Sriwijaya Imperium bahari terluas di Nusantara pada abad ke-8
Sriwijaya (atau juga disebut Śrīivijaya; ꦷ ꦮ ꦶ ꦗꦪ (Bahasa Jawa: Jawa: ꦯꦿ
ั ; Siwichai) adalah Sriwijaya); Thai: ศรีวช ิ ย salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatra dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan
Jawa Tengah.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang".
Śrīwijaya Kadatuan Sriwijaya 600-an–1100-an
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8 Masehi.
Ibu kota
Palembang, Jawa, Kadaram, Dharmasraya
Bahasa
Melayu Kuno, Sanskerta Jawa Kuno
Agama
Buddha Vajrayana, Buddha Mahayana,
B ddh Hi
Buddha Hinayana, Hindu Bentuk pemerintahan
Monarki
Maharaja -
683
Sri Jayanasa
-
702
Sri Indrawarman
-
775
Dharanindra
-
792
Samaratungga
-
835
Balaputradewa
-
988
Sri Cudamani Warmadewa
-
1008
Sri MaraVijayottunggawarman
-
1025
SangramaVijayottunggawarman
Sejarah Didi ik
600
-
Didirikan
600-an
-
Invasi
1100-an
Dharmasraya Mata uang Pendahulu Minanga Kedah
Koin emas dan perak Pengganti Dharmasraya Kerajaan Singapura
Warning: Value specified for "continent" does not
comply
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6] Setelah keruntuhannya, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Prancis George Cœdès dari
École française d'Extrême-Orient.[7]
Catatan sejarah Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920an, ketika sarjana Prancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan
beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Prasasti Talang Tuwo, ditemukan di Bukit Seguntang bercerita tentang dibangunnya taman Śrīksetra.
Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan diterjemahkan. Catatan perjalanan bhiksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam
menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671. Sekumpulan prasasti
siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Javaka dan Raja Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan
sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.[10] Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8] Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-
ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Pusat Sriwijaya Menurut Prasasti Kedukan Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan
Sriwijaya pertama kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan. Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (warna hijau) terletak di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Pendapat ini didasarkan dari
foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.[12]
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang
dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li
chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Tiongkok yang dinamakan
cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia berpendapat bahwa Minanga
Tamwan disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata "temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".[16] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,
berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6] Akan tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan sebelumnya.[17] Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5
kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.[18][19] Situs Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke10. Catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu. Teori lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya, bahwa Chaiya di
Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat kerajaan Sriwijaya.[20] Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarahwan Thailand,[21] meskipun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.
Sejarah Pembentukan dan pertumbuhan
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[22] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[23][24]
Perjalanan Siddhayatra
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam perjalanan suci
siddhayatra untuk "mengalap berkah",[25] dan memimpin 20.000 tentara dan 312
orang di kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[26] Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera,
pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum
Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[27] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula di Palembang pada abad VII, menyebar ke sebagian besar Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga surut sebagai Kerajaan Malayu Dharmasraya pada abad XIII.
Penaklukan kawasan Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di
Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di
bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.[2] Pada masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]
Masa keemasan
Arca emas Avalokiteçvara bergaya MalayuSriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkih, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.[28]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.[11] Hubungan dengan wangsa Sailendra Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama Śailendravamśa pada
beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama
Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih menunggu penelitian sampai sekarang.[14] Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[29] Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[30] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[31] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.[32][33] Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya
dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[34] Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[35] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India. Sriwijaya berkuasa di Jawa Wangsa Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Di Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda (bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari
Śailendravamsatilaka (perhiasan keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana (pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra.[36]:92 Tidak seperti pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur.
Dia menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari Sriwijaya.[36]:108 Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak dengan Samaratungga.[36]:92 Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak.
Borobudur dirampungkan pada masa pemerintahan Samaratunga dari wangsa Sailendra.
Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi Samaratungga, seorang anggota keluarga Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792.[37] Pada abad ke-8 Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia memerintah sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis, Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka untuk memperkuat
pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada 825, pada masa pemerintahannya.[38] Menurut George Coedes, "pada paruh kedua abad kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang memerintah di Jawa... dengan pusat perdagangan di Palembang."[39]:92 Samaratungga seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang welas asih. Penggantinya adalah Putri
Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa. Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai (penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana dengan penganut Hindu aliran Siwa. Kembali ke Palembang Akan tetapi, Pangeran Balaputradewa menentang pemerintahan Pikatan dan
Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan antara Balaputra dan Pramodhawardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di sisi lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.[40]
Tidak diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah di Suwarnadwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi kekuasaan ini. Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai PikatanPramodhawardhani dan Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya dari Palembang. Sebagian sejarawan
berpendapat bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra - Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.[36]:108 Berperang melawan Jawa
Kapal Borobudur bercadik yang ditampilkan di Borobudur. Pada 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa mengirim armada kapal perang untuk menyerbu Sriwijaya di Sumatra.
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama She-po. Dikisahkan bahwa,
San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[41] Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang
namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[41] Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa
terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan
berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[41] Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan
dipasang di candi itu.[42] (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada
tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6][43]
Masa penurunan Serbuan kerajaan Chola
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[44] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita
utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok tahun 1028.[45] Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang.[46] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11] Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang
sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[47]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore Nama kawasan
Keterangan
Pannai
Pannai
Malaiyur
Malayu
Mayirudingam Ilangasogam
Langkasuka
Mappappalam Mevilimbangam Valaippanduru Takkolam Madamalingam
Tambralingga
Ilamuri-Desam
Lamuri
Nakkavaram
Nikobar
Kadaram
Kedah
Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-
hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Tiongkok di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat. Munculnya Malayu Dharmasraya
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Tiongkok menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Tiongkok.[48] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Tiongkok.[48] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tersebut.[48] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan
Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada abad ke-11.[49] Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[50] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja),
Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya
sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-
kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang),
Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13] Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan
Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau
Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. .
Pemerintahan dan ekonomi Struktur pemerintahan
Prasasti Telaga Batu
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu negara kesatuan
dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua,
samaryyāda, mandala dan bhūmi.[51] Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh
vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut
Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya. Penguasa Sriwijaya disebut dengan
Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[52] Prasasti Telaga Batu banyak
menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya.[27] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an
watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi
nijawarna/wasikarana (pandai besi/
pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga (peniaga),
pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).[27] Menurut kronik Tiongkok Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni
yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[27][52] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di
antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.[33]
Perdagangan
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-
vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[54]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa
bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal
perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.[55] Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam
relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi. Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok
disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya
Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Tiongkok, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[56] Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[57][58]
Budaya dan masyarakat Sebuah masyarakat yang kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur; dengan cita rasa nan halus dalam seni, sastra, dan budaya, dengan serangkaian ritual yang dipengaruhi ajaran Buddha Mahayana; berkembang di masyarakat Sriwijaya. Tatanan sosial mereka yang rumit dapat dilihat melalui studi prasasti, catatan sejarah asing, serta peninggalan
candi-candi yang berasal dari periode ini. Kerajaan telah mengembangkan masyarakat yang maju; yang ditandai oleh kemajemukan masyarakat mereka, stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga administratif nasional kerajaan mereka.
Agama
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[59]
“ Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk
”
mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya
Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[60]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[61] Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara. Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya
".... banyak raja dan
pemimpin
yang termahsyur
yang berada di
sebagai bandar
pulau-pulau pada
pusat
Lautan
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan
Selatan
percaya
dan
mengagumi Buddha,
dihati
mereka
telah
ulama Muslim dari tertanam Timur Tengah,
perbuatan
baik.
sehingga
Di dalam benteng
beberapa kerajaan kota Sriwijaya yang semula dipenuhi lebih merupakan bagian dari 1000 biksu dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-
Budha,
yang
belajar
dengan
bakal kerajaan-
tekun
kerajaan Islam di
mengamalkannya
dan
Sumatera kelak, di dengan saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Seni dan Budaya
baik....
Jika
seorang
biarawan Tiongkok
ingin
pergi
India
untuk
ke
belajar
Sabda, lebih baik
Langgam
ia tinggal dulu di
Sriwijaya
sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum
Arca
Buddha langgam Amarawa ti setinggi 2,77 meter, ditemuka n di situs Bukit Seguntan g, Palemba ng, abad ke-7 sampai ke-8 M.
dilanjutkan
di
India". — Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Awalokite shwara dari Bingin Jungut, Musi Rawas, Sumatra Selatan. Langgam Sriwijaya, abad ke-8 sampai ke-9 M, mirip langam seni Sailendra Jawa Tengah.
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Arca torso perunggu bodhisattwa
Padmapani, langgam Sriwijaya abad ke-8, Chaiya, Surat Thani, Thailand Selatan. Arca ini menggamba rkan pengaruh langgam Sailendra dari Jawa Tengah.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi
alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di
Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua
franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[62] Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer,
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[63], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[64], Bidor, Perak[65] dan Chaiya,[66] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).[67]
Hubungan dengan kekuatan
regional Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran Tiongkok, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[68] Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam
kepadanya.[69] Surat itu dikutip dalam Al-
'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-
Nujum Az-Zahirah fi Muluk Misr wa AlQahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).[69] Peristiwa ini
Dari
Raja
bahwa Sriwijaya
sekalian
para
telah menjalin
raja yang juga
hubungan
adalah
diplomatik dengan
keturunan
dunia Islam atau
ribuan
dunia Arab.
yang
Meskipun demikian
pun
membuktikan
"
raja, isterinya adalah
surat ini bukanlah
cucu
dari
berarti bahwa raja
ribuan
raja,
Sriwijaya telah
yang
memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja
kebun
binatangnya dipenuhi ribuan gajah,
yang
wilayah untuk mengenal dan kekuasaannya mempelajari berbagai hukum,
terdiri dari dua
budaya, dan adat-
sungai
istiadat dari
mengairi
berbagai rekan
tanaman lidah
perniagaan dan
buaya, rempah
peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni
wangi,
yang
pala,
dan jeruk nipis,
Tiongkok, India, dan
yang
Timur Tengah.
harumnya
aroma
menyebar
hingga 12 mil. Kepada
Raja
Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
lain
selain
Allah. Aku telah mengirimkan
Pada masa awal,
kepadamu
Kerajaan Khmer
bingkisan yang
merupakan daerah
tak
jajahan Sriwijaya.
sebagai
seberapa tanda
Banyak sejarawan
persahabatan.
mengklaim bahwa
Kuharap
Chaiya, di provinsi
engkau
Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut.
sudi
mengutus seseorang untuk
Pengaruh Sriwijaya
menjelaskan
tampak pada
ajaran
bangunan pagoda
dan
Borom That yang
hukum-
bergaya Sriwijaya.
hukumnya
Setelah kejatuhan
kepadaku."
Islam segala
Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga
— Surat
kota yakni (Mueang)
Maharaja
Chaiya, Thatong
Sriwijaya
(Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom. Seperti disebutkan sebelumnya,
kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[56]
Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan
Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.[70] Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[71] Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[43] Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-
Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan
Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar
Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan
candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama
Yuan Miau Kwan.[6]
Raja yang memerintah Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
Nama Raja
Tahun
Ibukota
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu,
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa
671
Srivijaya
penaklukan Jawa
Shih-li-fo-shih
Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
Rudra Wikrama Liu-t'eng-wei-kung
Sriwijaya 728-742
Shih-li-fo-shih
743-774 Sri Indrawarman Shih-li-t-'o-pa-mo
Utusan ke Tiongkok 728-742 Belum ada berita pada periode ini
Sriwijaya 702
Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si
Sri Maharaja
775
Sriwijaya
Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)
Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara
Dharanindra atau Rakai Panangkaran
kompleks Candi Prambanan 778
Jawa
Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
Samaragrawira atau Rakai Warak
782
Jawa
Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 Prasasti Karang Tengah tahun 824,
Samaratungga atau Rakai Garung
792
Jawa
candi Borobudur Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai
840 Balaputradewa
825 menyelesaikan pembangunan
856
Pikatan Suwarnadwipa
Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan
kembali ke Suwarnadwipa Prasasti Nalanda tahun 860, India 861-959 Sri Udayaditya Warmadewa
Belum ada berita pada periode ini Sriwijaya
960
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan
980
raja, Hie-tche (Haji) 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan
Sri Cudamani Warmadewa Se-li-chu-la-wu-ni-fu-
988
ma-tian-hwa
Sriwijaya
Atiśa,
Malayagiri
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
(Suwarnadwipa)
pembangunan candi untuk kaisar
San-fo-ts'i
Tiongkok yang diberi nama
cheng tien wan shou Sri MaraVijayottunggawarman
San-fo-ts'i 1008
Se-li-ma-la-pi
Kataha
1008 Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017:
Haji Sumatrabhumi Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok
dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji
1017
Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan Diserang oleh Rajendra Chola I dan
SangramaVijayottunggawarman
1025
Sriwijaya
menjadi tawanan
Kadaram
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India
1030
Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke
1079
Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi)
ke Tiongkok 1082 dan 1088 1089-
Belum ada berita
1177
Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-
1178
fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
Srimat Trailokyaraja Maulibhusana
Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan 1183
Dharmasraya
Warmadewa
Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand
Warisan sejarah
Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya,
penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu. Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah
mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah Tiongkok yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul mundur. Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabadabad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung (lingua
franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[72] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.[73] Kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[74]
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya. Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya
yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan
tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[75][76]
Catatan bawah 1. ^ Tuha an watak wuruh juga bersifat
pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak sebagai pengurusnya .[53]
Rujukan 1. ^ Cœdès, George (1930). "Les
inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'ExtrêmeOrient (BEFEO). 30: 29–80. 2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel
(2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire
Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois” 4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record
of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian
palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-0404172-9. 6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006).
F.W. Stapel, ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-845162-1. Kesalahan pengutipan: Tanda [ tidak sah; nama "Muljana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda Kesalahan pengutipan: Tanda ][ tidak sah; nama "Muljana" didefinisikan berulang dengan isi berbeda]
7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume
de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. 18 (6): 1– 36. 8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003).
Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-
tijdperk". Dalam F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. hlm. vol. I p. 149. 10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012).
"Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya
Ditemukan di Sumatera Selatan" . Detik. Diakses tanggal 20 April 2012. 11. ^ a b c d Sucipto 2009, hlm. 30. 12. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo
Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Beberapa Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan. 13. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar
sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 14. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
15. ^ a b Forgotten Kingdoms in Sumatra,
Brill Archive 16. ^ Sejarah nasional Indonesia: Jaman
kuno . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. 17. ^ "Peneliti UI Temukan Bukti Kerajaan
Sriwijaya di Jambi" (dalam bahasa Indonesian). 15 July 2013. 18. ^ "Muaro Jambi Temple: The Legacy of
Ancient Jambi" . 25 September 2011. 19. ^ Syofiardi Bachyul Jb (November 25,
2014). "Muarajambi Temple: Jambi's monumental mystery" . 20. ^ Takashi Suzuki (25 December 2012).
ー
"Śrīvijaya―towards Chaiya The
History of Srivijaya" . Diakses tanggal 6 March 2013. 21. ^ Chand Chirayu Rajani (1974).
"Background To The Sri Vijaya StoryPart" (PDF). Journal of the Siam Society. 62: 174–211. 22. ^ George Coedès, Louis-Charles
Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 983-99614-1-1. 23. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila
budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979-413-967-X.
24. ^ Marwati Djoened Poesponegoro,
Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X 25. ^ Menurut Coedès, siddhayatra
merujuk kepada "ramuan ajaib". Sebuah terjemahan alternatif: Zoetmulder's Kamus Jawa Kuno (1995) menerjemahkan istilah ini sebagai "perjalanan yang makmur". 26. ^ Collins 2005, hlm. 8. 27. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali
(August 2011). PELAJARAN IPSSEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA
WIDYA. hlm. 86. ISBN 978-979-543708-6. 28. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age
of Commerce in Southeast Asia, 900– 1300 CE" (PDF). www.eastwestcenter.org. hlm. 252. Diakses tanggal 16 January 2013. 29. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois
Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 30. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva
en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 31. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956).
"Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI. 114: 254–264.
32. ^ Boechari (1966). "Preliminary report
on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI. III: 241–251. 33. ^ a b Halimi 2008, hlm. 120. 34. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya
bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 979-22-1351-1. 35. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and
Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77. 36. ^ a b c d Cœdès, George (1968). The
Indianized states of Southeast Asia . University of Hawaii Press. ISBN 9780824803681.
37. ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early
Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 175. ISBN 981-4155-67-5. 38. ^ Munoz. Early Kingdoms. hlm. 143. 39. ^ Kesalahan pengutipan: Tag [ tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Coedes 40. ^ Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya]
(dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: LKiS. hlm. 21. ISBN 9798451-62-7. 41. ^ a b c Munoz 2006, hlm. 150. 42. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel,
ed. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.
ISBN 978-979-8451-62-1. 43. ^ a b Munoz 2006, hlm. 151. 44. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas.
University of Madras. 45. ^ Kulke, H. (2009). Nagapattinam to
Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981230-936-5. 46. ^ Sucipto 2009, hlm. 29. 47. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17).
"Kerajaan Nan Sarunai" . Melayu online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 August 2012. Diakses tanggal 25 August 2012.
48. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms.
hlm. 165. 49. ^ Munoz 2006, hlm. 167. 50. ^ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His
Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. . 51. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan
Śrīvijaya'—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient. 80 (1): 159–180. line feed character di |title= pada posisi 73 (bantuan) 52. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti
Indonesia II: Selected Inscriptions from
the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru. 53. ^ Halimi 2008, hlm. 122. 54. ^ Sucipto 2009, hlm. 28. 55. ^ Halimi 2008, hlm. 121. 56. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in
the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. Kesalahan pengutipan: Tanda [ tidak sah; nama "Azra" didefinisikan berulang dengan isi berbeda 57. ^ Natawidjaja 1985, hlm. 28. 58. ^ Sobir, PhD, Firmansyah D. Siregar]
(2010), Budi Daya Semangka Panen 60
Hari , Penebar Swadaya: Jakarta. Hlm 5-6. Diakses 8 Juli 2013 59. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk
Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa . Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Diakses tanggal 20 April 2012. 60. ^ Cœdès, George (1996). The
Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 08248-0368-X. 61. ^ Collins 2005, hlm. 9. 62. ^ Melayu Online: Bambang Budi
Utomo 63. ^ Bukit Siguntang
64. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi
Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006 65. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences
in Southeast Asia 66. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure
from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze) 67. ^ Srivijaya Art In Thailand 68. ^ O. W. Wolters, (1967), Early
Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
69. ^ a b Fatimi, S.Q. (1963). "Two Letters
from the Maharaja to the Khalifah ". Islamic Studies (Islamabad), 2:1, hlm. 121-40. 70. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I.
hlm. 110-111. 71. ^ Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel,
ed. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-845162-1. 72. ^ Southeast Asia Digital Library: About
Malay 73. ^ Collins 2005, hlm. 12. 74. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality:
Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's
changing role in ASEAN Periksa nilai |url= (bantuan). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8. 75. ^ The new Golden Peninsula Games 76. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA
GAMES in Palembang
Bacaan Lanjutan D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955. D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and
Present. Boulder: Westview Press, 1997. Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast
Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
Stuart-Fox, Martin. A Short History of China
and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003. Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms
of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan
Tamadun Bangsa Melayu (dalam bahasa Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-612155-X Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu,
Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: KITLV
bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461537-4. Natawidjaja, P. Suparman (1985). Mengenal
Buah-Buahan yang Bergizi (dalam bahasa Indonesia). Jakarta: Pustaka Dian. Sucipto (2009). Suminto, ed.
Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (dalam bahasa Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0.
Pranala luar (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di
MelayuOnline.com (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang
dan Sriwijaya Society
(Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist
Empires (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of
Learning?
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php? title=Sriwijaya&oldid=14802915"
Terakhir disunting 4 hari yang lalu … Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali dinyatakan lain.