Tantangan Atas Bangunan Toleransi Mahasiswa Yogyakarta Oleh ANTONIUS GALIH PRASETYO I. Pengantar Tidak banyak kota di Indonesia yang memiliki sumber daya produktif dengan disertai suasana kebatinan lingkungan yang kondusif. Di antara yang langka tersebut, tidak salah bila Kota Yogyakarta dapat disebut sebagai salah satu contoh yang disebut pertama kali. Betapa tidak, ibukota satu-satunya provinsi yang memajang embel-embel “Daerah Istimewa” ini telah sejak lampau diasosiasikan dengan bermacam sebutan: Kota Pendidikan, Kota Pelajar, Kota Budaya, Kota Pariwisata, sampai Kota Gudeg. Tagline lama dari kota ini secara jelas melukiskan realitas dominan yang senantiasa diamini tiap-tiap penduduk yang tinggal di dalamnya: Yogyakarta Berhati Nyaman.1 Sebutan-sebutan tersebut disematkan kepada Kota Yogyakarta bukan tanpa alasan. Identitas sebagai Kota Pendidikan, misalnya, dilekatkan atas dasar banyaknya institusi pendidikan yang berdiri di kota ini yang jumlahnya mencapai bilangan ratusan. Dari aras pendidikan dasar sampai pendidikan pascasarjana, dengan mudah dapat kita temui keberadaannya di tiap-tiap sudut kota. Adapun mengikuti semua itu, tidak sedikit di antara institusi-institusi pendidikan tersebut yang terkenal mumpuni, beberapa bahkan berkualitas premium. Implikasi dari hal tersebut, sebutan sebagai Kota Pelajar mau tak mau akan tertangkup dalam satu paket identitas kota. Citra akan kedigdayaan Yogyakarta sebagai sentra ilmu Indonesia bahkan pada beberapa anggota masyarakat telah menjadi mitos dan aksioma, sehingga kota ini menjadi obyek pemalingan kepala yang pertama dan terutama dirujuk oleh masyarakat ketika dihadapkan pada pertanyaan “di mana tempat yang baik 1
Slogan ini didengungkan pertama kali pada tahun 1992 yang merupakan singkatan dari “Yogyakarta Bersih, Sehat, Indah, dan Nyaman.”
1
untuk menimba ilmu?” atau “setelah lulus SMA, akan melanjutkan ke mana?” Dan citra ini semakin kuat memancar manakali pada tiap-tiap musim penerimaan mahasiswa baru, pendaftar selalu membludak dari berbagai pelosok Nusantara. Tak ayal, Yogyakarta pun menjadi taman sari Indonesia sekaligus miniatur Nusantara karena berbagai entitas budaya menempatkan delegasinya di jelukjeluk kota, terutama untuk menempuh studi mempersiapkan masa depan. Pada fenomena terakumulasinya entitas-entitas budaya tersebut, proses yang akan terjadi dalam keseharian manusianya adalah tegangan kreatif antara penduduk lokal dengan pendatang, juga antarsesama pendatang. II. Proses Pembentukan Bangunan Toleransi Mahasiswa Sejarah kemanusiaan telah banyak mencatat bahwa perjumpaan budaya dapat bertransformasi menjadi perbenturan budaya dalam arti yang destruktif. Konflik berskala komunal kewilayahan yang antara lain dipicu oleh “persaingan” budaya telah banyak melambari historiografi kebangsaan dan kenegaraan, meski kebanyakan faktor budaya tersebut hanyalah alasan permukaan yang sumber konfliknya sebenarnya berakar pada intrik politik dan perkara struktur ekonomi yang timpang. Cerita suram tersebut dapat kita temui pada banyak wilayah di Indonesia. Namun Yogyakarta selalu bersih dari cerita tragis semacam itu, dari dulu sampai sekarang. Ini adalah fenomena yang menarik mengingat Yogyakarta ditinggali oleh bermacam-macam manusia dari beragam identitas dan latar belakang, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi bibit negatif. Pengelolaan,
kiranya itulah
kata kuncinya.
Siapa
yang mengelola
multikulturalisme dan pluralisme Yogyakarta? Jawabnya berasal dari dua pihak, yaitu masyarakat asli dan pendatang. Memang sejatinya pengelolaan keberagaman membutuhkan kerjasama dari semua pihak, namun dalam hal ini penduduk asli Yogyakarta mendapatkan tuntutan lebih untuk sekurang-kurangnya memberikan kesan yang baik dan positif pertama kali. Mengapa? Setiap individu yang masuk ke dalam suatu lingkungan baru pertama-tama akan melakukan pemetaan dan scanning akan kondisi dari lingkungan barunya 2
tersebut sebagai gambaran awal. Gambaran awal tersebut akan dijadikan pedoman mengenai pola perilaku dan langgam tindak tanduk macam apa yang perlu diaplikasikannya untuk menyukseskan proses adaptasi dan aklimatisasi. Menggunakan pemahaman tersebut, maka terlihat di sini peran vital dari budaya dan karakteristik masyarakat setempat dalam kaitannya dengan dinamika sosiokultural masyarakat sebuah kota, terutama mengenai masa depan sebuah kota sebagai hasil dari persinggungan budaya antara penduduk asli dan pendatang. Akan kaitannya dengan sifat dan nilai kultural masyarakat asli ini, beruntunglah para pendatang tersebut karena Kota Yogyakarta adalah wadah sempurna yang memungkinkan tersemainya corak kehidupan rukun, toleran, dan saling menghormati antarmasyarakat tanpa memandang latar belakang etnisitas, agama, dan kulturalnya. Adalah keberadaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang teridentifikaskan sebagai sumber yang memampukan semua itu terjadi. Kraton adalah sumber nilai dan penuntun kehidupan bagi warga Yogyakarta. Keberadaannya sebagai pemegang otoritas moral dan budaya yang telah eksis dan berjalan selama ratusan tahun telah secara mulus menginternalisasikan dan mengendapkan apa yang selama ini disebut “nilai-nilai lokal Yogyakarta”. Nilai-nilai ini adalah hasil dari relasi Kraton dengan kawula-nya selama ratusan tahun, yang berpola patron-klien. Dengan relasi model tersebut, otomatis nilai-nilai yang diembuskan dari Kraton kepada kawula-nya akan secara mulus diterima dan dipercayai sebagai way of life para kawula karena diktum utama dari pola patron-klien adalah klien akan selalu patuh pada orientasi sang patron tanpa syarat. Namun patut dicatat, pengadopsian nilai-nilai yang diembuskan Kraton kepada masyarakatnya tersebut terjadi bukan melalui doktrin, maklumat kerajaan, komando, atau tindakan koersif. Pengadopsian nilai tersebut tidak dilakukan laiknya penataran P4 pada rezim Orde Baru, namun pertama-tama dan terutama adalah melalui suri tauladan sang Raja. Raja-raja Mataram sejak dahulu kala menekankan
mengenai pentingnya asas keterbukaan,
3
egaliter,
toleransi,
kedamaian, dan kerukunan. Kraton dan lingkungan sekitarnya tidak pernah melakukan dikriminasi dan resistensi terhadap para pendatang, bahkan mereka diakomodasi dan difasilitasi oleh Kraton. Jejak-jejak kebijaksanaan Kraton ini dapat kita telusuri pada tempat-tempat seperti Kampung Gandekan dan Ketandan yang terletak di dekat Pasar Beringharjo atau Pasar Gede sebagai kampung tempat tinggal kaum Tionghoa atau kampung pecinan, Kampung Sayidan, Kauman, Notoprajan sebagai kampung Arab, atau Kampung Bugisan sebagai tempat bermukim masyarakat dari suku Bugis dan kampung Menduran sebagai tempat tinggal suku Madura dahulu kala. Khusus berkaitan dengan hubungan relasional antara Kraton dengan kaum Tionghoa tersebut, keharmonisan hubungan di antara keduanya sungguh terasa erat, bahkan terungkap secara eksplisit dalam Prasasti Tionghoa-Jawa yang terletak di sebelah timur bangsal Traju Mas di Kompleks Kraton Yogyakarta.2 Meskipun terkapling dalam kompartemen permukiman tersendiri, bukan berarti mereka hidup dalam kepompongya sendiri dan terlepas dari masyarakat Yogyakarta asli3. Mereka berbaur secara inklusif dengan masyarakat lainnya. Justru keberadaan kampung-kampung tersebut menunjukkan betapa besarnya perhatian Kraton untuk memberikan ruang hidup yang layak bagi mereka. Universitas Gadjah Mada sebagai universitas terbesar di Asia Tenggara yang berdiri di Yogyakarta juga tak luput untuk dapat disebut sebagai monumen nyata 2
Bunyi prasasti yang menunjukkan keharmonisan hubungan di antara pihak Kraton dan kaum Tionghoa itu berbunyi berikut: “Prasasti Tionghoa-Jawa ini dipersembahkan pada Sultan Hamengku Buwono IX….Prasasti ini menandai hubungan Tionghoa-Jawa yang hangat dan harmonis di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.” 3 Kecenderungan untuk mengelompokkan berbagai kelompok masyarakat dalam wilayah tersendiri ini tidak dimaksudkan sebagai penyekat antarkelompok, melainkan hanya semacam “norma” umum yang berlaku sejak dahulu tanpa tendensi untuk membedakan atau bersikap diskriminatif. Tidak hanya pembedaan berdasarkan etnis, pembedaan kewilayahan pun seringkali dilakukan berdasarkan jenis profesi seperti misalnya Kampung Pajeksan (tempat tinggal para jaksa), Gamelan (tempat para pembuat gamel atau tapal kuda), Mantrigawen (tempat tinggal para mantri); atau didasarkan kepada status dan pangkat keprajuritan Kraton seperti Kampung Prawirotaman bagi prajurit Prawirotomo, Wirobrajan (Wirobrojo), Patangpuluhan (prajurit Patangpuluh), Jogokaryan (prajurit Jogokaryo).
4
akan penghargaan dan keterbukaan Kraton terhadap pendatang. Menurut sejarahnya, UGM yang berdiri di atas tanah milik Kraton tersebut didirikan dengan dua landasan pemikiran pokok, yaitu ingin menjadikan pendidikan sebagai senjata melawan penjajahan dan didirikan dengan misi agar para pemuda dari berbagai penjuru Tanah Air bisa datang ke Yogyakarta untuk saling mengenal dan memahami di dalam sebuah wadah yang netral4. Dua cita-cita yang kini telah tercapai dengan mantap. Melalui semua cerita tersebut, terbukti bahwa praksis toleransi dalam kehidupan multikultural telah sejak dahulu mewarnai kehidupan sosiokultural masyarakat Yogyakarta. Namun itu semua bukanlah kenangan masa lalu atau semata-mata montase relikui sejarah yang patut dikenang. Di era kontemporer, Kraton masih memancarkan pesonanya sebagai sumber kebajikan, yang karenanya senantiasa dicintai oleh kawula-nya.5 Peran dan suri tauladan dari Kraton itulah kiranya yang menjadi genealogi dari “nilai-nilai Yogyakarta” yang kita kenal selama ini, yang terejawantahkan dalam profil masyarakat Yogyakarta yang ramah dan terbuka terhadap semua pendatang untuk “menumpang hidup” di Yogyakarta, yang dengan mudah dapat ditangkap oleh radar rasa dan hati masyarakat pendatang, termasuk mahasiswamahasiswa baru. Implikasinya, proses “pemetaan” awal yang dilakukan oleh mahasiswa baru pun akan menunjukkan kesan-kesan yang baik dan positif, bahwasanya Yogyakarta adalah kota yang ideal untuk mereka tinggali sementara demi menempuh studi karena masyarakatnya terbuka dan menyambut mereka dengan baik, ramah, dan hangat. Feedback dari gejala itu adalah usaha untuk menampilkan perilaku serupa dalam bermasyarakat, yaitu menampilkan 4
Bambang Sigap Sumantri dan Erwin Edhi Prasetya, Prakarsa Rakyat, KOMPAS, 7 Agustus 2007. 5 Contoh afirmasi dan peneguhan akan kewibawaan serta pengakuan Kraton sebagai “sumber nilai dan tuntunan” dari masyarakat Yogyakarta di era kontemporer terlihat, misalnya, pada peristiwa pawai satu jiwa di Alun-alun pada masa-masa Reformasi 1998 dan Pisowanan Ageng pada tahun 2008, di mana pada saat itu Sultan menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi harapan masyarakat maju menjadi capres.
5
kehangatan serupa atau sekurangnya tidak menonjolkan perilaku yang bertentangan dengan “nilai-nilai Yogyakarta”. Dengan pemahaman dan usaha bersama untuk menjaga kontinuitas ketenteraman ini Kota Yogyakarta senantiasa adem ayem dan rukun sampai sekarang, meski penghuninya terdiri dari manusia dengan latar belakang berbeda. Meskipun begitu, bukan berarti penghargaan akan sambutan yang hangat dari warga Yogya ini berarti penggerusan atau pereduksian nilai-nilai asal mereka. Aktualisasi dan aplikasi dari nilai-nilai asal yang mereka anut dari daerah asal mereka tetap mendapatkan ruangnya yang lapang di tiap-tiap jengkal wilayah Yogyakarta.
Penghargaan
akan
keramahtamahan
warga Yogya tersebut
semestinya dilihat sebagai respons sosiologis yang manusiawi, bahwa kebaikan akan bersambut pula dengan kebaikan. Hal yang substansial berkaitan dengan diskursus interaksi kebudayaan ini adalah pengayaan dan persinggungan budaya secara dinamis dan kompleks. Tidak melulu menyambut kehangatan lokal, namun yang terutama adalah penghargaan dan toleransi antarsesama. Contoh kecil, seorang mahasiswa asal Yogyakarta berbincang dengan temannya asal Kebumen di kampus dengan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Jawa. Tak lama kemudian, datang berbaur teman mereka lainnya yang berasal dari Flores. Proses percakapan di antara mereka pun lalu kemudian mengalami penyesuaian. Mahasiswa Yogya dan Kebumen berbincang dengan mahasiswa Flores menggunakan bahasa Indonesia, karena tidak mungkin lagi menggunakan bahasa Jawa sebab mahasiswa asal Flores tentu tak dapat menangkap maksudnya. Fenomena yang sama terjadi dalam peristiwa sesama mahasiswa Sukabumi yang pada awalnya berbicara dalam bahasa Sunda lalu kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia ketika berbincang dengan temannya yang berasal dari Pontianak. Tiadanya keinginan saling memutlakkan inilah yang kiranya menjadi keindahan dari pengalaman hidup sebagai mahasiswa dalam lingkungan multikulturalisme di Yogyakarta, sebuah praktik sederhana dari apa yang disebut toleransi.
6
Contoh-contoh
kecil
yang
dapat
ditemui
dalam
persinggungan
antarmahasiswa berbeda latar belakang kultural tidak hanya dapat ditemui dalam kegiatan yang dapat dicerap indera seperti misalnya contoh penggunaan bahasa dalam bergaul. Pengalaman multikultural juga dapat didapati pada ranah yang mengandalkan aspek emosional dan kognisi yang tidak dapat dicerap indera secara langsung. Sebagai contoh, seorang mahasiswa asal Solo yang terkenal dengan nilai dan budaya lemah lembut dan alon-alon waton kelakon, mau tak mau akan belajar untuk memahami nilai-nilai dari luar daerahnya yang akan ditemuinya ketika berinteraksi dengan mahasiswa asal Medan yang terkenal dengan sikap tegas lugas dan blak-blakannya, atau dengan ujaran-ujaran bahasa Jawa yang tergolong kasar di daerah asalnya manakala berbicara dengan mahasiswa asal Surabaya yang terkenal dengan bahasa Jawa Timur-annya. Percakapan-percakapan budaya di atas adalah sampel yang dapat dengan mudah ditemui dari samudra kemanusiaan yang terserak dalam kehidupan mahasiswa di Yogyakarta. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh seorang mahasiswa akan “dipaksa” untuk bersinggungan dengan nilai-nilai dari daerah lainnya yang tak jarang berbeda secara signifikan, dan dari hal itu proses pembelajaran untuk mencapai toleransi yang mutual akan terjadi. Horizon baru yang sebelumnya tidak pernah ditemui mungkin akan terasa asing pada pertemuan pertama, namun berangkat dari perjumpaan tersebut pemahaman mengenai nilai filosofis dan makna terpendam di balik pola perilaku yang didasari oleh nilai-nilai berbeda tersebut akan diterima keberadaannya untuk kemudian dipahami dan dihormati. Penerimaan tersebut terjadi seiring dengan berjalannya waktu dan selaras dengan semakin intensnya interaksi di antara individu-individu lintas kultural tersebut. Cakrawala kesadaran baru akan terbentang pada diri mahasiswa dengan mengetahui bahwa ada nilai-nilai luhur lain di luar batasan-batasan budayanya. Proses pembelajaran akan berlangsung setiap saat. Pola-pola persinggungan budaya dapat mengambil bentuk dan formatnya yang beragam, apakah itu
7
akulturasi, asimilasi, sinkretisasi ataupun sekadar memahami satu sama lain. Namun yang jelas tidak akan ada kooptasi budaya satu terhadap budaya lainnya, tiada pula tirani mayoritas atas dasar finalitas dan pemutlakkan budayanya secara eksklusif sebab pola interaksi antarmahasiswa Yogyakarta terjadi secara cair tanpa adanya tekanan, diskriminasi, dan pengedepanan unsur primordial. Semuanya murni adalah perjumpaan budaya secara tulus untuk dapat saling memahami dan belajar agar tidak terjadi kesalahan persepsi dan stereotipe negatif yang dapat merusak hubungan sosial. Kehidupan multikultural mahasiswa di Yogyakarta adalah bentuk kehidupan multikultural yang saling mengisi dan memperkaya, bukan taken for granted. Usaha pembelajaran dan pengayaan ini akan terjadi tanpa mereka sadari sebab peran mereka sebagai mahasiswa akan membuat mereka selalu bekerja sama, selalu membantu dalam tiap kesulitan, selalu bersama. Aktivitas kampus yang banyak menerapkan proses diskusi, dialog, dan berdialektika antarmahasiswa secara tidak langsung dapat memercikkan nilai-nilai budaya asal yang mereka anut, yang antara lain dapat termanifestasikan melalui bahasa verbal, bahasa tubuh, perspektif cara pandang dalam menangani persoalan, dan pola-pola perilaku. Proses saling mengenal dan memahami ini akan semakin terbuka lebar dalam kehidupan di kos-kosan yang berjumlah ratusan di sekitar kampus, apalagi dapat dipastikan bahwa semua penghuni kos-kosan tersebut merupakan pendatang dari luar Kota Yogyakarta yang masing-masing membawa nilai-nilai lokalitas budaya daerah asalnya. Dari proses dan aktivitas semacam itulah pengetahuan dan pemahaman akan nilai-nilai budaya yang lain, the others, liyan, dicerap oleh mahasiswa. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kehidupan multikultural mahasiswa Yogyakarta mengambil pola multikulturalisme akomodatif. Multikulturalisme akomodatif adalah masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas6. Hal ini tergambar secara jelas dalam kehidupan keseharian di 6
Azyumardi Azra, 2007, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hlm: 14-16.
8
Yogyakarta ketika suku Jawa sebagai etnis mayoritas di kota ini, atau dalam konteks ini merupakan etnis mayoritas mahasiswa yang menempuh studi di Yogyakarta, tidak memegang peranan yang dominatif dan merepresi nilai-nilai dan budaya dari etnis lainnya yang dianut oleh mahasiswa luar Jawa. III.
Tantangan atas Bangunan Toleransi Mahasiswa Pada akhirnya, pembacaan akan konstelasi dinamika kehidupan mahasiswa
Yogyakarta yang multibackground di atas sekiranya mampu menumbuhkan optimisme karena toleransi dan orientasi akan perdamaian dan kerukunan rupanya masih menapasi dan mendarahi laku-laku keseharian mahasiswa. Justifikasi paling gamblang akan pernyataan tersebut adalah hampir tak pernah terdengarnya riak-riak yang muncul dalam kehidupan kemahasiswaan berkaitan dengan perbedaan budaya atau latar belakang lainnya. Pengakuan akan toleransi Kota Yogyakarta bahkan ditabalkan oleh Badan Kerja Sama Agama-agama Sedunia melalui sebutan The City of Tolerance pada bulan Agustus tahun 2005, yang sekaligus ditetapkan sebagai slogan baru Kota Yogyakarta oleh Pemkot. Namun demikian tantangan akan kehidupan yang toleran ini mengintip di sudut sebelah, siap memorakporandakan bangunan kokoh toleransi. Tantangan tersebut
di
antaranya
adalah
budaya
konsumerisme
dan
hedonisme,
eksklusivisme, dan lemahnya perencanaan tata ruang dan sistem transportasi kota. Budaya konsumerisme dan hedonisme Sejak beberapa tahun yang lalu, semakin membludaknya mahasiswa yang datang untuk belajar di Yogyakarta diikuti dengan semakin maraknya pembangunan tempat-tempat komersil di area-area sekitar kampus seperti mal, kafe, salon, bar, klub, restoran, supermarket, swalayan, ruko, sampai warteg burjo. Lihatlah misalnya wilayah Seturan, Jalan Kaliurang, atau Jalan Affandi (Gejayan). Fenomena ini memang tidak bisa dihindari sebab hukum pasar tidak mengenal pengecualian tempat bahwa di mana ada pasar yang luas maka akan timbul permintaan dan untuk itu, dibangunlah moda-moda bisnis yang menjawab
9
permintaan tersebut. Namun demikian, harus disadari pula efek destruktif dari berkembang maraknya tempat-tempat semacam itu. Meskipun tujuan normatif dari pendirian bangunan-bangunan komersil tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan obyektif konsumer, namun pada kenyataannya gejala lebih lanjut yang terjadi adalah tempat-tempat tersebut bertransformasi menjadi representasi dari “sistem budaya” lain yang datang dari luar, yang seperti halnya semua budaya di dunia mempunyai sistem dan nilainya yang khas. Nilai-nilai yang ditawarkan oleh tempat-tempat itulah yang menjadi bahaya laten pemeliharaan toleransi akan kemajemukan mahasiswa Yogyakarta, yaitu nilai-nilai konsumerisme, hedonisme, kemewahan, kesia-siaan melalui seduksi dan kesenangan yang banal. Betapa tidak, untuk dapat mengakses dan menikmati jasa atau produk yang ditawarkan oleh tempat-tempat tersebut kita harus mengeluarkan uang secara terus-menerus. Godaan untuk terus mengeluarkan uang ini nyata terlihat dalam program diskon mal, pelansiran mode pakaian terbaru setiap minggu, menu restoran yang mewah yang sesungguhnya tidak proporsional dengan karakteristik mahasiswa, pemutaran film-film terbaru, dan ajakan untuk menikmati kegembiraan semu melalui hura-hura semalam suntuk. Bagaimana hal ini dapat menghancurkan bangunan toleransi mahasiswa terlihat ketika kita merefleksikan bahwa nilai-nilai macam itu sungguh sukar untuk didialogkan dengan kearifankearifan lokal yang terkandung dalam kegemahripahan budaya Nusantara yang terwakili dalam sosok-sosok mahasiswa dari berbagai penjuru Tanah Air. Budaya konsumeris ini pada akhirnya bila dikonsumsi secara gelojoh dan bulat-bulat akan menghilangkan jejak-jejak nilai lokal yang terkandung dalam diri manusia. Sistem filsafati Jawa untuk senantiasa menghormati yang lain dalam kawah bebrayan agung (masyarakat),
tepa
selira, andhap
asor,
dan
mengedepankan unggah-ungguh yang membutuhkan penajaman olah rasa dan batin akan kalah dan terasa usang apabila dihadapkan pada seduksi-seduksi budaya konsumeris yang menawarkan kesenangan praktis namun dangkal,
10
terlebih dengan karakter psikologis mahasiswa yang mudah untuk tergoda akan kesenangan duniawi karena watak avonturirnya. Nilai budaya mahasiswa asal Minang yang senantiasa mengedepankan nilai religiusitas akan hilang tak berbekas manakala kesehariannya dihabiskan untuk menghabiskan malam ditemani alhohol dan musik bising bersama teman-temannya. Muara dari pengadopsian budaya konsumerisme dan hedonis secara perlahan-lahan seiring kebiasaan sesehari ini adalah hilangnya representasi nilai budaya lokal dalam diri seseorang, bahkan dapat menyebabkan hilangnya rasa dan kepedulian sosial serta rasa solidaritasnya karena yang diimaninya sehari-hari adalah pencarian akan kepuasan diri yang tak berbatas. Pertukaran pemahaman akan nilai-nilai budaya akan absen dalam semesta kehidupan mahasiswa Yogyakarta manakala nilai-nilai yang akan dipertukarkan sudah tidak ada lagi sebab hanya satu nilai yang mereka anut dan hidupi bersama, yakni nilai yang berkiblat pada laku mengonsumsi, berbelanja, dan pemenuhan pribadi tak berujung. Toleransi antarsesama juga dengan demikian secara otomatis menjadi konsep yang tidak populer di mata mereka untuk diusahakan dan dipelihara. Eksklusivisme Perasaan eksklusivisme ini biasanya dapat melanda mahasiswa manakala dirinya bergabung dalam organisasi atau perkumpulan yang menafikan prinsipprinsip kebersamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia dalam multikulturalitas dan pluralisme. Apabila menggeluti organisasi macam ini secara intensif lebih daripada menekuni tugas dan aktivitas perkuliahannya, dapat dipastikan prinsip-prinsip anti perbedaan yang ada dalam organisasi yang diikutinya akan menular dan terinternalisasi dalam dirinya. Intoleransi tersebut dapat terartikulasikan dengan mengambil beberapa bentuk, seperti pengungkapan argumen yang didasarkan pada ayat-ayat kitab suci atau sekadar perilaku yang menyatakan pengambilan jarak terhadap yang lain secara simbolis, misalnya melalui penonjol-nonjolan lambang dan gaya pakaian yang merepresentasikan identitasnya.
11
Apabila paham ini lebih condong merasuk ke dalam hatinya dibandingkan dengan paham egaliter dan demokratis yang diinternalisasikan dalam kehidupan perkuliahan, maka paradigma untuk menganggap identitas primordialnya sebagai yang terunggul dan paling benar akan dipakainya pula dalam menghadapi perbedaan pandangan dan forum dialektis di kampus. Ini tentu merupakan kecenderungan yang bersifat individual sehingga signifikansinya terhadap bangunan toleransi dalam multikulturalitas dan pluralitas mahasiswa secara keseluruhan tidak terlalu kentara, namun apabila dengan menggunakan pengaruh pribadi dan kharismanya mahasiswa tersebut dapat menggalang mahasiswa lainnya untuk mengikuti paham yang sama dengannya, maka hal tersebut tentu akan berbahaya bagi bangunan toleransi antarmahasiswa Yogyakarta. Selain pengaruh negatif sebagai akibat dari berafiliasinya mahasiswa pada organisasi dan perkumpulan yang tidak menyuntikkan pemahaman akan arti penting hidup bersama dalam kesetaraan, praktik lain yang dapat memicu eksklusivitas dalam kehidupan mahasiswa Yogyakarta adalah semakin maraknya tempat indekos yang memberlakukan peraturan hanya menerima calon penghuni dari agama tertentu. Ini tentu dapat menyebabkan tarikan antara nilai-nilai toleransi dalam kampusnya dan nilai-nilai eksklusivitas dalam tempat tinggalnya semakin menegang. Namun demikian tempat indekos yang memberlakukan aturan diskriminatif ini meskipun keberadaannya meningkat tetaplah hanya segelintir apabila dibandingkan dengan tempat indekos yang ada di Yogyakarta secara keseluruhan. Harapan idealnya, mahasiswa yang ngekos di tempat tersebut mampu menyadarkan dan menuntut sang pemilik kos untuk menghilangkan aturan semacam itu agar ke depannya pertumbuhan fenomena sejenis dapat diredam, atau sekurangnya tidak bertambah lagi. Lemahnya Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Transportasi Tata ruang wilayah Yogyakarta tidak memerhatikan keseimbangan antara yang bersifat pertimbangan profit bisnis dengan yang bersifat pertimbangan sosial humanitas. Pengamatan sehari-hari secara sepintas sekali pun dapat meyakinkan
12
kita bahwa kini semakin sulit menemukan ruang publik yang lapang dan layak di Kota Yogyakarta. Yang ada adalah pembangunan proyek properti baru yang tak jarang bersifat eksklusif seperti misalnya pembangunan perumahan yang terlihat menegaskan secara keras distingsi status dan segregasi dengan penduduk di sekitar perumahan tersebut. Sedangkan yang paling masif adalah pembangunan tempat komersial dan hiburan yang merangsang hasrat mahasiswa sebagaimana telah dijelaskan di atas melalui pembangunan kafe, mal, bioskop, dan restoran. Pembangunan tempat komersil tersebut di satu sisi dapat pula melanggengkan pemahaman akan pentingnya perbedaan status sosial ekonomi karena beberapa tempat sengaja didesain untuk hanya dapat diakses dan dinikmati kalangan mahasiswa berpunya. Morat-marit perencanaan tata ruang kota ini juga diperparah dengan lemahnya strategi kebijakan untuk mengatasi masalah transportasi yang semrawut. Bahkan akibat masalah transportasi ini, persepsi masyarakat pendatang terhadap masyarakat Yogyakarta dalam proses scanning awal dapat menjadi negatif. Contohnya adalah kemacetan yang semakin sering dijumpai di titik-titik kota dan simpul-simpul jalan. Pembangunan bangunan komersil tentunya akan mengakibatkan penumpukan konsentrasi manusia, di luar itu didapati pula kenyataan bahwa setiap tahun jumlah pemilik kendaraan pribadi bertambah di Kota Yogyakarta. Peningkatan jumlah kendaraan pribadi ini tidak diimbangi dengan proyek pelebaran jalan untuk memberikan ruang yang lebih lapang bagi pengguna kendaraan atau pun tidak diatasi dengan penambahan moda transportasi massal yang nyaman. Keadaan ini diperparah beberapa bus kota yang mengeluarkan asap hitam pekat karena faktor usia mesinnya yang sudah pantas dimuseumkan. Sebagai akibatnya, kondisi emosi dan psikis pengguna jalan akan menjadi tidak sabaran, grusa-grusu, dan panas. Ini dikarenakan masing-masing dari mereka berlomba secepat mungkin untuk dapat keluar dari kemacetan yang menyengsarakan. Usaha-usaha untuk keluar dari kemacetan tersebut pada akhirnya berkembang menjadi “perilaku baru” penghuni Yogyakarta yang sering
13
dikeluhkan oleh khalayak: sedikit-sedikit main klakson, ngebut, menyeberang sembarangan, melanggar aturan lalu-lintas seenaknya, melanggar hak pemakai jalan yang lain. Kesemuanya merupakan langgam perilaku yang tentu jauh dari kata toleran. Sungguh, bila problema di jalan-jalan Yogyakarta ini tidak diatasi secara baik, bangunan toleransi yang relatif terbangun kokoh dapat goyah tidak hanya antarmahasiswa Yogyakarta, namun mencakup semua individu yang tinggal di Yogyakarta. Sesungguhnya apabila hal tersebut dinetralisasi dengan pendirian ruang-ruang publik yang cukup banyak, terutama di sekitar kampus, akan dapat memberikan ruang alternatif bagi mahasiswa untuk dapat mengisi waktunya secara berfaedah. Dengan pembangunan taman kota di dekat kampus misalnya, niscaya ketertarikan mahasiswa untuk menyambangi bioskop Empire dan mal Amplas akan berkurang karena kini mereka dapat pula berpelesir membuang penat tanpa godaan-godaan magis untuk mengeluarkan uang untuk berbelanja atau gangguan asap polutan kendaraan. Atau misalnya pembangunan galeri seni dan gedung teater yang dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk berdiskusi seni dan budaya, mengaktualisasikan dan mempertunjukkan budaya lokal mereka secara langsung agar dapat ditonton dan dinikmati oleh publik. Lebih dalam lagi, keberadaan ruang-ruang publik memadai yang lebih banyak sungguh perlu untuk direalisasikan karena dapat pula dipandang sebagai medium untuk menumbuhkembangkan budaya dan bangunan toleransi antarmahasiswa Yogyakarta. Dengan pendirian ruang publik, mahasiswa dapat berbaur dan berinteraksi tanpa sekat dan distingsi-distingsi seperti yang diciptakan oleh ruangruang komersial. Fluiditas interaksi antarmahasiswa dalam ruang publik tersebut menjadi ajang pertukaran, pemahaman, dan pembelajaran antarbudaya di antara mahasiswa sebagai alternatif dari ruang-ruang yang ada di kampus yang mungkin dapat menimbulkan suasana kejenuhan. IV. Penutup
14
Kota Yogyakarta sampai saat ini dipandang masih mampu untuk memberikan atmosfer yang memadai bagi tumbuhkembangnya toleransi antarmahasiswa yang tinggal di dalamnya. Proses pertukaran dan pemahaman budaya berlangsung secara dinamis dan cair dalam forum-forum kampus maupun kehidupan keseharian di kos-kosan, dengan didukung penerimaan dan perlakuan yang hangat dari masyarakat setempat. Namun demikian, beberapa ancaman nyata dikhawatirkan mengganggu bangunan toleransi mahasiswa Yogyakarta. Tiga yang utama adalah budaya konsumerisme dan hedonistik, eksklusivisme, dan tata ruang dan sistem transportasi publik yang buruk. Kesemuanya itu berkelindan menampilkan nilainilai tandingan yang membahayakan usaha bersama untuk secara terbuka, tulus, dan konsisten memahami perbedaan latar belakang antarmahasiswa. Untuk mengantisipasi agar bangunan toleransi yang sesungguhnya telah berurat akar dalam tradisi Yogyakarta ini tidak runtuh, dapat dilakukan usaha bersama secara sinergis oleh stakeholders. Di pihak internal mahasiswa, harus senantiasa menguatkan tekad untuk memajukan prinsip-prinsip kebersamaan dengan menolak tawaran nilai-nilai yang mengalienasi dan mengeksklusifkan dirinya. Di pihak pemerintah daerah, penciptaan ruang-ruang publik harus semakin ditumbuhkan, demikian juga penataan sistem transportasi yang lebih baik perlu dilakukan demi kenyamanan bersama. Kesadaran dan komitmen bersama untuk meyakini bahwa konsep toleransi merupakan kebajikan ultim yang tidak dapat diganggu gugat mutlak dibutuhkan oleh semua pihak demi menjaga bangunan toleransi seluruh masyarakat Yogyakarta pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
15