TAN MALAKA MASA KINI Oleh ; Galih Fajar Padmasana Saya pertama kali bertemu dengan Tan Malaka dibuku sejarah. Di bangku kuliah semester 1 saya membaca bukunya yang berjudul Massa Aksi, tentunya dalam bentuk PDF. Karena mengoleksi dan membaca buku-buku berhaluan kiri sama saja dengan mencari masalah. Banyak hal yang saya kagumi dari sosoknya, terlalu panjang bila dijabarkan di sini. Namun, analisis saya yang dangkal menyimpulkan bahwa tokoh ini jauh lebih revolusioner dan visioner dari Soekarno sekalipun. Orde lama menyanjung namanya, gelar pahlawan didapat. Namun, orde baru memberangus segalanya, namanya dihapus dari buku sejarah. Buku-buknya dilarang beredar, dan pemikirannya dilenyapkan Menyebut nama Tan Malaka adalah memanggil ingatan ihwal sosok misterius dalam sejarah pergerakan dan revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Tokoh komunis internasional, pelarian politik yang paling dicari oleh pemerintah kolonial di berbagai negara Asia, sekaligus sosok yang kepadanya partai komunis atau komunis internasional menyimpan kebencian. Pemikir ulung revolusi yang dengan keras kepala menolak bahkan bersikap oposisi terhadap politik diplomasi yang dijalankan oleh pemerintah Republik. Tokoh yang kemudian mengambil posisi berseberangan dengan Sjahrir, Soekarno, dan Hatta, juga para elite revolusi lainnya.Sosok yang lebih memilih berada di tengah pemuda dan laskar rakyat, melakukan gerilya dan bergerak di bawah tanah, ketimbang duduk di kabinet. Sosok yang oleh seluruh sikapnya itu dianggap merongrong wibawa pemerintah Republik—pemimpi yang hanya menginginkan perang—sehingga ia dijebloskan ke dalam penjara. Tokoh yang kemudian ditembak mati oleh tentara Republik pada 1949. Tan Malaka adalah sebuah narasi ihwal revolusi yang menyimpan banyak ruang gelap dan tragik; ketika revolusi harus memakan anaknya sendiri. Dalam fase biogfrafinya yang lain, dengan berbagai nama samaran Tan Malaka adalah pula sebuah drama yang menggetarkan ihwal seorang pelarian politik yang mengembara ke berbagai negara; Belanda, Prancis, Jerman, Rusia, Tiongkok, Hongkong, Birma, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura.
Dalam pelariannya itu, tak ada yang dipikirkannya kecuali satu hal; membebaskan tanah airnya dari perbudakan kolonialisme dan imprealisme. Dalam pelariannya itu ia bahkan terus menulis brosur-brosur politik tentang kemerdekaan dan revolusi. Nar de Repulik Indonesia (“Menuju Republik Indonesia”), “Massa Aksi”, hanyalah dua di antara sekian banyak brosur dan yang ditulisnya dalam persembunyian dan penggembaraan—termasuk buku pentingnya Madilog yang ditulis dalam rumah persembunyian di Rawajati Jakarta tahun 1942. Tan Malaka, dengan begitu, tak cukup hanya dipahami sebagai narasi tragik revolusi yang memakan anaknya sendiri. Melainkan pula narasi ihwal ide dan seluruh pemikirannya yang berpusat pada kemerdekaan dan kemandiriaan sebuah bangsa. Pemikirannya perihal sia-sianya kemerdekaan politik namun tetap tak bias mendapatkan kemerdekaan ekonomi, misalnya, memiliki relevansinya dalam kekinian. Demikian pula semangat perlawanan dan daya kritisnya membaca bagaimana strategi kuasa dominasi modal bekerja. Pula, bagaimana baginya anutan terhadap paham suatu idelogi tidaklah membuat seseorang mesti menjadi budak dari keyakinan tersebut. Seperti sebuah bangsa, seseorang harus konsisten mempertahankan dan merebut dirinya di depan kekuatan apa pun yang hendak mendominasi dirinya. Maka, monolog “Tan Malaka” bukan semata ziarah romantik ke dalam masa lalu. Tetapi, lebih pada keperluan menyuarakan kembali suara-suara masa lalu yang disisihkan, bahkan disingkirkan. Suara-suara yang sebenarnya juga berbicara pada kita; kini di sini, seperti tahun 1932 dikatakan Tan Malaka pada seorang anggota PID Belanda manakala polisi Inggris menangkapnya di Hongkong, “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi”. Maret 1946, di tengah panasnya revolusi, Tan Malaka ditangkap di Madiun lalu dijebloskan ke penjara. Di bawah pemerintahan PM Amir Syarifudin ketika itu, pemerintah Republik menuduh Tan Malaka, bersama Persatuan Perjuangan yang didirikannya, telah bersikap oposisi serta merongrong jalannya revolusi; mengganggu politik diplomasi yang dijalankan Republik dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah. Bersama Tan Malaka ditangkap pula sejumlah tokoh Persatuan Perjuangan.
Ternyata tak hanya sekadar itu. Setelah PM Amir Syarifudin jatuh dan pemerintahan Republik digantikan oleh kabinet pimpinan PM Sjahrir, meski ketika itu ia telah dalam penjara Republik, Tan Malaka pun dituduh terlibat dalam penculikan Sjahrir demi menggulingkan pemerintah yang sah. Uniknya, semua tuduhan terhadap Tan Malaka tidaklah pernah disampaikan dalam suatu pengadilan. Bahkan hingga pemerintah membebaskannya dua setengah tahun kemudian, Tan Malaka tak pernah diadili. Sebelum kemudian pada 1949, di Kediri, Jawa Timur, kaki Gunung Wilis, sekelompok tentara mengadili Tan Malaka. Ia ditembak mati. Namanya menghilang dari dunia namun kini saya dan sekelompok pemuda pecintanya berusaha dalam senyap menelusuri jejak-jejaknya.