Tawakal

  • Uploaded by: musthafa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tawakal as PDF for free.

More details

  • Words: 848
  • Pages: 3
TAWAKAL Sebagai seorang muslim yang mengimani akan adanya kehidupan akhirat, maka kebutuhan kita terbagi atas kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka kita tak lepas dari usaha untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, baik untuk hidup dunia maupun di akhirat. Sebelumnya kita pun sama maklum bahwa, ciri kehidupan ditandai dengan adanya aktivitas. Dan kehidupan akan selalu berkaitan dengan kebutuhan dan rezeki. Segala sesuatu yang ada di dunia, baik materi maupun non materi adalah sesuatu ketersediaan bagi kebutuhan manusia. Hanya saja sebatas apa kita mampu mendapatkan atau meninggalkannya sampai kita merasa cukup dengannya. Ambil saja contoh kebutuhan akan makan. Pada umumnya manusia makan dalam sehari tiga kali. Tapi bisa saja menambah jadi empat atau lima kali atau bahkan bagi orang yang mementingkan kebutuhan nikmatnya akan rasa makan, setiap satu jam ia dapat makan sepiring nasi dengan mengkonsumsi obat atau ramuan penghancur makanan dalam perut hingga dalam waktu setengah jam makanan yang dimasukkan dalam perut hancur dam dapat keluar menjadi kotoran, hingga ia merasa lapar dan jam berikutnya ia bisa menikmati makan sepiring nasi kembali, dan begitu seterusnya. Begitu juga manusia bisa mengurangi makan menjadi dua kali atau satu kali dalam sehari. Tentang rezeki yang dikaruniakan Allah kepada manusia, Hatim Al-Asham berkata: "Aku yakin, bahwa dunia dan akhirat adalah kerajaan Allah; aku yakin rezeki dan sebab-sebab didapatkannya hanyalah di tangan kekuasaan Allah." Firman Allah dalam Al-Qur'an, menunjukkan bahwa rezeki itu datang dari Allah, bukan dari yang lain: "Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki." (QS. Ar-Rum: 40) Allah pun berjanji akan memberikan rezeki, seperti firman-Nya: "Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rezeki." (QS. Adz-Dzariyat: 58) Tidak hanya berjanji, tapi Allah menjamin akan memberi rezeki, seperti firman-Nya: "Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezeki." (SQ. Hud: 6) Bahkan tidak hanya menjamin, tapi lebih jauh Allah bersumpah akan memberi apa yang Allah janjikan. Firman-Nya: "Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. AdzDzariyat: 23) Firman-firman Alah di atas menunjukkan pernyataan, janji, jaminan dan sumpah Allah kepada kita atas rezeki buat kita, untuk kita yakini. Hasan Al-Basyri mengatakan: "Allah melaknat suatu kaum, di mana Allah telah bersumpah kepadanya (akan memberi rezeki) tapi mereka tidak mempercayainya." Uwais Al-Qorni ra. juga berkata: "Sekali pun anda beribadah kepada Allah seperti ibadahnya semua penghuni langit dan bumi, Allah tidak akan menerima ibadah anda, sebelum anda membenarkan-Nya." Ketika ditanya: "Bagaimana cara kita membenarkan-Nya?"

Uwais menjawab: "Percaya dan merasa aman atas jaminan Allah kepada anda, yaitu mengenai urusan rezeki anda, sehingga anda dapat menunaikan ibadah secara fokus, tanpa terganggu persoalan rezeki." Bagi kita seorang muslim yang dalam kehidupan sehari-hari bekerja pada umumnya, seperti pedagang/pengusaha, pegawai/karyawan, petani, nelayan, tukang, dokter, guru dll. (maqam Sabab), maka dalam usaha memenuhi kebutuhannya haruslah selalu memperhatikan agar setiap aktivitas yang kita lakukan mempunyai nilai ibadah. Meyakini bahwa rezeki itu semata-mata datang dari Allah SWT, bukan dari apa yang kita usahakan. Untuk mendapatkan rezeki dan menghindari dari tuntutan nafsu, hanya dapat diatasi dengan tawakal, agar bisa tenang dan tenteram serta terjaganya segala aktivitas kita tetap selalu bernilai ibadah kepada Allah SWT, bukan semata-mata mengejar kepentingan nafsu keduniaan. Karena aktivitas yang bernilai ibadah kepada Allah inilah merupakan bekal persiapan untuk kebutuhan kita di akhirat kelak. Perintah Allah dalam Al-Qur'an: "Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Hidup (kekal) yang tidak mati." (QS. Al-Furqan: 58) "Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah: 23) "Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." (QS.Ali Iman: 159) " .....Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkasangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq: 2-3) Jika kita merasa takut tidak dapat rezeki karena adanya persaingan bisnis misalnya, hingga melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan melanggar syari'at, maka kita termasuk orang yang tidak meyakini jaminan Allah SWT atas rezeki untuk kita dan jauh dari sifat tawakal kepada Allah SWT. Jika semisal pesaing kita menimbulkan pengaruh bisnis kita kurang mendatangkan untung, yakinlah atas jaminan dan sumpah Allah SWT tentang pemberian rezeki pada setiap makhluk-Nya. Kita dituntut tetap bertawakal kepada Allah, dan yakinlah, Allah akan memberikan rezeki dari jalan atau sebab lain yang tidak kita ketahui. Karena kita tidak diwajibkan mencari tahu sebab datangnya rezeki, tapi kita diwajibkan meyakini adanya jaminan Allah atas rezeki dan selalu beribadah serta bertawakal kepada-Nya. Kebanyakan dari kita yang berada dalam posisi maqam Sabab, yaitu melakukan pekerjaan atau berusaha memenuhi kebutuhan hidup di dunia sebagai profesi yang berkecimpung di dunia ekonomi, banyak menemui godaan yang bersumber pada nafsu keduniaan yang dapat merusak segala aktivitas yang bernilai ibadah. Nafsu selalu menuntut kita untuk selalu dipenuhi kebutuhannya. Padahal kebutuhan akan nafsu jauh meninggalkan dan merusak nilai-nilai ibadah. Nafsu tidak akan merasa cukup. Ia selalu merasa kurang dan berambisi untuk mengejar kesenangan dan sahwat

duniawi yang tidak pernah ada batasnya. Nah disinilah pentingnya kita selalu bertawakal kepada Allah, hingga kita menemukan rasa cukup, seberapa pun rezeki yang kita peroleh.

Related Documents


More Documents from ""