Referat Interna Nia Tifoid.docx

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Interna Nia Tifoid.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,940
  • Pages: 29
REFERAT DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH : HAJAR HANIYAH 1102013119

Pembimbing : Letkol Ckm (K) dr. Ade Netra Kartika, Sp.PD, MARS, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM JANTUNG DAN PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RS TK II MOH. RIDWAN MEURAKSA PERIODE 24 DESEMBER 2018 – 2 MARET 2019

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA

: Hajar Haniyah

NPM

: 1102013119

Asal Insitusi : Universitas Yarsi Stase

: Interna

Periode

: 24 Desember 2018 – 2 Maret 2019

REFERAT DENGAN JUDUL DEMAM TIFOID

Telah disusun dan disetujui oleh:

Penyusun

Pembimbing

Hajar Haniyah 112013119

Dr. Ade Netra Kartika, Sp. PD, MARS, FINASIM Letkol Ckm (K)

Kepala Departemen Penyakit Dalam Jantung dan Paru RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa

Dr. Ade Netra Kartika, Sp. PD, MARS, FINASIM Letkol Ckm (K)

Lampiran LEMBAR PENILAIAN SARI PUSTAKA

Nama Mahasiswa NPM / NIRM Tanggal / Pukul Pembimbing

Makalah

Penyajian

: Hajar Haniyah : 1102013119 : Rabu, 06.02.2019 / 11.00 : Dr. Ade Netra Kartika, Sp. PD, MARS, FINASIM Letkol Ckm (K)

10 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 10

Nilai ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ………

1. Penguasaan materi

20

………

2. Tanya jawab

20

………

100

………

1. Ketepatan menyerahkan makalah kepada pembimbing 2. Penulisan a. Introduksi / Latar belakang b. Epidemiologi c. Etiologi d. Patofisiologi / Patogenesis e. Manifestasi / Gejala Klinis f. Pemeriksaan fisik g. Pemeriksaan penunjang h. Diagnosis i. Penatalaksanaan j. Prognosis k. Referensi (Cara Vancouver) a. Suara 1. Audio Visual b. OHP/Slide/In Focus c. Sistematis Penampilan

Diskusi Jumlah Nilai Referat

………………, 2019 Pembimbing,

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... ii LEMBAR PENILAIAN SARI PUSTAKA ..............................................................................iii DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv BAB I ........................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 BAB II....................................................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 2 2.1 Etiologi............................................................................................................................ 2 2.2 Patogenesis...................................................................................................................... 4 2.3 Manifestasi Klinik........................................................................................................... 5 2.4 Diagnosis......................................................................................................................... 6 2.5 Penatalaksanaan .......................................................................................................... 13 2.6 Komplikasi .................................................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 24

BAB I PENDAHULUAN Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C(demam paratifoid). Demam tifoid ditandai antara lain dengan demam tinggi yang terus menerus bisa selama 3-4 minggu, toksemia, denyut nadi yang relatif lambat, kadang gangguan kesadaran seperti mengigau, perut kembung, splenomegali dan leukopenia. Di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia, demam tifoid masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat, berbagai upaya yang dilakukan untuk memberantas penyakit ini tampaknya belum memuaskan. Sebaliknya di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang misalnya, seiring dengan perbaikan lingkungan, pengelolaan sampah dan limbah yang memadai dan penyediaan air bersih yang cukup, mampu menurunkan insidensi penyakit ini secara dramatis. Di abad ke 19 demam tifoid masih merupakan penyebab kesakitan dan kematian utama di Amerika, namun sekarang kasusnya sudah sangat berkurang. Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering juga berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier kronik. Di negara berkembang kasus ini endemik. Diperkirakan sampai dengan 90 95 % penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan. Jadi data penderita yang dirawat di rumahsakit dapat lebih rendah 15 – 25 kali dari keadaan yang sebenarnya. Diseluruh dunia diperkirakan antara 16 – 16, 6 juta kasus baru demam tifoid ditemukan dan 600.000 diantaranya meninggal dunia. Di Asia diperkirakan sebanyak 13 juta kasus setiap tahunnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60◦C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.

Genus Salmonella terdiri dari dua species, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori (disebut juga subspecies V). Salmonella enterica dibagi ke dalam enam subspecies yang dibedakan berdasarkan komposisi karbohidrat, flagell, dan struktur lipopolisakarida. Subspecies dari Salmonella enterica antara lain subsp. Enterica, subsp. Salamae, subsp. Arizonae, subsp. Diarizonae, subsp. Houtenae, subsp. Indica.

Semua serotipe Salmonella dapat ditunjuk olehformula antigen berdasarkan somatik(O) dan flagellar(H) antigen selain kapsuler(Vi) : 1.

AntigenO (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2.

AntigenH (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3.

AntigenVi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas didalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

2.2 Patogenesis

Gambar 1.1 Patogenesis Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.

Bila respon imun kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaquePeyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak dan

selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua dengan

disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi

kalinya

sistemik, seperti

demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.

2.3 Manifestasi Klinik Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi dari gejala ringan seperti demam, malaise dan batuk kering serta rasa tidak nyaman ringan di perut. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keparahan dan seluruh manifestasi klinis yang muncul. Faktor tersebut antara lain durasi penyakit sebelum dimulainya terapiyang tepat, pemilihan antimikroba, usia, paparan atau riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri, jumlah inokulum tertelan, faktor host (misalnya jenis HLA, AIDS atau imunosupresi lainnya) dan apakah individu mengkonsumsi obat lain seperti H2 blocker atau antasida untuk mengurangiasam lambung. Pasien yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko infeksi klinis dengan S.typhi dan S.Paratyphi secara signifikan. Adanya infeksi Helicobacter pylori juga merupakan risiko tertular demam tifoid. a. Akut non-komplikasi Demam tifoid akut ditandai dengan demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus (sembelit pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise dan anoreksia. Batuk bronkitis adalah gejala umum dalam tahap awal penyakit. Selama periode demam, hingga 25% dari pasien menunjukkan exanthem (mawar bintik-bintik), di dada, perut dan punggung.

b. Dengan Komplikasi Demam tifoid akut bisa berat. Tergantung pada pengaturan klinis dan kualitas perawatan medis yang tersedia, hingga 10% dari pasien tifoid dapat berkembang ke komplikasi yang serius. Karena jaringan limfoid usus terkait menunjukkan kelainan yg menonjol, pada 10-20% pasien ditemukan adanya darah mikroskopis pada tinja dan hingga 3% pasien mungkin memiliki melena. Perforasi usus juga telah dilaporkan hingga 3% dari kasus dirawat di rumah sakit. Rasa tidak nyaman pada perut akan berkembang dan meningkat. Hal ini sering terbatas pada kuadran kanan bawah tetapi bisa juga menyebar. Gejala dan tanda-tanda perforasi usus dan peritonitis kadang-kadang mengikuti, disertai dengan kenaikan tiba-tiba denyut nadi, hipotensi, ditandai dengan nyeri perut, nyeri lepas, dan selanjutnya kekakuan perut. Peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran kiri dan udara bebas pada radiografi abdomen biasanya terlihat.

2.4 Diagnosis Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

2.4.1. Pemeriksaan darah tepi Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis.13 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

2.4.2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella Typhi dalam biakan dari darah, urine, feses dan sumsum tulang. Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor, seperti : (1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif; (2) Jumlah darah yang diambil terlalu sedikit (diperlukan kurang lebih 10 cc darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif; (3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah dapat negatif; dan (4) Waktu pengambilan darah yang dilakukan setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 7090% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.2 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek seharihari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.

2.4.3. Uji serologis 2.4.3.1. Uji Widal Dasar reaksi uji Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella Typhi dengan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella Typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, orang yang pernah tertular Salmonella Typhi, dan orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut : a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut. b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi. c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier. 2.4.3.2. Uji Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Prinsip dasar uji ELISA adalah reaksi antigen-antibodi. Uji ini sering dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen O9

LPS, antibodi IgG terhadap antigen flagela d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella Typhi. Chaicumpa dkk mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses, dan 40% pada sampel sumsum tulang. 2.4.3.3. Pemeriksaan Dipstik Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella Typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. 2.4.3.4. Uji Tubex® Tubex® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh IDL Biotech, Broma, Sweden.27 Tes ini sangat cepat, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit, sederhana dan akurat. Tes ini mendeteksi serum antibodi IgM terhadap antigen O9 LPS yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella Typhi. Pada orang yang sehat normalnya tidak memiliki IgM anti-O9 LPS.

Gambar 1.2. Prinsip dari tes Tubex®. Bagian atas, hasil negatif; bagian bawah, hasil positif. Tes Tubex® merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif den gan cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex® color scale yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah) hingga nilai 10 (warna paling biru). Cara membaca hasil tes Tubex® adalah sebagai berikut menurut IDL Biotech 2008: 1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid). 2. Nilai

3

menunjukkan

inconclusive

pemeriksaan ulang. 3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.

score

dan

memerlukan

4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid). Nilai Tubex® yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam tifoid yang sangat kuat. 2.4.3.5. Uji Typhidot® Uji Typhidot® merupakan alat diagnostik demam tifoid yang diproduksi oleh Biodiagnostic Research, Bangi, Malaysia. Hasil uji Typhidot® dinilai positif apabila didapatkan reaksi dengan intensitas yang sama dengan atau lebih besar dari reaksi kontrol, terlihat pada kertas saring komersial yang telah disiapkan. Tes ini memperingatkan, jika hasil yang diperoleh tak tentu, tes harus diulang setelah 48 jam.

Gambar 1.3. Prinsip dari tes Typhidot®. Bagian atas, prosedur tes; bagian bawah, interpretasi hasil tes. 2.4.4. Identifikasi kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri Salmonella Typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri Salmonella Typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA

2. 5 Penatalaksanaan Management atau penatalaksanaan secara umum, asuhan keperawatan yang baik serta asupan gizi yang baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid,yaitu:

1. Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan, minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. Managemen Nutrisi Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk dikonsumsi, antara lain: a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. d. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah: a. Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total c. Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total d. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total e. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal 8gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan f. Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan toleransi perorangan. g. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan berbumbu tajam.

h. Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas dan dingin i. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil j. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu

disertai suplemen vitamin dan

mineral,

makanan formula, atau makanan parenteral.

Tatalaksana Farmakologi Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3hari perlu dibantu dengan paraffin atau lava sedeng anglistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.

Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.

A. Pemberian antimikroba Pemberian antimikroba dengan

tujuan

menghentikan

dan mencegah

penyebaran kuman. a. Kloramfeniko Dierapre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%. Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit, menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28hari menjadi 3-5hari. Dosis untuk orang dewasa adalah 4kali 500mg perhari

oral

atau

intravena,

sampai 7 hari bebas demam.

Penyuntikan intramuskular tidak

dianjurkan karena hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik hingga munculnya resistensi pada tahun1970. Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara berkembang

merupakan

perhatian

terhadap

kloramfenikol.

Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5. b. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,

akan tetapi komplikasi hematologi seperti

kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-6 sampai ke-6.

c. Ampisilin dan Kotrimoksazol Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Ampicilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol(TPMSMZ) menjadi pengobatan yang utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini. Pada tahun 1989, muncul MDR S.Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol, ampicilin, Trimetoprim-Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan tertacyklin. Di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia Tenggara, dan Afrika), seluruh pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau sefalosporin generas

III hingga hasil kultur dan tersensitive aster sedia. d. Quinolon Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif penetrasi terhadap makrofag, mencapai

konsentrasi

tinggi di usus dan lumen empedu, dan memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid. Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S.Typhi yang muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik

quinolon. Ciprofloksasin juga telah

ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan pefloxacin, terbukti efektif dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan ofloxacin (10-15mg/kg dibagi dua selama 2-3hari) muncul lebih simpel, aman dan efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. e. Sefalosporin Generasi 1 Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari. Respon yang

baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon

selama 5-7hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan untuk 10-14hari. f. Antibiotik lainnya Beberapa studi kecil

telah

melaporkan kesuksesan pengobatan

demam tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik

ini menunjukan lebih efektif dari pada kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektifdi Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik makrolida baru diberikan dengan dosis1gr sekali sehari selama 5hari juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan pada anak-anak,ibu hamildan menyusui.

B. Penggunaan Glukokortikosteroid Kortikosteroid

diberikan

pada

pasien

demam

tifoid

berat

dengan

gangguankesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal 3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian.

Selain itu, juga diberikan kepada pasien dengan

demam yang tidak turun-turun. 

Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral



Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral



Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral



Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral



Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral

C. Antipiretik Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan darah (bradikardi relatif).

2.6 Komplikasi Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu: 1. Komplikasi Intestinal Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Perdarahan intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.

Sekitar 25% penderitademam tifoid dapat mengalami

perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak

dapat

mengimbangi

perdarahan

yang

terjadi,makatindakanbedahperlu dipertimbangkan. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang

biasa terjadi maka

penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat

terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada

rongga peritoneum atau subdiafragma kanan,

maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan perforasi usus pada demam

tifoid.Beberapa

terdapatnya

faktor yang dapat

meningkatkankejadian perforasi adalah umur (biasanya20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan

kombinasikloramfenikoldan

ampisilinintravena.

Untuk

kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/ metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 2. Komplikasi Ekstraintestinal a.Hematologi Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan protombin time, peningkatan partialthromboplastin time,

peningkatan

fibrindegradation

product

sampai

koagulasi

intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien

demam tifoid. Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi ;baik KID kompensata maupundekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun adapula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

b. Hepatitistifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepato ensefalopati dapat terjadi.

c. Pankreatitis tifosa Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG/ CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat. Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti ceftriakson atau quinolon.

d. Miokarditis Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.

e. Manifestasi neuropsikiatrik/ tifoidtoksik Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindroma meningismus,

otak

akut,

mioklonus

generalisata,

skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania,

ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.

Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoidtoksik, sedangkan penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam

tifoid

kloramfenikol

berat,

langsung

4x400

mg

deksametason3x5mg.

diberikan

ditambah

pengobatan

ampisilin

kombinasi

4x1gram

dan

DAFTAR PUSTAKA

Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a%204058.A.pdf. [4 Januari 2019]. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [ 4 Januari 2019 ]. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [4 Januari 2019] Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw Hill. 2015:1049-1052. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010. Olga. Tubex®, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia. 2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun2012/edisi-no-08-vol-xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex®-cepat-danakurat-diagnosis-demam-tifoid. [4 Januari 2019].

Parry

CM.

Typhoid

fever.

N

Engl

J

Med

2002;

347(22):

1770-82.

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [4 Januari 2019]. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/ full/10.1056/NEJMra020201. [4 Januari 2019]. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Mei

2006.

www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes

/KMK%20No.

%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf. [4 Januari 2019]. The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003: 17-18. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005:37-50. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna Publishing. 2009:2797-2800.

Related Documents

Nia
May 2020 26
Nia Dour
November 2019 50
Interna
May 2020 18
Nia Sertifikat.docx
July 2020 18