AGENDA:: Tafsir (Baru) Islam Atas Nikah Beda Agama Dari KKA-Paramadina ke-200 Trend pernikahan beda agama kian hari makin marak. Sayangnya di negeri ini pernikahan model ‘campuran’ ini belum mendapat tempat, sehingga mereka yang akan melangsungkan nikah beda agama harus hijrah ke Singapura atau Australia. Sebab dalam UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres No. 1 Th. 1991 tidak mengakomodir perkawinan beda agama. Bahkan pada 1 Juni 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim, termasuk perempuan ahlul kitab, maupun sebaliknya. Tetapi kini ada terobosan baru yang dilakukan oleh Pusat Studi Islam Paramadina. Lembaga yang didirikan Nurcholish Madjid 30 Oktober 1986 silam ini dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada 17 Oktober 2003 lalu, berani mengeluarkan tafsir baru atas pernikahan beda agama. Dalam acara yang bertepatan dengan ulang tahun Yayasan Wakaf Paramadina ke17 ini menghadirkan tiga narasumber; Kaustar Azhari Noer, Zainun Kamal dan Musdah Mulia. Landasan Historis Menurut Kaustar, pernikahan muslim dengan non-muslim tidaklah dilarang. Ada dalil, Muhammad sendiri menikahi wanita lain agama. “Nabi Muhammad pernah menikahi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia yang Yahudi,” papar dosen UIN Syarif Hidayatullah ini. “Nabi tidak mensyaratkan mereka untuk masuk Islam, bahwa kemudian masuk Islam itu soal lain,” jelasnya. Zainun menimpali bahwa para sahabat dan tabiin juga melakukan hal serupa. “Usman bin Affan kawin dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan Yahudi di Madian,” rinci dosen Universitas Paramadina ini. Ia menambahkan para sahabat lain, seperti Ibn Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, dan Al-Mughirah bin Syu’bah kawin dengan perempuan-perempuan ahlul kitab.
Lantas bagaimana dengan dalil nash atau fiqh-nya? Menurut Musdah Mulia, pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai nikah beda agama ini terpola kepada tiga pendapat. Pertama, melarang secara mutlak, baik kepada kategori musyrik, ahlul kitab maupun nonmuslim. Kedua, membolehkan secara bersyarat, misalnya laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim dari ahlul kitab. Ketiga, membolehkan perkawinan antara muslim dan nonmuslim, baik musyrik maupun ahlul kitab. Dalil Teks al-Quran Ketiga pendapat tersebut berangkat dari surat al-Baqarah : 221, al-Mumtahanah : 10 dan al-Maidah : 5. Sebagian ahli tafsir (mufassir) menyamakan kedudukan ahlul kitab dengan musyrik dan kafir, sehingga mereka mengharamkan perkawinan beda agama. Padahal menurut Zainun, berdasarkan informasi dari surat al-Baqarah : 105 dan alBayinah : 1, jelas bahwa ahlul kitab dan musyrik itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Maka, berdasarkan surat al-Maidah : 5, seorang muslimpun diperbolehkan untuk menikahi perempuan ahlul kitab. Mengutip Imam Muhammad Ridha, Zainun menjelaskan, bahwa Abduh sebagaimana dinukilkan muridnya, Rasyid Ridha, menyatakan yang haram dikawini oleh laki-laki muslim dalam al-Baqarah : 221 itu adalah perempuan-perempuan musyrik Arab. Musdah menambahkan, pandangan yang melarang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab itu berangkat dari pemahaman yang stereotype tentang perempuan sebagai sumber fitnah. Oleh sebab itu, jika dengan perkawinan tersebut, suami dan anak-anak dikhawatirkan terjatuh ke dalam fitnah, maka hukum perkawinannya jelas haram. Ahlul Kitab Nah, siapakah yang termasuk ahul kitab? Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti dikutip Zainun, berpendapat bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme), Buddha, Konghucu, Shinto dan agama-
agama lain dapat dikategorikan sebagai ahlul kitab. Mengenai perkawinan muslim dengan nonmuslim, ketiga narasumber di atas sepakat bahwa perkawinan tersebut tetap sah sebab tidak ditemukan satu ayatpun dalam al-Quran yang secara eksplisit mengharamkan perempuan-perempuan muslim kawin dengan lakilaki agama apapun selain hanya dari kaum kafir Quraisy. Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqh, segala sesuatu selain ibadah ritual, adalah boleh dilakukan selama tidak ada teks yag melarang atau mengharamkan. Dalam kesempatan yang sama, malam itu diluncurkan buku “Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis” yang didalamnya juga membahas soal pernikahan beda agama. (Nurcholish) http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=418