PENENTUAN STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ANALISIS SWOT DI DELI SERDANG Robert Siregar Pelajar Ph.D, Jabatan Urban Studies Planning, Fakulti Sastera dan Sains Sosial, Universiti Malaya, 50603, Kuala Lumpur, Malaysia
[email protected]
ABSTRAKSI Berbagai kegiatan penelitian pelayanan professional terutama pelayanan public semakin menjadi tuntutan di masyarakat saat ini. Berbagai macam bentuk standarisasi telah diberlakukan baik itu standarisasi mutu barang maupun pelayanan jasa tak terkecuali standarisasi dalam hal pelayanan jasa dari aparatur pemerintah. Untuk meningkatkan mutu pelayanan terhadap masyarakat, aparat harus melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pelayanan. Maka sangatlah penting adanya strategi aparat pemerintah dalam meningkatkan dan memberikan pelayanan prima ini, agar bisa diterapkan dan diwujudkan oleh aparatur pemerintah. Selain itu aparatur hendaknya juga memahami dan mengerti hakekat, sifat dan kriteria konsep penyelenggaraan pelayanan prima. Kata kunci: pelayanan publik, analisis SWOT, SIMB, unit pelayanan terpadu 1. PENDAHULUAN Berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah membawa implikasi baru dalam pembangunan daerah. Pembangunan daerah diartikan sebagai upaya sistematis untuk mening-katkan kualitas hidup seluruh anggota masyarakat suatu daerah ke arah yang lebih baik secara terus menerus.
1
Dengan
diimplementasikannya
kedua
undang-undang
tersebut
pemerintah daerah dituntut dan harus didukung oleh kelembagaan yang handal dan inovatif untuk mengembangkan sektor yang substansial di daerahnya. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat merupakan upaya meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Dengan
membentuk
pelayanan terpadu, yaitu suatu sistem pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan secara terpadu antara instansi terkait, memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan.
Sistem tersebut sangat
efektif dan cepat untuk melayani masyarakat, karena data yang dikeluarkan oleh pemberi izin dapat diakses oleh instansi lain yang sedang memproses izin. Sistem terpadu ini sering disebut dengan Sistem Informasi Pelayanan Perizinan Satu Atap. Ciri dari sistem ini adalah transparan, efisien, impersonal, cepat, mudah dan memiliki akuntabilitas. Sistem ini memerlukan unit pelayanan terpadu (UPT) yang dapat mengkoordinasikan berbagai bentuk perizinan yang diperlukan masyarakat. Unit ini berfungsi untuk memberi informasi kepada unit teknis terkait atau dinas secara on-line atau melalui internet. Di beberapa daerah yang telah menerapkan sistem ini lebih dahulu, mereka menyatakan bahwa sistem ini memberikan dampak efisien, waktu pengruusan bahkan waktu yang dibutuhkan hanya separuh dari sistem manual. Selain itu seluruh transaksi perjanjian terdaftar dan tersimpan dengan baik, sehingga dapat menekan tingkat kebocoran yang mungkin terjadi secara manual. Menurut Darma (2003) penerapan sistem yang berbasis informasi tidaklah mudah atau murah diterapkan, karena sangat terkait dengan kesiapan
sumberdaya
manusianya,
kelengkapan
peralatan,
dan
organisasi atau lembaga yang menaunginya. Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten terluas di Sumatera Utara, saat ini sangat pesat pem-bangunannya. Mengingat luas daerah dan cepatnya gerak
2
pem-bangunan, daerah ini membutuhkan pelayanan perizinan yang cepat, efisien dan memiliki akuntabilitas. Melihat pesatnya pembangunan di Kabupaten Deli Serdang, maka perlu penataan agar terciptanya keindahan, kenyaman, ketertiban dan bersih serta sesuai dengan perencanaan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan pengurusan IMB. Izin Mendirikan Bangunan adalah izin yang diberikan kepada perorangan atau badan untuk mendirikan atau membongkar suatu bangunan dan termasuk dalam pengertian mendirikan bangunan adalah mengubah dan merobah bentuk atau membangun bangunan (Perda DS, 2000). Manajemen mempunyai peranan utama di dalam organisasi sebagai
koordinator
kegiatan-kegiatan
dari
sub
sistim
dan
menyesuaikannya dengan lingkungannya. Untuk melaksanakan tugasnya memerlukan waktu yang panjang, resiko yang besar harus dihadapi dengan kemungkinan bahaya bagi perusahaan dan keputusan yang telah ditentukan harus dapat dikomunikasikan kepada manajemen pelaksana. Di
dalam
menghadapi
ancaman
(threats)
dan
peluang
(opportunities) diperlukan strategi dan efektifitasnya walaupaun pekerjaan sulit dan berat dalam menjalankan misinya yang memerlukan beberapa pertimbangan
(judgement)
untuk
meningkatkan
kemampuan
dan
keberhasilan organisasi. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan
publik
(public
services)
oleh
birokrasi
publik
merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping abdi negara. Pelayanan publik oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara sejahtera (welfare state).
Pelayanan umum oleh
Lembaga Administrasi Negara diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan di
3
lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Nurmandi (1999:14) mencirikan pelayanan kepada publik sebagai berikut: tidak dapat memilih konsumen, penanannya dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan,
politik
mengistitusionalkan
konflik,
pertanggung-jawaban yang kompleks, sangat sering diteliti, semua tindakan harus mendapat justifikasi, tujuan dan output sulit diukur atau ditentukan. Thery (dalam Toha, 1996:36) menggolongkan 5 unsur pelayanan yang memuaskan, yaitu: merata dan sama, diberikan tepat pada waktunya, memenuhi jumlah yang dibutuhkan, berkesinambungan, dan selalu meningkatkan kualitas serta pelayanan (progressive service). Setiap orang mengharapkan pelayanan yang unggul, yaitu suatu sikap atau cara pegawai dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Moenir (1992:41) menyatakan kualitas pelayanan yang baik adalah sebagai berikut: kemudahan dalam pengurusan kepentingan, mendapatkan pelayanan yang wajar, mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih, dan mendapat perlakuan yang jujur dan terus terang. Sedarmayanti (2000:35) mengutip Zethaml tentang tolok ukur kualitas pelayanan dari 10 dimensi, yaitu: a.
Tangibales, terdiri dari fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi.
b.
Realibility, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam meciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat.
c.
Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertang-gung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan.
d.
Competence, tuntutan dimilikinya pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan.
e.
Courtesy, sikap dan perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhapap keinginan konsumen.
4
f.
Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat.
g.
Security, jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya.
h.
Acces, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan.
i.
Communications, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru.
j.
Understanding
the
customer,
melakukan
segala
usaha
untuk
mengetahui kebutuhan pelanggan. Menurut Wyckof (dalam Tjiptono, 1996: 59) kualitas jasa/layanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan penegndalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Pernyataan tersebut memberi arti, bila jasa/layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/layanan diper-sepsikan baik dan memuaskan.
Jika jasa yang
diterima melampui harapan pelanggan, maka kualitas jasa diper-sepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya bila jasa/layanan yang dite-rima lebih rendah daripada yang diha-rapkan, maka kualitas/layanan akan dipersepsikan buruk. Kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak, yang melekat pada setiap orang, secara pribadi ataupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1992: 41) tentang penyelenggaraan pelayanan. Dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis, birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memebrikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka meng-gunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah
5
yang fleksibel kolaburatis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Toha, 1996: 119). Dalam membicarakan tentang kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi, menyebutkan kualitas pela-yanan masyarakat sebenarnya hanya ditentukan oleh pelanggan, karena itu sesuai dengan Osborne dan Gaebler (1996) “dimasukkan unsur cheaper (semakin murah), better (mutu semakin baik), dan faster (dapat diperoleh secara mudah pada saat dibutuhkan) sesuai dengan kualitas dari pelayanan. Dari beberapa pendapat di tas, kualitas pelayanan publik merupakan pelayanan yang mempunyai kualitas layanan yang baik dengan tidak menimbulkan keluhan masyarakat yang dilayani, secara umum dapat diukur dengan beberapa dimensi, yaitu (1) keres-ponsifan (responsiveness), (2) bukti langsung (tangibel), (3) semakin murah (cheaper), (4) kecepatan (faster), (5) empaty (empathy), dan (6) terjamin (assurance). Dari beberapa dimensi kualitas layanan publik, faktor manusia dianggap menentukan dalam mem-berikan pelayanan yang berkualitas. Menurut Toha (1996: 181) kualitas pelayanan kepada masyarakat sangat bergantung pada individual aktor dan sistem yang dipakai. Karena itu untuk memper-oleh pelayaan yang berkua-litas sangat tergantung pada manusia (pegawai) yang memebrikan dan menyajikan pelayanan tersebut dengan segala perilakunya yang baik dan buruk. Disamping itu, pihak pelayanan publik dalam memberikan layanan publik setidaknya harus: a. Mengetahui kebutuhan yang dilayani. b. Menerapkan persyaratan manajemen untuk mendukung penampilan (kinerja). c. Memantau dan mengukur kinerja. Toha (1996) berpendapat bahwa untuk meningkatkan kualitas pela-yanan publik, organisasi publik (birokrasi publik) harus mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Dari
6
yang suka mengatur dan memerintah ber-ubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekua-saan, berubah menjadi suka menolong menuju kearah yang fleksibel kola-buratis dan dialogis dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis. 3. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
merupakan
kombinasi
penelitian
deskriptif
(descriptive research), karena pene-litian ini bertujuan pada penggambaran dan pemaparan keadaan yang ada (exist) dan dialami sekarang, serta terpusat pada pemecahan masalah yang aktual dengan tidak menambah atau mengurangi fakta. Penarikan sampel dari masing-masing unit penelitian dilakukan dengan cara purpossive sampling, yaitu dengan memilih sampel secara sengaja dengan tujuan tertentu dari kelompok-kelompok unit-unit yang kecil (Nazir, 1988). Jumlah sampel di masing-masing kecamatan diambil sebanyak 30 sampel. Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Sesuai dengan metode penelitian, maka data primer
dikumpulkan melalui instrumen berupa angket atau kuesioner yang diberikan kepada responden atau sampel yang berisikan berbagai pertanyaan bersifat tertutup dan telah tersedia alternatif jawabannya dengan tujuan untuk mendapatkan data kuantitatif.
Analisis data
dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif.
Tabel
frekuensi ini disusun untuk semua indikator dari variabel penelitian secara tersendiri yang merupakan bahan dasar untuk analisis selanjutnya.
4. SURAT IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menurut Pemerintah Kabupaten Deli Serdang (2003) adalah izin yang diberikan kepada orang pribadi atau
7
badan untuk mendririkan atau membongkar suatu bangunan, yang termasuk dalam pengertian mendirikan bangunan adalah mengubah atau merobohkan
atau
membangun
bangunan.
Sedangkan
manfaat
bangunan mempunyai IMB adalah : a. Memberikan perlindungan kesela-matan dan kenyamanan penghuni serta lingkungan sekitarnya. b. Memperoleh kepastian hukum tentang keberadaan bangunan miliknya. c. Memperoleh petunjuk teknis dan pengawasan dari awal sampai akhir termasuk pembuatan septitank maupun peresapannya. d. Menunjang secara langsung terciptanya Kota Indah, Tertib dan Bersih serta sesuai dengan perencanaan kota. e. Sebagai kelengkapan pengajuan permohonan fasilitas lain untuk sarana bangunan (misalnya : air minum, listrik, dll). f.
Memiliki nilai tambah dan dapat dipergunakan sebagai anggunan atau jaminan untuk suatu keperluan lain (misal: ke Bank). Dengan pelaksanaan Otonomi Daerah yang mengedepankan pelayanan masyarakat terus ditingkatkan kualitasnya, baik melalui debirokratisasi maupun deregulasi perijinan, semua ini tidak lain hanyalah untuk menciptakan pelayanan prima.
Salah satu bentuk pelayanan
tersebut adalah bagaimana memberikan pelayanan perijinan yang mudah, biayanya murah dan transparan, ketepatan waktu dalam penyelesaian perijinan dan lain-lain (Suryo, 2003). 5. PENDAPAT MASYARAKAT TENTANG KUALITAS PELAYANAN Moenir (1992) menyebutkan salah satu unsur kualitas pelayanan yang baik adalah kemudahan pengurusan kepentingan.
Untuk
mewujudkan hal tersebut, diperlukan kelengkapan dan kemampuan fisik dalam memberikan palayanan terhadap masyarakat yang ingin mengurus SIMB di Kabupaten Deli Serdang.
Hasil penelitian memberikan gam-
baran bahwa kondisi fisik bangunan yang disediakan oleh Pemerintah
8
Kabupaten Deli Serdang telah memadai guna melaksanakan berbagai aktivitas masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat yang menyatakan kualitas fisik bangunan pengurusan Surat Izin Mendirikan Bangunan (SIMB) dengan sistem yang ada selama ini. Namun sebagian besar masyarakat menyebutkan pelaksanaan pengurusan SIMB, fisik bangunan yang digunakan sudah memadai. Fisik bangunan merupakan salah satu tolok ukur dari dimensi tangibles (Sedarmayanti, 2000). Sumberdaya manusia yang cukup dapat memberikan pelayanan yang lebih merata kepada seluruh masyarakat yang mengurus SIMB. Namun kadangkala jumlah yang besar tidak serta merta menjadi alasan untuk dapat menyatakan bahwa kualitas pelayan yang diberikan menjadi lebih baik. Karena mungkin saja jumlah yang besar tetapi alokasi yang tidak tepat malah mendorong kepada kualitas yang buruk. Di dalam Keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993, prinsip pelayanan publik salah satunya adalah kepastian dalam waktu pelayanan kepada masyarakat. Untuk hal ini, kualitas yang diberikan oleh pihak dinas atau instansi yang memberikan pelayanan pengurusan SIMB yang berjalan selama ini masih jauh dari yang diharapkan. Sebagian besar masyarakat masih mengeluhkan ketidakpastian waktu pengurusan SIMB. Dalam
kegiatan
opera-sionalnya,
instansi
pelayanan
SIMB
juga
mendapatkan tantangan dan hambatan yang seringkali berujung kepada kurang optimalnya pela-yanan yang diberikan.
Janji yang diterapkan
sebagai prima dalam pelayanan tidak terpenuhi, karena kurang jelasnya ketepatan pelayanan yang diberikan. Pelaksanaan
pengurusan
SIMB
secara
ideal
menjadikan
pelayanan lebih singkat dan tepat waktu. Ketepatan pelayanan belum optimal antara lain belum terlaksananya berbagai aktivitas seperti yang tertera pada beberapa bagian, kurang jelasnya jadwal untuk pelayanan masyarakat dan penunjukkan petugas yang tidak sesuai dengan keahliannya.
9
Keadaan tersebut juga mempengaruhi rasa tanggung jawab pelaksana pengurusan SIMB terhadap masyarakat yang ada sebagai konsumennya.
Sebagai institusi, menurut para responden tanggung
jawab yang diberikan masih kurang. Bahkan lebih dari setengah dari responden menyebutkan tanggung-jawab para pelaksana masih kurang. Namun masih didapati responden yang menyatakan pelaksana pengurusan SIMB yang berjalan selama ini sangat bertanggungjawab. Tanggung jawab terhadap mutu yang diberikan sulit untuk dapat ditingkatkan bila pengawasan yang ada hanya dilakukan oleh pihak intern. Masyarakat yang mengurus SIMB pemakai izin (stake holder) dari jasa yang diberikan juga harus dilibatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kurangnya tanggung jawab secara pribadi oleh para personil perusahaan
sangat
dipengaruhi
oleh
kompetensi
menjalankan bidang tugas masing-masing.
mereka
dalam
Lebih dari setengah
responden masyarakat menyatakan pengetahuan dan keterampilan personil yang memberikan pela-yanan pengurusan SIMB yang berjalan selama ini masih kurang. Kondisi ini tidak terlepas dari sistem perekrutan dan pembinaan pegawai yang dilaksanakan selama ini. Prinsip right man on the right job belum sepenuhnya dapat dilaksa-nakan karena masih besarnya tekanan dari berbagai pihak. Sikap ramah dan bersahabat atau courtesy
yang dimiliki oleh
pelaksana atau personil yang ada sangat dibutuhkan masyarakat sebagai rasa tanggap yang diberikan oleh instansi. Tetapi hal ini belum benarbenar optimal kualitasnya yang diberikan, dimana sekitar 16 persen dari responden masih ada yang menyatakan bahwa sikap personil kurang ramah. Dibutuhkan lebih banyak lagi pembinaan terhadap pegawai dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hubungan antar manusia atau
humanis
diperlukan
karena
masyarakat
memerlukan perhatian dan sikap bersahabat.
sebagai
manusia
Kredibilitas merupakan
10
salah satu tolok ukur yang utama dalam kualitas pelayanan kepada publik. Kredibilitas digambarkan sebagai sikap jujur dan adil dalam setiap upaya menarik kepercayaan masyarakat. Instansi pelaksana pengurusan SIMB sebagai bagian dari Pemerintah Kabupaten Deli Serdang secara umum memiliki kredibilitas yang baik artinya belum mampu menunjukkan sikap
yang
jujur
dan
adil
kepada
masyarakat
yang
menerima
pelayanannya. Menurut sebagian besar masyarakat, pelaksana pengurusan SIMB yang berjalan selama ini belum dapat memberikan kejujuran dan rasa adil bagi masyarakat. Rasa aman dalam masa mengurus SIMB sangat
diperlukan,
karena
akan
menyebabkan
semakin
banyak
masyarakat yang akan mengurus izin. Rasa aman bukan saja kepada pribadi masyarakat yang sedang mengurus SIMB, tetapi juga aman terhadap berbagai dokumen yang disertakan dalam pengurusan. Artinya sewaktu mereka meninggalkan berbagai berkas di di instansi tersebut tidak perlu merasa was-was terhadap kehilangan atau kerusakan berkasberkas tersebut. Rasa kurang aman lebih banyak muncul di masyarakat saat pengurusan SIMB selama ini. Pengurusan SIMB selama ini harus melalui banyak kantor dan pintu, sehingga memungkinkan adanya kelalaian petugas dalam memberikan pelayanan,
dan hal tersebut
dapat
menyebabkan rusak atau hilangnya berkas-berkas pengurusan yang diajukan masyarakat. Selain keamanan, hal lain yang dibutuhkan masyarakat dalam proses pengurusan SIMB adalah kenyamanan.
Sebagian besar
responden menye-butkan merasa kurangnya nyaman saat pengurusan SIMB. Kenyamanan diper-lukan oleh masyarakat tidak saja saat berada di dalam pengurusan, tetapi juga saat menunggu proses penye-lesaian berbagai urusan.
Perlu kiranya dilakukan penataan atau penyusunan
letak loket atau meja sehingga tidak menimbulkan kesan yang kurang nyaman.
11
Dibutuhkan adanya suatu kontak atau pendekatan antara pelaksana pengurusan SIMB dengan masyarakat di kabupaten ini. Hal ini untuk memberikan kemudahan dalam berbagi informasi dari instansi pelaksana ke masyarakat atau sebaliknya dari masyarakat ke instansi tersebut. Informasi pengurusan SIMB menurut sebagian besar masyarakat masih kurang. Masih diperlukan adanya penyampaian informasi tentang tata cara pengurusan SIMB ke masyarakat, karena beragamnya pengetahuan masyarakat, baik dari pendidikan maupun pema-hamannya. Bahkan ada masyarakat yang menyebutkan informasi pengu-rusan SIMB masih tertutup. Pemanfaatan berbagai media komunikasi akan lebih memberikan informasi kepada masyarakat.
Selain itu kelembagaan yang ada di
masyarakat juga harus diberdayakan dalam penyampaian informasi. Pihak pemerintah melalui bagian informasi dapat membuat papan informasi atau menempel leaflet berkaitan dengan pengurusan SIMB di tempat-tempat masyarakat sering berkumpul, dan bukan hanya di kantorkantor pemerintah. Selain komunikasi, masyarakat juga menginginkan suatu sikap dari pelaksana pengurusan SIMB dalam meningkatkan kualitasnya melalui pemahaman terhadap keperluan dan keterbatasan yang ada di masyarakat. Sebagian besar responden menganggap pihak pelaksana pengurusan SIMB masih kurang respon terhadap berbagai masukan dari masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan orientasi untuk meningkatkan mutu pelayanan sulit tercapai karena kurang dipahaminya keperluan masyarakat. 6. KEBIJAKAN STRATEGIS PELAYANAN PUBLIK Sebagai bagian akhir, disusun analisis SWOT berbagai kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik di Deli Serdang seperti yang ditunjukkan pada matriks berikut ini :
12
Tabel 1 Matriks Strategi kualitas pelayanan publik dengan analisis SWOT No 1
2
Strategi Strategi I (SO)
Strategi II (WO)
Program a. Promosi investasi untuk menggalakkan pembangunan
Implementasi a.1. meningkatkan penyebaran informasi tentang potensi daerah a.2. penyederhanaan birokrasi perijinan yang singkat, tepat waktu dan transparan a.3. pemanfaatan secara optimal sumberdaya yang ada
b. Pengembangan daerah bisnis dan kawasan pemukiman
b.1. memfasilitasi sumber permo-dalan bagi pengembangan kawasan bisnis b.2. pengembangan prasarana bagi kawasan bisnis dan pemukiman
a. Peningkatan informasi pengurusan SIMB ke masyarakat
a.1. pemanfaatan media lokal sebagai penyampai informasi a.2. mengintensifkan aparat pemerintah melakukan penyuluhan ke masyarakat a.3. pelaksanaan pemerintahan dengan prinsip transparansi, edukasi dan relevansi dengan bidang kerjanya
b. Peningkatan fungsi kelembagaan daerah
b.1. pelimpahan wewenang kepada lembaga yang relevan dalam pengurusan izin b.2. menjalankan fungsi pengawasan izin mendirikan bangunan
c.
c.1. komputerisasi dan penyediaan perangkat dari swasta atau lembaga yang profesional di bidangnya c.2. pemanfaatan lembaga perg-uruan tinggi dan profesional untuk
Penyertaan pihak luar dalam pengembangan perangkat dan pelatihan pelaksana
13
memberikan pelatihan keterampilan dan manajemen aparat 3
Strategi III (ST)
a. Pengembangan usaha yang sesuai dengan tata ruang
a.1. menciptakan kesempatan berwirausaha a.2. pengembangan industri dengan teknologi sederhana yang mudah dikuasai oleh masyarakat
b. Peningkatan efisiensi dan efektivitas aktivitas
b.1. membantu akses permodalan bagi masyarakat b.2. penurunan berbagai tarif dang menghilangkan pungutan yang membebani usaha a. Pemilihan kegiatan yang sesuai dengan lingkungan c.1. pengadaan data dan informasi lingkungan hidup beserta kelengkapan peraturan dan syarat pengelolaannya c.2. mengelola, memanfaatkan sumberdaya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan dan lingkungan hidup yang berkelanjutan c.3. menanamkan dan mensosialisasikan prinsip etika dan moral dalam pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan
4
Strategi IV (WT)
c.
Peningkatan kemampuan aparatur/SDM pelaksana
d. Menumbuhkan suasana berinvestasi dan berusaha yang kondusif
a.1. meningkatkan profesionalisme aparat, terutama dalam pengendalian izin mendirikan bangunan b.1. peningkatan peran masyarakat di dalam menciptakan suasana aman dan tertib dengan
14
men-dorong sikap dinamisasi masyarakat b.2. pembangunan sarana dan prasarana penunjang pem-bangunan b.3. pembinaan sikap mental dan kesadaran masyarakat untuk menerima dan mendukung program pemerintah e. Peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat
c.1. meningkatkan motivasi dan kinerja aparat pemerintah dengan orientasi bahwa aparat pemerintah sebagai pelayan masyarakat c.2. meningkatkan citra pemerintah di masyarakat dengan mewujudkan pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa
7. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan a. Kualitas pelayanan pengurusan SIMB kepada masyarakat di Kabupaten Deli Serdang sebagai berikut: 1) Kualitas fisik bangunan dan peralatan yang ada di instansi pelaksana pengurusan SIMB sudah memadai. 2) Jumlah personil yang ada cukup banyak guna mendukung kelancaran dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. 3) Dalam kegiatan opera-sionalnya, pelaksana peng-urusan SIMB juga menda-patkan tantangan dan ham-batan yang seringkali berujung kepada kurang optimalnya pelayanan yang diberikan, seperti
kurang
tepatnya
pelayanan.
Kurangnya
frekuensi
hubungan menyebabkan penyampaian informasi dari dan kepada masyarakat menjadi sangat kurang. Sehingga pelaksana peng-
15
urusan SIMB kurang mema-hami keperluan dan kekurangan masyarakat. b. Kebijakan strategis dalam peningkatan pelayanan kepada publik pengembangan daerah bisnis dan kawasan pemukiman, peningkatan informasi peng-urusan SIMB kepada masyarakat, peningkatan peran kelembagaan daerah, penyertaan pihak luar dalam penyediaan perangkat dan pelatihan pelaksana, pengem-bangan usaha yang sesuai dengan tata ruang dan lingkungan, peningkatan kemampuan dan keterampilan aparatur pelaksana, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab aparat daerah. 7.2 Rekomendasi Kebijakan a. Dalam penyusunan kebijakan pelayanan perlu dilakukan dengar pendapat antara masyarakat dengan pelaksana pengurusan SIMB. Sehingga diperoleh masukan-masukan yang objektif yang akan memberikan suatu rancangan kebijakan yang efektif dan dalam implementasinya didukung semua pihak yang berkompeten. b. Kepada peneliti lain, akan sangat bermanfaat bila melakukan penelitian tentang aspek sosio-budaya masyarakat dalam mendukung berbagai program pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Darma, M.W., 2003.
Unit Pelayanan Terpadu (Public Services
Information System). Jalan RS Fatmawati, Jakarta. Moenir, H.A.S., 1992.
Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia.
Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M., 1988. Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia. Nurmandi, A., 1999. Pengelolaan
Manajemen Perkotaan, Aktor, Organisasi dan
Daerah
Perkotaan
Di
Indonesia.
Yogyakarta:
Lingkungan Bangsa.
16
Osborn, D., dan T. Gaebler, 1992. Reinventing Government, How The Enterpreneural Spirit is Tranforming The Public Sector. New York: Plume. Perda DS, 2000.
Perda Kabupaten Deli Serdang No. 31 tentang
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan di Kab. Deli Serdang. Sedarmayanti, 2000.
Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi
Untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan, Bandung: Mandar Maju. Suryo, KRMT, 2003.
Kesiapan Masyarakat dalam Era e-Government.
Makalah Seminar Sehari dengan Tema Impelemntasi e-Government di Pemerintahan Daerah, 25 Pebruari 2003, Balaikota Yogyakarta. Toha, M., 1996. Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali Press.
17