Script Film.docx

  • Uploaded by: Danil
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Script Film.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,500
  • Pages: 5
Cinta semanis Racun Aku menulis sebab ini satu-satunya jalan untuk bersamamu Kita menelanjangi ruang tanpa derap waktu Rumah sederhana tempat kita saling bertukar cerita. Sebelum tidur aku selalu mendongengimu kisah seribu satu malam Tapi Kita ataupun hanya Aku yang tahu bahwa kisah ini hanyalah sebuah dongeng Pekat asap kelabu meliuk-liuk terbang, perlahan buyar, lalu hilang ditelan malam, hanya ada sebatang rokok, itupun tinggal seperempat, hasil pemberian teman yang sejak sore tadi tak sempat aku sulut dengan api, kuhembuskan sekali lagi, tampak partikel-partikel asap itu perlahan membentuk bayangan wajahnya, aku tersenyum tapi hanya sesaat, setelahnya seperti sebelumnya, perlahan buyar, lalu hilang ditelan malam. Sangat jarang melihatanya tersenyum, sesekali mencuri pandang, hanya untuk melihat Ia menarik sedikit garis bibirnya, senyuman yang sempat aku jaring dari percakapannya dengan temannya, entah apa yang sedang ia bicarakan waktu itu, tapi stidaknya, itu dapat mengekalkan senyumannya dalam memori ingatan yang sudah tersimpan sampai saat ini, mungkin sudah lewat empat bulan lamanya. Aku mencintainya begitu saja, tentu dengan amat menyesal. Aku mengenalnya lewat sosial media, awalnya hanya karena iseng, dengan dalih bertanya beberapa hal-hal rumit tentang beberapa berkas yang harus diselesaikan yang aku sendiri kurang mengerti, sebagai tahap lanjutan setelah dinyatakan lulus Sebagai Mahasiswa baru. Tentu bukan karena serius bertanya. “assalamu alaikum …” ketik ku, memulai “waalaikum salam” “boleh bertanya?” “dengan siapa ya? Semua berjalan sesuai dengan rencana, beberapa informasi kudapatkan darinya, Qanita Ananda Puti, nama yang indah, terlebih lagi Ia se-jurusan dengan ku ’Bahasa dan Sastra Inggris’, ya meski agak mengecewakan, Ia kurang merespon, dan menjawab seadanya oh, haha, ya dan berbagai jawaban singkat lainnya, dan tampa pernah balik bertanya, kecuali yang satu itu. Untuk beberapa hari kedepan aku masih sering menyambanginya lewat sosial media, Whatsapp tepatnya, media sosial yang mulai gandrung dan banyak dipakai di penghujung September 2017 kala itu, oh ya aku mendapatkan kontaknya lewat sebuah grup Whatsapp yang dibuat oleh pihak fakultas atau sebuah Oraganisasi Mahasiswa yang kemudian aku dengar bernama DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa), dan oleh berbagi Mahasiswa baru dipergunakannya untuk saling bertukar informasi, bertanya, ataupun sekadar turut nimbrung. Kembali padanya, Ia masih saja cuek dan acuh tak acuh, merespon seadanya, “ia, haha, dan ok” Masih saja aku terus mencoba, lalu terbesit dalam pikiranku, mungkin aku malah mengganggunya saja, ia pun mungkin merasa risih denganku, hanya karena tak mau terlalu kejam terhadapku, ia menjawab seadanya saja sebagai bentuk penghormatan, entalah pikiran itu tiba-tiba saja membuat ku pesimis, aku hanya mengawang untuk bisa medekatinya, pikirku lagi. Tapi karena tak ingin dimakan mentah-mentah oleh pikiran sendiri, aku menguatkan hati. “tak buruk, bagiku ini sebagai bumbu awal sebelum memasuki jenjang dunia Perkuliahan” gumamku. entah ada korelasi apa Wanita dan Dunia Perkuliahan itu sendiri, cengengesku seolah mengingkari pernyataan sebelumnya. Pendaftaran ulang pun datang seperti desau angin lembut menyibak pepohonan, petala langit cerah, dengan hujan matahari yang memekakan mata, bukan saja karena silau lalu mataku menyipit, mataku juga untuk saat ini awas memandang seluruh arah, memandangi wajah tak kenal mengenal itu, hanya dua tiga orang yang tengah asik mengobrol di dalam keramain, mungkin teman sekolah, atau kenalan baru, aku tidak ambil pusing, aku masih siaga dengan pekerjaan ku, mencari batang hidungnya yang mancung, senyuman dalam potret yang aku anggap agak dipaksakan itu, tapi tak ku kelirukan Ia memang manis, terlalu manis, dengan gerai rambut sedada, dan sedikit agak bergelombang, tapi di kampus ini tak mungkin aku temukan Ia dengan potret seperti itu, ku alihkan sekilas pandangan ku pada gedung Rektorat yang bertuliskan UIN (Universitas Islam Negeri) Alauddin Makassar. Belum jua ketemukan dia, tiba-tiba teman yang disampingku mengguncang pundakku. “Nama mu!” “mmm?” Aku sadar setelah panggilan kedua melalu corong pengeras suara itu. “Doni Anandito?” “Iya Pak” balasku sembari menyorongkan berkas yang kuteneng sedari tadi itu. Temanku yang menyadari kegelisahanku lalu bertanya.

“ada apa?” “aku sedang mencari seseorang” jawabku, agak menyesal “perempuan?, oh sudah cari yang baru ya” sindirnya, sudah kuduga, Ia memang teman yang tahu betul siap aku. “ah, sudalah ayo pulang!” ajakku, untuk menghindari pertanyaan lanjutan darinya. Diatas motor yang diboncengkan temanku itu, aku masih sempat menoleh kebelakang. Itu dia, pekikku dalam hati, hidung itu, bibir itu, wajah itu kini terbalut kerudung merah, kecantikannya masih sama. Untuk sesaat aku berdebar kencang, ingin segera kupaksa temanku untuk menghentikan laju motornya, namun kuurungkan seketika itu juga, rasa-rasanya kurang tepat saja, tiba-tiba mendatanginya tampa persiapan, apalagi aku tahu diriku bisa-bisa saja goyah menghadapi Wanita secantik itu dengan tiba-tiba. Bunuh diri. Dikejauhan bayang-bayangnya perlahan hilang ditelan orang-orang yang masih lalulang menuggu panggilan. Sial, semua benda-benda disekelilingku senantiasa menjelma jadi dia, bayang-bayangnya terus bergentayangan tak karuan, aku seperti tersihir untuk sejak pertama kali secara langung memandangya, pemandangan yang betul-betul indah, aku ingat potret senyum yang selalu kuduga terkesan dipaksakan itu, aku menatapnya lagi, menatapnya lewat handphone, mengamati senyumnya, senyum yang menyimpan misteri, entah mengapa, terbesit langsung olehku, kemudian kuamati lekuk palung di pipinya, itu tambah menyempurnkannya, lengusng pipi yang sebagian orang ingin miliki. Aku ingin mengirim pesan singkat padanya, hanya untuk memberitahukan bahwa tadi aku sempat meliatnya, juga sekaligus ingin mendapatkan jawaban bahwa tadi itu benar-benar dia. Hanya sekadar basi-basi, segera saja aku mengetik tapi buru-buru kuhapus lagi, entah, aku merasa ragu-ragu, lalu kuurungkan begitu saja. Untuk mengalami kegundahanku aku keluar dari tempat menyesakan ini, sebuah kos ukuran tiga kali tiga meter, dan dengan motor aku menjauh, masuk menelisik hiruk pikuk kota, ia masih saja bergantung, dan menggerayangi pikiranku, aku berbelok ke kiri, dikejauhan kutatapi dua Menara yang kukuh terpancang di depan, saling berpegangan dengan kedua Menara di sebrangnya, saling menahan agar jalan diatasnya selalu kuat menahan beban kendaran yang lalu lalang, seperti ada kekuatan cinta yang menguatkan mereka, seharusnya memang selalu begitu, salah-salah jika salah satunya regang, atau keduaduanya, jembatan akan ambruk jatuh ke dasar sungai, tapi agaknya aku keliru, mereka seperti telah mempersiapkan segala kemungkinan itu, tampak olehku, di sebarang jembatan arah arus balik, tiang-tiang penyanggah, terlihat sangat kokoh menjinjing jalan itu dengan rekat pula kedua tangan masing-masing tiang penyanggah luruh menopangnya, dan tak beda pula dengan jembatan yang segera putus kusebrangi ini. Di penghujung jembatan ada jalanan kecil ke kanan persis, bersisian langsung dengan sungai. Disinilah aku, berhadap-hadapan dengan deru sungai yang jatuh di lereng kecil bendungan. Dari arah kanan, Ganggang hijau sejauh mata memandang tampak menutup sebagian garis sungai, sungguh selaras dengan lanskap jembatan diatasnya. Ganggang hijau yang awalnya menyatu, karena terlalu berada dipinggir bendungan yang lebih rendah, perlahan lepas satu persatu saling bertaut, kait mengait. Bagian per begian jatuh ke ke garis bendungan. Senja mulai meremang, cahaya kuning keemasan perlahan buyar ke segala penjuru, kemudian membenamkan diri disungai, pantulan cahayanya menjadi bayang di sepanjang alir air kemudian bayang-bayang pepohonan yang memanjang. Ah alangkah indah ini semua jika disaksikan berdua dengannya, saling tumpuk menumpuk tangan di rerumputan kering, sambil menikmati Ice Cream yang harganya tak seberapa. Adakah suatu saat itu bisa terjadi? Setelah menyelesaikan beberapa tetek bengek, berkas yang masih aku belum pahami, atau lebih tepatnya tidak peduli. kemudian dilanjut dengan kegiatan OSPEK selama tiga hari itu, dan selama tiga hari itu pula lah tak henti-hentinya aku mencuri pandang padanya, sekali waktu tatapan kami bertemu, hanya sekejap, aku hendak tersenyum, tapi buru-buru ia mengalihkan pandangannya, sepertinya ia tak mengenalku, atau mungkin pura-pura tak mengenal. Bahkan ketika aku memberanikan diri lagi untuk mengiriminya pesan singkat, tak ada lagi balasan darinya, baik respon sedikitpun tidak ada lagi. Tanganku seolah-olah semakin sulit saja menjangkaunya, seperti ada tembok penghalang gaib yang sengaja Ia buat, tak seorang pun boleh memasukinya. Ia Jauh dibalik tembok tak tetembus itu. Jika hendak seseorang memasukinya, baik dengan segala cara, dengan segala cara pula Ia menghalaunya. Entalah aku sendiri bingung dengan ketertutupannya dengan setiap lelaki yang berusaha mendekatinya, ia sepertinya tak peduli dan berusaha senantiasa menhindar. Sungguh wanita bebal. Aku yang sudah ingin menyerah, tanpa disangka, lekat-lekat kulihat Ia duduk di pojok kelas menghadap Handphone-nya. Aku sekelas dengannya, aku yang awalnya hendak menyerah malah kemudian mengurungkan niat dan berbalik mendekat. Pagi itu aku ingin menyapanya, tapi tidak saat ini. Bukan cuma Dia di ruangan ini. Sungguh seketika itu juga aku berpikir keras, bagaimana pun caranya aku harus berkenalan langsung dengannya, tak ingin aku didahului oleh pria-pria bejat yang sudah terlihat menjatuhkan pandang padanya, sial terlalu banyak yang perlu dibasmi disini. Ditengah pergulatan pikiranku itulah. Tampak

seorang pria jangkung, berkepala plontos masuk ke kelas kami. Aku segera duduk memandangi potret wajahnya dalam handponku “Qanita” nama yang indah. semua senyap. lalu Pria berkepala plontos itu mulai berbasa basi sebentar, memperkenalkan diri, dan mengabsen. “Qanita Ananda Putri !” “hadir Pak” “Oh ini yang sudah menikah itu yah” “Iya Pak” ~~~ Kusesap lagi rokok yang mungkin tinggal sesapan terakhir ini. Aku mencintainya begitu saja tentu dengan amat menyesal. Baiknya waktu itu aku harus menelusurinya dulu lebih dalam. Ah…sial. Malam semakin pekat aku masuk masuk ke rumah, mengambil buku diary dan mendapati tulisan George R.R. Martin “Cinta itu racun. Racun yang manis memang. Tapi tetap bakal membunuhmu”

Script Film : Cinta semanis Racun Scene 1 Doni anandito Sedang menulis (flashback) Aku menulis sebab ini satu-satunya jalan untuk bersamamu Kita menelanjangi ruang tanpa derap waktu Rumah sederhana tempat kita saling bertukar cerita. Sebelum tidur aku selalu mendongengimu kisah seribu satu malam Tapi Kita ataupun hanya Aku yang tahu bahwa kisah ini hanyalah sebuah dongeng Scene 2 Doni merokok (Pekat asap kelabu meliuk-liuk terbang, perlahan buyar, lalu hilang ditelan malam, hanya ada sebatang rokok, itupun tinggal seperempat, hasil pemberian teman yang sejak sore tadi tak sempat aku sulut dengan api, kuhembuskan sekali lagi, tampak partikel-partikel asap itu perlahan membentuk bayangan wajahnya, aku tersenyum tapi hanya sesaat, setelahnya seperti sebelumnya, perlahan buyar, lalu hilang ditelan malam.) Doni menghayal (Sangat jarang melihatanya tersenyum, sesekali mencuri pandang, hanya untuk melihat Ia menarik sedikit garis bibirnya, senyuman yang sempat aku jaring dari percakapannya dengan temannya, entah apa yang sedang ia bicarakan waktu itu, tapi stidaknya, itu dapat mengekalkan senyumannya dalam memori ingatan yang sudah tersimpan sampai saat ini, mungkin sudah lewat empat bulan lamanya. Aku mencintainya begitu saja, tentu dengan amat menyesal.) Scene 3 Aku mengenalnya lewat sosial media, awalnya hanya karena iseng, dengan dalih bertanya beberapa hal-hal rumit tentang beberapa berkas yang harus diselesaikan yang aku sendiri kurang mengerti, sebagai tahap lanjutan setelah dinyatakan lulus Sebagai Mahasiswa baru. Tentu bukan karena serius bertanya. Doni : assalamu alaikum … Qanita : waalaikum salam” Doni : boleh bertanya?” Qanita : dengan siapa ya? Semua berjalan sesuai dengan rencana, beberapa informasi kudapatkan darinya, Qanita Ananda Puti, nama yang indah, terlebih lagi Ia se-jurusan dengan ku ’Bahasa dan Sastra Inggris’, ya meski agak mengecewakan, Ia kurang merespon, dan menjawab seadanya oh, haha, ya dan berbagai jawaban singkat lainnya, dan tampa pernah balik bertanya, kecuali yang satu itu. Scene 4 Pelataran Kampus Pendaftaran ulang pun datang seperti desau angin lembut menyibak pepohonan, petala langit cerah, dengan hujan matahari yang memekakan mata, bukan saja karena silau lalu mataku menyipit, mataku juga untuk saat ini awas memandang seluruh arah, memandangi wajah tak kenal mengenal itu, hanya dua tiga orang yang tengah asik mengobrol di dalam keramain, mungkin teman sekolah, atau kenalan baru, aku tidak ambil pusing, aku masih siaga dengan pekerjaan ku, mencari batang hidungnya yang mancung, senyuman dalam potret yang aku anggap agak dipaksakan itu, tapi tak ku kelirukan Ia memang manis, terlalu manis, dengan gerai rambut sedada, dan sedikit agak bergelombang, tapi di kampus ini tak mungkin aku temukan Ia dengan potret seperti itu, ku alihkan sekilas pandangan ku pada gedung Rektorat yang bertuliskan UIN (Universitas Islam Negeri) Alauddin Makassar. Belum jua ketemukan dia, tiba-tiba teman yang disampingku mengguncang pundakku. “Nama mu!” “mmm?” Aku sadar setelah panggilan kedua melalu corong pengeras suara itu. “Doni Anandito?” “Iya Pak” balasku sembari menyorongkan berkas yang kuteneng sedari tadi itu. Temanku yang menyadari kegelisahanku lalu bertanya. “ada apa?” “aku sedang mencari seseorang” jawabku, agak menyesal “perempuan?, oh sudah cari yang baru ya” sindirnya, sudah kuduga, Ia memang teman yang tahu betul siap aku. “ah, sudalah ayo pulang!” ajakku, untuk menghindari pertanyaan lanjutan darinya.

Diatas motor

Diatas motor yang diboncengkan temanku itu, aku masih sempat menoleh kebelakang. Itu dia, pekikku dalam hati, hidung itu, bibir itu, wajah itu kini terbalut kerudung merah, kecantikannya masih sama. Untuk sesaat aku berdebar kencang, ingin segera kupaksa temanku untuk menghentikan laju motornya, namun kuurungkan seketika itu juga, rasa-rasanya kurang tepat saja, tiba-tiba mendatanginya tampa persiapan, apalagi aku tahu diriku bisa-bisa saja goyah menghadapi Wanita secantik itu dengan tiba-tiba. Bunuh diri. Dikejauhan bayang-bayangnya perlahan hilang ditelan orang-orang yang masih lalulang menuggu panggilan. Di rumah Doni

Untuk mengalami kegundahanku aku keluar dari tempat menyesakan ini. masuk menelisik hiruk pikuk kota. Di Pinggir sungai

Disinilah aku, berhadap-hadapan dengan deru sungai yang jatuh di lereng kecil bendungan. Dari arah kanan, Ganggang hijau sejauh mata memandang tampak menutup sebagian garis sungai, sungguh selaras dengan lanskap jembatan diatasnya. Ganggang hijau yang awalnya menyatu, karena terlalu berada dipinggir bendungan yang lebih rendah, perlahan lepas satu persatu saling bertaut, kait mengait. Bagian per begian jatuh ke ke garis bendungan. Senja mulai meremang, cahaya kuning keemasan perlahan buyar ke segala penjuru, kemudian membenamkan diri disungai, pantulan cahayanya menjadi bayang di sepanjang alir air kemudian bayang-bayang pepohonan yang memanjang. Ah alangkah indah ini semua jika disaksikan berdua dengannya, saling tumpuk menumpuk tangan di rerumputan kering, sambil menikmati Ice Cream yang harganya tak seberapa. Adakah suatu saat itu bisa terjadi Scene 4

Setelah menyelesaikan beberapa tetek bengek, berkas yang masih aku belum pahami, atau lebih tepatnya tidak peduli. kemudian dilanjut dengan kegiatan OSPEK selama tiga hari itu, dan selama tiga hari itu pula lah tak henti-hentinya aku mencuri pandang padanya, sekali waktu tatapan kami bertemu, hanya sekejap, aku hendak tersenyum, tapi buru-buru ia mengalihkan pandangannya, sepertinya ia tak mengenalku, atau mungkin pura-pura tak mengenal. Bahkan ketika aku memberanikan diri lagi untuk mengiriminya pesan singkat, tak ada lagi balasan darinya, baik respon sedikitpun tidak ada lagi. Tanganku seolah-olah semakin sulit saja menjangkaunya, seperti ada tembok penghalang gaib yang sengaja Ia buat, tak seorang pun boleh memasukinya. Ia Jauh dibalik tembok tak tetembus itu. Jika hendak seseorang memasukinya, baik dengan segala cara, dengan segala cara pula Ia menghalaunya. Entalah aku sendiri bingung dengan ketertutupannya dengan setiap lelaki yang berusaha mendekatinya, ia sepertinya tak peduli dan berusaha senantiasa menhindar. Sungguh wanita bebal. Aku yang sudah ingin menyerah, tanpa disangka, lekat-lekat kulihat Ia duduk di pojok kelas menghadap Handphone-nya. Aku sekelas dengannya, aku yang awalnya hendak menyerah malah kemudian mengurungkan niat dan berbalik mendekat. Pagi itu aku ingin menyapanya, tapi tidak saat ini. Bukan cuma Dia di ruangan ini. Sungguh seketika itu juga aku berpikir keras, bagaimana pun caranya aku harus berkenalan langsung dengannya, tak ingin aku didahului oleh pria-pria bejat yang sudah terlihat menjatuhkan pandang padanya, sial terlalu banyak yang perlu dibasmi disini. Ditengah pergulatan pikiranku itulah. Tampak seorang pria jangkung, berkepala plontos masuk ke kelas kami. semua senyap. lalu ia mulai berbasa basi sebentar, memperkenalkan diri, dan mengabsen. “Qanita Ananda Putri !” “hadir Pak” “Oh ini yang sudah menikah itu yah” “Iya Pak” Scene 5

Kusesap lagi rokok yang mungkin tinggal sesapan terakhir ini. Aku mencintainya begitu saja tentu dengan amat menyesal. Baiknya waktu itu aku harus menelusurinya dulu lebih dalam. Ah…sial Doni masuk ke rumah, membuka diary-nya dan mendapati tulisan George R.R. Martin “Cinta itu racun. Racun yang manis memang. Tapi tetap bakal membunuhmu”

Related Documents

Script
October 2019 23
Script
April 2020 14
Script
November 2019 18
Script
November 2019 15
Script
October 2019 42
Script
October 2019 52

More Documents from ""

Lesson Easter.docx
May 2020 8
Script Film.docx
November 2019 15
Spe - 65631
June 2020 12
Winter Games.docx
May 2020 6
Fericirea.docx
May 2020 13