BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan (perkawinan) adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhan.perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan untuk manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Allah tidak mau menjadika mausi itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secar anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan lakilaki dan perempuan diatur secar terhormat berdasarkan saling meridhai, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Bentuk pernikahan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.Pergaulan suami istri diletakan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus. Peraturan pernikahan seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya, sedangkan yang lainnya dibatalkan. Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan (al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526). Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan
1
perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI : 59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285). Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’. Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah. Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu 2
Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329). B. Rumusan Masalah Adapun dalam makalah ini membahas tentang rumusan masalah mengenai sebagai berikut: 1. Apa pengertian perkawinan menurut Hukum perdata, hukum adat, dan hukum Islam? 2. Bagaimana tujuan dari perkawinan tersebut? 3.
Menurut Hazairin, di Minangkabau ada tiga bentuk perkawinan yang bertahap satu sama lain. Apa saja tiga perkawinan tersebut dalam masyarakat keIbuan tersebut?
4. Bagaimana rukun perkawinan menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dan bagaimana pula penjelasannya? C. Maksud dan Tujuan Penelitian Adapun dalam makalah ini membahas tentang maksud dan tujuan penelitian mengenai sebagai berikut: 1. Untuk dapat mengetahui perbandingan pengertian perkawinan dalam hukum Perdata, hukum Adat, dan hukum Islam. 2. Untuk memberikan suatu penjelasan yang rinci mengenai perkawinan dalam perbandingan hukum Perdata, hukum adat, dan hukum Islam. 3. untuk dapat memberi suatu pengetahuan mengenai perkawinan dalam berbagai hukum, baik itu dari hukm perdata, hukum adat, maupun hukum Islam.
3
D. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Maksud dan Tujuan Penelitian D. Sistematika Penulisan BAB II PEMBAHASAN II. 1
Menurut Hukum Perdata
A. Pengertian Perkawinan B. Tujuan Perkawinan C. Syarat-Syarat dan Momentum Sahnya Perkawinan D. Perjanjian Kawin II. 2
Menurut Hukum Adat
A. Hukum Perkawinan dalam Masyrakat KeIbuan B. Hukum Perkawinan dalam masyrakat Bilateral atau Parental C. Hukum Perkawinan dalam Masyarakat Kebapaan II. 3
Menurut Hukum Islam
BAB III PENUTUP Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA
4
BAB II PEMBAHASAN II. 1 Menurut Hukum Perdata E. Pengertian Perkawinan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam upacaraupacara yang diadakan oleh gereja. UU hanya mengenal "Perkawinan Perdata", yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil (Vollmer, 1983:50) B. Tujuan Perkawinan Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: 1) Berlangsung seumur hidup 2) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir 3) Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah yaitu papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan esensi kebutuhan rohaniah, ontohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.2
1 Pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 2 Salim HS, Pengantar Huum Perdata Tertulis (BW), Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 62
5
C. Syarat-Syarat dan Momentum Sahnya Perkawinan Dalam KUH Perdata, syarat untuk melaksanakan perkawian dibagi dua macam adalah: (1) syarat materiil dan (2) syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi menjadi dua macam3, yaitu; 1. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yant harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi: a. Monogami, bahwa seseorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyi seorang suami (Pasal 27 BW); b. Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata); c. Terpenuhinya batas umur minimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH Perdata); d. Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata); e. Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 35 sampai dengan Pasal 49 KUH Perdata). 2. Syarat materiil relatif, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada dua macam, yaitu; a. larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan; b. larangan kawin karena zina; c. larangan untuk perbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat satu tahun. Syarat formal adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitasdalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syatar yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan 4 adalah: 2. Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin (Pasal 50 sampai dengan Pasal 51 KUH Perdata); 3 Ibid. hal. 63 4 Ibid. hal. 64
6
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilangsungkannya perkawinan. D. Perjanjian Kawin Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan perjanjian kawin adalah perjanian yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka5. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaris. II. 2 Menurut Hukum Adat A. Hukum Perkawinan dalam Masyrakat KeIbuan Adapun masyarakat dengan garis keturunan Ibu yang terkenal sebagai contoh adalah masyarakat Minangkabau, yaitu sistem kemasyrakatan, di mana seorang menarik garik keturunan melalui Ibu, terus ke atas ke-Ibu dari ibu dan seterusnya hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa ada seorang ibu asal. Jadi di Minangkabau yang berkuasa di lapangan sosial yang penting-penting yaitu di lapangan Hak Milik dan soal-soal keluarga adalah senantiasa ibu, wanita atau laki-laki dari fihak Ibu.6 Menurut Hazairin, di Minangkabau ada tiga bentuk perkawinan yang bertahap satu sama lain, yaitu: 1. Kawin Bertandang Adapun yang mengenai kawin bertandang ini didasarkan pada prinsip exogami. Pengertian dari exogami ini, yaitu: a. Dalam arti positif; exogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana seseorang harus kawin dengan anggota klan yang lain; b. Dalam arti negatif: exogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana sesorang dilarang atau tidak boleh kawin dengan anggota se-klan. Prinsip exogami ini berhubungan erat dengan sistem garis keturunan ibu itu, yaitu suatu cara yang unik untuk mempertahankan garis keturunan Ibu itu 5 Ibid. hal. 72 6 Prof. Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kesembilan, PT Penebar Swadaya, 2004, hal. 13
7
adalah suatu prinsip, tak boleh mengelakkan diri. Kembali pada exogami dengan garis keturunan Ibu ini, maka bentuk perkawinan bertandang itu adalah suatu pelaksanaan yang integral cocok dengan prinsip ke-Ibu-an. Dalam keadaan yang demikian, suami adalah semata-mata orang yang datang bertamu. Walaupun ia bekerja dan menghasilkan, maka hasil itu diperuntukkan untuk dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anaknya. 2. Kawin Menetap Tahap kedua bentuk perkawinan tersebut adalah kawin menetap, merupakan suatu perkembangan dari bentuk perkawinanpertama. Yang dimaksud dengan perkembangan keadaan ialah kalau rumah gadang telah menjadi sempit untuk famili yang senantiasa menjadi besar dan tumbuh, maka suatu keluarga atas inisiatif dari Istri membuat rumah lain yang terpisah, tidak jauh dari situ. Walaupun demikian tidak hilang sifat-exogami semenda tadi, namun secara fisik di dalam suasana baru, lebih bebas, lebih intim, apa lagi kalau mempunyai pekerjaan dan sumber penghasilan sendiri, dan suami pun telah lebih banyak berada di tengah-tengah anak-istrinya, malah lambat laun menetaplah ia, menolong istrinya, bila sempat dan mampu. Walaupun bermula dengan segala-galanya dari pihak perempuan dengan modal kekayaan istrinya, dengan bantuan langsung atau tidak langsung dari suami, mereka membina harta bersama, dan jika suasana terus baik, dapatlah lambat-laun harta bersama itu dipandang sebagai sebahagian hak sang suami, kelak mungkin melalui "hibah" diteruskan kepada anak, dan sebagian diberikan kepada kemenakan. Malaj mungkin kemenakan tidak lagi menuntut; Harta itu disebut Harta Suarang (Ter Haar: "Naschriften”, hal 11 atau T. 142 hal. 232). 3. Kawin Bebas Tahap perkawinan berikut sebagai suatu kelanjutan pertumbuhan tahap kedua itu, disebut kawin bebas; kelanjutan pertumbuhan itu berarti perpindahan secara fisik, meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau, biasanya kepesisir. Maka kita melihat, bahwa secara sosiaologis perpindahan atau perantauan atau migration itu merupakan suatu faktor kuat dalam menimbulkan perubahan sosial tau pergesran sosial. Akibatnya timbul suasana hidup bersama, hidup keluaga yang intim antara satu sama lain, di dalam suasana kota atau pantai 8
menunjukkan pelepasan dari dua hal, yaitu: a. Ikatan Adat atau ikatan Kelompok, ikatan klan; b. Dari ikatan Harta Pustaka. B. Hukum Perkawinan dalam Masyarakat Kebapaan Hukum Perkawinan dalam Masyarakat Kebapaan adalah suatu sistem kekeluargaan dengan para anggota masyarakat hukum yang menarik garis keturunan secara konsekuen, melalui garis laki-laki atau bapak. Ini merupakan suatu prinsip, suatu kepercayaan, suatu sikapyang magis-religius dan atas prinsip ini, sistem perkawinan adalah eksogami jujur. Ini berarti suatu keharusan, laki-laki dan perempuan itu berlainan klan, dengan pemberian barang yang bersifat magis-religius itu, perempuan dilepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya dan selanjutnya berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan keluarga suaminya.7 Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian, yaitu: 1. Yuridis, yaitu perubahan status. 2. Sosial (politis), yaitu memperat hubungan antar klan, hubungan kekluargaan, dan menghilangkan permusuhan. 3. Ekonomis , yaitu adanya pertukaran barang. C. Hukum Perkawinan dalam masyrakat Bilateral atau Parental Masyarakat Bilateral atau parental yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak, adalah sebuah istilah yang sering dipakai oleh Prof. Dr. Hazairin untuk menujukkan pada suatu sistem kemasyrakatan atau sistem menarik garis keturunan di mana seorang menarik garis melalui Ibu dan Bapak, serta Keluarga Ibu dan Keluarga Bapak, sama nilai dan sama derajat.8 Patut kita catat, bahwa dalam hukum Adat dikenal dua sistem Masyarakat Parental atau Bilateral, yaitu: 1.
Masyarakat Bilateral di Jawa9 Masyarakat Jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga/gezin, yaitu suatu unit terkecil yang dalam keseluruhannya 7 Ibid. hal. 21 8 Ibid. hal. 28 9 Ibid.
9
merupakan sebuah desa. Adapun sistem perkawinannnya di sebut "Kawin Bebas", artina orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu diizinkan sesuai dengan kesusilaan setempat sepanjang peraturan yang digariskan oleh Agama. Namun dalam masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak tetap ada suatu moralitas, kesusilaan stempat menyebabkan perkawinan itu tidak dilangsungkan berhubungan dengan perasaan masih bersaudara karena ubungan misanan; dengan demikian kita menarik kesimpulan, bahywa apa yang kita sebut kawin bebas tadi adalah suatu kebebasan yang relatif. Masih ada patokan lain tentang penyelenggaraan perkawinan yang digariskan oleh Agama Islam. Hal ini juga menujukkan suatu kebebasan relatif, ialah: orang boleh kawin dengan siapa saja, asal tidak melanggar ketentuan yang tercantum dalam surat An Nisa ayat 22, 23, dan 24, yaitu dilarang kawin dengan orang-orang yang ada hubungan darah yang dekat dan langsung, satu sama lain karena hubungan periparan; satu sama lain karen hubungan periparan; satu sama lain pernah menyusu bersama kepada seorang Ibu (sepersusuan). Mayarakat Bilateral di Kalimantan10
2.
Masyarakat ke-ibu-bapa-an di Kalimantan (Borneo) ialah masyarakat Dayak yang banyak macam sukunya dan sepanjang penyelidikan etnologi dan sejarah kebudayaan, diperkirakan bahwa suku-suku itu telah hidup di sana lebih kurang 2.500 tahun yang lalu. Sistem perkawinan mereka adalah endogami, dalam arti mereka mengadakan perkawinan satu sama lain di dalam tribe mereka sendiri (antarkeluarga). Ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil sistem endogami ini, yaitu sebagai berikut: -
dipandang dari sudut keamanan, pertahanan;
-
dipandang dari sudut pemilikan tanah, kebun, sawah dan sebagainya;
-
dipandang dari sudut kemurnian darah/keturunan, dan lain-lain pantangan yang bersifat magis religius. Berhubung dengan endogami itu, maka dapat kita pahami dari endogami
tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Endogami dalam arti teritorial adalah semacam endogami yang ada di Sumatera Barat, endogami sekampung. 10 Ibid. hal. 29
10
2. Endogami di dalam arti se-Rumpun adalah yang terdapat pada beberapa suku Dayak di Kalimantan. 3. Endogami sebagai penyimpangan ari eksogami (kawin tegak-tegi di Lampung). II.3 Menurut Hukum Islam Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah11. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinan, mawadah, rahmah12. Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya) “Dan di antara tandatanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ). Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (assakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari 11 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 12 Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
11
Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anakanak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171172). Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan13. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyrakat Islam setiap perkawinan harus di catat. Pencatatan perkawinan tersaebut pada ayat (1), dilakikan oleh Pegawai pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.14 Rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: 1. Calon suami, 2. Calon Isteri, 3. Wali Nikah, 4. Dua orang saksi, dan 5. Ijab dan Kabul. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun15. Sebelum berlangsungnya perkawinan pegawai pencatat nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapatdilangsungkan.16 Yang bertinadak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akhil dan balig; wali nikah terdiri dari wali nisab dan wali hakim17. Wali nisab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekrabatan dengan calon memelai wanita. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak 13 Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam 14 Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam 15 Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam 16 Pasal 17 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam 17 Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
12
ada atau tidak mungkin menghdirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan18. Yang dapat ditujuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, akil balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli19. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.20 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu21. Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secra pribadi; dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria; dalam hal calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan22.
BAB III PENUTUP Kesimpulan 18 Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam 19 Pasal 25 Komplisi Hukum Islam 20 Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam 21 Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam 22 Pasal 28 ayat (1), (2), dan (3) Kompilasi Hukum Islam
13
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang lakilaki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konsepsi hukum perdata Barat, perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja. Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur dalam upacara-upacara yang diadakan oleh gereja. UU hanya mengenal "Perkawinan Perdata", yaitu perkawinan yang dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil (Vollmer, 1983:50). 2. Yang menjadi tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan itu: 4) Berlangsung seumur hidup 5) Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir 6) Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri. Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ). Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya. Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama 14
tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172). 3. Menurut Hazairin, di Minangkabau ada tiga bentuk perkawinan yang bertahap satu sama lain, yaitu: A. Kawin Bertandang Adapun yang mengenai kawin bertandang ini didasarkan pada prinsip exogami. Pengertian dari exogami ini, yaitu: a. Dalam arti positif; exogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana seseorang harus kawin dengan anggota klan yang lain; b. Dalam arti negatif: exogami adalah suatu sistem perkawinan, di mana sesorang dilarang atau tidak boleh kawin dengan anggota se-klan. Prinsip exogami ini berhubungan erat dengan sistem garis keturunan ibu itu, yaitu suatu cara yang unik untuk mempertahankan garis keturunan Ibu itu adalah suatu prinsip, tak boleh mengelakkan diri. Kembali pada exogami dengan garis keturunan Ibu ini, maka bentuk perkawinan bertandang itu adalah suatu pelaksanaan yang integral cocok dengan prinsip ke-Ibu-an. Dalam keadaan yang demikian, suami adalah semata-mata orang yang datang bertamu. Walaupun ia bekerja dan menghasilkan, maka hasil itu diperuntukkan untuk dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anaknya. B. Kawin Menetap Tahap kedua bentuk perkawinan tersebut adalah kawin menetap, merupakan suatu perkembangan dari bentuk perkawinanpertama. Yang dimaksud dengan perkembangan keadaan ialah kalau rumah gadang telah menjadi sempit untuk famili yang senantiasa menjadi besar dan tumbuh, maka 15
suatu keluarga atas inisiatif dari Istri membuat rumah lain yang terpisah, tidak jauh dari situ. Walaupun demikian tidak hilang sifat-exogami semenda tadi, namun secara fisik di dalam suasana baru, lebih bebas, lebih intim, apa lagi kalau mempunyai pekerjaan dan sumber penghasilan sendiri, dan suami pun telah lebih banyak berada di tengah-tengah anak-istrinya, malah lambat laun menetaplah ia, menolong istrinya, bila sempat dan mampu. Walaupun bermula dengan segala-galanya dari pihak perempuan dengan modal kekayaan istrinya, dengan bantuan langsung atau tidak langsung dari suami, mereka membina harta bersama, dan jika suasana terus baik, dapatlah lambat-laun harta bersama itu dipandang sebagai sebahagian hak sang suami, kelak mungkin melalui "hibah" diteruskan kepada anak, dan sebagian diberikan kepada kemenakan. Malaj mungkin kemenakan tidak lagi menuntut; Harta itu disebut Harta Suarang (Ter Haar: "Naschriften”, hal 11 atau T. 142 hal. 232). C. Kawin Bebas Tahap perkawinan berikut sebagai suatu kelanjutan pertumbuhan tahap kedua itu, disebut kawin bebas; kelanjutan pertumbuhan itu berarti perpindahan secara fisik, meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau, biasanya kepesisir. Maka kita melihat, bahwa secara sosiaologis perpindahan atau perantauan atau migration itu merupakan suatu faktor kuat dalam menimbulkan perubahan sosial tau pergesran sosial. Akibatnya timbul suasana hidup bersama, hidup keluaga yang intim antara satu sama lain, di dalam suasana kota atau pantai menunjukkan pelepasan dari dua hal, yaitu: a. Ikatan Adat atau ikatan Kelompok, ikatan klan; b. Dari ikatan Harta Pustaka.
4. Rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut: a. Calon suami, b. Calon Isteri, c. Wali Nikah, 16
d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan Kabul. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Sebelum berlangsungnya perkawinan pegawai pencatat nikah menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapatdilangsungkan. Yang bertinadak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akhil dan balig; wali nikah terdiri dari wali nisab dan wali hakim. Wali nisab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekrabatan dengan calon memelai wanita. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghdirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Yang dapat ditujuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, akil balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. Yang berhak mengucapkan kabul adalah calon mempelai pria secara pribadi; dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria; dalam hal calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Daftar Pustaka Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kesembilan, PT Penebar Swadaya, Jakarta, 2004. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan ketiga, Sinar Grafika, 17
Jakarta, 2005. Kompilasi Hukum Islam http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/pernikahandalam-perspektif-alquran-makalah
18