Sabtu, 18 April 2009 ] Bank Indonesia Cabut Izin Usaha Bank IFI
http://www.jawapos.com/halaman/index.ph p?act=detail&nid=64234 Jawa Pos JAKARTA - Lihai mengelola bisnis restoran tak menjamin juga hoki di bisnis perbankan. Itulah nasib yang dialami bos McDonald's Indonesia Bambang Rachmadi yang juga pemilik PT Bank IFI. Kemarin (17/4), Bank Indonesia (BI) memutuskan mencabut izin usaha Bank IFI. Penyebabnya fatal. Bank yang berumur 54 tahun itu tidak mampu menambah jumlah modal. Rasio modal Bank IFI anjlok hingga tidak memenuhi syarat permodalan minimal 8 persen sampai batas waktu 15 April 2009. Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan BI Wimboh Santoso mengungkapkan, rontoknya bank IFI bukan akibat krisis keuangan dunia. ''Masalahnya sudah lama, sejak 2002. Jadi, ada krisis global atau tidak ada krisis global, ya memang sudah cacat,'' ujarnya. Bank IFI masuk pengawasan intensif sejak 2002 karena rasio kredit bermasalah (NPL) di atas 5 persen. Pada 31 Maret 2009, NPL gross Bank IFI sudah menembus 24 persen. BI telah meminta saham pengendali untuk menambah modal serta menjaga likuiditas bank. Namun, bank yang beroperasi di ibu kota itu tidak berhasil menjalankan program yang disyaratkan. Wimboh menyatakan, beberapa investor sempat berminat mengambil alih bank yang 92 persen sahamnya dimiliki Grup Ramako milik keluarga Rachmadi itu. Namun, investor yang berminat tak bisa memenuhi tenggat menyuntik modal. ''Sudah diupayakan semaksimal mungkin. Tapi, harapan sulit dipenuhi,'' tegasnya. Berbagai upaya sebetulnya sudah dilakukan keluarga Rachmadi. Di antaranya, mencari para investor. Berunding berkali-kali, tapi hingga akhir hayatnya suntikan darah segar itu tidak pernah masuk ke tubuh IFI. Sejumlah pemodal raksasa sebetulnya berminat menanam uang di bank tersebut. Pertengahan 2008, misalnya, keluarga William Soeryadjaya berencana mengambil alih bank milik pengusaha McDonald's, Bambang Rachmadi, itu. Dengan menaruh duit di Bank IFI, William tampaknya berniat kembali ke ''rumah lamanya'', dunia perbankan. Bisnis bank bukanlah lahan baru bagi keluarga Om William. Dia adalah pemilik Bank Summa yang pada 1992 terkulai karena urusan modal. William harus melepas sahamnya di Astra guna mengatup kerugian di Summa. Khalayak bisnis sempat berharap modal IFI langsung menjulang dengan masuknya keluarga itu. Faktanya tidak. Proses negosiasi mentok. William gagal masuk. Dan Jumat kemarin adalah ujung semuanya.
Lahir pada 1955, semula IFI merupakan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) dan dikenal dengan nama Indonesia Finance and Investment Company. Lembaga tersebut kemudian bersalin rupa setelah pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang memudahkan syarat pendirian bank. Dengan kekuatan modal yang solid, bank baru itu tumbuh pesat. Bersamaan dengan perubahan statusnya menjadi bank umum, Februari 1993, PT IFI berubah nama menjadi PT Bank IFI. Bisnis perbankan Indonesia hancur lebur awal 1997. Sejumlah bank terjerat kredit macet. Sebagian besar di antara mereka juga melanggar batas minimum pemberian kredit (BMPK). Tapi, Bank IFI kukuh bertahan, walau diharuskan mencari sekutu untuk memperkuat kantongnya. Karena itu, 1 Maret 1998, bank tersebut merger dengan Bank Asta. Setelah proses ''kawin'' itu, jumlah cabang Bank IFI bertambah banyak. Struktur permodalannya juga cukup kukuh. Karena itu, jika sejumlah bank, bahkan sejumlah bank raksasa, masuk unit gawat darurat alias Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Bank IFI justru melenggang bebas. Mereka tidak masuk rekapitalisasi. Bahkan, masuk UGD BPPN saja tidak. Nilainya A. Sepak terjang bank tersebut kemudian merambah ke perbankan syariah. Pada 28 Juni 1999, dibuka cabang syariah yang diberi nama Bank IFI Cabang Syariah. Dengan dibukanya satu cabang khusus syariah, bank itulah yang kali pertama menggunakan ''dual system''. Struktur permodalan bank tersebut kian kukuh dan menggembirakan. Tapi, kegembiraan itu berumur pendek. Pada 21 Agustus 2002, BI menetapkan Bank IFI dalam pengawasan khusus karena modalnya kurang. Setelah disuntik modal, IFI berhasil checkout dari pengawasan BI. Sembuh, sakit, sembuh, lalu terkulai. Begitulah nasib Bank IFI. Semester pertama 2008, rapornya banyak yang merah. Dibanding semester pertama 2007, jumlah kredit semester pertama 2008 hanya naik Rp 6 miliar. Pertumbuhan DPK hanya naik tipis 9,83 persen. Walau rasio kredit dana pihak ketiga masih bagus, ada yang berbahaya dalam struktur keuangan bank tersebut. NPL menjulang ke bilangan 24 persen. NPL itu belum termasuk aset produktif bermasalah yang mencapai 40 persen. Penyebabnya, sejumlah debitor kakap ternyata menunggak utang ke bank itu. Wimboh menuturkan, tingginya NPL tersebut terus menggerus modal Bank IFI. Akhirnya, Bank IFI masuk kategori bank dengan pengawasan khusus sejak September 2008. Karena tidak kunjung ada guyuran modal baru, kemarin riwayat Bank IFI berakhir. Penutupan Bank IFI dipastikan berdampak besar terhadap nasabahnya. Sebab, mayoritas simpanan nasabah Bank IFI tidak dijamin Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) karena jumlahnya di atas batas maksimal penjaminan Rp 2 miliar. Jumlah dana tak dijamin bisa bertambah jika suku bunga simpanannya di atas bunga wajar LPS. Data LPS per 31 Maret menunjukkan, simpanan nasabah Bank IFI di atas Rp 2 miliar adalah Rp 191,2 miliar yang terdiri atas 30 rekening. Dana sebesar itu pasti tidak dijamin LPS. Sedangkan simpanan nasabah di bawah Rp 2 miliar mencapai Rp 160,4 miliar yang terdiri atas 9.600 rekening. Dengan keputusan pembekuan izin oleh bank sentral, LPS mengambil alih wewenang RUPS Bank IFI dan membubarkan badan hukum bank serta membentuk tim likuidasi. Kemudian, LPS menetapkan status ''bank dalam likuidasi'' serta menonaktifkan seluruh direksi dan komisaris. Pencabutan izin Bank IFI tersebut menjadikan bank itu sebagai bank umum pertama yang dilikuidasi lewat LPS. Sebelumnya, berbeda dari Bank IFI, pemerintah melalui LPS masih menyelamatkan satu bank gagal, yakni Bank Century, dengan mengambil alih.(sof/kim)