Sistem Pergaulan Dalam Islam 203 314

  • Uploaded by: kartini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sistem Pergaulan Dalam Islam 203 314 as PDF for free.

More details

  • Words: 29,154
  • Pages: 112
Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

203

WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI Wanita-wanita yang haram dinikahi telah disebutkan pengharamannya dengan jelas di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di dalam al-Quran, Allah SWT berfiman:

4 y#n=y™ ô‰s% $tΒ āωÎ) Ï!$|¡ÏiΨ9$# š∅ÏiΒ Νà2äτ!$t/#u yxs3tΡ $tΒ (#θßsÅ3Ζs? Ÿωuρ

∩⊄⊄∪ ¸ξ‹Î6y™ u!$y™uρ $\Fø)tΒuρ Zπt±Ås≈sù tβ$Ÿ2 …çµ‾ΡÎ)

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 22)

öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã

ôMtΒÌhãm

öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& ûÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ ˈF{$# ßN$oΨt/uρ öΝä3çG≈n=≈yzuρ ’Îû ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Í×‾≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ Νà6è?≡uθyzr&uρ

ΟçFù=yzyŠ (#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm

ôÏΒ tÉ‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Í×‾≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù €∅ÎγÎ/

©!$# āχÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ āωÎ) È÷tG÷zW{$# š÷t/ (#θãèyϑôfs? βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ô s nt

t ā Î Ï ! | Ïi $ z Ï à

o| ó ß ø$u *

V Ï §

Y à x

t x

204 © $ Sistem ā Î Pergaulan 3 y n y ô Dalam s t Islam ā Î È ÷t÷ W $ š

÷t ( ã y ô s

ru ö à

Î nô r

ôMs3n=tΒ $tΒ āωÎ) Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏΒ àM≈oΨ|Áósßϑø9$#uρ * ∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θà xî tβ%x.

∩⊄⊆∪ öΝà6Ï9≡sŒ u!#u‘uρ $¨Β Νä3s9 ¨≅Ïmé&uρ 4 öΝä3ø‹n=tæ «!$# |=≈tGÏ. ( öΝà6ãΨ≈yϑ÷ƒr&

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (TQS an-Nisâ [4]: 23-24) Sementara itu di dalam as-Sunnah, Abû Hurayrah RA telah meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

«‫ﺎ‬‫ﺎﹶﻟِﺘﻬ‬‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤِﺘﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮﹶﺃ ِﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺟ ﹸﻞ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻊ ﺍﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻳ‬ ‫» ﹶﻻ‬ “Janganlah seorang pria menghimpun seorang wanita dengan bibinya (dari pihak bapaknya) dan jangan pula antara dia dengan bibinya (dari pihak ibunya).” (Muttafaq ’alayhi) Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW telah bersabda:

«‫ﺩ ﹸﺓ‬ ‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻋ ﹶﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﺿ‬ ‫»ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ‬

Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

205

“Sesungguhnya persusuan itu (akan) mengharamkan apa yang diharamkan oleh (sebab) kelahiran.” Jadi, diharamkan secara mutlak menikahi ibu dan setiap wanita yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepadanya melalui kelahiran, baik ibu yang sebenarnya (makna hakikinya) yaitu wanita yang telah melahirkan Anda (ibu kandung), atau ibu dalam makna kiasan, yaitu wanita yang telah melahirkan orang tua anda (nenek), dan begitu seterusnya ke atas. Di antara mereka adalah: kedua nenek Anda (ibunya ibu atau ibunya bapak Anda), kedua nenek ibu Anda dan kedua nenek bapak Anda (kedua nenek buyut Anda), nenek dari nenek Anda dan seterusnya demikian silsilahnya hingga ke atas, baik yang mewarisi maupun yang tidak mewarisi. Semuanya adalah para ibu yang haram dinikahi. Diharamkan secara mutlak menikahi anak-anak perempuan Anda dan setiap wanita yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepada Anda melalui kelahiran. Mereka seperti: puteri kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan, dan begitu terus silsilahnya hingga ke bawah, baik yang mewarisi maupun yang tidak mewarisi. Semuanya merupakan anak-anak perempuan yang haram dinikahi. Diharamkan secara mutlak menikahi saudara-saudara perempuan dilihat dari tiga arah: dari ibu dan bapak kandung (saudara kandung perempuan); dari bapak (saudara perempuan sebapak); dan dari ibu (saudara perempuan seibu). Haram menikahi bibi (yaitu) saudara perempuan bapak, dilihat dari tiga sisi, serta saudara perempuan kakek dari pihak bapak dan dari pihak ibu serta seterusnya hingga ke atas; baik kakek yang dekat (kekerabatannya) atau pun kakek yang jauh; baik yang mewarisi atau pun yang tidak mewarisi. Haram menikahi bibi (yaitu) saudara perempuan ibu dilihat dari tiga sisi, serta saudara perempuan nenek dan seterusnya hingga ke atas. Sebab, setiap nenek adalah ibu, maka demikian pula setiap saudara perempuan nenek adalah bibi yang haram dinikahi.

206

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Haram menikahi keponakan perempuan (yaitu) anak saudara laki-laki dan setiap wanita yang bernisbat (memiliki hubungan nasab) kepada saudara laki-laki melalui kelahiran. Mereka semuanya adalah anak saudara laki-laki yang haram dinikahi, dari sisi manapun saudara laki-laki itu (artinya baik saudara laki-laki sekandung, sebapak atau seibu, pen.). Begitu juga keponakan perempuan anak saudara perempuan. Mereka juga termasuk wanita yang haram dinikahi. Haram menikahi ibu-ibu persusuan. Yaitu mereka yang telah menyusui Anda. Begitu juga ibu-ibu serta nenek-nenek mereka dan seterusnya hingga ke atas, sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam pertalian nasab. Juga setiap wanita yang ibunya telah menyusui Anda. Atau setiap wanita yang ibu Anda telah menyusui dia. Atau wanita yang Anda dan dia disusui oleh wanita yang sama. Atau Anda dan dia menyusu dari susu laki-laki yang sama, meskipun wanita yang menyusui beberapa orang yang berbeda, wanita itu adalah saudara perempuan Anda yang haram dinikahi. Haram menikahi ibunya isteri (ibu mertua). Siapa saja yang telah menikahi seorang wanita, maka haram baginya menikahi ibu wanita itu, baik karena hubungan nasab atau pun karena persusuan, baik kekerabatannya dekat maupun jauh, semata-mata karena adanya akad perkawinan dengan wanita itu; baik laki-laki itu telah menggaulinya maupun belum. Allah SWT berfirman:

öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã

ôMtΒÌhãm

öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& ûÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ ˈF{$# ßN$oΨt/uρ öΝä3çG≈n=≈yzuρ

∩⊄⊂∪ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ Νà6è?≡uθyzr&uρ

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua).” (TQS an-Nisâ [4]: 23)

Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

207

Seorang pria haram menikahi anak perempuan wanita yang telah digaulinya. Mereka adalah anak tiri perempuan. Mereka tidak haram untuk dinikahi, kecuali jika karena persetubuhan dengan ibuibu mereka. Mereka mencakup setiap anak tiri perempuan dari istri, baik karena adanya hubungan nasab atau pun karena persusuan, baik kekerabatannya dekat atau pun jauh, baik mewarisi ataupun tidak mewarisi, sesuai dengan apa yang telah disebutkan tentang anak-anak perempuan. Jika seorang pria telah bersetubuh dengan ibu mereka, maka mereka diharamkan bagi pria itu, baik mereka berada dalam pemeliharaannya atau pun tidak. Sebab, potongan ayat yang berbunyi:

∩⊄⊂∪ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ÉL≈©9$#

“.…yang berada dalam pemeliharaan kamu.” (TQS an-Nisâ [4]: 23) merupakan deskripsi (sifat) mereka pada kondisi mereka pada galibnya. Penggalan ayat tersebut tidak dinyatakan sebagai syarat. Sebaliknya, ungkapan:

∩⊄⊂∪ £ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ ÏiΒ

“….dari istri yang telah kamu campuri.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 23) ungkapan ini dinyatakan dalam kedudukan sebagai syarat karena pernyataan gamblang yang datang setelahnya:

∩⊄⊂∪ öΝà6ø‹n=tæ yy$oΨã_ Ÿξsù €∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ (#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù “…. tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 23) Karena itu, jika seroang pria belum mencampuri (menyetubuhi) seseorang wanita ia tidak diharamkan mengawini anak perempuan wanita itu (mantan anak tirinya). Haram secara mutlak mengawini menantu perempuan. Seorang pria haram mengawini istri dari anak-anak laki-lakinya (dan anak-

208

Sistem Pergaulan Dalam Islam

anaknya/cucu) dan istri dari cucu laki-laki dari anak perempuannya, baik karena hubungan nasab ataupun hubungan persusuan, baik hubungannya dekat atau pun jauh, semata karena akad, baik menantu perempuan itu sudah digauli suaminya atau pun belum. Haram mengawini istri-istri bapak (ibu tiri). Seorang pria haram mengawini ibu tirinya, baik hubungannya dekat atau pun jauh, mewarisi atau pun tidak mewarisi, baik karena hubungan nasab atau pun karena hubungan persusuan. Dalam hal ini, imam an-Nasâ’i menuturkan bahwa Barrâ’ ibn ‘Âzib pernah berkata:

‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺳﹶﻠﻨِﻲ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﹶﺃ‬:‫؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺗﺮِﻳﺪ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻳ‬‫ ﹶﺃ‬:‫ﺖ‬  ‫ﻳ ﹸﺔ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬‫ﺍ‬‫ﻪ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎﻟِﻲ‬‫ﺖ ﺧ‬  ‫ﻴ‬‫»ﹶﻟ ِﻘ‬ «‫ﻪ‬ ‫ﺘﹶﻠ‬‫ﻭ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻨ ﹶﻘ‬‫ﻋ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺿ ِﺮ‬  ‫ﻌ ِﺪ ِﻩ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ ِﻪ ِﻣ‬‫ﺮﹶﺃ ﹶﺓ ﹶﺃِﺑ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺝ ﺍ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺟ ٍﻞ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ِﺇﻟﹶﻰ‬ “Aku pernah bertemu dengan pamanku, dan ia membawa sebuah panji. Aku lalu bertanya: “Hendak pergi kemana engkau paman?” Ia menjawab: “Rasulullah SAW telah mengutusku kepada seorang pria yang telah mengawini istri bapaknya (ibu tirinya) sepeninggal bapaknya agar aku penggal lehernya atau aku bunuh.” (HR anNasâ’i dan al-Hâkim) Haram menghimpun dua orang wanita yang bersaudara, baik saudara karena nasab atau pun persusuan; baik keduanya saudara kandung, saudara sebapak atau saudara seibu; baik penggabungan itu dilakukan sebelum wanita itu digauli atau pun sesudah digauli. Jika keduanya telah terlanjur dikawini dalam satu akad, maka akadnya fasad. Haram menghimpun seorang wanita dengan bibinya dari pihak bapak atau bibinya dari pihak ibu. Hal itu dikarenakan apa yang diriwayatkan oleh Abû Hurayrah RA, ia menuturkan: “Rasulullah SAW pernah bersabda:

«‫ﺎ‬‫ﺎﹶﻟِﺘﻬ‬‫ﻦ ﺧ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤِﺘﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮﹶﺃ ِﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺟ ﹸﻞ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻊ ﺍﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻳ‬ ‫» ﹶﻻ‬ “Janganlah seorang pria menghimpun seorang wanita dengan bibinya (dari pihak bapaknya) dan jangan pula antara dia dengan bibinya (dari pihak ibunya).” (Muttafaq ’alayhi)

Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

209

Dalam riwayat Abû Dâwud, redaksinya:

‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ‬ ‫ــ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﹾﻟﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﺖ ﹶﺃﺧِﻴﻬ‬ ِ ‫ﻨ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ِﺑ‬ ‫ﻤ ﹸﺔ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤِﺘﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ ﹶﻜ‬‫ﺗ‬ ‫» ﹶﻻ‬ ‫ﻋﻠﹶــﻰ‬ ‫ﻯ‬‫ــﺮ‬‫ﺢ ﺍﹾﻟ ﹸﻜﺒ‬ ‫ﻨ ﹶﻜ‬‫ﺗ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ‬‫ﺧِﺘﻬ‬ ‫ﺖ ﹸﺃ‬ ِ ‫ﻨ‬ِ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺑ‬ ‫ﺎﹶﻟ ﹸﺔ‬‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﹾﻟﺨ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎﹶﻟِﺘﻬ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺧ‬ «‫ﻯ‬‫ﺒﺮ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻯ‬‫ﻐﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﻟ‬ ‫ﻯ‬‫ﻐﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺍﻟ‬ “Seorang wanita tidak boleh dinikahi di atas (pernikahan) bibinya dari pihak bapak; tidak juga bibinya itu dinikahi di atas (pernikahan) anak perempuan saudara laki-lakinya. Seorang wanita tidak boleh dinikahi di atas (pernikahan) bibinya dari pihak ibu; tidak juga bibinya itu dinikahi di atas (pernikahan) anak perempuan saudara wanitanya. Dan janganlah seorang wanita tua dinikahi di atas (pernikahan) wanita yang kecil dan jangan pula wanita yang kecil dinikahi di atas (pernikahan) wanita yang besar.” Asalnya terdapat di dalam Shahîh Bukhârî dan Shahîh Muslim. Haram mengawini wanita-wanita yang bersuami. Allah SWT menyebut mereka dengan istilah muhshanât (wanita yang memelihara kehormatannya), karena mereka telah menjaga kemaluannya (kehormatannya) melalui perkawinan. Diharamkan karena persusuan apa yang telah diharamkan karena nasab. Maka setiap wanita yang haram dinikahi karena adanya hubungan nasab, maka haram pula dinikahi karena adanya hubungan persusuan. Mereka adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi (baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu), anak perempuan saudara laki-laki, dan anak perempuan saudara perempuan, sesuai arahan yang telah dijelaskan dalam hal pengharaman karena nasab. Dan karena sabda Nabi SAW:

«‫ﺐ‬ ِ ‫ﺴ‬  ‫ﻨ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻡ ِﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻉ ﻣ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﺮﺿ‬ ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻡ ِﻣ‬ ‫ﺤﺮ‬  ‫ﻳ‬» “Haram karena faktor persusuan seperti yang diharapkan adalah sama dengan yang haram karena faktor hubungan nasab.” (Muttafaq ’alayhi)

210

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:

«‫ﺩ ﹸﺓ‬ ‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻮ ﹶﻻ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻋ ﹶﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﺿ‬ ‫»ﺍﻟ‬ Persusuan itu (akan) mengharamkan apa yang diharamkan oleh (sebab) kelahiran. ‘Aisyah RA juga meriwayatkan:

،‫ــﺎﺏ‬‫ﺤﺠ‬ ِ ‫ــ ِﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ‬‫ﺎ ﹸﺃﻧ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ ﹾﺄ ﹶﺫ ﹶﻥ‬‫ﺳﺘ‬ ‫ﺲ ﺍ‬ ِ ‫ﻴ‬‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﹶﺃﺑِﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬‫ﺢ ﹶﺃﺧ‬ ‫»ِﺇ ﱠﻥ ﹶﺃ ﹾﻓﹶﻠ‬ ‫ﺎ ﹶﺃﺑِﻲ‬‫ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﹶﺃﺧ‬، ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ــ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺘ ﹾﺄ ِﺫ ﹶﻥ‬‫ﺳ‬ ‫ﻰ ﹶﺃ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﷲ ﹶﻻ ﺁ ﹶﺫ ﹸﻥ ﹶﻟ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬:‫ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﺖ‬

،ِ‫ﻴ ـﺲ‬‫ﻌ‬ ‫ـﻲ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ ﹶﺃِﺑـ‬ ‫ﻣ ـ‬ ‫ﺘﻨِﻲ ﺍ‬‫ﻌ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺭ‬ ‫ ﹶﺃ‬‫ﻭﹶﻟ ِﻜﻦ‬ ،‫ﻌﻨِﻲ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻴ‬‫ﺲ ﹶﻟ‬ ِ ‫ﻴ‬‫ﻌ‬ ‫ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬ ‫ﺲ‬  ‫ﻴ‬‫ﺟ ﹶﻞ ﹶﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ‬،ِ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﷲ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﷲ  ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﺖ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺧ ﹾﻠ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﹶﻓ‬

‫ﻚ‬ ِ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﻪ ﹶﻓِﺈ‬ ‫ﻲ ﹶﻟ‬ ‫ ِﺍﹾﺋ ﹶﺬِﻧ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬.‫ﻴ ِﻪ‬‫ﺕ ﹶﺃ ِﺧ‬  ‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺘﻨِﻲ ﺍ‬‫ﻌ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ،‫ﻌﻨِﻲ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ‬ «‫ﻚ‬ ِ ‫ﻨ‬‫ﻳﻤِﻴ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺑ‬‫ﺗ ِﺮ‬ “Sungguh beruntung saudara Abu al-Qu‘ais. Ia telah meminta izin kepadaku setelah diturunkan ayat mengenai hijab. Aku berkata kepadanya: “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya hingga aku meminta izin kepada Raulullah SAW.” Sesungguhnya bukan (isteri) saudara Abu al-Qu’ais itu yang menyusuiku. Akan tetapi yang menyusuiku adalah isteri Abu al-Qu’ais. Maka aku pun masuk menemui Rasulullah, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pria itu bukan (isteri) dia yang menyusuiku. Akan tetapi isteri saudara laki-lakinya lah yang menyusuiku.” Beliau bersabda: “Izinkanlah dia karena dia adalah pamanmu. Sumpahmu itu bagaikan debu (tidak bernilai apa-apa).” (Muttafaq ‘alayhi) Faktor yang mengharamkan dalam hal persusuan adalah air susu itu sendiri. Pemilik air susu (shâhib al-laban) di mana seseorang pernah menyusu, menjadi haram bagi seseorang itu dan orang yang menyusu dari pemilik air susu itu. Baik pemilik air susu itu pria atau

Wanita-wanita yang Haram Dinikahi

211

wanita. Baik orang yang menyusu itu anak dari orang yang menyusuinya atau bukan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa, seseorang boleh mengawini wanita saudara perempuan dari saudara laki-laki sepersusuannya. Tetapi tidak boleh mengawini saudara sepersusuannya, baik pria atau pun wanita. Jika seseorang telah disusui oleh seorang wanita, maka wanita itu telah menjadi ibunya karena persusuan, dan suami wanita itu telah menjadi bapaknya karena persusuan. Anak-anak keduanya merupakan saudara-saudara sepersusuan bagi seseorang itu. Akan tetapi, saudara perempuan dari seseorang yang telah disusui bukan merupakan saudara bagi saudara-saudara sepersusuannya. Dengan demikian, bagi mereka (saudara-saudara sepersusuan) boleh mengawini saudara perempuan dari saudara sepersusuan mereka. Jadi faktor yang mengharamkan adalah air susu, bukan yang lain. Itulah wanita-wanita yang haram dinikahi. Wanita-wanita selain mereka tidak haram untuk dinikahi, sebagaimana firman Allah SWT:

∩⊄⊆∪ öΝà6Ï9≡sŒ u!#u‘uρ $¨Β Νä3s9 ¨≅Ïmé&uρ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 24) Kecuali wanita-wanita yang telah dijelaskan keharamannya, yaitu wanita-wanita musyrik dan wanita-wanita yang bersuami.

212

Sistem Pergaulan Dalam Islam

POLIGAMI Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya yang Mulia:

óΟçFø Åz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù āωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr&

∩⊂∪(#θä9θãès? “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW pada tahun kedelapan Hijriyah. Ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah isteri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelumnya sampai ayat ini diturunkan, jumlah isteri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Siapa saja yang menyimak dan memahami ayat ini, tampak jelas bahwa ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah isteri hingga hanya empat orang saja. Ayat ini bermakna, ‘Kawinilah oleh kalian wanita-wanita yang memang halal untuk kalian nikahi: dua, tiga, atau empat’. Bilangan matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua, tiga, atau empat) disebut secara

Poligami

213

sepadan dan berulang. Maknanya, ‘kawinilah oleh kalian wanita-wanita yang baik-baik yang telah dibatasi dengan jumlah ini: dua-dua, tigatiga, atau empat-empat’. Seruan ayat ini ditujukan kepada manusia secara keseluruhan (al-khithâb li al-jamî‘). Karena itu, pengulangan itu harus dilakukan agar mengena kepada setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, dengan syarat, jumlah wanita yang hendak dinikahinya itu dibatasi dengan hitungan ini (tidak boleh lebih dari empat orang). Yakni agar seruan itu mengena kepada setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, dengan batasan jumlah hitungan yang telah disebutkan untuknya (yakni tidak lebih dari empat orang, pen). Hal itu seperti ketika kita berkata kepada sekelompok orang, ‘Bagilah oleh kalian harta ini’. Misalnya, harta itu sebanyak 1000 dinar. Kemudian kita mengatakan, ‘Bagilah oleh kalian harta itu sebanyak dua dinar dua dinar, tiga dinar tiga dinar, atau empat dinar empat dinar’. Jika bilangan yang anda ucapkan itu dalam bentuk mufrad (tanpa pengulangan), tentu tidak akan ada artinya. Karena itu, pengungkapan dengan bentuk matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat) di dalam ayat di atas merupakan suatu keharusan sehingga apa yang ingin diungkapkan berupa jumlah (hitungan) tertentu itu bisa mengena setiap orang. Allah SWT berfirman bahwa hendaknya setiap orang dari kalian mengawini wanita-wanita yang baik-baik: dua, tiga, atau empat. Ini artinya, kawinilah oleh kalian semua dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat orang wanita. Yakni setiap orang dari kalian (boleh) menikahi dua, tiga atau empat orang wanita. Sedangkan firman Allah SWT:

∩⊂∪ ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFø Åz ÷βÎ*sù

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Maknanya, ‘Jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil di antara sejumlah wanita tersebut, maka pilihlah seorang wanita saja dan tinggalkanlah (keinginan) untuk menghimpun empat orang wanita’. Setiap perkara selalu berputar bersama keadilan. Maka di mana saja

214

Sistem Pergaulan Dalam Islam

kalian menjumpai keadilan itu, maka kalian harus mengambilnya. Dan kenyataan bahwa kalian memilih satu orang wanita saja, itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Karena itu, frase, “adnâ allâ ta’ûlû (lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)”, maknanya adalah “lebih dekat kepada sikap kalian tidak berbuat aniaya”. Karena lafazh al-’awl maknanya adalah al-jûr (aniaya). Dikatakan, ‘âla al-Hâkim idzâ jâra (Hakim itu telah berbuat aniaya jika dia bertindak zalim -tidak adil-). ‘Aisyah RA menuturkan dari Nabi SAW:

«‫ﺍ‬‫ﺭﻭ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﺗ‬ ‫ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻻ‬:‫ﺍ‬‫ﻮﹸﻟﻮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫»ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻻ‬ “Agar kamu tidak berbuat aniaya, yakni agar kamu tidak berlaku zalim (tidak adil). (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya) Ayat al-Quran tersebut memperbolehkan poligami, sekaligus membatasinya dengan bilangan empat. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara isteri-isterinya. Ayat tersebut menganjurkan untuk membatasi dengan satu isteri saja, dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil. Sebab, membatasi dengan satu isteri saja dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil merupakan tindakan yang lebih dekat kepada tidak berbuat zalim. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim. Hanya saja, wajib dipahami bahwa keadilan di sini bukanlah syarat bagi kebolehan berpoligami. Melainkan keadilan itu hanya merupakan hukum bagi kondisi seorang laki-laki yang menikahi sejumlah wanita. Yaitu tentang apa yang wajib ada pada dirinya dalam kondisi ia berpoligami. Dan merupakan dorongan untuk membatasi dengan satu isteri saja dalam kondisi takut tidak dapat berlaku adil. Hal itu karena makna kalimat dalam ayat tersebut telah sempurna pada firman Allah SWT:

∩⊂∪ yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3)

Poligami

215

Ini artinya adanya kebolehan untuk terjadinya hitungan tersebut (berpoligami) secara mutlak. Makna kalimat ini telah berhenti. Kemudian disambung dengan kalimat yang lain dan ungkapan yang lain pula. Maka Allah SWT berfirman: “Fa in khiftum (Kemudian, jika kamu takut ...). Kalimat ini tidak bisa berposisi sebagai syarat, karena tidak bersambung dengan kalimat pertama dengan hubungan syarat. Akan tetapi kalimat tersebut merupakan kalimat selanjutnya. Seandainya Allah menghendakinya sebagai syarat pasti akan berfirman, “fa ankihû mâ thâba lakum min an-nisâ’ matsnâ wa tsulâtsa wa rubâ’a in ’adaltum (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat, jika kalian adil). Akan tetapi, ungkapan seperti itu tidak ada. Sehingga bisa dipastikan bahwa keadilan bukanlah syarat. Keadilan tidak lain merupakan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang pertama. Hukum pertama memperbolehkan berpoligami sampai batas maksimal empat orang isteri. Setelah itu, datang hukum lain, yaitu bahwa yang lebih utama membatasi satu orang isteri saja, jika ia memandang bahwa berpoligami akan menjadikannya tidak dapat berlaku adil di antara isteri-isterinya. Atas dasar ini jelas sekali bahwa, Allah SWT telah memperbolehkan poligami tanpa ada pembatas (qayad), syarat atau ‘illat apapun. Bahkan setiap Muslim boleh mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang ia senangi. Karena itu, kita mendapati Allah SWT berfirman: “mâ thâba lakum (yang kamu senangi)”. Yaitu wanitawanita yang kamu dapati dan kamu senangi. Jelas pula bahwa Allah SWT telah memerintahkan kita untuk berbuat adil di antara isteri-isteri. Sekaligus Allah SWT menganjurkan kepada kita dalam kondisi takut terjatuh ke dalam kezaliman di antara isteri-isteri agar kita membatasi dengan satu orang isteri saja. Karena membatasi dengan satu orang isteri saja adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Adapun keadilan yang dituntut kepada seorang suami terhadap para isterinya, itu bukanlah keadilan secara mutlak (dalam segala hal). Melainkan adalah keadilan suami isteri di antara isteri-isteri yang masih berada dalam batas kemampuan seorang manusia untuk merealisasikannya. Sebab, Allah SWT sendiri tidak membebani manusia

216

Sistem Pergaulan Dalam Islam

kecuali dalam batas-batas kesanggupannya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

∩⊄∇∉∪ $yγyèó™ãρ āωÎ) $²¡ø tΡ ª!$# ß#Ïk=s3ムŸω “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS al-Baqarah [2]: 286) Memang benar, kata ta‘dilû yang tercantum dalam ayat di atas berbentuk umum. Firman Allah SWT:

∩⊂∪ (#θä9ω÷ès? āωr& óΟçFø Åz ÷βÎ*sù “Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Kata adil dalam ayat tersebut berbentuk umum mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-takhsîs (dikhususkan) oleh ayat lain hanya dalam sesuatu yang mampu direalisasikan oleh manusia. Allah SWT berfirman:

(#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ

∩⊇⊄∪ Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 129) Allah SWT telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa mustahil kita bisa berbuat adil dan berlaku sama diantara isteri-isteri, sampai tidak ada kecenderungan sama sekali (kepada salah satunya), dan tidak lebih serta tidak kurang dari apa yang telah diwajibkan kita penuhi untuk mereka. Karena itu, Allah mengangkat dari kalian kewajiban untuk mewujudkan keadilan yang sempurna dan paling tinggi. Keadilan yang dibebankan kepada kamu tidak lain adalah keadilan yang mampu kamu

Poligami

217

wujudkan, dengan syarat, kamu telah mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang ada padamu. Sebab, pemberian taklif (beban) di luar kemampuan adalah termasuk kezaliman. Padahal, Allah SWT sendiri telah berfirman:

∩⊆∪ #Y‰tnr& y7•/u‘ ÞΟÎ=ôàtƒ Ÿωuρ

“Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun”. (TQS al-Kahfi [18]: 49) Dan firman Allah SWT:

∩⊇⊄∪ È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai).” (TQS an-Nisâ’ [4]: 129) Merupakan catatan sekaligus komentar terhadap firman-Nya:

∩⊇⊄∪ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS anNisâ’ [4]: 129) Pernyataan tersebut merupakan dalil bahwa maknanya adalah “kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil dalam membagi cinta dan kasih-sayang”. Mafhumnya adalah adanya kemampuan untuk berbuat adil dalam hal selain cinta dan kasih sayang. Inilah bentuk keadilan yang diwajibkan di dalam ayat sebelumnya. Karenanya, keadilan yang dituntut itu dikhususkan dalam hal selain cinta dan kasihsayang. Sebaliknya, cinta (kasih-sayang) dan jima’ (persetubuhan) dikecualikan dari kewajiban berlaku adil itu. Karena itu, dalam dua perkara ini, tidak ada kewajiban untuk berlaku adil, karena manusia sekali-kali tidak akan mampu berlaku adil dalam hal cinta dan kasihsayangnya. Pengertian semacam ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia menuturkan:

‫ﻲ‬ ‫ﺴ ِﻤ‬  ‫ﻫﺬﹶﺍ ﹶﻗ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﺍﹶﻟﱠﻠ‬:‫ﻮ ﹸﻝ‬ ‫ﻳ ﹸﻘ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻌ ِﺪ ﹸﻝ‬ ‫ﻴ‬‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻳ ﹶﻘ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ «‫ﻣﻠِــﻚ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ ﹶﺃ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻤِﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻲ ِﻓ‬ ‫ﻤِﻨ‬ ‫ﺗﹸﻠ‬ ‫ﻼ‬ ‫ ﹶﻓ ﹶ‬،‫ﻣِﻠﻚ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻴﻤ‬‫ِﻓ‬

218

‫ﻲ‬ ‫ﺴ ِﻤ‬  ‫ﻫﺬﹶﺍ ﹶﻗ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﺍﹶﻟﱠﻠ‬:‫ﻮ ﹸﻝ‬ ‫ﻳ ﹸﻘ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻌ ِﺪ ﹸﻝ‬ ‫ﻴ‬‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻳ ﹶﻘ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ «‫ﻚ‬  ‫ﻣِﻠ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ ﹶﺃ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻤِﻠ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻲ ِﻓ‬ ‫ﻤِﻨ‬ ‫ﺗﹸﻠ‬ ‫ﻼ‬ ‫ ﹶﻓ ﹶ‬،‫ﻣِﻠﻚ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻴﻤ‬‫ِﻓ‬

Sistem Pergaulan Dalam Islam

“Rasulullah SAW membagi (giliran diantara isterinya) dan berupaya berlaku adil lalu beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya inilah pembagianku dalam apa yang aku miliki (kuasai). Maka janganlah Engkau cela aku dalam hal yang Engkau miliki (kuasai) sementara tidak aku miliki (kuasai)” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân) Maksud (yang dikuasasi Allah dan tidak dikuasai oleh Nabi SAW) adalah hati beliau. Juga diriwayatkan dari Ibn Abbâs RA tentang firman Allah SWT:

∩⊇⊄∪ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil.” (TQS anNisâ’ [4]: 129) Ibn ‘Abbâs RA berkata: “Yakni dalam masalah cinta dan persetubuhan”. Dalam ayat di atas, Allah SWT telah memerintahkan untuk menjauhkan diri dari terlalu cenderung (kullu al-mayl). Hal itu artinya, Allah SWT memperbolehkan untuk cenderung (biasa saja tidak terlalu, pen.). Sebab, mafhum dari larangan atas terlalu cenderung (kullu almayl) darinya dapat dipahami kebolehan untuk cenderung (al-mayl) – tidak sampai terlalu cenderung, pen.–. Hal itu seperti larangan untuk bersikap boros, sebagaimana firman-Nya:

∩⊄∪ ÅÝó¡t6ø9$# ¨≅ä. $yγôÜÝ¡ö6s? Ÿωuρ

“Dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (TQS al-Isrâ’ [17]: 29) Artinya, boleh mengulurkan tangan (membelanjakan harta asal tidak sampai bersikap boros, pen.). Atas dasar ini, Allah SWT telah memperbolehkan suami untuk bersikap cenderung kepada sebagian isterinya. Akan tetapi Allah melarang kecenderungan itu sampai mencakup segala hal. Namun

Poligami

219

cenderung yang dibolehkan itu adalah cenderung dalam hal yang sesuai dengan kecenderungan, yaitu cinta (kasih-sayang) dan hasrat seksual. Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, jauhilah oleh kalian sikap terlalu cenderung, karena jika terlalu cenderung itu terjadi dari kalian akan menjadikan seorang wanita atau isteri (yang diabaikan, pen) terkatung-katung, yaitu seperti tidak memiliki suami tetapi belum diceraikan. Telah diriwayatkan dari Abû Hurayrah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda:

‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻯ ﺟ‬‫ﺧﺮ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹾﺍ ُﻷ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺍ‬‫ﺣﺪ‬ ‫ﻴ ﹸﻞ ِﻟِﺈ‬‫ﻳ ِﻤ‬ ‫ﺎ ِﻥ‬‫ﺮﹶﺃﺗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻪ ِﺍ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ‬  ‫ﻧ‬‫ﻦ ﻛﹶﺎ‬ ‫ﻣ‬ » «‫ﻼ‬ ‫ﺎِﺋ ﹰ‬‫ﻭ ﻣ‬ ‫ﺎ ِﻗﻄﹰﺎ ﹶﺃ‬‫ﻴ ِﻪ ﺳ‬‫ﺷ ﹶﻘ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺠ ِﺮ ﹶﺃ‬  ‫ﻳ‬ “Siapa saja yang mempunyai dua orang isteri, lalu ia lebih cenderung kepada salah satu dan mengabaikan yang lain, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti berjalan sementara salah satu kakinya lumpuh atau pincang.” (HR Ibn Hibbân di dalam Shahîh-nya) Atas dasar ini, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah berlaku sama di antara isteri-isterinya dalam hal yang ia mampu, seperti menginap di malam hari, dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Sedangkan, dalam perkara-perkara yang termasuk ke dalam pengertian kecenderungan, yaitu masalah cinta dan hasrat seksual, maka tidak diwajibkan keadilan di dalamnya, karena hal itu memang berada di luar kemampuan, dan hal itu dikecualikan (dari kewajiban berlaku adil) oleh nash al-Quran. Inilah pembahasan mengenai topik poligami sebagaimana yang dinyatakan oleh nash-nash syariah. Dengan melakukan pengkajian terhadap nash-nash tersebut, memperhatikan batas-batas pengertiannya baik secara bahasa maupun syariah, dan apa yang ditunjukkan oleh serta apa yang digali dari nash-nash tersebut, menjadi jelaslah bahwa Allah SWT telah memperbolehkan poligami secara umum tanpa adanya suatu pembatas (qayad) atau syarat apa pun. Nash-nash tentangnya dinyatakan tidak mengandung ‘illat apa pun. Bahkan, Allah SWT

220

Sistem Pergaulan Dalam Islam

mengungkapkannya dengan ungkapan yang menunjukkan penafian terhadap upaya penetapan‘illat. Maka Allah SWT berfirman:

∩⊂∪ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ “….wanita-wanita yang kamu senangi.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Karena itu, kita wajib berhenti pada batas-batas nash syariah dan hukum syara’ yang digali dari nash-nash tersebut. Kita tidak boleh menetapkan ‘illat atas hukum ini dengan suatu ’illat apapun; baik ’illat keadilan, kebutuhan, dan ’illat-’illat lainnya. Sebab, nash tersebut tidak menyatakan ’illat (sebab disyariatkannya) hukum, dan tidak terdapat nash apapun yang menyatakan‘illat untuk hukum tersebut. Padahal, ‘illat suatu hukum harus merupakan ’illat syar‘îyyah. Yaitu wajib terdapat nash yang menyatakan ’illat tersebut sehingga hukum yang digali menggunakan ’illat tersebut layak dinilai sebagai hukum syara’. Jika ‘illat yang dikemukakan merupakan ’illat ‘aqliyyah (’illat yang ditetapkan oleh akal secara rasional, pen.) atau tidak dinyatakan oleh satu nash syara’ pun, maka hukum yang digali menggunakan ‘illat tersebut tidak bisa nilai sebagai hukum syara’. Melainkan hukum itu merupakan hukum positif (hukmun wadh’iyyun/hukum yang dibuat atau ditetapkan oleh manusia, pen.). Hukum semacam itu haram diadopsi dan haram pula diterapkan, karena merupakan hukum kufur. Sebab, setiap hukum yang tidak syar’iy merupakan hukum kufur. Terlebih definisi hukum syara’ sebagai khithâb asy-Syâri‘ (Seruan Sang Pembuat Hukum) meniscayakan hukum tersebut harus diambil dari seruan asy-Syâri’ (Sang Pembuat Hukum yakni Allah SWT), baik secara tekstual (nashan), kontekstual (mafhûman), atau secara penunjukkan (dalâlatan); bisa juga dengan adanya tanda/indikasi (amârah) yang terkandung di dalam nash yang menunjukkan atas suatu hukum syara’, di mana setiap hukum yang mengadung tanda/indikasi (amârah) tersebut dinilai sebagai hukum syara’. Amârah (tanda/indikasi) tersebut merupakan ‘illat syar‘îyyah yang dinyatakan di dalam nash, baik secara jelas (sharâhatan), berdasarkan penunjukkan (dalâlatan), melalui penggalian (istinbâthan), atau secara analogi (qiyâsan). Jika amârah atau ‘illat ini tidak dinyatakan di dalam nash, maka tidak ada nilainya.

Poligami

221

Dari sini, jelas sekali bahwa penetapan ‘illat-‘illat apa pun atas hukum kebolehan poligami tidak boleh dilakukan. Karena di dalam seruan Allah SWT tidak terdapat ‘illat apa pun untuk hukum tersebut. Sementara, ‘illat apa pun tidak akan memiliki nilai dalam proses penetapan suatu hukum sebagai hukum syara’, kecuali jika ‘illat tersebut memang terdapat/dinyatakan di dalam seruan Allah SWT. Namun demikian, tidak bolehnya mencari-cari atau menetapkan ‘illat suatu hukum syara’ bukan berarti tidak boleh menjelaskan fakta yang terjadi, berupa implikasi dari hukum syara’ tersebut dan fakta masalah yang dipecahkan. Akan tetapi hal itu hanya merupakan penjelasan atas fakta, bukan penetapan ’illat atas hukum. Terdapat perbedaan antara penjelasan fakta dengan penetapan ‘illat hukum. Penetapan ‘illat hukum dengan suatu ’illat tertentu, ’illat tersebut wajib ada di dalamnya secara terus menerus dan setiap hukum lain yang di dalamnya terdapat ’illat itu bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada hukum tersebut. Sebaliknya, penjelasan fakta merupakan penjelasan atas apa yang mesti terjadi berdasarkan fakta tersebut. Apa yang semestinya terjadi itu tidak secara terus menerus ada di dalam perkara (fakta) itu dan perkara yang lain tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) kepada perkara (fakta) tersebut. Berdasarkan hal itu, tampak jelas di antara implikasi poligami adalah bahwa masyarakat yang di dalamnya diperbolehkan poligami tidak akan ditemukan adanya banyak wanita simpanan. Sebaliknya, masyarakat yang di dalamnya poligami dihalangi/dilarang akan dijumpai banyak wanita simpanan. Lebih dari itu, poligami ternyata memecahkan berbagai problem yang muncul di tengah suatu komunitas manusia dengan sifatnya sebagai komunitas manusia. Berbagai problem yang mengemuka tersebut perlu disolusi oleh praktek poligami. Beberapa dari contoh problem tersebut antara lain: 1. Ditemukan tabiat-tabiat yang tidak biasa pada sebagian pria, yakni tabiat yang tidak bisa puas hanya dengan satu orang isteri. Akibatnya, mereka bisa saja menumpahkan hasrat seksualnya yang kuat itu kepada isterinya dan dapat berdampak buruk bagi isterinya itu. Atau bisa juga mereka akan mencari wanita lain jika terbuka pintu di hadapannya untuk melangsungkan pernikahan lagi yang

222

Sistem Pergaulan Dalam Islam

kedua, ketiga dan keempat. Dalam keadaan demikian (ketika tidak ada peluang untuk berpoligami, pen), di antara dharar (kerusakan) yang akan muncul adalah berupa tersebar luasnya kekejian (perzinaan) di tengah-tengah manusia. Juga akan meluasnya berbagai prasangka dan kecurigaan di antara anggota-anggota keluarga (masyarakat). Karena itu, bagi orang yang memiliki tabiat seperti ini, harus ada peluang yang terbuka di hadapannya untuk bisa memenuhi dorongan seksualnya yang kuat itu dengan pemenuhan yang halal yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. 2. Adakalanya terdapat wanita (isteri) yang mandul, tidak bisa memiliki anak. Akan tetapi, suaminya sangat mencintai dia dan sebaliknya dia pun sangat mencintai suaminya. Rasa cinta di antara keduanya itu menjadikan keduanya tetap mempertahankan keberlangsungan mahligai kehidupan rumah-tangga mereka dengan penuh ketenteraman. Namun, sang suami ingin mempunyai anak dan cinta kepada anak-anak. Dalam keadaan demikian, jika ia tidak diperbolehkan untuk menikahi wanita yang lain, sementara ruang di hadapannya (untuk memiliki anak) terasa sempit, maka boleh jadi ia akan menceraikan isteri pertamanya itu. Dalam kondisi demikian, ketenangan rumah tangga itu telah hancur dan ketenteraman kehidupan suami isteri pun hancur pula. Boleh jadi pula, ia akan terhalang sama sekali untuk merasakan kebahagiaan memiliki keturunan dan anak-anak. Dalam kondisi semacam ini telah terjadi pemberangusan terhadap penampakkan rasa kebapakan yang merupakan bagian dari gharîzah an-naw’. Karena itu, seorang suami yang seperti ini harus mendapatkan kesempatan yang terbuka untuk menikah lagi dengan wanita lain agar mendapatkan anak-keturunan yang didambakannya. 3. Kadang-kadang terdapat isteri yang menderita sakit sehingga tidak bisa melakukan hubungan suami-isteri, atau tidak dapat melakukan tugas mengurus rumah, suami, dan anak-anaknya. Padahal, sang isteri memiliki kedudukan yang istimewa di mata suaminya, dan sangat dicintai oleh suaminya. Si suami pun tidak ingin

Poligami

223

menceraikannya. Sementara pada saat yang sama, si suami itu merasa tidak akan sanggup hidup bersama isterinya (yang sakit itu) itu tanpa adanya isteri yang lain. Dalam kondisi semacam ini, tentu harus dibuka pintu kesempatan bagi sang suami untuk menikahi lebih dari satu isteri. 4. Kadang terjadi berbagai peperangan atau pergolakan fisik yang mengakibatkan ribuan, bahkan jutaan pria menjadi korban (mati). Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara jumlah kaum pria dan wanita. Hal itu seperti yang pernah terjadi secara riil pada Perang Dunia I dan II yang malanda dunia, khususnya di daratan Eropa. Jika kaum pria tidak bisa mengawini lebih dari satu wanita, lalu apa yang harus dilakukan oleh sejumlah besar kaum wanita yang ada? Mereka akan hidup tanpa bisa mengecap nikmatnya kehidupan berumah-tangga sekaligus ketenteraman dan ketenangan hidup sebagai suami-isteri. Lebih dari itu, kondisi semacam ini dapat menimbulkan adanya bahaya yang dapat mengancam nilai-nilai akhlak akibat munculnya naluri seksual yang tidak bisa dibendung. 5. Acapkali ditemukan bahwa angka kelahiran di suatu umat, bangsa atau wilayah tertentu tidak seimbang antara angka kelahiran lakilaki dan perempuan. Kadang-kadang jumlah kaum perempuannya lebih banyak dari pada jumlah kaum laki-lakinya. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara populasi laki-laki dan populasi perempuan. Realitas seperti ini nyaris melanda sebagian besar bangsa dan umat di dunia. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada solusi yang dapat mengatasi problematika ini, kecuali dengan dibolehkannya poligami. Itulah beberapa problem riil yang terjadi di tengah-tengah komunitas manusia dan melanda sejumlah bangsa atau umat. Jika poligami dilarang, problem-problem seperti itu akan tetap berlangsung, tanpa mendapat solusi. Sebab tidak ada solusi atas problem-problem itu kecuali dengan poligami. Dari sinilah, poligami harus diperbolehkan sehingga problem yang menimpa umat manusia itu dapat diselesaikan.

224

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Islam sendiri telah datang memperbolehkan poligami dan tidak sampai mewajibkannya. Kebolehan poligami merupakan suatu keniscayaan. Hanya saja, harus diketahui bahwa berbagai kondisi yang dikemukakan di atas atau yang semacamnya, yang adakalanya terjadi menimpa umat manusia atau suatu komunitas manusia, hanyalah merupakan problematika yang secara riil (mungkin) terjadi. Hal itu bukan merupakan ‘illat bagi kebolehan poligami, dan bukan pula merupakan syarat untuk berpoligami. Bahkan secara mutlak, seorang pria boleh mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita, baik tengah terjadi persoalan-persoalan yang membutuhkan pemecahan berupa poligami atau pun tidak. Sebab, Allah SWT telah berfirman:

∩⊂∪ yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Dalam ayat ini Allah SWT berfirman: “mâ thâba (yang disenangi)” dan menetapkannya berbentuk umum, tanpa ada batasan (qayad) atau syarat apa pun. Adapun membatasi diri dengan seorang isteri saja, syara’ telah menganjurkannya dalam satu kondisi saja. Yaitu dalam kondisi ketika takut tidak dapat berlaku adil. Di luar kondisi ini, tidak dinyatakan di dalam satu nash pun adanya dorongan dari syara’ untuk menikahi satu isteri saja. Seiring bahwa poligami merupakan hukum syara’ yang dinyatakan di dalam al-Quran secara jelas, maka tsaqafah kapitalisme dan propaganda Barat menyerang Islam sendiri tanpa menyerang agama-agama lainnya. Mereka telah menggambarkan poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Mereka menjadikan poligami sebagai suatu alat untuk melemahkan dan menikam agama (Islam). Faktor yang mendorong mereka melakukan tindakan semacam itu bukan karena adanya ‘cacat’ yang –dalam pandangan mereka– terdapat di dalam hukum-hukum Allah, melainkan semata-mata dilandasi oleh motif untuk menikam Islam, dan tidak ada motif lainnya. Propaganda ini telah mempengaruhi kaum Muslim, terutama pihak-pihak pemegang

Poligami

225

kekuasaan dan kaum intelektual. Sehingga hal itu mendorong banyak dari mereka yang masih memiliki perasaan Islami bangkit membela Islam. Mereka lalu berusaha menakwilkan nash-nash syara’ secara batil untuk melarang poligami. Hal itu mereka lakukan akibat pengaruh propaganda batil yang terus digulirkan oleh musuh-musuh Islam. Karena itu, kaum Muslim harus diingatkan bahwa sesuatu yang terpuji adalah apa saja yang dipuji oleh syara’ dan sesuatu yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh syara’. Kaum Muslim juga harus diingatkan bahwa apa saja yang diperbolehkan oleh syara’ merupakan sesuatu yang terpuji, dan sebaliknya apa saja yang diharamkan oleh syara’ merupakan sesuatu yang tercela. Kaum Muslim juga harus diingatkan bahwa poligami, baik memiliki pengaruh yang dapat dirasakan dan dia pandang terpuji, atau pun tidak; dan baik poligami itu memecahkan problem yang terjadi atau tidak, sesungguhnya syara’ telah memperbolehkannya. Al-Quran telah menyatakan kebolehan plogami itu. Maka poligami merupakan sesuatu (tindakan) yang terpuji. Sebaliknya, tindakan melarang poligami merupakan perbuatan yang tercela, karena tindakan demikian merupakan bagian dari hukum kufur. Harus menjadi sesuatu yang sudah jelas bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban atau sunnah bagi kaum Muslim. Tetapi Islam hanya menjadikan poligami sebagai sesuatu yang mubah, yakni sesuatu yang boleh kaum Muslim lakukan jika memang mereka menghendakinya. Kenyataan bahwa Islam menjadikan poligami itu sebagai sesuatu yang mubah, artinya bahwa Islam telah meletakkan masalah poligami itu di tangan manusia sebagai suatu solusi yang bisa mereka gunakan setiap kali memang harus digunakan. Islam memperbolehkan manusia untuk tidak mengharamkan diri mereka sendiri dari wanita-wanita yang mereka senangi, jika mereka memang cenderung terhadap poligami itu dalam pandangan mereka. Jadi, adanya kebolehan poligami dan bukan sebagai kewajiban, hal itu menjadikan poligami sebagai solusi yang paling efektif yang dimiliki oleh umat manusia untuk memecahkan problem suatu komunitas dan masyarakat.

226

Sistem Pergaulan Dalam Islam

PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD SAW Allah SWT berfirman:

óΟçFø Åz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù

∩⊂∪ öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? āωr&

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 3) Ayat ini turun pada akhir tahun kedelapan Hijriah. Waktu itu Rasulullah SAW telah membangun rumah tangga dengan seluruh isteri beliau. Pada saat diturunkan ayat tersebut, beliau beristerikan lebih dari empat orang wanita. Akan tetapi, beliau SAW tidak menceraikan seorang pun dari mereka, bahkan beliau tetap memperisteri mereka semuanya. Hal itu karena di antara kekhususan bagi beliau, adalah boleh menikahi (memiliki) lebih dari empat orang isteri pada satu waktu. Dan hal itu tidak berlaku bagi kaum Muslim pada umumnya. Telah jelas bahwa hal itu merupakan kekhususan Rasulullah dari kenyataan bahwa beliau menikahi lebih dari empat wanita dan tetap mempertahankan mereka semuanya, meskipun telah diturunkan ayat yang membatasi jumlah isteri tidak boleh lebih dari empat orang. Karena

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

227

perbuatan Nabi SAW tentu tidak akan bertentangan dengan perkataan yang beliau ucapkan. Jika terdapat kontradiksi antara perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW, maka perbuatan itu adalah khusus diperuntukkan bagi beliau, sedangkan perkataan beliau tetap berlaku umum bagi kaum Muslim seluruhnya. Sebab sebagaimana telah ditetapkan di dalam kaedah ushul fikih bahwa perbuatan Nabi SAW tidak akan bertentangan dengan perkataan beliau yang khusus ditujukan bagi umatnya. Kalau perbuatan Nabi SAW bertentangan dengan perkataan beliau kepada umat, berarti perbuatan tersebut khusus berlaku hanya untuk beliau. Perintah Nabi SAW yang khusus ditujukan kepada umat beliau, statusnya lebih khusus dari dalil-dalil peneladanan suatu perkara dengan mengikuti beliau baik perkataan maupun perbuatan. Karena itu kaum Muslim tidak boleh meneladani Nabi SAW dalam perbuatan yang bertentangan dengan perkara-perkara yang diperintahkan kepada mereka. Terlebih, kebolehan beliau menikahi lebih dari empat orang wanita dan mengawini wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau, dan yang lainnya, hal itu telah ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Quran al-Karim. Allah SWT berfirman:

$tΒuρ €∅èδu‘θã_é& |MøŠs?#u ûÉL≈©9$# y7y_≡uρø—r& y7s9 $oΨù=n=ômr& !$‾ΡÎ) ÷É<¨Ζ9$# $y㕃r'‾≈tƒ

y7ÏG≈£ϑtã ÏN$oΨt/uρ y7ÏiΗxå ÏN$oΨt/uρ šø‹n=tã ª!$# u!$sùr& !$£ϑÏΒ y7ãΨ‹Ïϑtƒ ôMs3n=tΒ

βÎ) ºπoΨÏΒ÷σ•Β Zοr&z÷ö∆$#uρ šyètΒ tβöy_$yδ ÉL≈©9$# y7ÏG≈n=≈yz ÏN$oΨt/uρ y7Ï9%s{ ÏN$oΨt/uρ ÏΒ y7©9 Zπ|ÁÏ9%s{ $uηysÅ3ΖtFó¡o„ βr& ÷É<¨Ζ9$# yŠ#u‘r& ÷βÎ) ÄcÉ<¨Ζ=Ï9 $pκ|¦ø tΡ ôMt7yδuρ ôMx6n=tΒ $tΒuρ öΝÎγÅ_≡uρø—r& þ’Îû öΝÎγøŠn=tæ $oΨôÊtsù $tΒ $uΖ÷ΚÎ=tæ ô‰s% 3 tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# Èβρߊ

∩∈⊃∪ Óltym šø‹n=tã tβθä3tƒ ŸξøŠs3Ï9 öΝßγãΖ≈yϑ÷ƒr&

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteriisterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak

228

Sistem Pergaulan Dalam Islam

perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteriisteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.” (TQS al-Ahzâb [33]: 50) Ayat ini menyatakan: “Khâlishatan laka min dûn al-mu’minîn (sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin). Kata khâlishah adalah mashdar mu’akkad (gerund yang menguatkan atau mempertegas) semua hal yang disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Kalimat itu berarti, “Kami (Allah) telah mengkhususkan bagimu penghalalan atas apa saja yang telah Kami halalkan untukmu secara khusus”. Dalil bahwa hal itu mencakup apa saja yang telah disebutkan sebelumnya, sebagai sesuatu yang dikhususkan untuk Rasulullah SAW, kenyataan hal itu disebutkan setelah penghalalan empat orang wanita. Yaitu penghalalan Beliau mengawini banyak wanita (lebih dari empat), pemilikan atas hamba sahaya perempuan dari hasil rampasan perang (fa’î) secara langsung, kebolehan menikahi anak-anak perempuan dari kerabat beliau yang turut berhijrah bersama Nabi SAW, kebolehan beliau secara langsung menikahi wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau, dan posisinya kata tersebut yang disebutkan sebagai penegasan (tawkîd). Hal itu diperkuat lagi oleh posisi ayat tersebut yang datang setelah sempurnanya makna ini dan setelah firman-Nya: min dûn al-mu’minîn (bukan untuk semua orang mukmin). Setelah itu datang firman Allah:

∩∈⊃∪öΝßγãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMx6n=tΒ $tΒuρ öΝÎγÅ_≡uρø—r& þ’Îû öΝÎγøŠn=tæ $oΨôÊtsù $tΒ $uΖ÷ΚÎ=tæ ô‰s% “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.” (TQS al-Ahzâb [33]: 50)

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

229

Artinya: “Bahwa semua ini bukanlah apa yang telah Kami wajibkan kepada mereka (kaum Mukmin)”. Karena itu, Allah SWT setelah itu berfirman (yang artinya): “Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu”, yakni agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Atas dasar ini, perkawinan Nabi SAW tidak boleh dijadikan contoh untuk dipraktekkan. Juga tidak bisa dijadikan objek pengkajian secara yuristik. Karena perkara tersebut termasuk kekhususan yang berlaku bagi beliau saja. Apalagi, realitasnya menunjukkan bahwa perkawinan beliau merupakan perkawinan seorang nabi, bukan perkawinan seorang laki-laki biasa yang melakukan perkawinan dengan semata-mata dilatarbelakangi oleh dorongan biologis dan pemenuhan naluri seksual (gharîzah an-naw’) dari sisi hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Dengan merujuk pada kenyataan sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi SAW mengawini Khadîjah RA pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadîjah RA tetap menjadi satu-satunya isteri beliau selama 28 tahun. Khadîjah wafat pada tahun kesebelas setelah kenabian, atau dua tahun sebelum hijrah, beberapa bulan setelah pembatalan pemboikotan (embargo), dan menjelang Nabi SAW pergi ke Thaif, yaitu pada tahun 620 M. Pada saat Khadîjah wafat, usia Nabi SAW sudah mencapai lima puluh tahun. Sejak menikah dengan Khadîjah RA sampai Khadîjah wafat, beliau tidak pernah berpikir untuk menikah lebih dari satu (berpoligami). Padahal, saat itu poligami sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Arab. Beliau telah hidup bersama Khadîjah RA selama tujuh belas tahun sebelum diangkat sebagai Rasul dengan kehidupan yang penuh kebahagiaan dan sukacita. Setelah beliau diangkat menjadi rasul, Rasul SAW tetap hidup bersama Khadîjah selama kurang lebih sebelas tahun dalam kehidupan dakwah dan perjuangan melawan pemikiran-pemikiran kufur. Meski dalam kondisi demikian, beliau tidak berpikir untuk menikah lagi. Sebelum dan setelah pernikahannya dengan Khadîjah, Rasul SAW tidak pernah dikenal sebagai lelaki yang tergoda oleh perempuan. Padahal, saat itu dandanan dan tingkah laku jahiliyah (dari para wanita) merupakan godaan bagi para lelaki. Karena itu, sangat aneh kalau kita sampai menemukan bahwa, setelah berusia 50 tahun, Nabi SAW

230

Sistem Pergaulan Dalam Islam

berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan tidak mencukupkan diri dengan menikahi satu orang isteri saja, melainkan menikah lagi dan menikah lagi sampai memiliki sebelas orang isteri. Di mana selama lima tahun dari dasawarsa keenam usianya, beliau menghimpun lebih dari tujuh orang isteri, dan selama tujuh tahun akhir hayat beliau yaitu akhir dasawarsa keenam dan awal dasawarasa ketujuh dari usianya, beliau menghimpun sembilan orang isteri. Dalam usia ke sekian itu, apakah mungkin perkawinan beliau itu muncul karena dorongan keinginan terhadap wanita dan dorongan pemenuhan naluri seksual dalam manifestasi yang bersifat seksual? Ataukah justru karena motif-motif lain yang dituntut oleh realitas kehidupan yang beliau jalani, yaitu kehidupan yang terkait dengan risalah Islam yang mesti beliau sampaikan kepada seluruh manusia? Untuk memahami hal itu, kami paparkan berbagai peristiwa pernikahan Nabi SAW. Pada tahun kesebelas setelah kenabian atau pada tahun Khadîjah RA wafat, Rasulullah SAW berpikir untuk menikah, sementara saat itu beliau berusia 50 tahun. Lalu beliau meminang ‘Aisyah binti Abû Bakar, putri sahabatnya yaitu Abû Bakar, salah seorang dari lakilaki yang pertama-tama beriman kepada beliau. Karena ‘Aisyah RA saat itu masih berusia enam tahun dan beliau telah menikahinya, tetapi beliau belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan ‘Aisyah telah berusia sembilan tahun. Akan tetapi, pada tahun beliau menikahi ‘Aisyah, beliau juga menikah dengan Sawdah binti Zam‘ah, janda mendiang Sukran ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Syams, salah seorang Muslim yang turut berhijrah ke Habsyah kemudian kembali ke Makkah dan wafat di sana. Sawdah telah masuk Islam bersama suaminya dan berhijrah ke Habsyah. Ia turut menderita berbagai penderitaan yang juga dialami oleh suaminya, dan menemui berbagai cobaan sebagaimana juga dialami suaminya. Setelah suaminya wafat, Rasul SAW menikahinya. Dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Sawdah termasuk wanita yang memiliki kecantikan, kekayaan, maupun kedudukan yang bisa membuat ambisi-ambisi dunia turut berpengaruh (menjadi motif) pernikahan Rasulullah dengannya. Artinya, jika Rasulullah SAW menikahi Sawdah setelah suaminya meninggal, maka dapat dipahami bahwa beliau

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

231

menikahinya dalam rangka untuk menanggungnya dan mengangkat martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Kemudian setelah Rasulullah SAW hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal bagi Sawdah di sisi masjid. Itu merupakan rumah pertama yang beliau bangun untuk isteri-isteri beliau. Kemudian, pada tahun pertama hijriyah, yakni setelah Nabi SAW telah sempurna mempersaudarakan orang-orang Anshar dengan kaum Muhajirin, beliau membangun rumah tangga dengan ’Aisyah dan membangun tempat tinggal untuknya di samping tempat tinggal Sawdah bertetangga dengan masjid. Beliau menjadikan pembantu (wazîr) sekaligus sahabat beliau yaitu Abû Bakar menjumpai beliau di rumah beliau di sisi putrinya. Pada tahun ke-dua hijriyah, yakni seusai Perang Badar dan sebelum Perang Uhud, Rasulullah SAW menikahi Hafshah binti ‘Umar ibn al-Khaththâb. Sebelumnya, Hafshah adalah isteri Khunays, salah seorang yang termasuk orang yang pertama-tama memeluk Islam. Khunays meninggal tujuh bulan sebelum Rasulullah SAW menikahi Hafshah. Melalui pernikahan dengan Hafshah itu, Nabi SAW menjadikan pembantu (wazîr) sekaligus sahabat beliau yaitu Umar ibn al-Khaththâb menjumpai beliau di rumah beliau di sisi putrinya. Maka pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah dan Hafshah merupakan pernikahan beliau dengan kedua putri pembantu sekaligus sahabat yang senantiasa menyertai beliau dalam urusan dakwah, pemerintahan, peperangan, dan berbagai urusan lainnya. Dengan demikian, pernikahan beliau itu bukanlah semata perkawinan. Jika ‘Aisyah adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan dan sangat dicintai oleh Rasul SAW, maka hal yang sama tidak dijumpai dalam diri Hafshah. Kenyataan itu menunjukkan bahwa pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah dan Hafshah tersebut bukan didasarkan pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan biologis. Kemudian pada tahun ke-lima hijriyah, yakni dalam Peperangan Bani Mushthaliq, Nabi SAW menikahi Juwayriah binti al-Harits ibn Abî Dharar. Pernikahan beliau dengan Juwayriah itu adalah dalam rangka mempererat hubungan dengan ayahnya dan demi mengangkat kedudukan Juwayriyah sendiri. Juwayriyah saat itu termasuk salah

232

Sistem Pergaulan Dalam Islam

seorang dari sabî (bentuk jamaknya sabâyâ) dari bani Mushthaliq. Ia menjadi bagian salah seorang dari kaum Anshar. Sementara Juwayriah adalah putri pemimpin bani Mushthaliq. Lalu Juwayriyah ingin menebus dirinya dari tuannya di mana ia telah menjadi hamba sahaya orang itu. Namun orang Anshar itu memahalkan karena mengetahui bahwa Juwayriyah adalah putri pemimpin bani Mushthaliq. Lalu ayahnya datang menjumpai Nabi SAW dengan membawa tebusan putrinya. Kemudian ia masuk Islam setelah ia beriman kepada risalah Nabi SAW. Ia lantas membawa putrinya, Juwayriah, ke hadapan Nabi SAW, dan Juwayriyah pun segera memeluk Islam sebagaimana ayahnya. Nabi SAW kemudian melamar Juwayriyah kepada ayahnya yang lalu menikahkan Rasul (dengan putrinya). Maka pernikahan Rasul SAW dengan Juwayriyah merupakan pernikahan dengan putri seorang pemimpin suatu kabilah yang telah beliau tundukkan. Jadi beliau ingin mendapatkan kecintaan pemimpin kabilah itu dengan menikahi putrinya. Selanjutnya, pada tahun ke-tujuh Hijriyah setelah mendapatkan kemenangan terhadap Yahudi Khaibar, Nabi SAW menikahi Shafiyah binti Huyay ibn Akhthab, salah seorang pemuka kaum Yahudi. Peristiwa pernikahan Shafiyah adalah bahwa Shafiyah termasuk salah seorang dari sabî yang diperoleh kaum Muslim dari benteng-benteng Khaibar. Maka sebagian kaum Muslim berkata kepada Nabi SAW: “Shafiyah adalah pemuka bani Qurayzhah dan bani Nadhir. Ia tidak layak, kecuali untuk engkau”. Maka Rasulullah SAW memerdekakannya dan menikahinya. Hal itu merupakan pemeliharaan baginya, membebaskannya dari perbudakan akibat menjadi sabî dalam peperangan, sekaligus mengangkat martabatnya. Diriwayatkan bahwa Abû Ayyûb Khâlid al-Anshârî merasa khawatir kalau-kalau rasa dendam muncul pada diri Shafiyah terhadap Nabi SAW yang telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Karena itu, Abû Ayyûb berjagajaga sambil menyandang pedangnya di sekitar kemah Rasulullah SAW yang sedang bermalam pertama dengan Shafiyah di tengah perjalanan pulang dari Khaibar. Ketika waktu subuh tiba, Rasulullah SAW melihatnya dan bertanya: “Ada apa denganmu?” Abû Ayyûb menjawab: “Aku mengkhawatirkan dirimu dari wanita ini (maksudnya Shafiyah,

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

233

pen). Sebab, engkau telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Telah banyak pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan dengan orang-orang kafir”. Mendengar itu, Nabi SAW kemudian menenangkan Abû Ayyûb. Sementara itu, Shafiyah sendiri terus mendampingi Nabi SAW dengan senantiasa menunjukkan kesetiaannya kepada beliau hingga beliau wafat menghadap ke haribaan Allah SWT. Pada tahun ke-delapan Hijriyah, Nabi SAW menikahi Maymunah, saudara perempuan Ummu al-Fadhl, isteri ‘Abbâs ibn ‘Abd al-Muthalib. Beliau menikahinya di akhir pelaksanaan Umrah al-Qadhâ’. Hadits tentang pernikahan beliau dengan Maymunah menyebutkan bahwa, pada waktu itu Maymunah berusia 26 tahun dan ia mewakilkan kepada saudara perempuannya yaitu Ummu al-Fadhl dalam pelaksanaan akad pernikahannya itu. Ketika Maymunah melihat keadaan kaum Muslim pada peristiwa Umrah al-Qadhâ’, ia pun menyiarkan dirinya masuk Islam. Maka al-‘Abbâs menyampaikan keadaan Maymunah kepada kemenakannya yaitu Muhammad SAW. Ia mengajukan saran agar Rasul SAW menikahi Maymunah. Nabi SAW pun menerimanya. Hari ketiga yang telah ditetapkan dalam Penjanjian Hudaybiah (di mana kaum Muslim boleh tinggal di Makkah selama itu, pen.) telah berakhir. Akan tetapi, Nabi SAW ingin menjadikan pernikahan beliau dengan Maymunah RA menjadi wasilah untuk meningkatkan saling pengertian antara beliau dengan orang-orang Quraisy. Suhayl ibn ‘Amr dan Huwaythib ibn ‘Abdul ‘Uzza dari pihak Quraisy datang menjumpai Nabi SAW. Mereka berdua berkata kepada beliau: “Waktumu telah habis. Karena itu, pergilah kamu dari sisi kami!” Ketika itu Nabi SAW berkata kepada keduanya: “Apa ruginya kalau kalian membiarkan diriku? Aku akan menyelenggarakan pesta pernikahan dihadapan kalian. Kami akan menyediakan makanan dan kalian bisa menghadirinya.” Keduanya menjawab: “Kami tidak membutuhkan makananmu. Pergilah engkau dari sisi kami!” Tanpa ragu-ragu, Rasulullah SAW lalu keluar dari Makkah diikuti oleh kaum Muslim. Sementara itu, pernikahan Nabi SAW dengan Zaynab binti Khuzaymah dan Ummu Salamah adalah pernikahan dengan janda

234

Sistem Pergaulan Dalam Islam

dari dua orang sahabat beliau yang syahid di medan perang. Zaynab sebelumnya adalah isteri Ubaydah ibn al-Hârits ibn al-Muthalib yang syahid dalam Perang Badar. Zaynab tidak termasuk wanita yang memiliki kecantikan. Namun demikian, ia dikenal dengan kebajikan dan kedermawanannya sehingga digelari Umm al-Masâkîn (Ibunya Kaum Miskin). Usianya sudah tidak muda lagi. Rasulullah SAW menikahi Zaynab pada tahun ke-dua Hijriyah setelah Perang Badar dan setelah suaminya gugur sebagai syahid di dalam perang tersebut. Ia hidup bersama Rasulullah SAW hanya dua tahun karena kemudian dipangggil oleh Allah SWT ke haribaan-Nya. Dengan demikian, ia adalah satu-satunya isteri Nabi SAW selain Khadîjah yang wafat sebelum beliau. Sedangkan Ummu Salamah, ia dahulunya adalah isteri Abû Salamah. Ia memiliki beberapa orang anak dari pernikahannya dengan Abu Salamah. Abu Salamah mendapat luka yang serius pada Perang Uhud. Setelah lukanya sembuh, Nabi SAW mengangkatnya menjadi pemimpin pasukan untuk memerangi Bani Asad. Ia berhasil menceraiberaikan musuh dan pulang ke Madinah dengan memperoleh banyak pampasan perang (ghanîmah). Tidak lama kemudian, luka lamanya yang dia peroleh pada perang Uhud kambuh lagi, hingga akhirnya ia wafat. Ketika menjelang wafat diatas pembaringannya, Nabi SAW datang mendampinginya. Beliau SAW terus berada di sisinya seraya memohonkan kebaikan untuknya hingga ia wafat sehingga Nabi SAW sendiri yang menutupkan kedua kelopak matanya. Empat bulan setelah kematiannya, Rasulullah SAW melamar Ummu Salamah untuk menjadi isteri beliau. Ummu Salamah pun menyampaikan ‘uzur’-nya bahwa ia memiliki banyak anak dan lagi ia sudah tidak muda lagi. Namun demikian, Nabi SAW tetap menikahinya dan beliau sendiri yang membesarkan anak-anak Ummu Salamah. Dengan demikian, kedua pernikahan Rasulullah SAW tersebut tidak lain semata-mata untuk menghidupi keluarga kedua sahabat beliau yang telah wafat. Selanjutnya, pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habîbah binti Abi Sufyân adalah pernikahan beliau dengan seorang wanita Mukmin yang telah berhijrah ke Habsyah untuk mempertahankan agamanya, kemudian ia tetap bersabar di jalan Islam setelah suaminya

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

235

murtad. Ummu Habîbah itu adalah Ramlah binti Abî Sufyân, puteri pemuka Makkah dan pemimpin kaum musyrik. Sebelumnya ia adalah isteri dari anak bibi Rasulullah SAW, yaitu ‘Ubaydillâh ibn Jahsyi alAsadî. Ketika ‘Ubaydillâh memeluk Islam, dan Ummu Habîbah pun ikut memeluk Islam bersamanya. Sementara bapaknya tetap dalam kekafiran. Karena khawatir akan siksaan bapaknya, ia berhijrah ke Habsyah bersama suaminya, padahal saat itu ia dalam keadaan hamil besar. Di tempat hijrahnya (di Habsyah) Ummu Habîbah melahirkan putrinya yaitu Habibah binti ‘Ubaydillâh, yang kemudian menjadi nama panggilannya, sehingga ia dipanggil Ummu Habibah. Hanya saja tidak lama setelah itu, suaminya, ‘Ubaydillâh ibn Jahsyi murtad dari Islam dan memeluk agama Nasrani, yakni agama orang-orang Habsyah. Ia berusaha menarik isterinya, Ramlah, keluar dari Islam. Akan tetapi, Ramlah tetap bersabar dalam agamanya. Selanjutnya, Nabi SAW mengirim surat kepada Najasyi agar ia mewakilinya untuk menikahi Ummu Habîbah. Najasyi lantas memberitahukan hal itu kepada Ummu Habîbah. Ummu Habîbah lalu menunjuk wakilnya, Khâlid ibn Sa‘ad ibn al-‘Âsh dalam pernikahannya. Setelah itu, berlangsunglah pernikahan Rasulullah SAW dengan Ummu Habîbah. Di mana Khâlid melangsungkan akad mewakilli Ummu Habîbah, sementara Najasyi mewakili Rasulullah SAW. Selanjutnya ketika kaum muslim yang berhijrah ke Habsyah kembali ke Madinah setelah Perang Khaibar, Ummu Habîbah pun ikut kembali bersama mereka. Ummu Habîbah kemudian memasuki rumah Rasulullah SAW. Penduduk Madinah pun lantas menyelenggarakan pesta pernikahan Rasululah SAW dengan Ummu Habîbah dan dilangsungkan di rumah beliau SAW. Adapun pernikahan Nabi SAW dengan Zaynab binti Jahsyi, pernikahan itu merupakan bagian dari penetapan hukum atas beberapa perkara. Pernikahan Zaynab itu merupakan penetapan hukum syara’ untuk menghancurkan apa yang dikenal sebagai kafâ’ah (kesetaraan/ masalah sekufu) antara pria dan wanita. Yaitu dalam proses pernikahan puteri paman Beliau (yakni Zaynab) yang berasal dari Bani Asad sekutu Quraisy, dengan mawla beliau, yang dahulunya adalah seorang budak dan telah beliau merdekakan. Pernikahan Beliau dengan Zaynab binti Jahsyi itu juga sebagai penetapan hukum (tasyrî’an) untuk meruntuhkan

236

Sistem Pergaulan Dalam Islam

kepercayaan yang sudah mengakar dalam diri orang-orang. Yaitu bahwa siapa saja yang telah mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya, maka ia tidak boleh menikahi mantan isteri anak angkatnya itu. Maka pernikahan Nabi SAW dengan Zaynab mantan isteri mawla beliau yaitu budak yang telah beliau merdekakan, setelah ia cerai dari suaminya adalah dalam rangka meruntuhkan adat-istiadat semacam itu. Peristiwa pernikahan Rasul SAW dengan Zaynab binti Jahsyi adalah sebagai berikut: Zaynab binti Jahsyi adalah puteri dari Umaymah binti ‘Abdul Muthalib, bibi Rasulullah SAW. Zaynab sendiri dibesarkan dan diasuh oleh Nabi SAW. Karena itu kedudukan Zaynab di sisi beliau adalah seperti anak sendiri atau adik perempuan beliau. Beliau tentu saja sangat mengetahui tentang Zaynab. Beliau juga mengetahui apakah Zaynab memiliki kecantikan atau tidak. Beliau sudah mengetahui semua itu sebelum menikahkannya dengan Zayd, mawla beliau. Nabi SAW menyaksikan pertumbuhan Zaynab sejak masa kanak-kanak, remaja, hingga pemudi. Jadi hal ihwal tentang Zaynab tidak ada yang tidak diketahui oleh beliau, bahkan kedudukannya seperti anak perempuan beliau sendiri. Nabi SAW melamarnya untuk dikawinkan dengan Zayd, mawla beliau. Maka saudara laki-laki Zaynab, yaitu ‘Abdullâh ibn Jahsyi menolak saudara perempuannya itu yang berasal dari bani Asad, apalagi ia adalah putri dari bibi Rasulullah SAW dinikahkan dengan bekas budak yang dahulunya dibeli oleh Khadîjah, lalu dimerdekakan oleh Muhammad SAW. ‘Abdullâh ibn Jahsyi melihat bahwa pernikahan Zayd dengan Zaynab akan menjadi aib yang amat besar bagi Zaynab. Dan hal itu di mata orang-orang Arab dipandang benar-benar memalukan. Jika hal itu terjadi, maka Zaynab tidak akan lagi tergolong wanita mulia, karena telah menikah dengan seorang mawla, meskipun telah merdeka. Akan tetapi, Nabi SAW ingin menghilangkan anggapananggapan semacam itu dari jiwa orang-orang yang fanatik terhadap kesukuan (‘ashabiyah). Sekaligus Nabi SAW ingin memberikan pengertian kepada manusia seluruhnya bahwa tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali karena ketakwaannya. Di samping itu, juga agar mereka memahami firman Allah SWT:

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

237

∩⊇⊂∪ öΝä39s)ø?r& «!$# y‰ΨÏã ö/ä3tΒtò2r& ¨βÎ) “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (TQS alHujurât [49]: 13) Beliau tidak memandang bahwa wanita selain dari kalangan keluarga beliau akan membenci hal itu. Maka Zaynab binti Jahsyi-lah, yakni putri bibi Rasulullah SAW, yang akan menanggung risiko dari tindakan untuk keluar dari kepercayaan dan tradisi orang-orang Arab. Tindakan yang menghancurkan tradisi orang arab itu akan memancing komentar orang-orang, yang Zaynab sendiri akan takut mendengarnya. Sementara itu, Zayd mawla beliau dan telah beliau angkat menjadi anak. Menurut hukum kepercayaan dan tradisi Arab, ia berhak mendapatkan warisan dari Rasul SAW sebagaimana anak-anak beliau yang lain (anak kandung). Zayd inilah yang akan memperisteri Zaynab. Demikianlah, ia mempersiapkan diri demi pengorbanan yang telah disediakan oleh Allah yang Maha Bijaksana untuk menghancurkan anggapan-anggapan mereka yang telah mengangkat anak. Rasulullah SAW memberi pengertian agar Zaynab dan saudaranya yaitu ‘Abdullâh, mau menerima Zayd, mawla beliau, untuk menjadi suami Zaynab. Akan tetapi, Zaynab maupun saudaranya, ‘Abdullâh, tetap menolak hal itu. Maka Allah SWT menurunkan firman-Nya:

tβθä3tƒ βr& #—øΒr& ÿ…ã&è!θß™u‘uρ ª!$# |Ós% #sŒÎ) >πuΖÏΒ÷σãΒ Ÿωuρ 9ÏΒ÷σßϑÏ9 tβ%x. $tΒuρ

Wξ≈n=|Ê ¨≅|Ê ô‰s)sù …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ tΒuρ 3 öΝÏδ̍øΒr& ôÏΒ äοuŽzÏƒø:$# ãΝßγs9

∩⊂∉∪ $YƏÎ7•Β

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (TQS al-Ahzâb [33]: 36)

238

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Saat itu tidak ada pilihan lain bagi ‘Abdullâh dan Zaynab, kecuali taat. Maka keduanya berkata:

«‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺿ‬ ِ ‫ﺭ‬ » “Kami berdua rela (menerimanya), wahai Rasulullah.” Setelah itu, berlangsunglah pernikahan antara Zayd dan Zaynab setelah Nabi SAW membayarkan maharnya. Hanya saja, kehidupan rumah tangga Zayd dan Zaynab tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan mulai terguncang dan kacau. Bahkan terus saja terguncang dan kacau seperti itu. Zaynab belum juga bisa menerima sepenuhnya pernikahan itu setelah dilangsungkan, meskipun pernikahan itu adalah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia tidak mau menyerahkan kepemimpinan kepada suaminya. Ia pun tidak bersikap lembut terhadap suaminya. Malah ia membanggakan diri kepada Zayd bahwa ia belum pernah menjadi budak. Akibatnya, kehidupan Zayd menjadi kacau. Zayd berkali-kali mengadukan hal itu kepada Nabi SAW dan menjelaskan kepada beliau perlakuan buruk isterinya terhadap dirinya. Zayd berkali-kali meminta izin kepada beliau untuk menceraikan Zaynab. Namun, Nabi SAW menjawabnya: “pertahankan isterimu!”. Allah SWT telah mewahyukan kepada Rasul SAW bahwa Zaynab nantinya akan menjadi isteri beliau. Maka hal itu membebani hati Rasulullah SAW karena khawatir orang-orang akan berkata bahwa Muhammad menikahi isteri anaknya sendiri dan akan mencela beliau. Sebab Rasul saw telah mengangkat Zayd sebagai anaknya. Karenanya Nabi SAW tidak menghendaki Zayd menceraikan isterinya. Akan tetapi, Zayd berkeras meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menceraikan isterinya. Meskipun Rasulullah telah mengetahui bahwa Zaynab bakal menjadi isterinya, sebagaimana yang telah diberitahukan oleh Allah SWT melalui wahyu, namun Rasul SAW tetap bersabda kepada Zayd:

∩⊂∠∪ ©!$# È,¨?$#uρ y7y_÷ρy— y7ø‹n=tã ô7Å¡øΒr& “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah.”

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

239

Maka Allah SWT pun menegur Nabi SAW atas hal itu. Ketika Allah SWT berfirman kepada beliau: “Sesungguhnya Aku telah memberitahu engkau bahwa Aku akan mengawinkanmu dengannya, tetapi engkau malah menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya”. Inilah makna dari firman Allah SWT:

∩⊂∠∪ ϵƒÏ‰ö7ãΒ ª!$# $tΒ šÅ¡ø tΡ ’Îû ’Å∀øƒéBuρ

“Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya.” (TQS al-Ahzâb [33]: 37) Sesuatu yang disembunyikan oleh Nabi SAW adalah pengetahuan beliau bahwa Zaynab nanti akan menjadi isteri beliau meskipun Zaynab adalah isteri dari anak angkat beliau sendiri. Inilah yang dinyatakan oleh Allah SWT belakangan, yaitu perkawinan Nabi SAW dengan wanita yang telah diceraikan oleh anak angkatnya. Sebab Nabi SAW menyembunyikan pernikahan yang dibelakang hari dinyatakan oleh Allah SWT itu adalah karena orang-orang Arab memiliki tradisi menggabungkan anak-anak angkat ke dalam rumah dan menghubungkan nasab anak-anak angkat itu kepada mereka sendiri. Mereka juga memberikan kepada anak-anak angkat semua hak yang dimiliki oleh anak kandung. Mereka juga memberlakukan kepada anakanak angkat itu hukum-hukum anak kandung, hingga dalam masalah warisan dan keharaman nasab. Karena itu, ketika Allah SWT memberitahukan kepada Rasul SAW bahwa Zaynab, isteri anak angkatnya, akan menjadi isterinya kelak, beliau menyembunyikan apa yang telah beliau ketahui itu, seraya menegaskan kepada Zayd agar ia mempertahankan isterinya baik-baik dan jangan menceraikannya. Padahal, Zayd telah berkeras meminta izin kepada Nabi SAW dan sekaligus mengadukan tentang Zaynab kepada beliau, tidak adanya keharmonisan di antara keduanya, dan tidak adanya keserasian kehidupan suami isteri di antara keduanya sejak perkawinannya dengan Zaiynab. Akan tetapi Zayd bersikeras untuk menceraikan Zaynab. Akhirnya, Nabi SAW pun mengizinkan perceraian itu. Maka Zayd pun menceraikan Zaynab tanpa ia mengetahui bahwa kelak Rasul SAW akan menikahi Zaynab. Begitu pula Zaynab, ia tidak pernah mengetahui

240

Sistem Pergaulan Dalam Islam

bahwa dirinya akan dinikahi oleh Rasulullah SAW. Hal itu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, dan anNasâ’i dari jalur Sulayman ibn al-Mughirah dari Tsâbit yang bersumber dari Anas, ia menuturkan:

:‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬.‫ﻲ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﻳ ٍﺪ ﹸﺍ ﹾﺫ ﹸﻛ‬‫ﺰ‬ ‫ﷲ  ِﻟ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺐ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬  ‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﺯ‬ ‫ﺪ ﹸﺓ‬ ‫ﺖ ِﻋ‬  ‫ﻀ‬  ‫ﻧ ﹶﻘ‬‫ﺎ ﺍ‬‫»ﹶﻟﻤ‬ .ِ‫ﻙ‬‫ﺬﹾﻛﹸﺮ‬‫ﷲ  ﻳ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺳﹶﻠﻨِﻲ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺸﺮِﻱ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﺑ‬‫ﺐ ﹶﺃ‬  ‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﺯ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﺖ‬  ‫ﺖ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬  ‫ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹾﻘ‬‫ﻓﹶﺎ‬ ‫ ﺣﲔ‬،ٍ‫ﻴ ِﺮ ِﺇ ﹾﺫﻥ‬‫ﻐ‬ ‫ﺎ ِﺑ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺧ ﹶﻞ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺁ ﹶﻥ‬‫ﺰ ﹶﻝ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬ ‫ﻧ‬‫ﻭ‬

،‫ﺎ‬‫ﺠ ِﺪﻫ‬ ِ‫ﺴ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺖ ِﺇﻟﹶﻰ‬  ‫ﻣ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ‬،‫ﻲ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺍ ِﻣ‬‫ﻰ ﹸﺃﺅ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻴﺌﹰﺎ‬‫ﺷ‬ ‫ﻌ ٍﺔ‬ ‫ﺎِﻧ‬‫ﺎ ِﺑﺼ‬‫ﺎ ﹶﺃﻧ‬‫ ﻣ‬:‫ﺖ‬  ‫ﻓﹶﻘﹶﺎﻟﹶ‬ ‫ﻲ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ ِﻟ ﹶﻜ‬‫ﺎ ﹶﻛﻬ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ ﹶﻃﺮ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ ِﻣ‬‫ﻳﺪ‬‫ﺯ‬ ‫ﻰ‬‫ﺎ ﹶﻗﻀ‬‫  ﹶﻓﹶﻠﻤ‬:‫ﺃﻧﺰﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻗﻮﻟﻪ‬ «‫ﻢ‬ ‫ﺎِﺋ ِﻬ‬‫ﺩ ِﻋﻴ‬ ‫ﺝ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﺝ ﻓِﻲ ﹶﺃ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻳ ﹸﻜ‬ “Tatkala masa ‘iddah Zaynab berakhir, Rasulullah SAW berkata kepada Zayd: “ingatkan Zaynab terhadapku.” Zayd berkata: “lalu aku pergi menjumpai Zaynab dan aku katakan: “wahai Zaynab, bergembiralah! Aku telah diutus oleh Rasulullah SAW untuk mengingatkanmu.” Zaynab berkata: “Aku tidak akan berbuat apaapa sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.” Zaynab kemudian bangkit dan pergi menuju ke masjid. Lalu turunlah ayat al-Quran. Dan Rasulullah datang hingga beliau masuk ke ruangannya (Zaynab) tanpa meminta izin. Ketika itulah Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya):” Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya.” (TQS al-Ahzâb [33]: 37) Seandainya Zayd mengetahui, dia tidak akan berkata kepada Zaynab, “Bergembiralah!”. Dan seandainya Zaynab juga mengetahuinya, ia pun tidak akan berkata: “Sampai Tuhanku

Pernikahan Nabi Muhammad SAW

241

memerintahkanku”, yaitu menyerahkan pilihan kepada Allah atas keputusan pernikahan dengan Rasul SAW itu. ’Illat perkawinan Nabi SAW dengan Zaynab ini adalah agar tidak ada keberatan bagi orangorang Mukmin untuk mengawini isteri dari anak-anak angkat mereka (ketika sudah diceraikan oleh anak angkat itu, pen.). Demikianlah kisah pernikahan Nabi SAW dengan sejumlah isteri beliau. Setiap isteri Nabi SAW itu, dari peristiwa pernikahannya, tampak jelas bahwa perkawinan beliau itu bukan semata karena tujuan menikah saja. Dengan begitu, tampak makna perkawinan Nabi SAW dengan lebih dari empat orang wanita. Tampak pula makna kekhususan beliau SAW dengan jumlah isteri sebanyak itu, di mana ketentuan itu tidak berlaku bagi umat beliau. Makna pernikahan Nabi SAW itu bukan karena dorongan naluri seksual dari seorang lelaki yang telah berumur lebih dari 50 tahun; seorang lelaki yang amat disibukkan oleh aktivitas dakwah dan urusan Daulah (negara); dan seorang lelaki yang senantiasa disibukkan dengan risalah Tuhannya yang harus ia sampaikan ke seluruh penjuru dunia. Dia adalah lelaki yang telah membangkitkan sebuah bangsa untuk menjadikannya sebuah umat. Tujuan hidupnya adalah mengemban risalah Allah ke seluruh penjuru dunia; membangun masyarakat dengan format yang baru setelah sebelumnya meruntuhkan bangunan masyarakat terdahulu; dan mendirikan negara yang menantang dunia di hadapannya dalam rangka mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia. Setiap orang yang pikirannya disibukkan untuk membangkitkan umat, menegakkan negara, membangun masyarakat, dan mengemban risalah ke seluruh dunia, ia tidak mungkin disibukkan dengan urusan wanita sehingga ia berpaling kepada mereka, dan menikahi satu orang wanita setiap tahunnya. Sesuatu yang mendorongnya menikahi mereka tiada lain adalah dakwahnya. Sedangkan nikmatnya kehidupan suami-isteri, maka itu ia nikmati sebagaimana manusia lain menikmatinya.

242

Sistem Pergaulan Dalam Islam

KEHIDUPAN SUAMI-ISTERI Seorang isteri bukanlah mitra (syarîkah) hidup suami. Melainkan isteri lebih merupakan sahabat (shâhibah) suami. Pergaulan di antara keduanya bukanlah pergaulan kemitraan (perseroan). Mereka juga tidak dipaksa untuk menjalani pergaulan itu sepanjang hidup mereka. Pergaulan di antara keduanya tidak lain adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. Sebab Allah SWT telah menjadikan kehidupan suamiisteri itu sebagai tempat yang penuh kedamaian bagi suami-isteri. Allah SWT berfirman:

zä3ó¡uŠÏ9 $yγy_÷ρy— $pκ÷]ÏΒ Ÿ≅yèy_uρ ;οy‰Ïn≡uρ <§ø ‾Ρ ÏiΒ Νä3s)n=s{ “Ï%©!$# uθèδ

∩⊇∇∪ $pκöŽs9Î)

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf [7]: 189)

$yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡à Ρr& ôÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿϵÏG≈tƒ#u ôÏΒuρ

∩⊄⊇∪ ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ

Kehidupan Suami-Istri

243

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21) As-sakn maknanya adalah al-ithmi’nân (ketenteraman atau kedamaian). Dalam konteks ini artinya, supaya pernikahan itu menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai di sisi isterinya, begitu pula sebaliknya, seorang isteri akan merasa tenteram dan damai di sisi suaminya. Mereka akan saling cenderung satu kepada yang lain, dan bukannya saling menjauhi. Jadi, ketentuan dasar dalam sebuah perkawinan adalah kedamaian, dan dasar dari kehidupan suami-isteri adalah ketenteraman. Supaya persahabatan di antara suami-isteri tersebut menjadi persahabatan damai dan tenteram, maka syariah Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak isteri atas suaminya dan hak suami atas isterinya. Ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits menjelaskan secara gamblang masalah tersebut. Allah SWT berfirman:

∩⊄⊄∇∪ Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £ÍκöŽn=tã “Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £çλm;uρ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 228) Artinya, isteri memiliki hak-hak dalam konteks suami-isteri terhadap suaminya sebagaimana suami juga memiliki hak-hak dalam konteks suami-isteri terhadap isterinya. Karena itu, Ibnu ‘Abbâs pernah menuturkan:

‫ﻲ‬ ‫ﺣ ﱢﻘ‬ ‫ﻒ ﹸﻛ ﱠﻞ‬  ‫ﻨ ِﻈ‬‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﺐ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ‬  ‫ ﹸﺃ ِﺣ‬‫ﻲ ﻭ‬ ‫ﻦ ِﻟ‬ ‫ﻳ‬‫ﺰ‬ ‫ﺘ‬‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻲ ﹶﻛﻤ‬ ‫ﺮﹶﺃِﺗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ِ ِﻹ‬ ‫ﻳ‬‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬‫ َ َﻷ‬‫ﻧﻲ‬‫»ِﺇ‬ :‫ـﺎﻝﹶ‬ ‫ﻰ ﹶﻗـ‬ ‫ـﺎﹶﻟ‬ ‫ﻌـ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ ِ َﻷ ﱠﻥ ﺍ‬،‫ﻋﹶﻠـﻲ‬ ‫ﺎ‬‫ﻱ ﹶﻟﻬ‬  ‫ﺎ ﺍﻟﱠ ِﺬ‬‫ﺣ ﱠﻘﻬ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﻮ ِﺟ‬ ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﺘ‬‫ﺎ ﹶﻓ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻲ‬ ‫ِﻟ‬ «‫ﻣ ﹾﺄﹶﺛ ٍﻢ‬ ‫ﻴ ِﺮ‬‫ﻦ ﹶﻏ‬ ‫ﻨ ﹲﺔ ِﻣ‬‫ﻳ‬‫ﻱ ِﺯ‬  ‫ﻑ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻱ‬  ‫ﻦ ِﻣﹾﺜ ﹸﻞ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﻟﹶ‬ 

244

Sistem Pergaulan Dalam Islam

“Sungguh, aku suka berhias untuk isteriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib ia tunaikan untukku, dan ia pun juga minta dipenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya. Sebab, Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (TQS al-Baqarah [2]: 228) Ibn ‘Abbâs juga bertutur:

‫ﺎ‬‫ﻴﻤ‬‫ﻋ ِﺔ ِﻓ‬ ‫ﻦ ﺍﻟﻄﱠﺎ‬ ‫ﻦ ِﻣ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻱ‬  ‫ﺮ ِﺓ ِﻣﹾﺜ ﹸﻞ ﺍﱠﻟ ِﺬ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﻭ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺒ ِﺔ‬‫ﺤ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺴ ِﻦ ﺍﻟ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻦ ِﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫»ﹶﻟ‬ «‫ﻦ‬ ‫ﺍ ِﺟ ِﻬ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻦ ِ َﻷ‬ ‫ﻴ ِﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺒ‬‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﹶﺃ‬ “Para isteri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.” Allah SWT telah mewasiatkan pergaulan yang baik di antara suami-isteri. Allah SWT berfirman:

∩⊇∪ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ £èδρçŽÅ°$tãuρ “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 19)

∩⊄⊄∪ >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù “Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf.” (TQS alBaqarah [2]: 229) Al-’usyrah (pergaulan) maknanya adalah al-mukhâlathah wa al-mumâzajah (berinteraksi dan bercampur dengan penuh keakraban dan kedekatan). ’Âsyarahu mu’âsyarah (bergaul dengannya secara akrab) dan ta’âsyara al-qawm wa i’tasyarû (suatu kaum saling bergaul di antara mereka secara akrab).

Kehidupan Suami-Istri

245

Allah SWT telah memerintahkan agar para suami bersahabat secara baik dengan isteri-isteri mereka, jika memang mereka telah membangun ikatan suami isteri, supaya pergaulan dan persahabatan mereka satu sama lain berlangsung sempurna. Persahabatan semacam ini akan lebih menenteramkan jiwa dan membahagiakan hidup. Pergaulan suami terhadap isteri itu merupakan tambahan atas kewajiban memenuhi hak-hak isteri berupa mahar dan nafkah. Yakni hendaknya suami tidak bermuka masam dihadapan isterinya tanpa ada kesalahan dari isteri. Hendaknya suami senantiasa berlemah-lembut dalam bertutur-kata, tidak bersikap keras dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain. Rasulullah SAW telah berpesan kepada kaum pria tentang urusan kaum wanita. Imam Muslim dalam Shahîh-nya telah meriwayatkan dari Jâbir bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda dalam khutbah beliau pada saat haji Wada‘:

‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﺤﹶﻠ ﹾﻠ‬  ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻧ ـ ِﺔ ﺍ‬‫ﺎ‬‫ﻦ ِﺑ ﹶﺄﻣ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬‫ﺧ ـ ﹾﺬ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻧ ﹸﻜ‬‫ﺎ ِﺀ ﹶﻓِﺈ‬‫ﻨﺴ‬‫ﷲ ﻓِﻲ ﺍﻟ‬ َ ‫ﺍ ﺍ‬‫ﺗ ﹸﻘﻮ‬‫» ﻓﹶﺎ‬ ‫ﺍ‬‫ﺣﺪ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺷ ﹸﻜ‬ ‫ﺮ‬ ‫ ﹸﻓ‬‫ﻃِﺌﹾﻦ‬‫ﻮ‬‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻻ ﻳ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴﻬِـ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﹶﻟ ﹸﻜ‬ ،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻤ ـ ِﺔ ﺍ‬ ‫ﻦ ِﺑ ﹶﻜِﻠ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﹸﻓ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ،‫ﺡ‬ ٍ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺎ ﹶﻏ‬‫ﺮﺑ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺑ‬‫ﺿ ِﺮ‬  ‫ﻚ ﻓﹶﺎ‬  ‫ﻦ ﺫﹶِﻟ‬ ‫ﻌ ﹾﻠ‬ ‫ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻓ‬،‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬‫ﻜﹾﺮ‬‫ﺗ‬ «‫ﻑ‬ ِ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻦ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﻮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻭ ِﻛ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺯﹸﻗ‬ ‫ِﺭ‬ “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kemaluan mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukan tindakan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya, mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakaian (nafkah) mereka menurut cara yang makruf.”

246

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

«‫ﻲ‬ ‫ﻫِﻠ‬ ‫ﻢ ِ َﻷ‬ ‫ﺮ ﹸﻛ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﺃﻧ‬ ،ِ‫ﻫِﻠﻪ‬ ‫ﻢ ِ َﻷ‬ ‫ﺮ ﹸﻛ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺮ ﹸﻛ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬ » “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (isteri)-nya. Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluarga (isteri)-ku.” (HR al-Hâkim dan Ibn Hibbân dari jalur ’Aisyah RA) Juga diriwayatkan bahwa Nabi SAW bergaul secara indah dan bersenda-gurau dengan isteri-isteri beliau, senantiasa bersikap lemah lembut kepada mereka, sering membuat mereka tertawa, dan bahkan beliau pernah berlomba (yakni lari, pen) dengan ‘Aisyah RA Ummul Mukminin, untuk memperlihatkan kasih-sayang kepadanya dengan cara seperti itu. ‘Aisyah RA pernah menuturkan:

‫ﻢ‬ ‫ ﺛﹸــ‬،‫ﺤﻢ‬  ‫ﺣ ِﻤ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺒ ﹶﻞ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ‬‫ﻚ ﹶﻗ‬  ‫ﻭ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ ﹾﻘ‬‫ﺴ‬  ‫ﷲ  ﹶﻓ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺑ ﹶﻘِﻨ‬‫ﺎ‬‫»ﺳ‬ «‫ﻚ‬  ‫ﻫ ِﺬ ِﻩ ِﺑِﺘ ﹾﻠ‬ :‫ـﺎﻝﹶ‬ ‫ﻲ ﹶﻓ ﹶﻘـ‬ ‫ﺒ ﹶﻘِﻨ‬‫ﺴ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺖ ﺍﻟﱠﻠ‬  ‫ﻤ ﹾﻠ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺑ ﹾﻘ‬‫ﺎ‬‫ﺳ‬ “Rasulullah SAW pernah mengajakku berlomba lari, maka aku pun berhasil mendahului beliau. Itu sebelum badanku gemuk. Lalu aku mengajak beliau berlomba lari setelah aku gemuk, maka beliau berhasil mendahuluiku. Lalu beliau bersabda: “Ini untuk membalas kekalahanku waktu itu”. (HR Ibn Hibban di dalam Shahîhnya.) Rasulullah SAW setelah usai menunaikan shalat isya, biasa masuk ke rumahnya. Beliau lantas bersenda-gurau beberapa saat bersama keluarganya untuk menghibur mereka sebelum beliau tidur. Ibn Mâjah meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

«‫ﻢ‬ ‫ﺎِﺋ ِﻬ‬‫ﻢ ِﻟِﻨﺴ‬ ‫ﺭ ﹸﻛ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ِﺧﻴ‬ ‫ﺭ ﹸﻛ‬ ‫ﺎ‬‫» ِﺧﻴ‬ “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakukannya kepada isteri-isterinya.”

Kehidupan Suami-Istri

247

Semua yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa, para suami harus mempergauli isteri-isteri mereka dengan baik. Di dalam kehidupan suami-isteri, ada kalanya terjadi sesuatu yang bisa mengeruhkan suasana kejernihan (kedamaian)-nya. Karena itu, Allah SWT telah menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyâdah al-bayt) berada di tangan suami. Dan Allah telah menjadikan suami sebagai qawwâm (pemimpin) atas isterinya. Allah SWT berfirman:

∩⊂⊆∪ Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’n?tã šχθãΒ≡§θs% ãΑ%y`Ìh9$#

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (TQS an-Nisâ’: 34)

∩⊄⊄∇∪ ×πy_u‘yŠ £ÍκöŽn=tã ÉΑ$y_Ìh=Ï9uρ 4 Å∃ρá÷èpRùQ$$Î/ £ÍκöŽn=tã “Ï%©!$# ã≅÷WÏΒ £çλm;uρ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (TQS alBaqarah: 228) Allah SWT memerintahkan seorang isteri agar taat kepada suaminya. Rasulllah SAW pernah bersabda:

«‫ﻊ‬ ‫ﺮ ِﺟ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻼِﺋ ﹶﻜ ﹸﺔ‬ ‫ﻤ ﹶ‬ ‫ﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﺘﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻭ ِﺟﻬ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺵ‬  ‫ﺍ‬‫ﺮ ﹰﺓ ِﻓﺮ‬ ‫ﺎ ِﺟ‬‫ﺮﹶﺃ ﹸﺓ ﻫ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺖ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﺗ‬‫ﺎ‬‫»ﺇِﺫﹶﺍ ﺑ‬

“Jika seorang isteri tidur malam meninggalkan tempat tidur suaminya niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali.” (Muttafaq ’alayh dari jalur Abû Hurayrah) Rasulullah SAW pernah bertanya kepada seorang wanita:

«‫ﺭ ِﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﻧ‬ ‫ﻚ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﺟ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ ﹶﻓِﺈ‬:‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬،‫ﻌﻢ‬ ‫ﻧ‬ :‫ﺖ‬  ‫ﻧﺖِ؟ ﻗﹶﺎﹶﻟ‬‫ﺝ ﹶﺃ‬ ٍ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺕ‬  ‫»ﹶﺃﺫﹶﺍ‬ “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab: “Ya”. Beliau lantas bersabda: “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.” (HR al-Hâkim dari jalur bibinya Husayn bin Mihshin)

248

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Imam al-Bukhârî meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

‫ﻴِﺘ ِﻪ‬‫ﺑ‬ ‫ﺗ ﹾﺄ ﹶﺫ ﹶﻥ ﻓِﻲ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ،ِ‫ﺪ ِﺇ ﱠﻻ ﺑِِﺈ ﹾﺫِﻧﻪ‬ ‫ﺎ ِﻫ‬‫ﺎ ﺷ‬‫ﺟﻬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺮﹶﺃ ٍﺓ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺤ ﱡﻞ ِ ِﻻ‬ ِ ‫ﻳ‬ ‫» ﹶﻻ‬ «‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺷ ﹾﻄ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﺩ ِﺇﹶﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﻴ ِﺮ ِﺇﺫﹾِﻧ ِﻪ ﹶﻓِﺈ‬‫ﻦ ﹶﻏ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ ﹶﻘ ٍﺔ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺖ ِﻣ‬  ‫ﻧ ﹶﻔ ﹶﻘ‬‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻭﻣ‬ ،ِ‫ِﺇ ﱠﻻ ِﺑِﺈ ﹾﺫﻧِﻪ‬ “Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izinnya. Tidak halal pula baginya memberikan izin masuk (kepada orang lain) di rumah suaminya kecuali dengan izinnya. Dan harta apa saja yang dibelanjakannya tanpa seizin suaminya, maka separuh pahalanya dikembalikan kepada suaminya.” Ibn Baththah telah meriwayatkan di dalam Ahkâm an-Nisâ’ dari Anas RA:

،‫ـﺎ‬ ‫ﻫـ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺑ‬‫ﺽ ﹶﺃ‬  ‫ﻤ ِﺮ‬ ‫ ﹶﻓ‬.ِ‫ﻭﺝ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨـ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻪ ِﻣـ‬ ‫ﺘـ‬‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎﹶﻓ‬‫ﻼ ﺳ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫» ﹶﺃ ﱠﻥ‬ : ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﻬ‬،‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺩ ِﺓ ﹶﺃِﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﻲ ِﻋﻴ‬ ‫ﷲ  ِﻓ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻧ‬‫ﺘ ﹾﺄ ﹶﺫ‬‫ﺳ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ـ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻧ‬‫ﺘ ﹾﺄ ﹶﺫ‬‫ﺳ‬ ‫ ﻓﹶﺎ‬،‫ﺎ‬‫ﻮﻫ‬ ‫ﺑ‬‫ﺕ ﹶﺃ‬  ‫ﺎ‬‫ ﹶﻓﻤ‬.‫ﻚ‬ ِ ‫ﺟ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺎِﻟ ِﻔ‬‫ﺗﺨ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻲ ﺍ‬ ‫ﺗ ِﻘ‬‫ِﺍ‬ ،ِ‫ﺟﻚ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺎِﻟ ِﻔ‬‫ﺗﺨ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻲ ﺍ‬ ‫ﺗ ِﻘ‬‫ ِﺍ‬:‫ﺎ‬‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﻬ‬،ِ‫ﺯِﺗﻪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻮ ِﺭ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ ِﻓ‬

«‫ﺎ‬‫ﻭ ِﺟﻬ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻋ ِﺔ‬ ‫ﺎ ِﺑﻄﹶﺎ‬‫ﺕ ﹶﻟﻬ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻲ ﹶﻏ ﹶﻔ‬ ‫ﻧ‬‫ ِﺇ‬: ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﷲ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬ ُ ‫ﻰ ﺍ‬‫ﻭﺣ‬ ‫ﹶﻓﹶﺄ‬ “Bahwa seorang pria melakukan safar dan ia melarang isterinya untuk keluar rumah. Lalu orangtua wanita itu sakit. Maka ia pun meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menjenguk ayahnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Bertakwalah engkau kepada Allah dan jangan melanggar pesan suamimu.” Tidak lama kemudian, ayah wanita itu meninggal. Maka ia pun kembali meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk melayat jenazah ayahnya. Akan tetapi, beliau kembali bersabda kepadanya: “Bertakwalah engkau kepada Allah dan jangan melanggar pesan suamimu.” Setelah itu, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi

Kehidupan Suami-Istri

249

SAW: “Sesungguhnya aku telah mengampuni dosa-dosanya karena ketaatannya kepada suaminya.” Dengan demikian, syara’ telah memberikan hak kepada suami untuk melarang isterinya bepergian keluar dari rumahnya; baik karena isterinya ingin menjenguk atau mengunjungi kedua orang tuanya, atau ingin keluar untuk sesuatu keperluan yang mengharuskan dirinya keluar, atau pun dalam rangka darmawisata. Dan seorang isteri tidak boleh keluar dari rumah kecuali atas seizin suaminya. Hanya saja, seorang suami tidak pantas melarang isterinya untuk pergi menjenguk dan mengunjungi kedua orangtuanya. Sebab, tindakan demikian dapat memutuskan tali silaturahmi isterinya dengan kedua orangtuanya, sekaligus dapat mendorong isterinya untuk menyalahinya. Padahal, Allah SWT telah memerintahkan kepada seorang suami agar mempergauli isterinya dengan cara yang makruf. Melarang isteri untuk menjeguk dan mengunjungi kedua orangtuanya jelas bukan termasuk mempergauli isteri secara makruf. Demikian pula, seorang suami tidak berhak melarang isterinya keluar rumah untuk pergi ke masjid. Hal itu karena telah diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau pernah bersabda:

«‫ﷲ‬ ِ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﺎ ِﺟ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺎ َﺀ ﺍ‬‫ﺍ ِﺇﻣ‬‫ﻌﻮ‬ ‫ﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫» ﹶﻻ‬ “Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah pergi ke masjidmasjid-Nya.” (Muttafaq ’alayh dari jalur Ibn ’Umar) Jika seorang isteri membangkang kepada suaminya, maka Allah SWT telah memberikan hak kepada suami untuk mendidik isterinya. Allah SWT berfirman:

ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ €∅èδθÝàÏèsù €∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ

∩⊂⊆∪ ¸ξ‹Î6y™ £ÍκöŽn=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù ( £èδθç/ΎôÑ$#uρ

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka

250

Sistem Pergaulan Dalam Islam

janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (TQS an-Nisâ [4]: 34) Pukulan yang dimaksud di sini harus merupakan pukulan yang ringan, yaitu yang tidak membahayakan (menyakitkan). Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam khutbah Beliau ketika haji Wada‘. Saat itu, beliau bersabda:

«‫ﺡ‬ ٍ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻦ ﹶﻏ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺑ‬‫ﺿ ِﺮ‬  ‫ﻚ ﻓﹶﺎ‬  ‫ﻦ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻌ ﹾﻠ‬ ‫»ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻓﹶ‬ “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).” (HR. Muslim dari jalur Jâbir RA) Suami hanya diberi wewenang untuk memberikan sanksi kepada isteri jika si isteri melakukan perbuatan dosa, karena suami adalah pihak yang bertanggung jawab (qawwâm) atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangganya. Akan tetapi, pelanggaran isteri di luar perkara yang telah diperintahkan oleh syariah kepada isteri untuk dilakukannya, maka seorang suami tidak boleh mengganggunya sama sekali. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman:

∩⊂⊆∪ ¸ξ‹Î6y™ £ÍκöŽn=tã (#θäóö7s? Ÿξsù öΝà6uΖ÷èsÛr& ÷βÎ*sù “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya.” (TQS an-Nisâ [4]: 34) Bahkan dalam kondisi isteri mentaati suaminya, suami harus bersikap ramah dan toleran serta lembut dalam meminta sesuatu dari isterinya. Hingga andai suami menginginkan isterinya (untuk diajak berhubungan suami-isteri) hendaknya ia dengan baik memilih situasi dan kondisi yang cocok bagi isterinya. Rasulullah SAW bersabda:

«‫ﺒ ﹸﺔ‬‫ﻴ‬‫ﻤ ِﻐ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﺴ‬  ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﺸ ِﻌﹶﺜ ﹸﺔ‬  ‫ﻂ ﺍﻟ‬ ‫ﺸﹶ‬ ِ ‫ﺘ‬‫ﻤ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻴ ﹰ‬‫ﺎ َﺀ ﹶﻟ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺍ ﺍﻟ‬‫ﺮﹸﻗﻮ‬ ‫ﺗ ﹾﻄ‬ ‫» ﹶﻻ‬ Janganlah kalian mengetuk pintu wanita (isteri) pada malam hari hingga wanita itu (bisa) menyisir rambutnya yang kusut dan wanita

Kehidupan Suami-Istri

251

yang ditinggal suaminya itu (bisa) mempercantik diri.” (Muttafaq ’alayh dari jalur Jâbir RA) Tanggung jawab dan kemimpinan seorang suami atas isteri di dalam rumah tangga bukan berarti ia boleh bertindak secara otoriter di dalam rumah tangganya atau seperti seorang penguasa yang tidak bisa dibantah perintahnya. Akan tetapi, kepemimpinan seorang suami di dalam rumah tangga maknanya adalah pengaturan dan pemeliharaan urusanurusan rumah tangga saja, bukan berarti ia memiliki kekuasaan dan hak memerintah di dalam rumah tangga. Karena itu, seorang isteri berhak memberi masukan terhadap ucapan suaminya, mendiskusikannya dan membahas apa yang dikatakan suaminya. Sebab, keduanya adalah dua orang sahabat, bukan pihak yang memerintah dan yang diperintah atau penguasa dan rakyat. Tetapi keduanya merupakan dua sahabat karib, hanya saja kepemimpinan diserahkan kepada salah seorang dari keduanya dari sisi pengaturan dan pemeliharaan rumah tangga keduanya. Rasulullah SAW di dalam rumah tangga beliau merupakan sahabat karib bagi isteriisterinya, bukan seorang penguasa yang otoriter terhadap mereka, meskipun beliau adalah seorang kepala negara, sekaligus seorang nabi. Tentang hal itu Umar ibn al-Khaththâb berkata:

‫ــﺎﻟﹶﻰ‬‫ﺗﻌ‬ ‫ﷲ‬ ُ ‫ﺰ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﻧ‬‫ﻰ ﹶﺃ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺍ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ﺎ ِﺀ ﹶﺃ‬‫ﻨﺴ‬‫ ﻟِﻠ‬‫ﻌﺪ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴ ِﺔ ﻣ‬‫ﺎ ِﻫِﻠ‬‫ﺎ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﺠ‬‫ﷲ ِﺇ ﱠﻥ ﹸﻛﻨ‬ ِ ‫ﺍ‬‫»ﻭ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻩ ِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎﹶﻟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺗ ِﻤ‬‫ﻣ ٍﺮ ﹶﺃﹾﺃ‬ ‫ﺎ ﻓِﻲ ﹶﺃ‬‫ﺎ ﹶﺃﻧ‬‫ﻨﻤ‬‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ ﹶﻓ‬،‫ﺴﻢ‬  ‫ﺎ ﹶﻗ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻭﹶﻗ‬ ،‫ﻝﹶ‬‫ﻧﺰ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻦ ﻣ‬ ‫ﻓِﻴ ِﻬ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭِﻟﻤ‬ ‫ﺖ‬ ِ ‫ﻧ‬‫ﻚ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻭﻣ‬ :‫ــﺎ‬‫ﺖ ﹶﻟﻬ‬  ‫ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬،‫ﻭ ﹶﻛﺬﹶﺍ‬ ‫ﺖ ﹶﻛﺬﹶﺍ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﻨ‬‫ﺻ‬  ‫ﻮ‬ ‫ﺮﹶﺃﺗِﻲ ﹶﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻟِﻲ ﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬‫ﺎ ﺍ‬‫ﻚ ﻳ‬  ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﺠﺒ‬  ‫ﻋ‬ :‫ـﻲ‬ ‫ﺖ ِﻟـ‬  ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ ـ‬،‫ﺪﻩ‬ ‫ﻣ ٍﺮ ﹸﺃﺭِﻳ‬ ‫ﻚ ﻓِﻲ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﺗ ﹶﻜﱡﻠ ﹸﻔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫﻨ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫ‬

 ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ ِﷲ‬ ‫ــ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺍ ِﺟ‬‫ﺘﺮ‬‫ﻚ ﹶﻟ‬  ‫ﺘ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ،‫ﻧﺖ‬‫ﻊ ﺃﹶ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺍ‬‫ﺗﺮ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺗﺮِﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺏ ﻣ‬ ِ ‫ﺨﻄﱠﺎ‬  ‫ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻣﻜﹶﺎﻧِﻲ‬ ‫ﺝ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺍﺋِﻲ ﹸﺛ‬‫ﺧ ﹸﺬ ِﺭﺩ‬ ‫ ﻓﹶﺂ‬:‫ﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬،‫ﺎﻥﹶ‬‫ﻀﺒ‬  ‫ﻪ ﹶﻏ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻳ ﹶﻈ ﱠﻞ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺍ ِﺟ ِﻌ‬‫ﺘﺮ‬‫ﻚ ﹶﻟ‬ ِ ‫ﻧ‬‫ﻴ ﹸﺔ ِﺇ‬‫ﻨ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﺎ‬‫ﺖ ﹶﻟﻬ‬  ‫ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬،‫ﺼﺔﹶ‬  ‫ﺣ ﹾﻔ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺧ ﹶﻞ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻰ ﹶﺃ‬‫ﺣﺘ‬ ،‫ﻌﻪ‬ ‫ﺍ ِﺟ‬‫ﻨﺮ‬‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﷲ ِﺇﻧ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬:‫ــﺔﹸ‬‫ﺣ ﹾﻔﺼ‬ ‫ﺖ‬  ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ‬،‫ﺎﻥﹶ‬‫ﻀﺒ‬  ‫ﻪ ﹶﻏ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻳ ﹶﻈ ﱠﻞ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ 

252

Sistem Pergaulan Dalam Islam

‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬،‫ﺎ‬‫ﺎﻫ‬‫ﷲ  ِﺇﻳ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒﻬ‬‫ﺠ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﻫ ِﺬ ِﻩ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻗ‬ ‫ﻚ‬ ِ ‫ﻧ‬‫ﺮ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺧﺬﹰﺍ‬ ‫ﺗﻨِﻲ ﹶﺃ‬‫ﺧ ﹶﺬ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬:‫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬،ِ‫ﺍ ِﺟﻪ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺧ ﹶﻞ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻲ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺘ ِﻐ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬

‫ﺖ ﻟِﻲ‬  ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ‬،‫ﺎ‬‫ﺘﻬ‬‫ﻤ‬ ‫ ﹶﻓ ﹶﻜﱠﻠ‬،‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺑﺘِﻲ ِﻣ‬‫ﺍ‬‫ﻤ ﹶﺔ ِﻟ ﹶﻘﺮ‬ ‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹸﺃ‬ ‫ﺧ ﹶﻞ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻰ ﹶﺃ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ــﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺖ ﻓِﻲ ﹸﻛ ﱢﻞ‬  ‫ﺧ ﹾﻠ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺏ ﹶﻗ‬ ِ ‫ﺨﻄﱠﺎ‬  ‫ ﺍﹾﻟ‬‫ﺑﻦ‬‫ﺎ ﺍ‬‫ﻚ ﻳ‬  ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﺠﺒ‬  ‫ﻋ‬ :‫ﻤ ﹶﺔ‬ ‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﹸﺃ‬

‫ــ ﹸﺔ ﹶﻻ‬‫ﻨﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬،ِ‫ﻮِﻟﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﻀ‬  ‫ﻭ ﹶﻏ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺑ ﹶﺔ ﺍ‬‫ﻘﹸﻮ‬‫ﺭ ِﻙ ﻋ‬ ‫ﺣ ﱢﺬ‬ ‫ﻲ ﹸﺃ‬‫ﻦ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﻴ‬‫ﻌﹶﻠ ِﻤ‬ ‫ﺗ‬ :‫ﻓﹶﻘﹸﻠﹾﺖ‬ «‫ﺎ‬‫ﻨ ِﺪﻫ‬‫ﻦ ِﻋ‬ ‫ﺖ ِﻣ‬  ‫ﺟ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﺪ ﹶﻓ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ ِﺟ‬  ‫ﻨ‬‫ﺎ ﹸﻛ‬‫ﺾ ﻣ‬ ِ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺗﻨِﻲ ِﺑ ِﻪ‬‫ﺮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﹶﻛ‬ “Demi Allah, sesungguhnya kami pada masa jahiliah tidak memperhitungkan posisi kaum wanita sedikit pun, hingga Allah menurunkan ketentuan tentang mereka dan memberikan kepada mereka bagian (hak-hak) mereka. Lalu satu saat ketika aku sedang dalam suatu urusan, saat itu isteriku berkata, ‘Seandainya engkau berbuat begini dan begitu”. Aku pun berkata kepadanya: “Ada apa denganmu dan mengapa engkau ada di sini? Apa pula perlunya engkau dengan urusan yang kulakukan’? Ia menukas: “Sungguh aneh engkau ini, wahai Ibn al-Khaththâb. Engkau tidak menghendaki diberi masukan, padahal putrimu (yakni Hafshah, salah seorang isteri Rasulullah SAW, pen) pernah memberi masukan kepada Rasulullah SAW hingga beliau gusar sepanjang hari”. ‘Umar melanjutkan penuturannya:”Aku lantas mengambil mantel dan pergi keluar menemui Hafshah. Aku berkata kepadanya: “wahai putriku, engkau telah memberi masukan Rasulullah SAW hingga beliau merasa gusar sepanjang hari”. Hafshah menjawab: “Demi Allah, sungguh kami memang memberi masukan kepada beliau”. Aku berkata lagi: “Ketahuilah, sesungguhnya aku memperingatkanmu akan azab Allah dan kemurkaan Rasul-Nya. Putriku, janganlah engkau terpedaya layaknya orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan kecintaan Rasulullah SAW kepadanya”. Kemudian aku keluar dan bergegas menemui Ummu Salamah, karena kekerabatanku dengannya. Aku menceritakan segala

Kehidupan Suami-Istri

253

sesuatunya kepadanya. Maka Ummu Salamah berkata kepadaku: “Sungguh mengherankan engkau ini, wahai Ibn al-Khaththâb. Engkau telah turut campur dalam segala urusan, sampai engkau hendak mencampuri urusan yang terjadi di antara Rasulullah SAW dan isteri-isterinya”. ‘Umar berkata: “Kata-katanya itu amat mempengaruhiku sehingga meredakan perasaanku terhadap beberapa hal yang telah aku dapati sebelumnya. Lalu aku pun pergi”. (Muttafaq ’alayh) Imam Muslim telah meriwayatkan di dalam Shahîh-nya, bahwa Abû Bakar pernah meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menemui beliau. Setelah diizinkan, ia pun masuk. Lalu ‘Umar datang dan juga meminta izin kepada beliau. Ia pun lantas masuk setelah beliau izinkan. Ketika itu, ’Umar mendapati Nabi SAW sedang duduk dikelilingi isteri-isterinya yang tampak sedang masygul dan diam membisu. ‘Umar kemudian bergumam: “Aku akan mengatakan sesuatu yang dapat membuat Nabi SAW tertawa”. Ia kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau melihat binti Kharijah (isteri ‘Umar, pen) meminta belanja kepadaku, aku akan bangkit menghampirinya dan akan aku rengkuh lehernya”. Seketika, Rasulullah pun tertawa seraya bersabda:

«‫ﻨ ﹶﻔ ﹶﻘ ﹶﺔ‬‫ﻲ ﺍﻟ‬ ‫ﻨِﻨ‬‫ﺴﹶﺄﹾﻟ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻮِﻟ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻫ‬ »

“Mereka (yakni isteri-isteri Nabi SAW, pen) ini sekarang berada di sekelilingku, juga sedang meminta uang belanja.” Dengan demikian, jelas bahwa makna kepemimpinan suami atas isterinya adalah bahwa kepemimpinan itu berada di tangan suami. Akan tetapi, kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan yang diwarnai persahabatan, bukan kepemimpinan yang otoriter dan dominasi. Sehingga (dengan kepemimpinan penuh persahabatan itu) isteri bisa memberikan pendapat dan berdiskusi dengan suaminya. Ini dilihat dari sisi pergaulan suami-isteri. Sementara dari sisi pelaksanaan berbagai pekerjaan rumah tangga, seorang isteri wajib melayani suaminya, seperti membuat adonan roti, memasak, membersihkan rumah, menyediakan minuman jika suami meminta

254

Sistem Pergaulan Dalam Islam

minum, menyiapkan makanan untuk dimakan, serta melayani suaminya dalam seluruh perkara yang sudah semestinya ia lakukan di dalam rumah. Demikian pula isteri wajib mengerjakan apa saja yang menjadi keharusan guna mengurus rumah, yaitu apa saja yang menjadi tuntutan bagi sebuah kehidupan yang nyaman di rumah tanpa dibatasi dengan aktivitas/sesuatu tertentu. Sebaliknya, suami wajib menyediakan apa saja yang dibutuhkan oleh isterinya yang berasal dari luar rumah, seperti menyediakan air, apa saja yang diperlukan untuk membersihkan kotoran, keperluan untuk memotong kuku, keperluan isteri berdandan untuk suaminya seperti halnya wanita-wanita yang lain, dan keperluankeperluan lainnya. Ringkasnya, semua aktivitas yang harus dilakukan di dalam rumah menjadi kewajiban wanita untuk mengerjakannya, apa pun jenis aktivitas itu. Sebaliknya, semua aktivitas yang harus dilakukan di luar rumah menjadi kewajiban suami untuk mengerjakannya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW berkaitan dengan kisah ‘Alî dan Fathimah radhiyallâh ‘anhumâ:

‫ﺎ‬‫ﻲ ﻣ‬ ‫ﻋِﻠ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻭ‬ ،ِ‫ﻴﺖ‬‫ﺒ‬‫ﻣ ِﺔ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺨ‬ ِ ‫ﻤﺔﹶ ِﺑ‬ ‫ﻨِﺘ ِﻪ ﻓﹶﺎ ِﻃ‬‫ﺑ‬‫ﻋﻠﹶﻰ ِﺍ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻰ‬‫» ﹶﻗﻀ‬ «‫ﻤ ٍﻞ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺖ ِﻣ‬ ِ ‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ِﺭﺟ‬‫ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺧ‬ “Rasulullah SAW telah memutuskan atas putri beliau, Fathimah, wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah, dan atas ‘Alî wajib mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah.” Rasulullah SAW juga telah memerintahkan kepada isteri-isteri beliau untuk melayani beliau. Beliau, misalnya, berkata:

‫ﻭ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﺸ ـ ﹾﻔ‬  ‫ﻲ ﺍﻟ‬ ‫ﻫﹸﻠ ِﻤ ـ‬ ‫ﺸ ـ ﹶﺔ‬  ‫ﺎِﺋ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺸ ﹶﺔ ﹶﺃ ﹾﻃ ِﻌ ِﻤ‬  ‫ﺎِﺋ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻴﻨ‬‫ﺳ ِﻘ‬ ‫ﺸ ﹶﺔ ِﺍ‬  ‫ﺎِﺋ‬‫ﺎ ﻋ‬‫» ﻳ‬ «‫ﺠ ٍﺮ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺎ ِﺑ‬‫ﻳﻬ‬‫ﺤ ِﺬ‬  ‫ﺷ‬ ‫ﹶﺍ‬ “Ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku minum, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku makan, ya ‘Aisyah tolong ambilkan aku pisau dan asahlah dengan batu.”

Kehidupan Suami-Istri

255

Diriwayatkan pula:

،‫ﻰ‬‫ﺮﺣ‬ ‫ﻦ ﺍﻟــ‬ ‫ﺗﹾﻠﻘﹶﻰ ِﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴ ِﻪ ﻣ‬‫ﻮ ِﺇﹶﻟ‬ ‫ﺸ ﹸﻜ‬  ‫ﺗ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ ـ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺗ‬‫ﻤ ﹶﺔ ﹶﺃ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ ﻓﹶﺎ ِﻃ‬ «‫ﺎ ﹶﺫِﻟ ـﻚ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻳ ﹾﻜ ِﻔ‬ ‫ﺎ‬‫ﺎ ِﺩﻣ‬‫ﻪ ﺧ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳﹶﺄﹶﻟ‬ ‫ﻭ‬ “Bahwa Fathimah pernah datang kepada Rasulullah SAW mengadukan apa yang diderita tangannya karena menggiling gandum dan meminta kepada beliau seorang pembantu yang dapat meringankan pekerjaannya.” (Muttafaq ‘alayh dari jalur ‘Alî) Semua itu menunjukkan bahwa melayani suami di rumah sekaligus mengurus rumah merupakan salah satu kewajiban di antara berbagai kewajiban seorang isteri yang wajib ia lakukan. Hanya saja, pelaksanaan kewajiban itu sesuai dengan kemampuannya. Jika pekerjaannya amat banyak hingga mendatangkan kesusahan bagi isteri, maka suami harus menyediakan pembantu yang dapat membantunya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu. Dan isteri berhak meminta hal itu kepada suami. Sebaliknya, jika pekerjaan di dalam rumah itu sedikit, dan sang isteri mampu mengerjakannya, maka suami tidak wajib menyediakan pembantu. Bahkan, sang isteri wajib melaksanakan pekerjaan itu. Hal itu berdasarkan apa yang telah Rasulullah SAW wajibkan kepada putri beliau, Fathimah, untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Walhasil, seorang suami wajib mempergauli isterinya dengan cara yang makruf. Sebaliknya, seorang isteri wajib mempergauli suaminya, sebagaimana yang telah diwajibkan kepada suami untuk mempergaulinya, dengan cara yang makruf pula. Sehingga kehidupan suami-isteri akan menjelma menjadi sebuah kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenteraman, kehidupan suami isteri yang di dalamnya terealisir firman Allah SWT:

$yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡à Ρr& ôÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿϵÏG≈tƒ#u ôÏΒuρ

∩⊄⊇∪ ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ

256

Sistem Pergaulan Dalam Islam

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rûm [30]: 21)

‘Azl

257

‘A Z L ‘Azl (senggama terputus) adalah tindakan seorang suami mencabut alat kelaminnya pada saat hampir ejakulasi untuk menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya. ‘Azl adalah boleh menurut syariah. Maka seorang suami yang tengah menggauli istrinya, jika hampir ejakulasi, boleh menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya. Imam al-Bukhârî meriwayatkan dari ‘Athâ’ dari Jâbir, ia berkata:

«‫ﻨ ِﺰ ﹸﻝ‬‫ﻳ‬ ‫ﺁ ﹸﻥ‬‫ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬‫ﷲ  ﻭ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻬ ِﺪ ﺍﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻌ ِﺰ ﹸﻝ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫» ﹸﻛﻨ‬ “Kami pernah melakukan ‘azl pada masa Rasulullah SAW, sementara al-Quran pada saat itu masih turun.” Diriwayatkan juga dari ‘Atha’ bahwa ia mendengar Jâbir berkata:

«‫ﻨ ِﺰ ﹸﻝ‬‫ﻳ‬ ‫ﺁ ﹸﻥ‬‫ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬‫ﻌ ِﺰ ﹸﻝ ﻭ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫» ﹸﻛﻨ‬

“Kami pernah melakukan ‘azl sedangkan Al-Quran masih turun.” (Muttafaq ‘alaih) Menurut lafal Imam Muslim:

«‫ﺎ‬‫ﻬﻨ‬ ‫ﻨ‬‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻚ ﹶﻓﹶﻠ‬  ‫ﻩ ﹶﺫِﻟ‬‫ﺒﹶﻠ ﹶﻎ‬‫ﻮ ِﻝ  ﻓﹶ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻬ ِﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻌ ِﺰ ﹸﻝ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺎ‬‫» ﹸﻛﻨ‬ Kami pernah melakukan ‘azl pada masa Rasulullah SAW. Hal itu kemudian sampai kabarnya kepada Rasulullah SAW, dan beliau tidak melarang kami.”

258

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Hadits ini merupakan persetujuan/ketetapan (taqrir) dari Rasulullah SAW atas kebolehan melakukan ‘azl. Seandainya ‘azl itu diharamkan, tentu Rasulullah SAW tidak akan mendiamkannya. Dapat ditambahkan, bahwa hukum ‘azl ini telah disandarkan oleh seorang sahabat (Jabir RA) pada masa Nabi SAW. Padahal jika seorang sahabat menyandarkan suatu hukum pada masa Nabi SAW, maka hukum itu dihukumi sebagai hadits marfû‘. Sebab secara zhahir, Nabi SAW telah mengetahui perkara tersebut dan kemudian menyetujuinya, karena adanya berbagai hajat dari para sahabat untuk bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai hukum. Kebolehan ‘azl tercantum dalam banyak hadits sahih. Imam Ahmad, Imam Muslim, dan Abû Dâwud telah menuturkan riwayat dari Jâbir RA, ia berkata:

‫ﺎ‬‫ﺘﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺎِﻧ‬‫ﻭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻣﻨ‬ ‫ﺎ ِﺩ‬‫ﻲ ﺧ‬ ‫ﻳ ﹰﺔ ِﻫ‬‫ﺎ ِﺭ‬‫ ِﺇ ﱠﻥ ﻟِﻲ ﺟ‬:‫ﷲ  ﻓﹶﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ ِ ‫ﻲ ﺍ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻰ ﺍﻟ‬‫ﻼ ﹶﺃﺗ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬

‫ﺖ‬  ‫ﺎ ِﺇ ﹾﻥ ِﺷﹾﺌ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻋ‬ ‫ﻋ ِﺰ ﹾﻝ‬ ‫ ﺍ‬:‫ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬،‫ﺤ ِﻤ ﹶﻞ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻩ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ ﹾﻛ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻑ‬  ‫ﺎ ﹶﺃﻃﹸﻮ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ «‫ﺎ‬‫ﺭ ﹶﻟﻬ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺎ ﹸﻗ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴ ﹾﺄﺗِﻴﻬ‬‫ﺳ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﹶﻓِﺈ‬ “Sesungguhnya seorang laki-laki pernah mendatangi Nabi SAW lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai seorang jariyah (budak wanita). Ia adalah pelayan kami sekaligus tukang menyiram kebun kurma kami. Aku sering menggaulinya, tetapi aku tidak suka ia hamil.’ Mendengar itu, Nabi SAW kemudian bersabda, ‘Jika engkau mau, lakukanlah ‘azl terhadapnya, karena sesungguhnya akan terjadi pada wanita itu apa yang telah ditakdirkan oleh Allah baginya.” Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Said RA, dia berkata:

‫ﻦ‬ ‫ﺎ ِﻣ‬‫ﺎﻳ‬‫ﺳﺒ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒﻨ‬‫ﺻ‬  ‫ﺼ ﹶﻄِﻠ ِﻖ ﹶﻓﹶﺄ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺑﻨِﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ ِﺓ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﷲ  ﻓِﻲ ﹶﻏ‬ ِ ‫ﻮ ِﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ » ‫ﺎ‬‫ﺴﹶﺄﹾﻟﻨ‬  ‫ﺰ ﹶﻝ ﹶﻓ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﺒﻨ‬‫ﺒ‬‫ﺣ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ،‫ﺑ ﹸﺔ‬‫ﺰ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﺍﹾﻟ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺷ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎ َﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﺎ ﺍﻟ‬‫ﻴﻨ‬‫ﻬ‬ ‫ﺘ‬‫ﺷ‬ ‫ﺏ ﻓﹶﺎ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬

‫ﺰ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫ﻌﻠﹸﻮﺍ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ﺗ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﻻ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻣ‬:‫ﷲ  ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻦ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻋ‬

‘Azl

259

«‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻮ ِﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻖ ِﺇﻟﹶﻰ‬ ‫ﺎِﻟ‬‫ﻮ ﺧ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ‬‫ﺐ ﻣ‬  ‫ﺘ‬‫ﺪ ﹶﻛ‬ ‫ﺟ ﱠﻞ ﹶﻗ‬ ‫ﻭ‬ “Kami telah keluar bersama Nabi SAW dalam Perang Bani Mushthaliq. Lalu kami mendapatkan tawanan wanita dari kalangan orang Arab. Maka bangkitlah syahwat kami terhadap wanita dan terasa berat bagi kami untuk membujang. Kami lebih senang melakukan ‘azl. Maka kami bertanya tentang hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau pun bersabda,’Mengapa kalian tidak melakukannya. Karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan apa saja yang Dia ciptakan sampai Hari Kiamat.” Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir RA, dia berkata:

‫ﻳ ﹰﺔ‬‫ﺎ ِﺭ‬‫ ِﺇ ﱠﻥ ﻟِﻲ ﺟ‬:‫ﷲ  ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬ ِ ‫ــﻮ ِﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ ِﺭ ِﺇﻟﹶﻰ‬‫ﻧﺼ‬‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺟ ﹲﻞ ِﻣ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫» ﺟ‬

‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﺖ ﹶﻓِﺈ‬  ‫ﺎ ِﺇ ﹾﻥ ِﺷﹾﺌ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻋ‬ ‫ﻋ ِﺰ ﹾﻝ‬ ‫ ﺍ‬:‫ﺤ ِﻤ ﹶﻞ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻩ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ ﹾﻛ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﻠﹶ‬ ‫ﻑ‬  ‫ﹶﺃﻃﹸﻮ‬ «‫ﺎ‬‫ﺭ ﹶﻟﻬ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺎ ﹸﻗ‬‫ﺎ ﻣ‬‫ﻴ ﹾﺄﺗِﻴﻬ‬‫ﺳ‬ “Telah datang seorang laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah SAW lalu berkata,’Sesungguhnya aku mempunyai seorang budak wanita dan aku sering menggaulinya, tapi aku tidak suka dia hamil.’ Maka Rasulullah SAW bersabda,’Lakukan ‘azl padanya jika kamu suka, karena sesungguhnya tetap akan terjadi padanya apa yang ditaqdirkan baginya.” ‘Azl dibolehkan secara mutlak, apa pun tujuan suami melakukannya, baik dia bermaksud agar tidak terjadi kelahiran, atau agar anaknya sedikit, atau karena dia kasihan kepada istrinya yang lemah akibat hamil dan melahirkan, atau agar tidak terlalu memberatkan istrinya, sehingga istrinya tetap awet muda dan suami bisa bersenangsenang dengannya, maupun demi maksud-maksud lainnya. Ringkasnya, suami boleh melakukan ‘azl, apa pun tujuannya. Kebolehan ini dikarenakan dalil-dalil yang ada bersifat mutlak dan tidak terikat oleh kondisi apa pun, serta bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Artinya, dalil-dalil yang ada tetap

260

Sistem Pergaulan Dalam Islam

dalam kemutlakan dan keumumannya. Tidak dapat dikatakan bahwa ‘azl sama saja dengan tindakan membunuh seorang anak sebelum diciptakan, sebab terdapat hadits-hadits yang secara jelas menolak persepsi semacam ini. Abû Dâwud telah meriwayatkan dari Abû Sa‘îd RA, dia berkata:

‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ ﹾﻛ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻋ‬ ‫ﻋ ِﺰ ﹸﻝ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ ‫ﻳ ﹰﺔ‬‫ﺎ ِﺭ‬‫ﷲ ِﺇ ﱠﻥ ﻟِﻲ ﺟ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﻼ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬

‫ﺰ ﹶﻝ‬ ‫ــ‬‫ﺙ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﺪ ﹸ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎ ﹸﻝ‬‫ﺟ‬‫ﺪ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻳﺮِﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪ ﻣ‬ ‫ﺎ ﹸﺃﺭِﻳ‬‫ﻭﹶﺃﻧ‬ ‫ﺤ ِﻤ ﹶﻞ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ـﺎ‬ ‫ﻣـ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺨﹸﻠ ﹶﻘ ـ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ُ ‫ﺩ ﺍ‬ ‫ﺍ‬‫ﻮ ﹶﺃﺭ‬ ‫ﺩ ﹶﻟ‬ ‫ﻮ‬‫ﻳﻬ‬ ‫ﺑﺖ‬‫ ﹶﻛ ﹶﺬ‬:‫ ﻗﹶﺎﻝﹶ‬.‫ﻯ‬‫ﻐﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺩ ﹸﺓ ﺍﻟ‬ ‫ﻮﺀُﻭ‬ ‫ﻣ‬ «‫ﻪ‬ ‫ﺼ ِﺮﹶﻓ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ ﹾﻥ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ‬‫ﺳ‬ ‫ﺍ‬ “Seorang laki-laki pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki budak wanita. Aku sering menggaulinya dan melakukan ‘azl terhadapnya, karena aku tidak suka ia hamil, padahal aku menyukai apa yang disukai lelaki. Sedang orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalah tindakan pembunuhan kecil.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Orang-orang Yahudi itu telah berdusta. Sebab kalau Allah telah berkehendak untuk menciptakan sesuatu, engkau pasti tidak akan mampu menghalanginya.” Ada juga nash yang membolehkan ‘azl dengan maksud agar tidak memiliki anak. Imam Ahmad dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Usâmah ibn Zayd, dia berkata:

:‫ﻪ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟ‬.‫ﺮﹶﺃﺗِﻲ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ ِﺰ ﹸﻝ‬ ‫ﻲ ﹶﺃ‬‫ﻨِﺒ ِّﻲ  ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ‬‫ﺎ َﺀ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬‫ﻼ ﺟ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭ ﹶﻻ ِﺩﻫ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ ﹶﺃ‬ ‫ﻭ‬ ‫ ﹶﺃ‬،‫ﺎ‬‫ﻭﹶﻟ ِﺪﻫ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺷ ِﻔ‬ ‫ ﹸﺃ‬:‫ﺟ ﹸﻞ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻚ؟ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟ‬  ‫ﻌ ﹸﻞ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﺗ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ‬ ‫ِﻟ‬

«‫ﻡ‬ ‫ﻭ‬‫ﺍﻟﺮ‬‫ﺱ ﻭ‬  ‫ﺮ ﻓﹶﺎ ِﺭ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺍ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻮ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺿ‬ ‫ ﹶﻟ‬:‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ “Sesungguhnya seorang laki-laki pernah datang kepada Rasulullah SAW. Ia lantas berkata, ‘Sesungguhnya aku melakukan ‘azl pada istriku.’ Nabi SAW kemudian bertanya kepadanya, ‘Mengapa

‘Azl

261

engkau melakukannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Aku merasa kasihan terhadap anaknya atau anak-anaknya.’ Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalau sekiranya ‘azl itu berbahaya, tentu orang-orang Persia dan Romawi telah mendapatkan bahaya.” Di sini, Rasulullah SAW mengatakan, limâ taf‘al (Mengapa engkau melakukannya)? Beliau tidak mengatakan, lâ taf‘al (Jangan engkau lakukan itu)! Dari hadits ini dapat dipahami bahwa beliau telah menyetujui tindakan ‘azl. Tetapi beliau juga memberitahu laki-laki tersebut bahwa kelahiran sejumlah anak setelah memiliki beberapa anak tidak akan membawa kemadaratan. Ini didasarkan pada dalil yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam hadits yang bersumber dari Usâmah ibn Zayd. Disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW. Ia kemudian berkata:

‫ﷲ  ِﺇ ﹾﻥ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ــ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﻭﹶﻟ ِﺪﻫ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺷ ﹶﻔ ﹶﻘ ﹰﺔ‬ ‫ﺮﹶﺃﺗِﻲ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ ِﺰ ﹸﻝ‬ ‫»ِﺇِﻧّﻲ ﹶﺃ‬ «‫ﻭﻡ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ ﺍﻟــ‬ ‫ﺱ‬  ‫ﻚ ﻓﹶﺎ ِﺭ‬  ‫ﺮ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﺎ‬‫ ﻣ‬،‫ ﹶﻓﻼﹶ‬‫ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻛ ﹶﺬِﻟﻚ‬ “Sesungguhnya aku melakukan ‘azl pada istriku, karena aku merasa kasihan kepada anaknya. Rasulullah SAW lantas bersabda,’Jika memang demikian, tidak mengapa. Orang-orang Persia dan Romawi tidak tertimpa kemadaratan karena tindakan semacam itu.” Dalam hadits riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Abdurrahmân ibn Basyar yang juga bersumber dari Abû Sa‘îd, disebutkan bahwa laki-laki tersebut berkata:

«‫ﻴ ِﻊ‬‫ﺿ‬ ِ ‫ﺮ‬ ‫ﻮِﻟ ِﺪ ﺍﻟ‬ ‫ﻤ ﹸﻞ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻴﺔﹰ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﺸ‬  ‫ﺧ‬ » “Karena khawatir kalau-kalau kehamilan itu akan membahayakan anak yang disusui.” Jika Rasulullah SAW telah menyetujui ‘azl supaya tidak terjadi kehamilan sehingga tidak membahayakan anak yang masih disusui, maka persetujuan beliau ini berlaku pula untuk kebolehan ‘azl untuk mencegah kehamilan karena khawatir akan banyaknya tanggungan,

262

Sistem Pergaulan Dalam Islam

atau pada dasarnya demi menghindari terjadinya kelahiran anak itu sendiri, atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Sebab Allah SWT jika mengetahui bahwa seorang anak akan lahir, pasti anak itu akan lahir, baik seorang suami melakukan ‘azl atau tidak. Karena itulah, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Hibbân yang bersumber dari Anas RA. Disebutkan bahwa, seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi SAW mengenai ‘azl. Nabi SAW kemudian menjawab:

‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﺝ ِﻣ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺧ‬ ‫ﺮ ٍﺓ َ َﻷ‬ ‫ﺨ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺮﻗﹾ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﻳﻜﹸﻮ ﹸﻥ ِﻣ‬ ‫ﺎ َﺀ ﺍﱠﻟﺬِﻱ‬‫ﻮ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﹾﻟﻤ‬ ‫»ﹶﻟ‬ «‫ﻟﹶﺪﺍﹰ‬‫ﻭ‬

“Sekiranya air mani yang menjadi bakal anak ditumpahkan pada sebuah batu besar yang keras, Allah pasti kuasa mengeluarkan dari batu itu seorang anak.” Tidak dapat dikatakan bahwa bolehnya ‘azl telah menyalahi anjuran Nabi SAW untuk memperbanyak keturunan sebagaimana sabda Nabi SAW:

«‫ﺍ‬‫ﺮﻭ‬ ‫ﺗ ﹾﻜﹸﺜ‬ ‫ﺍ‬‫ﺳﹸﻠﻮ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﻨ‬ ‫ﺍ‬‫ﺤﻮ‬  ‫ﺎ ﹶﻛ‬‫ﺗﻨ‬» “Kawinlah kalian, kembangkanlah keturunan kalian, dan perbanyaklah.” Tidak dapat dikatakan demikian, sebab bolehnya ‘azl tidaklah menyalahi anjuran untuk memperbanyak keturunan. Sebab dalam hal yang pertama, terdapat anjuran untuk memperbanyak keturunan, sedangkan dalam hal yang kedua, terdapat kebolehan untuk melakukan ‘azl. Memang, ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jadzamah binti Wahab al-Asadiyyah, bahwa dia berkata:

‫ﻢ‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬‫ﺱ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ ﻫ‬  ‫ﻭﻓﹶﺎ ِﺭ‬ ‫ﻭ ِﻡ‬‫ﺕ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻨ ﹶﻈ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﻐِﻴﹶﻠ ِﺔ ﹶﻓ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻰ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺖ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺪ‬ ‫»ﹶﻟ ﹶﻘ‬ .‫ﺰ ِﻝ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺳﹶﺄﻟﹸﻮ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬،‫ﻴﺌﹰﺎ‬‫ﺷ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻢ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺮ ﹶﺃ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ ﹶﻻﺩ‬ ‫ﻳﻐِﻴﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬

‘Azl

263

‫ﺩ ﹸﺓ‬ ‫ﻮﺀُﻭ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﺍﹾﻟ‬  :‫ﻫِﻲ‬‫ﻲ ﻭ‬ ‫ﺨ ِﻔ‬  ‫ﺩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮﹾﺃ‬ ‫ﻙ ﺍﹾﻟ‬ ‫ ﺫﹶﺍ‬: ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ «‫ﺖ‬  ‫ِﺌﹶﻠ‬‫ﺳ‬ “Aku pernah hadir menyaksikan Rasulullah SAW di tengah-tengah orang banyak seraya bersabda, ‘Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk melarang ghîlah (menggauli istri yang masih dalam masa menyusui anaknya). Aku kemudian mengamati orang-orang Persia dan Romawi, ternyata mereka pun melakukan ghîlah, tetapi toh hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sama sekali.’ Para sahabat kemudian bertanya tentang ‘azl. Rasulullah SAW kemudian menjawab, ‘‘Azl adalah pembunuhan yang samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah ‘Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (TQS at-Takwîr [81]: 8).” Hadits ini bertentangan dengan hadits-hadits sahih yang secara gamblang membolehkan ‘azl. Jika ada sebuah hadits yang bertentangan dengan hadits-hadits lain yang lebih banyak jalur periwayatannya, maka hadits-hadits yang lebih banyak jalur periwayatannya itulah yang lebih râjih (kuat) dan ditolaklah hadits tersebut. Atas dasar ini, hadits Jadzamah binti Wahab al-Asadiyyah tersebut tertolak, karena bertentangan dengan hadits yang lebih kuat dan lebih banyak jalur periwayatannya. Tidak dapat pula dikatakan bahwa menggabungkan (menjama’) hadits tersebut dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl, membawa hadits tersebut pada makruhnya ‘azl. Penggabungan hadits hanya mungkin dilakukan jika tidak ada kontradiksi yakni penafian Rasulullah SAW dalam hadits lain terhadap pengertian yang ditunjukkan oleh hadits tersebut. Sebab, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abû Dâwud dari Abû Sa‘îd bunyinya adalah:

«‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻳﻬ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺑ‬‫ ﹶﻛ ﹶﺬ‬:‫ﻯ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﻐﺮ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺩ ﹸﺓ ﺍﻟ‬ ‫ﻮﺀُﻭ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺰ ﹶﻝ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺪﺙﹸ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﻮ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬ » “Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalah pembunuhan kecil.” Beliau kemudian menjawab, “Orang-orang Yahudi itu telah berdusta.”

264

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Sementara itu, hadits Jadzamah menyatakan:

«‫ﺖ‬  ‫ﺳِﺌﹶﻠ‬ ‫ﺩ ﹸﺓ‬ ‫ﻮﺀُﻭ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﺍﹾﻟ‬  :‫ﻭ ِﻫﻲ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺨ ِﻔ‬  ‫ﺩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻮﹾﺃ‬ ‫ﻙ ﺍﹾﻟ‬ ‫»ﺫﹶﺍ‬ “‘Azl adalah pembunuhan yang samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (TQS at-Takwîr [81]: 8).” Jadi, tidak mungkin menggabungkan kedua hadits ini. Boleh jadi salah satu hadits di atas sudah dihapus (mansûkh) atau salah satunya lebih kuat sehingga hadits lain yang lebih lemah tertolak. Namun sejarah kedua hadits itu tidak diketahui. Sementara itu, hadits Abû Sa‘îd didukung oleh banyak hadits dengan jalur periwayatannya yang banyak. Sedangkan hadits Jadzamah hanya satu saja dan tidak diperkuat oleh satu hadits pun. Karena itu, hadits yang diriwayatkan oleh Jadzîmah tertolak, sedang hadits lain yang lebih kuat dianggap lebih rajih ketimbang hadits tersebut. Walhasil, ‘azl dibolehkan secara mutlak, tanpa kemakruhan sedikit pun, apa pun tujuan orang melakukannya berdasarkan keumuman dalil-dalil. Seorang suami yang ingin melakukan ‘azl tidak perlu meminta izin istrinya, karena tindakan ini bergantung pada suami, bukan pada istri. Tidak dapat dikatakan bahwa karena persetubuhan (jima’) adalah hak istri, maka sperma menjadi hak istri, sehingga suami tidak boleh menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya tanpa seizinnya. Tidak demikian, sebab ini adalah upaya mencari-cari ‘illat (alasan hukum) yang bersifat akli (‘illat ‘aqliyyah), bukan illat yang syar‘î, sehingga tidak ada nilainya. Apalagi pandangan ini tertolak, karena hak isteri adalah jima’, bukan penumpahan sperma. Buktinya seorang suami yang impoten, jika telah berusaha menyetubuhi istrinya tetapi spermanya tidak dapat terpancar, maka hak istri dianggap telah terpenuhi dengan telah terjadinya persetubuhan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, istri tidak berhak untuk melakukan fasakh (membatalkan pernikahannya). Memang ada hadits yang diriwayatkan Ibn Mâjah dari ‘Umar ibn al-Khaththâb bahwa ia berkata:

‘Azl

265

«‫ﺎ‬‫ﺮ ِﺓ ِﺇ ﱠﻻ ِﺑِﺈ ﹾﺫِﻧﻬ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺰ ﹶﻝ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻰ‬‫ﻧﻬ‬» “Rasulullah SAW telah melarang ‘azl terhadap wanita merdeka, kecuali dengan izinnya.” Tapi hadits ini dha‘îf (lemah), karena dalam sanad-nya terdapat Ibn Luhaiah. Ada komentar-komentar negatif tentang orang ini (fiihi maqal). Dengan demikian, hadits-hadits mengenai kebolehan ‘azl tetap bersifat mutlak. Hukum ‘azl dapat diterapkan pada penggunaan obat (pil KB), kondom, atau spiral untuk mencegah kehamilan. Semua ini termasuk masalah yang sama, karena dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl dapat diterapkan secara tepat pada penggunaan alat-alat kontrasepsi tersebut. Penggunaan alat-alat kontrasepsi ini adalah salah satu cara di antara cara-cara pencegahan kehamilan. Sebab, hukum yang ada adalah kebolehan seorang suami untuk melakukan upaya pencegahan kehamilan, baik dengan cara melakukan ‘azl atau dengan cara yang lainnya. Apa yang telah diperbolehkan bagi seorang suami diperbolehkan pula bagi istri, karena hukum yang ada adalah kebolehan mencegah kehamilan dengan menggunakan sarana (alat) apa saja. Kebolehan untuk mencegah kehamilan ini khusus untuk mencegah kehamilan sementara. Sedangkan pencegahan kehamilan yang bersifat permanen (seperti tubektomi atau vasektomi, pen) dan upaya menimbulkan kemandulan adalah haram. Jadi penggunaan obat-obatan atau operasi-operasi pembedahan yang bertujuan untuk mencegah kehamilan secara permanen sekaligus untuk menghentikan keturunan, adalah haram. Ini tidak boleh dilakukan karena termasuk salah satu jenis pengebirian, dan dihukumi sebagaimana hukum pengebirian. Karena tindakan seperti ini sama-sama dapat memutuskan keturunan, sebagaimana halnya pengebirian. Padahal ada larangan yang jelas untuk melakukan pengebirian. Sa‘ad ibn Abî Waqâsh RA berkata:

‫ﻪ‬ ‫ـ‬ ‫ﻮ ﹶﺃ ِﺫ ﹶﻥ ﻟﹶـ‬ ‫ـ‬ ‫ﻭﻟﹶـ‬ ‫ﺘ ﹶﻞ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﻮ ٍﻥ ﺍﻟ‬‫ﻣ ﹾﻈﻌ‬ ‫ﺑ ِﻦ‬ ‫ﺎﻥﹶ‬‫ﻋﹾﺜﻤ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺭ‬ » «‫ﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺼ‬‫ﺘ‬‫ﻻﹶﺧ‬

266

Sistem Pergaulan Dalam Islam

“Rasulullah SAW telah menolak ‘Utsmân ibn Mazh‘ûn untuk hidup membujang (tabattul). Seandainya itu diizinkan, niscaya kami akan melakukan pengebirian.” (Muttafaq ‘alaihi) ‘Utsmân ibn Mazh‘ûn pernah datang menjumpai Nabi SAW kemudian berkata:

،ِ‫ــﺎﺀ‬‫ﺧِﺘﺼ‬ ‫ﺑ ﹸﺔ ﹶﻓﹶﺄ ﹶﺫ ﹾﻥ ﻟِــﻲ ِﺑ ﹾﺎ ِﻻ‬‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﺟ ﹲﻞ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﷲ ِﺇِﻧّﻲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫»ﻳ‬ «‫ﺎ ِﻡ‬‫ﺼﻴ‬ ِّ ‫ﻚ ﺑِﺎﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ،‫ ﻻﹶ‬:‫ﻗﹶﺎﻝﹶ‬ “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki yang sangat berat untuk hidup membujang. Maka izinkanlah aku untuk melakukan pengebirian.” Rasulullah SAW bersabda, “Tidak, tetapi hendaklah engkau berpuasa.” Dalam redaksi lain disebutkan demikian:

‫ﻴ ِﺔ‬‫ﺎِﻧ‬‫ﻫﺒ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﺑِﺎﻟ‬‫ﺪﹶﻟﻨ‬ ‫ﺑ‬‫ﷲ ﹶﺃ‬ َ ‫ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬:‫ﺎﺀِ؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺧِﺘﺼ‬ ‫ﺗ ﹾﺄ ﹶﺫ ﹸﻥ ﻟِﻲ ﻓِﻲ ﹾﺍ ِﻻ‬‫ ﹶﺃ‬،ِ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﷲ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫»ﻳ‬ «‫ﺤ ﹶﺔ‬  ‫ﻤ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻴ ﹶﺔ ﺍﻟ‬‫ﻴ ِﻔ‬‫ﺤِﻨ‬  ‫ﺍﹾﻟ‬ “‘Utsmân ibn Mazh‘ûn berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau mengizinkan aku untuk melakukan pengebirian?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan gantinya kepada kami dengan ‘kerahiban’ yang lurus dan lapang (tidak memberatkan).” Anas RA juga bertutur sebagai berikut:

:‫ﻘﹸﻮ ﹸﻝ‬‫ﻳ‬‫ ﻭ‬،‫ﺍ‬‫ﺷﺪِﻳﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬﻴ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺘ ِﻞ‬‫ﺒ‬‫ﺘ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻰ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ،‫ﺎ َﺀ ِﺓ‬‫ﺮﻧﹶﺎ ﺑِﺎﹾﻟﺒ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻳ ﹾﺄ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫»ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟ‬ «‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻣ ِﻢ‬ ‫ﻢ ﹾﺍ ُﻷ‬ ‫ﺮ ِﺑ ﹸﻜ‬ ‫ﻣﻜﹶﺎِﺛ‬ ‫ﻲ‬‫ﻑ‬ ‫ﺩ ِﺇﻧ‬ ‫ﻮﻟﹸﻮ‬ ‫ﺩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ‬‫ﻮﺩ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ “Nabi SAW telah memerintahkan kepada kami untuk menikah dan melarang keras untuk hidup membujang. Beliau pernah berkata, ‘Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku

‘Azl

267

akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lain pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad) Memutuskan keturunan secara permanen bertentangan dengan syariah yang menetapkan berketurunan dan beranak sebagai prinsip asal pernikahan. Karena itu, Allah SWT berfirman memaparkan anugerah-Nya kepada manusia:

Νà6Å_≡uρø—r& ôÏiΒ Νä3s9 Ÿ≅yèy_uρ %[`≡uρø—r& ö/ä3Å¡à Ρr& ôÏiΒ Νä3s9 Ÿ≅yèy_ ª!$#uρ

∩∠⊄∪ Zοy‰x ymuρ tÏΖt/

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu.” (TQS an-Nahl [16]: 72) Syariah Islam telah menetapkan berbanyak anak sebagai hal yang disunnahkan (mandûb), didorong, dan dipuji pelakunya. Anas RA menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

«‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻧِﺒﻴ‬‫ﻢ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﺮ ِﺑ ﹸﻜ‬ ‫ﻣﻜﹶﺎِﺛ‬ ‫ﻲ‬‫ﻑ‬ ‫ﺩ ِﺇﻧ‬ ‫ﻮﻟﹸﻮ‬ ‫ﺩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ‬‫ﻮﺩ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬» “Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan para Nabi pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad) ‘Abdullâh ibn ‘Umar juga menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

«‫ﻣ ِﺔ‬ ‫ﺎ‬‫ﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎﻫِﻲ ِﺑ ِﻬ‬‫ﻲ ﹸﺃﺑ‬‫ﻭ ﹶﻻ ِﺩ ﹶﻓِﺈﻧ‬ ‫ﺕ ﹾﺍ َﻷ‬ ِ ‫ﺎ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻮﺍ ﹸﺃ‬‫ﻧ ِﻜﺤ‬‫»ﺍ‬ “Nikahilah oleh kalian para wanita yang akan melahirkan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian pada hari Kiamat.” (HR Ahmad) Sementara itu, Ma‘qil ibn Yassâr meriwayatkan:

‫ﺐ‬ ٍ ‫ــ‬‫ﺣﺴ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﺫﹶﺍ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ ﺍ‬  ‫ﺒ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﻲ ﹶﺃ‬‫ ِﺇﻧ‬:‫ﻲ  ﻓﹶ ﻘﹶﺎﻝﹶ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺟ ﹲﻞ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ َﺀ‬‫» ﺟ‬

268

Sistem Pergaulan Dalam Islam

‫ﻩ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﺃﺗ‬ ‫ ﹸﺛ‬،‫ﻩ‬ ‫ﺎ‬‫ﻨﻬ‬‫ﻴ ﹶﺔ ﹶﻓ‬‫ﻩ ﺍﻟﺜﱠﺎِﻧ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﺃﺗ‬ ‫ ﹸﺛ‬،‫ ﹶﻻ‬:‫ﺎ؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺟﻬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬‫ﺪ ﹶﺃﹶﻓﹶﺄ‬ ‫ﺗِﻠ‬ ‫ﺎ ﹶﻻ‬‫ﻧﻬ‬‫ﻭِﺇ‬ ‫ﺎ ٍﻝ‬‫ﺟﻤ‬ ‫ﻭ‬ «‫ﻢ‬ ‫ﺮ ِﺑ ﹸﻜ‬ ‫ﻣﻜﹶﺎِﺛ‬ ‫ﻲ‬‫ﺩ ﹶﻓِﺈﻧ‬ ‫ﻮﻟﹸﻮ‬ ‫ﺩ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻭ‬‫ﻮﺩ‬ ‫ﻮﺍ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﺟ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ :‫ﺍﻟﺜﱠﺎِﻟﹶﺜ ﹶﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ “Seorang lelaki pernah datang menjumpai Rasulullah SAW kemudian berkata, ‘Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita yang terhormat lagi cantik, tetapi ia mandul. Bolehkah aku mengawininya?’ Rasululullah SAW menjawab, “Tidak.” Setelah itu, lelaki itu datang kedua kalinya, dan Rasulullah SAW tetap melarangnya. Selanjutnya lelaki itu datang untuk ketiga kalinya, lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR Abu Dawud). Makna kata “ashabtu”, adalah wajadtu (aku mendapatkan), atau aradtu (aku menghendaki). Kebolehan mencegah kehamilan secara sementara, dengan ‘azl atau dengan cara-cara lain untuk mencegah kehamilan, tidak berarti boleh untuk melakukan pengguguran janin (abortus). Sebab, pengguguran janin yang telah diberi ruh (nyawa), adalah haram, baik dengan meminum obat, dengan melakukan gerakan-gerakan yang keras, atau dengan tindakan medis; baik dilakukan oleh pihak ibu, ayah, maupun dokter. Sebab, abortus merupakan tindakan pelanggaran terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya. Tindakan ini termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki atau budak perempuan, yang nilainya sepersepuluh diyat membunuh manusia dewasa. Allah SWT berfirman:

∩⊇∈⊇∪ Èd,ysø9$$Î/ āωÎ) ª!$# tΠ§ym ÉL©9$# š[ø ¨Ζ9$# (#θè=çGø)s? Ÿωuρ “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (TQS al-An‘âm [6]: 151)

‘Azl

269

Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abû Hurayrah, dia berkata:

‫ﺮ ٍﺓ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺎ ِﺑ‬‫ﻴﺘ‬‫ﻣ‬ ‫ﻂ‬ ‫ﺳ ﹶﻘ ﹶ‬ ‫ﺎ ﹶﻥ‬‫ﺤﻴ‬  ‫ﺑﻨِﻲ ﹶﻟ‬ ‫ﺮﹶﺃ ٍﺓ ِﻣﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﲔ ﺍ‬ ِ ‫ﺟِﻨ‬ ‫ﷲ  ﻓِﻲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻰ‬‫» ﹶﻗﻀ‬ «‫ﻣ ٍﺔ‬ ‫ﻭ ﹶﺃ‬ ‫ﺒ ٍﺪ ﹶﺃ‬‫ﻋ‬ “Rasulullah telah menetapkan bagi janin seorang wanita Bani Lahyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki ataupun budak perempuan.” Bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah, adalah sudah tampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, atau kuku. Adapun pengguguran janin sebelum peniupan ruh pada janin itu, jika dilakukan setelah berlalu 40 hari sejak awal kehamilan, ketika dimulai proses penciptaan, maka hal itu juga haram. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata,”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

‫ﺎ‬‫ﺭﻫ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺼ ـ‬  ‫ـﺎ ﹶﻓ‬ ‫ﻣﹶﻠ ﹰﻜـ‬ ‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﷲ ِﺇﹶﻟ‬ ُ ‫ﺚﺍ‬ ‫ﻌ ﹶ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﹶﻠ ﹰﺔ‬‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﻟﻴ‬‫ﺑﻌ‬‫ﺭ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺎ ِﻥ‬‫ﻨﺘ‬‫ﻨ ﹾﻄ ﹶﻔ ِﺔ ِﺛ‬‫ﺮ ﺑِﺎﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫»ِﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ﺏ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ـﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻢ ﻗﹶـ‬ ‫ﺎ ﹸﺛ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻭ ِﻋﻈﹶﺎ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤﻬ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﻫ‬ ‫ﻭ ِﺟ ﹾﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺼ‬  ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻌﻬ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﻭ‬ «...‫ﻴ ﹾﻘﻀِﻲ‬‫ﻧﺜﹶﻰ ﹶﻓ‬‫ﻡ ﹸﺃ‬ ‫ﺮ ﹶﺃ‬ ‫ﹶﺃ ﹶﺫ ﹶﻛ‬ “Jika nuthfah (zigote) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian dia berkata,’Wahai Tuhanku, apakah [dia Engkau tetapkan menjadi] laki-laki atau perempuan/” Maka Allah memberi keputusan...” Dalam satu riwayat: empat puluh malam (arba’ina lailatan) Jika pengguguran janin terjadi pada saat permulaan proses penciptaan janin, hukumnya sama dengan pengguguran janin yang

270

Sistem Pergaulan Dalam Islam

telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Selain itu ada kewajiban membayar diyat pada kasus itu berupa ghurrah: yaitu budak laki-laki atau perempuan. Hal itu dikarenakan ketika dimulai proses pembentukan janin dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah janin yang hidup dan sedang menjalani proses untuk menjadi seorang manusia sempurna. Karena itu, penganiayaan terhadap janin itu sama saja dengan penganiayaan terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai pembunuhan terhadap janin. Allah SWT jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini. Allah SWT berfirman:

∩∪ ôMn=ÏGè% 5=/ΡsŒ Äd“r'Î/ ∩∇∪ ôMn=Í×ß™ äοyŠ…âöθyϑø9$# #sŒÎ)uρ “Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh?” (TQS at-Takwîr [81]: 8-9) Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan abortus setelah janin berumur 40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan itu, berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diyat atas janin yang digugurkannya itu, yakni diyat ghurrah berupa budak lelaki atau budak wanita, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim di atas. Abortus tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik, pen) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, abortus dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.

Talak

271

TALAK Sebagaimana Allah SWT telah menetapkan syariah tentang pernikahan, Allah SWT juga telah menetapkan syariah tentang talak (perceraian). Dasar pensyariatan talak adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ Sahabat. Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

∩⊄⊄∪ 9≈|¡ômÎ*Î/ 7xƒÎŽô£s? ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù ( Èβ$s?§÷s∆ ß,≈n=©Ü9$#

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah [2]: 229)

∩⊇∪ €∅ÍκÌE£‰ÏèÏ9 £èδθà)Ïk=sÜsù u!$|¡ÏiΨ9$# ÞΟçFø)‾=sÛ #sŒÎ) ÷É<¨Ζ9$# $pκš‰r'‾≈tƒ “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (TQS ath-Thalâq [65]: 1) Sementara itu di dalam as-Sunnah, telah diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Khaththâb RA:

«‫ﺎ‬‫ﻌﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﺭ‬ ‫ﺼ ﹶﺔ ﹸﺛ‬  ‫ﺣ ﹾﻔ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﻲ  ﹶﻃﱠﻠ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫»ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﻟ‬ “Bahwa Nabi SAW pernah menceraikan Hafshah, kemudian merujuknya kembali.” (HR al-Hâkim dan Ibnu Hibbân).

272

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Juga telah diriwayatkan dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar, ia berkata:

‫ﺎ‬‫ﺮﻧِﻲ ﹶﺃﺑِﻲ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹸﺃ ﹶﻃﱢﻠ ﹶﻘﻬ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ ﹶﻓﹶﺄ‬‫ﻬ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﻳ ﹾﻜ‬ ‫ﻭﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﺃﺑِﻲ‬ ‫ﺎ‬‫ﺒﻬ‬‫ﺮﹶﺃ ﹲﺓ ﹸﺃ ِﺣ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺤﺘِﻲ ﺍ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻧﺖ‬‫»ﻛﹶﺎ‬ «‫ﻚ‬  ‫ﺗ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻖ ﺍ‬ ‫ﺮ ﹶﻃﱢﻠ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﺒ‬‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﻲ  ﻓﹶﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻚ ﻟِﻠ‬  ‫ﺮ ﹶﺫِﻟ‬ ‫ﺖ ﹶﻓ ﹶﺬ ﹶﻛ‬  ‫ﻴ‬‫ﺑ‬‫ﹶﻓﹶﺄ‬ “Aku mempunyai seorang isteri yang aku cintai, tetapi ayahku tidak menyukainya. Lalu ayahku menyuruhku untuk menceraikannya, tetapi aku menolaknya. Lalu ayahku menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW, Beliau kemudian bersabda: “Hai ‘Abdullâh ibn ‘Umar, ceraikanlah isterimu!” (HR at-Tirmidzî dan al-Hâkim) Para sahabat Nabi SAW juga telah berijma’ atas disyariatkannya talak (perceraian). Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan, yakni melepaskan simpul perkawinan. Kebolehan talak tidak memiliki ‘illat syar‘iyyah apapun. Nash-nash yang menyatakan kebolehan talak, baik nash-nash al-Quran maupun hadits Nabi SAW, tidak mengandung ‘illat (sebab disyariatkannya hukum) apa pun. Sehingga talak adalah halal karena telah dihalalkan oleh syariah dan bukan karena sebab lain. Penjatuhan talak sesuai dengan syariah ada tiga kali talak, talak setelah talak (secara berurutan). Jika suami mentalak isterinya satu kali (yang pertama), jatuhlah talak satu. Suami boleh merujuknya selama masa iddahnya tanpa akad baru. Jika suami mentalak isterinya untuk yang kedua kalinya, jatuhlah talak dua. Suami boleh merujuk isterinya selama masa iddahnya, juga tanpa akad baru. Jika dalam kedua talak tersebut, masa ‘iddah si isteri telah usai, sementara suami tidak merujuknya, maka kedua talak tersebut menjadi talak bâ’in sughrâ. Suami tidak boleh merujuk isterinya, kecuali dengan akad dan mahar baru. Jika suami mentalak isterinya untuk yang ketiga kalinya, jatuhlah talak tiga, dan talak tersebut menjadi talak bâ’in kubrâ. Si suami tidak boleh merujuk kembali mantan isterinya, kecuali setelah mantan isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dan telah berhubungan suami isteri dengannya, serta telah berakhir masa iddahnya setelah cerai dari suami keduanya itu. Allah SWT berfirman:

Talak

273

‘≅Ïts† Ÿωuρ 3 9≈|¡ômÎ*Î/ 7xƒÎŽô£s? ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù ( Èβ$s?§÷s∆ ß,≈n=©Ü9$#

$yϑŠÉ)ムāωr& !$sù$sƒs† βr& HωÎ) $º↔ø‹x© £èδθßϑçF÷s?#u !$£ϑÏΒ (#ρä‹è{ù's? βr& öΝà6s9 $uΚ‹Ïù $yϑÍκöŽn=tã yy$oΨã_ Ÿξsù «!$# yŠρ߉ãn $uΚ‹É)ムāωr& ÷Λäø Åz ÷βÎ*sù ( «!$# yŠρ߉ãm «!$# yŠρ߉ãn £‰yètGtƒ tΒuρ 4 $yδρ߉tG÷ès? Ÿξsù «!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï? 3 ϵÎ/ ôNy‰tGøù$#

4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)‾=sÛ βÎ*sù ∩⊄⊄∪ tβθãΚÎ=≈©à9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé'sù

βÎ) !$yèy_#uŽtItƒ βr& !$yϑÍκöŽn=tæ yy$uΖã_ Ÿξsù $yγs)‾=sÛ βÎ*sù 3 …çνuŽöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs?

tβθßϑn=ôètƒ 5Θöθs)Ï9 $pκß]ÍhŠu;ム«!$# ߊρ߉ãn y7ù=Ï?uρ 3 «!$# yŠρ߉ãn $yϑŠÉ)ムβr& !$¨Ζsß

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (TQS al-Baqarah [2]: 229-230) Di dalam ayat tersebut, Allah SWT telah mengajarkan kepada kaum Muslim bagaimana melakukan perceraian. Allah SWT berfirman (artinya): “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali..”. Selanjutnya Allah

274

Sistem Pergaulan Dalam Islam

SWT memberikan pilihan kepada kaum Muslim –setelah mengajari mereka– antara tetap mempertahankan isteri dengan mempergaulinya secara baik dan menunaikan kewajiban-kewajiban atas mereka, atau menceraikan isteri dengan cara yang baik pula. Selanjutnya Allah SWT berfirman (artinya): “ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”. Maksudnya, jika suami mentalak isterinya untuk yang ketiga kalinya, setelah dua talak sebelumnya, maka setelah talak yang ketiga itu mantan isterinya tidak halal lagi bagi mantan suami, hingga mantan isterinya itu kawin dengan pria lain (suami lain). Kemudian, Allah SWT berfirman, yang artinya: “ Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali”. Maksudnya, jika suami kedua menceraikan wanita itu, suami pertama boleh merujuknya kembali dengan akad dan mahar yang baru. Subyek (fâ‘il) dari kalimat thallaqahâ yang kedua, kembali pada frasa terdekat yang telah disebut, yakni frasa “zawjan ghayrahu (suami yang lain)” yakni suami kedua. Sementara subyek (fâ‘il) dari kalimat “yatarâja‘â”, kembali kepada suami yang pertama. Maksudnya, tidak ada halangan bagi keduanya (yakni suami pertama dan mantan isterinya itu, pen) untuk menikah lagi. Berdasarkan hal itu, seorang suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak atas isterinya sebanyak tiga kali. Dua talak diantaranya, suami boleh merujuk isterinya. Sedangkan pada talak yang ketiga, suami tidak boleh merujuk isterinya sampai mantan isterinya itu menikah lagi dengan pria lain. Hak talak ada di tangan suami, bukan di tangan isteri. Suamilah yang memiliki wewenang atas talak, bukan isteri. Adapun kenapa hak menjatuhkan talak berada di tangan suami? Hal itu karena Allah SWT memang telah menetapkan talak di tangan suami. Syara’ tidak menyatakan ‘illat apapun atas hal itu, sehingga talak tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat apapun. Memang benar dengan menelaah secara dalam terhadap fakta pernikahan dan perceraian, akan tampak bahwa perkawinan merupakan permulaan kehidupan suami-isteri yang baru. Sebelumnya

Talak

275

pria dan wanita saling tolong-menolong dalam memilih pasangannya masing-masing yang diinginkannya. Masing-masing berhak untuk menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya serta berhak untuk menolak menikah dengan siapa saja yang tidak dikehendakinya. Akan tetapi, ketika pernikahan telah benar-benar terjadi secara riil, dan kepemimpinan rumah-tangga telah diberikan kepada suami, serta tanggung jawab atas isteri juga telah diberikan kepada suami, maka sudah menjadi keharusan talak berada di tangan suami dan sekaligus menjadi bagian dari haknya. Karena suami adalah kepala rumah tangga sekaligus pengatur keluarga. Atas dasar ini, hanya kepada suamilah beban dan tanggung jawab mengurus rumah-tangga dipikulkan. Maka, kewenangan untuk memutuskan tali-ikatan perkawinan wajib hanya menjadi milik suami saja. Jadi kewenangan itu setara dengan kadar tanggung-jawab. Dan pemisahan antara suami-isteri berada di tangan pihak yang bertanggung jawab atas pihak yang lain diantara keduanya (suami-isteri). Namun penjelasan di atas hanya merupakan deskripsi fakta yang ada, bukan penetapan‘illat hukum syara’. Sebab ‘illat hukum syara’ tidak boleh ada kecuali merupakan ‘illat syar‘iyyah yang terdapat di dalam nash syar’i. Hanya saja, keberadaan talak di tangan suami sekaligus menjadi haknya semata, tidak berarti bahwa isteri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dan melangsungkan perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Akan tetapi, artinya ialah bahwa wewenang talak di tangan suami semata sebagai ketentuan asal yang bersifat mutlak, tidak dibatasi dengan situasi dan kondisi apa pun. Bahkan seorang suami berhak menjatuhkan talak tanpa adanya sebab. Akan tetapi, seorang isteri pun berhak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, dan mengadakan perpisahan antara dirinya dengan suaminya dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh syariah. Syara’ telah membolehkan bagi wanita untuk memfasakh (membatalkan/merusak) ikatan pernikahan dalam beberapa kondisi berikut: 1. Jika suami menyerahkan masalah talak di tangan isteri. Pada kondisi seperti ini, isteri memiliki hak untuk menceraikan dirinya sendiri

276

Sistem Pergaulan Dalam Islam

sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh suaminya. Maka isteri mengatakan: “Aku telah menceraikan diriku sendiri dari suamiku, si Fulan.” Atau isteri berkata kepada suaminya: “Aku telah menceraikan diriku darimu.” Akan tetapi, isteri tidak boleh mengatakan: “Aku telah menceraikan kamu,” atau “Engkau aku ceraikan”. Hal itu karena talak tersebut terjadi atas isteri, bukan atas suami, hingga meskipun talak tersebut berasal dari isteri. Suami boleh menjadikan urusan talak berada di tangan isteri karena Rasulullah SAW pernah memberikan pilihan (khiyâr) kepada isterinya (untuk bercerai atau tidak, pen). Juga karena adanya Ijma’ Sahabat atas hal itu. 2. Jika isteri mengetahui bahwa suaminya memiliki cacat sehingga tidak dapat melakukan senggama, seperti impoten atau telah dikebiri, sedangkan isteri tidak memiliki cacat semacam itu. Dalam keadaan seperti ini, isteri dapat mengajukan fasakh (pembatalan) atas pernikahannya dengan suaminya itu. Jika hakim telah membuktikan adanya cacat tersebut, hakim memberi tangguh kepada sang suami satu tahun. Jika suami tetap tidak mampu menggauli isterinya, maka hakim memenuhi tuntutan sang isteri dan memfasakh pernikahannya. Diriwayatkan bahwa Ibn Mundzir telah menikah dengan seorang wanita, sedangkan ia sendiri telah dikebiri. ‘Umar kemudian bertanya kepadanya: “Apakah engkau sudah memberi tahu isterimu?” Ia menjawab: “Belum.” ‘Umar berkata: “Beritahu dulu isterimu, kemudian biarkan ia memilih (antara bercerai atau tidak, pen)”. Juga diriwayatkan bahwa ‘Umar pernah memberikan tempo satu tahun kepada seorang suami yang impoten. Jika sang isteri menjumpai bahwa suaminya dikebiri (buah zakarnya dipotong) atau zakarnya lumpuh (tidak dapat ereksi secara permanen, pen), maka saat itu juga sang isteri diberikan hak khiyâr (pilihan). Dalam keadaan semacam ini, sang isteri tidak perlu diberi tangguh, karena senggama tidak dapat diharapkan lagi dari sang suami, sehingga waktu untuk menunggu itu tidak ada artinya.

Talak

277

3. Jika tampak bagi sang isteri –baik sebelum maupun sesudah terjadi persetubuhan– bahwa suaminya mengidap suatu penyakit yang tidak memungkinkan bagi dirinya tinggal bersama suaminya itu tanpa adanya bahaya (dampak buruk) bagi dirinya, seperti: penyakit lepra, kusta, sipilis (penyakit kelamin lainnya), TBC, atau menderita penyakit lainnya yang serupa. Dalam keadaan seperti ini, isteri dapat mengadukan masalahnya kepada hakim dan menuntut pemisahan antara dirinya dengan suaminya. Tuntutan isteri dapat dikabulkan jika terbukti adanya penyakit tersebut dan tidak ada peluang bagi suami untuk sembuh dalam jangka waktu tertentu. Khiyâr (pilihan) yang diambil isteri berlaku permanen, bukan bersifat temporer (sementara). Hal ini didasarkan pada kaidah syariah tentang bahaya (qâ’idah adh-dharar) dan karena mempertimbangkan riwayat yang terdapat di dalam kitab al-Muwaththa’, karya Imam Mâlik, bahwa beliau menerima riwayat dari Sa‘îd ibn al-Musayyab, ia berkata:

‫ﺕ‬  ‫ــﺎ َﺀ‬‫ﻲ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﺷ‬ُ ‫ﺨ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻧ‬‫ﺭ ﹶﻓِﺈ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺿ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻮ ﹲﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﻨ‬‫ﺟ‬ ‫ﻭِﺑ ِﻪ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹰﺓ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺝ ِﺍ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺟ ٍﻞ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳﻤ‬‫»ﹶﺃ‬ «‫ﺖ‬  ‫ﺭﹶﻗ‬ ‫ﺕ ﻓﹶﺎ‬  ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻭِﺇ ﹾﻥ ﺷ‬ ،‫ﺮﺕ‬ ‫ﹶﻗ‬ Pria mana saja yang telah menikahi seorang wanita, sementara dengan itu (pernikahan itu) bisa menyebabkan gila atau (mendatangkan) bahaya, maka isterinya berhak memilih, jika ia mau ia boleh tetap tinggal bersama suaminya, dan jika ia ingin ia boleh bercerai. 4. Jika suami gila setelah akad nikah, isterinya berhak mengadukan masalahnya kepada qâdhî (hakim) dan menuntut pemisahan dari suaminya. Qâdhî akan menunda pemisahannya sampai satu tahun. Jika penyakit gila suami tidak sembuh dalam jangka waktu tersebut, dan si isteri tetap dalam tuntutannya, maka qâdhî memutuskan perceraian mereka. Hal ini didasarkan pada riwayat dalam kitab al-Muwaththa’ tersebut di atas. 5. Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat maupun jauh, lalu ia menghilang dan tidak ada kabar-

278

Sistem Pergaulan Dalam Islam

beritanya, sementara isterinya terhalang untuk mendapatkan nafkahnya, maka isteri berhak menuntut pemisahan dari suaminya setelah berusaha keras mencari dan menemukan suaminya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW berkenaan dengan seorang isteri yang berkata kepada suaminya:

«‫ﻲ‬ ‫ﻭ ِﺇ ﱠﻻ ﻓﹶﺎ ِﺭ ﹾﻗِﻨ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻤِﻨ‬ ‫»ﹶﺃ ﹾﻃ ِﻌ‬ “Berilah aku makan (nafkah). Jika tidak, ceraikan aku.” (HR adDaruquthni dan Ahmad) Maka, Nabi SAW menjadikan tidak adanya makanan sebagai ‘illat (sebab) bagi perceraian. 6. Jika suami tidak memberi nafkah isterinya, padahal suami mampu, dan isterinya mengalami kesulitan memperoleh harta suaminya untuk keperluan nafkah dengan berbagai macam cara, maka isteri berhak menuntut perceraian. Qâdhî wajib menceraikannya dari suaminya saat itu juga tanpa menunda-nundanya. Sebab, Rasulullah SAW telah bersabda:

«‫ﻲ‬ ‫ﻭ ِﺇ ﱠﻻ ﻓﹶﺎ ِﺭ ﹾﻗِﻨ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻤِﻨ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﹶﺃ ﹾﻃ ِﻌ‬ ‫ﺗ ﹸﻘ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻚ ِﻣ‬  ‫ﺗ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫»ِﺍ‬ “Isterimu termasuk orang yang menjadi tanggunganmu. Ia mengatakan: “Berilah aku makan. Jika tidak, ceraikan aku!” (HR ad-Daruquthni dan Ahmad) Juga dikarenakan ‘Umar RA pernah memberikan ketetapan mengenai suami-suami yang menghilang dan meninggalkan isteriisterinya, ‘Umar memerintahkan mereka untuk memberi nafkah isteri-isterinya atau menceraikannya. Para sahabat mengetahui ketetapan tersebut dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Dengan demikian, ketetapan tersebut merupakan Ijmak Sahabat. 7. Jika di antara suami-isteri terjadi pertentangan dan persengketaan, maka isteri berhak menuntut perpisahan (perceraian) dengan

Talak

279

suaminya. Qâdhî wajib menentukan hakam (juru damai) dari pihak isteri maupun dari pihak suami. Majelis keluarga inilah yang akan mendengarkan pengaduan dari kedua belah pihak dan mengerahkan segenap daya upaya untuk mengadakan perbaikan/ perdamaian (antara suami isteri itu). Jika tidak mungkin ada kata sepakat di antara keduanya, maka majelis keluarga itu memisahkan keduanya sesuai dengan pandangannya berdasarkan fakta yang tampak setelah diteliti. Allah SWT berfirman:

ôÏiΒ $Vϑs3ymuρ Ï&Î#÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ym (#θèWyèö/$$sù $uΚÍκÈ]÷t/ s−$s)Ï© óΟçFø Åz ÷βÎ)uρ

∩⊂∈∪ !$yϑåκs]øŠt/ ª!$# È,Ïjùuθム$[s≈n=ô¹Î) !#y‰ƒÌãƒ βÎ) !$yγÎ=÷δr&

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 35) Dalam kondisi-kondisi inilah, syara’ telah memberikan hak kepada seorang isteri untuk menceraikan dirinya sendiri yakni pada kondisi nomor satu di atas. Dan syara’ memberikan hak kepadanya menuntut perceraian antara dirinya dengan suaminya pada kondisi kedua sampai kondisi ketujuh. Fakta beberapa kondisi di atas terlihat bahwa asy-Syâri‘ (Sang Pembuat Hukum) telah memandang bahwa seorang isteri merupakan sahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-isteri. Setiap ketidakbahagiaan dan kebencian yang terjadi di dalam rumah tangga yang menimpa isteri pasti juga menimpa suami. Maka harus ada jaminan bagi seorang isteri untuk bisa melepaskan diri dari kesengsaraan, jika kesengsaraan itu menimpa dirinya di dalam rumah tangga, yakni dengan melepaskan ikatan perkawinan oleh pihak isteri. Karena itu, Allah SWT tidak membiarkan seorang isteri terpaksa tinggal bersama suaminya, jika dia tidak menemukan kebahagian hidup suami-isteri. Maka syara’ telah memperbolehkan seorang isteri untuk memfasakh ikatan pernikahan dalam sejumlah kondisi yang di dalamnya terbukti

280

Sistem Pergaulan Dalam Islam

tidak adanya peluang untuk hidup berumah tangga (yang baik), atau tidak terwujud lagi kebahagiaan hidup suami-isteri. Dengan ini jelaslah bahwa Allah SWT telah menjadikan talak di tangan suami, karena ia adalah pemimpin (qawwam) atas isterinya, sekaligus penanggung jawab rumah-tangganya. Sebaliknya, Allah SWT juga telah memberikan hak kepada isteri untuk memfasakh perkawinannya sehingga dia tidak akan menderita dalam pernikahannya; dan sehingga rumah yang seharusnya menjadi tempat kedamaian dan ketenteraman, tidak menjadi tempat kesengsaraan dan kegelisahan bagi si isteri. Mengenai apa yang menjadi ‘illat disyariatkannya talak (perceraian), maka kami telah menyatakan bahwa nash-nash syara’ tidak menetapkan adanya ‘illat bagi talak. Artinya, tidak ada illat bagi talak. Akan tetapi dimungkinkan menjelaskan fakta pensyariatan talak dan mekanisme yang terdapat di dalam nash-nash syara’ tentang disyariatkannya talak, yaitu terkait dengan pernikahan dan berbagai implikasinya. Sesungguhnya, fakta perkawinan menunjukkan bahwa pernikahan diselenggarakan dalam rangka membentuk keluarga, sekaligus mewujudkan ketenteraman bagi keluarga tersebut. Jika di dalam kehidupan suami-isteri itu terjadi sesuatu yang dapat mengancam ketenteraman tersebut dan kondisinya sudah sampai pada batas yang sulit terwujud kehidupan suami-isteri (yang harmonis), maka harus ada metode yang bisa digunakan oleh kedua belah pihak untuk berpisah satu sama lain. Tidak boleh masing-masing pihak dipaksa untuk mempertahankan ikatan pernikahan, padahal terdapat kebencian dari keduanya atau pun dari salah satu dari keduanya. Dan Allah SWT sungguh telah mensyariatkan talak (perceraian). Allah SWT berfirman:

∩⊄⊄∪ 9≈|¡ômÎ*Î/ 7xƒÎŽô£s? ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù ( Èβ$s?§÷s∆ ß,≈n=©Ü9$#

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah [2]: 229)

Talak

281

Sehingga kesengsaraan di dalam rumah-tangga tidak akan berlarut-larut, dan kebahagiaan hidup suami-isteri dapat tetap terwujud di tengah-tengah masyarakat. Jika kebahagiaan itu sulit terwujud di antara suami-isteri karena tidak adanya kecocokan karakter di antara keduanya, atau terjadi sesuatu yang merusak kehidupan rumah-tangga keduanya, maka keduanya diberi kesempatan agar masing-masing berusaha mewujudkan ketenteraman hidup suami-isteri bersama orang yang lain. Namun Islam tidak menjadikan semata adanya kemarahan dan kebencian itu sebagai sebab perceraian. Sebaliknya Islam memerintahkan suami-isteri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar memendam kebencian yang ada, karena boleh jadi pada apa yang dibenci itu terdapat kebaikan. Allah SWT berfirman:

$\↔ø‹x© (#θèδtõ3s? βr& #|¤yèsù £èδθßϑçF÷δ̍x. βÎ*sù 4 Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ £èδρçŽÅ°$tãuρ

∩⊇∪ #ZŽÏWŸ2 #ZŽöyz ϵŠÏù ª!$# Ÿ≅yèøgs†uρ

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 19) Islam juga telah memerintahkan para suami untuk menggunakan berbagai sarana yang bisa mengurangi sikap keras isterinya karena pembangkangan (nusyûz) mereka. Allah SWT berfirman:

ÆìÅ_$ŸÒyϑø9$# ’Îû £èδρãàf÷δ$#uρ €∅èδθÝàÏèsù €∅èδy—θà±èΣ tβθèù$sƒrB ÉL≈©9$#uρ

∩⊂⊆∪ £èδθç/ΎôÑ$#uρ

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 34)

282

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Demikianlah, Islam memerintahkan agar para suami menempuh segala langkah baik yang lembut maupun yang tidak, dalam rangka menyelesaikan berbagai problem yang terjadi di antara suami-isteri dengan penyelesaian yang dapat menghindarkan keduanya dari perceraian. Hingga jika pergaulan yang baik tidak lagi bermanfaat, demikian juga cara-cara yang keras; sementara masalah ketidaksukaan, kejengkelan dan pembangkangan telah melampaui batas hingga sampai pada perselisihan dan persengketaan, maka Islam tidak menjadikan talak sebagai langkah kedua, betapapun hebatnya krisis di antara keduanya. Sebalikya, Islam memerintahkan agar persoalan yang ada itu diselesaikan oleh orang lain, selain kedua suami isteri tersebut, dari keluarganya masing-masing, agar kedua pihak berupaya mewujudkan perbaikan (di antara suami-isteri itu) sekali lagi. Allah SWT berfirman:

ôÏiΒ $Vϑs3ymuρ Ï&Î#÷δr& ôÏiΒ $Vϑs3ym (#θèWyèö/$$sù $uΚÍκÈ]÷t/ s−$s)Ï© óΟçFø Åz ÷βÎ)uρ

#ZŽÎ7yz $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 !$yϑåκs]øŠt/ ª!$# È,Ïjùuθム$[s≈n=ô¹Î) !#y‰ƒÌãƒ βÎ) !$yγÎ=÷δr&

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 35) Jika kedua orang hakam itu tidak mampu mendamaikan suamiisteri yang sedang berselisih tersebut, maka saat itu tidak ada ruang lagi untuk mempertahankan kehidupan suami-isteri di antara keduanya setelah segala upaya telah dilakukan. Sebab problem psikologis masingmasing pihak sudah tidak dapat menerima solusi apa pun selain perpisahan di antara keduanya. Maka harus terjadi talak (perceraian) yang mudah-mudahan membuat keduanya memperoleh ketenangan dan mudah-mudahan problem-problem yang ada dapat diatasi dengan perceraian itu. Allah SWT berfirman:

$VϑŠÅ3ym $—èÅ™≡uρ ª!$# tβ%x.uρ 4 ϵÏGyèy™ ÏiΒ yξà2 ª!$# Çøóム$s%§x tGtƒ βÎ)uρ

Talak

283

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (TQS anNisâ’ [4]: 130) Namun demikian, talak tersebut tetap memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak (untuk rujuk kembali) dan bukan merupakan perpisahan yang final di antara keduanya. Bahkan, keduanya tetap diberikan hak untuk rujuk kembali untuk talak yang pertama dan kedua kalinya. Sebab, talak pertama atau talak kedua, tidak jarang memunculkan keinginan baru di dalam diri suami-isteri itu untuk mengembalikan kehidupan suami-isteri di antara keduanya untuk yang kedua kalinya setelah talak pertama, atau untuk yang ketiga kalinya setelah talak kedua. Dari sinilah kita menemukan bahwa, syara’ telah menetapkan talak sebanyak tiga kali. Allah SWT berfirman:

∩⊄⊄∪ 9≈|¡ômÎ*Î/ 7xƒÎŽô£s? ÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 88$|¡øΒÎ*sù ( Èβ$s?§÷s∆ ß,≈n=©Ü9$#

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (TQS al-Baqarah [2]: 229) Dengan itu, suami-isteri dibiarkan untuk mengevaluasi diri masing-masing dan untuk kembali kepada ketakwaan kepada Allah SWT yang tertancap di dalam dadanya. Mudah-mudahan dengan itu keduanya akan kembali berupaya untuk mencoba menjalani kehidupan suami-isteri untuk yang kedua kalinya, sehingga masing-masing dapat mengecap ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian yang belum sempat mereka raih sebelumnya. Dari sini pula, kita menjumpai bahwa Islam telah memperbolehkan seorang suami merujuk kembali isterinya setelah talak yang pertama dan yang kedua. Sebagaimana Islam juga telah menjadikan sesuatu yang bisa membantu suami-isteri untuk menginstrospeksi diri masing-masing, kembali memikirkan masalah mereka sekali lagi, serta merenungkan (menelaah) secara sungguhsungguh lebih dari perenungan dan penelaahan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Sebab, Islam menetapkan masa ‘iddah setelah

284

Sistem Pergaulan Dalam Islam

terjadinya perceraian selama tiga kali haid, kuranglebih tiga bulan lamanya, atau setelah melahirkan. Di samping itu, Islam juga telah mewajibkan suami untuk tetap memberi nafkah dan tempat tinggal kepada isteri yang dia ceraikan itu selama masa ‘iddah-nya. Sebaiknya, Islam melarang suami untuk mengeluarkan isterinya selama masa ‘iddah-nya tersebut. Karena hal itu akan dapat melunakkan kekerasan hati, membersihkan jiwa masing-masing, melapangkan jalan di antara keduanya untuk rujuk kembali dan sekaligus memulai kembali babak kehidupan baru yang lebih cerah. Dalam aspek ini, Allah SWT telah memberikan sejumlah wasiat yang sangat jelas. Allah SWT berfirman:

÷ρr& >∃ρá÷èoÿÏ3 €∅èδθä3Å¡øΒr'sù £ßγn=y_r& zøón=t6sù u!$|¡ÏiΨ9$# ãΛäø)‾=sÛ #sŒÎ)uρ y7Ï9≡sŒ ö≅yèø tƒ tΒuρ 4 (#ρ߉tF÷ètGÏj9 #Y‘#uŽÅÑ £èδθä3Å¡÷ΙäC Ÿωuρ 4 7∃ρã÷èoÿÏ3 £èδθãmÎhŽ|€

∩⊄⊂⊇∪ …çµ|¡ø tΡ zΟn=sß ô‰s)sù

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma`ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (TQS al-Baqarah [2]: 231) Jika langkah-langkah ini tidak berpengaruh apa-apa atau meski setelah terjadi talak yang pertama dan kedua tidak juga berpengaruh hingga terjadi talak yang ketiga, maka pada saat demikian persoalannya telah menjadi sedemikian dalam mengakar, sangat rumit dan persengketaan yang terjadi telah begitu kerasnya. Pada kondisi demikian, upaya rujuk jelas tidak akan berguna lagi, apalagi untuk tetap mempertahankan perkawinan. Karena itu, terjadinya perpisahan secara sempurna (final), sekaligus melangsungkan babak kehidupan baru, merupakan keniscayaan, tanpa harus mengulangi percobaan yang gagal dengan keluarga (rumah-tangga) yang sama sebelum mencoba membangun keluarga (rumah-tangga) yang baru. Karena itu, Allah SWT

Talak

285

menjadikan talak yang ketiga sebagai sesuatu yang bersifat final. Allah SWT berfirman:

∩⊄⊂⊃∪ …çνuŽöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)‾=sÛ βÎ*sù “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (TQS al-Baqarah [2]: 230) Dan Allah SWT secara mutlak melarang suami untuk rujuk kembali dengan mantan isterinya setelah terjadi talak yang ketiga, hingga mantan isterinya itu pernah menjalani kehidupan suami-isteri dengan pria lain yang sekaligus telah menggaulinya.

«‫ﺎ‬‫ﺘﻬ‬‫ﻴﹶﻠ‬‫ﺴ‬ ِ ‫ﻋ‬ ‫ﻕ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ﹸﺬ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴﹶﻠ‬‫ﺴ‬ ِ ‫ﻋ‬ ‫ﻕ‬  ‫ﻭ‬ ‫ ﹸﺬ‬‫ﻰ ﺗ‬‫ﺣﺘ‬ » “Hingga keduanya, satu sama lain, saling menikmati manis madu perkawinan (yakni hingga keduanya saling bersetubuh, pen)” Sehingga si isteri itu telah merasakan pengalaman baru kehidupan suami-isteri secara sempurna. Maka jika ia telah mencoba pergaulan suami-isteri bersama suami yang lain secara wajar, tetapi di dalam kehidupan suami-isteri yang kedua itu ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian, hingga kembali terjadi perpisahan antara dirinya dengan suaminya yang kedua, dalam kondisi seperti ini wanita itu dimungkinkan untuk kembali membangun kehidupan suami-isteri bersama suami pertamanya. Karena wanita itu telah menjalani pengalaman kehidupan suami-isteri yang kedua bersama suami keduanya, sehingga dia dapat membandingkan kedua perkawinan yang telah dijalaninya. Maka ketika ia memilih untuk kembali (rujuk) kepada suami pertamanya, ia telah memilih berdasarkan pengetahuan. Dari sini, kita menemukan bahwa Allah SWT telah memperbolehkan seorang wanita, setelah ia menikah dengan pria lain, untuk kembali (rujuk) kepada mantan suami pertamanya yang telah mentalaknya tiga kali (dengan talak tiga). Allah SWT berfirman:

∩⊄⊂⊃∪ …çνuŽöxî %¹`÷ρy— yxÅ3Ψs? 4®Lym ߉÷èt/ .ÏΒ …ã&s! ‘≅ÏtrB Ÿξsù $yγs)‾=sÛ βÎ*sù

286

Sistem Pergaulan Dalam Islam

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (TQS al-Baqarah [2]: 230) Kemudian langsung setelah itu dalam ayat yang sama, Allah SWT melanjutkan firman-Nya

∩⊄⊂⊃∪ $yγs)‾=sÛ βÎ*sù

“Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya.” (TQS alBaqarah [2]: 230) Yaitu suaminya yang kedua, bukan suami yang pertama.

∩⊄⊂⊃∪ !$yϑÍκöŽn=tæ yy$uΖã_ Ÿξsù

“Maka tidak ada dosa bagi keduanya” (TQS al-Baqarah [2]: 230) Yaitu suami yang pertama dan isteri yang telah ditalak oleh suami keduanya,

∩⊄⊂⊃∪ !$yèy_#uŽtItƒ βr& “Untuk kawin kembali” (TQS al-Baqarah [2]: 230) Yaitu masing-masing kembali melangsungkan perkawinan. Inilah yang ditunjukkan oleh mekanisme pensyariatan perceraian. Dengan paparan di atas, di dalam pensyariatan talak dan mekanisme pensyariatannya serta mekanisme penjatuhannya, tampak jelas adanya hikmah yang nyata dan pandangan yang detil terhadap kehidupan pergaulan pria-wanita. Semua itu dalam rangka menjamin kehidupan yang penuh kedamaian dan ketenteraman bagi mereka. Jika kedamaian dan ketenteraman tersebut lenyap dan tidak ada lagi harapan untuk mengembalikannya, maka harus terjadi pemisahan antara suami-isteri itu. Karena itu Allah SWT menetapkan syariah tentang talak sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.

Nasab

287

NASAB Hikmah Ilahiah telah mengharuskan wanita menjadi tempat mengandung dan melahirkan. Karena itu, seorang wanita wajib dibatasi untuk menikah dengan seorang pria saja. Wanita dilarang menikah dengan lebih dari seorang pria. Haramnya wanita menikah dengan lebih dari satu pria itu dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui nasabnya. Islam sangat memperhatikan kepastian nasab ini sekaligus telah menjelaskan hukumnya dengan sempurna. Usia kehamilan paling singkat adalah enam bulan dan umumnya sembilan bulan. Seorang suami, jika istrinya melahirkan anak, maka anak itu dapat dianggap anaknya setelah isterinya melahirkannya dalam waktu enam bulan atau lebih dihitung sejak tanggal pernikahannya dengan wanita itu. Sebab Rasulullah SAW bersabda:

«‫ﺵ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﺪ ِﻟ ﹾﻠ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫»ﹶﺍﹾﻟ‬ “Anak adalah keturunan pemilik tempat tidur (suami dan isteri)” (Muttafaq ‘alaihi, dari jalur ‘A`isyah RA) Ringkasnya, selama seorang wanita berstatus sebagai isteri dari seorang suami dan melahirkan seorang anak setelah melewati masa enam bulan atau lebih dari tanggal pernikahannya, berarti anak itu mutlak anak suaminya.

288

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Namun jika istrinya melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dan terbukti anak tersebut bukan dari benihnya, suami itu boleh mengingkarinya dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, pengingkarannya tidak ada nilainya dan anak yang lahir tetap dianggap sebagai anaknya, baik ia suka atau tidak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Anak yang diingkarinya itu dilahirkan dalam keadaan hidup. Jika anak yang dilahirkan dalam keadaan mati, maka suami tidak boleh mengingkari nasab anak, sebab pengingkarannya tidak membawa implikasi hukum syar’i apa pun. 2. Suami itu tidak mengakui, baik dengan pengakuan yang jelas maupun pengakuan berupa indikasi, bahwa anak itu adalah anaknya. Jika suami telah mengakui dengan pengakuan yang jelas atau pengakuan berupa indikasi bahwa anak itu anaknya, dia tidak boleh mengingkari nasab anaknya setelah itu. 3. Pengingkaran terhadap anak hendaknya terjadi pada waktu-waktu atau keadaan-keadaan tertentu, seperti: saat istrinya melahirkan; pada waktu suami membeli berbagai keperluan kelahiran; atau ketika suami tahu bahwa istrinya melahirkan sementara ia tidak berada di tempat. Di luar waktu-waktu atau keadaan-keadaan di atas, suami tidak boleh mengingkari nasab anak tersebut. Jika istrinya melahirkan seorang anak, sementara suami tidak mengingkarinya —padahal dimungkinkan dia mengingkarinya— maka anak tersebut dianggap bernasab kepadanya, dan dia tidak berhak mengingkarinya setelah itu. Adanya pilihan (khiyar) hak ingkar bagi suami ini diukur dengan adanya majelis ilmu (pengetahuan suami akan kelahiran pada waktu-waktu dan tempattempat tertentu) dan imkan an-nafyi (adanya kemungkinan bagi suami untuk mengingkari anaknya). Jika suami telah mengetahui kelahiran anak dan terdapat kemungkinan untuk mengingkarinya tetapi ia tidak mengingkarinya, maka anak itu dinasabkan kepadanya, karena Rasulullah SAW bersabda:

«‫ﺵ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﺪ ِﻟ ﹾﻠ ﹶﻔﺮ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫»ﹶﺍﹾﻟ‬ “Anak adalah keturunan pemilik tempat tidur (suami dan isteri)”.

Nasab

289

Sebaliknya, jika suami mengaku dirinya tidak mengetahui kelahiran dan pengakuannya dapat dibenarkan karena ia berada di tempat yang tidak memungkinkan dirinya mengetahuinya, misalnya ia berada di waktu dan tempat lain atau berada di negeri lain, maka yang diterima adalah perkataan suami disertai sumpahnya. Alasannya adalah pada dasarnya suami itu tidak tahu adanya kelahiran. Tetapi jika pengakuannya tidak bisa dipercaya, misalnya ia berada di rumah bersama istrinya, pengakuannya tidak diterima. Sebab terjadinya kelahiran anak adalah hal yang hampirhampir tidak mungkin dirinya tidak tahu. Jika suami itu mengatakan, “Aku tahu kelahirannya, tetapi aku tidak tahu kalau berhak mengingkarinya,” atau ia mengatakan, ‘Aku tahu itu, tetapi aku tidak tahu kalau harus mengingkarinya dengan segera,” — sebagaimana hukum ini tidak diketahui oleh umumnya masyarakat— maka pengakuannya bisa diterima. Sebab hukum ini termasuk hukum yang tidak diketahui oleh orang pada umumnya. Maka kasusnya diserupakan dengan orang yang baru masuk Islam. Sebab setiap hukum yang tidak diketahui oleh kebanyakan masyarakat, untuk hukum yang semisal dan orang yang semisal, maka ketidaktahuan terhadap hukum itu dapat dimaafkan. Seperti halnya kasus orang yang baru masuk Islam. Jika suatu hukum tidak termasuk yang tidak diketahui orang banyak, untuk hukum yang semisal dan orang yang semisal, maka ketidaktahuan akan hukum itu tidak dapat dimaafkan. 4. Pengingkaran anak dilanjutkan dengan li‘ân atau suami mengingkari anak dengan li‘ân. Pengingkaran suami terhadap anak tidak dipandang cukup kecuali suami mengingkari anaknya dengan li‘ân yang sempurna (li’ân tâm). Jika keempat syarat ini telah terpenuhi, maka pengingkaran anak dapat diterima, dan anak tersebut diikutkan kepada pihak wanita (ibunya). Ibn ‘Umar telah meriwayatkan:

‫ﻕ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﹶﻓ ﹶﻔ‬‫ﻭﹶﻟ ِﺪﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺘﻔﹶﻰ ِﻣ‬‫ﻧ‬‫ﺍ‬‫ﻲ  ﻭ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻣ ِﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﻪ ﻓِﻲ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻼ ﹶﻻ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬ «‫ﺮﹶﺃ ِﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫ﻖ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻭﹶﺃﹾﻟ‬ ،‫ﺎ‬‫ﻤ‬‫ﻬ‬‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻲ  ﺑ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺍﻟ‬

290

Sistem Pergaulan Dalam Islam

«‫ﺮﹶﺃ ِﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫ﻖ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻭﹶﺃﹾﻟ‬ ،‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺍﻟ‬ bahwa ada seorang pria yang telah melakukan li‘ân terhadap istrinya pada masa Rasulullah SAW dan mengingkari anak isterinya itu. Rasulullah SAW kemudian memisahkan keduanya, dan mengikutkan anak itu kepada istrinya.” (HR Bukhari). Sebaliknya jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka pengingkaran anak tidak diterima. Anak itu tetap dinasabkan kepada suami, dan wajib diterapkan atas anak itu seluruh hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak. Penjelasan di atas berlaku jika perselisihan mengenai terjadinya kelahiran bermula dari pihak suami. Jika perselisihan suami isteri mengenai mengenai terjadinya kelahiran bermula dari pihak istri – misalnya isteri mengaku bahwa pada masa pernikahannya dirinya telah melahirkan anak yang merupakan benih suaminya tapi suaminya mengingkarinya, yakni suami berkata ‘Tidak terjadi kelahiran padamu’— maka istri berhak membuktikan pengakuannya dengan kesaksian seorang wanita Muslimah. Dalam kasus ini kesaksian seorang wanita Muslimah dipandang cukup. Karena masalah nasab dibuktikan dengan adanya ikatan suami-istri. Kelahiran telah sah dibuktikan dengan kesaksian seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat persaksian.

Li’an

291

L I‘ Â N Li‘ân diambil dari kata al-la‘nu (laknat), karena suami-istri masing-masing melaknat dirinya sendiri pada ucapan yang kelima kalinya, jika dia berdusta. Asal hukum li‘ân adalah firman Allah SWT:

äοy‰≈yγt±sù öΝßγÝ¡à Ρr& HωÎ) â!#y‰pκà− öΝçλ°; ä3tƒ óΟs9uρ öΝßγy_≡uρø—r& tβθãΒötƒ tÏ%©!$#uρ

èπ|¡Ïϑ≈sƒø:$#uρ ∩∉∪ šÏ%ω≈¢Á9$# zÏϑs9 …çµ‾ΡÎ) € «!$$Î/ ¤N≡y‰≈uηx© ßìt/ö‘r& óΟÏδωtnr& z>#x‹yèø9$# $pκ÷]tã (#äτu‘ô‰tƒuρ ∩∠∪ tÎ/É‹≈s3ø9$# zÏΒ tβ%x. βÎ) ϵø‹n=tã «!$# |MuΖ÷ès9 ¨βr& sπ|¡Ïϑ≈sƒø:$#uρ ∩∇∪ šÎ/É‹≈s3ø9$# zÏϑs9 …çµ‾ΡÎ) € «!$$Î/ ¤N≡y‰≈pκy− yìt/ö‘r& y‰pκô¶s? βr&

∩∪ tÏ%ω≈¢Á9$# zÏΒ tβ%x. βÎ) !$pκöŽn=tæ «!$# |=ŸÒxî ¨βr&

“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, ’Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.’ Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima,’Bahwa la`nat Allah atasnya jika

292

Sistem Pergaulan Dalam Islam

suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (TQS an-Nûr [24]: 6-9) Imam Abû Dâwud telah meriwayatkankan hadits dari Ibn ‘Abbas RA, bahwa dia berkata: “Hilâl ibn Umayah, salah seorang dari tiga orang yang diterima taubatnya oleh Allah, datang dari kampungnya ketika Isya. Dia mendapati seorang laki-laki di sisi isterinya. Dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri dan ia dengar dengan telinganya sendiri. Hilâl tidak menggrebeknya hingga subuh. Esoknya Hilal datang kepada Rasulullah SAW dan berkata:

‫ﻲ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﻌ‬ ‫ﺖ ِﺑ‬  ‫ﻳ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻼ ﹶﻓ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻨ‬‫ﺕ ِﻋ‬  ‫ﺪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫﻠِﻲ ﹶﻓ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ‬  ‫ﻲ ِﺟﹾﺌ‬‫ﷲ ِﺇﻧ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫»ﻳ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺰﹶﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ ِﻪ ﹶﻓ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺘ‬‫ﺷ‬ ‫ﺍ‬‫ ﻭ‬،‫ﺎ َﺀ ِﺑ ِﻪ‬‫ﺎ ﺟ‬‫ﷲ  ﻣ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﻲ ﹶﻓ ﹶﻜ ِﺮ‬ ‫ﻧ‬‫ﺖ ِﺑﹸﺄ ﹸﺫ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﺳ ِﻤ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺩ ﹸﺓ‬ ‫ﺎ‬‫ﺸ ـﻬ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻧ ﹸﻔ‬‫ﺍ ُﺀ ِﺇ ﱠﻻ ﹶﺃ‬‫ﻬﺪ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﻳ ﹸﻜﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺍ‬‫ﺯﻭ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬‫ﺮﻣ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺍﱠﻟﺬِﻳ‬‫ﻭ‬

«‫ﻢ‬ ‫ﺣ ِﺪ ِﻫ‬ ‫ﺃﹶ‬ ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendatangi isteriku, tetapi aku mendapati seorang laki-laki di sisinya. Aku sungguh melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dan mendengarnya dengan telingaku sendiri’. Rasulullah SAW tidak suka atas apa yang disampaikan oleh Hilâl. Kegelisahan pun menyelimuti Hilâl. Tidak lama kemudian, turunlah ayat dua ayat berikut: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima,’Bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.”(TQS an-Nûr [24]: 6-7) Rasulullah SAW merasa gembira dan berkata:

Li’an

293

‫ﺪ‬ ‫ ﹶﻗ‬:‫ﻼ ﹲﻝ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ِﻫ ﹶ‬.‫ﺎ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﺨ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﺟ‬ ‫ﻚ ﹶﻓ‬  ‫ﷲ ﹶﻟ‬ ُ ‫ﻌ ﹶﻞ ﺍ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻼ ﹸﻝ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﺎ ِﻫ ﹶ‬‫ﺮ ﻳ‬ ‫ﺸ‬ ِ ‫ﺑ‬‫»ﹶﺃ‬ ‫ﺭ ِﺳﻠﹸﻮﺍ‬ ‫ﷲ  ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎﻟﹶﻰ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺗﻌ‬‫ﻭ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗﺒ‬ ‫ﻲ‬‫ﺭﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻙ ِﻣ‬ ‫ﻮ ﺫﹶﺍ‬‫ﺭﺟ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ‬  ‫ﻨ‬‫ﹸﻛ‬

‫ﺎ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻭ ﹶﺫ ﱠﻛ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ـﻮ ﹸﻝ ﺍ‬ ‫ﺳـ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻪِ ﺍ‬‫ﻠﹶﻴ‬‫ﺎ ﻋ‬‫ﻼﻫ‬ ‫ﺘ ﹶ‬‫ ﹶﻓ‬.‫ــﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﺳﻠﹸﻮﺍ ِﺇﹶﻟ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬.‫ﺎ‬‫ ﻬ‬‫ﺇِﻟﹶﻴ‬ ‫ﷲ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﻼ ﹲﻝ ﻭ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ِﻫ ﹶ‬.‫ﺎ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﺏ ﺍﻟ‬ ِ ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺪ ِﻣ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﺮ ِﺓ ﹶﺃ‬ ‫ﺏ ﺍﹾﻵ ِﺧ‬  ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﺎ ﹶﺃ ﱠﻥ‬‫ﻫﻤ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺒ‬‫ﺧ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬

‫ﻮﺍ‬‫ ﹶﻻ ِﻋﻨ‬: ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬.‫ﺏ‬  ‫ﺖ ﹶﻛ ﹶﺬ‬  ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ‬.‫ﺎ‬‫ﻴﻬ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺪ ﹾﻗ‬ ‫ﺻ‬  ‫ﺪ‬ ‫ﹶﻟ ﹶﻘ‬

«‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ Bergembiralah wahai Hilâl, karena sesungguhnya Allah telah memberimu kelapangan dan jalan keluar.’ Hilâl berkata, ‘Aku memang mengharapkan hal itu dari Tuhanku Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Utuslah seseorang kepada istrinya’. Dikirimkanlah utusan kepada istrinya. Rasulullah SAW lantas membacakan kepada isteri Hilal ayat yang baru diterimanya seraya mengingatkan keduanya sekaligus memberitahu mereka bahwa azab akhirat lebih pedih ketimbang azab dunia. Hilâl kemudian berkata, ‘Demi Allah, aku berkata benar mengenai dirinya’ Istrinya berkata, ‘Dia berdusta.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Saling melaknatlah di antara kalian berdua!’ Lalu dikatakan kepada Hilâl, ‘Bersumpahlah engkau!’ Hilâl pun bersumpah empat kali sumpah atas nama Allah bahwa dirinya merasa termasuk orang yang benar. Tatkala hendak mengucapkan sumpah kelima, dikatakan kepadanya, ‘Hilâl, bertakwalah Engkau kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat, dan sumpah kelima ini bisa menyebabkan azab atasmu.’ Hilâl pun berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena hal ini, sebagaimana Allah juga tidak akan menimpakan hukum cambuk kepadaku atas perkara ini.’ Hilâl kemudian bersumpah untuk yang kelima kalinya bahwa sesungguhnya laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Setelah itu,

294

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Rasulullah SAW berkata kepada istrinya, ‘Sekarang, bersumpahlah engkau!’ Ia pun bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya termasuk orang-orang pendusta. Ketika hendak mengucapkan sumpah yang kelima, dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah Engkau kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat, dan sumpah kelima ini bisa menyebabkan azab atasmu.’ Istri Hilâl berlambat-lambat sesaat. Akan tetapi, ia kemudian berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mau mencemarkan kaumku’. Dia pun bersumpah untuk yang kelima kalinya bahwa laknat Allah atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. Selanjutnya Rasulullah SAW memisahkan keduanya lalu memutuskan bahwa terhadap istrinya itu Hilâl tidak berkewajiban menyediakan tempat tinggal maupun memberi makan. Maka jika seorang suami menuduh istrinya telah berzina, misalnya dengan berkata kepadanya, “Kamu telah berzina,” atau, “Wahai pezina!” atau, “Aku telah melihatmu berzina,” sementara ia tidak dapat mendatangkan bukti apa pun, maka ia wajib dikenai hukuman (had) jika ia menolak melakukan li‘ân. Tetapi jika ia bersedia melakukan li‘ân sedangkan istrinya menolak untuk melakukan li‘ân, maka istrinyalah yang wajib dikenai hukuman (had). Allah SWT berfirman:

∩∇∪ «!$$Î/ ¤N≡y‰≈pκy− yìt/ö‘r& y‰pκô¶s? βr& z>#x‹yèø9$# $pκ÷]tã (#äτu‘ô‰tƒuρ “Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah...” (TQS an-Nûr [24]: 8) Azab yang dihidarkan dari istri adalah hukuman (had) zina bagi muhshan, sebab ketika Hilâl ibn Umayah menuduh istrinya berzina dan mendatangi Nabi SAW, Nabi SAW memerintahkan dia untuk mengirim utusan kepada istrinya dan lalu melakukan li’an di antara keduanya. Ini adalah keadaan khusus di antara sejumlah keadaan yang dapat membuktikan terjadinya perzinaan, yaitu keadaan ketika suami melontarkan tuduhan zina kepada istrinya. Dalam kondisi semacam

Li’an

295

ini, istri dapat dibuktikan berzina karena li‘ân suaminya dan karena tidak adanya li’an dari isteri. Jika istrinya melakukan li‘ân, maka zina tidak dapat dibuktikan. Jadi penolakan istri untuk melakukan li‘ân telah membuktikan terjadinya zina pada isteri, sehingga istri wajib dikenai hukuman karena li‘ân suaminya. Jika keduanya melakukan li‘ân dan hakim telah memisahkan keduanya, maka keduanya tidak boleh lagi berkumpul selamanya dan istri itu haram bagi suaminya untuk selamanya. Sebab Nabi SAW telah memisahkan suami istri yang telah saling melakukan li‘ân. Imam Mâlik telah meriwayatkan dari Nâfi‘dari Ibnu ‘Umar:

‫ﺎ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬  ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻕ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺎ ﹶﻓ ﹶﻔ‬‫ﻭﹶﻟ ِﺪﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻔﹶﻰ ِﻣ‬‫ﻧﺘ‬‫ﺍ‬‫ﻪ ﻭ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺍ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻼ ﹶﻻ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬ «‫ﺮﹶﺃ ِﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ‫ﻮﹶﻟ‬ ‫ﻖ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﹶﻓﹶﺄﹾﻟ‬ “Sesungguhnya seorang laki-laki telah melakukan li’an dengan istrinya pada masa Rasulullah SAW dan ia telah mengingkari anak isterinya itu. Rasulullah pun memisahkan keduanya, dan mengikutkan anak itu kepada istrinya.” Sahal ibn Sa‘ad meriwayatkan:

«‫ﺍ‬‫ﺑﺪ‬‫ﺎ ِﻥ ﹶﺃ‬‫ﺘ ِﻤﻌ‬‫ﺠ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﻢ ﹶﻻ‬ ‫ﺎ ﹸﺛ‬‫ﻬﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻕ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﻳ ﹶﻔ‬ ‫ﻴ ِﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ‬‫ﻨ‬‫ﻼ ِﻋ‬ ‫ﺘ ﹶ‬‫ﻤ‬ ‫ﻨ ﹸﺔ ﺍﹾﻟ‬‫ﺴ‬  ‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﻀ‬  ‫ﻣ‬ » “Telah berlaku ketentuan as-Sunnah mengenai suami-istri yang telah saling melakukan li’an, bahwa keduanya dipisahkan dan tidak boleh berkumpul lagi selamanya.” (HR Abu Dawud) Pemisahan suami-istri karena li‘ân adalah fasakh, karena pemisahan tersebut telah mengakibatkan haramnya meneruskan kehidupan suami-istri untuk selamanya. Karena itu, isteri itu tidak halal bagi suaminya, bahkan kalau pun suami mengakui kebohongannya sendiri. Namun jika suami menarik li’an-nya dan mengakui kebohongannya, maka wajib menjatuhkan hukuman (had) atas suami itu dan nasab anaknya diikutkan kepadanya, baik dia mengakui kebohongannya sebelum istrinya melakukan li‘ân atau sesudahnya.

296

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Li‘ân dapat membebaskan suami dari hukuman dan dapat mewajibkan hukuman atas istrinya, jika istri menolak melakukan li‘ân. Ucapan li‘ân suami, di hadapan hakim, ialah dia mengatakan, “Aku bersaksi atas nama Allah bahwa dia telah berzina,” sambil menunjuk ke arah istrinya. Jika istrinya tidak hadir di pengadilan, suami menyebut nama istrinya dan nasabnya. Ucapan sumpahnya harus disempurnakan sebanyak empat kali. Kemudian tatkala hendak mengucapkan sumpah yang kelima, diucapkan kepadanya, “Bertakwalah engkau kepada Allah, sesungguhnya sumpah kelima ini dapat mendatangkan azab, sedangkan azab dunia adalah lebih ringan daripada azab akhirat.” Belum diterima sumpahnya, kecuali jika ia menyempurnakan sumpahnya, dan mengatakan bahwa laknat Allah atas dirinya jika dia termasuk orangorang yang berdusta terhadap tuduhan zina yang dia lontarkan kepada istrinya. Setelah itu sang istri berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah bahwa dia telah berdusta,” sebanyak empat kali. Kemudian ketika hendak mengucapkan sumpah kelima, ia diperingatkan seperti yang telah dilakukan kepada suaminya. Belum diterima sumpahnya, kecuali ia menyempurnakan sumpahnya, dan mengatakan bahwa laknat Allah atas dirinya jika suaminya termasuk kelompok orang-orang yang benar atas tuduhan zina yang dilontarkan kepadanya. Jika keduanya mempunyai anak, anak itu harus disebutkan dalam li‘ân. Maka jika sang suami bersumpah, “Aku bersaksi atas nama Allah, bahwa ia telah berzina,” ia juga harus berkata,”Anak ini bukan anakku.” Sementara itu istrinya berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah, bahwa ia telah berdusta, dan anak ini adalah anaknya.” Demikianlah cara li‘ân dan demikian pula ucapan atau redaksi kalimat li‘ân. Karena itu, jika seorang wanita melahirkan lalu suaminya mengatakan, “Anak ini bukan dariku,” atau ia berkata,”Anak ini bukan anakku,” maka ia tidak boleh dijatuhi hukuman had. Sebab ucapannya tidak dipandang sebagai qadzaf (tuduhan zina). Namun demikian, ia mesti ditanya. Tapi jika ia mengatakan, “Kamu telah berzina dan anak ini lahir dari hasil zina,” maka ucapan ini adalah qadzaf, yang mengharuskan li‘ân. Jika ia hanya mengatakan, “Aku maksudkan, anak ini tidak mirip rupanya denganku,” atau ia berkata, “Kamu telah bergaul dengan orang yang mirip dengan anak ini dan anak ini mirip dengan

Li’an

297

orang yang menggaulimu,” atau kata-kata yang serupa itu, maka ia tidak dikenai hukuman had. Anak yang lahir tetap dinasabkan kepadanya. Sebab dia tidak melontarkan qadzaf terhadap istrinya dan juga tidak perlu li‘ân dalam perkara semacam ini. Karena syarat dilakukannya li‘ân adalah adanya qadzaf.

298

Sistem Pergaulan Dalam Islam

PERWALIAN AYAH Dikarenakan ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin sekaligus pengurus rumah tangga, sudah seharusnya ia memiliki perwalian (wilayah) atas rumah tangga. Ayah adalah wali bagi anakanaknya. Ayah memiliki perwalian atas anak-anaknya, baik yang masih kecil maupun yang sudah besar tapi belum baligh; baik laki-laki atau pun perempuan; baik terkait dengan jiwa maupun harta, meskipun anaknya yang masih kecil berada dalam pengasuhan ibunya atau kerabatnya. Seseorang adakalanya masih kecil dan adakalanya sudah besar. Yang sudah besar adakalanya berakal dan adakalanya tidak berakal. Jika seorang anak sudah besar dan berakal, tidak ada seorang pun yang memiliki perwalian atas jiwa atau pun hartanya. Bahkan dia sendirilah yang memiliki kewenangan atas seluruh urusan dirinya. Namun hak perwalian tetap ada di tangan ayah. Jika anak masih kecil atau sudah besar tetapi tidak berakal, misalnya gila atau kurang waras, maka perwaliannya tidak berada di tangannya sendiri, karena anak itu tidak mampu menangani urusannya sendiri. Karena itu, perwaliannya berada di tangan ayahnya. Perwalian ayah atas anaknya ini tetap berlaku selama sifat yang mewajibkan perwalian tetap ada, yaitu keadaan anak yang masih kecil atau tidak berakal. Tetapi jika anak kecil itu sudah baligh atau anak yang besar itu sudah sembuh dari gila atau kurangwarasnya, perwalian ayah atas anak itu terputus. Anak itu

Perwalian Ayah

299

sendirilah yang menjadi wali atas urusannya sendiri. Namun ayah tetap memiliki hak perwalian atas anak itu hanya saja sifatnya perwalian mandub/sunnah. Ini dikarenakan ayah mempunyai hak perwalian yang bersifat tetap.

300

Sistem Pergaulan Dalam Islam

PENGASUHAN ANAK Pengasuhan anak merupakan suatu kewajiban, karena dengan menelantarkan anak, dia akan binasa. Pengasuhan anak termasuk kategori menjaga jiwa (hifzh al-nafs) yang telah diwajibkan oleh Allah SWT. Jiwa anak wajib dijaga agar terhindar dari kebinasaan, sekaligus diselamatkan dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya. Namun meski pengasuhan anak merupakan kewajiban, pengasuhan anak juga terkait dengan hak kerabatnya, karena kerabat mempunyai hak pengasuhan terhadap anak. Maka hak pengasuhan anak terkait dengan kerabat, sebagaimana kewajiban pengasuhan anak juga terkait dengan kerabat. Pengasuhan adalah hak bagi setiap anak dan bagi siapa saja yang telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengasuhnya. Pengasuhan anak menjadi wajib atas seorang pengasuh tertentu jika ia telah ditentukan secara khusus. Adapun hak untuk mengambil pengasuhan anak bagi orangorang yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengasuh, adalah khusus bagi mereka yang memang berhak, tidak bersifat umum. Maka pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak tersebut, karena hal itu secara pasti akan membahayakan anak. Atas dasar ini, pengasuhan anak tidak diberikan kepada kepada anak kecil atau orang yang kurang waras pikirannya (al-ma’tuh). Sebab, keduanya tidak akan mampu mengasuh anak, sedang mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuhnya. Lalu bagaimana mungkin mereka mampu mengasuh orang lain?

Pengasuhan Anak

301

Demikian juga pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak karena kelalaian atau kesibukannya dengan berbagai aktivitas lain sehingga tidak memungkinkannya mengasuh anak tersebut. Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk, seperti fasik, misalnya. Sebab sifat-sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat yang rusak, sebab kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan. Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya. Mengenai keadaan pengasuhan anak, harus dilihat lebih dulu. Jika anak itu sudah agak besar yakni pada umur yang sudah dapat memikirkan segala hal dan mampu membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, misalnya sudah lewat masa penyapihan, maka ia diberikan pilihan di antara kedua orangtuanya. Siapa yang dia pilih, berarti anak itu turut bersamanya. Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Abû Dâwud dari Abdul Hamid bin Ja’far dari bapaknya dari kakeknya yaitu Râfi‘ bin Sinân bahwa:

‫ﻲ‬ ‫ﻭ ِﻫ‬ ‫ﻨﺘِﻲ‬‫ﺑ‬‫ ﺍ‬:‫ﺖ‬  ‫ﻲ  ﻓﹶﻘﹶﺎﹶﻟ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﺗ‬‫ﻢ ﹶﻓﹶﺄ‬ ‫ﺴِﻠ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ ﺍ‬  ‫ﺑ‬‫ﻭﹶﺃ‬ ،‫ﻢ‬ ‫ﺳﹶﻠ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻧ‬‫»ﹶﺃ‬ ‫ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ .‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﺎ ِﺣ‬‫ﺪ ﻧ‬ ‫ﻌ‬ ‫ ﺍ ﹾﻗ‬: ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﻑ ﹶﻝ ﺍﻟ‬ ‫ ﻗﹶﺎ‬.‫ﻨﺘِﻲ‬‫ﺑ‬‫ﻊ ﺍ‬ ‫ﺍِﻓ‬‫ﻭﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺭ‬ .‫ﻪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺒ‬‫ﺷ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﹶﻓﻄِﻴ‬

‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬.‫ﺎ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻴ ﹸﺔ ِﺇﻟﹶﻰ ﹸﺃ‬‫ﺼِﺒ‬  ‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﺎﹶﻟ‬‫ ﹶﻓﻤ‬.‫ﺎ‬‫ﺍﻫ‬‫ﻮ‬‫ﻋ‬‫ ﺍﺩ‬:‫ﻭﻗﹶﺎﻝﹶ‬ .‫ﻴ ﹰﺔ‬‫ﺎ ِﺣ‬‫ﻌﺪِﻱ ﻧ‬ ‫ ﺍ ﹾﻗ‬:‫ﺎ‬‫ﻟﹶﻬ‬ «‫ﺎ‬‫ﺧ ﹶﺬﻫ‬ ‫ﺎ ﹶﻓﹶﺄ‬‫ﺖ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃﺑِﻴﻬ‬  ‫ﺎﹶﻟ‬‫ ﹶﻓﻤ‬.‫ﺎ‬‫ﻫ ِﺪﻫ‬ ‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﻬ‬ ‫ ﺍﻟﱠﻠ‬: ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺍﻟ‬ “Sesungguhnya ia telah masuk Islam, sedangkan istrinya menolak masuk Islam. Sang istri lalu datang kepada Nabi SAW dan kemudian berkata, ‘Ini anak perempuanku. Ia telah disapih atau hampir disapih.’ Râfi‘ berkata, ‘Ini anak perempuanku.’ Nabi SAW lantas berkata kepada Râfi‘, ‘Duduklah di sebelah sana.’ Nabi SAW juga berkata kepada istri Rafi’, ‘Duduklah di sebelah sana.’ Setelah itu Nabi SAW berkata,’Coba panggillah anak ini oleh kalian berdua.’ Si anak ternyata condong kepada ibunya. Nabi SAW pun berdoa, ‘Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.’ Setelah Nabi SAW berdoa, si

302

Sistem Pergaulan Dalam Islam

anak pun kemudian condong kepada ayahnya, sehingga diambillah ia oleh ayahnya.” Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan AnNasâ’î dengan redaksi yang berbeda, tetapi dengan makna yang sama dengan riwayat di atas. Jika anak itu masih kecil yakni pada umur yang belum dapat memikirkan segala sesuatu dan belum dapat membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, misalnya anak itu masih dalam masa penyapihan, atau sebelum masa penyapihan, atau pun sesudah masa penyapihan, dan anak itu dekat kepada ibunya— maka anak itu tidak diberi pilihan, tapi diikutkan kepada ibunya. Hal ini berdasarkan mafhum (pemahaman implisit) dari hadis riwayat Râfi‘ bin Sinân di atas. Karena telah ditetapkan bahwa ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, sementara tidak ada nash yang melarang seorang ibu mengasuh anaknya. Di sini tidak dapat dikatakan bahwa pengasuhan anak termasuk dalam perwalian (wilayah) yang karenanya perwalian tidak dapat diberikan kepada orang kafir atas orang muslim. Tidak demikian, karena fakta yang ada adalah pengasuhan dan pelayanan, bukan perwalian, sehingga tidak dapat diterapkan hukum-hukum perwalian pada fakta tersebut. Seorang ibu lebih berhak untuk melakukan pengasuhan terhadap anak kecil dan anak yang kurang waras akalnya (al-ma’tuuh) jika ia diceraikan suaminya. Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Abû Dâwud dari ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn ‘Ash RA:

،‫ـﺎ ًﺀ‬‫ﻪ ِﻭﻋ‬ ‫ﺑ ﹾﻄﻨِـﻲ ﻟﹶـ‬ ‫ﻫﺬﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ‬ ‫ﺑﻨِﻲ‬‫ﷲ ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺖ ﻳ‬  ‫ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﻗﹶﺎﹶﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍ‬

‫ﻪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻨ ِﺰ‬‫ﻳ‬ ‫ﺩ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭﹶﺃﺭ‬ ‫ﻩ ﹶﻃﱠﻠ ﹶﻘﻨِﻲ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﹶﺃﺑ‬ ،‫ﺍ ًﺀ‬‫ﻪ ِﺣﻮ‬ ‫ﺠﺮِﻱ ﹶﻟ‬  ‫ﻭ ِﺣ‬ ‫ﻪ ِﺳﻘﹶﺎ ًﺀ‬ ‫ﺪﻳِﻲ ﹶﻟ‬ ‫ﻭﹶﺛ‬ «‫ﻨ ِﻜﺤِﻲ‬‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﻖ ِﺑ ِﻪ ﻣ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻧ‬‫ﷲ  ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬.‫ﻲ‬‫ِﻣﻨ‬ “Seorang wanita berkata, ‘Wahai Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya, tetekkulah yang menjadi air minumnya, dan pangkuankulah yang menjadi tempat berlindungnya. Tetapi ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya dari sisiku.’

Pengasuhan Anak

303

Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau belum menikah lagi.” Ibn Abî Syaibah juga meriwayatkan dari ‘Umar bahwa ‘Umar telah menceraikan Ummu ‘Ashim. ‘Umar lalu mendatangi mantan istrinya, sementara ‘Ashim, anaknya, sedang berada dipangkuannya. ‘Umar kemudian berusaha mengambil anak itu dari ibunya, lalu terjadi tarik-menarik di antara keduanya sampai anak itu menangis. Keduanya lalu mendatangi Abû Bakar ash-Shiddîq. Abû Bakar ash-Shiddîq berkata:

‫ﺭ‬ ‫ﺘ ـﹶﺎ‬‫ﺨ‬  ‫ﻴ‬‫ﻡ ﹶﻓ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﻐ ﹶ‬ ‫ﺐ ﺍﹾﻟ‬  ‫ﺸ‬  ‫ﻳ‬ ‫ﱴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻨ‬‫ﻪ ِﻣ‬ ‫ ﹶﻟ‬‫ﻴﺮ‬‫ﺧ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤﻬ‬  ‫ﻳ‬‫ﻭ ِﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻭ ِﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺤﻬ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻣ‬ » «‫ﺴ ِﻪ‬ ِ ‫ ﹾﻔ‬‫ﻟِﻨ‬ “Belaiannya, pangkuannya, dan kasih sayangnya adalah lebih baik bagi anak itu ketimbang engkau (yakni ‘Umar, pen) sampai ia beranjak dewasa hingga dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.” Jika seorang ibu tidak termasuk ahl al-hidhanah (orang yang berhak dalam pengasuhan anak) karena tidak terpenuhinya semua atau sebagian syarat-syarat yang disebutkan dalam pengasuhan anak, misalnya ia telah kawin lagi, atau kurang waras akalnya, atau yang semisal itu, maka ibu itu dianggap tidak ada, dan hak pengasuhannya berpindah kepada pihak berikutnya dalam hak pengasuhan anak. Jika ibu dan ayah sama-sama bukan ahl al-hidhanah, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada pihak-pihak berikutnya, karena keduanya dianggap tidak ada. Yang paling berhak dari semua pihak itu, adalah ibu, kemudian nenek (ibunya ibu), terus ke atas yang didahulukan dari mereka mana yang lebih dekat, lalu yang lebih dekat. Ini dikarenakan mereka adalah para wanita yang telah nyata-nyata melahirkan. Jadi, mereka semua berkedudukan sebagai ibu. Setelah itu, baru ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), kemudian kakek dari bapaknya, dan kemudian nenek dari kakeknya, meskipun mereka bukan ahli waris.

304

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Sebab semuanya mereka menunjukkan garis siapa yang berhak atas pengasuhan anak. Jika kaum pria dan wanita —sebagaimana yang telah disebutkan di atas— juga tidak mampu, hak pengasuhan anak berpindah kepada saudara-saudara perempuan. Didahulukan saudara perempuan dari ayah dan ibu, kemudian saudara perempuan ayah, lalu saudara perempuan ibu. Saudara perempuan didahulukan daripada saudara laki-laki, karena suadara perempuan itu adalah wanita yang termasuk ahl al-hidhanah, sehingga dia didahulukan daripada pria yang derajatnya sama. Jika saudara perempuan tidak ada, maka saudara laki-laki dari ayah dan ibu itu didahulukan, kemudian saudara laki-laki ayah, lalu anak-anak laki-laki dari ayah dan ibu. Tidak boleh pengasuhan anak diserahkan kepada saudara laki-laki dari ibu. Jika mereka tidak ada, hak pengasuhan anak berpindah kepada para bibi dari pihak ibu (alkhalat). Jika tidak didapati juga, hak pengasuhan anak berpindah kepada bibi dari pihak ayah (al-’amat). Jika mereka tidak ada juga, hak pengasuhan anak diserahkan kepada paman dari ayah ibu, kemudian kepada paman dari pihak ayah. Pengasuhan anak tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu. Jika mereka tidak ada, pengasuhan anak berpindah kepada bibi (al-khalat) dari pihak ibu, lalu bibi (al-khalat) dari pihak ayah, lalu bibi (al-’amat) dari pihak ayah. Pengasuhan tidak diserahkan kepada bibi (al-’amat) dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu, dan tidak berhak mengasuh anak. Hak pengasuhan anak tidak berpindah kepada pihak lain, kecuali pihak lain itu tidak ada atau tidak mempunyai kecakapan. Jika orang yang berhak mengasuh anak meninggalkan tugasnya mengasuh anak, hak pengasuhan tidak berpindah kepada pihak berikutnya, kecuali pengasuhan anak memang telah nyata-nyata terjadi pada pihak berikutnya itu. Sebab, walau pengasuhan anak merupakan hak pengasuh, tetapi pada saat yang sama pengasuhan merupakan kewajiban atas pengasuh serta hak bagi anak yang diasuh. Maka pengasuh itu tidak berhak meninggalkan pengasuhan, kecuali jika orang yang memiliki kecakapan telah melaksanakan kewajiban pengasuhan

Pengasuhan Anak

305

anak ini. Pada saat itu, pengasuhan anak berpindah kepada orang berikutnya setelah pengasuh sebelumnya meninggalkan pengasuhannya, sebagaimana urutan yang telah dijelaskan di atas. Jika orang yang telah gugur haknya dalam pengasuhan ingin kembali memperoleh haknya sedangkan kecakapannya mengasuh anak tetap ada, maka dia berhak untuk itu dan anak kembali kepadanya. Demikian pula jika seorang ibu menikah lagi dan gugur hak pengasuhannya, lalu ia bercerai, maka hak pengasuhan anak kembali kepadanya. Begitu pula setiap kerabat yang berhak dalam pengasuhan, jika gugur hak pengasuhannya karena suatu halangan, jika halangan itu lenyap, maka haknya itu kembali kepadanya, karena sebab pengasuhan telah muncul kembali. Jika sekelompok orang berselisih mengenai siapa yang lebih berhak mengasuh anak, maka yang lebih berhak adalah cabang dari orang yang paling berhak dalam pengasuhan. Barrâ’ ibn ‘Azib meriwayatkan bahwa anak perempuan Hamzah pernah diperselisihkan oleh ‘Alî, Ja‘far, dan Zayd. ‘Ali berkata, “Aku lebih berhak. Dia adalah anak pamanku.” Ja‘far berkata, “Ia adalah anak pamanku dan bibinya adalah istriku.” Zayd berkata,”Ia adalah anak saudara laki-lakiku.” Rasulullah SAW kemudian memutuskan untuk menyerahkan anak itu kepada bibinya seraya bersabda:

«‫ﻡ‬ ‫ﻨ ِﺰﹶﻟ ِﺔ ﹾﺍ ُﻷ‬‫ﻤ‬ ‫ﺎﹶﻟ ﹸﺔ ِﺑ‬‫»ﺍﹾﻟﺨ‬ “Bibi (saudara perempuan ibu) kedudukannya sama seperti ibu.” (HR Bukhari) Semua pembahasan di atas adalah mengenai anak yang membutuhkan pengasuhan untuk menjaganya dari kebinasaan. Sedangkan anak yang dengan kemampuannya tidak membutuhkan pengasuhan, maka dengan kemampuannya itu, hilanglah ‘illat (alasan hukum) pengasuhan anak. Karena ‘illat-nya hilang, maka hilang pula hukumnya, yaitu kewajiban mengasuhnya dan hak kerabatnya untuk mengasuh. Dalam keadaan seperti ini, perlu diperhatikan hal berikut. Jika orang yang berhak untuk mengasuh —misalnya ibu— adalah orang kafir, maka si anak diambil dari orang itu dan diserahkan kepada orang

306

Sistem Pergaulan Dalam Islam

yang memiliki perwalian (wilayah) atas anak tersebut. Sebab, fakta yang ada telah menjadi wilâyah (perwalian), bukan lagi kafâlah (pengasuhan anak). Padahal perwalian tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Allah SWT berfirman:

∩⊇⊆⊇∪ ¸ξ‹Î6y™ tÏΖÏΒ÷σçRùQ$# ’n?tã tÌÏ ≈s3ù=Ï9 ª!$# Ÿ≅yèøgs† s9uρ

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (TQS an-Nisâ’ [4]: 141) Rasulullah SAW juga bersabda:

«‫ﻌﻠﹶﻰ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﻌﻠﹸﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻼ‬ ‫ﺳ ﹶ‬ ‫»ﹾﺍ ِﻹ‬ “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.” (HR AdDaruquthni) Nash-nash ini bersifat umum, tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Sebab, hadits-hadits mengenai pengasuhan anak yang bersifat khusus tidak sesuai dengan konteks perbincangan di atas, karena anak yang mempunyai kemampuan tidak memerlukan pengasuhan. Adapun jika orang yang berhak untuk mengasuh dan yang memiliki perwalian (wilayah) adalah orang-orang muslim —seperti ayah atau ibunya yang muslim— maka anak laki-laki atau pun perempuan itu diberi hak pilih apakah turut bersama ayahnya atau ibunya. Siapa saja di antara keduanya yang dipilih oleh anak, maka anak itu diikutkan kepadanya. Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad, Ibn Mâjah, dan at-Turmudzî:

«‫ﻣ ِﻪ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻦ ﹶﺃﺑِﻴ ِﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺎ‬‫ﻼﻣ‬ ‫ﺮ ﹸﻏ ﹶ‬ ‫ﻴ‬‫ﺧ‬  ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺮ ﹶﺓ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﻟ‬ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ‬ ‫ﻋ‬ » “Dari Abû Hurayrah, bahwa Nabi SAW pernah menyuruh kepada seorang anak laki-laki untuk memilih antara mengikuti ayahya atau ibunya.” Dalam riwayat Imam Abû Dâwud disebutkan:

Pengasuhan Anak

307

‫ﺐ‬  ‫ﻫ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ‬ ‫ﺪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﻳﺮِﻳ‬ ‫ﻭﺟِﻲ‬ ‫ﺯ‬ ‫ ِﺇ ﱠﻥ‬،‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﺖ‬  ‫ﺕ ﹶﻓﻘﹶﺎﹶﻟ‬  ‫ﺎ َﺀ‬‫ﺮﹶﺃ ﹰﺓ ﺟ‬ ‫ﻣ‬ ‫»ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬ ‫ ﻓﻘﺎﻝ‬.‫ ﺍﺳﺘﻬﻤﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬،‫ﻌﻨِﻲ‬ ‫ﻧ ﹶﻔ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ ،‫ﺒ ﹶﺔ‬‫ﻨ‬‫ﻦ ِﺑﹾﺌ ِﺮ ﹶﺃﺑِﻲ ِﻋ‬ ‫ﺳﻘﹶﺎﻧِﻲ ِﻣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻭﹶﻗ‬ ،‫ﺑﻨِﻲ‬‫ﺑِﺎ‬ ،‫ﻚ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻫ ِﺬ ِﻩ ﹸﺃ‬ ‫ﻭ‬ ،‫ﻙ‬ ‫ﻮ‬‫ﻫﺬﹶﺍ ﹶﺃﺑ‬ : ‫ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﱯ‬،‫ﻦ ﳛﺎﻗﲏ ﰲ ﻭﻟﺪ‬ ‫ﻣ‬ :‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﺟ‬‫ﻭ‬‫ﺯ‬

«‫ﺖ ِﺑ ِﻪ‬  ‫ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹶﻘ‬‫ﻣ ِﻪ ﻓﹶﺎ‬ ‫ﻴ ِﺪ ﹸﺃ‬‫ﺧ ﹶﺬ ِﺑ‬ ‫ ﹶﻓﹶﺄ‬.‫ﺖ‬  ‫ﺎ ِﺷﹾﺌ‬‫ﻳ ِﻬﻤ‬‫ﻴ ِﺪ ﹶﺃ‬‫ﺨ ﹾﺬ ِﺑ‬  ‫ﹶﻓ‬ “Sesungguhnya seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku. Padahal, anakku telah mengambilkan air minumku dari sumur Abu Inabah, dan ia benarbenar bermanfaat bagiku.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Undilah dia oleh kalian berdua!’ Suaminya berkata, ‘Siapa yang berperkara denganku mengenai anakku?’ Nabi SAW kemudian bersabda kepada anak itu, ‘Ini adalah ayahmu dan ini ibumu. Ambillah tangan siapa saja dari keduanya yang engkau sukai.’ Anak itu lantas mengambil tangan ibunya, lalu wanita itu pun pergi dengan membawa anak tersebut.” Imam al-Baihaqî meriwayatkan dari ‘Umar bahwa ia pernah memberi pilihan seorang anak laki-laki untuk memilih antara ayahnya atau ibunya. Diriwayatkan pula bahwa ‘Alî ibn Abî Thâlib pernah menyuruh ‘Amârah al-Judzâmi memilih antara ibunya atau pamannya, sedangkan usianya saat itu tujuh atau delapan tahun. Hadis-hadis ini sangat jelas dan menjadi dalil bahwa jika terdapat perselisihan antara seorang ayah dan seorang ibu mengenai anaknya, maka harus diberikan pilihan kepada sang anak. Maka siapa saja yang dipilih anak, dia berhak membawa anak itu. Mengenai pengundian yang ada dalam riwayat Abû Dâwud di atas, hal itu tidak terdapat dalam riwayat An-Nâsa’î, begitu pula dalam riwayat-riwayat lainnya. Jadi hadits tersebut mengandung kemungkinan makna bahwa undian dilakukan jika anak tidak memilih salah satu dari kedua orang tuanya.

308

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Hak untuk memilih ini tidak terikat dengan usia tertentu. Tapi hal itu dikembalikan kepada hakim sesuai pandangannya berdasarkan penetapan para ahli. Jika mereka mengatakan bahwa anak itu tidak lagi membutuhkan pengasuhan, lalu hakim puas dengan pendapat tersebut, maka hakim memberikan hak memilih kepada anak tersebut. Jika tidak, maka anak itu diserahkan kepada orang yang berhak mengasuhnya. Kenyataan ini bisa berbeda-beda bagi setiap anak bergantung pada keadaan mereka masing-masing. Seorang anak yang berusia lima tahun boleh jadi tidak lagi memerlukan pengasuhan. Boleh jadi anak yang lain telah berusia tujuh tahun masih memerlukan pengasuhan. Maka yang menjadi patokan adalah fakta anak tersebut, apakah masih memerlukan pengasuhan ataukah tidak.

Silaturahim

309

SILATURAHIM Ketika Allah SWT melarang fanatisme jahiliah (‘ashabiyah jahiliyah), hal itu karena Allah SWT sesungguhnya melarang menjadikan fanatisme kesukuan sebagai pengikat di antara umat Islam, sekaligus melarang berhukum dengannya dalam hubungan antar kaum Muslim. Namun, Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim agar menjalin hubungan dengan kerabat serta berbuat baik kepada mereka. Imam Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari jalur sanad Thariq alMuharibi bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ﻢ‬ ‫ ﹸﺛ‬،‫ﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﹶﺃﺧ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺘ‬‫ﺧ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﹶﺃﺑ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻣ‬ ‫ ﹸﺃ‬،‫ﻮ ﹸﻝ‬‫ﺗﻌ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺪﹾﺃ ِﺑ‬ ‫ﺑ‬‫ﺍ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻌ ﹾﻠﻴ‬ ‫ﻌﻄِﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻳ‬» «‫ﻙ‬ ‫ﺎ‬‫ﺩﻧ‬ ‫ﻙ ﹶﺃ‬ ‫ﺎ‬‫ﺩﻧ‬ ‫ﹶﺃ‬ “Tangan orang yang memberi [nafkah] itu tinggi [kedudukannya]. Mulailah dengan orang yang menjadi tanggunganmu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian saudara perempuanmu, kemudian saudara laki-lakimu, kemudian yang dekat denganmu dan yang dekat denganmu.” Dari Asmâ’ binti Abû Bakar r.a., dia pernah berkata:

‫ﻲ‬ ‫ﻨﺒِــ‬‫ﻭﺍ ﺍﻟ‬‫ﻫﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ِﺇ ﹾﺫ ﻋ‬ ‫ﺪِﺗ ِﻬ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺶ‬ ٍ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻬ ِﺪ ﹸﻗ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺸ ِﺮ ﹶﻛ ﹲﺔ ﻓِﻲ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻭ ِﻫ‬ ‫ﻲ‬‫»ﺃﺗﺘﲏ ﹸﺃﻣ‬

310

Sistem Pergaulan Dalam Islam

.‫ﺒ ﹲﺔ‬‫ﺍ ِﻏ‬‫ﻲ ﺭ‬ ‫ﻭ ِﻫ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻲ ﹶﻗ ِﺪ‬‫ ِﺇ ﱠﻥ ﹸﺃﻣ‬:‫ﺖ‬  ‫ﻲ  ﻓﹶﻘﹸ ﹾﻠ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﻴ‬‫ﺘ‬‫ﺘ ﹾﻔ‬‫ﺳ‬ ‫ﺎ ﻓﹶﺎ‬‫ﺑِﻨﻬ‬‫ﻊ ﺍ‬ ‫ﻣ‬  «‫ﻚ‬ ِ ‫ﻣ‬ ‫ﺻﻠِﻲ ﹸﺃ‬ ِ ‫ﻢ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻧ‬ :‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ “Ibuku datang kepadaku, sedangkan ia adalah wanita musyrik pada masa Quraisy (Jahiliah), karena mereka telah membuat perjanjian dengan Nabi mengenai anaknya. Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah SAW. Aku berkata, “Ibuku datang kepadaku, sedangkan ia ingin bertemu denganku.” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahim dengan ibumu.” Islam telah menjadikan kerabat itu ada dua macam: (1) kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal; (2) kerabat yang memiliki hubungan silaturahim (dzawil arham). Mereka yang berhak mendapatkan warisan adalah orang-orang yang berhak mendapat warisan (ashhabul furudh) dan para ‘ashabah. Sementara orang-orang yang memiliki hubungan silaturahim (dzawil arham) adalah selain mereka; mereka tidak mendapatkan bagian dari warisan (ashhabul furudh), dan bukan pula para ‘ashâbah. Mereka ini (dzawil arham), berjumlah sepuluh orang yaitu: (1) paman (saudara lelaki ibu); (2) bibi (saudara perempuan ibu); (3) kakek dari pihak ibu; (4) anak lelaki dari anak perempuan; (5) anak lelaki dari saudara perempuan; (6) anak perempuan dari saudara laki-laki; (7) anak perempuan dari paman (saudara lelaki bapak); (8) bibi (saudara perempuan bapak); (9) paman dari ibu; (10) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; serta siapa saja yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka. Allah SWT tidak menjadikan mereka berhak mendapatkan warisan dari seseorang sama sekali. Meski demikian, Allah SWT memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahim dan berbuat kebaikan kepada kerabat secara keseluruhan. Jâbir RA. menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

‫ﺎِﻟ ِﻪ‬‫ﻌﻠﹶﻰ ِﻋﻴ‬ ‫ﻼ ﹶﻓ‬ ‫ﻀﹰ‬  ‫ﻪ ﹶﻓ‬ ‫ـﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ‬ ‫ﺴ ِﻪ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﻛـ‬ ِ ‫ﻨ ﹾﻔ‬‫ﺪﹾﺃ ِﺑ‬ ‫ﺒ‬‫ﻴ‬‫ﺍ ﹶﻓ ﹾﻠ‬‫ﻢ ﹶﻓ ِﻘﲑ‬ ‫ ﹸﻛ‬‫ﺣﺪ‬ ‫»ِﺇﺫﹶﺍ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﺃ‬ «‫ﺑِﺘ ِﻪ‬‫ﺍ‬‫ﻌﻠﹶﻰ ﹶﻗﺮ‬ ‫ﻼ ﹶﻓ‬ ‫ﻀﹰ‬  ‫ﻪ ﹶﻓ‬ ‫ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ‬

Silaturahim

311

“Jika seseorang di antara kalian fakir, maka hendaklah ia memulai [nafkah] kepada dirinya sendiri; jika ia memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada keluarganya; dan jika masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kerabatnya.” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). Abû Ayyûb al-Anshârî RA juga bertutur demikian:

‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬.‫ــ ﹶﺔ‬‫ﺠﻨ‬  ‫ﺪ ِﺧﹸﻠﻨِﻲ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻤ ٍﻞ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺮﻧِﻲ ِﺑ‬ ‫ﺧِﺒ‬ ‫ﷲ ﹶﺃ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ ﻳ‬:‫ﻼ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺟ ﹰ‬ ‫ﺭ‬ ‫»ﹶﺃ ﱠﻥ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻨِﺒ‬‫ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺍﻟ‬.‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ﺏ ﻣ‬  ‫ﺭ‬ ‫ ﹶﺃ‬: ‫ﷲ‬ ِ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻪ؟ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ ﻣ‬،‫ﻪ‬ ‫ﺎ ﹶﻟ‬‫ ﻣ‬:‫ﻡ‬‫ﺍﻟﹾﻘﹶﻮ‬ ‫ﺗﺼِــ ﹸﻞ‬‫ﻭ‬ ‫ﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ‬ ‫ﺆﺗِﻲ ﺍﻟ‬ ‫ﺗ‬‫ﻭ‬ ‫ﻼ ﹶﺓ‬ ‫ﺼﹶ‬  ‫ﻢ ﺍﻟ‬ ‫ﺗﻘِﻴ‬‫ﻭ‬ ‫ﻴﺌﹰﺎ‬‫ﺷ‬ ‫ﻙ ِﺑ ِﻪ‬ ‫ﺸ ِﺮ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﷲ ﹶﻻ‬ َ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ : «‫ﻢ‬ ‫ ِﺣ‬‫ﺍﻟﺮ‬ “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga?” Orang-orang berkata, “Ada apa dengannya, ada apa dengannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah Tuhan bersamanya?” Beliau melanjutkan, “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalin silaturahim.” (HR Bukhari) Hadits ini memerintahkan silaturahim. Tapi hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya yang berkaitan dengan silaturahim, tidak menjelaskan apakah silaturahim itu kepada dzawil al-arhâm saja atau kepada setiap orang yang memiliki hubungan nasab (arham) dengan seseorang. Yang jelas, hadits-hadits itu bersifat umum, mencakup setiap orang yang memiliki hubungan silaturahim; baik mahram maupun bukan; baik dari para ‘ashabah maupun dzawil al-arhâm. Mereka semua itu dapat dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki hubungan nasab (arham). Banyak hadits yang menyinggung silaturahim ini, misalnya, sabda Rasulullah SAW berikut:

312

Sistem Pergaulan Dalam Islam

«‫ﺭ ِﺣ ٍﻢ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻨ ﹶﺔ ﻗﹶﺎ ِﻃ‬‫ﺠ‬  ‫ﺧ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻳ‬ ‫» ﹶﻻ‬ “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim.” (HR Muslim, dari jalur sanad Jubair bin Muth’im) Anas ibn Mâlik menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

«‫ﻪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺭ ِﺣ‬ ‫ﺼ ﹾﻞ‬ ِ ‫ﻴ‬‫ﻪ ﻓِﻲ ﹶﺃﹶﺛ ِﺮ ِﻩ ﹶﻓ ﹾﻠ‬ ‫ﺴﺄﹶ ﹶﻟ‬  ‫ﻨ‬‫ﻳ‬‫ﻭ‬ ‫ﺯِﻗ ِﻪ‬ ‫ﻪ ﻓِﻲ ِﺭ‬ ‫ﻂ ﹶﻟ‬ ‫ﺴﹶ‬  ‫ﺒ‬‫ﻳ‬ ‫ﺐ ﹶﺃ ﹾﻥ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ » “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahimnya.” Abû Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

 ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍ ِﷲ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ِ ‫ﻮ ﹶﻟ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺏ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻓ‬  ‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﺑﻠﹶﻰ ﻳ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻚ ﻗﹶﺎﹶﻟ‬ ِ ‫ﻌ‬ ‫ﻦ ﹶﻗ ﹶﻄ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﻭﹶﺃ ﹾﻗ ﹶﻄ‬ ‫ﻚ‬ ِ ‫ــﹶﻠ‬‫ﻭﺻ‬ ‫ﻦ‬ ‫ــ‬‫ﺻ ﹶﻞ ﻣ‬ ِ ‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﺿ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬‫ﻢ ﹶﺃﻣ‬ ‫ﻧﻌ‬ ‫ﻌ ِﺔ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﻄِﻴ‬ ‫ﻚ ِﻣ‬  ‫ﺎِﺋ ِﺬ ِﺑ‬‫ﺍﹾﻟﻌ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻣﻘﹶــﺎ‬ ‫ﻫﺬﹶﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺮ ِﺣ‬ ‫ﺖ ﺍﻟ‬  ‫ﺧ ﹾﻠ ِﻘ ِﻪ ﻗﹶﺎﹶﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻍ ِﻣ‬ ‫ ﹶ‬‫ﻰ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻓﺮ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﺨ ﹾﻠ‬  ‫ﻖ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬ َ ‫»ِﺇ ﱠﻥ ﺍ‬

‫ﺽ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ـﻲ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻭﺍ ِﻓـ‬‫ﺴ ـﺪ‬ ِ ‫ﺗ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﻮﱠﻟ‬ ‫ﺗ ـ‬ ‫ﻢ ِﺇ ﹾﻥ‬ ‫ﺘ‬‫ﻴ‬‫ﺴ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻬ ﹾﻞ‬ ‫ﻢ ﹶﻓ‬ ‫ﺘ‬‫ﺮﺀُﻭﺍ ِﺇ ﹾﻥ ِﺷﹾﺌ‬ ‫ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬ «‫ﻢ‬ ‫ﻣ ﹸﻜ‬ ‫ﺎ‬‫ﺭﺣ‬ ‫ﻮﺍ ﹶﺃ‬‫ﺗ ﹶﻘ ﱢﻄﻌ‬‫ﻭ‬ “Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk. Tatkala telah selesai, bangkitlah rahim (tali persaudaraan) seraya berkata, “Di sinilah tempat orang yang menjaga diri dari keterputusan.” Allah SWT berfirman, “Ya, relakah engkau jika Aku akan berhubungan dengan orang yang menyambungkan diri denganmu dan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu?” Rahim menjawab, “Baiklah.” Allah SWT melanjutkan, “Itulah bagianmu.”

Silaturahim

313

Setelah itu, Nabi saw bersabda, “Jika kalian mau, bacalah olehmu ayat ini:

öΝä3tΒ$ymö‘r& (#þθãèÏeÜs)è?uρ ÇÚö‘F{$# ’Îû (#ρ߉šø è? βr& ÷ΛäøŠ©9uθs? βÎ) óΟçFøŠ|¡tã ö≅yγsù

“Sekiranya kalian berkuasa, apakah kalian akan membuat kekacauan di bumi dan memutuskan hubungan silaturahim dengan kerabat kalian?” (TQS Muhammad [47]: 22).” (Muttafaq ‘alaihi, mengikuti lafal al-Bukhari). Rasulullah SAW juga bersabda:

‫ﻪ‬ ‫ــ‬‫ﺭ ِﺣﻤ‬ ‫ﺖ‬  ‫ــ‬‫ﺻ ﹸﻞ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ِﺇﺫﹶﺍ ﹸﻗ ِﻄﻌ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﻦ ﺍﹾﻟﻮ‬ ‫ﻭﹶﻟ ِﻜ‬ ‫ﻤﻜﹶﺎِﻓ ِﺊ‬ ‫ﺻ ﹸﻞ ﺑِﺎﹾﻟ‬ ِ ‫ﺍ‬‫ﺲ ﺍﹾﻟﻮ‬  ‫ﻴ‬‫»ﹶﻟ‬ «‫ﺎ‬‫ﻠﹶﻬ‬‫ﺻ‬‫ﻭ‬ “Bukanlah orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan tali silaturahim itu adalah orang yang ketika diputuskan silaturahimnya, dia menyambungkan kembali hubungan itu.” (HR Bukhari, dari jalur sanad Abdullah bin ‘Amr). Nash-nash di atas semuanya menunjukkan dorongan untuk menjalin silaturahim. Silaturahim ini menunjukkan sejauh mana hubungan silaturahim dan kasih sayang di antara komunitas Islam yang ditetapkan Allah SWT dalam hal menjalin silaturahim dan tolong menolong di antara kerabat. Silaturahim juga menunjukkan sejauh mana perhatian syariah Islam terhadap pengaturan pergaulan pria dan wanita, serta pengaturan segala hubungan yang muncul dan menjadi implikasi dari adanya pergaulan tersebut. Walhasil, syariah Islam—dengan segala hukum yang ditetapkan untuk mengatur aspek pergaulan pria-wanita di masyarakat— merupakan nizhâm ijtimâ‘î yang paling baik dan paling layak bagi umat manusia.

314

Sistem Pergaulan Dalam Islam

Related Documents


More Documents from "kartini"