Operating_prosedures_ground_handling.docx

  • Uploaded by: tiko
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Operating_prosedures_ground_handling.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 18,272
  • Pages: 65
OPERATING PROSEDURES GROUND HANDLING PENDAHULUAN Pelayanan ground handling kepada perusahaan penerbangan schedule dan unshedule domestik yang melayani : 1. Passenger and baggage handling; 2. Ramp safety; 3. Ramp handling; 4. Pelaksanaan loading unloading; 5. Flight operating; 6. Aircraft interior cleaning; Pelayanan oleh ground handling secara garis besar dibagi dua yaitu : 1. Pelayanan di terminal. 2. Pelayanan di apron. Semua pelayanan yang diberikan kepada penerbangan domestik seperti ters ebut diatas berdasarkan referensi dari IATA airport handling manual (AHM) dan procedure of Air Carrier dari masing masing perusahaan penerbangan (customer) yang dilayani. Dalam memberikan pelayanan kepada customer perlu disiapkan prosedur-prosedur pelaksanaan yang disebut Standard Operating Procedure (SOP). PENANGANAN PENUMPANG 1.Persiapan 1.1. Persiapan sebelum membuka Check-in Couter 1.1.1. Ground Handling Agent dari Airlines menempatkan seorang pengawas (Supervisor) untuk setiap flight yang akan ditangani yang bertanggung jawab terhadap seluruh proses pelayanan penumpang dan bagasi, mulai dari persiapan membuka sampai dengan penutupan check-in counter dan membuat final passenger and baggage report kepada Airlines yang dilayani. 1.1.2. Untuk mengetahui data-data suatu penerbangan yang menyangkut jumlah penumpang-penumpang yang memerlukan penanganan khusus, irregularities dan lain-lain,agar mengacu kepada: a. Flight information list yang diterima dari Airlines dalam hal MPA b. Data (telex, facsimili ata email) dari airlines yang berisi informasi penting tentang penerbangan yang akan dilayani. c. Data-data yang diterima baik melalui Flight Information List atau telex, facsimili dan email tersebut, agar dimasukkan kedalam sistem secara lengkap sebelum membuka check-in counter,sehingga memungkinkan para airlines untuk merekomendasikan adanya, seat request, VIP, CIP, PRST, PROM, FAMS, STCR, WCHR/C, SPML, Flight Irregularity dan lain-lain. 1.1.3. Untuk melayani MPA, 2 (dua) jam sebelum check-in counter dibuka, maka pengawas (Supervisor) akan mendapat briefing dari airlines dan diberi briefing sheet yang berisi informasi mengenai flight yang akan ditangani pada saat itu. 1.1.4. Briefing khusus akan diberikan oleh pengawas (Supervisor) kepada seluruh petugas yang akan melaksanakan proses pelayanan penerbangan, sebelum check-in counter dibuka. 1.1.5. Petugas check-in counter yang ditunjuk untuk bertugas, harus mempunyai pengetahuan tentang airlines busines,ground handling business, wawasan pekerjaan yang cukup luas dan memiliki service manner yang baik serta mengerti produk airlines yang dilayani. 1.1.6. Segera setelah mendapat briefing dari supervisor, semua petugas check-in counter menempati posisi masing-masing dan yakin bahwa seluruh persiapan dan peralatan yang akan digunakan betul-betul telah siap. 1.2. Persiapan keberangkatan 1.2.1. Passenger Name list (PNL)/ passenger Manifest dan dokumen lain yang telah disiapkan oleh Airlines, diserahkan kepada petugas , kemudian diperbanyak ( dibuat copy-nya) dan diteruskan/didistribusikan kepada unit yang membutuhkan. 1.2.2. Menempatkan nomor penerbangan/boarding time/informasi lainnya dalam solary board sesuai jadwal penerbangan pada saat itu. 1.2.3. Menempatkan petugas yang sesuai dengan kualifikasi. 1.2.4. Mempersiapkan dan memeriksa peralatan penunjang

check-in Counter seperti; a. Display Terminal (DT)dan printer. b. Boarding pass, Bagage Tag, Cabin Tag, Interline Tag, priority Tag, Limited & Release Tag, Fragile Tag/Stick er, doorside Tag, Voucher, Amplop Security Items, Excess Baggage Form dan dokumen penunjang lainnya. c. Seating Plan yang dibuat berdasarkan PNL dan PBS. d. Buku Travel Information Manual (TIM). 1.2.5. Memeriksa Daily Log/Daily Checklist ( untuk MPA ). 1.2.6. Melakukan Flight Editing berdasarkan/sesuai dengan passenger Boarding Survey (PBS)/ Passenger Boarding Information (PBI). 1.2.7. Menyiapkan PNL sebagai back-up apabila sistem/komputer tidak berfungsi. 1.2.8. Membuat laporan kepada Airlines apabila ada kekurangan dalam hal pemesanan catering. 1.2.9. Memeriksa buku partikular( Daily partikular Book) untuk mengetahui informasi mengenal special handling/restricted penumpang yang membutuhkan penanganan khusus. 1.2.10. Mengisi buku Daily Flight Record setelah pesawat berangkat. 2. Check-in 2.1. Persiapan (15 menit sebelum check-in dibuka) 2.1.1. Memeriksa data-data dan berita untuk mengetahui jika ada informasi penting seperti,VIP, Flight Irregular dan lain-lain. 2.1.2. Memastikan petugas bahwa yang ditempatkan di counter sudah sesuai kualifikasi, memiliki pengetahuan bisnis Airlines dan Service Manner yang baik. 2.1.3. Jumlah petugas yang ditempatkan di counter Check-in adalah sebagai berikut: 2 Orang petugas general flight 2 Orang petugas pelaksanaan dokumen 2.1.4. Seorang Controler bertanggung jawab untuk setiap 2(dua) penerbangan / pesawat dalam hal closing flight, penerimaan penumpang cadangan, pengaturan antrian dan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Seorang Supervisor bertanggung jawab terhadap seluruh proses check-in, mulai dari awal sampai selesai dan menyiapkan data penumpang dan bagasi. 2.2. Aktifitas Check-in ( 2jam sebelum STD ) 2.2.1 Semua petugas check-in counter harus berada di check-in Counter. 2.2.2 Semua proses pekerjaan dilaksanakan dengan tepat dan cepat. Oleh sebab itu yang harus diperhatikan oleh setiap petugas check-in. 2.2.2.1. Memberi salam/greeting kepada penumpang de ngan senyumdan sikap baik. 2.2.2.2. Melayani penumpang dengan ramah dan sopan ( Sebaiknya tidak menggunakan kode-kode penerbangan atau kata / kalimat-kalimat yang bersifat teknis penerbanngan) 2.2.3. memeriksa tiket/ flight coupon milik penumpang untuk memastikan bahwa: 2.2.3.1. Nama penumpang yang tercantum dalam ticket sesuai dengan nama penumpang yang ada dalam dokumen perjalanannya. 2.2.3.2. Keaslian tiket penumpang dan tiket tersebut tidak tercantum dalam tiket sesuai dengan nama penumpang yang ada dalam dokumen perjalanannya. 2.2.3.3. Tiket penumpang masih berlaku dan flight coupon digunakan secara berurutan (validity ticket sangat pentang). 2.2.3.4. Class Of Service yang tertera dalam flight coupon sesuai dengan class of service yang telah dibukukan. 2.2.3.5. harga dan pajak yang tertera dalam tiket sesuai dengan rute yang akan diterbangi oleh penumpang. 2.2.3.6. Memeriksa pembukuan penerbangan lanjutan melalui tempat kedatangan dan mendapatkan informasi yang benar mengenai batasan waktu penerbangan lanjutan. 2.2.4. Melakukan pengecekan terhadap bagasi penumpang: 2.2.4.1. Pastikan label nama melekat pada seluruh bagasi penumpang. Pastikan bahwa tidak ada barang-barang berharga didalam bagasi penumpang. 2.2.4.2. Hitung atau timbang seluruh checked baggage dan unchecked baggage ( tidak termasuk freehand baggage )

danmasukkan jumlah dan berat bagasi ke dalam kolom yang tersedia pada tiket dan sistem (komputer) a. Jumlah unchecked baggage tidak boleh melebihi dari aturan yang telah ditetapkan yaitu satu unchecked baggage per penumpang. b. Tempelkan ID Tag pada seluruh unchecked baggage. c. Catat nomor tempat duduk ke dalam tiket/flight coupon sebagai back-up apabila sistem/komputer mati. 2.2.4.4 Catat berat aktual bagasi pada label bagasi dan memaksukkan data kedalam manifest. 2.2.4.5 Pemberian diskon untuk bagasi lebih bagi penumpang hanya dapat dilakukan oleh pihak Airlines 2.2.5. Melakukan proses pengeluaran boarding pass : 2.2.5.1. Menanyakan kepada penumpang, tempat duduk yang diingikan. 2.2.5.2. pastikan bahwa flight coupon yang disobek sesuai dengan tujuan perjalanan penumpang dan tempelkan pada boarding passnya. 2.2.5.3. Untuk penumpang OSTCI (transit), flight coupon untuk tujuan penerbangan terakhir harus dilekatkan pada boarding pass lanjutannya. 2.2.5.4. Masukkan nomor tiket ke dalam sistem. 2.2.5.5. Pada saat memberikan boarding pass kepada penumpang, pastikan kembali apakah nama dan tempat duduk yang diinginkan penumpang telah sesuai. ( Apabila penumpang ditempatkan di emergency jelaskan mengenai fungsi exit row tersebut). 2.2.6. Melakukan Final check-In : Mengarahkan dan membantu penumpang : 2.2.6.1. Selama proses check-in berlangsung, beritahukan penumpang agar melakukan pengisian E/D Card dan memberitahukan penumpang dimana harus menunggu. 2.2.6.2. Dengan sopan memberitahukan kepada penumpang mengenai gate number, tempat duduk dan waktu tutup pintu pesawat. 2.2.6.3. Memberikan pelayanan tambahan kepada penumpang apabila diperlukan. 2.2.6.4. Dalam kegiatan pelayanan ini pastikan bahwa petugas check-in counter sudah berinteraksi dengan baik dengan penumpang ,sehingga penumpang secara langsung dapat merasakan mutu pelayanan baik dan prima. 2.3. Prosedur Keberangkatan lainnya. 2.3.1. Setelah proses check-in selesai dan apabila ada penumpang khusus, tugaskan petugas tambahan sebagai pendamping untuk melayani penumpang khusus tersebut menuju boarding lounge. 2.3.2. Limited Release Tag selalu dipasang pada bagasi penumpang, untuk keperluan di bawah ini : 2.3.2.1. Bagasi yang kondisinya telah rusak pada saat diterima. 2.3.2.2. Bagasi yang terlambat di check-in kan, (late check-in). 2.3.2.3. Bagasi yang didalamnya terdapat barang-barang yang mudah pecah, mudah rusak atau mudah busuk. 2.3.2.4. Bagasi yang kemasannya tidak/kurang layak berupa kardus, keranjang dan kemasan yang tidak cukup kuat untuk menjaga agar isi bagasi tidak tercecer. 2.3.2.5. Bagasi yang terkena sweeping di area boarding Gate. 2.3.2.6. Binatang hidup (beserta kandangnya). 2.3.2.7. Alat surfing / perlengkapan golf. 2.3.3. Dengan cara yang sopan, jelaskan kepada penumpang agar carry-on bagasi yang ukurannya besar dan jumlahnya melebihi aturan yang berlaku ( satu Carry-on bagasi per penumpang) diperiksa untuk tujuan keamanan dan kanyamanan penerbangan. 2.3.4. Memeriksa/melihat keadaan/kondisi penumpang yang meminta tempat duduk di exit door. 2.3.5. Bayi, UM, Incap, Ibu Hamil dan orang tua tidak boleh ditempatkan di emergency exit. 2.3.6 Melaporkan kepada Airlines dan mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan prosedur yang berlaku (menolak menerima penumpang) apabila berhadapan dengan penumpang yang diduga dokumen perjalanannya palsu, tuna netra, penumpang sakit atau keadaan mabuk berat. 2.3.7. Penanganan penumpang

yang meninggal hanya atas instruksi dari pihak Airlines. 2.3.8. Menagani bagasi yang mudah pecah/ rusak sesuai dengan prosedur yang berlaku. 2.3.9. Tidak diperkenankan untuk meninggalkan Check-in Counter selama check-in counter masih buka, kecuali ada petugas lain yang menggantikannya. 2.3.10. Menangani security items : a. Menggunakan Amplop Security Items. b. Peluru harus dipisahkan/dikeluarkan dari pistolnya. 2.3.11. Catat dan laporkan daily irregularity yang terjadi dan buatlah rekapitulasi setiap bulannya. 2.3.12. Catat dan laporkan jumlah penumpang per tujuan tiap bulan. 2.3.13. Catat dan laporkan NOREC/GOSHOW/NOSHOW dan makanan yang terbuang setiap hari secara bulanan. 2.4. Penerimaan Penumpang Standby. 2.4.1. Pemesanan jumlah catering terakhir harus sesuai dengan jumlah penumpang yang telah melakukan check-in, ditambah dengan jumlah penumpang dalam antrian dan segera menyesuaikan jumlah catering jika ada perbedaan. 2.4.2. Pelaksanaan proses check-in bagi penumpang pemegang tiket ID dan penumpang Standby, dilakukan pada counter khusus. 2.4.3. Penerimaan penumpang standby dalam situasi khusus/tertentu diputuskan oleh pihak Airlines. 2.4.4. Jumlah dan berat bagasi dari penumpang standby harus disertakanpada saat transaksi check-in berlangsung. 2.4.5. Hapus daftar sisa jumlah penumpang standby yang tidak dapat diterima dari sistem. 2.5. Flight Closed ( FC ) 2.5.1. Supervisor menkorfirmasikan jumlah penumpang dan bagasi. 2.5.1.1. Jumlah tiket harus sesuai dengan jumlah penumpang yang telah di check dalam sistem. 2.5.1.2. Jumlah bagasi harus sesuai dengan data bagasi dalam sistem. 2.6. Flight Finalize ( FF ) 2.6.1. Setiap irregularity yang terjadi, seperti salah sobek tiket, harus segera ditindak lanjuti dan dilaporkan kepada Airlines. 2.6.2. Petugas harus tetap memberi perhatian selama pesawat sedang dalam penanganan sampai pesawat berangkat. 2.6.3. Merapikan semua alat-alat check-in counter (label-label boarding pass ) dan menyimpannya ditempat yang telah disediakan. 2.6.4. Semua dokumen yang masih tersisa, jumlahnya harus dihitung kembali untuk dicatat pada buku persediaan. 3. Boarding Gate 3.1. Persiapan 3.1.1.Mengikuti briefing 3.1.2.Semua petugas boarding gate harus berada di gate minimal 2 jam sebelum boarding time. 3.1.3.Memeriksa Daily Log. 3.1.4.menerima dan mengevaluasi PBS, PBI. 3.1.5.Mempersiapkan sarana pendukung sesuai dengan kebutuhan (handy talky, hand counter, label-label, dokumen lainnya yang diperlukan dan lain-lain. 3.1.6.Minimal 3 orang petugas termasuk controller bertanggung jawab terhadap seluruh pelayanan di boarding Gate : 3.1.6.1. Pada saat penumpang memasuki gate, satu orang petugas : a. Mengumpulkan boarding pass dan transit card. b. Mencocokkan nama penumpang dalam tiket untuk setiap penerbangan. c. Mencocokkan nama dalam kartu identitas dan tiket, bagi penumpang yang menggunakan tiket diskon untuk setiap penerbangan. 3.1.6.2. Satu orang petugas melakukan Check-Gate 3.1.6.3. Satu orang petugas melakukan sweping bagasi, announcement dan melakukan final boarding pass check. 3.2. Aktifitas boarding Gate ( 20 menit sebelum Boarding Time ) 3.2.1.Menerima, memeriksa boarding pass dan travel document pada saat penumpang memasuki ruang tunggu. 3.2.2.Melakukan pendataan penumpang yang masuk ruang tunggu. 3.2.3.Memberitahukan/menginformasikan jumlah batas minimum bagasi yang boleh dibawa ke dalam cabin. 3.2.4.Memonitor penumpang, apabila ada ysng membawa bagasi yang ukurannya besar dan

mengambil tindakan yang di perlukan seperti : 3.2.4.1. melakukan sweeping Over size bagasi cabin. 3.2.4.2. Memberi label untuk bagasi tersebut dengan limited release tag. 3.2.4.3. Mencatat semua nomor tag dan memberitahukan kepada stasiun tujuan melalui telex/email/facsimili. 3.2.4.4. Melaporkan kepada bagian loading bahwa ada over size baggage cabin untuk diproses. 3.2.5.Memberikan pelayanan informasi dan melaksanakan pemberian kompensasi pada setiap irregularities flight. 3.2.6.memeriksa jika ada penumpang joining yang menunggu diruang VIP/Executive/Business Lounge. 20 menit sebelum ETD 3.2.7.Melakukan Boarding Manajement. 3.2.8.Melakukan prioritas boarding announcement dalam bahasa inggris dan indonesia. 3.2.9.Melakukan lokal boarding announcement dalam skala prioritas sebagai berikut : 3.2.9.1. Penumpang cacat ( INCAP ) 3.2.9.2. Penumpang special handling : orang tua, UM, Ibu hamil, penumpang yang membawa anak kecil/keluarga. 3.2.9.3. Penumpang Y-Class, dimulai dari urutan/bagian belakang. 3.2.9.4. Penumpang CClass. 3.2.9.5. Penumpang VIP/CIP. 3.2.10. Selama boarding berlangsung, petugas di boarding gate harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 3.2.10.1.Jangan lupa untuk mengumpulkan boarding pass atau transit card dari penumpang. 3.2.10.2.Memonitor dan segera mengambil tindakan yang diperlukan (membatalkan/menolak penumpang tersebut), apabila ada penumpang yang dalam keadaan mabuk berat, penumpang beresiko tinggi atau berbahaya, dan melaporkan kepada pihak Airlines. 3.2.11. Mencocokkan jumlah boarding pass dan transit card sama dengan total penumpang dalam sistem. 3.2.12. Lakukan langkahlangkah dibawah ini bila ada penumpang yang tidak ada di gate/hilang: 3.2.12.1.Melakukan pemeriksaan dan perhitungan ulang boarding pass yang ada. 3.2.12.2.Identifikasi penumpang yang tidak ada/hilang tersebut. 3.3.12.3.Seorang petugas memeriksa ke pesawat, untuk memastikan apakah sudah semua boarding pass/flight coupon terkumpul. 3.2.13. Informasikan kepada petugas Ramp, nomor Tag bagasi penumpang yang noshow (penumpang joining/transit) agar bagasi diturunkan dari compartement pesawat. 3.2.14. Menyiapkan/mengeluarkan seluruh dokumen penerbangan yang diperlukan, seperti Paxman, Loadsheet, Gendec, security Items dan lain-lain. 5 menit sebelum ETD 3.2.15. Melakukan serah terima kelengkapan document s security items kepada cabin/cockpit crew. 3.2.16. Mengkorfirmasikan kepada petugas ramp dan crew agar menutup pintu pesawat. 3.2.17. Membuat annaouncement/pengumuman di pesawat untuk memastikan bahwa tidak ada penumpang yang tertinggal. 4. Transfer Desk 4.1. Transfer Desk dibuka 2 jam sebelum STD. 4.2. Waktu tutup untuk transfer desk sama dengan waktu check-in counter ditutup. 4.3. mengikuti briefing. 4.4. Memeriksa Daily Log. 4.5. Melakukan editing untuk penumpang inbound connecting berdasarkan PBI/PBS. 4.6. Penumpang in-admissable harus ditangani sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat itu. Biaya/pengeluaran yang terjadi/muncul akibat kejadian tersebut harus dikoordinasikan dengan pihak Airlines. 4.7. Penumpang lanjutan dengan nomor penerbangan dan Airlines yang berbeda harus melapor ke transfer desk. 4.8. Jika ada penumpang inbound yang misconecting harus dikoordinasikan dengan bagian catering control untuk mencegah pemborosan makanan. 4.9. Melaporkan/mengkorfirmasikan total aktual bagasi transfer kepada bagian pelayanan bagasi. 4.10. Menginformasikan kepada

pihak Airlines untuk rekonfirmasikan reservasi bagi penumpang transit/transfer. 4.11. Memberikan pelayanan informasi dan melaksanakan pemberian kompensasi pada setiap irregularitas flight. 4.12. Mencatat dan membuat laporan bulanan tentang kedatangan penumpang per-flight. 4.13. Mencatat dan melaporkan penumpang yang mis-connecting. 4.14. Mencatat dan melaporkan penumpang INAD. 5. Persiapan kedatangan 5.1. Persiapan (15 menit ETA) 5.1.1. Memeriksa dan mempersiapkan jika ada special handling seperti VIP, UM, WCHR dan lainlain melalui PBI/PBS dan telex/email masuk. 5.1.2. Mempersiapkan E/D card dan crew card. 5.1.3. Minimal 2 orang petugas bertanggung jawab terhadap setiap penerbangan yang aktif. 5.1.4. Mengkorfirmasikan apakah segala sesuatu yang diperlukan untuk penanganan penumpang transit sudah disiapkan. 5.1.5. Mengkorfirmasikan apakah jumlah transit card sama dengan jumlah penumpang yang masuk ( bayi dihitung sebagai satu orang penumpang). 5.2. Aktivitas Kedatangan 5.2.1. Sata orang petugas mendatagi pesawat yang datang,mengambil manifest Pax, Loadsheet dan mendistribusikan kepada pihak yang terkait dan pad a saat yang sama mengarahkan penumpang kedatangan menuju arrival hall. 5.2.2. 2(dua) orang petugas, mendistribusikan transit card untuk penumpang yang memilih penerbangan lanjutan dan satu orang petugas lainnya memandu / mengarahkan penumpang menuju gate dan transfer desk. PENANGANAN BAGASI 1. Persiapan Keberangkatan 1.1. Persiapan ( 15 menit sebelum Check-in dibuka ) 1.1.1. Memeriksajumlah gerobak yang akan digunakan untuk memuat bagasi. 1.1.2. Menempatkan seorang petugas sebagai checker yang bertugas mencatat nomor tag bagasi, memeriksa posisi parkir pesawat,registrasi pesawat dan lain-lain. 1.1.3. Mempersiapkan ULD untuk setiap class of service, yaitu C untuk bagasi dengan prority Tag. 1.1.3.1. C untuk bagasi dengan priority tag. 1.1.3.2. P untuk bagasi dengan priority tag. 1.1.3.3. Y untuk bagasi tanpa priority tag. 1.1.4. Apabila sebuah container digunakanuntuk bagasi C, P dan Y class sekaligus, maka bagasi C dan P class harus diletakkan diatas bagian Y class. 1.1.5. Bagasi dengan interline tag harus dipisahkan dalam container sendiri. 1.2. Aktifitas bagasi keberangkatan. 1.2.1. Memeriksa apakah limited release tag ( LRT ) telah digunakan untuk bagasi yang termasuk dalam kategori sebagai berikut : 1.2.1.1. Kondisi rusak. 1.2.1.2. Ukuran yang besar. 1.2.1.3. Pengepakan yang tidak baik/sempurna. 1.2.1.4. Mudah rusak/pecah. 1.2.1.5. Mudah busuk. 1.2.1.6. Pengepakan dalam box/kardus. Melaporkan kepada petugas Check-in Counter apabila LRT tidak dipergunakan. 1.2.2. Melaporkan kepada petugas Check-in Counter bila ditemukan bagasi dalam keadaan rusak atau tanpa tag bagasi. 1.2.3. Membuat baggage loading report setia ULD ( Bagagge Container ) untuk memudahkan pencarian bagasi apabila ada penumpang batal berangkat /atau tidak datang, bagasi dari transder desk. 1.2.4. Bagasi transfer baru dapat dimuat setelah mendapakan konfirmasikan jumlah dan berat bagasi daritransfer desk. 1.2.5. Penimbangan ulang untuk bagasi transfer dilakukan bila berat aktual tidak tertulis pada label. 1.2.6. Pastikan MCT/CIQ pada saat penerimaan bagasi transit. 5 menit sebelum Closing Time 1.2.7. Bagian penanganan bagasi mengkorfirmasikan dan melaporkan kepada Supervisor Check-in Counter mengenai informasi terakhir jumlah berat bagasi. 1.2.8. data bagasi yang ada dalam sistem harus sama dengan jumlah aktual yang ada di area sorting bagasi. 1.2.9. Jika ada irregularity seperti

overscale, harus segera dikoordinasikan dengan supervisor Check-in Counter/ Load Controluntuk adjustment/ disesuaikan. 1.2.10. Data bagasi terkhir yang harus dilaporkan pada load control adalah sebagai berikut : 1.2.10.1. Total berat / jumlah per tujuan / destinasi untuk setiap container. 1.2.10.2. Total berat / jumlah per tujuan / destinasi untuk setiap pemuatan di bulk. 1.2.10.3. total berat / jumlah per tujuan untuk setiap bagasi crew. 2. Persiapan Kedatangan 2.1. Aktifitas kedatangan( 15 menit sebelum ETA ) 2.1.1. Mengkonfirmasikan baggage conveyor yang akan ditempatkan. 2.1.2. Mengkonfirmasikan ETA. 2.1.3. Pastikan, paling sedikit seorang petugas security berada di baggage Belt dan seorang petugasdi area unloading untuk memastikan tidak ada seorang pun yang tidak berkepentingan yang masuk ke area tersebut, untuk menyakinkan /memastikan bahwa bagasi benar-benar di ambil oleh penumpang / pemiliknya. 2.1.4. Pastikan urutan prioritas untuk pengiriman bagasi; a. Bagasi C-Class b. Bagasi Crew c. Bagasi Y-Class 2.1.5. Tetap memonitor arus pengiriman bagasi dan tidak meletakkan satu bagasi di atas bagasi lain. 2.1.6. Standard waktu pengiriman bagasi pertama adalah: a. 10 menit untuk pesawat Narrow Body. b. 15 menit untuk pesawat wide Body. Dengan target pencapaian 90 % untuk Narrow Body dan 85% untuk wide body. 2.1.7. Mensortir seluruh bagasi transfer dan dikirimkan ke area sorting pengangkut/ carrier selanjutnya. 3. Lost & Found 3.1. Aktifitas Lost & found 3.1.1. Menepatkan petugas untuk mengumpulkan dan mencocokkan claim tag dari penumpang. 3.1.2. Melakukan pencarian bagasi yang dilaporkan hilang oleh penumpang (baik checked maupun unchecked) di area yang dimungkinkan / cargo area dan cabin pesawat. 3.1.3. Melakukan pencarian lokal baik untuk bagasi yang beratnya berkurang maupun bagasi yang rusak. 3.1.4. Mengeluarkan dan mengisi property Irregularity report (PIR) bagasi yang hilang, beratnya berkurang dan bagasi yang rusak berdasarkan : a. Copy tiket penumpang. b. Claim Tag asli. c. Tiket bagasi lebih ( Bila Ada ). d. paxman. 3.1.5. Kepada penumpang diberikan : a. Copy kedua dari PIR ( warna, bagian merah sesuai dengan ketentuan masing-masing airlines ). b. Form Missing Baggage questionnaire ( MBQ ). c. Form Delayed Delivery of Cheked baggage. 3.1.6. Menyimpan data dalam sistem / Word Tracer dalam waktu 1 jam setelah PIR dikeluarkan. 3.1.7. Masa / durasi pencairan harus diselesaikan dalam waktu 5 hari ( perpanjangan waktu dilakukan tergantung situasi pada saat itu ) : a. Hari pertama melakukan initial action. b. Hari kedua action. c. Hari ketiga action. d. Hari keempat action. e. Hari kelima action. f. Hari keenam mengirimkan seluruh dokumen pendukung ke pihak airlines. 3.1.8. Menginformasikan kepada penumpang mengenai status pencarian setiap satu hari sekali. 3.1.9. Menyimpan un-claimed bagasi, bagasi cabin, security items dan buatlah file OHD . 3.1.10. Simpan bagasi yang telah ditemukan dan buatlah file RFP. 3.1.11. menyerahkan bagasi temuan ( barang-barang bernilai ) kepada pihak Airlines. 3.1.12. Unclaimed bagasi, bagasi cabin dan security item yang ditemukan, dapat disimpan di Lost & found selama 14 hari. 3.1.13. Membuat persiapan untuk bagasitemuan yang harus dikirimkan ke alamat penumpang. 3.1.14. Mengirimkan bagasi temuan ( OHP/RFP ) ke kota tujuan yang sebenarnya sesuai / berdasarkan pesan khusus yang telah diterima. 3.1.15. Hubungi pihak airlines jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. 3.1.16. Membuat catatan harian tentang waktu aktual

pengiriman bagasi untuk setiap flight secara lengkap, seperti : a. Waktu pertama kali bagasi diletakkan di baggage belt. b. waktu terakhir kali bagasi diletakan di baggage belt. 3.1.17. Membuat laporan irregularity harian /minguan /bulanan.

Emergency Access Roads Menurut ketentuan ICAO, Annex 14 Aerodromes Volume I (1995:9-108) dan Document 9137-AN/898 Airport Service Manual Part I (1990:3-10). Recommendation ... Should be provided on an aerodrome where terrath conditions permit their construction, so as to facilitate achieving minimum response times, particular attention should be given to the provision of ready access to approach areas up to 1.000 m from the threshold, on at least within the aerodrome boundary. Where a fence is provided, the need for convenient access to out side areas should be taken in to account. Yang terjemahannya sebagai berikut: Rekomendasi ... Jalan-jalan untuk melayani emergency dipersiapkan pada sebuah Bandara dimana kontruksi jalan tersebut harus mampu mengejar waktu Response Time. Jalan Emergency dipersyaratkan dari threshold ke daerah approach area hingga mencapai 1.000 m, atau sekurang-kurangnya hinnga mencapai batas Bandar Udara. Bila Bandar Udara dilengkapi dengan pagar pembatas maka untuk pintu jalan keluar harus dipersiapkan. Dari terjemahan kutipan di atas menujukkan bahwa: a. Bandar udara harus mempersiapkan jalan/tanah yang diperkeras agar kendaran PKP-PK dapat mencapai syarat response time. b. Jalan yang dimaksud harus dipersiapkan hingga mencapai 1.000 m atau hingga mencapai batas Bandar Udara.

c. Pintu keluar harus dipersiapkan untuk melayani operasi di luar Bandar Udara. ... Recommendation Emergency Access Roads shoud be capable of supporting the heaviest vehicles which will use them, and be usable in all weather condition, roads within 90 m of a runway should be surfaced to prevent surface erosion and the transfer of debris to the runway. Surface vertical clearance should be provided from overhead obstructions for the largest vehicles. Yang terjemahannya sebagai berikut; ...Jalan-jalan untuk melayani akses kondisi darurat dipersiapkan untuk dapat mampu menahan beban kendaraan terberat dan mampu melayani pada kondisi semua cuaca. Jalan-jalan tersebut sampai 90 m dari landasan, sepatutnya permukaan diperkeras guna menghindari dari pengikisan permukaan jalan dan dapat menimbulkan runtuhan terhadap landasan. Pandangan sepatutnya dapat dilihat rintangan ke bawah dengan pandangan vertical kendaraan terbesar. Dari terjemahan kutipan di atas menunjukkan bahwa: a. Jalan harus mampu menahan kendaraan tersebut pada semua kondisi cuaca hingga mencapai 90 m dari ujung runway. b. Pandangan dari kendaraan PKP-PK harus jelas dapat melihat segala rintangan. 2. Kekuatan Daerah Keselamatan di Ujung Runway (Strength of Runway end Safety Areas) a. Runway end safety area should be so prepared or constructed as to reduce the risk of damage to an aeroplane undershooting or overrunning the runway and facilitate the movement of rescue and fire fighting vehicles Yang terjemahannya: Daerah ujung landasan/runway yang aman sepatutnya dipersiapkan atau dibangun untuk mengurangi resiko

kerusakan terhadap pesawat yang mengalami musibah undershooting atau over runway landasan dan fasilitas pelayanan PKP-PK. Dari terjemahan di atas menunjukkan bahwa: a. Daerah aman di ujung runway harus dipersiapkan untuk mengurangi bahaya jika pesawat mengalami undershort dan over short pesawat. b. Daerah aman di ujung runway harus dipersiapkan untuk memberikan fasilitas pergerakan kendaraan pemadam kebakaran. Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 94/IV/98 bab V Pasal 15 a. Setiap Bandar udara harus dilengkapi dengan emergency access road sesuai dengan persyaratan untuk mencapai minimum waktu bereaksi (Response time). 8.4.5 Recommendation When greater security is thought necessary, a cleared area should be provided on both sides of the fence or barrier to facilitate the work of patrols and tom make trespassing more difficult. Consideration should be giver, to the provision of a perimeter road inside the aerodrome fencing for the use of both maintenance personal and security patrols. Yang terjemahannya sebagai berikut: Bila pengamanan sangat diperlukan, suatu area bebas harus tersedia di kedua sisi pagar atau untuk memberi fasilitas kegiatan patroli dan untuk menghindari pelanggaran terhadap orang yang bermaksud jahat. Pertimbangan harus diberikan sebagai persyaratan jalan keliling/paramenter di dalam pagar Bandar udara yang digunakan untuk petugas maintenance dan patroli pengamanan. Dari terjemahan kutipan di atas menunjukkan bahwa: a. Jalan di sekeliling Bandar udara diperlukan untuk mengatasi pelanggaran.

b. Selain untuk hal di atas jalan tersebut juga digunakan untuk petugas maintenance dan patroli.

Secara kodrati manusia diciptakan untuk hidup di darat. Manusia tidak memiliki alat gerak yang bisa digunakan untuk terbang. Namun, burung-burung yang dapat terbang bebas di angkasa telah memberi inspirasi bagi manusia untuk menjelajah lebih jauh dari habitatnya. Kemampuan untuk terbang bebas di angkasa menjadi suatu simbol kebebasan dan lepas dari belenggu gravitasi. Pada awalnya manusia menganggap bahwa untuk bisa terbang maka kita harus melakukannya sebagaimana burung terbang. Dan satu-satunya cara adalah dengan mengepakkan sayap seperti halnya burung. Atas dasar itu lah kemudian bermunculan para peloncat-peloncat menara dengan desain sayap yang mereka ciptakan sendiri. Mereka tidak hanya satu, tapi puluhan, dengan satu mimpi yang sama: terbang. Namun malang, tak ada satupun yang berhasil. Bahkan lebih banyak yang justru menemui ajal. Orang sekaliber Leonardo da Vinci pun ikut terbawa oleh euforia impian terbang. Da Vinci pernah manciptakan suatu desain mesin terbang yang disebut ornitopter. Meskipun bukan alat yang berhasil membuat manusia dapat terbang, namun saya sangat kagum dengan desain ini. Berbeda dengan para peloncat menara, da Vinci tidak lah bodoh. Sebelum desainnya direalisasikan, ia segera meyadari bahwa tidak mungkin manusia -dengan tenaga yang dimilikinya- bisa melakukan pengendalian, mengepakkan sayap, dan navigasi dalam waktu bersamaan. Banyak waktu yang ia curahkan untuk sekedar mempelajari bagaimana burung-burung terbang. Suatu pernyataan da Vinci yang begitu visioner adalah metode separasi. Sekitar 1500 tahun yang lalu da Vinci telah mengemukakan bahwa untuk bisa terbang cukuplah dilakukan dengan sayap tetap dan memberinya gaya dorong. Hal ini didasari dari hasil pengamatannya dari teknik burung untuk terbang. Menurutnya, sayap burung terdiri dari dua bagian yang memiliki fungsi masingmasing. Bagian pangkal sayap burung yang relatif tetap (fixed) berfungsi membangkitkan gaya angkat. Sedangkan bagian ujung sayap burung berfungsi untuk mengepak dan membangkitkan gaya dorong. Separasi gaya menjadi gaya angkat dan gaya dorong inilah yang sampai sekarang dipakai untuk menciptakan mesin terbang. Lalu bagaimana pesawat udara dapat terbang? Adalah suatu yang salah jika kita berfikir bahwa mesin (engine) lah menyebabkan pesawat dapat terbang. Pada dasarnya, sayap lah yang memberi gaya angkat yang dibutuhkan untuk terbang, sedangkan engine hanya memberi gaya dorong (thrust) untuk bengerak maju. Jadi, kesimpulan mudahnya adalah bahwa pesawat udara (bukan pesawat antarikasa) dapat terbang karena memiliki sayap. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana gaya angkat (lift) dapat terbangkit di sayap? Secara mudah dapat dijelaskan bahwa gaya angkat terbangkitkan karena ada perbedaan tekanan di permukaan atas dan permukaan bawah sayap. Bentuk airfoil sayap diciptakan sedemikian rupa agar tercipta karakteristik aliran yang

sesuai dengan keinginan. Singkatnya, gaya angkat akan ada jika tekanan dibawah permukaan sayap lebih tinggi dari tekanan diatas permukaan sayap. Perbedaan tekanan ini dapat terjadi karena perbedaan kecepatan aliran udara diatas dan dibawah permukaan sayap. Sesuai hukum Bernoulli semakin cepat kecepatan aliran maka tekanannya makin rendah. Besarnya gaya angkat yang dibangkitkan berbanding lurus dengan Luas permukaan sayap, kerapatan udara, kuadrat kecepatan, dan koefisien gaya angkat. Jadi, untuk pesawat udara, engine berfungsi memberikan gaya dorong agar pesawat dapat bergerak maju. Akibat gerak maju pesawat maka terjadi gerakan relatif udara di permukaan sayap. Dengan bentuk geometri airfoil tertentu dan sudut serang sayap (angel of attack) tertentu maka akan menghasilkan suatu karakteristik aliran udara dipermukaan sayap yang kemudian akan menciptakan beda tekanan dipermukaan atas dan permukaan bawah sayap yang kemudian membangkitkan gaya angkat yang dibutuhkan untuk terbang. Diposkan oleh Afen Sena di Minggu, Januari 11, 2009 1 komentar Label: Aerodinamika

Minggu, 11 Mei 2008 Major Airplane Components

A single engine airplane typically used by student pilots is shown above. The fuselage is the structure which houses the pilot and passengers, as well as the instrument panel and controls. The wings provide the major LIFT for the airplane.

Ailerons are located near the outer portion of the wing. The ailerons

operate in opposition to each other, such as when the left aileron is up, the right aileron is down. This configuration causes the aircraft to "roll" to the left. Placing the ailerons in the opposite position causes a roll to the right.

Flaps are located on the inboard end of the wing, next to the fuselage.

Flaps can be deployed during descent to landing to provide increased lift, and increased drag to slow the aircraft. Flaps permit a steeper descent without build-up of excessive speed. The horizontal stabilizer and elevators are located on the tail of the fuselage. The horizontal stabilizers are fixed. The elevators are hinged at the aft end of the stabilizers. The Elevators control the pitch (nose-up or nose-down) state of the aircraft. The vertical stabilizer is attached to the tail of the fuselage. The rudder is hinged to the aft end of the vertical stabilizer. The rudder permits the pilot to move the tail of the aircraft left or right by use of the rudder pedals in the cockpit.. The landing gear shown above is a "tricycle" type, which is comprised of the main gear and the nose wheel. Some aircraft, however, have a tail wheel instead of the nose wheel. These aircraft are usually of earlier design, and are lovingly called "tail draggers" by many pilots. Most "training type" aircraft have "fixed" landing gear, such as the gear remains stationary in flight and cannot be "retracted". Higher performance aircraft usually are equipped with "retractable" landing gear to reduce aerodynamic drag during flight. The engine and propeller provide the forward thrust necessary to attain sufficient speed to achieve flight. The engine is housed under the cowling, at the nose of the aircraft. Some aircraft have secondary control surfaces called trim tabs. These tabs can be located on the elevators to aid in maintaining pitch of the aircraft. Other tabs can also be located on the ailerons and rudder to aid in stabilizing the roll and yaw characteristics as an assist in maintaining the flight configuration selected by the pilot.

Axes of Rotation

The aircraft is free to move around 3 different axes. 

The LONGITUDINAL AXIS is an imaginary line( line X - X ) from nose to tail. Rotation around the LONGITUDINAL axis is called ROLL. Roll is controlled by the ailerons. When the pilot turns the CONTROL WHEEL (or in some aircraft a control stick), to the RIGHT the right aileron deflects upward, while the left aileron deflects downward. This causes the right wing to produce less lift and the left wing to produce greater lift. This unequal lift causes the





airplane to ROLL to the right as long as the ailerons remain in this condition. In order to stop the roll, it is necessary to neutralize the ailerons. The aircraft will remain in a "banked" condition until rolled back to level by application of opposite aileron action. The LATERAL AXIS is an imaginary line ( line Y-Y ) from wingtip to wingtip. Rotation around the LATERAL axis is called PITCH. The "nose up" or "nose down" pitch of the aircraft is controlled by use of the elevator surfaces of the tail. When the pilot pulls the control wheel (or control stick) rearward, the elevators deflect upward, forcing the tail downward. This is referred to as a "nose up attitude". When the control wheel or stick is moved forward, the opposite reactions occur, causing a "nose down attitude". The VERTICAL AXIS is an imaginary vertical line (line Z_Z )running through the center of gravity of the aircraft. Rotation around the VERTICAL axis is called YAW. Yaw is predominately controlled by use of the rudder. Left rudder pedal depression in the cockpit deflects the rudder surface to the left. This causes the tail of the aircraft to move to the right, creating a yaw to the left about the vertical axis. Application of right rudder similarly causes yaw to the right.

MACH NUMBER TECHNIQUE

Pendahuluan Didalam memberikan separation antar pesawat, banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh unit ATC ataupun Pilot untuk menjalankannya. Pada situasi tertentu dimana dua pesawat melalui track dan level yang sama serta melewati rute yang panjang, diperlukan suatu metode untuk menjaga separation tetap aman dan efisien .Berdasarkan dari pengamatan serta pengalaman yang diperoleh di seluruh dunia, terdapat beberapa ketentuan khusus yang memungkinkan separation yang diaplikasikan berupa perhitungan atau hasil kalkulasi berdasarkan waktu (based on time) atau kecepatan pesawat. Area pengaplikasian memiliki kepadatan traffic yang tinggi serta rute yang panjang dimana pada suatu saat komunikasi atau campur tangan ATC dengan Pilot bisa terdelay Untuk mengantisipasi hal tersebut, terdapat suatu metode pemberian

separation yang dikenal dengan Mach Number Technique yang khusus diperuntukkan bagi pesawat turbo-jet dengan rute penerbangan panjang. Definisi Terdapat beberapa istilah yang didalam pemberian separation mach number selalu dipergunakan, yaitu :

Mach Number Technique adalah teknik memberikan separation pada pesawat turbo-jet yang terbang berurutan pada rute yang sama dengan menggunakan kecepatan mach number untuk menjaga separation secara longitudinal yang cukup baik pada saat climb ataupun descend menuju level yang sama. Setiap satu satuan Mach, senilai dengan satu kecepatan suara atau senilai dengan kurang lebih 661 knots. Significant point adalah suatu lokasi geographical tertentu digunakan sebagai ATS route atau sebagai flight path pesawat dan untuk navigasi lainnya. Entry point adalah reporting point pertama yang dilalui pesawat atau diperkirakan akan melewatinya segera sebelum ataupun diatas FIR atau control area. Exit point adalah point terakhir dimana pesawat melewatinya atau diperkirakan akan melewatinya segera sebelum meninggalkan FIR atau control area. Tujuan Penggunaan Mach Number Technique Tujuan utama penggunaan Mach Number Technique adalah : 



Untuk menjamin separation yang cukup antar pesawat yang terbang berurutan pada rute yang panjang menggunakan longitudinal separation dengan sedikit komunikasi / campur tangan dengan unit ATC. Untuk memilih penggunaan rute yang tepat. Dengan demikian memberikan kontribusi ekonomi pada operasi penerbangan pesawat bersangkutan.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas, kecepatan pesawat yang beroperasi pada track dan level yang sama harus dikendalikan. Pengendalian speed pesawat tersebut didasarkan pada penghitungan yang dilakukan secara akurat pada longitudinal separation antar pesawat yang terbang menuju suatu

point diluar kekuasaan dari point pertama separation dibuat, sehingga memperkecil campur tangan dengan pihak ATC. Persyaratan Penggunaan Mach Number Technique Beberapa persyaratan agar Mach Number Technique dapat digunakan diantaranya adalah sebagai berikut : Pesawat yang secara umum terbang pada track yang sama atau diverging track sampai pesawat tersebut diberikan teknik separation yang lain.

  

Rute yang di terbangi pesawat harus panjang. Instrument yang di gunakan pesawat harus terus menerus di kalibrasi sesuai airworthiness practices. ATC yang menggunakan separation Mach Number Technique harus mengetahui ramalan upper wind terakhir atau informasi posisi posisi yang di peroleh dari pesawat sebelumnya.

Pengaplikasian Mach Number Technique dalam pemberian separation

Pada Longitudinal Separation 

Based on Time Ketika tekhnik Mach Number dipergunakan, minimum longitudinal separation antar pesawat turbo-jet pada track yang sama, ataupun dalam hal level, climbing ataupun descend, harus mengikuti aturan sebagai berikut.

 

10 menit ketika pesawat pertama memiliki kecepatan Mach Number yang sama ataupun lebih daripada pesawat kedua. Antara 9 dan 5 menit terhitung ketika pesawat pertama memiliki mach number yang lebih besar dibandingkan pesawat kedua dengan mengikuti aturan khusus berikut : - 9 menit, ketika pesawat pertama berkecepatan lebih besar Mach 0.02 dibandingkan dengan pesawat kedua; - 8 menit, ketika pesawat pertama berkecepatan lebih besar Mach 0.03 dibandingkan dengan pesawat kedua; - 7 menit, ketika pesawat pertama berkecepatan lebih besar Mach 0.04 dibandingkan dengan pesawat kedua; - 6 menit, ketika pesawat pertama berkecepatan lebih besar Mach 0.05 dibandingkan dengan pesawat kedua;

- 5 menit, ketika pesawat pertama berkecepatan lebih besar Mach 0.06 dibandingkan dengan pesawat kedua.

Based on Distance menggunakan RNAV

Pada longitudinal separation yang memperhitungkan jarak menggunakan RNAV, separation harus dibuat dengan menjaga distance antar pesawat sesuai dengan position report sebagai referencenya sesuai perlengkapan RNAV. Untuk membantu Pilot agar selalu menyediakan informasi RNAV distance, pelaporan posisi dimanapun memungkinkan akan dipergunakan sebagai reference untuk separasi kedua pesawat. Separation minimum dengan tekhnik Mach Number sebesar 150 Km ( 80 Nm ) yang berdasarkan RNAV distance akan dipergunakan pada penerbangan dengan track yang sama menggantikan tekhnik Mach Number 10 menit longitudinal separation, yang dilengkapi dengan : 

 



Separasi antar pesawat pada level yang sama dapat diketahui dengan memperoleh laporan dari RNAV distance readings pada pesawat untuk menjamin bahwa minimum distance tidak dilanggar. Separasi antar pesawat yang climbing atau descend dapat diketahui dengan memperoleh laporan dari RNAV distance readings pada pesawat. Pada situasi dimana dua pesawat sedang climbing atau descending, salah satu pesawat harus maintain level ketika vertikal separation tidak dilaksanakan. Setiap pesawat melaporkan distance-nya yang sedang menuju atau dari track yang sama pada suatu waypoint.

Pada Lateral Separation Pengaplikasian Mach Number pada Lateral separation dapat diambil contohnya di CTA / FIR New York ( New York oceanic CTA/FIR). Lateral separation diberikan dengan menentukan jalur penerbangan yang berbeda, yang lebarnya atau airspace yang terlindungi tidak tumpang tindih. Dengan menggunakan hal – hal berikut ini : 

60 NM : - Pesawat supersonic yang beroperasi diatas FL 275 dalam New York oceanic CTA / FIR.

- Pesawat supersonic yang beroperasi pada atau diatas FL 450 yang tidak tercakup dalam subpara 1 diatas. - Pesawat yang melewati MNPS dan sedang beroperasi dalam New York oceanic CTA / FIR yang merupakan perpindahan ke atau dari NAT MNPS airspace. 

90 NM antar pesawat yang beroperasi : - Dalam WATRS (West Atlantic Route System) - Bagian barat dari 55º barat antara U.S Canada atau Bermuda dan point dalam Caribbean ICAO Region.

 

100 NM antar pesawat yang beroperasi pada bagian barat dari 55º barat yang tidak tercakup dalam subpara a atau b diatas. 120 NM antar pesawat yang beroperasi pada bagian timur dari 55º barat.

Prosedur–prosedur tertentu Separation pada entry point ketika pesawat kedua lebih cepat (faster behind). Pada kasus dimana dua pesawat terbang berurutan, pesawat kedua lebih cepat, pada tabel dibawah dijelaskan pesawat kedua maintain mach number yang lebih besar dari pesawat pertama. Pada tabel juga menunjukkan bahwa separation yang dipakai menggunakan time mulai dari entry point dan dipengaruhi oleh distance. Distance to fly and separation (in minutes) required at entry point (in NM) a b c D e

Difference in 001-600

610-1200

1201-1800

1801-2400

24013000

Mach Number 0,01 0,02

11 12

12 14

13 15

14 18

15 20

0.03 0.04 0.05

13 14 15

16 18 20

19 22 25

22 26 30

25 30 35

0.06 0.07

16 17

22 24

28 31

34 38

40 45

0.08

18

26

34

42

50

0.09 0.10

19 20

28 30

37 40

46 50

55 55

Penambahan interval waktu jika situasinya faster behind menggunakan penghitungan ground speed serta estimate time ketika pesawat diatas significant point dan itu disesuaikan dengan kondisi kepadatan traffic saat itu . Metode penghitungan ini mengikuti aturan sbb: Setiap jarak 600 Nm antara entry point dan exit point dimana digunakan mach number technique, 1 menit ditambah untuk setiap perbedaan 0.01 mach jika kedua pesawat terbang berurutan dan ada kemungkinan bahwa pesawat kedua bisa melakukan overtaking pesawat pertama. Track Distancce 1.800 NM 2.400 NM 3.000 NM

Multiplier 3 4 5

Difference in Mach Number 0,01 0,02 0,03

Required Minute to be added 3 8 5

Contoh : 

Sebuah pesawat beroperasi pada Mach 0.82 dan di ikuti oleh pesawat lain dengan kecepatan 0.84. Longitudinal separation minimum pada exit point adalah 15 menit. Jarak track adalah 1800 NM

Perhitungan : ADD 3 menit X 2 (multiplier) = 6 menit 15 menit + 6 menit = 21 menit (waktu yang di butuhkan untuk longitudinal separation pada entry point) Keterangan : 3 menit = diperoleh dari jarak track diman setiap 600 NM senilai dengan 1 menit, sehingga jarak 1800 NM senilai dengan 3 menit. 2 (Multiplier) = perbedaan mach yang ada sebesar 2 mach.

Sebuah pesawat beroperasi pada Mach 0.78 dan diikuti oleh pesawat lain dengan kecepatan 0.84. Longitudinal separation minimum pada exit point adalah 15 menit. Jarak track adalah 2400 Nm. Perhitungan : ADD 4 menit X 6 ( multiplier) = 24 menit 15 menit + 24 menit = 39 menit (waktu yanga diperlukan untuk lo ngitudinal separation pada entry point). En route step climb dan step descend

Mach Number Technique dapat dipergunakan untuk mengaplikasikan longitudinal separation antara pesawat yang sedang step climb atau step descend dan ketika en-route dimana track yang dilalui sama dan tercakup minimum longitudinal separation dan dilaksanakan pada saat clearance untuk climb atau descend diberikan, sama halnya pada significant point berikutnya sepanjang track dan pada exit point. Keuntungan dan Kerugian Pengaplikasian Mach Number Technique Keuntungan Mach Number Tehnique - Sedikitnya campur tangan ATC dalam pengaplikasian separation ini, khususnya dalam komunikasi antara pilot dengan ATC. - Lebih terjaminnya separation antara Preeceding aircraft dengan Succeeding aircraft. - Penggunaan airspace yang lebih ekonomis serta terciptanya keteraturan traffic. Kerugian Mach Number Technique Beberapa kerugian dari pengaplikasian Mach Number Technique adalah : - Memerlukan tingkat ketelitian yang sangat tinggi. - Tidak bisa diaplikasikan terhadap semua pesawat.

- Jika report pilot tidak tepat pada point yang ditentukan, maka akan mempengaruhi keakuratan perhitungan waktu. Diposkan oleh Afen Sena di Rabu, April 30, 2008 0 komentar Label: air traffic control, lalu lintas udara, mach number, mach number technique, separasi pesawat, separation

Jumat, 21 Maret 2008 CITA-CITA TERWUJUDNYA ATC INDONESIA YANG CERDAS, MAPAN DAN BERWIBAWA

Saya adalah pemerhati ATC Indonesia yang sangat prihatin dengan perjalanan dan perjuangan menuju kondisi yang ditunjukkan dalam subjek posting ini. Kalau kita bicara mengenai kondisi yang cerdas,mapan dan berwibawa, saya sangat tergerak melalui komunitas ini untuk menyikapi beberapa wacana publik yang saya tawarkan. 1. Kecenderungan pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan (LLP) yang tampak kurang memberikan prinsip keadilan bagi pengguna jasanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terjadi fenomena "Airline sahabat ATC dan airline yang kurang bersahabat dengan ATC". Sungguh amat memprihatinkan bila para ATC Indonesia dalam memberikan Pelayanan LLP seolah melacurkan profesi dengan alasan pemberian "gula-gula" oleh airline sahabat ATC tersebut memberikan "additional services" dengan

mengalahkan prinsip-prinsip dasar dalam pelayanan LLP sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa buku pintar yang dipelajari oleh seluruh ATC Indonesia. Jika fenomena ini benar adanya,maka saya mengajak dengan sangat agar kita kembali ke khitoh pelayanan yang sebenar-benarnya sebagaimana telah ditunjukkan dalam buku pintar. Bagaimanapun hati lebih bernilai dari "gula-gula". 2. Prinsip Contingency Plan merupakan frase yang sangat dikenal dan akrab dalam aktivitas keseharian ATC Indonesia. Artinya, segala sesuatu rencana, kegiatan maupun cita-cita selalu diharapkan ada rencana A,B, C,... sampai Z. Cita-cita single ATS Provider saat ini merupakan dagangan paling laku untuk diperbincangkan oleh komunitas LLP di Indonesia. Pertanyaannya adalah; Sejauh mana komunitas ATC Indonesia mempersiapkan rencana A,B, C,... sampai Z tersebut dalam pencapaian cita-cita single ATS provider. Kesan yang muncul di permukaan arena publik tampak bahwa ATC Indonesia menunggu cita-cita tersebut bak runtuhnya buah durian dari pohon. Rencana pencapaian yang disusun terkesan belum sampai pada huruf Z. Bahkan A pun belum komprehensif. Banyak wacana yang menyatakan bahwa komunitas ATC merasa ditinggal oleh pemerintah dalam penyiapan organisasi ATS Single provider. Kalau ini pertanyaannya; Mengapa hal ini tidak diungkapkan kepada pemerintah sembari menyertakan Plan A sampai Z tersebut. Kalau komunitas ATC Indonesia mempunyai harapan-harapan khusus dalam pembentukan organisasi single

ATS Provider, tentunya harus memberikan deskripsi yang lebih jelas lagi dan spesifik tentang apa yang diinginkan serta bagaimana mencapainya. Tentunya hal ini tidak mudah,diantara beraneka ragamnya warna kelompok ATC di Indonesia, tentunya harapannya pun beragam. Pahaman siapa kuat dia dapat tentunya bukan hal yang diharapkan. Yang jelas publik akan menilai yang terbaik untuk Merah Putih. Terkait dengan subjek posting ini, saya sangat berharap cita-cita terwujudnya ATC Indonesia yang cerdas, mapan dan berwibawa bukan hanya menjadi slogan yang dicita-citakan saja, namun perlu diwujudkan melalui upaya-upaya yang terencana, terarah, dan terkendali. Dan yang terpenting adalah memulai bekerja dengan hati, kejujuran dan keikhlasan.

AVIATION DANGEROUS GOODS

Definisi Dangerous goods: adalah unsur-unsur zat bahan dan atau barang berbahaya yang sangat peka terhadap suhu udara, tekanan dan getaran serta dapat mengganggu terhadap kesehatan manusia maupun binatang, dapat menggangu serta membahayakan keselamatan penerbangan serta dapat merusakkan peralatan pengangkutan. Flammable Liqiud: adalah unsur-unsur zat / bahan atau benda cair yang dapat berubah menjadi uap air pada temperatur <> 70 Bq (Beequereels) per gram ( 70 Bq/gr) x ( 0.002 ci /g) atau 70 kBq/kg.

Satuan activity = Curie (Ci) = 10 10 x 3.7 transformasi atom per detik. Satuan terkecil = 1/1.000 dan 1/1.000.000 transformasi atom per detik yaitu = millicurie dan microcurie = Ci. Sinar radiasi tersebut terdiri dari: (a) Sinar Alpha (b) Sinar beta (c) Sinar gamma (d) Sinar X-Ray (e) Sinar neutron “ Goods which under normal conditions have dangerous or hazardous characteristics. When some of these goods are LIMITED IN QUANTITY PER PACKAGE and are PACKED STRICTLY IN ACCORDANCE WITH THE IATA/ICAO DANGEROUS GOODS REGULATIONS, they then become safe for carriage by air. ANY DEVIATION however from the quantity limitations per package and/ or the packaging specifications, could cause a major disaster involving loss of life and loss or damage to aircraft. Some dangerous goods cannot be carried by air under any circumstatnces. We will see that dangerous goods fall into 3 categories”. 1. ACCEPTABLE FOR EITHER PASSENGER OR CARGO AIRCRAFT 2. ACCEPTABLE FOR CARGO AIRCRAFT ONLY 3. NOT ACCEPTABLE FOR AIR CARRIAGE AT ALL Tujuan yang akan dicapai Setelah mengikuti dangerous goods Refresher peserta akan dapat menjelaskan kembali tata-cara penerimaan dan pengiriman bahan/barang berbahaya (DG) dengan pesawat udara, serta menggunakan buku manual secara IATA/ICAO Regulation. IATA/ICAO – Dangerous Goods Regulation ICAO Annex – 18 tentang prosedur pengangkutan bahan/barang berbahaya CASR: Civil Aviation Safety Regulation 49-CFR I. Menurut IATA/ICAO dangerous goods dibagi kedalam 9 golongan (class) dan 16 sub golongan (Divisi) yaitu: Golongan : 1 - Explosives ( mudah meledak) Sub-gol : 1.1 – Article Sub-golongan: 1.2 – Article and substances Sub-golongan: 1.3 - Articles Sub-golongan: 1.4 – Articles Sub-golongan: 1.5 – Articles Sub-golongan: 1.6 – Articles

Contoh: TNT, Dynamite or Torpedoes Distress signals, Fuse igniters Ammunition for hand weapons, for signal, Safety Fuses, some types of Fireworks Golongan : 2 – Gases ( udara ) Sub-golongan: 2.1 – Flammable gas ( gas yang mudah terbakar) Contoh: Butane, Hydrogen, Propane, Acetylene, Lighters Sub-golongan: 2.2 – Non-flammable, non-toxic gas ( gas yang tidak terbakar dan tidak beracun) Contoh: Carbon dioxide Neon, Fire extinguisher, or low temperature liquefied gas as: liquefied Nitrogen or Helium Sub-golongan: 2.3 – Toxic gas ( gas beracun) Contoh: Aerosols of low toxicity, Tear gas devices Golongan : 3 – Flammable Liquid ( benda cair yang mudah terbakar) Contoh: Paint, Alcohols, some Adhesives, Acetone, Petrol, etc. Golongan : 4 – Flammable Solids Sub-golongan: 4.1 – Flammable Solids ( zat padat yang mudah terbakar) Contoh: Matches, Sulphur, Nitronaphthalene Sub-golongan: 4.2 – Subtsances liable to spontaneously combastion ( zat mudah meledak) Contoh: White or Yellow phosphorus, Magnesium dinamide Sub-golongan: 4.3 – Substances which, in contact with water, emit flammable gas (zat padat jika terkena air akan berubah menjadi gas dan mudah terbakar) Contoh: Calcium carbide, Sodium Golongan : 5 – Oxidizing substances and Organic peroxide Sub-golongan: 5.1 – Oxidizer ( zat yang mudah beroksidasi dengan zat lain) Contoh: Ammonium nitrate feltilizer, Calcium chlorate, Bleaches Sub-golongan: 5.2- Organic peroxides ( zat yang mudah berorganic dengan zat lain) Contoh: ter-Butyl hydroperoxide Golongan : 6 – Toxic and Infectious Substances Sub-golongan: 6.1 – Toxic substances ( zat yang beracun) Contoh: Arsenic, Nicotine, Cyanide, Pesticides, Strychnine Some are totally forbidden: Bromoacetone Sub-golongan: 6.2 – Infectious substances ( zat yang dapat mengakibatkan infeksi dan kematian) Contoh: Viruses, Bacteria, such as HIV (AIDS), Rabies, some diagnostic specimens and biological products and Medical and Clinical waste Golongan : 7 – Radioactive material ( zat yang dapat mengeluarkan sinar radiasi) Contoh: Radionuclides or isotopes for medical or industrial: such as Cobalt 60, Caesium 131 and Iodine 132 Golongan : 8 – Corrosives ( zat yang dapat mengakibatkan korosi = karat)

Contoh: Battery acids, Mercury, Sulphuric acid Golongan : 9 – Miscellaneous Dangerous Goods (zat diluar 8 golongan DG) Contoh: Asbestos, Life Tafts, Internal Combastion Enginges Dry Ice, Carbon dioxide, solid, magnetors and non-shieled permanent magnets without keeper bars installed.

STUDI HUKUM PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN YANG MELIBATKAN PROFESI PEMANDU LALU LINTAS UDARA Umum Konvensi internasional negara-negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO) di Tokyo pada tahun 1963 melakukan pembahasan terkait “offences and certain other acts on board aircraft” atau pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara. Konvensi kemudian dilanjutkan di Hague pada tahun 1970 untuk membahas hal-hal yang terkait dengan “suppresion of unlawful seizure of aircraft”11 atau pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, hingga pada akhirnya konvensi di Montreal pada tahun 1971 kembali membahas mengenai “suppresion of unlawful act againts the safety of civil aviation” atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam keamanan penerbangan sipil. Disepakati bahwa negara-negara anggota memiliki kewajibkan untuk turut serta dalam pencegahan atas tindakan-tindakan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan sipil secara global serta membentuk ketentuan atau aturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan substansi dari konvensi tersebut. Pemerintah Republik Indonesia selaku anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 menyusun serta menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan yang berlaku pada tanggal 26 April 1976 serta menambahkan sebuah bab baru setelah Bab XXIX dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan terperinci mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan. Dengan adanya penambahan dalam KUHP tersebut menimbulkan suatu istilah baru dalam pengertian suatu delik pidana, yaitu tindak pidana penerbangan, dimana “setiap perbuatan yang memenuhi rumusan pasal yang termuat dalam Bab XXX atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r KUHP tersebut dinyatakan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan”.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Delik-delik yang termasuk kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran dimuat dalam Buku III, akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria yang digunakan dalam membedakan antara kedua jenis delik tindak pidana tersebut. Terdapat beberapa pendapat dalam membedakan kedua jenis delik tersebut, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif, kedua delik tersebut dibedakan menjadi rechtdelicten dan wetsdelicten. Yang dimaksud dengan rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, namun yang menjadi tolak ukur adalah apakah perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan rasa keadilan, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai suatu kejahatan. Sedangkan yang disebut dengan wetsdelicten adalah apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturanperundang- undangan dinyatakan sebagai suatu delik yang diancam dengan pidana, maka perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran. Sudarto memiliki pandangan terkait dengan pembedaan secara kualitatif tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa: “perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan” Pendapat kedua, yang membedakan antara kedua jenis delik tersebut secara kuantitatif, “hanya dengan meletakkan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, yaitu pelanggaran merupakan perbuatan yang lebih ringan daripada kejahatan”15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yang memuat tentang kejahatan dalam penerbangan dan sarana / prasarana penerbangan dalam KUHP menunjukkan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa tindak pidana penerbangan termasuk dalam jenis kejahatan, terlebih lagi karena dimuat dalam buku II KUHP. Ketentuan pidana dalam regulasi penerbangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana. Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan dalam undangundang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini. Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang,

sesuai dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada perusahaan ataupun pengurusnya. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum, yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi, undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus, karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif. Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk melakukan penyidikan disamping penyidik Polri. Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll. Menurut statistik, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar, disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus. Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung

dengan aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan. Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada timbulnya kecelakaan yang fatal. Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan. Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan sebuah peristiwa pidana. Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara aspek pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP. Final Resume Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu Lintas Udara di Indonesia. Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun aturan ini dimungkinkan dapat bertentangan dengan ketentuan dalam

Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut. Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor kesengajaan dan/atau kelalaian. Dimana penerapan peraturan perundang-undangan nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia

MARKA DI APRON (Petunjuk Pergerakan Pesawat Udara Di Apron) 1. APRON SAFETY LINE a. Adalah garis berwarna merah yang berada di Apron dengan lebar 0.15 meter. b. Fungsinya menunjukan batas yang aman bagipesawat udara dari pergerakan peralatan pelayanan darat (GSE).

c. Letak disekeliling peaswat udara. 2. AIRCRAFT LEAD-IN DAN LEAD-OUT LINE MARKING a. Adalah garis yang berwarna kuning di Apron dengan lebar 0,15 m. b. Fungsinya sebagai pedoman yang digunakan oleh peaswat udara melakukan taxi dari taxiway ke Apron atau sebaliknya.

c. Letaknya di Apron area. 3. AIRCRAFT STOP LINE MARKING

a. Adalah tanda berupa garis atau bar berwarna kuning. b.Fungsinya sebagai tanda tempat berhenti pesawat udara yang parkir. c.Letaknya di Apron area pada perpanjangan lead-in berjarak 6 m dari

akhir lead- in line. 4. APRON EDGE LINE MARKING a. Adalah garis berwarna kunimg disepanjang tepi Apron. b. Fungsinya menunjukan batas tepi Apron.

c. Letak pada sepanjang tepi Apron. 5. PARKING STAND NUNMBER MARKING a. Adalah tanda di apron berupa huruf dan angka yang berwarna kuning dengan latar belakang warna hitam. b. Fungsinya menunjukan nomor tempat parkir peaswat udara.

c. Letak di Apron area 6. AVIOBRIDGE SAFETY MARKING a. Adalah garis berwarna merah yang berada di Apron dengan lebar 0.15 meter. b. Fungsinya menunjukan batas yang aman bagipesawat udara dari pergerakan peralatan pelayanan darat (GSE).

c. Letak disekeliling peaswat udara. 7. EQUIPMENT PARKING AREA MARKING a. Adalah tanda berupa garis yang berwarna putih dengan lebar 0,15 m. b. Fungsinya sebagai pembatas pesawat udara denagn area yang diperuntukan sebagai tempat parkir peralatan pelayanan darat pesawat udara.

c. Letak di Apron area. 8. NO PARKING AREA MARKING a. Adalah tanda yang berbentuk persegi panjang dengan garis-garis berwarna merah yang tidak boleh digunakan untuk parkir peralatan. b. Fungsinya : - Digunakan untuk manuver towing tractor. - Digunakan untuk kendaraan bila terjadi emergency.

c. Letak didepan pesawat udara. 9. SERVICE ROAD MARKING a. Adalah tanda berupa 2 (dua) garis yang parallel sebagai batas pinggir jalan dan garis putus-putus sebagai petunjuk sumbu jalan berwarna putih dengan lebar garis 0,15 m. a. Fungsinya membatasi sebelah kanan dan kiri yang memungkinkan pergerakan peralatan (GSE) terpisah dengan pesawat udara.

b. Letak di Apron Area.

GROUND HANDLING PESAWAT TERBANG

Ground Handling berasal dari kata ground dan handling, ground artinya darat atau didarat sedangkan handling berasal dari kata dasar hand atau handle yang artinya tangan atau tangani, to handle berarti menangani atau melakukan suatu pekerjaan tertata dengan penuh kesadaran. Handling berarti penanganan atau pelayanan, sehingga pada banyak kesempatan kita sering menjumpai pemikiran kata ground service(pelayanan darat atau airport). Jadi Ground Handling adalah suatu pelayanan atau penanganan terhadap para penumpang berikut bagasinya cargo pos dan peralatan pembantu pergerakan pesawat didarat dan selama berada di darat baik untuk kedatangan atau keberangkatan. Berdasarkan arti diatas kita dapat mengetahui ruang lingkup dan batas pelayanan ground handling yaitu pada fase atau tahap pre fligth dan post fligth yaitu penanganan penumpang dan pesawat selama berada di darat ,secara teknis operasional aktivitas ground handling dimulai pada saat pesawat taxi, mesin pesawat sudah dimatikan, roda pesawat sudah diganjal dan para penumpang sudah turun atau keluar dari pesawat.Ground Handling mencakup antara lain: a. Prosedur keberangkatan dan kedatangan penumpang. b. Prosedur keberangkatan dan kedatangan cargo/mail. c. Prosedur keberangkatan dan kedatangan pesawat udara. d. Lay out sebuah air port. e. Membaca ABC Guide, Time Table, Travel Information Manual. f. Cara menghitung flight time. g. Cara memeriksa paspor ,Visa, Health Certificate, tiket, Fiskal Airport Tax. h. Aircraft and pisitioning of the transpotation equipment. i. Hal hal yang berhubungan dengan pesawat udara : 1) Cleaning (membersihkan) 2) Catering (menyediakan makanan dan minuman) 3) Fueling (pengisian bahan bakar)

4) Marshalling / parkir (memarkir pesawat) 5) Push back (alat pendorong pesawat) 6) Maintenance (pemeliharaaan) Sedangkan menurut Annex 6 part III section general “ Aircraft Operation” Ground Handling adalah “Suatu pelayanan yang perlu untuk pesawat pesawat yang datang dari atau berangkat ke suatu bandar udara selain dari pelayanan lau lintas penerbangan. Prosedur ground handling yang di maksud adalah sebagai berikut : Parkir dan Pergerakan Pesawat Parkir dan pergerakan pesawat meliputi: a. Engine Starting Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan pada saat engine starting: 1) Selama engine starting / running pada area ramp, diperlukan kewaspadaan dari semua pihak yang ada di ramp untuk menjamin keselamatan pada penumpang dan barang, petugas dan peralatan yang ada di sekitar pesawat. 2) Selama urutan proses engine starting harus diawasi oleh orang yang memiliki otorisasi (dinyatakan oleh sertifikat/licence yang dikeluarkan oleh instansi berwenang). 3) Disamping bertugas mengawasi proses engine starting, juga berkoordinasi dengan petugas di area ramp lainnya untuk memastilkan bahwa area bahaya dari engine baik itu isapan (engine intake) ataupun area semburan (exhaust) terbebas dari orang ataupun benda. 4) Orang yang bertugas mengontrol starting engine harus memastilkan bahwa sebelum proses engine starting dimulai seluruh pintu akses dan pintu panel di pesawat telah tertutup dan terkunci.

5) Dalam proses starting engine flight crew hendaknya mengadakan komunikasi dengan petugas ground untuk memastikan bahwa proses starting berjalan lancar. Alat komunikasi umumnya digunakan head set atau hand signaling. 6) Petugas di Ramp hendaknya menghindari gerakangerakan yang memungkinkan terjadinya salah interpretasi komunikasi dengan flight crew dalam mengendalikan proses starting ataupun pergerakan pesawat (A/C movement). 7) Petugas di darat yang bertanggung jawab pada proses engine starting harus memiliki pengetahuan tentang semua prosedur dan regulasi yang berhubungan dengan proses engine starting tersebut. 8) Semua pin pada gear, tutup pitot, wheel chock, static ground wire dan ground power harus sudah dilepas sebelum pesawat berangkat. 9) Sebagai perlindungan terhadap bahaya kebakaran, harus ada pemadam api di dekat area pesawat, selama proses engine starting. b. Pemanduan pergerakan pesawat (Marshalling) Pesawat karena ukuran dan beratnya merupakan benda yang sangat sulit untuk berhenti dan bergerak atau berjalan secara tiba-tiba atau juga melakukan pergerakan di area yang sempit. Salah satu prosedur keselamatan yang sangat penting dalam proses parkir dan pergerakan pesawat di ramp adalah komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi dengan menggunakan isyarat tangan atau lebih dikenal dengan Prosedur Hand Signaling (Marshalling). Selanjutnya mengacu pada surat keputusan nomor : SKEP / 81 / X / 1998 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Ground Support Equipment, Bahwa setiap petugas atau personil yang memandu parkir pesawat harus sudah terlatih dan memiliki sertifikat, yang dikeluarkan oleh Direktorat Keselamatan Penerbangan Dirjen Perhubungan Udara Departemen

Perhubungan.Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan oleh pemandu pergerakan atau parkir dari pesawat udara: 1. Pemandu untuk pergerakan yang spesifik (parkir pesawat) harus betul teramati oleh Flight Crew pesawat yang akan dipandu. 2. Pemandu menggunakan tanda isyarat tangan yang sudah baku. 3. Pemandu harus dalam posisi yang teramati dan menjaga kontak komunikasi visual sampai pesawat benar-benar berhenti. 4. Untuk menghindari kemungkinan salah interpretasi, jika dalam waktu bersamaan ada pergerakan lain selain pesawat yang memerlukan panduan seperti cargo atau GSE, hendaknya pesawat tetap menjadi prioritas sampai pesawat selesai dipandu dan benarbenar berhenti

MENGGUNAKAN HANDY TALKY DI MOVEMENT AREA Menurut Kamus Hukum dan regulasi Penerbangan edisi pertama karangan DR.H.K Martono, SH.,L.L.M (2009) 1. Komunikasi adalah suatu sistem dan proses menggunakan pengiriman dan penerimaan informasi, biasanya menggunakan gelombang radio dan system yang berkaitan dengan itu; dalam dunia penerbangan penyebaran informasi penerbangan melalui komunikasi sangat penting untuk menjamin keselamatan penerbangan. 2. komunikasi radio (radio communications) adalah setiakomunikasi yang menggunakan gelombang hertz. 3. komunikasi administrative penerbangan (aeronautical administrative communications) adalah komunikasi yang digunakan untuk operasi penerbangan yang berkenaan dengan aspek bisnis pengoperasian penerbangan dan transportasinya. Komunikasi ini digunakan untuk berbagai aktivitas seperti penerbangan dengan transportasi darat, pembukuan, pengaturan awak pesawat udara dan pesawat udara dan keperluan logistic lainnya untuk menjamin effesiensi seluruh kegiatan penerbangan (Annex 10 /III) Walaupun komunikasi sudah dipelajari sejak lama dan termasuk “barang antik”, topik ini menjadi penting khususnya pada abad 20 karena pertumbuhan komunikasi digambarkan sebagai “penemuan yang revolusioner”, hal ini dikarenakan peningkatan teknologi komunikasi yang pesat seperti radio. Televisi, telepon, satelit dan jaringan komuter seiring dengan industiralisasi bidang usaha yang besar dan politik yang mendunia. Komunikasi dalam tingkat akademi mungkin telah memiliki departemen

sendiri dimana komunikasi dibagi-bagi menjadi komunikasi masa, komunikasi bagi pembawa acara, humas dan lainnya, namun subyeknya akan tetap. Pekerjaan dalam komunikasi mencerminkan keberagaman komunikasi itu sendiri. Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Laswell (Wikipedia;2010) komponen-komponen komunikasi adalah: 1. Pengirim atau komunikator (sender) adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lain. 2. Pesan (message) adalah isi atau maksud yang akan disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain. 3. Saluran (channel) adalah media dimana pesan disampaikan kepada komunikan. Dalam komunikasi antar-pribadi (tatap muka) saluran dapat berupa udara yang mengalirkan getaran nada/suara. 4. Penerima atau komunikate (receiver) adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain 5. Umpan balik (feedback) adalah tanggapan dari penerimaan pesan atas isi pesan yang disampaikannya. 6. Aturan yang disepakati para pelaku komunikasi tentang bagaimana komunikasi itu akan dijalankan ("Protokol") Masih menurut Wikipedia, Proses komunikasi secara berlangsungnya komunikasi bisa digambarkan seperti beriku :

ringkas,

proses

“Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. Pesan yang disampaikan itu bisa berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun lewat simbol-simbol yang bisa dimengerti kedua pihak. 1. Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telepon, surat, e-mail, atau media lainnya. 2. Media (channel) alat yang menjadi penyampai pesan dari komunikator ke komunikan 3. Komunikan (receiver) menerima pesan yang disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti oleh komunikan itu sendiri. 4. Komunikan (receiver) memberikan umpan balik (feedback) atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim Menurut Kamus Hukum dan regulasi Penerbangan edisi pertama karangan DR.H.K Martono, SH.,L.L.M (2009) daerah pergerakan adalah : (19) daerah pergerakan (movement) area adalah bagian dari suatu Bandar Udara yang digunakan untuk mendarat, lepas landas, dan taxiing pesawat udara yang terdiri dari daerah maneuver dan apron (SKEP/123/VI/99 yo Annex 4/ 7th edition)

Radio telephony menurut Doc 9432 –AN/925 (manual radio telephony) adalah komunikasi antara pilot dengan ground personil atau dengan yang lainnya digunakan untuk mengirimkan perintah informasi yang layak,penting dalam membantu keselamatan penerbangan dan kelancaran operasi penerbangan. Dalam berbicara sering kali orang melakukan kesalahan. kesalahan ini terjadi ketika melakukan koreksi,pengulangan kesalahan, penyusunan kata dan salah pengucapan. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan penggunaan radio telephony dipangkalan udara halim perdanakusuma antara unit pemadam kebakaran dengan tower, dimana waktu penggunaan radio telephony saat ini yang digunakan pada saat anggota pemadam kebakaran ingin menyebrang runway harus contact tower untuk menghindari collision. Handy Talky adalah pesawat penerima dan pemancar (transreceiver) yang bekerja pada frequensi VHF yang ditentukan dengan bentuk dan kemampuan daya pancar yang paling kecil dibandingkan dengan perangkat lainnya, dengan tujuan agar mudah dibawa dan dipergunakan sebagai komunikasi dilapangan(handheld), pesawat ini menggunakan battray sebagai sumber tenaganya dan dilengkapi dengan single charger untuk pengisian ulang batteray. Penggunaan handy talky sebagai sarana komunikasi antara pamadam kebakaran dengan tower yang beraktivitas sehari harinya di movement area sangatlah dimungkinkan, karena sarana ini sangat praktis dan tidak terkendala dengan signal ataupun cuaca dan penyampaian atau penerimaan berita tidak tertulis dan sanggat cepat dilakukan. untuk mendukung kinerja dari system komunikasi radio perlu perangkat lunak yaitu suatu standar prosedur penggunaan handy talky sebagai pedoman untuk mengatur tata caranya untuk mencapai hasil guna dalam daya guna serta keseragaman dalam menyelenggarakan komunikasi di lingkup bandar udara . Movement area merupakan wilayah kewenangan dari Aerodrome Control Tower (Tower). Oleh karena itu untuk memasuki wilayah tersebut harus mendapat izin dari unit Tower. Ketentuan ini diatur dalam ICAO Document 4444 Air Traffic Management edisi kelimabelas tahun 2007, yaitu pada: Chapter 7.5.3.2.1 The movement of pedestrians or vehicles on the movement area shall be subject to authorization by the aerodrome control tower, persons, including driver off all vehicles, shall be required to obtain authorization form the aerodrome control tower before entry to the movement area. Notwithstanding such an authorization, entry to a runway or runway strip or change in the operation authorized shall be subject to a further specific authorization by the aerodrome control tower. All vehicles and pedestrians shall give priority to aircraft which are landing, taxiing or taking off, except that emergency vehicles proceeding to assistance of an aircraft in distress shall be afforded priority over all other surface movement traffic. In the latter case, all movement of surface traffic should, to the extent practicable, be halted until it is determined that the progress of the emergency vehicles will not be impeded. Selain itu juga kewenangan yang diberikan Aerodrome Control Tower juga diatur dalam Annex 14 Aerodrome edisi ketiga tahun 2006 (8.8.1) yaitu: A vehicle shall be operated on a movement area only as authorized by the Aerodrome Control Tower

Ketentuan Operasi Di Movement Area (Daerah pergerakan) Untuk beroperasi di movement area, terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. 1. Orang dan kendaraan yang beroperasi di movement area harus dijauhkan dari pergerakan pesawat, 2. Kendaraan yang beroperasi di movement area harus dilengkapi dengan radio komunikasi atau ada perjanjian sebelumnya dengan unit Aerodrome Control (ADC) Maksudnya adalah pada suatu controlled aerodrome, semua kendaraan yang beroperasi di movement area harus dilengkapi dengan radio komunikasi dua arah dengan Aerodrome Control Tower kecuali jika kendaraan tersebut beroperasi : (a) Disertai dengan kendaraan lain yang dilengkapi dengan radio komunikasi dua arah, atau (b) Ada perjanjian sebelumnya dengan Aerodrome Control Tower. Selain dengan menggunakan komunikasi, dapat juga dengan menggunakan tanda yang dapat dilihat sesuai dengan ketentuan di dalam Annex 11 Air Traffic Services edisi ketigabelas tahun 2001 (6.3.1.1) yaitu : Two way radiotelephony communication facilities shall be provided for aerodrome control service for the control of vehicles on the movement area, except where communication by a system of visual signal is deemed to be adequate. Menurut KM 24 Tahun 2009 tentang radio komunikasi di movement area, “radio komunikasi (baik yang hand-held maupun yang dipasang di kendaraan yang dipergunakan penyelenggara Bandar udara”. Mewajibkan penyelenggara Bandar Udara menyediakan radio komunikasi dalam setiap kegiatan di movement area. Prosedur Penggunaan Handy Talkie Sebelum menggunakan Handy Talky para pengguna harus mengetahui tata cara dan prosedur penggunaan Handy Talkie di lingkup Bandar Udara Halim Perdanakusuma, agar tercipta keseragaman tata cara memanggil ataupun menjawab dan juga etika berbicara apabila menggunakan Handy Talky. a) Sopan santun dalam berkomunikasi dengan Handy Talky b) Cara memanggil 1. Bila panggilan pertama tidak langsung dijawab, tunggu kurang lebih 5 detik baru panggil kembali. 2. Pada saat seseorang memanggil dan belum ada jawaban,jangan dimasuki panggilan dari station lain,yang seolah-olah menyerobot komunikasi orang lain.

3. Bila sampai 4 atau 5 kali panggilan tidak menjawab, hentikan panggilan untuk memberikan kesempatan kepada station yang lain berkomunikasi selanjutnya mencari informasi keberadaan station yang di panggil tersebut dengan menggunakan sarana komunikasi yang lain. 4. Bila tidak ada sarana komunikasi yang lain, pemanggilan dapat di ulangi lagi. c) Cara menjawab 1. Apabila mendengar panggilan sesegera mungkin untuk di jawab. 2. Jawaban terhadap panggilan, hendaknya singkat dan sopan dengan tetap berpegang pada prosedur komunikasi. 3. Contoh menjawab panggilan: -panggilan : ALPHA – BRAVO -jawaban : BRAVO – ALPHA GO A HEAD d) Cara berkomunikasi 1. Saat berbicara jarak HT ±2.5cm dari mulut dengan posisi tegak. 2. Tekan PTT selama ±2 detik baru berbicara dan segera lepas tombol PTT setelah selesai berbicara. 3. Lakukan komunikasi dengan tertib secara bergiliran dengan memperhatikan hierarki dan atau urgensi berita. 4. Gunakan kerahasiaan, hindarkan penyebutan nama, jabatan atau senioritas dalam percakapan, gunakan Callsign yang telah ditentukan. 5. Berbicara dengan singkat dan jelas. 6. Pada kata-kata yang meragukan perlu diulangi/dieja sesuai dengan ejaan radio telephonny. 7. Berbicara dengan menggunakan kecepatan sedang dengan irama yang baik. 8. Biasakan menggunakan sandi percakapan yang berlaku 9. Panggilan maksimal 3x

Policy Overview - Sarana & Prasarana Transportasi Penerbangan

1. Sarana a. Armada Penyediaan armada udara dalam rangka optimalisasi pelayanan transportasi udara nasional meliputi : 1). Pengadaan pesawat udara untuk penumpang atau kargo dilakukan evaluasi teknis dan operasi. 2). Untuk keperluan khusus pengoperasian pesawat udara dalam negeri boleh registrasi asing dan dioperasikan oleh badan hukum Indonesia serta masuk AOC yang mengoperasikan. 3). Sertifikat operator pesawat udara (AOC) diterbitkan oleh pemerintah pusat dan dilakukan evaluasi teknis, operasi, ekonomi, SDM dan keuangan. 4). Sertifikasi type dan sertifikasi produksi pesawat diterbitkan oleh pemerintah pusat yang disempurnakan dan diharmonisasikan dengan peraturan internasional serta evaluasi teknis, SDM sesuai CASR. 5). Audit mutu berkala AOC. 6). Pesawat udara sipil milik warga negara asing atau Badan Hukum Asing yang tidak didaftarkan di negara lain dan dioperasikan oleh WNI atau Badan Hukum Indonesia berdasarkan mutu perjanjian sewa beli, sewa guna atau bentuk peraturan lainnya, dapat memperoleh tanda pendaftaran Indonesia. b. Sertifikasi dan Kelaikan Udara, Pengoperasian dan Perawatan Pesawat

Udara 1). Mewajibkan secarah penuh bagi operator pesawat udara yang mengoperasikan pesawat udara berpenumpang lebih dari 30 penumpang untuk melaksanakan modifikasi pintu tahan peluru. 2). Pemerintah mengatur Penerapan Reduce Vertical Separation Minima (RVSM) inclusive secara bertahap untuk mulai dari ketinggian 40.000 feet ke

ketinggian 29.000 feet seluruh air space untuk pesawat udara jenis jet penumpang dan cargo termasuk penerbangan excecutive, dengan mengevaluasi kemampuan peralatan pesawat udara dan pilot untuk pemenuhan persyaratan operasi RVSM, dan disarankan untuk pesawat yang beroperasi dengan kemampuan RVSM dilengkapi dengan TCAS/ACAS II. 3). Penerapan manajemen penerbangan secara horizontal (RNP) 10 secara bertahap sebagai perpanjangan jalur Utara-Selatan termasuk jalur Timur –Barat dimana persyaratan sertifikasi kemampuan peralatan pesawat udara , personil operasi harus memenuhi persyaratan RNP 10. 4). Penerapan manajemen kebisingan (pengoperasian dengan tingkat kebisingan rendah) secara bertahap dilakukan dengan cara pembatasan jam operasi pada pagi dan malam hari pada airport yang telah dikelilingi oleh kepadatan penduduk atau bertahap pembatasan pendaftaran pesawat udara yang tingkat kebisingannya diatas level kebisingan tingkat 3 (stage 3), dan tahun 2008 tidak mengijinkan/melarang pengoperasian pesawat udara yang tingkat kebisingan diluar stage 3. 5). Secara bertahap membatasi pemasukan /pendaftaran pesawat udara tua yang telah berumur lebih dari 20 (dua puluh ) tahun dengan pertimbangan kerumitan dan biaya perawatan, ketentuan persyaratan operasi yang terus meningkat serta kemampuan perusahaan operator pesawat udara untuk menjaga kelanjutan tersedianya angkutan transportasi udara.

6). Secara bertahap mendorong operator pesawat udara untuk meningkatkan kemampuan pesawat udaranya untuk menggunakan komunikasi dengan data, memberikan kebijakan kemudahan penyebaran pusat perawatan link dan navigasi via frequency atau satelit sebagai tahapan dari implementasi CSN/ATM), termasuk penggunaan alat bantu surveillance ADS(B) broadcasting dengan pemasangan ATC transponder mod S. 7). Sehubungan perubahan ICAO Annex 6 yang akan disesuaikan dengan CASR 91,121 dan 135 yang tidak lagi mengatur penggunaan ELT freq 121,5 dan tahun 2009 hanya mengatur ELT freq 121,5 dan 406 MHz , secara bertahap mulai tahun 2006 mensyaratkan pesawat udara untuk memasang ELT dengan freq 121,5 dan 406 MHz sebanyak 2 (dua) unit untuk pesawat yang beroperasi diatas perairan atau pesawat yang beroperasi 50 mile dari pesisir pantai, dan 1 (satu) unit untuk pesawat yang

beroperasi didaratan dan implementasi secara keseluruhan tahun 2010. 8). Badan Hukum Indonesia sebagai pemegang Sertifikat Operator Pesawat Udara 121 (AOC 121) yang berpenumpang lebih dari 30 dan kargo , Sertifikat Operator Pesawat Udara 135 (AOC 135) yang berpenumpang lebih kecil dari 30 dan kargo , Ijin Operasi/ Operating Permit 91 yang mengoperasikan pesawat non komersial yang diperbolehkan mengoperasikan pesawat udara sipil di wilayah Indonesia. 9). Untuk keperluan khusus pengoperasian pesawat udara registrasi asing di wilayah Indonesia oleh perusahaan operator penerbangan berbadan hukum Indonesia dapat diijinkan setelah melalui evaluasi teknis dan opersi , kedua otoritas negara melakukan perjanjian pendelegasian wewenang dibidang kelaikan udara sesuai dengan article Bis 83 ICAO, 10).Mempertahankan kemampuan perawatan rangka pesawat udara mulai berbadan kecil hingga berbadan besar sekelas B 747-400 yang telah dimiliki serta meningkatkan manajemen efisien dan efektifitas, dan secara bertahap memberikan kebijakan kemudahan penyebaran pusat-pusat perawatan pesawat udara diluar Pulau Jawa khususnya bandara yang bukan titik penyebaran sebagai tempat kegiatan perawatan pesawat udara sehingga terjadi penyebaran fasilitas perawatan keseluruh Indonesia yang kemudian akan menjadikan home base -home base perawatan. 11).Secara bertahap memfasilitasi kemampuan perawatan komponen pesawat udara yang memerlukan keahlian khusus dan ketelitian tinggi terutama komponen pesawat yang berbasis logic komputerisasi, termasuk keahlian khusus dalam pekerjaan chemical heat treatment process dan kemampuan uji keretakan. 12).Secara bertahap memfasilitasi kegiatan kerjasama perawatan pesawat udara , termasuk kerjasama pinjam meminjam komponen pesawat udara antar perusahaan penerbangan (pooling system spare part).

2. Prasarana a. Bandar Udara

1). Hirarki fungsi dalam Tatanan Kebandarudaraan adalah tetap : a). Bandar Udara Pusat Penyebaran b). Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran 2). Kebijakan pembangunan adalah tetap dilaksanakan secara efisien dan efektif dengan pertimbangan pemenuhan permintaan jasa transportasi udara serta menunjang wawasan nusantara dan ketahanan nasional. 3). Pengoptimalan prasarana transportasi udara (bandara) di lokasi bencana dan rawan bencana sehingga dapat melayani operasi pesawat Hercules C-130 atau F-27 dalam rangka evakuasi dan distribusi bantuan, sesuai prioritas program pengembangan bandar udara. 4). Pembangunan prasarana transportasi udara (bandara) di daerah perbatasan untuk operasi pesawat F-27 dengan daya dukung landasan mampu didarati pesawat C-130 (Hercules), sesuai prioritas pengembangan bandar udara. 5). Membuka peluang kerjasama lebih besar dalam : a). Penyelenggaraan Bandar Udara b). Pengelolaan Fasilitas 6). Penggunaan Bandar udara secara bersama Sipil dan Militer pada satu sisi 7). Pemenuhan Dokumen Pengoperasian Bandar Udara dalam kerangka Sertifikat Bandar Udara : Rencana Induk dan KKOP 8). Pemenuhan fasilitas bandar udara untuk peningkatan keamanan dan keselamatan penerbangan terkait dengan pengoperasian pesawat udara : RESA. 9). Eco–Airport (Sustainable Airport Development) : Mempunyai dokumen AMDAL 10).Penerapan automatisasi pada bandar udara 11).Penyediaan peralatan dan bahan PKP-PK harus sesuai dengan kategori Bandar Udara dan tidak boleh di down grade

12).Penyediaan fasilitas pemindahan pesawat yang mengalami kecelakaan (salvage equipment) agar disediakan dengan memperhitungkan kedekatan dengan bandara yang hanya memiliki satu landasan pacu (runway) 13).Semua SDM PKP-PK harus sudah mengikuti pendidikan yang sesuai dengan tingkat tugas/ jabatannya dan memiliki sertifikat kecakapan personil (SKP) serta rating yang sesuai. 14).Penyediaan fasilitas dan bahan PKP-PK harus sesuai dengan kategori PKP-PK bandara ( tidak ada level yang Down Grade). 15).Memperkecil efek dari keadaan darurat dalam hubungannya menyelamatkan jiwa manusia dan keberlangsungan operasi pesawat udara dengan menyiapkan perencanaan, penanggulangan gawat darurat pada bandar udara. Dalam penyelamatan jiwa manusia terhadap pesawat udara yang mengalami kejadian atau kecelakaan di sekitar bandar udara dengan memberikan training dan penyiapan peralatan yang efektif sesuai standar ICAO dan pemenuhan personil. 16).Penyediaan fasilitas pertolongan kecelakaan pesawat udara yang dapat menjangkau di daerah rawa dan perairan atau daerah yang sulit dijangkau oleh Rescue Vehicle. 17).Semua personil transportasi udara terlatih dalam implementasi Airport Emergency Plan. 18).Pelaksanaan latihan Penanggulangan keadaan gawat darurat pada setiap bandar udara maksimal 1 kali dalam 2 (dua) tahun.

b. Navigasi Penerbangan Kebijakan pembangunan di bidang Navigasi Penerbangan adalah sebagai berikut: 1) Air Traffic Management a) Airspace Management - Optimasi sektorisasi ruang udara pada AR4, AR9 dan rute domestik.

- Random RNAV Routes (Incl. Flex T) pada AR2, AR4, AR9 dan rute domestik. - Persiapan penerapan RCP (Required Communication Performance) - Penerapan RSP (Required Surveillance Performance). b) Air Traffic Services - Persiapan penerapan Minimum Safe Altitude Warning - Persiapan penerapan Conflict Predicition - Persiapan penerapan Conflict Alert - Persiapan penerapan Conflict Resolution Advice - Reduce Vertical Separation masih diberlakukan diruang udara Indonesia pada FL310 – FL410. - Persiapan penerapan Reduced Lateral Separation - Persiapan penerapan Independent IFR approaches to closely-spaced runways - Persiapan penerapan RNAV untuk SIDs and STARs - Persiapan penerapan Curved and segmented approaches - Persiapan penerapan Arrival metering, sequencing and spacing - Persiapan penerapan A-SMGCS - Persiapan penerapan communications

ATS

inter-facility

data

(AIDS)

- Penerapan Ground-Ground data link c) Air Traffic Flow Management - Centralized ATFM akan ditentukan kemudian - Inter-regional co-operative ATFM akan ditentukan kemudian

- Establishment kemudian

of

ATFM

databases

akan

ditentukan

- Application of strategic ATFM planning akan ditentukan kemudian - Application of pre-tactical ATFM planning akan ditentukan kemudian - Application of tactical ATFM planning akan ditentukan kemudian 2) Komunikasi a) Demo dan Uji coba - AMSS direncanakan untuk diuji-cobakan di Makassar - HF Data direncanakan untuk diuji-cobakan di Makassar - VHF Data direncanakan untuk diuji-cobakan di Makassar - Mode S direncanakan untuk dilaksanakan di Jakarta dan Makassar - ATN (Ground - Ground) direncanakan untuk dilaksanakan di Jakarta dan Makassar - ATN (Air - Ground) akan ditentukan kemudian b). Penerapan operasional - AMSS akan diimplementasikan di Makassar - HF Data akan ditentukan kemudian - VHF Data akan diimplementasikan di Makassar - Mode S akan diimplementasikan di Jakarta dan Makassar - Penerapan ATN (Ground - Ground) di Jakarta dan Makassar - ATN (Air - Ground) akan ditentukan kemudian 3) Navigasi

a) Demo dan Uji coba - Penggunaan GNSS (ABAS) sebagai alat bantu navigasi untuk Non Precision Approach b) Penerapan operasional - Penerapan GNSS untuk En-route - Penerapan GNSS untuk Terminal - Penerapan GNSS untuk Non Precision approach dibeberapa lokasi overlay dengan VOR/DME - Persiapan penerapan GNSS untuk Precision approach 4) Pengamatan a) Demo dan Uji coba - ADS-B menggunakan Mode-S b) Penerapan operasional - PSR tidak dipertahankan, baik untuk en-route maupun terminal. - Penerapan ADS-B dilokasi tertentu kepadatan lalu-lintas yang rendah

dengan

tingkat

- Penerapan ADS/CPDLC pada remote area dan oceanic. - Penerapan MSSR Mode S 5). NASC a) Telahaan Operasional dan Prosedur sehari hari b) Telahaan ISO 9000 c) Pembangunan Sistem Pusat Informasi Aeronautika Indonesia baik software, hardware dan brainware d) Pembangunan AIS Aerodrome ( Briefing Office ) di 50 bandara

e) Pembangunan sistem informasi Aeronautika berbasis internet f) Penyatuan sistem One stop shopping Flight Plan : ARO, AIS dan Meteo satu atap

ATS Safety & Contingency Tujuan dari Pelayanan Lalu Lintas Penerbangan yang tersurat dalam UndangUndang No.1 tahun 2009 pasal 278 sebagai berikut : “ Pelayanan lalu lintas penerbangan mempunyai tujuan : a) mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di udara; b) mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area); c) memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan; d) memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan e) memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).” Indonesia adalah salah satu anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), yang mensyaratkan kepada setiap negara anggotanya untuk selalu konsekuen melaksanakan isi dari Konvensi Chicago pada tahun 1944 yang dituangkan ke dalam Annexes dan Documents. ICAO di dalam Dokumen 9426 ATS Planning Manual Chapter II Paragraf 1.3.3.1 menyebutkan “The state(s) responsible for providing air traffic service and related supporting services in particular portions of air service is (are) also responsible, in the event of disruption or potential disruption of these service, for instituiting measure to ensure the safety of international civil aviation operations and, where possible for making provision for alternative facilities and services”. Dari kalimat di atas jelas dinyatakan bahwa ICAO meminta pada suatu negara yang memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan untuk bertanggung jawab jika pelayanan tersebut terganggu ataupun mempunyai potensi akan terganggu. Tanggung jawab tersebut bisa diwujudkan dengan membuat fasilitas dan layanan alternatif. Dalam pembuatan Contingency Plan, ICAO mensyaratkan di dalam Dokumen 9426 Paragraf I.3.5.1 “A contingency plan must be acceptable to providers and users of contingency services alike, i.e. in terms of the ability of the providers to discharge the functions assigned to them and in terms of safety of operations and traffic handling capacity provided by the plan in the circumstances.” Terjemahan bebas dari kalimat di atas adalah “Sebuah contingency plan haruslah dapat diterima oleh para penyedia layanan lalu lintas udara dan juga pengguna dari contingency plan tersebut dalam hal ini perusahaan penerbangan. Selain itu contingency plan tersebut juga harus memperhitungkan kemampuan dari penyedia layanan lalu lintas penerbangan yang diberikan tugas dalam contingency plan dalam menjalankan fungsinya terhadap keselamatan operasional penerbangan dan kemampuan dalam menangani tambahan traffic. Penambahan traffic ini haruslah

sesuai dengan kapasitas yang telah ditetapkan oleh penyedia lalu lintas penerbangan tersebut. Dalam Annex 11 – Air Traffic Services halaman 2-11 menyatakan bahwa program manajemen keselamatan pelayanan lalu lintas penerbangan (ATS Safety) harus : a) Mengidentifikasi kenyataan yang ada di lapangan dan potensi bahaya serta menentukan tindakan yang benar bila diperlukan. b) Menjamin tindakan yang diambil guna tetap menjaga keselamatan lalu lintas penerbangan. c) Selalu memonitor dan tetap menilai mutu keselamatan yang dicapai. Jika telah mengidentifikasi suatu bahaya maka manajemen harus mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin keselamatan lalu lintas penerbangan. Saat ini Indonesia mempunyai potensi bahaya gempa bumi yang besar di mana sampai saat ini tidak dapat diketahui kapan akan terjadi dan menurut para ahli gempa besar tersebut pasti akan terjadi. Kunci keberhasilan manajemen keselamatan sebagaimana disimpulkan dalam ICAO Circular 247AN/248 : Human Factors, Management and Organization (halaman 44) terletak pada kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi dan mengelola latent failures sehingga tidak berujung pada incident / accident. Oleh karena itu manajemen pelayanan lalu lintas udara diharapkan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk selalu dapat mampu mengidentifikasi dan mengelola bahaya atau ancaman terhadap keselamatan lalu lintas penerbangan. Diposkan oleh Afen Sena di Rabu, Oktober 12, 2011 0 komentar Label: Contingency, safety, sms

Selasa, 15 April 2008 ADALAH FARDHU AIN MENSEGERAKAN INTEGRASI SAFETY MANGEMENT SYSTEM DALAM PENYELENGARAAN JASA KEBANDARUDARAAN DAN NAVIGASI PENERBANGAN

Menciptakan keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas udara telah menjadi komitmen bersama dari setiap pelaku usaha industri

penerbangan. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya berbagai upaya dari komunitas penerbangan dunia yang semakin memfokuskan permasalahan pada faktor keselamatan penerbangan. Kecenderungan ini menjadi sangat serius sejalan dengan adanya indikasi kerentanan dari sejumlah elemen, termasuk tren tingkat kecelakaan penerbangan, implikasi perkembangan teknologi penerbangan, tuntutan efisiensi dan lingkungan hidup, termasuk juga yang terjadi dalam organisasi penyelenggara jasa penerbangan. Kecelakaan pesawat udara tidak dapat dicegah, betapapun canggihnya teknologi penerbangan kecelakaan pesawat udara bisa terjadi di belahan dunia manapun dan tidak memilih di negara kaya atau miskin. Usaha yang bisa dilakukan adalah berupaya untuk memperkecil jumlah kejadian kecelakaan pesawat udara dan bila mungkin menghilangkannya sama sekali (zero accident). Mengacu pada berbagai peristiwa kecelakaan pesawat udara yang semakin sering terjadi pada akhir-akhir ini, merupakan fakta nyata adanya pengabaian faktor keselamatan penerbangan yang dapat dijadikan suatu pelajaran tidak ternilai harganya. Peristiwa tersebut telah menyeret pimpinan instansi tertentu ke dalam suatu penyelesaian yang sangat panjang dan tidak pasti kapan berakhir serta membuat semua pihak yang terlibat di dalamnya harus berfikir lebih bijaksana dan harus bisa introspeksi diri agar dapat menyeimbangkan antara kepentingan keselamatan penerbangan dengan kepentingan komersial, sosial, maupun politis, sesuai dengan yang telah disyaratkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), kepada setiap negara anggotanya sebagai konsekuensi dari Konvensi Chicago pada tahun 1994. Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 (pasal 30 ayat 1 dan 2) tentang penerbangan, dinyatakan bahwa : “Setiap penyelenggara bandar udara bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan serta kelancaran pelayanannya, tanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan penerbangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”. Terkait dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam keikutsertaannya mengawal keselamatan penerbangan, operator penyelenggara dan pengelola jasa bandar udara serta pelayanan lalu lintas udara, juga harus ikut berperanserta secara aktif dan berkewajiban untuk melaksanakan semua peraturan keselamatan penerbangan yang berlaku. Sejalan dengan peningkatan pegerakan jumlah lalu lintas udara, diduga disebabkan pada saat itu peranan Safety Management System belum diketahui serta belum optimal diterapkan bagi seluruh pemandu lalu lintas udara, sehingga berakibat mempengaruhi peningkatan pelayanan keselamatan lalu lintas udara yang diberikan.

Pelayanan lalu lintas udara dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu pelayanan pemandu lalu lintas udara yang terdiri dari Aerodrome Control Service (TWR), Approach Control Service (APP) dan Area Control Service (ACC); pelayanan informasi penerbangan (Flight Information Service); dan pelayanan keadaan darurat (Alerting Service). Dalam pemberian pelayanan lalu lintas udara semua kegiatan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. Tujuan pelayanan lalu lintas udara adalah menjamin agar terciptanya suatu keselamatan, kelancaran, kecepatan, keteraturan, dan efisiensi bagi lalu lintas udara yang beroperasi di dalam wilayah tanggung jawabnya. Tugas pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Control / ATC) adalah memberikan pelayanan pemanduan lalu lintas udara kepada pesawat udara yang bergerak di bandar udara, sekitar bandar udara dan ruang udara yang dipandunya. Setiap pemandu lalu lintas udara dituntut untuk setiap saat mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik, karena kesalahan kecil yang dilakukan bisa menimbulkan akibat yang besar. Seperti ungkapan “The sky is vast but there is no room for error”, yang berarti angkasa atau langit itu luas namun tidak boleh ada ruang untuk kesalahan. Berbagai macam permasalahan telah tejadi dan akan tersus dihadapi dalam rangka melaksanakan pelayanan pada Bidang Operasi Pelayanan Lalu Lintas Udara. Bidang tersebut selalu mendorong adanya upaya peningkatan pelayanan pemandu lalu lintas udara di segala bidang. Dalam rangka pencapaian tujuan peningkatan pelayanan pemandu lalu lintas udara, maka segenap sumber daya harus disertai jaminan akan harapan tercapainya proses pemberian pelayanan lalu lintas udara yang aman, nyaman, lancar dan efisien. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO), secara jelas telah menegaskan tentang keutamaan menata faktor keselamatan dalam dokumen ICAO Doc 9859 AN / 460 Safety Management Manual, ICAO Doc 9774 Chapter 3D.4, Annex 11 section 2.26, Annex 14 Paragraph 1.3.4, PANS-ATM Doc 4444 Chapter 2, dan dalam Manual on Safety Management for Aerodromes and Air Traffic Services (AN-Conf/11-IP/9). Ketentuan ini telah mengharuskan penyelenggara jasa bandar udara dan lalu lintas udara untuk menerapkan program Safety Management System yang sistematis dan sesuai kebutuhan untuk menjamin bahwa sistem pelayanan jasa penerbangan memenuhi tingkat keselamatan yang selayaknya. Keselamatan atau safety dalam pandangan publik berarti suatu kondisi sebagai hasil dari upaya pencegahan terhadap munculnya hal-hal yang tidak

dapat ditolelir, yang merupakan sesuatu kejadian yang tidak direncanakan yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Safety Management System adalah suatu proses yang dilakukan oleh organisasi penyedia jasa penerbangan dalam upaya menjamin bahwa semua aspek keselamatan dalam penyediaan jasa tersebut telah ditata secara tepat. Proses ini mencakup : penentuan dan pelaksanaan kebijakan perusahaan terhadap keselamatan, adanya alat mengukur tingkat pencapaian faktor keselamatan, dan adanya mekanisme yang mengatur upaya perbaikan defisiensi sistem. Dalam hal ini, Safety Management System harus dapat menata keseluruhan aspek yang mempengaruhi keselamatan dalam penyediaan jasa bandar udara dan navigasi udara yang mencakup manusia, prosedur, alat, informasi, infrastuktur, organisasi dan unsur atau pihak ketiga. Sedikitnya terdapat 5 (lima) konsep utama Safety Management System yaitu : harus dimulai dari komitmen pimpinan puncak, implementasi keseluruh lapisan dan jajaran dalam organisasi, tanggung jawab faktor keselamatan terletak pada setiap kepala satuan organisasi dan personil, mengutamakan pencegahan dengan pendekatan proaktif dan reaktif, dan secara berkelanjutan memperbaiki defisiensi yang ada dalam sistem. Fenomena yang terjadi sebelum pada hampir sebagian operator penyedia jasa kebandarudaraan dan mavigasi penerbangan selama ini, yaitu adanya sejumlah proses yang telah terencana dan terprogram namun belum terintegrasi dengan proses lainnya, sehingga keberhasilan dan evaluasi pencapaian tujuan dilakukan secara parsial atau sendiri-sendiri. Beberapa hal yang selama ini belum diatur yaitu : adanya komitmen formal tentang safety (keselamatan), adanya ketentuan yang mengatur agar semua kondisi yang berpotensi menimbulkan masalah safety dilaporkan dan ditangani tepat waktu, adanya metode penanganan dan pengendalian resiko keselamatan, adanya proses pengevaluasi sistematis terhadap hasil pembenahan masalah terkait dengan safety.

8 Pengetahuan Dasar Apron Movement Control (AMC) Apron Movement Control adalah unit yang bertugas menentukan tempat parker pesawat setelah menerima estimate dari unit ADC (Tower). Sebelum menentukan Parking Stand pesawat unit AMC harus

berkoordinasi dengan airline atau operator agar proses bongkar muat dan unbongkar muat berjalan lancar. Setelah menentukan Parking Stand pesawat, unit AMC langsung memberikan informasi tersebut kepada unit ADC (Tower). Dalam Ensiklopedia Online Internasional, Wikipedia disebutkan bahwa “The airport ramp or apron is part of an airport. It is usually the area where aircraft are parked, unloaded or loaded, refueled or boarded. Although the use of the apron will be covered by regulations, such as lighting on vehicles, it is typically more accessible to users than the runway or taxiway. However, the apron is not usually open to the general public and a licence would be required to gain access.” Maksudnya Airport ramp atau Apron adalah bagian dari Airport. Ini merupakan area dimana pesawat diparkir , bongkar muat, diisi bahan bakarnya atau boarded. Penggunaan apron diatur dalam peraturan tertentu, seperti lampu kendaraan, apron lebih dapat dilalui oleh pengguna dari pada runway atau taxiway. Walaupun apron tetap merupakan area tertutup untuk publik dan untuk aksesnya tetap memerlukan izin dari pihak terkait. Disebutkan juga bahwa “The use of the apron may be controlled by the apron management service (apron control or apron advisory). This would typically provide a coordination service between the users.” Penggunaan Apron diatur dengan Apron Management Service oleh Apron Control atau Apron Advisory ini dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada pengguna. Menurut Canada Air Transport dalam website resminya menyebutkan “Apron. That part of an aerodrome, other than the manoeuvring area, intended to accommodate the loading and unloading of passengers and cargo, the refuelling, servicing, maintenance and parking of aircraft, and any movement of aircraft, vehicles and pedestrians necessary for such purposes.” Yang dimaksud apron adalah bagian dari aerodrome tidak termasuk dalam manouevring area, apron digunakan untuk bongkar

muat, penumpang dan kargo, pengisian bahan bakar, pelayanan, perawatan dan parkir pesawat dan pergerakan pesawat, kendaraan dan pejalan kaki dengan tujuan tertentu. Dalam annex 14, Aerodrome Volume I disebutkan “ Apron is defined Area, on a land aerodrome, intended to accommodate aircraft for purposes of loading, or unloading passenger, mail or cargo, fuelling, parking or maintenance.” Jadi yang dimaksud apron adalah suatu area tertentu di daratan Aerodrome yang dimaksudkan untuk menampung pesawat dengan tujuan bongkar muat penumpang, pos atau kargo, pengisian bahan bakar, parkir atau pemeliharaan pesawat. Apron memang tidak termasuk Manoeuving area tetapi masuk kedalam Movement Area. Dalam Anex 14, Aerodrome Volume I, Aerodrome Design and Operations disebutkan bahwa “Manoeuvring area is part of an Aerodrome to be used for take off, landing and taxiing of aircraft, axcluding aprons.” Jadi manoeuvring area adalah bagian dari Aerodrome yang digunakan untuk take off, landing, taxiing kecuali Apron. Sedangkan yang dimaksud Movement Area dalam annex 14, Aerodrome Volume I adalah “ Movement area is part of an Aerodrome to be used for the take off, landing, taxiing of aircraft, consisting of the manouevring area and the apron(s).” jadi yang dimaksud movement area adalah bagian dari Aerodrome yang digunakan untuk take off, landing, taxiing pesawat termasuk manouevring area dan apron(s). ICAO merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut : a. Apron hendaknya dibuat nyaman untuk bongkar muat penumpang, kargo atau pos sebaik memberikan pelayanan kepada pesawat tanpa mengganggu traffic lainnya di aerodrome tersebut. b. Seluruh area apron hendaknya mampu digunakan untuk expeditious handling traffic di aerodrome tersebut pada saat traffic padat. c. Setiap bagian dari apron hendaknya dapat digunakan untuk pesawat yang akan segera ditangani walau beberapa bagian apron memang dikhususkan untuk dipakai jika traffic padat saja. d. Slope di apron termasuk aircraft stand taxilane dibuat agar air tidak tergenang. e. Slope terbesar pada aircraft stand adalah 1% f. Setiap aircraft stand harus memiliki jarak yang aman terhadap aircraft stand yang lain, bangunan- bangunan didekatnya, dan benda- benda lain di apron. Berikut ini adalah jarak aman antar aircraft stand : 1) Code letter A : 3 m 2) Code letter B : 3 m

3) Code letter C : 4,5 m 4) Code letter D : 7,5 m 5) Code letter E : 7,5 m 6) Code letter F : 7,5 m Untuk pesawat dengan Code letter D,E,F jika lingkungan sekitar memungkinkan jaraknya bisa dikurangi dengan model nose in parking. Dengan memperhatikan : a) Terminal, termasuk garbarata, dan nose pesawat. b) Beberapa stand menggunakan azimut guidance dan yang sebagian lagi menggunakan visual docking guidance system. Menurut Annex 9, Fasilitation Chapter 6 International Airports Facilities and Serving for Traffic disebutkan bahwa “ Adequete measures should be taken to ensure convenient parking and servicing of aircraft of all type and categories- regular, non scheduled and general aviation aircraft in order to expedite clearance and operations on the apron and to reduce aircraft ground stop time.” Jadi untuk memastikan parkir dan pelayanan yang sesuai harus ditentukan aturan yang jelas. Parkir dan pelayanan yang sesuai ini ditujukan kepada semua jenis pesawat. Baik pesawat umum, pesawat tidak berjadwal, maupun pesawat pemerintah. Apron Management Service ditujukan untuk memperlancar pergerakan pesawat dan pengoperasian pesawat di apron dan mengurangi waktu pemberhentian pesawat di darat. Kegiatan Apron Management Service dapat dilaksanakan dengan : a. Mengatur alokasi parkir pesawat sebaik mungkin dengan jarak antar pesawat, antar pesawat dengan bangunan terminal yang sedekat mungkin untuk proses bongkar muat, Ini ditujukan untuk pemanfaatan apron yang optimal. b. Mengatur jarak yang cukup antar pesawat selain untuk kegiatan bongkar muat, agak terpisah dari bangunan terminal untuk menghindari rintangan di apron. c. Menyediakan ruang parkir yang cukup untuk pelaksanaan pelayanan terbaik bagi seluruh pesawat. d. Membantu pesawat dalam kegiatan embarkasi dan disembarkasi. e. Menyediakan fasilitas untuk pengisian bahan bakar. f. Menyediakan transportasi dari tempat parkir pesawat ke bangunan terminal jika jaraknya relatif jauh. g. Menyediakan ruang untuk inspeksi pesawat, penumpang, kru pesawat dan barang- barang bawaan. Di apron disediakan service roads untuk pergerakan dan penyimpanan ground equipment.

Setiap aerodrome hendaknya dilengkapi dengan isolated parking untuk pesawat yang diduga mengalami pembajakan atau alasan lain sehingga memerlukan isolated parking. Isolated parking ini hendaknya terletak di daerah yang jauh dari parking area. Minimal 100 m dari parking area, bangunan dan areal umum. Dan dijaga dari peralatan di darat seperti gas, bahan bakar, barang- barang elekrtik dan kabel komunikasi. Area apron berhubungan langsung dengan taxiway bahkan ada beberapa bandara di Indonesia yang mempunyai konfigurasi apron yang tergabung dengan taxiway. Konfigurasi seperti ini disebut apron taxiway. Seperti di Bandar Udara Ngurah Rai, bandara ini menggunakan konfigurasi Apron taxiway. Dalam websitenya Civil Aviation Air Transport Canada merekomendasikan : “Recommendation - When warranted by the volume of traffic and operating conditions, an appropriate apron management service should be provided on an apron by an ATS unit, by another aerodrome operating authority, jointly by ATS and the aerodrome operator, or operator in the case of a company terminal, in order to: a. Regulate movement with the objective of preventing collisions between aircraft, and between aircraft and obstacles; b. Regulate entry of aircraft into, and coordinate exit of aircraft from, the apron with the aerodrome control tower; and c. Ensure safe and expeditious movement of vehicles and appropriate regulation of other activities. “ Maksudnya saat dikhawatirkan volume traffic dan kondisi operasional akan meningkat tajam, apron management service harus diberikan oleh ATS unit atau aerodrome operating authority lainnya yang berwenang, tentunya dengan kerjasama antara ATS dan aerodrome operator, atau operator company terminal. Tujuan apron management service adalah untuk : a. Mengatur pergerakan dengan tujuan mencegah tabrakan antar pesawat dan antara pesawat dengan obstacle. b. Bekerjasama dengan aerodrome Control Tower mengatur arus masuk dan arus keluar pesawat dari dan ke Apron.

c. Memastikan keamanan dan kelancaran pergerakan kendaraan aktifitas resmi lainnya. Jika Aerodrome Control Tower tidak memberikan Apron Management Service secara langsung maka harus dibuat peraturan untuk memfasilitasi transisi pesawat dari Apron Management Unit kepada Aerodrome Control Tower. Apron management service diberikan dengan menggunakan fasilitas radiotelephony. Jika kondisi jarak pandang di Apron kecil maka penggunaan kendaraan diapron harus dibatasi seminimal mungkin. Kendaraan yang merespon keadaan darurat harus menjadi prioritas daripada pergerakan traffic lainnya. Kendaraan yang beroperasi di apron harus memberikan jalan kepada : a. Emergency vehicle, pesawat yang sedang taxi, dan pesawat yang sedang pushback atau pesawat yang sedang towing. b. Kendaraan lain yang diatur dalam local prosedur. Setiap parking stand pesawat hendaknya dapat dilihat secara jelas untuk memastikan bahwa pesawat tersebut berada pada jarak yang aman dengan pesawat lain maupun bangunan di sekitarnya. Menurut ICAO dalam Document 9157-AN/901 Part 2 Chapter 3.4.5 ada dua metode pesawat untuk meninggalkan dan memasuki aircraft stand yaitu : Self Manouevring, digunakan untuk konfigurasi parkir; Angle nose-in, Angle nose-out & Parallel. Pada metode ini pesawat tidak memerlukan bantuan towing car. Tractor Assisted, digunakan untuk konfigurasi parkir Nose-in. Pada metote ini pesawat memerlukan bantuan towing car. Sedangkan konfigurasi parkir pesawat ada 4, yaitu :



Konfigurasi parkir pesawat Angle Nose-in, yaitu sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat menghadap gedung terminal membentuk sudut 45° terhadap gedung terminal.

Konfigurasi parkir pesawat Angle Nose-Out : yaitu sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat membelakangi terminal membentuk sudut 45° terhadap gedung terminal.

Konfigurasi Parkir Pesawat Palalel, yaitu sistem parkir pesawat udara sejajar dengan bangunan terminal. Konfigurasi Parkir Pesawat Nose-In, yaitu sistem parkir pesawat udara dengan hidung pesawat tegak lurus sedekat mungkin dengan gedung terminal. Dalam ICAO Document 9426-AN/924 tahun 1984 V-1-1-4 menyebutkan bahwa :“ Apron Management Service is a service provided to regulate the activities and the movement of aircraft and vehicles on Apron”. Maksudnya Apron Management Service adalah suatu pelayanan untuk mengatur pergerakan lalu lintas pesawat udara dan kendaraankendaraan di Apron. ICAO juga merekomendasikan hal tersebut dalam Annex 14 Aerodrome, Volume I, Aerodrome Design and Operations, 2004 : 107 bahwa Apron management service dapat dibentuk dan dilaksanakan oleh ATS unit yang berada di Bandar udara bersangkutan. Dalam skripsi ini adalah pihak Bandar Udara Ngurah Rai Bali. Atau unit pelaksana lain atau gabungan dari kedua unit tersebut.

a. b.

c. d.

e.

Apron management service diberikan dengan maksud: Mengatur pergerakan dan penempatan pesawat udara agar tidak bertabrakan dengan pesawat udara lain. Mengatur pergerakan dan penempatan pesawat udara agar tidak bertabrakan atau terhalang oleh rintangan di Apron dan sekitarnya. Mengatur penempatan pesawat udara pada parking stand-nya berdasarkan tipe dan ukuran pesawat udara tersebut. Mengatur keluar masuknya pesawat udara dari apron (parking stand) ke manoeuvring area atau sebaliknya. dalam hal ini harus dilakukan koordinasi dengan unit Aerodrome Control Tower terlebih dahulu. Menjamin keamanan dan kelancaran pergerakan kendaraan serta keteraturan kegiatan lainnya di Apron.

BAHAN BAKAR MINYAK PENERBANGAN Bahan bakar penerbangan udara. Agar penyimpanan

merupakan salah satu faktor penting bagi terlaksananya operasi yang merupakan pelaksanaan proses dari perusahaan angkutan kelancaran operasi penerbangan dapat terjamin, penyediaan, dan tata letak ruang penyimpanan bahan bakar harus dilaksanakan

dengan tepat dengan memenuhi persyaratan yang ada. Dalam Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Udara nomor SKEP/100/XI/1985 pasal 88 menyebutkan bahwa pengisian, pengeluaran dan penimbunan bahan bakar harus memenuhi ketentuan Pertamina. Dalam Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi Nomor : 13/P/BPH MIGAS/IV/2008 tentang pengaturan dan pengawasan atas pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian, bahan bakar minyak Penerbangan adalah Bahan bakar minyak Jenis Aviation Turbine Fuel yang digunakan sebagai Bahan Bakar Pesawat Udara bermesin Turbine dan Jenis Aviation Gasoline yang digunakan sebagai Bahan Bakar Pesawat Udara bermesin Piston. Pada penjelasan paragrap di atas tertulis jelas bahwa bahan bakar minyak penerbangan diklasifikasikan menjadi dua. Hal tersebut dipejelas pada buku penanganan dan pengawasan mutu bahan bakar minyak dan pelumas penerbangan tingkat B yang disusun oleh pihak Pertamina Aviation dan Pusdiklat Migas. Yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, bermacam-macam jenis bahan bakar minyak penerbangan dapat diklasifikasikan berdasarkan pada perbedaan disain mesinnya atas dua golongan yaitu: a. AVGAS (Aviation Gasolines) Adalah suatu bahan bakar minyak fraksi bensin (gasolines) yang digunakan untuk pembakaran mesin pesawat udara jenis piston dengan penyalaan busi (Spark Ignition Engine) atau mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine) jenis torak (piston) yang dinyalakan dengan busi (Spark Plug) Fungsi bahan bakar Avgas disini adalah untuk menghasilkan tenaga mekanik dari tenaga kimia hasil proses pembakaran yang dihasilkan dari/oleh adanya suatu tekanan yang dihubungkan dengan suatu poros untuk menggerakkan baling-baling untuk menghasilkan gaya dorong (Thrust) atau menggerakkan roda. Avgas merupakan bahan bakar minyak pesawat udara bermesin piston yang mengandung TEL (Tetra Ethyl Lead) cukup tinggi. Kandungan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan performance number dan mutu pembakaran Avgas Dalam Mesin. Tetra Ethyl Lead ini bersifat racun yang dapat membahayakan kesehatan manusia, bahaya ini bisa merusak sistem saraf, menurunkan IQ, membuat orang menjadi agresif. Maka penanganan Avgas ini harus hati-hati, keamanan dan keselamatan adalah hal pertama yang harus dipertimbangkan. Air merupakan kontaminan yang harus dihindarkan kehadirannya dalam Avgas. Adanya air dapat menurunkan kandungan TEL, pembekuan air dan pertumbuhan mikroba. Terjadinya pembekuan air dapat menyumbat sistem saluran bahan bakar pesawat . Perlu kita ingat kembali bahwa tidak ada tempat parkir di udara jika pesawat itu mengalami masalah atau mogok. b. AVTUR (Aviation Turbine) Adalah Bahan Bakar Minyak pesawat udara yang penggunaannya ditujukan untuk pesawat bermesin turbine. Ada beberapa fungsi Avtur didalam mesin turbine/jet yaitu: 1) Sebagai bahan bakar untuk menghasilkan tenaga, menghasilkan thrust (daya dorong) sehingga pesawat bisa terbang. 2) Sebagai penyerap panas (heat sink), pendingin sayap body dari gesekan dengan

udara, pendingin komponen mesin dan pelumas. 3) Sebagai pelumas untuk melumasi fuel pump dan bagian-bagian mesin lainnya. Selain dalam dokumen referensi yang dijelaskan di atas, ada pula dokumen lain yang membahas tentang bahan bakar minyak, yaitu pada Annex 18 third edition July 2001 chapter 1 bahwa dangerous goods is Articles or substances which are capable of posing a risk to health, safety, property or the environment and which are shown in the list of dangerous goods in the Technical Instructions or which are classified according to those Instructions. Dapat diartikan sebagai unsur-unsur bahan dan atau barang berbahaya yang sangat peka terhadap suhu udara, tekanan dan getaran serta dapat mengganggu terhadap kesehatan manusia maupun binatang, dapat menggangu serta membahayakan keselamatan penerbangan serta dapat merusakkan peralatan pengangkutan. Ada beberapa klasifikasi barang-barang berbahaya (dangerous goods) yang dijelaskan dalam doc 9284 yaitu: 1. Explosives 1) Explosive article is an article containing one or more explosive substances yang terjemahannya sebuah benda yang mengandung satu atau lebih zat peledak. 2) Explosive substances is a solid or liquid substance (or a mixture of substances) which is in itself capable, by chemical reaction, of producing gas at such a temperature and pressure and at such a speed as to cause damage to the surroundings. Pyrotechnic substances are included even when they do not evolve gases. Jika dikonversikan ke dalam bahasa Indonesia adalah zat padat atau zat cair (sebuah campuran dari zat-zat) dimana karna reaksi kimia mampu menghasilkan gas pada suhu dan tekanan tertentu dan kecepatannya mengakibatkan kerusakan di sekelilingnya. Unsur yang ada dalam petasan termasuk jika tidak membentuk gas. 2. Gases 1) Compressed gas — a gas which when packaged under pressure for transport is entirely gaseous at –50°C; this category includes all gases with a critical temperature less than or equal to –50°C,yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah sebuah gas dimana ketika telah dibungkus yang berada di bawah tekanan untuk seluruhnya berubah menjadi gas pada suhu 500C;kategori ini termasuk semua gas dengan suhu kurang atau sama dengan 500C. 2) liquefied gas — a gas which when packaged under pressure for transport is partially liquid at temperatures above –50°C. A distinction is made between. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebuah gas dimana setelah dibungkus untuk pengangkutan sebagiannya mencair pada suhu di atas 500C.Sebuah perbedaannya berada diantaranya. 3) refrigerated liquefied gas — a gas which when packaged for transport is made partially liquid because of its low temperature. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebuah gas dimana setelah dibungkus untuk pengangkutan menjadikan sebagian dari gas itu mencair karna suhu yang rendah. 4) dissolved gas — a gas which when packaged under pressure for transport is dissolved in a liquid phase solvent. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebuah gas dimana setelah dibungkus untuk pengangkutan larut dalam tahapan pencairan. 3) Flammable liquids are liquids, or mixtures of liquids, or liquids containing

solids in solution or suspension (for example paints, varnishes, lacquers, etc., but not including substances otherwise classified on account of their dangerous characteristics) which give off a flammable vapour at temperatures of not more than 60°C, closed-cup test, or not more than 65.6°C, open-cup test, normally referred to as the flash point. Yang artinya Flammable liquids adalah zat cair atau campuran zat cair atau zat cair yang mengandung zat padat dalam penyelesaian atau penundaan (contohnya cat, pernis dan lain-lain tetapi tidak termasuk zat-zat sebaliknya yang tercantum dalam jumlah dari cirri-ciri barang berbahaya tersebut) dimana dapat terbakar pada suhu tidak lebih dari 600C, jika ditutup, atau tidak lebih dari 65.60C, jika dibuka, normalnya tergantung pada titik api. 4) Flammable solids is Solids which, under conditions encountered in transport, are readily combustible or may cause or contribute to fire through friction; selfreactive substances which are liable to undergo a strongly exothermic reaction; desensitized explosives which may explode if not diluted sufficiently. Flammable solid adalah zat padat yang pada pengangkutan, mudah menyala karena gesekan:zat-zat bereaksi sendiri dimana besar kemungkinan mengalami reaksi eksotermik (pemanasan di luar);akan segera meledak jika tidak segera dilemahkan. 5) Oxidizing substances is Substances which, in themselves are not necessarily combustible, may generally, by yielding oxygen, cause or contribute to the combustion of other material. Such substances may be contained in an article.Oxidizing substances adalah unsur atau zat yang tidak mudah terbakar,secara umum, menghasilkan oksigen karna pembakaran dari bahan lain. Beberapa unsur ada dalam barang tersebut. 6) Toxic substances is substances liable either to cause death or injury or to harm human health if swallowed, if inhaled or by skin contact. Toxic substances adalah unsur yang besar kemungkinan mengakibatkan kematian atau kritis atau kerugian terhadap kesehatan manusia jika telah mencair, jika dihirup atau terjadi kontak terhadap kulit. Infectious substances is substances known to contain, or reasonably expected to contain, pathogens (including bacteria, viruses, rickettsiae, parasites, fungi). Infectious substances adalah unsur yang telah diketahui mengandung pathogen(termasuk bakteri, virus, parasit, jamur). 7) Radioactive material means any material containing radionuclides where both the activity concentration and the total activity in the consignment exceed. Radioactive material adalah bahan yang mengandung radionuclides yang mempunyai aktivitas memusat serta melampaui batas. 8) Corrosive substances are substances which, by chemical action, will cause severe damage when in contact with living tissue or, in the case of leakage, will materially damage, or even destroy, other goods or the means of transport. Corrosive substances diartikan dalam bahasa Indonesia adalah unsur-unsur karna reaksi kimia akan menyebabkan kerusakan besar ketika terjadi kontak dengan jaringan kehidupan atau dalam kebocoran, akan merusak bahan-bahan atau ketika mengahncurkan, barang-barang lain atau pengangkut. 9) miscellaneous dangerous substances and articles are substances and articles

which, during air transport, present a danger not covered by other classes. Miscellaneous dangerous substances and articles diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu za-zat dan barang-barang selama transportasi udara yang berbahaya namun tidak tercantum dalam klasifikasi yang lain. Dari spesifikasi yang telah dijelaskan dlm Annex 18 di atas maka bahan bakar minyak pesawat udara termasuk barang berbahaya yang klasifikasinya sesuai dengan flammable liquid (Zat cair yang mudah terbakar) dan dapat terbakar pada suhu tertentu. Selain itu, bahan ini juga dapat membahayakan kesehatan manusia.Berangkat dari keadaan itu maka penanganan bahan bakar ini perlu dilakukan.

More Documents from "tiko"