MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
“DILEMATIS ANTARA HAK ASASI MENIKAH DAN HAK ASASI PERLINDUNGAN ANAK DALAM KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR”
OLEH :
RIZZA FAHRUDDIN (084674003) PANDHU YUANJAYA (084674013) ILHAM SUCAHYONO (084674014) TITUS SATYA LAKSANA (084674040) ANDRY RISTIAWAN (084674049) BAHRUL ULUM (084674051)
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2008
KATA PENGANTAR
Hak asasi adalah hak yang paling dasar melekat pada diri manusia. Hak tersebut digunakan dengan tujuan agar manusia dapat memenuhi kebutuhankebutuhan dalam kehidupannya, sehingga mereka akan merasakan keadilan ketika melakukan suatu hal yang menjadi kewajibannya. Guna menunjang
pengetahuan
tentang
hak asasi manusia
itu,
pembahasan dalam makalah ini mengarah pada penentuan titik terang “ dilematis antara hak asasi menikah dan hak asasi perlindungan anak dalam kontroversi pernikahan anak di bawah umur “, dengan demikian di waktu yang akan datang diharapkan hak asasi manusia bisa terpenuhi tanpa adanya suatu problema (kontroversi). Demi penyempurnaan makalah ini, kami mengharapkan kritik serta saran dari para pembaca dan pemakai makalah ini, khususnya Bapak / Ibu dosen pengajar mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua untuk memacu kepedulian manusia dalam menghormati dan menghargai hak asasi.
Surabaya, Nopember 2008
Penyusun
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………… 1 DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………. 2 BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ………………………………………………………… 3 B. RUMUSAN MASALAH ……………………………………………………………………… 3 C. TUJUAN ………………………………………………………………………………………… 4 D. MANFAAT …………………………………………………………………………………….. 4 BAB II : KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………………………………………
5
BAB III : PEMBAHASAN A. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR ………………………………………………………………… 7 B. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT PANDANGAN ISLAM ……………………………………………………………………… 8 C. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA ……………………………………………………………………………… 9 D. UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR …………………………………………… 11 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………………………… 13 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………
14
3
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pernikahan merupakan salah satu hak asasi seseorang sebagai puncak meraih kebahagiaan hidup, karena melalui pernikahanlah sebuah keluarga dapat terbentuk secara utuh. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi yang lain. Oleh karena itu, kami merasa perlu mengupas tuntas tentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur yang masih menjadi topik pembicaraan yang hangat bagi masyarakat, sebab pernikahan anak di bawah umur terus dibayangi kontroversi mengenai dilematis dua hak asasi manusia yaitu hak asasi pernikahan/perkawinan dan hak asasi perlindungan anak yang keduanya dihadapkan pada suatu perdebatan sengit terkait dengan hak asasi manakah yang diprioritaskan lebih dulu, mengingat kedua hak asasi tersebut sama-sama penting bagai seseorang yang berkehendak untuk menuntut akan pemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya. Perdebatan dilematis tersebut kian merebak menjadi masalah sosial, sehingga
memicu
munculnya
berbagai
komentar
atau
opini
anggota
masyarakat dari berbagai kalangan. Untuk itu, perlu adanya pengkajian terhadap masalah ini, agar kita bisa menemukan jawaban yang memuaskan dan mencari solusi yang tepat guna menghadapi sekaligus menyelesaikan permasalahan ini.
B. RUMUSAN MASALAH Untuk
memudahkan
dalam
pembahasan
masalah
maka
penulis
membatasi permasalahan ini pada, 1. Mengapa pernikahan anak di bawah umur menimbulkan kontroversi ? 2. Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan Islam ?
4
3. Bagaimana hukum pernikahan di bawah umur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ? 4. Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur ?
C. TUJUAN Adapun tujuan dari makalah ini yaitu : 1. Mendorong seseorang agar mengetahui konsep pernikahan yang benar dan yang tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. 2. Menganalisis hukum pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan Islam dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 3. Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur.
D. MANFAAT Adapun manfaat dari makalah ini yaitu : 1. Mewujudkan kesadaran seseorang untuk mematuhi hukum yang berlaku. 2. Menumbuhkan sikap menghormati dan menghargai hak asasi manusia. 3. Mengembangkan pola pikir dan perilaku manusia yang bermoral atau yang sesuai dengan norma.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA Indonesia
dari
waktu
ke
waktu
kian
akrab
dengan
berbagai
permasalahan sosial, hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya salah satu fenomena yang menjadi topik perbincangan terkini di masyarakat, yaitu masalah tentang pernikahan atau perkawinan anak di bawah umur. Bagaimana tidak ? Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun ‘tokoh’ yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur beserta para pengikut atau
pembela yang
bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kotra. Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 tahun, menilai pernikahannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai. Sedangkan di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku Menteri Agama mempunyai argumen tersendiri tentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak benar dan bisabisa pelakunya dikenai sanksi sesuai pelanggaran yang dia lakukan. Di selasela kesibukannya membuka Halaqah pengembangan pondok pesantren di Hotel Mercuri, Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Agama menjelaskan bahwa di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai muslim, dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara yang terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU perkawinan, dari sudut pandang peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut tidak sah dan berpotensi menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak. (Sumber : kompas.com). Namun, argumen beliau tersebut bertolak belakang dengan opini pihak yang membenarkan pernikahan tersebut. Tak berhenti pada statement tersebut, Dosen Jurusan Sastra Arab Universitas Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau menegaskan bahwa klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Rasul itu adalah bermasalah, baik dari 6
segi
normatif
(agama)
maupun
sosiologis
(masyarakat).
(Sumber
:
islamlib.com). Pengecaman terhadap pernikahan kontroversial tersebut juga datang dari anggota masyarakat. Niam, salah seorang warga masyarakat berpendapat bahwa pernikahan anak di bawah umur dengan cara pernikahan siri (di bawah tangan) meski sah menurut agama, dapat meniadakan hak-hak perdata anak, yang pada konteks masalah syekh puji adalah pihak perempuan. (Sumber : kompas.com).
7
BAB III PEMBAHASAN
A.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KONTROVERSI PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR Berdasarkan kutipan- kutipan yang dijelaskan pihak-pihak terkait dapat
dipahami bahwa realita pro dan kontra tentang pernikahan anak di bawah umur masih belum menemukan titik penyelesaian, faktor utama yang membuat permasalahan itu berlarut-larut adalah tidak adanya kesepahaman antara dua kubu yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kelompok yang setuju berambisi mempertahankan haknya untuk menikahi
anak di bawah
umur dengan alasan beribadah, mendapat persetujuan orang tua dari anak yang hendak dinikahi, dan beberapa alibi lain yang digunakan sebagai pendukung tanpa memperhatikan kepentingan atau hak asasi utama si anak. Adapun kelompok yang melarang penikahan anak di bawah umur, berusaha memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh anak. Jika dilihat dari aspek sosial ekonomi, Pernikahan ini dicap menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak, sebab dalam relita yang sebenarnya terjadi di masyarakat, pernikahan ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau ‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga. Di samping itu, jika si anak adalah pihak perempuan, maka dapat dikatakan bahwa pernikahan anak di bawah umur telah mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabat perempuan. Dampak dari perilaku pernikahan ini menyebabkan trauma seksual serta berdampak buruk pada kesehatan reproduksi pada anak perempuan. Secara mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalah untuk orang yang sudah cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anak secara tidak disadari banyak efek negatif yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini, mulai dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan mental dan emosional si anak.
8
B. HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT PANDANGAN ISLAM Sebagai muslim, merupakan kewajiban untuk merujuk sumber utama dari ajaran Islam, yakni Al Qur’an. Apakah Al Qur’an mengijinkan atau justru melarang pernikahan dari gadis ingusan di bawah umur? Yang jelas, tidak ada satu ayatpun yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjawab persoalan di atas, meski substansi dasarnya adalah tuntunan bagi muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Meski demikian, petunjuk Al Qur’an mengenai perlakuan anak yatim itu dapat juga kita terapkan pada anak kandung kita sendiri. Ayat tersebut adalah : “Ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (mampu mengelola harta), maka serahkan kepada mereka harta bendanya.” (Q.S. An Nisa’ : 6). Dalam kasus anak yang ditinggal wafat orang tuanya, seorang bapak asuh diperintahkan untuk: (1) mendidik, (2) menguji kedewasaan mereka “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan pengelolaan keuangan sepenuhnya. Di sini ayat Al Qur’an mempersyaratkan perlunya tes dan bukti obyektif perihal kematangan fisik dan kedewasaan intelektual anak asuh sebelum memasuki usia nikah sekaligus mempercayakan pengelolaan harta benda kepadanya. Logikanya, jika bapak asuh tidak diperbolehkan sembarang mengalihkan pengelolaan keuangan kepada anak asuh yang masih kanakkanak, tentunya bocah ingusan tersebut juga tidak layak, baik secara fisik dan intelektual untuk menikah. Oleh karena itu, sulit dipercaya, Abu Bakar As Shiddiq, seorang pemuka sahabat, menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 tahun, untuk kemudian menikahkannya pada usia 9 tahun dengan sahabatnya yang telah berusia setengah abad. Demikian pula halnya, sungguh sulit dibayangkan bahwa Nabi SAW menikai gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Ringkasnya, pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun itu bisa bertentangan dengan prasyarat kedewasaan fisik dan kematangan intelektual yang ditetapkan Al Qur’an. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa cerita pernikahan ‘Aisyah gadis belia berusia 7 atau 9 tahun dengan Nabi SAW, itu adalah mitos yang perlu diuji kesahihannya. Di samping persoalan-persoalan yang telah dikemukakan di atas, seorang wanita sebelum dinikahkan harus ditanya dan dimintai persetujuan agar pernikahan yang dilakukannya itu menjadi sah. Dengan berpegang pada prinsip ini, persetujuan yang diberikan gadis belum dewasa (berusia 7 atau 9 9
tahun) tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun intelektual. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakar meminta persetujuan puterinya yang masih kanak-kanak. Buktinya, menurut hadis riwayat Ibn Hanbal, ‘Aisyah masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika mulai berumah tangga dengan Nabi SAW. Nabi SAW sebagai utusan Allah yang maha suci juga tidak akan menikahi gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun, karena hal itu tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan Islam tentang klausa persetujuan dari pihak istri. Besar kemungkinan pada saat Nabi SAW menikahi ‘Aisyah, puteri Abu Bakar As Shiddiq itu adalah seorang wanita yang telah dewasa secara fisik dan matang secara intelektual. Sebetulnya, dalam masyarakat Arab tidak ada tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi. Menurut hemat kami, riwayat pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan sejarah Islam klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia ‘Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi SAW hanyalah mitos semata. Nabi adalah seorang gentleman. Beliau takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah islam klasik. Karenanya, klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi SAW itu adalah bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun secara sosiologis (masyarakat). Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi SAW dengan ‘Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tidak bisa serta merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi SAW itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya? Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi SAW menikahi lebih dari 4 orang istri.
C.
HUKUM PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA Berdasarkan UU No. 23 tahun 2002 Pasal 1 tentang perlindungan
anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) 10
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 2002 Pasal 4 : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1 : Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, Pasal 11 : setiap anak berhak untuk beristirahat
dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal 13 ayat 1 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan (a) diskriminasi (b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual (c) penelantaran (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan (f) perlakuan salah lainnya. Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis di UU no. 23 tahun 2002 Pasal 26 ayat 1 : orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya (d) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. UU pelindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak, jadi sangatlah mengherankan jika masih banyak pelanggarn yang terjadi terhadap anak dalam konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Hal seperti ini sangatlah tidak bisa diterima, dimanakah keberadaan pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi di RI ? Pernikahan di bawah umur sebenarnya kerap kali terjadi di masyarakat khususnya di daerah pedesaan tertinggal dimana kemiskinan dan kebodohan masih menjadi momok yang menakutkan, contohya : salah satu kabupaten di Jawa Barat terkenal dengan pernikahan anak di bawah umur dimana para anak gadis yang masih lugu sengaja “dijual” orang tuanya untuk melakukan pernikahan dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal seperti sangatlah memilukan, pemerintah acapkali tutup mata dengan kasus pernikahan anak di bawah umur dan baru bertindak jika kasusnya terekspos ke khalayak luas oleh media seperti yang sempat terjadi beberapa waktu lalu dimana pernikahan syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa, gadis yang belum genap berusia 12 tahun terekspos oleh media dan menjadi kontroversi di masyarakat. Pemerintah diharapkan lebih serius menindak setiap pelanggaran yang berkaitan dengan anak dalam konteks ini adalah pernikahan anak di bawah umur. Setiap 11
pelanggaran terhadap pernikahan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana sesuai UU no. 23 tahun 2002 Pasal 77 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Selain UU perlindungan anak ada UU alternatif lain yang bisa dijadikan acuan dalam menentang perkawinan anak di bawah umur, yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum melangsungkan pernikahan, menurut UU no.1 tahun 1974 Pasal 6 ayat 1 : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua, Pasal 7 : perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
D.
UPAYA MENYIKAPI ATAU MENCEGAH TERJADINYA PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang
kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan ‘Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko 12
terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya
diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi
korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.
13
BAB IV PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaikbaiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut. Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.
14
DAFTAR PUSTAKA
Islamlib.com Kompas.com Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
15