Negoisasi Kontrak Eksplorasi Pertambangan Migas di Indonesia A. Gambaran Umum kondisi eksplorasi pertambangan di Indonesia Komparasi Cadangan Minyak Indonesia dengan Sejumlah Negara Negara 1. Arab saudi 2. Iran 3. Irak 4. Venezuela 5. Malaysia 6 Indonesia Sumber : Widjajono Partowidagdo, 3 Juli 2009
Cadangan terbukti bumi (miliar barel) 264 138 115 87 5,5 3,7
Komparasi Cadangan Gas Indonesia dengan Sejumlah Negara No. Negara Cadangan (TSCF) 1 Iran 982 2 Qatar 904 3 Indonesia 106 4 Malaysia 87 5 Australia 87
Terbukti
minyak
Gas
1. Masa Sebelum Kemerdekaan Industri Minyak dan Gas di Indonesia dimulai ketika Jan Reerink mulai melakukan pemboran minyak di selatan Cirebon. Meskipun berhasil menemukan minyak, namun eksplorasi terpaksa dihentikan karena kekurangan modal dan penemuannya yang tidak komersial. Upaya ini kemudia dilanjutkan oleh A.J Zijlker, yang berhasil mendapatkan konsesi dari Sultan Langkat. Zijlker berhasil menemukan minyak di Telaga Said, pada tahun 1885 dengan jumlah yang sangat komersil. Ini menjadi dasar pembentukan Koninklijke Nederlandsche Maatschappij tot Exploitatie van Petroleumbronnen in Nederlansch Indie yang kemudian dikenal dengan Royal Dutch Company. Royal Dutch-Shell kemudian membagi kegiatannya dalam tiga perusahaan yang masing-masing bergerak dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran dan transport. Melalui anak perusahaannya Bataafssche Petroleum Maatschappij (BPM), Royal Dutch-Shell Group mendominasi kegiatan hulu migas di tanah air dengan 44 konsesi meliputi wilayah seluas 3.2 juta hektar.
Dalam bidang perundang-undangan, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan Indische Mijnwet pada tahun 1899. Peraturan itu meniadakan hak para Sultan untuk mengeluarkan izin konsensi, perijinan hanya dapat dilakukan dengan izin dari gubernur jendral. Menurut Indische Mijnwet, konsensi hanya diberikan kepada warga Negara Belanda, penduduk Belanda dan Hindia Belanda, atau perusahaan-perusahaan yang didirikan di Belanda atau oleh Hindia Belanda. Dengan 5 kilang pengolahan minyak, menjelang pecahnya Perang Dunia ke II produksi Minyak Indonesianya mencapai 350 ribu Barrel perharinya. Sebahagian besar diantaranya diekspor, dan itu membuat Indonesia menduduki peringkat kelima diantara Negara produsen minyak dunia. 2. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1965) Teungku Muhammad Hasan, gubernur pertama wilayah Sumatra meminta pemerintah membekukan pemberian izin konsensi ssampai terbitnya peraturan yang menggantikan Indische Mijnwe. Permintaan ini diterima pada Agustus 1951, dalam mosi tersebut, DPR memberi tugas pada Komisi Pertambangan. Pembangunan kembali dimulai pada akhir 1957, setelah Ibnu Sutowo berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya dan Perang mengambil alih. Keputusan ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PERMINA. Dengan dibantu oleh Refican (Kanda), rehabilitasi dilakukan dan ditandai dengan pengiriminan minyak pertama sebanyak 13Ribu Barrel ke Jepang dari lapangan Katapa (Sumatera Utara) pada 24 Mei 1854. Ini juga untuk melihat tanggapan Royal Ducth-Shell yang mungkin masih merasa menjadi pemegang hak konsensi. Tanggal 26 Oktober 1960, pemerintah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang untuk menggantikan Indische Mijnwet. Undang-undang tersebut adalah yang mendasarkan pengaturan tambang, yaitu Undang-undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan (UUP) dan Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960). Pada saat itu kondisi politik masih dalam iklim perang dingin, sehingga terdapat 2 pertentangan dalam merumuskan kebijakan yang mengatur pengelolaan pertambangan, yaitu antara kelompok yang menuntut dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak Asing dan kelompok yang melihat diperlukannya modal asing untuk membantu peningkatan kegiatan pengusahaan kekayaan alamnya. Undang-undang ini merupakan salah satu bentuk resurgent economic nasionalism. Dalam pasal 3 disebutkan bahwa pertambangan hanya dapat dilakukan oleh Negara, yang pengoperasiannya dilakukan oleh Perusahaan Negara, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, transportasi dan penjualan.
Meskipun pada tahun 1962 iklim politik Indonesia tidak begitu kondusif, namun potensi MIGAS Indonesia cukup menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan internasional. Pada Juni 1962, Pan American Oil Company (anak perusahaan Standard of Oil Indiana) menanda tangani Perjanjian Karya dengan PN PERTAMIN untuk wilayah kerja di Riau berbatasan dengan wilayah kerja Caltex. Kontrak karya ini mengacu pada keputusan Presiden bahwa rumusan bagi hasil keuntungan 60-40 yang dihitung berdasar realized price. Di awal 1960-an, minyak mencakup seperempat dari total ekspor yang didominasi multinational corporations yang menanam modal 400 juta dollar AS dan diperkirakan melonjak 1 miliar dollar AS tahun 1965. Caltex (AS) menguasai 85 persen ekspor, Stanvac (AS) 5 persen, dan Permina 10 persen. Tahun 1963 total ekspor 94 juta barrel per tahun atau 1,7 persen dari konsumsi dunia.Ekspor minyak dikuasai Shell (Belanda) yang per tahunnya 43 juta barrel, Stanvac 10 juta barrel. Penerima terbesar AS, Jepang, dan Australia. Sejak 1951, Soekarno membekukan konsesi bagi multinational corporations (MNC) dan memberlakukan UndangUndang Nomor 44 Tahun 1960. UU ini menegaskan, ”Seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan Negara atau perusahaan negara.” Sejak merdeka, MNC berpegang pada ”let alone agreement”. Cara ini menghindari nasionalisasi, tetapi mewajibkan MNC mempekerjakan mayoritas SDM lokal. Pembekuan konsesi membuat MNC kelabakan karena laba menurun dan produksi terhambat. ”Tiga Besar” (Stanvac, Caltex, dan Shell) langsung minta negosiasi ulang. Soekarno menuntut Caltex menyuplai 53 persen dari kebutuhan domestik yang harus disuling Permina. Surplus produksi Tiga Besar harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan kepada Pemerintah. Caltex wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor. Caltex menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Permina. Soekarno menuntut Caltex menyuplai kebutuhan minyak tanah dan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Formula pembagian laba 60 persen untuk kita dalam mata uang asing dan 40 persen untuk Caltex dalam rupiah. Periode ini juga ditandai dengan perintah bagi seluruh perusahaan minyak asing untuk menerima Keputusan tersebut dan diberi waktu 7 minggu untuk memikirkannya. Ultimatum ini tentu mengejutkan Amerika Serikat, Belanda dan Inggris dan khawatir akan semakin dekatnya Indonesia dengan Blok Soviet. Menghadapi kondisi ini William Wyat diutus sebagai mediator oleh Presiden Kennedy. Pertemuan Tokyo akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa ketiga
perusahaan tersebut juga akan mengikuti perjanjian karya yang telah dirumuskan pemerintah Indonesia. Menurut Wyatt pembagian 60/40 yang diajukan Indonesia tidak terlalu berbeda dengan pembagian keuntungan 50/50 dikawasan Timur Tengah. Karena asumsi perhitungan harga yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia adalah Realized Price, sedangkan di Timur Tengah menggunakan posted price yang disepakati oleh kedua pihak. Penandatanganan Perjanjian Karya yang didassarkan UU MIGAS 1960, melahirkan landasan baru pengembangan sumber minyak dan gas di Indonesia. Walaupun perkembangan politik masih diwarnai perseteruan antara kelompok yang Pro Nasionalisasi yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesi. Sedangkan kelompok yang berseberangan dengan itu dipimpin oleh Ibnu Sutowo yang memimpin PERMINA dan menjabat Menteri Negara Urusan Perminyakan. Dalam wawancaa dengan Ruth Sheldon Knowles, Ibnu Sutowo menamakan Perjanjian Karya sebagai “dressed-up concession agreements”.Ketidakstabilan ini yang meicu shell untuk menjual semua assetnya ke PERMINA. Gerakan 30 September pada Tahun 1965, juga mempengaruhi komposisi actor Negara penyelenggaraan produksi pertambangan. Ketiga Perusahan Negara yang didirikan sebelum tahun 1963 terdiri dari berbagai latar belakang. PERMINA didirikan oleh Angkatan Darat untuk mengambil lapangan-lapangan minyak Shell. Sedangkan PERTAMIN dirikan untuk mengambil alih lapangan-lapangan minyak yang dioperasikan oleh Nederland Indische Aardolie Maatschappij (NIAM), perusahaan patungan antara Pemerintah dan Shell, dan habis masa konsesinya. Sedangkan kelompok PERMIGAN yang didominasi oleh kelompok berhaluan kiri didirikan untuk mengoperasikan lapangan-lapangan yang ditinggalkan oleh Shell di Jawa Tengah. Setelah peristiwa G 30/S PKI, PERMIGAN diambil alih oleh PERTAMINA, yang kemudian disusul dengan penggabungan PERTAMIN dan PERMINA pada tahun 1968. Ini disahkan melalui Undang-undang no 8 tahun 1971 tentang PERTAMINA. 3. Periode 1965 – 1974 Ini adalah periode transisi dari pemerintah orde lama menuju orde baru. Era ini ditandai dengan keadaan ekonomi yang chaos and collapse, kondisi yang membuat pemerintah menerima usulan liberalisasi oleh IMF/IBRD. Bentuk dari kebijakan pro pasar ini adalah dengan lahirnya Undang-undang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967. Richard Robinson mensinyalir bahwa ; :“there is little doubt that the Bappenas technocrats were convinced by the IMF/IBRD ideology of free-market economics, which limited the state to providing the fiscal and monetary
conditions for capital accumulation, and trusted in the mechanisms of the market to generate maximum growth and efficiency”. Dengan meningkatnya jumlah kontrak kerja sama dalam bentuk Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil, produksi minyak dan gas Indonesia melonjak dari sekitar 600 ribu barrel setiap hari pada akhir tahun 1967 menjadi 1.7 juta barrel pada tahun 1975. Dengan meningkatnya jumlah kontrak kerja sama dalam bentuk Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil, produksi minyak dan gas Indonesia melonjak dari sekitar 600 ribu barrel setiap hari pada akhir tahun 1967 menjadi 1.7 juta barrel pada tahun 1975 dan pada tahun 1977 Indonesia melakukan ekspor yang pertama gas alam cair (LNG). 4. Periode 1974-1990 Periode ini diwarnai dengan pertentangan antara pemilik modal dalam negeri dan kelompok liberal dari BAPPENAS. Kelompok pemodal dalam negeri juga menyetujui ideology Kapitalisme tetapi juga nasionalis dan peka dalam menghadapi modal asing, sehingga meminta Negara mengintervensi. Momentum tersebut juga tepat, karena harga minyak melonjak sehingga uang berlimpah dan Negara kurang membutuhkan dukungan dari pihak IGGI, IMF dan World Bank melalui para tekhnokratnya di BAPPENAS. Kebijakan ini kemudian menggeser kebijakan Perusahaan Multinasional yang memberikan saham pada kosong pada para pejabat dan birokrat yang akan melindungi kepentingan perusahaan tersebut di Indonesia. 5. Periode 2000-an Periode ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang No 22 tentang Migas. Walau kemudian diuji materi ke Mahkamah konstitusi, ini adalah era liberalisasi yang ditandai dengan mengacunya harga minyak Indonesia pada harga minyak dunia. Beberapa hal yang controversial dalam undang-undang tersebut diantaranya, adalah interpretasi penguasaan Negara, kewenangan penjualan minyak bumi dan Gas oleh pemerintah, peluang mendegradasi peran BUMN, pelemahan daya saing industri LNG Nasional dan potensi kerugian keuangan Negara. B. Permasalahan-permasalahan dalam Eksplorasi Pertambangan 1. Aspek Keberadaan Perusahaan Multi Nasional Kehadiran perusahanaa di Indonesia diharapkan akan mengisi gap antara domestically available supplies of saving, Foreign exchange, government revenue and skill dengan the planned level of these resources necessary to achieve development target. Dengan tujuan untuk menambah penghasilan pajak bagi Negara dan mengelola sumber daya alam yang belum mampu dikelola secara optimal oleh pemerintah Indonesia. Dengan tujuan untuk kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia, selain itu juga untuk mentransper kemampuan tekhnologi yang ditransfer ke local counterpart dengan terlibat dalam perusahaan Multinasional tersebut. Namun ternyata, pada tahap berikutnya keberadaan justru banyak menimbulkan masalah. Seperti menurunnya domestic investment karena ketidakmampuan untuk bersaing dengan dengan modal asing. Disamping itu perusahaan multinasional juga re-invest profit yang diperoleh, tapi mengirimkannya ke perusahaan induk di Negara asal mereka. Selain itu perusahaan multinasional tidak menggunakan intermediate product dari domestic, tetapi mengimpornya dari overseas affiliates-nya. Selain itu, maksud untuk meningkatkan pembayaran pajak, tapi perusahaan tersebut justru mendapatkan tariff protection, untuk menghindari local tax dengan strategi transfer pricing. Perusahaan Multi nasional juga menerapkan capital-intensive dalam produksinya, bukan labour-intensive. Setidaknya terdapat tiga (3) manfaat yang diharapkan diperoleh dari eksploitasi dan pengelolaan SDA ini termasuk minyak dan gas bumi migas), antara lain; a) keuntungan finansial, yakni berupa penerimaan rente, bagi hasil, pajak/royalty dan lain sebagainya; b) potensi manfaat secara ekonomi, berkenaan dengan penyediaan lapangan kerja, pengembangan teknologi dan tenaga kerja trampil, terwujudnya industri yang kompetitif dan efisien dan seterusnya, serta; c) mendukung kepentingan nasional dan strategis, yakni: mendukung terwujudnya ketahanan energi nasional (national energy security), mendorong pemerataan (distribusi) kesejahteraan termasuk kepada daerah penghasil, kepentingan stabilitas sosial dan kemandirian bangsa agar tidak tergantung pada kepentingan, teknologi, sumberdaya manusia dan finansial negara lain. Membahas tentang kebijakan pemerintah Indonesia, berarti berbicara tentang hukum yang diatur untuk menjalankan kebijakan tersebut. Begitupun halnya dengan keberadaan perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia. Menilik aturan-aturan hukum tersebut, kita harus kembali pada tahun 1949. Dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia, beberapa tim yang dikirim ke Den Haag untuk merundingkan hal tersebut menghasilkan kesepakatan dalam peristiwa yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar. Pada konferensi tersebut, dihasilkan beberapa kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Pada sektor ekonomi, ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia, yaitu : (1) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia (2) bersedia mematuhi ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional dan (3) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar Gulden. Ketentuan perusahaan modal asing kemudian diperkuat dengan adanya UU Pemerintah No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Pertimbangannya adalah bahwa kekuatan ekonomi potensiil yang dengan kurnia Tuhan yang Maha Esa terdapat banyak diseluruh wilayah tanah air yang belum diolah untuk dijadikan kekuatan ekonomi riil, yang antara lain disebabkan oleh karena ketiadaan modal, pengalaman dan tekhnologi.
Oleh pertimbangan tersebut, maka diaturlah kebijakan-kebijakan pemerintah untuk memperbolehkan masuknya perusahaan-perusahaan asing serta penanaman modal asing untuk menunjang pengelolaan perekonomian Indonesia. Yang disayangkan adalah, pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan asing atau multinasional tersebut sangat mengontrol proses eksplorasi sumber daya alam Indonesia. Bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional sangat mempengaruhi setiap kebijakan pemerintah suatu negara, juga oleh Joan Edelman Spero dan Jeffrey A. Hart menggambarkan dalam tulisan keduanya bagaimana perusahaan multinasional corporation melakukan intervensi yang bahkan sampai memasuki penentuan kebijakan-kebijakan negara secara politis dengan tujuan agar lancarnya pengontrolan aktifitas ekonomi dan didapatnya keuntungan yang besar bagi perusahaan MNC. Maka tidak mengherankan apabila dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000. sedangkan keuntungan yang dicapai Indonesia hingga akhir tahun 2007, belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Ketimpangan pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam eksplorasi bukan disebabkan tidak adanya pengaturan pembagian hasil antara pemerintah dan perusahaan-perusahaan asing. Pembagian hasil tersebut diatur dalam Production Sharing Contract (PSC) yang dipercayakan pemerintah pengelolaanya oleh BUMN seperti Pertamina. Hal ini merujuk kepada UU no 8 tahun 1971 tentang perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara. Melalui perintah pengelolaan oleh Pertamina, maka pertamina kemudian melakukan kontrak dengan perusahaan asing dan sekaligus mengawasi pelaksanaan kontrak tersebut. PSC berubah menjadi Kontrak kerjasama (KKKS) dengan dikeluarkannya UU no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. UU ini sekaligus mengalihkan pengelolaan pengelolaan kontrak yang sebelumnya dilaksanakan Pertamina kepada Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS). Sesuai dengan laporan BPK dari tahun 2001 sampai 2005, keuntungan yang dihasilkan dari minyak bumi sesuai tabel berikut :
Tabel : Perhitungan bagi hasil dari operasi Minyak Bumi (Perhitungan Hizbut Thahrir) Keterangan Lifting Ribu Barrels (MBBL) Revenue (US$000) Cost Recovery (US$000) ETBS (US$000) Government Share (US$000)
2001 436.402
2002 407.1356
2003 367.835
2004 337.070
2005 364.375
10.305.587
10.009.023
10.557.198
12.354.540
19.203.739
2.729.609
3.055.054
3.177.983
3.181.713
4.358.532
7.575.978 6.599.327
6.953.969 6.288.679
7.379.215 6.691.213
9.172.827 8.267.043
14.845.207 13.015.574
Contractor Share (US$000)
976.651
665.290
688.002
905.784
1.829.633
Jika melihat pendapatan yang didapat pemerintah indonesia sesuai dengan tabel tersebut diatas, maka keuntungan pemerintah lebih besar dari perusahaan-perusahaan multinasional. Permasalahan kemudian adalah, kenapa dengan keuntungan yang besar yang dipaparkan BPK, hasil yang dirasakan rakyat Indonesia masih sangat kurang bahkan hampir tidak ada sama sekali. Harga BBM tetap menjadi tinggi sehingga membuat harga pasaran untuk keperluan tumah tangga juga ikut naik. Bahkan, kemiskinan di Indonesia belum juga dapat ditutupi dari keuntungan yang besar tersebut. Salamuddin Daeng dalam tulisannya di Institute for Global Justice menyampaikan bahwasanya walau adanya aturan yang mengatur pembagian hasil tersebut biaya Cost Recovery untuk eksplorasi pertambangan menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia. Pada tahun 2011, biaya cost recovery yang diserahkan pemerintah kepada perusahaan asing sebesar RP. 115 Triliun, sementara pendapatan yang dihasilkan pemerintah hanya sebesar Rp. 112 Triliun.1 Artinya, pemerintah harus menanggung kekurangan sebesar Rp. 3 Triliun. Hal ini disebabkan cost recovery yang harus ditanggung Indonesia lebih besar daripada cost recovery minyak mentah dunia. 2. Aspek Hukum Pertambangan
1
Pertimbangan Regulasi terkait dengan Kontrak Tambang di Indonesia
1. Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958 Tentang Penanaman Modal Asing 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) 4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (UU Pertambangan) 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Industri (UU Industri) 6. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960), dan yang kemudian diganti dengan Kontrak Production Sharing (KPS) 7. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang PERTAMINA (UU Pertamina) 8. Undang-undang Republik Indonesia No 14 Tahun 1963 Tentang Pengesahan “Perjanjian Karya” Antara P.N. PERTAMINA dengan P.T. Caltex Indonesia dan California Asiatic Oil Company (CALSIATIC) Texaco Overseas Petroleum Company (TOPCO) ; P.N. PERMINA dengan P.T Stanvac Indonesia, P.N. PERMIGAN dengan P.T Shell Indonesia 9. Undang-undang Republik Indonesia No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 10. Undang-undang No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan (pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan) 11. Undang-undang Republik Indonesia No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (bahwa Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi; - Yang telah direvisi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUUI/2003 tanggal 21 Desember 2004
Aturan-aturan Penjabaran dari Undang-undang ;
1. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No 06/0746/M.PE/1991 tentang Pemeriksaan Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Teknik yang Dipergunakan dalam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi 3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 22 Tahun 2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 69). 6. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 79 tahun 2010 Tentang Biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi 7. Pedoman Tata Kerja No 007/Revisi-II/PTK/I/2011 tentang Pedoman Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama 8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 01 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengembalian Bagian Wilayah Kerja yang Tidak Dimamfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Dalam Rangka Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi.
Model Kontrak
Aturan-aturan tambahan ; 1. Aturan tentang perimbangan keuangan daerah, Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Daerah 2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 03 Tahun 2012 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Dalam Rangka Penyelenggaraaan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2012 3. Undang-undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Aturan tentang aspek HSE (Health, Sanitary and Environment), Contoh yang terkait dengan Site restoration diwilayah offshore 1. Konvensi Jenewa (KOnvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut yang diadakan di Jenewa dari 24 Februari sampai 27 April 1958), yang telah diratifikasi dengan undang-undang Republik Indonesia No 19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 mengenai Hukum Laut 2. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS), 10 Desember 1982, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut) 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di daerah Lepas Pantai 1. Menurut namanya, kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang bernama dan tidak bernama. Perjanjian bernama (benoemd) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yaitu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang atau merupakan perjanjian yang terdapat dan dikenal dalam KUH Perdata dan undang-undang lain. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Termasuk dalam perjanjian tidak bernama ini antara lain adalah Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya di bidang migas dan pertambangan non-migas, Kontrak Operasi Bersama Panas Bumi antara PERTAMINA dan Investor dan Kontrak Jual Beli Listrik antara PLN dan PERTAMINA dan Investor. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan Berkontrak. Perjanjian tidak bernama ini diatur dalam satu ketentuan di KUH Perdata, yaitu Pasal 1319 yang menyatakan: “Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.” Dengan demikian, para pihak yang mengadakan kontrak tidak bernama ini tunduk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata dan berbagai peraturan yang mengaturnya. Karena merupakan ketentuan hukum yang bersifat khusus, maka pada perjanjian tidak bernama ini berlaku asas “Lex specialis derogaat lex generalis” 2. Model Kontrak Bagi Hasil (KBH) yang mulai diperkenalkan pada awal tahun
3.
4.
5.
6.
7.
1960an merupakan penemuan bangsa Indonesia yang telah diterima oleh banyak Negara di dunia untuk penanaman modal asing dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Diciptakannya KBH tersebut bertujuan untuk menampung aspirasi bangsa Indonesia yang ingin tetap menggali dan mengolah kekayaan alamnya sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, namun karena keterbatasan dana terpaksa harus bekerja sama dengan pihak swasta. Sebelum tahun 1950-an, kegiatan pengusahaan migas ini berbentuk perjanjian konsesi yang memberikan kepada perusahaan-perusahaan asing hak yang sangat luas dengan berbagai kemudahan, sementara pembayaran royalti kepada Negara sebagai pemilik sumber daya relatif kecil, atau hubungan Pemerintah dan perusahaan tidak seimbang. Meningkatnya rasa kebangsaan menimbulkan upaya dari Negara pemilik sumber daya untuk mengubah hubungan ini menjadi lebih seimbang baik mengenai kepentingan, hak, kewajiban maupun manfaat para pihak. Salah satu contoh bentuk hubungan ini adalah seperti yang diatur dalam Perjanjian Karya atau Kontrak Bagi Hasil, yaitu hubungan antara pemilik sebagai penguasa dan investor sebagai kontraktor. Dari pandangan fiskal tidak terdapat perbedaan yang besar antara sistem konsesi dan KBH. Perbedaan kedua sistem tersebut lebih bersifat simbolis dan filosofis. Seperti dinyatakan oleh Daniel Johnston bahwa di Perancis kekayaan bahan galian (mineral wealth) tidak dimiliki oleh perorangan tetapi oleh Negara untuk kepentingan rakyat, namun demikian sistem fiskal migas yang berlaku di negara tersebut tidak berdasarkan pembagian hasil produksi tetapi menggunakan sistem konsesi dengan royalti/pajak. Dalam pola penanaman modal asing di bidang pertambangan ini, Pemerintah mempunyai peran ganda, yaitu sebagai regulator dan pelaku bisnis. Pola ini dilandasi pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pertama kali diterapkan dalam Perjanjian Karya (Contract of Work) di bidang minyak dan gas bumi yang ditanda tangani pertama kali dalam tahun 1963 berdasarkan Undangundang Nomor 44 Prp Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (UU Migas 1960), dan yang kemudian diganti dengan Kontrak Production Sharing (KPS). Perjanjian Karya yang sering juga disebut KontrakKarya (“KK”) yang disahkan sebagai Undang-undang Nomor.14 Tahun 1963 tersebut menetapkan bahwa perusahaan swasta tersebut akan bekerja sebagai kontraktor perusahaan negara untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi. Selanjutnya, kajian terhadap Undang-undang Minyak dan Gas Bumi di beberapa negara oleh Thomas Waelde dan W.T. Onorato menunjukkan bahwa KBH tidak ditemukan dalam negara-negara maju atau liberal tetapi umumnya ditemukan pada negara-negara sedang berkembang (developing countries) yang memiliki kemampuan dana dan teknologi yang terbatas tetapi juga menganggap unsur “kedaulatan” (sovereignty) penting dalam pengelolaan kekayaan alam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KBH dapat diterima oleh kedua belah pihak, karena berhasil mengakomodasi
kepentingan politik pemerintah dan kepentingan komersial kontraktor. 8. Sejak diperkenalkannya persyaratan komersial dalam KBH yang berkaitan dengan pembagian keuntungan mengalami beberapa kali penyesuaian, yang semuanya ditujukan meningkatkan penerimaan negara. Misalnya, pada awal rumusan bagi hasil (setelah pengembalian biaya) dalam KBH adalah 65% untuk Negara dan 35% untuk kontraktor, yang kemudian diubah menjadi 85% untuk Negara dan 15% untuk kontraktor. Demikian pula, sejalan dengan dikeluarkannya peraturan baru tentang perpajakan dan penggunaan lahan, terdapat berbagai desakan dari instansi yang bersangkutan agar ketentuan tersebut juga diberlakukan terhadap KBH yang sering kali berdampak merugikan penerimaan dan kegiatan kontraktor. 9. Pasal 9 UUPMA menetapkan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan-tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing, atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan asing yang bersangkutan. Dalam hal kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian, Pemerintah akan memberikan ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak, dan apabila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaian dilakukan melalui forum Arbitrase 10. Melihat perkembangan kegiatan usaha hulu sejak tahun 1910, Indonesia telah mengenal tiga macam bentuk kontrak pengelolaan migas. Bentuk kontrak yang pertama adalah berdasarkan Pasal 5A Indische Mijnwet, yang digunakan sampai dengan tahun 1963 dan kemudian diganti dengan Perjanjian Karya dan Kontrak Bagi Hasil menurut UU Migas 1960 dan UU Migas 2001. Karena itu kegiatan usaha hulu migas tersebut tunduk pada asasasas Hukum Perjanjian baik yang universal maupun yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. 4. Daftar Inventarisir Masalah
No Permasalahan 1 Ketidakpastian kontrak
Uraian Dalam pola penanaman modal asing di operasi perminyakan, pemerintah mempunyai peran ganda, yaitu sebagai regulator dan pelaku bisnis (Operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) minyak dan gas bumi). Bentuk model kontrak dalam dunia pertambangan dikenal dalam bentuk Contract of Work yang pertama sekali ditandatangani 1963 berdasarkan undang-undang No 44 Prp Tahun 1960,yang kemudian diganti menjadi kontrak Production Sharing (KPS). Perbedaan keduanya adalah jika pada kontrak karya maka pemerintah hanya menerima pajak sedangkan dalam bentuk KPS pemerintah terlibat secara langsung. Dengan peran ganda tersebut kemungkinan Conflict of Interest
2
sangat besar, antara instansi Pemerintah yang mengatur regulasi dan BUMN yang menjalankan kebijakan pengelolaan. Pasal 1 angka 19 dalam UU MIGAS No 22 Tahun 2001 juga menunjukkan ketidakpastian kontrak, apalagi pasal tersebut juga termasuk dalam pasal yang diuji material ke Mahkamah Konstitusi. Production Sharing Menurut Ibnu Sutowo dalam bukunya “Peranan Minyak dalam Contract (Kontrak Kerja Ketahanan Negara” (1970) menyatakan harusnya yang dibagi Sama) adalah minyaknya bukan uangnya, yang pengelolaan minyaknya diserahkan pada pemerintah. Oleh karena itu Kontrak Production Sharing Management ada ditangan pemerintah, management adalah perbedaan antara Kontrak Karya (Konsesi) dan Kontrak Production Sharing (Bagi Hasil). Pada kontak karya, kontaktor berkewajiban untuk membayar pajak, sedangkan pada KPS management ada ditangan pemerintah. Setiap kali kontraktor akan mengembangkan produksinya maka kontraktor harus menyerahkan POD (Plan of Development), WP&B (Work Program and Budget) dan AFE (Authorization for Expenditure). Dengan sistim audit yang dilakukan pre, current dan post. Sharing Production diharapkan dapat menjadi media Transfer Tekhnologi. Indonesia memang diakui sebagai pelopor Production Sharing di dunia, namun sayang masih terdapat distorsi dalam pelaksanaannya. Selain itu Over/Under Lifting adalah resiko dari mekanisme Sharing Management. Secara hukum peranan negara pada kontrak bagi hasil mengikuti dua prinsip berikut: Negara memiliki hak pertambangan sehingga mereka memiliki produksi, hal ini secara hukum mengakibatkan monopoli negara pada eksplorasi dan produksi hidrokarbon. Perusahaan minyak bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor. Walaupun negara atau perusahaan negara mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari perusahaan minyak (yang meminjamkan atau mendanai kapital yang dibutuhkan) dia tetap memiliki bagian terbesar dan produksi. Bagi hasil ini adalah dari produksi yang terlihat pada laporan tahunan dan bukan pada cadangan total. Kontraktor bertanggung jawab atas pembiayaan dan menjalankan operasi dan hanya memperoleh pengembalian biaya dan keuntungan jika terdapat penemuan komersial yang dikembangkan Indonesia memang merupakan pelopor dari PSC, dengan tujuan kita bisa melakukan transfer of technology dan pemerintah bisa memegang kendali management. Namun, para The Seven Sisters (Exxon/Esso, Shell, British Petroleum, Gulf, Texaco, Mobil, Socal/Chevron) melihat PSC di Indonesia terlalu tidakluwes, kekakuan misalnya dalam penetapan cost ceiling.
Cina menentukan Cost Ceiling berdasarkan produksi, Malaysia berdasarkan R/C. Akibatnya adalah apabila ada prospek yang kurang ekonomis maka aka nada perdebatan insentif yang panjang dan apabila harga MIGAS melambung maka aka nada kekhawatiran terhadap windfall profit tax. Selain itu, Birokrasi Indonesia juga dikenal koruptif dan tidak profeseional. profit oil split Proporsi minyak sesudah dipotong oleh costs oil disebut profit oil. Pada awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 – 35 % split antara pemerintah dan kontraktor diubah menjadi 85 – 15 % untuk minyak dan 70 – 30 % untuk gas. Terdapat variasi yang cukup besar pada the profit oil split (bagi hasil keuntungan minyak) antar negara-negara dan kontrak-kontrak yang berhak. Hal ini memperlihatkan perbedaan pada potensi dan biaya perminyakan yang dikeluarkan dimana biaya tergantung pada karakteristik dan lokasi dari penemuan. Kesuksesan PSC dibandingkan konsesi adalah karena lebih fleksibel untuk di negosiasikan. 3
Domestic Obligation
4
Pajak
Market
DMO adalah kewajiban penyerahan bagian kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Walau telah ada peraturan setingkat menteri yang mengatur mengenai hal ini namun, kondisi pengalokasian MIGAS untuk konsumen dalam negeri masih sangat kacau. Belum lagi soal overlapping kebijakan mengenai ini antara Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Kita bisa melihat kasus tersebut pada PT. Asean Aceh Fertilizer atau PT.Kertas Kraft Aceh yang harus terhenti produksinya, padahal lokasinya bersebelahan dengan PT. Arun. Hal tersebut dikarenakan PT.Arun memprioritaskan gas untuk pemenuhan kontraknya. Hal ini telah coba diatur dalam Peraturan MenteriESDM No 3 tahun 2010 tentang pengaturan Prioritas alokasi gas. Namun demikian, Harga jual /mmBTU (British Termal Unit) nilai tinggi ke konsumen domestic. Pada Production Sharing Contract sampai dengan 1976, Profit Oil Split dihitung setelah pajak. Sehingga kontraktor tidak dikenakan pajak keuntungan secara eksplisit. Bagi hasilnya adalah bersih dari pajak, dimana pajaknya sudah termasuk pada government’s share. Walaupun demikian kontraktor tetap menerima bukti pembayaran pajak, untuk menghindari pajak
ganda dinegaranya. Pada Tahun 1976, Internal Revenue Service (IRS) berhenti mengijinkan pajak nasional sebagai kredit pajak. Akibatnya perusahaan Amerika meminta perubahan formula pada PSC. Hal ini kemudian mengakibatkan lahirnya kebijakan untuk menggunakan prosedur terpisah dalam penentuan pajak pendapatan. Pajak dihitung berdasarkan peraturan umum perpajakan untuk perusahaan komersil di Industri Negara tuan rumah. Namun, prosedur ini tidak berlaku untuk perusahaanperusahaan Eropa. Sebagai contoh, apabila bagi hasilnya antar Negara dan kontraktor adalah 70 – 30 % dan pajaknya 50 %, maka bagi hasil sebelum pajak 60 % (atau 30 % / (1 – 50 %))sehingga pendapatan pemerintah di luar pajak adalah 40 % (atau 1 – 60 %) dan pajaknya sendiri adalah 30 % (atau 50 % dari 60 %) sehingga pendapatan total pemerintah adalah 70 %. Pasal 9 ayat (2) PP No 79 Tahun 2010 ; Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas bumi ditambah Imbalan DMO ditambah varian harga atas lifting. Ayat (3) ; Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai realisasi penjualan atas minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi. Selain itu, masih ada persoalan dengan kebijakan penghitungan Actual Lifting. Dalam UU No 22 Tahun 2001 Tentang migas, juga diterapkan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) impor. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No 177/PMK.011/2007 diputuskan bahwa bea masuk ditetapkan 0%, PPN Impor10% dan PPh Impor 2,5%. Menurut beberapa pihak meskipun pajak tersebut ditanggung oleh pemerintah, harusnya hal ini juga dimasukkan dalam revisi UU MIgas. Walaupun untuk memperjelas kebijakan tersebut Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah mengeluarkan keputusan No P-02/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No 178/PMK.011/2007 tentang Pajak Pertambahan NIlai ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Eksplorasi Hulu MInyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi. Urusan pajak juga dianggap sebagai ruang masuk bagi
5
Cost Recovery
intervensi institusi pemerintahan yang lain. Selain itu, dispute mengenai “Branch Profit Tax” atau “pajak atas bunga dividen dan royalti (PBDR)” akibat adanya Tax treaty semakin memperpanjang polemic. Cost Recovery adalah konsekuensi logis dari pengelolaan migas yang menggunakan prinsip bagi hasil. Cost recovery rawan penyalahgunaan dan akibatnya menurunkan penerimaan Negara dari sector migas. Namun, usaha untuk meminimalkan penyalahgunaan dengan Peraturan Pemerintah No 79/2010 justru menimbulkan boomerang. Hal tersebut dikarenakan PP member kemungkinan bagi Pemerintah untuk dapat secara sepihak merubah equity split dan membatasi persyaratan cost recovery yang sebelumnya telah ditandatangani bersama. PP tersebut juga dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya, seperti UU MIgas, UU Pajak Penghasilan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena PP ini berpotensi mengubah prinsip-prinsip dalam Production Sharing Contract secara sepihak. Menurut IPA (Indonesia Petroleum Association), ketidakpastian PP tersebut telah mengakibatkan penurunan investasi sebesar 20% dan penurunan produksi sebesar 150.000 bph. Pengembalian biaya berbeda antar Negara, bergantung pada kontrak. Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini dikenal dengan cost oil, kekurangan yang belum diperoleh carried forward untuk recovery pada tahun berikutnya. Cost diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan dengan recoverable cost. Batas maksimun dari cost oil dikenal sebagai cost recovery ceiling. Harga cost stop ini yang kemudian mempengaruhi keekonomian, makin tinggi maka akan semakin bagus return on investement-nya. Namun, formula pengembalian biaya menjadi semakin kompleks karena ada aturan lain yang diterapkan pada kontrak, seperti ; - Investment credit di Indonesia 17%, di Indonesia kontraktor menerima 117 % dari biaya kapitalnya. Hal ini dirancang sebagai kompensasi efek dari inflasi, karena recovery didasarkan pada harga nominal, tanpa indeksasi. - Indonesia menerapkan Double Declining Balance - Production Sharing Cost tidak membayar royalty dari produksi, tapi jika royalty dibayar cost oil dihitung pada produksi sesudah dipotong royalty. Masalah cost recovery seharusnya diselesaikan antara kontraktor dan BP MIGAS. Namun, ketika cost recovery naik
6
Ketidakjelasan peran pusat dan daerah dalam pengelolaan Migas.
7
Wewenang MIgas.
8
Aspek Health, Sanitary, dan Environment
9
Keberpihakan pada perusahaan dan industry lokal
10
Unplanned Shutdown
pengelolaan
sedangkan produksi migas turun maka timbullah polemic ke public. Walaupun kemudian justifikasinya adalah eksplorasi menjadi mahal karena dilakukan menjadi mahal karena dilakukan di daerah terpencil, hingga biayanya bisa mencapai $20-30/Barrel. Sementara enhanced oil recovery bisa mencapai $ 20-30/barel. Otonomi Khusus yang mengubah pola pembangunan yang desentralistik. Belum lagi undang-undang yang mengatur kekhususan daerah tertentu. Contohnya adalah ruang untuk Pemerintah Aceh menjadi Participating interest, dengan kewenangan yang di atur dalam Pasal 169 ayat (1) dan (2). Pertentangan tersebut juga diperkuat bahwa selama ini daerah penghasil Migas seperti Aceh dan daerah lainnya hanya diundang untuk mendengarkan pembagian lifting, daerah tidak bisa mengkomparasikan hasil lifting karena memang tidak mendapatkan akses tentang berapa MMSCF (Million Metric Standard Cubic Feet per Day) yang telah dieksploitasi. Oleh karena itu apa yang menjadi tuntutan daerah penghasil Migas di era desentralisasi adalah menjadi Participating Interest. Dalam UU No 22 Tahun 2001 Pemerintah sudah tidak lagi memiliki kewenangan dalam pengelolaan migas. Pada sector Hulu (Eksplorasi dan Eksploitasi) dijalankan oleh BP MIgas dan di Sektor Hilir dikendalikan oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas. Environment Management ; Water Management, masih terjadinya kasus keracunan. UU Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009 yang mengatur penurunan temparatur air limbah dari 450 celcius menjadi 400 Pengelolaan Abandonment Site and Restoration Selain pengelolaannya yang tidak professional, dalam pertemuan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan BP Migas, terungkap ada kewajiban sebesar US $ 56 Juta yang belum disetor para kontraktor kontrak kerjasama migas ke Negara. Transaksi pengadaan barang dan jasa menggunakan bank-bank multi nasional termasuk supply chain Penempatan Abandonment Site and Restoration cost tidak pada bank domestic Penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalu Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Enhance Oil Recovery Reservoir di Deltaic system Fracture Basement Revoir Penanganan High Pour Point Oil
11
12 13 14
Perdebatan tentang UU Pasal 10 dan Pasal 13 UU Migas telah mengurangi kedaulatan No 22 tahun 2001 negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini tentang Mitgas Migas) dikarenakan Badan Usaha Milik Negara harus melakukan pemecahan organisasi secara vertikal dan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masingmasing dan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Tidak terakomodirnya secara jelas kewenangan daerah berdasarkan UU Otda dan Perimbangan Keuangan Pemberlakuan ketentuan baru dimaksud, ditandai dengan pengambilalihan tender wilayah kerja production sharing contract (PCS) dari Pertamina kepada Pemerintah melalui Ditjen Migas. Sesuai ketentuan baru (Pasal 63 UU No.22/2001), tender (KPS) nantinya akan dilakukan sebuah tim, yang terdiri dari orang-orang Pemerintah. Menurut Ketua MK, UU nomor 22 tahun 2001 telah diujimaterilkan (judicial review) dengan amar putusan mengabulkan sebagian, yang menyatakan bahwa bagian dari pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, dan pasal 28 ayat 2 dan 3 yang diantaranya mengatur tentang pelepasan harga BBM mengikuti mekanisme pasar bertentangan dengan UUD 1945 (Berita Negara RI nomor 1 tahun 2005). Mengakhiri kedudukan Pertamina sebagai pemegang Kuasa pertambangan, dan mensejajarkan kedudukan Negara melalui BP MIGAS dengan Korporasi Asing. Penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan menyerahkan harga jual pada mekanisme pasar. BP MIGAS bukanlah institusi bisnis walaupun berperan sebagai institusi yang menerima dan mengelola migas bagian Negara. Karenanya BP MIGAS tidak dapat melakukan jual-beli migas yang menjadi bagian negaranya. Ini yang kemudian melahirkan PETRAL. Memperpanjang jalur birokrasi Pemberlakuan UU MIgas No 22/2001 juga telah menyebabkan Indonesia menjadi net oil importer. Corporate Sosial Belum ada aturan baku mengenai penyaluran dan bentuk dari Responsibility Corporate Social Responsibility, sehingga malah terlihat menjadi ajang promosi perusahaan. Sistem Fiskal Lex specialist untuk rezim fiscal, perijinan dan diberlakukan sebagai objek vital nasional Pertanahan Kehadiran UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk pembangun, juga berlaku bagi eksplorasi hulu migas. Namun, jauh sebelum itu ada banyak persoalan pertanahan yang belum selesai. Baik itu pada tahap eksplorasi dan eksploitasi.
Seluruh tanah yang dibebaskan kontraktor KKS akan menjadi asset Negara meski kegiatan eksplorasi gagal. Saat ini asset tanah disektor hulu migas tercatat sebesar 404.000 hektar senilai Rp 2 Triliun Menurut Goldman Sachs Research Institute (GSRI) 2007, Indonesia termasuk Negara yang berkatagori very high risk.10 Resiko tersebut ditentukan berdasarkan korupsi, aturan hukum, stabilitas politik, kualitas regulasi, dan indeks pembangunan manusia. Pricewater Coopers Indonesia (2010), yang menyebutkan 5 (lima) isu kritis iklim investasi migas di Indonesia, yakni; a) persoalan sistem fiskal dan perpajakan, b) isu menyangkut cost recovery, c) Ketidakpastian kontrak, d) masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta, e) kebingungan terhadap UU Migas no 22 Tahun 2001 serta implementasinya. Usulan-usulan BP MIGAS untuk Perbaikan UU MIgas 1. Memperbaiki system governance industry MIGAS di Indonesia 2. Meningkatkan penerimaan da partisipasi daerah dalam kegiatan usaha hulu migas 3. Lex specialist untuk rezim fiscal, perijinan dan diberlakukan sebagai objek vital nasional 4. Mengedepankan peran perusahaan MIGAS milik Negara dalam kkegiatan eksplorasi dan eksploitasi 5. Pengaturan petroleum fund Dalam perjanjian pengelolaan Migas antara pemerintah dan perusahaan nasional tentu hadir dengan kepentingan yang berbeda. Menurut Seba dalam bukunya “Economics of Worldwide Petroleum Production” (2003)8 adalah sebagai berikut : Pemerintah Kontraktor Kontraktor jangan mencampuri urusan politik Memaksimalkan dan mempercepat pemerintah pengembalian investasi Mendapatkan mata uang asing dan Mendapatkan pengembalian yang wajar atas memperkuat modal keuangan nasional risiko yang diambil Memaksimalkan pendapatan dan membangun Meminimunkan periode dimana investasinya industry local dengan bahan bakar yang lebih beresiko (Periode Pay Back) murah Memajukan masyarakat setempat Menjamin pemulangan kembali dana dan hak atas ekspor migas Memelihara dan meningkatkan pengawasan Menjaga kepemilikan proyek dan haknya atas atas sumber daya alam milik Negara keuntungannya Mengurangi impor dan meningkatkan ekspor Menjaga kepemilikan proyek dan haknya atas serta efisiensi keuntungannya Mempromosikan kepemilikan local Mencegah membuat masalah dalam kontrak yang ingin dihindarkan di negara lain Mengembangkan industry local untuk Menjaga standar global, efisiensi dan reputasi memproduksi peralatan lapangan MIgas Mendorong beasiswa pendidikan dan Mengembankan manajer-manajer di luar negeri memaksimalkan transfer dan R&D teknologi Mengembangkan kemampuan nasional di Menyeimbangkan pemasokan Migas dunia industry Migas dengan peningkatan cadangannya.