DAFTAR ISI
Disusun Sebagai Konsep Awal Merancang Disain Program Kota Wisata Pesisir Jakarta Utara
PT Sendiifa Bergerak Chief Director: Imam M Sumarsono
Co Director: Wiastuti
Creative Team: Adityo Budi, Dwi Wahyu Adi Nugroho, Indra Marvfiansyah, Arief Setyo Budi.
Design: Ones, Denni N Ja Seorang laki- laki yang sehari-hari mencari sampah pelastik duduk di perahu saat bersandar di sekitar hutan bakau; suaka marga satwa; Jakarta Utara (19/09/2008) Menurutnya Volume sampah pelastik kian hari terus meningkat bila tidak di tangani dengan baik akan mengancam ekosistem di daerah tersebut.
4 Bonek Or Never
18 Kreatif dan Murah
8 Belajarlah,
22 Zonasi dan
(Meski Tidak Harus) Sampai ke Negeri Cina
Profiling Market
10 Tema & Karakter
24 Jakarta Utara,
16 Integreted Program
28 Kawasan Panas
Pada Suatu Sore…
Yang Kaya
Home Base: Jl Kuricang II blok GA5 No 6, Bintaro Jaya Phone Number: (021) 98565293 Fax Number: (021) 7373073 E-mail:
[email protected]
Bonek Or Never Mike Bloomberg terkenal oleh dua hal paling tragis. Pertama, dialah pejabat walikota New York saat terjadi tragedi Black September. Kedua, dia jugalah walikota paling gila di dunia.
} NeverOr Mengubah Paradigma Jakarta Utara Menjadi Kota Wisata
Bonek
M
ike adalah satu-satunya walikota di dunia ini, yang dengan berani mengalokasikan anggaran kota –kalau di Indonesia APBD—untuk menggaji seorang manajer pemasaran. Tidak main-main, yang ditunjuk adalah seorang manajer pemasaran yang berhasil memasarkan jaringan karta kredit MSNA ke seluruh dunia, yang sekarang masuk ke dalam daftar sepuluh besar sebagai olah raga bisnis
paling banyak menghasilkan uang. Mike melakukan hal itu, beberapa bulan setelah kota New York hancur dan harus pulih dari tragedy paling traumatik bagi rakyat Amerika. Mike tak mau terus menangis. Juga, dia tak mau terus dan terus mengingat bagaimana dua gedung paling bergengsi di Amerika, hancur berantakan. ***
Bonek Or Never
Drs Bambang Sugiyono, baru beberapa bulan diangkat menjadi Walikota Administratif Jakarta Utara. Dalam catatan media, sepanjang sejarah mereka yang pernah menjabat sebagai walikota Jakarta Utara, belum ada yang lantang menjadikan wisata sebagai agenda besar.
Y
a, agenda besar (paling tidak) sampai dia menjabat sebagai walikota! Amazing… Kenapa? Mari kita tanya lima orang Jakarta, yang tidak tinggal di Jakarta Utara. Apa kira-kira yang ada dalam awarness atau memory singkat mereka tentang Jakarta Utara? Survei kecil-kecilan menyebutkan, jawaban yang paling sering muncul adalah: Jakarta Utara adalah kota yang panas, Jakarta Utara kumuh, bau, kotor, sumpek, padat, dan tempat yang paling banyak kejadian kejahatan. Lalu, mari kita tanya mereka tentang wisata. Misalnya, wisata apa yang paling mereka sukai di Jakarta Utara? Jawabnya juga mudah ditebak: Ancol! Lalu, bagaimana dengan rumah Pitung, Museum Bahari, Pelabuhan Sunda Kelapa, kawasan Marga Satwa, Masjid Luar Batang? Jawabnya juga mudah ditebak: Ooooooooo……. ***
S
epanjang tahun 1998 sampai 2008, kawasan rekreasi di Ancol menambah ham-
pir empat wahana baru rekreasi. Ini belum lagi game-game baru. Mulai dari Sea World sampai Outbondholic. Ditambah lagi Pasar Apung. Hal yang sama juga terjadi di WTC Mangga Dua. Tiba-tiba saja berdiri megah dengan luas tanah hampir empat hektar. Di sepanjang jalur itu, cuma gedung itu yang paling tinggi, luas dan megah. Juga kawasan Kelapa Gading. Bulan-bulan saat krisis global terjadi, kita serasa di tempat yang bukan bagian dari Jakarta Utara begitu memasuki kawasannya. Berbagai ruang terasa berbeda. Bagi yang biasa bepergian ke luar negeri, rasanya ada nuansa Singapura atau Hongkong saat malam menjelang di sepanjang jalur utama Kelapa Gading. Begitu juga saat memasuki mall dan apartemennya, yang tentu saja dengan view utama laut Jakarta. Rasanya: mahal dan mewah! Ini tentu saja kontradiktif. Dan, yang pa ling cocok menjadi sasaran kritik, caci-maki, cibiran dan tumpahan kesalahan, ya cuma satu: pejabatnya. Itulah logika awam. Bahwa, jika ada tem-
pat yang nyaman dan menyenangkan buat penghuninya, itu dianggap sebagai prestasi yang membangun. Sementara, jika ada ruang yang tidak sesuai dengan harapan, maka pejabatlah yang harus bertanggung-jawab. Lalu, bagaimana membangun paradigma baru di Jakarta dalam realitas pertumbuhan social-ekonomi yang begitu kontras? Juga, bagaimana memulai sementara pohon-pohon yang ditanam di sepanjang jalan yang sering dilalui kendaraan-kendaraan besar belum juga rindang? Seperti kisah Mike Blomberg, yang hanya butuh waktu tak lebih dari 18 bulan untuk membuat New York kembali kunjungi oleh hampir 42 juta wisatawan. Dimana, 11 persen dari mereka adalah wisatawan keluarga dari luar Amerika. Maka, yang dibutuhkan Jakarta Utara adalah visi yang kuat tentang kemana kota ini akan melangkah. ***
M
odal awal sebenarnya sudah ada. Yaitu, semangat Walikota untuk menjadikan Jakarta Utara sebagai tujuan wisata. Bukan
saja tingkat nasional, tapi internasional. Persoalannya, pejabat di Indonesia –siapapun dia—saat ini sedang menanggung beban euforia yang cukup berat. Perubahan system pemerintahan, berubahnya konstitusi mulai dari tingkat atas sampai pelaksanaan, kuatnya control dari public dan agenda-agenda perubahan yang begitu cepat, mau-mau tidak mau membuat pejabat sekarang harus bekerja empat kali lipat dibanding pejabat yang dulu. Pejabat bukan lagi pemegang otoritas mu tlak. Pejabat tidak bisa lagi bergerak linier dalam koridor yang telah dibangun untuknya. Pejabat telah berubah; dari kontroler atau tukang ngontrol menjadi aranger. Seperti sebuah orkestra, pejabat adalah koduktor yang memegang garpu tala. Sebuah irama yang monoton, akan menjadi mesin produksi apatisme terhadap program-program yang akan dijalankan. Rakyat butuh ritme yang harmonis. Yang di dalamnya terdapat sebuah simfoni yang menggabungkan perbedaan, persamaan, ke sulitan, peluang, kemudahan dan keterbukaan. Now Or Never….(***)
Belajarlah, (Meski Tidak Harus) Sampai ke Negeri Cina
Belajarlah, (Meski Tidak Harus)
Sampai ke Negeri Cina M
akam Sunan Bonang, letaknya jauh. Dari kota Tuban, masih 30 kilometer. Lokasinya persis di sisi bukit yang menghadap pantai utara Jawa. Orang-orang mengalir ke tempat itu –terutama pada malam Jumat dan hari keramat orang Jawa. Yang menarik saat kita melintasi kota Magelang, sekitar 30 kilometer dari Yogyakarta, adalah berhenti sejenak untuk belanja. Tentu saja Bakpia Pathok! Rasanya mak nyus. Gabungan antara renyah dan manis. Juga, kalau kita bepergian ke Kota Batu, Malang. Meski harus melintasi jalanan yang naik-turun dan berkelok, menikmati makan apel sepuas-puasnya di kebun apel dekat Selekta atau Songgoriti, bisa menghapuskan lelah. Ada lagi, kalau kita ke Batam, jangan sampai tidak mampir ke Nagoya Center. Meski kita tahu bahwa barang-barang di situ masuk
kategori black-market, rasanya sayang kalau tidak sempat membawa aneka bau minyak wangi kelas dunia. Juga, beberapa assesories dengan merek-merek papan atas. Agak jauh sedikit. Yang enak saat kita pergi ke Bangkok adalah jalan-jalannya. Dulu, sebelum ada konflik antar-rezim, di sepanjang jalur utama Bangkok terdapat bangunanpadu. Antara bangunan kuno dan modern. Persamaan Bangkok dengan Jakarta ada satu: macet! Tapi, lalu-lintas teratur. Kendaraan roda dua dan empat bergerak sesuai jalurnya. Pe ngaturan dilakukan oleh polisi yang tak terlalu banyak jumlahnya. Yang paling diperhatikan adalah antrean. Polisi bisa bertindak sangat tegas pada mereka yang menyerobot antrean. Juga pada para penumpang bis umum. Meski panjang, antrean tetap sangat tertib.
Tema & Karakter
P
Tema
& Karakter
ertanyaan yang selalu muncul untuk memulai usaha wisata selalu sama. Yaitu: apa yang bisa kita jual? Jawabannya bisa sangat panjang untuk pertanyaan sependek ini. Perlu ada kajian, research, survey atau serangkaian kerja manajerial. Tapi, ada juga jalan pintas. Yaitu de ngan semangat dan intuisi. Setiap manusia pada hakekatnya mempunyai ruang relaksasi atau peristirahatan. Ruang itu jika tidak pernah diisi dengan aktivitas rileks, santai atau menghibur, yang terjadi adalah ketegangan psikhis dan biologis. Efeknya bisa mengurangi nilai hidup manusia itu sendiri. Nah, di situlah perlunya wisata. Hiburan. Jalan-jalan. Vacation. Istirahat atau apalah namanya, yang penting orientasinya adalah untuk melepaskan manusia dari jerat rutinitas kehidupannya. Dan, inilah problem besar dari memba ngun sebuah usaha wisata. Sebab, soal wisata bukan Cuma soal bangunannya saja. Tapi, lebih penting dari segalanya adalah: apakah tempat atau usaha wisata itu bisa memenuhi ruang kosong tiap manusia yang membutuhkannya? Secara substantive, kebutuhan itu akan mengerucut pada kebutuhan psikhologis, tentunya. Sehingga, wisata pada hakekatnya adalah masalah psikhologis, Kesimpulannya, membangun wisata adalah membangun sebuah tema dan karakter psikhologis. Bukan saja bangunannya. Tapi juga tools atau perangkat-perangkat yang ada di tempat itu. Apakah perangkat-perangkat
itu bisa membawa tempat wisata ke dalam ruang psikhologisnya yang kosong? Jadi, tema dan karakter seperti apa yang harus dibangun? Pertama, jelas harus terkait dengan kebutuhan dasar manusia. Yaitu kebutuhan akan hal baru atau rasa ingin tahu. Kebutuhan untuk dihargai atau prestise. Kebutuhan akan kenangan, sejarah atau hal-hal yang meng ingatkannya pada masa lalu. Dua, sebuah semangat yang akan menjadi tujuan di masa depan. Ini terkait dengan jargon, komitmen dan massage atau pesan-pesan yang akan diinformasikan secara terusmenerus. Tiga, dibangunnya garis demarkasi psi khologis. Ini adalah sebuah rangkaian perangkat atau infrastruktur yang dibangun untuk mengingatkan orang pada satu hal. Atau, untuk mengarahkan orang pada suatu masa yang akan dicapai. Agak rumit, memang. Namun, secara konseptual ini mesti didiskusikan. Sehingga, ketika sebuah wisata akan dibangun, maka akan terjadi penguatan konseptual yang bisa mempercepat pembentukan jati-diri tempat wisata atau tema wisata itu sendiri. Inilah yang kemudian membuat makam Sunan Bonang, Bakpia Pathok, Kota Bangkok dan tempat-tempat wisata yang sudah terkenal menjadi terus-menerus dikunjungi orang. Ada tema besar yang terbangun di situ. Tema sejarah, tema legenda, tema rasa, tema kenyamanan, tema terhadap suatu kehidupan yang dicita-citakan. Itu semua bisa dibuat, kan?(***)
Tema & Karakter
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Tempatnya, Bangunlah Warganya
Tema & Karakter
Bung Karno pernah dituding sebagai borjuis Jawa. Penampilannya perlente. Kebijakan luar-negerinya penuh petualangan. Proyek-proyek nasionalnya mentereng dan mercusuar.
T
ahun 50-an, waktu proyek pembangunan Monumen Nasional dimulai, kecuali PNI dan PKI, semua menolak proyek itu. Mulai dari bisik-bisik sampai melakukan gelombang aksi turun ke jalan. Sekarang, apa hal yang paling mudah di ingat orang di republik ini tentang Jakarta? Jawabnya: Monas! Diterima atau tidak, Monas tetap berdiri tegak dan belum ada satupun bangunan pembanding seheroik Monas di republik ini. Meski, kalau dikalkulasi secara angka, proyek pembangunan Monas mungkin tidak semahal membangun Menara BCA di Sudirman, misalnya. Atau, masih jauh lebih murah dibanding dengan membangun kawasan Kota Mandiri di Karawaci, di BSD atau Cikarang. Monas pada akhirnya bukan soal angka. Tapi, soal kepribadian dan kebanggaan bangsa. Juga, bagaimana dengan jalan tol? Atau,
jembatan Suramadu? Atau, busway? Atau, Taman Mini Indonesia Indah? Atau, Stadion Gelora Bung Karno? Kontroversi jelas ada. Mungkin juga besar. Perlu waktu untuk menjelaskan bahwa proyek itu pada akhirnya adalah untuk rakyat juga. Meski, di dalamnya ada bisik-bisik soal korupsi atau segala macamnya, toh ada hukum yang menyelesaikan. Bangunan-bangunan itu akan kokoh sampai turunan generasi ke sekian dari bangsa ini. Begitulah perbedaan paling substansial dalam membangun sebuah monumen besar. Ini sangat berbeda dengan ketika seorang yang kaya, membangun bangunan yang begitu megah. Angka-angka yang dihabiskan, tidak akan pernah bisa mengalahkan dari tema besar yang menjadi dasar pijakan awal, saat sebuah monument akan dibangun. Itulah jiwa…
Integrated Program Jaman sudah berubah. Ruang-ruang public –baik fisik, administrative atau proceduralmakin terbuka. Tak banyak lagi bagi orang-orang oportunis, petualang politik atau juga tikus-tikus proyek bisa bertahan dengan cara hidup yang seperti itu.
Integrated Program
S
eluruh elemen kehidupan sudah terintegrasi; lewat teknologi, lewat gerakan parlemen yang menghasilkan konstitusi, atau lewat networking group yang terus-menerus bekerja untuk mengembangkan jaringan. Jadi, ketika suatu kota sudah men-declare akan menjadi Kota Wisata, ini akan menjadi bola salju yang terus menggelembung. Kenapa? Publik sudah semakin cerdas. Elemen-elemen masyarakat madani yang terus-menerus mengembangkan jaringan, akan menjadi alat pengontrol terhadap dinamika kebijakan public. Juga, peran media yang terus-menerus membangun diri sebagai kekuatan perubahan. Mau tidak mau, pencanangan terhadap suatu program, akan menjadi catatan yang akan terus dipantau. Di sinilah, sudah waktunya pemangku ja-
batan tidak bekerja sendirian. Tidak berpikir sendirian. Dan, tidak melakukan klaim keberhasilan secara sendirian pula. Perlu sebuah program terintegrasi. Kenapa? Pejabat, meski masih tetap menjadi pemegang otoritas dan representasi dari kekuasaan, adalah pemegang kewenangan public yang terus-menerus dipantau. Implikasinya, pejabat tidak bisa lagi sendirian melaksanakan program. Yang diperlukan saat ini bukan cuma kerjasama. Tapi membangun networking, baik dalam skala taktis atau strategis. Pejabat tidak bisa lagi menampilkan kepentingan sektoral. Tapi sudah dituntut untuk mewakili sebuah konstituen kepentingan yang multi-sektoral. Untuk melakukan itu, yang diperlukan adalah kebijakan-kebijakan kreatif dan terintegrasi.
Kreatif dan Murah
Kreatif dan Murah
S
ampai hari ini banyak orang Jakarta kesulitan untuk memutuskan; kemana menghabiskan waktu libur minggu ini? Ke Puncak, ke Singapura, ke luar kota, ke Anyer atau sho ping aja. Yang paling membantu orang Jakarta untuk memutuskan waktu libur adalah informasi dan antusias. Ke Puncak, orang Jakarta sudah tahu arah menuju tempat itu. Meski, saat di Puncak pilihannya jadi beda. Ada yang langsung sewa vila, bagi yang sudah tahu, ada juga yang malah bingung mau kemana karena di sepanjang jalan di Puncak, bukan hal yang mudah untuk mencari tempat persinggahan. Apalagi jika hari libur. Shoping, tentu saja menarik. Tapi kemana? Kalau ingin melihat merk terkenal, ya Plasa Indonesia. Kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sambil jalan-jalan, ya ke Carrefour atau Giants. Nah, bagaimana kalau mau cari barang-barang antik? Atau cari barang yang jarang ada di Jakarta, misalnya mencari hiasan dinding dari kerang, atau buntut ikan pari untuk hiasan mobil?
Inilah perlunya kreatif. Membangun sebuah tempat wisata, secara otomatis akan membangun perangkat ekonominya. Ini berarti harus menyiapkan potensi terbesar masyarakat di sekitar wilayah wisata. Tanpa itu, bangunan wisata hanya menjadi tempat kosong belaka. Nah, dengan banyaknya dewan-dewan atau organisasi yang berorientasi pada pe ningkatan usaha kecil, kenapa di Jakarta Utara tidak menjadikan ini sebagai agenda besar? Mungkin, sudah waktunya pejabat Jakarta Utara berkonsentrasi pada potensi ekonomi apa yang paling bisa dijual? Hasil laut, daur-ulang limbah plastik, bisnis transportasi antic seperti ojek sepeda wisata atau andong wisata, memberi fasilitas pada warga untuk membangun pusat jajanan khas laut? Sebuah konsep aplikatif sangat diperlukan untuk membentuk unit-unit wisata mandiri yang tumbuh dari masyarakat sekitar lokasi wisata. Tanpa itu, berat rasanya menjual tempat wisata. Meski dengan dana yang berlimpah…
Zonasi dan Profiling Market
Zonasi dan Profiling Market
O
ke, ketika sudah ada konsep aplikatif untuk stakeholder di sekitar lokasi wisata, apa lagi yang diperlukan? Zonasi atau pemetaan wilayah. Di sinilah peran utama pejabat sebagai pemegang otoritas sangat diperlukan, yaitu mengatur dan membuat aturan main.
Jelas, tempat yang sudah dijadikan sebagai obyek wisata, tidak bisa diperlakukan sebagai tempat bisnis biasa. Atau, hanya sebagai lingkungan tinggal biasa. Perlu sebuah program stimulant. Misalnya saja dengan mengajak warga sekitar untuk membangun wisata kuliner sesuai dengan
karakter. Pemerintah Kota sebagai pemangku jabatan di tingkat Kota, bisa mendorong aparat di tingkat bawah untuk menyalurkan kredit mudah bagi mereka yang akan membangun tempat usaha berorientasi pada obyek wisata. Selain kuliner, kan bisa juga dibangun sarana kraft. Atau, katakanlah suku dinas terkait bisa memstimulir dengan pemberian modal bagi warga yang mempunyai keahlian untuk membuat kraft yang berorientasi pada lokasi wisata. Atau, pemerintahan di tingkat bawah membuat zonasi atau wilayah untuk transportasi wisata. Bisa dibentuk kelompok-kelompok kecil bagi mereka yang memiliki sepeda, perahu atau kendaraan sekalipun untuk menunjang sarana wisata dengan membuat ‘’trayek wisata.’’ Sekali lagi, pemerintah kota bisa dan memiliki otorisasi untuk melakukan itu. Dengan satu-dua peraturan yang mendukung usaha wisata, tentu akan sangat mudah bagi warga untuk mengembangkan kawasan itu. Nah, masalah yang muncul berikutnya adalah: siapa yang mau membeli? Siapa yang akan datang? Ini sudah memasuki wilayah marketing. Artinya, harus ada sebuah program yang mengarahkan unit-unit usaha wisata pada suatu pemahaman terhadap market. Pejabat, sebagai pemegang otoritas bisa menjadi pengarah. Oke, khusus soal ini, tentu kita harus menentukan profiling marketnya. Yang jelas, market terbesar dan paling potensial bagi usaha wisata adalah mereka yang tinggal tak jauh dari tempat itu.
Ada empat kategori segmentasi market yang berlaku bagi praktisi bisnis dimana saja: a. Segmentasi A, yaitu mereka yang memiliki penghasilan, pendidikan dan status social paling tinggi. Mereka bisa jadi adalah warga di sekitar lokasi atau di sekitar Jakarta. Jumlah mereka tidak banyak, tapi memiliki orientasi selera yang sangat tinggi. Uang bukan segalanya. Kecenderungannya, mereka sangat membutuhkan sesuatu yang berkaitan dengan prestise. Bukan sekadar kebutuhan. b. Segmentasi B, yaitu mereka yang berada di bawah segmentasi A dengan orientasi prestise yang semu. Artinya, daya belinya tinggi tapi tidak dalam jumlah besar. c. Segmentasi C, yaitu mereka yang tidak memiliki daya beli tinggi dengan profil di bawah segmentasi B. Profil market seperti ini lebih banyak berbelanja kebutuhan untuk kehidupan mereka. Prestise tidak mendominasi motivasi belanja mereka. d. Segmentasi D, yaitu mereka yang memiliki daya beli rendah. Sebagai market dengan jumlah paling besar, mereka sangat berhemat. Karena itu, kebutuhan mereka yang terbesar hanyalah jalan-jalan atau menikmati suasana. Tentu saja, sebuah obyek wisata tidak bisa menseleksi market. Tapi, sebuah obyek wisata bisa menggabungkan semua segmentasi market sebagai peluang bisnis. Karena itu ada yang diarahkan untuk membuat produk unggulan untuk segmentasi A. Lalu, ada produk massal dengan karakter khas untuk segmentasi B. Ada juga produk aplikatif untuk segmentasi C, dan terakhir layanan belanja murah untuk para pengunjung. Ini yang akan banyak diminati oleh segmentasi C.(***)
Jakarta Utara, Pada Suatu Sore… Dua pekerja muda duduk menatapi langit di atas kapal yang sandar. Sesekali mereka menarik pancing. Sore, di dekat dermaga kecil Gedung Bahtera Jaya.
Jakarta Utara, Pada Suatu Sore...
K
epada seorang di situ, si pekerja bertanya tentang Pulau Seribu. Adakah tempat untuk menginap di sana? Apa namanya? Bagaimana caranya? Kepada siapa berhubungan? Berapa biayanya? Menjelang maghrib, kesepakatan dicapai. Dua pekerja muda itu menaiki motor melaju di jalanan yang baru saja di aspal. Mereka mendiskusikan agenda minggu depan: mancing di Pulau Seribu. Hari Minggu pagi, pangkalan ojek di ujung Jalan RE Martadinata, depan kantor perwakilan Dephub, penuh. Tidak seperti biasa, jumlah penarik ojek hari itu lebih banyak. Benar. Sejak pagi sekali para penarik ojek sudah lalu-lalang dari pangkalan itu ke Bahtera Jaya. Tarifnya 5 ribu. Lho, biasanya kan 3 ribu? ‘’Iya, ini kan Hari Minggu,’’ kata seorang pengojek. Rupanya, tarif ojek di situ bervariasi. Jus-
tru lebih mahal ketika Hari Minggu atau Hari Libur. ‘’Kan tidak tiap hari mas. Kalau hari biasa, kami juga tidak di sini. Kami narik di tempat lain. Di sini sepi. Agak ramai kalau sore, banyak yang pergi mancing,’’ kata tukang ojek itu. Okelah, itu rejeki mereka. Yang jelas, harihari ini tukang ojek di kawasan itu tak banyak keluhan lagi. Biasanya, mereka sempat adu-urat dengan penumpang soal harga. Kata mereka, meski Bahtera Jaya tidak terlalu jauh, tapi jalanannya rusak. Jadi, butuh ongkos mahal untuk melintasi kawasan itu. Sekarang, tidak lagi. Tapi, ongkos ojek masih tetap mahal. Kali ini, alasannya bukan jalan lagi. Jalan sudah mulus. ‘’Ya, kan tidak tiap hari kita dapat banyak penumpang.’’ Itulah alasan berikutnya. ***
Jakarta Utara, Pada Suatu Sore…
S
eorang wanita muda pengusaha travel sedang mencari informasi tentang Pulau Seribu. Rupanya, beberapa klien ingin me ngunjungi tempat itu. Problemnya, si wanita kesulitan mendapatkan informasi. Dia tidak tahu jadwal kapal. Ditambah lagi, dia tidak tahu fasilitas apa yang ada di Pulau Seribu. Kemudian, dia juga tidak tahu kemana harus memesan hotel atau paket wisata ke Pulau Seribu. Paling parah, dia tidak tahu nama-nama Pulau yang bisa dipakai untuk tempat wisata dan ada penghuninya. Data di internet terbatas. Yang ada hanya beberapa nomor telepon pejabat dan kantor pemerintahan. Beberapa agen travel ada. Tapi, harganya mahal karena mereka memiliki trayek khusus dan fasilitas khusus di beberapa pulau. Masalah baru mulai terpecahkan ketika si wanita muda itu mendapat cerita tentang perahu nelayan di kawasan Muara Karang. Di sana ada beberapa pemilik perahu tradisional yang biasa mengantar orang memancing di kawasan Pulau Seribu. Tidak jauh, tapi juga tidak mahal. Inilah yang kemudian mengilhami menjadikan kawasan Bahtera Jaya sebagai tempat transit untuk wisata ke Pulau Seribu. Tujuannya Pulau Pramuka. Fasilitasnya: ada penginapan. Acaranya, terserah. Bisa dibikin yang penting tidak merusak lingkungan. Nah, meski tujuan utama didirikannya Bahtera Jaya adalah untuk penginapan dan
pembinaan atlet olahraga air Pemprov DKI Jakarta, bukan berarti tempat itu tidak bisa menjadi obyek wisata. Sebagai tempat wisata mandiri, mungkin tidak. Tapi, sebagai tempat transit atau sekadar sebagai tempat untuk menikmati jajanan sore, sambil menatap matahari yang akan tenggelam, kenapa tidak? Sebuah momentum yang mahal. Dan, tentu saja itu bisa dijual. Jaraknya yang dekat dengan tol, memudahkan para professional muda di Jakarta mengagendakan tempat itu untuk menghabiskan sore akhir pekan yang melelahkan. Sederhana. Yang diperlukan adalah kopi, makanan kecil, layanan kuliner yang ramah, jalanan yang mulus, suara musik yang lembut, hembusan angin yang keras, kapal yang bergerak malas, dan sore yang indah! ***
S
unda Kelapa punya beban sejarah yang berat. Ini adalah tempat dimana Kota Jakarta dimulai. Hingga setengah abad kemudian, Sunda Kelapa menjadi tempat yang terabaikan dan papa. Tentu sulit mencari yang salah. Atau, mencari sebab kenapa itu bisa terjadi. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana Sunda Kelapa menjadi lebih terhormat dan mempunyai arti. Sama seperti Monas, Sunda Kelapa sebe-
narnya sudah mempunyai wajah dan kepribadian sendiri. Tak ada satu tempat pun di republic ini, yang mempunyai ikatan sejarah dengan VOC, selekat Sunda Kelapa. Inilah pintu masuk dimana Sunda Kelapa bisa menjadi tempat wisata, yang pada akhir nya menjadikan tempat ini lebih terhormat dan bermakna. Mungkin, suatu saat, orang-orang di Jakarta akan bisa menikmati wisata sejarah di Sunda Kelapa, lengkap dengan segala macam perangkatnya. Ada kapal-kapal kayu. Ada zonasi petuala ngan kuliner ala mister kumpeni. Ada andong seperti masa-masa Sandiwara Dardanella. Ada orang kulit sawo coklat berpakaian meneermeneer Belanda, yang menyambut siapa saja yang datang dengan ramah. Ada juga mejameja kayu di pinggir dermaga, yang bisa jadi mahal karena indahnya menikmati sore di tempat itu. Tentu, ini tak akan mengganggu lalu-lalang para nelayan yang mencari nafkah di laut. Malah sebaliknya, mereka akan menjadi semakin bersemangat karena ada peluang baru mencari nafkah: menjual hasil laut yang masih segar. Tentu, ini bukan mimpi jika saja ada program industri wisata kreatif di situ. Tidak mahal, tapi romantis dan penuh kenangan. Minimal, untuk menjawab kerinduan mereka yang sangat ingin tahu tentang cerita-cerita romantika masa Batavia.
***
S
uatu sore nanti, Jakarta Utara akan punya pusat wisata Zona-VOC. Di situ akan berjajar kafe, warung, lesehan atau juga restoran seperti pada masa kolonial dulu. Suatu sore nanti, Jakarta Utara akan memilih kereta wisata keliling, yang akan mengajak banyak warga untuk mengenal satu per satu situs sejarah. Suatu sore nanti, di dekat rumah Pitung, akan ada pagelaran-pagelaran silat Betawi. Juga ada parade seni congklek atau malam Gambang Kromong. Tentu saja, sambil di nikmati bersama jajanan asinan, rujak bebeq, atau camilan zaman Bang Pitung. Suatu sore nanti, orang-orang akan berdatangan ke masjid Luar Batang dengan motivasinya masing-masing. Ada yang mencari pesugihan. Ada yang mencari ketenangan. Ada yang belajar mengkaji agama. Ada juga yang ingin menikmati ciptaan Allah. Suatu sore nanti, Tanjung Priok akan menjadi pelabuhan internasional. Akan terbangun hotel-hotel untuk persinggahan internasional. Akan ada pusat hiburan moderen multi-nasional. Suatu sore nanti, sepanjang jalan di Penjaringan, di Pademangan, di Penggilingan, di Koja, di Cilincing, akan segar oleh pepohonan yang tumbuh di atap-atap rumah. Suatu sore nanti…(***)
Kawasan Panas Yang Kaya
Kawasan Panas Yang Kaya Seorang aktivis lingkungan menyebut Jakarta Utara sebagai wilayah panas. Benar-benar panas dalam arti sebenarnya, yaitu tempat yang memiliki serapan paling banyak terhadap sinar matahari. ‘’Membangun Jakarta Utara harus dimulai dengan modal dasarnya, yaitu menyadari bahwa Jakarta Utara adalah wilayah panas,’’ kata aktivis itu.
D
engan modal inilah, harusnya seluruh kebijakan dimulai. Seluruh aktivitas harus menjadikan Panas Matahari sebagai pertimbangan utama. ‘’Harusnya, jalan-jalan di Jakarta Utara sudah tidak lagi menggunakan warna hitam. Ini salah satu contohnya,’’ kata aktivis itu lagi. Ya, kalau jalanan terus menggunakan warna hitam, maka yang terjadi adalah penambahan efek panas yang luar biasa. Perlu didisain betul, bahwa panas Jakarta Utara harus diredam. Revolusi Hijau harus terus dan terus dilakukan. ‘’Kalau ruang hijau sudah berkurang, bisa dicari alternative lain. Misalnya, dengan kampanye membangun Taman Atap. Yaitu, setiap rumah berlantai dua atau lebih, harus membangun taman-taman di atasnya. Itu bisa dilakukan dengan menggunakan tanaman cepat tumbuh di dalam pot. Teknologi ke situ sudah sangat murah,’’ katanya. Begitu juga dengan air sungai yang kelam. Jakarta Utara, adalah muara dari 13 aliran sungai di Jakarta. Parahnya, sungai-sungai di Jakarta Utara itu sudah terpolusi sejak dari hulu.
‘’Soal sungai, Jakarta Utara adalah korban paling parah. Mereka menjadi residu sampah seluruh aliran sungai yang melintasinya.’’ Jadi, harus ada teknologi daur-ulang air sungai, yang memungkinkan air yang terpolusi bisa menjadi lebih bermanfaat. ‘’Bayangkan, sekarang ini sudah ada alat yang bisa mengubah air laut menjadi air tawar. Kita tinggal mencari teknologi paling murah dan mudah, untuk mengubah air sungai yang terpolusi parah untuk bisa dimanfaatkan. Kalau tidak, Jakarta Utara akan tetap menjadi kota panas. Sungai tidak bisa menjadi peredam panas matahari kalau terpolusi,’’ katanya lagi. Dan, satu lagi yang penting soal kawasan panas ini, bahwa Jakarta Utara bisa kaya-raya kalau memulai menjadikan panas sebagai energi alternative. ‘’Panas di Jakarta Utara, bisa untuk menjadi pembangkit tenaga listrik dalam skala tertentu. Jakarta Utara bisa kayak arena itu.’’ Benarkah? Sekali lagi, ini soal komitmen membangun kota. Bukan soal siapa paling hebat, dan siapa paling diuntungkan dalam kebijakan ini.(***)