The Warteg Trilogy

  • Uploaded by: Indra Afriza
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View The Warteg Trilogy as PDF for free.

More details

  • Words: 3,600
  • Pages: 31
1. Sebuah Ketidakjelasan

“Bagaimana kau bisa benar-benar tertawa, jika kau belum pernah menangis?” -- Salman Rushdie, THE SATANIC VERSES--

K

ata-kata meluap-luap seperti kuah sayur bergolak kepanasan. Semua yang dilihat berubah jadi mukjizat, semua yang didengar berubah jadi singa liar. “Tonaaah... tunggu!” Seorang anak kecil menjerit di pojokan. “Kau adalah kakakku!” Sambil menarik ingus dalam-dalam, Tonah meneruskan langkahnya. Celananya terbakar api, disiram kuah kolak panas, panas dan minta penjelasan: kenapa isi di dalam berbeda dengan wujud di luar? “Tooonnnaaaaah... tunggu!!”

1

Sembari mengorek tahi kuping, Tonah tetap melangkah. Gelisah. Dalam resah dan penuh tanya: Ada Apa Dengan Cincay? Semua bisa saja dibuat beres, namun selalu ada yang tersisa. Sekumpulan tanya berapi-api yang tak jua padam biar diguyur dengan kuah apa pun juga. “Kau adalah kakakku!” Merasa tak bisa parkir di satu tempat untuk selamanya, Tonah laju berlari. Lari. Dengan degup jantung yang kebingungan. Berdentam satu demi satu dalam kecepatan yang berubah-ubah setiap detiknya. Dengan arah yang tak pernah bisa diduga. Kemana, dari mana, bagaimana? Kata-kata meluap-luap seperti kuah sayur bergolak kepanasan. Semua yang dilihat berubah jadi mukjizat. Semua yang dilumat berubah jadi aurat. Kacang kulit, kacang gurih, kacang asin, kacang... kacang siaaappaaa iiinnniii, kaaaassiiiiiih..?

2. Dua Lawan Satu Lelaki itu menghisap rokok kreteknya dengan penuh kemarahan. Asap tebal mengelilingi wajahnya.

2

Sepasang matanya nyalang memandangi sekeliling. Mencari-cari. Cari siapa, Mas? Dia bernama Kamto. Seorang supir truk. Sibuk berkeliling mengantar ini dan itu sesuai trayek dan surat jalan. Jarang pulang ke rumah membelai istri. Tangannya kapalan, dengkulnya kutilan. Ada rindu sebesar pohon jengkol mengendap di dadanya. Dua hari yang lalu dia pulang. Bermaksud untuk melepas rindu. Kembali membelai istri. Namun yang dia dapatkan adalah sebuah kenyataan yang mengguncang-guncang perut buncitnya. Kuning, istrinya, telah selingkuh dengan seorang Satpam bernama Ajay.

3. Aku Bukan Kucing Garong Pada sebuah kursi kayu di belakang sebuah gedung perkantoran, dua orang lelaki sedang asyik berbincangbincang. Yang satu bernama Suryadi, satunya lagi bernama Jhon. Suryadi bertanya: “Kenapa sih, kamu mau pacaran sama Ipah? Dia kan udah punya suami?” Jhon menjawab: “Baguslah,”

3

“Ipah juga punya tujuh pacar gelap, lho.” “Berarti.. aku ini yang ke-delapan?’ “Iya...” Kening Suryadi berkerut, “Tapi... bukan itu masalahnyaaa..!” “Terus apa masalahnya?” tukas Jhon dengan santai. “Masalahnya... kamu itu... ummh... ganteng,” “Kok ganteng jadi masalah?” Kening Suryadi berkeriut lagi, “Iya, seharusnya kamu manfaatin kegantengan kamu itu buat memikat tantetante gatel di lantai 5, 6, dan 13B!” “Tapi aku gak suka sama mereka,” “Itu gak penting! Yang penting mereka itu basah, basah dan punya uang! Uuaaannngg..! Itu yang penting!” “Apa uang ada kaitannya sama rasa suka?” “Oooooooo.. aaaadddaa! Ada banget!” Suryadi tampak begitu yakin dan bersemangat.

4

Keyakinan Suryadi membuat Jhon jadi penasaran, “Apa buktinya?” Wajah Suryadi mendadak berubah menyerupai gambaran Dajjal di komik-komik seribu-tiga, “Buktinya? Buktinyaaa..? Huihihihihi.. kamu bisa buktikan sendiri melalui si Ipahmu tersayang itu, Huihihihihi..” Si Jhon jadi tambah penasaran, “Caranya?” “Coba untuk sementara ini kamu jangan makan dulu di Wartegnya si Ipah, terus kamu liatin reaksi dia setiap harinya...” Keringat dingin mengucur di kening Jhon, “T-t-e-e-e-r-ru-u-u-u-s-s-s-s..?” “Huihihihihi..,” ada bola mata berwarna merah muncul di kening Suryadi. “Yaaa.. kamu liatin aja dulu reaksi dia! Huihihihihi..!” Jadilah. Keesokan harinya Jhon tidak lagi makan di warung Ipah. Sambil lalu dia memperhatikan reaksi pacar gelapnya itu. Pada minggu pertama, Ipah masih bertanya: “Mas Jhon, enggak makan?”

5

Di minggu ke-dua, kalimatnya agak berkurang menjadi: “Mas Jhon..?” Minggu ke-tiga hanya menyisakan: “Mas..?” Mulai minggu ke-4 dan seterusnya, tidak ada lagi teguran yang terdengar dari bibir merah yang selama ini membuat Jhon gerah dalam gairah Ajaib! Perkataan Suryadi telah terbukti! Ternyata selama ini dia hanya jadi pelanggan di mata Ipah, tak lebih... Lalu, rasa suka itu? Gerah gairah itu? Tak lebih dari sekedar pertunjukkan topeng monyet? Minggu demi minggu, hari demi hari, Jhon larut dalam gundah gulali. Rasa manis yang membuat sakit gigi, meradang dan menjalar di kepala. Keringat beku sebesar biji kapuk melekati sekujur tubuhnya. Dia gemas, cemas, pertahanan dirinya mulai melemas. Suatu sore dia memutuskan untuk mencari kejelasan, langsung dari sumbernya. Dengan penuh kesumat, Jhon melecut kuda besinya menuju kontrakan Ipah. Sesampainya di kamar Ipah, dia menemukan kenyataan yang lebih mengejutkan! Di sana dia melihat pacar gelapnya itu sedang berlutut di hadapan seorang lelaki, kepalanya maju-mundur di depan celana yang telah

6

merosot sampai dengkul. Lelaki itu memejamkan mata, tubuhnya berkeringat. Di sekitar Ipah ada 4 orang lelaki lagi yang sedang berdiri mengantri. Semuanya bercucuran keringat. Tubuh mereka berkilau di bawah sinar lampu neon. Ooooch.. para jagoan neon, oooooomh... oooooomh... oooooomh... Jelaslah sudah! Ternyata kata-kata Suryadi tidak sepenuhnya benar! Ipah tidak menyukai lelaki karena uangnya, dia menyukai lelaki karena keringatnya. Asin dan gurih barangkali, begitulah. Fuuh! Jhon menghembuskan nafas penuh kelegaan. Setelah itu dia memutuskan untuk berlari. Lari dan terus berlari. Jhon berlari tak tentu arah, dia hanya ingin tubuhnya berkeringat. Anehnya, setelah berlari sebegitu jauh, keringat itu belum mampir juga di tubuhnya. Pada satu sore, setelah lelah berlari, dia akhirnya menyerah pada rasa lelah. Jhon memasukkan tubuhnya ke dalam kotak pos, terbungkus dalam amplop besar berwarna coklat muda. Ditempeli perangko kilat. Beberapa hari kemudian, dia terdampar bersama tumpukan amplop-amplop coklat-muda lainnya di sebuah pulau bernama: SONGANTRISONGAREP.

7

4. Salam Buat Ajay Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih. Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih. Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih. Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih. Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih. Ajay telah pergi... adakah yang bersedih selain Kuning? Tak ada yang tahu pasti kenapa Ajay pergi. Ada yang bilang bahwa dia dipecundangi oleh suami Kuning, sampai dia pulang kampung. Ada juga yang berpendapat bahwa dia dipecundangi oleh atasannya (seorang perempuan culas tanpa hati) sehingga dia pulang kampung. Kabar terakhir: dia dipecundangi seorang pecundang yang memaksanya untuk pulang kampung. Siapakah pecundang itu? Sampai sekarang tak ada yang tahu. Tak ada juga yang berminat untuk pergi ke kampungnya Ajay untuk melihat apakah dia benarbenar ada di sana. Sampai hari ini, belum ada kejelasan perihal di mana Ajay sebenarnya. Hanya ada satu yang jelas: Ajay telah pergi dan Kuning pun sedih.

8

5. Di Manakah Akhir Sebuah Ketidakjelasan? Tonah membuka celananya di depan Sawon, membuat temannya itu tertawa terpingkal-pingkal. Wajah Tonah memerah, agak tersinggung dia. “Kenapa lo tertawa terpingkal-pingkal begitu, Won?” Sambil menahan tawa, Sawon menjawab bingung: “Terpingkal-pingkal itu apaan sih?”

dalam

Sekali lagi Tonah membuka celananya, Sawon kembali terpingkal-pingkal. Kali ini dia dimaklumi, karena dia memang betul-betul tidak mengerti. Sawon tertawa karena dia tidak mengerti. Tonah membiarkan angin berhembus ke arah selangkangannya. Ouw, rasanya sejuk dan segar! Untuk sejenak, Tonah tidak peduli dengan semua ketidakjelasan. Dia hanya ingin menikmati hembusan angin. Semua mata tertuju kepadanya. Biarkan. Semua orang menertawakannya. Biarlah.

9

Sawon terjungkal-jungkal. Dia tidak mengerti. Dia adalah kawan. Seorang kawan perlu tertawa sesekali. Tonah pun membiarkannya. Apa yang sebenarnya di nanti-nanti oleh semua orang di ruang tunggu ini? Tidak jelas. Biar, biarlah angin berhembus kencang. Meniup semua ketidakjelasan. Biar pun untuk sejenak, semuanya punya hak untuk beristirahat. Selamat beristirahat.

== TAMAD ==

10

“..Gua siap buat kemana aja, gua siap buat ngabur ke dalem hajatan gua sendiri, bacain mantra lo buat gua, Gua janji bakal lewat di kolongnya...” Bob Dylan, Mr. Tambourine Man

Ini bukan cerita lucu. Ini cerita sedih. Saking sedihnya, semua burung tiap malem jadi nangis. Di gang burem, di kontrakan peteng, di jalan-jalan gelap. Critt.. criitt.. critt.. bunyi tangis di balik bilik. Begitulah. Ini adalah cerita sedih. –Cerita yang mana? –Yang ini! –Mana? – Ini, baru mau dimulai! Adalah seorang gadis belia bernama Ipah. Yang selalu merasa bahwa dia tidak bisa dilupain. Sialnya, dia justru selalu dilupain. Sama tukang minyak, tukang ojek, tukang air, tukang langgang, tetangga kontrakan, teman

11

sekampung. Semua lupa sama dia. Semua. Tanpa sadar, dia juga sering ngelupain dirinya sendiri. Siapa ya? Tapi dia tetep bahagia. Tetep lucu. Tetep... anget. Anget, dah! Sehangat lauk kerang yang diangetin terus selagi belum habis dibeli. Ipah juga selalu ketawa. Soalnya dia percaya bahwa orang yang selalu ketawa itu enggak bakal bisa ditipu. Jadi ketawalah dia, Hahahahahaha..! Orang-orang lari. Anjing-anjing juga. Kenapa? Tanya aja sama Sawon. Dan dia bakal menjawab: “Oh yess!” Orang-orang lari. Maafkanlah mereka. Beliin silet cukur, atau pulsa. Lalu bergoyang, bergoyanglah setelah capek lari-lari. Terus duduk. Istirahat. Terus liatin wajah Ipah. Dia pasti lagi ketawa. Kuning lewat sambil bergoyang. Mulutnya memble. Jerawatnya meradang. Ada suara-suara ribut di belakang: (Copot kutang! Copot kotang!) “Ada apa sih? Kok ribut betul?” (Kancut juga! Kancut juga!) “Aaah, kalian ini...” (Copotin! Copotin! Cooppoooottt...!) “Hussy! Sudah! Sudah!”

12

(Dor! Aw!

C-o-o-o-p-o-o-t-t dah!)

Kita kembali pada kesedihan. Kenapa? Jangan tanya sama Sawon. Nanti diajak oh-yes-oh-no sampai sedih. Nanti burung-burung pada nangis. Critt... critt... critt... Omong iseng, bagian sedihnya di mana ya? Burungburung nangis itu kan biasaaa... gak sedih, ah! Manaaa... mana bagian sedihnya? –Ini, sebentar lagi! – Maannaaaa...? –Berisik, brengsek! Ceritanya, Ipah mau mudik. (Oooooohhh...) Dia dipanggil Ibunya di kampung untuk bantu-bantu ngegaremin telor. Sebentar lagi kan musim duren. Apalagi di laut sedang ada angin badai. Jadinya Terminal kampung kita suka seram di malam hari. (Ooooooohhh...) Brebes terkenal juga dengan bawang merahnya. Buset. Tentu saja enggak perlu dipikirin. Yang perlu dipikirin adalah wajah Ipah yang mendadak sendu-sendu tahi kelabu. Tawanya hilang. Berganti dengan tahi? Tentu saja tidak. Dia sedih. Dan kesedihannya adalah sumber kesedihan dari cerita ini. Dia mau pulang. Padahal belum sempat bergoyang di atas genteng saat bulan sedang purnama.

13

Wanita serigala. ooooaaaanggh !!

Lelaki

musang.

Aaauuuuuuu...

Sudah dulu ya? Ini saatnya untuk bintang-bintang. Ini bintangnya  * * * * * Kuning ingin cerita cinta. Dia pingin bicara cinta. Seperti Vina. Dia pingin mendengar cinta. Seperti Acha. Dia pingin membaca cinta. Seperti... seperti... sepertinya ada suara-suara berisik lagi di belakang: (Telanjang! Telanjang! Telanjang!) Kuning pingin... bercinta. (Kita juga pingin! Pingin! Pingin doooong !) Lalu dia memanggil Ajay. Mereka pun duduk berdua. “Mas Ajay, bacain puisi dooongh..” Ajay menarik nafas, lalu: “Nasi uduk, ikan tongkol...” Kuning mendesah: “Teeeerrruuuusssh...?” “Sambil duduk, pegang-pegang... ikan tongkol,” “Disambelin enggak?”

14

Ada yang tersenyum. Ada ojek. Ada satpam. Ada rasa coklat, nanas, kelapa, telor asin, bawang goreng. Ada tangan yang melekat di susu. Nenen. Ada mata yang terpejam. Ada nafas yang................. wuuaayyyoooooo !! Sudah, sudah, ayo kita liat bintang-bintang lagi. Ini bintangnya  * * * * * Semua orang sudah pernah menyentuh Ipah. Kencengkenceng. Tukang minyak, tukang air, tukang langgang, tukang kangkung, tetangga di Tegal, di kontrakan, disewakan. 1 x 24 jam harap lapor. Semua sudah. Semua. Kecuali satu: seorang pemuda bernama Jhon Simanungkalit. Pemuda ini wajahnya keras. Kupingnya lembut. Bicaranya santun. Minumnya santan. Pandangan matanya tajam. Dengkulnya tumpul. Selalu dudukduduk sambil pegang-pegang... ikan gurame. Jhon kenal Ipah sejak setahun yang lalu. Waktu itu dia tanpa sengaja menumpahkan kopi ke pangkuan neneknya. Karena sebentar lagi musim dukuh bakal datang, Ipah pun lewat tanpa sadar –beneran enggak sadar, soalnya dia lupa sama jalan pulang ke rumahnya. Di pinggir jalan, gadis pelupa dan suka ketawa ini melihat seorang nenek yang melompat-lompat

15

kepanasan dan seorang pemuda yang sedang menjambaki rambutnya sendiri. Lalu mereka pun berkenalan. Jhon menjelaskan siapa dirinya pada Ipah. Kapan dia lahir, siapa orang tuanya, pekerjaan dia sekarang, bahkan nomor telepon kantor polisi terdekat. Begitu juga dengan Ipah, semuanya dia sampaikan pada Jhon dengan sekomplit-komplitnya. (Jadiii... Ipah itu siapa? Kerjanya apa? Ukuran berapa?) (Tanya aja sama Jhon, dia yang tahu!) Bintaang, bintaang.. sini ngapah! (ada apa Mas?)  * * * * * Sini aja, aku pingin liat kamu... Karena adanya perputaran roda delman, maka itu ada bangku di taman. Pada bangku itu duduklah sepasang manusia, Ajay dan Kuning. “Mas ajay, aku sudah enggak murni lagi... aku sudah sering di... pegang-pegang... sama... banyak orang,” Kuning memulai desah merdunya. Ajay tetep anget dan santai, “Siapa bilang kamu gak murni lagi? Kemurnian itu ada di dalem, enggak bakal kena kalo cuma dipegang-pegang dari luar. Dicuil-cuil,

16

diremes-remes, biar dicucus sekalian, kalo hati kamu belum kesentuh... kamu masih murni, cayaaangg... aw!” “Meoooonngggh... guk! Guk!” “Kuniingg...” “Iya Mas?” “Sinih, aku mau ngemek-ngemek sampe kamu meletek dewek.” “M-o-o-o-n-g-g-o-o-o M-a-a-s-s-s... “...

Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw!... Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw!Aw!Aw! Aw!Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw!Aw! Aw!Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw! Aw ! Aw ! Aw ! ...”

17

@#!... ?$%... *&^... @#!... ?$%... *&^... @#!... ?$%... .... ... ... ..., “Mas Ajay.. kamu udah bikin aku enggak... murni lagi” “Lha? Aku kan cuma pegang-pegang luarnya aja?” “Tapi... berasanya sampe ke... dalem...” Ajay melihat ke bawahnya Ning, “Oh iyah.. basah.” Langit gonjang-ganjing terang ke gelap. Kilat menyambar bikin udara jadi mengkilap. Khilaf meluap. Azab! Azab! Azab! Siapa berani berbuat, berani jugalah bertanggung-jawab! (Pak Misnadi tampak macho hari ini) (Ay, kata siapa?) (emh.. kata bintang-bintang) Ini bintangnya  * * * * * Waktu Jhon mendengar Ipah mau mudik, dia langsung buru-buru pergi ke pasar. Mencengkeram kerah baju seorang tukang sayur sambil berteriak: “Kamu tahu enggak bahwa Brebes terkenal juga dengan bawang merahhhnnyaaaaa ...!!!!??” Tukang sayur itu mengacungkan clurit sambil teriak: “Siapa yang peduliiiiii.... breeeengssseeeeeeeek !!!!”

18

Lalu dia berlari menjumpai Ipah. Kali ini tidak ada tawa. Dari mulai baris ini sampai penghabisan. Hanya ada wajah-wajah sendu. Dua pasang mata mulai membasah. “Jadi, kamu mau pulang kampung?” Ipah mengangguk. “Enggak bisa ditunda lagi?” Ipah menggeleng. Jhon menarik nafas berat, “Kamu tahu, Ipah? Dari semua lelaki yang mengenalmu, cuma aku saja yang belum pernah menyentuhmu. Dan sekarang... kamu akan pulang,” “Kamu salah Son, kamu salah! Dari semua lelaki yang aku kenal, justru hanya kamu yang menyentuhku paling dalam...” Ipah menunjuk dadanya, “kamu menyentuhku ... di sini.” Jhon tampak bingung, “Rasanya... aku enggak pernah megang-megang susu kamu?”

19

“Bukaaan, bukan itu! Maksudku di dalam sini, di dalam hatiku... kamu satu-satunya lelaki yang bisa menyentuh hatiku.” Ipah menundukkan wajahnya. “Lagian kalo kamu mau megang-megang, aku juga enggak bakal keberatan... kamunya aja yang enggak pernah mau... kenapa sih?” Jhon tersenyum, “Aku mau jagain kamu Ipah... bahkan dari diriku sendiri.” Pipi mereka berdua bersemu kemerahan. Duhai, keterharuan merah jambu. Dua tangan menyatu dalam genggaman asmara. Gerimis yang turun siang tadi telah membersihkan udara. Semburat kemerahan menghiasi langit. Meski cuaca masih agak mendung, tapi tenggelamnya matahari di langit senja selalu menyenangkan untuk dilihat. Sebuah perpisahan akan terjadi sebentar lagi. Jhon dan Ipah mencoba untuk menerima kenyataan itu. Bukankah perpisahan adalah sesuatu yang pasti? Suka atau pun tidak, kita harus belajar untuk selalu ikhlas melepas semuanya. Jika waktunya tiba. Selamat jalan, Ipah. TAMAT

20

1. Waktu Angin Bertiup Kenceng

“Jenengmu sapa ya?” “Ummm... Kuning,” “Tokai...” “Masse.. perlu korek?” “Tokai...” Satpam itu namanya Ajay. Tubuhnya tegap, pikirannya busuk. Buset. Dia termasuk lelaki jenis Komodo. Apa beda Buaya dengan Komodo?... coba ditebak dong. Komodo itu lebih lincah dari Buaya. Tambah lagi: Lelaki jenis Komodo Darat lebih suka sama perempuan yang memakai kancut murah. Yang penting anget.

21

Kuning adalah seorang penjaga Warteg, bukan Wartel. Apa bedanya Warteg sama Wartel?... coba dipikir sendiri. Dia baru datang bulan kemarin, aplusan dengan penjaga sebelumnya. Kulitnya mulus, rambutnya lurus, mulutnya memble, suka mendesah. Kuning pun mendesah: “Saya aplusan dengan penjaga sebelumnya. Dia pulang kampung karena pingin anget tapi aman. Orangnya agak latah, mungkin gara-gara bibirnya agak... umm, gimana ya? Om bilang: enak dikenyoott...” Suasana mendadak ribut. Tonah datang. Tobat. Banyak yang tanya-tanya (tapi sedikit yang ngasih duit): Tonah itu cewek apa cowok? Sawon bilang: dia itu cewek. Waktu Tonah umur 12 tahun, dia dikeroyok sama serombongan laki-laki. Sejak itu dia enggak suka sama laki-laki, dia lebih suka sama perempuan, tapi perempuan enggak ada yang suka sama dia. Karena itu dia jadi sakit cacar air. Buset. Orang-orang bilang: dia kena kutuk. Makanya ada ular belang di bawah bantalnya. Dia enggak peduli. Yang penting anget. “Saya mau kenyot.. eh, maksudnya... rawon,” Si Ajay mendadak latah.

22

Belakangan ini angin bertiup kencang betul. Medeni. Atap Warteg bergoyang-goyang, seperti dinding bilik rumah kontrakan di malam Minggu. Banyak kucing kawin. Apa bedanya kawin sama rawon? Enggak usah dipikir. Masa depan tergantung pada kemauan manusia untuk bergerak maju. Oleh karena itu janganlah terlalu menghitung uang kembalian. Ikhlas, tulus hati, dan sebagainya, dan seterusnya... “Saya di sini enggak lama lho. Nanti juga di-aplus. Jadi kalo mau cium saya, cepet-cepet saja. Endak usah nunggu saya takluk. Kelamaan... nanti saya keburu mudik.” Si Kuning mendesah lagi. Dan seterusnya.. mau kemana para Komodo? Si Ajay belingsatan. Dia kepingin betul menempelkan tangannya di sekitar pantat mbak Angel. Tapi dia masih sibuk mikirin bedanya kawin sama rawon. Buset. Kenapa masih dipikir, Jay? Enggak ada untungnya juga! Angin bertiup lebih kenceng. Semua kucing kedinginan. Dan Kuning pun mendesah (lagi): “Ayoooo, doong... bikin dada saya mekar gede! Ayo! Ayo! Siapa berani? Siapa? Aw!” Ajay belingsatan. Dia mau. Dia tahu. Dia bakwan jagung.

23

2. Karena Kucing Bukan Komodo

Kenapa mesti pusing mikirin kelanjutan dari semua ini? Kita bukan kucing, bukan? Ajay memang komodo, tapi dia juga punya anak-bini. Maka biarkan saja dia jatuh suka sama mbak Angel dan tetap kepingin meremasremas Kuning. Berani sumpah pikirannya memang busuk, tapi jangan sebut dia saru. Nanti dia bisa tersipusipu malu. Kemaluan. Buset. “Ayo mas. Cium saya,” desah Kuning. “Saya pingin pergi ke perbatasan Tegal,” jawab Ajay. “Mau ngapain?” “Beli kancut...” memang asyik bila bisa menginap dengan penjaga Warteg. Asmaranya selalu singkat. Selalu berganti. Aplusan. Dua bulan dengan Icih, dua bulan sama Tini, dua bulan sama kucing. Asal saja perutnya jangan di buat melentung. Nanti kamu bisa dicari-cari sama keluarganya. Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Uwak, Kakak,

24

Adik, semuanya datang nyari-nyari sambil bawa sekeranjang telor asin. Mereka semua biasanya memakai celana dalem yang sudah distempel dengan tulisan: BREBES. Asli. Yang penting anget. “Nama panjangmu apa?” “Kuning Sekuning Kuningnya.” “Tokai,” “Korek, Mas?” “Kancut.” Tidak semua dalam hidup ini harus dimasukkan dalam keranjang. Tidak, tidak semua. Telor asin, boleh juga. Dimakan mentah-mentah? Buset. Tidak, sekali-kali tidak. Awas, ada Tonah. “Lurus, lurus! Banting kiri, Balaaas ! Aw !” Banyak orang tidur di bawah pohon. Suatu hari nanti mereka akan kelilipan batu kerikil. Biar saja. Si Encek jualan majalah Playboy. Biarkan saja. Sudah, biarkan saja. Ya sudah, biarkan! “Saya cuma lulusan SD..” Kuning mendesah.

25

“Apa hubungannya dengan ukuran celana dalem?” Ajay mendesis. “Ayo dong, dada saya diperbesar..” “Saya mau..” “Mau? Betul?” “Saya mau tahu berapa ongkos ke Tegal.” “Ooooh...” Si Encek juga ngojek. Jangan usil. Sebanyak jumlah bajay di Jakarta. Sebanyak rasa penasaran para remaja. Pergilah tikus-tikus! Semua orang pingin makan dengan aman. Dan kelupaan membayar adalah sebuah rahmat yang tak terkira nilainya. Jangan ada keusilan di antara kita. Jangan berburuk sangka. Jangan gampang curiga. Santai saja. Sambil minum arak cina. Siapa tahu jadi penyanyi terkenal. Demikianlah yang sering dinasihatkan Uwak A’an kepada semua ikan lele yang bakal di goreng. Tentu saja mereka enggak peduli. Ya sudah, biarkan saja. “Lurus! Lurus! Luuuruuusss... Aw !”

26

3. Merelakan Semua Tanpa Ada Tikus

Enggak ada maksud tersembunyi dalam celana dalem. Kecuali isinya, yang memang sengaja disembunyikan. Sembunyikanlah, ya, sembunyikan. Jangan diumbar, woy! Enggak ada maksud tersembunyi dalam setiap omongan. Enggak ada niat jahat. Semua itu selalu bisa kita masukkan dalam kancut. Bukan begitu bukan? Pergilah kepedulian. Lenyap ditiup angin kenceng. Kabur seperti kucing yang disiram air, dilempar batu, digetok sapu, pergi, pergiii !!! Kita semua selalu butuh untuk dibutuhkan. Maka lakukanlah apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu. Bukan begitu bukan? “Betul, betul-betul saya kepingin dicium.” “Kamu bikin saya belingsatan,” “Naek Kereta Ekonomi aja, lebih murah.”

27

“Kamu pingin dicium di dalem kereta?” Wajah Kuning memerah. Gusti, ampuni Kakek kami. Juga Eyang Putri, yang selalu kakehan cangkem. Gusti, apakah salah bila si Ajay bisa menggoyangkan pinggul dengan kecepatan dua puluh lima kilometer per jam ? Kuning kepingin betul. Betul-betul dia berniat. Gusti, tuluskan niat kami. Tuluskan. Ikhlaskan dan sebagainya, dan seterusnya. Cirebon, Pekalongan, Madiun, Pati, Rembang, Solo... “Nama gua Tonah! Nama gua Tonaah! Nama gua Tooonnnaaaaaaah..!!” Segala yang indah akan berakhir, tapi dia akan menjadi indah bila sudah terjadi. Jadi, bagaimana bisa indah kalo belum dilakukan? Ingat, jangan sampai ada penyesalan, apa pun yang kamu lakukan; jadi, yang terutama adalah melakukannya; jadi, lakukan saja.. demikianlah nasihat dari embah Sanglir. “Namaaaa guuuuaaaaaaaaa........ Aw ! Aw !! Aw !!!” Tikus-tikus berlarian kenceng, angin juga bertiup kenceng, semua harapan melaju dengan... kenceng. Kucing-kucing mengeong santai. Para buaya menguap santai. Ajay adalah panglima, Panglima para Komodo.

28

Karena itu dia berada di perbatasan antara kenceng dan santai. Kisah ini akan segera berakhir. Ah, tak disangkasangka: ternyata, kangen juga. Pingin bersama lebih lama, tapi takut jadi basi. Itulah perasaan Kuning. Pingin lebih lama, tapi takut si mbok nyuruh mudik. Itu juga perasaan Kuning. Lalu bagaimana dengan perasaan Ajay? Dia tetap sama. Masih pingin meremas-remas, masih terpincut sampai kerucut dengan mbak Angel. Sampai dia gemas, cemas, dan meremas-remas kepalanya sendiri sambil buang hajat. —Selamat datang di hajatan Ajay. Mohon ma’af bila rada mambu.— Kadang sampai kebawa mimpi. Dia pun meremasremas anunya sendiri. Lalu anunya berteriak-teriak ramai: “Aw! Aw!! Awas ya ?! Jangan bikin gua keriput, awass..!!” —Selamat datang di mimpi Ajay. Mohon ma’af bila rada saru.— Agak kacau memang, tapi gurih juga. Tinggal kasih garam, kecap, dan bawang goreng. Akhirnya, perasaan mereka bertemu juga. Direbus juga enak. Atau dicampur telor orak-arik. Sudahlah. Perasan mereka bertemu, itu yang terpenting.

29

“Seperti di film Heart ya?” “Enggak ah, enggak mirip sama sekali.” “Pipiku panas nih,” “Tokai.” “Jangan pakai korek, ah..” “Tokai..” “Iiiiiihhh.. A-a-a-a-a-j-j-j-j-a-a-a-a-a-a-a-a-y...” Tangan Ajay di pantat Kuning, tangan Kuning di kantong Ajay. Sepertinya semua berjalan dengan baik. Kenapa tidak? Sudahlah. Buset. Buaya. Komodo. Kucing. Tikus. Semuanya bersatu-padu membikin barisan di depan Warteg. Meninju semua perbedaan. Dug ! Memiting Ratu-Raja. Ngik ! Menggulingkan Penindasan. Dor ! Dor! Dor !! Dor !!! Dor !!!! Sore itu angin masih bertiup dengan kenceng. Tapi tak terasa dingin, kata Kuning; karena dia dipeluk Ajay. Sambil diremas-remas... Aw ! **************************************************************

30

THE END

Sponsored By: -

www.geocities.com/afriza1978

-

www.afriza78.blogspot.com

-

www.afrizaprops.blogspot.com

-

[email protected]

-

[email protected]

-

[email protected]

-

Mobile: 085959181884

31

Related Documents

The Warteg Trilogy
November 2019 31
Difinisi Warteg
October 2019 58
Quality Trilogy
June 2020 16
Warteg Laaziz.pptx
December 2019 29
Trilogy Zayupress
November 2019 44

More Documents from "Anonymous 0U9j6BLllB"

The Warteg Trilogy
November 2019 31
Dafpus Protein.docx
December 2019 25
Cover Ta Fixx.docx
November 2019 22