Pendidikan Berwawasan Lingkungan

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Berwawasan Lingkungan as PDF for free.

More details

  • Words: 849
  • Pages: 3
fLayoutInCell1fAllowOverlap1fBehindDocument0fHidden0f LayoutInCell1 PAREPARE MENUJU PENDIDIKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Nurhidayah*

S

eberkas cahaya sedang berusaha menyeruak diantara hiruk pikuk dunia pendididkan Parepare yang sedang berbenah. Adalah LAPEKOM, selasa kemarin (17/3) menggelar penanaman 150 pohon di SMPN 4 dalam rangka Go Green School. Sebuah pertanda baik, karena bukan hanya pemerintah yang concern dengan kondisi lingkungan terkini, pertanda yang amat baik, karena yang punya “gawe” adalah lembaga yang besentuhan dengan pendidikan. Bukan jumlah pohon yang ditanam, tetapi keperdulian yang terwakili, bukan sekedar menghijaukan lingkungan sekolah sehingga suasana menjadi sejuk dan nyaman, tetapi keberpihakan terhadap bumi yang disimbolkan oleh gerakan Go Green School adalah titik balik yang penting bagi dunia pendidikan dalam meninjau kebijakankebijakan selanjutnya, terutama yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup di sekolah-sekolah. Sosialisasi gerakan kesadaran akan pentingnya pelestarian fungsi lingkungan melalui jalur pendidikan nampaknya merupakan sebuah pilihan bijak, mengingat sekolah adalah lembaga pendidikan yang menjadi tempat pembentukan generasi yang berkualitas dalam semua aspek, kognisi, afeksi dan psikomotorik. Dari lembaga yang disebut “sekolah”, diharapkan lahir generasi yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Dengan demikian penanaman kesadaran lingkungan pada generasi yang sedang membentuk kulitas dirinya di sekolah diharapkan menghasilkan generasi berwawasan lingkungan. Masalah pentingnya pemeliharaan fungsi lingkungan hidup sebenarnya telah terintegrasi dalam hampir semua mata pelajaran yang termaktub dalam kurikulum nasional, terutama kelompok mata pelajaran sains seperti Biologi, Fisika, Kimia. Bahkan untuk implementasinya telah banyak dilakukan pelatihan-pelatihan bagi guru untuk melakukan integrasi pendidikan lingkungan hidup tersebut, termasuk evaluasinya. Namun sejauh ini hasil yang diperoleh masih jauh dari memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari sikap berwawasan lingkungan generasi muda “saat ini” yang relatif rendah. Demikian pula sikap berwawasan lingkungan generasi muda “jaman dahulu” yang saat ini sedang menjadi menjadi pelakon pembangunan. Rendahnya sikap berwawasan lingkungan tersebut mengakibatkan konsep

pembangunan berkelanjutan masih sebatas konsep, jauh dari implementasi. Contoh kecil dalam skala lokal, adalah kasus alih fungsi hutan lindung di pulau Bintang yang melibatkan anggota Dewan yang terhormat. Atas nama pembangunan, atas nama kepentingan ekonomi maka kepentingan lingkungan, kepentingan menjaga fungsi hutan sebagai paru-paru bumi, sebagai daerah resapan, sebagai reservoar air, sebagai sumber keanekaragaman hayati dinafikan. Dalam skala global, contoh yang membuat miris hati pemerhati lingkungan adalah sikap pemerintah AS yang belum bersedia meratifikasi perjanjian Kyoto, berisi konfensi tentang komitmen untuk menurunkan emisi gas penyebab pemanasan global. Sementara fakta membuktikan bahwa AS adalah penyumbang terbesar emisi gas berbahaya tersebut, baik dari areal industi maupun pertaniannya. Sejatinya, sejak dicetuskannya komitmen pembangunan berkelanjutan setelah KTT bumi Rio de Jenairo 1992 tahun silam, seharusnya laju pertambahan penduduk dunia telah menurun, dan peningkatan suhu bumi relatif lebih rendah. Namun komitmen yang tidak mengikat (kecuali secara moral) tersebut gagal dalam implementasi. Sebagai akibatnya petumbuhan penduduk dunia tetap tinggi dan pemanasan global dengan rata-rata peningkatan suhu 2°C/tahun seperti yang diramalkan dahulu menjadi realitas yang tak terbantahkan kini. Pemanasan global adalah satu dari sekian banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan penyebab utama dari tereksploitasinya alam secara tidak terkendali. Perkembangan kebudayaan yang makin modern memicu peningkatan konsumsi. Dampak yang tak terelakkan dari konsumsi yang tinggi ini adalah pencemaran. Siapa yang menyangka jika ektensifikasi pertanian yang berusaha mengamankan penduduk dunia dari kelaparan bersifat ambivalen? Selain memenuhi kebutuhan pangan, juga mencemari lingkungan dengan limbah pupuk. Bukan sekedar residu yang tersisa pada tanaman, tanah atau masuk ke sumber-sumber air penduduk, lebih dari itu salah satu gas yang dilepaskan areal pertanian ke atmosfir adalah CH4, satu dari sekian gas rumah kaca yang ikut andil dalam meningkatkan suhu bumi. Saudara CH4 adalah N2O dilepaskan ke atmosfir oleh lahan pertanian kering dari seluruh dunia dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor. Bagaimana mengurangi laju peningkatan suhu bumi jika sumber polutan adalah proses yang “tidak mungkin” dihentikan? Maka upaya membentuk generasi berwawasan lingkungan yang dilakukan di sekolah-sekolah menjadi sesuatu yang sangat penting. Dengan asumsi bahwa sekolah adalah lembaga yang memberikan pendidikan yang utuh kepada setiap peserta didiknya, pendidikan dari semua aspek, kognisi, afeksi dan psikomotorik. Sekolah adalah lembaga yang membantu siswa mengenal dan mengoptimalkan multiple intelligensi-nya. Jika lulusan sekolah adalah generasi yang pola pikir dan perilakunya berwawasan lingkungan kelak menjadi pelaku pembangunan, maka konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akan terlaksana

dengan baik. Dan jika gerakan ini terjadi di seluruh dunia, maka kekhawatiran bahwa bumi akan mencapai ambang batas daya dukungnya tidak perlu ada. Kearifan berfikir manusia dipertaruhkan. Moralitas dan kepedulian akan sesama diuji dalam satu dasawarsa ini. Sambil menunggu generasi berwawasan lingkungan disiapkan dari sekolah-sekolah seluruh dunia, maka akan sangat bijaksana jika kita memulai dari “sekolah” kita yang paling kecil, rumah tangga. Tidak memerlukan banyak biaya dan tenaga memberi contoh perilaku berwawasan lingkungan kepada keluarga. Menghemat air dan listrik, memilah sampah rumah tangga, memelihara tanaman di halaman, ibu rumah tangga yang menggunakan keranjang belanja (bukannya tas kresek plastik yang tidak bisa diurai bakteri seumur bumi), mematikan TV sehabis nonton, bukannya membiarkan TV ganti “menonton” kita yang tidur, mematikan lampu belajar anak yang sudah tidur. Dan banyak lagi hal-hal kecil yang akan sangat berarti karena akan diteladani oleh anakanak, dan kelak menjadi kebiasaan hidup dan yang kelak pula akan diwariskan kepada keturunannya.

* Guru SMA Negeri 5 Parepare Mahasiswa PPs UNM Prodi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Related Documents