Aku dan Sejarahku Dengan sehat wal afiat, aku terlahir ke dunia ini. Di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara tepatnya. Sayang, aku terlahir tanpa dekat langsung oleh ayahku. Beliau masih terlalu sibuk dengan segala pekerjaannya untuk bisa sekadar hadir melihat kelahiranku. Tapi ku bersyukur, walau hanya ditemani oleh pamanku, aku paham dan menyadari bahwasanya hidup ini harus dijalani dengan mandiri; bukan karena faktor ayah dan atau ibu aku bisa sukses. Mungkin inilah sebabnya kenapa aku lebih dekat dengan ibuku ketimbang dengan ayahku yang notabene aku dan ayahku sama-sama pria. Fenomena menarik dari kelahiranku ini menjadi kata kunci terpenting kelak di kemudian hari perjalanan hidupku dimulai. Ia akan berimplikasi pada banyak hal di saat umurku makin beranjak dewasa. Pada awalnya, aku dan juga kedua kakakku – rahmat dan rahmi – mendapat perlakuan yang sama, yaitu mengenyam pendidikan dasar di SDN Pegangsaan Dua 08 Pagi. Ayahku ingin agar semua anaknya, yang sedang dalam masa-masa berkembang, terbentuk dalam ’pengawasan’ intensif ayahnya. Beliau sangat memerdulikan hal ini. Saat ku bersekolah SD, ku pun ’begitu saja’ mau dimasukkan ke madrasah. Sehingga fisik ku cukup terkuras tatkala ku harus bersekolah pagi harinya dan menempuh pendidikan agama sorenya yang lalu ditambah ada tugas bersihkan rumah tiap sorenya. Semua ini sungguh terasa tak masuk akal dalam pikiran anak seusia delapan tahun yang harus rela sedikit meminimalisir masa-masa bermainnya. Selepas aku menempuh pendidikan di sekolah dasar, aku memasuki dunia baru. Dunia sekolah yang begitu berbeda dari segi kultural dan intelektual, Sekolah Menengah Pertama Negeri 270. Sekolah ini memperkenalkan aku akan sebuah komunitas yang sangat beragam, tidak hanya dari teman sekolah namun juga dari guru-guru yang mengampu mata pelajaran yang berbeda tiap mata pelajarannya. Mungkin ini skenario ’cerdas’ dari ibuku. Setelah ’dekat’ dengan ayahku di sd, kali ini ibuku pun mengarahkan anaknya untuk masuk ke sekolah tempat ibuku mengajar ini. Padahal saat itu nilai ujian akhirku memungkinkan aku untuk masuk ke sekolah yang memiliki grade lebih tinggi. Namun dengan keterbatasan pemikiran akan adanya sebuah dimensi-dimensi lain dari satu dimensi, mengakibatkan ku menerima apapun perlakuan dari ibuku. Memang, sekilas hal ini membuat aku merasakan kurangnya kebebasan dalam bertindak. Aku merasa seperti anak manja yang selalu diawasi oleh orang tuanya. Sungguh hal ini membuat aku sedikit minder dengan teman-teman lelaki ku yang lainnya apalagi aku pun seorang lelaki yang memiliki harga diri tinggi yang saat itu mendapat jabatan publik sebagai Waka OSIS dan Ketua Rohis.
Saat SMP pun, aku ’dipolitisir’ kembali untuk mau mengikuti apa yang orang tuaku katakan. Aku masuk ke lembaga privat bahasa inggris setiap senin dan kamis dalam seminggu hingga tiga tahun lamanya. Namun selepas SMP, aku merasa memiliki jiwa dan sikap yang berbeda dengan teman-teman kebanyakan. Sikap ku tampak lebih tenang, stabil, dan agamis. Meski orang tua ku tak lagi ’mengawasi’ ku, namun ku merasa ’tangan-tanganya’ melindungiku dari segala hal yang melanggar norma-norma. Ku mulai berpikir dewasa akan pentingnya kehadiran orang tua kita di saat tumbuh pada masa pertumbuhan yang dalam masa itu semua aspek dalam diri manusia sedang berkembang. Orang tuaku memang tidak pernah menjelaskan secara detail dan eksplisit akan segala hal yang ingin beliau harus berikan kepada anaknya, kecuali dalam hal pengajaran dasar agama. Namun beliau langsung menjelaskan secara implisit dengan sikap keseharian yang dibangun dengan penuh konsisten dan kesadaran. Perlakuan-perlakuan ’istimewa’ ini terasa sekali dampaknya saat ku harus jauh dari ’dekapan’ orang tuaku. Saat SMA, ku merasa bukanlah mereka yang hidup dengan segala ke-borjuisan-nya. Ku bukanlah mereka yang bergaul secara bebas antargender. Ku merasa lebih nyaman tatkala ku dekat dengan orang-orang yang hatinya terikat bukan karena harta melainkan karena takwa. Beruntung SMA 13 Jakarta Utara adalah SMA yang terkenal dan disegani kerohisan-nya. Banyak dari kader-kader yang terdidik di dalamnya masuk ke perguruan tinggi ternama dan mengisi pos-pos strategis di kuliahnya. Ditambah dengan pola pengkaderan yang relatif cukup rapi untuk membentuk generasi-generasi baru. Namun kecenderunganku atas afiliasi ini membuat gap-gap tersendiri antara aku dan teman-temanku yang lain. Aku merasa aku adalah satu dan mereka adalah lainnya. Hal ini membuat ku berpikir dan me-manage ulang sikapku terhadap teman-teman. Aku harus bisa berbaur tanpa melebur; aku harus bisa berinteraksi tanpa harus terkontaminasi. Proses pencarian bentuk yang ideal ini berimplikasi pada perekomendasian rohis 13 untuk mencalonkan ku sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK). Walau tak mendapat suara signifikan namun aku diberikan amanah untuk menjadi sekretaris MPK membantu ketua terpilih yang berasal dari kalangan rohis pula. Ada hal yang begitu menarik yang hingga kini menjadi pengalaman terbaik ku saat ku menjabat sekretaris MPK ini. Di saat-saat OSIS melaporkan kinerjanya selama setahun dalam sesi LPJ, MPK – dan juga tentunya aku yang termasuk di dalamnya – menolak LPJ OSIS. MPK memutuskan hal ini dikarenakan buku LPJ yang harus banyak direvisi kembali, banyak proker yang tak dijalankan, dan kesolidan OSIS itu sendiri yang rapuh. Dengan harus adu argumentasi terlebih dahulu hingga sholat ashar kami dilaksanakan pukul 17.00, akhirnya kami – sebagai MPK – mencoba bersikap lunak
untuk menerima LPJ OSIS saat itu dengan bersayarat. Hal ini kami tempuh agar kami tak ingin substansi-substansi yang ingin MPK berikan pada OSIS tak hilang. Momen-momen terpenting di saatku SMA ini membuatku memahami proses konsolidasi politik baik itu yang bersifat internal maupun eksternal. Memahami karakter forum saat harus bersitegang dengan kuat serta harus bagaimana harus bargaining politic dengan baik, membuat ku merasa lebih dewasa. Momen-momen indah SMA ini tak hanya itu saja. Saat SMA ku pernah satu kali ikut aksi turun ke jalan. Yaitu saat aksi dari bundaran HI hingga Kedubes AS. Serta keikutsertaan ku pada organisasi eksternal sekolah, KAPMI. Semua ini menambah pengalaman, pengetahuan, dan kecerdasanku dalam berorganisasi. Segera setelah masa-masa indah SMA ku usai, ku harus bertarung untuk bisa ’duduk’ di PTN. Ku mengikuti UM UGM dengan pilihan keseluruhan eksak. Alhamdulillah, pada tahun pertama ku mendapat ’kursi’ di Fakultas Biologi UGM. Sebagaimana jiwa ku yang telah terbentuk sebagai organisatoris, ku mencoba masuk BEM Biologi sebagai staf advokasi dan ikut pula pada organisasi ekonomi KOPMA GAMMA sebagai anggota. Alasan ku masuk dua organisasi di atas adalah untuk membentuk karakter kepemimpinanku atas tanggung jawab yang tentunya tak sedikit serta untuk membangun kekuatan mental ku dalam berwirausaha. Karena ku sadar bahwasanya jabatan publik bukanlah jabatan yang dijadikan sebagai profesi hidup. Sehingga jabatan memiliki pertanggungjawaban kepada masyarakat yang dipimpinnya sedangkan profesi memiliki tanggung jawab kepada diri sendiri terlebih pada keluarga nantinya jika sudah berkeluarga.