TANTANGAN DAN SOLUSI ALTERNATIF DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL1 (Studi Kasus: Pengalaman NGO APIKRI dan D’Best Furniture) Oleh Desy Nur Aini2 “To empower economic and quality of life of disadvantage people, tribute traditional culture and environment friendly through fair trade.” Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi oleh aktor (pelaku usaha) di tingkat lokal terkait aturan yang diterapkan dalam perdagangan internasional dan menganalisis kasus tersebut menggunakan konsep atau teori untuk menemukan sebuah solusi alternatif. Memasuki era perdagangan bebas, usaha-usaha indsutri kecil perlu ditingkatkan dan dikembangkan guna menghasilkan produk yang mampu berkompetisi dalam hal mutu, harga dan sistem mmanajemen agar dapat menembus pasar domestik dan internasional.3 Sektor industri dan perdagangan merupakan salah satu sektor yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah secara nasional maupun global. Liberalisasi perdagangan memang di satu sisi telah memberikan keuntungan tetapi juga adanya kerugian dan ketidakadilan terhadap manusia dan lingkungan. Melalui pengalaman aktor NGO ataupun pelaku usaha seperti APIKRI dan D’Best Furniture, dapat diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh APIKRI untuk mendorong fair trade dan D’Best Furniture dalam menyiasati aturan atau rejim dalam perdagangan internasional. FAIR TRADE SEBAGAI BENTUK KEOPTIMISAN MELAWAN FREE TRADE Menurut FTF (Fair Trade Federation), fair trade dapat didefinisikan sebagai tata niaga yang memiliki komitmen untuk mengembangkan kemitraan yang merata di antara aktor negaranegara industri maju dengan aktor produsen berpenghasilan rendah di negaranegara berkembang. Free trade memiliki beberapa kriteria yang meliputi upah yang adil, tempat kerja berorientasi koperasi, pendidikan konsumen, pelestarian lingkungan, dukungan keuangan dan teknik, penghargaan terhadap identitas kultural, dan tanggung jawab terhadap publik. Fair trade Diadaptasikan dari Mata Kuliah Perdagangan dan Investasi Global yang diampu oleh Prof. Dr. Mochtar Mas’oed dan Dra Siti Daulah, M.A (2011) 2 Staf Pengajar Ilmu Hubungan Internasional, Fisip, UPN “Veteran” Yogyakarta, dalam Penelitian Lapangan (Mei, 2011) 3 Surya, Bonny. Peran Design bagi Peningkatan Ekspor Indonesia. Makalah disajikan dalam Temu Wicara Nasional Lembaga Penelitian ITB Ditjen HAKI – Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI- Kantor Menristek RI Asmindo Komda Cirebon, Bandung pada 20 November 1999, hal . 1 1
1
merupakan suatu bentuk keoptimisan yang melawan free trade yang hanya dinikmati sekelompok kecil sementara sebagian besar warga lainnya berada pada kondisi yang tidak adil terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Konsekuensi penerapan standar ganda seperti yang disebutkan oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dollar US (Hadiwinata, 2004). Prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender diterapkan untuk berpihak pada produsen miskin. Perkembangan fair trade melalui gerakan yang terorganisir diperkenalkan melalui NGO seperti Oxfam Great Briain (Inggris), Fair Trade (Amerika Serikat), Transfair (Jerman), FLO (Fair Trade Labelling Organization) yang didirikan di Belanda 1997, IFAT (International Federation for Alternative Trade) yang didirikan di Belanda 1989, NEWS (Network of Europian World Shops) yang didirikan di Belanda 1994 dan FINE (gabungan dari FLO, IFAT, NEWS dan EFTA).4 Fair trade di Indonesia telah cukup membantu pelaku usaha kecil untuk tetap mengembangkan bisnisnya seperti di Yogyakarta, Surakarta, Malang, Mataram dan Bali. Selain itu, Yayasan Samadi Justice dan Peace Institute juga ikut aktif dalam menyuarakan gagasan free trade yang mencakup Jawa, NTB, Maluku dan Sulawesi.5 Gerakan ini muncul pada pertengahan 1980an sebagai bentuk reaksi dari kondisi perdagangan yang sangat merugikan pelaku usaha kecil termasuk UKM yang kebanyakan memproduksi barang-barang kerajinan.6 Melalui upaya tersebut, diharapkan dapat melakukan penyadaran terkait degradasi kondisi kehidupan untuk mengkampanyekan perbaikan kehidupan. APIKRI SEBAGAI PROMOTOR FAIR TRADE INDUSTRI KECIL DI INDONESIA APIKRI (Asosiasi Pemasaran Industri Kerajinan Rakyat Indonesia) merupakan salah satu aktor NGO di Yogyakarta yang berupaya mendorong fair trade. Yayasan ini berdiri sejak tahun 1987 dan juga merupakan anggota World Free Trade Organization (WFTO). Selama ini free trade dianggap dapat menjamin kesejahteraan, tetapi pada kenyataannya hanya aktor (pelaku usaha atau negara) tertentu saja yang diuntungkan. Maka, para NGO dan pelaku usaha mencari solusi alternatif lain yaitu fair trade oleh Oxfam (Inggris), Oxford (Hadiwinata dan pakpahan,
Hadiwinata, Bob S. 2004. “Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar” hal. 72 Ibid, hal 114 6 Oxfam-Samadi Justice and Peace Institue. 2005, hal. 161 4 5
2
2004). Bermula dari insiatif Bapak Amir Panzuri bersama beberapa rekan, perajin kecil dan aktivis lembaga pendamping mereka dengan modal awal Rp.180.000, tetapi saat ini asset mereka sudah mencapai Rp 3 Miliar.7 Pengrajin penerima manfaat APIKRI tidak hanya di Yogyakarta, tapi juga meliputi Klaten, Wonogiri, Magelang, Pekalongan, serta Bali untuk wilayah di luar Jawa. APIKRI berupaya mencari jalan alternatif lain yakni melalui fair trade karena free trade dinilai tidak dapat memberikan kesejahteraan, tidak adil dan justru malah menimbulkan gap antar aktor atau pelaku usaha yakni hanya aktor yang memiliki keunggulan komparatif saja yang diuntungkan. Fair trade merupakan sebuah kemitraan dagang berdasarkan dialog, transparansi dan saling menghormati untuk mencari keadilan yang lebih luas dalan perdagangan internasional. Organisasi fair trade di dunia, termasuk APIKRI sepakat menggunakan standard baku dalam perniagaan berkeadilan yang meliputi, membuka kesempatan kerja bagi produsen dan pengrajin yang tidak diuntungkan dan termarginalkan, menekankan keterbukaan dan keadilan dalam bisnis termasuk perbaikan penghidupan pekerja, pengembangan capacity building bagi kemandirian pengrajin dengan peningkatan manajemen dan akses pasar, mempromosikan fair trade sehingga konsumen mengetahui produk, asal dan bagaimana produk itu dibuat, upah yang layak sesuai dengan standard lokal dan keadilan gender, kondisi kerja yang tidak berdampak buruk bagi kesejahteraan termasuk keterlibatan anak-anak, tidak berdampak buruk bagi lingkungan dan aktif dalam pelestarian lingkungan, dan menjamin keberlangsungan produsen dalam relasi dagang jangka panjang. APIKRI terus melakukan upaya promosi fair trade dengan pemberdayaan masyarakat lokal. Tetapi, dalam upaya tersebut banyak permasalahan dan kendala yang dihadapi. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi APIKRI dan bagaimana solusinya, maka akan dijelaskan beberapa kendala dan solusi dalam tabel sebagai berikut ini: Tabel 1. Permasalahan dan Solusi Alternatif yang dilakukan APIKRI Permasalahan yang dihadapi
Peran APIKRI
7
Komunikasi dalam Field Work Paskasarjana HI UGM bersama Bp Amir Panzuri selaku Pimpinan APIKRI pada 14 Mei 2011
3
Desa Wisata Bobung, Gunung Kidul
Umumnya para pelaku usaha atau pengrajin batik kayu di Bobung sering mengalami kendala terkait pasokan bahan baku kayu yang berkualitas dan harus mengirim dari luar Yogyakarta seperti Wonogiri. Ini menyebabkan bertambahnya ongkos produksi, disamping itu juga berkaitan dengan minimnya modal.
Desa Kalidoso Secang, Magelang
Terkenal dengan industri kerajinan sangkar burung tetapi terkendala akses pasar.
Tulungagung
Terkait dengan perkembangan industri ataupun kerajinan lokal di Tulungagung.
Yogyakarta (Kab. Bantul)
Industri kerajinan rebana di Bantul sering mengalami masalah terkait bahan baku yang tersedia tidak sesuai dengan kapasitas produksi.
Pengrajin terkendala dalam pasokan dan
APIKRI dan UGM berupaya dalam pengadaan bibit pohon dan dilakukan replanting (menanam pohon kembali) seperti pohon sengon di Desa Putat, Gunung Kidul dan ini diterapkan juga di kawasan lain yaitu seperti di Bantul dan Kulon Progo agar pasokan bahan baku kayu mudah di dapat untuk kerajinan.8 Sangkar burung dikembangkan tidak hanya menggunakan bahan baku bambu, bahkan menggunakan bahan batok kelapa dan rumput gelagah. Melalui APIKRI, rata-rata mengekspor ke Amerika Serikat, rata-rata 1000 buah pertahun, dengan harga jual Rp 20.000 / bh. 9 Melalui APIKRI, Disperindagkop dapat memperoleh inspirasi baru dalam mengembangkan industri kerajinan lokal yaitu melalui pendidikan dan pelatihan serta pemasaran produk Kerajinan. Fasilitas yang diberikan pada mereka mencakup pengembangan kapasitas, keterampilan, bantuan pemodalan, akses pasar, utamanya pasar ekspor.10 APIKRI berperan dalam melakukan pelatihan design rebana, manajemen dan berinovasi dengan bermotif batik untuk meningkatkan nilai tambah. Rebana tersebut dijual Rp. 60.000 per buah. upaya membuka akses pasar juga dilakukan dan diekspor ke luar negeri seperti AS, Timteng dan Kanada. (omset penjualan 2000 buah per bulan).11 Sejak tahun 2008 dilakukan upaya
8
Komunikasi dalam Field Work Paskasarjana HI UGM bersama Bp Amir Panzuri selaku Pimpinan APIKRI pada 14 Mei 2011 9 Dalam Kedaulatan Rakyat. “Sangkar Burung Buatan Magelang Tembus Amerika.” pada Kamis, 07 April 2011 10 Priono, Andhi. Februari 2011. Disperindagkop Kab. Tulungagung. “Kunjungan Disperindag ke Yayasan Apikri.” 11 Trijayanews.com. 6 Januari 2011.“Peluang Bisnis Pembuatan Rebana.” Diakses dari http://trijayanews.com/2011/01/peluang-bisnis-pembuatan-rebana/ pada 20 Juni 2011
4
Pantai Congot, Kulon Progo, Yogyakarta
Pasar Internasional
pengadaan bahan baku serat pandan untuk produksi. Hal tersebut dikarenakan belum maksimalnya pengelolaan serat daun pandan. Padahal jika dibudidayakan dan dikeringkan bisa menjadi bahan baku kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi, serta dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas.
Pasar Internasional umumnya di negara Amerika dan Eropa mempertimbangkan isu yang berkaitan dengan produk seperti ramah lingkungan, tidak bias gender, eksploitasi tenaga kerja wanita dan anak-anak. Maka, pelaku usaha yang tidak mengikuti tren tersebut akan tersingkirkan.
mengembangkan tanaman pandan di kawasan pantai dengan menanam bibit pandan sebanyak 5.000 batang. Yang dimanfaatkan daunnya untuk dijadikan serat bagi bahan baku aneka kerajinan serat masyarakat di Kulonprogo. Contohnya untuk produk petimati dari bahan serat pandan yang saat ini sudah ada permintaan barang tersebut dari Inggris, Korea dan Jepang.12 APIKRI melakukan promosi fair trade terkait kondisi kerja dan upah yang layak dan memperhatikan aspek gender. Pemulihan lingkungan dilakukan dengan Tebang Satu Tanam Sepuluh, Produk ramah lingkungan dari jenis pohon yang cepat tumbuh seperti sengon, bambu, sonokeling dan daun pandan.13 Sumber: Penulis, 2011
Dari pemaparan diatas, maka hal tersebut menunjukkan bahwa APIKRI selalu berperan memberikan solusi atas kendala yang dihadapi para pengusaha kecil agar terus berinovasi serta mendampinginya guna memotivasi sehingga dapat menciptakan produknya dengan kualitas ekspor. Pembinaan dan pendampingan terus dilakukan guna memotivasi pengusaha dan pengrajin lokal. Oleh karena itu, APIKRI dikenal sebagai salah satu promotor perniagaan berkeadilan (fair trade) di Indonesia yang memang berfokus pada pengembangan masyarakat dan pemasaran produk terutama bagi pihak yang tidak diuntungkan (misalnya pada pengrajin mikro, lingkungan, perspektif gender). KOMODITI KAYU DALAM REJIM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Terkait dengan banyaknya aturan tentang produk kayu yang diterapkan dalam perdagangan internasional, pelaku usaha kayu di Indonesia selalu berupaya menyiasati hambatan
12
Beritadaerah.com. 2009. Apikri Kembangkan Tanaman Pandan di antai Congot. Diakses dari: http://beritadaerah.com/berita/jawa/6996, pada 20 Juni 2011 13 Komunikasi dalam Field Work Paskasarjana HI UGM bersama Bp Amir Panzuri selaku Pimpinan APIKRI pada 14 Mei 2011
5
tersebut. Tahun 1970an Indonesia muncul sebagai negara pengekspor kayu gelondongan yang terbesar di dunia. Pada masa ini Indonesia mengalami booming ekspor kayu gelondongan yang mana akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini: Tabel 2. Nilai Ekspor Kayu Indonesia 1966-1970 (dalam jutaan US$) Tahun 1966 1967 1968 1969 1970
Kayu Gelondongan 3,6 6,3 11,5 25,3 86,1
Sumber: Chris Manning, The Timber Boom, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 7. No 3 hal 30 (Indicator Ekonomi BPS)
Perdagangan internasional telah memberikan peluang akses pasar atau ekspor bagi hasil hutan (kayu) tetapi juga memberikan dampak negatif bagi kelestarian fungsi hutan. Sebagai akibat ekspor kayu gelondongan yang membooming (adanya ekspolitasi hutan) yang mana melebihi daya dukung lingkungan dan prosesnya produksi yang tidak memperhatikan lingkungan maka pada tahun 1980, mulai ada pemberlakuan terhadap larangan ekspor kayu bulat. Pada saat itu, ketersediaan hasil hutan sangat mendukung untuk perkembangan industri kayu lapis (syarat utama untuk bahan baku masih melimpah). Tetapi, booming tidak berlangsung lama dikarenakan ada keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan oleh aktor-aktor (aktifis) NGO yang umumnya dari negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa yang mempengaruhi konsumen. Banyak produk ditolak karena tidak ramah lingkungan (not eco-friendly) seperti di Jepara. Dikarenakan Jepara tidak lagi memiliki image baik, maka banyak pelaku usaha furniture yang menyebar ke wilayah Yogyakarta, Solo, Sragen dan Klaten. Forest Stewarship Council (FSC) dan Smart Wood mulai mensyaratkan adanya sertifikasi pada produk kayu. Salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara kepentingan perdagangan dengan perlindungan hutan yaitu dengan ecolabelling. Ecolabelling merupakan sertifikasi terhadap produk yang memenuhi persyaratan proses produksi yang peduli pada lingkungan. Bagi konsumen yang peduli lingkungan hidup, ekolabel merupakan sebuah garansi yang menunjukkan bahwa produk yang mendapatkan label sudah memenuhi kriteria peduli lingkungan (Ahmad et al, 1993). Tujuan utama ecolabelling yaitu untuk memberikan informasi pada konsumen (pembeli kayu) mengenai dampak terhadap lingkungan dari kayu yang dibelinya, untuk 6
meningkatkan standar lingkungan dalam proses menghasilkan kayu dan juga untuk memberikan keunggulan kompetitif dalam perdagangan internasional (Markandya 1997:3-4). Di Indonesia, Untuk pembangunan kehutanan bidang pengusahaan hutan diatur dalam PP No.21 Tahun 1970. Komitmen untuk mengelola hutan secara lestari terdapat pada UU no. 5 tentang ketentuanKetentuan Pokok Kehutanan. Ecolabelling merupakan syarat lingkungan dalam rangka upaya harmonisasi. Kerusakan hutan merupakan masalah yang penting dimana juga makin mempengaruhi kebijakan ekonomi dan perdagangan luar negeri. MENJAWAB TANTANGAN REJIM DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL D’Best Furniture merupakan salah satu pelaku usaha produk kayu yang terletak di Jalan Imogiri Barat, Bantul Yogyakarta. D’Best Furniture pun sering mengikuti pameran di Jakarta, Singapura dan Hongkong dan bahkan produknya banyak diminati konsumen yang kebanyakan dari luar negari seperti Amerika dan Eropa. Walaupun banyak produk China masuk ke Indonesia, pengusaha furniture ini tidak begitu khawatir karena dapat menyiasatinya dengan inovasi design yang mana cukup banyak diminati konsumen mancanegara. Seringnya, produk furniture diekspor ke luar negeri seperti Belanda, Jerman, Afrika Selatan, Finlandia dan Amerika Serikat. Peran Pemerintah pada pengusaha furniture memang hanya sebatas memberikan fasilitas stand ketika pameran berlangsung dan perhatiannya lebih cenderung ke Usaha Kecil Menengah (UKM), karena dianggap pengusaha furniture sudah dapat mandiri. D’Best Furniture merupakan salah satu pelaku usaha produk kayu yang menghadapi banyak permasalahan terkait aturan perdagangan furniture global. Pelaku usaha memulai berpikir tentang efisiensi dan regulasi terhadap bahan baku kayu dikarenakan susah mendapatkan bahan baku dengan kualitas bagus, mahalnya operasional, kebijakan pemerintah yang ketat dan munculnya industri produk kayu di tempat lain. Setidaknya terdapat lima pokok permasalahan yang dihadapi oleh para pelaku usaha industri produk kayu, diantaranya yaitu: Pertama, Kondisi alam hutan sekarang sudah tidak cukup mampu untuk memasok lagi dan ketersediaan bahan baku yang berkualitas semakin menurun. Kayu jati merupakan kayu andalan yang sering digunakan untuk produk furniture. Untuk menyiasati kelangkaan terhadap kayu jati, maka pihak pengusaha mebel menggunakan kayu sengon.
7
Kedua, terkait dengan sertifikasi ecolabelling yang dikeluarkan oleh ITPC. Ecolabelling menuntut setiap produk harus didasarkan pada kelestarian lingkungan hidup dimulai dari pengambilan bahan baku (kayu), pengangkutan bahan baku ke pabrik, proses dalam pabrik, dan pengangkutan ke konsumen, yang secara keseluruhan tidak mencemari lingkungan. Aturan seperti ecolabelling membuat biaya produksi menjadi lebih mahal karena untuk mendapatkan sertifikasi para pelaku usaha industri furniture sampai dengan harga Rp 75 juta rupiah dan biaya perpanjangannya sampai dengan Rp. 25 juta. Permintaan konsumen ternyata tidak hanya didasarkan pada kualitas, harga, desain, tetapi juga dikaitkan dengan isu ekolabel. Ekolabel ternyata mempengaruhi pangsa pasar dan daya saing komoditas ekspor Indonesia khususnya pada produk kehutanan meski masih terbatas pada komoditas kayu lapis yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak berekolabel. Asosiasi mebel mencari alternative lain yaitu dengan menggalakan penggunaan rotan untuk produk mebel dalam Tempo Interaktif (1 Mei 2011). Tetapi, pada umumnya untuk konsumen di Indonesia lebih memilih produk kayu tanpa ecolabelling dikarenakan lebih murah. Ketiga, Standar yang harus dipenuhi tidak hanya pada ecolabelling, tetapi juga sertifikasi fumigas (buang gas saat barang berada di container) dan sertifikasi obat kayu (yang digunakan untuk membunuh serangga pada kayu) yang mana harus memenuhi standar ramah lingkungan. Hal tersebut juga menambah biaya produksi kayu dan harganya pun menjadi lebih mahal. Keempat, Salah satu produk yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia adalah design industri. Persetujuan TRIPs-WTO tidak mengatur ketentuan mengenai desain industri secara terperinci dan memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menentukan cara-cara yang dianggap sesuai untuk menerapkan ketentuan tersebut ke dalam sistem hukum dan praktik hukumnya. Di Indonesia, hal tersebut diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000 tentang Design Industri. Budaya pembajakan design industri di satu sisi mengancam kreativitas masyarakat pendesign dan di sisi lain mengganggu rasa keadilan karena budaya ini telah mengabaikan persaingan sehat (fair competition) dan menambah maraknya persaingan tidak jujur (unfair competition).14 Tetapi, permasalahan yang dihadapi yaitu hak paten atas design yang diciptakan sangat sulit di dapat karena mahal.D’Best Furniture menyiasatinya hak paten Mayana, Ranti F. 2004. “Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas.” Jakarta: PT Grasindo. Hal. 234 14
8
design dengan cara memodifikasi design yang ada, dan oleh karena itu inovasi dan kreativitas penting dilakukan. Kelima, Tambahan lagi, pelaku usaha juga mengahadapi kendala dalam mendapatkan ijin ekspor. Sebagai contohnya ketika D’Best Furniture akan mengekspor kayu munggur basah ke buyer, pemerintah kabupaten Bantul tidak mengijinkan dikarenakan lokasi usahanya bukan berada dalam kawasan industri. Padahal Pihak D’best juga sudah mempunyai SIUP, tetapi susah mendapatkan ETHIC. Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa aturan rejim dalam perdagangan internasional sebagai proteksionisme baru bagi negara berkembang seperti Indonesia karena sulitnya memenuhi sertifikasi dan mahalnya biaya. Ini bukti bahwa rejim internasional menjadi penghambat yang serius bagi pelaku usaha kayu lokal. Oleh karena itu, para pelaku usaha berupaya mencari alternatif lain misalnya dengan menggalakkan produk kayu lama untuk mebel karena sulit dan mahalnya sertifikasi ataupun dengan menciptakan produk dari kayu daur ulang (recycled wood furniture) dari kayu bekas yang tidak terpakai sehingga terpenuhinya syarat ramah lingkungan. Pelaksanaan aturan misalnya seperti Ecolabelling di Indonesia terhadap produk kayu (khususnya pada industri mebel dan kerajinan lokal) menjadi penghambat utama yang berdampak pada produktivitas pelaku usaha. Aturan ecolabelling di Indonesia belum berjalan dikarenakan produk dengan sertifikasi ecolabelling lebih mahal dibanding yang belum bersertifikat yang berpengaruh pada permintaan (daya beli) konsumen. Perlindungan design industri pun juga seharusnya berpihak pada pelaku usaha seperti Usaha Kecil Menengah (UKM), dalam kenyataannya masih minim sekali dalam mendaftarkan designnya. Oleh karena itu, inovasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan guna menjawab tantangan dalam rejim perdagangan internasional.
9
DAFTAR PUSTAKA Hadiwinata, Bob dan Pakpahan, Arnolt. 2004. “Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar” Iswanto, Apri. 2008. “Karya Tulis Kayu lapis (Plywood)”. Disertasi Tidak Dipublikasikan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumetera Utara. Mayana, Ranti F. 2004. “Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas.” Jakarta: PT Grasindo Muhtarom, Iqbal. 2011. Ekolabel. Diakses pada 1 Mei 2011. Dari http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/03/11/brk,20100311-231948,id.html Lukas Adi Prasetya. 2011. “12 Perusahaan Kayu Lapis Kesulitan Bahan.” Dalam Kompas (edisi 16 Maret 2011) Odell, John. 2006. “Negotiating Trade: Developing Countries in the WTO and NAFTA.” New York: Cambridge University Press Salim, Emil dan Drajad. 2010. Sertifikasi Ekolabel: Antara Kelestatian Hutan dan Perdagangan Internasional. Dalam Kompas 4 September, hal 15 Sarijanto, Titus. Sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Menuju Era Ekolabel. Direktoral Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan. Diakses pada 1 Mei 2011 dari: http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:cehKnNEOpmsJ:repository.ipb.ac.id/bitstream/han dle/123456789/26266/prosiding_simposium_penerapan_ekolabel_hutan.pdf
10