Kesamaan sikap sebagai kunci terkabulnya Do’a Diuraikan oleh Dr. Kendra Hartaya 021-70895998,
[email protected]
==================================== =========================== Sikap adalah cara pandang terhadap obyek sikap. Obyek sikap bisa benda hidup atau benda mati, bisa terlihat juga bisa tidak kelihatan, bisa benda bergerak atau diam. Misalnya saja rumah, mobil, isyu-isyu politik, paradigma, wacana, sebuah pendapat, makhluk, trend tertentu, dll. Sikap / cara pandang terhadap obyek memiliki tiga kawasan yaitu secara kognitif (nalar), secara afektif (perasaan), secara konatif (kecenderungan bertindak). gabungan dari ketiga kawasan ini membentuk sebuah sikap seseorang. Sikap seseorang bisa tetap bisa juga tidak tetap (selalu berubah). Sikap yang tetap adalah sikap yang didasari sebuah nilai hidup yang dianut oleh seseorang. sikap ini sulit berubah dengan iming-iming apapun. Adapun sikap yang selalu berubah, kita pasti ingat celotehan ”maju tak gentar membela yang mbayar” bukan membela yang benar. Pengertian Sikap yang memiliki 3 kawasan di sini hanya salah satu yang dikemukakan dari banyak teori sikap. Masih banyak pengertian sikap yang berbeda dengan pengertian ini. Sebagai contoh obyek sikap adalah ”orang tua yang mengutamakan pendidikan anak di pesantren”. Secara kognitif pada masa sekarang terasa ketinggalan menyekolahkan anak di pesantren karena kata pak Habudi di republik mimpi kurang Hi-Tech. Pada umumnya sekarang orang tua berkecukupan ekonomi akan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah bergengsi, kalau perlu ke luar negeri. Saya sangat setuju terhadap orang tua yang menyekolahkan anaknya di pesantren mengingat banyak anak-anak yang secara akhlak tidak bisa dibanggakan bahkan memalukan keluarganya sampai-sampai berbuat jahat terhadap ibu bapaknya. Dengan sekolah di pesantren diharapkan bisa memiliki akhlak mulia. Saya setuju dengan orang tua yang menyekolahkan anak ke pesantren itu karna secara perasaan, santri
dengan seragam baju taqwa lengkap, terada teduh dilihat dan nyaman tidak menakutkan, apalagi jika pandai dan selalu membaca Al Qur’an dengan suara merdu terasa menyenangkan bergaul dengan anak tersebut. Bahkan saya rindu sebuah rumah yang didalamnya dibacakan Al Qur’an. Secara konatif, saya akan lakukan sebagaimana orang tua itu lakukan yaitu paling tidak saya memiliki satu anak yang sekolah di pesantren agar bisa menyeru masyarakat ke jalan Allah, jalan kebaikan, jalan yang mengantarkan manusia selamat secara hakiki. Bahkan kalau ada orang tua yang mengeluh perihal biaya anak sekolah di pesantren, maka saya akan ikut meringankan beban mereka. Masalah rezeki itu bukan masalah pendidikan. Selama orang mau mencari rizeki pasti dapat, karena hubungan antara taqwa dan rizeki itu pasti, siapa yang bertaqwa akan dijamin rezekinya. Masalah pekerjaan (sebagai status / atau karir) lain lagi masalahnya, toh muara dari pekerjaan adalah diperolehnya rizeki. Faktanya banyak pengangguran berpendidikan tinggi, tetapi toh mereka tetap bisa hidup layak dan bisa mendewasakan anak-anak mereka. Orang yang memiliki sama, berarti pola pikirnya sama, perasaannya sama, kecenderungan bertindak yang dimiliki juga sama. Jadi, orang yang sikapnya sama dengan saya akan tahu apa kemauan saya, apa yang saya pikirkan, apa yang akan saya perbuat pada kondisi-kondisi tertentu, apa kesukaan-kesukaan saya, bagaimana saya mengambil keputusan terhadap persoalan. Oleh karena itu orang yang sikapnya sama akan saling menyukai, saling percaya, saling menyerahkan keputusan persoalan yang sedang dihadapi, saling memahami / empati, dll. Dua orang yang memiliki sikap sama bagaikan lembar tulisan asli dengan fotokopinya. Bukankah hampir tidak ada bedanya. Allah memiliki sifat-sifat yang banyaknya 99 katanya (Asma’ al husna). Sebenarnya sifat-sifat Allah banyak tidak hanya 99, tetapi 99 itu hanya yang bisa dipahami oleh manusia. Beribadah tidak lain adalah meneladani sifat-sifat Allah. Sifat-sifat Allah ini harus kita teladani, dalam rangka membentuk diri kita agar memiliki sikap yang sama / mirip dengan Allah. Lha kalau sikap kita dengan sikap Allah
sudah sama, do’a (harapan kita) itu pasti akan terkabul. Logika saya tidak bisa memahami jika sikap kita sama dengan sikap Allah kok Allah tidak mengabulkan do’a kita, bagaimana itu ?. kalau memang makhluk Allah sudah tunduk kepadaNya, untuk apa Allah menahan perbendaharaan yang dimiliki ?. bukankah dunia diciptakan untuk melayani kepentingan manusia ? bukankah Allah itu maha pengasih lagi maha penyayang ? Dari sini saya bisa mengatakan kesamaan sikap sebagai kunci terkabulnya Do’a. Wassalam. Semoga rahmat Allah tetap padamu pembaca ! Ditulis November 2008