Tafsir Surah Al-fatihah

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tafsir Surah Al-fatihah as PDF for free.

More details

  • Words: 10,541
  • Pages: 61
Tafsir Surah Al-Fâtihah

ِ‫بِسْمِ الِ الرّحْمنِ الرّ ِحيْم‬ Penjelasan : Membaca "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm" ketika membaca surah Al-Fâtihah hukumnya wajib, berdasarkan sebuah hadits dari Abû Hurairah, sesungguhnya Rasûlullâh saw. bersabda :

ّ‫إِذَا قَ َرْأتُ مْ )الْحَمْد ِلّلِه( فَا ْق َرؤُا )بِ سْمِ الِ الرّحْمَا نِ الرّ ِحيْ مِ ( ِإنّهَا ُأم‬ ِ‫ َو )بِ سْمِ الِ الرّحْمَا ن‬، ‫سبْ ُع الْ َمثَانِي‬ ّ ‫ َو ال‬، ِ‫ وَ أُمّ اْل ِكتَا ب‬،ِ‫الْقُرْآ ن‬ ‫الرّ ِحيْمِ ( إِ ْحدَى آَيتِهَا‬ Artinya : Jika kalian membaca "Al-Hamdulillâh" (surah Al-Fâtihah), maka bacalah "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm". Sesungguhnya ia (AlFâtihah) adalah Ummul-Qur-’ân, dan Ummul-Kitâb, dan juga tujuh yang diulang-ulang. Dan "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm" adalah salah satu dari ayat-ayatnya. (H.R. Ad-Dâruquthnî dan Al-Baihaqî. Lihat Al-Fathul-Kabîr no. : 742) Hadîts ini menyatakan bahwa "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm" adalah salah satu ayat dari surah Al-Fâtihah. Al-Imâm Ibnu Katsîr dalam "Tafsîrnya" menyatakan bahwa Abû Dâwûd meriwayatkan dari Ibnu 'Abbâs r.a. dengan isnâd yang shahîh, ia berkata :

ِ‫سوْ َرةِ َحتّى ُينْزَ َل بِ سْم ال‬ ّ ‫أَنّ رَ ُسوْلَ الِ كَا نَ َل َيعْرِ فُ فَ صْ َل ال‬ ِ‫الرّحْمَانِ الرّ ِحيْم‬ Artinya : "Sesungguhnya Rasûlullâh saw. asalnya tidak mengetahui pemisah surah-surah -- Al-Qur-‘ân -- sehingga diturunkanlah "BismillâhirRahmânir-Rahîm". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 16) Ucapan Ibnu 'Abbâs r.a. menunjukkan kedudukan "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm" sebagai pemisah di antara surah AlQur-’ân. Makna Bismillâh (ِ‫سمِ ال‬ ْ ‫) ِب‬ Sebagian 'ulamâ' menyebutkan bahwa huruf "Ba" (ِ‫ )بب‬di sini bermakna "Dengan". Sedangkan "Ismi" (‫ )اسبم‬artinya "nama". Jadi "Bismillâh" artinya "Dengan nama Allâh". Adapun maknanya menurut Al-Imâm Al-Qurthubî ialah :

ِ‫ت ِب َعوْنِ الِ َو َتوِْفْيقِهِ َو بَرَ َكتِه‬ ُ ْ‫بَ َدأ‬ Artinya : "Aku memulai dengan pertolongan Allâh dan petunjuk-Nya serta keberkahan-Nya". Selanjutnya Al-Imâm Al-Qurthubî berkata : "Ini merupakan pelajaran dari Allâh Ta'âlâ kepada hamba-hambaNya , agar mereka senantiasa menyebut nama-Nya ketika memulai membaca dan lain-lain -- pekerjaan -- , sehingga -- semua itu -dimulai dengan berkah dari Allâh Jalla wa 'Azza". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 103)

Selanjutnya : "Ar-Rahmân" (‫ )الرّحمبن‬: "Yang Maha Pemberi"; dan "Ar-Rahîm" (‫ )ال ّرحِيْم‬: "Yang Maha Penyayang", dua shifat Allâh yang dibahas kemudian. Adalagi sebuah penjelasan yang menyatakan bahwa "Ba" (ِ‫)بب‬ di sini bermakna "Lil-Mushâhabah" (ِِ‫ ))ل ْلمُصببَاحِ َبة‬yaitu : "Untuk mendampingi atau mendekatkan". Ada satu penjelasan lagi yang menyatakan "Ba" (ِ‫ ) ب‬di sini bermakna "Lil-Isti'ânah" (ِ‫ )لِلِ سْ ِتعَانَة‬yaitu : "Minta bantuan". Jadi, arti "Bismillâh” : "Aku mendekatkan keadaanku -- kepada Allâh -- dan memohon bantuan dengan menyebut-Nya serta mengharap berkah denganNya". (Lihat Fathul-Majîd hal 9) Manfaat dan Penggunaan Bismillâh (ِّ‫سمِ ال‬ ْ ‫ ) ِب‬. Dalam beberapa hadîts yang shahîh telah disebut manfaat dan penggunaan "Bismillâh" atau "Bismillâhir-Rahmânir-Rahîm" dalam kehidupan sehari-hari antara lain : 1) Ketika Naik Kendaraan Sebagaimana firman Allâh SWT. :

‫ج ِرْيهَا َو مُ ْرسَاهَا‬ ْ َ‫وَ قَالَ ارْ َكُبوْا ِفْيهَا بِسْمِ الِ م‬ Artinya : Dan Nûh berkata : "Naiklah kalian ke dalamnya (perahu) dengan menyebut Bismillâh di waktu berlayar dan berlabuhnya.....". (Surah Hûd (11) : 41)

2) Ketika Kendaraan Terpeleset Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadîts dari Abîl-Malîh, dari seorang shahabat, ia berkata :

:َ‫ َفقَال‬، ُ‫ َت ِعسَ الشّيْطَان‬:ُ‫ َف ُق ْلت‬، ُ‫ُكنْتُ َر ِديْفَ الّنبِيّ َف َعثَرَتْ دَاّبتُه‬ َ‫ك َتعَاظَ مَ َحتّ ى َي ُكوْ ن‬ َ ِ‫ فَِإنّ كَ إِذَا قُلْ تَ ذَل‬، ُ‫َل َتقُلْ َتعِ سَ الشّيْطَا ن‬ ‫ فَِإنّ كَ إِذَا‬، ِ‫ وَ َلكِ نْ قُ ْل بِا سْمِ ال‬، ‫ ِبقُوّتِي‬: ُ‫ َو َي ُقوْل‬، ِ‫ِمثْلَ اْلَبيْ ت‬ ِ‫ك َتصَاغَرَ َحتّى يَ ُك ْونَ ِمثْلَ ال ّذبَاب‬ َ ِ‫قُ ْلتَ ذَل‬ Artinya : Aku pernah dibonceng Nabi saw., tiba-tiba kendaraan Beliau tergelincir, maka aku berkata : "Celaka Syaithân!". Beliau pun berkata : Jangan engkau berkata : "Celaka Syaithân", karena jika engkau berkata seperti itu ia (Syaithân) akan menjadi besar seperti rumah, dan ia berkata : "Sebab kekuatanku". Akan tetapi ucapkanlah : "Bismillâh", karena jika engkau mengucapkan itu, ia (Syaithân) akan menjadi kecil sehingga sebesar lalat. (Syaikh Al-Albânî (rahimahullâh) berkata : Dikeluarkan oleh Abû Dâwûd dengan sanad yang shahîh, dan majhûlnya shahabat tidak membahayakan. Di samping itu Ibnus-Sunnî juga meriwayatkan dengan sanad yang tidak mengapa, dari Abîl-Malîh, dari ayahnya, dan ayahnya itu seorang shahabat yang bernama Usâmah. Begitujuga An-Nasâ-î telah meriwayatkan hadits ini dalam Kitâb (AlYaumu wal-Lailah), dan juga Ibnu Mardawih dalam Tafsîrnya, dan juga Al-Imâm Ahmad telah meriwayatkan hadîts ini. Lihat AlKalimuth-Thayyib oleh Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah dengan tahqîq Syaikh Al-Albânî hal. 121) 3) Ketika Mulai Makan

Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. kepada anak asuhnya, yaitu 'Umar bin Abî Salamah :

َ‫ك وَ كُ ْل مِمّا يَِليْك‬ َ ِ‫قُلْ بِسْمِ الِ وَ كُ ْل ِبيَ ِميْن‬ Artinya : "Ucapkanlah Bismillâh, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari apa (makanan) yang dekat denganmu". (H.R. Muslim. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 18) 4) Ketika Berwudhu Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

ِ‫ضوْءَ ِلمَنْ لَ ْم يَذْ ُك ِر اسْمَ الِ عََليْه‬ ُ ُ‫َل و‬ Artinya : "Tidak shah wudhu bagi orang yang tidak membaca Bismillâh atasnya (wudhu)". (H.R. Ahmad dan Ahlus-Sunan dari riwayat Abî Hurairah dan Abî Sa'îd secara marfû'. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 18) 5) Ketika Melakukan Hubungan Dengan Isteri Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

‫َلوْ أَنّ أَحَدَكُ مْ إِذَا أَرَادَ أَ ْن َيأْتِ يَ أَهْلَ هُ قَا َل بِا سْمِ الِ الّلهُمّ َجّنبْنَا‬ ْ‫ َفِإنّ هُ إِ ْن ُيقَدّ َر َبيَْنهُمَا وَلَدٌ لَ م‬، ‫شيْطَا نَ مَا رَزَ ْقَتنَا‬ ّ ‫الشّيْطَا َن وَ َجنّ بِ ال‬ ‫شيْطَانُ َأبَدًا‬ ّ ‫َيضُ ّرهُ ال‬

Artinya : Seandainya salah seorang kalian ketika mendatangi isterinya, lalu membaca : "Bismillâh, ya Allâh jauhkan syaithân dari kamu, dan jauhkanlah syaithân dari apa (anak) yang Engkau rezekikan pada kami". Maka, jika ditaqdirkan -- lahir seorang -- anak di antara keduanya, syaithân tidak akan bisa memberi mudharat kepada anak itu selamanya". (H.R. Ash-Shahîhain dari Ibnu 'Abbâs. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 18) 6) Ketika Melakukan Segala Masalah Yang Penting Sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

ُ‫ي بَالٍ َل ُيبْ َدأُ ِفيْهِ ِببِسْمِ الِ الرّحْمَانِ الرّ ِحيْمِ َف ُهوَ أَقْطَع‬ ْ ِ‫كُلّ َأمْرٍ ذ‬ Artinya : "Segala perkara penting yang tidak dimulai dengan "BismillâhirRahmânir-Rahîm", maka ia (perkara) terputus". (H.R. Ibnu Hibbân dari dua jalan. Lihat Fathul-Majîd hal 8) Al-Imâm Ibnu Katsîr menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbâs tentang ucapan malaikat Jibrîl kepada Rasûlullâh saw. :

ِ‫قُلْ بِسْمِ الِ الرّحْمنِ الرّ ِحيْم‬ Artinya : Ucapkanlah -- ya Muhammad -- "Bismillâhir-Rahmânir- Rahîm". Lalu Jibrîl berkata lagi kepada Beliau saw. :

ِ‫حمّ ٌد َي ُقوْلُ إِقْ َرْأ بِذِكْرِ الِ َربّكَ وَ ُق ْم َو ا ْقعُ ْد بِذِكْرِ ال‬ َ ُ‫بِسْمِ الِ يَا م‬ ‫َتعَالَى‬ Artinya : "Bismillâh ya Muhammad, bacalah dengan menyebut nama Allâh Rabb-mu, berdirilah dan duduklah engkau dengan menyebut nama Allâh". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 18)

ِ‫ْالَمْدُ ِلّله‬ Penjelasan : Arti "Al-Hamdu Lillâh" secara singkat : "Segala puji bagi Allâh". Menurut para 'ulamâ', Alîf-Lâm (‫ )ال‬dalam Al-Hamdu adalah "Lil-Istighrâqi", yang artinya : "untuk meraih semua" atau "memonopoli". Jadi, arti lengkap "Al-Hamdu Lillâh” : "Segala puji, semuanya milik dan monopoli Allâh". Ar-Râzî berkata dalam "Tafsîrnya" :

‫حمْ ُد عَلَى‬ َ ْ‫ وَ ال‬، ِ‫ْنن َحمْدًا عَلَى الّنعْ َمة‬ ُ ‫فَاعْلَم أَن ّ الْحَمْدَ ِإنّم َا َي ُكو‬ ..... ِ‫ك الّنعْ َمة‬ َ ْ‫الّنعْ َمةِ َل يُ ْمكِنْ إِلّ َبعْ َد َمعْرَِف ِة تِل‬ Artinya : "Ketahuilah, sesungguhnya -- ucapan -- Al-Hamdu semata-mata karena memuji atas -- suatu -- nikmat. Dan mengucapkan Al-Hamdu karena -- suatu -- nikmat tidak akan mungkin -- dilakukan -melainkan setelah menyadari atau dengan kesadaran (ma'rifat) terhadap kenikmatan tersebut.......". Selanjutnya Ar-Râzî berkata lagi :

َ‫َلكِ نْ أَقْ سَامَ ِنعَ مِ الِ خَارِ َج ٌة عَ ِن التّحْ ِديْ ِد َو اْلِحْ صَاءِ كَمَا قَال‬ :‫َتعَالَى‬ Artinya :

Akan tetapi perincian nikmat Allâh berada di luar batas dan perhitungan, sebagaimana firman Allâh SWT. :

‫صوْهَا‬ ُ‫ح‬ ْ ‫وَ ِإنْ َتعُ ّدوْا ِنعْ َمةَ الِ َل ُت‬ Artinya : "Dan jika kalian menghitung nikmat Allâh tidaklah dapat kalian menghinggakannya......". (Sirah Ibrâhîm (14) : 34) Ucapan Ar-Râzî ini menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia, pada hakikatnya tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allâh yang begitu besar dan tidak terbatas. Melalui ucapan "AlHamdu Lillâh" Allâh mengajarkan manusia bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya yang luas dan tak terbatas itu. Dari penjelasan ini kita bisa memahami betapa luar-biasa ucapan "Al-Hamdu Lillâh" sebagaimana akan diterangkan lebih lanjut. Penulis Tafsîr Bahrul-Muhîth menyatakan :

ُ‫حمْ ُد الثّنَا ُء عَلَى الْجَ ِميْ ِل مِ ْن ِنعْ َمةٍ َأوْ َغيْ ِرهَا بِاللّسَا ِن وَحْ َده‬ َ ْ‫ال‬ Artinya : Al-Hamdu adalah pujian atas anugerah berupa kenikmatan atau selainnya, -- yang dilakukan -- dengan lisan saja". Ibnu 'Abbâs r.a. telah menegaskan hal ini, beliau berkata :

ٍ‫حمْدُ لِلّهِ َكلِ َمةُ كُ ّل شَاكِر‬ َ ْ‫ال‬

Artinya : "Al-Hamdu Lillâh adalah ucapan setiap orang yang bersyukur". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 22) Ibnu Jarîr, Ibnul-Mundzir dan Ibnu Abî Hâtîm juga meriwayatkan dari beberapa jalur, dari Ibnu 'Abbâs, ia berkata :

‫الْحَمْدُ ِللّ هِ كَلِ َمةُ الشكر إِذَا قَا َل اْل َعبْ ُد الْحَمْدُ لِلّ هِ قَالَ الُ َشكَ َرنِي‬ ‫عَبْدِي‬ Artinya : "Al-Hamdu Lillâh adalah kalimat (ucapan) bersyukur. Jika seorang hamba berkata : "Al-Hamdu Lillâh", Allâh berfirman : "Hamba-Ku telah bersyukur kapada-Ku". (Lihat Ad-Durul-Mantsûr Fî Tafsîril-Ma'tsûr juz I hal. 30) Selanjutnya Ibnu Abî Hâtîm juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbâs, ia berkata : 'Umar berkata :

‫حمْدُ ؟‬ َ ْ‫ فَمَا ال‬، ُ‫قَ ْد عُلّ ْمنَا ُسبْحَانَ الِ وَ لَ إِلهَ إِلّ ال‬ Artinya : "Sesungguhnya telah diajarkan kepada kami -- kedudukan -Subhânallâh dan Lâ Ilâha illal-Lâh, maka apa -- kedudukan -- AlHamdu?". 'Ali pun menjawab:

.َ‫ وَ أَ َحبّ َأنْ ُتقَال‬، ِ‫ضَيهَا الُ ِلَنفْسِه‬ ِ َ‫كَلِ َمةٌ ر‬

Artinya : "Kalimat yang Allâh merasa ridha bagi diri-Nya. Dan sangat senang jika -- kalimat itu -- diucapkan". (Lihat Ad-Durul-Mantsûr Fî Tafsîril-Ma'tsûr juz I hal. 30) Al-Imâm Asy-Syaukânî berkata dalam Tafsîrnya :

‫ َو ُمَتعَّلقَهُ الّنعْ َم ُة وَ غَيْ ِرهَا‬، ْ‫فَ َموْ ِر ُد الْحَمْدُ اللّسَانُ َفقَط‬ Artinya : "Adapun sumber Al-Hamdu (pujian) adalah lisan saja, yang mana kenikmatan dan selainnya dikaitkan padanya (Al-Hamdu)". Selanjutnya beliau (Asy-Syaukânî) berkata lagi :

ُ‫ َو ُمتَعَّلقَ ُه الّنعْ َمة‬، ُ‫ َو اْلَرْكَان‬، ُ‫جنَان‬ ِ ْ‫ َو ال‬، ُ‫شكْرِ اللّسَان‬ ّ ‫َو َموْرِدُ ال‬ Artinya : "Adapun sumber kesyukuran adalah : lisan, hati dan -- anggota -tubuh, dimana kenikmatan dikaitkan dengannya". Kemudian beliau (Asy-Syaukânî) menegaskan :

‫شكْرِ لَن ّ كُ ّل َثنَا ِء بِاللّسنَانِ َل‬ ّ ‫حمْدِ كَ َموْ ِردِ ال‬ َ ْ‫وَ ِقيْلَ إِن ّ َموْرِ َد ال‬ ْ‫حمْ ِد بَل‬ َ ِ‫ْسن ب‬ َ ‫ِحن َلي‬ ِ ‫جوَار‬ َ ْ‫َعن ُموَاَف َقةِ ال‬ َ ‫ْبن م‬ ِ ‫صنِميْ ِم اْلقَل‬ َ ‫ِنن‬ ْ ‫ْنن م‬ ُ ‫يَ ُكو‬ ُ‫سُخْ ِرّي ُة َو ا ْستِهْزَاء‬ Artinya :

Ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa sumber Al-Hamdu (pujian) sama seperti sumber kesyukuran. Karena setiap pujian yang diucapkan oleh lisan, namun tidak dari lubuk hati dan -- juga tidak -- disesuaikan (dilaksanakan) dengan -- tindakan -- anggota badan, maka itu bukanlah pujian, malahan -- sebaliknya --, itu merupakan ejekan dan penghinaan". Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh) telah memberikan penjelasan yang sangat baik sekali dalam masalah ini, beliau berkata :

‫ َو ُهوَ َمْبنِي عَلَى‬.ُ‫شكْر‬ ّ ‫ َفقَيْ ُدهَا ال‬، ِ‫ف عََليْ ه‬ ُ ‫ِنعَ مٌ مِ نَ الِ َتعَالَى تَتَرَا َد‬ َ‫ و‬، ‫ّثن بِهَا ظَاهَرًا‬ ُ ‫حد‬ َ َ‫ َو ت‬، ‫َافن بِهَا بَاطِنًا‬ ُ ‫ اْ ِل ْعتِر‬: ‫َانن‬ ٍ ‫َثلََثةِ أَرْك‬ ْ‫ فَإِذَا َفعَلَ ذَلِكَ َفقَد‬.‫تَصْ ِرْي ُفهَا فِي مَرْضَا ِة وَِليّهَا وَ مُسْ ِدْيهَا َو ُمعْ ِطيْهًَا‬ ‫صيْ ِرهِ فِي ُشكْ ِرهَا‬ ِ ‫َشكَ َرهَا مَ َع َت ْق‬ Artinya : "Segala nikmat Allâh Ta'âlâ yang datang berturut-turut kepada seseorang -- yang tidak bisa dia hitung -- , pengikatnya adalah syukur. Dan syukur itu di bangun di atas tiga aspek, yaitu : (1) Pengakuan batin (qalbu) terhadap nikmat tersebut (2) Menceritakannya dengan terangan-terangan (3) Dan menggunakannya dalam -- perkara -- yang diridhai oleh -- Allâh -Yang Mengusai, Mendatangkan dan Memberikan kenikmatan itu. Maka jika ia melakukan -- ketiga -- hal ini, berarti ia telah mensyukurinya, walaupun -- pada hakikatnya -- ia sangat sedikit (tidak mampu) mensyukurinya". (Lihat Al-Kalimuth-Thayyib wal-'Amalush-Shâlih, Al-Imâm IbnulQayyim hal. 33) Keistimewaan Ucapan Hamdalah Dan Penggunaannya Sehari-hari

Dalam beberapa hadits yang shahîh disebutkan betapa besar keistimewaan atau keutamaan yang diperoleh dari ucapan "AlHamdu Lillâh", 1) Sebagai Do'a Yang Paling Utama Disebutkan dalam sebuah hadits dari Jâbir bin 'Abdillâh, ia berkata : Telah bersabda Rasûllulâh saw. :

ِ‫أَ ْفضَلُ الذّكْرِ لَ إله إِلّ الُ وَ أَ ْفضَلُ ال ّدعَا ِء الْحَمْدُ ِللّه‬ Artinya : Seutama-utama dzikir adalah "Lâ Ilâha Illal-Lâh" dan seutamautama panggilan (do'a) adalah Al-Hamdu Lillâh". (H.R. At-Tirmidzî, dan ia menghasankannya, An-Nasâ-î, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân dan Al-Baihaqî dalam Syu'bil-Îmân. Lihat Ad-DurulMantsûr Fî Tafsîril-Ma'tsûr juz I hal. 31) Oleh karena itu sebagian 'ulamâ' memulai do'a dengan kalimat "Al-Hamdu Lillâh", sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa kitab do'a, seperti "Al-Adzkâr" yang ditulis oleh Al-Imâm An-Nawawî dsb. 2) Lebih Besar Dari Dunia dan Seluruh Isinya Disebutkan dalam sebuah hadits dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasûllulâh saw. :

: َ‫ ثُمّ قَال‬، ‫َلوْ أَنّ ال ّدنْيَا كُلّهَا ِبحَذَاِفيْرِهَا فِي يَدِ َرجُ ٍل مِ نْ ُأمّتِي‬ َ‫الْحَمْدُ ِللّهِ َلكَا َن الْحَ ْمدُ أَ ْفضَلُ مِنْ ذَلِك‬ Artinya :

"Seandainya dunia seluruhnya, dan semua isinya berada (diberikan) di tangan seorang dari umat-ku, kemudian ia berkata : Al-Hamdu Lillâh, niscaya -- ucapan -- Al-Hamdu itu lebih utama dari semua itu". (H.R. Al-Hakîm dan At-Tirmidzî dalam Nawâdirul-Ushûl. Lihat AdDurul-Mantsûr Fî Tafsîril-Ma'tsûr juz I hal. 31) 4) Mendatangkan Ridha Allâh Bila Diucapkan Setelah Makan Atau Minum Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Anas, Rasûllulâh saw. bersabda :

َ‫إِنّ الَ َتعَالَى َليَرْضَى عَ ِن اْل َعبْدِ أَ نْ َيأْكُ َل اْلَكَْلةَ َأوْ يَشْرَ بُ الشّ ْرَبة‬ ‫َفيَحْ َمدَ الَ عََلْيهَا‬ Artinya : "Sesungguhnya Allâh Ta'âlâ niscaya ridha terhadap seorang yang makan -- sesuatu – makanan atau minum -- sesuatu -- minuman, kemudian ia memuji Allâh atasnya (kenikmatan makan & minum)" . (H.R. Ahmad, Muslim, At-Tirmidzî dan An-Nasâ-î. Lihat Al-FathulKabîr juz II no. : 1812) 5) Lebih Besar Nilainya Dari Segala Jenis Kenikmatan Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Anas, Rasûllulâh saw. bersabda :

‫ِين‬ ْ ‫َانن الّذ‬ َ ‫ إِلّ ك‬، ‫ّهن‬ ِ ‫ الْحَمْدُ ِلل‬: َ‫َمن الُ َعبْدًا ِنعْ َمةً َفقَال‬ َ ‫م َا َأْنع‬ َ‫ أَ ْفضَ ُل مِمّا أَخَذ‬، ‫َأعْطَى‬

Artinya : "Tidaklah Allâh memberikan suatu kenikmatan kepada seorang hamba, lalu ia berkata : "Al-Hamdu Lillâh", melainkan ada yang ia berikan (yaitu ucapan Al-Hamdu Lillâh) itu lebih utama dari apa saja yang ia ambil (yaitu kenikmatan)". (H.R Ibnu Mâjah, lihat Al-Fathul-Kabîr juv V no. : 5439) Dan juga dalam sebuah hadits lain dari Abî Umâmah, Rasûllulâh saw. bersabda :

َ‫ إِلّ كَا نَ ذَلِ ك‬، ‫ َفحَمِدَ الُ عََليْهَا‬، ً‫مَا َأنْعَ مَ الُ عَلَى عَبْ ٍد ِنعْ َمة‬ ِ‫ك الّنعْ َمة‬ َ ْ‫الْحَمْدُ أَ ْفضَ َل مِ ْن تِل‬ Artinya : "Tidaklah Allâh memberikan suatu kenikmatan kepada seorang hamba, kemudian ia memuji Allâh atas kenikmatan itu, melainkan adalah pujian (Al-Hamdu) itu lebih utama dari kenikmatan tersebut". (H.R. Ath-Thabrânî, lihat Al-Fathul-Kabîr juv V no. : 5438)

َ‫ب اْلعَالَ ِميْن‬ ّ َ‫ر‬ Artiya : "Rabb seluruh 'alam". Arti "Rabb" secara singkat ialah : Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur, Pembimbing dsb. Ada pun makna Rabb (ّ‫ ) َرب‬di sini :

ْ‫مُ َرّبْيهِ ْم َو مَاِل ِكهِمْ وَ ُم َدبّرُ ُأ ُموْرِهِم‬

Artinya : "Yang mendidik mereka, menguasai mereka dan mengatur urusan mereka". (Lihat Kalimâtul-Qur-’ân oleh Hasanain Muhammad Makhlûf hal. 9) Sedangkan Al-'Âlamîn (‫ )ا ْلعَاَلمِيْن‬merupakan bentuk jama' dari 'Alam (‫)عَالَم‬. Az-Zujâj berkata :

ِ‫اْلعَالَمُ كُ ّل مَا َخلَقَ الُ فِي ال ّدنْيَا َو اْلخِ َرة‬ Artinya : "'Alam ialah segala sesuatu yang Allâh ciptakan di dunia dan di akhirat". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 24) Maksudnya, 'alam adalah sebutan bagi seluruh makhluq atau ciptaan Allâh, tidak ada yang tahu berapa banyak jenis dan jumlahnya kecuali Allâh, sebagaimana ditegaskan oleh Ka'ab AlAhbâr:

ّ‫َل َيعْلَ ُم عَدَ َد اْل َعوَالِمِ إِلّ الُ عَ ّز وَ َجل‬ Artinya : "Tidak ada yang mengetahui jumlah dan jenis 'Alam kecuali Allâh 'Azza wa Jalla". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 24) Al-Imâm Ibnu Katsîr (rahimahullâh) memberikan penjelasan yang baik sekali dalam masalah ini, beliau berkata :

ِ‫ل َمةِ َلنّ هُ عَلَ مٌ دَا َل عَلَى وُ ُجوْدِ خَاِلقِ ِه وَ صَاِنعِه‬ َ ‫شتَ ٌق مِ َن الْ َع‬ ْ ُ‫الْعَالَ ُم م‬ ِ‫َو وَحْدَاِنيّتِه‬ Artinya : "Kata 'alam itu diambil dari kata 'alamah (tanda), karena ia menjadi tanda yang menunjukkan (membuktikan) adanya sang Pencipta -yang menciptakannya dan Pembuat -- yang merancangnya -- dan juga -- menunjukkan -- ke-Esa-an-Nya". Selanjutnya Al-Imâm Ibnu Katsîr menuqilkan sya'ir dari Ibnul-Mu'tar :

ٌ‫ وَ فِي كُ ّل شَ يٍ آَية‬، ُ‫جحَدُ ُه الْجَاحِد‬ ْ َ‫ف ي‬ َ ْ‫ أَ مْ َكي‬، َ‫ص اْلِلَ ه‬ ِ ْ‫ف َيع‬ َ ْ‫َكي‬ ُ‫تَدُلّ َأنّهُ وَا ِحد‬ Artinya : "Bagaimana ia menentang Ilâh ? Atau bagaimana pembangkang itu membangkang kepada-Nya? Padahal di dalam segala sesuatu ada tanda yang menunjukkan bahwasanya Ia itu Maha Esa". Kemudian Al-Imâm Ibnu Katsîr menuqilkan penjelasan AlImâm Al-Qurthubî dalam hal ini :

.........ُ‫فَالرّبّ ِفيْهِ التّ ْر ِهْيب‬ Artinya : "Rabb itu -- sebuah kata -- yang mengandung tarhîb". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 24)

Tarhîb artinya "sesuatu yang menimbulkan rasa takut di dalam hati". Sebagaimana di sebutkan sebelumnya, bahwa Rabb itu artinya : "Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur dsb. sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat :

َ‫ب اْلعَالَ ِميْن‬ ّ َ‫ِإنّي أَخَافُ الَ ر‬ Artinya : "Sesungguhnya aku merasa takut kepada Allâh, Rabb seluruh 'alam". (Surah Al-Mâ-idah (5) : 28) Dan di dalam ayat yang lain :

َ‫ض و‬ ِ ْ‫قَالَ ِف ْر َعوْ نُ َو مَا رَبّ اْلعَالَ ِميْ نَ ؟ قَالَ رَبّ ال سّمَاوَاتِ َو اْلَر‬ َ‫مَا بَْيَنهُمَا ِإنْ ُكْنتُ ْم ُموِْقنِيْن‬ Artinya : Fir'aun berkata : "Siapakah Rabb seluruh 'alam?" Mûsâ menjawab: "Rabb langit dan bumi, dan apa saja di antara keduanya, jika kalian termasuk orang-orang yang yakin". (Surah Asy-Syu'arâ' (26) : 23 & 24) Jika manusia menyadari bahwa Allâh SWT. adalah Pencipta, Pemilik, Penguasa, Pengatur seluruh 'alam semesta termasuk juga dirinya, maka ia akan merasa takut, karena ia sebenarnya berada dalam kekuasaan Allâh, baik-buruk nasibnya pun berada di tangan Allâh. Bahkan hidup dan matinya sepenuhnya berada dalam kekuasaan dan ketentuan Allâh. Dengan rasa takut seperti ini, manusia tidak akan sombong, bahkan ia akan mendekatkan dirinya kepada Allâh dengan melakukan keta'atan kepada-Nya, serta selalu memohon perlindungan kepadaNya dari segala mara-bahaya yang ia tidak mampu menghindar atau

menghadapinya dengan kekuatannya. Mushibah, bencana 'alam, gempa dll. di mana manusia tidak berdaya menghadapainya adalah bukti kekuasaan Allâh Rabbul-'Âlamîn. (Wallâhu A'lam)

ِ‫الرّحْمَن‬ "Yang Maha Pemberi"

‫الرّ ِحيْم‬ "Yang Maha Penyayang" Penjelasan : Al-Jauharî, -- salah seorang 'ulamâ' ahli tafsîr -- berkata

ِ‫شتَقّانِ مِنَ الرّحْ َمة‬ ْ ُ‫هُمَا اسْمَا ِن م‬ Artinya : "Keduanya -- yaitu : Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm -- adalah dua nama yang diambil dari kata Ar-Rahmah (kasih sayang)". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225) Az-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa lafazh (‫حمَان‬ ْ ‫ ) َر‬merupakan (‫)فَعْلَن‬, yaitu lafazh yang menunjukkan "mubâlaghah" (sangat berlebihan dalam perbuatan). Sedangkan lafazh (‫ ) َرحِيْم‬merupakan (‫)فَعِيْل‬, yaitu lafazh yang menunjukkan shifat (sesuatu) yang tetap. (Lihat Al-Kasysyâf juz I hal. 49) Adapun Al-Qâsimî menjelaskan :

......ِ‫إِنّ َلفْظَ (رَحْمن) وَصْفٌ ِفعِْليّ ِفيْ ِه َم ْعنَى الْ ُمبَالَ َغة‬ Artinya :

"Sesungguhnya lafazh Rahmân adalah shifat perbuatan, di dalamnya -- ada -- makna mubâlaghah". Lalu beliau berkata lagi :

....ِ‫وَ َأمّا َلفْظُ ( َر ِحيْم) فَِإنّ ُه يَدُلّ فِي اْلِ ْسِتعْمَا ِل عَلَى الْ َمعَانِي الثّاِبَتة‬ Artinya : "Adapun lafazh Rahîm, maka ia menunjukkan pemakaian atas makna-makna yang tetap". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225) Adapun Jumhur (mayoritas) 'ulamâ' berkata :

ُ‫ َو َمعْنَى الرّ ِحيْ ُم الْ ُمْنعِ م‬، ِ‫لئِلِ الّنعَ م‬ َ‫ج‬ َ ِ‫أَنّ َمعْنَى الرّ ْح من الْ ُمْنعِ مُ ب‬ ‫بِدَقَاِئ ِقهَا‬ Artinya : "Sesungguhnya makna Ar-Rahmân adalah Maha Pemberi Nikmat, yaitu kenikmatan-kenikmatan yang jelas dan nampak (materi). Sedangkan Ar-Rahîm adalah Maha Pemberi Nikmat, yaitu kenikmatan-kenikmatan yang halus dan tidak terlihat (immaterial)". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225) Sebagian dari 'ulamâ' ada yang berkata :

َ‫ و‬، ْ‫إِنّ الرّحْم َن ُهوَ الْ ُمنْعِ ُم ِبنِعِ ِم عَا ّمةٍ تُشْمِ ُل اْلكَافِ ِريْ َن مَ َع َغيْ ِرهِ م‬ َ‫ص ِة بِالْ ُم ْؤ ِمِنيْن‬ ّ ‫الرّ ِحيْ ُم الْ ُمْنعِ ُم ِبنِعَ ِم الْخَا‬

Artinya : "Sesungguhnya makna Ar-Rahmân adalah Maha Pemberi Nikmat, yaitu kenikmatan yang universal, mencakup orang-orang kafir dan selain mereka (yaitu orang-orang musyrik, munafiq, jahiliyah dsb.). Sedangkan makna Ar-Rahîm adalah Maha Pemberi Nikmat, yaitu kenikmatan-kenikmatan yang khusus bagi orang-orang yang berîmân". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225) Adapun alasan (dalil) yang menunjukkan bahwa Ar-Rahîm itu khusus bagi orang-orang yang ber-îmân, adalah firman Allâh:

‫وَ كَا َن بِالْ ُم ْؤمِِنيْنَ رَ ِحيْمًا‬ Artinya : "Dan adalah Dia (Allâh) bershifat Ar-Rahîm terhadap orang-orang yang ber-îmân". (Surah Al-Ahzâb (33) : 43) Al-Qâsimî sendiri menegaskan dan memberi penjelasan sebagai berikut:

َ‫ َسوَاءٌ كَا ن‬، ِ‫صْي َغةُ الرّحْمن تَدُ ّل عَلَى َكثْ َرةِ اْلِحْ سَانِ الّذِي ُيعْ ِطيْ ه‬ ِ َ‫ف‬ .‫جَِلْيلً َأوْ دَِقْيقًا‬ Artinya : "Bentuk lafazh Ar-Rahmân (Yang Maha Pemberi) menunjukkan atas berlimpahnya kebaikan (nikmat) yang Dia berikan, sama-saja apakah -- kenikmatan-kenikmatan -- yang terlihat atau yang tidak terlihat (halus)". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225)

Keterangan yang menyatakan bahwa Ar-Rahmân adalah Maha Pemberi Nikmat, yaitu kenikmatan yang universal mencakup orangorang kafir, sesuai dengan sabda Rasûlullâh saw. :

َ‫صبَ َر عَلَى أَذَى سَ ِمعَ ُه مِنَ الِ يَ ّد ُعوْنَ لَ ُه وَلَ ٌد ثُمّ ُيعَاِفْيهِ ْم و‬ ْ َ‫مَا أَحَدٌ أ‬ ْ‫يَرْزُ ْقهُم‬ Artinya : "Tidak ada seorang pun lebih sabar dari Allâh ketika mendengar -ucapan -- yang menyakitkan. Mereka mengatakan Allâh punya anak, namun Allâh tetap memberikan kesejahteraan dan rezeki kepada mereka". (H.R. Al-Bukhârî juz IX hal. 141) Mengatakan Allâh mempunyai anak adalah ucapan syirik (menyekutukan) terhadap Allâh yang sangat tidak layak bagi bagi Allâh. Dan ini merupakan kelakuan Yâhûdi dan Nasrani, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur-’ân surah At-Taubah (9) ayat 30:

ِ‫سيْ ُح ابْ نُ ال‬ ِ َ‫وَ قَالَ تِ اْلَي ُهوْ ُد عُ َزيْ ٌر ابْ نُ الِ وَ قَالَ تِ النّ صَارَى الْم‬ ُ‫ قَاتََلهُ م‬.ُ‫ذَلِ كَ َقوُْلهُ ْم ِبأَ ْفوَا ِههِ ْم ُيضَا ِهُئوْ نَ َقوْ َل الّ ِذيْ نَ َكفَ ُروْا مِ نْ َقبْل‬ َ‫الُ َأنّى ُيؤَْف ُكوْن‬ Artinya : Orang-orang Yahûdi berkata : "'Uzair itu putera Allâh" dan orangorang Nasrani berkata : "Al-Masîh itu putera Allâh". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allâh-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allâh melaknati mereka yang menyeku-tukan-Nya dengan mengatakan Dia mempunyai anak. Ini menegaskan bahwa Allâh membenci mereka, bahkan tidak akan mengampuni dosa syirik mereka sebagaimana disebutkan dalam AlQur-’ân surah An-Nisâ' (4) ayat 48:

َ‫ و‬، ُ‫شرَ كَ بِ ِه َو َي ْغفِ ُر مَا ُدوْ نَ ذَلِ كَ لِ َم ْن يَشَاء‬ ْ ُ‫إِنّ الَ َل َي ْغفِرُ أًَ نْ ي‬ ‫مَ ْن يُشْ ِركْ بِالِ َفقَدْ افْتَرَى ِإثْمًا عَ ِظيْمًا‬ Artinya : "Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni jika Dia disekutukan; akan tetapi Dia mengampuni apa-apa (dosa) selain itu (syirik) bagi siapa-saja yang dikehendaki-Nya. Dan barang-siapa yang menyekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". Namun, meskipun mereka telah melakukan dosa yang teramat besar terhadap-Nya, Dia tetap memberikan kesejahteraan serta melimpahkan rezeki pada mereka. Dan ada lagi sebuah hadits dari 'Abdullâh bin Mas'ûd, Rasûlullâh saw. bersabda :

‫ وَ َل ُيعْطِي‬، ّ‫وَ إِنّ الَ ُيعْطِي ال ّدنْيَا مَ ْن يُحِبّ وَ مَ نْ َل يُحِب‬ ُ‫ فَ َمنْ َأعْطَاهُ الُ ال ّديْنَ َفقَْدْ أَ َحبّه‬، ّ‫ال ّديْنَ إِلّ مَنْ أَ َحب‬ Artinya : "Dan sesungguhnya Allâh memberi keduniaan (materi) kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Tetapi Dia tidak memberikan ad-dîn (agama) kecuali kepada orang

yang Dia cintai. Maka barang-siapa yang diberikan ad-dîn oleh Allâh, maka sungguh Dia (Allâh) telah mencintainya". (H.R. Ahmad. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal. 463) Hadits ini juga menegaskan shifat Ar-Rahmân (Yang Maha Pemberi) dalam bentuk yang nyata, yaitu memberi berbagai pemberian dalam bentuk materi kepada orang-orang yang dicintai dan orang-orang yang tidak dicintai (dibenci). Shifat seperti ini tidak mungkin dimiliki oleh manusia, hanya Allâh yang mampu dan pantas memiliki shifat ini, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imâm IbnulAtsîr:

. ُ‫ وَ َل ُيوْصَف‬، ُ‫ َل يُسَمّى بِ ِه َغيْ َره‬، ِ‫وَ الرّحْمن خَاصّ ِللّه‬ Artinya : "Ar-Rahmân adalah -- shifat dan nama -- yang khusus milik Allâh. Selain-Nya (Allâh), tidak boleh disebut dan dishifati dengannya (ArRahmân)". (Lihat An-Nihâyah juz I hal. 210) Adapun yang dimaksud ad-dîn (agama) dalam hadits ini ialah pemahaman atau pengertian yang baik terhadap agama, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasûlullâh saw. bersabda :

ِ‫مَ ْن يُ ِردِ الُ بِهِ َخيْرًا ُيفَ ّقهْهُ فِي ال ّديْن‬ Artinya : "Siapa-saja yang dikehendaki -- mendapat -- kebaikan oleh Allâh, maka Allâh akan memberikan pemahaman agama kepadanya". (H.R. Ahmad dll. Lihat Al-Fathul-Kabîr jilid V no. : 6487) Yang dimaksud pemahaman agama adalah kemampuan memahami agama Islâm dengan baik dan mendalam. Ini adalah

nikmat Allâh bersifat immateriel, namun lebih besar nilainya daripada nikmat keduniaan (materiel). Dan nikmat ini hanya diberikan kepada orang-orang yang Dia cintai. Penutup Sebagai penutup pembahasan ini, kami sampaikan ucapan AImâm Al-'Allâmah Muhammad Jamâlud-Dîn Al-Qâsimî, beliau berkata :

َ‫فََلفْ ظُ (الرّ ْح من) يَدُ ّل عَلَى مَ ْن تَ صْدُ ُر َعنْ هُ آثَارُ الرّحْ َم ِة بِاْل ِفعْ ِل و‬ ِ‫هِيَ إِضَاَف ُة النّعَ ِم َو اْلِحْسَان‬ Artinya : "Adapun lafazh Ar-Rahmân menunjukkan bahwa -- Allâh--, yang dari-Nya-lah bermunculan berbagai macam rahmat, -- yang -disebabkan oleh perbuatan-Nya. Dan rahmat -- adalah -- sandaran bagi seluruh kenikmatan dan kebaikan". Selanjutnya beliau berkata lagi :

َ‫ و‬، ِ‫ِهن الرّحْ َم ِة َو اْلِحْسنَان‬ ِ ‫ْظن (الرّحِي ْم) يَدُ ّل عَلَى َمنْشَاءِ هَذ‬ ُ ‫وَ َلف‬ ِ‫ت الثّاِبَتةِ الْوَا ِجَبة‬ ِ ‫عَلَى َأّنهَا مِ َن الصّفَا‬ Artinya : "Sedangkan lafazh Ar-Rahîm menunjukkan atas sumber dari seluruh rahmat dan kebaikan, dan bahwa -- Ar-Rahîm -- itu merupakan shifat yang tetap dan wajib". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 225)

ِ‫مَالِك‬ "Yang Merajai"

ِ‫َي ْوم‬ "Hari"

ِ‫ال ّديْن‬ "Pembalasan" Penjelasan : Menurut para mufassirîn (ahli-ahli tafsîr), "Mâliki" (ِ‫ )مَالِكب‬bisa juga dibaca "Maliki" (ِ‫ )مَلِك‬yang artinya : "Raja". Kedua macam bacaan ini shahîh dan mutawâtir. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 24) "Mâlik" (‫ )مَالِك‬atau "Malik" (‫ )مَلِك‬adalah salah-satu nama dari nama-nama Allâh (Al-Asmâ-ul-Husnâ); Al-'Allâmah 'Abdur-Rahmân bin Nâshir As-Sa'dî telah memberikan penjelasan secara panjang lebar tentang makna nama ini, beliau berkata :

‫ت اْلعَظَ َم ِة َو اْلكِبْ ِريَا ِء َو‬ ُ ‫صفَا‬ ِ َ‫ك َو هِ ي‬ ِ ِ‫ص َفةِ الْ َمل‬ ِ ِ‫ف ب‬ ُ ْ‫صو‬ ُ ْ‫َف ُهوَ الْ َمو‬ َ‫ْقن َو اْ َلمْ ِر و‬ ِ ‫َقن فِي الْخَل‬ ُ ‫ف الْمُ ْطل‬ ُ ّ‫ّصنر‬ َ ‫َهن الت‬ ُ ‫الْ َقهْ ِر َو التّ ْدِبيْ ِر الّذِي ل‬ َ‫ُمن َعبِيْ ٌد و‬ ْ ‫ ُكّله‬، ‫السنفْلَى‬ ّ َ‫َمن اْلعُُلوّي و‬ ِ ‫ْعن الْعَال‬ ُ ‫َهن َج ِمي‬ ُ ‫ وَ ل‬، ِ‫الْجَزَاء‬ ِ‫مَمَاِليْكٌ وَ ُمضْ َط ّروُنَ إَِليْه‬

Artinya : "Sesungguhnya Ia (Allâh) dishifati dengan shifat Al-Malik (Raja), karena di dalamnya terkandung beberapa shifat, seperti keagungan, kemuliyaan, kemampuan memaksa, serta mengatur, yang bagi-Nya kebebasan mutlak terhadap seluruh makhluq dan semua perkara, dan juga -- kebebasan -- memberi ganjaran. Dan bagi-Nya pula seluruh 'alam ini, baik yang berada di atas maupun di bawah. Semua mereka adalah hamba dan budak serta diharuskan tunduk kepadaNya". (Lihat Syarhul-Asmâ-ul-Husnâ oleh Al-Ustadz Al-Qahthânî hal.163) Shifat Al-Malik ini lebih ditonjolkan lagi oleh-Nya pada Hari Qiyâmat, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

: ُ‫َيقْبِ ضُ الُ اْلَرْ ضَ َيوْ َم الْ ِقيَا َمةِ َو يَ ْطوِى ال سّمَا َء ِبيَ ِمْينِ هِ ثُمّ َي ُقوْل‬ ‫َأنَا الْ َملِكُ َأيْنَ ُمُلوْ ُك اْلَ ْرضِ ؟‬ Artinya : Allâh akan menggenggam bumi pada Hari Qiyâmat dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, lalu Ia berfirman : "Aku-lah Raja, dimana raja-raja bumi?". (H.R. Al-Bukhârî dan Muslim. Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 143) Adapun Yaum (‫ )يَوْم‬dari segi bahasa (lughat) ialah :

، ِ‫ت غُ ُروْبِ الشّ ْمس‬ ِ ‫جرِ إِلَى وَ ْق‬ ْ َ‫ت طُُل ْوعِ اْلف‬ ِ ‫ِعبَا َرةٌ عَ ْن وَ ْق‬ Artinya : "Penjelasan tentang waktu terbitnya fajar sampai waktu terbenamnya Matahari".

(Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 144) Dan Ad-Dîn (‫ )الدّيْن‬dari segi bahasa (lughat) :

‫ب ِبهَا‬ ِ ‫جزَاءُ عَلَى اْ َلعْمَا ِل َو الْحِسَا‬ َ ْ‫ال‬ Artinya : "Pembalasan terhadap berbagai macam perbuatan dan perhitungan terhadapnya". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 144) Arti "Yaumid-Dîn" (ِ‫ )يَ ْومِ الدّيْن‬menurut Ibnu 'Abbâs ialah :

‫لئِ ِق َو ُهوَ َيوْ مُ الْ ِقيَا َمةِ يُ ِدْيُنهُ ْم ِبأَعْمَاِلهِ مْ إِ نْ َخيْرًا‬ َ‫خ‬ َ ْ‫َيوْ ُم الْحِ سَابِ ِلل‬ ُ‫خيْ ٌر وَ ِإ ْن شَرّا فَشَرّ إِ ّل مَ ْن َعفَا َعنْه‬ َ َ‫ف‬ Artinya : "Hari penghisaban (perhitungan) bagi seluruh makhluq, dan itu adalah Hari Qiyâmat, dimana Allâh akan membalas seluruh 'amal perbuatan mereka, jika baik maka -- dibalas dengan -- kebaikan, dan jika buruk maka -- akan dibalas dengan -- keburukan, kecuali orang diampuni oleh Allâh". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 25) Penyebutan "Raja Hari Pembalasan" tidak berarti sebelum "Hari Pembalasan" Ia tidak menjadi Raja Yang Berkuasa. Al-Imâm Ibnu Katsîr memberi penjelasan dalam soal ini, beliau berkata :

َ‫ك ِبَيوْ مِ ال ّديْ نِ َل َيْنفِيْ ِه عَمّ ا عَدَا هُ َلنّ هُ قَ ْد َتقَدّ م‬ ِ ِ‫ص الْمَل‬ ُ ْ‫صي‬ ِ ْ‫َو تَخ‬ .......ِ‫ك عَامّ فِي ال ّدْنيَا َو اْل ِخ َرة‬ َ ِ‫ب اْلعَالَ ِميْنَ وَ ذَل‬ ّ َ‫اْلِ ْخبَارُ بَِأنّهُ ر‬

Artinya : "Pengkhususan -- penyebutan -- Raja di Hari Pembalasan tidak berarti menafikan (meniadakan) -- shifat kekuasaan-Nya -- dari selain -- Hari Pembalasan -- itu. Karena telah lebih dulu diberitakan -- dalam ayat kedua -- bahwa Ia adalah Rabbul-'Âlamîn, dan itu mencakup dunia dan akhirat". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 24) Sedangkan Al-Qâsimî menegaskan :

‫ َأوْ ِلَبيَا نِ تَفَرّدِ ِه َتعَالَى‬، ِ‫صْيصُهُ بِاْلِضَاَفةِ ِإمّا ِلَتعْ ِظيْمِه َو َت ْه ِويْلِ ه‬ ِ ْ‫َو تَخ‬ ِ‫بِإِجْرَا ِء اْ َلمْ ِر وَ َفصْ ِل الْ َقضَاءِ ِفيْه‬ Artinya : "Dan dikhususkan-Nya (Allâh) sebagai sandaran -- seluruh perkara pada Hari Pembalasan --, bertujuan untuk mengagungkan-Nya dan menimbulkan rasa takut terhadap-Nya, dan juga untuk menjelaskan kemandirian-Nya (Allâh) SWT. dalam melaksanakan seluruh perkara -- di hari itu -- dan memutuskan hukum di dalamnya". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî jilid I hal. 228) Al-Ustadz Sayyid Quthb (rahimahullâh) memberikan komentar yang baik sekali tentang ayat ini, beliau berkata : Ayat (‫ )مَالِكِب يَوْمِب الدّيْن‬ini menjelaskan sebuah pelajaran yang luas dan mendalam pengaruhnya dalam seluruh kehidupan manusia. Yaitu pembelajaran keyakinan terhadap akhirat. "Al-Malik" -menunjukkan -- puncak dari derajat kekuasaan. Sedangkan "YaumidDîn" adalah hari pembalasan di akhirat. Banyak manusia yang meyakini akan Uluhiyyah Allâh dan penciptaan-Nya terhadap alam semesta, namun bersamaan dengan itu mereka tidak meyakini terhadap hari pembalasan. Al-Qur-’ân telah menyebutkan sikap sebagian dari mereka ini :

ُ‫ ال‬: ّ‫ت َو اْلَ ْرضِ َلَي ُقوْلُن‬ ِ ‫وَ َلئِ ْن َسأَلَْتهُ ْم مَنْ خَلَقَ السّمَاوَا‬ Artinya : Dan seandainya engkau bertanya kepada mereka : "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?". Niscaya mereka akan menjawab dengan sunguh-sungguh: "Allâh". (Surah Luqmân (31) : 25) Kemudian Allâh menyebutkan tentang mereka lagi dalam ayat yang lain :

ٌ‫ هَذَا َشيْء‬: ‫ن‬ َ ‫ن َفقَا َل اْلكَافِ ُروْن‬ ْ ‫ن ُمنْذِ ٌر ِمْنهُم‬ ْ ‫ن جَا َءهُم‬ ْ ‫جُبوْا أَن‬ ِ َ‫بَ ْل ع‬ ٌ‫ َأإِذَا ِمتْنَا وَ ُكنّا تُرَابًا ؟ ذَلِكِ رَجْ ٌع َب ِعيْد‬.ٌ‫جْيب‬ ِ َ‫ع‬ Artinya : (Mereka tidak menerimanya) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir: "Ini adalah suatu yang amat ajaib. Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin". (Surah Qâf (50) : 2 & 3) Selanjutnya Al-Ustadz Sayyid Quthb berkata lagi : Keyakinan terhadap Hari Pembalasan (Yaumid-Dîn) adalah satu pelajaran dari pelajaran-pelajaran 'Aqîdah Islâm yang tak ternilai dalam mengarahkan perhatian manusia dan hati mereka kepada 'alam yang lain selain 'alam dunia; sehingga desakan kebutuhan terhadap dunia tidak akan membuat mereka bertindak sewenangwenang. Ketika -- meyakini -- itu, mereka akan memiliki sikap yang mulia dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Demikian

pula dengan kegelisahan atau rasa gelisah, tidak akan membuat mereka bertindak semberono dalam mengupayakan balasan 'amal mereka kelak, karena mereka menyadari umur mereka yang singkat dan terbatas dalam ruang dunia yang sempit. Dan ketika itu pula mereka akan berupaya melakukan berbagai 'amal sematamata karena Allâh sambil menantikan pembalasan yang sesuai dengan ketentuan Allâh, apakah di dunia atau di kampung akhirat kelak, -- bagi mereka -- sama-saja. Dengan disertai perasaan yang tenteram kepada Allâh, berpegang teguh pada kebaikan dan terus menerus dalam kebenaran serta sikap yang lapang, toleran dan yakin. Karena itu, pelajaran -- 'aqîdah Hari Pembalasan (YaumidDîn) -- ini menetapkan persimpangan jalan -- yang membedakan -antara penghambaan terhadap keinginan (nafsu) dengan keindahan yang layak bagi anak manusia, antara ketundukan terhadap bentukbentuk -- kesenangan -- duniawi beserta nilai dan neracanya dengan keterikatan terhadap nilai-nilai Rabbaniyyah dan kemuliaan yang berada jauh di atas logika jahiliyah. Persimpangan jalan -- yang membedakan -- antara kemanusiaan yang luhur, yang dikehendaki Allâh Yang Maha Kuasa terhadap hamba-hamba-Nya dengan bentuk-bentuk -- pemikiran -- yang buruk, menyimpang, yang dipastikan tidak akan mencapai kesempurnaan. Kehidupan kemanusiaan tidak mungkin dapat ditegakkan di atas manhaj (metode) Allâh yang luhur selama pelajaran -- 'aqîdah Hari Pembalasan (Yaumid-Dîn) -- ini tidak terwujud dalam diri manusia, selama hati mereka belum merasa tenteram bahwa pembalasan mereka di dunia bukanlah bagian yang terakhir, selama individu-individu yang terbatas umurnya ini tidak percaya bahwa ia mempunyai kehidupan yang lain yang harus ia perjuangkan untuk mendapatkannya, dan selama ia tidak berkorban untuk membela kebenaran dan kebaikan dan meyakini terhadap balasan yang akan ia terima di kehidupan yang lain (akhirat)....... Tidaklah sama orang-orang yang berimân terhadap kehidupan akhirat dengan orang-orang yang mengingkarinya, baik dalam perasaan, akhlaq, tingkah-laku dan perbuatan. Mereka adalah dua golongan yang berbeda akhlaqnya, dan dua karakter

yang berlainan, yang tidak akan bisa bersatu di muka bumi dalam suatu perbuatan, dan juga tidak akan bertemu di akhirat dalam pembalasannya. Inilah persimpangan jalan..... (Lihat Tafsîr Fî Zhilâlil-Qur-’ân juz I hal. 18-19) Penutup : Berimân kepada Hari Pembalasan atau Akhirat bukan sekedar percaya, karena "Imân" itu artinya "Tashdîq", yaitu membenarkan atau meyakini sepenuhnya dengan hati. Para 'ulamâ' menyatakan bahwa "Imân" itu adalah "Qaulun Wa Fi'lun"; yaitu "Ucapan Dan Perbuatan". Jadi, sekedar percaya atau ucapan belum bisa disebut berimân. Berimân kepada Hari Pembalasan atau Hari Akhirat akan memberikan hasil yang luar-biasa ke dalam diri manusia, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

ُ‫ وَ جَ َم عَ لَ ه‬، ِ‫ َجعَلَ الُ ِغنَا هُ فَي قَ ْلبِ ه‬، ُ‫ت اْلخِ َر ُة هَمّ ه‬ ِ َ‫مَ نْ كَان‬ ٌ‫ وَ َأَتتْهُ ال ّدْنيَا َو هِيَ رَاغِ َمة‬، ُ‫شَمْلَه‬ Artinya : "Siapa-saja yang bercita-cita kepada -- kehidupan -- Akhirat, maka Allâh pasti menjadikan (memberikan) kekayaan di hatinya, dan menyelesaikan persoalannya; dan dunia pun akan datang dengan menunduk di hadapannya". Arti lafazh "Hamm" (ّ‫ ) َهم‬dalam hadits ini ialah "'Azama 'alaihi" (ِ‫ )عَزَمببَ عََليْهبب‬: "Bercita-cita atau memiliki tekad yang kuat untuk meraihnya". Dan tekad ini tertanam dalam hati serta terpancar dalam semua ucapan dan tindakan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki "Hamm" (ّ‫ )هَمب‬kepada Akhirat, bahkan tidak ia perduli; dan "Hamm-nya" hanya kepada

kehidupan dan kesenangan duniawi saja, maka ia akan mengalami kesengsaraan, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. :

َ‫ وَ فَرّ قَ عََليْ ه‬، ِ‫ َجعَلَ الُ َفقْرَ هُ َبيْ نَ َعْيَنيْ ه‬، ُ‫َو مَ نْ كَانَ تِ ال ّدْنيَا هَمّ ه‬ ُ‫ وَ َل ْم يَ ْاتِهِ مِنَ ال ّدْنيَا إِلّ مَا ُكِتبَ لَه‬، ُ‫شَمْلَه‬ Artinya : "Siapa-saja yang bertekad kepada -- kehidupan -- dunia, maka Allâh pasti menjadikan kemiskinan di depan kedua matanya, dan membuat berantakan persoalannya; dan -- kenikmatan -- dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar yang ditetapkan baginya". (Kedua hadits di atas adalah riwayat At-Tirmidzî dari Anas. Lihat AlFathul-Kabîr juz V no. : 6386) Ada 3 (tiga) kesengsaraan yang disebutkan dalam hadits ini bagi siapa-saja yang keinginan (tekad) dan tujuannya hanya terfokus pada dunia atau kesenangan dunia :

1. Allâh pasti menjadikan kemiskinan di depan kedua matanya. Maksudnya, dirinya tidak pernah merasa puas dan cukup dengan harta yang dimilikinya walau pun ia seorang yang kaya-raya. Orang seperti ini akan merasa tersiksa oleh obsesinya.

2. Allâh membuat berantakan persoalannya. Maksudnya, persoalan hidupnya begitu rumit, dibelit berbagai macam masalah, belum selesai satu persoalan sudah muncul persoalan lain dan begitu seterusnya sepanjang hidupnya. 3. Dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sekedar yang ditetapkan baginya. Maksudnya, ia tidak bisa merasakan kenikmatan dunia kecuali terbatas sekali, walau pun ia memiliki segala-galanya.

َ‫إِيّاك‬ Hanya kepada-Mu

ُ‫َنعْبُد‬ kami ber'ibâdah

َ‫وَ ِإيّاك‬ dan hanya kepada-Mu

ُ‫سَتعِيْن‬ ْ َ‫ن‬ kami minta pertolongan Penjelasan : Makna ayat ini menurut Az-Zamakhsyarî ialah :

ِ‫ب الْ َم ُعوَْنة‬ ِ ‫ك بِطََل‬ َ ّ‫خص‬ ُ َ‫ َو ن‬، ِ‫ك بِاْلعِبَا َدة‬ َ ّ‫خص‬ ُ َ‫ن‬ Artinya : "Kami mengkhususkan 'ibâdah -- hanya -- kepada-Mu, dan kami mengkhususkan minta pertolongan -- hanya --kepada-Mu". (Lihat Tafsîr Al-Kasysyâf juz I hal. 56) Ibâdah kepada Allâh merupakan tujuan dari penciptaan jin dan manusia, sebagaimana firman Allâh SWT. :

ِ‫َو مَا َخَل ْقتُ الْجِنّ وَ اْ ِلْنسَ إِلّ ِلَي ْعبُ ُدوْن‬ Artinya : "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka ber'ibâdah kepada-Ku". (Surah Adz-Dzâriyât : 56) Makna ‘Ibâdah (‫)اْلعِبَادَة‬ Arti 'ibâdah dari segi bahasa ialah :

ُ‫الطّا َع ُة وَ التّذَلّل‬ Artinya : "Ta'at (patuh) dan merendahkan diri". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî jilid I hal. 146) Sedangkan ta'rîf (definisi)nya menurut syara' ialah :

َ‫حبّ هُ الُ َو يَرْضَا هُ مِ ْن اْلَ ْقوَا ِل َو اْلَ ْفعَالِ و‬ ِ ‫إِ سْمٌ جَامِ عٌ ِلكُ ّل مَا ُي‬ ِ‫الظّاهِ ِر َو الْبَاطِن‬ Artinya : "Nama (isim) yang mencakup semua yang dicintai Allâh dan diridhai-Nya; dari ucapan, perbuatan, yang lahir maupun yang batin". Ber'ibâdah kepada Allâh harus dengan cara yang diajarkan oleh para rasûl, karena mereka diutus untuk menyeru dan memberi

contoh tata-cara ber'ibâdah yang benar kepada Allâh, sebagaimana firman Allâh SWT. :

ِ‫وَ َلقَ ْد َب َعثْنَا فِي كُلّ ُأ ّمةٍ َر ُسوْلً َأنِ ا ْعبُ ُدوْا الَ وَ ا ْجَتِنُبوْا الطّا ُغوْت‬ Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasûl dalam tiap-tiap umat -- yang menyeru --: "Hendaklah kalian ber'ibadah kepada Allâh dan jauhilah Thâghût". (Surah An-Nahl (16) : 36) Arti Thâghût (ِ‫غ ْوت‬ ُ ‫)الطّا‬ Kata "Thâghût" dari segi bahasa berasal dari kata "Thaghâ (‫طغَى‬ َ )"; "Yathghâ (‫طغَى‬ ْ َ‫ ;")ي‬yang artinya : ّ‫حد‬ َ ‫ جَاوَزَ ا ْل‬yaitu : "melampaui batas". Adapun yang dimaksud "melampaui batas" di sini ialah : "Melampaui batas dalam kekufuran dan perbuatan yang buruk". Jadi, ta'rif dari kata "Thâghût" ialah :

ِ‫صيَان‬ ْ ِ‫كُ ّل ُمجَاوِزٍ َح ّدهُ فِي اْلع‬ Artinya : "Setiap orang yang melampaui batas dalam kemaksiatan". Menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim (rahimahullâh), tokoh utama "Thâghût" itu ada lima : 1.- Iblîs (la'natullâh 'alaih). 2.- Orang yang disembah, dan ia merasa senang

)ٌ‫(مَنْ عُِب َد وَ ُهوَ رَاض‬

Yang dimaksud di sini adalah para pendeta Yahûdi dan Nasrani yang membuat-buat peraturan (syari'at) agama yang bertentangan dengan hukum-hukum Allâh; seperti mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allâh dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allâh, sebagaimana disebutkan dalam surah At-Taubah (9) ayat 31:

ِ‫ِإتّخَ ُذوْا َأ ْحبَا َرهُمْ وَ ُرهْبَاَنهُمْ أَ ْربَابًا مِنْ ُد ْونِ ال‬ Artinya : "Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagi tuhan-tuhan selain Allâh". Apakah yang dimaksud menjadikan orang-orang 'alim dan rahid-rahib sebagai tuhan-tuhan selain Allâh? Apakah mereka sujud, menyembah kepada orang-orang 'alim dan rahib-rahib itu seperti orang-orang musyrik menyembah berhala? Al-Imâm Ibnu Katsîr telah menjelaskan masalah ini dengan sebuah hadits dari jalur Al-Imâm Ahmad, At-Tirmidzî dan Ibnu Jarîr; yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan 'Adî bin Hâtim ke Madînah dalam rangka kunjungannya yang pertama kepada Rasûlullâh saw.-ketika itu 'Adî masih beragama Nasrani -- dan memakai kalung salib dari perak. Maka Rasûlullâh saw. pun membacakan ayat ini (Surah At-Taubah (9) : 31) di hadapan 'Adî bin Hâtim:

ِ‫ِإتّخَ ُذوْا َأ ْحبَا َرهُمْ وَ ُرهْبَاَنهُمْ أَ ْربَابًا مِنْ ُد ْونِ ال‬ Artinya : "Mereka (Yahûdi dan Nasrani) menjadikan orang-orang 'alim dan rahib-rahib (pendeta) mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allâh".

'Adî bin Hâtim segera menyanggah dengan mengatakan :

ْ‫ِإنّهُمْ َل ْم َيعْبُ ُد ْوهُم‬ Artinya : "Sesungguhnya mereka tidak pernah ber'ibâdah (menyembah) kepada orang-orang 'alim dan para pendeta". Maka Rasûlullâh saw. pun segera menjawab:

ْ‫حلَ َل وَ أَ َحّلوْا َلهُ ُم الْحَرَا مَ فَاّتَب ُعوْهُ م‬ َ ْ‫بَلَى ِإّنهُ مْ حَ ّر ُموْا عََلْيهِ ُم ال‬ ‫ك ِعبَاتُهُمْ ِإيّاهُم‬ َ ِ‫فَذَل‬ Artinya : "Oh pasti; sesungguhnya orang-orang 'alim dan para pendeta itu mengharamkan sesuatu yang halal terhadap mereka dan menghalalkan sesuatu yang haram, maka mereka pun menta'atinya. Demikian itulah -- bentuk -- penyembahan mereka kepada orang-orang 'alim dan para pendeta itu". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal.348) Mereka memang tidak melakukan sujud kepada para pendeta atau orang-orang 'alim mereka, akan tetapi mereka menta'ati para pendeta dan orang-orang 'alim itu sedemikian rupa hingga hukum halal-haram bagi mereka adalah menurut aturan pendeta dan orang 'alim, bukan menurut Allâh. Inilah pengertian atau makna 'ibâdah yang sesungguhnya; yaitu : "Ta'at (patuh) dan merendahkan diri", sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dan para orang 'alim dan pendeta itu pun merasa senang dengan kondisi umat mereka seperti ini, sehingga tepatlah kalau mereka disebut "Thâghût".

3.- Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya

)ِ‫(مَنْ دَعَا النّاسَ ِإلَى عِبَادَ ِة َن ْفسِه‬ Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin sekte, pemimpin spiritual dan para syaikh thariqat yang gemar menipu pengikutnya dengan mengaku-ngaku sebagai wali dsb. Dan pada umumnya, "Thâghût" dari jenis ini terdiri dari orang-orang yang tolol dan bodoh, tidak mengerti ilmu dan syari'at agama. 4.- Orang yang mengaku mengetahui sesuatu dari ilmu ghaib

)ِ‫(مَنِ ادّعَى شَيْئًا مِنْ ِعلْمِ اْلغَْيب‬ Yang dimaksud di sini adalah para kahin (para normal), tukang ramal, ahli nujum, tukang sihir, santet, teluh dsb. 5.- Orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum Allâh (Al-Qur-’ân)

)ُ‫(مَنْ َح َكمَ ِبغَيْ ِر مَا أَنْزَ َل ال‬ Yang dimaksud di sini adalah para pemimpin negara, hakim, jaksa dan seluruh aparat penegak hukum, yang dalam memberikan keputusan hukum tidak berlandaskan "Kitâbullâh". Kesemuanya ini harus dijauhi oleh orang yang benar-benar ber'ibâdah kepada Allâh sebagaimana perintah Allâh di atas:

ِ‫وَ ا ْجتَِنُبوْا الطّا ُغوْت‬ Artinya : "Dan jauhilah Thâghût". (Surah An-Nahl (16) : 36)

Bahkan "Thâghût" itu harus sebagaimana firman Allâh:

ditentang

dan

diingkari,

ِ‫ك بِاْلعُ ْر َوة‬ َ َ‫اسنتَمْس‬ ْ ‫ِنن بِال ِ َفقَ ِد‬ ْ ‫ْتن َو ُي ْؤم‬ ِ ‫َنن َيكْفُ ْر بِالطّا ُغو‬ ْ ‫فَم‬ ‫اْلوُْثقَى َل اْنفِصَامَ َلهَا‬ Artinya : "Maka, barang-siapa yang ingkar (menentang) terhadap Thâghût dan berimân kepada Allâh, maka sesungguhnyha ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus....". (Surah Al-Baqarah (2) : 256) Berdasarkan ayat ini Syaikhul-Islâm Muhammad bin 'AbdulWahhâb menyatakan :

ِ‫حصُلُ إِلّ بِاْل ُكفْ ِر بِالطّا ُغوْت‬ ْ ‫سأَلَ ُة اْلكَِبيْ َرةُ أَ ّن ِعبَا َدةَ الِ َل َت‬ ْ َ‫الْم‬ Artinya : "Sebuah masalah besar; yaitu bahwa 'ibâdah kepada Allâh tidak akan berhasil kecuali dengan -- sikap -- menentang terhadap "Thâghût". (Lihat Fathul-Majîd hal. 34) Makna Minta Pertolongan

(‫)الستعانة‬ Al-Imâm Ibnul-Qayyim menjelaskan bahwa "Al-Isti'ânah" itu menggabungkan dua buah sikap yang mendasar sekali, yaitu :

ِ‫الّث َقةُ بِالِ َو اْلِ ْعتِمَا ُد عََليْه‬ Artinya : "Percaya sepenuhnya kepada Allâh dan bersandar sepenuhnya kepada-Nya". (Lihat Madârijus-Sâlikîn juz I hal. 77) Minta pertolongan kepada Allâh di dalam ayat ini mencakup dua aspek; pertama aspek 'ibâdah (keta'atan), yaitu keberhasilan melaksanakan 'ibadah atau keta'atan kepada Allâh, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imâm Ibnul-Qayyim:

ِ‫َو اْلِ ْسِتعَاَن ُة طََلبُ الْ َع ْونِ عَلَى اْلعِبَا َدة‬ Artinya : Adapun, Al-Isti'ânah atau minta pertolongan -- di sini -- ialah minta pertolongan untuk melaksanakan keta'atan -- kepada Allâh --". (Lihat Madârijus-Sâlikîn juz I hal. 79) Dan kedua, aspek keduniaan, yaitu memperoleh keberhasilan atau sukses duniawi sebagaimana sabda Rasûlullâh saw. dalam sebuah hadits:

)‫ح ِديْث‬ َ ْ‫ج َزنّ (ال‬ ِ ْ‫ وَ َل َتع‬، ِ‫ َو اسَْتعِنْ بِال‬، َ‫ا ْح ِرصْ عَلَى مَا َينْ َفعُك‬ Artinya : "Kuatkanlah tekad-mu untuk -- memperoleh -- apa saja yang bermanfaat bagi-mu, dan minta tolonglah kepada Allâh; jangan sekali-kali engkau bersikap lemah.....(hadits diringkas)". (H.R. Muslim. Lihat Fathul-Majîd hal. 474) Ada 3 (tiga) hal yang diperintahkan Rasûlullâh saw. dalam hadits ini :

1. Menguatkan tekad, yaitu bekerja keras untuk meraih keuntungan dunia dan akhirat. 2. Minta tolong kepada Allâh (Al-Isti'ânah). Jadi, minta tolong di sini dilakukan setelah melakukan sebuah upaya yang keras, yaitu dimana ikhtiyar dan usaha sudah dilakukan secara maksimal. Bukan pasif, yaitu minta tolong tanpa usaha atau kerja keras. 3. Tidak bersikap lemah dalam berusaha. Karena sikap lemah merupakan hal yang tercela, baik dari sudut syari'at (agama) maupun 'aqal. Syaikh 'Abdur-Rahmân bin Hasan memberikan penjelasan yang baik sekali terhadap hadits ini, beliau berkata bahwa yang dimaksud "Kuatkanlah tekad-mu (ْ‫ ")احْرِصببب‬ialah : "Anda -diharuskan -- untuk melakukan usaha keras yang dapat menjadi sebab datangnya manfaat (keuntungan) atau kesuksesan bagi kehidupan dunia dan juga akhirat anda, karena hal itu telah disyari'atkan oleh Allâh SWT., yaitu melakukan faktor-faktor (asbâb) yang bersifat wajib, sunah atau mubah. Dan dalam melakukan upaya-upaya tersebut, hendaklah ia minta tolong kepada Allâh Yang Maha Esa, tidak kepada seorang pun selain Allâh, karena hanya Allâh-lah yang mampu menyempurnakan sebab-musabab dan manfaat baginya. Dan hendaklah ia bersandar sepenuhnya kepada Allâh SWT. dalam melakukan usaha-usahanya tersebut, karena -pada hakikatnya -- Allâh SWT. jualah yang menciptakan sebabmusabab, dan tidaklah bermanfaat suatu upaya melainkan dengan idzin Allâh. Oleh karena itu sudah sewajarnyalah jika ia bersandar sepenuhnya kepada Allâh SWT. dalam melakukan kerja keras. Dan melakukan usaha yang keras -- untuk meraih sukses -- merupakan ketentuan Allâh yang kemudian dilanjutkan dengan sikap tawakal kepada-Nya. Maka, jika ia berhasil menggabungkan dua perkara ini -- yaitu; kerja keras dan tawakal -- akan terwujudlah keinginannya dengan idzin Allâh". (Lihat Fathul-Majîd hal. 474)

Dari penjelasan di atas kita dapat menarik kesimpulan, bahwa ayat "Iyyâka nasta'în" (hanya kepada-Mu kami minta pertolongan); mendidik seorang muslim untuk percaya diri dan terus meningkatkan kinerjanya, karena ia -- sebagai muslim -- diharuskan untuk melakukan kerja keras, namun ia lebih percaya lagi terhadap kekuatan Allâh yang akan menolongnya, yaitu pada saat ia telah mencapai batas maksimal dalam upayanya. Penutup Sebagai penutup pembahasan ini, kami sampaikan ucapan AImâm Al-'Allâmah Muhammad Jamâlud-Dîn Al-Qâsimî tentang ayat ini, beliau berkata :

ُ‫ وَ سِ ّرهَا هَذِ هِ اْلكَلِ َمة‬، ِ‫حةُ سِ ّر اْلقُرْآ ن‬ َ ِ‫ الْفَات‬: ِ‫ض ال سّلَف‬ ُ ْ‫قَا َل َبع‬ )ُ‫سَت ِعيْن‬ ْ َ‫(ِإيّا َك َنعْبُ ُد وَ ِإيّاكَ ن‬ Artinya : Sebagian 'ulamâ' Salaf berkata : "Al-Fâtihah -- mengandung -rahasia Al-Qur-’ân, dan rahasia Al-Fâtihah terdapat pada ayat: (Artinya) : "Hanya kepada-Mu kami ber'ibâdah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan". Lalu beliau berkata lagi :

َ‫ و‬، ِ‫حوْ ِل َو اْلقُ ّوة‬ َ ْ‫ِنن ال‬ َ ‫ َو الثّان ِي َتبَ ّر ُؤ م‬، ‫ْكن‬ ِ ‫ِنن الشّر‬ َ ‫فَاْ َلوّ ُل َتبَ ّرؤُ م‬ ّ‫َتفْ ِوْيضُ إِلَى الِ َع ّز وَ جَل‬ Artinya : Kalimat yang pertama -- yaitu : "Hanya kepada-Mu kami ber'ibâdah" --- merupakan pembebasan -- diri -- dari syirik; dan

kalimat yang kedua -- yaitu : "dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan" -- merupakan pembebasan -- diri -- dari seluruh daya dan kekuatan -- makhluq --, dan menyerahkan -- semua daya dan kekuatan tersebut -- hanya kepada Allâh 'Azza wa Jalla. (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 230)

‫إِهْ ِدنَا‬ Tunjukilah kami

َ‫الصّرَاط‬ jalan

ُ‫ستَ ِقيْم‬ ْ ُ‫الْم‬ yang lurus Al-Imâm Al-Qurthubî berkata tentang ayat ini :

ّ‫ُدعَاءٌ وَ َرغَْب ٌة مِ َن الْمَ ْرُبوْبِ إِلَى الرّب‬ Artinya : "Ini merupakan do'a -- permintaan -- dan harapan dari -- orang -yang dikuasai kepada Rabb -- yaitu : Penguasa, Pemilik, Pengatur seluruh 'alam --". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 148) Selanjutnya Al-Imâm Al-Qurthubî menuqilkan komentar sebagian 'ulamâ' tentang kandungan ayat ini, yaitu :

ْ‫ي يَ ْد ُعو‬ ْ ِ‫سوْ َرةِ أَ ْفضَلُ مِ َن الّذ‬ ّ ‫وَ َجعَ َل هَذَا ال ّدعَاءَ الّذِ يْ فِي هَذِ ِه ال‬ ْ‫ َفَأنْ تَ تَ ْد ُعو‬، َ‫بِ هِ الدّاعِي َلنّ هَذَا الْ َكلَ مَ قَ ْد َتكَلّ َم بِ هِ رَبّ اْلعَالَ ِميْ ن‬ ِ‫ي َتكَلّ َم بِه‬ ْ ِ‫لمَهُ الّذ‬ َ ‫بِ ُدعَاءِ ُهوَ َك‬ Artinya : "Dan Allâh telah menjadikan do'a yang terdapat dalam surah ini sebagai do'a yang lebih utama dari seluruh do'a yang diucapkan oleh seorang yang berdo'a -- kepada-Nya --, karena ucapan -- do'a -ini merupakan ucapan Rabbul-'Âlamîn, dan -- berarti -- engkau berdo'a dengan do'a yang -- berasal -- dari ucapan-Nya". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 148) Penjelasan Kata (‫ )ِإ ْهدِنَا‬arti lengkapnya ialah : "Berikanlah hidayah kepada kami". Adapun arti "Hidayah (‫ ")ا ْل ِهدَايَة‬dari segi bahasa ialah :

ً‫خيْرَاتِ َقوْ ًل وَ ِف ْعل‬ َ ْ‫اْلِ ْرشَادُ إِلَى ال‬ Artinya : "Petunjuk (pengetahuan) untuk -- melakukan -- berbagai kebaikan, dalam bentuk ucapan maupun perbuatan". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 231) Dr. 'Abdullâh Nâsih 'Ulwân membagi "Hidayah" menjadi dua bagian, yaitu "Al-Irsyâd dan Al-I'ânah", Adapun yang dimaksud "AlIrsyâd" ialah pengetahuan atau ilmu yang membedakan antara yang benar (Al-Haq) dan yang salah (Al-Bâthil). "Hidayah" dalam bentuk ini bisa saja dimiliki oleh kâfir, sebagaimana firman Allâh:

‫ب َيعْرُِف ْونَ هُ كَمَا َيعْرُِفوْ نَ َأبْنآءَهُ ْم وَ إِنّ فَ ِريْقًا‬ َ ‫الّ ِذيْ نَ ءَاَتْينَاهُ ُم اْلكِتَا‬ َ‫ِمنْهُمْ َلَي ْكتُ ُموْ َن الْحَ ّق َو هُ ْم َيعْلَ ُم ْون‬ Artinya : "Orang-orang (Yahûdi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitâb (Taurat dan Injîl) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran (Al-Haq) padahal mereka mengetahui". (Surah Al-Baqarah (2) :146) Demikian pula firman Allâh tentang kaum Tsamûd:

‫حبّوا اْلعَمَى عَلَى اْلهُدَى‬ َ َ‫وَ َأمّا ثَ ُموْدَ َفهَ َدْينَاهُمْ فَا ْست‬ Artinya : "Adapun kaum Tsamûd maka mereka telah Kami beri petunjuk (hidayah), tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu". (Surah Al-Fushshilat (41) :17) Berdasarkan dua ayat di atas jelaslah bahwa "Hidayah" dalam bentuk pengetahuan atau ilmu yang benar (Al-Haq) dapat dimiliki oleh orang-orang yang kâfir, namun hati mereka menolaknya. Sedang "Hidayah" yang kedua, yaitu "Al-I'ânah" artinya "Pertolongan"; yaitu pertolongan Allâh kepada orang-orang yang berimân untuk menerima hidayah itu dengan hati mereka dan melaksanakan atau meng'amalkannya, sebagaimana firman Allâh SWT. :

ْ‫ت َيهْ ِدْيهِمْ َرّبهُ ْم بِِإيْمَاِنهِم‬ ِ ‫إِ ّن الّ ِذيْنَ ءَامَُنوْا َو عَ ِملُوا الصّالِحَا‬

Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang berimân dan melaksanakan 'amal shalih, Rabb mereka akan memberi petunjuk (hidayah) kepada mereka disebabkan keimânan mereka". (Surah Yûnus (10) : 9). Dan firman Allâh SWT. :

ُ‫َو مَ ْن ُيؤْمِ ْن بِاللّ ِه َيهْدِ َق ْلبَه‬ Artinya : "Siapa-saja yang berimân kepada Allâh, maka Dia (Allâh) akan memberi petunjuk (hidayah) kepada hatinya". (Surah At-Taghâbun (64) :11) Hidayah dalam bentuk "Al-I'ânah" ini mutlak pemberian Allâh, tidak ada seorang pun yang mampu memberikannya kepada orang lain, bahkan Rasûlullâh saw. tidak mampu memberikannya, sebagaimana firman Allâh SWT. :

ُ‫ي مَ نْ أَ ْحَببْ تَ وَ َلكِنّ الَ َيهْدَي مَ ْن يَشَا ُء َو ُهوَ َأعْلَ م‬ ْ ِ‫ِإنّ كَ َل َتهْد‬ َ‫بِالْ ُم ْهتَ ِديْن‬ Artinya : "Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allâh lah yang memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia (Allâh) lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hidayah". (Surah Al-Qashahsh (28) : 56) Hidayah dalam bentuk "Al-I'ânah" ini membutuhkan upaya yang keras dan kesungguhan dari orang yang bersangkutan,

sebagaimana komentar sebagian 'ulamâ' yang disebutkan oleh AlQâsimî dalam Tafsîrnya :

، ٍ‫ص ْوص‬ ُ ْ‫شكْلٍ َمخ‬ َ ِ‫شكّ َل اْلِنْ سَا ُن ب‬ َ َ‫سهَ ُل َتنَاوَلُهَا َقبْلَ أَ نْ َيت‬ ْ َ‫ِإنّهَا لَ ي‬ ٍ‫ِبتَقْ ِديْ ِم ِعبَادَات‬ Artinya : "Tidak mudah memperoleh hidayah ini -- bagi seseorang -- sebelum ia mencapai kematangan dengan cara-cara yang khusus, yaitu dengan mendahulukan (memprioritaskan) berbagai 'ibadah (keta'atan)". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 231) Dalam hal ini Allâh SWT. berfirman :

‫َو الّ ِذيْنَ جَاهَ ُدوْا ِفْينَا َلَنهْ ِدَيّنهُ ْم ُسبَُلنَا‬ Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan (beri hidayah) kepada mereka jalan-jalan Kami". (Surah Al-Ankabût (29) :69) "Shirâthal-Mustaqîm" (َ‫)الصّرَاطَ ا ْلمُسْتَقِ ْيم‬ Al-Imâm Al-Qurthubî menyatakan bahwa asal kata Shirâth (َ‫ )الصّرَاط‬dalam bahasa 'Arab artinya (ُ‫ ;)الطّ ِريْق‬yaitu "Jalan". Jadi (َ‫ )الصّرَاطَ ا ْلمُسْتَقِ ْيم‬artinya :

َ‫حرَاف‬ ِ ْ‫الطّ ِريْ ُق اْلوَاضِ ُح الّذِي َل اِ ْعوِجَاجَ ِفيْهِ وَ َل ِان‬

Artinya : "Jalan yang terang, yang tidak ada penyimpangan dan pembelokan di dalamnya". (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 235) Para 'ulamâ' mufassirîn berbeda pendapat tentang maksud dengan "Shirâthal-Mustaqîm", sebagian dari mereka mengatakan bahwa itu ialah "Kitâbullâh (Al-Qur-’ân)". Sebagian yang lain mengatakan bahwa itu adalah "Dînul-Islâm". Dan sebagian ada yang berpendapat bahwa itu adalah Nabi saw. dan para shahabatnya. (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 27-28) Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyah (rahimahullâh) telah memberikan komentar yang baik sekali dalam masalah ini, beliau berkata : Ada dua hal yang selayaknya diketahui tentang perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan 'ulamâ' mufassirîn dan para 'ulamâ' lainnya dalam masalah ini : Pertama : Tidak ada pertentangan dan hal yang bertolak belakang di dalam perbedaan pendapat tersebut. Bahkan sangat mungkin untuk ditetapkan bahwa kedua-duanya benar. Adapun yang kedua : Sesungguhnya perbedaan itu hanya dalam penyebutan jenis, sifat dan pernyataan. Dan perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sudah umum dan biasa terjadi di kalangan mufassirîn salaf dari kalangan shahabat dan tabi'în. Karena apabila Allâh SWT. menyebutkan suatu nama (isim) dalam AlQur-’ân, seperti (َ‫ )الصبّرَاطَ ا ْلمُس بْتَقِ ْيم‬misalnya, maka setiap mufassirîn memberikan tafsîran yang menunjukkan kepada sebagian shifatnya saja, dan pada dasarnya hal itu bisa dibenarkan, yaitu sama-dengan nama-nama lain yang disebutkan Allâh atau Rasul-Nya dalam KitabNya, di mana penyebutan nama tersebut menunjuk pada salah satu shifat-shifatnya. Oleh karena itu, ada sebagian mereka ('ulamâ' mufassirîn) yang menyebutkan (َ‫ )الصبببّرَاطَ ا ْلمُسبببْتَقِ ْيم‬itu adalah : "Kitâbullâh" atau "Mengikuti Kitâbullâh". Sedangkan yang lain mengatakan bahwa itu adalah "Al-Islâm" atau "Dînul-Islâm". Ada lagi yang mengatakan bahwa itu adalah "As-Sunnah dan Jama'ah", dan yang lain mengatakan "Jalan (thariqat) Keta'atan" atau "Jalan untuk mencapai rasa takut (khauf), ridha dan cinta kepada Allâh";

atau ada yang mengatakan bahwa itu adalah "Menta'ati perintah dan menjauhi larangan" atau "Mengikuti Kitâbullâh dan Sunnah" atau "Melaksanakan keta'atan kepada Allâh" dan sebutan-sebutan yang lain yang semacam itu. Namun, dari kesemua pengertian tersebut yang dimaksud hanya satu, -- yaitu : "Shirâthal-Mustaqîm" -- walau pun ia memiliki shifat dan nama serta tafsîran yang bermacammacam. Dan hal itu banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsîr khususnya yang membahas masalah ini. (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 233) Penutup Sebagai penutup dari pembahasan ayat ini kami nuqilkan kembali komentar Syaikhul-Islâm Ibnu Taymiyyah (rahimahullâh); beliau berkata tentang ayat ke 5 dari Surah Al-Fâtihah ini : "Setiap manusia secara terus menerus butuh kepada apa yang dituju oleh do'a (permohonan) yang terdapat dalam ayat ini; yaitu hidayah (petunjuk) kepada "Shirâthal-Mustaqîm", karena tidak mungkin meraih keselamatan dari 'adzab kecuali dengan hidayah ini, demikian pula tidak mungkin tercapai kebahagiaan kecuali dengannya. Dan barangsiapa yang luput -- tidak memperoleh -- hidayah ini, maka ia akan menjadi orang yang dimurkai (Maghdhûb) atau orang yang sesat (Dhâllîn). Dan hidayah ini tidak bisa diperoleh kecuali dengan petunjuk Allâh, sebagaimana firman-Nya :

‫ َو مَ ْن ُيضْلِلْ فََل ْن تَجِدَ لَ ُه وَِليّا مُ ْرشِدًا‬، ِ‫مَ ْن َيهْدِ الُ َف ُه َو الْ ُم ْهتَد‬ Artinya : "Barang-siapa yang diberi hidayah oleh Allâh, maka dialah yang mendapat hidayah, dan barang-siapa yang disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi hidayah kepadanya". (Surah Al-Kahfi (18) : 17)

Sesungguhnya yang dimaksud "Shirâthal-Mustaqîm" itu ialah : Jika setiap saat engkau dapat melakukan apa saja yang diperintahkan Allâh kepadamu, berupa ilmu dan 'amal, dan juga meninggalkan apa saja yang Dia larang. Untuk itu engkau membutuhkan pengetahuan (ilmu) tentang apa saja yang Dia perintah pada waktu-waktu tertentu dan apa saja yang Dia larang. Dan engkau juga membutuhkan agar Dia memberikanmu kemauan yang kuat untuk melaksanakan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang. Dan -sebagaimana dijelaskan sebelumnya -- bahwa "Shirâthal-Mustaqîm" ini ditafsîrkan atau dianalogkan dengan Al-Qur-’ân atau Al-Islâm atau jalan untuk mencapai keta'atan kepada Allâh dan lain-lain yang semua itu benar, karena semua itu merupakan shifat-shifatnya. Kebutuhan -- manusia -- terhadap hidayah ini merupakan keharusan, karena kebahagiaan dan keselamatannya bergantung kepada hidayah ini. Berbeda halnya dengan kebutuhannya terhadap rezeki dan pertolongan Allâh. Memang, Allâh adalah yang memberi rezeki kepadanya dan jika Allâh memutus rezekinya, paling-paling ia akan mati -- dan kematian merupakan sebuah kepastian baginya --; namun jika ia termasuk orang mendapat hidayah, ia akan menjadi orang yang berbahagia setelah mati, dengan kata-lain kematian tersebut menjadi jalan baginya untuk memperoleh kebahagiaan yang kekal abadi, karena ia berhak mendapat rahmat Allâh. Demikian pula dengan pertolongan Allâh, apabila ia ditaqdirkan untuk terdesak dan kalah lalu terbunuh -- dalam perang -- , namun jika ia termasuk orang yang mendapat hidayah dan bersikap istiqâmah, maka ia akan mendapatkan pahala mati syahid, dan terbunuhnya ia -- di medan perang -- pun merupakan kesempurnaan nikmat Allâh atasnya. Maka jelaslah, bahwa kebutuhan seseorang terhadap hidayah ini jauh lebih besar daripada kebutuhannya terhadap rezeki dan pertolongan. Bahkan tidak ada perbandingan di antara keduanya. Karena itulah do'a -- memohon hidayah -- ini diwajibkan atas mereka dalam seluruh shalat, baik yang wajib atau pun yang sunat. Dan juga perlu diketahui, bahwa do'a ini bisa mencakup rezeki dan pertolongan, karena ketika ia diberi hidayah kepada "Shirâthal-Mustaqîm" berarti

ia termasuk golongan orang-orang yang bertaqwâ, padahal Allâh berfirman :

ُ‫حتَسِب‬ ْ َ‫خرَجًا َو َيرْزُقْ ُه مِنْ َحْيثُ لَ ي‬ ْ َ‫جعَلْ لَ ُه م‬ ْ َ‫َو مَ ْن َيتّقِ الَ ي‬ Artinya : "Barang-siapa yang bertaqwâ kepada Allâh, maka Dia akan memberikan jalan keluar kepadanya dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka". (Surah Ath-Thalâq (65) : 2 & 3) Dan -- dengan hidayah tersebut -- ia juga termasuk golongan orangorang yang bertawakal kepada Allâh, padahal Allâh berfirman :

ِ‫سبُهُ ِإنّ الَ بَالِغٌ َأمْ ِره‬ ْ َ‫َو مَ ْن َيتَوَكّ ْل عَلَى الِ َف ُهوَ ح‬ Artinya : "Dan barang-siapa yang betawakal kepada Allâh, maka Allâh akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allâh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya". (Surah Ath-Thalâq (65) :3) Dan -- dengan hidayah tersebut -- ia juga termasuk golongan orangorang yang menolong Allâh dan Rasul-Nya. Dan barang-siapa yang menolong Allâh maka Allâh pasti akan menolongnya, dan ia termasuk tentara Allâh, dan tentara Allâh pasti akan memperoleh kemenangan. Maka -- "Shirâthal-Mustaqîm" -- ini merupakan hidayah yang sempurna, yang dapat meraih hasil yang jauh lebih besar dari rezeki dan pertolongan. Maka jelaslah bahwa do'a ini mencakup seluruh kebutuhan serta meraih seluruh hal yang bermanfaat dan menolak semua hal yang mengandung mudharat. (Lihat Tafsîr Al-Qâsimî juz I hal. 233)

َ‫صِرَاط‬ Jalan

َ‫الّ ِذيْن‬ orang-orang

َ‫َأْنعَ ْمت‬ yang telah Engkau beri nikmat

ْ‫عََلْيهِم‬ atas mereka Penjelasan Apakah yang dimaksud dengan nikmat dalam ayat ini? Dan siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allâh? Nikmat atau An-Ni'mah (‫ )الّن ْعمَة‬dari segi bahasa artinya :

ِ‫سَنة‬ َ َ‫حَا ُل الْح‬ Artinya : "Keadaan (Kondisi) yang baik". Sedangkan menurut Al-Imâm Ibnul-Qayyim, arti An-Ni'mah (‫)الّن ْعمَة‬ ialah :

ُ‫خيْ ُر َو اْلفَضْل‬ َ ْ‫ال‬ Artinya : "Kebaikan (harta) dan keistimewaan". (Lihat Madârijus-Sâlikîn juz I hal. 25) Sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah hadits sebelumnya (yaitu pada ayat yang ke 3); bahwa secara garis besar nikmat itu ada dua macam: Pertama : Nikmat yang bershifat umum, yaitu nikmat dunia atau materi termasuk juga nikmat jasmani. Dan nikmat ini diberikan Allâh kepada semua hamba-Nya; yang Dia cintai (mu'min) dan yang tidak Dia cintai (kâfir), sabda Nabi saw. :

، ّ‫حب‬ ِ ُ‫ب َو مَنْ َل ي‬ ّ ‫ح‬ ِ ُ‫وَ ِإنّ الَ ُيعْطِي ال ّدنْيَا مَ ْن ي‬ Artinya : "Dan sesungguhnya Allâh memberi keduniaan (materi) kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai". Jadi, nikmat dalam ayat ini bukan nikmat yang bershifat umum (materi), dengan kata lain, yang dimaksud "Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka", bukanlah orang-orang yang semata-mata diberi kekayaan materi dsb. termasuk juga kenikmatan jasmani. Kedua : Nikmat yang bershifat khusus, yaitu nikmat agama (Dîn) atau ketaatan; yaitu kesadaran untuk melaksanakan ketaatan ('ibadah) kepada Allâh. Ini merupakan nikmat ruhani, dan nikmat ini hanya Dia diberikan kepada orang yang Dia cintai, sebagaimana sabda Nabi saw. selanjutnya :

ُ‫ فَمَنْ َأعْطَاهُ الُ ال ّديْنَ َفقَدْ أَ َحبّه‬، ّ‫وَ َل ُيعْطِي ال ّديْنَ إِ ّل مَنْ أَ َحب‬ Artinya : Tetapi Dia tidak memberikan ad-dîn (agama) kecuali kepada orang yang Dia cintai. Maka barang-siapa yang diberikan ad-dîn oleh Allâh, maka sungguh Dia (Allâh) telah mencintainya". (H.R. Ahmad. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz II hal. 463) Tidak dipungkiri, bahwa nikmat ruhani, yaitu kesadaran untuk melaksanakan ketaatan atau ber'ibadah kepada Allâh merupakan nikmat yang terbesar. Oleh karena itu, para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka", ialah mereka yang Allâh sebutkan dalam surah An-Nisâ' (4) ayat 69:

َ‫َو مَ ْن يُطِ عِ الَ وَ الرّ ُسوْلَ َفأُولئِ كَ مَ عَ الّ ِذيْ نَ َأْنعَ مَ الُ عََلْيهِ ْم مِ ن‬ ‫حيْ َن وَ حَسُنَ أُولئِكَ رَِفْيقًا‬ ِ ِ‫شهَدَاءِ َو الصّال‬ ّ ‫الّنِبيّيْ َن َو الصّ ّدْيقِيْ َن وَ ال‬ Artinya : "Barang-siapa yang taat kepada Allâh dan kepada Rasul, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah Allâh beri nikmat atas mereka; yaitu para nabi, shiddiqîn, syuhadâ' (orang-orang yang mati syahid) dan' rang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya". Berdasarkan ayat ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud "Orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka", terdiri dari 4 (empat) golongan : 1. Para Nabi. 2. Shiddiqîn, yaitu orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasul.

3. Syuhadâ', yaitu orang-orang yang mengorbankan jiwanya untuk membela Islâm. 4. Orang-orang shaleh.

ِ‫غَيْر‬ Bukan

ِ‫ضوْب‬ ُ ْ‫الْ َمغ‬ (orang-orang) yang dimurkai

ْ‫عََلْيهِم‬ atas mereka

َ‫وَ ل‬ Dan bukan (pula)

َ‫الضّآّليْن‬ orang orang yang sesat. Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai dalam ayat ini? Dan siapa pula yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat? Al-Imâm Ibnu Katsîr telah menjelaskan ayat ini dengan pengertian yang umum, bahwa yang dimaksud dengan orang yang dimurkai (‫ )ا ْل َم ْغضُوْب‬ialah :

ُ‫ح ّق َو عَدَُلوْا َعنْه‬ َ ْ‫هُ ُم الّ ِذيْنَ فَسَدَتْ إِرَا َدُتهُمْ َف َعلِ ُموْا ال‬ Artinya : "Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendak (iradah)nya; mereka mengetahui kebenaran (Al-Haq), namun mereka menyimpang darinya". Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang sesat (‫ )الضّآلّيْن‬menurut beliau ialah :

‫ضلَلَ ِة وَ َل َي ْهتَ ُدوْ نَ إِلَى‬ ّ ‫هُ ُم الّ ِذيْ نَ َفقَ ُدوْا اْلعِلْ مَ َفهُ ْم هَائِ ُموْ نَ فِي ال‬ ّ‫الْحَق‬ Artinya : "Mereka adalah orang-orang yang kehilangan ilmu, maka mereka menjadi orang-orang yang bingung dalam kesesatan, dan tidak mendapat petunjuk kepada kebenaran (Al-Haq)". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîrjuz I hal. 31-32) Al-Imâm Ibnul-Qayyim mempertegas penjelasan ini, beliau berkata :

َ‫ب عََليْ ِه َو الْجَاهِ ُل بِالْحَقّ ُهو‬ ُ ْ‫الْعَالِ ُم بِ ِه الْ ُمّتبِ ُع َهوَا هُ ُه َو الْ َم ْغضُو‬ ّ‫الضّال‬ Artinya : "Seseorang yang mengetahui kebenaran (Al-Haq), akan tetapi ia mengikuti hawa-nafsunya, maka ia adalah orang yang dimurkai (AlMaghdhûb 'alaih). Dan seseorang yang tidak mengetahui (bodoh) terhadap kebenaran (Al-Haq), maka ia adalah orang yang sesat".

Lalu Al-Imâm Ibnul-Qayyim menambahkan :

ُ‫َو الْ ُمنْعَ ُم عََلْيهِ ْم َو هُ ْم مَ ْن عَرَفَ الَ ّق َو اّتبَعَه‬ Artinya : "Sedangkan -- yang dimaksud dengan -- mereka yang mendapat nikmat, ialah seseorang yang mengetahui kebenaran (Al-Haq) dan mengikutinya". (Lihat Madârijus-Sâlikîn juz I hal. 24-25) Selanjutnya Al-Imâm Ibnul-Qayyim dan juga Al-Imâm Ibnu Katsîr menuqilkan tafsîran dari ayat ini yang bershifat khusus, berdasarkan sebuah hadits dari 'Adî bin Hâtim; ia berkata : Rasûlullâh saw. bersabda :

‫ضوْبِ عََلْيهِ ْم َو الّنصَارَى الضّآّلوْن‬ ُ ‫الَْي ُهوْ ُد الْ َم ْغ‬ Artinya : "Yahûdi adalah orang-orang yang dimurkai (Al-Maghdhûb 'alaihim) dan Nasarani adalah orang-orang yang sesat". (H.R. At-Tirmidzî dan Ibnu Hibbân dalam shahîhnya. Lihat Madârijus-Sâlikîn juz I hal. 24 dan Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 31) Al-Imâm Ibnu Katsîr juga menyatakan bahwa Ibnu 'Abbâs, Ibnu Mas'ûd dan sejumlah shahabat Rasûlullâh saw. lainnya pun berpendapat seperti itu, yaitu bahwa yang dimaksud dengan orang yang dimurkai (‫ )ا ْل َمغْضُوْب‬adalah "orang-orang Yahûdi", sedangkan orang yang sesat (‫ )الضّآلّيْن‬adalah "orang-orang Nasrani". (Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr juz I hal. 31-32) Demikian pula Al-Imâm Al-Qurthubî dalam Tafsîrnya, beliau berkata :

‫ضوْبَ عََلْيهِ ُم اْلَي ُهوْ ُد َو الضّآّليْن الّنصَارَى‬ ُ ‫ َأنّ الْ َم ْغ‬: ُ‫فَ ْالُ ْم ُهوْر‬ Artinya : "Pendapat Jumhûr pun -- menyatakan -- bahwa yang dimaksud orang-orang yang dimurkai (Al-Maghdhûb 'alaihim) adalah Yahûdi, dan yang dimaksud orang-orang yang sesat, adalah Nasrani". (Lihat Tafsîr Al-Qurthubî juz I hal. 151) Penutup

Related Documents

Tafsir Surah
May 2020 10
Tafsir Surah Al-jumuah
April 2020 13
Tafsir Surah Luqman
June 2020 15
Tafsir Surah Balad
June 2020 10
Tafsir Surah Al-fatihah
April 2020 20