Perluas Ruang Empati Kita Oleh Pdt. CIPTOMARTALU SAPANGI
”Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!” (Roma 12 : 15) SEBUAH film berjudul ”Patch Adam”, nama seorang muda, yang dikisahkan sedang mengalami kebingungan dengan arah hidupnya. Ia merasa hidupnya tak berguna lagi sehingga ia merencanakan untuk mengakhirinya dengan cara bunuh diri. Namun Patch kemudian mengurungkan niatnya dan pergi ke sebuah rumah sakit jiwa untuk berkonsultasi dengan dokter. Di rumah sakit jiwa itu ternyata ia diperlakukan sebagai objek dan bukan sebagai subjek dari terapi kejiwaan itu. Meskipun demikian, ia masih meneruskan berada di rumah sakit itu dan tinggal sekamar dengan seseorang lain yang mengidap penyakit ’fhobia’ (takut) kepada tupai-tupai khayalannya sendiri. Lalu Patch menjadi teman orang itu dan bersama dia ”berburu” tupai-tupai khayalan itu. Setiap kali temannya ”menembaki” tupai-tupai khayalannya, Patch pun melakukan tindakan yang sama. Begitu asyiknya sehingga mereka berdua dapat ”menghitung” bersama-sama tupai-tupai yang mati tertembak. Persahabatan kedua orang itu sangat akrab, sampai pada akhirnya Patch berhasil menolong temannya, sembuh dari penyakit ’fhobia’ kepada tupai-tupai khayalannya, berkat empati yang ditunjukkannya. Patch merasa hidupnya kini berguna bagi orang lain dan pada akhirnya ia pun keluar dari rumah sakit jiwa itu, lalu belajar di Fakultas Kedokteran dan berhasil menjadi dokter. Bahkan ia tak hanya berpraktik sebagai dokter medis, melainkan juga mahir dalam bidang psikologi. Begitulah Patch mewujudkan sikap empatinya kepada setiap pasien yang berobat kepadanya. Banyak dari pasien yang disembuhkannya. Kisah ini didasarkan pada sebuah buku berjudul Gesundheit Good Health is Laughing Matter, karangan Hunter Doherty Adam dan Maureen Mylander. Empati adalah sikap seseorang yang mau hadir dalam pergumulan orang lain, yang berlanjut dengan sikap mau berbagi rasa dan ikut memasuki permasalahan orang lain, bukan untuk merecokinya, melainkan untuk memberikan jalan keluar bagi orang lain itu. Hubungan antar-pribadi itu meniadakan sekat antara ”aku” dan ”engkau”. Sebuah ikatan ke-kita-an yang meniadakan jarak satu dengan yang lain. Dengan demikian, berkembanglah sebuah pengakuan: ”masalahmu adalah masalahku”, lalu kedua pihak saling mengajak untuk mengatasinya demi kebaikan bersama. Itulah yang juga diungkapkan dalam ayat di atas, bahwa saat orang bersukacita, kita pun ikut bersukacita bersamanya, dan saat orang lain menangis, kita pun ikut menangis bersamanya. Jangan bersukacita sendiri dengan membiarkan orang lain menangis, dan jangan membiarkan orang menangis tanpa kita datang untuk menghiburnya. Kita berharap bahwa ruang lingkup empati semacam ini dapat kita perluaskan. Kendati tak mungkin kita perluaskan tanpa batas, namun paling sedikit radius perluasannya akan menjangkau sebanyak mungkin orang sesuai dengan kekuatan kita.
Jika Tuhan dalam kasih-Nya begitu empati kepada manusia dengan menghadirkan diriNya di tengah umat manusia, kita pun sepatutnya hadir di tengah kehidupan sesama kita, baik dalam suka, terlebih dalam duka. Sekiranya kita dapat memperluaskan ruang lingkup empati kita dari diri pribadi kita, kepada anggota-anggota keluarga kita, kepada anggota-anggota kelompok kita, hingga kepada orang-orang yang sebangsa dan setanah air dengan kita, maka empati itu akan menghangatkan ikatan kebangsaan kita. Pada dasarnya kehadiran kita dengan maksud untuk melakukan perbuatan baik, pasti amat dibutuhkan oleh orang-orang lain, siapa pun mereka. Memang sifat kita semua adalah merindukan kasih dan perhatian orang lain. Karenanya, kita tidak mungkin menutup mata, telinga, dan hati kita terhadap mereka, terutama yang menderita akibat pelbagai macam peristiwa sedih yang menimpa mereka. Sebaliknya rasanya kita tak tega dan tak pantas hidup penuh sukacita di atas penderitaan orang-orang lain. Sikap peduli dan kesediaan berbagi sesuatu yang baik dengan orang lain, kiranya dapat kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Panggilan untuk memperluaskan ruang lingkup empati berlaku bagi setiap orang, khususnya bagi mereka yang mempunyai kelebihan, baik harta, kekuasaan, maupun kemampuan. Dengan demikian, solidaritas sosial pun berlaku dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bukankah hal-hal semacam ini yang sesungguhnya menjadi kehendak Tuhan, Sang Pencipta kita? Karena itu, lakukan hubungan antarpribadi dalam kasih di tengah kehidupan masyarakat kita sehingga kita dapat merasakan kehangatannya dalam lingkungan keluarga besar bangsa Indonesia. Amin. Penulis, pendeta Gereja Kristen Indonesia, Jalan Pasirkaliki, Bandung.