Tembok Kota Seoul

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tembok Kota Seoul as PDF for free.

More details

  • Words: 4,271
  • Pages: 10
ANTARA EUPSEONG HANYANG (SEOUL) DENGAN BETENG KERATON YOGYAKARTA: SEBUAH PERBANDINGAN HISTORIS Oleh: Purnawan Basundoro Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ([email protected]) Pendahuluan Kota-kota yang merupakan bekas ibukota kerajaan tradisional rata-rata memiliki struktur yang cukup unik. Keunikan tersebut salah satunya bersumber dari pendapat umum yang berkembang pada saat kota tersebut masih memiliki fungsi sebagai ibukota kerajaan, bahwa kota harus mampu menjadi tempat tinggal raja yang nyaman dan aman. Kota harus menjadi tempat yang aman bagi raja karena raja merupakan sentral dari kekuasaan yang harus dilindungi keamanannya. Jika raja sampai terbunuh oleh musuh kerajaan ataupun oleh pemberontak maka hal tersebut bisa menjadi aib bagi kerajaan yang bersangkutan karena tidak mampu melindungi rajanya. Dengan alasan tersebut maka ibukota kerajaan biasanya memiliki pengamanan yang standar, salah satunya adalah dengan menembok kota secara berkeliling. Tembok kota (city wall) menjadi penanda unik dari hampir semua kota yang merupakan bekas ibukota kerajaan tradisional. Baik di Korea maupun di Indonesia (Jawa) tembok kota terdapat di beberapa tempat. Di Jawa tembok kota dikenal dengan istilah beteng atau benteng sehingga di Yogyakarta terdapat tempat yang disebut Pojok Benteng (Kulon dan Wetan). Kota Seoul di Korea merupakan salah satu kota yang juga memiliki tembok kota yang dalam bahasa setempat disebut eupseong. Eupseong memiliki fungsi yang sama dengan benteng di kraton Yogyakarta yaitu untuk melindungi istana raja. Seoul yang, pada zaman dahulu bernama Hanyang, dan Yogyakarta merupakan kota tradisional yang pernah samasama menjadi ibukota kerajaan. Mengacu kepada keberadaan tembok kota, maka kota tradisional didefinisikan sebagai daerah pemukiman yang dilindungi oleh dinding yang dibangun mengeliling menurut bentuk pasagi.1 Keberadaan dinding ini digunakan sebagai garis batas untuk melindungi teritorial sekaligus memberi definisi luar dan dalamnya kehalusan dalam bersikap. Di Jawa terdapat beberapa kota yang memiliki dan diidentifikasi pernah memiliki tembok kota. Yogyakarta dan Surakarta adalah dua kota bekas kerajaan tradisional yang sampai sekarang masih memiliki tembok kota. Dua kota bekas ibukota kerajaan tradisional. Sedangkan yang diidentifikasi pernah memiliki tembok kota, antara lain seperti Jakarta (Batavia), Surabaya, Demak, dan lain-lain. Di Korea salah satu kota yang memiliki tembok kota dan sampai saat ini di beberapa bagian masih terawat dengan baik adalah kota Seoul. Berbeda dengan tembok kota di Jawa yang bentuknya pasagi (segi empat), tembok kota Soul berbentuk tidak beraturan karena mengikuti geografi kota yang bersangkutan. Artikel ini akan menguraikan perbedaan antara eupseong di Seoul dengan beteng kraton di Yogyakarta dengan sudut pandang secara historis.

1

A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota sejak Peradaban Hindu-Buddha, Islam hingga Sekarang, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 25

1

Bermula dari Konflik Sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan tradisional baik di Korea maupun di Jawa umumnya dilatarbelakangi oleh konflik antar kelompok masyarakat maupun antar kerajaan. Sejarah kekuasaan di Korea dimulai dengan berdirinya kekuatan politik yang terpolar pada beberapa kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara satu dengan yang lainnya saling menaklukan. Pada masa Korea kota di utara terdapat beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Okjo, Tong-ye, Puyo, dan Koguryo. Kerajaan Okjo terletak di daerah Hamhung, di Pantai Laut Timur, sedangkan kerajaan Tong-ye terletak di bagian selatan Okjo. Kedua kerajaan tersebut kemudian berhasil ditaklukan oleh kerajaan Koguryo. Di daerah sekitar Sungai Sungari, yang termasuk wilayah Manchuria, muncul kerajaan Puyo yang dikemudian hari menjadi bagian dari kerajaan Koguryo.2 Di sebelah selatan Sungai han terdapat kerajaan Samhan yang memiliki posisi cukup kuat. Pada abad ke-1 kekuatan kerajaankerajaan kecil di Korea mengerucut menjadi tiga kerajaan besar, terutama yang terletak di Semenanjung Korea, yaitu Koguryo, Paekche, dan Silla. Ketiganya menjadi kekuatan utama di wilayah tersebut dan memiliki sejarah yang cukup panjang. Namun eksistensi ketiga kerajaan tersebut tidak langgeng karena terjebak dalam konflik antara ketiganya. Konflik tersebut memunculkan satu kerajaan besar yaitu kerajaan Silla, namun di Manchuria masih berdiri kerajaan Koguryo walaupaun kekuasaannya cukup kecil. Kerajaan Silla bersatu mencapai puncak kejayaannya selama 100 tahun, namun pada akhir abad ke-8 mulai terjadi kekacauan di kerajaan tersebut setelah Raja Hyegong meninggal (780 M). Di daerah-daerah mulai muncul pemberontakan, salah satunya pemberontakan Kim Hon-ch’ang. Kondisi petani yang semakin miskin akibat ulah kaum kwijok,3 turut menyuburkan pemberontakan daerah. Ketidakpuasan mereka terhadap kaum kwijok disalurkan melalui pemberontakan yang digalang oleh para penguasa benteng dan jenderal daerah. Kondisi ini telah menyebabkan kerajaan Silla Bersatu runtuh. Runtuhnya kerajaan Silla memunculkan kerajaan Koryo. Kerajaan ini didirikan oleh Jenderal Wang Kon setelah memenangkan pertikaian dengan Raja Kung’ye penguasa di Koguryo. Wang Kon berhasil mendirikan kerajaan baru dan mengangkat dirinya menjadi raja pertama di kerajaan Koryo. Pada akhirnya Koryo mampu menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan mampu menghimpun rakyat di bekas kerajaan yang telah runtuh, antara lain kerajaan Parhae. Namun nasib kerajaan Koryo juga tidak berbeda jauh dengan kerajaan pendahulunya. Pada tahun 1392 kerajaan Koryo dilanda kekacauan akibat kudeta militer yang dipimpin oleh Yi Song-gye. Dalam suasana kacau dan genting kaum ilmuwan sipil yang berkoalisi dengan militer akhirnya bersepakat untuk mendirikan kerajaan baru serta sekaligus memindah pusat kerajaan ke tempat lain. Kerajaan baru yang dibentuk atas aliansi sipil dan militer tersebut diberi nama Kerajaan Chosun/Joseun. Ibukotanya ditetapkan di Hanyang (Seoul saat ini).4 Pemimpin kudeta yaitu Yi Song-gye ditetapkan sebagai raja pertama tahun 1392. Kerajaan Chosun merupakan embrio Korea modern. Sebagai sebuah kota baru, Hanyang dipersiapkan oleh para pendiri kerajaan sebagai kota yang nyaman untuk pusat pemerintahan. Kerajaan Chosun didirikan di 2

Tim Pusat Studi Korea UGM, Sejarah Korea, (Yogyakarta: Pusat Studi Korea UGM dan The Academy of Korean Studies, 2005), hlm. 7 3 Kwijok adalah kaum bangsawan yang bukan golongan raja dan golongan pejabat beserta para keluarganya. Mereka bersikap eksploitatif terhadap kaum tani. Ibid., hlm. 11 4 Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea: Sejak Awal Abad Hingga Masa Kontemporer, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 65

2

atas puing-puing konflik antar kerajaan yang berkepanjangan. Oleh karena itu para pendiri menginginkan agar kerajaan ini bisa menjadi akhir dari konflik, sehingga perlu dibangun menjadi kerajaan yang kuat. Kekuatan kerajaan harus dimulai di ibukotanya. Hanyang harus dibangun menjadi ibukota kerajaan yang kuat yang bisa menangkal setiap anasir jahat yang akan menghancurkan kerajaan. Ibukota kerajaan adalah tempat tinggal raja, lambang supremasi politik. Raja harus dilindungi, sehingga diperlukan ibukota yang tidak tembus oleh serbuan musuh. Maka ide pembangunan tembok yang mengelilingi kota juga menjadi bagian dari rencana pembangunan kota Hanyang sebagai ibukota kerajaan. Kondisi yang sama juga terjadi di Jawa. Kerajaan tradisional di Jawa di bangun dengan konflik. Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta merupakan hasil dari konflik keluarga yang berkepanjangan. Embrio kedua kerajaan tersebut adalah kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Kyai Gedhe Pamanahan. Putra Pamanahan, yaitu Panembahan Senapati Ingalaga (1584-1601) merupakan sosok yang menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang sebenarnya. Ia banyak melakukan ekspansi ke darah-daerah untuk memperluas kekuasaannya. Cucu dari Senapati, yaitu Sultan Agung merupakan raja terkuat di Mataram. Ia adalah The real king of Mataram, Raja Mataram yang sebenarnya. Kerajaan-kerajaan kecil di Jawa ditaklukannya satu persatu sehingga wilayah kekuasaannya hampir menyeluruh di Pulau Jawa. Dua kali ia mencoba menggempur pasukan VOC yang telah bercokol di Batavia, namun tidak cukup kuat. Ia gagal karena tidak seimbang antara kemampuan militer dan logistiknya. Kekalahannya di batavia telah menggugurkan mitos bahwa ia tak terkalahkan. Tahun 1646 Sultan Agung wafat, ia meninggalkan sebuah kerajaan besar yang rapuh yang berpusat di Plered, selatan Yogyakarta. Pada masa kepemimpinan Raja Amangkurat I, Trunajaya seorang pangeran dari Madura membrontak. Istana kerajaan di Plered diserang yang menyebabkan Amangkurat harus lari keluar. Ia meninggal dunia dalam pelarian di sebelah selatan Kota Tegal. Dengan bantuan VOC akhirnya putra mahkota, Amangkurat II berhasil menduduki singgasana Mataram kembali. Trunajaya yang merupakan musuh bebuyutan ditikamnya sampai mati setelah berhasil ditangkap di Jawa Timur. Pada tahun 1680 Amangkurat II memindahkan ibukota Mataram ke Pajang dan diberi nama Kartasura. Namun saudaranya, yaitu Pangeran Puger tidak mau mengakui keberadaan ibukota kerajaan yang baru tersebut. Ia tetap bertahan di istana lama Mataram dan menyatakan memberontak kepada saudaranya, Amangkurat II. Pangeran Puger kemudian diusir oleh VOC, namun tidak lama kemudian berhasil menghimpun lebih dari 10.000 pasukan dan merebut Mataram kembali. Ketika hampir saja berhasil menduduki Kartasura, ia dapat dipukul mundur oleh VOC sehingga dengan terpaksa harus mengakui kepemimpinan Amangkurat II. Tahun 1703 Amangkurat II wafat dan digantikan oleh Amangkurat III. Pada saat itulah perselisihan warisan yang melibatkan Pangeran Puger meletus kembali. Berkat kelihaian Pangeran Puger memanfaatkan VOC, ia berhasil menduduki singgasana Mataram dan dengan restu VOC mengklaim dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Pakubuwono I. Pada masa kekuasaannya beberapa daerah mulai melakukan pemberontakan. Kekuasaannya melemah, bahkan dikatakan bahwa pada akhir kekuasaannya seluruh rakyat meningalkannya dan hampir seluruh dunia Jawa memusuhinya. Pada tahun 1719 Pakubuwono I wafat dan digantikan oleh

3

putranya, Amankurat IV.5 Amangkurat IV meninggal tahun 1726 dan digantikan oleh anaknya yang masih belia, Pakubuwono II. Pada masa pemerintahan Pakubuwono II kekacauan semakin menjadi-jadi di ibukota kerajaan Kartasura. Pemberontakan terus-menerus terjadi baik yang dilakukan oleh saudara raja maupun oleh vasa-vasalnya. Salah seorang saudara raja yang memberontak adalah Mas Said. Merasa ibukota kerajaan sudah tidak aman, Pakubuwono II memindah ibukota kerajaan ke tepi sungai Solo. Ibukota yang baru tersebut diberi nama Surakarta. Pemberontakan semakin menjadi-jadi ketika Mataram diperintah oleh Pakubuwono III. Pangeran Mangkubumi yang merasa berjasa telah mengalahkan Mas Said menuntut wilayah kekuasaan yang telah dijanjikan oleh Pakubuwono II sebelum wafat. Menghadapi pemberontakan yang semakin menjadi-jadi akhirnya VOC campur tangan. Tanggal 13 Februari 1755 lahirlah Perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua Timur dan Barat. Pakubuwono III tetap berkedudukan di Surakarta sedangkan Mangkubumi mendapatkan daerah di sebelah barat. Pada tahun 1756 Mangkubumi membangun ibukota kerajaan barunya yang diberi nama Yogyakarta. Mendirikan Kota Membangun Tembok dan Benteng Antara kerajaan-kerajaan di Korea dengan kerajaan-kerajaan di Jawa memiliki persamaan, yaitu hidup di atas konflik. Kerajaan di dua wilayah yang berbeda tersebut sama-sama terperangkap dalam peperangan yang terjadi secara terus-menerus. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap situasai masyarakat yang tinggal di kerajaan tersebut. Kehidupan mereka terus-menerus diliputi ketidakpastian karena tidak ada jaminan keamanan. Raja-raja mereka juga hidup dalam ancaman karena sewaktu-waktu bisa digulingkan oleh orang lain baik melalui pemberontakan maupun melalui peperangan. Kondisi semacam ini jelas sangat berpengaruh ketika mereka membangun ibukota kerajaan. Pertimbangan keamanan menjadi pertimbangan utama ketika ibukota kerajaan dibangun. Beberapa saat setelah ibukota kerajaan Chosun menetapkan Hanyang sebagai ibukota kerajaan, kota tersebut segera dibangun. Pembangunan kota ini secara serius dilakukan oleh Raja Taejo yang mengantikan Raja Yi Song-gye. Taejo mulai membangun kota Hanyang pada tahun 1394. Mula-mula ia membangun dua bangunan tempat suci yaitu Kuil Jongmyo dan Kuil Sajik atau Altar Sajik. Selain itu ia juga membangun istana sebagai tempat tinggal raja. Proses pembangunan gedunggedung tersebut memakan waktu yang cukup singkat karena pada tahun 1395 semua dapat diselesaikan. Taejo nampaknya menginginkan kota Hanyang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan tetapi sekaligus juga sebagai kota agama, sehingga ia membangun istana sekaligus membangun kuil. Setelah gedung-gedung utama sebagai pusat pemerintahan dan pusat keagamaan selesai dibangun Taejo menginginkan agar kota baru ini juga dilengkapi dengan tembok keliling. Sebagaimana telah ditulis sebelumnya, konflik terusmenerus yang melatarbelakangi berdirinya kerajaan Chosun telah melahirkan ide pembangunan tembok kota tersebut. Ia berharap jika ibukota dikelilingi oleh tembok yang kuat maka musuh tidak mudah untuk menghancurkan ibukota kerajaan. Pada akhir tahun 1395 tembok yang direncanakan mengelilingi kota Hanyang mulai dibangun. Untuk keperluan tersebut Raja Taejo mendirikan sebuah kantor yang 5

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008). hlm. 199

4

bertugas mengawasi proses pembangunan tembok yaitu Doseong-chukjo-dogam. Sebelum proses pembangunan dimulai Taejo mengutus Jeong Do-jeon untuk melakukan survey awal dan mengukur jarak dari gunung ke gunung yang berada di sekeliling kota Hanyang untuk menentukan panjang tembok kota yang akan dibangun. Perlu diketahui bahwa kota Hanyang dikelilingi oleh beberapa gunung atau tepatnya bukit, antara lain Gunung Baegak, Gunung Nak, Gunung Mongmyeok, dan Gunung Inwang.6 Karena dikelilingi oleh empat buah gunung maka kota Hanyang dijuluki sebagai kota yang dijaga oleh empat gunung. Taejo menginginkan agar tembok kota yang akan dibangun nantinya merupakan sebuah tembok yang menghubungkan antara gunung yang satu dengan gunung lainnya supaya kota yang semula hanya dijaga oleh empat gunung menjadi bertambah rapat dengan adanya tembok tersebut. Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Jeong Do-jeon diperoleh hasil bahwa panjang tembok yang harus dibangun untuk menghubungkan keempat gunung tersebut adalah 59.500 cheok atau setara dengan 19 kilometer. Proses pembangunan fisik baru dimulai tahun 1396, dengan peletakan batu pertama dilakukan di Gunung Baegak. Dari Gunung Baegak tembok diarahkan ke Gunung Nak, Gunung Mongmyeok, Gunung Inwang, dan akhirnya kembali ke Gunung Baegak. Keseluruhan panjang tembok dibagi menjadi 97 seksi atau bagian yang masingmasing panjangnya 600 cheok atau sekitar 193 meter. Pembagian seksi tersebut bertujuan untuk mempermudah proses pengawasan pembangunan karena setiap seksi ada yang bertanggungjawab. Uniknya, pada masing-masing seksi dari 97 seksi yang telah dibangun kemudian diberi penanda berupa karya sastra yang diambil dari kitab Qian zi wen, yaitu sebuah kitab yang berisi seribu ajaran dasar tentang karakter Cina. Sebagai sebuah karya monumental, tembok kota Hanyang dibangun dengan sangat teliti yang melibatkan puluhan pengawas, anggota pengawas, dan puluhan ribu pekerja. Untuk satu pengawas bertanggungjawab untuk mengawasi dua seksi dengan anggota pengawas berjumlah duabelas orang yang bekerja berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh si pengawas. Masing-masing seksi yang panjangnya 600 cheok dibagi lagi menjadi enam sub seksi, yang masing-masing panjangnya 100 cheok. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa semua bagian dibangun dengan kualitas yang baik. Untuk membuktikan tanggungjawab dari para pengawas (supervisor) bahwa pekerjaan mereka sudah benar-benar baik maka setelah tembok selesai dibangun masing-masing pengawas harus mengukirkan namanya di tembok yang menjadi tanggungjawab mereka. Bukti-bukti tersebut saat ini masih bisa disaksikan di tembok bagian timur yaitu di Namsan. Pencantuman nama para pengawas di tembok menunjukkan bahwa pembangunan tembok tersebut benarbenar menuntut tanggungjawab yang sedemikian besar yang juga membuktikan bahwa betapa pentingnya keberadaan tembok tersebut. Tenaga kerja yang terlibat dalam proses pembangunan tembok kota Hanyang berjumlah 118.070 orang, sebuah jumlah yang amat menakjubkan mengingat bahwa populasi penduduk Kota Hanyang pada waktu itu hanya sekitar 50.000 orang saja. Itu artinya bahwa proses pembangunannya melibatkan pengerahan penduduk dari luar kota yang amat besar antara lain dari Propinsi Gyeongsang, Propinsi Jeolla, dan dari Propinsi Gangwon. Jumlah pekerja dari luar kota yang dikerahkan berjumlah kurang lebih 79.400 orang.7 6

Korea Cultural and Historical Survey Society, A Field Guide to History: Seoul, (Gyeonggi-do: Dolbegae Publishers, 2007), hlm. 76 7 Ibid., hlm. 78

5

Tidak berbeda jauh dengan Hanyang, hampir semua ibukota kerajaan di Jawa juga dipagar dengan tembok keliling yang disebut beteng atau benteng. Salah satu kota yang memiliki benteng keliling adalah Yogyakarta. Namun tidak seperti di Hanyang di mana tembok kota berfungsi untuk melindungi kota sehingga memiliki keliling yang lebih panjang, benteng di Yogyakarta memiliki fungsi hanya sebatas untuk melindungi kawasan pemukiman raja (kraton) beserta keluarganya. Oleh karena itu panjang kelilingnya juga lebih pendek. Kota Yogyakarta dibangun oleh Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua. Mangkubumi yang mendapatkan daerah sebelah barat segera menetapkan hutan Beringan sebagai tempat yang akan dikembangkan menjadi ibukota kerajaan sekaligus tempat untuk istana atau kraton yang akan dibangunnya. Ia sendiri yang memimpin proses pembangunan kota, dan selama kraton belum berdiri Mangkubumi tinggal di Pesanggrahan Gamping yang terletak kira-kira 5 kilometer di sebelah barat hutan Beringan. Salah satu alat ukur yang ia gunakan selama proses pembangunan kota saat ini masih tersimpan di Kraton Yogyakarta yaitu alat ukur Kyai Baladewa yang panjangnya 3,25 meter.8 Mangkubumi membuka hutan Beringan dan menjadikannya cikal-bakal kota Yogyakarta selama kurang lebih satu tahun. Bangunan utama yang dibangun di kawasan tersebut adalah keraton yang akan digunakan sebagai pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal raja. Pada tanggal 7 Oktober 1756 Mangkubumi pindah dari Pesanggrahan Gamping ke keraton yang sudah hampir jadi. Ia menandai kepindahannya tersebut dengan candra sengkala yang berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal yang jika diangkakan memiliki arti 1682 tahun Saka, yang sama waktunya dengan tahun 1756 Masehi.9 Ia menamakan kota yang baru dibangunnya Ngayogyakarta Hadiningrat atau terkenal dengan sebutan Kota Yogyakarta. Kompleks utama keraton luasnya kira-kira 4.000 meter persegi yang dikelilingi gedung-gedung dengan nama berbeda-beda menurut kepentingannya. Ketika secara resmi Mangkubumi ditetapkan sebagai raja, ia mengganti namanya menjadi Sultan Hamengkubuwana I. Sebagai seorang raja yang diangkat dan ditetapkan dalam suasana konflik perebutan kekuasaan, Hamengkubuwana I memiliki perasaan yang selalu terancam. Bisa saja sewaktu-waktu saudaranya akan merebut kembali kekuasaan yang telah ia bangun seperti halnya ia menuntut kekuasaan kepada saudaranya sewaktu zaman Mataram. Saingan berat Hamengkubuwana I adalah Pakubuwana III yang berkuasa di keraton Surakarta, terutama dalam mencari dukungan golongan elite.10 Selain ancaman dari saudaranya di Surakarta, ancaman lain adalah VOC yang sudah mulai berkeliaran ke kota-kota pedalaman. Hamengkubuwana I merupakan salah seorang raja yang sangat antipati kepada VOC. Ia merupakan raja terbesar Yogyakarta yang mampu menjadikan kerajaan tersebut berwibawa, kuat, dan makmur.11 Karena perasaannya yang senantiasa terancam tersebut ia selalu membangun beteng di mana ia tinggal yang berfungsi sebagai pertahanan. Ketika ia masih tinggal di Pesanggrahan Gamping, Hamengkubuwana I juga melengkapi pesanggrahannya tersebut dengan benteng keliling yang ukurannya kira-kira 80 x 150 meter 8

Jo Santoso, Arsitektur-kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa, (Jakarta: Centropolis, 2008), hlm. 167 Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun, Kota Jogjakarta 200 Tahun: 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956, (Yogyakarta: Sub Panitya Penerbitan, 1956), hlm. 18 10 Ricklefs, op.cit., hlm. 222 11 Ibid., hlm. 235 9

6

menghadap ke timur. Di beberapa tempat terdapat pintu gerbang yang berfungsi untuk akses keluar-masuk kompleks pesanggrahan. Ketika kompleks keraton di hutan Beringan sudah jadi, Hamengkubuwana I kemudian membangun benteng keliling (ringmuur) untuk melindungi kompleks istana barunya dari serangan musuh.12 Benteng keliling tersebut oleh masyarakat setempat sering disebut Beteng Keraton Yogyakarta. Tidak ada data yang menceritakan dengan detail proses pembangunan benteng keraton. Namun jika dilihat dari wujudnya yang tinggi (3,5 meter) dan tebalnya mencapai 5 meter serta melingkari wilayah seluas 140 hektar, maka sudah dipastikan proses pembangunan benteng tersebut memerlukan tenaga kerja yang besar. Struktur Antara Eupseong di Hanyang dan Beteng di Yogyakarta memiliki kesamaan fungsi yaitu sebagai benteng pertahanan jika sewaktu-waktu kota diserang oleh musuh. Namun dari segi struktur dan makna kedua benteng tersebut memiliki perbedaan. Secara visual perbedaan keduanya dapat dilihat pada gambar peta di bawah ini. Hanyang (Seoul)

Sumber: A Field Guide to History: Seoul

Yogyakarta

Sumber: Arsitektur-kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa

Dari peta di atas terlihat perbedaan yang sangat mencolok. Pada peta kota Hanyang, tembok kota atau Eupseong dilukis dengan bentk garis bergerigi. Dari lukisan tersebut maka dapat dilihat bahwa bentuk tembok kota ternyata tidak mengikuti pola garis lurus tetapi berkelok-kelok. Kelokan-kelokan tersebut 12

Di Keraton Yogyakarta tembok yang mengelilingi kompleks istana raja disebut beteng, sedangkan di Surakarta disebut baluwarti. Baluwarti berasal dari bahasa Portugis baluarte yang artinya juga benteng. Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 113

7

disebabkan karena pembangunan tembok kota mengikuti kondisi geografis kota Hanyang. Dan yang lebih penting lagi, tembok kota dibangun untuk menghubungkan empat gunung yang mengelilingi kota. Karena keempat titik gunung tersebut tidak berada pada posisi simetris maka tembok kota juga tidak dibangun simetris. Kondisi geografis yang naik turun, kadang miring, menyebabkan bangunan tembok juga harus dibangun mengikuti alur yang naik turun dan miring pula. Filosofi tembok kota tidak berada pada bentuk tembok, tetapi lebih pada hubungan antar gunung yang mengelilingi kota. Bahan untuk membangun tembok tersebut ada dua, untuk daerah-daerah yang berada pada dataran rendah temboknya dibangun dari bahan tanah liat. Untuk bagian yang terbuat dari tanah liat pada bagian dasarnya memiliki lebar/ketebalan 24 cheok (7,6 meter) sedangkan pada bagian atasnya memiliki lebar/ketebalan 18 cheok (5,7 meter) sedangkan panjangnya mencapai 40.300 cheok atau sekitar 12,8 kilometer. Pada bagian yang terbuat dari batu memiliki ketinggian 15 cheok (4,8 meter) dan memiliki panjang 19.200 cheok atau sekitar 6,1 kilometer.13 Karena terbuat dari tanah liat, pada saat musim hujan yang lebat seringkali tembok yang telah dibangun runtuh dan menghalangi saluran air sehingga menyebabkan banjir. Berkali-kali hal itu terjadi sehingga dibutuhkan beberapa kali perbaikan. Sebagai akses keluar dan masuk kawasan istana raja, maka tembok kota ini dilengkapi dengan empat pintu utama dan empat pintu tambahan. Empat pintu utama (main gates) ukurannya lebih besar dan lebih tinggi. Bentuknya melengkung mirip dengan plengkung di beteng kraton Yogyakarta yang juga berfungsi sebagai akses keluar dan masuk ke kawasan di dalam beteng. Keempat pintu utama Eupseong Hanyang memiliki nama antara lain Heungin-mun (pintu timur), Donui-mun (pintu barat), Sungnye-mun (pintu selatan), dan Sukjeong-mun (pintu utara). Sedangkan keempat pintu tambahan bentuknya lebih kecil (mini gates), masing-masing bernama Honghwa-mun (pintu timu laut), Gwanghui-mun (pintu tenggara), Sodeok-mun (pintu barat daya), dan Changhui-mun (pintu barat laut). Dari segi struktur, tembok kota Hanyang cukup berbeda dengan benteng keraton Yogyakarta. Jika tembok kota Hanyang berbentuk tidak beraturan, maka benteng keraton Yogyakarta memiliki bentuk segi empat yang hampir simetris. Panjang masing-masing sisinya kira-kira seribu meter lebih, sehingga panjang keseluruhan hampir lima ribu meter (5 kilometer). Ukuran tersebut jelas tidak sebanding dengan panjang tembok kota Hanyang yang mencapai 19 kilometer. Benteng keraton Yogyakarta memiliki lima pintu yang disebut plengkung, karena bentuknya melengkung setengah lingkaran. Bentuk yang melengkung tersebut juga digunakan untuk pintu-pintu tembok kota Hanyang. Kelima plengkung benteng keraton Yogyakarta antara lain sebagai berikut. Pertama, Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Kata tarunasura berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura 'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani. Kedua, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura 'berani'. Dengan demikian, Plengkung Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk) kompleks keraton yang melambangkan rasa keberanian. 13

Korea Cultural and Historical Survey Society, op.cit., hlm. 77

8

Ketiga, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang terletak di sebelah barat. Saat ini, Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Kata jagabaya berarti menjaga marabahaya. Keempat adalah Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Gondomanan yang terletak di sebelah timur, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Kata tambakbaya berasal dari dua unsur kata yakni tambak 'segala sesuatu yang dijadikan penghalang air' dan baya 'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut dimaksudkan sebagai penghalang marabahaya Kelima adalah Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan. Saat ini masih berdiri utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut kala sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja. Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke keraton tanpa bahaya, maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan. Pada setiap sudut benteng terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai tempat mengintai musuh. Di setiap bastion terdapat lubang pengintaian dan relungrelung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. Dahulu benteng tersebut dikelilingi parit yang lebar yang berfungsi untuk menghalangi musuh agar tidak bisa mencapai benteng, namun lama-kelamaan parit tersebut hilang teruruk tanah. Jika nama lima plengkung di benteng keraton Yogyakarta dikaitkan dengan aktifitas penjagaan keraton, maka pintu-pintu di tembok kota Hanyang dikaitkan dengan ajaran Confucanism. Ajaran Confucianism yang dimaksud adalah Lima Prinsip Confusanism, yaitu pertama, kebajikan (benevolence) atau in. Biasanya dihubungkan dengan elemen kayu dan merupakan representasi dari Timur. Hal ini dihubungkan dengan Heungin-mun, yaitu pintu tembok sebelah timur. Kedua, kebenaran (righteousness) atau ui. Kebenaran biasanya dikaitkan dengan elemen logam dan tempatnya berada di sebelah Barat. Representasi dari ui adalah pintu Donui-mun. Ketiga, ritual atau ye, merupakan elemen api dan tempatnya di sebelah Selatan. Dengan demikian maka pintu Sungnye-mun merupakan representasi dari elemen api. Keempat, kebijaksanaan (wisdom) atau ji, merupakan elemen air. Tempatnya ada di sebelah Utara dan direpresentasikan dengan pintu Sukjeong-mun. Sedangkan yang kelima atau terakhir adalah ketulusan (sicerity) atau sin. Unsurnya adalah bumi atau tanah dan tempatnya berada di tengah-tengah. Disimbolkan dengan bangunan untuk lonceng besar yang terletak di tengah-tengah kota yang bernama Bosingak. Masing-masing bangunan yang menempel pada tembok kota di Hanyang maupun pada benteng keraton Yogyakarta pada dasarnya memiliki makna yang berbeda-beda yang berkaitan erat dengan semangat zaman pada masa bangunan tersebut dibuat. Penutup Hanyang (Seoul saat ini) dan Yogyakarta adalah dua kota pusat kerajaan tradisional yang pembangunannya diawali dengan konflik antar kerajaan maupun konflik antar keluarga kerajaan yang berkepanjangan. Sebagai sebuah kota hasil konflik maka kota didesain sebagai area pertahanan. Untuk kepentingan tersebut

9

maka kota sebisa mungkin diberi pagar keliling yang kuat yang diharapkan dapat melindungi keluarga penguasa yang mengalami phobia terhadap serangan dari luar. Perlu dilakukan sebuah penelitian yang lebih mendalam apakah kedua tembok kota tersebut memiliki persamaan fungsi sekaligus memiliki persamaan makna simbolik. Bangunan pada masa kerajaan tradisional biasanya sarat dengan makna simbolik. Hal itulah yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang maksimal. Seoul sampai saat ini cukup berhasil dalam memelihara sisa-sisa tembok kota. Bekas-bekas pintu gerbang masih dipelihara dengan rapi dan indah sehingga mampu menyedot wisatawan. Hal yang sama tidak terjadi di Yogyakarta. Benteng keraton yang merupakan bangunan bersejarah di sana-sini tidak terawat bahkan cenderung digerogoti oleh tangan-tangan jahil dalam berbagai bentuk. Sudah selayaknyalah kedua kota saling bersinergi memelihara bangunan peninggalan masa lalu yang memiliki kemiripan fungsi. Daftar Pustaka A. Bagoes P. Wiryomartono. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia: Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota sejak Peradaban HinduBuddha, Islam hingga Sekarang. Jakarta: Gramedia, 1995 Jo Santoso. Arsitektur-kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa. Jakarta: Centropolis, 2008 Korea Cultural and Historical Survey Society. A Field Guide to History: Seoul. Gyeonggi-do: Dolbegae Publishers, 2007 Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia, 2000 Panitya Peringatan Kota Jogjakarta 200 Tahun. Kota Jogjakarta 200 Tahun: 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Yogyakarta: Sub Panitya Penerbitan, 1956 Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008 Tim Pusat Studi Korea UGM. Sejarah Korea. Yogyakarta: Pusat Studi Korea UGM dan The Academy of Korean Studies, 2005 Yang Seung-Yoon dan Nur Aini Setiawati. Sejarah Korea: Sejak Awal Abad Hingga Masa Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003

10

Related Documents

Tembok Kota Seoul
June 2020 10
Tembok
November 2019 21
Map Seoul
October 2019 8
Invest Seoul
May 2020 7