BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata.2 Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25% populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat di UGD.1 Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.3 Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat.4 Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.2 Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.3 B. Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan urtikaria.
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo.2 B. Anatomi dan Fisiologi Kulit 1. Anatomi Kulit Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium.5
Gambar 1. Lapisan Epidermis Kulit.6 Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (stratum germinativum). Fungsi epidermis sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans).5 Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan retikuler yang merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau
2
hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.5
Gambar 2. Anatomi Kulit.7 2. Fisiologi Kulit Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.5 C. Epidemiologi Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria
3
berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah baya.4 Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000.8 D. Etiologi Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2 1. Obat Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras.2 2. Makanan Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2 3. Gigitan atau sengatan serangga Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).2 4. Bahan fotosenzitiser
4
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2 5. Inhalan Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2 6. Kontaktan Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2 7. Trauma Fisik Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena Darier.2 8. Infeksi dan infestasi Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit.2 9. Psikis Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2 10. Genetik Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant.2 11. Penyakit sistemik Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2 B. Klasifikasi
5
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik. 3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang lain tampak pada tabel 1.3,9 Tabel 1. Klasifikasi Urtikaria Ordinary urticarias Acute urticaria Chronic urticaria Contact urticaria Physical urticarias Dermatographism Delayed dermatographism Pressure urticaria Cholinergic urticaria Vibratory angioedema Exercise-induced urticaria Adrenergic urticaria Delayed-pressure urticaria Solar urticaria Aquagenic urticaria Cold urticaria Special syndromes Schnitzler syndrome Muckle-Wells syndrome Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy Urticarial vasculitis 1. Urtikaria Akut Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan
6
atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi kronis atau rekuren.3 2. Urtikaria Kronik Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3 3. Urtikaria Kontak Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan urticarial wheals di tempat di mana agen eksternal membuat kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgEindependen).3 4. Urtikaria Fisik a. Dermographism Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism tampak sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9
Gambar 3. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9 b. Delayed dermographism
7
Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure urticaria.9 c. Delayed pressure urticaria Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit. Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan dengan tangan.9
Gambar 4. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11 d. Vibratory angioedema Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan flushing pada wajah. 9,10 e. Cold urticaria Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter). Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-rata durasi episode adalah 12 jam.9
8 Gambar 5. Cold Urticaria. 9
f. Cholinergic urticaria Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10
Gambar 6. Cold Urticaria. 9 g. Local heat urticaria Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10
Gambar 7. Local Heat Urticaria. 12
9
h. Solar urticaria Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadangkadang angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar/cahaya yang terlihat.9
Gambar 8. Solar Urticaria. 13 i. Exercise-induced anaphylaxis Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9
Gambar 9. Exercise-induced anaphylaxis.14 j. Adrenergic urticaria Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10
10
k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10
4. Sindrom Khusus a. Schnitzler syndrome Schnitzler Syndrome adalah varian unik urtikaria kronis yang ditandai oleh pruritic non-wheals yang berulang, demam intermiten, nyeri tulang, arthralgias, atau radang sendi, terdapat peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan monoclonal IgM gammopathy. 3,15 b. Muckle-Wells syndrome Muckle-Wells syndrome adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan autoinflammatory yang ditandai dengan urtikaria, arthralgia, ketulian sensorineural yang progresif, dan amiloidosis.3,16 c. Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy Pada wanita hamil dapat muncul erupsi papular urtikaria dan plak disertai gatal yang dikenal dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy (PUPP). Erupsi muncul secara tiba-tiba dengan 90% di abdomen, dan dalam beberapa hari dapat menyebar secara simetris dengan tidak melibatkan wajah.9 d. Urticarial vasculitis Presentasi klinis urticarial vaculitis dapat dibedakan dari urtikaria kronis. Berbeda dengan urtikaria kronis, lesi dari urticarial vasculitis cenderung bertahan lebih lama dari 24 jam dan berkaitan dengan sensasi panas, nyeri, dan gatal. Lesi ini juga digambarkan sebagai penyembuhan dengan atau petechiae purpura karena garukan.3 C. Patogenesis
11
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2 Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.2 Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,
12
bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.
FAKTOR NON IMUNOLOGIK
FAKTOR IMUNOLOGIK
Bahan kimia pelepas mediator (morfin,kodein)
Reaksi tipe I (IgE) (inhalan, obat, makanan, infeksi)
Reaksi tipe IV (kontaktan) Faktor fisik (panas, dingin, trauma, sinar X, cahaya)
Pengaruh komplemen
SEL MAS BASOFIL
Efek kolinergik
Aktivasi komplemen klasik – alternatif (Ag-Ab, venom, toksin)
Reaksi tipe II
Reaksi tipe III
Faktor genetik (defisiensi C1 esterase inhibitor)
PELEPASAN MEDIATOR (histamin, SRSA, serotonin, kinin, PEG, PAF)
Alkohol Emosi Demam
VASODILATASI PERMEABILITAS KAPILER ↑
Idiopatik?
URTIKARIA
13
Gambar 10. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2
D. Gejala dan Tanda 1. Gejala Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4 a. Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. b. Biduran berwarna merah muda sampai merah. c. Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul seterusnya. d. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah dan nyeri kepala. 2. Tanda Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4 a. Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. b. Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.
14
c. Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory distress, stridor, dan gastrointestinal distress. d. Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan pigmentasi. e. Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit. f. Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema. E. Diagnosis Banding 1. Angioedema Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus. Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat), serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.9 2. Pitiriasis rosea Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai. Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon
15
cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval, anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.17 3. Urtikaria pigmentosa Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal. Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.17 4. Dermatitis atopik Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka.2 5. Dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada kulit pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Penderita umumnya mengeluh gatal. Semua bagian tubuh dapat terkena. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosindan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.2,17
16
F. Diagnosis 1. Anamnesis Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah sebagai berikut: 4 a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru yang ditambahkan dalam menu makanan? b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru? Jika iya, apakah jenis obat tersebut? c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik? d. Apakah pasien sedang hamil? e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan, vibrasi? f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja? g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan serangga? 2. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,18
Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.
Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
Dermographism.
b. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa, diantaranya adalah: 9
17
Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak.
Angioedema pada bibir, lidah, atau laring.
Sklera ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya hepatitis atau penyakit kolestatik hati.
Pembesaran kelenjar tiroid.
Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma.
Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung, rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE).
Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm (asthma).
Ekstremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur.
3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta.
Pemeriksaan-pemeriksaan
seperti
komplemen,
autoantibodi,
elektrofloresis serum, faal ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema berulang tanpa urtikaria.19 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2 b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina. Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2 c. Tes Alergi Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan
18
serum pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing autoantibodies. 20 d. Tes Provokasi Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi
ini
dipertimbangkan
secara
hati-hati
untuk
menjamin
keamanannya.18 e. Tes eleminasi makanan Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2 f. Tes foto tempel Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.18 g. Suntikan mecholyl intradermal Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.2 h. Tes fisik Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu. 2 i. Pemeriksaan histopatologik Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2 Pada urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10 Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran
19
limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya. Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4 G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.3 1. First-line therapy First-line therapy terdiri dari: 3,4 a. Edukasi kepada pasien:
Menjelaskan
kepada
pasien
tentang
penyakit
urtikaria
dengan
menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan
20
angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2 Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak.2 Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3 2. Second-line therapy Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
a. Photochemotherapy Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
21
b. Antidepresan Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari.3 c. Kortikosteroid Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4 Contoh
obat
kortikosteroid
adalah
prednison,
prednisolone,
methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat
22
mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anakanak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.4 d. Leukotriene Receptor Antagonist Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.3 e. Antagonis saluran kalsium Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3 3. Third-line therapy Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen immunomodulatori,
yang
meliputi
cyclosporine,
tacrolimus,
methotrexate,
cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan warfarin.3 a. Immunomudulatory Agents
23
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan
corticosteroid-
dependent urticaria.3 Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3 b. Plasmapheresis Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.3 c. Obat lainnya Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik;
dan
telah
dikaitkan
dengan
respon
yang
baik
pada
hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3
24
URTIKARIA
First-line Therapy Edukasi Langkah non-medis ↓ Antihistamin
Second-line Therapy Farmakologi Non-farmakologi PUVA Antidepresan Kortikosteroid Leukotriene receptor antagonist Identifikasi dan menghilangkan penyebab. CCB
Third-line Therapy Immunomodulatory agent Cyclosporine Tacrolimus Plasmapheresis Obat lain: Colchicine Dapsone Hydroxychloroquine Terbutaline Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit (alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional) Gambar 11. Alur Penatalaksanaan Urtikaria. Sedang-Berat
Ringan
Berat
(Distress pernapasan, asma, edema laring)
Antihistamin H1 non sedatif
Antihistamin H1 non sedatif
Antihistamin H1 non sedatif + Kortikosteroid oral
Epinefrin subkutan ↓ Kortikosteroid sistemik (oral atau IV) ↓ Antihistamin H1 (IM)
NAC selama 3 minggu
NAC
NAC: not adequately controlled
Gambar 12. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Akut.20
25
Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal, namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama. Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan, Identifikasi menghilangkan penyebab.H1 intramuskuler.20 kortikosteroid sistemik (oral ataudan intravena), dan antihistamin Mengurangi faktor non spesifik yang memperberat vasodilatasi kulit (alkohol, aspirin, olahraga, stress emosional) NAC Antihistamin H1 non sedatif NAC Antihistamin H1 non sedatif + Tambahan obat: antihistamin H1 pada malam hari, antidepresan trisiklik, antihistamin H2.
Antihistamin H1 + kostikosteroid oral jangka pendek + pencarian/penanganan untuk urtikaria karena vaskulitis, faktor tekanan, dan lain-lain + dicoba obat lain NAC: not adequately controlled 26 Gambar 13. Pedoman Penatalaksanaan Urtikaria Kronik.20
Urtikaria kronik memberikan tantangan yang agak banyak dan seharusnya selalu dirujuk ke spesialis untuk evaluasi diagnostik dan program penanganan. Strategi penanganan awal seharusnya kembali menggunakan antihistamin H1 non sedatif. Terapi tambahan lain mungkin berguna, yaitu antihistamin H1 sedatif menjelang tidur, antidepresan trisiklik, atau antihistamin H2. Sebagai tambahan antihistamin H1 mungkin dapat disarankan untuk diawali dengan kortikosteroid jangka pendek dengan harapan dapat memotong siklus penyakit.20 H. Prognosis Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
27
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan 1. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan nonimunologik. 2. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. 3. Edukasi kepada pasien dan antagonis reseptor histamine H1 merupakan firstline therapy urtikaria. D. Saran 1. Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy. 2. Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang meneliti tentang penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat menolong memperbaiki kualitas hidup para penderita urtikaria.
28
DAFTAR PUSTAKA 1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 17 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print 2. Djuanda, A. (2008). sIlmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21. 4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 15 Desember 2009, dari http://emedicine.medscape.com/article/137362-print 5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya Plastic Surgery, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-danpenyembuhan.html 6. Anonim. (2009). Epidermal Layer. Wordpress, Gambar. Diakses 16 Desember 2009, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg 7. Anonim. (2009). Skin Anatomy and Physiology. Gambar. Diakses 16 desember 2009, dari http://www.essentialdayspa.com/images/emerginc/Skin_Anathomy_and_Physiolo gy.gif 8. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220 9. Hasan. (2009). Urtikaria. Wordpress, Artikel. Diakses tanggal 15 desember 2009, dari http://drhasan.files.wordpress.com/2009/02/refurtikariafh.doc
29
10. Siahaan, J. (2009). Urtikaria/Biduran. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://jeksonsiahaansked.blogspot.com/2009/05/urtikariabiduran.html 11. Anonim. (2009). Urticaria. Gambar. Diakses tanggal 16 Desember 2009, dari http://www.urticaria.thunderworksinc.com/pages/UrticariaPhotos/images/foot1.jp g 12. Anonim. (2006). Urticaria Info. Steadyhealth, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.steadyhealth.com/articles/user_files/4542/Image/687_urticaria.jpg 13. Ngan, V. (2009). Solar Urticaria. Dermnet, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://dermnetnz.org/reactions/img/solar-urticaria-s.jpg 14. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep, Gambar. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg 15. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf 16. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 17 Desember 2009, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf 17. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. 18. Irga. (2009). Urtikaria. Blogspot, Artikel. Diakses 16 Desember 2009, dari http://irwanashari.blogspot.com/2009/03/urtikaria.html 19. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61. 20. Rikyanto. (2006). Urtikaria dalam: Handout Bahan Ajar Kuliah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UMY.
30