Ppk-dikonversi.docx

  • Uploaded by: FC ARIES
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ppk-dikonversi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,688
  • Pages: 11
MAKALAH HIPERSENSITIVITAS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat

non-spesifik

dan

imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan

yang dianggap sebagai

alergen, sehingga terjadi

pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik. Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di

permukaan kulit. Sementara

rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh

histamin. Kemudian

kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare. Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan

berprotein.

Ada

alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena disertai dengan penurunan basofil

akibat

banyaknya

terjadi

degranulasi.

Eosinofil

sendiri

menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini berperan

dalam

mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal. B. Rumusan Masalah 1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas? 2. Etiologi penyakit hipersensitivitas? 3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas? 4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas? 5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas? 6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas? 7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas? 8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas? 9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas? 10. Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas? C. Tujuan Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih dalam

mengenai

malfungsi

sistem imun pada

gangguan

imunologi khususnya

penyakit

hipersensitifitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi dan Zat Gizi.

BAB II PEMBAHASAN A. Defenisi Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahanbahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

B. Etiologi Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu : 1. Faktor Internal a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu. b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat. c. Mukosa

dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen

bertambah. 2. Fakor Eksternal a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga). b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll. c.

Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

C. Patofisiologi Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke

dalam

tubuh

seseorang

yang

mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama

barulah

tampak

gejala-gejala

timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,: 1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka

mencapai

paru

paru,

alergen

dapat

mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian D. Klasifikasi 1. Hipersensitifitas tipe I Hipersensitifitas tipe I disebut

juga sebagai hipersensitivitas langsung atau

anafilaktik.

Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.

Reaksi ini

dapat

mengakibatkan

gejala

yang

beragam,

mulai

dari

ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil. Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,

penggunaan Imunoglobulin

G

desensitization) untuk beberapa alergi tertentu. 2. Hipersensitifitas tipe II

(IgG),

hyposensitization

(imunoterapi

atau

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa

imunoglobulin G

imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan

matriks

(IgG)

dan

ekstraseluler.

Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel. Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau

reaksi silang) yang berikatan

dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah: a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal), b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal). 3. Hipersensitifitas tipe III Hipersensitivitas tipe III

merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal

ini disebabkan

adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigenantibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terusmenerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigenantibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru- paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak. Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat

memicu

terjadinya

artritis

glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,

atau

diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa

contoh

diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus

A.

dan

sakit

yang

fumigatus

yang

menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju. 4. Hipersensitifitas tipe IV Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai lambat (delayed-type). Reaksi

ini terjadi

hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe

karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan

makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta

akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang

terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH). Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tipe

Waktu reaksi

Penampakan klinis

Histologi

Antigen dan situs Epidermal (senyawa organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)

Kontak

48-72 jam

Limfosit, diikuti Eksim (ekzema) makrofag; edema epidermidis

Tuberkulin

48-72 jam

Intraderma Pengerasan Limfosit, monosit, (tuberkulin, lepromin, (indurasi) lokal makrofag dll.)

Granuloma

21-28 hari

Pengerasan

Antigen persisten atau Makrofag, epithelo senyawa asing dalam id dan sel raksaksa, tubuh fibrosis (tuberkulosis, kusta, etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis Tipe 1 Tipe

Mekanisme Imun Alergen mengikat silang

Gangguan Prototipe Anafilaksis, beberapa

Anafilaksis

2

Antibodi terhadap antigen jaringan tertentu

3

Penyakit Kompleks Imun

4

Hipersensivitas Selular (Lambat)

antibody IgE  pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada permukaan sel fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi Kompleks antigenantibodi mengaktifkan  komplemen menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll Limfisit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T

bentuk asma bronchial

Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut Tuberkulosis, dermatitis kontak, penolakan transplant

E. Tanda dan Gejala Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen protein

atau

obat

(misalnya,

penisilin)

secara

sistemik

(parental)

menimbulkan

anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Reaksi tipe

II

umumnya

berupa

kelainan

darah,

seperti

anemia

hemolitik,

trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia. Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa: 1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis 2. Demam 3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi 4. Limfadenopati a.

kejang perut, mual

b.

neuritis optic

c.

glomerulonefritis

d.

sindrom lupus eritematosus sistemik

e.

gejala vaskulitis lain Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya : 1. Pada saluran pernafasan : asma 2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut 3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal 4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F. Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi:

apakah

ada

kemerahan,

bentol-bentol

dan

terdapat

gejala

adanya

urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir 2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan 3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan 4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat) G. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu, telur, kacang, ikan). 2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan. 3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler. 4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya. 5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif. 6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food

chalenge

didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ). 7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus. 8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti H. Diagnostik 1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik, Hirschsprung,

defisiensi

enzim, galaktosemia,

keganasan

dengan

obstruksi,

cystic

fibrosis, peptic disease dan sebagainya. 2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine,

pewarna

dan

toksin,

fungi

(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya. 3. Reaksi psikologi I.

Terapi Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen 2. Terapi farmakologis a.

Adrenergik Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,

albuterol,

metaproterenol,

salmeterol,

terbutalin,

pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam. b. Antihistamin Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c.

Kromolin Sodium Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan.

Zat ini merupakan analog

kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik. d. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah

Beberapa

pemberian peroral atau intravena yaitu

penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa. 3. Imunoterapi Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari

beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun 4. Profilaksis Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

J. Prognosis Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan berkurang secara bertahap.

Perbaikan gejala alergi

makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun biasanya akan tampak mulai membaik sejak periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

Daftar Pustaka http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/ http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah- hipersensitivitas.html http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html

More Documents from "FC ARIES"