QIYAS Di ajukan sebagai salah satu tugas Mata kuliah USHUL FIQIH Dosen : Sugeng Aminudin, M.PI
Di susun oleh : RIZKI FAUZI KHOIRUL RIZAL
PROGRAM STUDI MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL (IAIN) LAA ROIBA BOGOR 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Qiyas ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki dan bantuan dari beberapa referensi lainnya. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai sejarah pembukuan Al-Quran dan mengambil pelajaran yang baik dari makalah ini. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
I
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ I DAFTAR ISI...................................................................................................................... II BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A.
Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C.
Tujuan .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2 A.
Definisi Qiyas ......................................................................................................... 2
B.
Macam-macam Qiyas ........................................................................................... 2
C.
Rukun-rukun Qiyas .............................................................................................. 3
D.
Macam-macam Illat .............................................................................................. 3
E.
Dalil Kehujjahan Qiyas ........................................................................................ 4
BAB III KESIMPULAN ................................................................................................... 7 A.
Kesimpulan ............................................................................................................ 7
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 8
II
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pada masa Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasalam, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah karena saat itu. Akan tetapi, setelah beliau, Rasulullah wafat, para sahabat agak
kesulitan dalam
memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, sehingga munculah Ijma’ dan Qiyas.
B.
Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah Qiyas itu dan bagaimana kehujjahan Qiyas? 2.
C.
Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?
Tujuan Adapun tujuan dari makalah Qiyas ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penjelasan tentang qiyas dan kehujjahannya. 2.
Apakah saat ini masih mungkin terjadi Qiyas?
1
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Qiyas Qiyas menurut bahasa arab artinya menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B , karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum yang ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1985: 76), mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yanag tidaka ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnyakarena adanya persamaan illat hukum. (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 173)1.
B. Macam-macam Qiyas a. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebgai dasar hukum pada hal-hal yang tidak nashnya baik Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. b. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata. c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah 1
Syamsul Arifin, Modul Ushul Fiqh, (Mataram, IAIN Mataram, 2014), hal.
2
3
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al-Qur’an dan hadits. (Muhammad Abu Zahrah, 1996: 175)2.
C. Rukun-rukun Qiyas Setiap qiyas terdiri dari empat rukun yaitu : 1. Al-ashlu, yaitu : Sesuatu yang ada nash hukumnya. ia disebut juga almaqis ‘alaih (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul ‘alaih (yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan dengannya). 2. Al-far’u, yaitu : Sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. ia juga disebut almaqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan almusyabbah (yang diserupakan). 3. Hukum Ashl, yaitu : Hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl (pokok)nya, dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-far’u (cabangnya). 4. Al-‘illat, yaitu : Suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada cabang (far’u), maka ia disamakandengan pokoknya dari segi hukumnya3.
D. Macam-macam Illat Dari segi adanya anggapan dan ketiadaan anggapan syar’i terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu : 1. Munasib muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh). 2. Munasib mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok). 3. Munasib mursal (sifat yang sesuai lagi bebas). 4. Munasib mulgha (sifat yang sesuai yang sia-sia). 2
Ibid, hal. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta,Pustaka Amani, 2003), hal.77. 3
4
Berikut ini adalah penjelasan empat macam illat dan contoh-contohnya. : 1. Munasib muatstsir : yaitu suatu sifat yang sesuai dimana syari’ telah menyusun hukum sebagai illat hukm yang disusun berdasarkan kesesuaiannya dengannya misalnya, Firman Allah :
.ْض ِ سا َء فِى ال َم ِحي ِ ع ِن اْل َم ِحي َ َو َيسْأَلُ ْون ََك َ ِقُ ْل ُه َو اَذًى فَا ْعت َ ِزلُ ْواالن.ْض Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh….” (Qs. Al-Baqarah (2) : 222). 2. Munasib mulaim. Yaitu suatu sifat yang sesuai yang mana syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai illat hukum menurut pandangan syari’itu sendiri, yang disusun sesuai dengan sifat itu. Hanya saja berdasarkan nash atau ijma’ diperoleh ketetapan bahwa sifat itu dianggap illat hukum dari hukm sejenis yang oleh syari’ telah disusun hukumnya sesuai dengan sifat itu. 3. Munasib mursal. : Suatu sifat yang mana syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukkan akan anggapan-Nya dengan salah satu bentuk anggapan maupun dengan penyianyiaan anggapan-Nya. Ia adalah munasib, artinya berusaha mewujudkan kemaslahatan, akan tetapi ia juga mursal, contohnya : maslahatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, pentatwinan Al-qur’an, dan penyabarannya. 4. Munasib mulgha, yaitu : Suatu sifat yang ternyata bahwasanya mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslahatan, namun syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengannya, dan syari’ tidak menunjukkan berbagai dalil yang menunjukkan pembatalan anggapannya, misalnya menetapkan hukuman khusus bagi orang yang berbuka puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan, untuk masuk menjerakannya.
E. Dalil Kehujjahan Qiyas
5
Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
َٰٓ َّ ها َءا َي َ َُّ َ َ َٱَّلل َّ ْ ُوا ِيع َط ْ أ َٰٓا ُو من ِين ٱلذ يأ ََّسُو ۡۖ ِي أ ُم ِنك ِ م مر ْل ُو َأ ل و ْ ٱلر ُوا ِيع َط َأ و أ ٱۡلَأ َ إن ُُّ ُدو َّ َِلى ِٱَّلل ه إ َر ء ف ٖأ ِي شَي أ ف ُم أت َع َز تن ف َِ َُو ُ أ َّ ِ ِٱَّلل ن ب ِن أم تؤ ُم ُنت ِن ك ِ إ َّسُول َٱلر و َ أ ِ أ ٱۡلَٰٓخِر أم َو ٱلي و ِ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-
Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian. Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat hukum yang dinamakan qiyas. Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
ََا : َة (يوسف أر ِب أ ع ِم ِه َص َص ِي ق ن ف د ك َلق َأ )111 Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran.... (Q.S Yusuf : 111) Di dalam lafadz ‘itibar di
atas ditafsirkan
dengan makna Al-
itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi contohnya. Analoginya adalah seperti
6
ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman karena menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor “Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah:
قال, قال له كيف تقضى اذا عرض له قضاء. م لما اراد ان يبعثه الى اليمن.ان رسول هللا ص الحمد هلل الذى وفق: م على صدره قال.اقضى بكتاب هللا فإن لم أجد فبسنة رسول هللا ص: م.رسول هللا لما يرضى رسول هللا ص Artinya : “Bahwasannya Rasulullah, ketika hendak mengutus Muadz menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah”. Dari hadist di atas Rasulullah mengakui Muadz untuk berijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik AlQur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas. Dengan
adanya
bahwasannya
4
dalil kehujjahan qiyas pada
saat
diatas,
sekarangpun
dapat qiyas
kita masih
simpulkan terjadi4.
Siswady, Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA.
BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Kemudian Qiyas menurut bahasa arab artinya menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B , karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas menurut ulama ushul adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada sesuatu yang ada nash- dalam hukum yang ditetapkan oleh nash karena ada kesamaan dalam dua kejadian dalam illat hukumnya. Qiyas terbagi atas 3 macam yaitu kelompok
Jumhur, mazhab Zhahiriyah dan kelompok yang lebih
memperluas pemakaian qiyas, dan memiliki 4 unsur diantaranya Al-ashlu, Al-far’u, Hukum Ashl dan Al-‘illat. Qiyas untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
7
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Pustaka Amani: Jakarta 2003. Amir Sabri. Ushul Fiqh: Ijma dan Qiyas dalam http://amirsabri.blogspot.com diakses pada tanggal 3 April 2014, pukul 21.00 WITA. Siswady. Ijma dan Qiyas dalam http://siswady.wordpress.com diakses pada tanggal 3 april 2014, pukul 21.22 WITA. Syamsul Arifin. Modul Ushul Fiqh. IAIN Mataram: Mataram. 2014.
8