Saat-Saat Jatuh Cinta Pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Pasti senang dong ya. Enak aja bawaannya. Hidup berasa nikmat banget. Rasanya nggak mantep kalo nggak cerita kepada teman-teman kalo kita sedang jatuh cinta. Biar teman-teman juga merasakan apa yang sedang kita rasakan. Bila perlu, kita cerita kepada siapa saja tentang orang yang sedang kita cintai meski orang yang kita cintai itu tak tahu bahwa dia sedang kita cintai. Kita begitu percaya diri dan mulai mencari cara untuk mendekatinya. Sobat muda muslim, kenapa kita merasa senang dan bahagia kalo jatuh cinta? Menurut Robert Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orangtua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. (http://e-psikologi.com, pada pembahasan tentang “Cinta”) Ketika jatuh cinta, kita tiba-tiba merasakan dorongan ingin bertemu dengan orang yang kita cintai. Dorongan itu bahkan sangat kuat menekan kita manakala ada orang yang membicarakan si dia, atau ada orang yang menyebutkan namanya, lebih lucunya ketika membaca tulisan yang kemudian menuliskan sebuah nama yang sama dengan nama orang yang kita cintai. Kita jadi rindu berat ingin bertemu, atau sekadar ingin berkomunikasi dengannya. BTW, ngerasain kayak gini nggak? Tapi anehnya, seringkali kita juga merasa harus jaim alias jaga imej. Pura-pura jual mahal ketika berkomunikasi atau kebetulan bertemu dengan orang yang kita cintai. Meski rasa ingin mencurahkan perasaan itu begitu kuat menekan. Lucu juga memang. Itu artinya, bahwa jatuh cinta memang unik. Tapi dengan catatan nih, biasanya jika yang jatuh cintanya itu masih malu-malu. Eh, umumnya memang malumalu kan? Jarang yang agre, gitu deh. Meski ketika jaman sudah berubah kayak sekarang, banyak pula yang agre (baca: agresif) untuk ngungkapin cintanya. Ya, seperti pada reality show, “Katakan Cinta” itu. Sobat muda muslim, ketika jatuh cinta, kita jadi merasa lembut. Baik lisan kita atau saat kita menulis. Kita mulai belajar mengatur pilihan kata saat bicara. Terutama ketika bicara dengan si dia yang telah membuat kita jatuh hati. Itu kita lakukan biasanya untuk mendapat perhatiannya. Untuk memberikan imej bahwa kita baik di hadapannya. Ujungnya, bukan tak mungkin kalo akhirnya kita mendapat simpati darinya. Awalnya memang simpati, siapa tahu lama-kelamaan menumbuhkan empati dan akhirnya jatuh hati. Bukan tak mungkin kan? Karakter cinta Jatuh cinta membuat kita merasa harus menumbuhkan perhatian, merasa harus bertanggung jawab, merasa harus hormat di hadapan orang yang kita cintai, dan merasa harus mengetahui segala seluk-beluk tentang dirinya. Erich From, murid kesayangan Sigmund Freud pernah menyampaikan bahwa dalam cinta itu harus ada empat unsur yang perlu dimiliki, yakni: Pertama, Care (perhatian). Cinta harus melahirkan perhatian pada objek yang dicintai. Kalau kita mencintai diri sendiri, maka kita akan memperhatikan kesehatan dan kebersihan diri. Kalau kita mencintai orang lain, maka kita akan memperhatikan kesulitan yang dihadapi orang tersebut dan akan berusaha meringankan bebannya. Termasuk jika kita jatuh cinta dengan mencintai lawan jenis kita, maka segala bentuk perhatian akan kita tunjukkin sama si dia. Kita jadi sering menulis namanya, menyebutkan namanya, mungkin diam-diam mengoleksi fotonya. Apalagi dengan berkembangnya teknologi informasi kita bisa mengintip diary online (blog) dirinya yang mungkin saja memajang foto dirinya. Diam-diam kita menjadi secret admirer-nya. Minimal itu. Karena tujuan mulianya adalah mendapat perhatiannya sebagai seorang kekasih. Kedua, Responsibility (tanggung jawab). Cinta harus melahirkan sikap bertanggungjawab terhadap objek yang dicintai. Orangtua yang mencintai anaknya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan material, spiritual dan masa depan anaknya. Suami yang mencintai istrinya, akan bertanggung jawab akan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangganya. Seorang jejaka atau gadis yang saling jatuh cinta, ia akan berusaha untuk memposisikan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap hubungannya. Menjaganya dan merawatnya jangan sampai kebablasan. Mereka yang ngerti ajaran Islam, maka jatuh cinta itu bukan untuk melakukan perbuatan yang dibenci oleh Sang Pemilik Cinta, yakni Allah Swt. Ia akan menjaga pandangannya, perasaan, hatinya, dan juga aktivitasnya agar tak kebablasan. Tapi, cinta bukan lagi tanggung jawab jika sepasang remaja yang dilanda cinta itu mengekspresikannya dengan cara yang membuat mereka dibenci Allah Swt, seperti seks bebas misalnya. Ketiga, Respect (hormat). Cinta harus melahirkan sikap menerima apa adanya objek yang dicintai, kelebihannya kita syukuri, kekurangannya kita terima dan perbaiki. Tidak bersikap sewenang-wenang dan selalu berikhtiar agar tidak mengecewakannya. Inilah yang disebut respect. Itu sebabnya, seringkali kita mendengar cerita ada orang yang saling jatuh cinta itu meski berbeda etnis, berbeda bahasa, berbeda budaya, bahkan ada yang sampe cinta buta, yakni berbeda agama. Itu karena merasa bahwa cinta akan melahirkan sikap menerima apa adanya. Wah, jika tak ada filter akidah memang akhirnya akan hancur. But, ini kita bicara secara umumnya lho. Bahwa cinta akan melahirkan respect kepada obyek yang kita cintai. Betul nggak? Keempat, Knowledge (pengetahuan). Cinta harus melahirkan minat untuk memahami seluk beluk objek yang dicintai. Kalau kita mencintai seorang wanita atau pria untuk dijadikan isteri atau suami, maka kita harus berusaha memahami kepribadian, latar belakang keluarga, minat, dan ketaatan beragamanya. Nggak asal jatuh cinta juga. Eh, kalo kita bicara secara umum pun, sebenarnya ketika jatuh cinta kita bakalan nyari tahu dari obyek yang kita cintai. Nah, tentu standar yang diinginkan dalam pencarian itu tergantung kepribadian orang yang bersangkutan. Ada yang merasa agama tak perlu menjadi pertimbangan, tapi ada pula yang merasa bahwa agama harus menjadi pertimbangan saat jatuh cinta. Kepada siapa kita harus mencintai. Begitu kan? But, intinya secara umum, cinta memang akan melahirkan rasa ingin tahu untuk menyelidiki si dia yang kita cintai, yang telah membuat kita jatuh hati dan jatuh cinta kepadanya. Setuju? Tetap iffah selama jatuh cinta Menurut Hamka, “Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan penghargaan, menguatkan hati dalam perjuangan, menempuh onak dan duri penghidupan.” Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ada persoalan besar yang harus diperhatikan oleh orang yang cerdas, yaitu bahwa puncak kesempurnaan, kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang ada dalam hati dan ruh tergantung pada dua hal. Pertama, karena kesempurnaan dan keindahan sesuatu yang dicintai, dalam hal ini hanya ada Allah, karenanya hanya Allah yang paling utama dicintai. Kedua, puncak kesempurnaan cinta itu sendiri, artinya derajat cinta itu yang mencapai puncak kesempurnaan dan kesungguhan. (dalam kitab al-Jawabul Kafi Liman Saala’ Anid Dawaaisy-syafi, edisi terjemah. hlm. 255) Lebih lanjut Ibnu Qayyim menjelaskan, “Semua orang yang berakal sehat menyadari bahwa kenikmatan dan kelezatan yang diperoleh dari sesuatu yang dicintai, bergantung kepada kekuatan dorongan cintanya. Jika dorongan cintanya sangat kuat, kenikmatan yang diperoleh ketika mendapatkan yang dicintainya tersebut lebih sempurna.”
Mungkin kayak kita lagi haus nih, udah gitu di siang hari dengan terik matahari yang menyengat, maka kita akan semakin haus dan semakin ingin mencari air untuk memenuhi rasa haus kita. Nah, begitu dapetin air, maka nikmatnya bener-bener terasa. Tanya kenapa? (Yee.. jadi malah ngikutin iklan?) Sobat muda muslim, kita sering mendengar bahwa jatuh cinta dan akhirnya mencintai orang yang kita cintai adalah sebagai anugerah terindah. Mungkin ada benarnya juga. Meski menurut saya itu terlalu didramatisir. Sebab, urusan cinta ini sangat kompleks, sobat. Tidak seperti hitungan matematika yang serba pasti. Tapi yang jelas dan yang paling utama, cinta bagi kita sebagai Muslim, harus sesuai sudut pandang Islam. Bukan yang lain. Guys, setiap perbuatan yang kita lakuin tuh pasti sesuai dengan cara pandang kita terhadap perbuatan tersebut. Lebih luas lagi cara pandang kita tentang hidup. Kalo kita memandang hidup tuh sekadar tumbuh, berkembang, lalu sampai titik tertentu mati (dan nggak ada kehidupan akhirat), maka perbuatan kita pun bakalan ngikutin apa yang kita pahami tentang kehidupan tersebut. Kita bisa bebas berbuat apa saja sesuai keinginan kita, karena kita merasa bahwa hidup cuma di dunia. Kehidupan setelah dunia kita anggap nggak ada. Artinya, kita jadi nggak kenal ada istilah pahala dan dosa. Sebaliknya, bagi kita yang meyakini bahwa kita berasal dari Allah Swt. yang menciptakan kita semua, maka hidup di dunia juga adalah untuk ibadah kepadaNya, dan setelah kematian kita akan hidup di alam akhirat sesuai dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Kalo banyak amal baik yang kita lakukan, insya Allah balasannya pahala dan di tempatkan di surga. Sebaliknya, kalo lebih banyak atau selama hidup kita maksiat dan nggak sempat bertobat, jelas dosa dan kita ditempatkan di akhirat di tempat yang buruk, yakni neraka. Naudzubillahi min dzalik. Nah, dengan sudut pandang terhadap kehidupan yang benar, maka ketika berbuat apapun kita akan menyesuaikan dengan cara pandang kita tentang kehidupan yang benar itu. Termasuk ketika kita jatuh cinta. Jangan mentang-mentang jatuh cinta, lalu mengekspresikan cinta seenak hawa nafsu kita. Nggak dong, Brur. Nggak asal seneng ngeliat enak dipandang mata lalu main tubruk. Nggak banget. Tapi intinya sih, kita bakalan berpikir gimana seharusnya menurut aturan Islam. Bukan berpikir sebagaimana adanya kehidupan yang saat ini dilakoni. Tolong dicatet ye. Ini penting dan perlu. Sebab, kalo yang berpikirnya “sebagaimana adanya kehidupan”, ya akan berpikir bebas nilai. Misalnya ketika manusia itu dianggap berhak melakukan apa saja dalam kehidupan yagn ada sekarang, yakni Kapitalisme-Sekularisme, maka tentu akan berbuat apa saja sesukanya (berzina, minum khamr, konsumsi narkoba, judi, pacaran dsb). Karena merasa mereka berhak ngelakuin hal tersebut. Nggak terikat aturan yang benar. Bahaya besar, Bro! Sementara yang berpikirnya “sebagaimana seharusnya”, maka ia akan nyocokkin dengan aturan yang benar. Karena menganggap kehidupan yang ada ini harus sesuai aturan yang benar, gitu lho. Dan Islamlah yang benar. Bukan yang lain. Itu sebabnya, ketika jatuh cinta pun kita harus tetap iffah alias menjaga kehormatan dan kesucian diri. Ibnu Abbas berkata bahwa orang yang jatuh cinta tidak akan masuk surga kecuali ia bersabar dan bersikap iffah karena Allah dan menyimpan cintanya karena Allah. Dan, ini tidak akan terjadi kecuali bila ia mampu menahan perasaannya kepada ma’syuq-nya (kepada orang yang dicintainya), mengutamakan cinta kepada Allah, takut kepadaNya, dan ridha denganNya. Orang seperti ini yang paling berhak mendapat derajat yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam al-Quran: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS an-Naazi’aat [79]: 40-41) Kita boleh dan wajar-wajar aja untuk jatuh cinta. Tapi, tetap harus menjaga kehormatan dan kesucian diri. Yakni dengan cara tetap menjadikan Allah dan RasulNya sebagai pemandu hidup kita. Kita melakukan perbuatan atas dasar petunjuk dari Allah lewat al-Quran dan petunjuk dari Rasulullah saw. berupa as-Sunnah. Inilah pedoman hidup kita. Oke? [solihin:
[email protected]]
Yuk, Kita Bersyukur! Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, dan hanya bagi Allah semata. Allah Swt. adalah Dzat yang satu-satunya kita sembah dan kita mintai pertolongan. Nggak ada yang lain. Sebab, Dia telah memberikan segalanya bagi kita dan kehidupan kita. Kayaknya nggak pantes banget kalo sampe kita tidak bersyukur kepadaNya. Minimal banget adalah dengan mengucap “alhamdulillah” atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada kita. Tul nggak sih? Sobat muda muslim, bersyukur kepada Allah Swt. adalah sebagai bentuk “serah diri” kita kepadaNya. Kita bisa hidup, sehat jasmani, bisa makan dan minum, bisa mengenyam pendidikan, dan bisa mendapatkan berbagai kenikmatan dunia lainnya. Termasuk, kita wajib bersyukur karena kita menjadi Muslim. Suer, menjadi Muslim itu kebanggaan tersendiri dan tentu saja anugerah terindah yang kita miliki. Nggak bisa ditukar dengan duit sebesar apa pun. Itu sebabnya, kita wajib bersyukur. Ya, jangan sampe kita bisa mengucap alhamdulillah hanya saat dapetin makanan dan minuman yang enak atau bentuk materi lainnya. Dan kita merasa inilah yang harus kita syukuri. Itu benar. Tapi, kalo menganggap bahwa kenikmatan hanya sebatas makanan dan minuman aja, kayaknya perlu di-upgrade deh pemahamannya. Karena Allah Swt. nggak cuma ngasih itu, tapi udah ngasih kita pendengaran, penglihatan, dan juga akal. Justru inilah pemberian yang termasuk berharga banget buat kita. Tentu, wajib kita bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Kalo nggak? Waduh, jangan sampe deh Allah Swt. murka kepada kita. Seorang sahabat Nabi saw. bernama Abû Dardâ ra pernah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak melihat (merasakan) nikmat yang Allah berikan kepadanya kecuali hanya pada makanan dan minumannya, maka sesungguhnya ilmu (ma’rifat-nya) sangat dangkal dan azab pun telah menantinya” (Abu Hayyân al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth fî al-Tafsîr, jilid 6, hlm. 441. Maktabah Tijâriyyah Musthafa al-Bâz) Dalam al-Quran Allah azza wa jalla menyampaikan firmanNya: “Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal)”. Tetapi amat sedikit kamu bersyukur.” (QS al-Mulk [67]: 23) Wah, wah, Allah seolah-olah ‘nyindir’ ama kita-kita nih kalo sampe kita nggak bersyukur kepadaNya. Tapi kalo dipikir-pikir emang bener juga sih. Manusia di seluruh dunia ini, kayaknya sedikit juga yang benar-benar bersyukur (lha, buktinya Allah Swt. menyatakan dalam firmanNya begitu). Silakan kamu tengok kanan-kiri, depan-belakang. Teman kita, tetangga kita, atau bahkan kita sendiri malah nggak bersyukur dengan nikmat ini. Duh, malu deh.
Kalo emang benar-benar bersyukur sih, kita harusnya bisa memanfaatkannya untuk kebaikan seraya memuji Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Swt. Memuji tentu bukan sekadar mengucap “alhamdulillah”, tapi juga terwujud dalam perilaku dan gaya hidup kita yang hanya mau diatur oleh Allah Swt. Diatur? Yup, karena kita udah berjanji dalam sholat wajib lima waktu sehari. Paling nggak kan dalam sholat baca surat al-Fatihah sebanyak 17 kali sehari. Ada pengakuan jujur dari kita bahwa hanya Allah sajalah, tiada yang lain yang disembah dan dimintai pertolongan: “Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”. Dalam ilmu balaghah, untuk menggambarkan makna “membatasi” atau pengkhususan dikenal dengan istilah “Taqdiimu maa ahaqqohu atta’khiiru” (mendahulukan yang seharusnya diakhirkan). Seperti dalam kalimat “Iyyaka na’budu” (hanya Engkaulah yang kami sembah). Berarti ini menutup kemungkinan bagi yang lain yang akan kita sembah. Akan berbeda jika ditulis: “Na’budu iyyaka” (kami menyembahMu). Secara ilmu nahwu boleh juga ditulis seperti itu. Tapi rasa bahasanya lain, dan pernyataan itu masih ada kemungkinan untuk menyembah yang lain selain Allah. Itu sebabnya, dalam hidup ini hanya kepada Allah sajalah kita menyerahkan segala urusan. Bukan kepada yang lain. Itu artinya pula, bahwa hanya kepada Allah sajalah kita menghaturkan pujian sebagai rasa syukur atas karuniaNya kepada kita selama ini. Bersyukurkah kita? Waduh, nggak berani deh tunjuk jari kalo diajukan pertanyaan seperti ini. Tapi, sejujurnya emang kepengen banget menjadi orang yang bersyukur. Bahkan ingin tetap menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah Swt. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh ulama terkemuka, menjelaskan bahwa hakikat syukur kepada Allah itu adalah tampaknya bekas nikmat Allah pada lisan sang hamba dalam bentuk pujian dan pengakuan, di dalam hatinya dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta, dan pada anggota tubuhnya dalam bentuk patuh dan taat. (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Tahdzîb Madârij al-sâlikîn oleh Abdul Mun‘im al‘Izzî, hlm. 348) So, kita bisa ngukur diri kita dengan penjelasan dari Ustadz Ibnu Qayyim ini. Lisan kita apakah selalu mengucap pujian dan pengakuan kepada Allah Swt. Sang Pemberi nikmat kepada kita? Apakah lisan kita terbiasa mengucapkan alhamdulillah? Atau malah nggak pernah sama sekali? Termasuk mengakui Allah Swt. sebagai Pencipta sekaligus yang memberi nikmat kepada kita? Pertanyaan ini cuma kita sendiri yang bisa jawab. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang bersyukur. Terus, dalam hati kita, apakah udah kita wujudkan dalam bentuk kesaksian dan rasa cinta kepada Allah Swt. Bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang wajib disembah kecuali Allah Swt. Itu sebabnya, tumbuh rasa cinta yang paling kuat dan besar hanya kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt. menjelaskan dalam firmanNya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat (besar) cintanya kepada Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 165) Lalu, membekaskah rasa syukur kita kepada Allah dengan penampakkan anggota tubuh kita dalam bentuk patuh dan taat kepadaNya? Mari kita mengukur diri kita. Seberapa pantas kita bersyukur yang terwujud pada patuh dan taat kepada Allah Swt. Kita bisa bertanya, apakah selama ini, kita sudah patuh dan mentaati perintahNya? Sholat, puasa wajib Ramadhan, dan zakat pernah kita lakukan dengan sungguh-sungguh karena ketaatan dan kepatuhan kita kepadaNya? Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah dalam kehidupan sehari-hari kita sudah mematuhi perintahNya? Kewajiban menutup aurat misalnya, udah ditetapkan Allah Swt. dan Rasulnya. Bagi anak cewek yang udah baligh, nggak boleh keluar rumah menampakkan auratnya. Jadi, harus ditutup tubuhnya dengan busana muslimah, yakni jilbab dan kerudung. Anak cowok yang udah baligh juga sama, meski batasan auratnya nggak seketat anak cewek, anak cowok kalo keluar rumah daerah pusar ame lutut kudu tertutup. Karena itu auratnya. Kayaknya udah pada paham deh soal ini. Yang perlu diingatkan lagi tuh pengamalannya. Sebab, ngamalinnya emang yang rada-rada males, gitu. Pantesan Allah Swt. menyindir manusia karena ternyata sangat sedikit yang bersyukur kepadaNya. Imam Ibn Qayyim dalam kitab yang sama lebih lanjut menjelaskan bahwa syukur itu mempunyai 5 (lima) pilar pokok yang apa bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur menjadi batal dan dianggap belum bersyukur. Lima pilar pokok itu adalah: Pertama, kepatuhan orang yang bersyukur kepada Pemberi nikmat. Kedua, mencintaiNya. Ketiga, mengakui nikmat dariNya. Keempat, memujiNya atas nikmatNya. Dan yang kelima, tidak menggunakan nikmat yang diberikanNya untuk sesuatu yang tidak Dia sukai. Sobat muda muslim, ini penting banget kita ketahui. Biar kita bisa bersyukur kepada Allah Swt. dan dengan cara yang benar. Khusus penjelasan terakhir dari pilar pokok bersyukur, yakni nggak menggunakan nikmat yang diberikanNya untuk sesuatu yang nggak Dia sukai. Jelas banget. Lha kalo ortu kita aja ngasih duit ke kita, terus duit itu kita gunakan buat hura-hura dan bahkan maksiat, pasti ortu kita marah besar. Nah, apalagi Allah Swt.? Tul nggak sih? Seperti kemarin-kemarin ada syukuran atas kemerdekaan negeri ini. Acara “Tujuhbelasan” dirayakan dengan meriah di berbagai tempat. Sebagian besar dari kita suka-cita. Tapi, begitukah cara bersyukur? Atau pertanyaan yang seharusnya: “Benarkah sudah merdeka jika ketaatan, kepatuhan, dan penyerahan diri ditujukan bukan kepada Allah Swt? Benarkah kita harus merasa bergembira dan bersyukur sementara aturan Sang Pemberi nikmat malah dicampakkan? Lalu setia diatur oleh sistem Kapitalisme-sekularisme dengan instrumen politiknya bernama demokrasi?” Ah, betapa akan murka Allah Swt. kepada kita. Naudzubillahi min dzalik. Terusirnya penjajah dari negeri kita memang anugerah. Tapi, kalo kemudian pemberian itu malah diisi dengan cara menjadikan hukum selain Allah sebagai pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, ya tentunya belum dikatakan bersyukur. Karena udah mengkhianati Sang Pemberi nikmat, yakni Allah Swt., ketika kita nggak mau diatur oleh syariatNya. Nggak adil en nggak pantes mengkhianati Allah Swt. Tolong catet ye. Bersyukur dan ridha dengan aturanNya Yuk, kita bersyukur. Baik dalam lisan, hati, dan perbuatan kita. Harus kita wujudkan tuh jika benar-benar mengakui dan mencintai Allah Swt. yang udah ngasih begitu banyak nikmat kepada kita sebagai manusia. Bukan cuma karena kita Muslim. Sebab, al-Quran sebenarnya adalah kabar gembira dan peringatan bagi manusia secara umum. Manusia yang sadar dan beriman tentu beda banget dengan yang
nggak sadar dan nggak beriman. Tul nggak sih? So, jangan sampe menunggu Allah murka kepada kita gara-gara kita nggak bersyukur dengan benar kepadaNya. Sobat muda muslim, pembuktian kalo kita bersyukur itu adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Itu sebabnya, jangan coba-coba malapraktik dengan cara kita sendiri untuk ngatur kehidupan manusia. Pedoman hidup kita cukup al-Quran saja. Bukan aturan yang lain. Allah menjelaskan dalam firmanNya: “Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,” (QS al-Israa’ [17]: 9) Dalam ayat lain Allah Swt. menyampaikan (artinya): “Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS al-Baqarah [2]: 2) Jadi, Allah Swt. memang meminta kita mentaati petunjukNya. Tapi kalo kita bandel, malah memilih petunjuk selain aturan Allah untuk jalan hidup kita, berarti kita belum bersyukur dan justru malah mengkhianatiNya. Allah Swt. mengingatkan kita dengan firmanNya (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, (dengan) kesesatan yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36) Oke deh sobat, semoga kita menjadi hamba yang bersyukur dan taat kepadaNya. Amin. [solihin:
[email protected]]
Antara Ukhuwah dan Pacaran Maksud hati ingin ukhuwah dengan lawan jenis, tapi malah terjebak dalam pacaran. Tadinya pengen menjalin ukhuwah islamiyah, tapi apa daya kecemplung jadi demenan. He..he.. jangan heran atuh, sebab hubungan dengan lawan jenis itu rentan banget disusupi oleh perasaan-perasaan lain yang getarannya lebih dahsyat. Apalagi kalo ditambah naik bajaj, dijamin tambah menggigil karena vibrasinya kuat banget (apa hubungannya?) ? Sobat muda muslim, sesama aktivis masjid atau organisasi kerohanian di sekolah dan kampus, selalu saja muncul hal-hal tak terduga. Cinta lokasi kerap mewarnai perjalanan hidup mereka. Iya dong, aktivis juga kan manusia. Wajar banget dong untuk merasakan hal-hal seperti itu. Apalagi mereka sama-sama sering bertemu. Bukankah pepatah Jawa mengatakan, witing tresno jalaran soko kulino sering jadi rujukan untuk menggambarkan perasaan itu? Ati-ati! Hmm? rasa cinta itu muncul karena seringnya bersama atau bertemu, begitu maksudnya? Yup, kamu cukup cerdas dalam masalah ini. Iya, jadi jangan kaget or heran kalo sesama aktivis pengajian muncul perasaan itu. Apalagi di antara mereka udah saling mengetahui kebiasaan masing-masing. Dijamin perasaan ?ser-seran? keduanya dijembatani oleh seringnya komunikasi dan frekuensi pertemuan. Udah deh, panah-panah asmara mulai dilepaskan dari busur masing-masing dalam nuraninya. Duh gusti, itu artinya sang panah asmara siap menembus hati masing-masing. Siap memekarkan bunga-bunga di taman hati mereka. Seterusnya, jatuh hati dan saling memendam rindu. Uhuy! Jadi, kalo nggak kuat-kuat amat imannya, kamu bakalan melakoni aktivitas pacaran sebagaimana layaknya dilakukan oleh mereka yang masih awam sama ajaran agama. Nggak terasa, di antara kamu mulai berani janjian untuk ketemu di masjid. Walau mungkin masih malumalu. Tapi jangan salah lho, jika nafsu udah jadi panglima, akal sehat kamu pasti keroconya. Kamu lalu deklarasi, ?akal sehat saatnya minggir!?. Waduh, gimana jadinya kalo sesama aktivis malah terjebak dalam perasaan-perasaan seperti ini? Sobat muda muslim, memang ukhuwah itu tidak dibatasi cuma kepada satu jenis manusia aja, tapi kepada dua jenis sekaligus, yakni laki dan wanita. Bahkan ukhuwah islamiyah berdimensi sangat luas, yakni nggak dibatasi oleh waktu dan tempat. Kapan pun dan di mana mereka berada, asal mereka adalah muslim, itu saudara kita. Hanya saja, untuk ukhuwah dengan lawan jenis, memang ada aturan mainnya sendiri, sobat. Nggak sembarangan, atau nggak sebebas dalam bergaulnya seperti kepada teman satu jenis. Itu sebabnya, kita bahas masalah ini di buletin kesayangan kamu ini. Betul? Loading? Ketika cinta mulai menggoda Rasa cinta itu unik. Nggak mengenal status seseorang, dan juga suka tiba-tiba aja datang. Hadir dalam jiwa, menggerogoti hati, mengaduk-mengaduk perasaan, yang akhirnya muncul rasa suka dan rindu. Duh, banyak pujangga yang berhasil menorehkan kata-kata puitisnya tentang cinta. Sebab cinta itu naluriah. Pasti dimiliki oleh seluruh manusia, termasuk hewan. Allah udah memberikan rasa itu kepada manusia. Firman-Nya: ?Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,? (QS Ali Imraan [3]:14) Nah, gimana jadinya kalo sesama aktivis pengajian muncul rasa cinta? Nggak masalah. Sah-sah saja kok. Bahkan sangat mungkin terjadi. Itu naluriah. Cuma, tetap harus aman dan terkendali. Nggak boleh mengganggu stabilitas nasional (ciiee.. bahasanya pejabat banget tuh!). Iya, saat cinta menggoda, jarang yang bisa bertahan dari godaannya yang kadang menggelapkan mata dan hati seseorang. Jangan heran dong kalo sampe ada yang nekat pacaran. Wah, aktivis pengajian kok pacaran? Sobat muda muslim, itu sebabnya kamu kudu bisa jaga diri. Ukhuwah islamiyah di antara sesama aktivis pengajian tentunya nggak dinodai dengan perbuatan yang mencemarkan nama baik organisasi, nama baik kamu, nama baik sesama aktivis pengajian, dan yang jelas kesucian Islam. Jangan sampe ada omongan, ?aktivis pengajian aja pacarannya kuat, tuh! Muna deh!?. Coba, gimana kalo sampe ada yang bilang begitu? Nyesek banget kan? Jelas lebih dahsyat dari wabah SARS tuh! Upss... Kalo udah gitu, bisa ngerusak predikat tuh. Bener. Sebab, serangan kepada orang yang punya predikat ?paham agama? lebih kenceng. Jadi kalo ada aktivis pengajian yang pacaran, orang di sekililing mereka dengan sengit mengolok-olok, mencemooh, bahkan mencibir sinis. Kejam juga ya? Bandingkan dengan orang yang belum paham agama, atau nggak aktif di organisasi kerohanian Islam, biasa-biasa aja tuh. Sobat, inilah semacam ?hukuman sosial? yang kudu ditanggung seseorang yang udah dipandang ngerti. Padahal, sama aja dosanya. Tapi, seolah lebih besar kalo itu dilakukan oleh aktivis pengajian. Gawat! Wajar juga sih pandangan seperti itu. Sebab, umat kan lagi nyari siapa yang dapat ia percayai dan teladani dalam kehidupannya. Jadi, jangan khianati kepercayaan mereka kepadamu hanya gara-gara soal cinta yang kebablasan. Sebab, mereka menganggap bahwa kamu mampu menjaga diri dan mungkin orang lain. Nah, kalo kemudian kamu melakukan perbuatan yang merendahkan martabatmu, rasanya pantes banget kalo kemudian mereka nggak percaya lagi sama kamu yang aktif di pegajian. Betul apa betul?
Sobat muda muslim, cinta seketika bisa datang menggoda, hadir dalam jiwa, memenuhi rongga dada, dan membawa asa yang menghempaskan segala duka yang pernah ada. Hmm.. kalo itu yang kamu rasakan, harap hati-hati. Ukhuwah di antara kamu jangan dinodai dengan aktivitas bejat, meskipun atas nama cinta. Berbahaya. Jangan heran kalo Kahlil Gibran pernah bikin puisi seperti ini: ?Cinta berlalu di hadapan kita, terbalut dalam kerendahan hati, tetapi kita lari darinya dalam ketakutan, atau bersembunyi di dalam kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya? Jaga jarak aman! Idih, emangnya mengendarai mobil sampe dibilang jaga jarak aman? He..he..he... jangan salah euy, justru yang berbahaya adalah karena seringnya deketen, apalagi sampe gesekan segala (emangnya kartu kredit main gesek?). Jaga jarak aman adalah cara ampuh menjaga hati kita untuk tidak melakukan aktivitas berbahaya. Bukankah seringkali kamu tak berdaya jika deketan sama orang yang kamu incer? Sebab, kalo nggak diatur dengan batasan ajaran agama, kamu bisa kebablasan berbuat tuh. Bener. Jangan sampe kamu lakuin. BTW, apa aja sih batasan bergaul dengan lawan jenis, khususnya sesama aktivis? Iya, biar kita jadi ngeh, apa yang boleh dilakukan dan mana yang terlarang untuk dilakoni. Supaya ukhuwah kita nggak bias dengan pacaran. Pertama, kurangi frekuensi pertemuan yang nggak perlu. Memang, kalau sudah cinta, berpisah sejam serasa 60 menit, eh maksudnya setahun. Bawaannya pengen ketemu melulu. It?s not good for your health, guys! Ini nggak sehat. Perbuatan seperti itu bukannya meredam gejolak, tapi akan memperparah suasana hati kita. Pikiran dan konsentrasi kita malah makin nggak karuan. Selain itu bukan mustahil kalau kebaikan yang kita kerjakan jadi tidak ikhlas karena Allah. Misal, karena si doi jadi moderator di acara pengajian, eh kita bela-belain datang karena pengen ngeliat si doi, bukan untuk nyimak pengajiannya itu sendiri. Yup, kurangi frekuensi pertemuan, apalagi kalau memang tidak perlu. Kalau sekadar untuk minjem buku catatan, ngapain minjem pada si doi, cari aja teman lain yang bisa kita pinjam bukunya. Lagipula, kalau kamu nggak sabaran, khawatir ada pandangan negatif dari si doi. Bisa-bisa kamu dicap sebagai ikhwan atau akhwat yang agre (maksudnya agresif). Zwing...zwing.. gubrak! Kedua, jangan ?menggoda? dengan gaya bicara dan penampilan yang gimanaa.. gitu. Jadi, ketika kamu berbicara dengan lawan jenis harus diperhatikan intonasi dan gaya bicaranya. Bagi wanita, jangan sekali-kali ketika berinteraksi dengan anak cowok menggunakan gaya bicara yang mendayu-dayu kayak penyanyi dangdut. Suaranya dibuat merdu merayu hingga menyisakan rasa penasaran yang amat sangat bagi kaum lelaki. Wow! Firman Allah:? ?Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut (mengucapkan perkataan, nanti orang-orang yang dalam hatinya ragu ingin kepadamu. Dan berkatalah dengan perkataan yang baik. ? (QS. al-Ahzab [33]: 32) Ketiga, menutup aurat. Nggak salah neh? Kalo aktivis kan udah ngeh soal itu Bang? Bener. Harusnya memang begitu. Tapi, banyak juga yang belum tahu bagaimana cara mengenakan busana sesuai syariat. Akhwatnya masih pake kerudung gaul yang ?cepak? abis! (kalo yang bener kan ?gondrong?. He..he..). Iya, kerudungnya aja modis banget. Pake lipstik lagi bibirnya. Bedakannya tebel banget pula. Minyak wanginya? Bikin ikan sekom ngapung! Jadi buat para akhwat, jangan tabarujj deh. Duh, kebayang banget lucunya kalo aktivis pengajian tabarujj alias tampil pol-polan dengan memamerkan kecantikannya. Jangan ya, Allah Swt. berfirman: ?...dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu? (QS al-Ahzab [33]: 33) Banyak lho yang mengaku aktivis masjid tapi kelakuannya masih begitu. Jadi, mari kita sama-sama membenahi diri kita dan juga temanteman yang lain sesama aktivis masjid. perubahan memang butuh proses. Tapi, kudu dimulai dari sekarang. Siap kan? Heu-euh! Keempat, kurangi berhubungan. Mungkin ketemu langsung sih nggak, tapi komunikasi jalan terus tuh. Mulai dari sarana ?tradisional? macam surat via pos, sampe yang udah canggih macam via telepon, HP, dan juga internet. Wuih, ketemu langsung emang jarang, tapi kirim SMS dan nelponnya kuat. Apalagi kalo urusan chatting, pake ada jadwalnya segala. Udah gitu, kirim-kirim e-mail pula. Hmm... jadi tetep berhubungan kan? Emang sih bukan masuk kategori khalwat. Tapi kan bisa menumbuhkan rasa cinta, suka, dan sayang? Nggak percaya? Jangan dicoba! He..he.. Kelima, jaga hati. Ya, meski sesama aktivis pengajian, bisikan setan tetap berlaku. Bahkan sangat boleh jadi makin kuat komporannya. Itu sebabnya, kalo hatimu panas terus karena panah asmara itu, dinginkan hati dengan banyak mengingat Allah. Mengingat dosa-dosa yang udah kita lakukan ketika sholat dan membaca al-Quran. Firman Allah Swt.: ?Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.? (arRa?du [13]: 28) Oke deh, kamu udah punya modal sekarang. Hati-hatilah dalam bergaul dengan teman satu pengajian. Jaga diri, kesucian, dan kehormatan kamu dan temanmu. Jangan nekat berbuat maksiat. Kalo udah TKD alias Teu Kuat Deui, segera menikah saja (kalo emang udah mampu). Kalo belum mampu? Banyakin aktivitas bermanfaat dan seringlah berpuasa. Emang sih kalo pengen ideal, kudu ada kerjasama semua pihak; individu, masyarakat dan juga negara. Hmm.. soal cinta juga urusan negara ya? Negara wajib meredam dan memberantas faktor-faktor yang selalu ngomporin masyarakat untuk berbuat yang nggak-nggak. Betul? Jadi, jangan sampe ukhuwah kita berubah jadi demenan! Catet yo.?