The Chronicles Of Narnia Keponakan Penyihir Tamat

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View The Chronicles Of Narnia Keponakan Penyihir Tamat as PDF for free.

More details

  • Words: 37,740
  • Pages: 276
KEPONAKAN PENYIHIR

a

MR. Collection's

a KEPONAKAN PENYIHIR eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

[email protected]

C.S. Lewis Ilustrasi oleh Pauline Baynes

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005

THE CHRONICLES OF NARNIA #1 THE MAGICIAN'S NEPHEW Copyright © CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950, 1954, 1951, 1952, 1953, 1956 Inside illustrations by Pauline Baynes, copyright © CS Lewis Pte Ltd 1955, 1950, 1954, 1951, 1952, 1953, 1956 Cover art by Cliff Nielsen, copyright © CS Lewis Pte Ltd 2002 The Chronicles of Narnia®, Narnia® and all book titles, characters and locales original to The Chronicles of Narnia, are trademarks of CS Lewis Pte Ltd Use without permission is strictly prohibited Published by PT Gramedia Pustaka Utama under license from the CS Lewis Company Ltd All rights reserved www.narnia.com THE CHRONICLES OF NARNIA #1 KEPONAKAN PENYIHIR Alih Bahasa: Indah S. Pratidina GM 106 05 008 Hak Cipta Terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat '33-37 Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Anggota IKAPI, Jakarta, Juni 2005 Cetakan kedua: September 2005 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) LEWIS, C.S. THE CHRONICLES OF NARNIA: KEPONAKAN PENYIHIR/ C.S. Lewis; alih bahasa: Indah S. Pratidina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 280 hlm; ilustrasi; 18 cm Judul asli: THE CHRONICLES OF NARNIA: THE MAGICIAN'S NEPHEW ISBN 979-22-1457-7 I. Judul

II. Pratidina, Indah S. Dicetak oleh PT SUN, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan

Kepada Keluarga Kilmer Untuk KMR, yang slalu menjadi inspirasiku

a

DAFTAR ISI

1. Pintu yang Salah 2. Digory dan Pamannya

9 29

3. Hutan di Antara Dunia-Dunia

47

4. Bel dan Palu

64

5. Kata Kemalangan

83

6. Awal Segala Kesusahan Paman Andrew

101

7. Yang Terjadi di Pintu Depan

119

8. Pertarungan di Lampu Tiang

138

9. Membangkitkan Narnia

154

10. Lelucon Pertama dan Hal-hal Lain

174

11. Digory dan Pamannya Sama-sama dalam Kesulitan

192

12. Petualangan Strawberry

209

13. Pertemuan Tak Terduga

228

14. Penanaman Pohon

246

15. Akhir Kisah Ini dan Awal Kisah-kisah Lain

262

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

1

Pintu yang Salah

I

NI kisah tentang sesuatu yang terjadi dulu sekali ketika kakek-nenekmu masih kanakkanak. Kisah ini penting karena mengungkapkan bagaimana pertama kali dimulainya berbagai hal bisa keluar-masuk dari dunia kita sendiri ke tanah Narnia. Di masa-masa itu, Mr Sherlock Holmes masih tinggal di Baker Street dan keluarga Bastable masih mencari harta terpendam di Lewinsham Road. Di masa-masa itu, kalau kau anak lakilaki kau harus mengenakan kerah Eton yang kaku setiap hari, dan sekolah-sekolah biasanya lebih kejam daripada sekarang. Tapi makananmakanannya lebih lezat, dan kalau bicara soal permen-permennya, aku tidak akan bilang padamu betapa murah dan nikmat semua jenisnya, karena itu hanya akan membuat air liurmu 9

menetes percuma. Dan di masa-masa itu, hiduplah di London anak perempuan bernama Polly Plummer. Dia tinggal di salah satu rumah di deretan panjang rumah yang berdempetan. Di suatu pagi, dia sedang berada di kebun belakang ketika seorang anak laki-laki datang berlari dari kebun sebelah dan meletakkan kepalanya di atas pagar tembok. Polly sangatlah terkejut karena hingga saat ini belum pernah ada anakanak di rumah itu, hanya Mr Ketterly dan Miss Ketterley, kakak-beradik, perjaka tua dan perawan tua, tinggal bersama. Jadi Polly mendongak, penuh rasa ingin tahu. Wajah anak laki-laki asing itu sangat kotor. Nyaris tidak akan bisa lebih kotor lagi bila dia menggosokkan tangan ke tanah dulu, menangis keras, lalu mengeringkan wajah dengan kedua tangannya. Bahkan sebenarnya, bisa dibilang itulah yang baru saja dia lakukan. "Halo," sapa Polly. "Halo," sapa anak laki-laki itu. "Siapa namamu?" "Polly," jawab Polly. "Kalau namamu?" "Digory," jawab si anak laki-laki. "Wah, namamu aneh sekali!" kata Polly. "Lebih aneh mana dengan Polly?" kata Digory. 10

"Namamu lebih aneh," kata Polly. "Tidak," kata Digory. "Yang pasti aku akan mencuci wajahku," kata Polly. "Itu perlu kaulakukan, terutama setelah—" lalu dia berhenti. Dia berniat berkata "Setelah kau menangis lama," tapi dia pikir itu tidak sopan. "Baiklah, aku akan mencuci muka," kata 11

Digory dengan suara yang jauh lebih keras, seperti anak lelaki yang saking sedihnya tidak peduli siapa saja yang tahu dia habis menangis. "Tapi kau juga akan begini," dia melanjutkan, "kalau sepanjang umurmu kau hidup di pedesaan dan memiliki kuda poni, juga sungai di bagian bawah taman, lalu dibawa untuk hidup di gua kumuh mengerikan seperti ini." "London bukan gua," kata Polly yakin. Tapi anak lelaki itu terlalu marah untuk mendengarnya, dia pun melanjutkan— "Dan kalau ayahmu berada jauh di India— dan kau harus tinggal bersama Bibi dan Paman yang gila (siapa yang bakal mau?)—dan kalau alasannya adalah karena mereka harus menjaga ibumu—dan jika ibumu sakit dan akan— akan—meninggal." Kemudian wajahnya mulai membentuk rupa aneh yang biasa muncul bila kau berusaha menahan air mata. "Aku tidak tahu itu. Maaf ya," kata Polly lembut. Kemudian, karena dia hampir tidak tahu apa yang harus diucapkan dan berusaha mengalihkan pikiran Diggory ke topik-topik menggembirakan, dia bertanya: "Memangnya Mr Ketterly benar-benar gila, ya?" "Yah, kalau tidak gila," kata Digory, "pasti12

nya dia menyimpan misteri lain. Dia punya ruang kerja di lantai atas dan Bibi Letty bilang jangan sekali-kali aku berani ke sana. Nah, itu saja sudah terdengar mencurigakan, kan? Kemudian ada satu hal lagi. Setiap kali pamanku berusaha mengatakan apa pun padaku saat makan—dia bahkan tidak pernah berusaha bicara pada Bibi—Bibi Letty langsung menyuruhnya diam. Dia bilang, 'Tidak perlu mencemaskan anak itu, Andrew' atau 'Aku yakin Digory tidak mau mendengar tentang itu' atau kalau tidak 'Nah, Digory, tidakkah kau ingin main keluar di taman?"' "Biasanya pamanmu berusaha bicara tentang apa?" "Aku tidak tahu. Dia tidak pernah bisa bicara banyak. Tapi ada lagi yang lebih membuat penasaran. Suatu malam—bahkan sebenarnya, kemarin malam—waktu aku melewati tangga terbawah menuju loteng, saat mau pergi tidur (dan biasanya aku tidak pernah terlalu peduli saat melewatinya), aku yakin aku mendengar teriakan." "Mungkin dia menyekap istrinya yang gila di atas sana." "Ya, aku sudah memikirkan kemungkinan itu." 13

"Atau mungkin dia sebenarnya pembuat uang palsu." "Atau dia mungkin dulunya bajak laut, seperti pria yang ada di bagian awal buku Treasure Island, yang selalu bersembunyi dari temanteman sekapalnya." "Seru sekali!" kata Polly. "Aku tidak pernah menyangka rumahmu begitu menarik." "Kau mungkin berpendapat rumah itu menarik," kata Digory. "Tapi kau tidak bakal menyukainya kalau harus tidur di sana. Apakah kau masih akan menyukainya kalau harus selalu terbaring dalam keadaan terjaga mendengarkan langkah kaki Paman Andrew yang mengendap-endap sepanjang koridor menuju rumahmu? Matanya juga mengerikan sekali." Begitulah ceritanya bagaimana Polly dan Digory bisa saling mengenal. Dan karena saat itu masih permulaan liburan musim panas dan tidak satu pun dari mereka yang pergi ke laut tahun itu, mereka bertemu nyaris setiap hari. Sebagian besar alasan dimulainya petualangan mereka adalah karena saat itu musim panas yang paling sering hujan dan dingin yang pernah ada sejak bertahun-tahun. Keadaan ini membuat mereka harus berpuas diri dengan kegiatan-kegiatan di dalam rumah, bisa dibi14

lang, petualangan di dalam rumah. Menakjubkan sekali betapa banyaknya petualangan yang bisa kaulakukan dengan sebongkah lilin di suatu rumah besar, atau di deretan rumah. Polly telah lama menemukan bahwa jika kau membuka pintu kecil tertentu di loteng yang berbentuk kotak di rumahnya, kita akan menemukan tempat penyimpanan air dan ruang gelap di belakangnya yang bisa kaumasuki dengan sedikit memanjat hati-hati. Ruang gelap itu seperti terowongan panjang dengan dinding bata di satu sisi dan atap curam di sisi lainnya. Di atap, berkas-berkas kecil cahaya menembus di antara rongga-rongganya. Tidak ada lantai di terowongan ini, kita bakal harus melangkah dari kasau ke kasau, dan di antaranya hanya ada plester. Kalau kita menginjak plester ini kau akan mendapati dirimu terjatuh dari langitlangit ruangan di bawahnya. Polly menggunakan sebagian kecil terowongan itu, tepat di sebelah tempat penyimpanan air, sebagai gua penyelundup. Dia membawa bagian-bagian peti pakaian tua, beberapa bantalan kursi dapur yang rusak, dan benda-benda sejenis lainnya, lalu menyebar semua benda itu di atas kasau demi kasau sehingga terbentuk semacam lantai. Di sinilah dia menyimpan kotak uang yang 15

berisi berbagai harta, dan cerita yang sedang ditulisnya, lalu biasanya beberapa apel. Dia sering kali diam-diam meminum bir jahe di sana, botol-botol lamanya membuat tempat itu lebih kelihatan seperti gua penyelundup.

Digory lumayan menyukai gua itu (Polly tidak mengizinkannya melihat cerita yang ditulisnya) tapi anak lelaki itu lebih suka bertualang. "Polly," kata Digory. "Sepanjang apa terowongan ini sebenarnya? Maksudku, apakah terowongan ini berakhir di ujung rumahmu?" "Tidak," kata Polly. "Dinding-dindingnya tidak berakhir hingga atap rumah ini saja. Tapi 16

terus memanjang. Aku tidak tahu hingga sejauh apa." "Kalau begitu kita bisa menjelajah sejauh panjangnya deretan rumah ini." "Sepertinya begitu," kata Polly. "Dan oh, astaga!" "Apa?" "Kita bisa masuk ke rumah-rumah lain." "Ya, dan dianggap perampok! Tidak, terima kasih." "Jangan sok tahu, dengar dulu. Yang kumaksud itu rumah di sebelah rumahmu." "Ada apa di rumah itu?" "Rumah itu kosong. Daddy bilang rumah itu selalu kosong sejak kami pindah kemari." "Berarti kurasa kita harus mencoba melihatnya," kata Digory. Kalau kau mendengarnya berbicara, kau tidak akan menduga sebenarnya dia jauh lebih bersemangat daripada itu. Karena tentu saja dia sedang memikirkan, seperti yang juga akan kaulakukan, semua alasan kenapa rumah itu kosong begitu lama. Begitu juga Polly. Tidak satu pun di antara mereka yang mengucapkan kata "berhantu". Dan keduanya merasa bahwa sekali suatu ide tercetus, akan jadi tindakan pengecut bila tidak melakukannya. 17

"Jadi kita coba pergi ke sana sekarang?" tanya Digory. "Baiklah," jawab Polly. "Tidak usah kalau kau tidak ingin," kata Digory. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly. "Bagaimana caranya kita bisa tahu kita sudah ada tepat di rumah sebelah rumahku?" Mereka memutuskan harus keluar dari ruang kotak dan berjalan menyeberanginya dengan berjalan sebanyak langkah yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu kasau ke kasau lain. Tindakan ini akan bisa memberikan mereka perkiraan ada berapa kasau yang harus dilewati untuk melewati satu ruangan. Kemudian mereka akan melebihkan kira-kira empat kasau untuk memperkirakan lorong di antara dua loteng di rumah Polly, kemudian jumlah yang sama dengan ruang kotak untuk kamar tidur pelayan perempuan. Perhitungan ini akan membantu mereka mengira-ngira panjang rumah. Kalau mereka sudah melalui jarak itu sejauh dua kalinya, mereka akan berada di ujung rumah Digory. Pintu mana pun yang mereka temui setelah itu akan membawa mereka ke loteng rumah kosong tersebut. "Tapi kurasa loteng itu tidak akan benarbenar kosong," kata Digory. 18

"Memangnya menurutmu bakal ada apa di sana?" "Menurutku bakal ada seseorang tinggal secara diam-diam di sana, hanya keluar-masuk di malam hari, dengan lentera temaram. Kita mungkin akan menemukan geng penjahat yang putus asa dan mendapatkan hadiah untuk penangkapan mereka. Bisa dibilang mustahil sebuah rumah kosong selama bertahun-tahun seperti itu tanpa ada misteri di baliknya." "Menurut Daddy pasti pipa-pipanya yang tidak beres," kata Polly. "Huh! Orang dewasa selalu memikirkan penjelasan-penjelasan yang tidak menarik," kata Digory. Karena mereka sekarang sedang berbicara di loteng dengan cahaya matahari siang dan bukannya dengan sinar lilin di Gua Penyelundup, semakin tidak tampak adanya kemungkinan rumah kosong itu ada hantunya. Ketika selesai mengukur loteng, mereka harus mengambil pensil dan melakukan penjumlahan. Awalnya mereka berdua mendapatkan hasil yang berbeda, dan bahkan ketika akhirnya mereka sependapat, aku masih belum yakin perhitungan mereka benar. Mereka begitu terburu-buru ingin segera memulai petualangan. "Kita tidak boleh bersuara," kata Polly ke19

tika mereka memanjat lagi ke belakang tempat penyimpanan air. Karena ini peristiwa penting, mereka masing-masing membawa lilin (Polly punya banyak persediaan lilin di guanya). Keadaan begitu gelap, berdebu, dan lembap saat mereka melangkah dari kasau ke kasau tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kecuali ketika mereka saling berbisik, "Kita sudah ada di seberang lotengmu sekarang," atau "Kita pasti sudah setengah jalan melewati rumah kami". Keduartya tidak pernah tersandung dan lilin-lilin mereka tidak pernah padam, lalu akhirnya mereka mencapai suatu tempat mereka bisa melihat pintu kecil di dinding batu bata di sebelah kanan mereka. Tidak ada gembok atau kenop di sisi yang bagian sini tentu saja, karena pintu itu dibuat untuk masuk dan bukan keluar, tapi ada semacam pegangan (seperti yang biasa ditemukan di pintu lemari) yang mereka yakin bakal bisa diputar. "Aku buka?" tanya Digory. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly, seperti ucapannya sebelumnya. Keduanya merasa situasi mulai jadi serius, tapi tidak satu pun dari mereka yang mau mundur. Dengan agak susah payah, Digory menekan dan memutar pegangan itu. Pintu terayun terbuka 20

dan sinar matahari siang yang mendadak menghambur keluar membuat mata mereka mengejap-ngejap. Lalu, bersama dengan rasa sangat terkejut, mereka mendapati mereka sedang melihat, bukan loteng terlantar, tapi ruangan berperabot lengkap. Namun ruangan itu sepertinya memang tak berpenghuni. Sepi sekali di

21

dalamnya. Rasa ingin tahu Polly menguasainya. Dia meniup lilinnya hingga padam dan masuk ke ruangan asing itu, nyaris tanpa suara. Ruangan itu berbentuk, tentu saja, seperti loteng, tapi dilengkapi perabotan ala ruang duduk. Setiap sisi dinding ditutupi rak-rak dan setiap sudut dalam rak itu dipenuhi buku. Api menyala di perapian (kau pasti ingat bahwa musim panas tahun itu begitu basah dan dingin) dan di depan perapian, membelakangi Digory dan Polly, ada kursi berlengan yang berpunggung tinggi. Di antara kursi dan Polly, mengisi sebagian besar ruangan, ada meja besar yang dipenuhi berbagai benda—buku-buku cetakan dan jenis buku-buku yang bisa kautulisi, juga beberapa botol tinta, pena, lilin segel, dan mikroskop. Tapi yang langsung menarik perhatian Polly adalah baki kayu merah yang di atasnya tergeletak beberapa cincin. Cincin itu masing-masing berpasangan—yang kuning berpasangan dengan yang hijau, lalu ada sedikit jarak, kemudian cincin kuning lagi dengan cincin hijau lain. Cincin-cincin itu tidak lebih besar daripada cincin-cincin biasa, dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari benda-benda itu karena mereka bersinar terang sekali. Benda-benda itu benda kecil bercahaya 22

terindah yang bisa kaubayangkan. Kalau Polly lebih muda usianya daripada saat itu, dia pasti bakal ingin memasukkan salah satunya ke mulut. Ruangan itu begitu sepi sehingga kau langsung bisa mendengar bunyi detakan jam. Namun, seperti yang kini Polly sadari, ruangan itu juga tidak benar-benar sepi. Ada suara berdengung yang samar—amat sangat samar. Kalau mesin penyedot debu sudah ditemukan saat itu, Polly pasti akan berpikir itu suara penyedot debu yang sedang digunakan jauh sekali—terpisah darinya beberapa ruangan di beberapa lantai di bawahnya. Tapi dengungan itu lebih menyenangkan daripada suara mesin, lebih bernada: hanya saja begitu samar sehingga kau nyaris tidak bisa mendengarnya. "Tidak apa-apa—tidak ada orang di sini," kata Polly ke balik bahunya ke Digory. Sekarang dia bicara sedikit lebih keras daripada bisikan. Lalu Digory keluar, matanya mengejapngejap, dan tubuhnya tampak kotor sekali— pasti Polly juga begitu. "Ini bukan pertanda bagus," kata Digory. "Ini sama sekali bukan rumah kosong. Sebaiknya kita cepat pergi sebelum ada orang datang." 23

"Menurutmu cincin-cincin apa itu?" kata Polly sambil menunjuk cincin-cincin berwarna tadi. "Aduh, ayolah," ajak Digory. "Semakin cepat kita—" Dia tidak pernah menyelesaikan kata-katanya karena tepat pada saat itu sesuatu terjadi. Kursi berpunggung tinggi di depan perapian tiba-tiba bergerak dan berdiri dari bangkunya— seperti iblis pantomim keluar dari pintu bawah panggung—sosok mengejutkan Paman Andrew. Ternyata mereka tidak berada di rumah kosong, mereka berada di rumah Digory dan di ruang kerja yang terlarang dimasuki! Kedua anak itu berucap "O-o-oh" dan menyadari kekeliruan besar mereka. Mereka merasa seharusnya sudah tahu mereka belum pergi cukup jauh. Paman Andrew bertubuh tinggi dan sangat kurus. Wajahnya bersih bercukur dengan hidung bengkok tajam, matanya luar biasa tajam, dan rambutnya beruban lebat juga berantakan. Digory tak mampu berkata-kata, karena kini Paman Andrew tampak seribu kali lebih mengerikan daripada sebelumnya. Polly belum merasa setakut itu, tapi tak lama lagi pasti begitu. Karena tindakan pertama yang Paman Andrew lakukan adalah berjalan menuju pintu ruangan, 24

menutupnya, dan menguncinya. Lalu dia berbalik, menatap lekat kedua anak itu dengan matanya yang tajam, dan tersenyum, menunjukkan seluruh giginya. "Nah!" katanya. "Sekarang kakakku yang bodoh tidak akan bisa membantumu!" Tindakan itu sama sekali bukan tindakan yang kita harapkan bakal dilakukan orang dewasa. Jantung Polly rasanya mau melompat keluar, dia dan Digory pun mulai berjalan mundur ke pintu kecil yang mereka lalui tadi. Tapi Paman Andrew terlalu cepat dibanding mereka. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang mereka, menutup pintu itu juga, lalu berdiri menghalanginya. Kemudian dia menggosok-gosokkan kedua tangannya dan membuat buku-buku jemari tangannya berderak. Jemarinya sangat panjang, putih, dan bagus. "Aku senang sekali kalian datang," katanya. "Tepat saat aku membutuhkan dua anak." "Saya mohon, Mr Ketterly," kata Polly. "Saat ini sudah hampir waktunya makan malam dan saya harus segera pulang. Maukah Anda membiarkan kami keluar?" "Belum," jawab Paman Andrew. "Ini kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan. Aku memang menginginkan dua anak. Jadi 25

begini, aku sedang melakukan suatu percobaan besar. Aku sudah mengetesnya pada hamster dan tampaknya berhasil. Tapi masalahnya hamster tidak bisa memberitahumu apa-apa. Dan kau tidak bisa menjelaskan cara kembali kepadanya." "Begini, Paman Andrew," kata Digory, "sekarang benar-benar saatnya makan malam dan mereka akan segera mencari kami. Kau harus membiarkan kami keluar." "Harus?" tanya Paman Andrew. Digory dan Polly bertukar pandang sekilas. Mereka tidak berani mengatakan apa-apa, tapi pandangan itu berarti "Ini mengerikan sekali" dan "Kita harus membujuknya." "Kalau Anda membiarkan kami keluar untuk makan malam sekarang," kata Polly, "kami bisa kembali lagi ke sini setelahnya." "Ah, tapi bagaimana aku bisa yakin kalian akan melakukan itu?" tanya Paman Andrew dengan senyum licik. Lalu tampaknya dia berubah pikiran. "Yah, yah," katanya, "kalau kalian memang harus pergi, kurasa kalian harus pergi. Aku tidak bisa mengharapkan dua anak muda seperti kalian bakal tertarik berbincang-bincang dengan orang tua sepertiku." Dia mengembus26

kan napas dan melanjutkan. "Kalian sama sekali tidak akan bisa membayangkan betapa terkadang aku sangat kesepian. Tapi tidak masalah. Pergilah makan malam. Tapi aku memberi kalian hadiah sebelum kalian pergi. Tidak setiap hari aku bisa melihat gadis kecil di ruang kerjaku yang membosankan ini, terutama, kalau aku boleh berterus terang, wanita muda yang sangat cantik sepertimu." Polly mulai berpikir bahwa mungkin pria ini tidaklah segila bayangannya. "Apakah kau mau cincin, sayangku?" tanya Paman Andrew ke Polly. "Apakah maksudmu salah satu cincin kuning atau hijau itu?" tanya Polly. "Kau baik sekali!" "Bukan yang hijau," kata Paman Andrew. "Sayangnya aku tidak bisa memberimu cincin yang hijau. Tapi aku akan senang sekali bila bisa memberimu salah satu cincin kuning itu, bersama rasa cintaku. Ayo, cobalah salah satunya." Kini Polly sudah cukup menguasai rasa takutnya dan yakin pria tua ini tidaklah gila, lagi pula pastinya memang ada sesuatu yang anehnya menarik pada cincin-cincin bersinar terang itu. Dia bergerak mendekati baki. 27

"Wah! Astaga," katanya. "Suara dengungan itu terdengar lebih keras di sini. Hampir seolah cincin-cincin inilah yang mengeluarkannya." "Khayalanmu indah sekali, Sayang," kata Paman Andrew sambil tertawa. Suara tawanya terdengar seperti tawa yang sangat biasa, tapi Digory sempat melihat ekspresi bersemangat, hampir serakah, di wajahnya. "Polly! Jangan ceroboh!" Digory berteriak. "Jangan sentuh cincin-cincin itu." Terlambat. Tepat saat Digory berbicara, tangan Polly terulur untuk menyentuh salah satu cincin itu. Dan mendadak, tanpa kilatan cahaya, suara, atau peringatan apa pun, Polly menghilang. Hanya tinggal Digory dan pamannya di ruangan itu.

28

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

2

Digory dan Pamannya

K

EJADIAN itu begitu tiba-tiba dan mencekam, tidak seperti apa pun yang pernah dialami Digory, bahkan dalam mimpi buruk sekalipun, sehingga dia menjerit. Tangan Paman Andrew langsung membekap mulutnya. "Hentikan itu!" desisnya di telinga Digory. "Kalau kau terus membuat keributan, ibumu akan mendengarnya. Dan kau tahu sendiri apa yang bisa terjadi bila dia terlalu terkejut." Seperti yang Digory ceritakan nanti, jenis kemarahan mengerikan yang ingin dilampiaskannya ke pria itu hampir membuatnya muak. Tapi tentu saja dia tidak menjerit lagi. "Begitu lebih baik," kata Paman Andrew. "Mungkin kau juga tidak bisa mencegahnya. Memang mengejutkan bila kau melihat seseorang lenyap untuk pertama kalinya. Aku saja 29

shock waktu hamsterku menghilang kemarin malam." "Apakah itu yang terjadi waktu kau menjerit tempo lalu?" tanya Digory. "Oh, kau mendengar itu, ya? Kuharap kau tidak sedang memata-mataiku?" "Tidak, tentu tidak," jawab Digory penuh gengsi. "Tapi apa yang terjadi pada Polly?" "Beri aku selamat, keponakanku tersayang," kata Paman Andrew, menggosok kedua tangannya. "Percobaanku telah berhasil. Gadis kecil itu lenyap—menghilang—keluar dari dunia ini." "Apa yang telah kaulakukan padanya?" "Mengirimnya ke—yah—ke tempat lain." "Apa maksudmu?" tanya Digory. Paman Andrew duduk dan menjawab, "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Kau sudah pernah dengar kisah tentang Mrs Lefay yang tua?" "Bukankah dia bibi buyutku atau semacamnya?" tanya Digory. "Bukan juga," kata Paman Andrew. "Dia ibu angkatku. Itu dia, di sana, di dinding." Digory mendongak dan melihat foto yang sudah buram: wajah wanita tua mengcnakan topi bonnet yang berpita di bagian dagunya. Dan dia kini bisa mengingat bahwa dia dulu 30

juga pernah melihat foto wajah yang sama di laci tua di rumah, di desanya. Dia telah bertanya kepada ibunya siapa wanita itu dan ibunya tampak tidak terlalu berminat membicarakan topik itu lebih lanjut lagi. Wajahnya sama sekali tidak menyenangkan, pikir Digory, tapi tentu saja dengan foto-foto zaman itu kita tidak akan pernah bisa benar-benar tahu. "Apakah ada—pernah ada—sesuatu yang salah padanya, Paman Andrew?" tanyanya. "Yah," kata Paman Andrew sambil terkekeh, "tergantung dengan apa yang kausebut sebagai salah. Orang-orang begitu berpikiran sempit. Dia memang sangat unik di masa hidupnya. Melakukan berbagai tindakan tidak bijaksana. Itulah sebabnya mereka membungkamnya." "Di rumah sakit jiwa, maksudmu?" "Oh bukan, bukan, bukan," kata Paman Andrew, nada suaranya terkejut. "Bukan di tempat yang seperti itu. Maksudku hanya penjara." "Astaga!" kata Digory. "Apa yang telah dilakukannya?" "Ah, wanita malang," kata Paman Andrew, "dia telah bertindak tidak bijaksana. Sebaiknya kita tidak membahas semua itu. Dia selalu bersikap baik padaku." 31

"Tapi tunggu dulu, apa hubungannya semua ini dengan Polly? Kenapa kau tidak langsung saja—" "Semua ada waktunya, anakku," kata Paman Andrew. "Mereka membiarkan Mrs Lefay keluar sebelum dia meninggal dan aku salah satu dari sedikit orang yang dia izinkan menemuinya di hari-hari terakhir sakitnya. Dia begitu membenci orang-orang biasa yang tidak pedulian, kau harus tahu itu. Aku sendiri juga begitu. Aku dan dia memiliki ketertarikan pada hal-hal yang sama. Hanya beberapa hari sebelum kematiannya, dia menyuruhku menghampiri meja rias tua di rumahnya, membuka laci rahasia, lalu membawakan kepadanya kotak kecil yang kutemukan di dalamnya. Saat aku mengangkat kotak itu aku bisa menduga dari rasa kesemutan di jemari tanganku bahwa aku sedang memegang rahasia besar di tanganku. Dia memberikan kotak itu kepadaku dan memaksaku berjanji bahwa segera setelah dia meninggal aku akan membakarnya, tetap dalam keadaan tak pernah terbuka dan dengan upacara tertentu. Aku tidak menepati janji itu." "Yah, kalau begitu, kau jahat sekali," komentar Digory. "Jahat?" kata Paman Andrew dengan wajah 32

bertanya-tanya. "Oh, aku mengerti. Maksudmu, anak-anak lelaki harus menepati janji. Itu sangat benar: yang paling tepat dan pantas dilakukan, aku yakin, dan aku lega kau sudah diajar untuk bersikap begitu. Tapi tentu saja kau harus memahami bahwa peraturan seperti itu, betapa pun bagusnya untuk anak-anak lelaki—pelayan—wanita—bahkan manusia pada umumnya, tidak bisa diharapkan berlaku pada siswa-siswa luar biasa, para pemikir dan ahli pengetahuan hebat. Tidak, Digory. Para pria seperti aku, yang memiliki kebijakan tersembunyi, terbebaskan dari peraturan biasa seperti begitu juga kami terlepaskan dari kesenangankesenangan biasa. Takdir kami, anakku, adalah takdir yang tinggi dan sepi." Saat mengatakan ini dia mengembuskan napas dan tampak begitu muram, mulia, juga misterius sehingga sesaat Digory benar-benar berpikir Paman Andrew sedang mengucapkan sesuatu yang sangat menakjubkan. Tapi kemudian dia teringat ekspresi buruk yang dilihatnya di wajah sang paman beberapa saat sebelum Polly menghilang. Dia pun langsung bisa melihat apa yang ada di balik kata-kata luar biasa Paman Andrew. Semua itu hanya berarti, katanya pada dirinya sendiri, bahwa Paman 33

Andrew pikir dia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya. "Tentu saja," kata Paman Andrew, "aku tidak berani membuka kotak itu lama sekali, karena aku tahu bisa saja isinya sesuatu yang sangat berbahaya. Karena ibu angkatku wanita yang amat menakjubkan. Sebenarnya, dia satu dari manusia-manusia terakhir yang memiliki darah peri dalam tubuhnya. (Dia bilang ada dua orang lain di masanya. Salah satunya seorang bangsawan bergelar duchess dan satu lagi wanita tukang bersih-bersih.) Bahkan, Digory, saat ini kau sedang berbicara dengan pria terakhir (mungkin) yang benar-benar memiliki ibu angkat peri. Nah! Itu akan jadi sesuatu yang bakal kauingat ketika kau sendiri sudah menjadi pria tua." Aku berani bertaruh dia peri yang jahat, pikir Digory, lalu menambahkan dengan keras, "Tapi bagaimana dengan Polly?" "Kenapa kau terus-terusan meributkan masalah itu?" kata Paman Andrew. "Seolah masalah itulah yang paling penting! Tugas pertamaku adalah tentu saja mempelajari kotak itu sendiri. Kotaknya kuno sekali. Dan bahkan pada saat itu aku tahu cukup banyak untuk 34

yakin kotak tersebut bukan buatan Yunani, Mesir kuno, Babilonia, Hittite, ataupun Cina. Usianya lebih tua daripada negara-negara itu. Ah—benar-benar hari yang indah ketika akhirnya aku mengetahui kebenarannya. Kotak itu buatan bangsa Atlantis, datangnya dari kepulauan Atlantis yang hilang. Itu berarti kotak itu jauh lebih tua berabad-abad daripada bendabenda Zaman Batu yang digali di Eropa. Dan benda itu juga tidaklah kasar dan mentah seperti barang Zaman Batu. Karena di awal masa, Atlantis sudah menjadi kota hebat dengan istana-istana, kuil-kuil, dan orang-orang terpelajar." Paman Andrew berhenti sesaat seolah menduga Digory akan mengatakan sesuatu. Tapi anak itu semakin tidak menyukai pamannya sejalan dengan setiap menit yang berlalu, jadi dia tidak mengucapkan apa-apa. "Sementara itu," Paman Andrew melanjutkan, "aku sedang mempelajari banyak sihir secara umum dengan berbagai cara (yang kurasa tidaklah pantas bila dijelaskan kepada anak kecil). Itu berarti aku mendapatkan bayangan yang cukup jelas tentang benda-benda macam apa saja yang mungkin berada di dalam kotak itu. Dengan berbagai tes aku menyempit35

kan berbagai kemungkinan. Aku harus mengenal beberapa—yah, sejumlah orang jahat aneh, dan melalui berbagai pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Semua itulah yang membuat rambutku beruban. Seseorang tidaklah begitu saja menjadi penyihir. Kesehatanku sempat ambruk. Tapi aku membaik. Dan aku akhirnya tahu." Meski tidak ada kemungkinan, walau barang sedikit pun, ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka, Paman Andrew mencondongkan tubuh ke depan dan hampir berbisik ketika berkata: "Kotak Atlantis itu berisi sesuatu yang telah dibawa dari dunia lain ketika dunia kita baru saja dimulai." "Apa?" tanya Digory yang kini jadi sangat tertarik, tanpa bisa menahan diri. "Hanya debu," jawab Paman Andrew. "Debu 36

bagus dan kering. Tidak banyak yang bisa dilihat. Bahkan bisa dibilang, tidak banyak yang bisa ditunjukkan setelah kerja keras seumur hidup. Ah, tapi waktu aku melihat debu itu (aku benar-benar berhati-hati untuk tidak menyentuhnya) dan berpikir bahwa setiap butir pernah berada di dunia lain—maksudku bukan planet lain tentunya, planet-planet itu juga bagian dari dunia kita dan kau bisa mencapainya kalau kau pergi cukup jauh—tapi Dunia Lain sungguhan—Alam Lain— jagat raya lain—suatu tempat yang tidak akan pernah kaucapai walaupun kau menjelajahi luar angkasa jagat raya ini selama-lamanya—dunia yang hanya bisa dicapai dengan sihir—nah!" Saat mengatakan itu Paman Andrew menggosok-gosokkan kedua tangannya sampai buku-buku jemarinya berderak seperti kembang api. "Aku tahu," dia melanjutkan, "hanya kalau kau

37

bisa menemukan bentuk tepatnya maka debu itu bisa menarikmu ke tempat asalnya. Tapi kesulitannya justru terletak pada mencari bentuk tepatnya itu. Pengalaman-pengalaman terdahuluku semua adalah kegagalan. Aku mencobanya pada hamster. Beberapa di antaranya hanya mati. Beberapa yang lain meledak seperti bom-bom kecil—" "Itu tindakan yang kejam sekali," kata Digory, yang dulu pernah punya kelinci. "Kenapa kau selalu bisa mengalihkan topik pembicaraan?" kata Paman Andrew. "Itulah gunanya makhluk-makhluk itu. Aku membelinya sendiri. Sekarang sebentar—sampai di mana aku tadi? Ah ya. Akhirnya aku berhasil membuat cincin-cincin itu: cincin yang warnanya kuning. Tapi sekarang kesulitan baru muncul. Aku cukup yakin saat ini, bahwa cincin yang kuning bisa mengirimkan makhluk mana pun yang menyentuhnya ke Tempat Lain. Tapi apalah gunanya itu semua kalau aku tidak bisa mengembalikan mereka untuk bercerita kepadaku apa yang telah mereka temukan di sana?" "Dan bagaimana nasib mereka?" tanya Digory. "Kekacauan yang bakal mereka temui kalau mereka tidak bisa kembali!" "Kau terus-menerus melihat segala sesuatunya 38

dengan sudut pandang yang salah," kata Paman Andrew dengan ekspresi tidak sabar. "Tidak bisakah kau mengerti semua ini pengalaman hebat? Tujuan utama mengirim siapa pun ke Tempat Lain adalah supaya aku bisa tahu bagaimana rasanya." "Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi saja sendiri ke sana?" Digory nyaris tidak pernah melihat seseorang tampak begitu terkejut dan tersinggung seperti Paman Edward sekarang hanya karena pertanyaan sederhana itu. "Aku? Aku?" dia berseru. "Anak ini pasti gila! Pria dengan usiaku, dengan keadaan kesehatan sepertiku, rela mengambil risiko kejutan dan bahaya yang mungkin muncul karena mendadak dilemparkan ke dunia lain? Aku tidak pernah mendengar apa pun yang begitu tidak masuk di akal sepanjang hidupku! Apakah kausadar dengan yang baru saja kaukatakan? Bayangkan apa arti kata Dunia Lain— kau mungkin saja bertemu apa pun—apa pun." "Tapi kurasa tidak masalah bagimu untuk mengirim Polly ke sana," kata Digory. Pipinya terbakar karena amarah sekarang. "Dan aku hanya bisa berkata," dia melanjutkan, "biarpun kau pamanku—kau telah bertindak pengecut, mengirim anak perempuan ke tempat yang 39

terlalu menakutkan bagimu untuk pergi sendiri." "Diam kau!" kata Paman Andrew, sambil memukul meja keras-keras. "Aku tidak akan sudi diceramahi seperti itu oleh anak sekolahan kecil yang kotor. Kau tidak mengerti. Aku ilmuwan besar, sang penyihir, si pakar yang sedang melakukan percobaan. Tentu saja aku membutuhkan seseorang untuk menjadi subjek percobaan. Demi jiwaku, jangan-jangan setelah ini kau akan berkata bahwa seharusnya aku meminta izin pada hamster-hamsterku sebelum aku menggunakan mereka! Tidak ada kebijakan besar yang bisa dicapai tanpa pengorbanan. Tapi gagasan seharusnya aku pergi sendiri adalah omong kosong. Itu seperti meminta jenderal berperang seperti prajurit biasa. Seandainya aku terbunuh, apa jadinya kerja keras seumur hidupku?" "Oh, berhentilah membual," kata Digory. "Kau akan membawa Polly kembali, tidak?" "Aku baru saja akan memberitahumu soal itu ketika dengan tidak sopan kau memotongku," kata Paman Andrew, "Bahwa akhirnya aku menemukan cara untuk melakukan perjalanan pulang. Cincin-cincin yang hijau akan menarikmu pulang." 40

"Tapi Polly tidak membawa cincin yang hijau." "Tidak," kata Paman Andrew dengan senyum jahat. "Kalau begitu dia tidak akan bisa kembali," teriak Digory. "Dan itu sama saja dengan kau sudah membunuhnya." "Dia bisa saja kembali," kata Paman Andrew, "kalau ada orang yang menyusulnya, mengenakan cincin kuning sambil membawa dua cincin hijau, satu untuk membawa orang itu sendiri pulang dan yang satu lagi untuk membawa Polly pulang." Dan saat ini tentu saja Digory sudah bisa melihat jebakan yang menjeratnya. Dia memandang Paman Andrew, tanpa mengatakan apaapa, dengan mulut ternganga lebar. Kedua pipinya kini pucat sekali. "Aku berharap," kata Paman Andrew kini dengan suara yang sangat tinggi dan kuat, seolah dia paman sempurna yang baru saja memberi seseorang uang saku besar dan nasihat baik, "Aku berharap, Digory, kau tidak akan mundur dan menyerah. Aku akan jadi sangat menyesal bila ada anggota keluarga kita yang tidak memiliki kehormatan dan keberanian yang cukup besar untuk bersedia pergi 41

menyelamatkan—ngng—lady yang dalam kesusahan." "Oh, diamlah!" kata Digory. "Kalau kau punya kehormatan dan segala itu, kau sendiri yang akan pergi. Tapi aku tahu kau tidak akan melakukan itu. Baiklah. Aku mengerti aku harus pergi. Tapi ternyata kau memang monster. Kurasa kau sudah merencanakan semua ini supaya Polly pergi tanpa sepengetahuannya sehingga kemudian aku harus pergi menjemputnya." "Tentu saja," kata Paman Andrew dengan senyumnya yang menyebalkan. "Baiklah. Aku akan pergi. Tapi sebelumnya ada satu hal yang harus kukatakan. Aku tidak pernah percaya pada sihir hingga hari ini. Aku lihat sekarang sihir adalah nyata. Yah, dan kalau sihir memang ada, berarti kurasa segala kisah tua tentang peri juga kurang-lebih benar. Dan kau tidak lain adalah penyihir licik yang kejam seperti yang ada di dalam cerita-cerita. Nah, aku tidak pernah membaca cerita di mana orang-orang seperti itu tidak mendapat ganjaran di akhir kisah, dan aku berani bertaruh itulah yang juga akan kaualami. Kau pantas menerimanya." Dari segala hal yang telah diucapkan Digory, 42

kata-katanya yang ini merupakan yang pertama yang mengenai sasaran. Paman Andrew terkejut kemudian muncul awan ketakutan menaungi wajahnya yang, meskipun dia begitu kejam, nyaris bisa membuatmu mengasihaninya. Tapi sedetik kemudian dia mengusirnya pergi dan berkata ditemani tawa yang agak dipaksakan, "Yah, yah, kurasa itu hal biasa yang bakal muncul di benak seorang anak—terutama karena dibesarkan di antara wanita-wanita, seperti dirimu. Kisah-kisah istri tua, hah? Kurasa kau tidak perlu mencemaskan bahaya yang akan mendatangiku, Digory. Bukankah lebih baik kau mengkhawatirkan bahaya yang menghampiri teman kecilmu itu? Dia sudah pergi cukup lama. Kalau memang ada bahaya Di Sana— yah, akan sangat disayangkan bila kau tiba terlambat." "Seolah kau peduli saja," kata Digory penuh amarah. "Tapi aku sudah muak mendengar segala bualan ini. Apa yang harus kulakukan?" "Kau benar-benar harus belajar mengendalikan emosimu, anakku," kata Paman Andrew tenang. "Kalau tidak kau akan tumbuh menjadi seperti Bibi Letty. Sekarang. Kemarilah." Paman Andrew bangkit, mengenakan sepa43

sang sarung tangan, lalu berjalan menuju baki tempat cincin-cincin itu berada. "Cincin-cincin ini hanya berfungsi," katanya, "kalau mereka benar-benar menyentuh kulitmu. Kalau memakai sarung tangan, aku bisa mengangkatnya—seperti ini—tanpa ada kejadian apaapa. Kalau kau membawa salah satunya di sakumu juga tidak akan terjadi apa-apa, tapi tentu saja kau harus berhati-hati untuk tidak memasukkan tangan ke saku dan tanpa sengaja menyentuhnya. Di saat menyentuh cincin kuningmu, kau akan lenyap dari dunia ini. Waktu kau berada di Tempat Lain, dugaanku—tentu saja ini belum dites kebenarannya, tapi aku menduga—saat kau menyentuh cincin hijau kau akan menghilang dari dunia itu dan—perkiraanku—muncul kembali di dunia ini. Sekarang. Aku akan mengambil dua cincin hijau ini dan memasukkan keduanya ke saku sebelah kananmu. Ingatlah dengan sangat hati-hati di mana cincin yang hijau berada. Hijau sama dengan Green. Kanan sama dengan Right. G untuk Green dan R untuk Right. G.R. kau lihat: adalah dua huruf pertama kata Green. Satu untukmu dan satu lagi untuk si gadis kecil. Dan sekarang kau ambillah sendiri cincin yang kuning. Aku akan mengenakannya—di jariku— 44

kalau aku jadi kau. Kemungkinan jatuhnya akan lebih kecil bila kaulakukan itu." Digory hampir saja mengambil cincin kuning ketika tiba-tiba dia berhenti. "Tunggu dulu," katanya. "Bagaimana dengan Ibu? Bagaimana kalau dia menanyakan keberadaanku?" "Semakin cepat kau pergi, semakin cepat kau akan kembali," kata Paman Andrew ceria. "Tapi kau bahkan tidak benar-benar yakin aku bisa kembali." Paman Andrew mengangkat bahunya, berjalan menyeberangi ruangan menuju pintu, membuka kunci, membukanya lebar-lebar dengan entakan, dan berkata: "Oh, baiklah kalau begitu. Terserah kau saja. Turunlah dan santap makan malammu. Biarkan si gadis kecil itu dimakan binatangbinatang liar, tenggelam, kelaparan di Dunia Lain, atau tersesat di sana selama-lamanya, kalau itu yang kauinginkan. Semuanya sama saja bagiku. Mungkin sebelum waktunya minum teh sebaiknya kau mampir ke sebelah dan menemui Mrs Plummer untuk menjelaskan dia tidak akan pernah melihat anak perempuannya lagi karena kau takut mengenakan sebentuk cincin." 45

"Ya ampun," kata Digory, "aku benar-benar berharap aku sudah cukup besar untuk meninju kepalamu!" Lalu Digory mengancingkan mantelnya, menarik napas dalam-dalam, dan meraih cincin itu. Dan saat itu dia berpikir, seperti yang selalu dia lakukan setelahnya, bahwa kata hatinya tidak akan membiarkannya mengambil pilihan lain.

46

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

3

Hutan di Antara Dunia-Dunia

P

AMAN ANDREW dan ruang kerjanya langsung menghilang. Kemudian selama sesaat, segalanya menjadi seolah bertumpuk-tumpuk. Hal selanjutnya yang Digory ketahui adalah adanya cahaya hijau lembut yang menyinarinya dari atas dan kegelapan di bawahnya. Dia tidak tampak seperti sedang berdiri atau apa pun, atau duduk, atau berbaring. Seolah tidak ada yang menyentuhnya. "Sepertinya aku ada di dalam air," kata Digory. "Atau di bawah air." Pemikiran ini sempat membuatnya takut, tapi hampir seketika dia bisa merasakan tubuhnya naik dengan cepat. Lalu kepalanya tiba-tiba keluar di udara dan dia mendapati dirinya berenang ke tepian, menuju daratan berumput lembut di pinggir suatu mata air. Saat bangkit dia menyadari dirinya tidak 47

basah kuyup dan meneteskan air. Dia juga tidak terengah-engah mencari udara seperti yang akan diperkirakan semua orang bila habis berada di bawah air. Pakaiannya sama sekali kering. Dia sedang berdiri di pinggir mata air kecil—tidak lebih dari tiga meter dari satu sisi ke sisi lainnya—dalam suatu hutan. Pepohonan tumbuh rapat dan berdaun lebat sehingga dia bahkan tidak bisa mengintip langit. Semua cahaya berwarna hijau dan menyeruak di antara dedaunan, tapi pastinya di atas sana ada matahari yang bersinar sangat kuat karena

48

sinar hijau yang dirasakannya begitu terang dan hangat. Hutan itu hutan tersunyi yang mungkin bisa kaubayangkan. Tidak ada burung-burung, tidak ada serangga, tidak ada hewan-hewan, dan tidak ada angin. Kau nyaris bisa merasakan pepohonan tumbuh. Mata air tempat Digory baru saja keluar ternyata bukanlah satu-satunya mata air di sana. Ada lusinan mata air lain—satu mata air di setiap meter sejauh matamu bisa memandang. Kau hampir bisa merasakan pepohonan mengisap air dengan akar-akar mereka. Hutan itu sangat hidup. Ketika berusaha melukiskannya nanti Digory selalu berkata, "Tempat itu begitu kaya, sekaya kue plum.'" Hal teranehnya, hampir sebelum dia memandang ke sekeliling, Digory separo lupa bagaimana dia bisa datang ke sana. Pada suatu titik, dia pastinya tidak memikirkan Polly, Paman Andrew, atau bahkan ibunya. Dia sama sekali tidak takut, bersemangat, atau penasaran. Kalau ada yang bertanya kepadanya, "Dari mana asalmu?" dia mungkin bakal menjawab, "Tempat tinggalku dari dulu di sini." Seperti itulah rasanya—seolah seseorang sudah berada di tempat itu sejak lama dan tidak pernah merasa bosan, walaupun tidak ada yang pernah 49

terjadi di sana. Seperti yang diceritakannya lama setelah itu, "Tempat itu bukan jenis tempat di mana banyak hal terjadi. Pepohonan terus bertumbuh, itu saja." Setelah lama memandangi hutan itu, Digory menyadari ada gadis kecil berbaring telentang di kaki pohon beberapa meter dari dirinya. Mata gadis itu nyaris tertutup tapi tidak terpejam, seolah dia sedang berada di antara keadaan tidur dan bangun. Jadi Digory menatapnya lama sekali dan tidak berkata apaapa. Dan akhirnya gadis itu membuka mata dan memandangi Digory lama sekali, juga tanpa berkata apa-apa. Lalu gadis itu bicara, dengan suara yang pelan dan lembut seperti orang mengantuk. "Sepertinya aku pernah bertemu denganmu sebelumnya," katanya. "Menurutku juga begitu," kata Digory. "Kau sudah lama berada di sini?" "Oh, aku selalu ada di sini," kata si gadis. "Setidaknya—entahlah—lama sekali." "Aku juga," ucap Digory. "Tidak ah," kata si gadis. "Aku baru saja melihatmu keluar dari mata air itu." "Ya, mungkin memang begitu," kata Digory kebingungan. "Aku lupa." 50

Kemudian untuk beberapa saat yang cukup lama keduanya tidak saling bicara lagi. "Tunggu dulu," kata si gadis tiba-tiba, "kirakira kita memang pernah bertemu, tidak ya? Aku punya sejenis bayangan—semacam gambaran di kepalaku—tentang anak laki-laki dan perempuan seperti kita—tinggal di suatu tempat yang agak berbeda—dan melakukan berbagai hal. Mungkin itu hanya mimpi." "Aku juga punya mimpi yang sama, sepertinya," kata Digory. "Tentang anak laki-laki dan perempuan, tinggal bersebelahan—dan sesuatu tentang merangkak di antara kerangka rumah. Aku ingat anak perempuan itu mukanya kotor." "Sepertinya ingatanmu terbalik? Dalam mimpiku justru si anak laki-laki yang wajahnya kotor." "Aku tidak bisa mengingat wajah anak lelaki itu," kata Digory kemudian menambahkan, "Wah! Apa itu?" "Wah! Itu kan hamster," kata si gadis kecil. Dan memang benar—di sana ada hamster gendut, mengendus-endus rumput. Tapi di sekeliling perut hamster itu ada tali dan, terikat di tali itu, cincin kuning yang bersinar terang. "Lihat! Lihat!" teriak Digory. "Cincin itu! 51

Dan lihat! Kau juga mengenakan cincin seperti itu di jarimu. Aku juga." Si gadis kecil itu kini duduk tegak, akhirnya benar-benar tertarik. Mereka menatap satu sama lain lekat-lekat, berusaha mengingat. Kemudian di saat yang tepat bersamaan, si gadis berteriak, "Mr Ketterley," dan si anak lelaki berseru, "Paman Andrew," lalu mereka pun tahu siapa diri mereka dan mulai mengingat keseluruhan cerita. Setelah banyak berbincang-bincang selama beberapa menit, akhirnya mereka mengingat semuanya. Digory menjelaskan betapa kejamnya tindakan Paman Andrew. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Polly. "Membawa pulang hamster ini dan kembali ke dunia kita?" "Tidak perlu terburu-buru," kata Digory, sambil menguap lebar sekali. "Kurasa harus begitu," kata Polly. "Tempat ini terlalu sunyi. Begitu—begitu seperti mimpi. Kau sendiri nyaris tertidur. Sekali kita menyerah terhadap pengaruhnya kita hanya akan berbaring dan dalam keadaan setengah tertidur selama-lamanya." 52

"Tapi nyaman sekali berada di sini," kata Digory. "Ya, memang benar," kata Polly. "Tapi kita harus kembali." Dia berdiri dan mulai berjalan menghampiri si hamster dengan hati-hati. Tapi kemudian dia berubah pikiran. "Sebaiknya kita biarkan saja si hamster di sini," kata Polly. "Dia tampak begitu bahagia di tempat ini, dan pamanmu hanya akan melakukan sesuatu yang buruk padanya kalau kita membawanya pulang." "Aku yakin dia akan melakukan itu," komentar Digory. "Lihat saja caranya memperlakukan kita. Omong-omong, bagaimana cara kita pulang?" "Kurasa sih, lewat mata air itu lagi." Mereka berjalan mendekati mata air dan berdiri berdampingan di tepinya, menunduk menatap permukaan air yang datar. Pada permukaan itu terlihat bayangan cabang-cabang pohon yang hijau penuh dedaunan sehingga tampak sangat dalam. "Kita tidak punya perlengkapan berenang," kata Polly. "Kita tidak butuh semua itu, bodoh," kata Digory. "Kita akan menyelam ke dalamnya dengan pakaian lengkap. Masa kau tidak ingat 53

airnya sama sekali tidak membasahi kita ketika kita naik ke sini?" "Kau bisa berenang?" "Sedikit. Kau bagaimana?" "Yah—tidak terlalu bisa." "Kurasa kita tidak akan perlu berenang," kata Digory. "Kita kan mau pergi ke bawahnya, ya kan?" Tidak satu pun di antara mereka menyukai ide melompat ke mata air itu, tapi tidak ada yang mengatakannya. Mereka bergandengan tangan dan berkata "Satu—Dua—Tiga—Lompat" lalu melompat. Mereka merasakan cipratan besar dan tentu saja mereka memejamkan mata. Tapi ketika membuka mata lagi, mereka mendapati diri mereka masih berdiri, bergandengan tangan di hutan hijau, dan nyaris hanya terendam air hingga ke mata kaki. Mata air itu ternyata beberapa sentimeter dalamnya. Mereka berjalan kembali ke daratan kering. "Apa sebenarnya yang salah?" tanya Polly dengan suara ketakutan, tapi tidaklah setakut seperti yang kaubayangkan, karena sangatlah sulit merasa sangat takut saat berada di hutan itu. Tempat itu terlalu damai. "Oh! Aku tahu," kata Digory. "Tentu saja, ini tidak akan berhasil. Kita masih mengenakan 54

cincin kuning kita. Cincin-cincin ini kan untuk perjalanan pergi. Cincin-cincin yang hijau akan membawa kita pulang. Kita harus mengganti cincin kita. Kau punya saku? Bagus. Simpan cincin kuningmu di saku kiri. Aku punya dua cincin hijau. Ini satu untukmu." Mereka mengenakan cincin hijau dan kembali ke mata air. Tapi sebelum mereka mencoba melompat lagi, Digory mengeluarkan "O-ooh!" yang panjang sekali. "Ada apa?" tanya Polly. "Aku baru saja mendapat ide bagus," kata Digory. "Untuk apakah mata air-mata air lainnya?" "Apa maksudmu?" "Begini, kalau kita bisa kembali ke dunia kita sendiri dengan melompat ke mata air yang ini, bukankah berarti kita bisa pergi ke tempat lain dengan melompat ke mata air lain? Mungkin saja ada dunia di bawah setiap mata air." "Tapi bukankah kita sudah berada di Dunia Lain, Tempat Lain, atau apalah namanya itu yang dibicarakan Paman Andrew? Bukankah kau bilang—" "Ah, lupakan Paman Andrew," potong Digory. "Kurasa dia bahkan tidak tahu apa55

apa tentang itu. Dia tidak pernah punya keberanian untuk datang ke sini sendiri. Dia hanya bicara tentang satu Dunia Lain. Tapi siapa tahu ada lusinan?" "Maksudmu, hutan ini mungkin hanya salah satunya?" "Tidak, menurutku hutan ini sama sekali bukan dunia lain. Menurutku tempat ini hanyalah semacam tempat di antaranya." Polly tampak bingung. "Tidakkah kau lihat?" tanya Digory. "Tidak, dengar dulu. Pikirkan terowongan kita di bawah papan-papan di rumah. Tempat itu kan bukan ruangan di salah satu rumah. Bisa dibilang, terowongan itu bahkan bukan benarbenar bagian dari rumah-rumah. Tapi sekalinya kau berada di terowongan, kau bisa berjalan di dalamnya dan datang ke rumah mana pun di deretan rumah kita. Mungkin saja hutan ini juga sama, kan?—tempat yang bukanlah salah satu dunia, tapi sekali kau menemukan tempat ini kau bisa masuk ke dunia mana pun." "Yah, kalaupun kau bisa—" Polly memulai, tapi Digory melanjutkan seolah tidak mendengar kata-katanya. "Dan tentu saja itu menjelaskan segalanya," katanya. "Itulah sebabnya tempat ini begitu 56

sepi dan kita selalu merasa mengantuk. Tidak pernah ada kejadian apa pun di sini. Seperti di rumah. Di dalam rumah-rumahlah orangorang berbicara, atau melakukan hal-hal, juga tempat mereka makan. Tidak ada yang terjadi di tempat-tempat perantara: di belakang dinding, di atas langit-langit, atau di bawah lantai, juga di dalam terowongan kita. Tapi ketika kau keluar dari terowongan, kau akan mendapati dirimu berada di rumah mana pun. Kurasa kita bisa keluar dari tempat ini dan menuju tempat mana pun! Kita tidak perlu melompat ke dalam mata air yang sama dengan yang kita lewati. Atau belum saatnya." "Hutan di Antara Dunia-Dunia," kata Polly menerawang. "Kedengarannya bagus juga." "Ayo," kata Digory. "Kolam mana yang akan kita coba?" "Tunggu dulu," kata Polly, "Aku tidak akan mencoba mata air baru sebelum memastikan kita memang bisa pulang melalui mata air yang pertama. Kita bahkan tidak yakin itu cara yang benar." "Benar," kata Digory sinis. "Kita akan dirangkap Paman Andrew dan harus menyerahkan cincin-cincin kita sebelum sempat bersenang-senang. Tidak, terima kasih." 57

"Tidak bisakah kita sampai di setengah jalan ke bawah mata air kita?" tanya Polly. "Hanya untuk melihat cara ini benar-benar manjur. Lalu begitu kita tahu itu berhasil, kita ganti cincin dan kembali naik sebelum benar-benar sampai di ruang kerja Mr Ketterly." "Bisakah kita pergi separo jalan ke bawah?" "Yah, cukup lama waktu yang kita perlukan untuk naik, kurasa bakal memakan waktu sedikit lama untuk kembali." Digory agak sulit menyetujui rencana ini, tapi akhirnya dia terpaksa setuju karena Polly sama sekali menolak melakukan penjelajahan ke dunia baru apa pun sebelum memastikan dia bisa kembali ke dunia asalnya. Dia kuranglebih sama beraninya dengan Digory dalam menghadapi beberapa bahaya (tawon, misalnya), tapi Polly tidaklah tertarik menemukan hal-hal yang belum pernah didengar siapa pun. Sedangkan Digory tipe orang yang ingin mengetahui segalanya, dan ketika tumbuh dewasa dia menjadi Profesor Kirke yang terkenal yang akan muncul di buku-buku lain. Setelah cukup lama berdebat, mereka sependapat untuk mengenakan cincin hijau mereka ("Hijau untuk keamanan," kata Digory, "jadi kau tidak bisa tidak mengingat cincin yang 58

mana untuk apa"), lalu mereka bergandengan tangan dan melompat. Tapi segera ketika mereka tampak akan kembali ke ruang kerja Paman Andrew, atau bahkan dunia mereka sendiri, Polly bertugas untuk berteriak, "Ganti" dan mereka akan membuka cincin hijau lalu memakai cincin kuning lagi. Digory ingin jadi yang bertugas berteriak, "Ganti," tapi Polly tidak juga mau setuju. Mereka mengenakan cincin hijau, saling menggamit tangan, dan sekali lagi berteriak "Satu—Dua—Tiga—Lompat". Kali ini cara itu manjur. Sangatlah sulit menceritakan pada kalian bagaimana rasanya, karena segalanya terjadi begitu cepat. Awalnya ada cahaya-cahaya terang yang bergerak di langit hitam. Digory selalu menganggap cahaya-cahaya itu bintangbintang dan bersumpah melihat Planet Jupiter cukup dekat—cukup dekat untuk melihat bulannya. Tapi hampir sekaligus terlihat oleh mereka barisan demi barisan atap dan cerobong asap di atas, mereka juga bisa melihat St Paul sehingga tahu mereka sedang melihat pemandangan London. Tapi kau bisa melihat menembus dinding-dinding semua rumah. Lalu mereka bisa melihat Paman Andrew, sangat samar dan berbayang-bayang, tapi semakin lama semakin 59

kelihatan jelas dan nyata, seolah dia kian mendekati fokus. Tapi sebelum Paman Andrew menjadi benar-benar nyata, Polly berteriak "Ganti", dan mereka langsung mengganti cincin, dunia kita pun mengabur seperti mimpi, kemudian cahaya hijau di atas menjadi kian terang dan terang, hingga kepala mereka keluar dari mata air dan mereka berlari ke tepian. Kini hutan mengelilingi mereka lagi hingga ke atas, masih sehijau dan seterang dulu. Seluruh proses itu hanya mengambil waktu kurang dari satu menit. "Nah!" kata Digory. "Sudah bisa, kan? Sekarang mari kita bertualang. Mata air yang mana pun boleh. Ayolah. Ayo kita coba yang satu itu." "Stop!" kata Polly. "Tidakkah sebaiknya kita tandai mata air yang ini dulu?" Mereka bertatapan dan wajah mereka berdua memucat saat mereka menyadari hal mengerikan yang baru saja akan Digory lakukan. Ada begitu banyak mata air di di hutan ini, dan semua mata air tampak serupa, begitu juga pepohonannya. Kalau sekali saja mereka meninggalkan mata air yang merupakan jalan menuju dunia mereka sendiri tanpa membuat semacam tanda, kemungkinannya seratus ban60

ding satu bagi mereka untuk menemukannya lagi. Tangan Digory gemetaran saat dia membuka pisau lipatnya dan memotong sebongkah panjang rumput di tepian mata air. Tanah hutan itu (yang wangi sekali) berwarna cokelat kemerahan gembur dan tampak kontras di antara hijau rerumputan. "Untung salah satu di antara kita berakal sehat," kata Polly. "Yah, kau kan tidak perlu menyombongkan diri hanya gara-gara masalah ini," kata Digory. "Ayolah, aku ingin melihat ada apa di balik mata air-mata air yang lain." Polly membalas ucapan Digory dengan cukup pedas, Digory pun mengucapkan sesuatu yang lebih ketus lagi sebagai balasannya. Pertengkaran itu berlangsung selama beberapa menit, tapi akan membosankan bila ditulis semuanya. Marilah kita langsung menuju saat ketika mereka berdiri dengan jantung berdebar-debar dan wajah agak ketakutan di pinggir mata air tak dikenal dengan cincin-cincin kuning mereka. Keduanya bergandengan dan sekali lagi berkata "Satu— Dua—Tiga—Lompat!" Byuurr! Sekali lagi cara ini tidak berhasil. Mata air ini ternyata juga hanyalah sedalam kubangan air. Bukannya mencapai dunia lain, 61

mereka hanya mendapati kaki mereka basah dan mengotori tungkai kaki mereka untuk kedua kalinya pagi itu (kalau memang saat itu pagi: waktu tampak selalu sama di Hutan di Antara Dunia-Dunia). "Sial!" seru Digory. "Apa lagi yang salah sekarang? Kita sudah mengenakan cincin kuning kita kok. Dia bilang kuning untuk perjalanan pergi." Nah, sekarang diketahui ternyata Paman Andrew, yang tidak tahu apa-apa tentang Hutan di Antara Dunia-Dunia, punya perkiraan yang salah tentang kegunaan cincin-cincin itu. Cincin yang kuning bukanlah cincin "pergi" dan cincin yang hijau bukanlah cincin "pulang", setidaknya bukan seperti yang dipikirkannya. Bahan-bahan yang membuat kedua cincin itu berasal dari hutan itu. Bahan-bahan dalam cincin kuning memiliki kekuatan untuk menarikmu ke hutan, bahan-bahan yang ingin kembali ke tempatnya semula, tempat di antara. Tapi bahan dalam cincin hijau adalah bahan yang berusaha keluar dari tempatnya semula: jadi cincin hijau akan membawamu keluar dari hutan ke sebuah dunia. Paman Andrew, untuk kauketahui, sedang bereksperimen dengan benda-benda yang sebenarnya tidak terlalu dia 62

mengerti, sebagian besar penyihir memang begitu. Tentu saja Digory juga tidak terlalu menyadari kenyataan ini, setidaknya tidak hingga nanti. Tapi ketika mereka telah membicarakannya, mereka memutuskan mencoba cincin hijau mereka ke mata air baru hanya untuk melihat apa yang akan terjadi. "Aku mau kalau kau juga mau," kata Polly. Tapi sebenarnya dia mengatakan ini karena di hatinya yang paling dalam, dia kini merasa yakin kedua cincin itu tidak akan berfungsi di mata air baru, jadi tidak ada yang perlu lebih ditakutinya selain cipratan air lagi. Aku tidak terlalu yakin Digory punya perasaan yang sama. Bagaimanapun, ketika mereka berdua telah memakai cincin hijau, kembali ke tepian mata air, dan bergandengan, mereka kini jauh lebih ceria dan tidak muram daripada pada kali pertama. "Satu—Dua—Tiga—Lompat!" Dan mereka pun melompat.

63

kata Digory.

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. ([email protected])

MR. Collection's

BAB

4

Bel dan Palu

S

IHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi. Ke bawah dan terus ke bawah mereka berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan kemudian melewati kumpulan sosok samar yang berputar-putar, yang bisa jadi apa saja. Lalu situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak mereka berdiri di atas sesuatu yang padat. Sesaat kemudian segalanya jadi lebih fokus dan mereka mampu melihat ke atas mereka. "Tempat ini aneh sekali!" kata Digory. "Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil agak merinding. Yang pertama kali mereka sadari adalah cahaya. Tidak seperti sinar mentari, tapi juga tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau sumber cahaya apa pun yang pernah mereka lihat. Cahayanya samar, agak kemerahan, sama 64

sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti dan tidak meredup. Mereka sedang berdiri di permukaan datar berlapis bebatuan dan gedunggedung berdiri di sekeliling mereka. Tidak ada atap di atas mereka, mereka berada di semacam halaman. Langit gelap secara tidak wajar— biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat langit itu kau akan bertanya-tanya apakah memang benar ada cahaya di sana. "Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata Digory. "Atau mungkin kita tiba tepat pada saat akan datang badai petir, atau gerhana." "Aku tidak menyukainya," kata Polly. Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara dengan berbisik. Dan walaupun tidak ada alasan kenapa mereka masih terus bergandengan setelah melompat, mereka tidak saling melepaskan tangan. Dinding-dinding gedung menjulang sangat tinggi di sekeliling halaman. Dinding-dinding itu juga memiliki banyak jendela, jendela-jendela tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan hitam. Di bagian bawah dinding ada area-area berpilar besar, menganga lebar menampilkan lubang hitam besar seperti mulut terowongan kereta api. Suasana jadi terasa agak dingin. 65

Batu yang digunakan untuk membangun segala hal sepertinya merah, tapi mungkin itu hanya karena cahaya misterius yang menerangi tempat tersebut. Yang pasti rasanya aneh sekali. Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak satu pun menempel rapat satu sama lain dan sudut-sudut tajamnya telah cacat semua. Salah satu pintu yang diapit area setengahnya tertutupi reruntuhan. Kedua anak itu terusmenerus membalikkan tubuh untuk melihat ke sudut-sudut berbeda di halaman. Salah satu alasannya adalah karena mereka khawatir seseorang—atau sesuatu—sedang mengawasi mereka dari jendela-jendela ketika mereka menghadap ke depan. "Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?" tanya Digory akhirnya, masih dengan berbisik. "Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya reruntuhan. Kita belum mendengar suara apa pun sejak datang ke sini." "Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan menajamkan pendengaran," saran Digory. Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi satu-satunya yang mereka dengar hanyalah detakan jantung mereka sendiri. Tempat ini setidaknya sesunyi Hutan di Antara Dunia-dunia. 66

Tapi sepinya berbeda. Kesunyian di hutan terasa kaya, hangat (kau nyaris bisa mendengar pepohonan bertumbuh), dan penuh kehidupan. Kali ini yang terasa kesunyian yang mati, dingin, dan hampa. Kau tidak bisa membayangkan apa pun tumbuh di tempat ini.

67

"Ayo pulang," kata Polly. "Tapi kita belum melihat apa pun," kata Digory. "Berhubung kita sudah sampai di sini, setidaknya kita harus melihat-lihat." "Aku yakin sama sekali tidak ada yang menarik di sini." "Tidak ada gunanya menemukan cincin ajaib yang bisa membawamu ke dunia lain kalau kau takut menjelajahi dunia-dunia itii begitu sudah sampai di sana." "Siapa yang bilang aku takut?" kata Polly, melepaskan tangan Digory. "Aku hanya mengira kau tampak kurang berminat menjelajahi tempat ini." "Aku akan pergi ke mana pun kau mau pergi." "Kita bisa pergi dari sini kapan pun kita mau," kata Digory. "Ayo kita lepas cincin hijau kita dan menyimpannya di saku kanan. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengingat bahwa cincin kuning kita ada di saku kiri. Kau bisa meletakkan tangan sedekat yang kauinginkan dengan saku-saku itu, tapi jangan kaumasukkan tanganmu ke saku karena kau bisa saja menyentuhnya dan lenyap." Mereka melakukan itu dan berjalan tanpa suara menuju salah satu gerbang lengkung besar 68

yang membawa mereka ke dalam salah satu gedung. Lalu ketika berdiri di depan pintu dan bisa melihat ke dalam, mereka melihat bagian dalam gedung itu tidaklah terlalu gelap seperti dugaan awal mereka. Pintu itu memperlihatkan ruang depan berbayang-bayang yang tampaknya kosong, tapi di sisi ruang depan yang lebih jauh tampak sederetan pilar dengan lengkungan di bagian atas tiap dua pilar. Di balik lengkungan tersebut mengalir lebih banyak cahaya temaram aneh yang sama. Mereka menyeberangi ruang depan tersebut, berjalan dengan sangat hati-hati karena khawatir ada lubang-lubang di lantai atau apa pun yang mungkin tergeletak di sana yang bisa membuat mereka tersandung. Perjalanan itu rasanya lama sekali. Ketika mencapai sisi lain ruang itu, mereka melewati pilar-pilar dan mendapati diri mereka berada di halaman lain yang lebih luas. "Sepertinya tempat itu tidak terlalu aman," kata Polly sambil menunjuk ke suatu tempat di mana dindingnya condong ke depan dan tampak siap runtuh ke halaman. Di satu tempat ada pilar yang hilang di antara dua lengkungan dan bagian yang seharusnya berada di bagian atas pilar, hanya bergantung di sana tanpa 69

disangga apa pun. Tampak jelas, kota itu telah diterlantarkan selama ratusan, bahkan mungkin ribuan, tahun. "Kalau tempat ini bertahan hingga saat ini, kurasa akan bisa bertahan lebih lama lagi," kata Digory. "Tapi kita harus benar-benar bergerak tanpa suara. Kau tahu bukan terkadang suara pelan sekalipun bisa membuat segalanya runtuh—seperti salju longsor di Pegunungan Alpen." Mereka keluar dari halaman itu menuju gerbang lain, menaiki tangga besar nan tinggi, dan melalui ruang-ruang luas yang terbuka menuju ruang-ruang lain sampai kau merasa pusing hanya karena ukuran tempat itu. Sesekali mereka mengira bakal keluar ke tempat terbuka dan melihat dataran macam apa yang mengelilingi istana besar itu. Tapi setiap kali berjalan, mereka hanya mencapai halaman lain. Istana ini pastinya merupakan tempat yang luar biasa saat penduduknya masih tinggal di sini. Di salah satu sisi ada patung yang dulu adalah air mancur. Monster batu besar dengan sayap terentang lebar berdiri dengan mulut terbuka dan kau bisa melihat pipa kecil di bagian belakang mulutnya, dari sanalah dulu air keluar. Di bawah patung itu ada mangkuk 70

batu lebar untuk menadahi airnya, tapi kini mangkuk itu kering bagaikan padang pasir. Di tempat-tempat lain ada batang-batang kering sejenis tanaman rambat yang telah tumbuh mengelilingi pilar-pilar dan membuat sebagian pilar tersebut runtuh. Tapi tanaman itu 71

sudah lama mati. Dan tidak ada semut, labahlabah, atau makhluk hidup lain yang kaupikir bisa kautemui di antara reruntuhan. Tanah kering yang terdapat di antara batu lantaibatu lantai pun tidak ditumbuhi rumput atau lumut. Keadaan di tempat itu begitu mati di seluruh sudutnya hingga bahkan Digory pun mulai berpikir sebaiknya mereka segera mengenakan cincin kuning dan kembali ke hutan hidup yang hangat dan hijau di tempat antara. Pada saat itulah mereka menemukan dua daun pintu raksasa yang terbuat dari sejenis logam yang mungkin saja emas. Salah satu daun pintu itu sedikit terbuka. Jadi tentu saja mereka masuk untuk melihat ke dalam. Keduanya terkejut dan menarik napas panjang: karena di sinilah akhirnya ada sesuatu yang pantas dilihat. Selama beberapa saat mereka berpikir ruangan tersebut dipenuhi orang—ratusan orang, semuanya sedang duduk, dan semuanya bergeming. Polly dan Digory juga, seperti yang bisa kautebak, berdiri tanpa bergerak cukup lama karena melihat pemandangan di depan mereka. Tapi akhirnya mereka memutuskan yang sedang mereka pandangi tidaklah mungkin orang sungguhan. Tidak ada gerakan maupun 72

suara embusan napas di antara mereka semua. Orang-orang itu seperti patung lilin terhebat yang pernah kaulihat. Kali ini Polly yang berjalan duluan. Ada sesuatu di ruangan ini yang menarik rasa ingin tahunya dibanding rasa ingin tahu Digory: semua sosok di sana mengenakan pakaian yang menakjubkan. Kalau kau sedikit saja tertarik pada pakaian, kau tidak akan tahan untuk tidak melihat lebih dekat. Berkas-berkas warna pada pakaian-pakaian ini pun membuat ruangan itu tampak, meski tidak bisa dibilang ceria, begitu kaya dan anggun setelah semua debu dan kekosongan di tempat lain. Ruangan itu juga memiliki lebih banyak jendela dan jauh lebih terang. Aku nyaris tidak bisa melukiskan pakaianpakaian mereka. Sosok-sosok itu semuanya berjubah dan mengenakan mahkota di kepala mereka. Jubah-jubah mereka berwarna merah tua, abu-abu keperakan, ungu tua, dan hijau gelap. Tampak pola-pola hias, juga gambar bunga, hewan liar ajaib, disulam di permukaan jubah-jubah tersebut. Batu-batu berharga dalam ukuran dan kilau menakjubkan menatap dari mahkota-mahkota mereka, juga dari kalungkalung yang menggantung di sekeliling leher 73

mereka, mengintip dari segala tempat semuanya terpasang. "Kenapa semua pakaian itu tidak lapuk sejak zaman dulu?" tanya Polly. "Sihir," bisik Digory. "Tidakkah kau bisa merasakannya? Aku berani bertaruh seluruh ruangan ini beku karena mantra sihir. Aku bisa merasakannya sejak detik pertama kita masuk." "Satu saja pakaian ini bisa berharga ratusan pound" komentar Polly. Tapi Digory lebih tertarik pada wajah-wajah mereka, dan memang semua wajah itu pantas dipandangi. Orang-orang itu duduk di kursi batu mereka di masing-masing sisi ruangan, bagian tengahnya dibiarkan kosong. Kau bisa berjalan dan memandangi wajah-wajah itu bergiliran. 74

"Mereka orang-orang baik, menurutku," ucap Digory. Polly mengangguk. Semua wajah yang bisa mereka lihat memang tampak baik. Baik para pria maupun wanitanya tampak ramah dan bijaksana, dan mereka tampaknya berasal dari keturunan berwajah tampan. Tapi setelah anakanak itu berjalan beberapa langkah lebih jauh di ruangan tersebut, mereka sampai pada wajah-wajah yang tampak agak berbeda. Wajah-wajah di sini begitu serius. Kau akan merasa perlu memerhatikan etiket dan sopan santun bila bertemu orang-orang seperti itu dalam kehidupanmu. Ketika Polly dan Digory berjalan lebih jauh lagi, mereka mendapati diri mereka berada di antara wajah-wajah yang tidak mereka sukai: ini terjadi kira-kira di tengah ruangan. Wajah-wajah itu tampak begitu kuat, bangga, dan bahagia, tapi mereka tampak kejam. Dan saat mereka lebih jauh berjalan, wajah-wajah di sana tampak lebih kejam. Lebih jauh lagi, mereka masih tampak kejam tapi tidak lagi tampak bahagia. Wajah-wajah itu bahkan tampak penuh keputusasaan: seolah pemilik-pemiliknya telah melakukan hal-hal buruk dan menderita karena hal-hal buruk. Sosok terakhir dari deretan orang itu adalah yang 75

paling menarik—wanita yang pakaiannya lebih mewah daripada yang lainnya, sangat tinggi (tapi semua sosok dalam ruangan itu memang lebih tinggi daripada orang-orang di dunia kita), dengan ekspresi wajah yang begitu keras dan penuh kebanggaan sehingga kau akan menahan napas bila melihatnya. Namun wanita itu juga cantik. Bertahun-tahun kemudian, saat telah menjadi pria tua, Digory berkata dia belum pernah melihat orang secantik wanita itu selama hidupnya. Tapi wajar juga bila ditambahkan bahwa Polly berkata dia tidak melihat apa pun yang spesial pada wanita itu. Wanita ini, seperti yang kukatakan tadi, adalah sosok terakhir, tapi ada banyak kursi kosong setelahnya, seolah ruangan itu telah dimaksudkan untuk lebih banyak lagi koleksi sosok. "Aku ingin sekali tahu cerita di balik semua ini," kata Digory. "Ayo kembali dan melihat meja di tengah ruangan ini." Benda yang berada di tengah ruangan itu sebenarnya bukanlah meja. Benda itu pilar kotak setinggi kira-kira semeter lebih dan di atasnya berdiri arca emas yang digantungi bel emas kecil. Di samping pilar itu tergeletak palu emas kecil untuk membunyikan belnya. 76

"Kira-kira apa ya... Hmmm... Apa ya...," kata Digory. "Sepertinya ada sesuatu yang tertulis di sini," kata Polly, menundukkan badan dan memandangi salah satu pilar tersebut. "Ya ampun, ternyata memang ada," ucap Digory. "Tapi tentu saja kita tidak akan bisa membacanya." "Benarkah begitu? Aku tidak yakin," kata Polly. Mereka berdua memandangi tulisan itu lekatlekat, seperti yang mungkin sudah kauduga, huruf-huruf yang dipahat ke batu pilar itu memang aneh. Tapi kini terjadi keajaiban besar: karena saat mereka memandanginya, walaupun bentuk huruf-huruf aneh itu tidak berubah, mereka mendapati diri mereka bisa memahami semuanya. Kalau saja Digory ingat kata-katanya sendiri beberapa saat lalu, bahwa ini ruangan yang tersihir, mungkin dia bakal bisa menebak sihirnya mulai bekerja. Tapi rasa penasaran terlalu menguasai dirinya, sehingga dia tidak bisa memikirkan itu. Dia semakin ingin tahu apa yang tertulis di pilar tersebut. Dan tak lama kemudian mereka berdua pun tahu. Yang tertulis adalah sesuatu yang kira-kira begini bunyinya—setidaknya inilah yang bisa dicerna 77

walaupun puisi itu sendiri, ketika kau membacanya di sana, lebih bagus: Tentukan pilihan, wahai petualang asing, Bunyikan bel, dan hadapi bahaya genting, Atau teruslah penasaran, hingga lenyap kewarasan, Akan apa yang bakal terjadi bila saja kaulakukan. "Apa ini?" seru Polly. "Kita kan tidak mau mendapatkan bahaya apa pun." "Ah, tapi tidakkah kau sadar tidak ada pilihan lain?" tanya Digory. "Tidak mungkin kita bisa menghindar sekarang. Kita bakal selalu bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau saja kita membunyikan bel ini. Aku tidak mau pulang lalu penasaran setengah mati karena selalu mengingatnya. Tidak perlu takut!" "Jangan konyol begitu," kata Polly. "Memangnya bakal ada orang yang mati karena penasaran? Siapa yang peduli apa yang bakal terjadi?" "Menurutku semua orang yang sudah pergi sejauh ini bakal terus bertanya-tanya sampai membuatnya tidak waras. Itulah Sihir yang menguasai tempat ini. Aku bahkan bisa merasakannya mulai bekerja pada diriku." 78

"Yah, kalau aku tidak," kata Polly ketus. "Dan aku tidak percaya kau merasakannya. Kau hanya mengarang." "Karena memang hanya itu yang kauketahui," kata Digory. "Soalnya kau perempuan. Perempuan tidak pernah mau tahu apa pun kecuali gosip dan meributkan orang-orang yang bertunangan." "Kau benar-benar mirip pamanmu waktu berkata begitu, tahu," kata Polly. "Kenapa kau mengubah topik pembicaraan?" kata Digory. "Kita kan sedang membicarakan—" "Benar-benar seperti pria dewasa!" kata Polly dengan suara yang begitu dewasa, tapi dia buru-buru menambahkan, dengan suara biasanya, "Dan jangan bilang aku juga bersikap seperti wanita, karena dengan begitu kau hanya peniru yang payah." "Aku bahkan tidak pernah bermimpi raemanggil anak kecil sepertimu wanita," kata Digory angkuh. "Oh, jadi aku anak kecil, ya?" tanya Polly, yang kini benar-benar marah. "Yah, kalau begitu kau tidak perlu direpotkan dengan kehadiran anak kecil lagi. Aku akan pergi. Aku sudah muak dengan tempat ini. Dan aku juga 79

sudah muak padamu—dasar payah, sombong, keras kepala!" "Jangan lakukan itu!" kata Digory dengan suara yang lebih galak daripada yang dimaksudkannya, karena dia melihat tangan Polly bergerak ke saku untuk mengambil cincin kuningnya. Aku tidak bisa memaklumi apa yang selanjutnya dia lakukan kecuali dengan mengatakan Digory sangat menyesalinya di kemudian hari (begitu juga begitu banyak orang baik lainnya). Sebelum tangan Polly sampai di sakunya, Digory mencengkeram pergelangan tangan Polly, menahan tubuh Polly dengan punggungnya. Lalu, sambil menghalangi lengan Polly yang satu lagi dengan siku lainnya, Digory membungkuk ke depan, meraih palu, dan membunyikan bel emas itu dengan pukulan pelan tapi pasti. Kemudian dia melepaskan Polly dan mereka berdua terjatuh sambil saling menatap dan terengah-engah keras. Polly mulai menangis, bukan karena ketakutan, dan bahkan bukan karena Digory telah menyakiti pergelangan tangannya, tapi karena marah luar biasa. Namun dua detik kemudian, ada sesuatu yang menyita pikiran mereka sehingga pertengkaran itu pun terlupakan. Begitu dipukul bel itu mengeluarkan nada, 80

nada indah seperti yang mungkin sudah kauduga, tidak terlalu keras pula. Tapi bukannya menghilang ditelan angin, nada itu terus terdengar, dan ketika itu terjadi bunyinya kian mengeras. Sebelum semenit berlalu, bunyinya kini telah menjadi dua kali lebih keras daripada ketika kali pertama bersuara. Tak lama kemudian suaranya kian mengeras sehingga jika kedua anak itu berusaha berbicara (tapi mereka tidak berniat berbicara saat ini—mereka hanya berdiri di sana dengan mulut ternganga) mereka tidak bakal bisa mendengar satu pun ucapan mereka. Beberapa saat kemudian bunyinya sudah menjadi begitu keras sehingga mereka tidak bakal bisa mendengar satu sama lain bahkan kalaupun mereka berteriak. Dan suaranya terus saja mengeras: semua dalam satu nada, suara indah yang tak berakhir, walaupun ada sesesuatu yang mengerikan dalam keindahan itu, hingga semua udara dalam ruangan besar itu seolah berdenyut karenanya dan mereka bisa merasakan lantai batu di kaki mereka bergetar. Kemudian akhirnya suara bel itu mulai bercampur dengan bunyi lain, suara samar mengerikan yang awalnya terdengar seperti geraman kereta yang datang dari kejauhan, kemudian seperti gebrakan pohon tumbang. Mereka 81

mendengar sesuatu seperti benda-benda berat berjatuhan. Akhirnya, bersamaan dengan gemuruh yang mendadak, dan guncangan yang nyaris membuat mereka terbang di udara, sekitar seperempat langit-langit di salah satu ujung ruangan mulai runtuh, bongkahan-bongkahan batu besar berjatuhan di sekitar mereka, dan dinding-dinding rontok. Suara bel berhenti. Awan debu menipis dan akhirnya menghilang. Segalanya menjadi sunyi kembali. Tidak pernah diketahui apakah runtuhnya langit-langit itu disebabkan Sihir, ataukah karena suara keras tak tertahankan dari bel itu kebetulan mencapai not yang memecah pertahanan dinding-dinding rapuh itu. "Nah! Kuharap kau puas sekarang," bentak Polly. "Yah, toh sekarang sudah berakhir," kata Digory. Keduanya punya pikiran yang sama, namun belum pernah dalam seumur hidup mereka, mereka begitu keliru.

82

BAB

5

Kata Kemalangan

K

EDUA anak itu berdiri berhadapan di seberang pilar tempat bel tadi tergantung. Benda itu masih bergetar walau tidak lagi mengeluarkan suara apa pun. Mendadak mereka mendengar suara pelan dari ujung ruangan yang masih tidak rusak. Mereka menoleh secepat kilat untuk melihat suara apakah itu. Salah satu sosok berjubah—sosok yang duduk paling jauh, wanita yang menurut Digory cantik sekali—berdiri dari kursinya. Ketika dia berdiri, mereka menyadari wanita itu lebih tinggi daripada dugaan mereka. Dan kau bakal bisa langsung melihat, bukan hanya dari mahkota dan jubahnya, tapi dari kilatan mata juga lekuk bibirnya, wanita ini ratu agung. Dia melihat ke sekeliling ruangan dan kerusakan yang terjadi di sana, lalu memandang kedua 83

anak itu, tapi kau tidak bakal bisa menebak dari ekspresi wajahnya apa yang sedang dia pikirkan, apakah dia sedang terkejut atau tidak. Dia berjalan ke depan dengan langkah-langkah panjang dan cepat. "Siapa yang telah membangunkanku? Siapa yang telah mematahkan mantra?" "Kurasa akulah orangnya," kata Digory. "Kau!" kata sang ratu, meletakkan tangannya di bahu Digory—tangannya putih dan indah, tapi Digory bisa merasakan tangan itu juga sekuat penjepit besi. "Kau? Tapi kau hanyalah anak-anak, anak biasa. Hanya dengan pan-

84

dangan sekilas, siapa pun bisa langsung tahu kau tidak memiliki setetes pun darah bangsawan atau kemuliaan di nadimu. Kenapa anak sepertimu berani memasuki rumah ini?" "Kami datang dari dunia lain, dengan Sihir," kata Polly, yang berpikir sudah saatnya sang ratu menyadari kehadirannya seperti dia menyadari keberadaan Digory. "Apakah ini benar?" tanya sang ratu, masih memandangi Digory dan tidak melihat bahkan sekilas pun ke Polly. "Ya, itu benar," jawab Digory. Sang ratu meletakkan tangannya yang lain di bawah dagu Digory dan mengangkatnya supaya bisa lebih jelas melihat wajah anak lelaki itu. Digory berusaha balas menatap, tapi tak lama kemudian dia harus menurunkan pandangannya. Ada sesuatu dalam mata sang ratu yang menguasainya. Setelah sang ratu memerhatikan wajah Digory selama lebih dari semenit, dia melepaskan dagu Digory dan berkata: "Kau bukan penyihir. Tiada tanda penyihir pada dirimu. Kau pasti hanya pelayan penyihir. Karena Sihir lainlah kau bisa sampai di sini." "Aku ada di sini karena pamanku, Paman Andrew," kata Digory. 85

Tepat pada saat itu—bukan di ruangan tempat mereka berada, tapi di suatu tempat yang sangat dekat dari sana—terdengarlah suara runtuh pertama, kemudian suara sesuatu retak, lalu gemuruh bebatuan rubuh, dan lantai pun bergetar. "Terlalu berbahaya berada di sini," kata sang ratu. "Seluruh tempat ini akan hancur. Kalau kita tidak keluar dari sini sekarang, dalam hitungan menit kita akan terkubur di dalam reruntuhannya." Dia berbicara dengan tenang seolah hanya sedang memberitahu jam berapa sekarang. "Ayo," dia menambahkan kemudian menjulurkan kedua tangannya ke Digory dan Polly. Polly, yang tidak menyukai sang ratu dan merasa agak merajuk, tidak akan membiarkan tangannya diraih kalau saja dia punya pilihan lain. Tapi walaupun sang ratu berbicara dengan nada yang tenang, gerakannya secepat pikiran. Sebelum Polly menyadari apa yang sedang terjadi, tangan kirinya telah ditangkap tangan yang jauh lebih besar dan kuat daripada miliknya sehingga dia tidak bisa melakukan apa-apa. Wanita ini mengerikan sekali, pikir Polly. Dia cukup kuat untuk mematahkan lenganku hanya dengan satu puntiran. Dan sekarang 86

karena dia mencengkeram tangan kiriku, aku tidak bisa mengambil cincin kuning. Kalau aku berusaha menjulurkan tangan kananku ke saku kiriku, aku mungkin bakal bisa meraihnya sebelum dia menanyakan apa yang sedang kulakukan. Apa pun yang terjadi kami tidak boleh membiarkan dia tahu soal cincin-cincin ini. Kuharap Digory masih berakal sehat dan mampu menutup mulut. Kalau saja aku bisa berbicara hanya berdua dengannya. Sang ratu membimbing mereka keluar dari Aula Sosok menuju koridor panjang kemudian melalui labirin aula-aula lain, tangga-tangga, dan lapangan. Lagi-lagi mereka mendengar suatu bagian istana besar itu runtuh, terkadang cukup dekat dengan mereka. Pernah sekali, area besar roboh bersamaan bunyi keras hanya beberapa saat setelah mereka berjalan melaluinya. Sang ratu berjalan cepat—kedua anak itu harus berlari kecil supaya bisa menyamai langkahnya—tapi dia tidak menunjukkan tandatanda ketakutan. Digory berpikir, dia berani sekali. Juga kuat. Ini dia yang namanya ratu! Mudah-mudahan dia mau menceritakan kisah rempat ini. Sang ratu memang memberitahu mereka beberapa hal saat mereka berjalan: 87

88

"Itu pintu menuju penjara bawah tanah," dia akan berkata, atau "Jalan itu menuju ruang-ruang utama penyiksaan", atau "Di sini dulu aula jamuan pesta tempat kakek buyutku menjamu tujuh ratus bangsawan untuk berpesta pora kemudian membunuh mereka semua sebelum mereka menghabiskan minuman mereka. Mereka memiliki pikiran-pikiran memberontak." Akhirnya mereka sampai ke suatu aula yang lebih besar dan lengang daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya. Dari ukuran dan bentuk pintu-pintu besar di ujung jauhnya, Digory berpikir akhirnya mereka telah sampai di pintu masuk utama. Dalam kasus ini dia benar. Pintu-pintu itu berwarna hitam kelam, mungkin terbuat dari kayu ebony atau semacam logam hitam yang tidak ditemukan di dunia kita. Pintu-pintu tersebut dipasung dengan palang-palang besar, yang sebagian besarnya terlalu tinggi untuk diraih dan terlalu berat untuk diangkat. Digory bertanya-tanya bagaimana caranya mereka akan keluar. Sang ratu melepaskan pegangannya dan mengangkat lengan. Dia menegakkan badan dan berdiri bergeming. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti kedua anak itu (yang pasti kedengarannya mengerikan) 89

dan bergerak seolah melemparkan sesuatu ke pintu-pintu itu. Lalu kedua daun pintu yang tinggi dan berat itu bergetar beberapa detik seolah keduanya terbuat dari sutra, kemudian luluh lantak hingga tidak tersisa apa pun kecuali tumpukan debu di ambang pintu. "Fiuh!" siul Digory. "Apakah majikan penyihirmu, pamanmu, punya kekuatan sepertiku?" tanya sang ratu, dia mencengkeram keras tangan Digory lagi. "Tapi 90

aku akan tahu sendiri nanti. Sementara itu, ingatlah apa yang telah kaulihat. Inilah yang terjadi pada benda-benda, juga orang-orang, yang menghalangi kehendakku." Cahaya yang jauh lebih terang daripada yang telah kedua anak itu lihat di negeri ini kini meruah melalui lubang pintu yang terbuka lebar, lalu ketika sang ratu membimbing mereka melewatinya mereka tidak terkejut ketika mendapati diri mereka berada di udara terbuka. Angin yang menerpa wajah mereka terasa dingin, tapi entah kenapa lembap dan tidak segar. Mereka kini berada di teras tinggi, di bawah mereka terbentang daratan luas. Rendah di bawah dan di dekat horison, bergantung matahari merah besar, lebih besar daripada matahari kita. Digory langsung merasa matahari itu juga berusia lebih tua daripada matahari kita: matahari yang mendekati ajal, lelah menatap dunia di bawahnya. Di sebelah kiri matahari itu, lebih tinggi di atas, tampak sebuah bintang, besar dan bersinar terang. Hanya dua benda itu yang terlihat di langit kelam, keduanya membentuk kelompok muram. Dan di bumi, di setiap arah, sejauh mata bisa memandang, terbentang kota luas tempat tidak terlihat satu pun makhluk hidup di dalamnya. 91

Dan semua kuil, menara, istana, piramid, juga jembatan menciptakan bayangan-bayangan panjang yang tampak mengancam di bawah sinar matahari yang melemah itu. Sebuah sungai besar pernah mengalir menembus kota tersebut, tapi airnya telah lama mengering, dan kini yang tersisa tinggal selokan lebar abu-abu berdebu. "Pandanglah baik-baik pemandangan yang tidak akan pernah dilihat mata mana pun lagi," kata sang ratu. "Begitulah Charn, kota menakjubkan, kota Raja di antara para Raja, keajaiban dunia, mungkin keajaiban semua dunia. Apakah pamanmu memerintah kota sehebat ini, Nak?" "Tidak," kata Digory. Dia baru berniat menjelaskan Paman Andrew tidaklah memerintah kota apa pun, tapi sang ratu sudah melanjutkan: "Kota ini sunyi sekarang. Tapi aku telah berdiri di sini ketika seluruh udara dipenuhi suara Charn. Entakan langkah kaki, derak roda, lecutan pecut, dan erangan para budak, gemuruh kereta kuda, dan gendang-gendang pengorbanan ditabuh di kuil-kuil. Aku telah berdiri di sini (tapi saat itu akhir sudah begitu dekat) ketika pekikan perang terdengar dari setiap jalan dan air yang mengalir di Sungai 92

Charn berwarna merah." Dia berhenti sejenak lalu menambahkan, "Dalam satu detik, semua itu telah dihapus oleh seorang wanita untuk selama-lamanya." "Siapa?" tanya Digory dengan suara pelan, tapi dia telah menebak jawabannya. "Aku," jawab sang ratu. "Aku, Jadis si ratu terakhir, juga ratu seluruh dunia." Kedua anak itu berdiri dalam diam, tubuh mereka gemetar dalam angin dingin. "Semua karena salah saudariku," kata sang ratu. "Dia yang membuatku melakukan itu. Semoga kutukan segala Kekuatan mengikatnya selamanya! Aku sudah siap berdamai kapan saja—ya, juga untuk mengampuni jiwanya, kalau saja dia membiarkan takhta menjadi milikku. Tapi tidak. Keangkuhannya telah menghancurkan seluruh dunia. Bahkan setelah perang dimulai, ada perjanjian sah bahwa tidak ada pihak yang boleh menggunakan Sihir. Tapi ketika dia melanggar janjinya itu, apa lagi yang bisa kulakukan? Bodoh! Seolah dia tidak tahu aku punya lebih banyak Sihir daripada dirinya! Dia bahkan tahu aku memiliki rahasia Kata Kemalangan. Apakah dia pikir—tapi dia memang selalu jadi yang terlemah di antara kami—aku tidak akan menggunakannya?" 93

"Apa itu?" tanya Digory. "Rahasia di antara semua rahasia," kata Ratu Jadis. "Telah lama menjadi pengetahuan semua raja besar ras kami bahwa ada kata yang, kalau diucapkan dengan upacara layak, bisa menghancurkan seluruh makhluk hidup kecuali orang yang mengucapkannya. Tapi para raja zaman dahulu lemah dan berhati lembek. Mereka mengikat diri mereka sendiri dan semua orang yang mendatangi mereka, dengan sumpah besar untuk tidak akan pernah bahkan berusaha mencari pengetahuan tentang kata itu. Tapi aku telah mempelajarinya di tempat rahasia dan membayar harga mahal untuk mempelajarinya. Aku tidak menggunakannya hingga saudaraiku memaksaku. Aku bertempur untuk mengatasinya dengan berbagai cara lain. Aku menumpahkan darah pasukanku seperti air—" "Monster!" gumam Polly. "Pertempuran besar terakhir," kata sang ratu, "pecah selama tiga hari di Charn ini. Selama tiga hari aku memandang ke bawah, mengawasinya dari tempat ini. Aku tidak menggunakan kekuatanku hingga prajurit terakhirku terjatuh, lalu wanita terkutuk itu, saudariku, berjalan di depan para pemberontaknya dan sudah 94

setengah jalan menaiki tangga-tangga besar yang menghubungkan kota dengan teras ini. Kemudian aku menunggu hingga kami begitu dekat supaya kami bisa menatap wajah satu sama lain. Dia membinarkan mata kejamnya yang mengerikan saat memandangku dan berkata, 'Kemenangan.' 'Ya,' aku berkata, 'Kemenangan, tapi bukan kemenanganmu.' Kemudian aku mengucapkan Kata Kemalangan. Sedetik kemudian aku adalah makhluk hidup terakhir di bawah matahari." "Tapi bagaimana dengan orang-orang lain?" Digory terperangah. "Orang-orang lain apa, Nak?" tanya sang ratu. "Semua rakyat biasa," kata Polly, "orangorang yang tidak pernah melukaimu. Dan semua wanita, anak-anak, juga hewan-hewan." "Tidakkah kau mengerti?" tanya sang ratu (masih berbicara pada Digory). "Aku adalah ratu. Mereka semua rakyatku. Untuk apa lagi mereka ada kalau bukan untuk melaksanakan kemauanku?" "Tetap saja malang benar nasib mereka," kata Digory. "Aku lupa kau hanyalah anak biasa. Bagaimana mungkin kau mengerti logika sebuah 95

Negeri? Kau harus belajar, Nak, bahwa apa yang mungkin salah bagimu dan rakyat biasa lainnya tidaklah salah bagi ratu besar seperti diriku. Beban dunia berada di bahu kami. Kami harus dibebaskan dari segala peraturan. Jalan nasib kami tinggi dan sepi." Digory mendadak teringat Paman Andrew pernah menggunakan kata-kata yang persis sama. Tapi kata-kata itu terdengar lebih anggun ketika Ratu Jadis yang mengucapkannya, mungkin karena Paman Andrew tidaklah setinggi 210 sentimeter dan cantik memesona. "Kemudian apa yang kaulakukan setelahnya?" kata Digory. "Aku telah memasang mantra-mantra kuat di aula tempat patung-patung leluhurku duduk. Dan kekuatan mantra-mantra itu akan membuatku tertidur bersama mereka, juga seperti patung dan tidak membutuhkan makanan maupun api, walaupun untuk ribuan tahun lamanya, sampai seseorang datang, memukul bel, dan membangunkanku." "Apakah Kata Kemalangan yang menjadikan matahari begitu?" tanya Digory. "Seperti apa?" kata Jadis. "Begitu besar, begitu merah, dan begitu dingin." 96

"Sejak dulu selalu begitu," kata Jadis. "Setidaknya, selama ratusan ribu tahun. Apakah duniamu memiliki jenis matahari yang berbeda?" "Ya, matahari kami lebih kecil dan kuning. Juga memberi lebih banyak panas." Sang ratu mengeluarkan suara panjang. "A-aah!" Dan di wajahnya Digory melihat ekspresi lapar dan serakah yang sama dengan yang pernah dilihatnya pada wajah Paman Andrew. "Jadi," katanya, "duniamu dunia yang lebih muda." Dia berhenti sejenak untuk melihat sekali lagi kota terlantar itu—kalaupun dia merasakan penyesalan atas segala kejahatan yang telah dilakukannya di sana, dia tidak menunjukkannya sama sekali—kemudian berkata: "Nah, ayo kita berangkat. Dingin di sini di akhir segala zaman." "Berangkat ke mana?" tanya kedua anak itu. "Ke mana?" ulang Jadis terkejut. "Tentu saja ke duniamu." Polly dan Digory bersitatap, terpaku ketakutan. Sejak awal Polly sudah tidak menyukai sang ratu, dan bahkan Digory, kini setelah dia mendengar ceritanya, merasa telah cukup men97

dengar tentang wanita itu. Jelas sekali, dia bukanlah sejenis orang yang ingin kita ajak pulang. Dan kalaupun mereka menyukainya, mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka sendiri ingin pergi dari sana, tapi Polly tidak bisa meraih cincinnya dan tentu saja Digory tidak bisa pergi tanpanya. Wajah Digory menjadi merah sekali dan dia berkata dengan terbata-bata. "Oh—oh—dunia kami. Aku ti-tidak raenyangka kau mau pergi ke sana." "Untuk apa lagi kau dikirim ke sini kalau bukan untuk menjemputku?" tanya Jadis. "Aku yakin kau tidak akan menyukai dunia kami sama sekali," kata Digory. "Bukan tempat yang pantas untukmu, ya kan, Polly? Membosankan sekali di sana, benar-benar tidak pantas untuk dilihat." "Tak lama lagi pasti akan jadi pantas dilihat begitu aku memerintahnya," jawab sang ratu. "Oh, tapi kau tidak bisa melakukan itu," kata Digory. "Keadaannya berbeda. Mereka tidak akan membiarkanmu." Di wajah sang ratu terkembang senyum meremehkan. "Banyak raja hebat," katanya, "berpikir mereka bisa bertahan melawan Kerajaan Charn. Tapi mereka semua terjatuh dan nama 98

mereka dilupakan. Bocah bodoh! Apakah kaupikir aku, dengan kecantikan dan Sihir-ku, tidak akan memiliki seluruh duniamu di bawah kakiku sebelum satu tahun berlalu? Siapkan mantramu dan segera bawa aku ke sana." "Ini mengerikan sekali," kata Digory ke Polly. "Mungkin kau mengkhawatirkan pamanmu," kata Jadis. "Tapi kalau dia menghormatiku dengan tulus, dia diperkenankan menyimpan nyawa dan takhtanya. Aku tidak datang untuk berperang melawannya. Dia pasti penyihir besar karena telah menemukan cara mengirimmu ke sini. Apakah dia raja seluruh duniamu atau hanya sebagian?" "Dia bukan raja daerah mana pun," jawab Digory. "Kau berbohong," kata sang ratu. "Bukankah Sihir selalu diturunkan lewat darah bangsawan? Siapa yang pernah mendengar rakyat biasa menjadi penyihir? Aku bisa melihat kebenaran biarpun tidak kauucapkan. Pamanmu adalah raja besar dan ahli sihir terhebat di duniamu. Dan dengan kemampuannya dia telah melihat bayangan wajahku, pada semacam cermin ajaib atau mata air bertuah. Lalu karena kekagumannya akan kecantikanku dia telah 99

membuat mantra kuat yang mengguncang duniamu hingga ke akarnya, mengirimmu melewati padang pasir luas di antara dunia dan dunia untuk meminangku, membawaku ke hadapannya. Jawablah: bukankah begitu kejadiannya?" "Yah, tidak juga sih," jawab Digory. "Tidak juga?" teriak Polly. "Semua itu benarbenar omong kosong sejak awal sampai akhir." "Makhluk rendah!" teriak sang ratu, menoleh penuh kemarahan ke arah Polly dan menjambak rambutnya, di bagian paling atas kepalanya, di tempat yang paling menyakitkan. Tapi dengan melakukan itu dia melepaskan kedua tangan Digory dan Polly. "Sekarang," teriak Digory, dan "Cepat!" teriak Polly. Mereka membenamkan tangan kiri mereka ke saku. Mereka bahkan tidak perlu mengenakan cincincincin itu. Di detik mereka menyentuh cincin, keseluruhan dunia suram itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka kini bergerak naik dengan cepat dan cahaya hijau hangat semakin mendekat di atas mereka.

100

BAB

6

Awal Segala Kesusahan Paman Andrew

L

EPASKAN! Lepaskan!" pekik Polly. "Aku bahkan tidak menyentuhmu!" kata Digory. Kemudian kepala mereka keluar dari mata air dan sekali lagi kesunyian terang Hutan di Antara Dunia-dunia menyelimuti mereka. Hutan itu terasa lebih kaya, hangat, dan damai daripada sebelumnya setelah mereka mengalami sesak kematian dan reruntuhan di tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Kurasa, bila diberi kesempatan, mereka bakal sekali lagi lupa akan siapa diri mereka dan dari mana mereka darang, lalu berbaring menikmati ketenangan, setengah tertidur, mendengarkan pepohonan tumbuh. Tapi kali ini ada sesuatu yang membuat mata mereka terbuka selebar mungkin. Segera setelah mereka menapakkan kaki ke rerum101

putan, mereka mendapati bukan hanya mereka berdua yang ada di sana. Sang ratu atau sang penyihir (terserah kalian mau memanggilnya siapa) telah muncul bersama mereka, mencengkeram keras rambut Polly. Itulah sebabnya Polly berteriak-teriak, "Lepaskan!" Ini membuktikan, secara tidak sengaja, satu hal lagi tentang cincin yang belum diberitahukan Paman Andrew kepada Digory karena pria itu sendiri belum mengetahuinya. Untuk melompat dari dunia ke dunia dengan salah satu cincin itu, kau tidak perlu mengenakan atau menyentuhnya sendiri, cukup menyentuh seseorang yang sedang menyentuh cincin itu. Dengan begitu cincin-cincin tersebut bekerja seperti magnet, dan semua orang tahu kalau kau mengangkat jarum dengan magnet, jarum lain yang menyentuh jarum pertama juga akan ikut terangkat. Sekarang setelah kau melihatnya di hutan, Ratu Jadis tampak berbeda. Dia kelihatan lebih pucat daripada sebelumnya, begitu pucat sehingga nyaris tidak tersisa kecantikan pada dirinya. Dia juga membungkuk dan tampak kesulitan bernapas, seolah udara di tempat itu mencekiknya. Kedua anak itu tidak sedikit pun merasakan takut padanya sekarang. 102

"Lepaskan! Lepaskan rambutku," kata Polly. "Mau apa kau sebenarnya?" "Hei! Lepaskan rambutnya. Sekarang juga," kata Digory. Mereka berdua berbalik dan bergulat dengan Jadis. Mereka lebih kuat daripada ratu itu dan hanya dalam hitungan detik telah memaksanya melepaskan cengkeraman. Sang ratu mundur dengan langkah terhuyung-huyung, terengahengah, ada ketakutan dalam matanya. "Cepat, Digory!" kata Polly. "Ganti cincin dan pergi ke mata air dunia kita." "Tolong! Tolong! Kasihanilah aku!" jerit sang penyihir dengan suara lemah, tergopoh-gopoh mengejar mereka. "Bawalah aku bersama kalian. Kalian tidak bisa meninggalkanku di tempat mengerikan ini. Tempat ini akan membunuhku." "Tapi ini sesuai logika negerimu," kata Polly penuh kebencian. "Seperti ketika kau membunuh semua orang di duniamu sendiri. Ayo cepat, Digory." Mereka telah mengenakan cincin hijau mereka, tapi Digory berkata: "Ah, sial! Apa yang harus kita lakukan?" Dia tidak bisa mencegah dirinya merasa agak kasihan pada sang ratu. "Aduh, jangan begitu bodoh," kata Polly. 103

Aku berani bertaruh sepuluh lawan satu dia hanya bersandiwara. Ayolah." Kemudian kedua anak itu melompat ke dalam mata air menuju dunia mereka. Untung kami membuat tanda, pikir Polly. Namun ketika mereka melompat Digory merasakan jari telunjuk dan ibu jari besar yang dingin menangkap telinganya. Dan ketika mereka tenggelam dan sosok-sosok samar dunia kita mulai muncul, cengkeraman jari telunjuk dan ibu jari itu kian kuat. Tampaknya kekuatan sang penyihir mulai pulih. Digory meronta dan menendang-nendang, tapi sama sekali tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian mereka mendapati diri mereka berada di ruang kerja Paman Andrew. Dan di sana berdirilah Paman Andrew sendiri, memandangi makhluk menakjubkan yang telah dibawa Digory dari dunia lain. Paman Andrew punya alasan kuat untuk terus menatap lekat. Digory dan Polly juga melakukan hal yang sama. Tidak perlu diragukan sang penyihir telah mengatasi rasa lemahnya, dan kini kalau ada orang yang melihatnya di dunia kita, dengan berbagai benda lazim di sekelilingnya, dia benar-benar bisa membuat orang itu menahan napas. Di Charn dia tampak cukup mengancam, di London, dia mengerikan. 104

Dalam satu hal, mereka belumlah menyadari hingga kini betapa besar tubuhnya. "Nyaris bukan manusia" adalah yang dipikirkan Digory ketika dia menatapnya, dan dia mungkin benar, karena beberapa orang bilang ada darah raksasa dalam keluarga kerajaan Charn. Tapi bahkan tinggi tubuhnya pun bukanlah apa-apa bila dibandingkan kecantikan, keganasan, dan keliarannya. Dia kelihatan sepuluh kali lebih hidup daripada sebagian besar orang yang bisa ditemui di London. Paman Andrew menunduknunduk dan menggosok-gosok tangannya dan tampak, kalau mau jujur, amat sangat ketakutan. Dia tampak seperti makhluk kecil yang mengerut di samping sang penyihir. Walaupun begitu, seperti yang dikatakan Polly nanti, ada semacam kemiripan di antara wajah sang penyihir dan Paman Andrew, sesuatu pada ekspresi mereka. Itulah ekspresi yang dimiliki semua penyihir jahat, "Tanda" yang Jadis pernah katakan tidak bisa dia temukan pada wajah Digory. Satu hal baik tentang melihat mereka berdua bersama-sama adalah kau tidak akan pernah lagi takut pada Paman Andrew, seperti kau tidak akan takut pada ulat setelah kau bertemu ular, atau takut pada sapi kalau sudah bertemu banteng gila. 105

Huh! sergah Digory dalam hati. Dia penyihir? Mendekati saja tidak. Ratu inilah penyihir sesungguhnya. Paman Andrew terus-menerus menggosok tangan dan menunduk. Dia berusaha mengatakan sesuatu yang sangat sopan, tapi mulutnya mengering sehingga tak bisa bicara. "Percobaannya" dengan cincin-cincin itu, begitu dia menyebutnya, ternyata berbuah kesuksesan yang lebih besar daripada harapannya; karena walaupun dia telah berkutat dengan Sihir selama

106

bertahun-tahun, dia selalu meninggalkan bahaya yang datang (sejauh yang bisa dilakukan seseorang) pada orang lain. Kejadian seperti ini tidak pernah dia alami sebelumnya. Kemudian Jadis berkata, tidak terlalu keras, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat seluruh ruangan bergetar. "Di mana sang penyihir yang telah memanggilku ke dunia ini?" "Ah—ah—Madam," Paman Andrew terperangah, "saya merasa begitu bangga—sangat bahagia—kehormatan yang begitu tak terduga— kalau saja saya punya kesempatan untuk membuat persiapan—saya—saya—" "Di mana penyihir itu, bodoh?" tanya Jadis. "Sa-sayalah orangnya, Madam. Saya harap Anda mau memaafkan segala—ngng—kelancangan yang mungkin dilakukan anak-anak nakal ini. Saya pastikan tidak ada niatan untuk—" "Kau?" kata sang ratu dengan suara yang lebih mengerikan. Lalu dengan satu langkah lebar, dia menyeberangi ruangan, meraih segenggam rambut beruban Paman Andrew dan menarik ke belakang kepalanya sehingga wajah pria itu mendongak ke wajahnya. Kemudian dia memerhatikan wajahnya seperti yang dia 107

lakukan sebelumnya pada Digory di istana Charn. Paman Andrew terus mengejap-ngejapkan mata dan menjilati bibirnya dengan gugup. Akhirnya Jadis melepaskan pria itu, begitu mendadak sehingga dia terempas ke dinding. "Ternyata begitu," katanya penuh penghinaan, "kau memang penyihir—atau semacamnya. Berdirilah, budak, dan jangan duduk seolah sedang berbicara dengan orang yang sejajar denganmu. Bagaimana kau bisa mengenal Sihir? Kau bukanlah bangsawan, aku berani bersumpah." "Yah—ah—mungkin memang bukan bila di108

pikir secara kaku," Paman Andrew terbatabata. "Tidak benar-benar bangsawan, Ma'am. Tapi keluarga Ketterley adalah keluarga tua. Keluarga tua Dorsetshire, Ma'am." "Diam," kata sang penyihir. "Aku sudah lihat siapa dirimu. Kau penyihir kecil murahan yang berpraktik dengan peraturan dan bukubuku. Tidak ada Sihir sejati dalam darah dan hatimu. Khalayakmu telah dimusnahkan di duniaku seribu tahun lalu. Tapi di sini aku akan membiarkanmu menjadi pelayanku." "Saya akan sangat bahagia—gembira bisa memberikan bantuan apa pun—mendapat kekehormatan, saya bersungguh-sungguh." "Diam! Kau terlalu banyak bicara. Dengarkan tugas pertamamu. Aku sudah melihat kita berada di kota besar. Siapkan segera untukku kereta kuda, permadani terbang, naga yang telah terlatih, atau apa pun yang biasa digunakan bangsawan di daratanmu. Lalu bawa aku ke tempat-tempat aku bisa memperoleh pakaian, perhiasan, dan budak yang cocok untuk posisiku. Besok aku akan memulai penjajahan terhadap dunia." "Sa-sa-saya akan memanggil kereta sewaan segera," Paman Andrew tergagap. "Stop," kata si penyihir, tepat pada saat 109

Paman Andrew tiba di depan pintu. "Jangan pernah bermimpi berkhianat. Mataku bisa melihat menembus tembok dan masuk ke pikiran manusia. Mataku akan menyertaimu ke mana pun kau pergi. Pada tanda pertama ketidakpatuhan, aku akan memasang mantra padamu supaya apa pun yang kaududuki akan terasa seperti besi merah panas, dan setiap kali kau berbaring di tempat tidur akan ada balokbalok es tak kasat mata di kakimu. Sekarang pergi." Pria tua itu pergi, tampak seperti anjing dengan buntut di antara dua kaki belakangnya. Digory dan Polly kini ketakutan, Jadis mungkin punya rencana untuk membalas apa yang terjadi di hutan itu. Tapi ternyata dia tidak pernah mengungkit-ungkitnya, baik pada waktu itu maupun nanti. Kurasa (dan Digory juga berpikir begitu) benaknya sejenis yang sama sekali tidak bisa mengingat tempat sunyi itu. Betapapun seringnya kau 110

mengajaknya ke sana dan betapapun lamanya kautinggalkan dia di sana, dia tetap tidak akan tahu apa-apa. Kini ketika hanya bertiga dengan anak-anak itu, dia tidak memedulikan keduanya. Dan ini memang sifatnya. Di Charn dia tidak mengacuhkan Polly (hingga akhir) karena Digory-lah yang ingin digunakannya. Sekarang setelah dia memiliki Paman Andrew, dia tidak memedulikan Digory. Dugaanku sebagian besar penyihir seperti itu. Mereka tidak tertarik pada benda atau orang kecuali mereka bisa menggunakannya, mereka sangat praktis. Jadi ada kesunyian selama semenit atau dua menit di ruangan itu. Tapi kau bisa menebak dari cara Jadis mengentak-entakkan kaki di lantai bahwa dia mulai tidak sabar. Akhirnya dia berkata, seolah pada dirinya sendiri, "Apa yang dilakukan si tua bodoh itu? Seharusnya aku membawa pecut." Dia berjalan keluar dari ruangan untuk mencari Paman Andrew tanpa sekali pun melihat pada kedua anak itu, bahkan untuk sekilas. "Fiuh!" kata Polly, menyuarakan napas panjang lega. "Dan sekarang aku harus pulang. Sudah larut sekali. Aku bisa pilek." "Kalau begitu pulanglah, pulanglah secepat mungkin," kata Digory. "Benar-benar mengeri111

kan sang ratu ada di sini. Kita harus membuat semacam rencana." "Sekarang semua terserah pamanmu," kata Polly. "Dialah yang memulai segala kekacauan dengan Sihir ini." "Tetap saja, kau akan kembali, kan? Jangan lepas tangan, kau tidak bisa meninggalkanku dalam kesulitan seperti ini." "Aku akan pulang lewat terowongan," kata Polly agak dingin. "Itu jalan tercepat. Dan kalau kau mau aku kembali, bukankah sebaiknya kau meminta maaf?" "Minta maaf?" seru Digory. "Wah wah, dasar anak perempuan! Memangnya apa yang telah kulakukan?" "Oh, tidak ada yang penting tentu saja," kata Polly menyindir. "Hanya nyaris membuat pergelangan tanganku terkilir di ruang patung lilin, seperti anak berandal yang pengecut. Hanya memukul bel dengan palu, seperti orang bodoh yang konyol. Hanya berbalik di hutan sehingga dia punya kesempatan menangkap telingamu sebelum kita melompat ke mata air dunia kita. Hanya itu." "Oh," kata Digory, sangat terkejut. "Yah, baiklah, aku minta maaf. Dan aku memang sangat menyesali kejadian di ruang patung 112

lilin. Nah, aku sudah minta maaf, kan? Dan sekarang, berbaik hatilah dan kembali lagi nanti. Kalau kau tidak kembali, aku akan terjerumus dalam lubang gelap yang mengerikan." "Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padamu. Justru Mr Ketterley-lah yang akan duduk di kursi merah panas dan diganggu es di tempat tidur, ya kan?" "Bukan itu maksudku," kata Digory. "Aku benar-benar mengkhawatirkan Ibu. Bagaimana kalau makhluk itu masuk ke kamarnya? Ibu bisa mati ketakutan." "Oh, begitu ya," kata Polly, dengan nada suara yang agak berbeda. "Baiklah. Anggap ini kesepakatan kita. Aku akan kembali—kalau aku bisa. Tapi aku harus pergi sekarang." Kemudian dia merangkak melewati pintu kecil menuju terowongan. Tempat gelap di antara kasau-kasau yang tampak begitu menarik dan menggugah jiwa petualangan beberapa jam lalu kini tampak sangat jinak dan membuat betah. Kita kini harus kembali pada Paman Andrew. Jantung tua malangnya berdebar kencang saat dia tergopoh-gopoh menuruni tangga loteng dan dia terus-menerus mengelap dahi dengan saputangan. Saat dia mencapai kamar tidurnya, 113

yang ada tepat di bawah loteng, dia mengunci diri di dalamnya. Lalu tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengacak-acak lemari, mencari botol dan gelas anggur yang selalu disembunyikan di sana supaya tidak bisa ditemukan Bibi Letty. Dia mengisi gelas hingga penuh dengan minuman orang dewasa yang memuakkan, lalu meminumnya dalam satu tegukan. Kemudian dia menarik napas dalamdalam. "Astaga," dia berkata pada dirinya sendiri. "Aku benar-benar terguncang. Ini sangat mengejutkan! Di usiaku yang seperti ini!" Dia mengisi gelas kedua dan meminumnya juga, kemudian dia mulai berganti pakaian. Kau mungkin belum pernah melihat pakaian seperti itu, tapi aku bisa mengingatnya. Dia mengenakan kerah yang sangat tinggi, mengilap, dan kaku, sejenis yang membuat dagumu terangkat setiap saat. Dia memakai rompi berpola dan memasang jam emasnya menyilang di depan. Dia memakai jas berekor terbaiknya, yang disimpannya untuk pernikahan dan pemakaman. Dia mengeluarkan topi tinggi terbaiknya dan menggosoknya hingga mengilap. Ada vas penuh bunga di meja rias (diletakkan di sana oleh Bibi Letty). Dia mengambil setangkai bu114

nga dan memasukkannya ke lubang kancing. Dia mengambil saputangan bersih (saputangan indah yang kini sudah tidak bisa kaubeli) dari laci kiri dan membubuhinya dengan beberapa tetes wewangian. Dia mengeluarkan kacamata tunggal, yang berpita hitam tebal, dan memasangnya ke mata. Kemudian dia mematut diri di cermin. Anak-anak memiliki satu jenis kekonyolan, seperti yang sudah kauketahui, dan orang dewasa punya jenis yang lain. Pada saat ini Paman Andrew mulai bertingkah konyol dengan cara yang sangat orang dewasa. Kini karena sang penyihir tidak lagi berada di ruangan yang sama dengannya, dengan cepat dia lupa betapa wanita itu telah membuatnya takut. Dia malah terus-menerus berpikir tentang kecantikan luar biasa wanita itu. Dia berkali-kali berucap pada dirinya sendiri, "Wanita yang cantik sekali, Sir, cantik sekali. Makhluk luar biasa." Entah bagaimana Paman Andrew juga lupa bahwa anak-anak itulah yang membawa sang "makhluk luar biasa". Dia merasa seolah dia dengan Sihir-nya sendirilah yang memanggilnya dari dunia tak dikenal. "Andrew, sobat," katanya pada dirinya sendiri saat bercermin, "kau pria yang ketam115

panannya masih cukup terjaga untuk seseorang seusiamu. Pria berpenampilan terhormat, Sir." Jadi begini, si pria tua konyol itu benarbenar mulai membayangkan si penyihir bakal jatuh cinta kepadanya. Dua gelas minuman tadi mungkin yang menjadi penyebabnya, begitu juga pakaian terbaiknya. Tapi dia, dilihat dari sisi mana pun, secongkak dan sekosong burung merak, itulah sebabnya dia menjadi penyihir. Dia membuka kunci kamarnya, turun ke lantai bawah, mengirimkan pelayan wanita untuk mencari kereta sewaan (pada masa-masa itu semua orang memiliki banyak pelayan) dan memeriksa ruang duduk. Di sana, seperti dugaannya, dia mendapati Bibi Letty. Wanita itu sedang sibuk memperbaiki kasur. Kasur diletakkan di lantai di dekat jendela dan Bibi Letty berlutut di atasnya. "Ah, Letitia sayangku," kata Paman Andrew, "aku—ah—harus pergi keluar. Bisakah kau meminjamiku sekitar lima pound? Ada gadis cantik yang ingin kutemani." "Tidak, Andrew sayang," kata Bibi Letty dengan nada suaranya yang pelan namun tegas, bahkan tanpa mendongak dari pekerjaannya. "Aku sudah sering kali mengatakan padamu aku tidak akan meminjamimu uang." 116

"Janganlah jadi begitu menyusahkan, sayangku," kata Paman Andrew. "Ini penting sekali. Kau akan menempatkanku pada posisi yang amat canggung bila kau tidak melakukannya." "Andrew," kata Bibi Letty sambil menatap lekat wajahnya, "aku heran kenapa kau tidak malu meminta uang dariku." Ada cerita panjang membosankan ala orang dewasa di balik kata-kata itu. Yang perlu kauketahui adalah Paman Andrew, dengan segala "mengatasi masalah bisnis Letty tersayang demi dirinya", tidak pernah melakukan pe117

kerjaan apa pun, dan menciptakan tagihan besar untuk brendi dan cerutu (yang harus berkali-kali dibayar Bibi Letty). Semua ini telah membuat Bibi Letty jauh lebih miskin daripada keadaannya tiga puluh tahun lalu. "Gadis tersayangku," kata Paman Andrew, "kau tidak mengerti. Aku harus melakukan beberapa pengeluaran tak terduga hari ini. Aku harus menjamu seseorang. Ayolah, jangan menyulitkan begini." "Dan kau, demi Tuhan, memangnya siapa yang akan kaujamu, Andrew?" tanya Bibi Letty. "Seorang—seorang tamu terhormat baru saja tiba." "Terhormat omong kosong!" kata Bibi Letty. "Tidak terdengar deringan bel pintu dalam satu jam terakhir ini." Tepat pada saat itu pintu mendadak terbuka lebar. Bibi Letty menoleh dan terkejut melihat wanita bertubuh besar, berpakaian indah, berlengan telanjang, dan bermata berkilat, berdiri di mulut pintu. Dia sang penyihir.

118

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. [email protected]

BAB

7

Yang Terjadi di Pintu Depan

H

EI, budak, berapa lama aku harus menunggu kereta kudaku?" bentak sang penyihir. Paman Andrew berjalan menjauhinya. Sekarang ketika wanita itu benar-benar hadir, segala pikiran konyol yang dimiliki Paman Andrew saat bercermin langsung mengalir keluar dari benaknya. Tapi Bibi Letty langsung berdiri dari berlututnya dan berjalan menuju bagian tengah ruangan. "Dan siapa wanita muda ini, Andrew, kalau boleh aku bertanya?" tanya Bibi Letty dengan nada dingin. "Orang asing terhormat—or-orang yang sangat penting," jawab Paman Andrew terbatabata. "Omong kosong!" kata Bibi Letty, kemudian dia menoleh ke si penyihir, "Keluar dari rumah119

ku sekarang juga, wanita tak tahu malu, atau aku akan memanggil polisi." Dia pikir si penyihir pasti seseorang yang keluar dari sirkus, lagi pula dia tidak berkenan dengan wanita bertelanjang lengan. "Siapa wanita ini?" tanya Jadis. "Berlututlah, makhluk rendah, sebelum aku menghancurkanmu." "Tidak boleh ada bahasa kasar di rumah ini kalau kau tidak keberatan, wanita muda," kata Bibi Letty. Dalam sekejap, begitu yang dirasakan Paman Andrew, sang ratu meninggi hingga menjulang sekali. Api berkobar dari matanya. Dia mengangkat tangannya dan melakukan gerakan juga menyuarakan kata-kata sama yang sebelumnya telah mengubah gerbang istana menjadi debu. Tapi tidak ada yang terjadi kecuali Bibi Letty, yang mengira kata-kata mengerikan itu dimaksudkan sebagai bahasa Inggris biasa, berkata: "Sudah kuduga. Wanita ini mabuk! Mabuk! Dia bahkan tidak bisa bicara dengan jelas." Saat itu pasti momen yang buruk bagi si penyihir, ketika dia mendadak menyadari kekuatannya menjadikan orang debu, yang benarbenar nyata di dunianya, tidak akan berguna 120

di dunia kita. Tapi dia bahkan tidak kehilangan nyali barang sedetik pun. Tanpa membuangbuang waktu untuk memikirkan kekecewaannya, dia membungkuk, menangkap Bibi Letty di leher dan mata kakinya, mengangkatnya tinggi di atas kepala seolah Bibi Letty tidak lebih berat daripada boneka, lalu melemparnya ke seberang ruangan. Sementara Bibi Letty sedang berputar-putar di udara, si pelayan wanita (yang sedang mengalami pagi indah nan seru) melongokkan kepalanya ke pintu dan berkata, "Kalau Anda sudah siap, Sir, keretanya sudah datang." "Pimpin jalan, budak," kata si penyihir ke Paman Andrew. Pria itu mulai menggumamkan sesuatu tentang "kekerasan yang tidak perlu— harus benar-benar protes", tapi hanya dengan tatapan sekilas Jadis, dia menjadi tak mampu berkata-kata. Jadis memaksanya keluar ruangan dan rumah. Digory berlari menuruni tangga tepat untuk melihat pintu depan tertutup di belakang mereka. "Ya ampun!" katanya. "Dia lepas di London. Dan dengan Paman Andrew. Kira-kira apa yang akan terjadi sekarang." "Oh, Master Digory," kata si pelayan wanita (yang benar-benar sedang mengalami hari yang 121

indah), "entah bagaimana, saya rasa Miss Ketterley telah melukai dirinya sendiri." Jadi mereka bergegas ke ruang duduk untuk mencari tahu apa yang telah terjadi. Kalau Bibi Letty telah terjatuh pada lantai papan atau bahkan pada karpet, kurasa tulangtulangnya bakal patah, tapi dengan keberuntungan besar dia telah jatuh ke atas kasur. Bibi Letty adalah wanita tua yang sangat kuat, para bibi sering kali begitu di masa-masa itu. Setelah mencium bau keras sal volatile dan duduk bergeming selama beberapa menit, dia berkata dia tidak apa-apa kecuali menderita beberapa memar. Tak lama kemudian dia mulai mengambil alih situasi. "Sarah," katanya pada si pelayan wanita (yang belum pernah mengalami hari seperti ini), "pergilah segera ke kantor polisi dan beritahu mereka ada orang gila berbahaya yang berkeliaran. Aku yang akan membawakan sendiri makan siang Mrs Kirke." Mrs Kirke adalah, tentu saja, ibu Digory. Ketika makan siang ibunya telah diurus, Digory dan Bibi Letty menyantap makan siang mereka. Setelah itu mereka berpikir keras. Masalahnya adalah bagaimana cara mengembalikan si penyihir ke dunianya sendiri, atau 122

setidaknya keluar dari dunia kita, sesegera mungkin. Apa pun yang terjadi, dia tidak boleh dibiarkan mengacau di rumah. Ibu Digory tidak boleh melihatnya. Dan jika mungkin, dia juga tidak boleh dibiarkan mengacau di London. Digory memang tidak sedang berada di ruang duduk ketika si penyihir berusaha "meledakkan" Bibi Letty, tapi dia telah melihatnya "meledakkan" gerbang Charn. Jadi dia tahu kekuatannya yang mengerikan tapi belum tahu wanita itu telah kehilangan kekuatan itu dengan datang ke dunia kita. Pada saat ini, sejauh yang bisa dibayangkannya, si penyihir mungkin sedang meledakkan Istana Buckingham atau Gedung Parlemen, hampir pasti mengubah sejumlah besar anggota kepolisian menjadi tumpukan kecil debu. Dan tampaknya tidak ada apa pun yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya. Tapi cincin-cincin itu sepertinya bekerja seperti magnet, pikir Digory. Kalau saja aku bisa menyentuhnya kemudian mengenakan cincin kuningku, kami berdua bakal pergi ke Hutan di Antara Dunia-dunia. Kira-kira dia bakal melemah lagi di sana, tidak ya? Apakah tempat itu memberikan pengaruh tertentu padanya atau kejadian itu sekadar akibat shock 123

karena dia ditarik keluar dari dunianya? Tapi kurasa aku harus mengambil risiko. Sekarang bagaimana caranya aku menemukan monster itu? Kurasa Bibi Letty tidak akan mengizinkanku keluar sebelum aku memberitahunya ke mana aku akan pergi. Lagi pula uangku tidak lebih dari dua pence. Aku akan membutuhkan lebih banyak uang untuk naik bus dan trem kalau berniat mencarinya ke sekeliling London. Tapi lagi-lagi aku sama sekali tidak punya bayangan ke mana dia pergi. Kira-kira Paman Andrew masih bersamanya, tidak ya? Tampaknya akhirnya hanya ada satu tindakan yang bisa dia lakukan, yaitu menunggu dan berharap Paman Andrew dan si penyihir akan kembali. Kalau mereka kembali, dia harus bergegas dan memegang si penyihir lalu mengenakan cincin kuningnya sebelum si penyihir sempat masuk ke rumah. Ini berarti dia harus mengawasi pintu depan seperti kucing mengawasi lubang tikus, dia tidak berani meninggalkan posisinya bahkan untuk sesaat. Jadi dia pergi ke ruang makan dan "menempelkan wajahnya"—begitu biasanya istilah yang dipakai orang—ke jendela. Jendelanya sejenis jendela busur yang dibangun melengkung keluar bersama tembok hingga membentuk ceruk ba124

ngunan sendiri dari dalam, melaluinya kau bisa melihat tangga menuju pintu depan juga jalanan. Tidak akan ada orang yang mencapai pintu depan tanpa sepengetahuanmu. Kira-kira Polly sedang apa ya sekarang? pikir Digory. Dia terus bertanya-tanya tentang ini dalam setengah jam pertama yang berlalu sangat lambat. Tapi kau tidak perlu ikut bertanya-tanya karena aku akan memberitahumu. Polly datang terlambat untuk makan malam dengan sepatu dan stoking basah kuyup. Dan ketika mereka bertanya kepadanya habis ke mana saja dan apa saja yang telah dilakukannya, Polly menjawab dia habis keluar bersama Digory Kirke. Setelah ditanya lebih lanjut, Polly berkata dia membasahi kakinya di mata air, dan bahwa mata air itu ada di hutan. Waktu ditanya di mana letak hutan itu, dia menjawab tidak tahu. Ketika ditanya apakah hutan itu berada di salah satu taman, Polly menjawab dengan cukup jujur bahwa mungkin saja hutan itu ada di semacam taman. Dari jawaban-jawaban itu, ibu Polly berkesimpulan anaknya telah pergi, tanpa memberitahu siapa-siapa, ke suatu bagian London yang tidak dikenalinya dan bermain di taman asing juga bersenang-senang dengan melompat-lompat ke dalam genangan 125

air. Akibatnya Polly dimarahi karena telah sangat nakal dan dia tidak akan diperbolehkan bermain dengan "anak Kirke" lagi kalau kejadian seperti ini kembali terjadi. Kemudian dia diberi makan malam tanpa bagian santapan yang menyenangkan dan disuruh tidur selama dua jam penuh. Perlakuan seperti ini sering dialami seseorang pada masa-masa itu. Jadi sementara Digory menatap ke luar jendela ruang makan, Polly terbaring di tempat tidur, tapi keduanya berpikir betapa lambatnya waktu berjalan. Kalau menurutku pribadi, aku akan lebih suka berada pada posisi Polly. Dia hanya perlu menunggu dua jamnya berakhir, sedangkan Digory akan mendengar kereta kuda sewaan, gerobak tukang roti, atau anak penjual daging di setiap beberapa menit dan berpikir, si penyihir datang, kemudian mendapati dugaannya salah. Lagi pula di antara beberapa peringatan keliru ini, yang rasanya berjamjam, jam berdetak terus dan lalat besar— terbang tinggi dan jauh sehingga tak bisa diraih—berdengung membentur jendela. Rumah Digory sejenis rumah yang bakal menjadi sangat sunyi dan membosankan di sore hari dan selalu berbau daging domba. Selama pengawasan dan penantian panjang126

nya sesuatu yang harus kusebutkan terjadi, karena hal lain yang penting datang setelahnya. Seorang wanita datang membawa buah anggur untuk ibu Digory, dan karena pintu ruang makan terbuka, Digory tidak sengaja mendengarkan pembicaraan Bibi Letty dan wanita itu di ruang depan. "Anggurnya kelihatan lezat sekali!" terdengar suara Bibi Letty. "Aku yakin kalau ada yang bisa membuatnya merasa lebih baik, buah inilah jawabannya. Tapi Mabel cilik tersayangku yang malang! Aku khawatir akan dibutuhkan buah dari tanah kebeliaan untuk membantunya sekarang. Tidak ada apa pun dari dunia ini yang akan banyak membantunya." Kemudian mereka berdua mengecilkan volume suara mereka dan mengatakan lebih banyak hal tanpa bisa didengar Digory. Kalau saja dia sudah mendengar bagian tentang tanah kebeliaan itu beberapa hari lalu dia akan berpikir Bibi Letty hanya bicara tanpa merujuk pada apa pun secara khusus, seperti yang biasa dilakukan orang dewasa, dan ini tidak akan menarik minat Digory. Barusan ini pun dia hampir berpikir begitu. Tapi tiba-tiba berkelebat di benaknya bahwa dia kini tahu (bahkan jika Bibi Letty tidak), memang ada 127

dunia-dunia lain dan dia sendiri telah berada di dalam salah satunya. Bagaimanapun ada kemungkinan Tanah Kebeliaan memang ada di suatu tempat. Apa pun mungkin saja ada. Mungkin ada buah di suatu dunia lain yang bisa benar-benar menyembuhkan ibunya! Dan oh, oh—yah, kau tahulah bagaimana rasanya kalau mulai mengharapkan sesuatu yang sangat kauinginkan. Kau akan nyaris bertarung dengan harapan itu karena terlalu indah untuk menjadi kenyataan, karena kau telah begitu sering kecewa sebelumnya. Itulah yang Digory rasakan. Tapi tidak ada gunanya berusaha bergumul dengan harapan ini. Karena mungkin—mungkin saja benar-benar bisa jadi kenyataan. Telah begitu banyak hal aneh yang terjadi. Dan dia punya cincin-cincin ajaib. Pasti ada dunia-dunia yang bisa dia datangi lewat setiap mata air di hutan itu. Dia bisa menjelajahi dan berburu obat di sana. Kemudian—lbu akan sehat lagi. Segalanya akan benar kembali. Digory sama sekali lupa mengawasi sang penyihir. Tangannya sudah mulai bergerak ke saku tempat dia menyimpan cincin kuning, ketika mendadak terdengar suara derap langkah kuda. Wah! Apa itu? pikir Digory. Pasukan pemadam kebakaran? Kira-kira rumah mana yang 128

terbakar ya? Astaga, suaranya menuju ke arah sini. Ya ampun, itu kan dia. Aku tidak perlu memberitahumu siapa yang Digory maksudkan dengan dia. Pertama tampaklah kereta sewaan. Tidak ada siapa-siapa di kursi sais. Di atapnya— tidak duduk, tapi berdiri di atasnya—berayun dengan keseimbangan tubuh luar biasa, ketika kereta melaju dengan kecepatan penuh di sudut jalan dengan satu roda di udara—tampak sosok Jadis sang ratunya ratu dan Teror Charn. Giginya penuh terlihat, matanya bersinar layaknya api, dan rambut panjangnya melambai di belakangnya seperti ekor komet. Dia memecut kuda tanpa belas kasihan. Lubang hidung hewan itu lebar dan merah, sisi-sisinya dikotori buih putih. Kuda itu berlari kencang menuju pintu depan, melewati lampu tiang dengan jarak hanya seinci, kemudian berdiri dengan kaki belakangnya. Kereta yang ditariknya menabrak lampu tiang dan hancur menjadi beberapa bagian. Sang penyihir, dengan lompatan menakjubkan, telah menghindar tepat pada waktunya dan mendarat di punggung kuda. Dia memperbaiki posisi menunggangnya dan mencondongkan tubuh ke depan, membisikkan sesuatu pada telinga kuda itu. 129

130

Bisikan itu pastinya tidak dimaksudkan untuk menenangkan tapi untuk membuatnya makin gila. Kuda itu berdiri dengan kaki belakang lagi dan ringkikannya seperti jeritan. Kuda itu meronta, meringkik, mengibas-ngibaskan kepala. Hanya pengendara luar biasa yang bisa tetap berada di punggungnya. Sebelum Digory menenangkan napas, cukup banyak hal lain mulai terjadi. Kereta kedua bergerak cepat, dekat di belakang kereta yang pertama. Keluar dari dalamnya pria gemuk bermantel panjang dan seorang polisi. Kemudian datang kereta ketiga dengan dua polisi lagi di dalamnya. Setelah itu datang sekitar dua puluh orang (sebagian besar anak laki-laki petugas penyampai pesan) bersepeda, semuanya membunyikan bel sepeda dan menyuarakan sorakan juga siulan. Terakhir datang rombongan orang berjalan kaki: semua tampak terengah-engah karena habis berlari, tapi tampak jelas sangat menikmati kejadian ini. Jendela-jendela menjeblak terbuka di semua rumah di jalan itu dan pelayan wanita maupun pria muncul di setiap pintu depan. Mereka ingin melihat keramaian ini. Sementara itu seorang pria tua berusaha keluar dari kereta kuda yang pertama dengan 131

tubuh masih gemetar. Beberapa orang bergegas menghampiri untuk menolongnya, tapi karena satu orang menariknya ke satu arah dan orang yang lain menariknya ke arah lain, mungkin dia bakal bisa keluar dari kereta itu jauh lebih cepat bila tanpa bantuan. Digory menebak pria tua itu mungkin Paman Andrew tapi wajahnya tidak terlihat. Topi tinggi yang dikenakan orang itu melesak menutupi wajahnya. Digory berlari keluar dan bergabung dengan kerumunan orang. "Itu wanitanya, itu dia wanitanya," teriak sang pria gemuk sambil menunjuk Jadis. "Lakukan tugasmu, Pak Polisi. Perhiasan seharga ratusan dan ribuan pound telah diambilnya dari tokoku. Lihatlah rantai mutiara di lehernya. Itu milikku. Dia bahkan juga meninju mataku."

132

"Itu dia, Pak," kata salah satu orang dalam kerumunan. "Memar di mata yang paling bagus yang pernah saya lihat. Pasti diperlukan keahlian yang luar biasa untuk melakukannya. Wah! Berarti dia kuat sekali!" "Sebaiknya Anda mengompres memar itu dengan daging steak mentah, Mister, itu pengobatan paling manjur," kata bocah tukang daging. "Tenang tenang," kata petugas polisi yang berpangkat paling tinggi, "ada kekacauan apa ini?" "Sudan kubilang dia—" mulai si pria gemuk, ketika seseorang berteriak: "Jangan biarkan pria tua di kereta itu melarikan diri. Dia yang menyuruh si wanita melakukan semua ini." Si pria tua, yang kini sudah pasti Paman

133

Andrew, baru saja selesai berhasil berdiri dan sedang rnenggosok-gosok memarnya. "Kalau begitu," kata si petugas polisi sambil menoleh ke arahnya, "apa maksud semua ini?" "Hmph—pomi—shomf," terdengar suara Paman Andrew dari balik topi. "Hentikan sekarang juga," kata si polisi tegas. "Ini bukan saatnya bergurau. Segera lepaskan topi itu!" Permintaan ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Tapi setelah Paman Andrew bergulat sia-sia dengan topinya selama beberapa saat, dua polisi lain menahan pinggirannya dan menarik paksa topi itu. "Terima kasih, terima kasih," kata Paman Andrew dengan suara lemas. "Terima kasih. Astaga, aku benar-benar terguncang. Kalau saja seseorang bisa memberiku segelas brendi—" "Saya harap sekarang Anda bersedia berbicara pada saya," kata sang petugas polisi, sambil mengeluarkan buku notes yang sangat besar dan pensil yang sangat kecil. "Apakah Anda bertanggung jawab atas wanita muda itu?" "Awas!" teriak beberapa suara, dan si polisi melompat ke belakang tepat pada waktunya. Kuda tadi telah menendang ke arahnya, ten134

dangan yang mungkin bisa membunuhnya. Kemudian sang penyihir mengarahkan kuda itu supaya berputar sehingga dia bisa menghadap ke kerumunan orang. Kaki belakang kuda berada di trotoar. Wanita itu membawa pisau panjang berkilap di tangannya dan sibuk membebaskan kuda dari puing-puing kereta. Sepanjang waktu ini Digory berusaha mencari posisi supaya dia bisa menyentuh sang penyihir. Ini tidak mudah karena, di sisi yang paling dekat dengannya, ada terlalu banyak orang. Dan untuk memutar menuju sisi yang lain, dia harus melewati jarak tendangan kuda dan pagar suatu "area" yang mengelilingi rumahnya. Rumah keluarga Ketterley punya ruang bawah tanah. Kalau kau tahu apa pun tentang kuda, terutama bila kau bisa melihat keadaan kuda itu pada saat tersebut, kau akan menyadari ini tindakan yang menggelikan. Digory tahu banyak tentang kuda, tapi dia merapatkan gigi dan bersiap berlari cepat segera setelah melihat kesempatan yang terbuka. Seorang pria berwajah merah dan mengenakan topi bulat kini telah berhasil menepis orang-orang hingga ke bagian depan kerumunan. "Hei! Pak Polisi," panggilnya, "itu kudaku 135

yang dikendarainya, begitu juga kereta yang dia buat jadi serpihan kayu." "Satu-satu, Bapak-bapak, saya mohon satusatu," kata si polisi. "Tapi tidak ada waktu lagi," ucap si kusir kereta. "Aku lebih mengenal kuda itu dibanding dirimu. Kuda itu bukan kuda biasa. Ayahnya kuda pemimpin pasukan di kaveleri. Dan kalau wanita muda itu terus-menerus membuatnya kesal, bakal terjadi pembunuhan di sini. Biarkan aku mendekatinya." Si petugas polisi jelas-jelas merasa lega karena punya alasan kuat untuk menjauhi si kuda. Sang kusir kereta melangkah mendekat, menatap Jadis, dan berkata tidak dengan nada yang tidak ramah: "Sekarang, Missie, biarkan aku memegang kepalanya, segeralah kau turun. Kau kan seorang lady, dan kau tidak mau segala kekasaran ini sampai melukaimu, kan? Kau pastinya mau pulang, minum segelas teh hangat, dan berbaring tenang. Kau akan merasa lebih baik setelah itu." Di saat yang sama dia mengulurkan tangannya ke kepala si kuda sambil mengucapkan, "Tenang, Strawberry, teman lama. Tenang ya." Lalu untuk pertama kalinya sang penyihir berbicara. 136

"Budak!" terdengar suara dingin dan lantangnya, berdering keras di atas semua suara lain. "Budak, jangan sentuh kuda perang kami yang mulia. Kami Maharani Jadis."

137

BAB

8

Pertarungan di Lampu Tiang

H

O! Jadi kau Maharani, ya? Kita lihat saja nanti," kata sebuah suara. Kemudian suara lain berkata, "Tiga sorakan untuk Maharatu kota Colney Heath" dan sejumlah suara lain bergabung. Wajah sang penyihir menjadi cerah dan dia membungkuk sedikit. Tapi sorakan itu kemudian mereda dan berganti menjadi ledakan tawa. Sang penyihir pun menyadari orang-orang itu hanyalah meledeknya. Ekspresinya mulai berubah dan dia mengganti pegangan pisaunya ke tangan kiri. Kemudian, tanpa diduga-duga, dia melakukan sesuatu yang begitu mengerikan untuk dilihat. Dengan ringan dan mudah, seolah tindakan itu tindakan paling biasa di dunia, dia meluruskan lengan kanannya dan memutuskan salah satu lengan besi tiang lampu itu. Kalaupun mungkin dia telah ke138

hilangan sebagian kemampuan sihirnya di dunia kita, dia belum kehilangan kekuatannya. Dia bisa mematahkan batang besi seolah benda itu hanyalah sebatang gula-gula. Dia melemparkan senjata barunya di udara, menangkapnya lagi, mengayun-ayunkannya, dan menyuruh kudanya maju. "Sekarang kesempatanku," pikir Digory. Dia buru-buru berjalan ke antara kuda dan pagar lalu mulai melangkah maju. Kalau saja hewan itu mau bergeming sebentar saja, dia mungkin bakal bisa menangkap mata kaki sang penyihir. Saat bergegas, dia mendengar suara runtuh yang mengancam dan entakan. Sang penyihir telah menghantamkan batang besi itu ke helm kepala polisi, pria itu terjatuh seperti pin bola boling. "Cepat, Digory. Ini harus dihentikan," kata sebuah suara di sampingnya. Ternyata Polly yang berkata begitu. Gadis kecil itu segera datang begitu diperbolehkan bangun dari tempat tidur. "Kau memang setia," kata Digory. "Berpegang eratlah padaku. Kau harus menyentuh cincinmu. Yang kuning, ingat. Dan jangan kaupakai sebelum aku berteriak." Terdengar suara hantaman kedua dan satu 139 ■

lagi polisi tergeletak. Terdengar teriakan marah dari kerumunan, "Hentikan dia. Ambil batu dari trotoar. Panggil pasukan bersenjata." Tapi sebagian besar dari mereka berusaha sebisa mungkin menjauh. Tapi si kusir kereta yang pastinya orang paling berani dan baik hati di sana, tetap berada di dekat kudanya, sambil berkali-kali menunduk menghindari ayunan batang besi. Dia masih berusaha menangkap kepala Strawberry. Kerumunan orang mencemooh dan berteriak lagi. Sebuah batu berdesing melewati kepala Digory. Kemudian terdengar suara sang penyihir, keras dan jelas seperti bel besar, dan kedengarannya seolah dia hampir bahagia untuk pertama kalinya. "Sampah! Kalian akan membayar besar untuk ini kalau aku sudah menguasai dunia kalian. Tidak satu pun batu di kota kalian yang akan tersisa. Aku akan membuat kota ini seperti Charn, Felinda, Solis, seperti Bramandin." Digory akhirnya menangkap mata kakinya. Dia menendang berusaha melepaskan diri dan memukul mulut Digory. Karena kesakitan, anak itu melepaskan pegangannya. Bibirnya terluka dan mulutnya penuh darah. Dari suatu tempat 140

yang sangat dekat, terdengar suara Paman Andrew dalam semacam teriakan yang bergetar. "Madam—nona muda—demi Tuhan—kendalikan dirimu." Digory kembali berusaha mencengkeram mata kakinya, dan sekali lagi pegangannya dilepaskan. Semakin banyak orang yang tergeletak karena ayunan batang besi. Digory mencoba untuk ketiga kalinya, menangkap mata kaki sang penyihir, memegangnya erat-erat, berteriak ke Polly, "Sekarang!" kemudian—ah, syukurlah. Wajah-wajah marah dan ketakutan menghilang. Suara-suara marah dan ketakutan lenyap. Semua kecuali Paman Andrew. Dekat di samping Digory dalam kegelapan, suaranya terus melengking, "Oh, oh, apakah ini halusinasi? Apakah ini akhir zaman? Aku tidak tahan. Ini tidak adil. Aku tidak pernah berniat menjadi penyihir. Semua ini kesalahpahaman. Semua ini salah ibu angkatku, aku harus protes. Dalam kondisi kesehatanku yang seperti ini pula. Aku anggota keluarga Dorsetshire yang terhormat." Sial! pikir Digory. "Kita tidak bermaksud membawanya. Bagus, hebat sekali. Kau di sana, Polly?" "Ya, aku di sini. Berhentilah berontak." "Aku tidak berontak," Digory mulai berkata, 141

tapi sebelum bisa berbicara lebih lanjut, kepala mereka bersentuhan dengan sinar matahari hijau yang hangat di hutan. Dan ketika mereka keluar dari mata air, Polly berteriak: "Oh, lihat! Kita membawa serta kuda tua itu. Juga Mr Ketterley. Juga si kusir kereta. Ini kacau sekali!" Segera setelah menyadari dia sekali lagi berada di hutan itu, sang penyihir memucat dan membungkuk hingga wajahnya menyentuh surai kuda yang dinaikinya. Kau bisa melihat dia merasa sakit luar biasa. Paman Andrew gemetaran. Tapi Strawberry, si kuda, menggelenggeleng, mengeluarkan ringkikan ceria, dan tampak merasa lebih baik. Hewan itu menjadi tenang untuk kali pertama sejak Digory melihatnya. Telinganya yang tadinya terbaring rata di kepala, kini telah berada di posisi biasa dan di matanya terlihat semangat. "Bagus, teman tua," kata si kusir kereta sambil menepuk-nepuk leher Strawberry. "Begitu lebih baik. Tenanglah." Strawberry melakukan tindakan yang sangat alami di dunia. Karena haus (tidak heran juga bila dia merasa begitu) dia berjalan perlahan menuju mata air terdekat dan masuk ke dalamnya untuk minum. Digory masih memegangi 142

mata kaki sang penyihir dan Polly memegang tangan Digory. Salah satu tangan kusir kereta ada pada Strawberry. Dan Paman Andrew, masih gemetaran, baru saja memegang tangan kusir kereta yang satu lagi. "Cepat," kata Polly, dengan wajah penuh arti ke Digory. "Hijau!" Jadi si kuda tidak pernah mendapatkan minumannya. Seluruh rombongan itu malah mendapati diri mereka tenggelam ke kegelapan. Strawberry meringkik, Paman Andrew merintih. Digory berkata, "Tadi kebetulan sekali." Ada keheningan sesaat. Kemudian Polly berkata, "Bukankah seharusnya kita sudah sampai sekarang?" "Kita memang tampaknya berada di suatu tempat," kata Digory. "Setidaknya aku berdiri di atas sesuatu yang padat." "Wah, setelah dipikir-pikir, aku juga begitu," kata Polly. "Tapi kenapa begitu gelap di sini? Ah, menurutmu kita masuk ke mata air yang salah?" "Mungkin ini memang Charn," kata Digory. "Hanya saja kita kembali saat tengah malam." "Ini bukan Charn," terdengar suara sang penyihir. "Ini dunia yang kosong. Ini Tiada." Dan memang keadaannya seperti Tiada. Ti143

dak ada bintang. Suasana begitu gelap sehingga mereka sama sekali tidak bisa saling melihat dan tidak ada bedanya apakah kau memejamkan atau membuka mata. Di bawah kaki mereka ada sesuatu yang dingin dan datar yang mungkin saja tanah, tapi jelas tidak ada rumput atau pohon. Udaranya dingin dan kering, juga tidak ada angin. "Kehancuran telah datang ke atasku," kata sang penyihir dengan suara tenang yang namun mengerikan. "Ah, jangan berkata begitu," Paman Andrew merepet. "Nona muda, kumohon jangan mengatakan hal-hal seperti itu. Tidak mungkin seburuk itu keadaannya. Ah—kusir kereta— pria baik—apakah kebetulan kau membawa botol berisi minuman keras? Tetesan semangat itulah yang kita butuhkan." "Sudahlah, sudahlah," terdengar suara si kusir. Suaranya tegas dan keras. "Tetaplah tenang, semua, itulah yang selalu kukatakan. Tidak ada yang tulangnya patah, kan? Bagus. Yah, kalau begitu ada sesuatu yang bisa langsung disyukuri, dan itu lebih daripada yang bisa diperkirakan siapa pun setelah terjatuh sedalam ini. Nah, kalau kita terjatuh ke dalam pekerjaan penggalian atau semacamnya—seseorang 144

akan datang dan segera mengeluarkan kita, lihat saja! Dan kalau kita sudah mati—yang tidak kumungkiri bisa saja terjadi—yah, kita harus mengingat bahwa lebih banyak hal buruk bisa terjadi di lautan dan seseorang memang harus mati suatu saat. Tidak ada yang perlu ditakutkan kalau orang itu telah menjalani hidup dengan semestinya. Kalau kau bertanya padaku, kurasa tindakan terbaik yang bisa kita lakukan untuk melewatkan waktu adalah menyanyikan himne." Dan dia benar-benar melakukannya. Dia langsung menyanyikan himne panen Thanksgiving, segala syair tentang hasil tanam telah "dipanen dengan baik". Lagu itu sangat tidak cocok dengan tempat yang rasanya tidak pernah ditumbuhi apa pun sejak permulaan waktu, tapi lagu itulah yang paling bisa diingatnya. Kusir itu punya suara bagus dan Digory juga Polly ikut bernyanyi, suasana jadi sangat ceria. Paman Andrew dan sang penyihir tidak bergabung. Ketika mendekati akhir himne, Digory merasa seseorang menarik sikunya. Dan dari bau brendi juga cerutu yang keras, serta pakaian mewah yang dikenakan, Digory memutuskan orang itu pasti Paman Andrew. Paman Andrew 145

menariknya menjauhi yang lain dengan hatihati. Saat mereka sudah agak jauh, pria tua itu memajukan bibirnya begitu dekat ke telinga Digory sehingga terasa menggelitik, lalu dia berbisik: "Sekarang, bocah. Pakai cincinmu. Ayo pergi dari sini." Tapi sang penyihir punya telinga yang bagus. "Bodoh!" terdengar suaranya dan dia melompat turun dari kuda. "Apakah kau lupa aku bisa mendengar pikiran manusia? Lepaskan anak itu. Kalau kau berniat berkhianat, aku akan melakukan balas dendam yang begitu kejam kepadamu dengan cara yang belum pernah kaudengar ada di semua dunia sejak awal zaman." "Dan," Digory menambahkan, "kalau kau berpikir aku orang yang jahat sehingga tega meninggalkan Polly—juga kusir kereta—serta kudanya—di tempat seperti ini, kau salah besar." "Kau benar-benar anak kecil yang nakal dan tidak sopan," kata Paman Andrew. "Sstt!" kata si kusir kereta. Mereka semua mendengarkan. Dalam kegelapan, akhirnya sesuatu terjadi. Sebuah suara mulai bernyanyi. Suaranya ter146

dengar jauh sekali dan Digory mendapati sulit menentukan dari arah mana datangnya. Terkadang suara itu seperti datang dari segala arah sekaligus. Terkadang dia hampir mengira suara itu keluar dari tanah di bawah mereka. Nada-nada rendahnya cukup dalam untuk menjadi suara bumi itu sendiri. Tidak ada katakata. Bahkan nyaris tidak ada nada. Tapi suara itu, tak ada bandingannya, suara terindah yang pernah dia dengar. Begitu indah sehingga dia nyaris tidak tahan mendengarnya. Si kuda tampaknya juga menyukai suara itu, hewan tersebut mengeluarkan semacam ringkikan yang bakal disuarakan semua kuda jika setelah bertahun-tahun menjadi kuda kereta sewaan, dia mendapati dirinya kembali berada di lapangan luas tempatnya bermain semasa menjadi anak kuda dulu, melihat seseorang yang diingat dan dicintainya datang menyeberangi lapangan untuk membawakan sebongkah gula. "Wow!" kata si kusir kereta. "Indah sekali, ya?" Kemudian dua keajaiban terjadi di saat yang bersamaan. Salah satunya adalah suara itu tiba-tiba diikuti suara-suara lain, lebih banyak suara daripada yang bisa kauhitung. Semua suara baru itu berpadu harmonis dengan suara 147

pertama, tapi nada-nadanya lebih tinggi: suarasuara dingin, menggelitik, keperakan. Keajaiban kedua adalah kekelaman di atas, secara sekaligus, diterangi bintang-bintang. Bintangbintang itu tidak keluar perlahan dan satu per satu, seperti yang biasa terjadi pada suatu malam di musim panas. Pada suatu detik tidak ada apa pun di sana kecuali kegelapan, di detik berikutnya ribuan, ribuan titik cahaya muncul keluar—bintang-bintang tunggal, konstelasi, dan planet-planet, lebih terang dan besar daripada yang ada di dunia kita. Tidak ada awan. Bintang-bintang baru dan suara-suara baru itu dimulai pada saat yang bersamaan. Kalau kau ikut melihat dan mendengarnya, seperti yang dialami Digory, kau akan merasa sangat yakin bintang-bintang itulah yang bernyanyi, dan suara pertamalah, suara yang dalam tadi, yang membuat bintang-bintang itu muncul dan bernyanyi. "Luar biasa!" kata si kusir kereta. "Aku akan jadi pria yang lebih baik sepanjang hidupku kalau aku tahu ada yang seperti ini." Suara di bumi kini semakin keras dan lantang, tapi suara-suara di langit, setelah bernyanyi keras bersamanya, mulai melemah. Dan kini sesuatu yang lain sedang terjadi. 148

Jauh sekali, di bawah kaki langit, langit mulai berubah warna menjadi abu-abu. Angin kecil, sangat segar, mulai bertiup. Langit, di satu tempat itu, perlahan tapi pasti memucat. Kau bisa melihat sosok-sosok bukit berdiri hitam membelakanginya. Sepanjang waktu itu suara terus bernyanyi. Tak lama kemudian ada cukup cahaya bagi mereka untuk melihat wajah satu sama lain. Mulut si kusir dan kedua anak itu terbuka dan mata mereka bersinar, mereka menyerap suara luar biasa itu, sepertinya suara tersebut mengingatkan mereka akan sesuatu. Mulut Paman Andrew juga terbuka, tapi bukan karena kagum. Dia tampak seolah dagunya sekadar terjatuh dari sisa wajahnya yang lain, bahunya membungkuk dan lututnya gemetaran. Dia

149

tidak menyukai suara itu. Kalau dia bisa menghindarinya dengan merangkak masuk ke lubang tikus, dia pasti akan melakukan itu. Tapi sang penyihir tampak, entah bagaimana, paling memahami musik itu daripada siapa pun di sana. Mulutnya tertutup, bibirnya rapat, dan jemarinya erat tergenggam. Sejak lagu itu dimulai dia telah merasa seluruh dunia ini dipenuhi Sihir yang berbeda dengan miliknya dan lebih kuat. Dia membenci ini. Dia akan menghancurkan seluruh dunia ini, atau semua dunia yang ada, menjadi serpihan-serpihan, kalau tindakan itu akan bisa menghentikan nyanyian tersebut. Si kuda berdiri dengan kedua telinga tegak dan berkedut-kedut. Sesekali hewan itu mendengus dan mengentakkan kaki ke tanah. Dia tidak lagi kelihatan seperti kuda kereta sewaan yang tua dan lelah, sekarang kau bisa amat percaya ayahnya pernah memimpin pertempuran. Langit timur berubah dari putih ke merah muda, dan dari merah muda ke emas. Suara itu naik dan naik, sampai seluruh udara bergetar bersamanya. Dan ketika suara itu berkembang menjadi suara paling kuat dan mulia yang pernah diperdengarkan, sang mentari terbit. 150

Digory belum pernah melihat matahari seperti itu. Matahari di atas reruntuhan Charn tampak lebih tua daripada matahari dunia kita, yang ini tampak lebih muda. Kau bisa membayangkan matahari itu tertawa bahagia saat terus naik di langit. Dan ketika sinarnya menerangi daratan, para penjelajah itu bisa melihat untuk kali pertama tempat apa yang mereka kunjungi. Sebuah lembah yang dibelah sungai lebar, deras, dan mengalir ke timur menuju mentari. Di sebelah selatan ada pegunungan, di sebelah utara ada perbukitan yang lebih rendah. Tapi lembah itu hanya terdiri atas tanah, batu, dan air. Tidak ada pohon, sesemakan, tidak sebatang rumput pun yang terlihat. Tanahnya terdiri atas banyak warna: segar, panas, dan tegas. Tanahnya membuat kau merasa bersemangat, sampai kau melihat si penyanyi itu sendiri, setelahnya kau akan melupakan segalanya. Si penyanyi adalah singa. Besar, berbulu lebat, dan bercahaya, hewan itu berdiri menghadap matahari terbit. Mulutnya terbuka lebar menyanyikan lagu dan dia berdiri sekitar tiga ratus meter jauhnya. "Ini dunia yang mengerikan," kata sang penyihir. "Kita harus segera pergi. Siapkan Sihir." 151

"Aku setuju denganmu, Madam," kata Paman Andrew. "Tempat yang sangat tidak raenyenangkan. Sama sekali tidak beradab. Kalau saja aku lebih muda dan membawa senjata—" "Astaga!" seru si kusir kereta. "Kau tidak berpikir untuk menembaknya, kan?" "Lagi pula siapa yang bisa berpikir begitu?" kata Polly. "Siapkan Sihir, pria tua bodoh," kata Jadis. "Tentu saja, Madam," kata Paman Andrew licik. "Aku harus membiarkan kedua anak ini menyentuhku. Pakai cincin pulangmu segera, Digory." Dia ingin pergi tanpa sang penyihir. "Oh, jadi sihirmu cincin, ya?" teriak Jadis. Dia bakal memasukkan tangannya ke saku Digory sebelum kau bisa mengucapkan apa pun, tapi Digory menarik Polly dan berseru: "Awas. Kalau salah satu dari kalian bahkan mendekat barang seinci pun, kami berdua akan menghilang dan kalian akan ditinggalkan di sini untuk selama-lamanya. Ya, aku punya cincin di sakuku yang bisa membawaku dan Polly pulang. Dan lihat! Tanganku siap meraihnya. Jadi jaga jarak kalian. Aku menyesal dengan nasibmu," (dia melihat ke arah kusir kereta) "dan kudamu, tapi tak ada yang bisa kulakukan. Sedangkan kalian berdua," (dia me152

natap Paman Andrew dan sang ratu) "kalian berdua kan penyihir, jadi kalian pasti bahagia hidup bersama." "Tahan suara kalian, semuanya," kata si kusir. "Aku ingin mendengarkan musiknya." Karena kini lagu telah berubah.

153

BAB

9

Membangkitkan

S

Narnia

ANG SINGA berderap maju dan mundur di daratan kosong itu sambil menyanyikan lagu barunya. Kali ini lebih halus dan bernada daripada lagu yang dia gunakan untuk memanggil bintang dan matahari. Musiknya lembut dan mengalir. Dan saat dia berjalan sambil bernyanyi, lembah menghijau karena rumput. Rumput mengalir dari si singa seperti mata air. Rumput menyapu sisi-sisi bukit seperti ombak. Dalam beberapa menit rumput merayapi lereng-lereng rendah pegunungan yang jauh, membuat dunia baru itu lebih lembut setiap saat. Angin sepoi bisa didengar menggemeresikkan rerumputan. Tak lama kemudian ada benda lain selain rumput. Lereng-lereng tinggi menggelap karena sesemakan heather. Bongkahan tumbuhan yang lebih kasar dan berperdu mun154

cul di lembah. Digory tidak tahu apa tumbuhan itu sampai salah satunya mulai tumbuh di dekatnya. Tumbuhan itu kecil dan berpakupaku, lusinan batangnya mencuat keluar, ditutupi daun, dan tumbuh semakin besar sekitar satu inci setiap dua detik. Ada lusinan tumbuhan ini di sekelilingnya sekarang. Ketika tumbuhan-tumbuhan itu nyaris setinggi tubuhnya, Digory melihat apa sebenarnya bendabenda tersebut. "Pohon!" dia berseru. Yang menyebalkan, seperti yang Polly katakan setelah itu, adalah kau tidak dibiarkan dalam ketenangan untuk memerhatikan kejadian ini. Tepat setelah Digory berkata, "Pohon!" dia harus melompat karena Paman Andrew telah menyelinap ke dekatnya lagi dan berniat mencopet isi sakunya. Tindakan ini sebenarnya tidak akan membantu Paman Andrew kalaupun dia berhasil, karena pria itu mengincar saku tangan kanan. Dia masih mengira cincin hijau adalah cincin "pulang". Tapi tentu saja Digory tidak mau kehilangan cincin itu juga. "Stop!" teriak sang penyihir. "Mundur. Tidak, lebih jauh lagi. Kalau ada yang bahkan berdiri sejauh sepuluh langkah dari satu pun anak itu, aku akan memecahkan kepalanya." Dia mengacungkan batang besi yang telah di155

patahkan dari lampu tiang di tangannya, siap melempar. Entah bagaimana tidak ada yang ragu dia bakal melempar tepat sasaran. "Jadi!" katanya lagi. "Kau berniat kabur ke duniamu sendiri dengan anak itu dan meninggalkanku di sini." Emosi Paman Andrew akhirnya menguasai rasa takutnya. "Ya, Ma'am, aku memang berniat begitu," katanya. "Tentu saja aku berniat begitu. Lagi pula ini hakku. Aku telah dipermalukan dan diperlakukan dengan kejam. Aku telah sebisanya berusaha menunjukkan sopan santun. Dan apa balasanku? Kau telah merampok—aku harus mengulang kata ini—merampok toko perhiasan yang sangat terkenal. Kau telah bersikeras supaya aku menghiburmu dengan makan siang yang amat sangat mahal, belum lagi mewah, walaupun aku jadi terpaksa menggadaikan jam dan rantaiku untuk melakukan itu (dan biar kuberitahu saja ya, Ma'am, tidak seorang pun dari keluarga kami yang punya kebiasaan mengunjungi toko pegadaian, kecuali sepupuku Edward, dan dia berada di Yeonmary). Selama santapan yang tak bisa dicerna itu—aku merasakan pengaruhnya yang terburuk tepat pada saat ini—perilaku dan percakapanmu menarik perhatian yang tidak 156

diinginkan dari semua orang yang ada di sana. Aku merasa telah dipermalukan secara publik. Aku tidak akan bisa menunjukkan wajahku di restoran itu lagi. Kau telah menyerang petugas polisi. Kau telah mencuri—" "Oh, diamlah, pria tua, kumohon diamlah," kata kusir kereta. "Lebih baik melihat dan mendengar yang sedang terjadi sekarang. Jangan bicara." Dan memang banyak yang bisa dilihat dan didengar saat itu. Pohon yang telah diperhatikan Digory kini sudah tumbuh menjadi pohon beech dewasa yang cabang-cabangnya berayun lembut di atas kepala anak itu. Mereka kini berdiri di atas rumput hijau sejuk yang dihiasi bunga daisy dan buttercup. Lebih jauh sedikit, di sepanjang tepi sungai, pohon willow tumbuh. Di sisi lain bermunculan bunga-bunga currant, lilac, mawar liar yang tumbuh saling melilit, dan dipagari sesemakan rhododendron. Si kuda mencabik sejumput rumput segar yang lezat. Sepanjang waktu itu lagu terus berlanjut dan sang singa bergerak anggun, mondarmandir, berjalan maju-mundur. Yang agak mengancam adalah pada setiap belokan dia kian mendekat. Polly mendapati lagu itu menjadi semakin menarik karena dia pikir dia 157

mulai bisa melihat hubungan antara musik itu dan berbagai hal yang sedang terjadi. Ketika sederet pohon fir gelap muncul pada tebing sekitar seratus meter dari mereka, dia merasa pohon-pohon fir itu berhubungan dengan seseri nada dalam dan panjang yang dinyanyikan sang singa sedetik lalu. Dan ketika dia menyuarakan satu deret nada cepat yang lebih ringan, Polly tidak terkejut melihat tumbuhan primroses mendadak muncul di setiap arah. Kemudian dengan rasa gembira yang tidak terkatakan, dia merasa sangat yakin semua benda itu (menggunakan istilahnya) "keluar dari kepala sang singa". Kalau kau menyimak lagunya, kau akan mendengar benda-benda

158

yang sedang dibuatnya, saat melihat ke sekelilingmu kau akan melihat semua itu. Pengalaman ini begitu menarik sehingga Polly tidak punya waktu untuk merasa takut. Tapi Digory dan si kusir kereta tidak bisa mencegah diri mereka merasa agak gugup karena setiap belokan membuat sang singa semakin dekat dengan mereka. Sedangkan Paman Andrew, giginya bergemeletuk, tapi lutut kakinya gemetaran hebat sehingga dia tidak bisa melarikan diri. Mendadak sang penyihir melangkah berani menuju sang singa. Hewan itu berjalan mendekat, masih sambil bernyanyi, dengan langkah lambat dan berat. Kini dia hanya dua belas meter jauhnya. Sang penyihir mengangkat tangannya dan mengayunkan batang besi itu langsung ke kepala si singa. Tidak ada seorang pun, apalagi Jadis, yang bakal luput mengenai sasaran pada jarak itu. Batang besi itu menghantam sang singa tepat di antara kedua matanya. Besinya mental dan jatuh berdebum di rerumputan. Sang singa terus berjalan. Langkahnya tidaklah lebih lambat ataupun lebih cepat daripada sebelumnya, kau bakal tidak bisa menebak apakah dia bahkan menyadari dia sudah terkena pukulan. Walaupun langkah-langkah lembutnya tidak 159

membuat suara, kau bisa merasakan bumi bergetar di bawah tekanan beratnya. Sang penyihir memekik dan lari, dalam beberapa detik kemudian dia menghilang di antara pepohonan. Paman Andrew berbalik untuk melakukan hal yang sama, tersandung akar, terjatuh dan mendarat dengan wajahnya di aliran sungai kecil yang mengalir menuju sungai besar. Digory dan Polly tidak bisa bergerak. Mereka bahkan tidak yakin mereka ingin melakukan itu. Sang singa tidak mengacuhkan mereka. Mulut besar merahnya terbuka, tapi untuk menyuarakan lagu, bukan untuk menunjukkan seringaian. Hewan itu melewati mereka begitu dekat sehingga mereka bisa saja menyentuh surainya. Mereka takut sekali sang singa akan menoleh dan menatap mereka, namun anehnya mereka juga berharap dia melakukan itu. Tapi bila melihat besarnya perhatian yang dia berikan kepada Digory dan Polly, mereka seolah tidak kasat mata dan tidak berbau. Ketika lewat dan berjalan beberapa langkah menjauhi mereka, sang singa berbelok, melewati mereka lagi, lalu melanjutkan langkahnya ke arah timur. Paman Andrew berusaha berdiri sambil terbatuk-batuk dan megap-megap. 160

"Nah, Digory," katanya, "kita telah menyingkirkan wanita itu, singa ganas itu juga sudah pergi. Ulurkan tanganmu dan pakai cincinmu segera." "Jangan sentuh aku," kata Digory, berjalan mundur menjauhinya. "Menyingkirlah darinya, Polly. Mendekatlah ke sini. Aku memperingatkanmu, Paman Andrew, jangan mendekat barang selangkah pun, atau kami akan menghilang." "Lakukan yang sudah kuperintahkan kepadamu, Sir," kata Paman Andrew. "Kau benarbenar anak kecil yang sangat tidak patuh dan luar biasa bandel." "Jangan takut," kata Digory. "Kami ingin tinggal dan melihat apa yang terjadi. Lagi pula bukankah kau ingin tahu tentang duniadunia lain? Tidakkah kau bahagia akhirnya bisa berada di sini?" "Bahagia!" seru Paman Andrew. "Lihat saja keadaanku sekarang. Dan ini jas juga rompi terbaikku." Paman Andrew memang pemandangan yang menyedihkan saat ini. Karena tentu saja, semakin rapi kau pada awalnya, semakin buruk penampilanmu setelah kau merangkak keluar dari kereta sewaan yang luluh lantak dan terjatuh ke dalam sungai kecil 161

berlumpur. "Bukannya aku berkata," dia menambahkan, "tempat ini sama sekali tidak menarik. Kalau aku pria yang lebih muda, beda lagi—mungkin aku akan menyuruh pemudapemuda bersemangat untuk pergi lebih dulu ke sini. Sejenis pemburu-pemburu profesional itu. Sesuatu mungkin bisa diusahakan di negeri ini. Cuacanya menyenangkan sekali. Aku belum pernah merasakan udara seperti ini. Aku yakin udara seperti ini akan berakibat baik buatku jika—jika saja keadaannya lebih menguntungkan. Kalau saja aku membawa senjata." "Senjata tidak ada gunanya," kata si kusir kereta. "Kurasa aku akan pergi dan melihat apakah aku bisa menggosok tubuh Strawberry. Kuda itu lebih punya akal sehat daripada beberapa manusia yang bisa kusebutkan." Dia berjalan menghampiri Strawberry dan mulai mengeluarkan suara berdesis yang biasa disuarakan tukang kuda. "Kau masih berpikir singa itu bisa dibunuh dengan senjata?" tanya Digory. "Dia tidak terlalu memedulikan pukulan batang besi Jadis." "Dari semua kesalahannya," kata Paman Andrew, "itu tindakan yang paling berani, anakku. Benar-benar tindakan yang penuh nyali." Dia menggosok-gosokkan kedua tangannya 162

dan meregangkan buku-buku jari, seolah sekali lagi dia lupa betapa sang penyihir membuatnya takut setiap kali wanita itu benar-benar berada di dekatnya. "Itu tindakan kejam," kata Polly. "Kejahatan apa yang telah singa itu lakukan padanya?" "Wah! Apa itu?" tanya Digory. Dia bergegas memeriksa sesuatu yang berada hanya beberapa meter di depannya. "Astaga, Polly," dia berteriak ke belakang. "Cepat ke sini dan lihat." Paman Andrew datang bersama Polly, bukan karena dia juga ingin melihat, tapi karena ingin tetap berada di dekat kedua anak itu— mungkin ada kesempatan baginya untuk mencuri cincin-cincin mereka. Tapi ketika melihat apa yang diperhatikan Digory, minatnya pun mulai tergugah. Benda itu model kecil sempurna lampu tiang, tingginya sekitar satu meter tapi semakin panjang dan tebal saat mereka mengawasinya. Bahkan lampu tiang pun tumbuh seperti pepohonan tadi. "Lampu ini juga nya menyala," kata begitu, walau tentu hari membuat api sulit dilihat kecuali menutupinya.

hidup—maksudku, lampuDigory. Dan memang benar saja terangnya sinar matakecil di dalam lenteranya ketika ada bayangan yang

163

"Menakjubkan, menakjubkan sekali," gumam Paman Andrew. "Bahkan aku tidak pernah memimpikan Sihir seperti ini. Kita berada di dunia di mana segalanya, bahkan lampu tiang, menjadi hidup dan bertumbuh. Sekarang aku jadi ingin tahu bibit macam apa lampu tiang berasal?" "Tidakkah kau sadar?" tanya Digory. "Di sinilah batang besi tadi jatuh—batang besi yang dipatahkan Jadis dari lampu tiang di rumah kita. Batang itu tenggelam ke dalam tanah dan kini dia tumbuh menjadi lampu tiang muda." (Tapi tidak terlalu muda lagi sekarang, karena saat Digory mengucapkan ini kini lampu tiang tersebut sudah setinggi anak itu.) "Benar juga! Luar biasa, luar biasa," kata Paman Andrew, menggosok tangannya lebih keras daripada kapan pun. "Ho ho! Mereka telah menertawakan Sihir-ku. Kakak perempuan bodohku itu menganggapku gila. Kira-kira apa yang akan mereka katakan sekarang? Aku telah menemukan dunia di mana segalanya muncul penuh kehidupan dan pertumbuhan. Columbus, ya mereka selalu membicarakan Columbus. Tapi apalah Amerika dibandingkan ini? Kemungkinan perdagangan dalam negeri ini tidak terbatas. Bawa beberapa bagian kecil besi tua ke 164

sini, tanam, dan semuanya akan muncul kembali sebagai mesin-mesin kereta baru, kapal perang, apa pun yang kauinginkan. Tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun, dan aku bisa menjualnya dengan harga penuh di Inggris. Aku akan jadi jutawan. Kemudian iklim di sini! Belum-belum aku sudah merasa lebih muda. Aku bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat pemulihan kesehatan. Sanatorium yang bagus di sini mungkin bisa berharga dua puluh ribu setahun. Tentu saja aku jadi harus membiarkan beberapa orang tahu rahasia dunia lain ini. Tapi hal pertama yang harus dilakukan adalah menembak si singa." "Kau sama saja dengan sang penyihir," kata Polly. "Yang kalian pikirkan hanyalah bagaimana cara membunuh makhluk lain." "Kemudian untuk keuntungan pribadiku," Paman Andrew melanjutkan mimpi bahagianya, "tidak ada yang bisa memastikan berapa lama aku bisa hidup bila aku menetap di sini. Dan ini pertimbangan penting kalau seseorang telah mencapai usia enam puluh tahun. Aku tidak akan terkejut bila aku tidak pernah menua barang sehari pun di negeri ini! Luar biasa! Tanah Kebeliaan!" "Oh!" seru Digory. "Tanah Kebeliaan! Apa165

kah menurutmu tempat ini benar-benar Tanah Kebeliaan?" Karena tentu saja dia ingat katakata Bibi Letty kepada wanita yang membawakan mereka anggur. Harapan manis itu pun kembali mengaliri tubuhnya. "Paman Andrew," katanya, "apakah menurutku ada sesuatu di sini yang bisa menyembuhkan Ibu?" "Kau ini sedang bicara apa?" tanya Paman Andrew. "Tempat ini kan bukan toko obat. Tapi seperti yang kukatakan tadi—" "Kau tidak sedikit pun peduli padanya," bentak Digory. "Kukira kau akan peduli, karena bagaimana pun selain ibuku dia juga saudaramu. Yah, tidak masalah. Lebih baik aku bertanya pada sang singa sendiri, siapa tahu dia bisa menolongku." Lalu Digory berbalik dan berjalan cepat menjauhi yang lain. Polly menunggu sebentar kemudian mengejarnya. "Hei! Stop! Kembali! Anak itu sudah gila," kata Paman Andrew. Dia mengikuti kedua anak itu dengan jarak aman di belakang mereka, karena dia tidak mau berada terlalu jauh dari cincin hijau dan tidak mau terlalu dekat dengan sang singa. Dalam beberapa menit, Digory tiba di ujung hutan dan dia berhenti di sana. Sang singa 166

masih bernyanyi. Tapi kini lagunya sekali lagi berganti. Lagunya kini lebih terdengar seperti yang biasa kita sebut nada, tapi juga jauh lebih liar. Suaranya membuatmu ingin berlari, melompat, dan memanjat. Membuatmu ingin berteriak. Membuatmu ingin segera menghampiri orang lain lalu memeluk atau berkelahi dengan orang itu. Lagunya membuat wajah Digory merah dan panas. Lagu itu juga memengaruhi Paman Andrew karena Digory bisa mendengarnya berkata, "Wanita yang penuh semangat, Sir. Sayangnya dia tidak bisa mengendalikan emosi, tapi tetap saja dia wanita yang cantik sekali, cantik luar biasa." Tapi pengaruh lagu sang singa pada kedua manusia itu tidak ada apa-apanya dibandingkan pengaruhnya pada negeri tersebut. Bisakah kau membayangkan sebidang tanah berumput menggelegak seperti air dalam panci? Karena itulah deskripsi paling tepat untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi. Dari segala arah daratan menggembung menjadi gundukan. Gundukan-gundukan itu berbeda ukurannya, beberapa tidak lebih besar daripada bukit tikus tanah, beberapa sebesar gerobak berkebun, dua sebesar rumah peristirahatan. Dan gundukan-gundukan itu bergerak dan 167

membengkak hingga meledak, reruntuhan tanah tumpah keluar dan dari tiap gundukan muncul seekor hewan. Tikus tanah-tikus tanah keluar dari tanah tepat seperti yang biasa mereka lakukan di Inggris. Anjing-anjing muncul, menggonggong begitu kepala mereka bebas, kemudian bergulat seperti yang biasa kaulihat mereka lakukan ketika berusaha melewati lubang sempit di pagar. Rusa-rusa jantan adalah pemandangan yang paling aneh, karena tentu saja tanduk mereka muncul jauh lebih dahulu daripada sisa tubuh mereka, jadi awalnya Digory mengira mereka pepohonan. Katak-katak, yang semuanya muncul di dekat sungai, langsung menuju ke dalamnya bersama suara plop-plop dan korekan keras. Macam kumbang, macan tutul, dan

168

hewan sejenisnya, langsung duduk untuk membersihkan sisa-sisa tanah dari bokong mereka kemudian berdiri di depan pohon untuk mengasah cakar-cakar depan mereka. Hujan burung keluar dari pepohonan. Sekelompok kupu-kupu beterbangan. Para lebah pergi bekerja pada bunga-bunga seolah mereka tidak mau membuang waktu. Tapi momen terhebat di antara semuanya adalah ketika gundukan terbesar membelah seperti gempa bumi kecil dan keluar dari dalamnya punggung curam, kepala besar dan bijak, lalu empat kaki berkulit longgar seekor gajah. Dan kini kau nyaris tidak bisa mendengar nyanyian sang singa. Terlalu banyak kaokan, kukukan, embikan, ringkikan, lolongan, gonggongan, lenguhan, erangan, dan terompet belalai.

169

Tapi walaupun tidak lagi bisa mendengar suara sang singa, Digory masih bisa melihatnya. Hewan itu begitu besar dan bersinar sehingga dia tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Hewan-hewan lain tidak tampak takut padanya. Bahkan tepat pada saat itu, Digory mendengar suara derap kaki dari belakang, dan tak berapa lama kemudian kuda tua kereta sewaan berlari melewatinya dan bergabung dengan hewanhewan lain. (Udara di negeri itu tampaknya cocok baginya seperti kepada Paman Andrew. Dia tidak lagi kelihatan bagaikan budak tua yang malang seperti dulu di London. Kakinya terangkat mantap dan kepalanya mendongak tegak.) Dan kini, untuk pertama kalinya sang singa diam. Dia berjalan mondar-mandir di antara hewan-hewan. Dan sesekali dia akan menghampiri dua ekor di setiap jenis hewan (selalu dua sekaligus) dan menyentuh hidung mereka dengan hidungnya. Dia akan menyentuh dua berang-berang di antara semua berang-berang, dua macan tutul di antara semua macan tutul, satu rusa jantan dan satu rusa betina di antara rusarusa, dan tidak mengacuhkan sisanya. Beberapa jenis hewan dilewatinya. Tapi pasangan yang telah disentuhnya langsung meninggalkan 170

teman-teman sebangsa mereka dan mengikutinya. Akhirnya sang singa berdiri diam dan semua makhluk yang telah dia sentuh datang dan berdiri membentuk lingkaran besar mengelilinginya. Hewan-hewan lain yang tidak disentuhnya mulai berjalan pergi. Suara-suara mereka perlahan menghilang diteian jarak. Para hewan pilihan yang tertinggal, kini tidak bersuara sama sekali, semua mata mereka terpaku lekat pada sang singa. Para hewan sejenis kucing terkadang menggerakkan ekor mereka, tapi selain itu semua bergeming. Untuk pertama kalinya di hari itu yang ada hanyalah keheningan total, yang terdengar cuma suara aliran air. Jantung Digory berdetak kencang, dia tahu sesuatu yang sangat penting akan terjadi. Sesaat

171

dia lupa tentang ibunya, tapi dia sangat tahu dia tidak bisa mengganggu sesuatu yang sepenting ini, bahkan demi ibunya. Sang singa, yang matanya tidak pernah berkedip, menatap para hewan begitu tegas seolah dia hendak membakar mereka hanya dengan pandangan. Dan akhirnya suatu perubahan terjadi pada diri mereka. Hewan-hewan yang kecil—kelinci, tikus tanah, dan sejenisnya— tumbuh menjadi lebih besar. Hewan-hewan yang sangat besar—kau akan paling menyadarinya pada gajah-gajah—mengecil. Banyak hewan yang duduk pada kaki belakang mereka. Sebagian besar meletakkan kepalanya ke salah satu sisi, seolah mereka berusaha keras memahami sesuatu. Sang singa membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar dari dalam sana. Dia mengembuskan napas panjang dan hangat yang seolah menyapu semua hewan seperti angin menyapu deretan pohon. Jauh di atas, di balik lapisan langit biru yang menutupi, bintang-bintang bernyanyi lagi: musiknya murni, dingin, dan sulit. Kemudian datanglah kilatan cepat seperti api (tapi kilat itu tidak membakar siapa pun) entah dari langit atau dari sang singa sendiri. Lalu setiap tetes darah dalam tubuh kedua anak itu tergelitik ketika suara 172

yang paling dalam dan liar yang pernah mereka dengar berkata: "Narnia, Narnia, Narnia, bangkidah. Cintai. Pikir. Bicara. Jadilah pohon-pohon yang berjalan. Jadilah hewan-hewan yang bicara. Jadilah air yang mulia."

173

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. [email protected]

BAB

10

Lelucon Pertama dan Hal-hal Lain

T

ENTU saja itu suara sang singa. Kedua anak itu telah lama yakin dia bisa bicara, tapi tetap saja menjadi kejutan yang indah dan hebat ketika dia melakukannya. Keluar dari pepohonan, orang-orang liar berjalan maju, begitu juga para dewa dan dewi hutan. Bersama mereka datang juga faun, satyr (=manusia bertanduk, bertelinga, berbuntut, dan berkaki seperti kambing), dan dwarf. Dari sungai muncul keluar dewa sungai bersama putriputri naiad-nya. Lalu semua makhluk itu, para hewan, juga burung dengan suara masingmasing yang beragam, rendah, tinggi, tebal, atau jelas, menjawab:

"Hormat pada Aslan. Kami dengar dan patuh. Kami bangkit. Kami mencintai. Kami berpikir. Kami bicara. Kami tahu." 174

"Tapi maaf, kami belum tahu terlalu banyak," kata suara yang agak nyaring dan penuh dengusan. Dan ini benar-benar membuat kedua anak itu melompat saking terkejutnya, ternyata kuda kereta sewaan itulah yang bicara. "Strawberry memang hebat," kata Polly. "Aku sungguh lega dia menjadi salah satu hewan yang dipilih menjadi Hewan yang Bisa Berbicara." Dan si kusir kereta, yang kini berdiri di samping kedua anak itu, berkata, "Ini mustahil. Tapi aku memang selalu bilang kuda itu punya akal panjang." "Para makhluk, aku memberi kalian diri kalian," kata suara Aslan yang kuat dan gembira. "Aku memberi kalian selamanya tanah Narnia ini. Aku memberi kalian hutan, buahbuahan, sungai. Aku memberi kalian bintangbintang dan aku memberi kalian diriku sendiri. Para hewan bodoh yang tidak kupilih juga milik kalian. Perlakukan mereka dengan lembut dan hargai mereka, tapi janganlah berbalik mengikuti mereka karena dengan begitu kalian tidak lagi akan menjadi Hewan yang Bisa Berbicara. Karena kalian telah dikeluarkan dari kaum mereka, kalian akan bisa kembali menjadi bagian mereka. Hindari itu." 175

"Tidak, Aslan, kami tidak akan kembali, tidak akan," kata semua orang. Tapi burung Jackdaw yang bersemangat menambahkan dengan suara keras, "Jangan khawatir!" sedangkan semua makhluk sudah selesai berkata-kata tepat sebelum dia mengucapkan ini. Kata-katanya pun terdengar sangat jelas dalam keheningan, dan mungkin kau pernah mendapati betapa memalukannya kejadian ini—misalnya saja, di suatu pesta. Jackdaw itu menjadi begitu malu sehingga dia menyembunyikan kepala di bawah sayap-sayapnya seolah hendak pergi tidur. Dan semua hewan lain mulai mengeluarkan berbagai suara aneh yang adalah cara tertawa masing-masing. Suara-suara yang tentu saja belum pernah terdengar di dunia kita. Awalnya mereka berusaha menahannya, tapi kemudian Aslan berkata: "Tertawalah dan jangan cemas, para makhluk. Kini kalian tidak lagi bodoh dan tanpa pikiran, kalian tidak perlu selalu bersedih. Karena lelucon, seperti juga keadilan, datang bersama kata-kata." Jadi mereka semua tidak lagi menahan diri. Dan suasana menjadi begitu ceria sehingga Jackdaw itu sendiri mengumpulkan kembali keberaniannya dan bertengger pada kepala kuda 176

kereta sewaan, di antara kedua telinganya, mengepak-ngepakkan sayap, lalu berkata: "Aslan! Aslan! Apakah aku telah menciptakan lelucon pertama? Apakah semua makhluk akan diberitahu akulah yang membuat lelucon pertama itu?"

"Tidak, teman kecilku," kata sang singa. "Kau belumlah menciptakan lelucon pertama, kau hanya menjadi lelucon pertama." Kemudian semua makhluk tertawa lebih keras, tapi Jackdaw tidaklah keberatan dan ikut tertawa sama kerasnya hingga si kuda menggoyangkan kepala. Jackdaw pun kehilangan keseimbangan 177

dan terjatuh. Tapi kemudian dia teringat pada sayapnya (sayap-sayap ini memang masih baru baginya) sebelum dia mencapai tanah. "Dan sekarang," kata Aslan, "Narnia telah didirikan. Selanjutnya kita harus memikirkan cara menjaganya. Aku akan memanggil sebagian dari kalian untuk rapat bersamaku. Mendekatlah kepadaku, kau pemimpin bangsa Dwarf, kau Dewa Sungai, kau Roh Pohon Ek, dan Burung Hantu jantan, juga kedua gagak hitam, dan gajah jantan. Kita harus berjalan bersama. Karena walaupun dunia ini baru berusia lima jam, kejahatan telah memasukinya."

178

Para makhluk yang dia sebut namanya maju dan dia melangkah ke timur bersama mereka. Makhluk-makhluk yang lain mulai berbicara, mengucapkan kata-kata seperti, "Apa yang katanya telah memasuki dunia kita?—kebahatan—Apa itu kebahatan?—Bukan, dia tidak bilang kebahatan, dia bilang kegahatan—Tapi apa itu?" "Begini," kata Digory kepada Polly. "Aku harus mengejarnya—Aslan, maksudku, sang singa. Aku harus bicara padanya." "Menurutmu kita bisa melakukan itu?" tanya Polly. "Aku tidak akan berani." "Aku harus melakukannya," kata Digory. "Ini berhubungan dengan ibuku. Kalau ada seseorang yang bisa memberiku sesuatu yang bisa menyembuhkan ibuku, dialah orangnya." "Aku akan menemanimu," kata si kusir kereta. "Aku menyukai tampangnya. Lagi pula kurasa hewan-hewan lain ini tidak akan mau pergi demi kita. Aku juga mau berbicara dengan Strawberry." Jadi ketiga orang itu melangkah penuh keberanian—setidaknya dengan sebanyak mungkin keberanian yang bisa mereka kumpulkan—menuju rapat para makhluk Narnia. Para makhluk itu sibuk bercakap dan berkenalan sehingga 179

tidak memerhatikan kehadiran tiga manusia sampai mereka berada sangat dekat. Para makhluk itu juga tidak mendengar Paman Andrew, yang berdiri gemetaran dengan sepatu berkancingnya cukup jauh dari sana, berteriak (tentu saja dengan suaranya yang sekeras mungkin): "Digory! Kembali! Cepat patuhi perintahku dan kembali ke sini! Aku melarangmu melangkah lebih jauh lagi." Ketika akhirnya mereka tepat berada di antara hewan-hewan itu, para hewan berhenti bicara dan menatap mereka. "Wah?" kata Berang-berang jantan akhirnya. "Demi nama Aslan, makhluk apa ini?" "Aku mohon," kata Digory memulai dengan suara yang agak tertahan, ketika Kelinci berkata, "Menurutku, mereka sejenis selada besar." "Bukan, kami bukan selada, sungguh," kata Polly cepat-cepat. "Kami sama sekali tidak enak dimakan." "Wow!" kata Tikus Tanah. "Mereka bisa bicara. Siapa yang pernah dengar selada yang bisa bicara?" "Mungkin mereka lelucon kedua," usul Jackdaw. Macan Kumbang, yang sedang mencuci 180

muka, berhenti sesaat untuk berkata, "Yah, kalaupun itu memang benar, mereka tidaklah selucu lelucon yang pertama. Setidaknya, aku tidak melihat ada yang lucu pada diri mereka." Macan Kumbang itu menguap dan meneruskan cuci mukanya. "Oh, aku mohon," kata Digory. "Aku sedang terburu-buru. Aku ingin bertemu sang singa." Sepanjang waktu Digory berkata-kata, si kusir kereta berusaha menangkap pandangan Strawberry. Sekarang dia berhasil. "Nah, Strawberry, teman lama," dia berkata. "Kau kenal aku, kan? Kau tidak akan berdiri di sana dan berkata kau tidak mengenaliku, kan?" "Apa yang makhluk itu bicarakan, Kuda?" kata beberapa suara. "Yah," kata Strawberry sangat perlahan. "Aku juga tidak terlalu mengerti. Karena menurutku sebagian besar dari kita belum tahu banyak. Tapi aku punya semacam bayangan aku pernah melihat makhluk seperti ini sebelumnya. Aku punya perasaan aku pernah tinggal di tempat lain—atau sebagai sesuatu yang lain—sebelum Aslan membangunkan kita semua beberapa menit lalu. Semuanya sangat membingungkan. Seperti mimpi. Tapi ada be181

berapa makhluk lain seperti tiga makhluk ini dalam mimpi itu." "Apa?" apa si kusir kereta. "Kau tidak mengenaliku? Aku yang biasa membawakan pakan hangat di sore hari ketika kau kelelahan? Aku yang selalu menggosokmu dengan layak? Aku yang tidak pernah lupa menyelimutimu kala kau berdiri di tengah cuaca dingin? Aku tidak menyangka kau bisa begitu tega, Strawberry." "Ingatanku akhirnya mulai kembali," kata Kuda mengingat-ingat. "Ya. Tunggu sebentar, biarkan aku mengingatnya. Ya, kau selalu mengikat benda hitam mengerikan di belakangku lalu memukulku supaya aku berlari, dan betapapun jauhnya aku berlari, benda hitam itu akan selalu mengikuti di belakangku dengan suara berisik." "Kita kan harus bekerja agar bisa terus hidup," kata si kusir. "Pekerjaanku sama beratnya dengan pekerjaanmu. Dan kalau tidak ada kerja dan cambukan, tidak akan ada istal, jerami, pakan, dan gandum. Karena kau selalu mendapat jatah gandum setiap kali aku mampu membelinya, kau harus mengakui itu." "Gandum?" tanya Kuda, telinganya berdiri. "Ya, aku ingat sedikit tentang itu. Ya, aku 182

ingat lebih banyak sekarang. Kau selalu duduk di suatu tempat tinggi di belakang, dan akulah yang selalu berlari di depan, menarikmu dan benda hitam itu. Aku tahu aku yang melakukan semua pekerjaan." "Di musim panas, memang berat pekerjaanmu," kata si kusir. "Bekerja dalam udara panas untukmu dan tempat duduk sejuk untukku. Tapi bagaimana dengan musim dingin, teman lama, ketika kau menjaga tubuhmu tetap hangat dan aku duduk di kursi kusir dengan kakiku terasa seperti es, hidungku terus-menerus seperti dicubit angin dingin, dan tanganku mati rasa sehingga aku nyaris tidak bisa memegang tali kendali?" "Negeri itu keras dan kejam," kata Strawberry. "Tidak ada rumput. Semua batu keras." "Benar sekali, sobat, benar sekali!" kata si kusir. "Dunia itu memang dunia yang keras. Aku selalu berkata batu-batu jalanan itu tidak adil bagi para kuda. London memang begitu. Seperti dirimu, aku juga tidak terlalu menyukainya. Kau kuda desa, dan aku orang desa. Dulu aku biasa bernyanyi dalam kor, ya sungguh, waktu di kampung halaman. Tapi tidak ada penghasilan bagiku di sana." "Oh, ayolah, aku mohon," 183

kata Digory.

"Bisakah kita lanjutkan perjalanan? Sang singa semakin menjauh saja. Dan aku amat sangat ingin bicara dengannya." "Begini, Strawberry," kata si kusir. "Ada sesuatu yang ingin dibicarakan tuan muda ini dengan sang singa, dia yang kaupanggil Aslan itu. Mungkinkah kau membiarkannya mengendaraimu (yang kurasa akan dilakukannya dengan lembut) dan bawa dia ke sana, ke tempat sang singa berada? Aku dan gadis kecil ini akan mengikuti di belakang." "Mengendaraiku?" tanya Strawberry. "Oh, aku ingat sekarang. Itu berarti membiarkannya duduk di punggungku. Aku ingat dulu sekali ada makhluk kecil seperti kalian yang berkaki dua yang biasa melakukan itu. Dia biasa punya bongkahan kecil, keras, dan berwarna putih yang akan diberikannya padaku. Rasanya—oh, lezat sekali, lebih manis daripada rumput." "Ah, benda itu pasti gula," kata si kusir. "Aku mohon, Strawberry," Digory memohon, "kumohon, biarkan aku naik dan bawalah aku ke Aslan." "Yah, aku sih tidak keberatan," kata Kuda. "Bisa dibilang tidak sama sekali. Ayo naik." "Strawberry kau memang teman lama," kata si kusir. "Ayo, Nak, aku akan membantumu." 184

Tak lama kemudian Digory telah berada di punggung Strawberry dan merasa cukup nyaman, karena dia sudah pernah mengendarai kuda tanpa pelana sebelumnya dengan kuda poninya. "Sekarang, bisakah kita cepat-cepat, Strawberry?" tanyanya. "Apakah ada kemungkinan kau kebetulan membawa benda putih yang lezat itu?" tanya Kuda. "Tidak. Sayangnya tidak," jawab Digory. "Yah, mau bagaimana lagi?" kata Strawberry dan berangkatlah mereka. Pada saat itu, bulldog besar yang sejak tadi mengendus dan menatap sangat tajam, berkata: "Lihat! Ternyata ada satu lagi makhluk aneh ini—di sana, di samping sungai, di bawah pepohonan." Kemudian semua hewan menoleh dan melihat Paman Andrew, berdiri bergeming di antara sesemakan rhododendron dan berharap kehadirannya tidak akan diketahui. "Ayo!" kata beberapa suara. "Ayo kita ke sana dan melihatnya." Jadi, sementara Strawberry berlari cepat bersama Digory ke arah lain (Polly dan si kusir kereta mengikuti mereka dengan berjalan kaki) sebagian besar makhluk 185

bergegas menghampiri Paman Andrew dengan auman, gonggongan, geraman, dan berbagai suara ceria penuh minat. Kita harus mundur sedikit dan menjelaskan bagaimana seluruh kejadian ini tampak dari sudut pandang Paman Andrew. Paman Andrew sama sekali mengalami kesan yang berbeda dengan kesan yang dirasakan si kusir kereta, Digory, juga Polly. Karena apa yang kaulihat dan dengar amat sangat bergantung pada di mana posisimu, juga tergantung pada orang yang bagaimanakah dirimu. Sejak hewan-hewan itu pertama kali muncul, Paman Andrew kian mengerut dan masuk ke sesemakan. Dia mengawasi mereka lekat-lekat tentu saja, tapi dia tidak terlalu tertarik melihat apa yang sedang mereka lakukan, lebih untuk melihat apakah mereka akan menyerangnya. Seperti sang penyihir, Paman Andrew luar biasa praktis. Dia bahkan tidak menyadari Aslan memilih satu pasang dari setiap jenis hewan. Yang dia lihat hanyalah, atau setidaknya yang dia pikir dia lihat, ada banyak hewan liar berbahaya yang berkeliaran. Dan dia terus bertanya-tanya kenapa hewan-hewan yang lain tidak melarikan diri dari singa besar itu. Ketika momen besar tiba dan para makhluk 186

berbicara, dia kehilangan keseluruhan inti penting, karena alasan yang agak menarik. Ketika sang singa pertama kali mulai bernyanyi, dulu sekali ketika negeri ini masih sangat gelap, dia telah menyadari suara itu sebuah lagu. Dan dia amat tidak menyukai lagu itu. Lagu itu membuatnya memikirkan dan merasakan halhal yang tidak ingin dia pikir dan rasakan. Kemudian ketika matahari terbit dan dia melihat sang singalah penyanyinya ("hanya singa," seperti katanya pada dirinya sendiri), dia berusaha keras percaya suara itu bukan nyanyian dan memang tidak pernah jadi nyanyian— hanya auman seperti yang akan dikeluarkan singa mana pun di kebun bintang dunia kita. Tentu saja tidak mungkin itu nyanyian, pikirnya, aku pasti hanya mengkhayalkannya. Aku membiarkan saraf-sarafku tidak terkendali. Siapa yang pernah mendengar singa menyanyi? Dan semakin panjang juga indah sang singa bernyanyi, semakin keras Paman Andrew berusaha membuat dirinya percaya dia tidak bisa mendengar apa pun kecuali auman. Sekarang masalah dalam berusaha membuat dirimu lebih bodoh daripada keadaanmu sebenarnya adalah sering kali kau akan berhasil. Paman Andrew pun begitu. Tidak lama kemudian dia tidak 187

mendengar apa pun kecuali auman dalam lagu Aslan. Selanjutnya dia juga tidak bisa mendengar suara lain walaupun dia menginginkannya. Dan ketika akhirnya sang singa berbicara dan berkata, "Narnia, bangkitlah," dia tidak mendengar kata-kata apa pun: dia hanya mendengar geraman. Dan ketika para hewan yang lain berbicara untuk menjawab, dia hanya mendengar gonggongan, geraman, lenguhan, dan lolongan. Dan ketika mereka tertawa—yah, bisa kaubayangkan. Itu momen terburuk bagi Paman Andrew dibandingkan semua kejadian yang sudah lewat. Begitu banyak hewan buas yang lapar dan marah mengeluarkan suara haus darah yang paling mengerikan yang pernah dia dengar sepanjang hidupnya. Kemudian perasaan marah dan ketakutannya makin terguncang ketika dia melihat tiga manusia lain berjalan menuju dataran terbuka untuk menemui hewan-hewan itu. "Dasar orang-orang bodoh!" katanya pada dirinya sendiri. "Sekarang hewan-hewan buas itu akan memakan cincin-cincin ketika mereka menyantap kedua anak itu, dan aku tidak akan pernah bisa pulang lagi. Digory benarbenar anak yang egois! Dan dua orang yang lain juga sama buruknya. Kalau mereka mau 188

membuang nyawa, itu urusan mereka. Tapi bagaimana denganku? Mereka sepertinya tidak memikirkan itu. Tidak ada yang memikirkan-

ku." Akhirnya, ketika kerumunan hewan datang menghampirinya, dia berbalik dan berlari menyelamatkan diri. Dan kini semua orang bisa melihat bahwa udara di dunia muda itu memang sungguh-sungguh berakibat baik bagi si pria tua. Di London dia telah menjadi terlalu renta untuk berlari. Kini, dia berlari dengan kecepatan yang sudah pasti akan membuatnya memenangi perlombaan lari seratus meter di semua sekolah di Inggris. Jas berbuntutnya yang berkibar di belakang menjadi pemandangan bagus. Tapi tentu saja tidak ada gunanya berlari. Banyak hewan di belakangnya yang merupakan pelari hebat. Ini lari pertama dalam hidup mereka dan semua tak sabar menggunakan otot-otot mereka. "Kejar dia! Kejar dia!" mereka berteriak. "Mungkin dialah kebahatan itu! Ayo cepat! Kejar! Halangi dia! Kepung dia! Jangan sampai ketinggalan! Hore!" Dalam beberapa menit beberapa hewan itu sudah mendahului Paman Andrew. Mereka membentuk barisan dan menghalangi jalannya. Yang lain mendesaknya dari belakang. Ke arah 189

mana pun dia melihat teror. Rusa gunung dengan tanduk-tanduk besar dan wajah besar gajah membentenginya. Beruang-beruang dan babi hutan-babi hutan yang gemuk dan serius menggeram di belakangnya. Macan tutul dan macan kumbang yang berpenampilan dingin dan berwajah menyindir (seperti dalam bayangannya) menatapnya dan mengayunkan ekor-ekor mereka. Yang paling menggetarkan baginya adalah banyaknya jumlah mulut yang terbuka. Para hewan sebenarnya membuka mulut karena terengah-engah, tapi Paman Andrew berpikir mereka membuka mulut untuk memakannya. 190

Paman Andrew berdiri gemetaran sambil melemparkan pandangan ke sekelilingnya. Dia tidak pernah membunuh hewan ketika berada dalam keadaan menguntungkan, karena biasanya dia agak takut pada mereka, dan tentu saja bertahun-tahun melakukan percobaan kejam dengan hewan membuatnya semakin membenci dan takut pada mereka. "Nah, Sir," kata Bulldog sangat serius, "kau ini hewan, sayuran, atau mineral?" Itulah yang sebenarnya dikatakan hewan itu, tapi yang bisa didengar Paman Andrew hanyalah, "Gr-rrarrh-ow!"

191

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

11

Digory dan Pamannya Sama-sama dalam Kesulitan

K

AU mungkin berpikir hewan-hewan sangatlah bodoh karena tidak melihat Paman Andrew merupakan makhluk yang sejenis dengan kedua anak itu dan si kusir kereta. Tapi kau harus ingat para hewan belumlah tahu tentang pakaian. Mereka berpikir rok Polly, setelan Norfolk Digory, dan topi bulat si kusir kereta adalah bagian tubuh seperti bulu di tubuh mereka. Mereka bahkan tidak akan tahu ketiga manusia itu berjenis sama kalau Digory, Polly, dan si kusir belum bicara pada mereka dan Strawberry tidak berpikir begitu. Lagi pula Paman Andrew jauh lebih tinggi daripada kedua anak itu dan lebih kurus daripada si kusir kereta. Dia mengenakan pakaian serbahitam kecuali rompi putihnya (yang tidak terlalu putih lagi sekarang). Rambut tebal ber192

ubannya (kini tampak kian berantakan) tidak kelihatan seperti apa pun yang terdapat pada ketiga manusia lain. Jadi wajar saja kalau para hewan kebingungan. Yang paling buruk, Paman Andrew tampaknya tidak bisa bicara. Dia berusaha melakukannya. Ketika Bulldog berbicara padanya (atau, seperti yang disangkanya, pertama menggeram kemudian menggonggong kepadanya) dia mengulurkan tangannya yang gemetar dan tergagap, "Anjing baik, anjing manis." Tapi para hewan tidak bisa mengerti ucapannya seperti dia tidak bisa mengerti ucapan mereka. Mereka tidak mendengar kata-kata apa pun, hanya suara berdesis yang aneh. Mungkin lebih baik kalau mereka tidak mengerti apa-apa, karena tidak ada anjing yang kuketahui, apalagi Anjing yang Bisa Berbicara Narnia, senang dipanggil "Anjing Baik" seperti kau suka bila dipanggil "Pria Kecil". Kemudian Paman Andrew terjatuh dan pingsan. "Nah!" kata Babi Hutan. "Ternyata hanya pohon. Sudah kuduga." (Ingat, mereka belum pernah melihat orang pingsan atau bahkan sesuatu terjatuh.) Bulldog, yang mengendusi seluruh tubuh Paman Andrew, mendongak dan berkata, "Dia 193

hewan. Tentu saja hewan. Dan mungkin jenis yang sama dengan makhluk-makhluk yang tadi." "Aku tidak melihat kemiripannya," kata salah satu beruang. "Hewan tidak akan sekadar berbaring seperti itu. Kita kan hewan dan kita tidak berbaring begitu. Kita berdiri. Seperti ini." Dia berdiri dengan kaki belakangnya, mundur selangkah, tersandung cabang rendah dan terjatuh telentang. "Lelucon ketiga, lelucon ketiga, lelucon ketiga!" kata Jackdaw penuh semangat. "Aku masih berpikir dia sejenis pohon," kata Babi Hutan. 194

"Kalau dia memang pohon," kata beruang yang lain, "mungkin ada sarang lebah di dalamnya." "Aku yakin dia bukan pohon," kata Luak. "Kurasa dia berusaha bicara sebelum dia tergeletak." "Itu hanya suara angin di antara cabangcabangnya," kata Babi Hutan. "Kau tidak bermaksud," kata Jackdaw kepada Luak, "bahwa kau berpikir dia hewan yang bisa bicara, kan? Dia bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun." "Namun, kalian tahu," kata Gajah (gajah betina tentu saja, karena suaminya, bila kau ingat, telah dipanggil untuk rapat dengan Aslan), "namun, kalian tahu, dia mungkin saja memang sejenis hewan. Bukankah gumpalan putih di bagian ujung sini semacam wajah? Dan bisakah lubang-lubang itu mata dan mulut? Tidak ada hidung, tentu saja. Tapi yah— ehem—kita tidak boleh berpikiran sempit. Tidak banyak di antara kita punya sesuatu yang bisa benar-benar disebut sebagai Hidung." Dia melirik belalai panjangnya dengan rasa bangga yang pantas dimaklumi. "Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog. 195

"Gajah benar juga," kata Tapir. "Ah, aku tahu!" kata Keledai ceria. "Mungkin dia hewan yang tidak bisa bicara tapi mengira dia bisa." "Bisakah dia dibuat berdiri?" tanya Gajah berpikir keras. Dia meraih lembut sosok lunglai Paman Andrew dengan belalainya dan mendirikannya dengan salah satu sisi di atas. Sayangnya terbalik sehingga dua setengah sovereign, tiga setengah crown, dan enam pence terjatuh dari sakunya. Tapi tidak ada gunanya. Paman Andrew terjatuh lagi. "Nah kan!" kata beberapa suara. "Dia sama sekali bukan hewan. Dia bahkan tidak hidup." "Aku yakin dia memang hewan," kata Bulldog. "Cium saja dia sendiri." "Penciuman bukan segalanya," kata Gajah. "Lho," kata Bulldog, "kalau kita tidak bisa memercayai hidung kita, apa lagi yang bisa dipercayai?" "Yah, otak mungkin," Gajah menjawab ringan. "Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog. "Yah, kita harus melakukan sesuatu tentang dia," kata Gajah. "Karena mungkin saja dia Kebahatan, dan dia harus ditunjukkan ke 196

Aslan. Bagaimana pendapat sebagian besar kalian? Apakah dia hewan atau sejenis pohon?" "Pohon! Pohon!" kata lusinan suara. "Baiklah," kata Gajah. "Kalau begitu, jika dia memang pohon berarti dia akan mau ditanam. Kita harus menggali lubang." Dua tikus tanah membereskan masalah itu dengan cukup cepat. Ada sedikit perdebatan tentang ujung Paman Andrew yang mana yang harus dimasukkan ke tanah, dan dia nyaris sekali ditanam dengan kepala di bawah. Beberapa hewan berkata kaki-kakinya pasti cabang dan karena itu benda abu-abu dan berbulu lebat (maksudnya kepalanya) pasti akar. Tapi kemudian hewan-hewan lain berkata bahwa bagian ujung yang bercabang dua lebih kotor berlumpur dan lebih menjulur panjang, seperti selayaknya akar. Jadi akhirnya dia ditanam dengan kepala di atas. Ketika mereka menutup lubang dengan tanah, badan Paman Andrew terkubur hingga di atas lututnya. "Dia kelihatan layu sekali," kata Keledai. "Tentu saja dia butuh disiram," kata Gajah. "Kurasa aku bisa bilang (tanpa bermaksud menyinggung siapa pun yang hadir) bahwa mungkin, untuk pekerjaan semacam ini, jenis hidungku—" 197

"Aku sangat keberatan dengan pernyataan itu," kata Bulldog. Tapi Gajah tetap berjalan perlahan ke sungai, mengisi belalainya dengan air, dan kembali untuk mengurus Paman Andrew. Hewan cerdas itu terus melakukan ini sampai bergalon-galon air telah disemprotkan ke Paman Andrew, dan air mengalir dari bagian buntut jas panjangnya seolah dia mandi dengan pakaian lengkap. Akhirnya semprotan air itu menyadarkannya. Dia terbangun dari pingsannya, membuka mata dan melihat. Benar-benar pemandangan yang luar biasa!

198

Tapi kita harus meninggalkan dia untuk merenungkan segala perbuatan jahatnya (kalau dia memang mungkin melakukan sesuatu yang begitu masuk akal seperti itu) dan beralih ke hal-hal yang lebih penting. Strawberry berlari bersama Digory di punggungnya sampai suara hewan-hewan lain tidak terdengar lagi, dan kini grup kecil Aslan dan para anggota dewan yang dipilihnya sudah cukup dekat. Digory tahu dia tidak bisa begitu saja mengganggu pertemuan resmi tersebut, tapi tidak perlu melakukan itu. Hanya dengan satu kata dari Aslan, gajah jantan, gagak-gagak, dan para makhluk sisanya menyingkir ke samping. Digory turun dari kuda dan mendapati dirinya bertatapan muka dengan Aslan. Dan Aslan lebih besar, indah, bersinar keemasan, dan mengerikan daripada perkiraannya. Dia tidak berani menatap langsung matanya yang menakjubkan. "Saya mohon—Pak Singa—Aslan—Sir," kata Digory, "bisakah Anda—bolehkan saya—saya mohon, maukah Anda memberi saya buah ajaib di negeri ini yang bisa menyembuhkan ibu saya?" Digory benar-benar berharap sang singa akan menjawab "Ya". Dia sangat takut sang singa 199

akan menjawab "Tidak". Tapi dia terkejut sekali ketika Aslan tidak melakukan keduanya. "Inilah anak laki-laki itu," kata Aslan, menatap tidak pada Digory, tapi pada anggota dewannya. "Inilah anak laki-laki yang melakukannya." Astaga, pikir Digory, apa yang telah kulakukan? "Putra Adam," kata sang singa. "Ada penyihir jahat di negeri baruku Narnia. Ceritakan kepada para makhluk agung ini bagaimana dia bisa sampai di sini." Lusinan hal berbeda yang bisa dia katakan berkelebat di benak Digory, tapi dia punya akal sehat untuk tidak mengatakan apa pun kecuali kejadian yang sebenar-benarnya. "Aku yang membawanya, Aslan," dia menjawab dengan suara pelan. "Untuk tujuan apa?" "Aku ingin mengeluarkannya dari duniaku sendiri dan mengembalikannya. Aku kira aku sedang membawanya ke negerinya sendiri." "Bagaimana dia bisa tiba di duniamu, Putra Adam?" "Dengan—dengan Sihir." Sang singa tidak mengatakan apa-apa dan Digory tahu ceritanya sudah cukup. 200

"Sihir pamanku, Aslan," katanya. "Dia mengirim kami keluar dari dunia kami dengan cincin-cincin ajaib, setidaknya aku terpaksa pergi karena dia sudah mengirim Polly tanpa persetujuannya, kemudian kami bertemu sang penyihir di tempat bernama Charn dan dia memegangi kami ketika—" "Kau bertemu penyihir itu?" tanya Aslan dengan suara rendah yang nyaris mengandung geraman. "Dia terbangun," kata Digory menyesal. Kemudian wajahnya memucat, "Maksudku, aku membangunkannya. Karena aku ingin tahu apa yang akan terjadi kalau aku memukul bel. Polly tidak mau melakukannya. Bukan salahnya. Aku—aku bertengkar dengannya. Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan itu. Kurasa aku agak terkena mantra tulisan di bawah bel itu." "Benarkah?" tanya Aslan, masih dengan nada sangat rendah dan dalam. "Tidak," kata Digory. "Sekarang aku tahu aku tidak terkena mantra. Aku hanya berpurapura." Ada jeda lama. Dan sepanjang waktu itu Digory berpikir, "Aku sudah mengacaukan segalanya. Sekarang tidak ada kesempatan membawakan apa pun untuk Ibu." 201

Ketika sang singa berbicara lagi, kata-katanya bukanlah untuk Digory. "Kalian lihat, teman-teman," katanya, "bahkan sebelum dunia baru dan bersih yang kuberikan kepada kalian berusia tujuh jam, kekuatan kejahatan telah memasukinya, dibangunkan dan dibawa ke sini oleh Putra Adam ini." Para hewan, bahkan Strawberry, memutar mata mereka ke Digory sampai anak itu berharap tanah akan menelannya. "Tapi janganlah kalian menjadi muram," kata Aslan, masih berbicara pada para makhluk Narnia. "Kejahatan akan sampai pada kejahatan, tapi perjalanannya masih sangat jauh, dan aku akan memastikan yang terburuk hanya akan menimpa diriku sendiri. Sementara itu, marilah kita menyusun peraturan sehingga untuk ratusan tahun tanah ini tetap akan menjadi tanah bahagia di dunia yang bahagia. Dan karena ras Adam telah melakukan kerusakan, ras Adam-lah yang akan membantu memperbaikinya. Mendekatlah, kalian berdua." Kata-kata terakhir ditujukan kepada Polly dan si kusir kereta yang kini telah tiba. Mata dan mulut Polly terbuka lebar, dia menatap lekat Aslan sambil menggenggam erat tangan si kusir. Si kusir melihat sekilas ke sang singa, 202

membuka topi bulatnya, belum ada yang pernah melihatnya tanpa topi itu. Ketika topi telah dilepas, dia tampak lebih muda dan ramah, juga lebih seperti orang desa dan kurang seperti kusir kereta sewaan London. "Nak," kata Aslan kepada si kusir. "Aku telah mengenalmu lama. Apakah kau mengenaliku?" "Yah, tidak, Sir," kata si kusir. "Setidaknya, tidak dengan cara yang biasa. Namun entah bagaimana saya merasa, kalau saya boleh bebas bicara, sepertinya kita sudah pernah bertemu." "Memang benar," kata sang singa. "Kau tahu lebih banyak daripada yang kaukira, dan kau akan hidup untuk mengenalku lebih dekat lagi. Apakah tanah ini memuaskanmu?" "Jamuan yang menyenangkan, Sir," jawaban si kusir. "Apakah kau ingin tinggal di sini selamanya?" "Yah, begini, Sir, saya sudah menikah," kata si kusir. "Saya pikir, kalau istri saya juga berada di sini, kami akan sama-sama tidak mau kembali ke London. Karena kami sebenarnya orang-orang desa." Aslan mendongakkan kepala bersurai lebatnya, membuka mulut, dan menyuarakan sebuah nada panjang, tidak terlalu keras, tapi penuh 203

kekuatan. Ketika mendengarnya, jantung Polly melompat dalam dadanya. Dia yakin suara itu panggilan, dan siapa pun yang mendengarnya akan mau mematuhi dan (terlebih lagi) akan menjadi mampu mematuhi, sebanyak apa pun dunia dan masa yang berada di antaranya. Jadi walaupun Polly dipenuhi rasa takjub, dia tidak benar-benar kaget atau terkejut ketika tiba-tiba wanita muda berwajah ramah dan jujur keluar entah dari mana dan berdiri di sampingnya. Polly langsung tahu dia istri si kusir, dijemput dari dunia kita tidak dengan cincin ajaib yang merepotkan, tapi dengan begitu cepat, sederhana, dan manis seperti burung yang terbang ke sarangnya. "Wanita muda itu sepertinya sedang mencuci karena dia mengenakan celemek, lengan bajunya digulung hingga ke siku, dan ada busa sabun di kedua tangannya. Kalau dia punya waktu untuk mengenakan pakaian terbaiknya (topi terbaiknya dihiasi buah ceri imitasi) dia akan tampak buruk. Begini saja seadanya, dia tampak manis. Tentu saja dia mengira dia sedang bermimpi. Itulah sebabnya dia tidak langsung berlari menuju suaminya dan bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi pada diri mereka. Tapi ketika melihat sang singa, dia tidak merasa cukup 204

yakin ini mimpi, tapi entah bagaimana dia tidak tampak ketakutan. Kemudian dia membungkuk kecil memberi hormat, dengan cara yang masih diketahui beberapa gadis desa pada masa-masa itu. Setelah itu, dia menghampiri suaminya dan melingkarkan tangan ke tangan si kusir, lalu berdiri di sana melihat ke sekelilingnya dengan agak malu-malu. "Anak-anakku," kata Aslan, memaku matanya pada kedua manusia itu, "kalian akan menjadi raja dan ratu pertama Narnia." Mulut si kusir ternganga karena terkejut, wajah istrinya berubah menjadi sangat merah. "Kalian akan memerintah dan memberi nama pada makhluk-makhluk ini, menjaga keadilan

205

di antara mereka, juga melindungi mereka dari musuh-musuh mereka ketika para musuh bangkit. Para musuh itu memang akan bangkit, karena ada penyihir jahat di dunia ini." Dengan kesulitan, si kusir menelan ludah dua-tiga kali dan berdeham. "Maaf, Sir," katanya, "bukannya saya tidak berterima kasih sekali kepada Anda (istri saya pun akan melakukan hal yang sama), tapi saya bukanlah orang yang cocok untuk pekerjaan seperti itu. Begini, saya tidak pernah dapat banyak pendidikan." "Yah," kata Aslan, "bisakah kau menggunakan cangkul, bajak, dan memanen makanan dari bumi?" "Ya, Sir, saya bisa melakukan pekerjaan semacam itu, karena dibesarkan untuk melakukannya." "Bisakah kau memerintah makhluk-makhluk ini dengan lembut dan adil, mengingat bahwa mereka bukanlah budak seperti hewan-hewan bodoh di dunia tempat kau dilahirkan, tapi hewan-hewan yang bisa berbicara dan rakyat bebas?" "Saya mengerti itu, Sir," jawab si kusir. "Saya akan berusaha memperlakukan mereka tanpa membeda-bedakan." 206

"Dan apakah kau akan membesarkan anakanak juga cucu-cucumu untuk melakukan hal yang sama?" "Saya pasti akan berusaha melakukan itu, Sir. Saya akan berusaha sebaik-baiknya: bukankah begitu, Nellie?" "Dan kau tidak akan menjadikan salah satu anakmu sebagai favorit dibanding anak-anakmu yang lain atau dibanding makhluk-makhluk lain, atau membiarkan yang satu membawahi yang lain atau menggunakannya dengan tidak benar?" "Saya tidak akan pernah bisa membiarkan hal seperti itu terjadi, Sir, dan itu kebenaran. Saya akan menghukum mereka bila aku mengetahui mereka melakukan itu," kata si kusir. (Sepanjang percakapan ini suaranya menjadi kian lambat dan kaya. Lebih seperti suara orang desa yang pasti dimilikinya saat dia masih kanak-kanak dan tidak seperti aksen kelas rendahan yang tajam dan cepat.) "Dan jika para musuh datang menantang tanah ini (karena mereka akan datang) lalu ada perang, apakah kau akan jadi yang pertama maju bertempur dan terakhir mengundurkan diri?" "Yah, Sir," kata si kusir sangat lambat, 207

"seseorang tidak akan tahu pasti apa yang terjadi sebelum dia mencobanya. Yang bisa saya katakan adalah saya mungkin akan jadi pria lembek di saat seperti itu. Saya tidak pernah berkelahi kecuali dengan tinju saya. Tapi saya akan berusaha—setidaknya, saya harap saya akan berusaha—memenuhi bagian saya." "Kalau begitu," kata Aslan, "kau akan melakukan segala tindakan yang harus dilakukan seorang raja. Proses penobatanmu akan segera dilakukan. Kau, anak-anakmu, dan cucu-cucumu akan diberkahi, dan beberapa akan menjadi raja-raja Narnia, yang lain akan menjadi rajaraja Archenland yang terletak di pegunungan selatan sana. Dan kau, putri kecil (di sini dia menoleh ke arah Polly) dipersilakan tinggal. Apakah kau sudah memaafkan anak laki-laki itu karena telah menyakitimu di Aula Sosok di istana terlantar Charn yang terkutuk?" "Ya, Aslan, kami sudah berbaikan," jawab Polly. "Bagus kalau begitu," kata Aslan. "Dan sekarang untuk si anak laki-laki itu sendiri."

208

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

12

Petualangan Strawberry

D

IGORY menutup mulutnya rapat-rapat. Perasaannya kian tidak nyaman. Dia berharap, apa pun yang terjadi, dia tidak akan ceroboh atau melakukan apa pun yang konyol. "Putra Adam," kata Aslan. "Apakah kau siap memperbaiki kesalahan yang telah kaulakukan pada negeri terindahku Narnia tepat di hari kelahirannya?" "Yah, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan," kata Digory. "Jadi begini, sang ratu melarikan diri dan—" "Aku tanya, apakah kau siap?" tanya sang singa. "Ya," jawab Digory. Dia sempat punya ide gila untuk menjawab, "Aku akan berusaha membantumu kalau kau berjanji mau menolong ibuku," tapi dia sadar tepat pada waktunya 209

bahwa sang singa bukanlah sejenis makhluk yang bisa kauajak tawar-menawar. Tapi ketika dia berkata "Ya", pikirannya melayang kepada ibunya dan dia mengingat kembali harapanharapan besar yang tadinya dia miliki, dan betapa semuanya akan terbang pergi. Tenggorokannya pun terasa tersumbat dan air mata mengalir deras saat dia merepet: "Tapi aku mohon, aku mohon—maukah kau—bisakah kau memberiku sesuatu yang bisa menyembuhkan ibuku?" Hingga saat itu dia terus menatap kaki besar sang singa dan cakarcakar raksasa yang ada di sana, tapi kini dalam keputusasaan, dia mendongak untuk menatap wajahnya. Yang dia lihat membuatnya sangat terkejut, lebih daripada apa pun di dalam hidupnya. Karena ternyata wajah keemasan itu kini menunduk di dekat wajahnya sendiri dan (yang paling menakjubkan) air mata besar yang berkilauan tampak di mata sang singa. Air mata itu begitu besar dan bercahaya dibanding air mata Digory sehingga sesaat anak itu merasa seolah sang singa pasti lebih sedih karena keadaan ibunya daripada dirinya sendiri. "Anakku, anakku," kata Aslan. "Aku tahu. Kesedihan memang begitu menguasai. Baru kau dan aku yang tahu soal itu di tanah ini. 210

Marilah kita saling membantu. Tapi aku harus memikirkan ratusan tahun hidup Narnia. Sang penyihir yang kaubawa ke dunia ini akan kembali ke Narnia lagi. Tapi itu bisa dicegah. Aku berniat menanam sebuah pohon di Narnia yang akan melindungi Narnia dari penyihir itu selama bertahun-tahun. Supaya tanah ini akan memiliki pagi cerah yang lama sebelum ada awan datang menutupi mataharinya. Kau harus mengambilkan bibit yang bakal menjadi pohon itu untukku." "Ya, Sir," kata Digory. Dia tidak tahu bagaimana caranya tapi merasa sangat yakin kini dia akan bisa melakukan itu. Sang singa menarik napas dalam-dalam, menundukkan kepala lebih rendah dan memberi anak itu kecupan singa. Dalam sekejap Digory merasakan kekuatan dan keberanian baru mengalir ke dalam tubuhnya. "Anakku tersayang," kata Aslan, "aku akan memberitahumu apa yang harus dilakukan. Berputar dan tataplah arah Barat, katakan kepadaku apa yang kaulihat?" "Aku melihat pegunungan yang teramat besar, Aslan," kata Digory. "Aku melihat sungai menuruni tebing-tebing, menjadi air terjun. Dan di balik tebing itu ada bukit-bukit hijau tinggi 211

dengan hutan. Dan di balik semua itu daerahdaerah lebih tinggi yang tampak hampir kelam. Kemudian, jauh sekali, ada gunung-gunung bersalju yang bertumpuk—seperti lukisan Pegunungan Alpen. Dan di belakang semua itu tidak ada apa-apa kecuali cakrawala." "Kau melihat dengan baik," kata sang singa. "Sekarang daratan Narnia berakhir di mana air terjun jatuh, dan sekali kau mencapai ujung tertinggi tebing kau akan keluar dari Narnia dan masuk ke Daerah Barat yang Liar. Kau harus menjelajahi pegunungan itu sampai raenemukan lembah hijau dengan danau biru yang dipagari pegunungan es. Di ujung danau ada bukit hijau yang curam. Di bagian atas bukit itu ada taman. Di tengah taman itu terdapat pohon. Petik sebuah apel dari pohon itu dan bawalah kepadaku." "Ya, Sir," kata Digory lagi. Dia sama sekali tidak punya bayangan bagaimana akan memanjat tebing dan menemukan jalan melewati seluruh pegunungan itu, tapi dia tidak ingin mengatakan itu karena takut akan terdengar seperti sedang membuat-buat alasan. Tapi dia akhirnya berkata, "Aku berharap, Aslan, kau tidak tergesa-gesa. Aku tidak akan mampu pergi ke sana dan kembali dengan cepat." 212

"Anak Adam kecil, kau akan mendapat bantuan," kata Aslan. Dia kemudian berputar menghadap Kuda yang sepanjang waktu ini berdiri diam di samping mereka, mengayunayunkan ekornya untuk mengusir lalat, dan mendengarkan dengan kepala dimiringkan ke salah satu sisi karena percakapan itu agak sulit dimengerti. "Anakku," kata Aslan kepada Kuda, "apakah kau mau menjadi kuda bersayap?" Seharusnya kau melihat bagaimana si kuda mengibaskan surainya dan betapa lubang hidungnya mengembang, juga entakan pelan yang dilakukannya dengan salah satu kaki belakangnya. Jelas sekali dia sangat ingin menjadi kuda bersayap. Tapi dia hanya berkata: "Kalau kauinginkan itu, Aslan—kalau kau benar bersungguh-sungguh—aku tidak tahu kenapa harus aku yang dipilih—aku bukanlah kuda yang sangat pintar." "Bersayaplah. Jadilah ayah untuk semua kuda bersayap," aum Aslan dengan suara yang menggetarkan tanah. "Namamu kini Fledge." Kuda itu mendadak melonjak, seperti yang dilakukannya di hari-hari dulu yang melelahkan ketika dia menarik kereta. Kemudian dia raeringkik. 213

Dia meregangkan lehernya seolah ada lalat menggigiti bahunya dan dia ingin menggaruknya. Kemudian, seperti ketika para hewan muncul dari tanah, keluar dari bahu Fledge sayap-sayap yang melebar dan tumbuh, lebih besar daripada sayap-sayap elang, lebih besar daripada sayap-sayap angsa, lebih besar daripada sayap-sayap malaikat di jendela gereja. Sayap Fledge berwarna cokelat kemerahan tembaga dan berkilau. Dia mengibaskan kedua sayap itu kuat-kuat dan melompat ke udara. Sekitar enam meter di atas Aslan dan Digory dia mendengus, meringkik, dan mengangkat kaki 214

depannya. Kemudian setelah mengelilingi mereka sekali, dia mendarat di bumi dengan keempat kakinya, tampak canggung dan terkejut, tapi luar biasa bahagia. "Apakah menyenangkan rasanya, Fledge?" tanya Aslan. "Luar biasa rasanya, Aslan," kata Fledge. "Apakah kau bersedia membawa putra Adam kecil ini di punggungmu menuju lembah gunung yang kuceritakan tadi?" "Apa? Sekarang? Saat ini juga?" tanya Strawberry—atau Fledge, begitulah kita harus memanggilnya sekarang—"Hore! Ayolah, makhluk kecil, aku sudah pernah membawa makhluk sepertimu di punggungku. Dulu, dulu sekali. Ketika ada lapangan hijau dan gula." "Apa yang sedang dibisikkan dua putri Hawa?" tanya Aslan, berbalik mendadak sekali ke arah Polly dan istri si kusir, yang sudah mulai akrab. "Kalau Anda tidak keberatan, Sir," jawab Ratu Helen (karena itulah nama Nelle si istri kusir sekarang), "saya rasa gadis kecil ini juga ingin pergi, kalau itu tidak menyusahkan." "Bagaimana pendapat Fledge tentang hal ini?" tanya sang singa. "Oh, aku tidak keberatan harus membawa 215

dua orang, apalagi keduanya kecil," jawab Fledge. "Tapi kuharap Gajah tidak mau ikut juga." Gajah sama sekali tidak berminat, lalu raja baru Narnia membantu kedua anak itu menaiki Fledge. Lebih tepatnya, dia mengangkat tubuh Digory dengan kasar tapi meletakkan Polly dengan lembut dan anggun di punggung kuda, seolah gadis cilik itu terbuat dari keramik dan mudah pecah. "Nah, mereka sudah siap, Strawberry—ah maksudku, Fledge. Ini benar-benar tidak terduga." "Jangan terbang terlalu tinggi," pesan Aslan. "Jangan mencoba melewati puncak gununggunung es. Awasi baik-baik lembah-lembah, daerah-daerah hijau, terbanglah melewati tempat-tempat itu. Akan selalu ada jalan tembus. Dan sekarang, pergilah dengan restuku." "Oh, Fledge!" kata Digory, mencondongkan tubuh ke depan untuk menepuk lembut leher mengilap kuda itu. "Ini menyenangkan. Berpeganglah erat padaku, Polly." Detik berikutnya daratan berada jauh di bawah mereka dan tampak berputar-putar ketika Fledge, seperti burung dara raksasa, berputar sekali-dua kali sebelum memulai penerbangan jauh ke arah baratnya. Saat mencoba 216

melihat ke bawah, Polly nyaris tidak bisa melihat sang raja dan ratu, bahkan Aslan hanyalah tampak seperti titik kuning cerah di hamparan rumput hijau. Tak lama kemudian angin menerpa wajah mereka dan sayap-sayap Fledge mengepak dengan ritme teratur. Seluruh Narnia, berbagai warna dari ladang, bebatuan, bunga heather, dan beragam jenis pohon terhampar di bawah mereka, sungai meliuk melewatinya seperti pita perak. Belumbelum mereka sudah bisa melihat bagian puncak perbukitan rendah yang terletak di arah utara di sebelah kanan mereka. Di balik perbukitan itu tanah perawan yang luas berlekuklekuk naik-turun hingga bertemu horison. Di sebelah kiri mereka pegunungannya lebih tinggi, tapi terkadang ada celah di antara hutan cemara yang memberimu pemandangan sekilas daratan selatan yang terhampar setelahnya. Daratan yang tampak begitu biru dan nun jauh di sana. "Pasti Archenland ada di sana," kata Polly. "Ya, tapi lihat di depan!" kata Digory. Karena kini tebing-tebing besar penghalang berdiri di depan dan mereka nyaris dibutakan sinar matahari yang berdansa di permukaan air terjun besar. Di sinilah sungai menggeram 217

dan mengalir deras turun menuju Narnia dari asalnya di daratan-daratan barat yang tinggi. Mereka kini sudah terbang sangat tinggi sehingga gemuruh air terjun itu hanya bisa terdengar sebagai suara pelan yang tipis, tapi mereka belumlah cukup tinggi untuk bisa terbang melewati bagian puncak tebing-tebing. "Kita harus sedikit berzig-zag di sini," kata Fledge. "Berpeganglah erat-erat." Dia mulai terbang ke kiri dan ke kanan, semakin tinggi pada setiap belokan. Udara terasa kian mendingin dan mereka mendengar pekikan elang-elang jauh di bawah mereka. "Wah, lihat! Lihat ke belakang," kata Polly. Di sana mereka bisa melihat seluruh lembah Narnia terhampar hingga menyentuh kilauan laut, tepat sebelum langit timur. Dan kini mereka sudah begitu tinggi sehingga bisa melihat garis-garis tegas sosok pegunungan yang tampak kecil di balik tanah perawan barat laut, juga daratan yang tampak seperti bentangan pasir jauh di selatan. "Kalau saja ada seseorang yang bisa memberitahu kita apa saja tempat-tempat itu," kata Digory. "Tapi kurasa tempat-tempat itu memang belum ada," kata Polly. "Maksudku, belum ada 218

219

orang di sana, dan belum ada yang terjadi di sana. Dunia ini baru dimulai hari ini." "Memang, tapi orang-orang pasti akan sampai ke sana," kata Digory. "Lalu mereka akan punya sejarah, ya kan?" "Yah, untunglah mereka belum punya sejarah sekarang," kata Polly. "Karena tidak ada yang bisa benar-benar mempelajari sejarah. Segala pertempuran, tanggal-tanggal, dan hal-hal membosankan itu." Kini mereka berada di atas tebing-tebing dan dalam beberapa menit kemudian dataran lembah Narnia sudah hilang dari jangkauan pandangan. Mereka terbang di atas daerah liar dengan perbukitan curam dan hutan-hutan gelap, masih dengan mengikuti aliran sungai. Sosok samar gunung-gunung yang luar biasa besar muncul di depan. Tapi matahari kini tepat setinggi mata para pengelana sehingga mereka tidak bisa melihat dengan benar-benar jelas ke arah sana. Tapi kemudian matahari terbenam lebih rendah dan lebih rendah lagi hingga langit barat menjelma menjadi kuali raksasa penuh emas leleh. Akhirnya matahari pun tenggelam di balik puncak bergerigi yang berdiri membatasi cahaya, puncaknya tampak setajam dan sedatar seolah potongan karton. 220

"Tidak terlalu hangat di atas sini," kata Polly. "Dan sayap-sayapku sudah mulai terasa sakit," kata Fledge. "Tidak ada tanda-tanda lembah dengan danau, seperti yang dikatakan Aslan. Bagaimana kalau kita turun dan mencari tempat yang enak untuk menginap? Sepertinya kita tidak akan mencapai tempat itu malam ini juga." "Ya, lagi pula sepertinya ini waktunya makan malam, kan?" kata Digory. Jadi Fledge merendahkan terbangnya. Ketika mereka sudah lebih dekat dengan daratan dan berada di antara perbukitan, udara menghangat dan setelah berjalan berjam-jam tanpa mendengar apa pun kecuali kepakan sayap Fledge, senang rasanya bisa mendengar suara-suara daratan yang familier lagi—suara percikan air sungai di dasar bebatuannya dan derikan pepohonan yang ditiup angin sepoi-sepoi. Wangi hangat dan nyaman tanah, rumput, dan bunga yang telah disinari mentari mencapai hidung mereka. Akhirnya Fledge mendarat. Digory berputar turun kemudian membantu Polly turun dari punggung Fledge. Keduanya senang bisa meregangkan kaki kaku mereka. Lembah tempat mereka berada sekarang ber221

ada di tengah pegunungan. Tebing-tebing tinggi bersalju, yang salah satunya tampak semerah mawar karena memantulkan sinar matahari terbenam, menjulang di atas mereka. "Aku lapar," kata Digory. "Kalau begitu, makanlah," kata Fledge melahap semulut penuh rumput. Kemudian dia mendongak—masih sambil mengunyah, ujungujung rumput muncul di setiap sisi bibirnya seperti kumis—dan berkata, "Ayolah, kalian berdua. Tak usah malu-malu. Ada cukup banyak untuk kita semua." "Tapi kami tidak bisa makan rumput," kata Digory. "H'm, h'm," kata Fledge berbicara dengan mulut penuh. "Yah—h'm—kalau begitu aku tidak tahu apa yang harus kalian makan. Padahal rumput ini lezat sekali." Polly dan Digory bertukar pandangan bingung. "Yah, aku sih yakin seseorang mungkin sudah menyiapkan makanan kita," kata Digory. "Aku yakin Aslan akan melakukan itu kalau saja kau memintanya tadi," kata Fledge. "Apakah tidak mungkin dia sudah tahu tanpa diminta?" tanya Polly. "Aku tidak ragu dia pasti sudah tahu," kata 222

kuda itu (masih dengan mulut penuh). "Tapi aku juga punya dugaan dia lebih suka bila kau meminta terlebih dahulu." "Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?" tanya Digory. "Aku yakin aku tidak tahu," kata Fledge. "Kecuali kau mau mencoba rumput ini. Siapa tahu kau akan menyukainya, lebih daripada dugaanmu." "Oh, jangan konyol," kata Polly, mengentakkan kaki. "Tentu saja manusia tidak bisa raakan rumput, sama seperti kau tidak bisa makan daging domba." "Kumohon jangan sebut-sebut daging domba atau semacamnya," kata Digory. "Kau bakal membuat keadaan lebih buruk." Digory bilang sebaiknya Polly pulang sendiri dengan cincinnya supaya bisa makan di sana. Dia sendiri tidak bisa melakukan itu karena telah berjanji akan pergi langsung memenuhi permintaan Aslan. Lagi pula kalau dia muncul lagi di rumah, apa pun bisa terjadi untuk mencegahnya kembali ke sini. Tapi Polly bilang dia tidak akan meninggalkannya sendiri sehingga Digory pun memuji Polly baik sekali. "Ah iya," kata Polly, "aku masih punya kantong berisi sisa permen toffee di jaketku. 223

Pastinya itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali." "Jauh lebih baik," kata Digory. "Tapi berhati-hatilah memasukkan tangan ke sakumu, jangan sampai cincinnya tersentuh." Ini tindakan yang sulit dan butuh ketelitian namun akhirnya mereka berhasil melakukannya. Kantong kertas kecil itu sudah tergencet dan lengket ketika mereka mengeluarkannya, jadi sekarang mereka terpaksa merobek dan membersihkan kantong kertas yang menempel ke permen, bukannya tinggal mengeluarkan permen dari kantong. Beberapa orang dewasa (kau tahu sendiri betapa mereka bisa begitu ributnya hanya karena hal-hal seperti ini) akan lebih memilih tidak makan malam sama sekali daripada memakan permen-permen toffee itu. Masih ada sembilan permen di dalam kantong. Digory-lah yang punya ide cemerlang untuk membagi masing-masing empat dan menanam toffee kesembilan. Dia bilang, "Kalau batang besi dari lampu tiang berubah menjadi pohon lampu kecil, bisa saja permen ini jadi pohon toffee, kan?" Jadi mereka menggali lubang kecil di tanah yang berumput itu dan menanam permen tersebut. Kemudian mereka memakan bagian masing-masing, melakukannya selama 224

mungkin yang mereka bisa. Makan malam ini menyedihkan sekali, bahkan dengan semua kertas yang mau tidak mau ikut termakan oleh mereka. Setelah menyelesaikan makan malamnya yang luar biasa, Fledge berbaring. Kedua anak itu menghampirinya dan berbaring di sisi yang berbeda, bersender di tubuh hangat kuda tersebut. Lalu ketika Fledge melebarkan sayapnya di atas Digory dan Polly, mereka merasa cukup nyaman dan hangat. Saat bintang-bintang muda yang terang keluar di dunia baru itu, mereka membicarakan segalanya: tentang betapa Digory berharap mendapatkan sesuatu untuk ibunya dan tentang bagaimana dia malah dikirim untuk memenuhi permintaan Aslan. Kemudian mereka akan saling mengulangi semua tanda

225

yang menunjukkan tempat yang mereka cari— danau biru dan bukit dengan taman di atasnya. Percakapan barulah memelan karena mereka mulai mengantuk, ketika mendadak Polly duduk dengan mata terbuka lebar dan berkata, "Sstt!" Mereka bertiga memasang telinga setajam mungkin. "Mungkin hanya suara pohon yang ditiup angin," kata Digory akhirnya. "Aku tidak yakin," kata Fledge. "Yah pokoknya—tunggu! Suara itu terdengar lagi. Demi Aslan, memang ada sesuatu." Kuda itu bangkit dengan suara keras dan lompatan besar, Digory dan Polly sudah lebih dulu berdiri. Fledge berlari kecil ke sana kemari, mengendus-endus dan meringkik. Kedua anak itu berjingkat-jingkat ke kiri dan ke kanan, memeriksa ke balik setiap semak dan pohon. Mereka terus menduga mereka telah melihat sesuatu, bahkan ada satu saat ketika Polly yakin sekali dia telah melihat sosok gelap tinggi berjalan cepat menjauh ke arah barat. Tapi mereka tidak menemukan apa pun dan akhirnya Fledge berbaring lagi dan kedua anak itu kembali menyelimuti diri (kalau penggunaan kata ini memang tepat) di bawah sayapnya. 226

Mereka pun langsung tertidur. Fledge terjaga lebih lama, menggerakkan telinga maju-mundur dalam kegelapan dan terkadang kulitnya gemetar sedikit seolah ada lalat mendarat di tubuhnya, tapi akhirnya dia pun terlelap.

227

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

13

Pertemuan Tak Terduga

B

ANGUN, Digory, bangun, Fledge," terdengar suara Polly. "Permen yang kita tanam semalam sudah menjadi pohon toffee. Pagi ini juga indah sekali." Sinar rendah matahari pagi mengalir membanjiri hutan, rerumputan tampak kelabu karena embun, dan sarang labah-labah seperti perak. Tepat di sebelah mereka, berdiri pohon kecil berbatang cokelat tua sekali, kira-kira seukuran pohon apel. Dedaunannya keputihan dan seperti kertas, seperti tanaman bernama honesty. Pohon itu dipenuhi buah-buah cokelat kecil yang kelihatan seperti kurma. "Hore!" kata Digory. "Tapi aku akan berenang dulu." Dia bergegas melewati satu atau dua semak berbunga menuju tepi sungai. Apakah kau pernah berenang di sungai gunung 228

yang mengalir deras seperti air terjun rendah di atas bebatuan merah, biru, dan kuning yang disinari matahari? Di laut rasanya juga sama nyamannya, dalam beberapa hal malah nyaris lebih baik. Tentu saja, dia harus berpakaian lagi tanpa mengeringkan tubuh dulu, tapi itu bukan masalah. Ketika dia kembali, gantian Polly yang turun ke sungai dan berenang. Setidaknya itulah yang dia bilang dia lakukan, tapi kita tahu dia bukanlah perenang yang baik dan mungkin lebih baik tidak terlalu banyak bertanya. Fledge mengunjungi sungai juga, tapi dia hanya berdiri di tengah aliran air, menunduk cukup lama untuk meminum air, kemudian mengibaskan surainya dan meringkik beberapa kali. Polly dan Digory kemudian sibuk dengan pohon toffee. Buahnya lezat, tidak benar-benar seperti toffee—yang pasti lebih lembut dan berair—tapi seperti buah yang mengingatkan kita akan toffee. Fledge juga mendapatkan sarapan yang menyenangkan. Dia mencoba salah satu buah toffee dan menyukainya, tapi berkata dia lebih ingin makan rumput pada jam sepagi itu. Lalu dengan sedikit enggan kedua anak itu naik kembali ke punggungnya dan perjalanan hari kedua pun dimulai. 229

Perjalanan kali ini lebih ringan daripada kemarin, sebagian karena semua orang merasa begitu segar, dan sebagian karena matahari yang telah terbit berada di belakang mereka, sebab tentu saja, semua kelihatan lebih indah ketika cahaya berada di belakangmu. Perjalanan itu menyenangkan sekali. Gunung-gunung besar bersalju berdiri di atas mereka di setiap arah. Lembah-lembahnya, jauh di bawah mereka, tampak begitu hijau, dan semua aliran air yang tercurah dari sungai es menuju sungai utama tampak begitu biru, seolah mereka sedang terbang di atas perhiasan raksasa. Mereka sebenarnya ingin bagian petualangan ini berlangsung lebih lama. Tapi tak lama kemudian mereka semua mengendus-endus udara dan berkata, "Apa ini?" dan "Apakah kau mencium sesuatu?" dan "Dari mana asalnya?" Karena saat itu tercium wangi surgawi, begitu hangat dan keemasan, yang seolah berasal dari buah-buah paling lezat dan bunga-bunga paling indah di dunia, mendatangi mereka dari suatu tempat di depan. "Wangi ini datang dari lembah dengan danau itu," kata Fledge. "Kau benar," kata Digory. "Dan lihat! Ada bukit hijau di sisi jauh danau itu. Lihat, betapa biru airnya." 230

"Pasti itu tempatnya," kata mereka bertiga. Fledge terbang kian rendah dalam putaran besar. Puncak-puncak berlapiskan es berdiri semakin tinggi di atas mereka. Udara kian terasa hangat dan manis setiap detiknya, begitu manis sehingga hampir bisa membawa air mata ke matamu. Fledge kini melayang dengan kedua sayapnya terbentang diam di setiap sisi, kakikakinya bersiap mencengkeram tanah. Bukit hijau yang terjal berkelebat di sekeliling mereka. Sedetik kemudian dia mendarat pada salah satu tanjakannya, dengan agak canggung. Ke231

dua anak itu terjatuh dari pundak Fledge, mendarat tanpa terluka pada rumput hangat dan tebal, lalu berdiri sambil sedikit terengah. Mereka berada di tiga perempat jalan menuju puncak bukit, langsung memutuskan untuk memanjat ke sana. (Kurasa Fledge tidak akan bisa melakukan ini tanpa kedua sayapnya untuk menyeimbangkan tubuh dan memberinya bantuan gerakan terbang sekali-sekali.) Di sekeliling bagian paling atas bukit ada dinding tumbuhan hijau yang tinggi. Di dalam dinding itu, pepohonan tumbuh. Cabang-cabang pepohonan itu bergantungan di atas dinding, dedaunan yang terlihat di cabang-cabang tersebut tidak hanya hijau, tapi juga biru dan keperakan saat angin mengembus. Ketika para pengelana mencapai puncak, mereka nyaris berjalan mengelilingi dinding hijau itu sebelum akhirnya menemukan pintu gerbang: gerbangnya tinggi dan terbuat dari emas, tertutup rapat, dan menghadap ke arah timur. Hingga saat ini kurasa Fledge dan Polly berpikir mereka akan masuk ke sana bersama Digory. Tapi pikiran mereka itu berubah. Kau tidak akan pernah melihat tempat yang tampak begitu tertutup. Hanya secara sekilas, kau akan langsung bisa melihat tempat itu milik sese232

orang. Hanya orang bodoh yang bermimpi masuk kecuali dia telah dikirim ke sana untuk urusan yang sangat khusus. Digory sendiri langsung mengerti teman-temannya tidak akan dan tidak bisa masuk bersamanya. Dia melanjutkan berjalan menghampiri gerbang sendirian. Ketika dia sampai di sana dia melihat katakata ditulis di emas dengan huruf-huruf perak. Kata-katanya kira-kira seperti ini: Masuklah melalui gerbang emas atau tidak sama sekali, Ambil buahku untuk orang lain atau dirimu sendiri, Karena bagi mereka yang mencuri atau memanjat dindingku Akan mengetahui isi hati mereka dan menemukan pilu. Ambil buahku untuk orang lain, kata Digory kepada dirinya sendiri. Yah, itulah yang ingin kulakukan. Kurasa itu berarti aku sama sekali tidak boleh memakannya untuk diriku sendiri. Aku tidak mengerti kata-kata di barisan terakhir. Masuklah melalui gerbang emas. Yah, siapa yang mau memanjat dinding kalau kita bisa masuk lewat gerbang? Tapi bagaimana 233

cara membuka gerbang ini? Dia meletakkan tangannya ke pintu gerbang dan daun pintunya langsung berayun terbuka, menyajikan jalan masuk, bergerak dengan engselnya tanpa suara sedikit pun. Kini begitu dia bisa melihat tempat di dalamnya, taman itu tampak semakin eksklusif daripada apa pun yang pernah dilihatnya. Dia berjalan masuk tanpa suara sambil melihat ke sekelilingnya. Segalanya begitu senyap di dalam. Bahkan air mancur yang berdiri di tengah taman hanya menimbulkan suara samar. Wangi yang menyenangkan mengelilinginya, tempat itu begitu bahagia tapi juga sangat serius. Dia langsung tahu yang mana pohon yang benar, sebagian karena pohon itu berdiri tepat di tengah-tengah taman, dan sebagian karena apel-apel besar keperakan yang tumbuh di sana begitu berkilauan serta menebarkan cahaya tersendiri pada tempat-tempat berbayang yang tidak tercapai sinar matahari. Dia berjalan lurus menghampiri pohon tersebut, memetik apel, kemudian memasukkannya ke saku dada jaket Norfolk-nya. Tapi dia tidak bisa mencegah dirinya memandangi buah itu dan mengendusnya sebelum memasukkannya ke saku. Seharusnya dia tidak melakukan itu. Rasa 234

haus dan lapar yang mengerikan langsung menguasainya dan dia jadi ingin sekali merasakan buah tersebut. Cepat-cepat dia menyimpannya ke saku, tapi masih banyak buah yang lain. Apakah salah untuk mencicipi salah satunya? Lagi pula, pikirnya, peringatan di gerbang itu mungkin saja bukan benar-benar perintah, bisa jadi itu hanya nasihat—dan siapa yang peduli pada nasihat? Atau bahkan kalaupun itu memang perintah, apakah memakan sebuah apel bakal berarti melanggarnya? Dia telah mematuhi bagian tentang mengambil satu untuk "orang lain". Sementara berpikir tentang semua ini, kebetulan dia mendongak dan melihat ke antara cabang-cabang yang menjulang hingga bagian atas pohon itu. Di sana, pada cabang di atas kepalanya, burung menakjubkan bersarang. Aku menggunakan kata "bersarang" karena dia tampak nyaris tertidur, tapi tidak juga. Segaris tipis pada kelopak salah satu matanya terbuka. Burung itu lebih besar daripada elang, dadanya jingga, kepalanya dimahkotai bulu-bulu merah, dan ekornya ungu. "Dan ini jelas-jelas menunjukkan," kata Digory setelahnya ketika dia menceritakan kisah ini kepada orang lain, "bahwa kau tidak bisa 235

236

tidak terlalu berhati-hati di tempat-tempat ajaib ini. Kau tidak akan pernah tahu apa yang sedang memerhatikanmu." Tapi kurasa apa pun yang terjadi Digory tidak akan mengambil apel itu untuk dirinya sendiri. Hal-hal seperti Janganlah Kau Mencuri, menurutku tertanam jauh lebih dalam di kepala anak-anak lelaki di masa-masa itu daripada sekarang. Tetap saja, kita tidak pernah bisa yakin. Digory baru saja hendak berbalik menuju gerbang masuk ketika dia berhenti dan melihat ke sekeliling untuk yang terakhir kalinya. Dia terkejut luar biasa. Dia tidaklah sendirian. Di sana, hanya beberapa meter dari dirinya, berdiri sang penyihir. Dia baru saja melempar sisa bagian tengah apel yang dimakannya. Air buah itu ternyata lebih gelap daripada dugaanmu dan meninggalkan noda mengerikan di sekeliling mulutnya. Digory langsung menebak dia telah memanjat dinding tumbuhan. Dan dia mulai melihat mungkin kalimat terakhir pada gerbang tadi ternyata ada artinya, tentang mendapatkail keinginan hatimu dan mendapatkan kepiluan di saat yang sama. Karena sang penyihir tampak lebih kuat dan bangga daripada sebelumnya, dan bahkan entah bagaimana, penuh kemenangan. Tapi wajahnya pucat seperti mayat, seputih garam. 237

Semua hal itu berkelebat sekaligus dalam kepala Digory, kemudian dia beranjak dan berlari menuju gerbang secepat yang bisa dilakukannya. Sang penyihir mengikutinya. Segera setelah dia berada di luar, gerbang tertutup sendiri di belakangnya. "Cepat, naik ke kuda, Polly! Ayo, Fledge." Sang penyihir telah memanjat dinding, atau melompatinya, dan sudah berada dekat di belakangnya lagi. "Tetap di situ," teriak Digory, berbalik untuk bertatapan dengannya, "atau kami semua akan menghilang. Jangan mendekat barang satu sentimeter pun." "Anak bodoh," kata sang penyihir. "Kenapa kau lari dariku? Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kalau kau tidak berhenti dan mendengarkanku sekarang, kau akan kehilangan pengetahuan yang bisa membuatmu bahagia seumur hidup." "Yah, aku tidak mau mendengarnya, trims," kata Digory. Padahal itu tidak benar. "Aku tahu kesulitan apa yang membawamu ke sini," sang penyihir melanjutkan. "Karena akulah yang berada di dekatmu semalam di hutan dan mendengar semua kegalauanmu. Kau telah memetik buah di taman tadi. Kini kau membawanya di sakumu. Dan kau akan mem238

bawanya kembali, tanpa merasakannya, kepada si singa. Untuk dimakan olehnya, untuk digunakan olehnya. Kau begitu polos! Apakah kau tahu buah apa itu? Aku akan memberitahumu. Buah itu apel kebeliaan, apel kehidupan. Aku tahu, karena aku telah mencicipinya, dan aku sudah merasakan begitu banyak perubahan pada diriku sehingga aku tahu aku tidak akan menua atau mati. Makan buah itu, Nak, makanlah. Lalu kau dan aku akan bersamasama hidup selamanya, menjadi raja dan ratu untuk seluruh dunia ini—atau duniamu, kalau kita memutuskan kembali ke sana." "Tidak, terima kasih," kata Digory, "aku tidak tahu apakah aku akan sangat peduli untuk hidup terus sementara semua orang yang kukenal meninggal. Lebih baik aku hidup dengan jangka waktu normal, mati, dan pergi ke surga." "Tapi bagaimana dengan ibumu, kau selalu bersikap seolah sangat menyayanginya?" "Apa hubungannya dia dengan semua ini?" tanya Digory. "Tidakkah kaulihat, bodoh, bahwa satu gigitan apel itu saja bakal bisa menyembuhkannya? Kau telah memilikinya di sakumu. Hanya ada kita di sini dan sang singa jauh di tempat 239

lain. Gunakan sihirmu dan kembalilah ke duniamu sendiri. Semenit kemudian kau bisa berada di samping tempat tidur ibumu, memberinya buah itu. Lima menit kemudian kau akan melihat rona wajahnya kembali. Dia akan berkata kepadamu rasa sakit yang dideritanya telah hilang. Tak lama kemudian dia akan bilang kepadamu dia merasa lebih kuat. Lalu dia akan tertidur—pikirkan itu: berjam-jam tidur nyenyak yang alami, tanpa rasa sakit, tanpa obat-obatan. Hari berikutnya semua orang akan berkata betapa luar biasa kesembuhannya. Tak lama setelah itu dia akan cukup sehat kembali. Semua akan baik-baik lagi. Rumahmu akan bahagia lagi. Kau akan kembali menjadi seperti anak laki-laki lain." "Oh!" Digory terperangah seolah dia telah dilukai, dan meletakkan tangan di kepala. Karena kini dia tahu pilihan paling buruk ada di hadapannya. "Apa yang telah dilakukan sang singa untukmu sehingga kau rela menjadi budaknya?" tanya sang penyihir. "Apa yang bisa dilakukannya padamu setelah kau kembali ke duniamu sendiri? Dan apa yang akan ibumu pikir kalau saja dia tahu kau bisa saja menghilangkan rasa sakitnya, mengembalikan hidupnya, dan 240

menyelamatkan hati ayahmu dari rasa sedih, tapi kau tidak melakukan itu—bahwa kau lebih memilih memenuhi permintaan seekor binatang liar di dunia asing yang bahkan tidak ada hubungannya denganmu?" "Me-menurutku dia bukan binatang liar," kata Digory dengan suara yang seolah tertahan. "Dia—entahlah—" "Kalau begitu dia sesuatu yang lebih buruk," kata sang penyihir. "Lihatlah apa yang belumbelum sudah dilakukannya kepadamu, lihatlah betapa dia telah membuatmu tidak berhati. Itulah ulahnya kepada semua orang yang rnendengarkannya. Kau menjadi anak lelaki yang kejam dan tak berbelas kasih! Kau lebih memilih membiarkan ibumu sendiri mati daripada—" "Oh, diamlah," kata Digory sebal, masih dengan suara yang sama. "Kaupikir aku tidak menyadari itu? Tapi aku—aku sudah berjanji." "Ah, tapi kau tidak tahu apa yang kaujanjikan. Dan tidak ada seorang pun di sini yang bisa mencegahmu." "Justru ibuku sendiri," kata Digory, agak sulit baginya untuk mengucapkan kata-kata itu, "tidak akan menyukainya—dia amat tegas soal menepati janji—juga soal mencuri—dan 241

hal-hal seperti itu. Dia akan melarangku melakukannya—langsung tanpa ragu-ragu—kalau saja dia ada di sini." "Tapi dia tidak akan pernah tahu," kata si penyihir, berbicara dengan nada yang begitu manis sehingga kau bakal terkejut seseorang dengan wajah begitu kejam bisa berbicara seperti itu. "Kau tidak akan memberitahunya bagaimana cara kau mendapatkan apel itu. Ayahmu juga tidak perlu tahu. Tidak seorang pun di duniamu perlu tahu apa pun tentang seluruh cerita ini. Kau tidak perlu membawa pulang gadis kecil itu pulang, ya kan?" Di situlah sang penyihir membuat kesalahan fatal. Tentu saja Digory tahu Polly bisa dengan mudah pergi dengan cincinnya sendiri seperti dirinya. Tapi tampaknya sang penyihir tidak tahu soal itu. Dan kekejaman saran meninggalkan Polly di dunia itu mendadak membuat segala hal yang sudah dikatakan sang penyihir kepadanya terdengar begitu salah dan hampa. Dan bahkan dalam selimut kabut kesedihan, kepala Digory mendadak menjadi begitu jernih, dan dia berkata (dengan nada suara yang berbeda dan lebih keras): "Tunggu dulu, sebenarnya apa pedulimu dengan semua ini? Kenapa mendadak kau begitu 242

memerhatikan ibuku? Apa untungnya buatmu? Apa permainanmu?" "Bagus, Digory," bisik Polly di telinganya. "Cepat! Kita harus pergi sekarang." Polly tidak berani berkata apa-apa sepanjang argumen itu karena, kau harus mengerti, bukan ibunya yang sedang sekarat. "Ayo naik kalau begitu," kata Digory, mengangkat Polly ke punggung Fledge kemudian ikut naik ke sana secepat yang dia biasa. Sang kuda terbang membentangkan sayapnya. "Pergilah kalau begitu, dasar bodoh," teriak sang penyihir. "Ingatlah aku, Nak, saat kau berbaring tua, lemah, dan sekarat. Ingatlah bagaimana kau membuang begitu saja kesempatan mendapatkan kemudaan abadi! Tidak akan ada lagi tawaran itu untukmu." Mereka sudah terlalu tinggi sehingga mereka hanya bisa mendengar suara sang penyihir. Namun sang penyihir pun tidak membuat waktu untuk mendongak dan menatap kepergian mereka. Mereka melihatnya berjalan ke arah utara, menuruni turunan bukit. Mereka memulai perjalanan itu pagi-pagi sekali dan kejadian di taman tidaklah memakan waktu lama, sehingga Fledge dan Polly samasama berkata mereka dapat dengan mudah 243

tiba di Narnia sebelum malam menjelang. Digory tidak mengucapkan apa-apa sepanjang perjalanan pulang, Fledge dan Polly pun tidak berani mengajaknya bicara. Digory merasa sangat sedih dan tidak selalu yakin dia telah melakukan hal yang benar. Tapi setiap kali dia mengingat air mata berkilau pada mata Aslan, keraguan hilang dari hatinya. Sepanjang hari Fledge terbang mantap dengan sayap-sayap yang tidak lelah, menuju timur dengan mengikuti aliran sungai, melalui pegunungan dan melewati perbukitan yang ditutupi hutan liar, kemudian melintasi air terjun besar, lalu turun, dan turun, menuju hutanhutan Narnia yang ditutupi bayangan tebing raksasa, hingga akhirnya, ketika langit memerah karena matahari terbenam di belakang mereka, dia melihat tempat banyak makhluk berkumpul di pinggir sungai. Dan tak lama kemudian dia bisa melihat Aslan di antara makhluk-makhluk itu. Fledge melayang turun, merentangkan keempat kakinya, merapatkan sayap-sayap, dan mendarat sambil berderap perlahan. Kemudian dia berhenti. Digory dan Polly turun dari punggungnya. Digory melihat semua hewan, dwarf, satyr, nymph (=peri alam yang cantik), dan makhluk-makhluk lain menyingkir ke kiri dan 244

kanan, mempersilakannya lewat. Dia berjalan menghampiri Aslan, menyerahkan apel di sakunya kepada singa itu, lalu berkata: "Aku membawakanmu apel yang kauminta, Sir."

245

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

14

Penanaman Pohon

B

AGUS sekali," kata Aslan dengan suara yang menggetarkan bumi. Kemudian Digory tahu semua penghuni Narnia telah mendengar kata-kata itu dan kisah tentang mereka akan diceritakan dari orangtua ke anak di dunia baru ini selama ratusan tahun dan mungkin selamanya. Tapi dia tidak terancam merasa tinggi hati karena dia sama sekali tidak memikirkannya kini, ketika berhadapan dengan Aslan. Kali ini dia mendapati dirinya mampu bertatapan langsung dengan sang singa. Dia telah melupakan segala masalahnya dan merasa sangat puas. "Bagus sekali, Putra Adam," kata sang singa lagi. "Karena buah ini kau telah merasa kelaparan, kehausan, dan kesedihan. Tiada tangan lain selain tanganmu yang akan menumbuhkan 246

bibit pohon bakal pelindung Narnia. Lemparkan apel itu ke arah tepi sungai, di sana tanahnya lembut." Digory mematuhi perintah itu. Keadaan menjadi begitu sunyi sehingga kau bisa mendengar suara jatuhnya yang pelan ketika apel itu mendarat di lumpur. "Lemparan yang bagus," kata Aslan. "Marilah kita melanjutkan kepada penobatan Raja Frank penguasa Narnia dan Helen ratunya." Digory dan Polly kini menyadari kehadiran pasangan suami-istri itu untuk pertama kalinya. Mereka mengenakan baju yang unik dan indah, dari bahu mereka jubah menggantung hingga ke belakang mereka tempat empat dwarf memegangi ekor jubah sang raja, sementara empat nymph sungai memegangi ekor jubah sang ratu. Kepala mereka telanjang, tapi Helen telah menggeraikan rambutnya dan ini benar-benar membuat penampilannya jauh lebih cantik. Tapi bukanlah tataan rambut maupun pakaian yang membuat mereka begitu berbeda dengan diri mereka yang dulu. Wajah mereka memiliki ekspresi baru, terutama sang raja. Segala ketajaman, kelicikan, dan aura menyebalkan yang didapatnya selama menjadi kusir kereta sewaan tampaknya telah lenyap. Keberanian dan ke247

baikan hati yang selalu dimilikinya kini lebih mudah dilihat. Mungkin udara dunia muda itu, atau bercakap-cakap dengan Aslan, atau keduanya yang menyebabkan perubahan ini. "Astaga," bisik Fledge ke Polly. "Majikan lamaku telah berubah nyaris sebanyak diriku! Wah, sekarang dia telah menjadi penguasa sungguhan." "Ya, tapi jangan berbisik begitu ke telingaku," kata Polly. "Geli sekali." "Sekarang," kata Aslan, "beberapa di antara kalian bukalah jalinan yang telah kalian buat dengan pepohonan itu dan marilah kita lihat apa yang akan kita temukan di dalamnya." Digory kini melihat empat pohon tumbuh begitu dekat sehingga cabang-cabang keempatnya terpilin atau terikat satu sama lain dengan simpul-simpul, membentuk semacam sangkar. Dua gajah dengan belalai mereka dan beberapa dwarf dengan kapak kecil mereka segera membukanya. Ada tiga benda di dalamnya. Salah satunya pohon muda yang tampaknya terbuat dari emas, dan yang kedua adalah pohon yang sepertinya terbuat dari perak, tapi benda ketiga adalah sesuatu yang menyedihkan dengan pakaian berlumpur, duduk membungkuk di antara kedua pohon itu. 248

"Ya ampun!" bisik Digory. "Paman Andrew!" Untuk menjelaskan semuanya kita harus mundur sedikit. Para hewan, kalau kau ingat, telah berusaha menanam dan menyirami Paman Andrew. Ketika siraman itu menyadarkannya, dia mendapati dirinya basah kuyup, terkubur hingga pahanya di dalam tanah (yang dengan cepat berubah menjadi lumpur) dan dikelilingi lebih banyak hewan liar daripada yang pernah diimpikannya seumur hidup. Mungkin tidaklah mengejutkan bila dia mulai berteriak dan menjerit. Kejadian ini bila dilihat dari satu sisi adalah hal baik, karena ini akhirnya meyakinkan semua makhluk (bahkan Babi Hutan) bahwa dia memang makhluk hidup. Jadi mereka menggalinya lagi (keadaan celana panjangnya kini sangat buruk). Segera setelah kakinya bebas, dia mencoba melarikan diri tapi satu libatan cepat belalai Gajah di sekeliling pinggangnya langsung menggagalkan usaha itu. Semua makhluk kini berpikir dia harus ditahan di suatu tempat sampai Aslan punya waktu untuk datang, melihatnya, dan memberitahu mereka apa yang harus dilakukan kepadanya. Jadi mereka membuat semacam sangkar atau kurungan di sekelilingnya. Mereka 249

kemudian menawarkan apa pun yang ada di benak mereka untuk makanannya. Keledai mengumpulkan setumpuk tinggi perdu berduri kemudian melemparkannya ke dalam sangkar, tapi Paman Andrew tidak tampak peduli. Para tupai memborbardirnya dengan hujan kacang-kacangan, tapi dia hanya menutupi kepala dengan kedua tangannya dan berusaha menghindar. Beberapa burung terbang bolak-balik dengan rajin, menjatuhinya dengan cacing-cacing. Beruang telah bersikap luar biasa baik hati. Sore itu dia menemukan sarang lebah liar dan bukannya memakannya sendirian (padahal dia ingin sekali melakukan itu),

250

makhluk murah hati ini membawanya ke Paman Andrew. Tapi tindakan ini ternyata menjadi kegagalan yang paling parah. Beruang menjatuhkan seluruh gumpalan lengket itu ke lubang di atas sangkar dan sayangnya mengenai Paman Andrew langsung di wajahnya (tidak semua lebah di dalamnya sudah mati). Si beruang, yang sama sekali tidak akan keberatan bila wajahnya terbentur sarang lebah, tidak bisa mengerti kenapa Paman Andrew langsung tergopoh-gopoh mundur, terjatuh, kemudian terduduk. Dan benar-benar nasib buruk ketika dia menduduki tumpukan perdu berduri. "Yah, lagi pula," seperti kata Babi Hutan, "sudah cukup banyak madu masuk ke mulutnya dan itu pasti ada gunanya." Mereka benar-benar mulai menyukai piaraan aneh mereka dan berharap Aslan akan mengizinkan mereka memeliharanya. Makhluk-makhluk yang lebih cerdas kini cukup yakin bahwa setidaknya sebagian dari suara yang keluar dari mulut piaraan mereka itu punya arti. Mereka menamakan dia Brendi karena dia sering sekali menyuarakan itu. Namun akhirnya mereka harus membiarkannya di dalam sangkar selama semalam. Aslan sibuk sepanjang hari memberi pengarahan 251

kepada raja dan ratu baru, juga melakukan hal-hal penting lain, dan tidak bisa mengurusi "Brendi yang malang". Dengan segala kacangkacangan, buah pir, apel, dan pisang yang dilemparkan kepadanya, Paman Andrew mendapatkan makan malam yang lumayan, tapi tidak bisa dibilang dia melalui malam itu dengan cukup nyaman. "Bawa kemari makhluk itu," kata Aslan. Salah satu gajah mengangkat Paman Andrew dengan belalainya dan meletakkannya di depan kaki sang singa. Paman Andrew terlalu ketakutan untuk bergerak. "Aku mohon, Aslan," kata Polly, "bisakah kau mengatakan sesuatu untuk—untuk membuatnya lebih tenang? Kemudian bisakah kau mengatakan sesuatu untuk mencegahnya datang ke sini lagi?" "Apakah menurutmu dia akan mau datang ke sini lagi?" tanya Aslan. "Yah, Aslan," kata Polly, "mungkin saja dia mengirimkan orang lain. Dia begitu senang melihat batang besi dari lampu tiang tumbuh menjadi pohon lampu tiang, dan dia pikir—" "Dia membuang tenaga memikirkan hal yang percuma, Nak," kata Aslan. "Dunia ini berlimpah kehidupan selama beberapa hari ini karena 252

lagu yang kugunakan untuk membangunkannya masih mengalun di udara dan bergemuruh di tanah. Lagu itu akan berakhir tidak lama lagi. Tapi aku tidak mengatakan itu pada pendosa tua ini, aku juga tidak bisa menenangkannya, dia telah membuat dirinya sendiri tak mampu mendengar suaraku. Kalau aku berbicara padanya, dia hanya akan mendengar auman dan geraman. Oh, para putra Adam betapa pintarnya kalian mempertahankan diri kalian dari segala yang mungkin berguna untuk kalian! Tapi aku akan memberi satu-satunya hadiah yang masih mampu diterimanya." Aslan menundukkan kepala besarnya dengan agak sedih, dan mengembuskan napasnya ke wajah ketakutan si penyihir. "Tidurlah," katanya. "Tidur dan terpisahlah selama beberapa jam dari segala siksaan yang telah kautimpakan pada dirimu sendiri." Paman Andrew langsung berguling dengan mata terpejam dan mulai bernapas teratur. "Bawa dia ke sisi dan baringkan dia," kata Aslan. "Sekarang, para dwarf! Tunjukkan keahlian pandai besi kalian. Perlihatkan kepadaku dua mahkota untuk raja dan ratu kalian." Sekelompok besar dwarf yang jumlahnya bahkan tidak bisa kaubayangkan bergegas men253

dekati Pohon Emas. Mereka mencabuti seluruh daunnya, bahkan beberapa cabangnya juga dipatahkan, dengan kecepatan yang luar biasa. Dan kini Digory dan Polly bisa melihat bahwa bagian-bagian pohon itu tidak hanya tampak seperti emas tapi memang emas lunak sungguhan. Pohon itu tentu saja tumbuh dari setengah sovereign yang terjatuh dari saku Paman Andrew ketika tubuhnya dibalikkan, seperti juga pohon perak tumbuh dari setengah crown. Seolah entah dari mana, tumpukan kayu kering untuk bahan bakar, paron kecil, palu-palu, tang penjepit besi, dan pengembus angin untuk menjaga api tetap menyala muncul. Detik berikutnya (betapa para dwarf itu menyukai pekerjaan mereka!) api berkobar, pengembus angin berembus, emas meleleh, dan palu

254

mengentak. Dua tikus tanah, yang diperintah Aslan untuk menggali (pekerjaan yang paling mereka sukai) sebelumnya di hari itu, menuangkan setumpuk batu berharga di kaki para dwarf. Di bawah jemari terampil para ahli besi kecil itu, dua mahkota mulai terbentuk—bukan benda-benda jelek dan berat seperti mahkota Eropa, tapi ringan, halus, dan lingkaran berbentuk indah yang benar-benar bisa kaukenakan dan tampak lebih bagus saat dikenakan. Mahkota raja dihiasi batu-batu rubi, sedangkan mahkota ratu dengan zamrud. Ketika kedua mahkota itu telah didinginkan di sungai, Aslan menyuruh Frank dan Helen berlutut di depannya dan dia meletakkan mahkota di masing-masing kepala mereka. Kemudian dia berkata, "Berdirilah, Raja dan Ratu Narnia, ayah dan ibu banyak raja yang akan ada di Narnia, Isles, dan Archenland. Bertindaklah adil, penuh ampun, dan berani. Doa-doa ada bersama kalian." Kemudian semua bersorak, menggongong, meringkik, meniupkan belalai, atau mengepakngepakkan sayap. Pasangan raja-ratu itu pun berdiri tampak hikmat juga sedikit malu, tapi kian tampak mulia dengan rasa malu mereka 255

itu. Dan sementara masih bersorak, Digory mendengar suara dalam Aslan di sampingnya, berkata: "Lihat!" Semua makhluk dalam kerumunan itu menoleh, kemudian semua menarik napas panjang karena rasa takjub dan bahagia. Tak jauh dari sana, berdiri menjulang hingga di atas kepala, mereka melihat pohon yang pastinya tidak ada di sana sebelumnya. Pohon itu pasti telah tumbuh tanpa suara, namun semulus gerakan bendera jika kau menariknya naik di tiang bendera, sementara mereka semua disibukkan acara penobatan. Cabang-cabangnya yang terentang seolah menyebarkan cahaya dan bukannya bayangan. Apel-apel perak mengintip keluar seperti bintang di antara setiap daun. Tapi wangi yang keluar dari pohon itulah, jauh melebihi pemandangan yang ditampilkannya, yang membuat semua makhluk menarik napas. Selama beberapa saat tidak ada yang bisa memikirkan hal lain. "Putra Adam," kata Aslan, "kau telah bertanam dengan baik. Dan kalian, para penghuni Narnia, jadikanlah perhatian pertama kalian untuk menjaga pohon ini, karena pohon ini pelindung kalian. Penyihir yang telah kucerita256

257

kan kepada kalian telah pergi ke utara dunia, dia akan terus tinggal di sana, semakin kuat dengan sihir hitamnya. Tapi selama pohon itu hidup, dia tidak akan pernah datang ke Narnia. Dia tidak akan berani mendekat dalam jarak seratus mil dari pohon itu, karena wanginya yang tercium bagai kebahagiaan, kehidupan, dan kesehatan bagi kalian, terasa seperti kematian, ketakutan, dan kesedihan baginya." Semua makhluk menatap lekat-lekat dalam diam ke arah pohon itu ketika Aslan tiba-tiba memutar kepalanya (menyebarkan berkas-berkas cahaya keemasan dari surainya saat melakukan itu) dan memaku mata besarnya pada Digory dan Polly. "Ada apa, anak-anak?" tanyanya, karena dia melihat mereka sedang berbisikbisik dan saling menyikut. "Oh—Aslan, Sir," kata Digory, wajahnya memerah, "Aku lupa memberitahumu. Sang penyihir telah memakan salah satu apel itu, apel yang sama dengan yang tumbuh dari pohon itu." Dia tidak benar-benar mengatakan semua yang ada dalam pikirannya, tapi Polly langsung mengungkapkannya untuknya. (Digory selalu lebih takut bersikap konyol daripada Polly.) "Jadi kami pikir, Aslan," kata Polly, "pasti 258

ada beberapa kesalahan dan dia tidak bisa benar-benar terganggu dengan wangi apel-apel itu." "Kenapa kau berpikir begitu, Putri Hawa?" tanya sang singa. "Yah, dia sudah memakan sebuah." "Nak," dia menjawab, "itulah sebabnya segala hal lain kini menjadi sesuatu yang menakutkan baginya. Itulah yang terjadi pada orang-orang yang memetik dan memakan buah pada saat yang salah dan dengan cara yang salah. Buahnya berguna, tapi mereka membencinya selamanya." "Oh, begitu," kata Polly. "Dan kurasa karena dia mengambilnya dengan cara yang salah buah itu tidak akan berguna baginya. Maksudku buah itu tidak akan membuatnya terus muda dan semacamnya?" "Sayang sekali," kata Aslan, menggelenggeleng. "Buahnya tetap akan berguna. Segala hal selalu bekerja sesuai kodratnya. Dia telah mendapatkan keinginan hatinya, dia memperoleh kekuatan tanpa kelemahan dan hari-hari tak berakhir seperti dewi. Tapi perpanjangan hari dengan hati yang jahat hanyalah perpanjangan penderitaan dan dia sudah mulai mengetahui itu. Setelah mendapatkan segala yang 259

mereka inginkan, mereka tidak selalu menyukainya." "Aku—aku hampir memakan buah itu juga, Aslan," kata Digory. "Apakah aku akan—" "Benar, Nak," kata Aslan. "Karena buah itu selalu berfungsi—harus berfungsi—tapi buah itu tidak akan berguna dengan baik bagi siapa pun yang memetiknya karena keinginan sendiri. Kalau ada penghuni Narnia yang tanpa diminta mencuri apel dan menanamnya di sini untuk melindungi Narnia, pohon yang tumbuh akan melindungi Narnia. Tapi pohon itu akan melakukannya dengan menjadikan Narnia kerajaan kuat dan kejam seperti Charn, bukan tanah ramah yang kuinginan. Dan sang penyihir membujukmu untuk melakukan hal lain, anakku, benar kan?" "Ya, Aslan. Dia membujukku membawa pulang apel untuk ibuku." "Mengertilah kalau begitu, apel itu memang akan menyembuhkannya, tapi bukan demi kebahagiaanmu ataupun kebahagiaannya. Akan datang suatu hari ketika kalian berdua bakal melihat ke belakang dan berkata lebih baik mati karena penyakit itu." Dan Digory tidak bisa mengatakan apa pun, karena air mata telah membuatnya tersedak dan dia telah melepaskan semua harapan me260

nyelamatkan nyawa ibunya. Namun di saat yang sama dia tahu sang singa tahu apa yang bakal terjadi, dan bahwa mungkin ada hal-hal yang lebih buruk bahkan daripada kehilangan seseorang yang kaucintai karena dijemput kematian. Tapi kini Aslan berkata lagi, hampir dengan bisikan: "Itulah yang akan terjadi, Nak, dengan apel curian. Bukan itu yang akan terjadi sekarang. Yang akan kuberikan kepadamu sekarang akan membawa kebahagiaan. Apel ini tidak akan membawa kehidupan abadi di duniamu, tapi akan menyembuhkan. Pergilah. Petikkan ibumu sebuah apel dari pohon itu." Selama beberapa saat Digory nyaris tidak bisa mengerti. Seolah seluruh dunia telah jungkir balik dan tercampur baur. Kemudian, seperti seseorang dalam mimpi, dia berjalan menghampiri pohon itu. Raja dan Ratu Narnia bersorak untuknya, para makhluk lain juga berteriak menyemangati. Dia memetik apel dan memasukkannya ke saku. Kemudian dia kembali ke Aslan. "Aku mohon," katanya, "bolehkah kami pulang sekarang?" Dia lupa mengucapkan "terima kasih", tapi dia merasakannya dan Aslan tahu itu. 261

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's

BAB

15

Akhir Kisah Ini dan Awal Kisah-kisah Lain

K

ALIAN tidak membutuhkan cincin saat aku bersama kalian," kata suara Aslan. Kedua anak itu mengejap-ngejapkan mata dan mendongak. Mereka sekali lagi berada di Hutan di Antara Dunia-dunia, Paman Andrew berbaring di rerumputan, masih terlelap. Aslan berdiri di samping mereka. "Mari," kata Aslan, "sudah tiba saatnya bagi kalian untuk pulang. Tapi ada dua hal yang terlebih dahulu harus diurus, peringatan dan perintah. Lihat kemari, anak-anak." Mereka mengikuti petunjuk Aslan dan melihat lubang kecil di rerumputan dengan dasar yang juga ditumbuhi rumput, hangat dan kering. "Terakhir kali kalian ke sini," kata Aslan, "lubang itu mata air, dan ketika kalian melompat ke dalamnya kalian tiba di dunia tem262

pat matahari yang sekarat bersinar di atas reruntuhan Charn. Tidak ada mata air sekarang. Dunia itu telah berakhir, seolah tidak pernah ada. Biarlah ras Adam dan Hawa mendapat peringatan." "Ya, Aslan," kata kedua anak itu bersamasama. Tapi Polly menambahkan, "Tapi kami tidaklah separah dunia itu ya kan, Aslan? "Belum, Putri Hawa," jawabnya. "Belum. Tapi kalian akan menjadi seperti itu. Tidaklah pasti apakah orang-orang jahat pada rasmu tidak akan menemukan rahasia sedahsyat Kata Kemalangan dan menggunakannya untuk menghancurkan semua makhluk hidup. Dan tak lama lagi, amat sebentar lagi, sebelum kalian menjadi pria tua dan wanita tua, negara-negara besar di dunia kalian akan dikuasai para tiran yang tidak lebih peduli pada kebahagiaan, keadilan, dan belas kasihan daripada Maharani Jadis. Biarkan duniamu waspada. Itulah peringatanku. Sekarang untuk perintahku. Segera mungkin, ambillah cincin-cincin ajaib milik pamanmu ini dan kuburkan supaya tidak ada yang bisa menggunakannya lagi." Digory dan Polly mendongak dan menatap wajah sang singa saat dia mengucapkan katakata ini. Dan mendadak (mereka tidak pernah 263

tahu pasti bagaimana semua itu bisa terjadi) wajah itu menjelma menjadi lautan emas cair dan mereka mengapung di dalamnya. Rasa manis dan kekuatan yang begitu besar berputarputar di sekeliling mereka, di atas mereka, dan memasuki mereka sehingga mereka merasa tidak pernah benar-benar bahagia, bijaksana, atau baik, atau bahkan hidup dan terjaga sebelumnya. Dan kenangan momen itu selalu tersimpan di dalam diri mereka, selamanya sepanjang hidup keduanya. Kalau mereka merasa sedih, takut, atau marah, kenangan akan segala kebaikan keemasan itu dan perasaan bahwa semua itu masih ada di sana, cukup dekat, hanya di suatu belokan, atau di belakang suatu pintu, akan kembali dan membuat mereka merasa yakin, jauh di dalam hati, bahwa segalanya baik-baik saja. Menit berikutnya mereka bertiga (Paman Andrew kini sudah terbangun) datang terlontar ke dalam kebisingan, panasnya, dan bau-bau pekat London. Mereka berada di trotoar di luar pintu depan rumah Ketterley, dan kecuali sang penyihir, si kuda, dan kusir kereta, segalanya masih persis seperti saat mereka meninggalkannya. Ada 1ampu tiang yang salah satu tangannya menghilang, 264

ada puing kereta kuda sewaan, begitu juga kerumunan orang. Semua orang masih berbicara dan ada beberapa orang berlutut di samping para petugas polisi yang terluka, mengatakan hal-hal seperti, "Dia mulai siuman" atau "Bagaimana perasaanmu sekarang, teman?" atau "Ambulans akan segera sampai di sini." Wow! pikir Digory. Sepertinya seluruh petualangan itu sama sekali tidak memakan waktu. Banyak orang di antara kerumunan itu menengok kiri-kanan untuk mencari Jadis dan kudanya. Tidak ada yang memerhatikan kehadiran kedua anak itu karena tidak ada yang melihat mereka pergi ataupun menyadari kepulangan mereka. Sedangkan Paman Andrew, dengan keadaan pakaiannya sekarang dan madu yang berlepotan di wajahnya, tidak akan bisa dikenali siapa pun. Untungnya pintu depan terbuka dan sang pelayan wanita sedang berdiri di depan pintu mengawasi yang terjadi (hari ini benar-benar hari yang seru bagi gadis itu!) jadi Digory dan Polly tidak mendapatkan kesulitan mendorong paksa Paman Andrew sebelum ada yang bertanya-tanya. Paman Andrew berlari menaiki tangga men265

dahului Digory dan Polly dan awalnya kedua anak itu khawatir dia akan langsung menuju lotengnya dan berniat menyembunyikan sisa cincin yang dia miliki. Tapi mereka tidak perlu cemas. Yang sedang dia pikirkan adalah botol di dalam lemari pakaiannya. Kemudian dia langsung menghilang di dalam kamar tidurnya dan mengunci pintu. Ketika keluar lagi (tidak terlalu lama setelah itu), dia mengenakan mantel mandi dan langsung menuju kamar mandi. "Bisakah kau mengambil cincin-cincin lainnya, Poll?" tanya Digory. "Aku mau menengok ibuku." "Oke. Sampai ketemu nanti," kata Polly, kemudian dia berlari dengan langkah-langkah berisik saat menaiki lantai loteng. Digory diam sesaat untuk mengatur napas, lalu dia berjalan pelan ke kamar ibunya. Dan di sanalah ibunya berbaring, seperti yang sering dia lihat sebelumnya, bersandar pada bantal. Wajahnya kurus dan pucat yang bisa membuatmu menangis bila melihatnya. Digory mengeluarkan apel kehidupan dari sakunya. Dan seperti sang penyihir Jadis yang tampak berbeda ketika kau melihatnya di dunia kita dengan ketika kau melihatnya di dunianya 266

sendiri, buah dari taman gunung itu pun tampak berbeda. Tentu saja ada berbagai macam warna di kamar tidur itu, kain penutup tempat tidur di ranjang, kertas dinding, sinar matahari dari jendela, dan mantel tidur biru pucat yang cantik milik Ibu. Tapi begitu Digory mengeluarkan apel yang dibawanya dari saku, semua benda itu seolah nyaris tidak memiliki warna. Semuanya, bahkan sinar matahari, tampak pudar dan suram. (Kau harus ingat saat itu musim panas sehingga walaupun hari sudah malam, matahari belumlah terbenam.) Kilau terang apel itu menebarkan cahaya-cahaya aneh di langit-langit. Tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk dilihat, kau tidak akan mampu melihat yang lain. Dan harum apel kebeliaan membuatmu berpikir ada jendela di ruangan itu yang membuka ke Surga. "Oh, Sayang, cantik sekali," kata ibu Digory. "Ibu mau memakannya, kan? Aku mohon," kata Digory. "Aku tidak tahu apa kata dokter nanti," dia menjawab. "Tapi sungguh—aku hampir merasa mampu memakannya." Digory mengupas, memotong-motong, dan memberikan apel itu kepada ibunya seiris demi seiris. Dan tak lama setelah selesai memakan267

nya, ibu Digory tersenyum dan kepalanya kembali terbenam ke bantal. Dia pun tertidur: tidur sungguhan, yang alami dan lembut, tanpa obat-obatan memuakkan itu, sesuatu yang Digory sudah tahu, hal yang paling diinginkannya di dunia ini. Digory pun kini yakin wajah ibunya tampak agak berbeda. Dia membungkuk dan mencium ibunya dengan sangat lembut, kemudian pelan-pelan keluar dari kamar itu dengan hati berdebar sambil membawa bagian tengah apel tadi. Sepanjang hari itu, setiap kali dia melihat benda-benda di sekitarnya dan melihat betapa biasa dan tidak ajaibnya bendabenda itu, dia nyaris tidak berani berharap. 268

Tapi ketika dia mengingat wajah Aslan, harapan pun muncul. Malam itu dia mengubur bagian tengah apel kehidupan di halaman belakang. Pagi berikutnya ketika sang dokter melakukan kunjungan rutin, Digory mencondongkan tubuh di atas pagar tangga dan mendengarkan. Dia mendengar sang dokter keluar bersama Bibi Letty dan berkata: "Miss Ketterley, ini kasus paling luar biasa yang pernah kuketahui sepanjang karier kedokteranku. Ini—ini seperti keajaiban. Aku tidak akan memberitahu anak lelakinya apa pun saat ini, kita tidak mau menimbulkan harapan-harapan kosong. Tapi menurut pendapatku—" Kemudian suaranya menjadi terlalu pelan untuk didengar. Siang itu dia turun ke taman dan menyiulkan sinyal rahasia yang sudah disepakatinya bersama Polly (gadis kecil itu belum bisa kembali ke sana sejak kemarin). "Bagaimana?" tanya Polly, melihat dari atas dinding. "Maksudku, tentang ibumu?" "Kurasa—kurasa semua akan baik-baik saja," kata Digory. "Tapi kalau kau tidak keberatan aku belum terlalu ingin membicarakannya. Bagaimana dengan cincin-cincinnya?" 269

"Aku sudah mendapatkan semuanya," kata Polly. "Lihat, tenang saja, aku memakai sarung tangan. Ayo kita kubur." "Ya, ayo. Aku menandai tempat aku mengubur sisa apel kemarin." Kemudian Polly memanjat dinding dan mereka pergi ke tempat itu bersama-sama. Tapi ternyata Digory tidak perlu menandai tempat itu. Sesuatu sudah muncul dari dalamnya. Sesuatu itu tidaklah tumbuh seperti pohon-pohon baru di Narnia, di mana kau bisa melihatnya benar-benar bertambah besar, tapi ada pucuk yang tampak muncul di permukaan. Mereka mengambil sekop dan mengubur semua cincin ajaib, termasuk cincin milik mereka, mengelilingi pucuk tersebut. Sekitar seminggu setelah kejadian ini sudah bisa dipastikan keadaan ibu Digory membaik. Dua minggu kemudian dia sudah bisa duduk di luar rumah di taman. Dan sebulan kemudian seluruh rumah itu telah menjadi tempat yang sama sekali berbeda. Bibi Letty melakukan segalanya yang diinginkan ibu Digory. Jendelajendela dibuka, gorden-gorden lusuh disingkapkan untuk membuat ruangan lebih terang. Kini juga ada bunga-bunga baru di mana pun, dan lebih banyak makanan yang bisa disantap, 270

piano tua sudah diperbaiki, ibu Digory mulai bernyanyi lagi juga melakukan permainanpermainan bersama Digory dan Polly sehingga Bibi Letty akan berkata, "Sungguh, Mabel, kaulah bayi terbesar di antara kalian bertiga." Ketika hal-hal memburuk, biasanya kau akan mendapati hal-hal itu bertambah buruk selama beberapa lama. Tapi sekalinya hal-hal membaik, sering kali keadaan kian membaik dan membaik. Setelah sekitar enam minggu kehidupan indah ini berjalan, datanglah surat panjang dari ayah Digory di India, yang mengabarkan berita gembira. Paman buyut Ayah, Paman Kirke, telah meninggal dan tampaknya ini berarti ayah Digory menjadi kaya raya. Dia akan pensiun dan pulang dari India untuk tinggal terus. Lalu rumah besar di pedesaan, yang telah didengar Digory sepanjang hidupnya namun belum pernah dia lihat, akan menjadi rumah mereka. Rumah besar dengan deretan baju zirah, istal, rumah anjing, sungai, taman, rumah kaca, kebun anggur, hutan, dan pegunungan di belakangnya. Jadi Digory merasa seyakin dirimu bahwa mereka semua akan hidup bahagia selama-lamanya. Tapi mungkin kau ingin tahu satu atau dua hal lagi. Polly dan Digory seterusnya menjadi teman 271

baik dan hampir setiap liburan Polly akan tinggal bersama keluarga Digory di rumah pedesaan mereka yang indah. Di sanalah dua anak itu belajar berkuda, berenang, memerah susu, memasak, dan mendaki gunung. Di Narnia, para hewan hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan. Sang penyihir ataupun musuh lain tidak datang mengacaukan daratan tenteram itu selama ratusan tahun. Raja Frank dan Ratu Helen juga anak-anak mereka hidup bahagia di Narnia. Anak kedua mereka menjadi Raja Archenland. Anak-anak laki-laki menikahi nymph dan para anak perempuan menikahi dewa hutan dan dewa sungai. Lampu tiang yang ditanam sang penyihir (secara tak sengaja) bersinar siang dan malam di hutan Narnia sehingga tempat lampu itu tumbuh dinamakan Area Lentera. Dan ketika, bertahun-tahun kemudian, anak lain dari dunia kita datang ke Narnia pada suatu malam bersalju, dia mendapati cahaya lampu itu masih menyala. Dan petualangan itu, dengan suatu cara, berhubungan dengan petualangan-petualangan yang baru saja kuceritakan kepadamu. Jadi begini. Pohon yang tumbuh dari bagian tengah apel yang ditanam Digory di halaman 272

belakang, terus tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang kokoh. Karena tumbuh di tanah dunia kita, jauh dari suara nyanyian Aslan dan udara bersih Narnia, pohon itu tidak berbuah apel yang bisa menyembuhkan wanita sekarat seperti ibu Digory. Tapi pohon itu tetap menghasilkan apel-apel yang lebih cantik daripada pohon apel mana pun di Inggris, buah-buahnya pun sangat baik untuk tubuhmu, walaupun tidak sepenuhnya ajaib. Tapi di dalam dirinya, dalam sarinya, pohon itu (bisa dibilang) tidak pernah melupakan pohon lain di Narnia dari mana dirinya berasal. Terkadang pohon itu akan bergerak secara misterius walau tidak ada angin bertiup: kurasa ketika ini terjadi ada angin kencang di Narnia dan pohon di Inggris itu bergetar karena pada saat itu pohon di Narnia sedang terguncangguncang dan berayun-ayun dalam tiupan angin kencang barat daya. Apa pun yang sebenarnya terjadi, akan dibuktikan kemudian bahwa masih ada sihir di dalam batangnya. Karena ketika Digory sudah berusia paro baya (dan dia telah menjadi pria terpelajar yang terkenal, seorang profesor dan petualang besar pada masa itu) dan rumah tua Ketterley telah menjadi miliknya, ada badai besar di seluruh selatan Inggris 273

yang menumbangkan pohon tersebut. Dia tidak tega sekadar memotong-motongnya dan menjadikannya kayu bakar, jadi dia menyuruh orang membuat lemari pakaian dari kayu pohon itu, kemudian menaruhnya di rumah pedesaannya yang besar. Dan walaupun dia sendiri tidak menemukan kemampuan sihir pada lemari pakaian tersebut, orang lain lebih beruntung. Itulah awalnya segala kedatangan dan kepergian antara Narnia dan dunia kita, kisah yang bisa karubaca di buku-buku lain dalam seri ini. Ketika Digory dan keluarganya datang untuk tinggal di rumah besar di pedesaan, mereka membawa Paman Andrew untuk tinggal bersama mereka, karena ayah Digory berkata, "Kita harus berusaha menjauhkan orang tua itu dari masalah, lagi pula tidak adil Letty yang malang harus selalu kerepotan menjaganya." Paman Andrew tidak pernah mencoba sihir apa pun lagi sepanjang hidupnya. Dia telah mendapatkan pelajaran, dan sejalan dengan bertambahnya usia, dia menjadi pria tua yang lebih ramah dan tidak egois daripada sebelumnya. Tapi dia selalu gemar menjamu tamu di ruang biliar dan memberitahu mereka cerita-cerita tentang wanita misterius, bang274

sawan dari bangsa asing, dengan siapa dia berkeliling London. "Emosi wanita itu terlalu meledak-ledak," dia akan berkata. "Tapi dia wanita yang cantik sekali, Sir, cantik luar biasa."

"Dukung Penulis dan Penerbit dengan membeli buku versi cetaknya"

Nurul Huda Kariem MR.

a MR. Collection's

275

Ikuti kelanjutan petualangan di Narnia! The Chronicles of Narnia #2 SANG SINGA, SANG PENYIHIR, DAN LEMARI "Itu lemari ajaib. Ada hutan di dalamnya, dan di sana sedang hujan salju! Ayo, mari lihat," kata Lucy memohon. Empat anak, Peter, Edmund, Susan, dan Lucy, dievakuasi ke desa saat perang. Tapi, tak lama kemudian mereka menemukan diri mereka menghadapi bahaya yang sesungguhnya ketika Lucy masuk ke dunia ajaib Narnia. Musim salju dan Penyihir Putih adalah ancaman terbesar dan hanya keempat anak serta singa agung, Aslan, yang bisa mematahkan kutukan jahat itu.

lahir di Belfast tahun 1898. Dia pengajar Sastra Inggris di Magdalen College, Oxford, kemudian menjadi Profesor Sastra Abad Pertengahan dan Masa Renaisans di Cambrige University. Dia tinggal di Cambrige sampai wafat di tahun 1963. Dia menulis berbagai buku kritik sastra, yang paling terkenal adalah The Screwtape Letters, juga empat novel dewasa. Ketujuh buku Chronicles of Narnia adalah satu-satunya karya C.S. Lewis untuk anak-anak. CLIVE STAPLES LEWIS

membuat ilustrasi untuk seluruh buku dalam seri The Chronicles of Narnia. Diawali dengan Sang Singa, sang Penyihir, dan Lemari di tahun 1949, kariernya sebagai ilustrator pun kian berkembang. PAULINE BAYNES

Related Documents

Tamat
April 2020 13
Narnia
November 2019 15
Narnia
April 2020 7
For Narnia!
November 2019 12