Obat Tidur Picu Kematian Dan Kanker

  • Uploaded by: Riezcky Nuranisa Alfath
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Obat Tidur Picu Kematian Dan Kanker as PDF for free.

More details

  • Words: 1,705
  • Pages: 7
TUGAS KIMIA MEDISINAL BARBITURAT

DI SUSUN OLEH : RIEZCKY NURANISA ALFATH G 701 16 075 KELAS E

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2019

OBAT TIDUR PICU KEMATIAN DAN KANKER ? Selasa, 28 februari 2012 │14:44 WIB

KOMPAS.com - Jika Anda mengalami susah tidur dan terpaksa harus mengonsumsi pil (obat) tidur untuk bisa memejamkan mata, sebaiknya berhati-hati. Penelitian terbaru mengindikasikan, penggunaan obat tidur secara rutin dapat menimbulkan risiko kematian serta memicu timbulnya beberapa jenis kanker. Sebuah studi baru di Amerika Serikat menunjukkan, mereka yang menenggak pil tidur berisiko empat kali lebih besar meninggal ketimbang orang yang tidak meminumnya. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan pil tidur dengan peningkatan risiko untuk mengidap kanker tertentu. Temuan ini dipublikasikan secara online pada 27 Februari 2012 dalam jurnal BMJ open. Obat tidur yang berpotensi memicu risiko tersebut di antaranya benzodiazepin seperti temazepam; non-benzodiazepin seperti Ambien (zolpidem), Lunesta (eszopiclone) dan Sonata (zaleplon); barbiturat, dan antihistamin sedatif. Tapi peneliti menegaskan bahwa temuan ini hanya menunjukkan adanya hubungan antara alat bantu tidur dan risiko kematian, tidak menjelaskan hubungan sebab akibat. Para ahli mendesak agar setiap orang berhati-hati dalam menyimpulkan temuan ini. "Penggunaan obat tidur telah dihubungkan dengan kematian dan peningkatan munculnya kanker baru," kata Dr Daniel Kripke, dari Scripps Clinic Viterbi Family Sleep Center, di La Jolla, California. Dalam temuannya, Kripke dan timnya melacak data studi yang melibatkan lebih dari 10.500 orang berusia rata-rata 54 tahun. Peserta studi memiliki beragam kondisi kesehatan dan diberi resep obat tidur selama kira-kira 2,5 tahun pada 2002-2007. Kemudian peneliti membandingkan risiko terkait kematian dan kanker pada mereka yang mengonsumsi obat tidur. Mereka yang mendapat resep hingga 18 dosis per tahun berisiko 3,6 kali lebih besar meninggal dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak diberi resep. Sedangkan peserta yang diresepkan antara 18-132 dosis berisiko empat kali lebih mungkin meninggal. Sementara, peserta yang mengonsumsi lebih dari 132 dosis per tahun memiliki risiko kematian lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan resep. Menurut peneliti, temuan ini berlaku tanpa memandang usia, tapi risiko yang tertinggi ada di antara orang-orang yang berusia 18-55 tahun. Secara khusus peneliti mencatat, ada 265 kematian di antara 4.336 orang yang menggunakan Ambien (obat tidur) ketimbang 295 kematian di antara 23.671 orang yang tidak meminum obat penenang atau obat tidur. Mereka yang menggunakan dosis tertinggi juga berisiko lebih besar terkena beberapa jenis kanker, termasuk kanker kerongkongan, limfoma, paru-paru, usus besar dan prostat. Menariknya, risiko leukemia, kanker payudara, kanker rahim, kanker kandung kemih, leukemia dan melanoma tidak mengalami peningkatan. Menurut Kripke, ada banyak mekanisme yang dapat menjelaskan peningkatan risiko di atas. Sebagai contoh, regurgitasi esofagus dapat menyebabkan kanker kerongkongan. Di samping itu penggunaan obat tidur juga membuat kondisi orang dengan sleep apnea jauh lebih buruk, dan lebih rentan terjatuh dan mengalami kecelakaan mobil. Sementara itu Dr Victor Fornari, direktur spesialis kejiwaan anak dan remaja dari Zucker Hillside Hospital mengatakan bahwa orang yang memakai obat tidur tidak perlu panik. Menurutnya, ada banyak alasan yang dapat menjelaskan peningkatan risiko kematian dan penggunaan pil

tidur hanya memberikan sedikit pengaruh. "Tidur adalah hal pertama yang harus dilakukan ketika seseorang berada di bawah tekanan karena sakit medis atau masalah psikologis. Ini adalah obat yang aman dan efektif bila diresepkan oleh dokter sebagai bagian dari rencana perawatan yang komprehensif," katanya. "Jangan berhenti minum obat tidur jika Anda merasa bahwa Anda membutuhkannya dan sudah menggunakannya sesuai petunjuk dokter. Tapi Anda harus sadar bahwa obat ini tidak dapat digunakan secara sembarangan," ucapnya. Fornari menjelaskan bahwa, ada banyak cara alternatif untuk dapat mengatasi gangguan sulit tidur seperti misalnya melewatkan waktu tidur siang, melakukan aktivitas fisik, menghindari kafein dan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kesehatan tidur. Sementara itu, Dr Bryan Bruno, kepala departemen psikiatri Lenox Hill Hospital, New York City, memperingatkan dampak penggunaan obat tidur dalam jangka waktu panjang. "Pil tidur bisa berbahaya dan idealnya hanya dapat digunakan sementara atau jangka pendek. Jika memungkinkan, hindari penggunaan pil tidur dalam jangka panjang untuk mencegah risiko ketergantungan. Terlepas dari apakah itu berbahaya atau tidak, obat ini harus digunakan secara hatihati," katanya. SOURCE : https://lifestyle.kompas.com/read/2012/02/28/14444369/obat.tidur.picu.kematian.dan.kanker.

REVIEW Penelitian terbaru mengindikasikan, penggunaan obat tidur secara rutin dapat menimbulkan risiko kematian serta memicu timbulnya beberapa jenis kanker. Sebuah studi baru di Amerika Serikat menunjukkan, mereka yang menenggak pil tidur berisiko empat kali lebih besar meninggal ketimbang orang yang tidak meminumnya. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan pil tidur dengan peningkatan risiko untuk mengidap kanker tertentu. Temuan ini dipublikasikan secara online pada 27 Februari 2012 dalam jurnal BMJ open. Obat tidur yang berpotensi memicu risiko tersebut di antaranya benzodiazepin seperti temazepam; non-benzodiazepin seperti Ambien (zolpidem), Lunesta (eszopiclone) dan Sonata (zaleplon); barbiturat, dan antihistamin sedatif. Tapi peneliti menegaskan bahwa temuan ini hanya menunjukkan adanya hubungan antara alat bantu tidur dan risiko kematian, tidak menjelaskan hubungan sebab akibat. Dalam temuannya, Kripke dan timnya melacak data studi yang melibatkan lebih dari 10.500 orang berusia rata-rata 54 tahun. Peserta studi memiliki beragam kondisi kesehatan dan diberi resep obat tidur selama kirakira 2,5 tahun pada 2002-2007. Kemudian peneliti membandingkan risiko terkait kematian dan kanker pada mereka yang mengonsumsi obat tidur. Mereka yang mendapat resep hingga 18 dosis per tahun berisiko 3,6 kali lebih besar meninggal dibandingkan rekan-rekan mereka yang tidak diberi resep. Sedangkan peserta yang diresepkan antara 18-132 dosis berisiko empat kali lebih mungkin meninggal. Sementara, peserta yang mengonsumsi lebih dari 132 dosis per tahun memiliki risiko kematian lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan resep. Menurut peneliti, temuan ini berlaku tanpa memandang usia, tapi risiko yang tertinggi ada di antara orang-orang yang berusia 18-55 tahun. Secara khusus peneliti mencatat, ada 265 kematian di antara 4.336 orang yang menggunakan obat tidur ketimbang 295 kematian di antara 23.671 orang yang tidak meminum obat penenang atau obat tidur. Mereka yang menggunakan dosis tertinggi juga berisiko lebih besar terkena beberapa jenis kanker, termasuk kanker kerongkongan, limfoma, paru-paru, usus besar dan prostat. Menariknya, risiko leukemia, kanker payudara, kanker rahim, kanker kandung kemih, leukemia dan melanoma tidak mengalami peningkatan. Menurut Kripke, ada banyak mekanisme yang dapat menjelaskan peningkatan risiko di atas. Sebagai contoh, regurgitasi esofagus dapat menyebabkan kanker kerongkongan. Di samping itu penggunaan obat tidur juga membuat kondisi orang dengan sleep apnea jauh lebih buruk, dan lebih rentan terjatuh dan mengalami kecelakaan mobil. Dalam berita tersebut pil tidur yang dimaksud yaitu benzodiazepin, non-benzodiazepin, barbiturat dan antihistamin sedatif. Namun dalam hal ini, akan di bahas lebih lanjut mengenai barbiturat dan kematian. Mekanisme kerja turunan barbiturat yaitu bekerja menekan transmisi sinaptik pada sistem pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membran sel sehingga mengurangi rangsangan sel postsinaptik dan menyebabkan deaktivasi korteks serebal (Siswandono dan Soekardjo, 2002).

Berikut gambar struktur barbiturat :

Absorbsi, distribusi, pengikatan oleh protein, kecepatan metabolisme, pengikatan oleh jaringan, lama kerja dan ekskresinya berhubungan dengan sifat kelarutannya dalam lipid. Barbiturat kerja sangat singkat, kelarutannya dalam lipid sangat tinggi. Barbiturat diekskresi melalui renal sebanyak 30% dan dosis yang diberikan, hal ini merupakan akibat dari beberapa faktor, yaitu metabolismenya lambat, sedikit terikat dengan protein, dan sedikit reabsorbsi pada tubulus. Barbital lain yang sedikit kelarutannya dalam lipid, diekskresikan sebanyak 65-90% dari dosis yang diberikan dalam bentuk yang tidak berubah. Selain kelarutan dalam lipid, ionisasi barbiturat juga turut mempengaruhi ekskresinya. Tiopental merupakan turunan barbiturat yang mempunyai kerja awal dan masa kerja yang singkat. Proses metabolisme tiopental yang bersifat lipofil akan mengalami metabolisme fase 1 dimana reaksi yang terjadi adalah reaksi oksidasi sistem C-S. Kemudian tiopental mengalami desulfurasi (C=S C=O) menghasilkan pentobarbital. Didalam hati tiopental dirombak dengan sangat lambat menjadi (3-5 %) pentobarbital sisanya menjadi metabolit tidak aktif yang diekskresikan melalui saluran kemih. Obat-obat yang mengalami jalur metabolisme dengan reaksi fase 1 meliputi N-hidroksilasi, desulfurasi seperti tiopental, pembukaan cincin asam barbiturat akan diekskresikan dalam urine dalam bentuk keadaan utuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi efek barbiturat : 1. Faktor yang berhubungan dengan metabolisme atau ekskresi barbiturat. Oksidasi babrbiturat terjadi dalam mikrosom hati. Penyakit hati dan ginjal mempengaruhi metabolisme atau ekskresi barbiturat. Penyakit ginjal memperpanjang waktu paruh barbiturat yang biasanya dikeluarkan melalui urine. Pada uremia, toksisitas barbiturat meningkat. Obat yanh menghambat enzim mikrosom hati mempengaruhi metabolisme barbiturat. Inhibitor MAO menambah efek enzim mikrosom dan memperpanjang efek barbiturat. 2. Obat yang bekerja sinergik dengan barbiturat pada SSP. Barbiturat merupakan derivat dari asam barbiturat (2,4,6-trioksoheksahidropirimidin), asam barbiturat merupakan hasil kondensasi antara urea dengan asam malonat. Asam barbitiurat sendiri tidak menimbulakan efek depresi SSP, hipnotik dan sedatif serta efek lainnya, kecuali bila pada posisi 5 ada gugus aril atau alkil. Sedangkan untuk Barbiturat sendiri umumnya bersifat hipnotik-sedatif. Sebab kematian pada keadaan akut adalah depresi pernapasan. Penggunaan barbiturat dosis besar dapat terjadi pada percobaan bunuh diri atau kecelakaan. Depresi sistem saraf pusat yang bergantung pada tingkat dosis merupakan karakteristik dari sedatif-hipnotik. Dengan

peningkatan dosis yang diperlukan untuk hipnotik dapat mengarah kepada keadaan anestesi umum. Masih pada dosis yang tinggi, obat sedatif-hipnotik dapat mendepresi pusat-pusat pernafasan dan vasomotor medulla, yang dapat mengakibatkan koma dan kematian . Dosis hipnotik barbiturat menyebabkan depresi respirasi yang ringan, dosis lebih besar menekan pusat pernapasan dan mengurangi respons terhadap CO2. Kematian pada keracunan akut barbiturat adalah karena depresi pernapasan. Intoksifikasi berat umumnya terjadi bila menelan sekaligus 10 kali dosis hipnotik. Barbiturat kerja singkat, kelarutannya dalam lemak lebih tinggi dan lebih toksik dibandingkan dengan barbiturat kerja lama. Walaupun depresi respirasi merupakan faktor utama penyebab kematian dalam keadaan akut, faktor lain juga dapat menyebabkan kematian jika pasien tidak meninggal dalam beberapa jam pertama. Faktor lain yang dapat menyebabkan kematian adalah gangguan sirkulasi, penumonia hipostatik, dan mungkin ada mekanisme lain yang belum diketahui yang dapat menyebabkan kematian walaupun oksigenasinya cukup. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kematian pada penggunaan obat tidur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pada barbiturat, kematian dapat terjadi apabila kadar barbiturat dalam tubuh berlebih sehingga akan menyebabkan depresi pernafasan yang berujung kematian. Kumulasi barbiturat dalam tubuh dapat terjadi apabila barbiturat di konsumsi dalam jumlah yang sengat banyak, terdapat gangguan pada metabolisme di hati dan ekskresi melalui ginjal akibat faktor dari hati dan ginjal itu sendiri atau bisa juga karena adanya obat-obat yang menginhibisi metabolisme di hati atau obat-obatan yang bersifat agonis terhadap efek hipnotik dari barbiturat.

DAFTAR PUSTAKA Katzung. 1998. Farmakologi Dasar Dan Klinis, Staff Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Ed.2. Jakarta : EGC. Staff Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed.2. Jakarta : EGC. Siswandono Dan Soekardjo,Bambang. 2000. Kimia Medisinal. Airlangga University Press Tjay, Tan Hoan,Dkk. 1978. Obat-Obat Penting Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatn RI.

Related Documents


More Documents from "Mohammad Almuhaimin"

Alfath Akbar Bro.docx
April 2020 11
Kpd Yth.docx
December 2019 21
Tugas American Jig.docx
December 2019 17
Alfath Akbar Bro.docx
April 2020 13