Tafsir Lagu Ilir-ilir

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tafsir Lagu Ilir-ilir as PDF for free.

More details

  • Words: 2,260
  • Pages: 9
Seri Milist PadangBulan (70-83) 1998 Pengantar Ilir - Ilir Bismillaahirrohmaanirrohiem. Assalamu'alaikum Wr. Wb. Pembaca yang budiman, seri ini merupakan seri yang dikutip dari buku yang akan terbit "Mati Ketawa Cara Reformasi". Dan sebagiannya menginspirasikan lahirnya kaset renungan dan musik "Menyorong Rembulan" (EAN, Kiai Kanjeng, Hamas). Selamat mengikutiWassalamu'alaikum Wr. Wb. Redaksi.

MENYORONG REMBULAN DAN MATAHARI BERKABUT

Ilir-ilir

1 Lir ilir tandure wus sumilir Tak ijo royo-royo Tak sengguh temanten anyar Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot-iro Dodot-iro dodot-iro lumintir bedah ing pinggir Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung jembar kalangane Mumpung padhang rembulane Yo surako Surak: Hiyyoo! ILIR-ILIR Kepemimpinan Blimbing Hikmah Sunan Ampel ------------------------------------------------------------------------

2. Tandure Wus Sumilir. Tak Ijo Royo - Royo. Tak Sengguh Temanten Anyar Menggeliatlah dari matimu, tutur Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah

hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun Tapi kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan

3. Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..." Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi" Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima Yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin ini, agar blimbing bisa kita capai bersama-sama Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan

4 Tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar. Menggeliatlah dari matimu, tutur Sunan. Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun. Bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu. Sungguh negeri ini adalah penggalan sorga. Sorga seolah pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia Raya .. Kau bisa tanam benih kesejahteraan apa saja di atas kesuburan tanahnya yang tak terkirakan. Tak mungkin kau temukan makhluk Tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bisa engkau selenggarakan dan rayakan pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai oleh negeri-nergeri lain yang manapun. Belum lagi kalau engkau nanti melihat bahwa engkau sesungguhnya bisa mendirikan IMF-mu sendiri yang engkau ambil di rahim bumi dan lautanmu. Belum lagi kalau engkau nanti menyaksikan apa yang sebenarnya diamanatkan oleh para Aulia pemelihara pulau Jawa, bahkan oleh leluhur-leluhurmu yang

justru engkau kutuk-kutuk. Belum lagi kalau engkau nanti menyadari bahwa negerimu ini bukan saja mampu dengan gampang membebaskan dirinya dari krisis dan hutang-hutang, namun bahkan bisa menjadi negeri adikuasa -seandainya SDM kita tidak berkarakter tikus-tikus... Abacadabra sungguh kita memang telah tak mensyukuri rahmat sepenggal sorga ini. Kita telah memboroskan anugerah Tuhan ini melalui cocok tanam ketidak-adilan dan panen-panen kerakusan.

5 Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi. Sunan Ampel tidak menuliskan: "Ulama, Ulama", "Pak Jendral, Pak Jendral", "Intelektual, Intelektual" atau apapun lainnya, melainkan "Bocah Angon, Bocah Angon..." Beliau juga tidak menuturkan : "Penekno sawo kuwi", atau "Penekno pelem kuwi" atau buah apapun lainnya, melainkan "Penekno blimbing kuwi" Blimbing itu bergigir lima. Terserah tafsirmu apa gerangan yang dimaksud dengan lima. Yang jelas harus ada yang memanjat "pohon licin reformasi" ini -- yang sungguhsungguh licin, sehingga banyak tokoh-tokoh yang kita sangka sudah matang dan dewasa ternyata begitu gampang terpeleset dan kini kebingungan bak layanglayang putus..... Kita harus panjat, selicin apapun, agar blimbing itu bisa kita capai bersamasama. Dan yang memanjat harus "Cah Angon". Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh kiai, jendral, atau siapapun saja -- namun dimilikinya daya angon. Kesanggupan untuk menggembalakan. Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak. Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama. Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan. Bocah Angon adalah seorang pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan. Bocah Angon adalah waliyullah, negarawan sejati, 'orang tua yang jembar', bukan Lowo Ijo yang gemagah, bukan Simorodra yang mengaum-aum seenak napsunya sendiri.

6 Lunyu-lunyu penekno. Kanggo mbasuh dodot iro. Sekali lagi, selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani....

Selicin apapun pohon pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan. Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun. Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan 'nafsu reformasi' itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas rasional apapun?

7 Dodot iro, dodot iro, kumitir bedah ing pinggir. Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore. Pakaianlah yang membuat manusia bukan binatang. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah akhlak, pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Pakaian adalah rasa malu, harga diri, kepribadian, tanggung jawab. Pergilah ke pasar, lepaskan semua pakaianmu, maka engkau kehilangan segala-galanya sebagai manusia. Kehilangan harkat kemanusiaanmu, derajat sosialmu, eksistensi dan kariermu. Semakin lebar pakaian menutupi tubuh, semakin tinggi pemakainya memberi harga kepada kemanusiaan pribadinya. Semakin sempit dan sedikit pakaian yang dikenakan oleh manusia, semakin rendah ia memberi harga kepada kepribadian kemanusiaannya. Jika engkau berpakaian sehari-hari, engkau menjunjung harkat pribadi dan eksistensi sosialmu. Jika engkau mengenakan pakaian dinas, maka yang engkau sangga adalah harga diri dan rasa malu negara, pemerintah dan birokrasi. Jika engkau melanggar atau mengkhianati amanat, tugas dan fungsimu sebagai pejabat negara, maka sesungguhnya engkau sedang menelanjangi dirimu sendiri. Pakaian kebangsaan kita selama berpuluh-puluh tahun telah kita robek-robek sendiri dengan pisau pengkhianatan, kerakusan dan kekuasaan yang semenamena -- yang akibatnya justru menimpa rakyat yang merupakan juragan kita, yang menggaji kita dan membuat kita bisa menjadi pejabat.

Bukankah negara dan pejabat memerlukan rakyat untuk menjadi negara dan pejabat? Sementara rakyat bisa tetap hidup tanpa negara dan pejabat? Maka dondomono, jlumatono, jahitlah robekan-robekan itu, utuhkan kembali, tegakkan harkat yang selama ini ambruk.

8 Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane. Yo rurako surak Hiyooo!. Dari sudut apapun, kecuali kelemahan SDMnya, Indonesia Raya ini masih merupakan ladang masa depan yang subur, masih memancar cahaya rembulannya. Ilir-ilir itu karya Sunan Ampel. Aku pilih untuk dalam berbagai pertemuan dengan sesama rakyat kecil melantunkannya, sebab kami sepakat untuk tidak memilih karya Sunan Isyu, Ayatollah Surat Kaleng, Syekh Katanya, Wali Qila Wa Qala atau Imam Selebaran Gelap... Tak usah kita perhatikan apakah ia berbahasa Jawa atau Jerman, memakai kata Arab atau Perancis. Juga tak usah berpikiran apa-apa mengenai primordalisme atau sektarianisme seandainyapun lantunan itu berbahasa planet Mars atau jin Gunung Kawi. Yang penting kita rasuki saja kemesraannya, kita resapi saja keindahannya, kita nikmati saja ketulusan hati yang dikandungnya, serta kita kita renungi saja setiap kemungkinan muatan nilainya.

9 Lho, kita memang sudah bangun. Kita sudah nglilir sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu. Kita sudah bangkit. Beriburibu kaum muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit, keluar rumah dan memenuhi jalanan. Kita telah membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan. Bahwa karena terlalu lama tidak merdeka lantas sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan, sehingga tidak paham beda antara demkrasi dengan anarki -- itu soal lain. Bahwa karena terlalu lama kita tidak boleh berpikir lantas sekarang hasil pikiran kita keliru-keliru, sehingga tidak sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang, mana nasi dan mana tinja -- itu tidak terlalu penting. Bahwa karena terlalu lama kita hidup dalam ketidakmenentuan nilai lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai-nilai sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran adalah kemauan, nafsu dan kepentingan kita sendiri -- itu bisa diproses belakangan.

Bahwa terlalu lama kita hidup dalam kegelapan sehingga sekarang tidak mengerti bagaimana mengurusi cahaya terang, sehingga kita junjung pengkhianat dan kita buang pahlawan, sehingga kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan -- itu lumrah...

10 Yang penting sekarang kita sedang terus berupaya menyempurnakan kemerdekaan itu. Baik kemerdekaan untuk memilih kebenaran maupun kebebasan untuk ngotot mempertahankan pendapat dan pembenaran. Baik kemerdekaan untuk bersatu maupun kebebasan untuk semakin asyik memecah belah hubungan kemanusiaan, hubungan sosial, politik dan kebudayaan kita. Pokoknya, semakin banyak golongan yang saling bertentangan, kita merasa semakin dewasa. Semakin banyak partai politik, rasanya semakin demokratis. Semakin banyak benturan dan perang saudara, rasanya semakin modern kita. Kita mendadak bangun dan mendadak sudah berada di lapangan sepakbola zaman baru, pas di depan kotak penalti yang ribut. Kemudian tiba-tiba bola masuk ke dalam gawang, dan kita bersorak-sorak riang gembira, karena kita merasa kaki kitalah yang bikin gol itu. Namun itu tidak penting. Sebab yang utama dari ili-ilir kita sekarang adalah tidak jelasnya mana gawang mana bola, siapa kiper siapa gelandang, mana wasit mana penonton. Kita berjingkrak-jingkrak kegirangan padahal bola sedang masuk ke gawang kita sendiri. Kita bersuit-suit dan hampir mabuk padahal yang dijegal dari belakang itu adalah striker kita sendiri. Kita marah-marah kepada kiper yang dengan sigap menangkap bola pengancam gawangnya. Pandangan mata kita sedemikian kaburnya, sehingga yang kita tatap di lapangan adalah prasangka-prasangka kita sendiri. Kemudian dengan mantap prasangka dan kecurigaan itulah yang kita jadikan dalil untuk menilai segala yang terjadi di lapangan.

11 Ilir-ilir. Kita sudang nglilir. Kita sudah bangun, sudah bangkit, bahkan kaki kita sudah berlari ke sana kemari, namun akal pikiran kita belum, hatinurani kita belum. Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk di mulut, namun kita biarkan ajaran-ajarannya terus hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita. Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan, yakni melarangnya untuk insaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancangan pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana Iblis, yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri. Siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang menolak husnul khotimah manusia, yang memblokade pintu sorga, yang menyorong mereka mendekat ke pintu neraka?

12 Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menghancurkan. Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancanganrancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara.

Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudarasaudara kita sendiri. Saudara-saudara kita sendiri kita pentaskan di dalam bayangan kecurigaan kita. Saudara-saudara kita sendiri kita beri peran fiktif di dalam assosiasi prasangka kita. Di dalam pementasan fiktif di dalam kepala kita itu, saudara-saudara kita sendiri kita hardik, kita injak-injak, kita pukuli, kita bunuh dan akhirnya kita makan beramai-ramai. Padahal yang kita peroleh dengan memakan bangkai itu bukan keuntungan, melainkan kesengsaraan batin dan tabungan dosa yang sama sekali tidak produktif. Yang kita dapatkan dari memakan bangkai itu bukan sukses, melainkan penderitaan yang terus menerus di kedalaman hati kecil kita. Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta, melain mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kedengkian dan iri hati.

13 Kita adalah bumi yang menutupi cahaya matahari yang semestinya menimpa rembulan untuk kemudian dipantulkannya kepada bumi. Kitalah penghalang cahaya rembulan yang didapatkannya dari matahari, sehingga bumi kita sendiri menjadi gelap gulita. Matahari adalah lambang Tuhan. Cahaya adalah rahmat nilai dan barakah rejekinya. Rembulan adalah Rasul, Nabi, para Wali, Ulama, pemimin-pemimpin kemanusiaan, pemerintah, lembaga-lembaga sosial, pers, tata nilai kemasyarakatan dan kenegaraan, atau apapun, yang mentransformasikan cahaya rahmat Tuhan itu agar menjadi manfaat bagi kehidupan seluruh manusia. Tapi cahaya itu kita tutupi sendiri. Tapi informasi itu kita sampaikan secara disinformatif. Tapi cahaya terang itu kita pandang tidak layak pasar sehingga yang kita kejar-kejar adalah kegelapan, kerusuhan, pembunuhan, kebohongan, pertengkaran. Tapi cahaya Tuhan itu kita halangi sendiri. Suara Rasul kita curigai, sabda Nabi kita singkirkan, ayat-ayat kita remehkan, firman-firman kita anak tirikan -seakan-akan kita sanggup menumbuhkan bulu alis kita sampai sepuluh sentimeter.

Kita bikin landasan falsafah negara untuk kita buang dalam praktek, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah kehidupan. Kita bikin aturan main nasional untuk kita khianati sendiri, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplan kehidupan. Kita bikin sistem, tatanan, batasan-batasan, untuk kita langgar sendiri, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah kehidupan. Kita bikin hiasan-hiasan budaya, lipstik hukum dan lagu pop politik, yang tidak mengakar di tanah kenyataan hidup kita, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah kehidupan. Kita biayai pekerjaan-pekerjaan besar untuk memboros-boroskan rahmat Allah, melalui managemen pembangunan yang tidak menomersatukan rakyat, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplan kehidupan. Kita selenggarakan kompetisi merampok rahmat, kolusi untuk memonopoli rahmat, pencurian dan perampokan diam-diam atau terang-terangan atas rahmat Allah yang sesungguhnya merupakan hak seluruh rakyat negeri ini, sehingga gerhanalah rembulan dan gelaplah kehidupan. Sekarang kita harus memilih: apakah akan meneruskan fungsi sebagai bumi penutup cahaya matahari, ataukah berfungsi rembulan, yang menyorong dirinya, bergeser ke titik koordinat alam semesta sejarah yang tepat, sehingga kita peroleh kembali cahaya matahari...untuk nanti sesudah pergantian abad 20 ke 21 kita mulai sebuah Indonesia baru yang 'bergelimang cahaya matahari'....

Related Documents

Tafsir
October 2019 35
Tafsir
April 2020 27
Lagu
June 2020 30
Lagu
June 2020 26
Lirik Lagu-lagu Keroncong
October 2019 55