaian silatnya sama sekali tak kalah dengan orang itu. ooOOoo 48 . Aku mau Thio Than hanya tertawa getir, sama sekali tidak berusaha membantah. Akibatnya Tong Po-gou merasa amat kesal. Biasanya, ketika berkumpul dengan Pui Heng-sau sekalian, kalau ada waktu senggang mereka sering cari keributan sendiri untuk mengusir waktu, tapi setelah bertemu Un Ji di ibukota, meski di mulut ia sering mencari keributan, sesungguhnya secara diam-diam ia selalu berusaha melindungi gadis ini. Dia tahu, kendatipun Un Ji adalah adik seperguruan So Bong-seng, ada banyak jago Kim-hong-siyu-lau yang melindungi dirinya, tapi gadis ini masih cetek pengalaman, banyak masalah yang belum ia ketahui, bila orang semacam ini tergencet dalam kemelut antara Kim-hong-si-yu-lau, perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, jelas dia akan banyak menderita kerugian. Karena pertimbangan inilah, ia lebih suka dimaki-maki Un Ji ketimbang meninggalkan gadis itu seorang diri. Kali ini gara-gara datang ke rumah makan Sam-hap-lau, ia telah berjumpa dengan Thio Than, yang dalam anggapannya orang ini mirip dengan rekannya Pui Heng-sau, kalau iseng lantas suka cari gara-gara dan keributan, hal ini membuat perasaannya yang sudah masgul jadi cerah kembali, karena waktu bisa dilalui dalam gurauan dan keributan. Siapa tahu gara-gara urusan Lui Tun, Thio Than jadi kehilangan semangat, gurauannya yang tidak ditanggapi oto¬matis mempengaruhi juga kemasgulan di hatinya. "Padahal tak ada yang perlu dikenang di kotaraja ini," kata Lui Tun kemudian dengan nada murung, "begitu urusan di sini selesai, aku pun ingin berkumpul bersama saudaraku yang lain di perkampungan Tho-hoa-ceng, betapa nikmatnya setiap hari hanya berpesiar ke sana kemari

"Kalau bisa begitu memang bagus sekalisambung Thio Than. "Memangnya tak mungkin?" tanya Lui Tun seraya berpaling. "Ah, tidak, tidak "Aku rasa perkataanmu tadi belum selesai." "Aku hanya merasa kau bukan manusia macam begitu," kata Thio Than seraya menggeleng, "kau sangat berbeda dengan para Toaci di perkampungan Tho-hoa-ceng, bagi mereka, mau mengasingkan diri, mau jauh dari keramaian, semuanya bisa dilakukan secara gampang, sebaliknya kau ... kau sangat memasyarakat, kau pun sangat mampu." "Aku sangat mampu?" Lui Tun tertawa geli, sewaktu tertawa, matanya tinggal satu garis, "padahal bisa hidup sampai sekarang pun-sudah termasuk satu kemukjizatan." Un Ji yang mendengar dan menyaksikan semua itu segera mengambil kesimpulan, tak heran Lui Tun begitu lembut dan cantik, tubuhnya begitu tipis seakan gampang retak, mungkinkah semua gadis cantik selalu bernasib jelek? Apakah gadis cantik bernasib jelek selalu akan menjadi bibit bencana. Gadis cantik yang tidak bernasib jelek apakah akan menjadi sumber bencana juga? Pikir punya pikir, dia seakan lupa bahwa dia sendiri pun termasuk gadis cantik. Sementara itu Thio Than telah berkata dengan suara keras, "Nona Lui, kau jangan berkata begitu, bisa kungfu atau tidak sebenarnya bukan hal yang penting, aku masih ingat, waktu itu adalah bulan enam tanggal satu, aku hendak pulang ke telaga Ing-tham untuk menjenguk keluarga Lui Tun tertawa, matanya berkilauan bagai bintang timur, senyum riang kembali menghiasi wajahnya, selanya, "Jadi waktu itu Go-ko benar-benar pulang kampung ... pulang untuk melamar gadis pujaanmu?" Thio Than ikut tertawa, paras mukanya merah padam karena jengah, dasar mukanya hitam hingga membuat semu merah yang menghiasi wajahnya nampak lebih gelap. Tapi hanya sebentar saja rasa jengah itu segera lenyap dan berganti jadi rasa gusar yang meluap. "Ketika aku tiba di dusunku, ternyata segala sesuatunya telah berubah. Berbicara sampai di sini ia tak bicara lagi, mungkin dia memang tak sanggup untuk melanjutkan perkataannya. "Tapi semua itu sudah berlalu, sudah menjadi kenangan saja," lekas Lui Tun menimpali. "Aku tahu, itulah sebabnya dalam satu tahun terakhir aku selalu berusaha untuk tidak memikirkannya lagi," kata Thio Than dengan suara berat dan dalam, "aku hanya ingin bercerita dan memberitahu kepadamu, kalau bukan kau telah menyelamatkan aku, padahal kau tak pandai bersilat, mungkin aku sudah mati di tangan Piat Jin-thian "Justru karena kejadian itu, aku baru berjodoh hingga berkenalan dengan Go-ko." "He, siapa sih yang kau maksud? Apakah orang itu adalah si manusia buas Thian-locu?" sela Tong Po-gou tiba-tiba. Thio Than sama sekali tidak menggubris. "Kejadian yang sudah lewat buat apa disinggung lagi," kata Lui Tun kemudian. "Jit-moaycu" kata Thio Than dengan serius, "walaupun kau tidak mengerti ilmu silat, namun kebaikan hatimu, kecuali Toaci, rasanya tak ada lagi yang bisa menangkan dirimu."

Lui Tun tertawa ringan. "Aku tahu apa maksudmu itu," katanya lembut, "oleh karena itu aku pun tak berani kelewat memandang diriku sendiri, itulah sebabnya ... bukankah aku hidup terus sampai hari ini?" "He, sebetulnya apa yang sedang kalian bicarakan?" seru Tong Po-gou nyaris meraung keras, "kalau bicara jangan sok rahasia, terhitung lelaki macam apa dirimu itu!" Un Ji sendiri pun tak mampu menahan diri, setengah merengek serunya, "Katakanlah, katakanlah apa yang sedang kalian bicarakan..." Melihat Thio Than sama sekali tidak menggubris, ia segera berseru lagi, "Kalau kau tak mau bicara, berarti kalian tidak menganggap kami sebagai teman lagi?" Melihat Thio Than tetap tidak menggubris, akhirnya dengan sedikit gusar teriaknya, "Baik, kalau kau tak mau bicara ya sudah, sekarang biar kau paksa aku untuk mendengar pun, nonamu tak bakal sudi mendengar!" Thio Than tetap tidak menjawab. Baru saja Un Ji mau unjuk kegusarannya, lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Adik Ji, kau tak usah marah, kalau ada waktu main saja ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Cici pasti akan bercerita panjang lebar denganmu." Sesudah mendengar janji ini, Un Ji baru menampilkan senyumannya kembali. Dalam pada itu Tong Po-gou masih berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, terdengar ia sedang bergumam seorang diri, "Aneh, sungguh kejadian aneh ..." Kini giliran Thio Than yang keheranan, tanyanya, "Kejadian aneh apa?" Sebenarnya orang inipun termasuk golongan manusia yang suka mencampuri urusan orang lain, tadi ia belum pulih dari kesedihannya karena terkenang kembali kejadian masa lampau, maka sikapnya seolah berubah jadi orang lain, tapi setelah perasaannya tenang kembali, wujud aslinya pun segera muncul kembali. "Luar biasa, benar-benar luar biasa," kembali Tong Po-gou berseru. "Apanya yang luar biasa?" lagi-lagi Thio Than bertanya. "Perempuan, ai, perempuan Tong Po-gou menghela napas panjang, "ternyata perempuan banyak tingkahnya, jauh melebihi senjata rahasia dari keluarga Tong kami." "Jadi kau benar-benar anggota perguruan keluarga Tong dari Siok-tiong?" Tiba-tiba Tong Po-gou membalikkan tubuhnya, sambil melotot dengan matanya yang besar,* serunya, "Apakah aku dari keluarga Tong?" "Benar!" "Apakah orang yang bermarga Tong pasti berasal dari keluarga Tong yang ada di wilayah Suchuan? Memangnya tak ada keluarga lain selain keluarga itu? Apakah senjata rahasia yang digunakan orang bermarga Tong harus merupakan senjata rahasia dari benteng keluarga Tong di Suchuan? Tak mungkin ada keluarga yang lain?" Thio Than yang dicerca dengan serentetan pertanyaan jadi gelagapan sendiri, serunya tergagap, "Ada sih ada ... cuma ... cuma..."

"Cuma kenapa? Cepat katakan, kalau ingin ken ... cepat dilepaskan," teriak Tong Po-gou keras, sebetulnya dia ingin mengatakan kentut, tapi teringat di situ hadir dua gadis muda, maka ucapan itu segera dibatalkan. "Kecuali keluarga Tong dari Suchuan, rasanya tiada keluarga Tong lain yang punya nama," jawab Thio Than kemudian. "Kau salah besar, masih ada satu keluarga lagi yang nama besarnya menggetarkan sungai telaga," ujar Tong Po-gou serius, "keluarga Tong dari Po-hwi jauh lebih ternama daripada keluarga Tong dari Suchuan." "Ooh, jadi kau yang mendirikan perguruan itu?" "Sama sekali bukan, ada sejarah sebagai bukti. Kau sangka aku adalah manusia latah yang berani sok gagah-gagahan?" Kali ini giliran Un Ji dan Thio Than yang dibuat kebingungan, bagaimanapun mereka mencoba untuk berpikir, tidak berhasil juga menemukan sebuah nama keluarga Tong yang begitu tersohor, akhirnya tak tahan mereka bertanya, "Siapa sih orang yang kau maksud?" "Tong Sam-cong!" jawab Tong Po-gou sambil tertawa tergelak, "senjata rahasianya adalah gelang emas yang telah beliau gunakan untuk mengendalikan Sun Go-kong, benda itu pemberian Buddha Ji-lay-hud!" Hampir mencak-mencak gusar Thio Than setelah mendengar jawaban itu, umpatnya, "Sialan kau! Kenapa tidak kau sebut juga kaisar Tong Beng-huang? Sehingga bisa membunuh orang dalam mimpinya?" Lekas Lui Tun mencegah, katanya, "Un Ji merupakan gadis paling manja yang pernah kujumpai,dia pun terhitung adikku yang paling baik, semestinya Go-ko juga tahu, Tong Ki-hiap itu suka bergurau, apa salahnya kalau dia mengajak kalian bergurau untuk meramaikan suasana?" Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Gurauan hanya bisa dilakukan terhadap mereka yang punya bobot dan pengetahuan, Tong Ki-hiap bermata jeli, kali ini dia bisa memilih sasaran yang tepat." Dengan sepatah kata saja dia telah memunahkan semua kebekuan yang terjadi di situ. Mau tak mau terpaksa Un Ji harus jadi seorang nona alim. Thio Than pun terpaksa harus menerima gurauan itu dengan berbesar hati. "Kita tak perlu mempersoalkan apakah Tong Sam-cong benar-benar bermarga Tong, tapi kita harus mengakui bahwa Tong Ki-hiap memang seorang yang sangat kreatip, buktinya dia bisa menghubungkan siluman kera Sun Go-kong sebagai salah satu pendekar dalam dunia persilatan, ide ceritanya memang luar biasa," kata Lui Tun sambil tertawa, "mungkin saja dia benar, cerita dongeng di masa lalu mungkin merupakan cikal-bakal dari cerita silat jaman sekarang, hanya cerita kuno selalu diberi bumbu yang hebat. Siapa tahu pahlawan itu dulunya memang pernah ada, hanya kemampuannya saja yang berbeda." "Cici Lui, masa kau anggap aku adalah gadis alim?" tegur Unji. "Eh kenapa? Memangnya bukan anak alim?" Lui Tun balik bertanya dengan wajah tercengang.

Un Ji menghela napas panjang, katanya, "Anak gadis sekarang jarang yang alim, mereka suka belajar rusak, semakin rusak semakin bisa diterima orang banyak, semakin belajar rusak semakin banyak temannya, bahkan seringkah justru disanjung banyak orang." "Ah, benarkah begitu? Apa benar situasi dalam dunia persilatan sudah separah itu?" "Benar, malah aku sendiri pun merasa bahwa diriku ini tidak alim, orang rumahku selalu kubuat jadi ketakutan bila melihat kehadiranku, Suhu pun selalu bilang, di antara sesama saudara seperguruan, aku terhitung paling nakal, suka mengacau "Orang yang pintar baru nakal, mungkin Suhumu sengaja mengajakmu bergurau "Tidak, di hari-hari biasa Suhu memang ramah kepadaku, tapi begitu dia mulai memberi nasehat, bisa bikin pecah nyali yang mendengarnya." "Gurumu Ang-siu Sinni adalah salah satu tokoh persilatan yang sangat dihormati orang, sudah lama dia hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia, mungkin saja nasehatnya mempunyai tujuan tertentu dan bukan teguran, jika dia tak menyayangimu, masakah beliau mengijinkan kau menempuh perjalanan ribuan li hanya bertujuan untuk membujuk Toa-suhengmu agar mau berubah pikiran "Itulah dia," seru Un Ji dengan mata mulai memerah, "alangkah baiknya jika mereka ijinkan aku pergi." Begitu perkataan itu diucapkan, Lui Tun maupun Thio Than jadi terperanjat. "Maksudmu ..." Lui Tun bertanya keheranan. "Jadi kau kemari tanpa sepengetahuan guru dan ayahmu sambung Thio Than. "Jadi mereka tidak tahu?" "Ya, dan kau tetap nekat datang kemari?" Menyaksikan paras muka semua orang berubah hebat, kembali mata Un Ji berkaca-kaca, hampir saja air mata jatuh bercucuran. Cepat Lui Tun menepuk bahunya sambil menghibur, "Kau pernah berkata, kedatanganmu kali ini lantaran gurumu Ang-siu Sinni mengutus kau untuk mencari So-suko, bahkan ayahmu Siong-yangcap-kau-kiu (sembilan belas tangan sakti dari Siong-yang) Un Wan, Un-tayjin juga setuju akan kepergianmu ini, ternyata ... ternyata kau mengeluyur pergi tanpa pamit..." "Itulah dia," seru Un Ji cemberut, "coba kalau tidak mengeluyur pergi secara diam-diam, mungkin sepanjang hidup mereka tak akan mengijinkan aku keluar rumah, katanya aku harus belajar kungfu sampai tamat lebih dulu baru boleh turun gunung ... padahal berlatih kungfu itu membosankan, tidak menyenangkan, kalau mesti menunggu tamat belajar, mungkin aku sudah telanjur tua, aku sudah keriput, kalau sudah tua baru turun gunung, apa senangnya ...?" Diam-diam Thio Than seria Lui Tun bermandikan peluh, mereka bisa membayangkan betapa panik dan cemasnya Angsiu Sinni serta Un Wan Tayjin setelah mengetahui kepergian gadis ini. Terdengar Un II kembali berkata, "Seandainya aku benar-benar sedang menjalankan tugas gar;, untuk memanggil pulang So-suko, mana mungkin aku masih berari berada di ibukota untuk membuat onar dengan ayahmu."

Kini baik Lui Tun maupun Thio Than bam mengetahui dengan pasti bahwa kedatangan Un Ji kali ini ke ibukota memang tanpa persetujuan dari gurunya, Ang-siu sinni serta ayahnya Un Wan Tayjin. Sebaliknya Tong Po-gou malah kegirangan setengah mati, serunya sambil bertepuk tangan, "Bagus sekali, kalau begitu kau tak perlu tergesa-gesa pulang, ayo, kita main dulu di kotaraja sampai puas, sekalian kita cari Sim-toako dan diajak main bersama!" Yang dia sebut sebagai Sim-toako adalah Sim Hau-sian yang paling dihormatinya. (Sim Hau-sian, Pui Heng-sau dan Tong Po-gou belakangan disebut orang persilatan sebagai 'Jit-tay-ko', tujuh penyamun besar, walaupun disebut penyamun namun banyak orang persilatan yang pernah menerima bantuan dari mereka, khususnya kaum fakir miskin. Nama besar mereka sangat dihormati bahkan kiu-ci-koat itu, Lui Sun telah menyatukan daya cipta yang kuat, hawa mumi yang dahsyat serta kelincahan jurus yang hebat, tiga hal menjudi satu kekuatan, tak heran jika daya pengaruh yang terpancar keluar dari serangan jarinya itu luar biasa hebatnya. Kesembilan huruf ilmu Mi-tiong-kuai-man-kiu-ci-koat itu adalah ' I .eng-peng-to-ci-cia-tin-liat-caykian' (membawa pasukan tempur bubar duluan sebelum terbentuk barisan), dan semua huruf yang terkandung di situ merupakan jurus serangan maut yang bisa menghasilkan kekuatan mengerikan. Huruf pertama dari ilmu itu adalah 'Leng', jari ditekuk menghadap ke arah telapak tangan, ruas kedua jari saling bersinggungan dengan ujung jari telunjuk saling menempel, inilah jurus Tok-kueng (ilmu jari kering kerontang) dari Mi-tiong-tay-jiu-eng. Huruf kedua adalah Teng', posisi jari persis seperti posisi huruf pertama, hanya di dalam gerakan ini kedua ujung ibu jari yang saling menempel, jari tengah melingkar pada ibu jari. Inilah jurus Tay-kim-kong-lun-eng (ilmu jari kim-kong berputar). Huruf ketiga To', sepasang telapak saling singgung dengan jari saling menempel, jari tengah bersilangan dengan jari telunjuk dan menekan sejajar rata, sementara ibu jari, jari manis dan kelingking tetap dalam posisi berdiri, inilah jurus Gwa-say-cu-eng (ilmu jari singa sakti luar). Huruf keempat 'Ci', jari tengah saling bersilang dengan jari manis menjepit, ibu jari, jari telunjuk dan kelingking menyertai dnri kiri kanan, jurus ini disebut Lwe-say-cu-eng (Ilmu jari singa .sakti dalam). Huruf kelima 'Cia', sepuluh jari kiri dan kanan saling bertautan, ujung jari ditonjolkan menghadap keluar dengan jari kanan berada lebih ke depan, jurus ini adalah Gwa-hok-eng (Ilmu jari membelenggu keluar). Huruf keenam Tin', telapak tangan sedikit ditekuk dengan sepuluh jari saling menyilang, ibu jari kanan diletakkan di atas ibu jari kiri dan diarahkan ke atas, jurus ini disebut Lwe-hok-eng (Ilmu jari membelenggu ke dalam). Huruf ketujuh 'Liat', kecuali ibu jari kiri menghadap ke atas dan tertuju keluar, jari lain menekuk ke arah telapak tangan, ibu jari berada di lingkaran luar sementara ibu jari kanan membentuk huruf 7, jari yang lain mencekal di atas ibu jari kiri, jurus ini disebut Ci-kun-eng (ilmu jari kepalan cerdas). Huruf kedelapan 'Cay', kesepuluh jari direntangkan membentuk kipas dengan ujung jari saling berhadapan, telapak menghadap keluar, bagian tengah membentuk lingkaran, jurus ini disebut Jitlun-eng (ilmu jari bola matahari).

Huruf kesembilan 'Kian', tangan kiri mengepal seperti tinju dengan ibu jari kanan menempel di ruas jari telunjuk tangan kiri, jurus ini disebut Yin-seng-eng (Ilmu jari wujud). Tangan kiri Lui Sun sebenarnya hanya tersisa jari tengah dan ibu jari, tapi sekarang ia telah mengenakan tiga buah 'jari' palsu. Jari yang terbuat dari kayu. Tentu saja karena terbuat dari kayu maka gerak-geriknya tidak secepat dan selincah jari yang terbuat dari darah daging. Ong Siau-sik yang memiliki kungfu hebat dan tenaga dalam sempurna pun lama kelamaan dibuat berkunang-kunang setelah menyaksikan jurus serangan itu, apalagi Kwan Jit yang sudah menderita luka parah dan sekarang harus bertarung dalam jarak dekat. Begitu Lui Sun mengembangkan ilmu sembilan hurufnya, cahaya Buddha serasa memancar dari balik wajahnya, siapa pun tidak menyangka kalau Lui Sun yang tangannya penuh berle-potan darah dan sudah banyak membunuh itu ternyata memiliki ilmu silat yang penuh dengan jiwa serta hawa Buddha, hampir sejajar dengan nama besar 4 opas. Cerita tentang Sim Hau-sian dan kawankawan akan diterbitkan tersendiri dalam serial Tujuh penyamun). "Bagus sekali!" seru Un Ji kegirangan, ia segera menarik tangan Lui Tun sambil mengajak, "Ciri, kau juga ikut!" Lui Tun tersenyum. "Sebelum meninggalkan ibukota, lebih baik adik jadi tamuku dulu, banyak persoalan yang ingin Ciri bicarakan secara pribadi denganmu." Mendengar ajakan itu, Thio Than segera menyela, "Un-lihiap adalah anggota Kim-hong-si-yu-lau, dia pun masih terhitung adik seperguruan So-kongcu, apakah leluasa mengajaknya datang ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" "Ah, kau banyak curiga," seru Un Ji mendongkol, "memangnya perkumpulan Lak-hun-poan-tong bisa berbuat apa ter¬hadap nonamu? Dia bisa membunuhku?" Setelah menyaksikan pertarungan seru antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-siyu-lau melawan Kwan Jit, tapi masih bisa tampil percaya diri, mungkin di dunia ini hanya ada Un Ji seorang. Tentu saja masih ada seorang lagi, orang itu tak lain adalah Tong Po-gou. Terdengar manusia raksasa itu berseru kegirangan, "Bagus, aku juga mau ikut ke sana." "Mau apa kau ikut ke sana?" tegur Lui Tun sambil mendongakkan kepala. Tong Po-gou agak tertegun, dengan gelagapan sahutnya, "Aku ... aku hendak melindungimu "Siapa butuh perlindunganmu?' seru Un Ji mendongkol. "Aku Tong Po-gou semakin gelagapan dibuatnya, "aku ... terpaksa aku..." "Mau apa kau?" "Aku dan Cici ingin bicara secara pribadi, masa kau juga mau ikut?" sambung Un Ji pula sambil tertawa.

"Kalau begitu ... kalau begitu aku akan mencari satu tempat untuk menunggumu." "Kau tak usah menunggu aku lagi." Sementara itu Lui Tun telah berpaling ke arah Thio Than sambil bertanya, "Go-ko, apakah kau juga sekalian mau mampir ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" "Aku rasa, mungkin belakangan saja," jawab Thio Than setelah berpikir sejenak. "Go-ko "Ooh, aku sih tak akan pergi, semisal mau pergi pun tentu akan mengabarkan dulu kepadamu, tak usah kuatir, aku tak bakal pergi tanpa pamit," kata Thio Than perlahan, "aku hanya ingin berpikir seorang diri dengan tenang ... cuma aku tetap masih kuatir, Un-lihiap, dia "Kau pun tak usah kuatir, ayah tahu kalau Un-lihiap sebenarnya tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan Kim-hong-si-yu-lau, yang ingin dia hadapi adalah So-kongcu, jika sampai menyalahi adik Un, artinya dia hendak membuat permusuhan dengan Ang-siu Sinni serta Un Wan Tayjin, tindakan semacam ini sangat tidak menguntungkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, selain itu juga tak berpengaruh apa-apa terhadap So-kongcu. Apalagi sekarang perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah ambruk, aku rasa di dalam kota tak bakal ada orang yang mampu mengusik kami berdua." Setelah mendengar uraian Lui Tun ini, Un Ji sendiri pun segera mendapat tahu bahwa gadis itu telah memberi keterangan secara samar bahkan kehadiran Un Ji di situ sebetulnya tak ada nilai strategisnya, karena itu biar ditangkap pun tak akan menghasilkan keuntungan apa-apa. Sementara itu Lui Tun telah berkata lagi, "Siau-thio, bila kau ... ah, lagi-lagi aku lupa memanggil Go-ko, rupanya kau kuatir ada pihak lain yang akan mengganggu kami bukan? Jangan kuatir, dengan kemampuan perkumpulan Lak-hun-poan-tong ditambah Kim-hong-si-yu-lau, aku rasa tak nanti ada yang berani mengusik kami berdua." Thio Than sadar, apa yang dikatakan Lui Tun sesungguhnya memang merupakan kenyataan. Lui Sun telah meninggalkan nenek kedelai dan Lim Ko-ko, dua orang Tongcunya untuk menunggu di kejauhan sana, jelas kedua orang itu mendapat tugas mengawal Lui Tun pulang ke markas. Tampaknya setelah tiba di ibukota, Lui Tun memang sudah tak membutuhkan pengawalannya lagi. Dalam pada itu Un Ji juga sedang sibuk menyuruh Su Bu-kui yang tampaknya sengaja ditinggalkan So Bong-seng untuk mengantarnya pulang ke markas Kim-hong-si-yu-lau agar pu¬lang terlebih dulu. Tong Po-gou segera menghampiri Thio Than, sambil menepuk bahunya kuat-kuat serunya, "Mari, kita tak usah mencampuri urusan mereka lagi, kita berdua harus lebih bersemangat, ayo, pergi minum arak!" "Lebih bersemangat?" Thio Than mengernyitkan keningnya, "aku justru kuatir kau kelewat bersemangat!" ooOOoo 49 . Membakar

dupa

"Apa yang kau kuatirkan?"

Begitu naik ke dalam kereta, Lui Sun berkata kepada Ti Hui-keng, "Mengharapkan sahabat karib hingga hari tua, di kolong langit hanya ada Ti Hui-keng." Satu-satunya sahabat karib Lui Sun, kecuali Kwan Siau-ti di masa lalu, mungkin hanya ada Ti Huikeng seorang. Apakah satu-satunya sahabat karib Ti Hui-keng juga hanya Lui Sun? Selisih jarak antara Lui Sun dan Ti Hui-keng waktu itu hanya sembilan senti. Kereta kuda itu memang besar, sangat lebar. Sekalipun berada di kotaraja, kecuali keluarga Kaisar atau pembesar tinggi, jarang sekali ada orang memiliki kereta kuda semegah dan semewah itu. Saat ini mereka berdua duduk bersandar dinding kereta. Di bagian tengah terdapat sebuah benda yang besar. Tentu saja benda itu tak lain adalah peti mati itu. Peti mati itu dipindahkan orang atas perintah Lui Sun secara hati-hati. Orang yang boleh memindahkan peti mati itupun bukan saja harus mempunyai kedudukan yang tinggi dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, dia pun harus jagoan yang memiliki ilmu silat amat tangguh. Sekalipun mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kungfu hebat pun bukan berarti secara otomatis dapat menggotong peti mati itu, mereka harus dipercaya dulu oleh Lui Sun kemudian baru melalui seleksi yang teliti dan amat ketat. Yang dipilih Lui Sun adalah orang yang amat bersih. Orang yang istimewa bersihnya! Biasanya orang yang hebat ilmu silatnya, jarang sekali mempunyai kebersihan yang luar biasa, hal ini mungkin dikarenakan mereka tak punya banyak waktu untuk merawat diri, merias diri dan membersihkan diri. Tapi bukan berarti sama sekali tak ada. Manusia seperti inilah yang dipilih Lui Sun dalam tugas itu. Orang itu harus luar biasa bersihnya dan berilmu silat sangat hebat. Bahkan dia harus memiliki sepasang tangan yang luar biasa bersihnya, tak boleh ada kuku, tak boleh memegang barang kotor, seandainya waktu menggotong peti mati itu ketahuan oleh Lui Sun kalau tangannya agak kotor ... seperti misalnya, baru saja membersihkan lubang hidung, baru saja memegang bagian 'bawah' seorang wanita, membersihkan sisa makanan di sela gigi... dia tak segan akan memotong tangan orang itu. Ia bisa berkata, bisa pula melakukannya, karena dia adalah Lui Sun. Apa yang ingin dilakukan Lui Sun, selamanya harus bisa terlaksana. Selama beberapa tahun terakhir, mungkin satu-satunya harapan yang tak terpenuhi hanyalah masalah menghadapi So Bong-seng, membasmi Kim-hong-si-yu-lau dari muka bumi.

Di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, penggotong peti mati merupakan satu kedudukan yang sangat mulia dan patut dibanggakan, tapi termasuk juga satu pekerjaan yang bere-siko tinggi, jauh lebih berbahaya daripada mereka yang mendapat tugas melakukan pertempuran. Oleh karena itu kebanyakan terdiri dari anak muda. Lui Sun memang sangat menyukai anak muda. Selalu bergaul dan berkumpul dengan anak muda membuat perasaan dan pikirannya tak pernah jadi tua. Sebelum menggotong peti mati itu, paling tidak kawanan anak muda itu harus mencuci tangannya sebanyak tiga kali, oleh sebab itu ada banyak petugas yang membawa baskom air mengikut di belakang rombongan mereka, petugas pembawa baskom air pun rata-rata merupakan orang pilihan yang bersih. Oleh sebab itu dalam dunia persilatan tersiar berita yang mengatakan, melakukan kesalahan kepada So Bong-seng, mungkin tak sampai dijatuhi hukuman mati, tapi kalau berani menyalahi Tianglo dari Kim-hong-si-yu-lau, "Satu kata menjadi kesepa¬katan", tak nanti So Bong-seng akan melepaskan dirinya. Begitu juga apabila kau tidak menghormati Ti Hui-keng, mungkin tak akan terjadi sesuatu apa pun, sebab jalan pikiran Ti Hui-keng susah untuk diraba, termasuk kapan dia marah, kapan dia gembira, terhadap siapa dia akan bersikap baik, terhadap siapa dia akan bersikap jahat, jika membuat marah Lui Sun, mungkin saja kau masih punya sedikit harapan untuk hidup, sebab di saat Lui Sun marah besar, bisa saja dia membantai seluruh keluarga orang itu, tapi bisa juga dia malah mengangkatmu menduduki posisi yang tak kau duga sebelumnya, karena Lui Sun memang orang yang sukar diraba jalan pikirannya. Tapi jangan sekali-kali kau mencoba menyentuh atau mengusik peti matinya itu. Jika kau berani menyentuh peti mati milik Lui Sun itu, maka kau pasti akan merasa menyesal kenapa mesti dilahirkan di dunia ini. Inilah pantangan dari Lui Sun! Pantangan nomor wahid! Ketika peti mati itu sudah diletakkan persis di tengah ruang kereta, Lui Sun baru 'berani' naik ke atas kereta diikuti Ti Hui-keng di belakangnya. Dia memang selalu tahu bagaimana melakukan pekerjaan sebaik mungkin, bukan siapa cepat siapa belakangan tapi bagai¬mana mengiringi pemimpinnya. Dalam hal ini dia memar.g selalu paham dan tahu diri. Itulah sebabnya dia bernama Ti Hui-keng. Ti Hui-keng yang selalu menempati kursi nomor dua dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Dia sendiri pun sangat mengerti, andai kata dia tak selalu berpikir begitu bahkan berbuat secara begini dan melakukannya dengan baik, mungkin sejak dulu bangku nomor duanya sudah ambruk, hancur dan tak berwujud lagi, bukan saja lenyap dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mungkin

tak berwujud lagi dalam dunia persilatan. Bukan hanya posisinya, mungkin termasuk dirinya. Lui Sun amat menyukai Ti Hui-keng, dia pun menaruh hormat terhadap orang ini. Sebab dia tahu Ti Hui-keng mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan. Bicara soal tahu diri, Ti Hui-keng tak disangkal adalah manusia jenis ini. Punya ambisi, semangat dan kemampuan, tapi dia bersedia menempati bangku kedua, mau menerima kenyataan dan bersedia mengiringi pemimpinnya, manusia macam begini memang terhitung sangat langka. Tak disangkal Ti Hui-keng memang manusia seperti ini. Tapi sekarang, mengapa ia nampak murung dan masgul? Apa yang dia kuatirkan? Apakah pertarungan lusa tengah hari? Atau dia masih mempunyai masalah lain? Lui Sun tahu, inilah saat baginya untuk beristirahat, juga merupakan saat Ti Hui-keng mulai bicara. Selama ini mereka dapat bekerja sama secara baik, masing-masing tahu peranan masing-masing dan melakukan perannya secara baik, semua pihak sama-sama bertahan pada garisnya, tidak saling mencampuri urusan orang lain, bahkan justru saling menunjang dan menutupi kekurangan, hal ini membuat kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong makin lama semakin bertambah hebat... seandainya tidak bertemu Kim-hong-si-yu-lau. Di depan peti mati terdapat sebongkok hio, cong-hio, dupa wangi! Dupa wangi memang sangat harum. Bau harum dupa yang menyelimuti seluruh ruang kereta membuat suasana di situ terasa nyaman. Tapi mengapa harus membakar dupa? Apakah ada orang mati yang berbaring dalam peti mati itu? Kalau benar, siapa yang mati? Mengapa Lui Sun menaruh perhatian khusus kepadanya? Kenapa tidak dikubur saja jenazahnya? Kenapa peti mati itu harus digotong ke arena pertempuran sewaktu bertarung dengan Kim-hong-si-yu-lau di rumah makan Sam-hap-lau? Kalau bukan, kenapa harus membakar dupa? Semua pertanyaan selamanya tetap akan menjadi pertanyaan. Ketika kita mencoba untuk mengurai satu persoalan, jika kau menelusurinya lebih lanjut secara serius maka akan muncul banyak sekali persoalan yang membingungkan. Dan kini, yang diajukan Ti Hui-keng adalah salah satu di antaranya. "Coba kau lihat hio itu!" katanya. Lui Sun segera berpaling, hio itu masih menyala.

Sudah setengah batang hio yang terbakar, abu hio sedang runtuh ke bawah, rontok di sisi cawan kecil yang digunakan untuk menampung abu. Lui Sun tidak menyaksikan apa-apa. "Kereta ini keras sekali bergoncang," kembali Ti Hui-keng berkata. Semua perkataannya seolah hanya kata-kata sampah, sama sekali tak ada artinya. Tentu saja kereta itu bergoncang keras karena sedang dilarikan dengan kencang, bahkan sedang bergerak menuju ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Jika mengikuti kecepatan lari kereta kuda itu, mungkin tak sampai satu jam kemudian mereka sudah akan tiba di markas besar. Tapi Lui Sun tahu, bukan hal itu yang dimaksud Ti Hui-keng, maka dengan sabar ia menanti perkataan selanjurnya. "Hembusan angin di sini sangat kuat," Ti Hui-keng berkata lebih lanjut, "ketika angin berhembus kencang, hembusan itu akan mempengaruhi hio yang sedang menyala, di saat angin berhembus kencang, maka hio akan terbakar habis dalam waktu yang lebih singkat." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Oleh sebab itu kurang tepat jika kita menghitung waktu dengan hitungan sepertanakan nasi, sebab ada orang yang cepat makannya ada pula yang sangat lambat, jika kita mengambil patokan cara bersantap Thio Than, sahabat nona Lui Tun, belum lagi orang menyuap satu dua sendok nasi, dia sudah menghabiskan dua tiga mangkuk nasi." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Begitu juga bila kita gunakan perhitungan waktu dengan seperminuman teh, sebatang hio; sekejap mata, semuanya tidak meyakinkan, tidak pas, bila masalah waktu tak penting, mungkin keadaan masih tak seberapa, tapi kalau waktu sudah menentukan mati hidup seseorang, maka kita harus memperhitungkannya dengan lebih seksama." Kembali ia menundukkan kepalanya, namun berkilat sepasang matanya, katanya lagi, "Tak ada waktu berarti tak ada cahaya matahari, kita pun tak bisa lemah, tak bisa tua, tak bisa mati, mana mungkin dalam urusan yang penting kita tak mempunyai perhitungan waktu yang tepat." Kembali ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Aku rasa, di kemudian hari pasti akan diciptakan semacam alat yang bisa menghitung perjalanan waktu secara tepat, bahkan mungkin bisa menghentikan jalannya waktu." "Semoga saja begitu," Lui Sun menanggapi pelan, "tapi bila sekarang kita tak ingin lemah, tak ingin dikalahkan, tak ingin mati, maka persoalan pertama yang harus diselesaikan terlebih dulu adalah masalah yang menyangkut So Bong-seng." "Aku tahu, persoalan kita sekarang adalah persoalan So Bong-seng." Lui Sun mulai tenang kembali, mulai putar otak dan berpikir. "Semula kita menduga, So Bong-seng ingin lekas menyelesaikan pertarungan ini lantaran dia sudah tak punya waktu lagi untuk menunggu," kata Ti Hui-keng, "karena dia sakit!" "Betul, masalah waktu rasanya merupakan masalah serius baginya," Lui Sun mengangguk.

"Waktu pun bagi kita sangat penting," ucap Ti Hui-keng lagi, "dia bahkan menginginkan penyelesaian pertarungan dilakukan esok hari, untuk mencegah kita mengulur waktu lagi, dia tak segan melepaskan kesempatannya untuk meraih keuntungan melalui tempat, waktu dan lingkungan dengan menyanggupi permintaanku untuk mendatangi markas besar perkumpulan Lakhun-poan-tong." Sekulum senyuman seakan tersungging di ujung bibir Lui Sun, ujarnya, "Tadi aku memang sengaja bersabar serta menahan diri, aku ingin memelihara suasana hingga rasa sombong dan jumawa So Bong-seng mulai tumbuh, sehebat dan setangguh apa pun seorang manusia, apabila dia mulai sombong dan jumawa, saat itu gampang baginya untuk melakukan kesalahan. Dia masukkan sepasang tangannya ke balik saku, seolah sedang memeluk diri sendiri, kemudian baru katanya lebih jauh, "Aku telah menggunakan kesempatan tadi untuk menganalisa keampuhan serta kelemahannya, tadi aku selalu mengalah sementara kau mewakiliku berhadapan dengannya, kerja sama kita pada saat itu benar-benar luar biasa dan tak ada celahnya." "Ada, ada celahnya" tiba-tiba Ti Hui-keng berkata, "kalau yang kita bentuk hanya jaring langit, maka jaring langit kita pasti ada celahnya." Lui Sun tersenyum. "Siong-yang-tay-kiu-jiu (sembilan belas tangan sakti dari Siong-yang) Un Wan mempunyai seorang pembantu ampuh yang disebut orang Thian-i-yu-hong (jaring langit ada celah), orang itu termashur namanya dalam dunia persilatan dan ham¬pir sejajar dengan 'Sampai berjumpa lagi' dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan 'Satu kata sebagai kesepakatan' dari Kim-hong-si-yu-lau, apakah orang ini yang kau maksudkan?" katanya. "Bukan, bukan dia yang kumaksudkan. Aku hanya merasa heran, tidak seharusnya So Bong-seng memperlihatkan kegeli¬sahan, kecemasan serta kecerobohannya di hadapan kita, agar kita mengetahui semua kelemahannya itu." "Berarti dia sengaja memperlihatkannya kepada kita?" "Rasanya begitu." "Dia sengaja menampilkan sikap itu agar kita mengira dia sudah tak sabar menanti?" "Kalau memang begitu, berarti dia masih bisa menunggu, paling tidak jauh lebih bisa menunggu ketimbang kita, karena itu dia baru secara sengaja memperlihatkan sikapnya yang seolah sudah tak sabar menunggu." "Itu berarti kita harus merombak kembali semua analisa serta kesimpulan yang pernah kita ambil tentang dia. Kalau dia bisa secara sengaja memperlihatkan perasaan kuatir dan tak sabarnya, berarti dia memang sengaja hendak membuat kita salah menilai dan menganalisa tentang dirinya. Padahal kesalahan sekecil apa pun dalam sebuah pertempuran bisa berakibat kekalahan fatal." "Betul. Ini berarti penyakit yang dideritanya tidak terlalu parah." "Bahkan sama sekali tidak parah." "Kakinya yang terhajar senjata rahasia juga tidak menunjukkan gejala yang jelek." "Kelihatannya sih begitu," Ti Hui-keng menghela napas panjang, "meskipun kedelai hijau dari Hoa Bu-ciok tak bisa dipunahkan dengan obat apa pun, meski racun yang bersarang di lukanya segera dibersihkan pun bukan berarti bisa mencegah menjalarnya racun itu ke bagian tubuh yang lain."

"Oleh sebab itu 'Satu kata sebagai kesepakatan' pasti masih hidup?" "Bukannya sama sekali tak mungkin." "Dia sengaja hendak menyerang markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" "Kemungkinan memang begitu." "Dia punya keyakinan untuk berhasil menang?" "Paling tidak saat ini dia belum kalah." "Kita pun belum kalah." "Karena kita belum melangsungkan pertarungan habis-habisan." "Ya, kita baru bekerja sama untuk menumbangkan kekuatan perkumpulan Mi-thian-jit-seng." "Tapi hingga kini Kwan Jit belum mampus." "Saat ini Kwan Jit ibarat orang cacad, dia sudah kehilangan sebuah lengannya, menderita luka yang amat parah, disambar petir lagi, meski masih bisa hidup juga rasanya tak perlu ditakuti lagi." "Tapi hingga kini kekuatan di balik Kwan Jit masih merupakan teka-teki yang belum terjawab," kata Ti Hui-keng dengan wajah berat dan serius, "sebelah lengan Kwan Jit sudah kutung, berarti senjata ampuhnya juga sudah lumpuh sebagian, tapi Kwan Jit kabur dengan membawa lari kutungan lengannya." "Maksudmu..." "Meskipun tadinya dia memiliki dua buah tangan, namun karena diborgol jadi satu maka keampuhannya hanya setengah bagian yang bisa digunakan, tapi sekarang tangannya tinggal sebelah, kemampuannya justru malah pulih seratus persen," berkilat sepasang mata Ti Hui-keng, "sekalipun kini di ibukota sudah tak ada lagi Kwan Jit kedua, tapi selama masih ada setengah Kwan Jit saja yang tersisa di sini, kita perlu selalu waspada." "Ya, apalagi sekarang ditambah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik." "Andaikata So Bong-seng tidak memiliki Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, tak nanti dia begitu percaya diri, begitu yakin dengan kemampuan sendiri," ucap Ti Hui-keng, "kejadian ini merupakan keberuntungan baginya, karena dalam keadaan dan kondisi seperti ini dia telah kedatangan dua orang pembantu tangguh." "Belum tentu dia beruntung." "Kenapa?" kali ini giliran Ti Hui-keng yang bertanya. "Baik Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui, mereka adalah sahabat Tun-ji," ujar Lui Sun, "hubungan antara laki dan wanita seringkah bisa mengubah status sahabat menjadi status lain." Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru katanya, "Aku dapat melihat hal ini." "Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui bisa menjadi sahabat So Bong-seng, kenapa tak bisa jadi sahabatku juga?" "Tapi mereka sudah mengangkat saudara."

"Teman, saudara, kekasih, hubungan keluarga. Terkadang sifat hubungan semacam ini bisa berubah secara gampang," terbesit cahaya tajam dari balik mata Lui Sun, "itu semua tergantung tekanan macam apa yang mereka terima dan rayuan macam apa yang mereka hadapi." Ti Hui-keng mulai tenang kembali. "Menurut pendapatmu?" tiba-tiba Lui Sun bertanya, maksud ucapan itu sangat jelas, dia minta Ti Hui-keng yang berbicara. "Bila rencana ini bisa dilaksanakan, jelas hal ini akan sangat memukul posisi So Bong-seng, langsung menghujam ke jantung Kim-hong-si-yu-lau, rencana ini jelas merupakan sebuah rencana besar yang amat serius, langkah yang amat strategis, oleh sebab itu untuk melaksanakan rencana ini kita harus ekstra hati-hati." "Maksudmu "Tatkala kita menemukan titik kelemahan pada diri lawan, besar kemungkinan pihak lawan memang sengaja hendak memperlihatkannya kepada kita, tatkala kita melihat keunggulan dari lawan, kemungkinan di situlah letak titik kelemahan yang sebenarnya," sepatah demi sepatah Ti Hui-keng berkata, "untuk menghadapi musuh macam So Bong-seng, kita tak boleh melakukan kesalahan walau sekecil apa pun." "Maksudmu semua ini hanya merupakan siasat musuh?" "Kemungkinan begitu." "Seperti kita menduga waktu terbakarnya sebatang hio, gampang melakukan kesalahan tafsir." "Benar." "Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan bisa mempengaruhi keseluruhan rencana, akibatnya semua pekerjaan yang kita lakukan bisa hancur berantakan." "Di samping itu bisa mempengaruhi juga keselamatan jiwa kita semua," kata Ti Hui-keng, "ada satu hal mungkin masih belum kau ketahui." "Katakan!" "So Bong-seng pernah datang mencari aku." "Dia sendiri?" "Tidak, ditemani Yo Bu-shia!" "Lalu apa lagi yang meski kita tunggu? Lebih baik lakukan penyerbuan lebih awal," seru Lui Sun setelah memandang peti mati itu sekejap, "lebih baik kita meniru rencana So-kongcu menghadapi dirinya!" ooOOoo 50 . Impian Loteng m er ah Rombongan So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah kembali ke loteng merah di bukit Thian-swan-san, sepanjang perjalanan So Bong-seng batuk terus, batuknya makin lama semakin bertambah keras, jauh lebih hebat daripada sewaktu bertarung melawan Kwan Jit atau sewaktu berhadapan dengan Lui Sun.

Kini dalam ruang loteng tersisa So Bong-seng, Pek Jau-hui, Ong Siau-sik, Yo Bu-shia, Su Bu-kui dan Mo Pak-sin beberapa orang. Mengawasi bahunya yang mengejang keras ketika batuk, dari balik mata Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera terpancar keluar perasaan kuatir. Dari dalam sebuah botol porselen kecil Yo Bu-shia mengeluarkan beberapa butir pil. Tanpa mengambil air So Bong-seng segera menelan pil itu, kemudian baru memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak. "Kelihatannya Toako perlu beristirahat sejenak," bisik Ong Siau-sik kemudian. "Benar, kita datang lagi nanti malam," Pek Jau-hui mengangguk. Mendadak So Bong-seng membuka matanya kembali, pancaran hawa dingin mencorong keluar dari balik matanya, tiba-tiba ia berseru, "Pantangan! Itu pantangan!" Untuk sesaat semua orang tidak paham apa yang dimaksud So Bong-seng, tanpa terasa semua orang memandang ke arahnya dengan wajah kebingungan. Yo Bu-shia bangkit berdiri dan segera masuk ke ruang dalam. "Aku rasa belum tentu begitu," terdengar Pek Jau-hui menanggapi. "Kenapa?" Tanpa menjawab Pek Jau-hui balik bertanya, "Bukankah hari ini dengan sukses kita berhasil menggempur perkumpulan Mi-thian-jit-seng?" "Paling tidak telah membuat Kwan Jit terluka parah." "Kenapa Kwan Jit bisa muncul di situ?" "Karena dia mengira aku sedang adu kekuatan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mimpi pun dia tak mengira kalau kita justru sedang bekerja sama untuk membasminya." "Oleh sebab itu kelemahan yang diperlihatkan musuh kepada kita belum tentu merupakan kelemahan yang sesungguhnya," kata Pek Jau-hui, "kelemahan yang tidak kita temukan justru merupakan titik kelemahan musuh yang sesungguhnya." "Maksudmu "Sama seperti apa yang kukatakan tadi, pantangan yang diperlihatkan musuh kepada kita, belum tentu merupakan pantangan yang sesungguhnya. Sekilas pandang Lui Sun seolah menganggap peti mati itu sebagai Sin-beng, besar kemungkinan dia memang sengaja berbuat demikian untuk diperlihatkan kepada kita semua." "Mungkin benar, mungkin juga tak benar," So Bong-seng manggut-manggut. "Seandainya benar, kita harus mulai memikirkan dengan serius, apa isi peti mati itu?" timbrung Mo Pak-sin. "Mungkin tujuan Lui Sun justru ingin membuat kita pusing tujuh keliling, memeras otak untuk hal yang percuma, mengganggu konsentrasi kita," kata Pek Jau-hui cepat. Kontan Mo Pak-sin tertegun dan tak sanggup menjawab.

Sementara itu Yo Bu-shia sudah muncul kembali sambil membawa sejilid kitab, katanya, "Menurut catatan yang ada, sejak delapan tahun lalu, setiap kali perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, gawat dan serius, Lui Sun selalu menggotong keluar peti matinya, tak ada orang tahu apakah peti mati itu pernah dibuka, karena dari sekian banyak yang hadir, hanya Ti Hui-keng seorang yang berhasil lolos dalam keadaan hidup." So Bong-seng termenung tanpa bicara, Pek Jau-hui mengerutkan dahinya. "Selain itu seluruh anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong menaruh perasaan takut bercampur hormat terhadap peti mati itu, jika ada yang berani bersikap kurangajar terhadap peti mati itu, dapat dipastikan orang itu akan dihukum mati. Pernah ada seorang Tongcu yang secara tidak sengaja meraba peti mati itu sebentar, akibatnya Lui Sun memerintahkan orang untuk memotong kedua jarinya, sejak itu tak ada yang berani meraba peti mati itu lagi, bahkan kebanyakan sudah menghentikan langkahnya pada radius sepuluh li." Setelah berhenti sejenak, kembali Yo Bu-shia melanjutkan, "Aku dengar setiap malam bulan purnama, Lui Sun selalu meluangkan waktu untuk duduk semalaman berhadapan dengan peti mati itu, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan." "Lui Sun meletakkan peti mati itu dimana?" tiba-tiba So Bong-seng bertanya. "Di depan air terjun Put-tong-hui-bu!" "Apakah air terjun Put-tong-hui-bu adalah tempat penting perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. "Benar!" "Tempat itulah yang akan kita datangi besok lusa" sambung So Bong-seng. "Tongcu mana yang jarinya dipotong?" tanya Pek Jau-hui pula. "Dia sudah diangkat menjadi Tongcu ketiga belas, Tok-ka-thiat-hok (bangau baja berkaki tunggal) Ciu Kak." "Bukankah dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya ada dua belas orang Tongcu?" tanya Pek Jau-hui dengan kening berkerut. "Ciu Kak hanya dikatrol naik posisinya sehingga dia hanya punya separuh nama sebagai seorang Tongcu, namun dibandingkan para Hiocu lainnya seperti Ting siu-hok, Li Tan, Lim Si-ci, Lim Ci-sim dan lain lain, posisinya jauh lebih tinggi." "Oooh Berkilat sepasang mata So Bong-seng, tiba-tiba katanya, "Maksud Jite adalah "Itu berarti kecuali Ti Hui-keng, hanya Ciu Kak seorang yang pernah menyentuh dan mendekati peti mati itu." "Tentu saja sulit buat kita untuk mencari keterangan dari mulut Ti Hui-keng "Tapi bukan hal yang sulit untuk membawa Ciu Kak datang kemari dan menanyainya hingga jelas." "Benar, pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong pasti tak akan menduga kalau kita bakal mengincar seorang Tongcunya yang tak genap posisinya."

"Apalagi jari Ciu Kak pernah dipotong hingga cacad, sedikit banyak dia pasti menyimpan dendam sakit hati itu, biarpun tak sampai mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, paling tidak dia pasti menaruh perasaan benci dan muak terhadap peti mati itu." Sekulum senyuman kembali menghiasi ujung bibir So Bong-seng, katanya, "Oleh sebab itu kita harus waspada, terkadang seseorang yang nampaknya tidak berguna, seringkah justru mempunyai kegunaan yang amat besar." "Sama juga sebuah keteledoran yang tidak terlalu mencolok, terkadang justru merupakan luka yang sangat mematikan." "Tapi yang pasti, luka yang sangat mematikan itu milik perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Semua yang namanya luka tentu akan menimbulkan sakit, luka di tubuh musuh justru merupakan sasaran utama yang harus kita gempur," kata Pek Jau-hui, "hanya saja kalau luka seperti Ti Huikeng, aku rasa justru akan menjadi luka yang bisa mematikan sang penyerang." "Jadi kau telah memperhatikan soal itu?" tanya So Bong-seng sambil mengangguk. "Benar, sudah kuperhatikan." "Berarti di saat orang lain menganggap kau kelewat sombong, kelewat jumawa, kau justru sudah memperhatikan semuanya." "Itulah sebabnya aku bisa selalu tampil sombong dan jumawa." Untuk sesaat So Bong-seng tidak berbicara lagi. "Kalian maksudkan Ti Hui-keng pernah mendongakkan kepala?" tanya Ong Siau-sik tiba-tiba. "Ya, hanya dalam waktu sekejap mata." "Itu dilakukan ketika ia sedang menghadang Kwan Jit yang sedang melarikan diri," sambung Pek Jau-hui. "Hal ini membuktikan kalau tulang tengkuknya sama sekali tidak patah, otomatis kemungkinan besar dia mengerti ilmu silat, malah bisa jadi kungfunya sangat hebat. Tapi ... mengapa dia harus berlagak begitu? Kenapa harus merahasiakan hal itu?" "Dia berharap musuh memandang enteng kemampuannya, agar perhatian lawan dikonsentrasikan secara penuh kepada Lui Sun, dengan demikian di saat yang paling kritis, ia dapat membantu Lui Sun meraih kemenangan." "Belum tentu begitu," tiba-tiba So Bong-seng menyela, "kemungkinan juga dia akan membantu kita untuk meraih keme¬nangan!" "Oya?" Pek Jau-hui segera berpaling dan menatap tajam wajah So Bong-seng. "Belum tentu Lui Sun tahu kalau tulang tengkuk Ti Hui-keng sebenarnya tidak patah, atau mungkin saja tulang tengkuk Ti Hui-keng memang pernah patah, tapi sekarang telah pulih kembali."

"Persoalannya sekarang adalah kita belum berhasil menemukan apa alasan Lui Sun bisa bekerja sama dengan Ti Hui-keng sehingga mereka dapat duduk bersanding tanpa saling menaruh curiga," kata Yo Bu-shia. "Mungkin mereka dapat bekerja sama karena yang satu mengidap sakit hati sedang yang satu lagi mengidap penyakit nyali," sela Ong Siau-sik sambil tertawa. "Tapi kalau kita berhasil menemukan sumber penyakitnya, maka tak sulit menentukan obat apa yang paling manjur untuk memberantas sakitnya itu," kata Mo Pak-sin serius. "Di dunia ini tak ada teori yang seratus persen benar, tak ada hubungan yang selalu akrab dan tak ada perasaan yang tak pernah berubah," ujar So Bong-seng. "Oleh sebab itu tak ada teman yang abadi dan tak ada musuh yang abadi," sambung Pek Jau-hui. "Keliru besar!" mendadak Ong Siau-sik berteriak keras. "Biar keliru pun hal ini merupakan kenyataan," seru Pek Jau-hui sambil melotot besar. "Kalau kehidupan manusia ternyata cuma begitu, apa menariknya tetap hidup?" "Hidup adalah sesuatu yang sakral, tak ada bagian hidup yang bisa dianggap main-main," ujar So Bong-seng hambar, "kenyataan hidup memang bukan sesuatu yang menarik, kalau ingin mencari hal yang menarik, cari saja dalam alam impian." "Kalau kau mengatakan kehidupan itu tidak sakral, aku pun tak bisa banyak bicara, sebab bagimu kecuali mati berarti hidup, tak punya pilihan lain," kata Pek Jau-hui, "oleh karena itu aku harus hidup secara baik, hidup yang cerah, hidup dalam kemenangan dan kemegahan, dengan begitu hidup kita baru terasa mantap, hidup dengan gembira!" "Karena kita sedang melamun maka kita semua sedang hidup dalam impian, impian memang selalu menggembirakan," ternyata So Bong-seng ikut tertawa, tapi begitu tertawa dia pun mulai terbatuk-batuk, keningnya mulai berkerut-kerut seakan ada bagian tubuhnya yang terasa sakit, tapi kemudian dia melanjutkan, "Karena kita sedang berada di loteng merah, maka kita semua seakan sedang hidup dalam alam impian loteng merah." "Ya, kita bisa berkumpul bersama, berunding bersama, rasanya memang seperti dalam impian," gumam Ong Siau-sik. "Kita hanya bisa menikmati impian hingga besok, karena lusa, kita semua sudah harus terbangun dari alam impian," ujar So Bong-seng lebih jauh, "kalau bukan impian mengejutkan bagi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, berarti mendusin dari impian bagi Kim-hong-si-yu-lau." "Oleh karena itu tadi kau menunjukkan penampilan yang amat angkuh, amat sombong?" "Aku memang berharap mereka menganggap diriku ini sombong, angkuh." "Orang yang sombong biasanya gampang melakukan kesalahan besar." "Aku memang berharap mereka menyangka aku sedang teledor dan melakukan kesalahan besar." "Tapi Lui Sun pun berharap kau menganggap dia sebagai orang lemah yang penakut."

"Maka dari itu aku dan dia memang pantas disebut sepasang manusia antik," kembali So Bongseng tertawa tergelak, "sekalipun dia berusaha tampil pengecut, seakan takut urusan, bernyali kecil sementara aku tampil angkuh dan jumavva, namun kekuatan yang sebenarnya tak seorang pun tahu, masing-masing pihak berusaha melacak keadaan yang sebenarnya, sementara kami sedang berusaha bermain sandiwara sesempurna mungkin." "Kehidupan manusia memang tak lebih bagai panggung sandiwara," kata Pek Jau-hui sambil tertawa. "Tapi aku lebih rela hidup dalam impian," gumam Ong Siau-sik. So Bong-seng berpaling memandang ke arah Pek Jau-hui, kemudian ujarnya, "Permainan sandiwara kita pun amat sempurna, kau dan aku sama-sama dapat menghayati peran masingmasing secara baik." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Bahkan aku merasa seakan sedang menghadapi kejadian sungguhan." "Ooh ... jadi ... jadi kalian Ong Siau-sik seakan baru tersadar. Kembali So Bong-seng tersenyum. "Aku memang meminta Loji untuk berlagak seakan selalu bermusuhan denganku, selalu beda pendapat denganku, agar mereka mengira kita tidak sepaham, tidak seia sekata." "Semoga saja pihak musuh tidak menemukan titik kele¬mahan dan tahu kalau hal ini merupakan sebuah perangkap," kata Ong Siau-sik sambil tertawa getir. Satu ingatan kembali melintas dalam benaknya, semula dia mengira Pek Jau-hui dan So Bong-seng benar-benar tidak sepaham, dia kuatir di atas satu gunung tak bisa menampung dua ekor harimau, tapi setelah mengetahui mereka hanya bermain sandiwara, dan dirinya pun ikut tertipu, satu perasaan tak sedap kontan menyelimuti perasaannya. Tapi dengan cepat dia membuang jauh-jauh semua ganjalan itu. Dia menganggap sandiwara Toako dan Jikonya bertujuan untuk membohongi musuh, bukan untuk menipu dirinya, kalau dia pun sampai percaya penuh, berarti tak ada alasan bagi lawan untuk tidak percaya, seharusnya keberhasilan ini disambut dengan perasaan gembira. Sementara dia masih berpikir, terdengar Pek Jau-hui telah berkata lebih jauh, "Tapi aku tetap merasa tidak setuju dengan melepaskan Kwan Jit pulang ke gunung dan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong lusa tengah hari." "Kau tidak mengerti?" "Kalau begitu jelaskan kepadaku." "Cara kerja Locu memang selalu sulit diraba, belum tentu dia harus menjelaskan dulu semua alasannya," sela Yo Bu-shia tiba-tiba. "Kalau dibahas dulu sebelum dilaksanakan, andai kata ada kekeliruan di kemudian hari tak usah menyesal."

"Ah, kau ini manusia macam apa! Masa apa yang hendak Kongcu lakukan mesti dijelaskan dulu alasannya padamu?" seru Su Bu-kui tiba-tiba. "Aku adalah Hu-locu, macam begitukah sikapmu waktu berbicara denganku?" tegur Pek Jau-hui tak suka hati. "Bu-kui!" hardik So Bong-seng cepat. Su Bu-kui segera menundukkan kepala, mundur ke belakang dan tidak bicara lagi. Terdengar Pek Jau-hui berkata lagi, "Kwan Jit sudah pergi, berarti kita bisa melakukan pengejaran terhadap target baru, tidak ada keharusan bagi kita memberi kesempatan kepada musuh untuk membuat persiapan." "Aku punya perhitungan sendiri!" tukas So Bong-seng dengan wajah berubah. Pek Jau-hui sama sekali tak mau mengalah, desaknya lebih jauh, "Sekarang kita berdiri pada garis yang sama, sudah seharusnya aku mendapat tahu latar belakang rencanamu." Kuatir terjadi keributan, lekas Ong Siau-sik menyela, katanya, "Kita bergabung belum lama, banyak urusan memang belum tahu secara jelas, rasanya hal yang menyangkut rahasia besar tidak baik diketahui terlalu banyak orang." "Masa aku pun tak boleh tahu?" seru Pek Jau-hui. "Jika kau adalah mata-mata yang dikirim perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan aku katakan semua rahasia yang kuketahui, bukankah pihak kita yang justru masuk perangkap?" kata So Bong-seng sambil tertawa dingin. "Bagus, bagus sekali," saking gusarnya Pek Jau-hui tertawa keras, "aku datang membantumu, kau malah menganggap aku sebagai mata-mata!" "Urusan yang ada di loteng ini menyangkut mati hidup ribuan orang anak buahku, tentu saja aku harus bertindak sangat hati-hati," kata So Bong-seng dengan wajah sedingin salju, "apalagi kau datang membantuku, aku pun sama saja telah membantumu, jika Kim-hong-si-yu-lau tidak menggunakan tenagamu, mana mungkin kau bisa melampiaskan ambisimu dan membuat usaha besar?" "Jadi kau anggap aku baru bisa membuat usaha besar bila bergabung dengan Kim-hong-si-yulau?" teriak Pek Jau-hui semakin gusar. "Bukan begitu, justru aku melihat kalian berdua bukan sembarangan manusia, di kemudian hari bisa membangun usaha besar, maka dengan hati tulus kuundang kalian untuk bergabung dengan loteng kami." Melihat percekcokan antara Pek Jau-hui dan So Bong-seng berkembang makin panas dan sengit, lekas Ong Siau-sik melerai, "Semua ini memang berkat kejelian mata Toako serta kesediaan Toako untuk membimbing kami, kalau tidak, mungkin aku masih jadi tabib jalanan sementara Jiko masih jual lukisan di pekan." Setelah suasana berubah jadi tenang kembali, Pek Jau-hui baru bertanya lagi, "Kau mencurigai kami?" "Kalau curiga, kenapa sampai sekarang kalian masih berada di sini?" jawab So Bong-seng sambil tertawa.

Pek Jau-hui adalah seorang pemuda keras kepala, kembali tanyanya, "Kalau kau tidak mencurigai kami berdua, kenapa setelah urusan jadi begini gawat dan menyangkut urusan mati hidup, kau masih berusaha mengelabui kami?" "Setiap orang tentu mempunyai rahasia pribadi yang tak ingin diketahui orang lain," kata So Bongseng dengan nada tenang, "sekalipun Bu-shia atau Bu-kui, meski mereka sudah lama berada di sampingku, namun ada sementara persoalan yang sama sekali tidak mereka ketahui." "Walau begitu, kami tak pernah ingin tahu" kata Yo Bu-shia. "Kami tak pernah tanya karena kami percaya penuh pada Kongcu," Su Bu-kui menambahkan. "Kalau toh kau tidak mempercayai aku, mengapa aku haj rus mempercayaimu?" Pek Jau-hui ngotot lagi, "kalau kau masih menaruh curiga kepada kami, kenapa pula harus menggunakan kami." "Kau keliru!" hanya perkataan itu yang diucapkan So Bong-seng. Kesabarannya sudah mencapai ambang batas, justru karena ia menghargai kemampuannya, maka selama ini dia tidak mengumbar hawa amarah. "Sekalipun aku menaruh curiga kepadamu, aku bisa menjajalmu, kalau tidak kujajal, darimana aku bisa mempercayaimu? Ketika sudah berada di ambang hujan badai, bila kita masih belum bisa berdiri di satu sampan yang sama, bila kau belum bisa bekerja sama dengan perasaan lega, maka kita harus menghadapi hancurnya sampan itu diterjang badai," kata So Bong-seng lebih jauh, "siapa pun tak akan percaya kepada orang lain sejak permulaan, apalagi saat kemunculan kalian tepat pada saat menjelang pertarungan penentuan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, apakah kemunculan semacam ini tidak terlalu kebetulan?" Kali ini giliran Ong Siau-sik yang tidak senang hati, kontan tegurnya, "Jadi kau anggap kami sengaja menyusup ke dalam Kim-hong-si-yu-lau sebagai mata-mata?" "Tidak." "Lantas kenapa?" "Sebab siapa pun tidak menyangka kalau aku bisa sangat menghargai kemampuan kalian berdua, padahal sekalipun kemampuan kalian sangat hebat pun bukan berarti aku harus memakai kalian berdua, bahkan bisa jadi aku malah akan mengutus orang untuk membunuh kalian berdua. Tapi siapa pun tak bisa menduga reaksiku, maka mustahil kalian datang sebagai penyusup." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya, "Apalagi ketika berada di puing bangunan di tengah hujan deras tempo hari, pada saat aku terhajar senjata rahasia kedelai hijau, seharusnya kalian punya kesempatan untuk membunuhku, jadi tak perlu repot-repot menjadi penyusup." "Kedelai hijau? Sangat beracun?" Ong Siau-sik mengalihkan pandangan matanya ke atas kaki So Bong-seng. "Keganasan racunnya di luar dugaan," jawab So Bong-seng. "Hoa Bu-ciok memang sudah berniat berkhianat, untuk mencabut nyawa Kongcu, tak nanti ia gunakan senjata rahasia yang ringan kadar racunnya," sambung Yo Bu-shia. "Apakah ... apakah sangat mengganggu?"

Sebelum So Bong-seng menjawab, Pek Jau-hui sudah menyahut duluan, "Dia tak akan menjawab, sekalipun dijawab, belum tentu ucapannya jujur." "Kau pintar sekali," senyuman kembali terbesit di balik pandangan matanya. "Aku senang berteman dengan orang yang pintar, lebih baik lagi jika selain pintar, liangsimnya juga baik," tiba-tiba So Bong-seng mengalihkan pokok pembicaraan, "seperti juga mencari bini, aku suka orang yang cantik, hatinya baik, pintar lagi cekatan dalam bekerja. Orang yang pintar, kebanyakan mampu bekerja, cantik pun perlu, sebab harus kuhadapi sepanjang hidup, kalau kurang cerdik, biar cantik pun hanya sebuah kerangka yang kosong, bikin orang kheki saja. Maka aku lebih suka orang itu tidak terlalu cantik tapi tak boleh tak cerdik. Kecantikan bisa luntur dimakan usia, tapi kepintaran adalah langgeng. Sayang tidak banyak gadis cantik yang pintar dan cekatan di dunia ini." "Nona Lui cantik, dia pun cerdas, hatinya sangat baik," kata Ong Siau-sik tertawa. "Apakah hatinya baik atau tidak, aku kurang tahu, tapi soal ilmu silat, dia nol besar," So Bong-seng ikut tertawa, "tapi harus kuakui, dia selain cantik juga cerdik, maka aku ingin menitipkan satu tugas kepadamu." "Tugas apa?" hampir bersamaan waktu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berseru. "Sebelum kita menyinggung persoalan ini secara pribadi, kita harus menghadapi dulu pertemuan tengah hari lusa di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka aku rasa saat ini ada satu hal yang harus kita lakukan dulu, yaitu beristirahat secukupnya, kemudian..." "Kemudian berkumpul lagi di sini untuk bersama-sama merundingkan rencana besar guna menggulingkan kekuasaan perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" 51 . Tuj uh gu lu ng angi n berpusi ng "Rencana besarku adalah menjadi kaya!" ketika menghabiskan arak mangkuk yang ketiga, sorot mata Tong Po-gou sudah mulai kabur, lidahnya mulai bebal membengkak, "setelah kaya raya, aku pun dapat melakukan apa saja yang ingin kulakukan." "Sebenarnya apa sih yang ingin kau kerjakan?" Thio Than sudah meneguk enam belas mangkuk arak, bukan saja wajahnya belum memerah, napas pun tidak ngos-ngosan, baginya minum arak sama seperti minum air teh meski agak lebih lambat bila dibandingkan makan nasi. "Aku butuh seorang bini yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, agak malu-malu seperti rumput putri malu," pandangan mata Tong Po-gou dipenuhi dengan berbagai khayalan, "aku ingin ternama, punya nama termashur, agar siapa pun yang mendengar nama Tong Po-gou akan ketakutan setengah mati dan kabur terbirit-birit "Jika itu yang menjadi keinginanmu, tak usah menunggu sampai kaya raya." "Oya?" "Kau cukup pergi membeli sebilah golok." "Beli golok buat apa?" "Asal kau lagi tak senang hati, jika ada yang berani mengolokmu, tak usah gubris orang itu kenal atau tidak, sekali tebas gorok lehernya, jika kau sedang bergembira, bila ada yang berani menjumpaimu dengan wajah cemberut, sekali tebas peng¬gal saja kepalanya, bila ada waktu senggang, kau pun bisa menenteng golok untuk menculik seorang gadis cantik yang rupawan, dengan begitu, asal dalam setengah tahun kau masih bisa hidup bugar, kujamin nama besarmu akan menggetarkan seluruh sungai telaga."

"Cuuh! Aku ingin bertindak sebagai ksatria, perbuatan biadab macam begitu tak sesuai dengan seleraku!" "Lalu kau masih ingin melakukan apa lagi?" "Tadi kan sudah kukatakan, aku ingin ternama, aku ingin mengawini bini yang cantik rupawan, aku ingin hidup makmur, hidup dengan riang gembira tanpa kekurangan, aku pun ingin memiliki kungfu yang hebat, jauh lebih hebat ketimbang kungfu yang dimiliki Sim-lotoa, So-locu, Ong-losik dan Pek A-hui, aku pun ingin semua orang mengagumiku, nama pendekarku termashur di seluruh kolong langit, agar Pui Heng-sau menyesal kenapa tidak kenal denganku sejak dulu ..." "Aku tidak mengerti." "Apa yang tidak kau pahami?" "Keinginanmu itu kalau dibilang susah ya susah, kalau dibilang gampang pun sangat gampang, tapi tak ada hubungannya dengan menjadi kaya; jika kau merasa punya kemampuan untuk melakukannya, lakukan saja mulai sekarang," kata Thio Than, "kaya hanya bisa membuat orang hidup lebih nyaman dan makmur, mungkin dapat pula mendapatkan beberapa orang bini yang cantik wajahnya tapi busuk hatinya, selain itu juga bisa memperoleh pelayanan dari kaum kurcaci, kaum Siaujin yang pandai menjilat, tapi jika ingin mengalahkan tokoh silat sebangsa So Bong-seng dan lainnya, serta mendapatkan rasa kagum dari jagoan macam Sim Hau-sian dan rekannya, kaya sama sekali tak ada manfaatnya. Padahal asal perasaan seseorang selalu gembira, besar jiwa dan pikiran terbuka, kemana pun kau pergi, hidupmu selalu tetap.nyaman dan gembira." Tong Po-gou berpikir sejenak kemudian setelah tertawa tergelak katanya, "Baik, kalau toh dengan uang aku tak bisa membeli semua itu, buat apa aku membutuhkan uang sebanyak itu? Padahal asal tahu batas dalam mencari kesenangan, itu sudah cukup membuat orang berbahagia." Kemudian setelah menepuk batok kepala sendiri, terusnya, "Sekarang aku baru tahu, ternyata apa yang ingin kulakukan belum tentu bisa dilakukan setelah menjadi makmur nanti, bahkan ada sementara perbuatan yang harus kulakukan dulu baru bisa menjadi makmur, sayang teori semacam ini hingga kini pun masih jarang ada orang yang bisa memahaminya." Dengan cepat dia memesan seguci arak Ko-liang lagi, kemudian menghormati Thio Than dengan semangkuk arak, menanti rekannya selesai meneguk habis isi mangkuk itu, Tong Po-gou baru menenggak sedikit arak sendiri. Pada mulanya Thio Than masih tidak menaruh perhatian, tapi lama kelamaan dia mengetahui juga akan hal ini. "He, ada apa kau? Kenapa minummu macam semut lagi menjilat air?" tegurnya. "Apa yang kau maksud dengan semut menjilat air?" "Teramat sedikit!" "Karena aku tak pandai minum arak." Seketika itu juga Thio Than tertawa tergelak, tertawa keras macam orang kalap. "Apa yang kau tertawakan?" Tong Po-gou merasa sangat tidak puas, dia tahu Thio Than sedang menertawakan dirinya.

"Kalau dilihat perawakan tubuhmu yang tinggi besar macam kerbau, kungfumu juga hebat, kusangka takaran minummu hebat, hahaha, tak tahunya kau sama sekali tak pandai minum arak, menggelikan, sungguh menggelikan!" "Apanya yang menggelikan? Seseorang yang berperawakan tinggi besar bukan berarti dia pasti pandai minum, seseorang yang bertubuh pendek kecil juga tidak menjamin takaran minumnya kecil," Tong Po-gou mendelik, "seperti juga orang yang tinggi besar mungkin hatinya mulia dan bijak, sebaliknya orang yang kecil pendek bisa saja hatinya justru keji dan buas, kalau ingin menilai baik buruknya seseorang hanya menilai dari tampilan wajah dan perawakan badan, jelas itu hanya perbuatan orang idiot." "Oleh karena itu orang yang pandai minum arak belum tentu berjiwa besar, orang yang tak pandai minum belum tentu dia seorang pengecut." "Sama teorinya, belum tentu orang yang pandai minum adalah seorang Hohan, orang yang tak pandai minum bukan seorang Enghiong!" "Maksudmu, masalah minum arak adalah urusan minum arak, masalah Hohan adalah urusan Hohan?" "Arak adalah arak, manusia adalah manusia, kalau ada orang membandingkan arak dengan watak manusia, maka hal ini sama seperti menggunakan tulisan membicarakan soal ma¬nusia, pada hakikatnya seperti kentut anjing saja." "Kalau toh kau tak pandai minum, kenapa mesti memesan arak?" "Aku tak pandai, tapi kau toh seorang jagoan minum." "Jadi kau yang membeli arak, aku yang menikmati?" "Tepat! Aku ingin memberitahukan sebuah rahasia." "Katakan!" "Selama hidup aku paling tak suka mengundang orang minum arak, karena pengaruh arak bisa membuat watak orang berubah, ketika mereka menyangka takaran minumnya hebat dan belum mabuk, semua perkataannya masih bisa diterima dengan akal sehat, tapi begitu mabuk, semua omongannya bagaikan kentut busuk, maka aku tak pernah mengundang orang minum arak... tentu saja kecuali kau." "Aku pun ingin memberitahukan satu rahasia kepadamu." "Katakan, akan kudengarkan." "Malam ini pun baru pertama kalinya aku minum arak sebanyak ini." "Oya?" "Karena aku tak pernah mau minum arak yang dibelikan seseorang yang tak kupandang sebelah mata, tentu saja orang yang memandang rendah diriku tak akan membelikan arak untukku, kalau aku harus membeli arak sendiri, lebih baik kuhamburkan uangku untuk membeli nasi, sementara sahabat karibku, mereka tak ada yang suka minum." "Berarti malam ini kau telah memberi muka untukku?" "Rasanya memang begitu." "Tak nyana tubuhmu yang kecil pendek ternyata memiliki takaran minum yang hebat." "Dulunya aku sendiri pun tidak tahu, tapi sekarang rasanya hal ini memang menjadi kenyataan."

"Maka dari itu aku yang bertanggung jawab membeli arak dan kau yang bertanggung jawab minum arak." "Eh, bila kau memang serius ingin aku minum lebih banyak, kenapa tidak sekalian memesan beberapa macam hidangan sebagai teman minum arak?" "Baik, kau ingin pesan apa sebagai teman minum arak?" "Nasi, tentu saja nasi putih yang masih mengepul panas." "Baik, tak jadi masalah, aku memesan nasi untuk teman minum arakmu, tapi kau mesti memberi muka untukku." "Kau suruh aku menghabiskan seguci arak?" "Bukan, bukan, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang satu hal." "Nah, apa kubilang," Thio Than segera tertawa tergelak, "penyakit rasa ingin tahumu memang kelewat parah, tampaknya kau belum akan puas sebelum mencari tahu sebuah urusan hingga sejelas-jelasnya." "Itu namanya perasaan tak akan mati sebelum melihat sungai Huang-ho," seru Tong Po-gou sambil menggaruk telinganya, "bagaimana sih ceritanya hingga kau bisa berkenalan de¬ngan Lui Tun?" "Ooh, soal itu?" Thio Than meneguk dulu secawan arak,. "kau pernah mendengar tentang Jit-tosian-hong (tujuh gulung angin berpusing) yang berada di perkampungan bunga Tho, Tho-hoaceng?" "Maksudmu tujuh gulung angin berpusing yang didirikan Lay Siau-oh, Cu Toa-koay, Thio Han, Tohe-liu-tau (di ujung golok meninggalkan kepala) berenam yang bermukim di kota Tiang-an?" "Betul, rupanya pengetahuanmu hebat juga." "Kehebatanku lebih dari ini, lain waktu akan kuperlihatkan semua di hadapanmu." "Dari ketujuh gulung angin berpusing itu, aku adalah satu di antaranya, aku bersama Lay Toa-ci dan lain-lain merupakan saudara angkat yang bersumpah akan sehidup semati..." "Ah, berarti sama seperti hubunganku dengan Sim Hau-sian Toako serta Pui Heng-sau." "Suatu saat, waktunya persis hari Cap-go-meh, Lay-toaci berhasil membongkar rencana pembunuhan yang akan dilakukan si pembunuh ulung Tay-sat-jiu dalam sebuah pesta lampu lampion, kau pernah dengar tentang kejadian ini?" "Pernah, peristiwa itu sangat menghebohkan kolong langit, masa aku tak tahu?" berkilat sepasang mata Tong Po-gou. "Gara-gara kejadian itulah, si pembunuh ulung Tay-sat-jiu jadi sangat mendendam kepada Laytoaci." "Dia ingin membunuh Lay Siau-oh?" tanya Tong Po-gou kaget.

"Selama ada kami, tak nanti dia sanggup membunuh Lay-toaci" ujar Thio Than sambil menghela napas, "maka dalam jengkelnya dia telah mencuri sejilid kitab pusaka Seng-siu-tin-kian-pit-kip dan melarikan diri ke gunung Lu-san." "Hah, jadi ia berhasil mencuri benda pusaka milik Toaci kalian? Bagaimana sih kemampuan kalian semua?" seru Tong Po-gou dengan kening berkerut. "Itulah sebabnya aku pun melakukan pengejaran hingga mencapai gunung Lu-san." "Hanya kau seorang? Kemana perginya saudara angkatmu yang lain?" "Mereka tak dapat bergeser dari posisi karena secara tiba-tiba di dalam kota telah kedatangan seorang tokoh misterius yang jauh lebih lihai." "Siapa? Siapa yang memiliki kepandaian silat lebih hebat dari Tay-sat-jiu?" "Kami pun tidak tahu siapakah orang itu, bahkan hingga kini pun masih belum tahu apakah dia seorang teman atau musuh," kata Thio Than, "kami hanya tahu dia tinggi kurus, wajahnya putih menyeramkan, punggungnya menggembol sebuah pauhok kuno penuh berlubang, siapa pun yang mencoba menguntitnya tak pernah berhasil melacak jejak beritanya, yang berani bertarung melawannya, sebuah lubang darah akan muncul di dada mereka, selama ini belum pernah ada setengah manusia pun yang bisa hidup terus. "Lihai amat!" teriak Tong Po-gou tak tahan, "siapa sih orang itu?" "Bukankah sudah kusinggung sejak awal? Kami sendiri pun kurang tahu, maka dari itu terpaksa Thio Han, To-he-liu-tau, Cu Toa-koay-ji, Ki Siang-ho tetap tinggal di kota Tiang-an menemani Laytoaci, sedang aku seorang diri berangkat me¬ngejar Tay-sat-jiu." "Kau seorang diri sanggup menghadapinya?" tanya Tong Po-gou sambil menatapnya tajam, "kalau aku jadi saudaramu, tak nanti aku biarkan kau berangkat sendirian." "Terus terang, aku ingin mencari sedikit ketenaran, maka secara diam-diam mengeluyur pergi, Lay-toaci sekalian malah tidak tahu akan rencanaku ini." "Bagus sekali," seru Tong Po-gou sambil bertepuk tangan, "aku sendiri pun seringkah melakukan perbuatan semacam ini, Sim-toako sekalian kerap kubuat jengkel sampai telinga pun ikut bengkok." "Tapi gara-gara ulahku itu, hampir saja aku kehilangan nyawa!" "Nyawa boleh saja hilang tapi sebagai manusia kita harus melakukan hal yang menarik menurut pandangan kita, untuk persamaan watak kita berdua, ayo, kita bersulang tiga cawan." Sekali teguk Thio Than menghabiskan isi cawannya, kemudian baru berkata lagi, "Aku menguntit jejak Tay-sat-jiu hingga tiba di bukit Lu-san, ketika jejaknya semakin dekat, tiba-tiba aku kehilangan bayangan tubuhnya, aku tahu dia pasti sudah mengetahui kehadiranku dan sedang bersiap membunuhku ..." "Maka kau pun bersiap mengadu jiwa melawannya?" "Tidak, aku melarikan diri." "Apa?" teriak Tong Po-gou sambil melompat bangun.

"Melihat aku kabur, dia mengira aku merasa ketakutan hingga segera melakukan pengejaran untuk membunuhku, begitu dia menampakkan diri, maka aku pun bisa memaksanya untuk berduel habis-habisan." "Konon Tay-sat-jiu memiliki tiga puluh enam jenis senjata, setiap jenis digunakan untuk menghadapi musuh yang berbeda, kau ... kau sanggup menghadapinya?" "Tidak, aku tidak mampu menandinginya, maka begitu turun tangan aku pun langsung mencuri ketiga puluh enam jenis senjata andalannya itu." "Bagus, kalau suruh bertarung, mungkin kau tak sanggup, tapi disuruh mencuri, kau memang jagonya, kalau tidak, mana mungkin kau bisa mencuri saputanganku," seru Tong Po-gou dengan mata melotot. Thio Than mengerling sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan kembali kata-katanya, "Siapa tahu, biar tidak bersenjata pun aku masih bukan tandingan Tay-sat-jiu, ketika nyawaku berada di ujung tanduk dan terlihatnya segera akan tewas di tangan orang itulah tiba-tiba terdengar ada seorang wanita berseru dari balik batu, "Lo-ngo, apa aku bilang, dengan mengandalkan kemampuanmu seorang, mana mungkin bisa menghadapi Tay-sat-jiu? Kau memang tak pernah mau percaya dengan perkataan Toacimu, nah sekarang rugi sendiri bukan?" "Oooh, jadi di saat yang kritis Lay-toaci pun telah menyusul ke sana?" "Waktu itu aku sempat tertegun dibuatnya, Tay-sat-jiu sendiri pun ikut terperanjat, dia menjadi was-was. Pada saat itulah terdengar ada suara lelaki berkata, 'Toaci, bagaimana kalau kita bekuk saja begundal itu?', suara perempuan yang pertama segera menjawab sambil tertawa, 'Dia berangasan, bertindak ngawur, biar rasakan dulu sedikit siksaan, akan kulihat dengan cara apa dia akan membunuh orang itu?'. Kau tahu, Tay-sat-jiu pernah menderita kerugian besar di tangan Laytoaci, begitu mendengar Toaci beserta saudara-saudaranya berdatangan, ia menjadi gugup dan tak berani tinggal lebih lama lagi di situ, tanpa banyak bicara dia langsung melarikan diri..." "Kau biarkan dia kabur?" "Seketika itu juga kuhajar dia dengan ilmu Huan-huan-sin-kang, aku percaya luka yang dideritanya waktu itu sangat parah." "Tapi ia berhasil melarikan diri bukan?" "Benar, dia berhasil melarikan diri, waktu itu aku sendiri pun sudah terluka parah hingga tak sanggup melakukan pengejaran." "Bagaimana ceritanya dengan Lay-toacimu?" "Yang muncul waktu itu bukan Lay-toaci," kata Thio Than sambil menggeleng dan tertawa, "suara tertawa perempuan itu memang amat merdu dan menarik hati, tapi dibandingkan Lay-toaci masih kalah setingkat, sekali dengar pun aku sudah tahu kalau dia bukan Toaci yang sesungguhnya, maka begitu tahu perempuan itu hanya ingin mengacaukan perhatian Tay-sat-jiu dengan ucapannya, aku segera melancarkan sebuah pukulan balasan untuk melukainya, dan dia pun kabur terbirit-birit karena ketakutan..." "Kalau bukan Lay Siau-oh yang datang ..." tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Tong Pogou, sambil bertepuk tangan serunya kemudian, "Ah, pasti Cicimu yang datang!" "Sialan! Aku tak punya Cici." "Kalau begitu ... jangan-jangan Piau-moaymu?"

"Piau-moayku gendutnya macam gajah raksasa yang disengat lebah, seluruh tubuhnya membengkak besar, orang menyebutnya si Kucing gendut, kalau suruh perempuan macam begini naik ke gunung Lu-san, mungkin dibutuhkan sepuluh ekor kuda untuk menyeretnya naik." "Lantas ... ah! Jadi semuanya itu adalah ulah Lui Tun?" teriak Tong Po-gou. "Pintar!" "Tapi ... bukankah dia adalah putri tunggal Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong Lui Sun? Apalagi waktu itu saat perkawinannya sudah dekat, mau apa dia datang ke gu¬nung Lu-san?" "Dia sedang melarikan diri." "Melarikan diri?" nyaris sepasang biji mata Tong Po-gou meloncat keluar saking kagetnya. "Dia adalah seorang gadis yang punya cita-cita besar, dulu pernah menjadi tangan kanan Lui Sun dalam mengelola perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi kemudian Lui Sun lebih percaya dengan Ti Hui-keng serta Lui Moay, perselisihannya dengan Kim-hong-si-yu-lau pun makin membara, ini membuat dia merasa seakan hidup dalam himpitan dua bukit raksasa, dia ingin berontak tapi apa daya, dia tak berkemampuan dan tak tahu silat. Ketika Lui Sun berencana mengawinkan dia dengan So Bong-seng, dia pun tahu kalau niat ayahnya hanya ingin mengendalikan loteng angin, rasa kecewa dan kesal membuat nona Lui mengambil keputusan untuk kabur secara diam-diam dari ibukota. Dengan kecerdasan dan kehebatannya berpikir, ia berhasil melepaskan diri dari pengejaran anak buah ayahnya ..." Bercerita sampai di sini, Thio Than menghela napas panjang, setelah berhenti sejenak, terusnya, "Hari itu kebetulan dia sedang berpesiar di seputar bukit Lu-san, begitu menyaksikan pertarunganku melawan Tay-sat-jiu, dia segera mengetahui asal-usul kami, terlebih ketika dia menghubungkan kejadian itu dengan peristiwa di malam cap-go-meh dimana Lay-toaci telah menggagalkan usaha pembunuhan yang dilakukan Tay-sat-jiu, maka dia pun meniru suara Laytoaci dan saudara-saudaraku yang lain untuk menakut-nakuti Tay-sat-jiu "Masa Lui Tun mampu menirukan berbagai logat suara, termasuk suara lelaki?" "Gadis itu nampak lembut di luar, padahal keras di dalam, dia termasuk seorang gadis yang memiliki kemampuan hebat, hanya sayang kondisi tubuhnya yang kelewat lemah." Sesudah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Ternyata Tay-sat-jiu amat licik, dia tidak pergi terlalu jauh dan segera balik kembali." "Wah, bisa celaka kali ini." "Untung begitu menampakkan diri, dengan cepat nona Lui segera menyampaikan beberapa pesan kepadaku, pesan itu adalah menerangkan beberapa bagian titik kelemahan yang ada pada ilmu silat Tay-sat-jiu, maka sewaktu dia muncul kembali, aku pun menggunakan kesempatan itu untuk melancarkan serangkaian serangan berantai yang diarahkan ke titik kelemahannya, dalam keadaan tak menyangka dan gelagapan, akhirnya aku berhasil melukai kembali dirinya, waktu itu kerugian yang diderita Tay-sat-jiu amat besar, tapi ia tak mau menyerah begitu saja, sepanjang jalan masih berusaha menyerang kami secara bergerilya." Dia berhenti sejenak untuk tukar napas, lalu terusnya, "Ilmu mencuriku beda jauh bila dibandingkan ilmu untuk memukul orang, untuk menyerang lawan, aku selalu turun tangan segera ganas, berani dan makin garang semakin hebat, sebaliknya ilmu mencuri dibutuhkan kelincahan

dan kecepatan gerak. Jadi ilmu menyerang dan ilmu mencuri merupakan dua hal yang sama sekali berbeda." "Maka walaupun kau mampu mencuri barang milik orang, bukan berarti mampu merobohkan musuh? Jadi kau pun bukan tandinganku, benar bukan?" tukas Tong Po-gou. Thio Than tidak meladeni ucapan itu, katanya lagi, "Waktu itu aku belum tahu kalau nona Lui adalah putri kesayangan Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tadinya kusangka kungfunya sangat hebat tapi sengaja menyembunyikan kepandaiannya. Kemudian aku baru tahu kalau ia sama sekali tak pandai silat, namun dengan kecerdasan otaknya dia nyaris hapal di luar kepala semua gerak silat dari berbagai aliran, dengan petunjuk darinya itulah aku berhasil membuat kabur Tay-sat-jiu. Sejak itu aku pun bergabung dengan mereka, sepanjang jalan tampaknya saja seolah aku sedang melindungi nona Lui, padahal tanpa dia, mungkin aku sudah tewas di tangan Tay-sat-jiu. Setiap waktu setiap saat Tay-sat-jiu selalu bersembunyi di suatu tempat untuk melancarkan bokongan, untungnya semua rencana busuknya selalu dapat diduga nona Lui jauh sebelum kejadian, hingga akhirnya semua rintangan dapat dihindari dengan selamat. Kemudian nona Lui mengingatkan aku agar menggunakan Pat-tay-kang-ouw (delapan cara dunia persilatan) untuk minta bantuan dari berbagai jago dan Enghiong Hohan yang kujumpai sepanjang jalan untuk bantu melakukan perlindungan, dengan begitu akhirnya aku benar-benar berhasil lolos dari pengejaran Tay-sat-jiu." "Benarkah dia sehebat itu?" tanya Tong Po-gou setengah tak percaya. "Dalam perjalanan itu kami pun mengangkat saudara, karena kalau tidak menjadi saudara angkat, kurang leluasa bagi kami untuk melanjutkan perjalanan. Waktu itu aku pun mengajak dia pulang ke kota Tiang-an, Lay-toaci amat menyukainya, maka nona Lui pun diterima sebagai adik ketujuh." "Bukankah kalian sudah mempunyai adik ketujuh yang bernama Siau Soat-ih (si baju salju)? Kenapa "Tujuh gulung angin berpusing dari perkampungan Tho-hoa-ceng sebenarnya terdiri dari Lay Siauoh, Cu-toa-koay-ji, To-he-liu-tau, Thio Han, aku, Ki Siang-ho dan Siau Soat-ih, tapi kemudian Siau Soat-ih lenyap tanpa ketahuan juntrungannya lagi, sementara semua orang sudah terbiasa dengan Jit-moaycu, maka setelah nona Lui muncul, sementara semua orang masih kangen dengan Siau Soat-ih, kami pun tanpa sadar memang¬gilnya sebagai Jit-moaycu." "Lantas kenapa kau masih membawanya balik ke kota-raja?" "Bagaimana mungkin ia bisa tinggal dengan perasaan tenang? Waktu itu orang-orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah datang menyambangi perkampungan bunga Tho dan minta orang kepada Lay-toaci, sekalipun nona Lui tak ingin kembali juga mau tak mau dia harus balik juga ke kotaraja......" "Maka kau pun menemaninya berangkat ke ibukota?" "Tidak juga, dia sendiri yang berangkat secara diam-diam setelah berpamitan kepada Lay-toaci seorang, siapa sangka di tengah jalan telah bertemu orang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka mereka pun mengutus para dayang untuk menemani perjalanannya, sementara aku ... aku baru mencarinya setelah tiba di kotaraja." "Bu ... bukankah kau pun meninggalkan perkampungan bunga Tho secara diam-diam?" Thio Than tidak menjawab, lagi-lagi dia meneguk semangkuk arak.

Sebetulnya Tong Po-gou ingin meledeknya dengan beberapa kata godaan, namun secara tiba-tiba dia teringat pula akan diri Un Ji. Menyusul kemudian dia pun seakan memahami sesuatu. "Tampaknya belakangan ini banyak juga orang yang minggat dari rumah..." Hanya ucapan itu yang diutarakan, kemudian dia pun meneguk araknya. Sementara itu hujan makin deras di luar kedai arak, Tong Po-gou maupun Thio Than hanya termenung dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. "Hai, entah sampai kapan hujan ini baru berhenti?" "Ketika pertarungan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah berakhir, mungkin air hujan pun akan berubah jadi hujan salju?" "Kalau begitu kita bawa pulang guci arak itu, sambil berhujan-hujanan kita minum arak." "Baik, kita minum arak di tengah hujan ..." "Siau-thio, ayo, berangkat ... kita jalan-jalan di tengah hujan." "Jalan-jalan bersamamu?" "Apa salahnya dengan aku? Memangnya kau punya pilihan lain?" "Benar, kalau ada pilihan, tak nanti aku jalan bersamamu." "Kau ini ... dasar tak berperasaan, tidak setia kawan ... dingin, ketus "Sudah jangan mengumpat terus, belum cukup kau mengumpat seharian penuh?" "Umpatan sih cukup, arak yang belum cukup ..." "Kalau begitu kita lanjutkan minum arak di luar sana, coba kita lihat di tengah hujan begini bisa menyaksikan apa." "Kau memang goblok, kalau di tengah hujan tentu hanya air hujan yang tampak ..." "Ah, betul, kalau tidak melihat air hujan di tengah hujan, apalagi yang bisa dilihat......." ooOOoo 52 . Suar a golok di tengah ang in dan h ujan Ketika tiba di luar pintu, hampir saja Thio Than jatuh terjerembab, melihat itu sambil tertawa ujar Tong Po-gou, "Kalau dilihat wajahmu tidak merah, napasmu tidak ngos-ngosan, orang mengira takaran minummu hebat, ternyata setelah mulai berjalan, langkahmu sempoyongan macam delapan dewa mabuk saja...." Sambil memegang sisi pintu dan terengah engah, sahut Thio Than cepat, "Siapa bilang aku mabuk, akan ku ... kuperlihatkan kegagahanku berjalan Baru berjalan beberapa langkah ia merasa kepalanya mulai pening, mukanya panas dan langkahnya jadi ringan.

Tong Po-gou tertawa tergelak, mendadak ia menghentikan gelak tertawanya dan berseru, "Kau di sini dulu, aku mau ke kamar kecil sebentar." "Pergi, pergi ..." sahut Thio Than sambil berjalan kembali ke mejanya. Waktu itu malam sudah menjelang tiba, hujan di luar masih turun sangat deras, kilat menyambar dan suara guntur meng¬gelegar membelah bumi. Di bawah penerangan bebe'rapa buah lentera, tampak hanya ada dua tiga meja yang ditempati tamu, pemilik rumah makan dan para pelayan yang menyaksikan Tong Po-gou serta Thio Than mabuk-mabukan hingga berjalan pun sempoyongan, sama sekali tidak menggubris ataupun mengganggu mereka, selama tidak membuat keonaran dan semua biaya sudah terbayar, mereka memang enggan mengganggu kesenangan para tetamunya. Ruangan rumah makan yang begitu luas hanya disinari beberapa buah lampu lentera, ditambah suasana hujan angin di luar yang begitu deras membuat suasana di situ terasa begitu redup dan gelap. Biasanya suasana rumah makan selalu ramai, banyak yang minum arak sambil berteriak main judi, tapi hari ini suasana begitu hening, para tetamu hanya duduk berkumpul sambil minum arak, masing-masing tidak menggubris tamu yang lain, hal ini menimbulkan suasana yang lain daripada yang lain. Menyaksikan suasana di sekitar situ, Thio Than merasa sedikit tertegun. Kembali terdengar suara menggelegar yang amat keras membelah keheningan, rupanya suara guntur. Suara guntur yang sama sekali di luar dugaan. Saat itu Tong Po-gou sudah menuju ke ruang belakang, kakus memang terletak di belakang sana. Menanti bayangan tubuh Tong Po-gou lenyap dari pandangan, Thio Than baru menegur dengan suara yang tenang tapi amat jelas, "Kalian telah datang!" Tak ada yang menjawab. Di situ hanya ada tiga meja yang terisi tamu. Tiga meja dengan delapan orang tamu. Delapan orang tamu itu masih menundukkan kepala sambil menikmati arak dalam cawan, sementara hujan angin masih turun dengan derasnya di luar sana.. Dia berbicara dengan siapa? Di luar sana tak ada orang, hanya satu dua kali suara ringkikan kuda, meski ada lelaki yang numpang lewat, dia pun masih berada nun jauh di sana. Lalu ucapan Thio Than tadi ditujukan kepada siapa? Apakah ditujukan Lociankwe yang rambut, kumis dan alis matanya sudah memutih itu? Atau kepada si pelayan yang beberapa lembar kumisnya mulai tumbuh? Kembali Thio Than meneguk semangkuk arak, lalu duduk kembali di bangkunya, dengan suara dalam serunya, "Kalau toh sudah datang, kenapa masih menyembunyikan diri macam kura-kura?" Ketika ucapan itu selesai diucapkan, suasana tetap hening, sepi dan tak terdengar suara jawaban.

Segulung angin dingin kembali berhembus lewat. Lidah api pada lentera mulai bergoncang kencang seakan hendak padam, suasana dalam ruang rumah makan pun kembali dicekam dalam keredupan yang menggidikkan hati. Thio Than bergidik, dia merasakan hawa dingin menyusup ke seluruh badannya. Perasaan bergidik yang belum pernah ia rasakan, rasa seram bercampur ngeri yang baru pertama kali ini dia rasakan. Lagi-lagi suara guntur menggelegar di tengah udara dengan nyaringnya disusul kilatan halilintar serasa membelah angkasa. Tong Po-gou membuka pintu ruangan menuju ke kakus di belakang sana, biar langkahnya gontai namun dia masih bisa bersenandung. Hujan turun sangat deras, mengguyur di atas badannya membuat seluruh tubuh basah kuyup. Tong Po-gou tidak ambil peduli. Seseorang kalau sudah mabuk, biar tidur di atas tumpukan sampah pun dia tak peduli, apalagi menggubris air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya? Tong Po-gou menengadah, membiarkan air hujan membasahi wajahnya, dia membuka mulutnya lebar-lebar, membiarkan air hujan membasahi kerongkongannya. Andaikata air hujan itu adalah arak, dia malah tak berani meneguk dengan begitu lahap. Setelah meneguk air hujan beberapa tegukan, dia mulai tertawa tergelak, tubuh yang gontai ditambah jalan yang becek beberapa kali nyaris membuat badannya terpeleset, dengan tangannya dia berpegangan pada sebatang ranting pohon, menanti hatinya tenang kembali baru dia melanjutkan langkahnya. Hujan turun semakin deras, curahan air hujan yang deras membuat pandangan mulai kabur, dia mulai tak sanggup melihat jelas suasana di sekeliling tempat itu. Kakus rumah makan ada di bagian paling belakang. Kakus itu dibuat dari dinding anyaman bambu dan hanya bisa digunakan satu orang, saat itu Tong Po-gou memang sangat membutuhkan. Dia butuh memakainya segera. Bila seseorang minum terlalu banyak, dia memang selalu butuh kakus untuk melepaskan hajatnya, kalau bukan begitu, tidak normal namanya. Tong Po-gou termasuk orang yang polos, kecuali wataknya yang aneh, caranya melepaskan hajat pun berbeda dengan kebanyakan orang. Sambil menggerutu dia berjalan terus mendekati ruang kakus, masih untung sepanjang jalan tumbuh pepohonan pendek sehingga dia dapat berpegangan, kalau tidak, sebelum Thio Than roboh terjungkal, mungkin dia sendiri yang harus tertelungkup lebih dulu. Sesaat kemudian ia sudah tiba di depan ruang kakus dan membuka pintu, bau busuk segera menyebar kemana-mana, gerombolan lalat beterbangan dari balik ruangan, tapi dia tak ambil peduli, begitu masuk, pintu pun segera ditutup kembali. Di saat dia menutup kembali pintu kakus itulah .... "Blaaaam!", kilat menyambar membelah bumi, langit pun jadi terang benderang.

Di antara kilatan cahaya petir, di balik pepohonan pendek yang rimbun, sebuah pemandangan aneh tertera jelas, ternyata bukan pohon yang ada di kedua sisi jalan. Di situ berdiri manusia! Manusia berpakaian ringkas warna hitam dengan kain kerudung berwarna hitam, tubuhnya kekar lagi berotot. Sayang Tong Po-gou tak sempat melihat terlalu jelas, dia sudah menutup rapat pintu kakus. Kini kawanan manusia berbaju hitam itu sudah mulai bergerak, bergerak sangat lambat tapi cekatan. Sekalipun bukan sedang hujan deras, gerakan tubuh kawanan manusia itupun cepat tanpa menimbulkan sedikit suara pun, dalam genggaman mereka terlihat membawa sesuatu, ter¬nyata tombak panjang berujung pisau tajam. Dalam waktu singkat mereka sudah mengepung sekeliling kakus itu, ujung tombak yang tajam diarahkan ke dinding kakus, dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di antara kilatan petir yang menyambar, tampak ada dua orang berbaju hitam itu yang melompat naik ke atap kakus itu, mengarahkan ujung tombak mereka ke atas atap bangunan itu. Sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Terlebih malam itu adalah malam hujan yang amat deras, malam hujan diikuti hembusan angin yang sangat kencang. Kawanan manusia itu masih menanti. Apa yang mereka nantikan? Kembali suara guntur menggelegar membelah bumi, kilatan cahaya petir membelah angkasa, hujan turun semakin deras. Kilat dan guntur untuk kesekian kalinya membelah seluruh bumi. Tiba-tiba segulung hembusan angin kencang memadamkan seluruh cahaya lentera yang menerangi ruang rumah makan, padamnya cahaya diikuti mengepulnya segulung asap hitam yang terasa pedas menusuk hidung........ , Berubah hebat paras muka Thio Than. Lekas dia mengeluarkan sebuah kotak besi dari sakunya, membuka penutupnya dan mengambil sesuatu benda dari balik kotak yang langsung digosokkan di bawah lubang hidungnya, setelah itu ia baru berkata, "Percuma, tak ada gunanya, Pat-tay-kang-ouw saja aku paham, asap pembius sukma Mia-teng-mi-hun-yan tak bakal membuat aku mabuk kepayang!" Kali ini dia memperoleh reaksi, mendapat tanggapan. Yang terdengar olehnya adalah suara golok, suara orang yang melolos golok. Suara golok itu berasal dari meja nomor satu. Suara golok yang indah bagaikan suara keleningan yang terhembus angin, seperti juga suara rintihan seorang wanita yang menimbulkan rangsangan.

Suara golok itu sangat indah, amat merdu, jarang Thio Than mendengar suara semacam ini. Suara golok itu tidak mirip suara orang melolos golok, tapi lebih mirip suara musik yang sedang dimainkan seorang ahli. Dari meja nomor dua terdengar lagi suara golok. Kali ini hanya satu kali, lagi pula cepatnya bukan kepalang. Baru saja ia mendengar suara itu, golok sudah berada dalam genggaman orang itu. Suara golok macam beginilah baru merupakan suara golok yang sesungguhnya, dari suara golok yang berkumandang bisa diketahui bahwa dalam sekali tebasan, golok itu pasti akan merenggut nyawa seseorang! Dari arah meja ketiga sama sekali tak terdengar suara golok. Tahu-tahu golok berada dalam genggaman bahkan terasa angin golok yang tajam, biar begitu tak terdengar sedikit suara pun. Ternyata orang itu dapat melolos goloknya tanpa menimbulkan suara. Jelas cara mencabut golok semacam ini sudah tidak terhitung sebagai melolos golok lagi, tapi lebih mirip sedang membunuh orang. "Ooh, rupanya kalian telah datang," Thio Than menghela napas panjang, "sungguh tak kusangka pada mafem ini bukan saja aku dapat mendengar suara angin dan suara hujan, bahkan dapat mendengar pula suara angin golok dan suara golok kalian." Tong Po-gou sudah menutup rapat pintu kakusnya, dia memang sudah tak tahan. Lahir, tua, sakit, mati merupakan gejala alam yang tak bisa dihindari setiap manusia termasuk jago persilatan sekalipun, makin sempurna seseorang berlatih silat hanya membuat tubuhnya makin sehat dan hidup lebih panjang usia, mengurangi segala serangan penyakit dan membuat tubuh lebih kuat. Tapi pada akhirnya orang tetap menjadi tua, sakit dan akhirnya mati. Jago persilatan sehebat apa pun mereka tetap takut hawa dingin maupun hawa panas, hanya saja daya tahan mereka jauh melebihi daya tahan orang biasa, mereka pun sama seperti manusia lain, harus buang hajat, mandi, tidur dan makan. Jika seorang jago silat sudah ingin kencing, siapa pun tak bisa menahannya. Begitu juga keadaan Tong Po-gou saat itu. Tapi baru saja dia menutup pintu kakus, mendadak seluruh tubuhnya bergetar keras. Biarpun tubuhnya sudah ada di dalam ruang kakus, namun matanya masih terbayang pemandangan sekilas yang sempat dilihatnya sebelum menutup pintu tadi. Pepohonan itu ... kenapa bisa bergerak? Jelas bukan pohon, tapi manusia! Dia benar-benar tertegun dibuatnya, baru saja akan membuka pintu untuk melongok ke depan, tiba-tiba ia mendengar suara lirih berkumandang dari atas atap. Suara itu sangat lirih dan ringan, suara orang yang hinggap di atas atap.

Di tengah hujan lebat, suara itu jauh lebih ringan dari suara hujan. Tapi Tong Po-gou dapat segera membedakan, suara itu bukan suara air hujan yang membasahi atap, tapi suara senjata tajam. Suara senjata tajam yang menyentuh atap. Seketika itu juga Tong Po-gou merasakan seluruh badannya mengejang keras, dia kepal tinjunya kuat-kuat. Jika dua deret pohon di luar sana benar-benar adalah manusia ... Dia ingin segera menjebol pintu untuk menyerbu keluar, tapi tiba-tiba satu ingatan membuatnya lebih waspada, dari arah pintu kakus kembali terdengar dua kali suara sentuhan yang lirih. Musuh sudah berada di depan pintu kakus! Luas kakus itu hanya beberapa meter, boleh dibilang tiada tempat lagi baginya untuk bersembunyi atau menghindar. Tong Po-gou segera terpikir untuk menerjang keluar lewat jalan belakang. Bagaimana pun dia terhitung lelaki bermental baja yang cukup punya nama dalam dunia persilatan, pergaulannya yang cukup lama dengan Sim Hau-sian membuat pengalamannya dalam menghadapi berbagai pertempuran sangat luas dan matang. Tapi sayang dari dinding belakang kakus pun sudah terdengar tiga ketukan yang lirih. Dalam waktu yang amat singkat dia seolah sudah melupakan segalanya, yang terpikir olehnya saat itu hanya bagaimana caranya keluar dari kakus itu secepatnya. Tapi dia segera mengetahui, sekeliling tempat itu sudah terkepung rapat, baik ke atas ke belakang ke kiri maupun ke kanan hampir semuanya sudah ditempeli senjata tajam musuh, asal perintah diturunkan, niscaya seluruh senjata tajam itu akan dihujamkan ke tubuhnya.... Dia tak berani membayangkan .apa jadinya bila seluruh senjata tajam yang mengelilingi ruang kakus itu dihujamkan secara bersamaan ke tubuhnya. Hujan di luar turun semakin deras, suara gemuruh makin memekakkan telinga. Di luar sana selain hujan, terdapat juga musuh tangguh. Dia tak tahu siapakah kawanan musuh itu, tapi satu hal dia tahu dengan pasti, musuh itu pasti sangat menakutkan. Lagi-lagi petir menyambar diikuti suara guntur. Guntur menggelegar setelah petir berkilat. Ini dikarenakan jarak mereka yang kelewat jauh di angkasa, maka terjadi selisih waktu antara suara guntur dan kilatan cahaya petir. Tapi sambaran golok yang terjadi di situ justru hanya ada angin golok, tiada suara apa pun. Menurut analisa Thio Than, di kotaraja saat itu hanya ada satu orang yang bisa berbuat begitu. Sama halnya dengan suara golok yang bersih dan tegas serta suara golok yang panjang mengalun, di kolong langit ini hanya ada dua orang yang bisa melakukannya. Orang pertama, mencabut golok tanpa suara, dia pastilah jago paling tangguh dari Ngo-hou-toanhun-to (golok lima harimau pemutus sukma) Phang Cian. Orang kedua, mencabut golok hanya sekali bersuara, suara golok muncul lalu lenyap, dia pastilah Keng-hun-to (si golok pengejut sukma) Si Lian-thian, Cengcu perkampungan keluarga Si.

Orang ketiga, mencabut golok dengan suara bagaikan pekikan naga, dia pastilah Siang-kian-po-to (golok mestika pertemuan) Beng Khong-khong. Setelah mengetahui siapa yang berdatangan, Thio Than pun menghela napas panjang. "Baik-baikkah kalian semua," sapanya, "sungguh tak kusangka tiga dari lima golok paling menakutkan di kotaraja sebelum kemunculan Ong Siau-sik, kini sudah bermunculan semua di sini." Ternyata perkataan itu sangat manjur, Thio Than memang berharap mereka mau bicara. Jika musuh hanya membungkam, maka sulit baginya untuk meraba maksud kedatangan mereka. Betul saja, Si Lian-thian segera bertanya, "Masih ada dua yang lain?" "Benar, malah mereka menempati posisi kesatu dan kedua." Kontan Si Lian-thian mendengus dingin. Goloknya setipis kertas, tiba-tiba saja memancarkan cahaya tajam, cahaya tajam panca warna. Mungkinkah goloknya sama seperti orangnya, bisa senang bisa gusar? "Siapa mereka?" kali ini Phang Cian yang bertanya. Sewaktu bicara, suaranya seperti keluar dari tenggorokan yang dicekik orang, kecil melengking dan serak, jauh berbeda dengan perawakan tubuhnya yang kekar dan kuat bagaikan seekor kerbau. "Golok Ang-siu-to milik So Bong-seng dan golok Put-ing milik Lui Sun." Begitu mendengar jawaban itu, raut muka ketiga orang itupun segera mengendor kembali. Sebenarnya perkataan Thio Than itu sama halnya dengan menghina mereka, memandang rendah mereka, tapi setelah Thio Than menyebut nama kedua orang ini, mereka justru menganggap perkataan itu seakan menyanjung mereka, menghormati mereka bahkan meningkatkan derajat serta status mereka. Oleh sebab itu ketiga orang itu merasa hatinya amat nyaman. "Menurut kau, Ang-siu-to milik So Bong-seng dibandingkan Put-ing-to milik Lui Sun, siapa yang pantas menempati kursi pertama dan siapa yang nomor dua," tanya Beng Khong-khong. "Mereka belum pernah bertanding, jadi aku pun tak tahu." "Lalu apa yang kau ketahui?" "Aku hanya tahu kalian telah datang." "Tahukah kau, mau apa kami datang kemari?" Sekali lagi Thio Than menghela napas. Setiap kali menghela napas, tanpa terasa dia selalu teringat dengan saudara angkatnya, Thio Han. Sebab Tay-jan-hiap (si pendekar mengenaskan) Thio Han pun senang sekali menghela napas. "Aku tidak tahu," katanya, "aku hanya tahu kalian sudah mencabut keluar golok." Beng Khong-khong tertawa.

"Kalau golok sudah dicabut, biasanya untuk apa?" katanya. "Membunuh orang!" terpaksa Thio Than menjawab. "Lantas siapa yang pantas dibunuh di tempat ini?" tanya Beng Khong-khong lagi. "Aku!" terpaksa sekali lagi Thio Than menghela napas sambil menuding ujung hidung sendiri, "jika kalian tak ingin membunuh diri, rasanya terpaksa harus membunuh aku." "Betul! Dugaanmu memang tepat sekali!" Beng Khong-khong tertawa riang. Terkadang dalam kehidupan manusia, dia harus menghadapi situasi dimana lebih menderita dan tersiksa ketimbang melakukan kesalahan. Situasi Thio Than saat ini persis seperti keadaan itu. Bila seseorang, siapa pun orangnya, harus berhadapan dengan tiga orang jago golok macam mereka, tak seorang pun yang akan merasa gembira. Tidak terkecuali Thio Than. 53 . Perinta h komando BAB V: PEN YERB UAN BES AR -BES AR AN Hujan di luar turun semakin deras dan rapat. Tengah hari tadi, ketika para jago kelas satu dari kotaraja mengerubut Kwan Jit, waktu itu cuaca pun sangat buruk, hujan dan angin menderu-deru, kini keadaan tak jauh berbeda, kilat tampak menyambar-nyambar, guntur menggelegar di angkasa, angin kencang hujan amat deras. Benar-benar sialan, ternyata harus terkepung di dalam kakus. Kening, wajah dan pakaian Tong Po-gou sudah basah kuyup tertimpa air hujan, tapi kini ditambah dengan butiran peluh sebesar kacang kedelai, meleleh dan menetes ke bawah seperti darah yang meleleh dari luka yang digurat oleh golok. Siapakah orang-orang itu? Kini ujung senjata mereka sudah ditempelkan di atas dinding kakus, apa yang sedang mereka nantikan? Kini Tong Po-gou benar-benar sudah terkepung di dalam kakus, di atas ada musuh, di empat arah delapan penjuru semuanya ada musuh, asal dia menerjang keluar, maka seluruh senjata pasti akan dihujamkan ke tubuhnya, meninggalkan beratus lubang di seluruh bagian tubuhnya, membuat dia berubah jadi seekor landak yang mampus di dalam kakus. Tentu saja Tong Po-gou tak ingin menjadi seekor landak, dia pun tak ingin mati. Dia terlebih tak ingin mampus di dalam kakus. Masakah Tong Po-gou yang gagah perkasa, harus mampus dalam kakus yang bau, omongan macam apa itu? Dia harus hidup, tentu saja dia tak ingin hidup di dalam kakus. Dia ingin hidup. Hidup begitu indah, begitu nikmat, kenapa dia harus mati?

Di dunia ini banyak terdapat orang jahat, kenapa bukan mereka yang mati, kenapa dia yang harus mendapat giliran dulu untuk mati? Namun dia pun merasa tak sanggup untuk menerjang keluar dari situ. Dalam situasi dan keadaan seperti ini, gagal menerjang keluar dari situ berarti mati, paling tidak dia akan menjadi bulan-bulanan kawanan manusia itu. Tapi, apa yang sedang dinantikan orang-orang itu? Apakah sedang menunggu perintah komando? Begitu perintah diturunkan, perintah komando untuk merenggut nyawanya? Sekujur tubuh Tong Po-gou basah kuyup, jauh lebih kuyup ketimbang tadi. Bahkan kini ia mulai mengejang dan kaku. Dia seakan sudah lupa apa tujuannya datang ke kakus. Dia amat gelisah dan cemas, tapi tidak secemas dan segelisah tadi, Kini dia ingin lekas keluar dari situ. Dia ingin berteriak minta tolong kepada Thio Than, tapi dia pun sadar sebelum teriakannya terdengar oleh Thio Than, mungkin tubuhnya sudah mendapat hadiah tujuh delapan belas buah lubang tusukan, tusukan dari senjata-senjata itu. Dengan napas memburu dan terengah dia berdiri kaku dalam kakus, sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan. "Kalian ingin membunuhku, lalu apa yang mesti kulakukan?" terdengar Thio Than bertanya sambil tertawa getir.' "Aku rasa hanya ada dua cara untukmu," sahut si Lian-thian, "dibunuh oleh kami atau kau bunuh kami." "Aku tak ingin membunuh kalian," seru Thio Than dengan mata mendelik. "Sekalipun kau ingin membunuh pun belum tentu sanggup membunuh kami," ejek Si Lian-thian sambil tertawa. "Tapi mengapa kalian ingin membunuhku?" Kembali Si Lian-thian tertawa dingin. "Orangnya saja sudah hampir mampus, buat apa mesti menanyakan hal itu?" "Karena aku tak ingin membawa pertanyaan sewaktu menghadap raja akhirat nanti." Si Lian-thian tampak agak sangsi, dia berpaling ke arah Beng Khong-khong. "Percuma kau bertanya," jawab Beng Khong-khong cepat, "kami sendiri pun tidak tahu, seandainya tahu pun tak nanti akan kusampaikan kepadamu." "Ah, tahu aku sekarang ternyata bukan kalian yang ingin membunuhku, melainkan ada orang mengutus kalian untuk membunuhku." Senyuman yang menghiasi ujung bibir Beng Khong-khong nampak sedikit dipaksakan. "Yang sanggup mengundang kalian bertiga untuk membunuhku pun rasanya tak banyak, di kolong langit saat ini mungkin hanya Pui Ing-gan, Pui-siauhoya seorang," kata Thio Than lagi.

Suara tawa Beng Khong-khong semakin dipaksakan. "Kelewat cerdas, sayang orang pintar bukan satu hal yang baik," tukasnya cepat, kemudian dia alihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya lagi, "Aku justru ingin tahu, darimana kau bisa merasakan kedatangan kami?" "Aku tidak tahu, aku sama sekali tak tahu akan kedatangan kalian." "Oya?" "Aku hanya memperhatikan cawan arak kalian yang ada di atas meja, Si-cengcu telah melakukan gerakan tiga bintang menghadap rembulan, dia sedang bertanya kepada kalian, kapan akan turun tangan? Phang-buncu segera menjajarkan tiga cawannya dengan satu cawan lebih ke depan, ini kode yang berarti sekarang! Tapi kau segera menggunakan dua sumpit disilangkan di bawah lima cawan arak, ini berarti tunggu sebentar lagiThio Than tertawa, "sekali lihat aku segera tahu kalau kalian adalah orangorang persilatan, hanya tidak kusangka kalau yang datang ternyata kalian, itulah sebabnya aku sengaja berlagak mabuk dan mengusir si kerbau itu pergi dulu kemudian baru mencari tahu tentang asal-usul kalian, tak disangka "Kalau sejak awal sudah tahu kami yang datang, tak nanti kau akan membiarkan si kerbau itu pergi meninggalkan tempat ini," tukas Si Lian-thian dengan kata-katayang tajam. "Betul, daripada hanya aku seorang diri, memang jauh lebih enakan kalau punya teman," jawab Thio Than jujur. "Hmmm, sayangnya, biar lebih banyak satu orang pun kalian tetap akan mampus." Thio Than tertawa, suara tawanya penuh dengan sindiran, "Mungkin saja begitu, tapi bila ada lebih banyak orang yang menemani mati, bukankah hal itu jauh lebih baik lagi?" "Apakah kau adalah manusia macam begitu?" tanya Beng Khong-khong sambil mengerlingnya sekejap. "Menurut kau?" Thio Than balik bertanya. "Padahal kode rahasia yang kami gunakan tadi adalah kode rahasia paling atas dari dunia persilatan." "Aku tahu." "Tapi kau memahaminya?" "Kecuali kode rahasia itu hasil ciptaannya yang khusus ditujukan untuk kalian, kalau tidak, kode rahasia mana lagi yang tak bisa kupahami?" ujar Thio Than. "Kau memang amat cerdas, sayang, orang cerdas biasanya berumur pendek." "Orang berumur pendek kalau kelewat sering menggunakan otaknya, sayang aku paling malas memeras otak, aku lebih suka memperhatikan setiap detil persoalan yang sedang kuhadapi." "Orang yang kelewat suka memperhatikan sesuatu secara detil biasanya juga berumur pendek, gampang kena serangan jantung," jengek Si Lian-thian sinis. "Kau pun banyak bicara," sambung Beng Khong-khong, "biasanya orang yang kelewat banyak omong pun tak bisa hidup sampai usia seratus tahun." "Itu disebabkan mereka terlalu banyak membuang napas," sindir Thio Than, "itulah sebabnya aku selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menarik napas." "Tapi sayang sebentar lagi kau sudah tak mampu bernapas lagi."

"Itu tak perlu disayangkan, yang justru patut disayangkan adalah sepintar apa pun diriku, aku tetap tak habis mengerti kenapa Pui-siauhoya ingin membunuhku," Thio Than seakan bertanya kepada orang, seperti juga sedang bertanya pada diri sendiri, "aku belum pernah melakukan kesalahan terhadapnya, apa mungkin lantaran tahun kemarin aku pernah berbuat salah terhadap komplotan Liong Pat-tayya maka hari ini dia ingin membunuhku? Atau karena aku adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong? Atau mungkin karena aku adalah salah satu anggota perkampungan Tho-hoa-ceng?" "Mungkin semua alasanmu benar, mungkin juga tidak," tukas Beng Khong-khong tak sabar, "pokoknya percuma saja kau bertanya." Sekali lagi Thio Than menghela napas panjang. "Tampaknya beberapa orang yang ada di tiga meja lain pun merupakan orang-orang yang kau bawa?" katanya. "Dia sedang mengulur waktu," mendadak Phang Cian berteriak keras. Suaranya sangat parau, sejak muncul baru dua patah kata ini yang dia ucapkan. Ucapannya seketika berhasil membongkar maksud Thio Than yang sebenarnya, begitu membuka suara dia langsung mengobrak-abrik rencana lawan. Thio Than seketika merasa hatinya seakan tenggelam, dia memang sedang mengulur waktu, sebab ia sadar kemampuannya seorang tak nanti bisa menandingi kehebatan tiga jago golok itu. Sekalipun dia sadar, kendatipun mengulur waktu juga tak ada gunanya karena dia tetap bukan tandingan mereka, namun dia tetap berusaha untuk mengulur waktu secukupnya. Paling tidak dia ingin mengulur waktu hingga Tong Po-gou balik ke ruangan. Bila dia sampai terbunuh sebelum Tong Po-gou balik ke situ, maka begitu balik ke dalam ruangan nanti, dapat dipastikan Tong Po-gou juga akan mengalami nasib yang tragis, dibokong secara tibatiba. Karenanya apa pun yang terjadi dia tetap berusaha menunggu sampai Tong Po-gou kembali! Tapi aneh, kenapa si kerbau mampus itu belum juga kembali? Katanya dia ingin kencing, kenapa selama itu kencingnya? Tapi sekarang setelah Phang Cian berteriak membongkar rencananya, Thio Than tak bisa mengulur waktu lagi. Yang bisa dia lakukan sekarang hanya berteriak, dia berharap suara teriakannya dapat menembus angin dan hujan yang sedang turun dengan derasnya itu, dapat terdengar oleh Tong Po-gou. Dia pun berharap Tong Po-gou tidak dalam kondisi mabuk berat, jarak kakus dengan ruang utama tidak terlampau jauh, andaikata Tong Po-gou bisa mendengar teriakannya ... tentu si kerbau dungu itu masih sempat melarikan diri, mungkin dia masih sempat menyelamatkan jiwanya. Diam-diam ia menghimpun tenaganya dan siap berteriak

Pada saat itulah tiba-tiba berkumandang suara yang seharusnya pada saat dan keadaan seperti ini tak mungkin bisa terdengar. Suara kentongan, tiga kentongan ditambah dua titik. Waktu itu baru pukul Yu-si (antara jam 5-7 sore), kenapa sudah terdengar suara kentongan? Apalagi yang terdengar ada¬lah tiga kentongan ditambah dua titik? Menyusul kemudian dari arah belakang, dari balik suara deruan angin dan hujan berkumandang pula suara teriakan keras serta raungan gusar seseorang. Berubah hebat paras Thio Than, dia tahu tebakannya betul! Bagaimana mungkin mereka akan lepaskan Tong Po-gou? Ternyata ada sebagian orang sudah melancarkan serangan dari belakang! Thio Than menyesal, mengapa ia tidak berteriak sejak tadi. Mungkin bila Tong Po-gou mendapat peringatan jauh lebih awal, siapa tahu ia masih punya kesempatan untuk melarikan diri, tapi sekarang.... Thio Than berhasil menemukan suatu hal .... Paras muka Si Lian-thian ikut berubah, mungkin paras mukanya tak berbeda jauh dengan mimik mukanya sekarang. Tangan Phang Cian yang menggenggam golok pun terlihat makin mengejang kencang, dia sedang menengok ke arah Beng Khong-khong dengan pandangan tegang. Sementara itu senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Beng Khong-khong kini sudah lenyap tak berbekas, sikap serta gerak-geriknya tampak mulai tidak leluasa. Andaikata ia sudah membuat persiapan yang matang di belakang rumah sana, kenapa air muka orang-orang itu terlihat berubah sangat hebat? Kembali suara guntur mengggelegar membelah bumi, tapi suara guntur tak dapat menutupi suara teriakan gusar seseorang. Apa yang sebenarnya telah terjadi di belakang sana? Peristiwa apa yang telah terjadi? Mungkin hanya Thian yang tahu. Tong Po-gou tidak habis mengerti kenapa dari luar sana bisa muncul begitu banyak musuh yang ingin menghabisi nyawanya, dia pun tak paham kenapa mereka ingin mengurungnya di dalam ruang kakus dan membunuhnya di situ. Otak dan kepalanya masih terasa panas karena pengaruh arak, pikirannya terasa tersumbat dan tak berhasil menemukan sebuah titik terang pun, diam-diam ia bersumpah, di kemudian hari dia tak nanti akan menenggak air kata-kata lagi. Dalam keadaan seperti ini dia hanya ingin berteriak keras. Belum sempat dia berteriak, suara kentongan yang aneh pun berkumandang datang, tiga kentongan ditambah dua titik.

Suara kentongan itu berhasil menembus suara angin dan hujan, berkumandang di udara dengan sangat jelas. Begitu suara kentongan bergema, perintah komando pun segera diturunkan. Tiga belas batang tombak panjang dengan ujung tombak menempel di atas dinding kakus, pada saat bersamaan segera dihujamkan ke arah dalam! Pada saat yang bersamaan Tong Po-gou telah mengambil satu keputusan, dia tak bisa menyerbu ke depan karena depan ada musuh, dia pun tak dapat mundur ke belakang karena belakang ada lawan tangguh. Dia pun tak dapat berkelit ke kiri atau kanan, karena ujung tombak sudah siap merobek dada dan perutnya dari arah situ. Terlebih dia pun tak bisa menjebol dinding kakus, karena senjata musuh sudah menanti di situ untuk merobek batok kepalanya. Kalau memang ke depan tak ada jalan, ke belakang tak mungkin hidup, jalan ke kiri, kanan dan atas pun sudah tersumbat, apa lagi yang bisa dia lakukan? Tong Po-gou teringat, dulu dia pernah menanyakan masalah seperti ini kepada saudara angkatnya, Sim Hau-sian. Waktu itu Sim Hau-sian menjawab, "Jika jalan depan tertutup, jalan mundur pun tersumbat, dalam keadaan sebagus ini kalau aku tidak melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, apa lagi yang mesti ditunggu?" Ujung tombak sudah mulai menembus dinding ruangan! Tong Po-gou meraung keras, kepalannya langsung dilontarkan ke depan, ternyata dia menggunakan kepalannya untuk menangkis datangnya tusukan ujung tombak itu. "Kraaak!", mata tombak seketika terhajar patah oleh sodokan tinjunya. Begitu berhasil mematahkan tombak lawan, Tong Po-gou menggigit bibir lalu menyambar tong berisi kotoran manusia yang tersedia di kakus itu, setelah itu dengan tangan sebelah dia lancarkan cengkeraman ke arah sisi kakus sementara kakinya melepaskan tendangan keras untuk menghajar pintu kakus yang tertutup. Dengan gerakan ini kembali dia berhasil membetot dua batang tombak yang terarah ke tubuhnya. Ketika pintu kakus berhasil ditendang hingga terbuka, di antara terpaan angin dan hujan dia sambitkan ujung tombak yang berhasil direbutnya itu ke depan, sesosok tubuh manusia seketika roboh terkapar. "Lihat senjata rahasia keluarga Tong milikku!" bentaknya nyaring. Dia membalikkan tangan dan mengguyurkan kotoran manusia yang ada dalam tonv yang diangkatnya itu ke arah beberapa orang lawan yang berdiri di depan pintu. Saat itu para penyerang sedang merasa bangga karena yakin sergapan mereka akan berhasil, mereka tak mengira kalau Tong Po-gou bakal melancarkan serangan balasan dalam keadaan begini, baru saja mereka saksikan munculnya seorang lelaki yang tinggi besar, tahu-tahu kotoran manusia sudah berhamburan datang ke arah mereka. Kawanan jago itu sama sekali tidak menyangka akan hal ini, takut dengan senjata rahasia keluarga Tong, lekas mereka mencoba menyingkir, tahu-tahu bau busuk yang luar biasa telah menyelimuti sekeliling tubuh mereka. Berhasil dengan serangannya, Tong Po-gou segera melompat keluar dari ruang kakus.

Kembali ada tiga empat batang tombak menusuk tiba dari sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Lihat serangan!" bentaknya gusar, tangannya diayunkan, kembali belasan titik cahaya hitam berhamburan ke arah lawan. Waktu itu pihak lawan sedang bersiap melancarkan tusukan mematikan mumpung lawan belum sempat berdiri tegak, ketika melihat datangnya sergapan puluhan titik cahaya hitam yang mengarah ke tubuh mereka, kuatir senjata itu adalah senjata rahasia beracun keluarga Tong, lekas mereka menangkis sambil menghindar. Ternyata senjata rahasia itu tidak menimbulkan reaksi apa pun kecuali beterbangan di udara sambil menimbulkan suara dengungan lirih. Kawanan jago itu semakin terkesiap, selama hidup belum pernah mereka saksikan senjata rahasia seaneh ini, kuatir mengancam jiwa mereka, untuk sesaat kawanan jago itu hanya memperhatikan datangnya serangan Am-gi itu tanpa sempat menggubris Tong Po-gou lagi. Waktu itu keadaan Tong Po-gou tak beda dengan seekor harimau kalap, dia menerjang ke muka dengan sekuat tenaga, dalam waktu singkat dua orang manusia berbaju hitam berhasil diterjangnya hingga roboh. Kemudian sambil mengayunkan tong bekas kotoran manusia itu ke kiri kanan, ia berlarian menuju ke ruang rumah makan, teriaknya, "Mampus untuk mereka yang berani menghalangi jalanku!" Sepak terjang manusia tinggi besar ini sungguh luar biasa, dalam waktu singkat barisan lawan jadi kacau-balau tak keruan dan gagal menghalangi jalan perginya. Ketika seorang pembunuh berhasil mendekatinya, belum sempat menusuk dengan tombaknya, Tong Po-gou telah menutup kepala orang itu dengan tong bekas kotoran manusia. Karena tak dapat melihat apa-apa, orang itu memukul dan menendang secara ngawur kian kemari, akibat ulahnya itu malah menghambat jalan rekan-rekannya yang sedang melakukan pengejaran. Sementara itu kawanan pembunuh berbaju hitam tadi su¬dah menyadari kalau senjata rahasia yang dilancarkan Tong Po-gou ternyata bukan senjata rahasia sungguhan, Am-gi itu tak lebih hanya lalat yang beterbangan di seputar tong kotoran. Rupanya sewaktu menjebol pintu sambil menerjang keluar tadi, Tong Po-gou telah menangkap segenggam lalat yang beterbangan di seputarnya untuk dijadikan 'senjata rahasia'. Tak selang beberapa saat kemudian ia berhasil membuka sebuah jalan dan berlarian menuju ke pintu belakang rumah makan. Ketika sadar telah tertipu, kawanan pembunuh itu serentak menyerbu ke depan dan kembali melakukan pengejaran. Tong Po-gou berteriak keras, dia putar sepasang tinjunya dengan sepenuh tenaga, ketika seorang pembunuh berhasil menyelinap masuk dari belakang pintu, dia segera menangkap tombak lawan kemudian melempar tubuh orang itu hingga mencelat sejauh beberapa kaki. Dengan sekuat tenaga Tong Po-gou lari ke pintu belakang, membukanya dan berteriak, "He, arang hitam, ada orang hendak membunuhmu Belum selesai dia berteriak, terdengar Thio Than telah berteriak pula, "He, kerbau dungu, hati-hati di tempat ini!"

Tong Po-gou telah menerjang masuk ke dalam ruangan, masuk dengan membawa angin dan hujan bahkan diikuti lalat dan kotoran manusia, tentu saja ada darah dan keringat. Di belakang tubuhnya mengikuti lima enam orang pembunuh dengan ujung tombak terarah ke punggungnya. Tiba-tiba Tong Po-gou menghentikan langkahnya, dia terperangah, sebab selain Thio Than, dia pun telah menyaksikan tiga orang jago lainnya. Tiga orang jago dengan tiga bilah golok! Dalam genggaman Si Lian-thian terdapat golok, Keng-bong-to, golok pengejut impian, goloknya bukan cuma dapat menghancurkan impian, bahkan bisa menghancur lumatkan nyawa orang. Dalam genggaman Phang Cian pun terdapat golok, Ngo-hou-toan-hun-to, golok lima harimau pemutus sukma, ia pernah menggunakan golok itu untuk memenggal kepala tiga ekor harimau, tentu saja dua di antaranya adalah harimau sungguhan, harimau bermata emas berkepala putih, sedang yang satu adalah 'Harimau Lui', harimau Lui jauh lebih susah dihadapi ketimbang harimau sungguhan. Dalam genggaman Beng Khong-khong juga terdapat golok, Siang-kian-po-to, golok pertemuan, goloknya membuat orang harus berpisah, untuk berhasil melatih golok pertemuannya hingga mencapai kesempurnaan, dia telah membuat semua sanak keluarganya pergi meninggalkan dirinya dan selama hidup tak pernah bersua lagi. Tiga orang jago golok dengan tiga bilah golok yang sudah terhunus. Mata golok masih memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, serangan sudah siap dilancarkan. Sebetulnya mereka sudah siap memenggal batok kepala Thio Than, tapi ketika menyaksikan Tong Po-gou menerjang masuk diikuti beberapa orang di belakangnya, mereka jadi ter¬tegun, keheranan. Sementara itu para jago bertombak pun nampak tertegun, keheranan, tampaknya mereka pun tidak menyangka kalau di situ masih terdapat tiga orang manusia bergolok. Thio Than melirik sekejap mengawasi sorot mata kawanan manusia berbaju hitam itu, kemudian mengawasi juga wajah tercengang Beng Khong-khong, Phang Cian serta Si Lian-thian, tiba-tiba ia tertawa tergelak. "Hahaha, Toako, Jiko, Samko," teriaknya kepada Beng Khong-khong bertiga dengan gaya seolah sangat akrab, "ternyata ada orang sedang mengejar Losu, tampaknya dugaan kalian memang tidak meleset!" 54. Urusa n ruma h tangga dan negar a m endatangka n kesedi han Suara angin, hujan, bentakan, cahaya golok, bayangan tombak .... Semuanya terjadi bersamaan waktunya, sesaat setelah Thio Than menyelesaikan perkataannya. Kini sebagian besar kawanan manusia berbaju hitam itu sudah menerjang masuk ke dalam, serentak mereka melancarkan serangan dengan tombaknya.

Ada yang menyerang terhadap Tong Po-gou, ada yang menyerang ke arah Thio Than, ada juga yang menusuk Phang Cian, Si Lian-thian serta Beng Khong-khong, semua serangan yang dilancarkan adalah serangan mematikan. Orang-orang yang berdiri di belakang ketiga orang jago golok itu serentak melolos senjatanya. "Tunggu dulu .......... seru Beng Khong-khong. Tapi sayang teriakannya hanya berlaku untuk mereka yang bersenjata golok dan sama sekali tidak mempengaruhi tindakan kawanan jago bertombak untuk melanjutkan serangannya. Tombak menari-nari, bunga tombak menyebar ke empat penjuru .... Para jago golok telah menghentikan serangan mereka, hanya Si Lian-thian seorang yang tiba-tiba menerjang keluar. Menyusul kemudian mereka pun menyaksikan sebuah impian. Impian berwarna-warni Impian tak dapat dilihat dengan mata, impian hanya akan muncul dalam alam tidur. Impian hanya bisa dibayangkan, tak dapat disentuh, namun terkadang impian dapat dilihat, dapat pula disentuh. Ketika ia dapat melampuai batas kenyataan, di saat dia berwujud dalam satu alam nyata, maka dia akan terlihat dan dapat disentuh, sayangnya pada saat itu kau akan mendapatkan impian yang lain, impian yang jauh lebih indah. Siapa yang bisa membuat sebuah impian yang sama persis seperti kehidupan nyata? Sekalipun bisa, namun ketika mendusin dari tidurmu, maka segala sesuatunya tetap kosong. Oleh sebab itu impian selamanya adalah impian, impian bukan sebuah kenyataan. Golok Si Lian-thian adalah kenyataan, bukan impian. Ketika dia melancarkan serangan dengan goloknya, golok itu indah bagaikan impian, memancarkan cahaya warna-warni terutama warna merah darah yang segar. Namun goloknya juga membawa sebuah kenyataan, kenyataan yang sadis dan kejam. Dimana cahaya golok menyambar, percikan merah berhamburan di tengah warna hitam. Kemudian semua orang pun baru menyadari, warna merah itu memang warna darah segar sementara warna hitam adalah pakaian Ya-heng-ih yang dikenakan para pembunuh. Para pembunuh menggigit bibir, mengayunkan tombaknya sambil melakukan perlawanan dengan sengit, rekan-rekannya yang berlumuran darah mulai bergelimpangan ke tanah, namun mereka tak mau menjerit minta ampun, mereka tak sudi minta ampun kepada musuh, mereka yang belum berlumuran darah, kini matanya mulai memancarkan sinar merah. Sepasang mata Si Lian-thian juga telah memerah, membunuh kelewat banyak bisa membuat mata jadi merah. Kini seluruh sukma dan semangatnya sudah tidak berada dalam raganya, melainkan berada dalam goloknya.

Kembali terdengar suara kentongan dibunyikan orang ... dua kentongan tiga titik. Suara kentongan yang bergema saat ini justru merupakan kebalikan dari suara kentongan tadi, yang berbunyi tadi adalah tiga kentongan dua titik. Suara kentongan macam apa itu? Mana ada waktu yang bisa diundur? Sebenarnya kawanan pembunuh itu dengan tombak terhunus sedang menyerang dengan kalap, walaupun mereka sadar banyak rekan yang sudah berlumuran darah, namun mereka menyerang terus secara nekat. Mungkin mereka nekat karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk hidup. Maka mereka menerjang terus ke arah golok itu, seperti menerjang di tengah impian buruk, walau bagi Si Lian-thian sebetulnya hal ini merupakan impian indahnya. Biasanya impian indah bagi seseorang, terkadang justru merupakan impian buruk bagi orang lain. Pada saat itulah suara kentongan kembali berbunyi. Kawanan pembunuh itu serentak menghentikan serangannya, mereka hanya mengawasi Tong Pogou, Thio Than, Si Lian-thian, Beng Khong-khong, Phang Cian dengan pandangan penuh kebencian, tapi ada pula yang mulai membopong rekan mereka yang terkapar di tanah, tak seorang pun melanjutkan kembali serangannya. Kini mereka mulai mundur, mundur dari ruangan itu. "Kalian tak akan lolos!" bentak Si Lian-thian keras. Sambil mengayunkan goloknya dia mengejar ke depan. Sementara itu ketujuh orang jago golok yang berada di belakangnya ikut menerjang ke depan sambil melancarkan serangan maut. Mendadak terdengar Phang Cian berseru kepada Beng Khong-khong, "Apakah ada keharusan bagi kita untuk melakukan pertarungan konyol ini?" Beng Khong-khong menghela napas panjang, sahutnya, "Ya, apa boleh buat, Si-siaucengcu sudah mulai turun tangan." "Kau toh bisa mencegahnya!" "Mencegah golok Si Lian-thian? Kecuali menggunakan golok pertemuanku!" Phang Cian termenung sejenak, lalu katanya lagi, "Jika harus turun tangan, jangan biarkan seorang manusia pun hidup." Beng Khong-khong sangat setuju dengan usul itu, dia pun ingin menyatakan hal yang sama, namun tentu saja perkataan semacam ini lebih baik bukan muncul dari mulutnya tapi dari mulut orang lain. Kini Phang Cian sudah mengatakannya, asal sudah dikatakan maka penyelesaiannya jadi lebih gampang. Terlepas siapakah kawanan penyerang itu, yang pasti Si Lian-thian sudah melancarkan serangan lebih dulu dan Phang Cian telah memutuskan untuk melakukan pembantaian secara besarbesaran.

Andaikata dia salah dalam pembantaian ini, jika dilakukan penyelidikan, dia bisa cuci tangan dari segala tanggung jawab. Kini dia sudah mulai menyentil mata goloknya, ketika jarinya bertemu dengan mata golok segera timbullah suara getaran lirih seolah luapan kegembiraan karena pertemuan itu. Dia sudah siap membunuh orang. Waktu itu kembali ada enam-tujuh orang pembunuh yang roboh bersimbah darah, sisanya yang tinggal tujuh-delapan orang sudah mulai terdesak dan mundur keluar pintu belakang. Serambi belakang rumah makan kini seluruhnya sudah roboh, angin dan hujan mulai merembes masuk ke ruang dalam. Kecuali angin dan hujan, tampaknya ada sebuah benda lain yang ikut menyusup ke dalam, sesosok bayangan abu-abu! Dingin, udara terasa dingin membeku. Tong Po-gou, Thio Than, Beng Khong-khong, Phang Cian, Si Lian-thian maupun kawanan pembunuh itu semuanya dapat merasakan hal ini, hawa dingin yang begitu merasuk tulang membuat badan terasa menggigil, terasa merinding. Tujuh orang jago golok telah menerjang dan berdiri berjajar di depan Si Lian-thian, tapi entah mengapa, mendadak tiga orang yang berada paling depan roboh terjungkal ke tanah. Kalau tadi, sampai detik terakhir sebelum ajalnya pun kawanan pembunuh berbaju hitam itu enggan menjerit kesakitan ataupun berteriak, namun ketika ketiga jago golok ini tewas, mereka sama sekali tak sempat mengeluarkan suara apa-apa, tahu-tahu sudah mampus. Sebuah lubang darah muncul di atas dada masing-masing. Orang pertama tampaknya tertusuk oleh pedang, si penyerang pastilah seorang jago pedang yang sangat hebat, sebab dalam sekali tusukan ia berhasil menembusi hulu hatinya, tidak banyak darah yang meleleh keluar. Orang kedua tampaknya mati ditembus lembing panjang, lubang luka di dadanya sangat dalam dan amat mengerikan. Luka pada tubuh orang ketiga paling istimewa, tampaknya dia seperti tertusuk oleh senjata trisula yang biasa digunakan dalam air, Kunlun Hun-sui-ji. Tiga orang dengan tiga lubang luka yang berbeda, luka oleh tiga jenis senjata yang berbeda. Padahal sang penyerang hanya satu orang, dia pun sama sekali tidak membawa senjata. Saat itu dia berdiri dengan punggung menghadap ke semua orang dan wajah menghadap ke belakang ruangan. Hujan masih turun dengan derasnya di luar sana, langit tampak semakin gelap gulita. Orang itu mirip sekali dengan hujan, dingin, gelap dan menggidikkan hati. Orang itu mempunyai perawakan tubuh tinggi kurus, mengenakan jubah panjang berwarna abuabu, pada bahunya tergantung sebuah pauhok yang terlihat tua, kuno dan sangat berat.

Tangan kanannya diletakkan di atas pauhok pada bahu kirinya. Siapakah dia? Beng Khong-khong hanya merasakan bulu kuduknya berdiri. Si Lian-thian hanya mundur selangkah, ia segera menerjang maju lagi ke muka. Bagaimana pun dia adalah Siaucengcu perkampungan keluarga Si. Dia tak boleh menampilkan perasaan takutnya di hadapan anak buah, selain itu selama ini dia memang ingin menampilkan kebolehan ilmunya, dia ingin penampilannya jauh di atas Beng Khong-khong maupun Phang Cian. Itulah sebabnya terpaksa dia maju ke depan, tentu saja bersama goloknya, golok yang bisa mengejutkan impian. Tiba-tiba goloknya terjadi perubahan, entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu golok itu sudah terlepas dari genggaman ... Impian pun turut hancur berantakan. Mendadak manusia jangkung yang ceking itu membalikkan tubuhnya. Masih tidak tampak bagaimana dia turun tangan, yang terlihat hanya raut wajahnya yang begitu putih, begitu pucat, seakan sudah lama terbalut dalam lapisan salju, tak pernah tertimpa sinar matahari. Phang Cian mendengus tertahan, mendadak dia melompat ke muka, masih tiada suara, goloknya juga tidak menimbulkan suara apa pun. Dalam kolong langit saat ini, mungkin hanya Phang Cian seorang yang telah berhasil melatih ilmu golok Ngo-hau-toan-hun-to hingga sama sekali tidak menimbulkan suara. Terlihat cahaya golok berkelebat lalu ia mundur, ketika mundur sekaligus ia telah menyelamatkan nyawa Si Lian-thian. Di atas dada Si Lian-thian telah bertambah dengan setitik warna merah. Titik merah itu sangat kecil, besarnya paling seperti biji kedelai. Akan tetapi seluruh tubuh Si Lian-thian seakan sudah roboh, keadaannya waktu itu mirip seseorang yang telah memotong usus dalam perutnya menjadi enam bagian, kemudian menusuk hatinya dengan delapan tusukan ditambah seluruh kuku di sepuluh jarinya dicabut lepas, dia sangat kesakitan, delapan sampai sepuluh kali lipat lebih kesakitan daripada orang yang ditusuk dadanya. Perawakan tubuh Phang Cian kecil pendek, tapi ketika membusungkan dada sambil mengayun golok, tubuhnya seakan sebuah tabung besi yang amat keras. Kini darah telah membasahi dadanya. Lelehan darah telah mengalir kemana-mana, membuat jubah berwarna birunya lambat-laun berubah jadi warna ungu. Kembali orang itu membalikkan badannya dengan punggung menghadap ke dalam ruangan, wajah menghadap keluar ruangan rumah makan, dia seakan sedang menikmati air hujan di luar sana. Apa indahnya pemandangan di saat hujan?

Beng Khong-khong tidak tahu. Dia hanya merasa tangannya yang digunakan untuk memegang golok milik Si Lian-thian yang mencelat tadi kini sudah basah oleh air keringat. Sebenarnya siapakah orang ini? Dia tidak tahu, dia hanya tahu kawanan pembunuh berbaju hitam itu sedang membopong yang terluka, menyeret yang mati, tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari rumah makan itu. Menghadapi musuh tangguh yang begitu menakutkan, nyaris mendekati kengerian yang luar biasa ini, apa yang harus dia lakukan? Pada saat itulah dia mendengar sebuah suara. Sebuah suara yang bisa mendatangkan perasaan hangat, lembut, mesra, bahkan dari nada suara itu kita dapat membayangkan kalau suara itu berasal dari seseorang yang gemuk, berwajah penuh senyuman serta seseorang yang mampu menyelesaikan persoalan apa pun. "Thian-he-te-jit (ketujuh dari kolong langit), Si-siaucengcu, Beng-sianseng, Phang-buncu, kalian sedang membuat keramaian di sini? Hahaha, apakah belakangan baik-baik semua?" kemu¬dian setelah berhenti sejenak, kembali dia tambahkan, "apakah belakangan bertambah kaya, bertambah banyak rejeki?" Begitu menyaksikan kemunculan orang itu, Tong Po-gou serta Thio Than segera menghembuskan napas lega, perasaannya yang semula tegang pun kini mulai mengendor. Orang itu memang bertubuh gemuk dan berwajah toapan, sama seperti nada suaranya. Tentu saja orang ini tak lain adalah Cu Gwe-beng, komandan opas Ci Gwe-beng dari kantor kejaksaan. Begitu melihat kemunculan orang itu, Tong Po-gou segera tahu kalau nyawa mereka bakal tertolong. Mana mungkin sekawanan pembunuh itu berani melakukan pembunuhan di hadapan seorang pejabat tinggi kantor kejaksaan? Sebaliknya Thio Than begitu bertemu dengan komandan kantor kejaksaan ini, kepalanya kontan terasa pening karena dia pernah merasakan siksaan dan penderitaan karena berurusan dengan kantor pengadilan. Akan tetapi mereka sempat dibuat tercengang, tercengang oleh ucapan pertama yang diutarakan Cu Gwe-beng tadi. "Thian-he-te-jit?" Siapakah orang ketujuh dari kolong langit itu? Mendadak bayangan tubuh manusia yang kurus jangkung itu sudah lenyap dari dalam ruangan. Yang tersisa di luar sana hanya angin dan hujan yang masih turun dengan amat derasnya. Tampaknya begitu melihat kemunculan Cu Gwe-beng, dia segera melenyapkan diri dari hadapan semua orang.

"Thian-he-te-jit... orang ketujuh dari kolong langitgumam Beng Khong-khong, "kalau manusia semacam dia pun hanya menempati urutan ketujuh di kolong langit, lantas macam apa manusia nomor wahid di kolong langit ......." "Julukannya itu sama sekali tidak menunjukkan kalau dia tidak merasa puas," kata Cu Gwe-beng sambil tertawa, "karena dia anggap manusia nomor wahid di kolong langit semestinya di tempati Baginda Raja yang sedang bertahta, dia sendiri hanya menempatkan diri pada urutan yang ketujuh, bagaimana mungkin dikatakan dia tak tahu diri?" Kemudian setelah tertawa terkekeh lanjutnya, "Di dalam pandangannya, dari dulu hingga kini, tak lebih hanya ada enam orang yang berada diurutan di atas namanya, bagaimana bisa dibilang tak puas?" Beng Khong-khong menghembuskan napas panjang, sahutnya, "Ya, dia memang tidak punya anggapan merasa tak puas, sama sekali tak bisa dibilang tak puas." "Benar, dia memang selalu tahu diri dan tahu merasa puas," kembali Cu Gwe-beng tertawa. Tong Po-gou yang mengikuti jalannya pembicaraan itu jadi heran, rasa ingin tahu mendorongnya untuk bertanya, "Sebetulnya manusia macam apakah dia?" "Aku tahu dia bernama Thian-he-te-jit, soal yang lain aku sama sekali tidak tahu," jawab Cu Gwebeng sambil menarik kembali senyumannya. Thio Than berpaling memandang sekejap keluar ruangan, mengawasi hujan dan angin yang masih turun dengan derasnya tiba-tiba ia menghela napas panjang, katanya, "Mungkin dia adalah seseorang yang menganggap urusan negara, rumah tangga dan semua urusan yang ada di kolong langit adalah urusan yang menyedihkan." Kemudian sambil merendahkan suaranya, ia berbisik kepada Tong Po-gou, "Orang inilah yang begitu tiba di kota Tiang-an segera membuat Lay-toaci dan kawan-kawan pusing kepala!" Sementara itu Cu Gwe-beng telah berkata pula, "Ya, siapa yang tahu? Mungkin juga dia adalah seseorang yang sama sekali tak pernah menguatirkan urusan rumah tangga, negara serta semua urusan yang ada di kolong langit." "Tayjin, melihat kegembiraanmu, apakah kedatanganmu hari ini adalah untuk minum beberapa cawan arak?" ujar Beng Khong-khong mendadak. "Tentu saja bukan," sahut Cu Gwe-beng tertawa, "mana mungkin aku punya rejeki macam Bengsianseng? Aku hanya mendengar orang bilang, konon di sini ada orang sedang berkelahi maka sekalian datang untuk melihat keadaan, kau juga tahu bukan, berkat kebijaksaan Sri Baginda maka Cayhe bisa menduduki jabatan ini, tentu saja Cayhe pun tak ingin ada keributan di seputar sini yang bisa mengganggu ketenangan Baginda raja." Beng Khong-khong memandang sekejap tubuh ketiga orang jago goloknya yang terkapar di tanah, lalu memandang juga ke arah Si Lian-thian yang masih kesakitan setengah mati, sementara Phang Cian sedang duduk mengatur pernapasan, katanya kemudian, "Benar, kami beberapa orang sedang minum arak di sini, tiba-tiba muncul segerombolan pembunuh yang menyerbu masuk, bahkan mereka sempat membantai tiga orang pengikutku." "Kalian memang kehilangan tiga orang, tapi tampaknya mereka pun sudah kehilangan beberapa orang," sambung Cu Gwe-beng.

"Betul, mereka pun tidak memperoleh keuntungan apa-apa." "Semua nyawa manusia itu sama, mati tetap mati, tapi orang yang hidup tentu berbeda, menurut hukum negara yang berlaku sekarang, siapa membunuh dia harus membayar dengan nyawa sendiri," Cu Gwe-beng terlihat amat masgul, "terkadang sebagai hamba negara, mau tak mau aku harus melaksanakan juga peraturan ini secara tegas." "Benar, benar, benar, soal ini aku mengerti," Beng Khong-khong mulai nampak tidak tenang, "dengan ketajaman mata Cu-tayjin pasti dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, kami hanya bekerja di bawah perintah Pui-hoya, mana berani tanpa sebab kami melanggar peraturan negara?" "Betul, kalian adalah orang kepercayaan Pui-hoya, tentu saja tak akan memandang enteng hukum negara, cuma ...." Cu Gwe-beng berhenti sejenak untuk menarik napas, kemudian dengan nada serba salah terusnya, "Andaikata kalian terlibat dalam pembunuhan ini, itu berarti kamu semua telah melanggar hukum negara, tahukah kalian, hukumannya akan berlipat ganda?" Mendadak Beng Khong-khong mengeluarkan selembar kertas dan diserahkan ke tangan Cu Gwebeng sambil ujarnya, "Tayjin, tubuhmu basah oleh air hujan, silakan menggunakan kertas ini untuk menyekanya." Baru saja Beng Khong-khong hendak berjalan menghampiri Cu Gwe-beng untuk menggenggam tangannya yang gemuk, mendadak lelaki tua yang selama ini hanya berdiri di belakang Cu Gwebeng dengan kepala tertunduk itu mendongakkan ke¬palanya dan mengawasinya dengan sorot mata yang tajam, jauh lebih tajam dari mata golok. Seorang lelaki muda yang lain, entah sejak kapan juga telah berdiri di samping Cu Gwe-beng dengan sikap malu-malu. Sambil menerima gumpalan kertas itu, sahut Cu Gwe-beng sambil tertawa, "Terima kasih banyak, badanku tidak basah, silakan ambil kembali." "Tidak, tidak, mungkin Tayjin perlu untuk menyeka tubuhmu," lekas Beng Khong-khong menggoyang tangannya berulang kali. "Kalau badanku basah, kertas secuwil begini belum cukup dipakai untuk menyeka, lebih baik simpan untukmu saja," tampik Cu Gwe-beng lagi sambil tertawa. "Andaikata tidak cukup, aku masih punya beberapa lagi, harap Cu-tayjin sudi memberi muka ....." Mendadak kakek yang berdiri di samping Cu Gwe-beng menukas, "Perkataan Tayjin sudah amat jelas, ambil kembali!" "Cu-tayjin, jika kau merasa kurang, sekembalinya nanti pasti akan kuminta agar Kongcu mengirim sepuluh kali lipat "Ambil kembali!" hardik kakek itu nyaring. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Beng Khong-khong menerima kembali gumpalan kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku.

"Tahukah kau, kenapa ketajaman mataku bisa selalu amat bagus?" tanya Cu Gwe-beng kemudian sambil tertawa. Untuk sesaat Beng Khong-khong tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. "Karena usiaku sudah lanjut," jawab Cu Gwe-beng sendiri. Kalau dilihat tampangnya, paling dia baru berusia tiga puluh tahun lebih atau empat puluh tahun kurang, orang gemuk memang lambat tuanya, terlebih orang gemuk yang selalu dihiasi senyuman di bibirnya, tapi sekarang dia mengatakan kalau dirinya sudah tua, maka Beng Khong-khong pun hanya bisa mendengarkan tanpa menyahut. Siapa suruh dia adalah komandan kantor kejaksaan? "Begitu bertambah usia, kemampuan melihat pun bertambah mundur," Cu Gwe-beng melanjutkan, "semisal kejadian barusan, dengan jelas kulihat ada tujuh delapan orang berbaju hitam yang terkapar di tanah, kelihatannya sudah mati semua, tapi dalam sekejap mata sudah lenyap tak berbekas, aku pasti sudah salah melihatnya tadi." Akhirnya Beng Khong-khong paham juga dengan maksud perkataan Cu Gwe-beng itu. Saking berterima kasihnya hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut. Hidup di ibukota, siapa yang tak tahu cara bertindak Cu-tayjin, komandan kantor kejaksaan? Dia akan menghukummu dan dia tidak ingin menghukummu sudah merupakan perbedaan ibarat langit dan bumi, karena yang satu akan naik ke surga sementara yang lain akan masuk neraka tingkat kedelapan belas. Tapi sekarang Cu Gwe-beng sudah menyatakan pandangannya, berarti sebuah pengampunan besar bagi mereka. "Misalnya saja sekarang aku melihat di lantai ada tiga orang mati karena dibacok orang, tapi kalau dalam waktu sekejap tubuh mereka lenyap dari situ, aku pasti akan mengira pandangan mataku kabur, salah melihat." Ia berpaling ke arah kakek di sampingnya, lalu menambahkan, "Jin Lau, menurut kau apakah mataku memang kurang sehat?" "Kalau di lantai benar-benar ada orang mati, mana mungkin Tayjin tidak melihatnya?" sahut kakek itu dengan hormat. "Berarti di lantai memang tak ada orang mati bukan?" "Benar!" Cu Gwe-beng kembali berpaling ke arah Beng Khong-khong, katanya lagi, "Bukankah tadi kau sangat mengagumi ketajaman mataku?" "Aku mengerti, Tayjin memang hanya melihat apa yang seharusnya terlihat!" "Betul! Bila seseorang hanya bisa melihat apa yang seharusnya terlihat, mendengar apa yang seharusnya didengar, berkata apa yang seharusnya diucapkan, bertindak apa yang seharusnya ditindak, hidupnya pasti akan sangat gembira, otomatis umurnya juga akan bertambah panjang." Beng Khong-khong segera membereskan mayat yang tergeletak di lantai. Mereka bahkan sama sekali tidak meninggalkan noda darah barang sedikitpun di dalam rumah makan itu.

Kemudian mereka baru berani meninggalkan tempat itu. Tong Po-gou dan Thio Than sudah siap meninggalkan tempat itu juga. Mendadak terdengar Cu Gwe-beng berkata, "Tadi bukankah ada orang bilang di sini ada suara pertempuran?" "Benar," jawab Jin Lau, si kakek tua itu, "pintu belakang rumah makan ini ambruk, meja kursi berserakan, bahkan ruang kakus pun jebol, memang ada jejak pertempuran di tempat ini." "Benarkah? Siapa yang berkelahi di sini?" tanya Cu Gwe-beng sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu. "Mereka!" sahut Jin Lau sambil menuding ke arah Thio Than dan Tong Po-gou. Sambil tertawa Cu Gwe-beng berpaling mengawasi kedua orang itu, seperti seorang kelaparan yang mengawasi berbagai hidangan lezat, segera tanyanya, "Jadi mereka berdua?" Kemudian dia pun menurunkan perintah, "Tangkap dan bawa pulang mereka berdua!" Tong Po-gou dan Thio Than sama sekali tidak kabur, mereka pun tidak mencoba melakukan perlawanan. Mereka memang tak bisa kabur. Di luar rumah makan sana berjajar puluhan orang opas, mereka adalah jago kelas satu dari Laksan-bun yang ada di kotaraja. Mereka pun tak berniat kabur. Sebab ketika Jin Lau memborgol mereka, orang tua itu sempat berbisik, "Asal menjawab beberapa pertanyaan nanti, kalian sudah tak ada urusan, kami hanya menjalankan tugas rutin." Thio Than dan Tong Po-gou pun berlalu dari situ bersama mereka ... paling tidak keadaan mereka saat ini jauh lebih nyaman ketimbang harus menghadapi serbuan Beng Khong-khong sekalian ditambah para jago pimpinan Thian-he-te-jit. Tapi sayang mereka keliru. Mereka lupa, ada perkataan semacam orang yang sama sekali tak boleh dipercaya. ooOOoo 55 . Huja n dan angi n "Semua barang yang rusak di tempat ini sudah seharusnya kami yang ganti," sebelum meninggalkan rumah makan Thio Than sempat berkata begitu kepada Lociangkwe serta para pelayan, "tapi sekarang kami tak usah repot lagi, asal ada Cu-tayjin di sini, mereka pasti akan membayarkan ganti ruginya, kalian tak usah kuatir." "Kau pun tak usah kuatir," Jin Lau yang berada di samping Cu Gwe-beng menyahut, "kami pasti akan membayar ganti rugi ini." Kemudian setelah tertawa dengan suara yang rendah dan berat, tambahnya,

"Bagaimana pun toh bukan kami yang harus merogoh kocek." "Tepat sekali perkataanmu," Thio Than turut tertawa, "merogoh kocek sendiri sudah sekarusnya dihindari, perbanyaklah merogoh kocek orang lain." "Ah, rupanya kita memang sepaham, begitu bertemu sudah merasa cocok satu dengan lainnya," seru Jin Lau sambil merangkul bahu mereka berdua, "aku mengundang kalian pulang, nanti kita mesti berbicara sampai puas." Maka Thio Than dan Tong Po-gou pun berjalan keluar dari rumah makan itu menuju ke dalam kota yang penuh dengan angin dan hujan badai itu. Di tengah hujan angin, dua orang petugas pengadilan yang berjalan di depan sambil membawa lampion tampak mengayunkan langkahnya dengan sangat lambat, iring-iringan itu mirip dengan sebuah iringan pengantar jenazah ke tempat pekuburan .... Ada beberapa banyak angin dan hujan di dalam kota? Inikah yang disebut kepuasan? Jika kepuasan adalah begini, Tong Po-gou dan Thio Than rela sepanjang hidup tak akan menjumpai apa yang dibilang sebagai sebuah kepuasan. Yang mereka alami bukan sebuah kepuasan, tapi satu ke puasan yang setengah mati! Penderitaan yang luar biasa, penderitaan yang membual mereka hampir mati. Sekarang mereka baru paham, apa yang dikatakan para petugas opas sebagai "menjawab beberapa pertanyaan lalu tak ada urusan" adalah menyuruh mereka menjawab beberapa pertanyaan atasan lalu tak ada urusan untuk para petugas itu. Misalkan saja Jin Lau bertanya kepada Thio Than, "Mengapa kau datang ke kotaraja?" "Kenapa? Aku tak boleh datang ke kotaraja?" Baru saja Thio Than menyelesaikan jawabannya, seorang sipir penjara yang berada di belakangnya tiba-tiba menendang pinggangnya dengan keras. Thio Than kesakitan setengah mati hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. "Akulah yang sedang bertanya kepadamu, bukan kau yang bertanya kepadaku, lebih baik dengarkan secara jelas." Waktu itu Thio Than digantung terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, sebuah penyiksaan yang amat berat. "Kenapa kau datang kemari?" "Bukankah kau yang mengundangku kemari?" "Apa?" "Bukankah kau bilang akan mengajak kami datang kemari menjawab beberapa pertanyaan?" Jin Lau menghela napas dan mengangguk.

Tali pengikat tangan dan kaki pun segera ditarik orang dengan kencang, membuat kedua tangan dan kaki Thio Than terbetot hingga membentuk sebuah garis lurus, saking kesakitannya dia hampir menangis. "Sebagai lelaki sejati, kepala boleh putus, darah boleh mengalir, tapi jangan menangis!" teriak Tong Po-gou gusar. "Aku bukan seorang lelaki sejati, aku belum kawin, aku hanya seorang Hohan!" sahut Thio Than sambil menahan kesakitan yang luar biasa. Kondisi Tong Po-gou sendiri pun tidak terlalu mulus, tubuhnya digantung dalam bentuk melengkung, kepala bagian belakangnya nyaris menyentuh ujung kaki, tubuhnya diikat di sebuah tiang berbentuk roda kereta, seluruh tubuhnya nyaris hancur saking sakitnya. Biarpun sangat tersiksa, namun dia masih saja berteriak penuh amarah, "Sebagai Hohan, darah boleh mengalir, air mata tak boleh meleleh......" "Aku ... aku lebih suka melelehkan air mata, tapi bisakah darahku tidak meleleh?" jawab Thio Than sambil mengertak gigi menahan rasa sakit. "Ah, kau sangat memalukan bentak Tong Po-gou gusar, kata selanjutnya dia tak sanggup melanjutkan. Ternyata Jin Lau sudah menyuruh orang menarik kencang talinya, kini Tong Po-gou nyaris berbentuk lingkaran. Ia merasa tulang belulang di bagian dadanya nyaris meloncat keluar dari balik badan, tulang iga serta tulang pinggangnya serasa hancur jadi tujuh delapan puluh keping, sakitnya bukan kepalang. "Nah, sekarang tak bisa bicara lagi bukan?" ujar Jin Lau kepada Thio Than, "sekali lagi aku bertanya, mau apa kau datang ke kotaraja?" "Aku mengantar pulang Lui Tun," kali ini Thio Than men¬jawab dengan cepat. "Lui Tun?" "Putri tunggal Congtongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Apa hubungannya denganmu?" "Dia adalah saudara angkatku." "Konon kau mempunyai beberapa orang saudara angkat?" "Benar." "Mereka adalah Jit-to-sian-hong (tujuh gulung angin ber-pusing) dari perkampungan Tho-hoaceng?" "Benar." "Mereka sudah berdatangan ke ibukota?" "Belum!" "Apa? Saudara angkat sedang kesusahan, mereka tidak datang menolong? Kau hendak menipuku?" teriak Jin Lau sambil menjambak rambut Thio Than. Thio Than dapat merasakan ada beberapa ratus helai rambutnya yang tercabut dari kepalanya oleh jambakan kakek kurus ceking itu, bahkan banyak di antaranya bukan hanya tercabut berikut seakarnya, kulit kepalanya pun ikut mengelupas.

"Mereka tak tahu kalau aku datang ke kotaraja!" teriak Thio Than. "Berarti kalian berdua diam-diam menyelonong datang kemari?" "Benar!" Jin Lau mundur satu langkah, mendekatkan obornya ke wajah Thio Than, kemudian katanya lagi, "Aku lihat di wajahmu timbul banyak jerawat" "Aku tidak jerawatan!" "Kulit tubuhmu juga tidak cukup putih dan mulus." "Aku memang bernama Thio Than, hitam bagai batu arang." "Kau benar-benar sudah angkat saudara dengan Lui Tun?" sekulum senyuman yang sangat memuakkan kembali menghiasi wajah Jin Lau, "masa sesederhana itu? Tidak ada rahasia lain yang tak boleh diketahui orang? Ehmm?" Kali ini paras muka Thio Than berubah sangat hebat. Benar-benar berubah hebat. Perubahan itu bukan disebabkan penderitaan yang dialaminya melainkan karena luapan amarah yang membara. "Kau benar-benar seorang yang teliti," teriaknya kemudian. "Betul, tak ada rahasia yang bisa mengelabui aku," sahut Jin Lau sambil tertawa. Dia segera memberi tanda kepada petugas untuk mengendorkan talinya, agar Thio Than bisa menghembuskan napas panjang. "Kau pun sangat cerdik," kata Thio Than lagi sambil menarik napas. "Sekarang kau baru tahu? Ehmmm, tidak terhitung kelewat bodoh, juga tidak terlalu terlambat," jengek Jin Lau sambil tertawa, kemudian tanyanya lagi, "Sekarang apakah kau sudah bersiap untuk membeberkan hubungan kalian yang sebenarnya kepadaku?" "Benar, tapi aku hanya akan memberitahu kepadamu seorang," dengan kerlingan matanya dia melirik sekejap ke arah Tong Po-gou. "Pengawal, segera gusur dia pergi!" Jin Lau segera menurunkan perintah. "He, arang hitam, kau memang anak kelinci yang tak punya malu, anak kura-kura ..." teriak Tong Po-gou nyaring. Kemudian dia menghentikan makiannya karena yang keluar hanya dengusan tertahan. Sebuah cap besi yang merah membara karena sudah dibakar lama telah ditempelkan di atas lukanya, asap hitam bercampur bau busuk darah seketika memenuhi udara. "Kau tak usah suruh dia pergi, tempelkan saja telingamu kemari," teriak Thio Than lagi. Jin Lau segera berpikir, ada baiknya juga begitu, agar dengan mata kepala sendiri Tong Po-gou bisa melihat bagaimana Thio Than mengkhianati rekan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, maka sambil membungkukkan badan dia menempelkan telinganya dekat mulut Thio Than. "Nah, sekarang katakan!"

Thio Than tidak bicara apa-apa, dia segera menggigit telinga Jin Lau kuat-kuat. Kontan saja Jin Lau menjerit kesakitan, tangannya segera diayunkan ke muka melancarkan pukulan, tapi Thio Than tidak melepaskan gigitannya. Serentak para sipir lainnya datang mengerubut, mereka menghajar Thio Than habis-habisan, dari telinga, hidung dan mulutnya darah sudah bercucuran, akan tetapi dia masih menggigit telinga itu. Seorang sipir segera menarik talinya dengan kencang, tapi gigitan Thio Than malah semakin kuat, dia menggigit telinga itu semakin tajam. Menyaksikan kejadian ini mata Tong Po-gou hanya bisa membara, namun ia tak bisa membantu apa-apa. "Lepaskan gigitanmu, lepaskan gigitanmu!" jerit Jin Lau kesakitan. Thio Than tetap menggeleng. Akhirnya karena tak kuasa menahan rasa sakit, Jin Lau berseru, "Lepaskan dulu gigitanmu, aku tak akan menyiksamu lagi." Thio Than mengendorkan gigitannya, Jin Lau segera melompat mundur dua langkah, sambil memegangi daun telinganya yang berdarah teriaknya keras, "Siksa dia habis-habisan!" "Hmm, sudah kuduga kalau kau tak bakal pegang janji," kata Thio Than sinis, "tapi sayang perutku tidak lapar, aku tak ingin menelan telinga busukmu itu hingga merusak selera makanku." Hanya ucapan itu yang bisa dia katakan, karena siksaan sudah dimulai, ada yang sedang menguliti tubuhnya, merobek dagingnya, menghancurkan ototnya dan mematahkan tulangnya. Thio Than masih menjerit keras, berteriak memanggil bapak ibunya. Kali ini Tong Po-gou tidak mengumpatnya lagi, dia malah berteriak keras, "Bagus, bagus, punya semangat, punya semangat!" "Aku pun tahu kalau kau memang selalu hebat," teriak Jin Lau penuh kebencian. "Aku adalah seorang Hohan, kaulah Siaujin terkutuk!" teriak Tong Po-gou lantang. "Sekalipun kau seorang Hohan dan aku seorang Siaujin terkutuk, bisa apa kau? Di dunia ini yang ada hanya Siaujin yang menyiksa Hohan, kau menderita, aku gembira. Aku akan permak dirimu hingga tak berwujud manusia, akan kulihat bagaimana caramu berlagak jadi seorang Hohan! Kalau Hohan sudah ambruk, dia hanya sesosok mayat, sebaliknya aku sang Siaujin justru hidup penuh kenikmatan, bisa menyaksikan tulang belulang kalian yang mengaku Hohan digigit anjing, melihat batu nisan kalian dipenuhi lumut hijau!" "Sekalipun mati kenapa? Cepat atau lambat semua juga bakal mati, namaku akan harum semerbak dikenang orang, sementara nama busukmu dicerca dan dikutuk orang sepanjang masa." "Hahaha, kalau begitu, mampuslah, terkenallah setelah mampus, mending aku, hidup penuh kesenangan!" "Tak heran...." "Tak heran kenapa?"

"Tak heran Thio Than pun tak sudi menelan telingamu," seru Tong Po-gou seolah baru sadar, "rupanya kau amat busuk, busuknya setengah mati." Sejak keluar dari kakus, tubuh Tong Po-gou masih diliputi bau busuk yang luar biasa, bau itu bercampur aduk dengan keringat dan darah, tentu saja baunya bukan kepalang, tapi sekarang, bukan Jin Lau yang mengumpatnya bau, justru dia memaki orang terlebih dulu. "Hehehe," Jin Lau tertawa seram, "sebagai Enghiong, tentunya kau tak akan menjawab semua pertanyaanku bukan?" "Keliru/'sahut Tong Po-gou dengan mata melotot. "Oya?" Jin Lau seakan tercengang. "Tergantung pertanyaan apa yang kau tanyakan." Jin Lau kuatir ia menggunakan tipu muslihat seperti Thio Than tadi sehingga membuat dia tak dapat menyelesaikan tugasnya, lekas ujarnya, "Asal kau menjawab dengan baik, kujamin kau akan selalu makan enak, tidur enak dan tinggal di sini secara nyaman..." "Jadi kau hendak menyekapku selama hidup?" tanya Tong Po-gou dengan perasaan tercekam. "Hahaha, asal kalian bersih, tidak terlibat urusan apa pun, siapa pun tak bisa menahanmu, asal kau bersedia diajak kerja sama, tak ada tempat di kotaraja sini yang bisa menahan kalian." "Baik, kalau begitu suruh mereka menghentikan dulu siksaannya." "Kau bicara dulu yang jujur, aku baru akan menyuruh mereka berhenti." "Tidak bisa, kalau saudaraku sampai terluka parah, hatiku akan terasa sakit, kalau hatiku sakit maka tak sepatah kata pun yang bisa kuucapkan, apalagi perkataan jujur." "Masuk akal," Jin Lau segera memberi tanda agar anak buahnya menghentikan penyiksaan. Meskipun baru disiksa beberapa saat, namun dia sudah lunglai seolah seluruh tulang belulangnya sudah remuk, dari kelima jari kirinya ada tiga di antaranya yang kukunya sudah dicabut, bola matanya agak melompat keluar, darah sudah membasahi seluruh tubuhnya, keadaannya waktu itu sangat mengenaskan. "Sekarang katakanlah!" ujar Jin Lau. "Kau boleh bertanya," kata Tong Po-gou sambil menarik napas panjang. "Kau adalah salah satu anggota dari tujuh penyamun Jit-tay-ko?" "Siapa bilang tujuh penyamun? Kami adalah tujuh pendekar!" "Apakah saudara angkatmu Sim Hau-sian, Pui Heng-sau, Kau-kau, Sim-put-lo-mia (beruntung tugas diselesaikan) tahu kalau kau datang ke ibukota?" "Tahu."

"Kenapa kau datang ke kotaraja?" "Untuk menengok Un Ji!" "Un Ji? Adik seperguruan So Bongseng?" "Dia adalah adik kami semua." "Kau datang untuk menjenguknya atau datang untuk berjumpa dengan kakak seperguruannya, So Bong-seng?" "Kenapa aku harus berjumpa dengan kakak seperguruan nya? Aku tidak kenal dengan So Bongseng!" "Sekarang kau sudah kenal?" "Tentu saja." "Bagaimana pendapatmu?" "Aku tak mempunyai pendapat apa pun." "Lebih baik jawab saja semua pertanyaanku secara jujur, kalau tidak, sahabatmu itu akan tersiksa lebih hebat!" Tong Po-gou mendengus tertahan, belum sempat berbicara Thio Than sudah berteriak duluan, "He, kerbau dungu, kau tak usah kuatir, biarpun aku berteriak memanggil ayah ibu, namun kau tak usah menjawab pertanyaan mereka, paling aku akan berteriak-teriak lagi. Kau jangan menjual nenek moyangku kepada mereka "Sialan kau, tutup mulutmu!" umpat Tong Po-gou. Rupanya habis sudah kesabaran Jin Lau, hardiknya, "Dengarkan baik-baik, kalau dia ngoceh tak keruan lagi, segera potong lidahnya lebih dulu!" Para sipir penjara serentak menyahut, hawa membunuh pun makin tebal menyelimuti tempat itu, tampaknya setiap saat banjir darah kembali akan berlangsung di situ. Kuatir lidahnya benar-benar dipotong, Thio Than mati kutunya, dia tak berani berteriak lagi. Setelah suasana tenang kembali, Jin Lau baru bertanya kepada Tong Po-gou, "Benarkah Sim Hausian yang menyuruh kau melakukan hubungan dengan So Bong-seng?" "Bukan." "Tahukah kau, siapa dia?" Jin Lau menuding ke arah Thiu Than yang sedang dipegangi beberapa orang lelaki kekar, "apa benar dia diutus Lay Siau-oh dari perkampungan Tho-hoa-ceng untuk bersekongkol dengan Lui Sun?" "Tentu saja bukan." "Kenapa?" "Sebab tadi dia sudah bilang bukan." "Memangnya karena dia mengatakan bukan lantas kau anggap bukan?" seru Jin Lau gusar, "kau ini kerbau atau manusia tak berotak?" Tong Po-gou sama sekali tidak gusar, sahutnya, "Karena aku percaya kepadanya." Kemudian ia balik bertanya, "Sebetulnya dosa apa yang telah kami lakukan? Kenapa kau memeriksa aku dengan pertanyaan seperti itu?" "Kalian punya hubungan dengan perkumpulan gelap di kotaraja, ini jelas melanggar hukum!"

"Kenapa kalian tidak menangkap perkumpulan gelap yang kalian maksud? Kenapa malah menangkap kami?" "Bagus, kelihatannya kalian memang merupakan pasangan serasi, jangan dianggap karena tak bicara lantas bisa lolos dari hukuman. Hmmm, aku tak ambil, peduli mau tujuh penyamun atau perkampungan bunga Tho, pokoknya semua adalah komplotan bandit, kami mempunyai seribu satu alasan untuk menahan kalian sepanjang hidup di sini, kami pun mempunyai seratus satu macam alasan untuk membuat kalian kehilangan kepala, bukan hatiku kejam tanganku telengas, adalah kalian sendiri yang menolak arak kehormatan dan memilih arak hukuman!" Sementara dia berbicara, lelaki kekar yang sedang membakar jepitan besi di atas tungku api itu sudah menempelkan besinya di atas luka Tong Po-gou, bau daging hangus kembali menyelimuti seluruh ruangan. Tong Po-gou kesakitan setengah mati, saking sakitnya sekujur badan sampai gemetar keras. "Jangan dianggap dengan membungkam lantas kami akan menaruh kasihan kepada kalian," Jin Lau tertawa dingin, tampaknya dia sangat menikmati penampilan Tong Po-gou, "kuberi kalian waktu selama satu hari, pikirkan baik-baik, daripada lusa kalian akan menerima siksaan yang jauh lebih berat lagi dari Jin Yuan... hahaha....... Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jika dia yang turun tangan, mungkin kalian akan jadi kebingungan sendiri siapa sebenarnya yang bernama Thio Than dan siapa yang bernama Tong Pogou!" ooOOoo 56 . Sampa h Mereka berdua dibuang ke dalam sebuah kamar penjara, persis seperti dua gundukan sampah. Manusia pun terkadang seperti sampah, tapi kata sampah ada kalanya ditujukan pada orangnya, ada kalanya ditujukan pada apa yang sedang mereka pikirkan. Bagi Tong Po-gou dan Thio Than, sampah menunjukkan keadaan mereka saat ini. Ditinjau dari bentuk luarnya, Tong Po-gou seperti seonggok besar sampah, sementara Thio Than seperti seonggok kecil sampah, karena perawakan tubuh Tong Po-gou memang jauh lebih besar. Mungkin dikarenakan alasan ini kalau biasanya hanya kedua belah tangan dan kedua belah kaki yang dipasangi borgol plus bola pemberat yang terbuat dari besi, nama pada tengkuk Tong Po-gou pun ditambahi dengan sebuah borgol baja. Borgol itu beratnya mencapai tujuh puluh tiga kati, kecuali Tong Po-gou, orang lain mungkin berjalan pun tak sanggup. Thio Than tak perlu mengenakan borgol tambahan karena bentuk badannya memang tidak mencerminkan ancaman bagi orang lain, selain itu dia pun sudah habis dipermak hingga tidak menyerupai bentuk manusia lagi. Tong Po-gou memperhatikan Thio Than sekejap, kemudian setelah menghembuskan napas panjang katanya, "Sungguh tak disangka malam ini kita berdua telah menjadi sampah."

"Kau lebih mirip sampah ketimbang aku, bau dan dekil lagi," dalam keadaan begini Thio Than masih berusaha untuk menggoda rekannya. "Ah, aku sangka tak lama lagi kau akan meninggalkan dunia ini, tak nyana biarpun badan sudah tujuh delapan bagian hancur, mulutmu masih setajam sembilu." "Betul, aku memang selalu berprinsip 'selama lidah masih ada, aku masih hidup'. Lidah ada manusia hidup, lidah dipotong manusia pun mati. Apa kau tidak merasa begitu waktu si setan penyakitan mengancam akan memotong lidahku, aku langsung tidak bicara lagi?" kata Thio Than, "tanpa lidah, mana mungkin aku bisa bicara? Aku mempunyai seorang saudara angkat, Thio Han, dia kehilangan lidahnya, aku tak ingin hidup tersiksa macam dia!" "Aku mengerti," Tong Po-gou mengangguk. "Apa lagi yang kau pahami?" "Orang baik selamanya berumur pendek, tapi bagi manusia yang tak punya perasaan, tak setia kawan, egois, menang sendiri, suka omong besar macam kau, tak mungkin dalam satu dua detik bisa langsung mampus." "Betul juga perkataanmu itu, makanya aku tak bakalan mati secara gampang," kembali Thio Than tertawa, "malah aku sedang menunggu untuk berkabung bagimu! Kau pernah mendengar orang berkata, ada jenis manusia, di waktu biasa dia sangat lemah, seakan bisa mati setiap saat, tapi kemampuannya untuk hidup terus justru jauh melebihi orang kuat, justru dia lebih panjang umur." "Sekarang kita sudah terjebak dalam keadaan dan situasi seperti ini, kau kira saat ini cocok untuk berpacaran?" seru Tong Po-gou dengan mata melotot. "Berpacaran?" Thio Than berkerut kening, "kita berdua?" "Kita jauh lebih parah keadaannya daripada berpacaran antar sesama jenis, kita sedang menunggu mati, sedang membicarakan siapa yang mati duluan." Thio Than tertawa getir. "Kalau bukan masalah ini yang dibicarakan, lalu mau bicara soal apa? Bicara soal melarikan diri? Kau sangka setelah terkurung di sini masih ada harapan untuk melarikan diri?" Kebetulan dua orang sipir penjara sedang meronda dan berjalan lewat di situ, salah satu di antaranya seorang lelaki beralis tebal bermata besar langsung menendang tubuh Thio Than dengan keras, sambil menendang umpatnya, "Anjing sialan, berani bicara soal melarikan diri? Akan kutendang kau sampai mampus!" Belum sempat dia menarik kembali kakinya, sambil meraung keras Tong Po-gou sudah menubruk ke depan, tapi karena gerak-geriknya tak leluasa, lukanya tak enteng, kaki tangannya mengenakan borgol yang berat sehingga mustahil baginya untuk mencengkeram tubuh lawan, terpaksa ia gunakan tubuhnya yang tinggi besar untuk menindih sipir itu. "Kraaak!", tampaknya tulang kaki sipir itu seketika patah jadi dua. Karena kesakitan, sipir itu berteriak keras. Sipir penjara yang lain, seorang lelaki bermata besar berwajah bopeng lekas mengambil toya sambil menyerbu masuk ke dalam ruang sel, dia langsung menghantam kepala dan punggung Tong Po-gou.

Lekas Thio Than menangkap toya itu seraya berteriak, "Tayya berdua, ampunilah kami...!" Setelah menghantam sekian lama, tampaknya amarah sipir itu baru agak reda, bentaknya, "Kenapa tidak segera lepas tangan, ingin digebuk lagi?" Thio Than segera menghentikan tangannya, menggunakan kesempatan itu sipir tadi menyodokkan ujung toyanya ke dada Thio Than, kontan saja dadanya terasa sakit sekali, tenggorokannya terasa anyir, nyaris dia muntah darah. Menyaksikan kejadian ini kembali Tong Po-gou meraung keras sambil siap menerkam ke depan, lekas sipir itu menarik kembali toyanya sambil mundur ke belakang. Karena terhalang tirai besi, Tong Po-gou tak mampu mengejar keluar, karenanya terpaksa ia menghentikan gerakan tubuhnya. Dengan geram penuh amarah sipir berwajah -bopeng itu berseru, "Tunggu saja tanggal mainnya, lihat cara Yaya membikin perhitungan di kemudian hari!" Kejadian itu tampaknya menarik perhatian beberapa orang sipir yang lain, beberapa orang segera menggotong pergi sipir yang patah tulang kakinya, sementara seorang kepala sipir berjalan menghampiri sipir berwajah bopeng itu sambil ujarnya, "Telur kulit babi, sudahlah! Kedua orang itu adalah tawanan Cu-tayjin, tunggu saja sampai Jin-tayya selesai menyiksa mereka, kemudian baru kita habisi kedua orang itu hingga tulang belulang pun tidak tersisa." Sambil berkata dia menarik pergi rekannya. Kawanan sipir yang lain pun tak berani kelewat mendekat, mereka semakin meningkatkan penjagaan namun hanya mengawasi dari kejauhan. Kini tinggal Tong Po-gou yang berbaring dengan napas tersengal-sengal, suasana yang semula gaduh pun lambat laun pulih kembali dalam keheningan. Thio Than yang jahil segera menggunakan borgolnya un tuk mengetuk dinding penjara, seorang sipir berjalan mendekat dengan penuh amarah, baru saja dia akan menggebuk dengan toyanya, rekannya yang lain segera mencegah, "Biarkan saja mereka berbuat semau sendiri, selesai pemeriksaan, kita pasti dapat giliran untuk permak mereka habis-habisan." Thio Than mengetuk terus dinding penjara itu tiada hentinya, lama kelamaan Tong Po-gou yang tidak tahan, umpatnya, "Bocah sialan, jangan mengetuk terus, kalau ingin mampus, benturkan kepalamu di dinding, jangan mengganggu ketenangan Locu, kalau aku sampai tak tahan, tahu rasa kau nanti!" Thio Than tertawa, bisiknya lirih, "Coba kau dengar!" Tong Po-gou mencoba untuk pasang telinga, namun ia tidak mendengar apa-apa, yang terdengar hanya suara rintih kesakitan serta suara gesekan borgol yang berasal dari ruang penjara lainnya. "Dengar, dengar? Dengar kentutmu!" seru Tong Po-gou mendongkol. "Sst, jangan berisik, coba dengar lagi, sudah terdengar?" Menyaksikan keseriusan rekannya, Tong Po-gou baru pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama, benar saja, ia segera mendengar ada suara ketukan di atas dinding batu. "Sialan kau, mau edan pun ingin mengajak aku!" dengusnya kemudian.

"Tahukah kau kenapa aku bicara seperti orang gila dan perkataanku selalu tak ada ujung pangkalnya?" "Kau memang selalu begitu!" "Keliru, aku sengaja berlagak edan karena tadi ada orang mencuri dengar pembicaraan kita berdua dari dinding sel sebelah." "Darimana kau tahu?" tanya Tong Po-gou setengah percaya. "Sebab bila orang yang mencuri dengar tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, dia pasti akan menempelkan telinganya di dinding, agar bisa mendengar suara di ruang sebelah lebih jelas, persis seperti apa yang kau lakukan barusan." "Terus kenapa? Kau mendengar kalau ada yang mencuri dengar pembicaraan kita?" "Ketika ia menempelkan telinganya di atas dinding, suara peredaran darah dan suara detak jantungnya akan ikut tembus juga di dinding itu, karenanya kita bisa mendengar suara itu dengan sangat jelas." "Ah, tak heran kalau kau begitu tertarik dengan telinga si setan penyakitan itu, ternyata kau memang punya pengetahuan lebih mengenai masalah pertelingaan." Thio Than sama sekali tidak menggubris ejekan itu, katanya lebih lanjut, "Ketika seseorang sedang menahan napas, otomatis cara pernapasan yang digunakan akan beda dengan orang biasa, asal kau mau memperhatikan dengan lebih seksama, mestinya tidak sulit untuk membedakannya." "Sekarang masih ada yang menguping?" "Setelah terjadinya keonaran tadi, mereka beranggapan omongan kita kacau dan tak bisa dipercaya, apalagi tubuh kita pun sudah kena digebuk lagi, mereka pasti beranggapan dari mulut anjing tak bakal keluar gading gajah." "Sialan, kau yang mulut anjing, aku yang gading gajah!" "Betul, kau malah punya belalai gajah yang besar! Terserah kau percaya atau tidak, tapi aku rasa untuk sementara kita pasti akan diabaikan dan tidak diperhatikan lagi." "Aku heran, sebetulnya apa maksud si babi gemuk marga Cu itu?" "Dia tak punya maksud apa-apa." "Lantas tanpa sebab dia menangkap kita berdua, menghajar kita habis-habisan, masa tak punya maksud apa-apa?" "Kau keliru lagi, dia sama sekali tidak menggebuk kita, yang menyiksa kita adalah Jin Lau, sedang dia sebagai petugas interogasi memang selalu menggunakan cara begitu untuk memperoleh data yang diperlukan." "Lantas apa artinya?" "Paling tidak ia bisa membebaskan diri dari tanggung jawab, kalau kita tak mau menjawab, itu bukan urusannya, tapi aku rasa ada tiga alasan mengapa dia menangkap kita berdua." "Apa alasannya?" "Pertama, dia ingin mengorek keterangan yang lebih banyak dari mulut kita mengenai perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau."

"Hmmm, kalau ingin mengetahui persoalan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yulau, memangnya mereka tak bisa langsung bertanya kepada Lui Sun dan So Bong-seng?" "Hehehe, kau anggap Lui Sun dan So Bong-seng mau menjawab pertanyaan mereka?" "Tapi dia toh bisa menangkap beberapa orang anak buah perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau untuk diperiksa." "Kalau cuma tauwbak rendahan yang dibekuk, mereka bisa memperoleh berita apa, kalau ingin membekuk mereka yang punya peranan penting, kuatir tindakan itu malah meningkatkan kewaspadaan Lui Sun dan So Bong-seng. Kau toh tahu, baik Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong semuanya punya hubungan yang erat dengan pejabat pemerintahan, memangnya Cu Gwe-beng berani mengambil resiko ini?" "Kalau tidak mendapat restu dari pihak pemerintah, kenapa pula Cu Gwe-beng harus terjun ke dalam air keruh ini dengan mencari tahu tentang Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hunpoan-tong?" "Bagus sekali pertanyaanmu itu, kelihatannya Cu Gwe¬beng mempunyai tujuan sendiri." "Ya, siapa tahu dia melakukan semua ini atas permintaan Pui-siauhoya." "Aku rasa tidak mungkin, meski Pui Ing-gan punya kepentingan juga dalam persoalan ini, tapi bukan berarti dia satu al.iran dengan Cu Gwe-beng, kalau tidak, tak mungkin mereka bentrok dengan Beng Khong-khong waktu di rumah makan tempo hari." "Hmmm, hmmm!" "Apa maksudmu dengan hmm, hmm?" "Hmm, hmmm itu ada dua arti." "Dua arti bagaimana?" "Hmm pertama karena langit di luar sana kini masih gelap gulita." "Lalu hmm yang kedua?" "Hmm kedua karena hati manusia susah diukur, biar hitam membusuk pun susah dilihat dari luar kulit." "Siapa yang kau maksud?" "Siapa lagi?" "Kau mengatakan aku?" "Itu kau sendiri yang mengatakan." "Aku Thio Than selalu hitam di kulit tidak hitam di hati." "Hatimu tidak hitam? Menjual sahabat sendiri sebagai babi, sebagai kerbau, kau masih bilang tidak hitam hatimu?" "Apa lagi maksud perkataanmu itu?"

"Aku hanya bilang sejak kapan kau sudah mengangkat saudara dengan Beng Khong-khong sekalian? Bukankah waktu itu kau mengaku sebagai Losu? Hmmm, mengaku sekarang ......" Mendadak Thio Than tertawa terbahak bahak. Tong Po-gou semakin gusar, teriaknya, "Aku tak peduli kau punya berapa banyak saudara angkat yang bisa bermain golok, kalau berani tertawa lagi, buktikan sendiri aku berani menghajarmu atau tidak." "Hahaha, tadi aku memang sengaja mengaku sebagai saudara angkat mereka, tujuannya agar mereka saling gontok-gontokan sendiri, tak nyana kau pun percaya dengan bualanku, benar-benar kelewat go...." "Lantas siapa yang mengerjai aku ketika berada di kakus?" tanya Tong Po-gou dengan wajah bersemu merah karena malu. "Kalau kau bertanya kepadaku, lantas aku mesti bertanya kepada siapa?" "Aku rasa mereka keliru besar jika menangkap kita berdua karena ingin mengorek keterangan tentang perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau." "Tapi Cu Gwe-beng tidak keliru jika dia menangkap kita berdua karena ingin mengetahui hubungan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Kim-hong-si-yu-lau dengan perkampungan bunga Tho serta Tujuh penyamun." "Tapi kami tujuh pendekar besar tak ada hubungan apa-apa dengan Kim-hong-si-yu-lau!" "Begitu juga dengan perkampungan bunga Tho kami pun tak ada hubungannya dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kendati begitu belum tentu Cu Gwe-beng berpendapat demikian." "Maka dia pun menangkap kita berdua?" "Yang aku kualirkan justru tujuan mereka bukan hanya untuk menangkap kita berdua saja." "Maksudmu dia ingin menggunakan kita berdua sebagai umpan untuk memancing yang lain masuk perangkap ..." "Atau menggunakan kita berdua sebagai ancaman untuk menekan saudara-saudara kita yang lain." "Tapi apa tujuannya berbuat begitu?" "Kau kok malah bertanya kepadaku?" "Lalu aku mesti bertanya kepada siapa?" kata Tong Po-gou, "jadi inikah tujuan keduanya menangkap kita berdua?" "Rasanya begitu." "Alasan yang ketiga?" "Sampai sekarang belum terpikir olehku."

"Bukankah kau yang mengatakan ada tiga alasan?" "Benar, tapi alasan yang terakhir belum terpikir olehku, toh lebih kurang atau lebih banyak tak akan berpengaruh apa-apa untuk kita berdua." Suara ketukan pada dinding penjara masih bergema terus, tiba-tiba Thio Than menghantamkan borgol di tangannya ke atas kepala Tong Po-gou. "Kau ingin mengajak berkelahi?" teriak Tong Po-gou gusar. "Sst, kau tidak menemukan sesuatu?" "Menemukan apa?" "Kita harus berlagak ribut terus, seakan-akan mau saling menghajar dan saling mengumpat, dengan cara begini kalau kita membicarakan hal yang serius, orang lain tak akan terlalu memperhatikan." Tong Po-gou memang bertubuh tinggi besar, berlagak memang merupakan keahliannya, maka tak heran kalau lagak mereka berdua seolah benar-benar sedang ribut dan cekcok sendiri. "Ketukanku pada dinding merupakan kode rahasia," bisik Thio Than lagi, "aku percaya dalam penjara ini pasti terdapat orang dari aliran sendiri, menurut aturan yang berlaku dalam dunia persilatan, mereka wajib membantu kita berdua." "Maksudmu mereka bisa menolong kita?" "Paling tidak mereka akan mencari cara dan akal untuk kita." "Kalau mereka bisa menolong orang, kenapa tidak menolong dulu diri sendiri!" "Setiap aliran mempunyai aturan sendiri, setiap perkumpulan mempunyai aturan perkumpulan, ketika mereka terkurung di tempat ini, mungkin saja tak dapat menolong diri sendiri, tapi bukan berarti mereka tidak mempunyai pengaruh, karena kenyataan orang bisa menjadi pentolan di dalam penjara, bahkan terkadang dalam satu penjara yang besar bisa muncul belasan orang pentolan." "Kenapa mereka harus menolong kita?" "Karena aku lebih besar." "Kau... lebih besar?" "Tingkatanku lebih besar." "Maksudku status dan kedudukanku dalam dunia persilatan cukup terpandang ... bila suatu saat mereka sudah bebas dari penjara dan terjun kembali di dunia luar, mereka membutuhkan perlindunganku, paling tidak butuh bantuan bilamana diperlukan, banyak kaum perampok atau pencoleng yang menjunjung tinggi rasa setia kawan, biasanya orang-orang macam mereka lebih ringan tangan bila dimintai bantuan." "Maka kode rahasia itu sedang memberitahu kepadamu "Bukan, sedang bertanya kepadaku." "Menanyakan soal apa?"

"Bertanya kepadaku mau pergi atau tidak" "Pergi? bagaimana mungkin, mustahil." "Belum tentu." "Kenapa?" "Bukan hanya dari para narapidana yang ingin membantu kita, dari kawanan sipir pun terdapat juga sahabat sealiran, aku sudah berhubungan dengan mereka melalui tanda rahasia." "Ah, tak heran kalau tadi kau berlagak sinting ... ternyata sedang bermain sandiwara!" "Aku sendiri pun tidak menyangka kalau berita tertawannya kita di sini sudah tersebar luas dengan begitu cepat, tampaknya Cu Gwe-beng sendiri pun tidak menyangka akan hal ini." "Tapi siapa yang menyebarkan berita ini? Thian-he-te-jit? Atau Toako, Jiko dan Samkomu itu?" "Bukan mereka, tapi si pemilik rumah makan dan pelayannya." "Ah, kau maksudkan dua orang yang takut mati itu?" Tong Po-gou berseru tertahan. "Takut? Kalau seseorang sedang ketakutan, mana mungkin lagaknya ketakutan setengah mati namun sorot matanya tetap tenang seperti tak terjadi apa-apa?" ujar Thio Than sambil memegang luka di tengkuknya, "kedua orang itu, satu tua satu muda justru merupakan jagoan tersembunyi, bisa jadi selama ini tak pernah takut kepada orang, justru orang lain yang takut kepada mereka." "Wah bagus sekali! Kalau begitu suruh mereka saja membantu kita kabur dari neraka ini," kata Tong Po-gou kegirangan, "sungguh tak disangka aku bisa bertemu dengan sahabat macam kau, biasanya nampak tak berguna, tapi begitu situasi kritis, ternyata kau banyak akalnya juga. He, anggap saja itu balasanmu karena selama ini aku selalu melindungimu, ayo, jalan!" "Jalan?" "Jalan? Bukankah kau bilang mau pergi dari sini?" "Bukannya tak mau pergi, tapi kita tak boleh pergi dengan cara begini." "Kalau tak ingin pergi dengan cara begini, memangnya kau ingin diantar dengan tandu besar?" umpat Tong Po-gou dengan suara keras. "Bukan begitu, cuma aku tak ingin menyusahkan orang lain, sebab kalau kita pergi begitu saja, banyak teman akan menjadi korban karena ulah kita ini." Dengan pandangan melotot Tong Po-gou mengawasi rekannya, dia seakan sedang melihat bayangan setan yang muncul di siang hari bolong. ooOOoo

57 . Berpali ng me lihat caha ya golok "Apakah aku ini manusia?" "Benar."

"Apakah aku adalah sahabatmu?" "Benar!" "Kau takut menyusahkan orang lain, menyusahkan sahabatmu, tapi membiarkan aku menemanimu hidup tersiksa dalam neraka ini," seru Tong Po-gou dengan nada mendongkol, "memangnya kau anggap hanya kau sendiri yang manusia? Memangnya aku bukan sahabatmu?" Thio Than menundukkan kepala dan menyahut lirih, "Kau bukan sedang menemani aku, karena mereka ingin menangkap ku, juga ingin menangkap kau." "Kalau sekarang ada kesempatan bagi kita untuk kabur, kenapa kau tak mau kabur?" tanya Tong Po-gou naik darah. "Tolong, jangan keras-keras kalau bicara, mau bukan?" pinta Thio Than setengah merengek. "Goblok kau," bisik Tong Po-gou, "kalau kita saling mengumpat dengan suara keras, mereka malah tak menaruh perhatian, semakin kecil suara kita, orang semakin curiga." "Hai, sekarang aku benar-benar mulai merasa kagum kepadamu," Thio Than menghela napas panjang. "Justru karena aku selalu mengagumkan maka manusia macam aku tidak sepantasnya mampus di tempat seperti ini, lagi pula kalau aku mati, siapa yang akan melindungi Un Ji?" "Betul, dan siapa yang akan melindungi Lui Tun," sambung Thio Than. Menggunakan kesempatan itu Tong Po-gou berkata lebih lanjut, "Pertempuran antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau akan berlangsung lusa, kalau kau hadir di tempat itu, maka ada kesempatan bagimu untuk melindungi Lui Tun, sementara aku pun bisa melindungi Un Ji agar tidak dicelakai orang, tapi kalau kita sama-sama tak ada di situ, bagaimana dengan nasib Un Ji serta Lui Tun?" "Betul, betul!" walaupun seluruh badannya terasa amat sakit hingga peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, namun Thio Than memaksakan diri untuk mendongakkan juga kepalanya, "kita harus berusaha untuk meninggalkan tempat ini!" "Nah, begitu baru betul, teman itu dijalin untuk saling menggunakan, cepat cari kesempatan untuk berhubungan dengan teman yang bisa dimanfaatkan!" "Tapi aku dengar orang berkata, teman itu gunanya untuk saling membantu bukan untuk saling memanfaatkan." "Apa bedanya membantu dan memanfaatkan, toh akhirnya sama saja? Cuma yang satu enak didengar sementara yang lain kurang sedap untuk didengar." "Tapi kalau kita berteman hanya ingin memanfaatkan bagi keuntungan pribadi, maka selama hidup kita tak akan memperoleh sahabat sejati....." "Sudahlah, tak berguna kita membicarakan masalah itu, yang penting sekarang cepat hubungi temanmu, tanya kapan mereka bisa menolong kita keluar dari sini?" "Mana aku tahu kapan baru bisa keluar dari sini..."

Hampir meledak rasa dongkol Tong Po-gou setelah mendengar perkataan itu, untung saat itulah Thio Than telah berkata lagi, "Hanya mereka yang tahu akan hal itu." "Siapakah mereka?" "Orang-orang yang akan menolong kita." "Bersediakah mereka menolong kita?" "Entahlah, tapi mungkin saja mereka akan menunggu sampai esok malam." Jika esok malam adalah saat untuk melarikan diri, berarti malam ini mereka harus memulihkan kembali kondisi tubuh yang lelah dan kehabisan tenaga, agar esok ada kemampuan untuk melarikan diri. Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus menunggu, Fajar belum menyingsing, langit masih amat gelap. Satu malam lagi akan tiba saat pertarungan mati hidup antara dua perkumpulan besar di ibukota. Saat itu Ong Siau-sik sedang berlatih silat di depan loteng merah, markas besar Kim-hong-si-yu-lau. Setiap menjelang pagi, Ong Siau-sik selalu meluangkan waktu untuk berlatih silat. Jika seseorang ingin memiliki kungfu yang hebat, tak ada jalan lain kecuali melatih diri secara tekun. Tentu saja syarat utama untuk berhasil memiliki ilmu silat yang hebat bukan hanya rajin saja, dia pun harus memahami. Sayang tidak semua orang gampang memahami sesuatu, apa yang dipahami kebanyakan orang, bisa jadi merupakan pemahaman yang kurang tepat. Untuk gampang memahami sesuatu, dibutuhkan bakat alam yang bagus. Padahal bakat alam terbawa sejak lahir, tak mungkin seseorang bisa memperolehnya dengan cara apa pun. Karenanya tidak semua orang bisa mempelajari kungfu hingga mencapai tingkatan yang sangat tinggi. Kalau hanya menguasai gerak serangan, paling hanya bisa menjadi seorang jagoan hebat, namun sulit menjadi seorang ahli silat, tapi bagi mereka yang pintar, rajin dan berbakat, tidak sulit untuk melampaui tingkatan semacam itu. Ong Siau-sik adalah manusia jenis itu. Setiap hari dia selalu meluangkan waktu untuk berlatih golok, berlatih pedang, berlatih tenaga dalam, berlatih konsentrasi. Melatih diri merupakan jadwalnya yang rutin, tidak peduli hari sedang hujan atau angin sedang kencang. Tapi hari ini udara sangat cerah, tak ada hujan, tak ada angin.

Memandang sang surya yang belum muncul dari kaki bukit, Ong Siau-sik merasa hatinya amat gundah, dia merasa perasaannya waktu itu ibarat gerakan pedangnya, gerakan yang mau dilancarkan tapi seakan ragu, goloknya yang mau ditebaskan tapi tak jadi.... Apakah goloknya lebih baik ditebaskan langsung? Kalau dia benar dengan tebasannya, seorang iblis akan tersapu lenyap, bila salah membunuh, paling hanya selembar nyawa. Apakah pedangnya lebih baik ditusukkan langsung? Bila mengenai sasaran, berarti serangannya berhasil, bila tak mengenai sasaran, tak lebih hanya sebuah tusukan yang gagal. Mungkinkah kegagalannya untuk menjadi seorang jago golok dan pedang nomor wahid di kolong langit dikarenakan keputusannya yang kurang tegas dan tindakannya yang tidak konstan? Ong Siau-sik mencoba untuk berpikir terus. Besok bersama So-toako dan Pek-jiko harus berangkat ke air terjun Put-tong, tempat markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong berdiri, berarti dirinya harus mempunyai tekad untuk menang dalam pertarungan itu. Sudah hampir setengah tahun ia tinggal di ibukota, dengan jelas dia tahu baik Kim-hong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong, semuanya merupakan perkumpulan kalangan hitam, hanya bedanya Kim-hong-si-yu-lau memegang prinsip dalam melakukan usahanya, mereka tidak pernah menjamah usaha pelacuran, perjudian, pembegalan maupun perampokan, bahkan lebih memusatkan perhatian untuk melawan agresor yang datang dari luar wilayah. Sebaliknya perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama sekali tidak memegang prinsip seperti itu, kendatipun mereka memperhatikan masalah penyusup yang datang dari luar perbatasan. Sementara perkumpulan Mi-thian-jit-seng justru merupakan sebuah perkumpulan yang banyak bekerja sama dengan bangsa Kim, anggota mereka banyak melakukan kejahatan seperti memperkosa, merampok, membunuh dan membakar, tak ada usaha kejahatan yang tidak mereka lakukan, khususnya setelah Kwan Jit kehilangan pikiran sehatnya, ibarat kuda yang lepas kendali, sepak terjang mereka semakin sulit dikendalikan. Kotaraja sudah lama berada dalam kondisi kacau, karena itu baik dari golongan hitam maupun golongan putih, semuanya berharap masa tenang penuh kedamaian bisa terwujud di situ. Seandainya Kim-hong-si-yu-lau dapat menguasai seluruh kotaraja, mungkin suasana dapat menjadi tenang kembali, karena kejahatan pasti akan ditindas dan kebenaran akan ditegakkan. Benarkah untuk mencapai suasana seperti itu harus dilalui dengan suatu pertumpahan darah? Apakah tak bisa melalui pi¬lihan lain yang lebih bersifat damai? Semakin berpikir Ong Siau sik merasa semakin tak habis mengerti. Dia merasa situasi saat itu persis seperti apa yang pernah dikatakan So Bong-seng, "Kita sudah tak ada jalan mundur lagi, kita harus melakukan pertempuran habis-habisan untuk mempertahankan hidup." Ong Siau-sik tahu, dirinya pun sudah tak punya pilihan lain.

Kini dia telah berdiri di pihak Kim-hong-si-yu-lau untuk melawan perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Terlepas bagaimana akibatnya, bagaimana akhir dari penyelesaian peristiwa ini, dalam hal hubungan maupun cengli, dia memang harus berbuat begitu. Dalam serangan besok, mampukah mereka menghancurkan pertahanan perkumpulan Lak-hunpoan-tong? Seandainya berhasil, apa langkah selanjutnya? Andaikata Kim-hong-si-yu-lau berhasil menguasai kotaraja, akankah situasi menjadi lebih baik? Bagaimana keputusannya waktu itu? Pergi dari sini atau tetap tinggal? Pada saat itulah tiba-tiba Ong Siau-sik merasa amat seram, amat bergetar hatinya. Bukan karena hawa membunuh yang mendadak muncul. Jago lihai yang sesungguhnya, waktu turun tangan tak akan muncul hawa membunuh, karena selama hawa membunuh masih ada, tidak sulit bagi orang untuk berlaku waspada. Jago tangguh yang sesungguhnya sama sekali tak punya hawa membunuh, karena itu serangan mereka sukar diketahui sebelumnya. Perasaannya waktu itu jauh lebih menakutkan daripada hawa membunuh. Seandainya orang lain, mereka pasti tak akan merasakannya, untung dia adalah Ong Siau-sik, dengan cepat dia membalikkan tubuhnya. Begitu ia membalikkan badan, terlihatlah cahaya golok .... Sebuah cahaya golok yang sangat indah, ilmu golok yang luar biasa, sebilah golok yang tak berperasaan! Ketika ia menyaksikan berkelebatnya cahaya golok, senjata itu sudah membabat tubuhnya dan membantai dirinya ... andaikata pada saat yang tepat ia tidak melolos senjata untuk menangkis. Sebab waktu itu dia memang tak punya jalan mundur! Karena dia tak mungkin berkelit! Karena dia tak ada kesempatan untuk menangkis! Terpaksa Ong Siau-sik melancarkan serangan balasan, melolos golok dengan sepenuh tenaga, menyerang dengan sepenuh tenaga. Golok berhadapan dengan golok, cahaya tajam bertemu dengan sinar berkilauan, di tengah remangnya suasana fajar tercipta dua garis panjang yang menggidikkan hati. Pada saat itulah segulung desingan angin tajam menembusi hawa golok dan angin golok, langsung mengancam wajah Ong Siau-sik. Anak muda itu terkesiap. Dari babatan golok yang menyerang tiba, ia sadar musuhnya adalah jago paling tangguh yang belum pernah dijumpai sepanjang hidupnya! Dari desingan angin serangan yang menyergap tiba, dia terlebih sadar kalau musuhnya merupakan lawan mengerikan yang sangat menakutkan! Sebenarnya siapakah orang itu, mengapa dalam situasi seperti ini melancarkan serbuan ke dalam markas besar Kim-hong-si-yu-lau?

Dalam keadaan terkesiap bercampur cemas, tampak hawa pedang yang tiga bagian membawa keindahan, tiga bagian membawa keanggunan, satu bagian membawa kesedihan dan satu bagian membawa kejumawaan itu sudah dilancarkan .... Tiga sosok bayangan manusia tiba-tiba memencarkan diri. Ong Siau-sik berdiri dengan napas ngos-ngosan, biarpun baru satu gebrakan, dia sudah kehabisan napas, tapi dia tak mau berteriak. Melihat ada musuh tangguh datang menyerang, kenapa ia tidak memanggil para jago Kim-hong-siyu-lau untuk keluar menghadang? Perasaan terkejut bercampur ragu menyelimuti seluruh wajah Ong Siau-sik. Sebab kedua orang penyerang itu sudah berdiri memisah, satu di kiri dan satu di kanan. Yang berdiri di sebelah kiri adalah So Bong-seng, dia sudah menyimpan kembali goloknya, wajahnya tampak dingin membeku bagaikan es. Di sebelah kanan berdiri Pek Jau-hui, dia pun sudah menarik kembali jarinya, wajahnya nampak pucat bagai kemala. "Kalian ......... seru Ong Siau-sik tercengang. "Kami sengaja mencoba kemampuanmu," So Bong-seng menjelaskan. "Mencoba kemampuanku?" tanya pemuda itu keheranan. "Aku selalu berpendapat, dengan serangan gabungan golok dan pedangmu, jika melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, daya kemampuannya pasti tidak berada di bawah golok Angsiu-to....." "Jadi kau dan Jiko ......" "Tadi aku menyerangmu dengan jurus Po-sat (menghancur keangkeran) tapi berhasil kau tangkis dengan pedangmu, Toako membacok dengan jurus Si-hi-huang-hun (hujan gerimis di waktu senja) tapi lagi-lagi tertangkis oleh golokmu," kata Pek Jau-hui, "hal ini membuktikan bahwa kemampuan ilmu silatmu masih lebih dari itu, hanya sayang kau selalu ragu, tak percaya diri dan sangsi dalam mengambil keputusan, jika kau selalu bersikap begini dalam menghadapi pertempuran besar, jelas kau sedang menggali liang kubur untuk diri sendiri." Ong Siau-sik tertegun, kemudian serunya, "Terima kasih Toako, Jiko, karena kalian telah memberi petunjuk kepadaku." Sekulum senyum tak senyum menghiasi ujung bibir So Bong-seng, tapi entah mengapa, sorot matanya kali ini terlihat lebih halus dan hangat, sehingga tampak seakan ia sedang tersenyum. "Lebih baik kau ingat terus perkataan kami," ujarnya, "sebab kita sudah tak cukup punya waktu." "Paling tidak kita masih ada waktu satu hari untuk mempersiapkan diri," kata Ong Siau-sik sambil memandang fajar yang baru menyingsing. "Waktu kita untuk mempersiapkan diri bukan tinggal satu hari, tapi tinggal sisa satu jam." "Apa?"

"Kami akan melancarkan serangan sehari lebih awal!" "Tapi bukankah kita telah berjanji, besok tengah hari baru ...." paras muka Ong Siau-sik agak berubah. "Benar," tukas So Bong-seng, "tapi baru saja kami mendapat laporan rahasia yang dikirim Si Saysin, katanya pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong berencana akan menyerang kita lebih awal, menyergap pada malam ini juga." Kemudian setelah berhenti sejenak, sepatah demi sepatah lanjutnya, "Kalau memang mereka tak pegang janji duluan, apu salahnya kita balas gigitan dengan gigitan, agar mereka sendiri yang kelabakan!" ooOOoo 58 . Pen yerb uan besar -besar an "Sebelumnya ada beberapa pertanyaan ingin kutanyakan terlebih dahulu," tiba-tiba Pek Jau-hui menyela. "Apa yang ingin kau tanyakan? Gunakan kesempatan sekarang." "Benarkah golok Ang-siu-to milikmu merupakan lawan tanding ilmu cepat lambat sembilan kata Kuai-man-kiu-ci-koat milik Lui Sun?" "Tidak tahu." "Apakah golok Put-ing-po-to milik Lui Sun juga merupakan senjata tandingan Ang-siu-to milikmu?" "Kau segera akan memperoleh jawabannya hari ini." "Apa isi peti mati Lui Sun?" "Hingga kini aku belum tahu secara pasti." "Apakah kau tidak menyadari bahwa Un Ji sama sekali tidak balik kemari?" "Konon Lui Tun pun tak pernah balik ke markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong." "Di dalam kotaraja, rasanya selain Kwan Jit masih terdapat banyak arus gelap lain yang sangat kuat sedang bersembunyi sambil menanti kesempatan, apakah kau merasakan hal ini?" "Baik diriku maupun Lui Sun telah merasakan hal ini, itulah sebabnya kami buru-buru ingin menyelesaikan persoalan ini secepatnya agar ada kesempatan untuk menyelesaikan sisa yang lain." "Kelihatannya Tong Po-gou dan Thio Than telah lenyap tak berbekas." "Kalau mereka benar-benar sampai mengalami sesuatu, mungkin kelompok tujuh penyamun dan perkampungan bunga Tho akan berdatangan ke kotaraja." "Sebetulnya Ti Hui-keng pandai bersilat atau tidak?" "Aku hanya tahu tengkuk Ti Hui-keng ternyata tidak patah."

"Lalu siapa pula It-gan-wi-teng (Satu kata sebagai kesepakatan)?" "Buat apa kau menanyakan soal itu?" "Pertempuran terakhir sudah di ambang pintu kalau kita tahu kemampuan sendiri dan tahu kekuatan lawan, setiap pertarungan baru bisa meraih kemenangan." "Siapa Kwik Tang-sin saja tidak kau ketahui, buat apa mes ti bertanya siapakah 'Satu kata sebagai kesepakatan'?" "Karena aku ingin tahu apakah ada yang mampu menghadapi Ho-hwe-yu-ki (Sampai berjumpa lagi) dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong," Pek Jau-hui menerangkan, "aku curiga Kim-hong-siyu-lau sama sekali tidak terdapat seorang jagoan yang bernama 'Satu kata sebagai kesepakatan'." "Jika kau mengatakan tak ada manusia yang bernama "Satu kata sebagai kesepakatan" berarti pihak perkumpulan Lak-hun poan-tong pun belum tentu terdapat manusia yang bernama 'Sampai berjumpa lagi', meski ada pun belum tentu dia memiliki kemampuan untuk bertarung, jadi kau tak perlu merasa kuatir," kata So Bong-seng tanpa berubah wajah. "Bagus sekali!" "Masih ada pertanyaan lain?" "Ada satu hal ingin aku tanyakan kepadamu." "Tanyakan saja." "Seandainya dalam serbuan ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong nanti kau mati dalam pertempuran, siap.i yang akan mengurusi Kim-hong-si-yu-lau?" "Kelompok pemimpin terdiri dari Su-tay-sin-sat (empat malaikat sakti), 'Satu kata sebagai kesepakatan', Bu-shia, Bu-kui beserta kau dan Lo-sam," jawab So Bong-seng sama sekali tak gusar, "pertanyaanmu memang sangat bagus, tapi tak usah kuatir, aku yakin tak bakal mati dalam pertempuran nanti." Perlahan-lahan dia mengalihkan wajahnya ke arah cahaya sang surya, di bawah sinar fajar, Ong Siau-sik menemukan satu perubahan aneh di mimik mukanya. "Kecuali di dalam orang kepercayaanku muncul seseorang yang mengkhianati aku..." Setelah berhenti sejenak tiba-tiba ia bertanya kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana dengan kau? Ada pertanyaan apa lagi yang ingin kau tanyakan?" "Kedua belah pihak pernah saling berjanji di depan umum untuk bertemu lagi pada lusa tengah hari, apakah kau hendak mengingkari janjimu dengan pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" tanya Ong Siau-sik. So Bong-seng memandang Ong Siau-sik sekejap, dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, "Kau keliru besar Sam-te, dengan watakmu itu, mungkin masih cukup untuk melindungi keselamatan sendiri, namun bila kau masih harus memperhatikan nasib saudara dan rekan lainnya, apalagi hidup dalam dunia persilatan, sudah pasti hanya kerugian yang akan kau terima." Dia begitu tenang seakan sebilah golok yang terendam dalam air dingin, katanya pula, "Pihak lawan melanggar janji lebih dulu sehingga kita tak bisa dianggap melanggar janji, itulah sebabnya

aku berjanji lusa tengah hari baru akan langsung mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hunpoan-tong, aku sudah menduga, mereka pasti akan melancarkan serangan lebih awal, aku memang mau menunggu mereka melanggar janji, baru kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serbuan jauh lebih awal." Ong Siau-sik menarik napas panjang. "Jadi karena sudah menduga mereka pasti akan melanggar perjanjian terlebih dulu, maka kau sengaja menyanggupi pe-nunjukkan waktu, hari dan tempat yang mereka tentukan?" "Benar," So Bong-seng menyahut sambil tertawa. "Berarti tindakan mereka ingin meraih keuntungan dengan melancarkan serangan lebih dini justru merupakan tindakan yang sangat keliru?" "Benar. Makanya banyak janji waktu dan tempat yang dilakukan masyarakat, sekalipun sudah tertera hitam di atas putih, sama sekali tidak menjamin tak terjadi perubahan. Janji itu benda mati, manusia yang hidup, jika seseorang menghendaki terjadi perubahan, tindakan apa pun bisa ia lakukan, inilah kehebatan manusia dalam penyesuaian diri, juga merupakan bagian yang paling menakutkan dari seorang manusia." Setelah tertawa angkuh, tambahnya, "Sekarang kau sudah paham?" "Masih ada satu hal lagi yang tidak kupahami," Ong Siau sik menggeleng. "Pasti pertanyaan yang menarik ..." "Kakimu masih terluka dan belum sembuh, kenapa kau begitu buru-buru hendak menyerbu markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" So Bong-seng segera menarik mukanya, lama kemudian baru menjawab dengan suara dalam, "Mungkin justru lantaran kakiku terluka, maka aku baru berniat menyelesaikan masalah perkumpulan Lak-hun-poan-tong secepatnya." Mendengar jawaban itu, pikiran dan perasaan Ong Siau-sik terasa jauh lebih berat. Sambil menggendong tangan So Bong-seng memperhatikan bangunan loteng berwarna kuning, hijau, merah dan putih itu sekejap, satu perubahan melintas di wajahnya, setelah melirik Pek Jauhui dan Ong Siau-sik sekejap, katanya, "Apakah kalian masih ada pertanyaan lain?" Ong Siau-sik hanya mengawasi wajah So Bong-seng tanpa menjawab. Sementara Pek Jau-hui hanya menarik napas panjang. "Baiklah," kata So Bong-seng kemudian, "bila kalian tak ada pertanyaan lagi, akulah yang akan mengajukan pertanyaan kepada kalian berdua." Sesudah berhenti sejenak ia bertanya, "Pertanyaanku hanya satu, bersediakah kalian membantu Kim-hong-si-yu-lau untuk melenyapkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dari muka bumi?" "Kalau bukan ingin berbuat begitu, buat apa aku berdiri di sini? Apalagi kalau bukan lantaran persoalan ini, mungkin sejak awal sudah tak mampu berdiri di sini lagi," sahut Pek Jau-hui.

"Benar, aku bersedia membantu, aku bersedia membantu Kim-hong-si-yu-lau, karena loteng itu sendiri hanya benda mati, manusia penghuninya baru hidup, jadi kami bersedia membantu Toako," kata Ong Siau-sik. So Bong-seng segera memberikan reaksinya. Reaksinya hanya uluran sepasang tangannya. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik segera mengulurkan tangan mereka juga, enam buah tangan saling berpegangan satu dengan lainnya, berpegangan kencang sekali. Sesaat sebelum berangkat menuju markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, diam-diam Ong Siausik berbisik kepada Pek Jau-hui, "Apakah toako berhasil menemukan titik kelemahan?" "Sudah," sahut Pek Jau-hui setelah berpikir sejenak, "justru karena So-toako berhasil menangkap titik kelemahan, maka ia baru menurunkan perintah untuk menyerang perkumpulan Lak-hun-poantong lebih awal, besar kemungkinan dia pun mendapat kabar tentang rencana penyerangan pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang lebih dini dari orang-orangnya yang menyusup di sana." Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Menurut pandanganmu, Lui Sun akan menerima syarat perdamaian atau akan melawan sampai titik darah penghabisan?" "Jika Lui Sun berniat damai, dia tak akan melancarkan sergapan lebih dini, aku rasa semua orang yang hadir sudah membawa hawa membunuh yang amat kuat, banjir darah rasanya tak bisa terhindar lagi." "Kalau begitu bagus sekali." "Kenapa?" "Sebab aku suka membunuh, membunuh manusia bagaikan menulis syair, membawa perasaan yang begitu indah, begitu menawan, membikin perasaan amat puas." "Aku tidak sependapat," kata Ong Siau-sik dengan kening berkerut, "membunuh orang terasa seperti makan kodok mentah, aku tidak suka dengan rasa seperti itu." "Itulah sebabnya kita berdua adalah dua manusia yang berbeda dan saling bertolak belakang," ujar Pek Jau-hui sambil tersenyum, "kita mempunyai watak, perangai yang saling bertentangan, tapi anehnya justru bisa bekerja sama untuk melakukan satu usaha besar." "Bukan hanya kita berdua saja," sambung Ong Siau-sik, "selain Toako, juga melibatkan seluruh saudara kita yang ada di loteng ini." "Tapi aku selalu mempunyai semacam perasaan yang aneh sekali," perubahan aneh menghiasi wajah Pek Jau-hui, "aku selalu merasa suatu saat nanti akan tersisa kita berdua saja yang berada dalam sebuah sangkar besi dan terjepit di sebuah jalan lorong yang sempit, waktu itu entah kita harus saling gontok-gontokan sendiri atau saling mempengaruhi?" Tiba-tiba Ong Siau-sik menghentikan langkahnya seakan kaget. Pek Jau-hui membuang muka, sambil meneruskan perjalanannya ia menambahkan, "Aku hanya berharap, apa yang kurasakan hanya sebatas perasaan, bukan firasat."

"Tentu saja firasat semacam itu merupakan sebuah firasat yang keliru besar," sambung Ong Siausik sambil menarik napas panjang. Rombongan Kim-hong-si-yu-lau yang ikut berangkat ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poantong berjumlah delapan belas ribu orang, begitu rombongan itu berangkat, membentuk barisan yang sangat panjang bagai lingkaran ular, suasana terasa gegap gempita. Rombongan sebesar itu ternyata berhasil lolos dari penjagaan para tentara yang begitu ketat di kotaraja, tentu saja semua ini berkat lobi dan perlindungan pejabat tinggi kemiliteran. To Lam-sin adalah salah satu komandan pasukan kawal ibukota, cukup mengandalkan dia seorang pihak Kim-hong-si-yu-lau sudah dapat meraih keuntungan yang sangat besar. Ketika So Bong-seng berangkat meninggalkan markasnya, di belakangnya mengikuti dua buah tandu, satu besar dan yang lain kecil, tak seorang pun tahu kedua tandu itu digotong keluar dari dalam markas besar Kim-hong-si-yu-lau ataukah digotong dari daerah lain. Tentu saja tak seorang pun tahu siapa yang berada dalam tandu itu. Tapi di samping tandu besar itu mengikuti dua orang, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui pernah bertemu dengan mereka. Yang satu adalah seorang kakek yang amat tua, terlihat lesu kelelahan, acuh tak acuh dan seakan tak kuat menggendong punggungnya yang bongkok karena tonjolan daging besar, dia seperti seorang kakek yang sudah tiga hari tiga malam tak pernah tidur. Yang lain adalah seorang pemuda pemalu yang halus, lembut dengan sepuluh jari yang halus, ramping dan terpelihara rapi, pemuda ini justru terlihat begitu segar dan bersemangat seakan seorang pemuda yang tidur awal bangun awal dan sehari tiga kali makanannya sangat terjamin. Begitu berjumpa dengan kedua orang itu, tanpa terasa Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui teringat akan seseorang ... Cu Gwe-beng. Apakah orang yang berada dalam tandu besar itu adalah Cu Gwe-beng? Mau apa Cu Gwe-beng ikut datang ke sana? Apa hubungannya dengan So Bong-seng? Siapa pula orang yang berada dalam tandu kecil itu? Tandu akhirnya berhenti di ruang utama markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong nampak sangat mentereng dan serba mewah, jauh lebih mentereng daripada markas besar Kim-hong-si-yu-lau, yang lebih hebat lagi adalah meski Lui Sun sudah lama menjadi ketua perkumpulan besar, namun dia tetap memelihara suasana dunia persilatan secara ketat. Lui Sun sama sekali tidak berjaga-jaga di depan air terjun Put-tong, dia malah menyambut kedatangan So Bong-seng sekalian dan mengajak mereka masuk ke dalam ruang markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong.

Sepanjang perjalanan menuju markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong, rombongan besar Kimhong-si-yu-lau sama sekali tidak mendapat penghadangan maupun serangan macam apa pun, menanti So Bong-seng tiba dalam lingkungan wilayah di bawah pengaruh perkumpulan Lak-hunpoan-tong, secara beruntun dia menerima tiga laporan rahasia. "Anak buah Lui Moay telah memotong rombongan besar kita di wilayah Tay-to-ciam." "Perintahkan Mo Pak-sin dengan barisan Bu-hoat-bu-thian untuk membubarkan penghadangan itu." "Baik!" "Si Say-sin hendak menggerakkan pemberontakan di dalam tubuh perkumpulan Lak-hun-poantong, tapi mendapat perlawanan dari Lui Tong-thian." "Kirim Kwik Tang-sin untuk membantu dia dari kesulitan." "Baik!" "Pasukan yang dipimpin To Lam-sin tak bisa bergerak maju, mereka tertahan di seputar jembatan Jit-hiat-kiau." "Kenapa?" "Kekuatan kerajaan telah menghadang jalan pergi mereka, di antaranya termasuk para pengawal Liong Pat-tayya dari istana perdana menteri." "Sampaikan perintah, harap bersabar dan menahan diri, jangan kobarkan bentrokan dengan pasukan lawan." "Baik!" Dari ketiga laporan rahasia itu, laporan demi laporan muncul makin kritis, selama menurunkan ketiga perintahnya, paras muka So Bong-seng sama sekali tidak mengalami perubahan apa pun. Benarkah pikiran dan perasaannya sama sekali tidak terpengaruh setelah menyaksikan keempat malaikat andalan Kim-hong-si-yu-lau mengalami hambatan? Dengan mengepal tinjunya di depan bibir, ia terbatuk perlahan, suara batuknya tidak terlalu berat namun juga tidak ringan, tapi jelas batuk itu bukan muncul dari tenggorokannya melainkan muncul dari jantungnya. Dengan perasaan dingin dia melangkah masuk ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hunpoan-tong. Ong Siau-sik mengawal dari sisi kirinya sementara Pek Jau-hui mengawal dari sisi kanan. Selama mereka bertiga jalan berbareng, seakan tiada kejadian atau persoalan apa pun di dunia ini yang bisa membuat mereka ketakutan. Lui Sun menyambut kedatangan mereka dengan senyum di bibir. Dia sudah berencana untuk melancarkan serbuan lebih awal, berarti dia sudah melakukan persiapan dengan matang, dengan sendirinya dia pun telah memperhitungkan jika pihak lawan menyerbu lebih dini.

Tidak banyak anggota Kim-hong-si-yu-lau yang ikut masuk ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kecuali kedua buah tandu itu bersama kakek dan anak muda itu, di situ hanya ada Su Bu-kui, sementara penggotong tandu serentak mengundurkan diri. Dari pihak anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jagoan yang ikut masuk ke dalam ruangan pun tidak banyak. Selain Lui Sun dan Ti Hui-keng, di situ hanya ada sebuah peti mati dan seorang manusia. Orang itu berjalan masuk sambil menggendong tangan, dia hanya tersenyum kepada So Bongseng sebagai tanda menyapa, lalu berdiri dengan sikap acuh tak acuh, seakan urusan yang terjadi di situ sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui pun mengenali orang ini meski tidak hapal betul dengan raut mukanya, namun mereka tak akan melupakan lagak serta tingkah lakunya. Semacam lagak seorang raja muda, seorang bangsawan tingkat tinggi. Dia tak lain adalah Siau-hoya Pui Ing-gan. Mengapa dia bisa muncul di situ? Apakah dia satu komplotan dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong? Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui tidak bertanya, mereka memang tak bisa bertanya karena saat ini bukan saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan. Saat ini adalah saat untuk bertempur, melakukan pertarungan mati hidup. Mereka tak bisa bertanya, justru Pui Ing-gan yang mengajukan pertanyaan. Sambil memandang tandu besar itu, sapanya sambil tertawa, "Cu tua, kalau toh sudah datang kenapa tidak segera mengunjukkan diri?" Orang yang berada dalam tandu segera tertawa, sedemikian keras suara tawanya membuat tandu besar itu turut bergetar keras, seakan suara tawa orang dalam tandu itu sama menderitanya seperti So Bong-seng waktu batuk. "Ternyata Pui-siauhoya juga ikut datang kalau memang Siau-hoya minta aku si gemuk Cu keluar dari tandu, baiklah, aku akan segera keluar dari sini." Begitu muncul, ia segera tertawa, suara tawanya terdengar amat lembut dan ramah, seakan suasana dalam markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong ini bukan sedang menghadapi pertarungan mati hidup, seakan mereka sedang menyelenggarakah sebuah pesta perayaan yang meriah, Tentu saja orang yang bisa membawa suasana semacam ini hanya Cu Gwe-beng seorang. Pui Ing-gan memandangnya dengan santai, gerak-gerik orang ini sangat anggun dan terpelajar, katanya, "Memang paling baik jika kau pun ikut datang, tapi urusan hari ini rasanya tak ada sangkut-pautnya dengan kita." "Betul, betul," sahut Cu Gwe-beng cepat, "urusan di sini adalah Urusan antara So-locu dengan Congtongcu, kedatangan kita hanya untuk menjadi saksi." Seraya berbicara mereka berdua segera mengambil tempat duduk di kedua sisi ruangan. Cu Gwebeng dengan senyum di kulum dan mata yang sipit sedang mengawasi pedang yang tergantung di

pinggang Pui Ing-gan, pedang itu adalah sebilah pedang antik yang lamat-lamat memancarkan cahaya merah darah, persis seperti aliran darah manusia yang sedang beredar. "Kau datang sehari lebih awal," ujar Lui Sun setelah menyaksikan Cu Gwe-beng berdua mengambil tempat duduk, "mernang paling baik lagi jika kau mengajak serta Cu-tayjin datang kemari." "Siapa suruh kau hendak melancarkan serangan lebih awal," sahut So Bong-seng dingin, "aku punya orang di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong, semua gerak-gerik dan sepak terjangmu tak bisa lolos dari pengawasanku, toh sekarang kau pun telah mengundang datang Siau-hoya." "Pertarungan di antara kita berdua, terlepas siapa menang siapa kalah, butuh orang lain untuk bertindak sebagai saksi," kata Lui Sun cepat. "Dari nada bicaramu, tampaknya kau masih saja tak sadar dari kesalahanmu." Lui Sun menghela napas panjang. "Aku adalah Congtongcu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku tak punya jalan mundur, kau suruh aku sadar? Bagaimana menyadarinya?" "Padahal asal kau bersedia mundur satu langkah, maka segera kau akan sadar kembali, kalau inginnya maju terus, tentu saja kau tak akan menemukan jalan lain." "Kalau memang begitu, mengapa bukan kau yang mundur dulu satu langkah?" tanya Lui Sun sambil tertawa getir. Paras muka So Bong-seng berubah sangat gelap, dia mulai batuk, lama kemudian baru katanya, "Aku lihat pembicaraan harus disudahi sampai di sini." Mendadak seseorang berjalan masuk, tiba di samping So Bong-seng, ia membisikkan sesuatu. Yang muncul adalah Yo Bu-shia. "Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin telah mengepung seluruh jalan keluar markas perkumpulan Lakhun-poan-tong." "Perintahkan Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat untuk menghancurkan kepungan itu, tunggu perintahku dan segera laksanakan." "Baik" Yo Bu-shia segera siap meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba Lui Sun berkata, "Urusan ini adalah urusan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan Kim-hong-si-yu-lau, juga merupakan urusanmu dan aku." "Persoalan ini memang merupakan urusanmu dan aku," tukas So Bong-seng hambar. "Jika tidak sangat mendesak lebih baik kita selesaikan saja secara pribadi, buat apa mesti mengusik terlalu banyak orang." "Aku pun tak ingin menciptakan aliran darah bagaikan sungai, bagiku, asal ada jalan penyelesaian bagi kita berdua, itu sudah cukup." "Bagus sekali!" sinar kelicikan yang aneh terbias di wajah Lui Sun, "semestinya 'Satu kata sebagai kesepakatan' berada dalam tandu itu bukan?"

"Bagaimana dengan 'Sampai berjumpa lagi'? Sudah waktunya bagi dia untuk tampil bukan?" balas So Bong-seng. "Dia sudah datang, masa kau belum tahu?" kembali Lui Sun tertawa licik. Pada saat itulah dalam ruangan berkumandang suara pekikan yang sangat aneh, suara pekikan itu ternyata berasal dari dalam peti mati itu. ooOOoo 59 . Golok mer ah di tengah se nja gerimi s "Blaaaam!", mendadak penutup peti mati itu mencelat dan terbuka, sesosok bayangan manusia berpekik nyaring melesat ke atas atap tandu itu, baru berputar satu lingkaran, tiba-tiba kepala, tangan dan kakinya berpisah satu dengan lainnya. Dibilang 'terpisah satu dengan lainnya', kejadian ini memang sangat aneh karena siapa pun tahu, kepala manusia selalu menyaru dengan sepasang tangan dan sepasang kakinya, tentu saja anggota badan itu mustahil bisa 'berpisah satu sama lainnya' tanpa sebab musabab tertentu. Tentu saja terkecuali bila ditebas orang hingga kutung. Akan tetapi kepala dan keempat anggota badan orang itu walau sama sekali tidak putus, namun anehnya keempat anggota badannya itu benar-benar seakan terpisah secara tiba-tiba dan menyerang ke empat penjuru yang berbeda, malah ukurannya seakan sudah lebih panjang dari keadaan semula. Pemandangan saat itu boleh dibilang aneh sekali, ketika badannya masih di tengah udara, pukulan dan tendangan berantai telah menghajar tandu itu bersamaan waktunya. "Blaaaam!", tandu itu tak sanggup menerima tenaga pukulan yang maha dahsyat itu sehingga hancur berantakan. Hancuran kayu beterbangan di udara, di antara asap dan debu yang menyelimuti udara, tandu itu hancur berantakan dan roboh. Di dalam tandu itu tiada seorang manusia pun! Di atas tempat duduk hanya tergeletak selembar kertas. Orang itu mendengus dingin, badannya bergetar dan secepat sambaran kilat telah menyambar kertas itu, kepala, tangan dan kakinya kembali 'Menyusut' balik ke bentuk semula, kemudian ia baru melayang turun di samping Lui Sun. Ternyata orang itu adalah seorang kakek berwajah amat segar dan sehat, tapi terlihat kebengisan dan sifat berangasan yang amat kuat, saat itu dia tampaknya sedang menggunakan segenap kemampuan yang dimiliki untuk mengendalikan sifat berangasannya yang meluap-luap. Terdengar ia berkata sambil tertawa gusar, "Ternyata 'Satu kata sebagai kesepakatan' benar-benar tidak datang! Dia sudah tujuh kali bertempur melawanku dan akhirnya termakan serangan Pengciat-sin-kang (ilmu sakti pemusnah tentara), biarpun tidak mati paling tidak sudah cacad! Mana dia berani datang lagi menghadapiku?" "Tadi ketika itu kau pun sudah terkena totokan jari Wu-hok-sin-ci (ilmu jari sakti tarian bangau) dari 'Satu kata sebagai kesepakatan'..."

"Hmmm, kau anggap ilmu jari bunga anggreknya mampu melukaiku!" teriak kakek itu gusar. "Tapi kenyataannya totokan jari saktinya berhasil meresap ke dalam isi perutmu, sehingga kau harus bersembunyi terus di dalam peti mati untuk mengatasi penderitaan luka itu dengan ilmu tenaga dalam Put-kian-thian-jit (tidak bertemu sinar matahari)." Alis putih kakek itu nampak bergetar keras, sinar buas memancar keluar dari matanya, tapi ia berusaha mengendalikan kembali, untuk sesaat tak sepatah kata pun yang diucapkan. Mendadak terdengar Ti Hui-keng berkata, "Jago andalan perkumpulan Lak-hun-poan-tong kami 'Sampai berjumpa, lagi' telah muncul, bagaimana dengan jago kalian 'Satu kata sebagai kesepakatan'? Masih bersembunyi atau tak berani bertemu orang, atau bahkan sudah mampus? Rupanya Kim-hong-si-yu-lau sudah tidak memiliki Tianglo?" Paras muka So Bong-seng sama sekali tidak berubah, jawabnya hambar, "Kenapa tak kau periksa dulu kertas surat itu?" 'Sampai berjumpa lagi' telah melihat kertas surat itu. Di balik kertas hanya tertera beberapa baris huruf, sekali lihat sudah selesai dibaca. Tiba-tiba paras mukanya berubah memucat, bibirnya terlihat gemetar diikuti sekujur badannya bergoncang keras, kertas yang berada dalam genggamannya seketika hancur berkeping-keping dan tersebar di udara. Menyusul kemudian sambil berpekik nyaring ia balik badan dan segera beranjak pergi dari situ. Kecepatannya sewaktu pergi tidak lebih lambat dari gerakan tubuhnya sewaktu muncul. Bahkan dia pergi tanpa sempat menyampaikan pesan kepada Lui Sun. Ketika melesat pergi meninggalkan tempat itu, keempat anggota badan serta tengkuknya seolah boneka kayu yang kehilangan penyanggah, seperti dinosaurus yang kehilangan tulang, nyaris dia kabur dalam kondisi cacad total. "He 'Sampai berjumpa lagi'," seru So Bong-seng kemudian setelah menyaksikan kesangsian yang menyelimuti wajah Lui Sun, "Memang 'Satu kata sebagai kesepakatan' sudah terkena pukulan sakti Peng-ciat-sin-kang, tapi di dalam tandunya tadi dia pun telah menyebarkan bubuk talas dari perguruan Gui-li-pat-ji-bun (kecantikan munafik delapan kaki), bubuk itu kebetulan dapat memancing kambuhnya kembali luka dalam yang disebabkan ilmu jari sakti tarian bangau ..." Oleh sebab itu dengan satu gerakan cepat So Bong-seng mencabut golok Ang-siu-to andalannya, menciptakan selapis cahaya golok yang memancarkan hawa membunuh yang sangat indah, "Persoalan kita berdua hari ini merupakan urusan antaTa kau dan aku." Begitu selesai bicara, cahaya golok sudah menyambar ke arah tenggorokan Lui Sun. Cahaya tajam yang berkilauan bagaikan pantulan sinar matahari di waktu senja, seperti juga hujan gerimis yang disertai kabut tipis. Padahal semua itu hanya berasal dari sebilah golok, golok merah Ang-siu-to, dengan ilmu golok yang luar biasaf dengan mata golok yang tajam tanpa perasaan. Lui Sun membentak keras, dia balas melancarkan sebuah serangan, keras dan bergetar bagai guntur yang menggelegar di angkasa.

Untuk menggunakan ilmu pukulan Kuai-man-kiu-ci-koat (sembilan huruf cepat lambat), setiap kali dia melepaskan satu pukulan selalu diiringi sekali suara bentakan keras, suara yang menggetarkan keheningan kolong langit. Cahaya golok So Bong-seng menyambar kian kemari bagai cahaya petir. Cahaya golok menusuk, membabat, menebas, menggulung ke seluruh badan Lui Sun, sementara pukulan Lui Sun terkadang cepat terkadang lambat, dalam waktu singkat dia telah selesai memainkan jurus Leng-peng-to-ci yang terdiri dari satu jurus dengan sembilan gerakan. Kilatan cahaya golok So Bong-seng bagaikan hujan perak yang memenuhi angkasa, jika pukulan yang dilepaskan Lui Sun bagaikan selembar jala langit yang mendatangkan berjuta bencana, maka sambaran goloknya ibarat sebuah senjata tajam yang khusus untuk merobek jaring langit, dewa sakti yang membendung berbagai bencana. Di saat 'Sampai berjumpa lagi' kabur tergesa-gesa, So Bong-seng mencabut golok menyerang Lui Sun, tiba-tiba Ti Hui-keng mendongakkan kepala. Begitu dia mengangkat wajahnya, Ong Siau-sik segera beradu pandang dengannya, baru saja hatinya bergetar, Ti Hui-keng sudah menggerakkan bahunya seakan hendak melakukan tindakan, tapi pukulan Kuai-man-kiu-ci-koat dari Lui Sun sudah keburu dilancarkan terlebih dulu. Serangan Kuai-man-kiu-ci-koat bukan saja berhasil menghadang So Bong-seng, bersamaan waktu juga berhasil menghadang niat Ti Hui-keng dan Pek Jau-hui yang siap melakukan aksinya. Sebenarnya Pek Jau-hui berniat melancarkan serangan ke arah Ti Hui-keng. Ong Siau-sik yang ditatap sekejap oleh Ti Hui-keng, merasa dirinya seakan menghadapi sebuah serangan dahsyat, bila Ti Hui-keng berniat menggunakan kesempatan itu untuk membunuh Ong Siau-sik, tak disangkal waktu itu merupakan kesempatannya yang terbaik baginya untuk turun tangan. Akan tetapi di saat Ti Hui-keng melancarkan serangan ke arah Ong Siau-sik, pada saat yang bersamaan akan menjadi kesempatan terbaik juga bagi Pek Jau-hui untuk membunuh Ti Hui-keng. Sesaat merasa sangsi, jalan lewat mereka bertiga segera terhadang oleh tenaga pukulan Lui Sun yang dahsyat dan cahaya golok So Bong-seng yang tajam. Waktu itulah Ong Siau-sik seakan baru tersadar dari lamunan, ketika dilihatnya So Bong-seng dapat bergerak bebas kian kemari walau berada dalam kepungan pukulan musuh yang dahsyat, perasaannya jadi amat girang, saat itulah mendadak ia mendengar suara batuk yang keras. Sambil terbatuk-batuk, darah segar nampak bercucuran keluar dari lubang hidung dan bibir So Bong-seng., dalam waktu singkat darah bercucuran juga dari lubang telinga dan ujung matanya. Bersamaan dengan terjadinya pendarahan, Ong Siau-sik juga merasakan gerakan tubuh So Bongseng yang semakin melambat. Kalau bukan seorang jagoan kelas satu, tak mungkin dia merasakan gerakan tubuhnya yang melambat, susah bagi orang awam untuk membedakan suara bentakan dan suara tefiakan. Padahal Ong Siau-sik sendiri pun tidak bisa merasakan hal itu, ia bisa mengetahui terjadinya perbedaan itu karena ia jumpai gerakan tubuh So Bong-seng sudah tidak segagah tadi.

Khususnya gerakan langkah kakinya sudah tidak seleluasa dan sebebas tadi. Luka pada paha! Teringat akan hal itu, Ong Siau-sik merasakan hatinya seolah tenggelam. Saat itulah suasana dalam arena pertarungan telah terjadi perubahan. Mendadak Lui Sun menarik kembali serangannya sambil melompat ke sisi peti mati dengan gerakan cepat. Berubah paras muka So Bong-seng, tak sempat lagi mengatur pernapasan, ia siap mengejar ke depan, tapi saat itulah Ti Hui-keng dan seseorang yang lain telah turun tangan bersamaan waktu. Orang yang lain itu ternyata Cu Gwe-beng. Cu Gwe-beng telah bergerak cepat, menghadang jalan pergi Ti Hui-keng. Ketika sepasang tangan Ti Hui-keng menekan di sisi penutup peti mati sambil melesat ke tengah udara, gerakan tubuhnya dilakukan amat cepat dan cekatan. Begitu Lui Sun menarik kembali serangannya, So Bong-seng langsung mengejar dari belakang, baru saja cahaya golok menyelimuti angkasa, Ti Hui-keng sudah turun tangan, sementara Pek Jauhui juga tak mau ketinggalan, ia langsung melancarkan sebuah serangan dengan jarinya. Ti Hui-keng melancarkan serangan dengan jurus Po-sat, tapi di saat desingan angin tajamnya meluncur keluar, bayangan tubuh Ti Hui-keng sudah lenyap dari pandangan, dia sudah meluncur ke depan. Pada saat itulah Cu Gwe-beng ikut bergerak maju, menggelinding ke tengah arena dengan kecepatan luar biasa. Perawakan tubuhnya memang gemuk dan pendek, begitu menggelinding, seluruh tubuhnya ibarat sebuah bola yang menggelinding ke tengah arena. Gerakan tubuhnya saat itu tak ubahnya seperti sebuah bola yang ditendang orang keras-keras, menggelinding keluar dengan kecepatan tinggi. Begitu berhasil menghadang jalan pergi Ti Hui-keng, masih di tengah udara dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke batang hidung lawan. Sekilas pandang, pukulan yang dia lancarkan amat biasa dan sederhana, jurus serangan yang digunakan pun hanya merupakan jurus dasar dari aliran Siau-lim-pay, namun seakan ada orang mendorong sikutnya, pukulan itu justru meluncur keluar dengan kecepatan dan kekuatan di luar dugaan. Cukup ditinjau dari hal ini, keampuhan jurus serangannya ini sudah jauh berbeda bila dibandingkan dengan keampuhan yang dihasilkan kawanan jago lain. Akan tetapi tindakan yang diambil Ti Hui-keng jauh lebih di luar dugaan, tiba-tiba ia menerjang ke udara bagaikan seekor burung elang menembus awan, "Blaaam!", tahu-tahu ia sudah menjebol atap bangunan rumah. Cu Gwe-beng merendahkan tubuhnya secara tiba-tiba, saat itulah dia pun melakukan sebuah tindakan yang tidak terduga oleh siapa pun.

Sepasang tangannya mendadak berputar kencang lalu mencengkeram ke arah tenggorokan So Bong-seng. Serangan itu dilancarkan secara tiba-tiba, seolah ancaman tadi bukan berasal dari sepasang tangannya. Waktu itu So Bong-seng sedang mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menghadapi Lui Sun. Begitu berkelit dari bacokan golok, Lui Sun sudah menyelinap ke depan peti mati, tiba-tiba dia membungkukkan badan dan mencabut keluar sebilah golok. Saat itu tidak seharusnya dia mencabut golok. Tempat itu tidak seharusnya terdapat sebilah golok. Tapi pada saat itulah Lui Sun telah mencabut keluar golok pusakanya, golok 'Put-ing', golok 'tidak seharusnya'. Begitu golok 'tidak seharusnya' dilolos, seluruh orang yang hadir dalam ruangan segera merasakan semacam lapisan warna-warni yang menyelimuti seluruh udara, padahal golok itu tak berwarna, gelap, tawar tak bercahaya, namun dalam pandangan setiap orang muncul warna-warni yang berbeda, ada yang menyaksikan cahaya hitam yang tajam, ada yang berwarna hijau, merah, panca warna, semuanya merasa amat silau dibuatnya. Begitu golok berada dalam genggaman, semangat tempur Lui Sun tampaknya ikut berkobar, dia maju menyerang bagai orang kalap, kekuatan membunuhnya mungkin jauh di atas kebrutalan Kwan Jit. Golok yang berada dalam genggamannya bukan sebilah golok mestika, melainkan sebilah golok iblis. So Bong-seng sama sekali tidak mundur. Golok Ang-siu-to miliknya memancarkan selapis gelombang warna bagai guguran bunga, bahkan terasa begitu jinak dan penurut. Tapi yang menakutkan justru terletak pada jinak dan penurutnya itu. Biarpun tenaga yang dipancar keluar dari golok iblis milik Lui Sun itu luar biasa dahsyatnya, namun golok Ang-siu-to milik So Bong-seng seakan mengikuti alur gelombang, naik turun dan mengapung secara bebas, tapi setiap saat selalu membendung datangnya ancaman dari pihak lawan. Sanggupkah Ang-siu-to membendung terkaman Put-ing-to? Sanggupkah Put-ing-to menghabisi golok Ang-siu-to? Siapa pun tak tahu. Karena serangan dari Cu Gwe-beng telah tiba. So Bong-seng segera memutar tubuhnya sambil berguling ke samping, sambil memutar badan bagai angin berpusing di bawah ancaman cahaya golok yang menyilaukan mata dari golok Put-ing, dia masih berhasil meloloskan diri dari bokongan Cu Gwe-beng.

Dengan cepat Cu Gwe-beng berganti jurus, jarinya ditekuk ke bawah, kali ini dia berusaha mencengkeram sepasang bahu So Bong-seng. Bersamaan waktu, golok iblis Lui Sun merangsek dengan serbuan yang jauh lebih ganas, lebih gila daripada gila, lebih kalap daripada kalap, lebih mengerikan daripada yang mengerikan .... So Bong-seng sambil membendung datangnya serangan golok Put-ing-to, dia mundur terus ke belakang, ketika mundur, golok di tangan kanannya masih tetap melancarkan tujuh serangan dengan satu jurus pertahanan, sementara kelima jari kirinya seolah sedang memetik senar harpa, menyentil, menotok, mendorong, menekan, memukul, mencengkeram, mempermainkan jarinya untuk menangkis semua serangan yang dilancarkan Cu Gwe-beng. Ketika bergeser mundur itulah dia mulai merasakan kaki kirinya tidak leluasa. Perasaan tidak leluasa itu mungkin hanya berlangsung sesaat, bahkan mata pun tak sempat berkedip, namun Cu Gwe-beng telah memelototinya tanpa berkedip. Tiba-tiba serangannya berganti arah, kini sepasang tangannya mulai mencengkeram mata kaki So Bong-seng. Tangan kiri mencengkeram paha, tangan kanan mencengkeram tumit. Tapi sayang, sebelum ia sempat mengerahkan tenaganya, ada tiga gulung angin serangan berasal dari tiga arah yang berbeda serentak mengancam tubuh bagian depan, belakang serta sepasang tangannya. Ketiga gulung angin serangan itu berasal dari serangan golok dan pedang Ong Siau-sik serta ilmu jari pengejut dewa Pek Jau-hui. Dalam posisi seperti ini Cu Gwe-beng dihadapkan pada pilihan yang pelik, dia harus segera mengambil keputusan. Lepas tangan? Atau melanjutkan ancamannya? Kalau lepas tangan, akankah So Bong-seng melepaskan dirinya? Kalau melanjutkan ancaman, sanggupkah dia menghadapi ancaman dari golok, pedang dan serangan jari itu? Bila dia lepas tangan setelah berhasil menghancurkan sebelah kaki So Bong-seng, apakah Pek Jauhui dan Ong Siau-sik segera akan memusnahkan juga dirinya? Pada saat bersamaan, kembali terjadi dua peristiwa yang di luar dugaan, jauh lebih di luar dugaan daripada bokongan yang dilakukan Cu Gwe-beng tadi. Tiba-tiba Pui Ing-gan mencabut pedangnya, lengkingan naga yang memekakkan telinga bergema dari tubuh pedangnya. Ternyata pedangnya sangat tak .sedap dipandang, tegasnya pedang itu tak layak disebut sebilah pedang, tubuh pedang cembung cekung tak merata tapi mata pedang justru sangat aneh, tubuh pedang itu meliuk seperti sebilah keris, kalau dibilang ada yang luar biasa maka keluar biasaan itu terletak pada pancaran sinar merah yang lamat-lamat terlihat di tubuh pedang. Cahaya merah bagaikan semburan darah segar yang cukup membuat perasaan orang bergidik.

Dia mencabut pedang, melancarkan serangan dan mementalkan Pek Jau-hui, Ong Siau-sik serta Cu Gwe-beng bertiga. Benar-benar membuat tubuh mereka terpental, bahkan dia sendiri pun ikut terpental ke udara. Meminjam tenaga benturan ketiga orang itu, dia terpental ke udara kemudian 'terbang' balik ke bangkunya semula. Kalau dilihat dari mimik mukanya, seakan dia anggap situasi sudah terkendali. Padahal situasi sedang mengalami perubahan yang amat drastis, bagaimana mungkin bisa terkendali? Bagaimana mungkin bisa aman dan tenteram? Sementara itu Cu Gwe-beng yang gagal mencengkeram kaki So Bong-seng telah saling berhadapan dengan serangan jari dari Pek Jau-hui dan serangan golok serta pedang dari Ong Siau-sik, lekas dia berkelit ke samping. Untuk sesaat ketiga orang itu hanya berdiri saling berhadapan tanpa melakukan suatu gerakan pun, mereka tidak tahu harus melanjutkan pertarungan itu atau tidak. Saat itulah terdengar suara dengusan tertahan berkumandang dari tengah arena. Ti Hui-keng sudah menerobos genteng dan masuk kembali ke dalam ruangan, dia melayang turun persis di belakang punggung Lui Sun. Sebetulnya Lui Sun sedang memusatkan seluruh kekuatannya untuk bertarung melawan So Bongseng, mendadak badannya terlihat gemetar keras, disusul dengan wajah penuh kesakitan dia turunkan goloknya ke bawah, lelehan darah segaf menga¬lir keluar dari ujung bibirnya. Dengan penuh penderitaan bisiknya, "Ternyata kau, tak kusangka... ternyata kau!" Kemudian dia pun melakukan satu tindakan, tiba-tiba melompat ke arah peti mati itu. Baru berhasil dengan serangannya, sekulum senyuman licik menghiasi ujung bibir Ti Hui-keng, begitu melihat Lui Sun melompat ke arah peti mati, dengan wajah berubah hebat segera teriaknya, "Hati-hati!" Sambil berteriak, lekas dia mundur dengan cepat. Gerakan tubuhnya sewaktu mundur dilakukan sangat cepat dan disertai rasa ngeri bercampur ketakutan yang luar biasa, dalam waktu singkat dia sudah melewati Cu Gwe-beng, Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui. Hampir semua jago yang hadir di arena, tanpa terasa ikut mundur ke belakang setelah menyaksikan rasa takut bercampur ngeri yang diperlihatkan orang ini. Hanya dua orang tidak ikut mundur. Pui Ing-gan sama sekali tidak mundur, dia melompat tinggi ke udara, menempel di atas wuwungan rumah sambil mengawasi peti mati itu. So Bong-seng juga tidak mundur, bukan mundur, dia malah maju sambil berteriak, "Kau tak usah mati, aku bisa membiarkan kau..." Suatu ledakan keras mendadak menggelegar memecah keheningan, ledakan itu tidak terlampau dahsyat, tapi amat menakutkan. Menanti debu dan pasir yang beterbangan buyar, ketika genteng yang berguguran telah berhenti, terlihatlah peti mati itu sudah meledak hancur berantakan, lantai dimana peti mati itu berada kini sudah muncul sebuah liang yang sangat besar.

Pada saat ledakan itu terjadi, Pui Ing-gan meminjam tenaga ledakan untuk melompat naik ke atap rumah. So Bong-seng yang berdiri paling dekat, di atas tubuhnya muncul beberapa buah luka bakar, dia sendiri bagaikan seseorang yang kehilangan sukma, berdiri termangu-mangu macam orang kebingungan. Kini dia keluar sebagai pemenang. Anehnya, sebagai pemenang mengapa dia justru menampilkan mimik muka seperti ini? Semacam mimik muka orang yang kena tipu, sedikit perasaan apa boleh buat, membawa nada ejekan terhadap diri sendiri, juga sedikit perasaan masgul bercampur duka. "Kau tidak seharusnya mati," terdengar So Bong-seng bergumam, "setelah kau mati, tinggal aku seorang, aku akan merasa kesepian Kalau tadi Pui Ing-gan meluncur ke atas wuwungan rumah bagaikan seekor kelelawar, maka saat ini dia merayap turun bagaikan seekor cecak, begitu mencapai permukaan tanah, ujarnya, "Aneh, kalau dia memang berniat meledakkan diri, mengapa tidak sekalian meledakkan kita semua, agar semua orang ikut tewas bersamanya?" "Dugaanku tepat sekali!" sahut Ti Hui-keng. "Oya?" "Dia memang berniat meledakkan kita semua, tapi sayang sumbu yang dia siapkan dari dalam peti mati hingga keluar ruangan berhasil kuhapus dan kulenyapkan," kata Ti Hui-keng sambil mendongakkan kepalanya, berbinar sepasang matanya, "Aku hanya tak boleh menyentuh peti matinya." Pui Ing-gan tertawa, tertawa penuh sindiran, katanya, "Jika dia membiarkan kau sentuh peti matinya, mungkin dia ingin mati pun tak mungkin bisa mati." Ti Hui-keng seakan tidak mengerti maksud sindirannya itu, sahutnya tenang, "Sekalipun dia melarangku menyentuh peti mati itu, toh akhirnya ia tetap mati tanpa liang kubur." "Siapa suruh dia mempercayai orang!" Pui Ing-gan mengangkat bahunya, menggantungkan pedang dan menggeliat malas "Ti Hui-keng bukan sahabat Lui Sun," tiba-tiba So Bong-seng berkata, "dia adalah seorang jago tangguh yang dibina bekas istri Lui Sun, Kwan Siau-te, setelah Lui Sun berhasil melalap perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan mengusir Kwan Siau-te, dia menarik Ti Hui-keng untuk membantu perkumpulannya." "Oleh sebab itu aku punya alasan untuk balas dendam," sambung Ti Hui-keng hambar. "Ooh, ternyata Toako telah berhasil menemukan hubungan sebenarnya antara Ti Hui-keng dengan Lui Sun," seru Ong Siau-sik seakan baru sadar. "Sama seperti menyelesaikan satu persoalan, kita harus menemukan dulu pokok persoalan yang sebenarnya, dengan anak kunci yang tepat kita baru bisa membuka sebuah gembok," So Bongseng menjelaskan, "keberhasilan inipun berkat usaha Yo Bu-shia yang bisa tepat waktu membujuk Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat hingga mengajaknya memasuki gudang data milik Kwan Jit yang ada di markas besar perkumpulan Mi-thian-jit-seng."

"Oleh sebab itu kita hanya datang untuk bermain sandiwara, sama sekali tak punya peranan apa pun sela Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Tapi seandainya tak ada kau dan Lo-sam yang berhasil menghentikan Cu-tayjin, mungkin yang meledak jadi. abu saat ini bukan Lui Sun melainkan aku "Aku dan Lui-locongtongcu adalah sahabat lama," Cu Gwe-beng menyambung cepat, "aku sudah berjanji akan membantunya, jadi aku harus menepati janji/kini hubungan kami sudah putus, dia sudah jadi setan gentayangan sementara aku masih hidup sebagai manusia, jadi sekarang aku bisa tak usah merisaukan hubungan dulu lagi. Dengan kematiannya berarti kotaraja sudah jatuh ke tangan So-kongcu, bukan saja aku yang nomor satu akan mendukungmu, bahkan siap menyumbangkan tenaga untuk menjalankan segala tugas. Kemudian setelah tertawa tergelak, tambahnya, "So-locu tentu tak keberatan bukan memperoleh tambahan seorang teman?" "Di bawah kekuasaan Putra langit, siapa yang berani menyalahi Cu-tayjin, ketua kejaksaan?" So Bong-seng berjalan ke depan, sambil menepuk bahu Ti Hui-keng katanya pula, "tapi jika kau benar-benar ingin bersahabat, seharusnya bersahabatlah dengan beberapa orang lagi." "Memang tak ada salahnya punya teman banyak, boleh tahu siapa lagi yang akan berkenalan denganku?" "Loji PekJau-hui!" "Lo-sam Ong Siau-sik!" "Lo-su Ti Hui-keng!" Setelah secara beruntun menyebutkan ketiga nama itu, So Bong-seng kembali berkata kepada Ti Hui-keng, "Mulai hari ini, kau bisa hidup sambil mendongakkan kepalamu lagi." "Benar," sahut Ti Hui-keng dengan mata berkaca-kaca, "sejak aku mengkhianati Kwan-toaci dan bergabung dengan Lui-locongtongcu, aku tidak pernah berani mengangkat kepalaku lagi." "Mulai sekarang, di kotaraja sudah tak ada Lui Sun, yang ada hanya Ti-toatongcu. Ketika berada di Sam-hap-Mu tempo hari, aku tahu kau tak leluasa menyanggupi syarat yang kuajukan karena Lui Sun bersembunyi di atas wuwungan rumah, tapi apa yang telah kuucapkan tetap berlaku hingga sekarang, mulai hari ini, kaulah yang akan mengurusi perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Tubuh Ti Hui-keng terlihat bergetar keras, sambil menggigit bibir sahutnya kemudian, "Baik!" "Pekerjaan apa yang pertama kali ingin kau lakukan?" tanya So Bong-seng lagi sambil menatapnya tajam seakan ingin menembus dasar hatinya. Ti Hui-keng mendongakkan kepala, perlahan-lahan menghembuskan napas panjang. "Aku akan menarik kembali perintah yang telah dikeluarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, menarik kembali semua pasukan dan tidak membiarkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong saling bertempur melawan Kim-hong-si-yu-lau." "Bagus sekali," senyuman seakan mulai memancar dari balik mata So Bong-seng, kata-katanya yang semula tajam bagaikan mata pedang, kini telah berubah sehangat hembusan angin musim semi, "Lui Tun dan Un Ji telah kau atur dimana?" "Aku tak ingin mereka ikut menyaksikan peristiwa hari ini," kata Ti Hui-keng, "karena itu sudah kuutus orang untuk mengantar mereka menuju ke tempat tinggal Lim Ko-ko, Li Si-ci dan Lim Cisim, setiap saat mereka bisa diajak kembali kemari."

"Tanpa bantuanmu, identitas Si Say-sin bakal ketahuan Lui Sun sejak dulu," kata So Bong-seng lagi dengan nada penuh perhatian, "karena itu, di saat mengurusi perkumpulan Lak-hun-poantong, hati-hati kalau ada anak buah keluarga Lui yang enggan tunduk." "Aku tahu, Lui Moay, Lui Tong-thian, Lui Kun adalah orang-orang berbakat yang hebat kungfunya, jika mereka bisa kugunakan akan kugunakan, kalau sudah tak bisa digunakan lagi, aku pun punya cara untuk menyelesaikan masalah ini." "Kalau begitu aku pun dapat berlega hati." Mendadak tubuh So Bong-seng mengejang keras, lekas Su Bu-kui maju memayangnya, Ong Siausik dan Pek Jau-hui segera mengelilinginya. Terdengar So Bong-seng berkata dengan lirih, "Racun yang mengeram di kakiku tak mungkin bisa dibersihkan kecuali kaki itu diamputasi ... beberapa hari ini aku berhasil menggunakan tenaga dalam untuk menahannya agar tidak menjalar, tapi barusan aku harus bertarung sengit dengan menggunakan kekuatan penuh hingga racun jahat itu kembali kambuh ... tolong bimbing aku kembali ke loteng." Bicara sampai di sini ia segera menggigit bibir sambil mengatur napas. Dalam pada itu Pui Ing-gan sambil tertawa sedang memberi ucapan selamat kepada Ti Hui-keng. "Kionghi, kionghi!" katanya. Cu Gwe-beng juga memberi hormat kepada Ti Hui-keng sambil bergumam, "Sungguh mengagumkan, sungguh mengagumkan!" Ti Hui-keng hanya melirik sekejap ke arah hancuran peti mati yang berserakan dimana-mana, sekilas perasaan kesepian melintas di wajahnya, dia menghela napas sambil menyahut, "Tidak berani, tidak berani." ooOOoo 60 . Babatan golok Un Ji Malam itu, dengan berbagai akal muslihat Lui Tun dan Un Ji berhasil meloloskan diri. Sebenarnya kedatangan Un Ji ke markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong adalah bertujuan untuk omong-omong, dia menganggap Lui Tun kelewat lemah sehingga patut dikasihani, maka timbul keinginannya untuk melindungi keselamatan jiwa gadis itu. Lui Tun sendiri pun merasa Un Ji sangat lembut dan baik hati, maka sambil menikmati manisan teratai yang ia suguhkan, mereka berdua berbincang sambil bersantap hingga larut malam. Un Ji mengatakan kalau dia amat lelah dan ingin langsung tidur. ooOOoo Dalam tidurnya gadis itu sempat mengigau dan berseru berulang kali, "A-hui mampus, aku tak mau peduli kau lagi Lui Tun yang menyaksikan kejadian ini diam-diam menghela napas, baru saja akan memadamkan lampu, tiba-tiba ia menyaksikan ada sesosok bayangan hitam berkelebat.

"Aneh," Lui Tun segera berpikir, "siapa yang begitu berani menyusup masuk ke dalam markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong?" Tak tahan dia pun menegur, "Siapa di situ?" "Aku nona," jawab orang itu. Ketika Lui Tun membuka pintu, ia lihat Ti Hui-keng yang mengenakan pakaian serba putih telah berdiri di depan pintu, sinar matanya terlihat sedikit agak aneh. Dengan perasaan tertegun bercampur keheranan Lui Tun pun menegur, "Saudara Ti, ada urusan apa tengah malam begini kau datang berkunjung?" Ti Hui-keng melongok ke dalam sekejap, melihat Un Ji tertidur di depan meja, dia pun menjawab, "Toa-siocia, maaf mengganggu, Congtongcu minta kau untuk segera pergi." "Kemana?" Lui Tun mendongakkan kepala keheranan, lamat-lamat ia mendapat firasat tak baik. "Yang penting pergi dulu menghindar." "Menghindar? Kenapa aku harus menghindar?" "Bukan hanya kau seorang yang harus menghindar, dia pun harus turut menghindar," kata Ti Huikeng sambil menuding ke dalam. Baru saja Lui Tun berpaling mengikuti arah yang ditunjuk, tiba-tiba Ti Hui-keng menotok beberapa buah jalan darahnya, tak sempat menjerit lagi gadis itu segera roboh lemas ke tanah. Un Ji yang mendengar suara gaduh segera mendusin dari tidurnya, melihat Lui Tun tergeletak di tanah, ia segera mencabut golok sambil maju melindungi, tiba-tiba terasa bayangan manusia berkelebat, angin kencang menggulung tiba dengan kecepatan tinggi. Un Ji yang baru mendusin dari tidurnya tak sempat lagi menangkis, jalan darahnya ikut tertotok oleh serangan Ti Hui-keng. Berhasil merobohkan kedua orang gadis itu, Ti Hui-keng baru berseru kepada Lim Ko-ko, Lim Si-ci dan Lim Ci-sim yang sudah menunggu di luar pintu, "Bawa dulu mereka berdua ke Po-pan-bun, layani mereka dengan baik." Begitulah, Lui Tun dan Un Ji pun dikirim ke sebuah bangunan besar di wilayah Po-pan-bun. Lim Ko-ko adalah seorang Tongcu dari kantor cabang perkumpulan Lak-hun-poan-tong, sebagai anggota perkumpulan yang sedang menghadapi pertem¬puran melawan Kim-hong-si-yu-lau, tentu saja dia harus membantu dalam hal ini semaksimal mungkin. Sementara Lim Si-ci dan Lim Ci-sim adalah Hiocu perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mereka mendapat tugas mengawasi Lui Tun dan Un Ji. Setelah jalan darah Lui Tun dan Un Ji yang tertotok dibebaskan, dalam hati kecil mereka penuh diliputi perasaan ragu bercampur tanda tanya. "Aneh, kenapa anak sialan itu menotok jalan darah kita berdua?" "Oh!"

"Kenapa mereka menyekap kita berdua di sini?" "Aku ... aku tidak tahu." "Sebetulnya siapa sih mereka itu?" "Aku tidak tahu..." "Kau adalah putri kesayangan ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong, masa apa pun tidak tahu?" "Aku rasa bukan cuma aku saja yang tak tahu, mungkin ayah sendiri pun tidak tahu," sahut Lui Tun sambil menghela napas sedih. "Tidak bisa begini, besok Toasuheng akan melakukan pertempuran habis-habisan melawan ayahmu," seru Un Ji sambil menghentakkan kakinya berulang kali, "kita tak boleh berdiam terus di sini, seharusnya kita ikut tampil sambil melihat situasi." Walaupun dia berkeinginan begitu, namun hingga menjelang kentongan pertama malam itu, mereka masih belum berhasil kabur dari situ. Para petugas yang menyekap mereka, kecuali tidak mengijinkan mereka keluar gedung itu, sikap maupun pelayanannya sangat hormat dan baik, hidangan yang tersedia sangat lezat dan berlimpah, bahkan mereka menyiapkan juga peralatan untuk mandi, peralatan untuk berdandan dan peralatan untuk menulis. Apa yang terjadi membuat Lui Tun semakin tak habis mengerti. Sebenarnya apa maksud mereka? Ditinjau dari peralatan yang disediakan, tampaknya mereka akan tinggal cukup lama di situ. Tapi kalau ditinjau dari sikap hormat dan jujur yang diperlihatkan para pengawas, hal ini malah membuat Lui Tun berpikir cara bagaimana melarikan diri. Besok adalah saat perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau melakukan pertarungan, jelas dia tak ingin hanya tersekap di tempat itu, paling tidak dia harus mengingatkan ayahnya agar membuat persiapan yang lebih baik. Maka Lui Tun pun bertanya kepada Un Ji, "Kau sudah berhasil menemukan cara terbaik?" "Cara apa?" tanya Un Ji melengak. "Cara terbaik untuk melarikan diri!" "Soal ini Un Ji berpikir beberapa saat, "sekarang aku sedang berpikir, siapa tahu segera akan kutemukan cara terbaik untuk melarikan diri." "Berhasil kabur atau tidak, semuanya tergantung kau." "Tentu saja, aku pasti akan melindungimu, kau tak usah kuatir." "Padahal tak ada yang perlu kita kuatirkan, sikap mereka terhadap kita amat baik dan penuh sopan." "Siapa tahu mereka mempunyai rencana jahat lain!" "Asal mereka menaruh perhatian khusus terhadap kita berdua, seandainya terjadi sesuatu yang tak beres dengan kita, bisa jadi tanggung jawab mereka akan menjadi berat sekali ......"

"Betul! Andaikata kita berdua mengalami sesuatu, mereka tak bisa cuci tangan dari tanggung jawab ini!" "Apakah perutmu masih sakit?" "Apa?" "Perutku agak sakit." "Kau sakit perut? Kenapa bisa jadi begini?" "Bila perutku mendadak sakit sekali....." "Kau jangan menakuti aku, mana mungkin?" "Mungkin dalam hidangan itu ada racunnya." "Masa mereka berani meracuni kita berdua? Aku ..." "Aku akan berlagak keracunan untuk memancing mereka masuk kemari, dan kau ..." "Betul!" seru Un Ji kegirangan, "inilah salah satu cara yang sedang kupikirkan, kau berlagak mati, biar aku yang bereskan orang-orang itu." "Bagus," seru Lui Tun sambil tertawa pula, "ternyata kau memang cerdik." "Lihat saja ulahku nanti! Tanggung akan kusuruh mereka rasakan kelihaian nonamu ini!" "Tapi sikap mereka terhadap kita selama ini sangat baik dan hormat, meski kungfumu hebat, aku minta jangan turun tangan kelewat berat, sebab andaikata mengalami kegagalan, masih ada yang kita butuhkan." "Kau terlalu banyak pikiran," kata Un Ji acuh, "belum pernah serangan nonamu selama ini pernah mengalami kegagalan!" Maka Lui Tun pun mulai berlagak mengeluh kesakitan, sementara Un Ji mencaci-maki kalang kabut. Betul saja, tak lama kemudian terlihat ada orang menerjang masuk ke dalam ruangan, baru saja Un Ji siap turun tangan, tiba-tiba ia perhatikan mimik muka dari ketiga orang itu. Apa yang kemudian dilihatnya membuat Un Ji tak sanggup melanjutkan serangannya, dia malah berteriak keras. Lui Tun ikut kaget dan segera mengawasi pula air muka orang-orang itu. Ternyata paras muka ketiga orang itu telah berubah jadi merah kehitam-hitaman, pada bola matanya yang semula berwarna putih kini sudah timbul warna perak keabu-abuan, pada mulanya ketiga orang itu seolah tidak menyadari akan hal ini, mereka baru saling bertukar pandang setelah mendengar teriakan Un Ji. Begitu menyaksikan perubahan pada wajah mereka, orang-orang itu terlihat semakin terkesiap bercampur rasa ngeri yang luar biasa, sambil saling menunjuk ke wajah rekannya, mereka berteriak, "Kau ... kau ......... Belum sempat bicara lebih lanjut, tubuh mereka sudah roboh

terjengkang ke tanah, baru mengejang beberapa saat, nyawa mereka sudah melayang meninggalkan raganya. Dengan perasaan terkejut bercampur ngeri, Lui Tun dan Un Ji segera menerjang keluar ruangan, sepanjang jalan mereka jumpai mayat bergelimpangan dimana-mana, puluhan anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang merupakan anak buah Ti Hui-keng kini sudah bergelimpangan di tanah menjadi mayat, rata-rata mereka mati dengan lidah terjulur keluar, kelopak mata terbelalak lebar dan pendarahan pada kelima lubang inderanya, jelas sekali mereka mati karena keracunan. Dari tubuh sesosok mayat, Un Ji berhasil menemukan kembali golok Seng-seng-to miliknya, mereka segera melarikan diri meninggalkan wilayah Po-pan-bun. Untuk menghindari pengin¬taian dan pengawasan dari pihak lawan, sepanjang jalan mereka melewati lorong-lorong kecil yang sempit, Un Ji berjalan di muka melindungi Lui Tun, tapi karena tak mengenal jalan, Lui Tun yang bertindak sebagai petunjuk jalan. "Tunggu sebentar!" mendadak Lui Tun berbisik. Un Ji terperanjat, baru saja akan berpaling, terdengar Lui Tun berbisik lagi, "Jangan bergerak!" Rupanya karena kurang berhati-hati Un Ji terpeleset sehingga menimbulkan sedikit suara, dari mulut lorong segera terlihat ada bayangan manusia berkelebat, tampaknya orang itu sudah lama menunggu di situ. Saat ini dia telah berpaling dan mulai berjalan menyusuri lorong gelap tadi. Cahaya lentera di sudut rumah menerangi punggung dan bahu orang itu, membiaskan bayangan gelap di atas permukaan tanah. Tidak nampak dengan jelas paras muka orang itu. Sisa cahaya lentera menerangi wajah Lui Tun dan Un Ji, entah mengapa, kedua orang gadis itu merasakan semacam hawa angker yang sangat aneh dan tak terlukis. Bukan hawa membunuh melainkan suasana angker, hawa keangkeran yang membawa kesesatan. Mereka mulai berpikir untuk mundur dari situ, tapi segera silihatnya lorong itu buntu, tiga arah merupakan dinding tembok yang sangat tinggi. Banyak sampah dan bau kotoran di sekeliling situ. Orang itu dingin dan kaku, bagaikan sebuah bukit angker, selangkah demi selangkah berjalan semakin mendekat. Lui Tun merasa badannya gemetar keras, Un Ji sadar mereka sudah terjebak di sebuah lorong buntu dan mustahil bisa mundur lagi, cepat ia menghadang di depan Lui Tun sambil 'hardiknya, "He siapa kau? Kalau berani ..." Sambil bicara dia siap mencabut goloknya. Orang itu melancarkan serangan secepat sambaran kilat, tahu-tahu dia sudah menghadiahkan sebuah tempelengan keras. "Plaaak!", tamparan itu bersarang telak di pipi Un Ji, membuat gadis itu merasakan kepala pening dan mata berkunang kunang, darah meleleh dari ujung bibirnya. Menyusul kemudian tampak orang itu mengangkat lutut nya dan ditekankan di atas perut Un Ji, caranya melancarkan serangan bukan saja tidak menganggap dia sebagai seorang bocah manja, bahkan tidak memperlakukannya sebagai seorang gadis, tidak menganggapnya sebagai seorang manusia.

Baru saja Un Ji membungkukkan badan karena tekanan lutut di atas perutnya, orang itu sudah mencengkeram tubuhnya dengan kedua belah tangan dan menekan badannya menempel di atas dinding. Seketika itu juga Un Ji merasakan punggungnya' yang menekan di atas dinding sakit sekali, sedemikian sakitnya hingga nyaris membuatnya menangis. Orang itu menundukkan kepala, menghindari sorotan cahaya lampu, tangannya yang sebelah mulai digunakan untuk membuka pakaian yang dikenakan nona itu. Un Ji menjerit kaget, belum sempat ia melakukan sesuatu, tangan kiri orang itu sudah mencengkeram urat nadinya, begitu mengerahkan tenaga, seketika itu juga Un Ji merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga. Kini tingkah laku orang itu semakin kalap, dia mulai merobek kutang yang dikenakan gadis itu, kemudian sambil mengeluarkan suara geraman bagaikan hewan kelaparan ia mulai meraba dan meremas payudara Un Ji yang kecil, lembut lagi kenyal itu. Seketika itu juga tubuh Un Ji gemetar keras, selama hidup belum pernah payudaranya diremas seorang lelaki seperti ini. Dengan penuh napsu orang itu menindih di atas tubuh Un Ji, tangannya yang dingin mulai menggerayangi seluruh tubuhnya, dari payudara mulai bergerak ke bawah dan mulai merayap di tubuh bagian bawahnya. Un Ji berusaha meronta, namun seluruh badannya lemas tak bertenaga, keempat anggota badannya seakan tak mau menuruti perintah, dalam keadaan begini dia hanya bisa menangis terisak. Bau busuk yang menyelimuti sekeliling lorong ditambah gerayangan orang itu di atas tubuh bagian bawahnya membuat Un Ji seolah tercekam dalam ketakutan dan kengerian, dia hanya berharap impian buruk segera akan berlalu. Kembali orang itu merobek pakaiannya, berusaha menelanjanginya .... Ketika ia berusaha mempertahankan pakaiannya agar tidak terlepas, lagi-lagi orang itu menghadiahkan sebuah tamparan keras. Kontan Un Ji jadi tambah lemas tak berdaya, kini dia sudah tak memiliki kekuatan lagi untuk melawan, yang bisa dia lakukan hanya menangis terisak, air mata membasahi seluruh pipinya. "Breeet!", kembali gaun bawahnya dirobek hingga terlepas. Mendadak "Triiing!", diiringi suara dentingan nyaring, orang itu sudah membalikkan tangannya menangkis tusukan sebuah tusuk konde yang dilancarkan Lui Tun dari belakang, tusuk konde itu segera rontok ke tanah. Orang itu berpaling, seolah takut wajahnya terkena sorotan cahaya lentera, lekas ia menundukkan kepalanya kembali. Lui Tun mendengus dingin, dengan pandangan menghina serunya, "Kau menginginkan perempuan bukan? Kenapa tidak mencari aku? Dia tak lebih hanya seorang bocah Orang itu hanya memandang sekejap, dalam waktu singkat ia sudah terpesona oleh wajah sendu

Lui Tun, sambil mendesis lirih dia membalik badan ganti memeluk tubuh gadis itu dan menempelkan punggungnya di atas dinding, sambil membalik tubuh, dia tak lupa melepaskan sebuah tendangan ke tubuh Un Ji, membuat gadis itu mengerang kesakitan dan terbungkukbungkuk menahan rasa sakit. Tangan orang itu mulai menggerayangi seluruh badan Lui Tun, dari atas hingga ke bawah, kemudian ia mulai menarik lepas pakaiannya, merobek gaun yang dikenakan. Seluruh tubuh Lui Tun sudah menjadi dingin bagai salju, tapi darahnya justru mendidih, terbakar hingga ke ujung telinga. Dia merasa dipermalukan, merasa mendapat perlakukan tak senonoh. Orang itu dengan sebelah tangan memegang wajahnya, tangan lain menelikung sepasang tangannya, lalu dia sedikit merendahkan tubuhnya dan mulai menjalankan aksinya. Lui Tun merasakan segulung hawa panas merasuk ke dalam tubuhnya, hawa panas itu seakan menjalar ke seluruh pori badannya, dia merasa seakan ada sebuah toya baja yang sangat panas menyengat menembus tubuh bagian bawahnya, lalu terdengar orang itu mulai merintih, "Aduh ... bagus ... sungguh bagus... nyaman..." Setelah itu yang terdengar hanya suara isak tangis Un Ji yang kian menjadi. Lui Tun sama sekali tidak menangis, wajahnya mendongak menatap cahaya lentera, ia membiarkan sinar lampu menerangi wajahnya yang cantik. Orang itu mulai menggerakkan tubuhnya, makin lama makin cepat, makin mengejang keras, bahkan dia mulai mencium, mengalirkan air liurnya ke dalam bibir Lui Tun yang mungil. Dengan sepasang tangannya Lui Tun mencengkeram dinding tembok, menciptakan sepuluh bekas cakaran yang dalam di situ, rasa sakit yang luar biasa disertai bau busuk yang me¬nyengat membuat dia harus menahan rasa malu dan gusar. Tak selang beberapa saat kemudian orang itu mulai terengah-engah, tubuhnya mulai bergetar tiada hentinya, seakan teringat akan sesuatu, cepat dia bersiap meninggalkan tubuh Lui Tun dan berpaling ke arah Un Ji. Pada waktu itu Un Ji sedang merangkak bangun dengan susah payah, pakaiannya yang koyak tak keruan tak dapat menutupi tubuh bugilnya yang putih halus. Lui Tun segera mengerti apa yang hendak dilakukan orang itu, sambil menggigit bibir mendadak ia peluk tubuh orang itu dengan kencang dan berusaha tidak membiarkan ia meninggalkan badannya. Sesaat orang itu tak berhasil meninggalkan pelukan Lui Tun, disusul kemudian dia pun merasa sayang untuk meninggalkan kehangatan tubuhnya. Dengan wajah garang orang itu mengawasi wajah Lui Tun, napsu birahinya bagaikan tanggul yang jebol, seketika dilampiaskan ke tubuh gadis itu secara brutal.... Lui Tun menggigit bibirnya sambil berkerut kening, ia merasa gerakan tubuh orang itu semakin menggila, goyangan yang kian menghebat membuat luka di tempat rahasianya terasa makin parah, terjadi robekan yang membuatnya semakin kesakitan, namun Lui Tun sama sekali tak bersuara, mengaduh pun tidak. Akhirnya di bawah tatapan keheranan Un Ji, orang itu terkulai lemas, tubuhnya masih menindih di atas badan Lui Tun dan menjepitnya di sudut tembok.

Tiba-tiba ia mendorong lepas tubuh Lui Tun, serunya dengan penuh amarah, "Bagus, rupanya kau memang sengaja berbuat begini agar aku tak bisa berbuat dengannya Belum selesai dia berkata, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat dari mulut lorong. Melihat itu kontan Un Ji menjerit keras, "Tolong ... tolong .... kami. Terdengar orang itu berseru tertahan. "Ah, rupanya ada orang di situ ..." katanya. Lelaki yang baru selesai menodai Lui Tun itu segera mendengus dingin, dengan cepat tubuhnya melesat ke depan dan melepaskan sebuah babatan ke arah tengkuk sebelah kanan orang yang berada di mulut lorong itu. "Hati-hati..." teriak Lui Tun nyaring. Dengan cekatan orang di muka lorong itu mengegos ke samping meloloskan diri dari serangan itu, namun lantaran tubuhnya terdapat banyak luka yang belum sembuh, nyaris dia jatuh terjelembab. Dengan bergeser ke tempat yang terdapat cahaya lentera, maka terlihatlah bahwa orang itu mempunyai kulit badan yang hitam gelap, hanya saja raut mukanya masih tak nampak jelas. Baru saja si pemerkosa hendak melancarkan serangan kembali untuk melakukan pembantaian, tiba-tiba dari sudut jalan melompat keluar seorang lelaki tinggi besar, sambil melompat maju bentaknya, "Nenek sialan, berani amat kau membokong aku si pendekar raksasa Tong Po-gou, terhitung Enghiong Hohan macam apa kau ini..." Sambil berseru dia melepaskan tiga pukulan berantai ditambah empat tendangan kilat. "Tak usah gubris dia lagi," terdengar lelaki hitam pertama menukas, "baru saja aku dengar suara teriakan nona Lui.... " "Benar, aku juga mendengar suara teriakan adik Un Ji ..." Sementara pembicaraan berlangsung, pertarungan dua lawan satu berkobar dengan sengitnya, masih untung orang itu tak ingin wajahnya terkena sinar lampu hingga ketahuan orang, coba kalau tidak, mungkin, sudah sejak tadi mereka berdua terluka parah di tangan orang itu. Tiba-tiba orang berkulit hitam itu berpekik aneh, suara suitan sahut-menyahut pun bergema dari ujung lorong hingga sudut jalan lain, tak selang beberapa saat, suara pekikan bergema. Rupanya suara suitan aneh tadi merupakan kode rahasia minta tolong yang biasa dipergunakan orang persilatan, tak heran sebentar kemudian dari setiap sudut jalan bermunculan banyak orang dengan dandanan beraneka ragam, ada yang berbaju dekil, ada yang berbaju bersih, ada yang berbaju sutera, ada pula yang menunggang kuda. Melihat gelagat tidak menguntungkan, meski tahu kungfunya masih sanggup menghadapi kerubutan orang banyak, tapi karena tak ingin identitas dirinya ketahuan, lekas orang itu melancarkan serangkaian serangan gencar, kemudian dengan sekali lompatan ia berusaha kabur dari situ. Un Ji tidak rela orang itu kabur begitu saja, sambil mengayunkan goloknya dia melancarkan sebuah bacokan kilat.

Ilmu goloknya terhitung tangguh dalam dunia persilatan, hanya saja ia belum dapat menggunakan secara sempurna, bacokan dilancarkan secara mendadak, orang itu berada dalam kondisi tak siap, punggungnya seketika terbabat sebuah luka memanjang. Orang itu mendengus tertahan, sambil berpaling ia melotot sekejap ke arah Un Ji. Gadis itu segera merasakan sinar hijau yang menggidikkan hati memancar keluar dari balik mata orang itu, sementara ia bergidik, orang itu sudah melompat ke atas wuwungan rumah dan melarikan diri. Tak lama kemudian orang tinggi besar itu sudah berlari mendekat, begitu bertemu Un Ji, serunya kegirangan, "Ah kau, ternyata benar-benar kau, kenapa kau bisa berada di sini?" Begitu bertemu dengannya, tanpa menghiraukan pakaiannya yang compang-camping nyaris bugil, ia segera menubruk ke depan dan menangis tersedu-sedu. Ternyata lelaki tinggi besar itu tak lain adalah Tong Po-gou, sementara lelaki berkulit hitam itu adalah Thio Than. Ternyata dengan memanfaatkan hubungan Thio Than dengan para tawanan serta sipir penjara, mereka berdua berhasil melarikan diri dari dalam penjara. Sebenarnya kedua orang itu bermaksud menyusup masuk ke markas perkumpulan Lak-hun-poantong dan menghadiri pertarungan yang akan diadakan esok siang, ketika 4iba di jalanan seputar Po-pan-bun, tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan minta tolong. Dalam pada itu Lui Tun telah selesai merapikan pakaian yang dikenakan dan perlahan-lahan berjalan keluar, di bawah cahaya lentera terlihat wajahnya putih pucat dan terlihat sangat aneh, sementara kedua pipinya berwarna semu merah, entah hal ini karena wajahnya yang memang cantik atau secara diam-diam ia memendam perasaan dendam. "Enci Tun, enci Tun sambil menangis Un Ji memanggil-manggil, namun ia tak berani menghampirinya. Melihat semakin banyak orang berkumpul di situ, apalagi menjumpai Lui Tun pun hadir di situ, Thio Than segera berseru, "Nona Lui, lebih baik kita balik dulu ke markas perkumpulan Lak-hunpoan-tong dan berkumpul dengan Lui-congtongcis "Lui-congtongcu?" mendadak terdengar seorang pengemis bergumam, "dia kan sudah mati, perkumpulan Lak-hun-poan tong kini sudah menjadi dunianya Ti-toatongcu." Lui Tun terkesiap, tubuhnya gemetar keras. Sementara Thio Than segera mencengkeram tubuh penge mis itu seraya berseru, "Apa ... apa kau bilang?" Saking takutnya, pengemis itu tak berani bersuara, tapi kawanan manusia yang berkumpul di mulut lorong segera menceritakan kisah pertarungan yang telah berlangsung pagi tadi antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-si-yu-lau, bahkan bercerita pula kalau Lui Sun telah tewas, Ti Hui-keng memegang tampuk pimpinan, Kim-hong-si-yu-lau berhasil meraih kemenangan dan selanjutnya kolong langit akan aman tenteram. Mengenai nasib tragis yang menimpa ayahnya, air mata segera jatuh berlinang membasahi wajah Lui Tun, tapi cepat dia menyekanya dan berusaha tidak membiarkan air matanya meleleh kembali. Agak termangu Thio Than begitu mengetahui kejadian ini, gumamnya, "Tak nyana baru semalam disekap dalam penjara, situasi di kolong langit telah terjadi perubahan besar."

"Kita tak usah peduli mau berubah seperti apa," tukas Tong Po-gou setelah berpikir sejenak, "dunia mau berubah jadi apa, kita pun hidup menyesuaikan diri, bukankah begitu paling baik?" ooOOoo 61 . Siapa ber ani m eme nggal kepala yang besar Dengan 'dosa' yang ditimpakan kepada Tong Po-gou dan Thio Than, mestahil mereka dapat melarikan diri dari penjara besar. Tapi hingga senja keesokan harinya mereka masih tetap disekap dalam penjara, hanya bedanya, Jin Lau tidak muncul lagi untuk mengadili serta memaksa mereka memberi keterangan. Tong Po-gou mulai kehilangan kesabarannya, dia mulai gelisah bercampur gusar. Thio Than pun sangat menguatirkan keselamatan Lui Tun, terutama setiap kali teringat akan pertarungan akbar yang akan dilakukan perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-siyu-lau keesokan harinya. Menjelang malam ketika seorang sipir penjara datang mengantar makanan dan lagi-lagi hidangan yang diberikan ada-lan rangsum yang mirip makanan babi, tak tahan Tong Po-gou langsung mengumpat, "Kau anggap hidangan macam begini adalah makanan manusia?" Sipir penjara itu mendengus. "Ada apa?" balik tegurnya, "jangan lupa, meski di luar sana kau adalah seorang kaisar, selama ada di sini kau tetap seorang telur busuk, sudah lima puluh tahun hidangan semacam ini beredar dalam penjara, kalau enggan disantap, buang saja!" Baru saja Tong Po-gou akan mengumbar amarahnya, Thio Than telah menyelinap ke samping pintu penjara seraya berseru, "Ribuan daun teratai ribuan pohon, ribuan ranting jutaan rumah, tolong tanya jalan mana menuju ujung langit? Jalan mana menuju ke rumahmu?" Lekas sipir penjara itu menjawab, "Jalan menuju ujung langit jauh, kaki langit dekat, biar langit luas bukan rumahku, dalam rumah ada lima singa, tak ada jalan ke langit tak ada jalan ke bumi, jalan yang ditunjuk penggembara susah untuk dilewati." Tong Po-gou berdiri melongo, ia seperti bingung dengan pembicaraan yang sedang berlangsung, tak tahan tegurnya, "Apa yang sedang kalian bicarakan?" Thio Than tidak menggubris, kembali katanya, "Lo-ko, tolong sedikit ringan tangan dan melepaskan kami berdua." Sipir penjara itu mendelik gusar ke arah Tong Po-gou, tapi tak berani bersikap kasar terhadap Thio Than, katanya, "Aku pun sudah mendengar tentang kasusmu, tapi kami benar-benar kehabisan akal, sebab kau adalah tawanan yang ditangkap langsung oleh Cu Gwe-beng dan sedang diinterogasi Jin Lau, aku rasa susah untuk membantumu. Tapi kalau delapan sepuluh hari kemudian, mungkin urusan lebih gampang...." "Bunga merah tujuh belas kuncup," kembali Thio Than berkata, "aku adalah Lo-ngo dari bunga Tho, tolong bantulah aku, malam ini kami benar-benar ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan." "Soal ini sipir itu termenung beberapa saat, setelah melirik lagi ke arah Tong Po-gou, terusnya, "Apakah kalian harus pergi bersama-sama?"

"Kami masuk berdua, tentu saja harus keluar bersama." "Kalau hanya satu orang sih jauh lebih gampang agaknya sipir itu telah mengambil keputusan, "rasanya tak ada jalan lain kecuali minta tolong... minta tolong dia." "Dia?" "Sedih gembira berkumpul berpisah, raja mengenaskan tak melihat sang surya!" sambil mengucapkan perkataan itu, sipir itu segera beranjak pergi. Thio Than seketika berdiri termangu, sampai lama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun. "Apa-apaan dia itu?" tanya Tong Po-gou kemudian. "Tutup mulutmu!" hardik Thio Than lirih. Jarang sekali Thio Than bersikap kasar kepada orang lain, bukannya gusar, Tong Po-gou semakin keheranan, kembali tanyanya, "Jadi dia adalah seorang manusia?" Thio Than tidak menjawab, lagi-lagi dia bergumam, "Ternyata ... ternyata dia berada di sini." "Siapa?" "Ji-liang-ong (Raja mengenaskan)!" "Raja mengenaskan?" Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar pintu penjara dibuka orang, dua orang sipir penjara berjalan masuk diikuti seorang kakek yang rambutnya telah beruban, tubuhnya pendek dan kurus, seluruh otot dan kulit tubuhnya telah keriput. Begitu masuk ke dalam ruang penjara, kakek itu langsung bertanya kepada Thio Than, "Jadi kau adalah Thio-longo dari perkampungan Tho-hoa-ceng?" "Tulisan gelap ekor naga, tulisan terang kepala naga, siaute hanya angin dari sepasang harimau, mengunjuk hormat untuk awan hijau dari sepasang naga!" kata Thio Than sambil bersoja. "Langit luas bumi lebar, tak ada bedanya. Bagus, bagus sekali, jadi kau bersikeras akan pergi? Pergi berdua?" "Siapa kau?" timbrung Tong Po-gou tiba-tiba, "Raja mengenaskan?" Sekilas perasaan ngeri melintas di wajah kakek itu, sambil mundur selangkah serunya, "Kau ... kau jangan sembarangan bicara! Di sini aku tak lebih hanya seorang terpidana mati!" Lekas Thio Than menghardik, "Dia adalah pimpinan para saudara yang tak bisa melihat kebebasan, orang menyebutnya Kwik Kiu-ya," kemudian setelah meminta maaf kepada kakek itu lanjutnya, "Saudaraku tak tahu urusan, harap Kiu-ya sudi memaaafkan." "Sebetulnya aku pun bukan Kiu-ya seperti apa yang kau katakan," ujar kakek itu kemudian, "aku dari marga Kwik bernama Kiu-seng, orang persilatan memberi sebuah julukan kepadaku, mereka memanggil aku Ok-kiu-seng (si jahat sembilan bagian). Sudah dua puluh tahun aku tinggal di sini, tapi semuanya tak berubah, aku tetap melakukan segala kejahatan!" Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali Kwik Kiu-seng bertanya, "Raja mengenaskan mengutus aku untuk bertanya kepada kalian, apakah malam ini harus pergi dari sini?"

"Benar!" jawab Thio Than tegas. "Setelah keluar dari sini apakah segera akan pergi mencari So Bong-seng?" "Jika Un Ji masih berada bersama orang she So itu, tentu saja aku akan pergi mencarinya," sahut Tong Po-gou. Sementara Thio Than termenung sejenak, kemudian baru sahutnya, "Aku akan mencari Lui Tun, Lui Tun adalah putri Lui-congtongcu." "Seandainya Lui Tun tak ada di situ?" tanya kakek itu. Thio Than tertegun. "Tentunya Lui Sun tahu bukan kabar berita tentang putrinya?" ia balik bertanya. "Seandainya kau pun tak berhasil menjumpai Lui Sun?" "Tunggu sebentar," potong Tong Po-gou cepat, "kau sendiri pun tak sanggup keluar dari sini, bagaimana mungkin bisa menolong kami?" Lekas Thio Than menjawil ujung bajunya, minta dia tutup mulut. "Mungkin saja aku tak mampu sahut kakek itu tenang, "tapi Raja mengenaskan mampu, hanya saja dia minta kalian menyanggupi dulu sebuah permintaannya." Syaratnya adalah mereka disuruh mencari seorang kakek yang keempat anggota badannya seakan sudah patah di seputar wilayah Po-pan-bun, kemudian minta pada Tong Po-gou menggunakan hubungannya dengan Un Ji untuk memperkenalkan kakek itu kepada So Bong-seng, mengenai apakah So Bong-seng akan menerima orang itu sebagai pembantunya atau tidak, urusan itu sudah tidak menjadi tanggung jawab mereka lagi. Menghadapi permintaan seperti ini, tanpa berpikir panjang Tong Po-gou segera menyanggupi. Baik Thio Than maupun Tong Po-gou tak ada yang tahu apa tujuan 'Raja mengenaskan' melakukan tindakan seperti ini, karena ingin cepat-cepat keluar dari situ, mereka pun tidak berpikir lebih jauh. Menjelang meninggalkan penjara, kepala sipir sengaja berpesan agar mereka berdua jangan sekali-kali terkirim balik ke situ. Tak nyana ketika tiba di Po-pan-bun, mereka berhasil menemukan Un Ji dan Lui Tun, bahkan mendapat kabar kalau pertarungan antara perkumpulan Lak-hun-poan-tong melawan Kim-hong-siyu-lau telah berakhir, berita ini membuat mereka jadi tertegun bercampur kecewa. Mereka berdua tidak tahu peristiwa apa yang telah menimpa kedua orang gadis itu, Lui Tun tidak bicara, Un Ji pun tak berani bicara, peristiwa mengenaskan yang baru terjadi hanya mereka berdua yang tahu, penghinaan dan penderitaan batin pun hanya mereka berdua yang harus menanggung. Lekas Tong Po-gou dan Thio Than melepas jubah luar mereka untuk menutupi tubuh kedua orang gadis itu, meski tidak bertanya apa-apa, namun berbagai kecurigaan berkecamuk dalam hati. Mendengar berita tentang kematian Lui Sun, tentu saja Lui Tun merasa amat sedih. Tiba-tiba terdengar seorang pengemis kembali berkata, "Lui Sun terjun sendiri ke dalam peti mati

dan meledak tubuhnya, konon hari ini So Bong-seng sedang merayakan kemenangan mereka di bukit Thian-swan-san, markas besar Kim-hong-si-yu-lau, pesta bisa jadi diselenggarakan saat ini." Kembali Lui Tun terkesiap, dalam kekalutannya ia segera membuat analisa atas terjadinya peristiwa itu. Ketika berpaling, ia saksikan pengemis yang barusan berbicara adalah seorang pengemis tinggi besar berwajah dingin, sendi tulang kaki dan tangannya nampak lemas sekali seakan baru saja disambung tapi tidak sempurna sambungannya, dari logat bicara serta tingkah lakunya bisa disimpulkan bahwa dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali. Mendadak Thio Than teringat akan sesuatu, serunya tanpa sadar, "Jadi kau orang yang dimaksud?" "Benar aku, Raja mengenaskan menyuruh aku pergi ber¬samamu," jawab pengemis tua itu cepat. "Barusan kau mengatakan So-kongcu sedang merayakan pesta kemenangannya di markas Kimhong-si-yu-lau?" kembali Lui Tun bertanya dengan sangat hati-hati. "Benar, apakah kau hendak ke sana?" Un Ji merasakan hawa amarah bercampur sedih menghimpit perasaannya, dia tak tahu kenapa Lui Tun masih dapat menahan diri, serunya, "Aku hendak mencari Toa-suheng, akan kusuruh dia mencincang hancur tubuh ... tubuh orang itu!" "Baik, aku akan membawamu ke sana," seru Tong Po-gou sambil tertawa. "Memang paling baik begitu," pengemis tua itu menambahkan, ia berpaling ke arah Lui Tun. "Kalau begitu, baiklah," akhirnya Lui Tun setuju. Dalam perjalanan menuju ke bukit Thian-swan-san, Tong Po-gou kembali bertanya kepada Thio Than, "Sebenarnya siapa sih Ji-liang-ong itu? Kalau kau enggan memberitahu, jangan salahkan kalau aku bakal marah." "Aku sendiri pun kurang begitu tahu tentang identitas sebenarnya, hanya kudengar orang selalu melukiskan dirinya sebagai seseorang yang 'sepanjang masa tidak mengenal sinar, hidup mengenaskan di tengah kuburan', meski dia berada dalam penjara, namun sangat dihargai setiap jagoan, aku dengar dia memiliki status istimewa dalam kerajaaan ini, kecuali Kaisar sendiri yang menurunkan perintah eksekusi, tak seorang pun berani membuat kesalahan dengannya," kata Thio Than. Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Orang ini mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan kalangan dunia persilatan, ia sudah banyak membantu saudara-saudara yang terjerumus dalam penjara, oleh sebab itu hampir setiap orang menaruh tiga bagian perasaan hormat dan tujuh bagian perasaan takut kepadanya." "Ah, masakah ada manusia sehebat itu? Aku jadi ingin bertemu dengannya." Mendadak terdengar pengemis tua itu mendengus dingin. Baru saja Tong Po-gou akan mengumbar amarahnya, Thio Than segera menegur, "Memangnya kau ingin terjerumus lagi dalam kerangkeng besi? Jangan sembarangan berulah." Sepanjang perjalanan menuju markas besar Kim-hong-si-yu-lau, Un Ji yang biasanya gemar keramaian, saat itu hanya mengintil terus di sisi Lui Tun, matanya sembab, ia tak berani maju juga tak berani mendekat, apalagi mengajukan pertanyaan.

Ketika tiba di bukit Thian-swan-san, Yo Bu-shia dari Kim-hong-si-yu-lau segera memberi laporan kepada So Bong-seng yang berada di loteng hijau. "Nona Un telah kembali." Ong Siau-sik kegirangan setengah mati. Ternyata mereka telah mendapat laporan dari petugas yang dikirim Ti Hui-keng bahwa Lim Ko-ko yang bertugas menjaga keselamatan Un Ji dan Lui Tun telah terjebak siasat memancing harimau turun gunung, bukan saja para pengawal ditemukan tewas keracunan, bahkan mereka pun kehilangan jejak kedua orang gadis itu. Baru saja So Bong-seng bersiap melakukan pencarian, ternyata kini mendapat kabar kalau Un Ji telah kembali. "Hanya dia seorang yang kembali?" tanya So Bong-seng kemudian. "Ia datang bersama nona Lui, Tong Po-gou, Thio Than serta "Jadi nona Lui juga ikut datang?" tanya So Bong-seng dengan wajah berubah. "Juga ikut datang bersama mereka seorang pengemis berpakaian bersih," Yo Bu-shia melanjutkan laporannya. "Pengemis berbaju bersih?" "Aku sudah mengutus orang untuk menyelidiki asal-usulnya. Barusan datang laporan yang mengatakan bahwa Thio Than dan Tong Po-gou telah ditangkap Cu Gwe-beng dan dijebloskan ke dalam penjara langit, konon Thio Than dengan mengandalkan hubungannya dengan kalangan persilatan berhasil melarikan diri, tampaknya pengemis berbaju bersih ini merupakan orang dari alirannya." "Jadi Cu Gwe-beng yang menangkap mereka?" seru So Bong-seng agak tercengang, "mau apa dia menangkap Tong Pogou dan Thio Than?" "Menurut analisa hamba, tampaknya Cu Gwe-beng ingin memancing kedatangan orang-orang perkampungan bunga Tho serta para jago dari Tujuh penyamun ke kotaraja menjelang berlangsungnya pertempuran sengit antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong, jika situasi bertambah kalut, dialah yang akan jadi nelayan yang diuntungkan." "Bila situasi bertambah kalut, otomatis situasi semakin tidak menguntungkan dia sebagai pejabat tinggi kantor kejaksaan, apa manfaat yang bisa dia raih?" tanya Ong Siau-sik keheranan. Kembali Yo Bu-shia tertawa. "Banyak sekali manfaatnya, pertama, dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk memasukkan laporan ke pihak kerajaan dan minta diijinkan untuk menumpas kekuatan perkampungan bunga Tho serta tujuh penyamun, kedua, dengan lenyapnya Tong Po-gou dan Thio Than, maka kejadian ini bisa menciptakan kesalah-pahaman antara Lui Tun dan Un Ji, buntutnya akan semakin mengobarkan rasa dendam Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, ketiga, jika dia melakukan hal ini karena permintaan orang lain, atau ada kekuatan ketiga yang sedang mendekam sambil menunggu peluang, maka tindakannya ini ibarat menonton harimau berkelahi dari bukit seberang sambil menyulut api membakar gunung." "Kekuatan ketiga? Maksudmu Kwan Jit?" tanya Ong Siau-sik.

"Perkumpulan Mi-thian-jit-seng milik Kwan Jit sudah hancur berantakan, kekuatan mereka sudah tak perlu dikuatirkan lagi." "Aku rasa kekuatan mereka tak boleh dianggap enteng," So Bong-seng segera menimpali. Diam-diam Yo Bu-shia terkesiap. "Baik!" sahutnya. Selamanya tak pernah memandang enteng kekuatan lawan merupakan kelebihan dari So Bongseng, sekalipun Yo Bu-shia selalu berpikir panjang dan pandai mengatur strategi, namun dalam hal ilmu silat serta kemampuan menggunakan orang, dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan So Bong-seng. "Toako, apakah kita perlu turun ke bawah?" tanya Ong Siau-sik sambil menunjukkan pengharapan. Loteng warna hijau merupakan tempat tinggal para pentolan Kim-hong-si-yu-lau, ketika So Bongseng berhasil memaksa Lui Sun dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong melakukan bunuh diri kemudian menguasai seluruh keadaan, racun jahat yang kambuh dalam tubuhnya nyaris membuatnya tak kuasa menahan diri, andaikata tidak segera ditolong Pek Jau-hui dan Ong Siausik. Setelah kembali ke puncak loteng hijau, secara rahasia dia mengundang tabib Su-tayhu untuk melakukan pemeriksaan atas lukanya itu, menurut tabib sakti ini,'hawa racun sudah merasuk naik ke atas, sekalipun berhasil mengendalikan daya kerja racun itu hingga tidak kambuh lagi, bukan berarti bisa mencegah menjalarnya hawa racun itu ke seluruh badan. Maka dia pun menutup diri sambil berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk menghambat menjalarnya hawa racun itu, dia berharap masih ada lima puluh persen kesempatan untuk mempertahankan hidupnya, sekalipun dia sadar, bila ingin membersihkan racun dari tubuhnya, kecuali dia mengamputasi kaki kirinya itu. Menyadari akan kritisnya keadaan, secara terus terang tabib Su-tayhu membeberkan keadaan itu kepada So Bong-seng. Dia tahu, So Bong-seng adalah seseorang yang teguh pendiriannya dan kuat imannya. Selesai mendengar penjelasan itu, sambil tertawa getir ujar So Bong-seng, "Sekarang kau pasti tahu bukan, apa sebabnya akhir-akhir ini aku berusaha menghimpun jago muda sebanyak mungkin?" "Karena kau hendak melangsungkan pertarungan habis-habisan melawan perkumpulan Lak-hunpoan-tong," jawab Su-tayhu. "Kau hanya menebak benar setengahnya. Setelah mendirikan Kim-hong-si-yu-lau, aku berharap bisa menemukan penerus yang baik dan bisa diandalkan, karena itu aku ingin lekas membasmi perkumpulan Lak-hun-poan-tong, sebab aku tak ingin suatu saat setelah aku tak ada di sini, Kimhong-si-yu-lau berhasil dihancurkan oleh Lak-hun-poan-tong, aku pun ingin sete¬lah kematianku, kekuatan Kim-hong-si-yu-lau tidak berantakan dan tercerai-berai." Setelah menggeleng kepala berulang kali, sambil tertawa getir lanjutnya, "Bila kau telah mendirikan sesuatu kekuatan, maka kau harus punya orang yang mampu melindungi kekuatan itu sepanjang masa, kalau kau tak pandai menghargainya, maka kekuatan itu akan menjadi barang

antik, sama sekali tak ada artinya. Yang aku takuti bukan berhasil dilampaui orang, tapi aku takut tak ada orang yang mau berusaha melampaui yang lain." "Benar," pancaran sinar kagum mencorong dari balik mata Su-tayhu. Setelah tertawa kembali So Bong-seng melanjutkan, ''Padahal kau tak perlu sengaja menjawab salah, aku tahu, kau sama seperti Bu-shia, merupakan orang-orang cerdas, sayang kalian tidak memiliki semangat untuk mendirikan, tak punya karisma untuk menjadi pewaris, aku hanya berharap di kemudian hari kalian masih bersedia untuk membantu bakal pewarisku itu." "Tapi kau hanya butuh waktu untuk beristirahat, asal cukup beristirahat maka "Coba lihatlah sendiri, dalam keadaan dan situasi seperti ini, mungkinkah bagiku untuk beristirahat?' tukas So Bong-seng tertawa. "Tapi masa depan perkumpulan Lak-hun-poan-tong toh sudah habis." "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong belum punah, apa yang terjadi hanya kekalahan Lui Sun secara pribadi, bila aku harus beristirahat lama di tempat ini, maka banyak kesempatan emas akan terbuang dengan percuma," kata So Bong-seng serius, "sisa kekuatan yang dimiliki perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih cukup menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup perkumpulan kita, belum lagi munculnya musuh-musuh baru yang berusaha memanfaatkan peluang ini. Aku harus sedia payung sebelum hujan, kalau tidak, mungkin kitalah yang akan jadi kambing korban, jika sampai terjadi begitu, menyesal sudah tak ada gunanya lagi." "Tapi paling tidak kau harus istirahat malam ini tukas Su-tayhu menegaskan. "Keberhasilan kita mengalahkan Lui Sun merupakan jasa semua orang, malam ini aku wajib menyelenggarakan pesta kesuksesan untuk mereka semua, bila aku tak hadir dalam pesta ini, orang akan menganggap kita hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain, kemungkinan besar hal ini akan menggoyahkan perasaan loyal mereka pada partai. Banyak orang beranggapan mengadakan pesta itu sama sekali tak berguna, padahal manfaat yang dihasilkan dari pesta perayaaan semacam ini seringkah tak berwujud dan tak bisa diraba oleh orang lain." "Tapi kalau malam ini kau tidak berusaha melakukan pengobatan, kakimu itu mungkin tak bisa dipertahankan lagi," kata Su-tayhu dengan suara keras. "Sekalipun begitu, bila aku tidak hadir dalam pesta perayaan malam nanti, hasil kemenangan yang telah kita peroleh pun tak bisa bertahan lama," ujar So Bong-seng sambil tertawa ewa, "lebih baik persoalan ini kita bicarakan lagi lain waktu, bagaimana pun malam ini aku harus berperan dalam pesta perayaan ini." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagaimana pun sudah begitu banyak hujan badai yang kita lalui, apa salahnya sekali lagi menyerempet bahaya." Lalu sambil minta Su-tayhu memayangnya turun dari loteng, kembali katanya sambil tertawa menyindir, "Batok kepala yang begini besar, siapa yang berani memenggalnya? Akan kulihat pada akhirnya batok kepala siapa yang lebih keras dan golok siapa lebih tajam?" Perkataan semacam ini sama sekali tidak mirip perkataan yang diucapkan seseorang yang telah seratus persen berhasil meraih kemenangan mutlak. Tadi Ong Siau-sik mengajukan pertanyaan itu karena dia pun mengerti ilmu pengobatan, dia dapat melihat So Bong-seng seharusnya sudah tidak bersikukuh lagi dengan pendiriannya. Sambil tertawa ewa kembali So Bong-seng berkata, "Kecuali To Lam-sin yang tak bisa hadir karena mendapat perintah mendadak untuk melakukan pengamanan di kotaraja, semua saudara yang

ikut berjasa dalam pertarungan pagi tadi akan hadir di sini, mana boleh aku tidak menghormati mereka dengan secawan arak?" "Arak bisa diminum perlahan-lahan," ujar Ong Siau-sik. "Arak harus diminum selagi panas." "Asal darah masih tetap panas, peduli amat arak masih panas atau tidak?" "Kalau toh semua saudara yang hadir merupakan saudara-saudaraku yang berdarah panas, mana boleh aku tidak menunjukkan perasaanku yang hangat?" Sementara Ong Siau-sik ingin bicara lagi, tiba-tiba Pek Jau-hui menukas, "Bila Toako memang ingin pergi, biarkan ia menghadiri! Bagaimanapun kita mencegah, rasanya tak ada yang bisa menghalangi niatnya lagi." "Maksudmu ......" "Dalam sebuah kehidupan, terkadang ada sementara perjamuan yang harus dihadiri. Yang jelas, kita pun sebentar lagi harus menghadapi seseorang." "Maksudmu ... nona Lui?" "Kita telah memaksa mati ayahnya tapi kini ia turut hadir di sini, bukankah kejadian ini akan membuat suasana jadi serba rikuh?" kata Pek Jau-hui, "dalam perjamuan di loteng merah hari ini, siapa yang akan bertanggung jawab soal keamanan?" "Mo Pak-sin beserta pasukan Bo-hoat-bo-thian," jawab Yo Bu-shia penuh percaya diri, "selama mereka yang melakukan penjaaan, aku rasa Kim-hong-si-yu-lau ibarat sebuah ruang baja yang tak mungkin bisa ditembus apa pun." Saat itulah Mo Pak-sin telah mengutus orang untuk memberi laporan, Pui Ing-gan, Liong-pat Tayya serta Cu Gwe-beng telah mengutus orang untuk mengantar kado selamat. Kado yang tak ternilai harganya! Namun mereka sendiri tidak ikut hadir, hanya kado ucapannya yang dikirim datang. Kado ucapan selamat dari Pui Ing-gan adalah sepasang tirai dengan ukiran yang sangat indah. Konon tirai itu adalah tirai kemala dengan ukiran naga emas yang pernah dipasang dalam markas besar Congpiau Pacu dari tujuh puluh dua aliran sungai, Tay Thian-ong. Kado yang dikirim Pui Ing-gan adalah sebuah tirai Te-sang-thian-ong (raja langit di atas bumi). Maksud tujuan di balik pemberian itu sangat jelas. Orang yang mendapat tugas untuk mengirim kado itu adalah seorang pemuda yang amat ramping dan tampan. Sementara kado yang dikirim Cu Gwe-beng konon berupa seorang gadis yang cantik jelita, gadis itu duduk dalam tandu dan langsung diantar masuk sampai ruang utama. Kado pemberiannya ini sangat menggelikan. Mungkin Cu Gwe-beng telah menganggap kegemarannya sama seperti apa yang menjadi kegemaran So Bong-seng.

Liong Pat Tayya merupakan orang paling top di sisi perdana menteri, hadiah yang dia kirim sangat menggetarkan perasaan semua orang. Ternyata yang dikirim adalah sepasang peti mati. Peti mati itu sangat istimewa, bentuk, ukuran maupun bahannya sama persis seperti peti mati milik ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong Lui Sun, hanya bedanya, peti mati yang diledakkan Lui Sun berwarna hitam pekat, sementara peti mati ini berwarna putih berkilat. Peti mati dari kayu putih! Pesan yang dititipkan Liong Pat untuk disampaikan pun cukup unik, "Sebenarnya kau hanya mempunyai sebuah loteng, sekarang, peti mati yang seharusnya untuk Lui Sun pun menjadi milikmu". Perkataan itu jelas mengartikan bahwa, "Mulai saat ini, seluruh wilayah kota di seputar istana Kaisar sudah menjadi milik So Bong-seng seorang. Tak akan ada orang mengirim sepasang peti mati sebagai kado ucapan. Tapi Liong Pat mampu melakukannya. Karena So Bong-seng pernah bergurau dengannya, "Bila suatu hari aku berhasil mengalahkan Lui Sun, tolong peti mati yang seharusnya menjadi bagiannya sekalian dikirim ke tempatku sebagai kado". Peti mati milik Lui Sun sudah meledak dan hancur berentakan bersama tubuhnya. Oleh sebab itu Liong Pat menitahkan orang untuk mengirim seperangkat peti mati baru ke situ. ooOOoo 62 . Se mua nya ama n Perjamuan masih berlangsung. Tamu agung yang hadir tidak terhitung banyak, tapi semuanya termasuk manusia luar biasa. Mereka semua terdiri dari para Hohan yang bermukim di sekitar kotaraja, ada pula yang merupakan tokoh dunia persilatan dari berbagai partai dan perguruan, di antaranya ada yang semula mendukung perkumpulan Lak-hun-poan-tong, ada pula yang sejak awal sudah mendukung Kim-hong-si-yu-lau, tapi malam ini mereka semua hadir dalam ruang perjamuan yang sama, menanti dimulainya era baru. Seratus enam puluhan orang, ada yang berilmu tangguh, ada yang canggih mengatur strategi, ada yang pandai berdagang, ada yang ampuh mengatur organisasi gelap, mereka semua memiliki kelebihan masing-masing, sudah terbiasa dengan gejolak dunia persilatan, pandai menyesuaikan diri dengan arah angin. Kemana angin berhembus, mereka pun akan berlayar mengikuti arus. Manusia semacam ini tak mungkin bisa menciptakan pekerjaan besar, tapi bila kau ingin menguasai seluruh keadaan, maka tak bisa tidak sangat membutuhkan manusia, semacam ini.

Kalau tadinya seluruh perdagangan gelap ada tiga bagian dikuasai perkumpulan Lak-hun-poantong, maka sekarang Kim-hong-si-yu-lau telah menguasai seluruhnya. Hanya dalam dua hari, seluruh kekuasaan di seputar wilayah kotaraja telah jatuh ke tangan So Bong-seng, bukan saja ia berhasil menumpas kekuatan perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan perkumpulan Mi-thian-jit-seng, bahkan posisi Kim-hong-si-yu-lau saat ini telah mencapai tingkatan paling tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Justru karena sebagian besar orang adalah manusia jenis begini, pertama, untuk melindungi keselamatan diri, kedua, berusaha memanfaatkan kesempatan untuk mencari peluang, maka tak heran kalau begitu Kim-hong-si-yu-lau menyelenggarakan pesta perayaan, mereka pun berduyunduyun datang menghadirinya. Ketika So Bong-seng berjalan masuk ke gedung utama Hui-thian-tong dalam loteng merah, serentak para jago bangkit berdiri untuk menghormatinya. Bisa memperoleh penghormatan dari sekian banyak jago, bahkan disertai perasaan kagum dan takut, boleh dibilang keadaan itu merupakan satu kebanggaan tersendiri bagi So Bong-seng. Ketika So Bong-seng melangkah masuk ke dalam ruangan, dia dikawal Pek Jau-hui di sebelah kiri dan Ong Siau-sik di sebelah kanan. Sebagai komandan keamanan malam ini adalah Mo Pak-sin, begitu melihat So Bong-seng muncul diserambi samping, ia segera berjalan mendekat sambil melapor, "Injakan salju tanpa bekas!" Maksud dari perkataan itu adalah semuanya aman! So Bong-seng manggut-manggut. Padahal saat itu dia sedang merasakan gejolak hawa darah yang amat kuat, bila hawa murni dibuyarkan, besar kemungkinan dia akan muntah darah. Sambil mengertak gigi menahan diri, dia berusaha tampil lebih bersemangat. Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui yang menyaksikan hal itu saling berpandangan sekejap, rasa kuatir melintas di wajah mereka berdua. Ti Hui-keng tidak ikut hadir dalam pesta perjamuan ini. Saat ini perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang mengalami situasi yang kacau dan kritis, dia perlu tetap berada di markas besarnya untuk menenteramkan perasaan anak buahnya. Terlebih bukan pekerjaaan yang gampang untuk membujuk dan mengajak sekawanan jago yang setia kepada Lui Sun untuk berganti haluan, bila ditangani kurang bijak, besar kemungkinan nyawa sebagai taruhan. Untuk menyelesaikan persoalan pelik ini, So Bong-seng mengambil sikap menyingkir ke samping, biar orang lain menyelesaikan sendiri urusan rumah tangganya. Tio Thiat-leng muncul juga dalam pesta perayaan ini. Tentu saja dia adalah Si Say-sin.. Oleh karena To Lam-sin telah dipanggil pulang untuk mengamankan situasi keamanan di ibukota, maka dia merasa wajib untuk ikut hadir dalam pesta kali ini. Si Say-sin muncul dengan membawa dua orang, yang satu adalah Ciu Kak sementara yang lain adalah Lui Kiau, mereka datang mewakili Ti Hui-keng. Sangat jelas terlihat, dengan mengutus kedua orang jenderalnya untuk turut hadir dalam perjamuan ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong mengibaratkan mereka sebagai negara yang

ditaklukkan telah mengirim jenderalnya untuk menyatakan kesetiaan mereka pada negara penakluk. Tindakan itu bukan saja mencerminkan posisi mereka yang lemah, pada hakikatnya telah menyatakan sikap menyerah. Sekalipun begitu, So Bong-seng juga mengetahui kalau yang datang hanya Ciu Kak serta Lui Kiau. Ciu Kak dan Lui Kiau dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong hanya menempati bangku nomor tujuh dan empat belas. Kecuali Lui Heng yang sudah tewas di tangan Kwik Tang-sin, Lui Tong-thian yang menempati bangku nomor tiga serta Lui Moay yang menempati bangku keempat sama sekali tak nampak batang hidungnya. Atau dengan perkataan lain, Ti Hui-keng belum berhasil menguasai seluruh keadaan. Begitu melihat kemunculan So Bong-seng, Lui Kiau segera berseru dengan suara nyaring, "Kami mewakili perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Ti-toatongcu menyampaikan ucapan selamat kepada Kim-hong-si-yu-lau dan So-kongcu karena berhasil mempersatukan golongan putih serta golongan hitam dan me¬mimpin dunia persilatan." Orang yang telah menyerah, bila ingin mempertahankan kehidupan sendiri, mereka harus secepatnya menyatakan kesetiaan sampai mati kepada penguasa baru, harus menyatakan penyesalannya atas perbuatan mereka yang lampau. Pihak yang telah melepaskan usahanya untuk melawan tidak boleh mempunyai harga diri, yang bisa mereka lakukan hanya memohon belas kasihan lawan agar mau mengampuni jiwa mereka. Terkadang sekalipun telah merendahkan diri juga belum tentu permintaan akan terkabulkan. Ketika menyerahkan gagang golok ke tangan orang lain, apakah bisa mempertahankan keutuhan tubuh atau tidak, keputusan berada dalam pikiran orang lain, sama sekali bukan diri sendiri yang memutuskan. Inilah yang disebut untuk menciptakan hidup, lebih baik mati. Tapi ada sementara orang yang rela melanjutkan hidupnya dalam situasi seperti ini, oleh sebab itu apa yang diucapkan Lui Kiau sebenarnya hanya merupakan pernyataan sikap pribadi. Begitu ia berkata, pemuda yang diutus Pui Ing-gan ikut berbicara pula, "Pui-kongcu mengutus Cayhe untuk menyampaikan selamat kepada Kongcu, semoga masa depan bertambah cemerlang, panjang usia dan sehat selalu." So Bong-seng memperhatikan sekejap wajah pemuda ini, dia merasa orang itu memancarkan daya tarik yang aneh dari pancaran sinar mukanya, belum sempat menjawab sesuatu, terdengar kawanan jago lain telah saling berebut menyampaikan ucapan selamatnya, untuk sesaat dia jadi repot menanggapinya. Dalam suasana beginilah diam-diam Pek Jau-hui berbisik kepada Ong Siau-sik, "Bagaimana menurut pendapatmu?" "Aku ikut gembira menyaksikan kesuksesan Toako."

"Kemarin dia masih merupakan naga yang bersembunyi di balik sawah, tapi hari ini sang naga telah terbang ke angkasa. Naga memang tetap naga, dalam kenyataan dia memang seekor naga yang hebat," Pek Jau-hui membenarkan, "dia adalah Eng-hiong, seorang Hohan, tapi tanpa dukungan orang-orang macam kita yang rela mewakilinya menderita luka, mungkin sampai hari inipun dia masih merupakan naga tersembunyi yang tak berguna. Oleh sebab itu daripada menganggap orang adalah seorang pahlawan, mending menganggap diri sendiri sebagai seorang Enghiong." "Hidup sebagai manusia, masing-masing orang sudah memiliki bagiannya sendiri, punya peluang yang berbeda, siapa yang mampu memaksakan kehendak?" bantah Ong Siau-sik, "jika setiap orang ingin jadi Enghiong, lalu ada beberapa banyak Enghiong di dunia ini? Benar, orang gagah menjual nyawa demi seorang pemimpin, tapi bukankah banyak Hohan, pejuang, para patriot bersedia berkorban demi pemimpinnya? Justru karena mereka bersedia mengorbankan diri, maka perjuangan dan pengorbanan semua orang baru bisa mewujudkan sebuah karya, kesuksesan. Lagi pula, siapa sih di antara kita yang bukan seorang Enghiong, bedanya kehidupan setiap orang ada batasnya, ada bagiannya sendiri, tidak semua cita-cita bisa terwujud se¬bagaimana yang diinginkan." Setelah tertawa sejenak, kembali terusnya, "Bisa jadi kau adalah seorang Enghiong sementara aku bukan, mungkin karena aku bukan Enghiong, maka aku hanya bisa membantu seorang Enghiong menjadi Enghiong sungguhan." Dengan mata melotot Pek Jau-hui mengawasi rekannya beberapa saat, setelah itu ba.ru ujarnya, "Bisa memahami kehidupan berarti kau cerdas, bisa menyelami diri sendiri berarti kau bijaksana, bisa memilah dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, kau benar-benar seorang manusia luar biasa. Tapi hidup sebagai manusia, mengapa harus menyelami diri sendiri, kenapa harus melihat masa depanmu terlalu jauh? Sekalipun nama, kedudukan dan kekayaan bagai awan di angkasa, tapi bukankah hal itu yang dicari manusia dalam hidupnya? Apa salah jika kita menggunakan kesempatan yang ada untuk kepentingan sendiri? Di samping itu, kenapa ada sementara orang sejak lahir sudah kaya raya, sementara kita hanya seorang manusia biasa? Manusia yang mesti berjuang mati-matian hanya untuk sesuap nasi? Apa salah jika aku memanfaatkan setiap peluang untuk memperbaiki nasib sendiri?" "Punya cita-cita tinggi memang baik, tapi janganlah memaksakan kehendak demi meraih cita-cita itu, tak usah terburu napsu, sebab bila dipaksakan maka lebih banyak sengsaranya ketimbang enaknya, lebih banyak gagalnya daripada berhasil." "Aku tak peduli mau sengsara atau berhasil, manusia hidup wajib mencari kesenangan dan kepuasan diri sendiri," tukas Pek Jau-hui kemudian sambil menggendong tangan. "Jika demikian jalan pikiranmu, lalu apa bedanya kau dengan kaum perampok?" "Padahal apa pula arti dari perbedaan? Perampok juga manusia, Enghiong pun manusia. Hidup sebagai Enghiong juga hanya menjalankan kehidupan, jadi perampok pun tetap menjalankan kehidupan, dia mau baik atau jahat, mau bijaksana atau bertindak semena-mena, pada akhirnya semua akan berakhir dengan kematian. Kau boleh saja mengatakan siapa menanam kebaikan akan menuai kebaikan, siapa menanam kejahatan akan menuai kesengsaraan, mati masuk neraka. Hehehe ... aku mau bertanya, siapa sih yang pernah melihat orang jahat yang mati diceburkan ke dalam neraka?" Tampaknya Ong Siau-sik dibuat terperanjat oleh sikap Pek Jau-hui yang aneh itu, sesaat ia terbungkam, kemudian baru katanya, "Kalau toh kau tahu bahwa kehidupan manusia bagai panggung sandiwara, lalu buat apa kau memaksakan kehendak? Bukankah jauh lebih nyaman dan bahagia kita hidup bebas merdeka, tak ada ikatan tak ada yang dipikirkan, menganggap empat samudra lima telaga sebagai rumah sendiri?"

"Seorang lelaki tak boleh hidup tanpa kekuasaan, jika kau berhasil meraih kekuasaan, maka akan kau rasakan apa yang dimaksud sebagai hidup bahagia. Bila kau kehilangan kekuasaan maka itulah tragedi bagimu, menang jadi raja kalah jadi perampok, coba lihatlah bagaimana nasib tragis yang dialami Lui Sun sekarang," kata Pek Jau-hui lagi, "justru karena kehidupan akan lewat bagaikan awan di angkasa, apa salahnya jika kita berbuat menuruti suara hati sendiri? Jika manusia sudah mati, mau bernama harum atau bernama busuk, siapa peduli? Memangnya orang mati bisa turut merasakan?" "Kalau memang seratus tahun hanya berlangsung sekejap, kenapa tidak kau isi waktu yang sekejap itu dengan perbuatan baik dan mulia?" "Justru karena kehidupan hanya berlangsung sekejap, kita harus mengisinya dengan sebuah kesuksesan, kesuksesan yang bisa memberi kegembiraan dan kebahagiaan terbesar dalam kehidupanmu." "Tapi..." Belum sempat Ong Siau-sik meneruskan perkataannya, mendadak ia saksikan Tong Po-gou, Thio Than, Un Ji, Lui Tun dan seorang pengemis tua berjalan masuk ke dalam ruangan. Begitu menyaksikan kehadiran orang-orang itu, dengan penuh kegembiraan Ong Siau-sik maju menyongsong, tegurnya, "Ternyata kalian pun telah datang, semua orang sedang mengu-atirkan keselamatan kalian." Sepasang mata Un Ji segera memerah, nyaris air matanya kembali meleleh, belum lagi bicara, terdengar Thio Than telah bertanya sambil menghela napas panjang, "Kalian sedang menyelenggarakan pesta kemenangan?" Ong Siau-sik melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawab. Terdengar Thio Than berkata lagi, "Kalian menang perang maka menyelenggarakan pesta kemenangan, lalu mereka yang kalah harus menyelenggarakan pesta apa?" Mendadak sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Lui Tun. Senyuman itu nampak begitu cantik, membuat hati semua orang bergetar keras. Tak ada orang yang paham apa arti senyuman itu, karena saat itu terdengar So Bong-seng sedang melanjutkan perkataannya, "... dalam suasana pesta yang penuh kegembiraan, apakah permainan semacam ini tidak merusak pemandangan?" Sambil tersenyum ia berjalan menghampiri peti mati itu. "Tapi peti mati ini adalah hadiah dari Pat-tayya" ujar Mo Pak-sin. "Aku mengerti maksudnya," ujar So Bong-seng sambil meraba ukiran indah di atas peti mati itu, "dengan kekalahan dan tewasnya Lui Sun berarti semua kekuasaan dan posisinya sudah menjadi milikku, bila aku yang kalah maka aku pun membutuhkan sebuah peti mati. Tampaknya peti mati yang dikirim Pat-tayya memang mengandung maksud yang mendalam." Dia jarang tertawa, tapi kini dia menampilkan terus senyumannya yang dingin. Sambil berjalan mendekati tirai dengan ukiran indah itu kembali ujarnya, "Tirai yang dihadiahkan Pui-hoya pun sangat berarti, orang bilang pohon besar bisa digunakan untuk berteduh, tirai inipun bisa dipakai untuk menahan angin. Jadi seandainya orang-orang perkumpulan kami membikin orang kecewa, mereka bisa menggunakan tirai ini untuk menyembunyikan diri dari perasaan malu." Ketika berjalan menghampiri tandu yang dikirim Cu Gwe-beng, dia hanya memandangnya sekejap tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pada saat itulah mendadak terlihat seseorang berjalan masuk dengan langkah tergopoh-gopoh, dia tak lain adalah Yo Bu-shia. Selama hidup jarang sekali Yo Bu-shia berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh. Kini dia muncul dengan tergesa-gesa, tampaknya suatu kejadian yang gawat telah berlangsung. "Lui Tong-thian dengan membawa anak buah dari lima cabang telah menyerbu masuk ke Kimhong-si-yu-lau!" Berubah paras muka semua orang setelah mendengar perkataan itu. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdiri dari tiga belas cabang, tapi kini ada lima cabang yang melunak datang, hal ini menunjukkan bahwa mereka tak berhasil dikendalikan Ti Hui¬keng. Kecuali Lui Sun dan Ti Hui-keng, Lui Tong-thian merupa kan tokoh paling tangguh di dalam perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lui Tong-thian merupakan pembela setia dari Lui Sun. Tampaknya Lui Tong-thian memang tak mau tunduk di bawah perintah Ti Hui-keng. Paras muka So Bong-seng sama sekali tak berubah, katanya tenang, "Bagus sekali kedatangannya, apakah dia berhasil melewati barisan yang dibentuk pasukan Bo-hoat-bo-thian?" Yo Bu-shia segera berjalan mendekat, bisiknya, "Kedatangan mereka terlampau cepat, aku rasa Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau sekalian gagal membendung serbuannya Mendadak terdengar kegaduhan di luar gedung disusul suara pertarungan yang bergema dari empat penjuru. "Lui Tong-thian telah datang!" tiba-tiba ada orang berteriak. Menyusul teriakan itu, seseorang berlarian masuk ke dalam ruangan, dia adalah seorang lelaki kurus yang seluruh tubuhnya berlepotan darah, sebilah golok baja tergenggam di tangannya. Dalam ruang gedung hadir seratusan orang tamu yang rata-rata merupakan para jago dari berbagai aliran, tapi lelaki kurus itu langsung menerjang masuk ke dalam ruangan, seolah sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap para tamu yang hadir. Biarpun di tubuhnya terdapat tujuh delapan buah luka, darah pun masih mengalir keluar dari lukanya, namun dari sikapnya yang masih segar dan gagah, seolah luka itu bukan miliknya tapi milik orang lain, darah pun seakan darah milik orang yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya. Sorot matanya masih tetap dingin dan tenang. Sikapnya juga sangat tenang. Tapi semua orang dapat menyaksikan amarah dan rasa dendamnya yang amat meluap, dia seakan tak ambil peduli dengan keselamatan sendiri, dia seperti ingin menggunakan darah untuk mencuci bersih dendam kesumatnya.

SO Bong-seng segera menyongsong kedatangannya sambil berkata, "Bagus, kau Dia sama sekali tidak memperhatikan orang itu, tidak memandang ke arah LUI Tong-thian, sorot matanya DIALAHKAN KE wajah Lui Tun, bahkan seakan terpana menyaksikan senyuman manis yang tersungging di ujung bibir gadis itu. Tiba-tiba suara bentakan nyaring bergema memecah keheningan, cahaya golok berkelebat dari balik bajunya. Dengan sekali tebasan, peti mati yang berada di hadapannya telah terbelah jadi dua. Menyusul tebasan itu tampak cahaya darah menyembur keluar, terdengar orang yang berada dalam peti mati itu mendengus tertahan, rubuhnya terbelah jadi dua. Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah SU Bu-kui. Lui Tun menjerit kaget. ooOOoo 63 . Ketika golok

dalam ge nggaman , ma nus ia pun kalap

Ternyata orang yang berada dalam peti mati adalah Su Bu-kui, bukan saja semua orang terperanjat, Lui Tun pun merasa terkesiap. Gadis ini tidak menyangka kalau So Bong-seng begitu cepat dapat mengendalikan serangannya, begitu cepat dapat menyadari akan kesalahannya. Dia terlebih tak menyangka kalau orang yang berada dalam peti mati bukan ayahnya! Sepasang mata So Bong-seng telah berubah jadi merah, tangannya yang selalu mantap kini mulai gemetar keras, tubuhnya terlihat mulai gontai tak stabil, namun gerak serangannya tetap cepat bagaikan sambaran kilat. Dengan cepat dia menotok bebas jalan darah Su Bu-kui yang tertotok. Namun tubuh bagian bawah Su Bu-kui sudah terbelah jadi dua. Tampak ia menghembuskan napas panjang, katanya lirih, "Kejadian ini bukan kesalahanmu, balaskan dendam sakit hatiku........" Pada saat itulah pintu angin mendadak hancur berantakan, sesosok bayangan manusia dengan kecepatan tinggi meluncur masuk ke dalam, suasana dalam ruangan seketika hening. Dengan tangan kanannya orang itu mencengkeram tujuh jalan darah penting di punggung So Bong-seng, jari tangannya menyodok, menari bagai lidah seekor ular. Dengan satu gerakan cepat So Bong-seng membalikkan tubuhnya, cahaya golok bagai bunga salju beterbangan. Orang itu mendengus dingin, dia menggerakkan tangannya mencengkeram golok Ang-siu-to yang digenggam So Bong-seng, dia hanya mencengkeram tangan yang menggenggam golok, kini yang terlihat hanya tinggal jari tengah dan ibu jarinya, sebuah cincin zamrud berwarna hijau kecubung terlilit di jari tangannya. Tak seorang pun di kolong langit yang sanggup mencengkeram golok So Bong-seng dalam sekali gebrakan, terkecuali orang ini.

Barang siapa berani mencengkeram golok mestika itu dengan tangan telanjang, kalau bukan lengannya akan kutung, paling tidak jari tangannya akan terpenggal. Tapi orang itu hanya memiliki dua buah jari tangan. Biarpun hanya tinggal dua buah jari tangan, namun kehebatannya justru jauh lebih menakutkan daripada lima jari utuh, lebih sulit untuk dihadapi daripada jari tangan sempurna. Begitu mencengkeram golok lawan, menyongsong kedatangan So Bong-seng, orang itu membentak keras dengan suaranya yang menggelegar bagaikan guntur, "Ling-peng-to-ci-kia-tin-liat-cay-cian! (menghadapi serbuan pasukan, membelah barisan depan)." Tampaknya wajah So Bong-seng segera akan terhajar oleh pukulan dahsyat itu. Bentakan yang menggelegar tadi bagaikan sebuah mantera, seperti sebatang jarum yang menusuk ke hulu hatinya, membuat semua penyakit tersembunyi yang ada di tubuhnya terpancing keluar So Bong-seng segera melepaskan goloknya. Bagi kawanan jago golok, biasanya golok ada manusia hidup, golok lenyap manusia mati. Tapi beda dengan So Bong-seng, baginya golok adalah golok, jika kehilangan nyawa, apa gunanya sebilah golok? Ketika golok membabat ke bawah, benar adalah benar, salah adalah salah. Setelah golok itu membabat, yang terpisah paling hanya batok kepala. Sayang dia telah salah membacok. Dia telah membacok mati saudara sendiri. Dia salah tafsir, disangkanya orang yang bersembunyi di dalam peti mati adalah musuh. Pukulan batin yang amat berat ini dirasakan jauh lebih parah ketimbang luka parah. Kemunculan Lui Sun yang tiba-tiba sama sekali tidak membuatnya tercengang, akan tetapi tenaga serangan yang terwujud dari jari tangan Lui Sun yang patah justru membuat perasaan hatinya tercekat. Dia terpaksa membuang goloknya sambil mundur dengan cepat, yang dia harapkan sekarang hanya ada peluang untuk berganti napas. Bila dapat berganti napas, berarti.dia dapat melanjutkan serangan balasan. Di belakangnya berdiri seseorang, Si Say-sin. Bagaikan seorang prajurit berlapis baja Si Say-sin siap menyongsong kedatangan Lui Sun, tapi Mo Pak-sin sudah membalikkan tangannya secara tiba-tiba, dari ujung payungnya yang juga berwarna hitam tiba-tiba melejit keluar sebilah senjata yang amat tajam, langsung menghujam ke jalan darah Bing-bun-hiat di punggung Si Say-sin, di sanalah letak satu-satunya titik kelemahan ilmu baju baja Thiat-poh-san milik Si Say-sin. So Bong-seng adalah seorang pemimpin yang selama hidup tak pernah mencurigai saudara sendiri. Itulah sebabnya dia bisa mendahului Lui Sun dengan menggaet Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui berpihak kepadanya, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Kim-hong-si-yu-lau berhasil meraih kemenangan gemilang dalam pertarungannya belakangan ini. Tapi sayang, sehebat apa pun seorang pimpinan, terkadang dia melakukan juga kesalahan. Tidak terkecuali So Bong-seng.

Dia telah menempatkan anak buah kepercayaannya, Si Say-sin dalam barisan musuh, sebaliknya pihak lawan pun melakukan hal yang sama, menyusupkan anak buah kepercayaannya ke dalam Kim-hong-si-yu-lau. Pertama kali terjadi sewaktu ada di Ku-sui-poh, walaupun saat itu dia berhasil menghabisi nyawa si Barang antik dan Hoa Bu-ciok, namun yang lebih penting lagi dia belum berhasil mem¬bongkar siapa musuh dalam selimut yang sesungguhnya. Dan sekarang dia sudah tahu, ternyata pengkhianat itu adalah Mo Pak-sin. Baru saja Mo Pak-sin berhasil membunuh lawannya, pemuda yang datang mengantar kado tirai itupun sudah ikut turun tangan. Tangannya digetarkan, pedang pun telah dicabut keluar. Padahal pedang yang sebenarnya masih berada di pinggang, dalam genggamannya sama sekali tak berpedang. Sekalipun jelas tangannya tak berpedang, namun dengan satu kali ayunan ia telah melancarkan tujuh delapan jurus serangan pedang, memaksa Yo Bu-shia yang berusaha maju menolong seketika terdesak mundur lagi. Saat itu rambut Yo Bu-shia yang panjang telah terurai tak keruan, keadaannya sangat mengenaskan, dengan penuh amarah bentaknya, "Lui Moay Pemuda tampan itu tertawa merdu, semerdu suara keleningan kecil. Tak selang beberapa saat kemudian, paling tidak ada separuh tamu yang berada dalam ruangan itu telah melolos senjatanya, sisa yang lain tercekam dalam kekalutan, mereka tak tahu harus berpihak kemana. Sekilas pandang Yo Bu-shia mendapat tahu kalau di antara para tamu undangan yang hadir dalam ruangan, paling tidak ada separuhnya adalah jagoan tangguh yang dibawa Lui Moay, mereka hanya patuh pada perintah Lui Moay, bahkan yang lebih parah lagi pasukan Bo-hoat-bo-thian yang bertanggung jawab menjaga keamanan Kim-hong-si-yu-lau, kini sudah berganti arah dengan berkiblat ke pihak musuh. Kini dia baru dapat melihat semuanya dengan jelas, diam-diam ia mengeluh dan menyesal, kenapa tidak sejak tadi mengetahui situasi yang amat berbahaya itu. Kenyataan banyak mara bahaya yang menakutkan justru baru ketahuan di saat keadaan sudah kritis dan berbahaya, sulit bagi siapa pun untuk menduga sebelumnya. Sambil mengirim perintah rahasia, lekas Yo Bu-shia menghimpun segenap jago tangguh dari Kimhong-si-yu-lau untuk memberi bantuan, dia pun berusaha melindungi keselamatan So Bong-seng dengan segenap kemampuannya. Secara beruntun Yo Bu-shia melancarkan delapan serangan berantai, tapi semuanya berhasil dipukul balik oleh hawa pedang lawan. Ilmu pedang tanpa pedang semacam ini memang tiada duanya di kolong langit, hanya Bu-kiam-sin-kiam-jiu (jago pedang sakti tanpa pedang) Lui Moay seorang yang dapat melakukannya. Kini Lui Moay telah muncul! Dia bahkan telah bekerja sama dengan Mo Pak-sin melancarkan serangan berantai. Secara beruntun Yo Bu-shia terkena tiga tusukan pedang, darah mulai bercucuran, kini baginya hanya tersisa dua harapan.

Bala bantuan dari Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, dua orang jago yang baru bergabung dengan Kim-hong-si-yu-lau! Dan bantuan dari manusia yang berada di balik tandu, orang yang selama ini selalu membantu Kim-hong-si-yu-lau secara diam-diam. Waktu itu sebenarnya Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sedang berniat melepas rindu dengan Un Ji dan Lui Tun, ketjka perubahan besar tiba-tiba berlangsung di depan mata. Dengan cepat Ong Siau-sik memberikan reaksinya, tapi belum sempat bergerak, dari belakang tubuhnya mendadak terasa desingan angin tajam, angin pukulan itu sangat kuat bagaikan gulungan ombak di tengah samudra. Ong Siau-sik sudah pernah merasakan tekanan semacam ini, dia tak berani ayal, karena ia tahu tenaga pukulan itu berasal dari Ngo-lui-thian-sim (lima guntur inti langit) yang dilancarkan Lui Tong-thian. Begitu lima guntur dilontarkan, langit serasa terbelah, bumi bagaikan merekah. Ong Siau-sik menggerakkan golok dan pedangnya bersamaan, ia bendung datangnya tusukan maut dari inti guntur itu. Dia yakin selama berani menghadapi pertarungan, tak bakal mati dalam pertempuran, dia berharap kemampuannya sanggup membendung ancaman Lui Tong-thian, agar Pek Jau-hui dapat segera menolong So Bong-seng. Lagi-lagi dia menjumpai satu peristiwa yang sama sekali di luar dugaan. Ternyata Pek Jau-hui sama sekali tidak berniat turun tangan, setitik keinginan pun tak ada. Dia hanya memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya pada semacam benda yang berada di tengah arena, tandu! Konon di dalam tandu itu terdapat seorang gadis cantik yang khusus dihadiahkan Cu Gwe-beng. Mungkinkah Pek Jau-hui adalah pihak musuh yang sengaja menyusup kemari, karenanya dia tak siap memberikan bantuannya? Atau karena dia telah menemukan bahwa di dalam tandu itu terdapat seorang musuh yang jauh lebih tangguh sehingga ia tetap mempertahankan posisinya agar bisa melakukan perlawanan bilamana perlu? Sambil bertarung sengit melawan serbuan Lui Tong-thian, Ong Siau-sik berpikir tiada hentinya. Gara-gara perhatiannya bercabang karena harus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam arena pertarungan, akibatnya pemuda itu tak mampu memusatkan perhatiannya untuk bertempur, tak selang beberapa saat kemudian ia sudah dipaksa berada di bawah angin. "Blaaam!", saat itulah mendadak tandu itu meledak hingga terbelah jadi beberapa bagian, seorang kakek kurus berwajah bersih berkopiah tinggi melesat ke tengah udara dan menyambar ke depan Lui Sun. Tujuan orang itu sangat jelas, dia ingin memberi peluang kepada So Bong-seng agar dapat berganti napas hingga mampu menghadapi serangan maut dari Lui Sun.

Kehebatan ilmu silat yang dimiliki orang ini sama sekali tidak berada di bawah kemampuan Lui Tong-thian, jika Lui Sun ingin merobohkan orang itu dengan mengandalkan ilmu cepat lambat sembilan huruf, mungkin dalam seratus gebrakan kemu¬dian pun belum tentu berhasil. Tahu gelagat tidak menguntungkan, Lui Sun segera mencabut keluar goloknya. Begitu golok berada dalam genggaman, dia pun semakin menggila. Saat itu So Bong-seng sudah mundur hingga ke samping Ong Siau-sik, untuk menghadapi segala kemungkinan Tong Po-gou dan Thio Than segera siap melancarkan serangan. Mendadak dengan perasaan tertegun seru Tong Po-gou, "Aku adalah sahabat Kim-hong-si-yu-lau, aku akan membantu Un Ji." "Aku adalah teman Lui Tun, seharusnya aku membantu perkumpulan Lak-hun-poan-tong," sambung Thio Than sambil tertawa getir. Mendengar itu Tong Po-gou garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, teriaknya, "Masa ... aku mesti bertarung sendiri denganmu?" "Ya, keadaan sudah jadi begini, apa boleh buat?" Belum lagi kedua orang itu saling menyerang, mendadak jalan darah di punggungnya telah ditotok orang, ternyata yang melancarkan serangan adalah pengemis tua itu. Tiba-tiba pengemis tua itu meraup ke atas wajah sendiri, seketika muncullah wajahnya yang seakan gusar seolah penuh dendam. Dengan perasaan terkesiap Lui Tun segera berseru, "Ah, 'Sampai berjumpa lagi'!" Sayang ketika dia meneriakkan nama itu, orang lain tak mendengarnya, sebab pada saat yang bersamaan Ho-hwe-yu-ki (Sampai berjumpa lagi) telah meraung keras, "It-gan-wi-teng (Satu kata sebagai kesepakatan)!" Bagaikan seekor rajawali raksasa dia menerkam ke muka. Kakek berbaju antik berkopiah tinggi itu nampak sedikit tergetar wajahnya, tapi segera tampil perasaan kecewanya yang amat sangat. Dia menyongsong datangnya terkaman itu bagaikan bangau sakti yang terbang di angkasa, setelah bertarung beberapa gebrakan di tengah udara, waktu melayang turun ke tanah, dari lubang panca inderanya mengucur keluar darah segar yang segera menodai jenggotnya yang putih. Sementara paras muka Ho-hwe-yu-ki pucat keabu-abuan, seluruh ruas tulangnya seakan telah hancur, membuat tulang punggungnya seolah tak sanggup menopang berat badannya lagi. Terdengar Lui Sun berteriak gusar, "Sudah kusuruh jangan datang! Aku masih butuh kekuatanmu untuk menunjang kehidupan perkumpulan Lak-hun-poan-tong selanjutnya!" Ho-hwe-yu-ki tertawa ewa, sambil membesut noda darah dari ujung bibirnya, dia berkata, "Tidak apa-apa, sudah sepantasnya aku turut hadir hari ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sedang menghadapi masalah besar, masa aku tak boleh ikut hadir? Lagi pula sejak terkena ilmu jari sakti Wu-hok-sin-ji, kehidupanku sudah tak mirip kehidupan manusia lagi, kalau bukan bersembunyi dalam peti mati untuk melawan bekerjanya racun, sepanjang tahun harus bersembunyi di dalam penjara bawah tanah yang tak bercahaya, aku sudah bersumpah akan menguntitmu terus kemana pun kau pergi!"

It-gan-wi-teng terengah-engah, sambil berusaha mengatur napasnya ujarnya, "Sungguh tak kusangka ... setelah terkena bubuk talasku, kau masih sanggup menghimpun segenap kekuatanmu untuk menyerang dengan ilmu sakti Peng-coat-sin-kang, sungguh hebat! Sungguh mengagumkan!" "Sudah kuduga malam ini kau pasti akan ikut datang, kalau memang harus mati, mari kita mati bersama-sama." Mimik muka It-gan-wi-teng mulai mengejang lantaran menahan sakit, katanya, "Kita sudah bertarung puluhan tahun lamanya, ternyata hasilnya ... hasilnya masih seimbang." Makin lama suaranya makin melemah dan lirih. It-gan-wi-teng tidak melanjutkan niatnya menghalangi Lui Sun, maka menggunakan kesempatan yang sangat baik ini Lui Sun segera menghampiri So Bong-seng dan berusaha membunuhnya. Kini racun penyakit dan luka di paha So Bong-seng sudah mulai bekerja, golok pun sudah terlepas dari genggaman, sementara Ong Siau-sik terhadang oleh serangan Lui Tong-thian, Yo Bu-shia pun tak berhasil lolos dari jala pedang yang dicip-takan Lui Moay. Di saat yang amat kritis itulah terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat. Pek Jau-hui telah turun tangan. Dia langsung menyerang Lui Sun. Ong Siau-sik nyaris bersorak saking girangnya, tanpa terasa semangatnya makin berkobar, serangan dari Lui Tong-thian pun seketika berhasil dipatahkan semua. Bahkan So Bong-seng pun ikut merasakan semangatnya berkobar kembali. Sayang serangan dahsyat Pek Jau-hui tak berhasil memunahkan ancaman bahaya yang tertuju ke tubuh So Bong-seng, karena 'pedang' Lui Moay lagi lagi diarahkan ke tubuhnya. Serangan pedang tanpa pedang ini tak disangkal jauh lebih ganas, lebih berbahaya, lebih susah dihadapi daripada ancaman yang menggunakan senjata sungguhan. Pada saat bersamaan, Lui Kiau membendung pula serangan yang datang dari Yo Bu-shia. Kini Lui Sun melancarkan serangan makin menggila, semakin kalap. Golok yang berada dalam genggamannya memang merupakan sebilah golok iblis, dalam puluhan tahun terakhir ini dia jarang menggunakannya, disebabkan setiap kali golok itu dilolos dari sarungnya, maka dia akan menyerang makin kalap, semakin menggila, tenaga ancamannya berlipat lebih dahsyat, bahkan semua sepak terjang serta apa yang dilakukan sukar dikendalikan lagi, bahkan oleh dirinya sendiri. Tapi dia telah bersumpah, hari ini dia harus membunuh So Bong-seng, harus berhasil membantainya. Semua pengorbanannya, semua rasa malu, terhina yang harus dideritanya, dia terima dan jalani demi 'mencari hidup dari kematian, mencari kemenangan dari balik kekalahan', dia ingin melancarkan serangan balik dalam situasi yang serba kritis. Dia minta kepada Ti Hui-keng agar berpura-pura menyerah kepada So Bong-seng, agar So Bongseng menyaksikan dengan mata kepala sendiri kekalahan yang dideritanya, agar dalam keberhasilannya meraih kemenangan dia mengendorkan kewaspadaannya, dengan begitu ia bisa menggerakkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyerbu ke markas Kim-hong-si-yu-lau di saat mereka sedang menyelenggarakan pesta kemenangan, dia ingin membasmi Kim-hong-siyu-lau hingga ke akar-akarnya.

Terutama membunuh So Bong-seng, melenyapkannya dari muka bumi! Itulah sebabnya mengapa muncul sinar aneh dari mata Lui Tun, tatkala ia mendengar Ti Hui-keng telah mengkhianati ayahnya dan menurut cerita ayahnya, Lui Sun telah tewas di dalam peti mati. Lui Tun segera paham, Ti Hui-keng sama sekali tidak mengkhianati ayahnya, Lui Sun pun belum mati, justru Kim-hong-si-yu-lau sedang terancam bahaya maut! Gadis ini tahu, peti mati milik Lui Sun merupakan jalan mundurnya, juga merupakan jalan kehidupan baginya, di bawah peti mati terdapat sebuah lorong bawah tanah, itulah alasan utama mengapa Lui Sun mengundang So Bong-seng agar mengubah tempat pertempuran dari air terjun Put-tong menjadi ruang utama markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, Lui Sun tak ingin ledakannya justru membunuh dia sendiri serta Ti Hui-keng, daya ledaknya tak boleh kelewat dahsyat. Tentu saja rahasia ini hanya diketahui oleh Ti Hui-keng dan Lui Tun. Lui Sun sengaja meminta kepada Ti Hui-keng agar tidak ikut datang dalam pertarungan ini, dia tak mengijinkan Ti Hui-keng turut serta dalam pertarungan maut itu. Dia pun tidak memberitahukan rencananya kepada Ho-hwe-yu-ki. Dia sengaja berbuat begini karena takut bila rencana penyerangannya mengalami kegagalan, paling tidak dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong masih ada Ti Hui-keng dan Ho-hwe-yu-ki yang menopang, dengan kemampuan kedua orang itu, untuk sementara perkumpulan Lak-hun-poantong masih mampu melawan rongrongan dan penyusupan Kim-hong-si-yu-lau. Dia memang selalu mengerti bagaimana mengatur jalan mundur bagi dirinya, dia pun tahu bagaimana mengaturkan jalan mundur bagi orang-orang yang disayangnya. Dia menaruh kepercayaan begitu besar terhadap Ti Hui-keng, tentu saja Ti Hui-keng tak bakal mengkhianatinya. Tapi saat itu Ti Hui-keng telah menyandang nama busuk sebagai seorang pengkhianat, bagi perasaan Ti Hui-keng sendiri, gelar 'pengkhianat' benar-benar menyiksa batinnya, baginya siksaan itu jauh melebihi siksaan sewaktu mati dalam pertempuran, jauh lebih terhormat baginya mati dengan bersimbah darah daripada hidup sebagai seorang pengkhianat. Lui Sun selalu bertindak cermat dan hati-hati, dia kuatir So Bong-seng keburu mengetahui rahasianya hingga turun tangan terlebih dulu, maka secara diam-diam ia perintahkan Mo Pak-sin agar menangkap Su Bu-kui dan memasukkannya ke dalam peti mati, lalu disusupkan ke dalam kado yang akan diserahkan Liong Pat dan Pui Ing-gan ke dalam markas Kim-hong-si-yu-lau, dengan begitu dia dapat melancarkan serangan maut di saat yang dianggapnya paling tepat. Walaupun dia sama sekali tidak tahu kalau Ho-hwe-yu-ki secara diam-diam telah menumpang dalam rombongan Tong Po-gou dan Thio Than ikut menyusup masuk ke dalam markas besar Kimhong-si-yu-lau, sementara So Bong-seng demi keamanan sendiri juga telah mengundang It-ganwi-teng yang telah menukar gadis cantik dalam tandu menjadi tokoh maha sakti itu. Dalam pertempuran ini dia tak boleh kalah! Dia tak boleh menderita kekalahan lagi! Serangan demi serangan dilancarkan Lui Sun dengan ganasnya, semua bacokan, babatan, tusukan merupakan jurus mematikan yang maha dahsyat.

Dia berharap bacokan demi bacokan yang dilancarkan secara bertubi-tubi pada akhirnya berhasil membantai So Bong-seng .... Dia harus menghabisi nyawa So Bong-seng, musuh nomor satu baginya, selama orang itu masih hidup, perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak mungkin bisa tetap bertahan hidup, perkum¬pulannya tak akan hidup dalam suasana aman dan tenteram.... Itulah sebab dia harus membunuh So Bong-seng, walau dengan cara apa pun. Karena inilah saat yang paling bagus untuk membunuh So Bong-seng, bila dia tidak memanfaatkannya, kesempatan emas segera akan berlalu. Sekali kesempatan emas berlalu, maka yang muncul adalah kesempatan emas bagi pihak lawan untuk membunuhnya. Tiba-tiba Lui Moay mencabut keluar pedangnya, kemudian ditusukkan ke punggung Lui Sun dengan kecepatan luar biasa. Jika dia bukan Lui Moay, siapa yang sanggup berdiri begitu dekat dengan Lui Sun, bahkan berdiri di belakangnya tanpa dicurigai sama sekali? Apalagi pedang kayu yang berada di tangan Lui Moay jauh lebih tajam daripada pedang tajam mana pun, bahkan bisa menyerang tanpa menimbulkan desiran angin tajam, Dengan telak pedang kayu itu menghujam di punggung Lui Sun! Dengan wajah sedih bercampur kecut Lui Sun maju beberapa langkah ke depan, tapi golok yang berada dalam genggamannya sama sekali tak berhenti menyerang, dia bahkan melancarkan serangan dengan kekuatan paling dahsyat. Kini So Bong-seng tidak lagi bergolok, dia tak sanggup menerima datangnya ancaman yang maha dahsyat itu. Untung Un Ji kebetulan berdiri di sampingnya, menggunakan kesempatan di saat punggung Lui Sun termakan tusukan maut, dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat dia rebut golok Sengseng-to yang ada di tangan Un Ji dan menangkis babatan golok Put-ing-to itu dengan keras lawan keras. Tiada suara yang bergema, tiada percikan bunga api maupun dentingan keras, tahu-tahu kedua bilah golok itu sudah patah dan hancur. Serangan maut yang dilancarkan Lui Sun akhirnya gagal, berantakan tak keruan. So Bong-seng mundur sambil memegangi dadanya, kening berkerut menahan sakit yang luar biasa, kini kakinya bagaikan sudah cacad, sama sekali kehilangan rasa. Lekas Gan Hok-hoat maju dan memayangnya. Lui Sun berdiri bersandar pada tiang bangunan, semburan darah segar memancar keluar dari dadanya, meleleh dan membasahi seluruh tubuhnya. I ,ekas Lui Tun maju memayangnya sambil berseru, "Ayah Lui Sun terengah-engah, dengan bersusah payah ia berpaling ke arah Lui Moay, lalu serunya, "Bukankah aku selalu baik kepadamu?"

"Benar!" Lui Moay segera mengakuinya. "Meng ... mengapa kau berbuat begini?" "Karena kau telah merampas segala milik ayahku, merampas juga segala yang kumiliki, aku sebenarnya adalah ahli waris perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi sekarang harus menjadi kekasih gelapmu, seorang kekasih gelap yang merupakan aibku, sekalipun sikapmu terhadapku jauh lebih baik pun tak akan cukup untuk membayar semua perbuatanmu. Sejak kau ambil alih segala sesuatu yang seharusnya menjadi milikku, aku telah bersumpah akan mencari peluang untuk menghadapimu." Setelah berhenti sejenak, kembali lanjut Lui Moay, putri tunggal Lui Ceng-lui, ketua perkumpulan Lak-hun-poan-tong sebelumnya, "Apalagi sudah sejak lama aku menjadi anggota Kim-hong-si-yulau, akulah Kwik Tang-sin!" "Rupanya kaulah Kwik Tang-sin!" dengan penuh penderitaan Lui Sun memegangi dadanya yang penuh berlepotan darah, "tapi bagaimana pun kau tetap anggota perkumpulan Lak-hun-poantong, aku pun pada akhirnya bukan tewas di tangan orang lain ... aku ... aku hanya merasa heran "Apa yang kau herankan?" tanya Kwik Tang-sin. "Kau jelas berasal dari marga Lui, mengapa kau tinggalkan nama marga Lui dan berganti jadi bermarga Kwik? Kau jelas seorang anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mengapa malah ikut So Bong-seng?" "Waktu itu aku belum dewasa. Kau belum tertarik kepadaku, saat itu kau telah menurunkan perintah untuk membunuhku, kalau bukan Kwik Kiu-seng yang berada dalam penjara bawah tanah menolongku, mungkin sekarang aku sudah di alam baka. Itulah sebabnya aku bermarga Kwik," ujar Kwik Tang-sin menerangkan, "orang bilang tiga orang wanita yang mendampingi Lui Sun sangat setia kepadanya, tapi kau telah memaksa Toa-hujin hingga minggat meninggalkanmu, kemudian kau pun menyia-nyiakan aku, kini tinggal putrimu seorang f ang masih ada di sisimu ... kalau bukan kau melancarkan serangan lebih awal, mungkin aku sudah memberitahukan rencanamu ini kepada So-kongcu, agar dia lebih waspada." "Tapi pada akhirnya aku tetap kalah," tiba-tiba ujar Lui Sun kepada So Bong-seng, So Bong-seng tertawa getir. "Kemenanganku pun harus kuraih dengan penuh penderitaan dan siksaan." "Sekarang aku adalah sang pecundang, aku mohon satu hal kepadamu." "Katakan!" "Jangan bunuh putriku," pinta Lui Sun sambil membelai rambut Lui Tun. So Bong-seng segera mengangguk. "Kau mengabulkan permintaanku?" ulang Lui Sun. "Ya, aku mengabulkan permintaanmu." "Kalau begitu aku pun boleh berlega hati," kata Lui Sun sambil menghembuskan napas panjang, "walaupun selama ini aku selalu bermusuhan denganmu, tapi aku merasa gembira dan riang

karena mempunyai seorang lawan macam kau. Aku rasa, terlepas kau yang mati atau aku yang mati, kita sama-sama merasa tak tega kehilangan lawan bukan?" "Betul," So Bong-seng mengangguk, "tanpa kau, tentu merupakan kehidupan yang sepi bagiku. Ketika kau terjun ke dalam peti mati dan segera tewas, aku selalu beranggapan bahwa kejadian itu tak nyata, oleh sebab itu aku selalu meningkatkan kewaspadaanku, tapi toh tetap teledor, nyaris aku terjungkal di tanganmu." "Tapi kenyataannya kau tidak terjungkal, cuma kau bakal memperoleh seorang musuh baru yang jauh lebih tangguh." "Maksudmu Ti Hui-keng?" "Selain dia siapa lagi?" "Dia sama sekali tidak mengkhianatimu?" "Mana mungkin dia mengkhianatiku?" "Ternyata dugaanku tak salah," kata So Bong-seng hambar, "sebenarnya aku memang tidak siap membiarkan dia tetap hidup." "Kau ....." "Bila dia tidak mengkhianatimu berarti akan berhadapan denganku, jika dia mengkhianatimu, suatu hari nanti dia pun akan mengkhianatiku, karena dia tidak seperti Lui Moay, punya alasan yang kuat untuk membalas dendam," So Bong-seng menerangkan, "oleh sebab itu aku tak pernah akan membiarkan manusia macam begini tetap hidup di dunia!" Napas Lui Sun mulai memburu, dengan terengah-engah serunya kepada Lui Tun, "Tun-ji Seruan itu penuh dengan nada kasih sayang seorang ayah terhadap putrinya, diiringi cucuran darah yang makin deras dari mulut dan lukanya, air mata tampak meleleh keluar dari matanya. "Ayah!" pekik Lui Tun sedih. "Bila kau tak mampu membalaskan dendam bagi kematianku, pergilah yang jauh, terbanglah ke ujung langit, aku tak bakal membencimu ... tak akan menyalahkan dirimu ... bila kau ingin membalaskan dendam bagi ayah Tiba-tiba Lui Sun menempelkan bibirnya di sisi telinga Lui Tun dan membisikkan sesuatu, suaranya amat lirih, Lui Tun mendengarkan dengan seksama, air mata dibiarkan meleleh, dia seolah lupa menyekanya, kepalanya mengangguk berulang kali tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya Lui Sun menyandarkan kepalanya di atas bahu gadis itu, sama sekali tak ada tenaga lagi. Lui Tun mencoba mendorong sambil berseru, "Ayah!" Dia mendorong lagi berulang kali, dengan nada tak percaya teriaknya, "Ayah!" Tapi Lui Sun sudah tak bergerak, napasnya telah berhenti, sekujur tubuhnya mulai membeku kaku. "Ayah!" teriakan ketiga serasa tersangkut dalam tenggorokan, tak pernah diucapkan keluar.

Dengan tewasnya Lui Sun, seluruh jago perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang ada dalam ruangan pun kehilangan semangat untuk bertempur, dalam keadaan begini mereka hanya berharap bisa mundur secepatnya. "Kabur!" teriak Lui Tong-thian lantang. Tak seorang pun yang tahu mengapa dia begitu bersemangat untuk melindungi rekan-rekannya agar segera mundur dari situ, entah dikarenakan dia memang ingin melindungi anak buahnya ataU karena kematian Lui Sun, dia pun tak punya gairah untuk hidup terus. Sebaliknya So Bong-seng merasa sangat lega setelah menyaksikan kematian Lui Sun, entah mengapa, dia pun merasa¬kan hatinya kosong dan hampa, seluruh kekuatan tubuhnya seketika hilang, penyakit yang dideritanya kambuh kembali. Tiba-tiba hawa di dadanya bergejolak keras, perasaan sedih kembali menyelimuti pikirannya, dengan suara keras teriaknya, "Jangan biarkan Mo Pak-sin kabur dari sini, lepaskan sisanya yang lain ..." Tiba tiba pandangan matanya jadi gelap, tubuhnya seketika roboh terjungkal ke tanah. Untung Gan Hok-hoat dan Cu Siau-yau berdiri dekat dengannya, satu dari kiri yang lain dari kanan lekas memayang tubuhnya. Lui Tong-thian masih bertahan di jalan mundur dengan mati-matian, dia hanya membiarkan anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong mundur dari situ dan mencegah jagoan Kim-hong-si-yulau melakukan pengejaran, tubuhnya kembali bertambah dengan tujuh delapan luka bacokan, namun dia masih tetap bertahan. Mo Pak-sin sendiri pun terluka cukup parah, dikerubut Yo Bu-shia dan para jago tangguh dari Kimhong-si-yu-lau, dia hanya bisa mundur terus hingga ke sisi Lui Tong-thian. "Congtongcu sudah mati!" teriaknya keras, "ayo, kita segera mundur!" "Kau pergilah! Aku tak akan pergi!" sahut Lui Tong-thian sambil bertahan terus. "Kita masih mempunyai Ti-toatongcu! Kita masih mempunyai peluang untuk melangsungkan pertempuran lagi!" teriak Mo Pak-sin, keadaannya semakin mengenaskan. "Lui-congtongcu sudah mati, buat apa aku tetap hidup?" Lui Tong-thian dengan kekuatan seorang diri berusaha membendung serangan gabungan dari Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui, posisinya semakin kritis, jiwanya sudah berada di ujung tanduk, tapi dia berteriak lagi, "Kau cepatlah kabur!" ooOOoo 64. Lelaki yang men jahi t pa kaia n mener uskan ja hita nn ya (Tamat ) Belasan li dari markas besar Kim-hong-si-yu-lau terdapat sebuah tempat yang bernama Ku-suipoh, saat itu terlihat seorang pemuda sedang berdiri sambil menggendong tangan, sambil mengawasi ujung langit dimana terletak markas Kim-hong-si-yu-lau, mimik mukanya kelihatan makin lama semakin bertambah suram bercampur masgul. Di sisinya berdiri dua orang. Yang satu adalah Lui Kun, sementara yang lain adalah Lim Ko-ko.

Mereka tak berani mengusik ketenangannya. Sudah cukup lama dia berdiri di situ, lama, lama sekali, rasa duka yang menyelimuti wajahnya pun turut bertambah mengikuti bertambahnya sang waktu. Malam sudah semakin kelam, fajar hampir menyingsing, kemurungan, rasa duka, rasa masgul semakin kentara tercermin pada wajahnya. Di sudut bangunan runtuh di wilayah Ku-sui-poh berdiri pula dua orang pemuda, seorang sastrawan berbaju putih berwajah tampan, berdiri di tengah halaman penginapan, menikmati cahaya rembulan sambil membuat syair, dia nampak amat santai. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda berperawakan kurus, berbaju tipis, sedang menjahit pakaian sambil tersenyum. Tampaknya kedua pemuda itu saling mengenal satu de¬ngan lainnya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan ketiga orang yang berada di depan puing bangunan. “Pasang Hio!” Ti Hui-Keng menurunkan perintah. Waktu sudah menunjukkan Yin-Si (Pukul 3 – 5 pagi), Ti Hui-Keng sadar penantiannya tak akan membuahkan hasil, satu-satunya sisa pengharapan pun turut musnah mengikuti tenggelamnya sang rembulan, bahkan segera akan lenyap di alam jagad yang luas. Lim Ko-Ko dan Lui Kun telah menyiapkan meja sembahyang. Setelah menyulut hio, Lim Ko-Ko menyerahkan kepada Lui Kun. Dengan kening berkerut Lui Kun menyambutnya dan segera dipersembahkan kepada Ti Hui-Keng, sikapnya amat menaruh hormat. Setelah pasang hio dan menjura tiga kali, Ti Hui-Keng menjatuhkan diri berlutut, ujarnya sambil memandang langit, “Congtongcu, kau melarangku turut serta bersamamu menyerang markas Kimhong-si-yu-lau, aku sangat memahami maksud hatimu, kini saat Choi-si sudah lewat tapi belum nampak juga bunga api yang dijanjikan. Kau tak usah kuatir, aku telah menempatkan pasukan inti perkumpulan Lak-hun-Poan-tong di seputar Po-Pan-bun, mereka tak akan bergeser dari seputar air terjun Put-Tong, tak akan melancarkan serangan secara membabi buta ......” Bicara sampai disitu ia berhenti sejenak, suaranya agak sesenggukan, terusnya kemudian, “kau pernah berkata, bila serbuan malam ini tidak berhasil, maka kau akan gugur dalam medan laga. Aku sebenarnya tak lebih hanya seorang prajurit kecil di bawah pimpinan Kwan Toaci, berkat kepercayaanmu dan dukunganmu, maka aku bisa memperoleh posisi seperti ini ........ kali ini kau mengajak Lui-jiko menyerempet bahaya sementara aku tak dapat mendampingimu, aku ........” Lama sekali dia tertunduk sedih sebelum akhirnya berkata lagi, "Kau yang berada di langit... beristirahatlah dengan tenang, aku pasti akan menahan segala hinaan dan penderitaan untuk berusaha bangkit kembali, aku bersumpah akan membangun kembali kekuatan perkumpulan Lakhun-poan-tong, menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau dan membalaskan sakit hatimu!" Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, baru saja akan menancapkan batang hio di meja altar, tiba-tiba badannya terasa'gontai, lekas dia berpegangan pada sisi dinding sembari mendengus tertahan,

sorot matanya yang tajam bagai sembilu dengan cepat menyapu sekejap ke wajah Lim Ko-ko serta Lui Kun. "Kalian?" Lim Ko-ko maupun Lui Kun sama sekali tidak menghampirinya, yang satu hanya menganggukkan kepala sementara yang lain berkata, "Itulah bubuk talas yang dipelajari It-gan-wi-teng dari perguruan Kui-li-pat-ji-bun dan ditambah dengan ra¬muan baru hasil ciptaannya, tentu saja di sekitar sini masih tersisa asap pemabuk." "Bagus, bagus sekalisinar pasrah dan putus asa terbesit dari balik mata Ti Hui-keng, kepada Lim Ko-ko serunya, "Kalau kau yang melakukan semua ini, aku tak akan merasa heran, sebab bagaimana pun kau berasal dari lain marga ..." Dia membalikkan tubuhnya, dengan sorot mata kepedihan bercampur rasa menghina dia mengawasi wajah Lui Kun, katanya lebih jauh, "Kau adalah keturunan keluarga Lui, kami semua bersikap baik kepadamu, mengapa kau berbuat begitu? Perbuatan terkutukmu benar-benar membuat aku kecewa." Walaupun sudah tahu lawan tak mampu bergerak lagi, entah mengapa Lui Kun merasakan hatinya bergidik, bulu kuduknya berdiri, tanpa sadar ia mundur selangkah. "Kau bukan berasal dari keluarga Lui, tapi Congtongcu bersikap jauh lebih baik kepadamu!" katanya. Ti Hui-keng tertawa, suara tertawanya terselip perasaan kesepian dan kesendirian. "Perkataanmu memang benar!" katanya, "aku tidak menyangka pada akhirnya aku Ti Hui-keng harus terjatuh di tanganmu, aku telah menyia-nyiakan harapan Congtongcu, aku memang tak pantas menerima kebaikan darinya." "Kau mengkhianati Congtongcu lebih dulu, menyatakan kesetiaan kepada So-kongcu, apakah manusia macam kau tidak pantas mampus?" seru Lui Kun semakin berani. Dia tahu Ti Hui-keng sudah kehilangan tenaga untuk melawan, sementara dia sendiri sudah minum obat penawar terlebih dulu hingga tak kuatir terpengaruh bubuk pemabuk itu. "Aku adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kenapa aku harus bersumpah setia kepada So Bong-seng?" jengek Ti Hui-keng semakin sinis, "jika kau membunuhku lantaran menganggap aku telah mengkhianati Congtongcu, maka sekarang aku nyatakan bahwa aku masih harus membangun perkumpulan Lak-hun-poan-tong lagi, aku akan melanjutkan pertarunganku melawan Kim-hong-si-yu-lau, jika aku masih melanjutkan cita-cita Congtongcu, apa alasanmu ingin membunuhku? Tapi jika kau membunuh demi So Bong-seng, berarti kau telah mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kau adalah seorang pengkhianat laknat, selama hidup kau telah banyak menerima budi kebaikan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi di saat kritis kau justru berbalik arah, jika masih punya muka, ayo, berdiri di depanku dan jawab pertanyaanku!" Lui Kun gusar sekali, dia ingin menghampiri Ti Hui-keng dan menamparnya beberapa kali, tapi ia tak berani berbuat begitu, bagaimanapun rasa takut dan sangsi masih menyelimuti hatinya. "Jika kau masih bicara tak keruan ... akan kubunuh kau!" dengan perasaan gusar bercampur mendongkol dia melepas senjatanya dari pinggang.

Lim Ko-ko yang berada di sisinya mendadak berkata kepada Ti Hui-keng, "So-kongcu sudah tahu kalau kau tak bakal bersumpah setia kepadanya, maka sebelum diselenggarakan pesta perjamuan malam tadi, ia telah menurunkan perintah kepada kami untuk membunuhmu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kau adalah manusia berbakat, jika dia tak mampu menggunakan kemampuanmu, terpaksa harus membunuhmu, dia tak ingin menangkapmu hiduphidup, sebab dia kuatir bila bertemu lagi denganmu, dia jadi tak tega untuk turun tangan." "Oleh sebab itu kalian akan menjalankan eksekusi di tempat ini," sambung Ti Hui-keng sambil tertawa. "Kau meninggalkan anak buahmu di wilayah air terjun Put-tong dan Po-pan-bun, sementara dirimu datang seorang diri ke daerah Ku-sui-poh, tindakan ini benar-benar merupakan sebuah tindakan yang amat bodoh," kata Lim Ko-ko dengan suara dalam. Ti Hui-keng mengangguk. "Ucapanmu memang benar, kusangka dengan bertindak begini maka aku bisa segera menyusup begitu Congtongcu melepaskan kembang api ... tak kusangka justru tindakanku ini memberi peluang kepada kalian untuk membokongku." "Lui-goko pernah ditaklukkan Si Say-sin serta Pek Jau-hui, dia tahu perkumpulan Lak-hun-poantong segera akan runtuh, oleh sebab itu dia berbalik arah dengan bergabung ke pihak kami." "Bagaimana dengan kau?" tanya Ti Hui-keng sambil menatapnya tajam. "Sejak semula aku memang anggota Kim-hong-si-yu-lau," sahut Lim Ko-ko sambil mencabut keluar sebilah pisau belati. Ti Hui-keng menghela napas panjang, melihat keempat anggota badannya lemas tak bertenaga, tak mungkin tenaganya pulih kembali dalam waktu singkat, keluhnya, "Tak heran kalau secara diam-diam kau membebaskan Lui Tun dan Un Ji, bahkan meracuni saudara-saudara yang menjaga dengan racun jahat." "Dugaanmu tepat sekali, tapi bukan aku yang meracuni mereka!" kata Lim Ko-ko dengan tubuh bergetar. "Sayang, segala sesuatunya sudah terlambat!" dengan tangan sebelah berpegangan pada sisi dinding, Ti Hui-keng mengulurkan tangannya dengan susah payah, katanya lagi, "Berikan pisau belati itu kepadaku, biar aku membunuh diriku sendiri." Lim Ko-ko tampak agak sangsi. "Selama berada di perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku selalu bersikap baik kepadamu," ujar Ti Hui-keng, "inilah permintaanku terakhir sebelum aku mati, juga merupakan satu-satunya permohonanku." "Biar aku yang membunuhnya ...."teriak Lui Kun sambil memutar sepasang rantainya, ia siap melancarkan serangan. "Jangan," cegah Lim Ko-ko sambil menyodorkan pisau belatinya, "biar dia bunuh diri!"

Mendadak terdengar seseorang berkata, "Menurut kau, lebih enak bunuh diri atau dibunuh orang?" "Kedua-duanya tidak enak," jawab suara yang lain. "Semuanya tidak enak?" "Aku rasa membunuh orang paling enak." Kelopak mata Lim Ko-ko mendadak menyusut tajam, dia tahu ada orang ingin mencampuri urusan ini. Mereka sengaja memilih tempat itu untuk membunuh Ti Hui-keng, kebaikannya adalah anak buah Ti Hui-keng tidak mungkin datang menolong, tapi kejelekannya bila mereka pun gagal dalam usaha pembunuhan ini, tak akan ada orang yang datang menolong.. Lui Kun sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia bergerak sambil melancarkan serangan. Dalam keadaan begini, tentu saja Lim Ko-ko tak akan mencegahnya untuk menyerang. Dia pun ingin menyaksikan sampai dimana keampuhan ilmu silat yang dimiliki sang pendatang. Terlebih lagi dia tahu dengan pasti, bicara soal kepandaian silat, dia masih jauh ketinggalan bila dibandingkan kemampuan Lui Kun. Sepasang bintang kejora Hwe-sui-siang-liu-seng milik Lui Kun sudah meluncur ke depan, langsung menghajar tubuh sastrawan berbaju putih itu. Dengan cekatan sastrawan berbaju putih itu mengegos ke samping, serangan Liu-seng-jui itupun mengenai sasaran kosong. "Gerakan Pek-ci-kok-liau (kuda putih melewati perbatasan) yang hebat!" puji Ti Hui-keng sambil menghela napas. Tampak Liu-seng-jui milik Lui Kun yang semula menyerang ke arah pemuda yang sedang menjahit baju itu mendadak berputar arah, kali ini menyerang ke tubuh sastrawan berbaju putih itu. "Aku mak teriak sastrawan berbaju putih itu keras, "kelihatannya kau benar-benar ingin membunuh orang?" Kipas yang berada di tangannya segera direntangkan, dengan satu rentangan kemudian melipatnya kembali ia sudah menjepit senjata Liu-seng-jui itu kuat-kuat. Kali ini Lim Ko-ko yang berteriak keras, "Ah, Cing-honghou (cerah amat indah)! Kipas menggapai matahari dan rembulan, langit cerah amat indah!" Sambil berteriak, pisau belati yang berada dalam genggamannya memancarkan sinar berkilauan. Walaupun senjata meteor api milik Lui Kun kena dicengkeram lawan, namun senjata meteor air masih bebas, dia segera memutarnya kencang dan dilontarkan lagi ke depan, ternyata yang diarah bukan sastrawan berbaju putih itu melainkan menyerang lelaki yang sedang menjahit pakaian.

Di satu pihak ia berbuat demikian mencerminkan keberaniannya, di pihak lain serangan itupun bermaksud memaksa lawan untuk berbalik menolong rekannya, jika lelaki yang sedang menjahit pakaian itu tak mengerti ilmu silat, sastrawan berbaju putih itu tentu akan berusaha menyelamatkan dirinya terlebih dulu, bila ingin menolong maka senjata meteor apinya yang dijepit akan dilepaskan, sebaliknya bila lelaki yang sedang menjahit itu mengerti ilmu silat, dia pasti akan berusaha menolong rekannya, ketimbang didahului lawan, maka dia putuskan untuk mendahului dengan serangan mematikan. Apa mau dikata, hasil yang kemudian terjadi sama sekali di luar dugaannya. Pemuda yang sedang menjahit pakaian itu sama sekali tidak menghindar maupun berkelit, dia tetap melanjutkan pekerjaannya, menjahit pakaian. Ketika senjata meteor air itu menyerang tiba dengan disertai tenaga yang maha dahsyat, tiba-tiba saja tangannya melakukan gerakan patahan dengan gaya menggunting, "Kraaak!", tahu-tahu rantai yang mengendalikan senjata meteor air itu pa¬tah jadi dua. Lui Kun membentak nyaring, dia seakan bersiap untuk mengadu nyawa, mendadak senjata meteor apinya dilepaskan begitu saja, kemudian ia membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Lim Ko-ko tak berani ayal lagi, pisau belatinya langsung ditusukkan ke dada Ti Hui-keng! Mendadak tubuh Ti Hui-keng mulai bergerak, begitu bergerak, cepatnya bukan kepalang. Dengan tangan sebelah dia merebut pisau belati yang berada di tangan Lim Ko-ko, tubuhnya bergerak keluar, bersamaan dia sudah menotok tujuh buah jalan darah di punggung lawan, sementara pisau belati yang berhasil direbutnya tadi sudah meluncur ke tengah udara dan menyambar ke punggung Lui Kun. Diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, Lui Kun roboh terjungkal ke tanah. Lelaki penjahit itu masih meneruskan pekerjaannya, menjahit pakaian. Sedangkan sastrawan berbaju putih itu segera berseru dengan nada tertahan, "Jadi kau ... kau tidak terpedaya oleh bubuk pemabuk itu "Tujuan kedatanganku malam ini selain untuk menunggu komando dari Congtongcu atau untuk berdoa bagi arwahnya yang gugur, paling tidak aku pun ingin tahu siapa saja pengikut perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang tetap setia hingga detik terakhir," kata Ti Hui-keng dengan suara dingin, "Lui Kun pagar makan tanaman, dia lebih rendah daripada seekor babi. Sebaliknya orang ini masih berguna untuk tetap dibiarkan hidup." Seraya berkata ia menuding ke arah Lim Ko-ko yang tergeletak lemas di tanah. Sastrawan berbaju putih itu menjulurkan lidahnya tanpa terasa, katanya, "Kelihatannya pertarungan yang terjadi di kota-raja jauh lebih seram dan lihai ketimbang pertikaian dalam dunia persilatan." "Tampaknya kalian berdua bukan penduduk kotaraja, boleh tahu siapa namamu," kata Ti Hui-keng dengan hormat. "Aku bernama Pui Heng-sau, aku datang untuk mencari saudara angkatku Tong Po-gou," setelah tertawa terkekeh, terusnya, "Aku pun tahu kalau kau adalah Ti Hui-keng, Ti-toatongcu dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang amat tersohor nam¬anya."

Lelaki penjahit pakaian itu tetap membungkam. Ti Hui-keng segera maju ke hadapannya, sambil menjura dalam-dalam katanya, "Boleh tahu namamu?" Lelaki itu masih menjahit pakaiannya dengan khusuk, lama kemudian dia baru mendongakkan kepalanya sambil tersenyum. Satu ingatan segera melintas dalam benak Ti Hui-keng, mendadak dia teringat akan seseorang yang pernah disebut banyak orang, serunya tanpa terasa, "Anda adalah Thian-ih-yu-hong (baju langit ada jahitan)?" Lelaki itu tertawa, akhirnya dia buka suara juga, "Un-tayjin yang mengutus aku datang ke kotaraja untuk mencari nona." Diam-diam Ti Hui-keng berpikir, "Jangan-jangan arwah Congtongcu melindungi diriku, hingga aku mendapat kesempatan memperoleh pembantu tangguh dan lebih cepat memba¬laskan dendam sakit hatinya?" Dengan nada bersungguh-sungguh ujarnya kemudian, "Walaupun hari ini baru pertama kali bertemu, namun berkat bantuan kalian berdua, aku Ti Hui-keng berhasil lolos dari bahaya maut, aku percaya kalian pastilah orang gagah berjiwa patriot, bolehkah aku mengajukan satu permintaan. "Aneh," seru Pui Heng-sau keheranan, "saat ini kau adalah pemimpin perkumpulan Lak-hun-poantong, masakah minta sesuatu kepada kami berdua yang baru datang dari luar daerah, selain miskin, kelaparan lagi pula sial? Apa permintaanmu itu?" "Sudah lama aku mengagumi nama besar kalian berdua, aku hanya memohon agar kalian bersedia membantu aku membangun kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong, aku berharap dengan dukungan kalian berdua, kami bisa lebih cepat memperoleh kembali wilayah kekuasaan yang hilang dan cukup tangguh untuk melawan Kim-hong-si-yu-lau. Budi bantuan yang kalian berikan hari ini, tak akan kulupakan untuk selamanya." Pui Heng-sau segera tertawa. "Asal saudaraku yang lain setuju, sebenarnya penawaran ini menarik juga, tapi menolong yang lemah sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah, kau tak perlu masukkan dalam hati." "Tampaknya kau telah melupakan satu hal," tiba-tiba lelaki penjahit itu berkata sambil memicingkan mata. Kemudian setelah tertawa kaku, lanjutnya, "Sejak dulu Un-tayjin memang sahabat karib Luicongtongu, dulu mereka pernah mati hidup bersama, justru karena ia mendengar kedatangan nona Un kali ini ke kotaraja hendak membantu Toa-suhengnya So Bong-seng, maka beliau mengutus aku untuk membawanya pulang." "Ah, jadi kalian berdua bersedia?" seru Ti Hui-keng kegirangan. Ketika mereka bertiga berjalan keluar dari puing bangunan, entah mengapa, tiba-tiba timbul semangat juang yang berkobar dalam hati masing-masing, mereka merasa seakan ada pekerjaan besar yang harus dikerjakan, ada pekerjaan besar yang harus dilaksanakan.

Ti Hui-keng sendiri tetap merasa masgul bercampur kuatir, dia tak tahu bagaimana nasib Congtongcu beserta saudara-saudara lainnya yang terjebak dalam markas besar Kim-hong-si-yulau. Ketika berpaling menyaksikan sisa rembulan di kaki langit, diam-diam ia bersumpah, suatu saat nanti dia harus menghancurkan Kim-hong-si-yu-lau, membunuh So Bong-seng, membalaskan dendam bagi kematian Lui Sun. Mereka sama sekali tidak tahu, perasaan hati mereka bertiga yang tertaut satu sama lain sewaktu berjalan keluar dari balik puing bangunan, sama persis seperti perasaan Ong Siau-sik, Pek Jau-hui dan So Bong-seng pada tiga hari berselang. Perasaan mereka amat mirip. Bahkan mirip sekali!! T AM A T Bagaimana Ti Hui-keng akan membangkitkan kembali perkumpulan Lak-hun-poan-tong? Ikutilah kisah selanjutnya di: PEDANG AMARAH

Related Documents


More Documents from ""