Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan suatu sistim penilaian kondisi medis dan klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan berdasarkan keputusan yang diambil dalam proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen topangan hidup dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatkan berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik. Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala (syndromic approach). Contoh sindrom yang lazim dijumpai di unit gawat darurat adalah nyeri perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran. Triase konvensional yang dikembangkan di medan perang dan medan bencana menetapkan sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan fokus pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi dengan istilah warna, yaitu warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam. Penyebutan warna ini kemudian diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi zona merah, zona kuning, dan zona hijau (tabel 1). Triase bencana bertujuan untuk mengerahkan segala daya upaya yang ada untuk korban-korban yang masih mungkin diselamatkan sebanyak mungkin (do the most good for the most people) (Lee, 2010). Kriteria
Deskripsi
Hitam
Meninggal
Merah
Korban dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera
Kuning
Korban tidak dalam kondisi kritis namun membutuhkan pertolongan segera
Hijau
Trauma minor dan masih mampu berjalan (walking wounded) Tabel 1. Triase Bencana Sedangkan triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam
nyawa agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis pada pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang dianut adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang sesuai dengan kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang tepat sasaran (prinsip efisien) (Fitzgerald et al, 2010). Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus menilai urgensi kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat dikategorikan memiliki kondisi tidak urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah sakit karena
kondisinya. Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka beberapa sistim triase menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD (Australian Government Department of Health and Aging, 2009). Sistim triase tidak pernah dirancang untuk membuat diagnosis, namun seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran, tindakan-tindakan penyelamatan nyawa sudah dapat dimulai secara simultan ketika triase berjalan, seperti tindakan pembebasan jalan nafas dengan metode jaw thrust, pijat jantung luar, penekanan langsung sumber perdarahan, pemasangan cervical collar. Berdasarkan triase maka urutan pasien yang mendapatkan pertolongan yaitu: 1. Pasien keempat, seorang wanita berusia 42 tahun dibawa dibawa oleh keluarganya
karena menjadi korban ledakan tabung gas di rumahnya. Kondisi umum pasien lemah, tidak sadar, tampak lemah dan sesak nafas. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: tekanan darah : 85/palpasi mmHg, denyut nadi : 120x/menit, frekuensi nafas 32 x/menit, suhu 38oC, akral dingin, capillary refill >4 detik. Didapatkan luka bakar derajat II-III 50% meliputi wajah, dada, perut, dan sebagian lengan. Pada pasien yang mengalami luka bakar pada wajah, dada, perut, dan sebagian lengan memiliki risiko untuk terjadinya cidera inhalasi yang dapat menyebabkan terjadinya edema atau obstruksi jalan nafas. 2. Pasien kedua, seorang laki-laki berusia 22 tahun, beberapa menit yang lalu mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pasien tampak bingung, pucat. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: GCS E3V4M6, tanda vital didapatkan: tekanan darah 85/60mmHg, denyut nadi 120x/menit dan frekuensi nafas 30x/menit. Pada regio femur didapatkan: luka terbuka sekitar 20 cm, perdarahan aktif, bengkak dan deformitas. Pasien yang mengalami perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah menghentikan perdarahan dan memberikan resusitasi cairan untuk mencegah syok. 3. Pasien ketiga seorang laki-laki berusia 38 tahun, datang dengan keluhan sesak dan
nyeri dada setelah kecelakaan lalu lintas. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: dengan Tekanan Darah: 110/70 mmHg, denyut nadi 100x/menit, frekuensi nafas: 28 x/menit. Regio Thoraks : jejas (-), krepitasi (-), sonor, wheezing (-), ronki (-). Pada pasien trauma thorax pada pemeriksaan fisik di dapatkan normal, sehingga pada pasien ini mengalami syok paska kecelakaan, namun tetap melakukan tindakan penilaian awal (initial assessment). Perlu dilakukan observasi pada pasien ini untuk
kemungkinan penyebab timbulnya nyeri dan sesak pada dada. Tindakan pengelolaan ABC tetap harus dilakukan, mempertahankan jalan nafas, menilai pernapasan, dan mempertahankan perfusi. 4. Pasien pertama, seorang wanita G1P0A0 berusia 25 tahun, hamil aterm, sedang
berteriak kesakitan mengeluh kencengkenceng teratur, dan sering. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: tanda vital : Tekanan Darah 110/70 mmHg, Denyut Nadi: 94 x/menit, frekuensi nafas: 20 x/menit. Hasil pemeriksaan dalam didapatkan VT: pembukaan 3 cm, kulit ketuban utuh. Kontraksi 3 kali dalam 10 menit, reguler. Pasien tersebut diagnosisnya yaitu kala I fase laten. Tindakan yang dilakukan pada pasien ini adalah menunggu sampai pembukaan lengkap, dan mempersiapkan untuk melakukan asuhan persalinan. Australian Government Department of Health and Aging. Emergency Triage Education Kit. Department of Health and Aging. 2009. Lee CH. Disaster and mass casualty triage. American Medical Association Journal of Ethics. 2010;12(6):466-70. Fitzgerald G, Jelinek GA, Scott D, Gerdtz MF. Emergency department triage revisited. Emerg Med J. 2010;27:85-92.