Pornoaksi

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pornoaksi as PDF for free.

More details

  • Words: 5,299
  • Pages: 28
Pornoaksi Saya merasa heran apakah kata pornoaksi itu benar-benar ada dalam kamus Bahasa Indonesia. Kalau dilihat dari segi peminjaman kata dalam Bahasa Inggris, kata pornografi memang ada (pornography). Tetapi saya yakin bahwa kata pornoaction tidak ada dalam kamus Bahasa Inggris. Saya rasa RUU ini boleh dibilang ironis. Tidak perlu mengungkit apakah isinya kontroversial atau tidak, dari judulnya saja orang bisa menyindir bahwa yang menulis RUU ini mungkin sedang dalam kondisi separuh sadar. Pboy2k5 01:37, 26 Mei 2006 (UTC) Memang kata ini kata karangan sendiri atau istilah kerennya neologisme yang mengajukan RUU ini kelihatannya. Meursault2004 10:45, 31 Juli 2006 (UTC)

[sunting] Tidak memihak Ini halaman isinya penuh pro dan kontra. Nanti mau sayah edit habis habisan biar jadi impersonal. Ta' print dulu biar dilihat di rumah - tunggu tanggal mainnya.... Serenity 09:29, 24 Mei 2006 (UTC) Sebenarnya saya sebagai warga Indonesia malu sampai-sampai hal-hal seperti ini harus diurus oleh undang-undang sampai terjadi kericuhan. Kalau saja ibu Tien masih ada pasti masalah seperti ini dipecahkan secara subtil dan diskret. Meursault2004 08:50, 13 Maret 2006 (UTC) Mungkin dibuatnya RUU ini biar DPR kelihatan "sibuk" menanggapi aspirasi rakyat :-) Hayabusa future (bicara) 09:21, 13 Maret 2006 (UTC) Apa itu artinya kita merasa tidak bersalah 'melecehkan' aspirasi rakyat yang memang jelas-jelas riil. Mengerikan, sama saja kita mencedari demokrasi yang tengah susah payah kita bangun.Zakifath(bicara) Tapi harus dipertanyakan siapakah "rakyat" ini dan apakah "aspirasi" mereka. Jika misalkan "aspirasi" rakyat adalah menghabisi suatu suku tertentu seperti di Jerman pada tahun 1930-an, masakan harus dituruti. Mungkin perlu ditulis di artikel ini, siapa (partai mana) yang merancang UU ini. Meursault2004 09:41, 13 Maret 2006 (UTC) Betul, bisa juga yang mengaku "rakyat" itu pebisnis media dan pemodal yang langsung merasa terganggu dengan RUU APP ini. Seperti seorang Guru Besar yang banyak menulis buku referensi Sistem Pakar di tanah air, "Bisnis 'paling cepat untung dan paling menguntungkan' itu ada tiga : Prostitusi, Judi, Minuman Keras". Dan ketiganya itu, memang berdekatan dengan pornografi, sama-sama amoral. Jika misalkan "aspirasi" rakyat adalah menghabisi suatu bangsa tertentu untuk diBarat-kan dengan nilai-nilai permisivitas dan liberalisme akut, masakan harus dituruti. Mungkin perlu ditulis di artikel ini, siapa (partai mana, LSM mana) yang menolak RUU APP ini, dan siapa yang mendukung. Sehingga kalau

memungkinkan ke depannya bisa dituliskan artikel tentang suatu organisasi/lembaga langsung terhubung ke sikapnya mengenai suatu isu tertentu.Zakifath(bicara) kalau mau jujur, yg terang2 menolak dan terganggu dengan RUU APP ini lebih banyak dari kalangan aktivis/lsm perempuan dan HAM, seniman, budayawan, karena RUU APP ini dinilai sebagai bentuk campur tangan pemerintah yg terlalu jauh terhadap kehidupan pribadi WN (masalah cara berpakaian, dll) dan juga bentuk pemaksaan/ancaman ideologi/paham/budaya tertentu terhadap kebhinekaan (keberagaman budaya) indonesia. kalau ada yg tertarik bisa baca: Menjadikan Indonesia 'Wahabbi'?(radio netherland) dan RUU Porno: Arab atau Indonesia?(tulisan Goenawan Mohamad di koran tempo) Ciko bicara 10:52, 12 April 2006 (UTC)

[sunting] Playboy? Mengapa ada logo Playboy di artikel ini? Adakah hubungan langsung RUU APP dan kontroversi atas majalah tersebut? sentausa 15:18, 9 April 2006 (UTC) Secara tidak langsung ada hubungannya. Meursault2004 08:18, 10 April 2006 (UTC) ya, sebab tidak bisa kita pungkiri, hebohnya pembahasan tentang Pornografi&Pornoaksi belakangan ini memang salah satunya tersulut akibat rencana penerbitan majalah Playboy Indonesia, walaupun saya pribadi tidak menyalahkan playboy indonesia sebagai penyebab utama. --HarisX 08:36, 10 April 2006 (UTC) Kalau begitu mungkin perlu dituliskan juga di artikel, atau di keterangan gambarnya. sentausa 10:01, 11 April 2006 (UTC) Kayaknya logonya sebaiknya diambil/hapus aja deh, it doesn't really need a picture... Gambarnya walaupun ada hubungannya tapi sedikit menyesatkan. Euh, kesesatan metaforis non verbal (=Antara arti kiasan dan arti sebenarnya terdapat suatu hubungan yang bersifat analog. Artinya terdapat unsur persamaan dan sekaligus perbedaan di antara kedua arti itu) - I've checked. Dihapus saja... boleh ya? Serenity 03:31, 15 Mei 2006 (UTC) gpp sih kalo logo pb mau dihapus dari artikel ini, toh gak berhubungan langsung jg sih. -- Ciko bicara 04:59, 15 Mei 2006 (UTC)

[sunting] Karnaval budaya Menurut saya artikel ini tidak perlu mendeskripsikan panjang lebar karnaval budaya 22 April 2006 di Jakarta karena tidak secara langsung membahas RUU APP itu sendiri. Deskripsi tentang karnaval tersebut menurut saya lebih patut dijadikan berita (dan memang sudah tercantum di Peristiwa terkini); di artikel sebaiknya disebutkan tanpa

perlu penjelasan mengenai bentuk dan proses karnaval tersebut, tapi perlu disertai argumen utama yang dikemukakan pelaku karnaval tersebut. sentausa 11:52, 23 April 2006 (UTC) Saya setuju saja. Jadi disingkat tidak apa2. Siapa tahu nanti ada demo atau aksi2 serta aksi pendukungan lainnya sehingga artikel menjadi penuh. Meursault2004 12:39, 23 April 2006 (UTC)

[sunting] Ketiadaan pornoaksi di kamus Ketiadaan kata pornoaksi pada kamus-kamus yang saat ini ada di Indonesia tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak kata itu. Bahasa itu terus berkembang sehingga kata-kata baru terus bertambah baik melalui penyerapan dari bahasa lain maupun menciptakan sendiri. Seperti kata porno atau pornografi. Kedua kata itu asalnya dari bahasa asing yang diserap. Kamus Bahasa Indonesia sendiri semakin ke sini semakin tebal, artinya pasti banyak kata yang tadinya tidak ada di kamus kemudian dimasukkan. Dus, ketiadaan kata pornoaksi di kamus tidak dapat dijadikan alasan ditolaknya kata itu. Kita dapat mengusulkan agar kata pornoaksi diterima sebagai sebuah kata baru dalam khasanah bahasa Indonesia. kata baru dengan definisi baru, tanpa konsensus umum/bersama, sekonyong2 dijadikan landasan untuk Undang2.. nah mungkin inilah salah satu sumber kontroversinya. di UU lain jg sudah ada istilah "melanggar kesusilaan", jadi kira2 kenapa harus ada istilah baru pornoaksi ya, yg bahkan tidak ada di bahasa lain di dunia..? nah mungkin ada yg mau buat rintisan artikel Pornoaksi ? -- Ciko bicara 05:31, 5 Juni 2006 (UTC) Kalo gak salah, RUU APP ini setelah berganti nama jadi RUU Pornoaksi dan Pornografi, sekarang jadi RUU Pornografi (ada di koran, tapi maaf, lupa koran apa hari apa, blom ada seminggu kok). Mungkin pihak pansus sudah begah menyusun arti pornoaksi yang sebenarnya. Mungkin juga dampaknya ambiguitas seputar tindakan yang "hendak dibatasi" bisa dikurangi. Nurul Akbar 12:27 WIB 18 Juni 2006

[sunting] Akhirnya? Gimana nasib RUU ini sekarang ada yang tahu? Apa masih dalam pembahasan, diam2 dibatalkan (menurut yang saya dgr), atau...? Hayabusa future (\0-0/) 10:41, 4 April 2007 (UTC) Presiden baru saja menerbitkan amanat presiden yang menugaskan menkumham, menag, menkominfo, dan meneg-pp untuk membahas RUU Pornografi (ini nama resminya sekarang) bersama DPR. Pembahasan RUU ini akan dimulai pada 23 September 2008 ketika dibacakan dalam sidang paripurna DPR. Ini info terakhir yang saya dapatkan dalam acara "Debat" di tvOne tanggal 11 September 2008. --iNu- ► 13:16, 11 September 2008 (UTC)

Ralat, ternyata tanggal 23 September itu direncanakan akan disahkan, sedangkan pembicaraan dengan pemerintah telah dimulai awal September ini. -- -iNu- ► 14:23, 16 September 2008 (UTC)

Draft RUU Anti Pornografi (bagian Penjelasan) Sumber: http://www.lbh-apik.or.id/ruu-porno-penjelasan.htm DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

I. UMUM Negara Indonesia adalah negara yang menganut faham Pancasila. Keyakinan dan kepercayaan ini secara tegas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Alinea III dan IV. Sebagai penganut faham hidup berketuhanan, bangsa Indonesia meyakini bahwa Tuhan melarang sikap dan tindakan a-sosial, a-susila, dan a-moral dalam kehidupan seks, seperti pelecehan, perselingkuhan, kekerasan seks, penyimpangan seks, dan penyebarluasan gagasan gagasan tentang seks, karena dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya ketimuran, tindakan menyampaikan gagasangagasan dan melakukan perbuatan perbuatan mengekploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika diranah publik dan di depan umum yang sama sekali tidak mengandung misi atau tujuan pendidikan dan sekaligus pemuliaan manusia merupakan sikap dan tindakan a-sosial, a-susila, dan a-moral yang dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat. Tindakan semacam itu juga dianggap menunjukkan sikap menentang kekuasaan Tuhan. Pada era kehidupan modern di tengah globalisasi informasi seperti

sekarang ini ancaman terhadap kelestarian tatanan masyarakat Indonesia menjadi semakin serius. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempermudah pembuatan,penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Demikian juga, kehidupan modern telah menyebabkan pergeseran nilai-nilai yang ditujukan dengan meningkatnya sikap permisif masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan pornoaksi. Kecenderungan ini telah menimbulkan keresahan dan kekuatiran masyarakat beragama akan hancurnya sendi sendi moral dan etika yang sangat diperlukan dalam pemeliharaan dan pelestarian tatanan kehidupan masyarakat. Keresahan dan kekuatiran masyarakat terhadap kecenderungan peningkatan pornografi dan pornoaksi serta upaya mengatasi masalah itu tercermin dan secara formal dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/ MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Sebagai penganut keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama memiliki hak untuk melindungi diri dan sekaligus memiliki kewajiban berperanserta dalam mencegah dan menanggulangi masalah yang disebabkan oleh sikap dan tindakantindakan a-sosial, a-susila, dan a-moral seseorang atau sekelompok orang yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding kepentingan umum. Dalam hal ini penyelenggara negara memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk melarang pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi serta perbuatan pornoaksi untuk memenuhi hak seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan dengan tidak menghormati hak masyarakat umum yang lebih luas. Oleh karenanya agar pemenuhan hak seseorang dan sekelompok orang itu tidak melanggar pemenuhan hak masyarakat umum untuk memiliki kehidupan yang tertib, aman, dan tentram maka hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi serta perbuatan pornoaksi harus diatur dengan Undang-Undang. Pengaturan pornografi dan pornoaksi dalam Undang-Undang ini pada dasarnya melarang semua bentuk aktivitas pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi serta perbuatan pornoaksi sebagaimana diajarkan dalam faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun- demikian, pengaturan tersebut disesuaikan dengan norma dan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Selain dapat memperjelas definisi hukum mengenai pornografi dan pornoaksi, pengaturan di dalam Undang-Undang ini paling tidak juga diharapkan dapat meningkatkan kepastian hukum, membuat jera para pelaku tindak pelanggaran, mengantisipasi dampak negatif perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dan membantu upaya mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Secara khusus, pengaturan dalam Undang-Undang ini juga diharapkan dapat mencegah peningkatan tindak kekerasan dalam bentuk pornografi dan pornoaksi, yang seringkali menjadikan perempuan dan anak-anak

sebagai korban dimana peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum mampu secara maksimal menjerat para pelakunya. Undang-Undang ini mengakui dan menghargai peran penting karya-karya seni dan para seniman pembuatnya dalam perkembangan dan kemajuan masyarakat ke arah yang lebih balk. Oleh karenanya, Undang-Undang ini melarang semua bentuk pornografi dan pornoaksi yang diatas-namakan sebagai karya seni karena dilandasi keyakinan bahwa, baik dari bentuk, isi, maupun maknanya bagi kehidupan masyarakat, pornografi dan pornoaksi sangat berbeda dari karya-karya seni. Dari bentuknya, karya seni tidak sama dengan karya-karya yang termasuk pornografi dan pornoaksi karena memiliki keunikan, yang tidak mungkin diproduksi dan direproduksi dengan kualitas yang sama atau paling tidak hampir sama. Dari isinya, karya seni lebih banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang mengandung makna yang sangat mendalam pada dirinya sendiri (bersifat intrinsik), yakni yang secara langsung atau tidak langsung dapat memuliakan kehidupan manusia, baik yang menikmati maupun yang menciptakan karya seni itu sendiri. Sebaliknya, karyakarya pornografi dan pornoaksi dilihat dari bentuknya tidak memiliki keunikan, karena dapat diproduksi dan direproduksi berulang kali, sebanyak mungkin atau bahkan secara massal. Selain itu, dari isi dan maknanya, nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya pornografi dan pornoaksi hanya berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mencapai sesuatu yang lain di luar penciptanya (bersifat ekstrinsik), tidak mengandung unsur pendidikan yang bertujuan memuliakan kehidupan manusia yang menikmatinya maupun yang menciptakannya. Demikian juga, Undang-Undang ini mengakui clan menghargai olahraga dan manfaatnya bagi kesehatan dan tujuan-tujuan lain yang mengarah pada kehidupan masyarakat yang balk. Meskipun demikian, Undang-Undang ini melarang kegiatan olahraga yang dilaksanakanrdi tempat-tempat umum dengan mengenakan pakaian atau kostum olahraga yang minim yang memperlihatkan bagian-bagian tubuh tertentu yang sensual karena hal itu merupakan suatu pelanggaran terhadap norma-norma kesopanan dan kesusilaan masyarakat. Namun, sikap ini tidak dikenakan terhadap cara berpakaian menurut adat-istiadat dan budaya masyarakat lokal maupun nasional,karena Undang-Undang ini menganggap bahwa hal itu merupakan bagian dari identitas budaya lokal dan nasional yang harus tetap dihormati dan dilestarikan. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan pornoaksi, Undang-Undang ini menuntut agar pemerintah lebih banyak berperan. Meskipun demkian, peran pemerintah dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk mengambil alih peran masyarakat, termasuk lembagalembaga keagamaan. Bagi masyarakat umumnya dan lembaga-lembaga keagamaan khususnya, Undang-Undang ini diharapkan dapat membantu

upaya menegakkan kesepakatan bersama dalam mencegah dan menanggulangi masalah pornografi dan pornoaksi dalam rangka memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi, dalam pelaksananya upaya pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan pornoaksi meskipun dipimpin oleh pemerintah tetap diupayakan selalu melibatkan unsur-unsur masyarakat, termasuk lembagalembaga keagamaan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Seksual adalah hal-hal atau perbuatan yang berkenaan dengan perkara seks, dan persetubuhan atau hubungan seks. Kecabulan adalah hal-hal atau perbuatan yang mengandung sifat-sifat cabul, yakni sifat-sifat keji dan kotor, tidak senonoh atau melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan. Erotika adalah hal-hal atau perbuatan yang sifatnya berkenaan dengan nafsu seksual atau kebirahian dan/atau dengan sensasi seks yang melanggar kesopanan dan/atau kesusilaan. Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Cukup jelas

Pasal 8 Cukup jelas

Pasal 9 Cukup jelas

Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud pesta seks adalah kegiatan merayakan suatu peristiwa yang dilaksanakan pada waktu tertentu di tempat tertentu dengan cara melakukan kegiatan sekual secara beramai-ramai yang melibatkan sejumlah orang untuk tujuan bersenang-senang. Ayat (2) Yang dimaksud pertunjukan seks adalah tontonan yang diselenggarakan sebagai suatu usaha bisnis dengan cara mengekploitasi seksulitas, kecabulan, atau erotika yang melibatkan seseorang atau sejumlah orang sebagai model atau pemeran dan seseorang atau sejumlah penonton yang dengan sengaja membayar sejumlah biaya untuk dapat menonton pertunjukan tersebut. Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Cukup jelas

Pasal 13 Cukup jelas

Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Cukup jelas

Pasal 16 Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Cukup jelas

Pasai 20

Cukup jelas

Pasal 21 Cukup jelas

Pasal 22 Karya seni adalah hasil ciptaan manusia yang memiliki nilai estetika yang tinggi, mengandung misi atau tujuan pendidikan dan sekaligus pemuliaan manusia, dan mengutamakan nilai-nilai intrinsik yakni yang bertujuan pada dirinya sendiri. Sebuah karya yang mengutamakan nilainilai ekstrinsik yakni yang bertujuan lain di Iuar dirinya sendiri, tidak mengandung misi atau tujuan pendidikan dan sekaligus pemuliaan manusia, seperti tujuan bisnis, promosi, meningkatkan penjualan, atau membangkitkan nafsu birahi, semata-mata tidak dikategorikan sebagai karya seni.

Pasal 23 Yang dimaksud dengan alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini adalah alasan pengecualian pornografi untuk tujuan pendidikan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27 Cukup jelas

Pasal 28 Yang dimaksud menari erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama dan mengikuti prinsip-prinsip seni tari sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu karya seni koreografi. Sedangkan yang dirnaksud bergoyang erotis adalah melakukan gerakan-gerakan tubuh secara berirama, tidak mengikuti prinsip-prinsip seni tari,dan lebih menonjolkan sifat seksual sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan tersebut dapat diduga bertujuan merangsang nafsu birahi.

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 31 Cukup jelas

Pasal 32 Cukup jelas

Pasal 33 Cukup jelas

Pasal 34 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dalam batas yang diperlukan" adalah sesuai dengan tingkat pendidikan dan bidang studi pihak yang menjadi sasaran pendidikan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksudkan dengan gangguan kesehatan dalam pasal ini adalah gangguan fungsi seksual dan alat reproduksi, yang pengobatannya memerlukan alat bantu barang pornografi.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 36 Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38 Cukup jelas

Pasal 39 Cukup jelas

Pasal 40 Cukup jelas

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42 Cukup jelas

Pasal 43 Cukup jelas

Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dengan unsur pemerintah adalah instansi dan badan lain terkait yang tugas dan wewenangnya mencegah dan menanggulangi

pornograii danlatau pornoaksi yang antara lain terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Kementerian atau Departemen. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah lembaga swadaya masyarakat yang memiliki Kepedulian terhadap masalah pornografi.

Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 45 Cukup jelas

Pasal 46 Persyaratan ini lebih ditekankan bagi unsur masyarakat yang antara lain terdiri dari Pakar komunikasi, Pakar teknologi informasi, Pakar hukum pidana, Pakar seni, Pakar Budaya, dan Tokoh agama.

Pasal 47 Cukup jelas

Pasal 48 Ayat (2) Cukup jelas

Ayat (2) Sekretaris BAPPN berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Ayat (3) Cukup jelas -

Pasal 49 Cukup jelas

Pasal 50 Cukup jelas

Pasal 51

Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan kegiatan advokasi adalah kegiatan pemberian bantuan hukum dalam penanggulangan masalah pornografi dan/atau pornoaksi. Yang dimaksud dengan kegiatan edukasi adalah kegiatan pemberian bimbingan, konsultasi, penerangan, dan penyuluhan dalam pencegahan dan penanggulangan masalah pornografi dan/atau pornoaksi.

Huruf b Cukup jelas

Huruf c Cukup jelas

Huruf d Cukup jelas

Ayat (2) Huruf a Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini meliputi upaya meningkatkan moral dan akhlak bangsa melalui pendidikan keagamaan, moral, etika dan budi pekerti pada lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat Sekolah Taman Kanak-kanak sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi, baik untuk tujuan mencegah maupun menanggulangi masalah pornografi dan/atau pornoaksi.

Huruf b Cukup jelas

Ayat (3) Cukup jelas

Pasal 52 Cukup jelas

Pasal 53 Cukup jelas

Pasal 54 Cukup jelas

Pasal 55 Cukup jelas

Pasal 56 Cukup jelas

Pasal 57 Cukup jelas

Pasal 58 Cukup jelas

Pasal 59 Cukup jelas

Pasal 60 Cukup jelas

Pasal 61 Cukup jelas

Pasal 62 Cukup jelas

Pasal 63 Cukup jelas

Pasal 64 Cukup jelas

Pasal 65 Cukup jelas

Pasal 66 Cukup jelas

Pasal 67 Cukup jelas

Pasal 68

Cukup jelas

Pasal 69 Cukup jelas

Pasal 70 Cukup jelas

Pasal 71 Cukup jelas

Pasal 72 Cukup jelas

Pasal 73 Cukup jelas

Pasal 74 Cukup jelas

Pasal 75 Cukup jelas

Pasal 76 Cukup jelas

Pasal 77 Cukup jelas

Pasal 78 Cukup jelas

Pasal 79 Cukup jelas

Pasal 80 Cukup jelas

Pasal 81 Cukup jelas

Pasal 82 Cukup jelas

Pasal 83 Cukup jelas

Pasal 84 Cukup jelas

Pasal 85 Cukup jelas

Pasal 86 Cukup jelas

Pasal 87 Cukup jelas

Pasal 88 Cukup jelas

Pasal 89 Cukup jelas

Pasal 90 Cukup jelas

Pasal 91

Cukup jelas

Pasal 92 Cukup jelas

Pasal 93 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR.......................................................

Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi Dari Wikiquote Indonesia, koleksi kutipan bebas berbahasa Indonesia. Langsung ke: navigasi, cari

Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai: Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi •

Hakikat kepariwisataan adalah berdasar pada keunikan, kekhasan, kelokalan, dan perbedaan. Tanpa adanya perbedaan, tak mungkin ada kepariwisataan. Tanpa adanya yang unik, berbeda, dan bersifat lokal, tidak akan ada orang yang akan melakukan perjalanan. Uniformitas, penyeragaman, akan mematikan kepariwisataan. Karena itu (undang-undang itu) sangat bertentangan dengan hakikat kepariwisataan itu sendiri (I Gede Ardika, mantan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata)[1]



Dalam pelajaran tata bahasa tingkat dasar sudah terdapat pelajaran bahwa "seksual" bukanlah kata benda. Dari segi kalimat, kata "... mengeksploitasi seksual" pasti lebih tepat "mengeksploitasi seksualitas". Dari segi tata bahasa itu, kalau diteliti lebih lanjut, akan makin terlihat kesembronoan rancangan undangundang ini. Erotika, sebagai kata yang netral, di situ diperlakukan sebagai kata

yang jorok. Ini bukan hanya kesembronoan terhadap bahasa kita, tapi juga terhadap bangsa kita (Ayu Utami) [2] •

Dari mana istilah "pornoaksi" itu berasal karena dicari di kamus di mana pun tak ada istilah "pornoaksi". Ini permainan politik, politik seks. Semangatnya melarang, mengintimidasi, bukan melindungi. Pada RUU APP itu seperti terjadi "revolusi kebudayaan", yang ingin mengintroduksikan dan memaksakan bentuk kebudayaan impor, kebudayaan yang bukan dari Indonesia. (Gadis Arivia)[3]



RUU ini, menggunakan logika patriarkis—logika yang menganggap nilai-nilai yang melekat pada laki-laki lebih baik daripada perempuan dan karenanya mendominasi—sebab melekatkan dosa dan moral pada tubuh perempuan. Seks, tubuh, dan sensualitas merupakan ekspresi kebebasan intelektual yang tidak mengandung bahaya apa pun. Di berbagai negara demokratis pornografi diakui ada dalam kehidupan manusia sehingga hanya dapat diatur melalui pengaturan distribusi, pajak, dan materi pornografi. (Gadis Arivia)[4]



Dalam kasus bahasa agama, aurat perempuan misalnya, bagaimana ia harus diberi batasan atau ditafsirkan dan diterjemahkan? Apakah itu berarti sama dengan ketelanjangan atau semitelanjang? Lalu parameter yang disepakati mengenai kedua kata ini? Dalam hukum Islam kata aurat ditafsirkan oleh ulama secara berbeda-beda. Sebagian ulama menyatakan semua tubuh perempuan, sebagian mengecualikan wajah dan telapak tangan, sebagian mengecualikan wajah, telapak tangan dan telapak kaki, sebagian mengecualikan wajah, lengan tangan dan betis kaki. Batasan mana yang menjadi pandangan RUU ini? (KH Husein Muhammad, pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon) [5]



Ini antiseksualitas dan antierotika. Dari segi kebudayaan ini sangat berbahaya. Padahal, seksualitas dan erotika itu sangat penting untuk kesehatan. Problem di Indonesia saat ini, adalah tidak atau kurang tergarapnya modal sosial. Daulat manusia tidak ada. Tanpa daulat manusia, tidak ada daulat rakyat dan daulat hukum. Yang ada daulat partai, daulat pemerintah. Meski ada reformasi segala, keadaan kita ternyata masih seperti ini. (WS Rendra) [6]



Yang paling khawatir adalah orang menerima kaidah yang sangat berbahaya yaitu negara boleh mengatur moralitas. Saya lupa kata-kata persisnya Iwan Fals tetapi dia mengatakan, "Moral dan akhlak biar kita saja yang mengurus. Bapak presiden yang baru dipilih membuat peraturan yang bersih saja." Kalau negara sudah campur dengan moralitas, kita bisa jadi negara Taliban atau bisa jadi seperti George W. Bush. (Wimar Witoelar) [7]



Pakaian adat Indonesia yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan saja di museum. Itu harus dianggap sebagai pornoaksi dan harus masuk dalam kategori porno yang diatur dalam RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). "Itu disimpan saja di museum, jangan dilestarikan, karena tidak sesuai dengan

martabat bangsa ini. Biar menjadi sejarah bahwa itu pernah menjadi bagian dari bangsa ini." (Cholil Ridwan, Ketua Majelis Ulama Indonesia) [8] •

pemberantasan pornografi-pornoaksi yang diatur dalam RUU-APP itu bukan untuk menghancurkan Bhinneka Tunggal Ika, karena di dalam kebhinekaan itu tidak ada yang porno. Maka saat ini para demonstran berkumpul untuk membersihkan negeri ini dari segala bentuk pornografi-pornoaksi (Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)



industri pornografi-pornoaksi telah dijalankan oleh sistem, karena itu pemberantaran pornografi-ponoaksi menjadi mandul (Habib Rizieq, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)



Ini bukan perjuangan untuk mengesahkan RUU-APP, karena ternyata RUU-APP yang tengah digodok oleh DPR justru melenceng dari fatwa MUI. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa telah dihilangkan, yang menunjukkan bahwa negeri ini hendak diseret menjadi semakin sekuler. Jika RUU ini disahkan, ia juga tidak boleh menyimpang dari syariah. Karena itu, serunya, perjuangan kita masih panjang. Karena hanya dengan syariah, negeri ini bisa diselamatkan, dan itu hanya mungkin jika negeri ini berada dalam naungan Khilafah Islam. (H. Ismail Yusanto, juru bicara HTI, saat Aksi Sejuta Umat 21 Mei 2006)[9]



Yogyakarta menolak RUU Pornografi karena banyak pasal dari RUU tersebut yang rumusannya tidak jelas. Misalnya dalam Pasal 14 ada kalimat "perbuatan penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan jika untuk kepentingan atau memiliki nilai seni budaya, adat istiadat dan, ritual tradisional". Padahal setiap UU seharusnya tidak ada pengecualian. Ini menunjukkan ada pasal yang diskriminatif. Selain itu pada Pasal 20 ada kalimat "masyarakat berperan serta melakukan pencegahan terhadap pembuatan penyebarluasan pornografi". Ini berbahaya karena masyarakat diminta berpartisipasi dalam pencegahan pornografi, tetapi tidak ada penjelasan konkret mengenai tindakan tersebut. (GKR Hemas, 22 September 2008) [10]



RUU Pornografi dibuat dengan pikiran yang ngeres sehingga yang diurusi cuma perkara yang membangkitkan hasrat seksual. RUU itu hanya berisi pernyataan multitafsir yang tidak bisa dibenarkan dalam suatu UU. (Butet Kartaredjasa, 22 September 2008) [11]



Pemerintah Provinsi Sulut telah didesak oleh sejumlah pemangku masyarakat di Sulawesi Utara untuk menolak pengesahan undang-undang pornografi. Saya dapat banyak SMS dan telepon yang meminta Sulut menolak undang-undang itu. Masyarakat kami sangat menghormati perempuan, sehingga tidak ada disparitas jender. (Freddy Sualang, Wakil Gubernur Sulawesi Utara, 18 September 2008) [12]



Saya melihat ada agenda politik orang-orang di DPR untuk meraih suara lagi di Pemilu berikutnya. Banyak konstituen mereka, saya kira akan senang kalau peraturan dengan nama menghabisi pornografi digolkan. Tapi saya yakin ada agenda politik jangka pendek orang per orang di DPR. (Ayu Utami, 8 April 2008) [13]

RUU APP BUKAN untuk menyeragamkan budaya, BUKAN untuk menyeragamkan dalam berpakaian, BUKAN untuk memaksakan aturan suatu agama. RUU APP dapat mengangkat suatu kaum/suku yang masih berpakaian / pola hidup yang tertinggal, dan BUKAN untuk menangkapnya. Kenapa ? Karena mereka bukan dengan sengaja mempertontonkannya. Tapi ini merupakan tugas kita untuk menjadikan mereka lebih beradab dalam era globalisasi ini. RUU APP ini justru untuk mendefinisikan Pornografi dan Pornoaksi, karena TIDAK ADA satupun UU yang jelas mendefinisikan pornografi. RUU APP ini hanya meminta warga negaranya berpakaian secara sopan, TIDAK untuk memancing birahi lawan jenisnya (baik laki-laki dan perempuan), TIDAK ada pemaksaan untuk berpakaian model Islami/Arab/Taliban. RUU APP melindungi kaum perempuan Indonesia dari pihak-pihak yang justru merendahkan kaum perempuan dengan dijadikan objek yang laku dijual demi kaum laki-laki hidung belang. RUU APP melindungi moral anak-anak kita dari bahaya pornografi demi membangun masa depan bangsa dengan keilmuannya bukan dengan mempertontonkan tubuhnya atau bahkan melacurkan dirinya. Janganlah kalian EGOIS karena saat ini kalian dapat menikmati keindahan tubuh perempuan. Janganlah kalian EGOIS karena saat ini banyak job order untuk tampil dan terkenal dengan mempertontonkan tubuh kalian. Janganlah kalian mengeruk profit dari mempertontonkan tubuh perempuan yang justru menghinakan/merendahkan kaum perempuan. Lihatlah masa depan bangsa… lihatlah masa depan anak-anak bangsa yang masih lucu, lugu dan mereka sedang giat belajar. Jangan ganggu dan usik mereka oleh media pornografi. Jangan hinakan harga diri mereka karena ibunya/ayahnya mempertontonkan keindahan tubuhnya.

Selamatkan anak-anak kita dari bahaya pornografi ! Sat 29th Apr, 2006, Artikel

Urgensi Undang-Undang Pornografi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengkaji kembali–dan bukannya membatalkan-Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi perlu disambut gembira.

Ade Armando # PEMERHATI MASALAH MEDIA Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengkaji kembali–dan bukannya membatalkan-Rancangan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi perlu disambut gembira. Keputusan itu menunjukkan bahwa para anggota Dewan serius mendengarkan aspirasi rakyat yang menentang pemberlakuan undang-undang tersebut karena banyaknya muatan yang bermasalah di dalamnya. Namun, penundaan itu tidak akan banyak artinya bila tidak cukup masukan yang diberikan, yang dapat menyumbang pada perbaikan RUU. Dalam kaitan itu, saya rasa ada sejumlah persoalan mendasar terkait dengan rancangan undang-undang tersebut. Pertama-tama ada baiknya undang-undang ini hanya memfokuskan perhatian pada pornografi seraya menanggalkan isu “pornoaksi” yang kontroversial. Dapat dikatakan, sebagian besar isu yang diangkat kelompok yang menolak RUU Pornografi dan Pornoaksi terpusat pada soal pasal-pasal pornoaksi yang dianggap terlalu jauh mengendalikan kehidupan warga. Misalnya saja, bila RUU itu akan diterapkan secara konsisten, siapa pun yang hendak berenang di kolam renang dan pantai harus mengenakan pakaian yang menutup paha, pusar, dan seluruh payudara (untuk perempuan). Begitu juga pasal-pasal pornoaksi yang kontroversial itu menjadikan RUU tersebut tampak melecehkan cara berpakaian banyak komunitas di Indonesia. Bukan hanya di Bali dan Papua, tapi juga di Jawa Barat, Madura, atau bahkan di Jakarta (tidakkah kita sering melihat kaum wanita Indonesia berkemben atau mengenakan kebaya dengan belahan cukup rendah sehingga memperlihatkan sebagian payudaranya?). Harap dicatat, konsep “pornoaksi” sebenarnya baru saat ini ditemukan dan diperkenalkan di dunia oleh para penggagas RUU Pornografi dan Pornoaksi, serta para penemunya belum cukup memikirkan secara mendalam cakupan makna dan batasan istilah tersebut. Dalam draf RUU terbaca bahwa istilah ini dikenakan pada beragam tindakan dalam kehidupan sehari-hari dengan rentang sangat luas: dari “sekadar” memperlihatkan paha dan pusar sampai menyelenggarakan pesta seks dan pertunjukan tari telanjang. Dengan demikian, kecuali para perancang UU Pornografi dan Pornoaksi dapat menemukan formulasi yang tepat tentang “pornoaksi”, sebaiknya hasrat untuk menyertakan konsep tersebut ditinggalkan dulu. Menanggalkan “pornokasi” akan memungkinkan segenap pihak memfokuskan perhatian pada pornografi yang memang dalam beberapa kurun waktu terakhir ini secara global telah berkembang menjadi industri raksasa yang produk-prokduknya dengan mudah dan murah menerobos masuk ke wilayah domestik kehidupan warga dunia di mana pun. Kedua, ada baiknya definisi pornografi dalam RUU dikembalikan ke makna generiknya, yakni “segenap materi di media yang berpotensi atau ditujukan untuk membangkitkan hasrat seksual”. Dalam perdebatan saat ini, kaum pembela hak perempuan kerap menggunakan definisi pornografi yang lebih spesifik, yakni materi seks di media yang mendegradasikan, merendahkan, dan melecehkan perempuan. Dengan kata lain, pornografi baru dianggap menjadi pornografi kalau dia melecehkan perempuan. Bila

tidak ada pelecehan (misalnya yang tampil di media adalah adegan ranjang lesbian atau adegan ranjang yang melibatkan pasangan yang saling menikmati seks), itu menjadi bukan pornografi. Sebagai sebuah gagasan ilmiah tentu itu sangat absah. Tapi kalau definisi itu mau dimasukkan ke dalam tatanan hukum yang mengikat, definisi itu menjadi terlalu sempit. Masalahnya, yang menjadi alasan keprihatinan ketika orang bicara soal pornografi bukan cuma nasib perempuan. Bila diidentifikasi, kemarahan terhadap pornografi juga terkait dengan sejumlah alasan yang juga absah. Kelompok-kelompok penganut agama puritan memandang pornografi sebagai barang haram yang melecehkan nilai-nilai agama. Kalangan pendidik dan orang tua khawatir penyebaran pornografi menyebabkan anakanak dan remaja terangsang untuk mengenal dan melakukan hubungan seks sejak usia dini. Ada pula kekhawatiran bahwa pornografi akan menjadi media pembelajaran yang salah tentang perilaku seks bagi seluruh masyarakat, mengingat yang disajikan dalam pornografi kerap adalah perilaku seks yang liar, tidak safe. Karena itu, penyempitan definisi pornografi dalam perspektif feminis menjadi bermasalah, karena dengan demikian itu mengabaikan kepedulian-kepedulian lain tentang pornografi. Bila Indonesia hendak memiliki UU Pornografi, sebaiknya undangundang tersebut merespons beragam keprihatinan mengenai efek media porno: melindungi nasib perempuan, anak remaja, juga kaum beragama yang merasa pornografi adalah pelecehan keyakinan atau setidaknya sesuatu yang haram untuk dikonsumsi oleh mereka. Hanya, bila definisi generik pornografi itu yang akan digunakan, jelas bahwa apa yang disebut sebagai “pornografi” di Indonesia menjadi luas. Itu akan bisa dikenakan pada goyang ngebor Inul yang tersaji melalui siaran televisi, klip video Britney Spears, banyak novel Harold Robbins, novel Saman karya Ayu Utami, adegan ranjang yang melibatkan sepasang kekasih di balik selimut dalam film The Constant Gardener, sampai adegan seks sepasang mahasiswa di video compact disc (VCD) ilegal. Ilustrasi tersebut sengaja dibuat agak panjang untuk menunjukkan bahwa pornografi bisa sangat beragam. Ada produk yang sepenuhnya pornografis, tapi ada juga produk-produk industri hiburan yang hanya menyertakan muatan pornografis sebagai pelengkap, sebagai bumbu secukupnya, sebagai daya tarik tambahan, atau sebagai bagian yang menyempurnakan. Dengan menyadari keragaman tersebut, saya hendak mengajukan poin ketiga. Undangundang ini sebaiknya tidak dilahirkan sebagai undang-undang yang akan melarang seluruh bentuk pornografi, melainkan lebih mengatur pornografi dengan orientasi perlindungan kepentingan publik. UU Pornografi ini selayaknya memperlakukan ragam pornografi dengan cara pengaturan berbeda. Undang-undang dapat saja menetapkan ada pornografi yang sama sekali dilarang (misalnya yang menyajikan adegan persetubuhan eksplisit, mengandung kekerasan seksual terhadap perempuan, menyajikan anak sebagai obyek eksploitasi seks,

atau hubungan seks dengan hewan). Tapi yang penting bagaimana mengatur media umum yang mengandung muatan pornografis. Kita bisa membayangkan, penanganan pornografi selayaknya pengaturan minuman keras. Minuman keras bagi mayoritas umat Islam dianggap haram, tapi di Indonesia tetap diizinkan dengan ketentuan-ketentuan yang tegas. Misalnya, hanya bisa dijual di counter terbatas, hanya bisa dibeli oleh konsumen dengan usia tertentu, hanya minuman dengan persentase alkohol tertentu yang diizinkan, atau tidak boleh diiklankan. Logika serupa bisa diterapkan pada soal pornografi, dengan ketentuan yang lebih terperinci. Taruhlah ada sebuah buku (fiktif) berjudul “Teknik-teknik Bercinta untuk Orang Dewasa” yang secara eksplisit (visual atau naratif) menggambarkan teknik-teknik berhubungan seks. Pertanyaannya: bolehkah buku tersebut dijajakan secara bebas di kios surat kabar di pinggir jalan? Bolehkah di toko buku tersebut disajikan secara bebas di rak buku-buku laris berdampingan dengan buku, seperti Chicken Soup for The Soul atau buku kisah-kisah Nabi? Bolehkah anak-anak dan remaja membelinya? Apakah di perpustakaan buku tersebut boleh dipinjam oleh siapa pun tanpa perlu ada persyaratan khusus? Bolehkah buku tersebut dipromosikan secara terbuka melalui siaran televisi atau radio, misalnya? Begitu juga dengan Internet. Bagaimana cara melindungi agar publik Indonesia–terutama anak dan remaja–dari banjir gambar porno melalui Internet? Apakah setiap Internet Service Provider bertanggung jawab mengeblok situs-situs yang diidentifikasi sebagai situs porno? Apakah hukuman bagi warga Indonesia yang terlacak membuat situs porno? Apakah warung dan kafe Internet memiliki kewajiban mengawasi penggunaan Internet oleh konsumennya? Atau kalau kita ingat soal lukisan Anjasmara di galeri lukisan: apakah sama sekali tidak diizinkan untuk menyelenggarakan pameran lukisan atau foto artistik yang menyajikan gambar yang dinilai mengandung muatan pornografis? Atau apakah penyelenggara pameran harus menjamin bahwa hanya orang dewasa yang dapat memasuki lokasi? Atau apakah harus ada kewajiban melarang siapa pun–termasuk wartawan–mengambil atau merekam gambar di dalam ruang pameran? Rangkaian ilustrasi tersebut sengaja diangkat untuk menunjukkan bahwa UU Pornografi seharusnya menjawab berbagai kasus tersebut. Karena itu pula, saya menganggap bahwa KUHP saja sudah tidak memadai untuk melindungi publik dari pornografi. UU Pornografi bisa digunakan sebagai lex specialis, yang termuat berbagai sanksi pidana bagi mereka yang melanggarnya. Hanya dengan cara itu UU Pornografi mengapresisasi kedua kubu: pornografi dalam kadar tertentu diizinkan dikonsumsi para peminatnya, tapi tidak terjaja dan tersebar secara bebas di tengah masyarakat.

Related Documents