LEAFLET CONSERVATION NEWS FOR NEF STUDENT IN INDONESIA edisi OKTOBER 2009
NEOKOLONIALISME ALA LAND GRABBING TEMPO , Krisis keuangan dan krisis pangan belum sepenuhnya berakhir. Bagi negara-negara importir netto pangan, krisis pangan memberi pelajaran penting: menggantungkan pangan di pasar impor amat rentan dan berisiko. Bagi lembaga keuangan, krisis finansial mengajarkan satu hal: saat krisis berkepanjangan, tak ada tempat aman buat mengeramkan uang dengan keuntungan tinggi. Karena pasar finansial (uang, modal, dan obligasi) dan komoditas penuh risiko, harus dicari tempat baru mengeram yang aman. Kedua entitas itu, negara dan lembaga keuangan, menemukan instrumen baru bernama land grabbing. Secara harfiah land grabbing dimaknai sebagai akuisisi lahan-lahan pertanian. Istilah ini pertama kali dipakai GRAIN (2008) untuk menggambarkan pengambilalihan lahan-lahan pertanian secara massif oleh negara-negara importir netto pangan serta negara yang terbatas sumber daya lahan dan air tapi memiliki dana melimpah. Bukan hanya negara Teluk, Timur Tengah, Korea Selatan, Jepang, dan Cina, tapi juga Uni Eropa dan Amerika Utara. Sasaran mereka bukan hanya negara berlahan subur, seperti Brasil, Rusia, Indonesia, dan Ukraina, tapi juga negara pertanian miskin, seperti Kamerun dan Ethiopia. Cina, misalnya, meski kini telah mampu memenuhi kebutuhan pangan domestik, lahan-lahan pertanian di sana terus terdesak oleh industri. Defisit air untuk pertanian jadi bom waktu. Dengan hanya 9 persen lahan pertanian yang bisa diolah, mustahil bisa menopang 40 persen petani dunia yang berjubel di Cina. Padahal, dengan pendapatan perdagangan US$ 1,8 triliun, Cina memiliki dana melimpah untuk mengamankan pasokan pangan di masa depan. Makanya, Cina bergerilya melakukan outsourcing produksi pangan jauh sebelum krisis meledak. Tak kurang dari 30 kesepakatan kerja sama pertanian diteken dengan sejumlah negara. Semua memberikan akses eksklusif kepada Cina untuk memproduksi aneka pangan. Negara-negara Teluk menghadapi kondisi berbeda. Ekologi gurun pasir yang miskin air "menakdirkan" mereka bergantung akut pada pangan impor. Krisis pangan dan volatilitas dolar Amerika Serikat membuat impor negara-negara Teluk meledak: dari US$ 8 miliar jadi US$ 20 miliar. Mereka membuat keputusan berani: menghentikan produksi gandum di negeri sendiri pada 2016. Sebagai gantinya, mereka meng-outsource dan mengambil alih seluruh kendali proses produksi pangan. Di Indonesia, melalui konsorsium 15 perusahaan, Arab Saudi mendirikan
Merauke Integrated Food and Energy Estate di atas lahan 1,6 juta hektare. Hal serupa terjadi di negara lain. Ini semua membuat land grabbing berlangsung cukup massif. Menurut International Food Policy Research Institute (2009), akuisisi lahan pertanian di negara berkembang oleh negaranegara kaya sejak 2006 mencapai 15-20 juta hektare atau setengah luas daratan Eropa dengan nilai transaksi US$ 20-30 miliar. Bagi lembaga keuangan dan korporasi pangan, land grabbing seperti gadis molek yang jadi rebutan. Perubahan iklim, penurunan kesuburan dan konversi lahan, krisis air, luasnya praktek monokultur, serta tarikan pangan buat biofuel membuat tekanan produksi pangan kian berat. Produksi pangan jadi suram, sementara jumlah perut yang mesti diisi terus bertambah. Ekonom Inggris, John Maynard Keynes (1883-1946), mengingatkan, keputusan melakukan investasi tak pernah didasarkan pasa situasi saat ini, melainkan didasari ekspektasi masa depan. Gambaran pangan di masa depan yang suram membuat orang melakukan segala hal. Krisis pangan telah mengubah cara pandang orang pada pangan. Semua ini bermuara pada satu hal: pangan harus diproduksi karena harga selalu tinggi, lahan murah tersedia, (karena itu) semua investasi akan terbayar. Tanah yang tak lazim sebagai ajang investasi korporasi transnasional kini jadi mainan seksi. Bukan hanya korporasi raksasa agrobisnis seperti Cargill, Syngenta, Archer Daniel Midlands (ADM), Bayer, dan Monsanto, lembaga asuransi raksasa, seperti Goldman Sachs dan Morgan Stanley serta Black Rock Inc, hedge funds terbesar di dunia, juga mengakuisisi tanah. Menurut Rabobank, saat ini ada lebih 90 lembaga investasi baru dibentuk khusus untuk berinvestasi langsung di lahan-lahan negara berkembang melalui land
grabbing. Yang menarik, swasta selalu pegang kendali di balik akuisisi tanah yang diaktori negara (GRAIN, 2008). Karena itu, apa pun motif land grabbing, semua mengerucut pada satu tujuan: kontrol korporasi swasta asing atas lahan pertanian di negara lain untuk memproduksi pangan yang bukan untuk kebutuhan rakyat setempat. Ironisnya, karena haus investasi guna membangun infrastruktur, negara-negara sasaran land grabbing justru menganggap modus ini sebagai berkah. Buktinya, kini sejumlah negara--seperti Sudan, Kazakstan, Ukraina--meliberalisasi hukum, kebijakan, dan praktek kepemilikan tanah. Ujung dari gelombang ini adalah membuka pintu lebarlebar bagi swasta asing untuk menguasai tanah dalam luasan yang besar, dalam tempo 99 tahun, bahkan bisa permanen. Di Indonesia, liberalisasi lewat Undang-Undang Penanaman Modal yang membolehkan swasta asing masuk semua lini, termasuk pertanian dengan penguasaan lahan luas, masuk kategori ini. Ada sejumlah masalah serius akibat land grabbing. Petani, pekerja, dan komunitas lokal akan kehilangan akses atas tanah bagi produksi pangan. Pertanian skala kecil dan terdiversifikasi yang semula dalam kontrol lokal akan berubah jadi pertanian industrial, monokultur, dan berorientasi ekspor di bawah kendali asing yang langsung terhubung dengan pasar luar negeri. Pasar menjadi tidak stabil dan rentan. Karena berada dalam kendali asing, petani tak lagi menjadi petani utuh.
Perubahan kontrol lahan juga akan mengerosi keanekaragaman hayati berikut kearifan lokal (pola tanam, waktu tanam, olah tanah, dan pengendalian hama). Ini tak hanya membawa keguncangan pangan (lokal dan nasional) karena warga tidak berdaulat di bidang pangan, tapi juga memicu konflik agraria akut. Tidakkah ini bentuk neokolonialisme negara-negara maju atas negara-negara berkembang? Tidak mungkin elite di negeri ini tidak menyadari dan tidak mengerti masalah serius ini.
Khudori, pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Secretariat NEF Ssholarship Program Indonesia LEMBAR INDONESIA Pondok Uringin Permai Delta Zamrud, 20 Telp/Fax : +62218462893 Email :
[email protected]