Potensi Jahe Sebagai Obat Dismenorea/ Nyeri Haid pada Perempuan M. Febrian Bachtiar Fakultas Farmasi Universitas Jember
Dismenorea merupakan kondisi nyeri dan kram berulang pada area pinggul atau perut bagian bawah yang terasa ketika akan atau sedang mengalami menstruasi. Umumnya dismenorea terjadi pada tiga sampai empat hari awal fase menstruasi. Berdasarkan asal penyebabnya, dismenorea ada dua macam yaitu dismenorea primer dan dismenorea sekunder. Dismenorea primer merupakan nyeri haid yang paling umum dan sering diderita oleh seorang perempuan mulai dari dua belas bulan sejak menstruasi pertama hingga akhir masa remaja atau awal usia 20-an dengan jumlah kasus mencapai 67-90% (Sanctis dkk., 2015). Kondisi nyeri ini seringkali menyebabkan para perempuan absen ketika jam sekolah dan kerja sehingga produktivitas kaum perempuan menurun. Dismenorea terjadi akibat adanya kontraksi uterine yang berlebihan dan disertai proses inflamasi akibat adanya peningkatan vasopresin, leukotrien dan prostaglandin. Prostaglandin dan leukotrien akan menyebabkan terjadi kontraksi uterine secara berlebihan. Prostaglandin ini juga bertanggungjawab atas munculnya gejala-gejala seperti mual, muntah, dan pusing/sakit kepala (Ryan, 2017). Konsentrasi prostaglandin ini mulai meningkat di daerah endometrium pada awal-awal masa menstruasi. Inilah yang menyebabkan rasa nyeri seringkali mulai terasa pada saat mendekati masa haid. Dengan adanya peningkatan vasopresin kontraksi uterine menjadi tidak beritme sehingga rasa nyeri tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang begitu saja (Sanctis dkk., 2015). Obat yang umum digunakan untuk pengobatan dismenorea adalah NSAID dan kontrasepsi oral. NSAID merupakan first line therapy yang bekerja dengan menghambat produksi prostaglandin dan leukotrien. Semua jenis NSAID baik yang selektif maupun yang non-selektif terbukti efektif untuk meredakan nyeri haid dan semuanya memiliki potensi yang sama untuk menimbulkan berbagai efek samping (Xu dkk., 2017). Anggapan negatif akan efek samping yang ditimbulkan obat-obatan sintetik masih menjadi mindset utama pada sebagian besar masyarakat. Inilah yang menjadi salah satu penyebab sebagian besar perempuan menggunakan NSAID dalam dosis subteraupetik (O’Connell dkk., 2006) akibanya efek terapi yang dihasilkan juga tidak optimal. Sebagian besar perempuan lebih memilih terapi non farmakologis seperti tidur, mandi air panas, dan menggunakan bantalan panas pada area perut
untuk meredakan nyeri. Sebagian yang lain lebih memilih obat-obatan herbal untuk mengatasi nyeri tersebut. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan tanaman tradisional yang menjadi salah satu komponen penyusun obat herbal untuk pengobatan demam, rematik, sakit gigi dan spasme otot (Mill dan Bone, 2000; Wang dan Wang, 2005; Print dkk., 2015). Semua penyakit tersebut berkaitan dengan kondisi inflamasi dan nyeri maka berdasarkan hal tersebut jahe berpotensi memiliki aktivitas analgesik dan antiinflamasi yang baik bagi pengobatan nyeri haid/dismenorea. Senyawa aktif yang terkandung dalam jahe memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat jalur siklooksigenase melalui inhibisi terhadap enzim COX-1, COX-2, dan jalur lipooksigenase melalui inhibisi terhadap enzim 5-LOX (Grzanna dkk., 2005). Beberapa uji klinis yang telah dilakukan berupa RCT (Randomized Controlled Trial) menunjukkan bahwa serbuk jahe 750-2000 mg efektif untuk meredakan nyeri pada 3-4 hari pertama siklus menstruasi (J.W. dkk., 2015). Serbuk jahe 1500 mg terbukti mampu meredakan nyeri secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol yang menerima plasebo pada studi klinis yang melibatkan beberapa perempuan yang menderita dismenorea sedang sampai parah (Rahnama dkk., 2012). Bahkan efek terapi terhadap gejala dismenorea yang dihasilkan oleh jahe ini sebanding dengan asam mefenamat dan ibuprofen yang merupakan contoh obat sintetik pilihan utama untuk pengobatan dismenorea (Ozgoli dkk., 2009). Jahe ini juga memiliki efikasi yang setara dengan agen terapi komplementer lainnya seperti zinc sulfate (Kashefi dkk., 2014). Jahe umumnya diseduh dalam air panas dan diminum pada kondisi hangat. Mengingat beberapa terapi non farmakologis yang biasa dilakukan oleh para perempuan seringkali memanfaatkan kondisi panas seperti penggunaan bantal panas dan mandi air panas untuk meredakan nyeri maka dengan meminum wedang jahe hangat kemungkinan bisa didapatkan efek yang sinergis untuk mencegah atau meredakan nyeri. Kandungan senyawa aktif dalam jahe dapat berperan sebagai analgesik dan wedang jahe yang hangat akan membuat area perut bagian bawah yang awalnya nyeri akan terasa lebih baik. Jahe ini juga dapat dibuat menjadi sediaan herbal terstandar dalam bentuk kapsul. Menurut beberapa penelitian, kapsul yang mengandung serbuk jahe 250 mg dan diberikan tiga-empat kali sehari selama 3-5 hari fase awal menstruasi terbukti efektif untuk meredakan nyeri haid (Ozgoli dkk., 2009; Kashefi dkk., 2014; Shirvani dkk., 2015). Walaupun efektivitas jahe ini dalam meredakan nyeri haid masih belum terlalu kuat akibat masih sedikitnya bukti dan masih adanya variasi hasil uji klinis (Kunyanone dkk., 2016). Secara keseluruhan, jahe merupakan salah satu alternatif pengobatan yang potensial untuk mengatasi nyeri haid pada wanita.
Daftar Pustaka Grzanna, R., L. Lindmark, dan C. G. Frondoza. 2005. Ginger—an herbal medicinal product with broad anti-inflammatory actions. Journal of Medicinal Food. 8(2):125–132. J.W., D., Z. X., K. D.S., dan P. S. 2015. Efficacy of ginger for alleviating the symptoms of primary dysmenorrhea: a systematic review and meta-analysis of randomized clinical trials. Pain Medicine (United States). 16(12):2243–2255. Kashefi, F., M. Khajehei, M. Tabatabaeichehr, M. Alavinia, dan J. Asili. 2014. Comparison of the effect of ginger and zinc sulfate on primary dysmenorrhea: a placebo-controlled randomized trial. Pain Management Nursing. 15(4):826–833. Kunyanone, N., P. Pattanittum, J. Marjoribanks, J. Barnes, U. S. Sangkomkamhang, V. Seyfoddin, dan J. Brown. 2016. Dietary supplements for dysmenorrhoea. Cochrane Database of Systematic Reviews. (3):1–121. Mill, S. dan K. Bone. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy: Modern Herbal Medicine O’Connell, K., A. R. Davis, dan C. Westhoff. 2006. Self-treatment patterns among adolescent girls with dysmenorrhea. Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology. 19(4):285– 289. Ozgoli, G., M. Goli, dan F. Moattar. 2009. Comparison of effects of ginger, mefenamic acid, and ibuprofen on pain in women with primary dysmenorrhea. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. 15(2):129–132. Print, I., B. Ramdhan, T. Chikmawati, E. B. Waluyo, dan B. Division. 2015. Ethnomedical herb from cikondang indigenous village , district bandung west java indonesia. Journal of Biodiversity and Environmental Science. 6(2):277–288. Rahnama, P., A. Montazeri, H. F. Huseini, S. Kianbakht, dan M. Naseri. 2012. Effect of zingiber officinale r. rhizomes (ginger) on pain relief in primary dysmenorrhea: a placebo randomized trial. BMC Complementary and Alternative Medicine. 12(92):1–8. Ryan, S. A. 2017. The treatment of dysmenorrhea. Pediatric Clinics of North America. 64(2):331–342. Sanctis, V. De, A. Soliman, S. Bernasconi, L. Bianchin, G. Bona, M. Bozzola, F. Buzi, C. De Sanctis, G. Tonini, F. Rigon, dan E. Perissinotto. 2015. Primary dysmenorrhea in
adolescents: prevalence, impact and recent knowledge. Pediatric Endocrinology Reviews. 13(2):512–520. Shirvani, M. A., N. Motahari-Tabari, dan A. Alipour. 2015. The effect of mefenamic acid and ginger on pain relief in primary dysmenorrhea: a randomized clinical trial. Archives of Gynecology and Obstetrics. 291(6):1277–1281. Wang, W. H. dan Z. . Wang. 2005. Studies of commonly used traditional medicine-ginger. Journal of Chinese Materia Medica. 30(20):1569–1573. Xu, Y., W. Zhao, T. Li, H. Bu, Z. Zhao, Y. Zhao, dan S. Song. 2017. Effects of acupointstimulation for the treatment of primary dysmenorrhoea compared with nsaids: a systematic review and meta-analysis of 19 rcts. BMC Complementary and Alternative Medicine. 17(1):1–12.