STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN
Benny M. Chalik
Jakarta 2004
STRATEGI DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN Benny M. Chalik 1 A. PENDAHULUAN
Paradigma pembangunan yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah lebih banyak diarahkan kepada pembangunan wilayah daratan dan masih belum menyentuh pembangunan kelautan dan perikanan. Selain itu, jargon-jargon yang menyebutkan Indonesia merupakan negara agraris seringkali cenderung memberikan konotasi yang mengecilkan arti kelautan dan perikanan. Setelah terpinggirkan sekian lama, baru dalam lima tahun terakhir ini
pemerintah
membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan yang secara definitif mulai meletakkan
dasar-dasar
upaya
peningkatan
dan
keberlangsungan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan terkait dengan pembangunan sosial budaya, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. Rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi sumberdaya kelautan
dan
perikanan
tersebut
telah
mengakibatkan
terdegradasinya
sumberdaya kelautan dan perikanan, serta menjadi tempat beroperasinya kapalkapal asing secara ilegal. Kerusakan terumbu karang dan menurunnya potensi perikanan di perairan pantai
memaksa nelayan-nelayan tradisional untuk
beroperasi lebih jauh dari perairan pantai. Keadaan ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas masyarakat nelayan. Bahkan secara sistemik akan mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat nelayan, yang secara langsung akan berdampak meningkatkan jumlah penduduk miskin serta menurunkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pembangunan nasional. Selain itu, adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan juga ikut berpengaruh terhadap peningkatan kerusakan sumberdaya kelautan
1
Dr. Ir. Benny M. Chalik, MS., Staff Pengjar Fakultas Pertanian Universitas Lampung
dan perikanan. Kerusakan ini terus meningkat sejalan dengan adanya kegiatan pengurasan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh berbagai pihak tanpa memikirkan kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang. Faktor lain yang juga secara langsung atau tidak langsung ikut berperan terhadap terjadinya degradasi potensi kelautan dan perikanan adalah tingginya inkonsistensi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh departemen dan instansi terkait. tersebut
terjadi
akibat
tidak
Inkonsistensi kebijakan perencanaan
dilaksanakannya
kegiatan
perencanaan
pembangunan di tingkat pusat sesuai dengan pendekatan aliran bawah-atas (bottom up approach), yaitu perencanaan pembangunan yang mencerminkan muatan lokal dan aspirasi masyarakat setempat. Sebaliknya sampai saat ini kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat kabupaten, propinsi, dan pusat masih bersifat homogen terhadap semua wilayah (top-down approach). Celakanya, pemerintah daerah juga bersikap menerima kebijakan tersebut walaupun tidak sesuai dengan muatan perencanaan lokal. Akibatnya, kegiatan pembangunan tidak mengarah kepada sasaran dan cenderung menimbulkan sikap masyarakat yang skeptis terhadap kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Keadaan ini semakin menjadi rumit ketika masyarakat meminta untuk dibentuk suatu kebijakan antardepartemen atau instansi. Rendahnya koordinasi, monitoring dan evaluasi antardepartemen/instansi mengakibatkan tertundanya berbagai kebijakan pembangunan yang mendesak. Baru setelah timbul kasus yang mencuat secara nasional, pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan yang cenderung bersifat pemecahan masalah jangka pendek dan tidak tersosialisasi dengan baik. Terbentuknya kebijakan-kebijakan pembangunan tersebut
sering bersifat
tumpang tindih dan menimbulkan berbagai tekanan terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan, sehingga mengakibatkan terbentuknya situasi yang tidak kondusif bagi peningkatan produktivitas sektor kelautan dan perikanan.
Meskipun demikian hambatan pembangunan tersebut masih dapat diatasi melalui
peningkatan
koordinasi
antardepartemen/instansi
terkait
dengan
meningggalkan atribut sektoral, sehingga secara vertikal dan horizontal dapat diarahkan kepada keberhasilan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan nasional. Tanpa mengurangi nilai prestasi yang telah dilaksanakan pemerintah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan selama lima tahun terakhir ini, secara nasional masih diperlukan reformulasi strategi dan penyusunan kebijakan pembangunan.
Kebijakan
ini
diharapkan mampu mengarahkan dan
menghasilkan rencana dan pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dapat memberikan kepastian terhadap peningkatan kelestarian ekosistem dan produksi sektor kelautan dan perikanan, sesuai dengan karakteristik lokal, bertahap, dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan penguatan pengkajian strategi dan penyusunan kebijakan yang mampu mengarahkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan kepada upaya (a) pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat nelayan, (b) peningkatan kinerja setiap komponen organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan, serta (c) peningkatan koordinasi antardepartemen dan instansi terkait.
B. PEMBERDAYAAN FUNGSI SOSIALEKONOMI MASYARAKAT NELAYAN Meskipun dalam arti luas subsektor perikanan air tawar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pertanian, akan tetapi antara sektor kelautan dengan pertanian terdapat perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan ini terletak pada karakteristik pengelolaan
sumberdayanya. Pengelolaan sumberdaya pertanian yang terpusat pada peningkatan produktivitas per satuan lahan menunjukkan bahwa lahan merupakan faktor
produksi yang cenderung bersifat tetap. Kandungan biofisik dan kimia lahan secara
konsisten
dapat
diperbaiki
menghasilkan produksi pertanian.
untuk
dapat
dipertahankan
dalam
Karakteristik pengelolaan sumberdaya
pertanian inilah yang mampu meningkatkan kepastian kegiatan produksi di sektor pertanian. Sebaliknya dalam sektor kelautan dan perikanan, produktivitas satu satuan laut tidak dapat ditetapkan secara pasti.
Perbaikan kandungan
biofisik dan kimia tidak dapat dilakukan secara parsial, sehingga pengelolaan sektor kelautan dan perikanan memiliki resiko dan ketidakpastian produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian. Tingginya resiko dan ketidakpastian dalam proses produksi perikanan laut menyebabkan pertumbuhan investasi di dalam perekonomian masyarakat pesisir menjadi rendah. Investasi yang hanya terbatas pada pengadaan perahu dan alat tangkap sekedarnya cenderung menyebabkan perkembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat pesisir masih bersifat subsisten. Pola produksi yang bersifat subsisten inilah yang masih kuat dirasakan mewarnai persepsi dan kegiatan kolektif
masyarakat, sehingga terjadi dikotomi dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir. Dikotomi yang terjadi dalam perekonomian masyarakat pesisir adalah adanya kecenderungan pemisahan yang kuat antara kelompok masyarakat nelayan yang berfungsi sebagai faktor produksi yang menyediakan hasil laut dengan kelompok masyarakat lainnya yang memegang tataniaga hasil perikanan.
Dengan kata lain, kelompok masyarakat yang memegang tataniaga
produksi perikanan akan meningkatkan kemampuan
tataniaganya yang
mengarah kepada pasar monopoli atau oligopoli. Artinya secara langsung atau tidak langsung, kelompok pemegang tataniaga produksi perikanan akan mempertahankan atau menekan kelompok masyarakat nelayan yang hanya difungsikan sebagai penyedia hasil kelautan. Kekuatan
kelompok
masyarakat
pemegang
tataniaga
untuk
mempertahankan eksklusivitasnya dicirikan oleh penguasaan informasi pasar
secara regional dan nasional, serta tingginya kemampuan modal dalam menguasai hasil tangkapan.
Di sisi lain, kelompok nelayan yang difungsikan
sebagai faktor produksi hanya memiliki informasi yang bersifat lokal dan hanya memiliki kekuatan tawar menawar yang rendah.
Selain itu, informasi lokal
cenderung bersumber pada informasi dari mulut ke mulut dengan akurasi dan ketersediaan yang rendah. Rendahnya marjin keuntungan yang diperoleh oleh kelompok masyarakat nelayan penyedia hasil kelautan menyebabkan timbulnya ketergantungan kelompok tersebut kepada kelompok tataniaga.
Bahkan sebagian besar dari
kelompok ini sangat tergantung kepada kelompok tataniaga terutama dalam pemenuhan kebutuhan sehari hari dan biaya operasional penangkapan ikan. Besarnya tekanan yang diberikan oleh kelompok tataniaga mengarahkan kelompok nelayan untuk melakukan pengurasan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menguatnya hubungan sosial ekonomi yang terbentuk di dalam masyarakat nelayan tersebut dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sumberdaya dan meningkatnya konflik di dalam masyarakat. Dengan kata lain hubungan sosial ekonomi yang terbentuk di dalam masyarakat nelayan membuktikan bahwa sistem perekonomian masih terbatas dalam memposisikan nelayan sebagai faktor produksi dan belum meningkatkan keikutsertaan nelayan sebagai pengelola sumberdaya kelautan dan perikanan. Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa penyusunan strategi dan pengembangan
kebijakan
pemerintah
perlu
diarahkan
kepada
upaya
pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat nelayan yang merujuk pada upaya (a)
peningkatan peranserta masyarakat nelayan dalam pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan fungsi sosial pengawasan terhadap kelestarian dan keamanan sumberdaya, (b) peningkatan informasi teknis pengelolaan dan harga, dan (c) reformulasi kebijakan tataniaga produksi kelautan dan perikanan.
a. Peningkatan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Sebagaimana telah dijelaskan secara garis besar dalam uraian sebelumnya, tujuan
peningkatan
peranserta
masyarakat
nelayan
mencakup
upaya
peningkatan kemampuan teknis manajerial dan fungsi pengawasan lokal teritorial terhadap kelestarian dan keamanan sumberdaya kelautan. Tingginya keikutsertaan
mayarakat
nelayan
secara
langsung
akan
meningkatkan
produkstivitas nelayan dan meningkatkan intensitas transaksi ekonomi secara lokal, regional, dan nasional. 1. Peningkatan Kemampuan Teknis Manajerial Masyarakat Nelayan Di dalam struktur masyarakat nelayan masalah-masalah yang terkait dengan rendahnya produktivitas kelautan dan perikanan lebih disebabkan oleh (a) rendahnya kemampuan teknis manajerial masyarakat nelayan dalam pengelolaan kegiatan produksi, (b) rendahnya investasi, (c) kesulitan untuk memperoleh sarana produksi, (d)
harga komoditas hasil produksi lebih
rendah dari biaya produksi, serta (e) rendahnya ketersediaan bahan pangan di pedesaan. Setiap faktor atau interaksi keseluruhan faktor tersebut secara langsung mengakibatkan menurunnya kemampuan dan meningkatnya keragu-raguan masyarakat pedesaan untuk melakukan investasi. Ditambah lagi dengan pola hubungan sosial masyarakat nelayan yang belum berkembang sepenuhya, seperti rendahnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat nelayan, pola produksi yang bersifat subsisten, serta tingginya kemampuan kelompok tataniaga dalam memonopoli produksi secara lokal menjadikan upaya peningkatan kemampuan teknis manajerial masyarakat pedesaan menjadi tidak berarti. Program penyuluhan dan bantuan modal kerja dari pemerintah cenderung sesaat.
hanya memiliki pengaruh yang bersifat
Tingginya efektivitas program hanya terjadi pada saat lembaga
pemerintah atau non pemerintah masih aktif berperan dalam program.
Ketika aktivitas lembaga tersebut menurun, kekuatan kelompok tataniaga kembali menguasai perekonomian masyarakat pedesaan dengan pola dan cara seperti sebelum ada program.
Keadaan ini hanya dapat diubah
sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri, yaitu melalui upaya perubahan persepsi masyarakat yang secara kolektif mampu
menghadapi kekuatan
kelompok tataniaga. Dalam program pembangunan sebelumnya memang sudah ditawarkan dan dilaksanakan pemberian insentif ekonomi untuk membangun persepsi masyarakat nelayan dalam peningkatan produktivitas usaha.
Akan tetapi
insentif yang ditawarkan tersebut belum bermuatan insentif sosial, dimana secara sosial terdapat kelompok kelompok yang memiliki aspirasi dan teknis produksi yang berbeda. Dengan kata lain, insentif ekonomi hanya mampu berperan secara makro dalam proses pembentukan persepsi masyarakat, sedangkan insentif sosial merupakan pendekatan program terhadap kelompok atau individu dengan aspirasi yang sama. Pendekatan insentif sosial diberikan kepada masyarakat nelayan melalui pembentukan program yang mampu mewujudkan setiap aspirasi masyarakat dalam melaksanakan usaha di sektor kelautan dan perikanan.
Artinya,
program tersebut mampu meningkatkan diversifikasi kegiatan usaha sesuai dengan
aspirasi
masyarakat.
Pembentukan
diversifikasi
usaha
mensyaratkan setiap detail kegiatan usaha bagi setiap individu, sehingga mampu mengarahkan masyarakat peserta program kepada persepsi kemandirian usaha. Program peningkatan teknis manajerial ini mencakup kegiatan penjaringan aspirasi, pelatihan dan magang, pendampingan, sampai pada pembentukan kelembagaan ekonomi terhadap masing-masing jenis kegiatan usaha di dalam masyarakat nelayan. menuntut
Dengan demikian program tersebut
akan
biaya dan kemampuan penguasaan karakteristik sosial dan
ekonomi tinggi dari individu pelaksana yang bertugas di wilayah dan sub wilayah pembangunan pelaksana kegiatan. Diharapkan melalui pelaksanaan program tersebut akan dapat diatasi masalah
keragu-raguan
masyarakat
untuk
berinvestasi
dan
secara
bersamaan terbentuk pola diversifikasi usaha yang mampu meningkatkan nilai ekonomis sumberdaya dalam kerangka pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. 2. Peningkatan Fungsi Pengawasan Lokal Teritorial terhadap Kelestarian dan Keamanan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Terbentuknya diversifikasi usaha yang tinggi di dalam perekonomian masyarakat nelayan, secara sosial akan terbentuk fungsi pengawasan oleh setiap individu masyarakat nelayan terhadap setiap kegiatan ekonomi dalam masing-masing wilayah perairan laut setempat. Kuatnya fungsi pengawasan masyarakat akan tumbuh sejalan dengan kepentingan masing-masing individu terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan. Kekuatan fungsi pengawasan masyarakat tersebut juga akan menghilangkan pemahaman terhadap keberadaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang bersifat open access. Meningkatnya pemahaman terhadap pentingnya kualitas ekosistem laut yang tinggi bagi setiap jenis usaha ekonomi kelautan dan perikanan akan menekan terjadinya kerusakan ekosistem laut. Artinya secara swadaya masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan di perairan setempat, baik terhadap kegiatan dari luar maupun dari dalam wilayah itu sendiri. Kemandirian dan pengawasan sosial secara swadaya tersebut secara langsung atau tidak langsung merupakan sumbangan material dan fungsional masyarakat nelayan terhadap pembangunan sistem keamanan wilayah perairan laut secara lokal, regional, dan nasional.
b. Peningkatan Ketersediaan Informasi Teknis Pengelolaan dan Harga Sejalan dengan upaya peningkatan kemampuan teknis manajerial dari masyarakat nelayan, diperlukan upaya peningakatan ketersediaan informasi teknis pengelolaan dan harga. Selama ini, informasi teknis pengelolaan dan harga dipegang oleh kelompok tataniaga sebagai cara untuk menguasai pasar dan mempertahankan marjin keuntungan yang tinggi dari usaha kelautan dan perikanan. Ketersediaan informasi yang diperlukan masyarakat nelayan adalah informasi yang terkait
dengan permintaan pasar terhadap produksi sektor
kelautan dan perikanan. Informasi ini dapat berupa permintaan terhadap tingkat kualitas dan jenis produksi tertentu, atau informasi tentang tingkat harga pasar dari waktu ke waktu. Rendahnya ketersediaan informasi terkait dengan permintaan dan harga produksi memposisikan kelompok tataniaga pada posisi tawar yang tinggi dan tetap rendahnya harga yang diterima nelayan. Dampak yang ditimbulkan oleh rendahnya ketersediaan informasi adalah terbentuknya pola produksi kelautan dan perikanan dengan produktivitas dan kualitas yang rendah. Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ketersediaan informasi baru pada penyediaan sarana dan prasarana di tingkat kecamatan.
Sistem
pembangunan ketersediaan informasi ini menjadi tidak efektif ketika masyarakat diharuskan berhadapan dengan aparat desa atau kecamatan untuk meminta informasi.
Kegagalan sistem ini bukan dalam penentuan unit terkecil dalam
program, melainkan belum dipertimbangkannya kondisi hubungan sosial masyarakat nelayan dengan pejabat desa atau kecamatan. Dengan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat nelayan, penyediaan informasi dapat dilakukan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan produksi hasil kelautan dan perikanan dalam wilayah lokal, regional, dan nasional.
Dalam hal ini, pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten
memberikan prioritas tinggi terhadap wilayah produksi tersebut dan terus menerus dikembangkan kepada perluasan wilayah produksi lainnya. Di dalam wilayah pengembangan produksi ini akan terjadi intensitas transaksi yang tinggi, yang secara langsung atau tidak langsung akan menyediakan informasi permintaan sesuai dengan pola hubungan sosial antara konsumen dengan produsen. c. Reformulasi Kebijakan Tataniaga Produksi Kelautan dan Perikanan Peningkatan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan akan cenderung diikuti oleh meningkatnya kegiatan masyarakat
nelayan
dalam
mengeksploitasi
sumberdaya
kelautan
dan
perikanan. Untuk mencegah timbulnya dampak negatif dari kegiatan tersebut perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan tataniaga produksi kelautan dan perikanan.
Pengkajian dilaksanakan sesuai dengan karakteristik daerah
setempat, sehingga penerapan kebijakan tataniaga produksi akan meningkatkan diversifikasi
dan
kualitas
produksi
dan
bukan
sebaliknya
mematikan
pertumbuhan ekonomi setempat. Beberapa masalah tataniaga yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain adalah: 1. Pembatasan Tataniaga kepada Tingkat Kualitas Produksi Tertentu Dengan asumsi tidak terjadi perubahan lingkungan fisik-kimia terhadap ekosistem perairan pantai, sampai tingkat tertentu secara alami sumberdaya perikanan akan kembali pulih (renewable).
Artinya, setiap kegiatan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan perlu diupayakan untuk tidak berdampak merusak lingkungan fisik-kimia perairan pantai. Kebijakan ini merupakaan syarat keharusan bagi setiap fihak yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan.
Pembatasan tataniaga kepada tingkat kualitas produksi tertentu merupakan kebijakan yang diarahkan untuk membatasi terjadinya kerusakan lingkungan biologis biota laut. Kebijakan ini mencakup ketentuan terhadap ukuran dan jenis ikan yang dapat diekstraksi sesuai dengan tujuan akhir pemanfaatan hasil produksi. Kebijakan ini merupakan syarat kecukupan bagi kegiatan pengelolaan sumberdaya dengan tujuan ekonomis, dimana tujuan dari pembatasan tersebut adalah untuk mempertahankan anakan ikan dan jenis tertentu dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan kelangsungan produksi perairan setempat. 2. Peningkatan Keterkaitan Proses Ekstraksi Sumberdaya dengan Industri Pengolahan dan Kegiatan Budidaya Tingginya ketidakpastian musim dan jenis ikan yang mungkin diperoleh menyebabkan proses ekstraksi sumberdaya kelautan dan perikanan cenderung dilaksanakan dengan penggunaan teknologi produksi yang memiliki kemampuan dan kapasitas tangkap yang tinggi.
Situasi ini
menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan masih bersifat open access dan cenderung mengakibatkan kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan. Untuk mengatasi terjadinya kerusakan yang tinggi terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan, diperlukan perubahan terhadap sturuktur kebijakan yang semula didasarkan pada kebijakan peningkatan kemampuan dan kapasitas ekstraksi sumberdaya menjadi kebijakan yang mengarah kepada keterkaitan proses ekstraksi sumberdaya dengan industri pengolahan dan kegiatan budidaya.
Keuntungan yang mungkin diperoleh dari tingginya
keterkaitan tersebut adalah dapat ditingkatkanya satuan produktivitas dan diversifikasi usaha di sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan ini juga mencakup keharusan bagi perusahaan perkapalan dengan kemampuan dan kapasitas tertentu untuk membangun industri pengolahan, sekurang-kurangnya industri pengalengan ikan.
3. Pembangunan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar hampir tidak dilirik oleh pemerintah sebagai salah satu sumber devisa negara yang secara tetap dan berkesinambungan selalu dapat diusahakan. Kenyataan ini ditunjukkan oleh tidak berkembangnya BUMN yang bergerak di sektor perikanan baik dalam skala nasional maupun daerah. Terlepas dari perlu atau tidaknya didirikan BUMN atau BUMD dari sisi perekonomian nasional dan regional,
BUMN/BUMD sektor di sektor
kelautan dan perikanan sangat diperlukan sebagai lembaga (a) percontohan usaha, (b) sumber informasi dan laboratorium penyusunan kebijakan pembangunan regional dan nasional, (c)
pusat penelitian terapan, (d)
komponen pengembangan dan advokasi pembangunan, (d) mitra usaha masyarakat, dan lain lain. C. PENINGKATAN KINERJA KOMPONEN ORGANISASI DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN Sesuai dengan tujuan pembangunan kelautan dan perikanan, yaitu mewujudkan kelestarian dan keamanan sumberdaya kelautan dan perikanan, memperkuat perekonomian rakyat serta mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat, secara langsung atau tidak langsung akan mengarahkan Departemen Kelautan dan Perikanan
bersama-sama instansi terkait lainnya
untuk terus meningkatkan peran dan fungsinya dalam
upaya
pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan. Terkait dengan pengembangan fungsi pengelolaan tersebut, ketertinggalan pembangunan sektor kelautan dan perikanan mengharuskan departemen melakukan percepatan pembangunan melalui penerapan kebijakan departemen.
peningkatan kinerja komponen organisasi
Dalam upaya peningkatan kinerja komponen organisasi perlu ditetapkan kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai peningkatan keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan.
Indikator-indikator tersebut
merupakan ukuran dari proyeksi kemampuan komponen organisasi dalam memformulasikan kebijakan, perencanaan, dan pengawasan pembangunan. Selain itu, ukuran tersebut merupakan kuantifikasi objektif terhadap optimalisasi efektivitas dan efisiensi kinerja setiap komponen organisasi departemen. Peningkatan kinerja komponen organisasi departemen mensyaratkan adanya komitmen yang tinggi dari setiap individu dalam organisasi untuk terus meningkatkan kapasitas dan kemampuan (capacity building) yang terkait dengan formulasi dan penerapan kebijakan, perencanaan, serta monitoring dan evaluasi kegiatan pembangunan. a. Formulasi dan Penerapan Kebijakan Pembangunan Kapasitas dan kemampuan yang tinggi dari setiap individu dalam formulasi dan penerapan kebijakan mensyaratkan tingginya penguasaan individu dalam memahami
cara
pandang
masyarakat
dalam
menghadapi
masalah
pembangunan setempat (social subjectives knowledge). Selama ini penguasaan individu dalam memformulasikan kebijakan cenderung semata-mata didasarkan pada pemahaman terhadap lingkungan fisik setempat dan berupaya mengubah cara pandang masyarakat kepada cara pandang baru (objectives knowledge). Formulasi dan penerapan kebijakan tersebut sering dihadapkan pada berbagai masalah dan kegagalan.
Hal ini terjadi karena formulasi dan
penerapan kebijakan didasarkan pada pemberian insentif ekonomi dalam programnya.
Dengan
berakhirnya
program,
maka
memutuskan kembali kepada cara pandang semula.
masyarakat
akan
Atau apabila terjadi
ketidaksesuaian kebijakan atau program secara mendasar, maka akan berakibat terjadinya konflik di dalam masyarakat.
Konflik ini akan berakhir dengan
ketidakpedualian masyarakat terhadap keberadaan kebijakan atau program yang bersangkutan.
Untuk menghadapi situasi seperti ini, setiap individu dalam komponen organisasi diharapkan mampu membaca dan menangkap keinginan masyarakat sesuai dengan
cara pandang masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini upaya
perubahan persepsi masyarakat merupakan sisipan program, dimana
dalam
jangka panjang dapat diarahkan kepada percepatan pembangunan yang signifikan. b. Perencanaan Pembangunan Perubahan paradigma pembangunan yang semula bersifat sentralistik menjadi desentralistik sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dalam bidang perencanaan, pemerintah pusat melakukan perencanaan pembangunan tanpa atau masih sedikit sekali di dasarkan pada usulan perencanaan pembangunan yang berasal dari daerah propinsi atau kabupaten. Alasan-alasan
yang
diajukan
terkait
dengan
pola
perencanaan
pembangunan yang bersifat sentralistik tersebut antara lain, pertama adalah usulan perencanaan daerah memiliki banyak kelemahan dalam penetapan dasar pemikiran, tujuan, metodologi, dan anggaran. Kelemahan ini terkait dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia di dinas-dinas baik propinsi maupun kabupaten.
Selain itu, belum tersedianya format baku dalam penyusunan
rencana pembangunan dari departemen dan rendahnya kesiapan dan kesediaan pegawai pemerintah pusat dalam membantu penyusunan program. Kedua, perencanaan dengan mengakomodasikan usulan perencanaan daerah memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama sehingga menjadi tidak efisien dan efektif. Penerapan kebijakan seperti ini dianggap akan banyak mengeluarkan biaya perjalan dan konsultasi, serta terdapat anggapan yang besar bahwa pemerintah propinsi atau kabupaten belum tentu mampu mewujudkan hasil konsultasi dengan pemerintah pusat. Tingginya biaya dan rendahnya kemampuan untuk mewujudkan perencanaan tersebut seringkali dianggap sebagai tindakaan yang tidak efektif dan efisien oleh pemerintah pusat.
Ketiga, terdapat kecenderungan dari pemerintah daerah untuk menunggu program pembangunan dari pusat. Perilaku ini terbentuk karena banyak usulan pemerintah daerah yang tidak pernah terwujud dalam program yang sampai ke daerah. Keempat, menjaring
dan
rendahnya kemampuan administrasi di tingkat pusat untuk menseleksi
usulan
pembangunan
daerah.
Rendahnya
kemampuan administrasi pemerintah ini terkait dengan rendahnya kualitas dan jumlah pegawai yang ada. c. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Meskipun
perangkat
kebijakan
pembangunan
telah
secara
jelas
mengharuskan untuk dilakukannya kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap setiap kegiatan pembangunan, akan tetapi dalam pelaksanaannya cenderung bersifat formalitas dan belum mencapai kepada tujuan dan fungsi monitoring dan evaluasi itu sendiri.
Secara garis besar, kegiatan monitoring merupakan
kegiatan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh suatu program pembangunan secara bertahap atau keseluruhan. evaluasi
dapat
ditentukan
seberapa
manfaat
Dari hasil monitoring dan dan
kelemahan
program
pembangunan, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan kebijakan untuk mengembangkan atau menghentikan program. Dengan kata lain, kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan kunci yang menentukan keberlangsungan pembangunan, baik secara vertikal maupun horizontal. Kegiatan monitoring dan evaluasi program pembangunan yang bersifat formalitas sering disebabkan tidak tersedianya kriteria dan indikator dalam mengawasi kegiatan program pembangunan.
Selain itu, petugas belum
memahami dan menguasai permasalahan pembangunan yang menjadi latar belakang kebijakan untuk melahirkan program pembangunan tersebut.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kinerja monitoring dan evaluasi adalah dengan membentuk format kerja baku yang menyertai usulan perencanaan
program
dan
hasil
pelaksanaannya
merupakan
sumber
pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk mengembangkan atau menghentikan suatu kegiatan program pembangunan.
Penerapan kebijakan
tersebut dilaksanakan dengan tujuan untuk menjaga dan mengembangkan seluruh kegiatan pembangunan secara berkesinambungan. Dengan demikian dapat diharapkan kegiatan pembangunan dapat memberi manfaat yang terus meningkat
dan
menghilangkan
kegiatan
yang
menekan
perkembangan
pembangunan itu sendiri secara tepat dan cepat.
D. PENINGKATAN KOORDINASI ANTARINSTANSI TERKAIT a. Peningkatan Koordinasi Antardepartemen Tingginya volume kegiatan dan kepentingan pembangunan sektoral seringkali menyebabkan rendahnya perhatian dan kerjasama suatu sektor terhadap rencana dan pelaksanaan pembangunan sektor lainnya yang terkait dengan sektor itu sendiri.
Keadaan ini dapat berdampak negatif
terhadap
pelaksanaan pembangunan nasional. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan terjadinya kebijakan yang tumpang tindih atau kebijakan antarsektor yang saling menekan. Adanya kebijakan yang tumpang tindih secara langsung akan menurunkan efisiensi setiap program pembangunan masing-masing sektor.
Sedangkan
kebijakan antarsektor yang saling menekan akan mengakibatkan rendahnya manfaat pembangunan yang mungkin diperoleh suatu sektor dan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan program pembangunan suatu sektor dan sektor lainnya. Upaya mencegah timbulnya inefisiensi dan inefektivitas program pembangunan secara sektoral maupun antarsektor perlu dilakukan peningkatan koordinasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan dengan departemen atau instansi terkait.
Sistem koordinasi ini meliputi kegiatan penyusunan
kebijakan pembangunan,
konsultasi teknis,
monitoring dan evaluasi secara
proporsional dan bertanggungjawab. Contoh klasik yang menggambarkan rendahnya koordinasi antardepartemen adalah belum terkoordinasinya kebijakan pemberian ijin pengoperasian kapal dengan pembangunan industri pengolahan perikanan.
Dalam hal ini perlu
ditetapkan kebijakan perijinan wilayah operasi dan kapasitas kapal penangkap ikan tertentu terkait dengan keharusan pembangunan industri pengolahannya, atau sebaliknya. Tujuan penetapan kebijakan antara Departemen Kelautan dan Perikanan dengan
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan
adalah
untuk
meningkatkan nilai tambah sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan penyerapan tenaga kerja, serta investasi di sektor kelautan dan perikanan. b. Peningkatan Kerjasama Luar Negeri Tingginya ketertarikan dunia internasional terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia
menimbulkan berbagai tawaran kerjasama bilateral
maupun multilateral dalam bentuk bantuan teknis dan penyediaan dana bagi program pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Khususnya dalam
lingkungan negara-negara ASEAN dan Asia Timur, bentuk kerjasama bilateral yang sering ditawarkan adalah kerjasama di bidang penangkapan dan budidaya. Di sisi lain, kerjasama multilateral cenderung terarah kepada bentuk kerjasama bantuan teknis dan penyediaan dana program pembangunan. 1. Kerjasama Bilateral Dari kedua bentuk kerjasama internasional tersebut,
pengalaman
departemen kelautan dan perikanan menunjukkan bahwa pelaksanaan kerjasama bilateral kapal-kapal di
masih terbatas kepada bidang perijinan operasional
wilayah perairan laut ke dua negara dan hubungan
pemasaran hasil kelautan dan perikanan.
Selain Jepang,
kerjasama
bilateral dalam bentuk pertukaran teknologi budidaya dan pelestarian lingkungan masih tergolong sangat rendah. Dalam bidang
perijinan operasional kapal, kelemahan sistem kerjasama
yang ditawarkan pihak Indonesia adalah belum dikembangkannya kewajiban bagi pengusaha kapal kapal asing untuk bekerjasama dengan pengusaha perkapalan dan atau industri perikanan di Indonesia untuk memperoleh ijin operasi.
Selain mengakibatkan rendahnya investasi asing, tidak adanya
kewajiban
untuk
mengikutsertakan
pengusaha
Indonesia
tersebut
menyebabkan rendahnya fungsi pengawasan sosial terhadap kegiatan operasi kapal-kapal asing di perairan laut Indonesia.
Dengan demikian
dalam masa-masa mendatang, Departemen Kelautan dan Perikanan diharapkan mampu mengembangkan sistem kemitraan dalam kerjasama bilateral. 2. Kerjasama Multilateral Sejak dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, telah dilaksanakan berbagai kerjasama multilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara lainnya.
Berdasarkan kesepakatan yang dihasilkan dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) internasional, pemerintah mewujudkan berbagai pembentukan dan pengembangan regulasi kawasan ekonomi antarnegara.
Selain itu kesepakatan kerjasama multilateral diwujudkan
dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan internasional dalam bentuk pinjaman dan hibah, yaitu antara lain dengan World Bank, Asean Development Bank, dan Islamic Development Bank. Dalam kerjasama multilateral ini, sering ditemukan kegagalan pencapaian perolehan manfaat sosial ekonomi yang mungkin diperoleh masyarakat. Kegagalan pelaksanaan kerjasama program pembangunan kelautan dan perikanan cenderung bersumber kepada ketidaksesuaian
program atau
proyek yang didanai oleh lembaga keuangan internasional terhadap situasi sosial budaya ekonomi masyarakat setempat.
Dimana selama ini pihak
departemen cenderung menerima usulan program pembangunan yang ditawarkan pihak bank dan bukan sebaliknya mengusulkan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal. Apabila dipandang dengan lebih cermat, program pembangunan yang diusulkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
cenderung
didasarkan pada situasi yang dihadapi masyarakat secara makro dan belum didasarkan pada pendekatan perubahan struktur sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
Dengan demikian program program
pembangunan tersebut cenderung memberikan manfaat dalam jangka pendek
dan
belum
menghasilkan
performa
yang
baik
dan
berkesinambungan dalam jangka panjang. Untuk meningkatkan manfaat sosial ekonomi dari kerjasama multilateral diharapkan
pihak
pemerintah
melakukan
identifikasi,
penelitian
dan
pengembangan terhadap rencana pembangunan daerah, yang selanjutnya diusulkan sebagai prioritas program pembangunan kepada pihak lembaga keuangan internasional. Integrasi vertikal program pembangunan tersebut yang harus dihargai dan ditaati oleh lembaga keuangan internasional sebagai pihak yang mengerti kebutuhan dan memiliki kepentingan terhadap keberhasilan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. c. Peningkatan Peran Lembaga Swadaya Masyarakat Sampai saat ini peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan masih cenderung berperan sebagai lembaga advokasi bagi kegiatan-kegiatan pembangunan yang dicanangkan pemerintah atau sebaliknya sebagai corong masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pembangunan pemerintah.
Banyaknya LSM yang memilih peran sebagai
lembaga advokasi sering menimbulkan konflik dan kecurigaan di dalam masyarakat. Hal ini terjadi akibat fungsi advokasi dua arah dari LSM hanya berkonotasi kepada fungsi pengawasan sosial terhadap kebijakan dan program pembangunan pemerintah.
Sjalan dengan peningkatan fungsi pengawasan sosial tersebut, pemerintah diharapkan mampu mengikutsertakan LSM sebagai lembaga yang berperan dalam upaya pengembangan program, baik secara nasional atau lokal. Kebijakan ini akan memposisikan LSM sebagai lembaga sosial yang mampu memberikan solusi dan mengarahkan sikap masyarakat terhadap kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan setempat. E. PENUTUP Dalam upaya meningkatkan distribusi manfaat sosial ekonomi yang berkeadilan, uraian strategi dan pengembangan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan merupakan pendekatan struktural dalam penyusunan program pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan program pembangunan secara berkesinambungan.
Pendekatan struktural
tersebut mengarahkan pengakajian strategi dan penyusunan kebijakan agar mampu (a) meningkatkan pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat, (b) meningkatkan kinerja setiap komponen organisasi departemen, dan (c) meningkatkan koordinasi antardepartemen. Dalam penerapannya,
pengakajian strategi dan pembentukan kebijakan
tersebut masih memerlukan penjabaran secara rinci dalam membentuk dan mengarahkan pembangunan secara terintegrasi, baik secara vertikal maupun horizontal.
Dengan demikian hasil pembangunan akan terintegrasi secara
holistik ke dalam parameter dan indikator ke dalam tujuan pembangunan nasional baik secara sosial, budaya, ekonomi, politik, kemanan dan pertahanan.